SKRIPSI
Oleh :
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Permasalahan
1. Latar Belakang Masalah
Di Indonesia saat ini sudah tidak asing lagi dengan jenis alat
transportasi darat yang bernama bus. Bus merupakan salah satu alat
transportasi darat yang berfungsi untuk membawa penumpang dalam
jumlah banyak. Alat transportasi ini sangat diminati oleh masyarakat dari
berbagai golongan. Harga tiket yang murah serta mudah ditemui menjadi
daya tarik tersendiri bagi penumpang untuk selalu menggunakan bus
sebagai penunjang aktifitas setiap hari. Bagi penumpang, bus merupakan
transportasi darat yang sangat mudah dijumpai di sepanjang jalanan umum
atau bisa langsung datang ke terminal terdekat yang telah disediakan oleh
dinas perhubungan setempat.
Hampir setiap penumpang merasa senang saat naik bus, terbukti
sampai saat ini masih banyak masyarakat naik bus untuk berbagai aktifitas
kerja maupun pariwisata, namun keberadaan bus akhir-akhir ini menjadi
sorotan bagi sebagian masyarakat mengingat akhir-akhir ini banyak terjadi
kecelakaan. Berdasarkan informasi yang peneliti temukan, sepanjang
bulan januari hingga februari tahun 2019 tercatat ada 1.735 total kejadian,
357 korban meninggal, 54 luka berat, 2.316 luka ringan dan kerugian
materi sebesar Rp 2.517,975.000, pada kendaraan roda dua maupun roda
empat (dikutip dari http://www.merdeka.com/peristiwa/angka-kecelakaan-
di-jatim-tinggi-terbanyak-di-jombang-dan-surabaya.html, tanggal 4 April
2019). Peristiwa ini mengindikasikan bahwa tingkat kecelakaan di
Indonesia saat ini masih terbilang cukup tinggi. Berdasarkan pengamatan
yang peneliti lakukan, kecelakaan banyak disebabkan oleh adanya
kesalahan manusia (human eror) saat mengemudi, hal ini dibenarkan oleh
media Amerika serikat dan Inggris yang mengatakan bahwa 65-77%
kecelakaan disebabkan oleh faktor manusia dan di Indonesia sendiri,
menurut data Departemen Perhubungan 86,8% kesalahan terbesar setiap
kecelakaan disebabkan oleh faktor pengemudi, sedangkan data statistik
Polri mencatat angka sebesar 84% (Sutawi, dalam Nopiyanti 2006).
Fenomena kecelakaan pada kendaraan umum maupun pribadi
merupakan peristiwa yang sering terjadi di Indonesia, salah satunya
peristiwa kecelakaan yang terjadi di mojokerto, berita ini peneliti ambil
dari sumber(http://surabaya.tribunnews.com/2019/03/17/tabrakan-dengan-
truk-sopir-pikap-di-mojokerto-tewas-terjepit, diakses pada tanggal 1 April
2019) akibat melaju dengan kecepatan tinggi, sopir mobil pickup
menabrak truk yang tengah melintas di depannya, sehingga menyebabkan
sopir pickup meninggal ditempat, sedangkan penumpang mengalami luka-
luka yang cukup parah. Selang beberapa hari kemudian terjadi kecelakaan
di kota yang sama, kali ini seorang pengendara motor yang tewas akibat
menyalip mobil Avanza yang sedang melintas dengan kecepatan tinggi,
(diakses dari http://surabaya.tribunnews.com/2019/03/04/terjatuh-saat-
salip-avanza-pengendara-motor-di-mojokerto-tewas, pada tanggal 1 April
2019).
Menurut Evan (dalam Nopiyanti 2006) mengatakan bahwa ada dua
human faktor yang mengakibatkan kecelakaan, yaitu Driver performance
dan Driver behavior. Driver performance menjelaskan tentang apa saja
yang dilakukan oleh pengemudi yang didasarkan atas kemampuan fisik
dan mental, sedangkan Driver behavior yaitu apa saja yang dilakukan
oleh pengemudi yang dilandasi oleh faktor sosial kultural.
Peristiwa kecelakaan lalu lintas memang tidak bisa dihindari,
meskipun pemerintah melalui dinas perhubungan mengeluarkan undang-
undang tentang kedisiplinan para pengguna transportasi umum saat di
jalan. Pemerintah mengaturnya dalam undang-undang nomor 22 tahun
2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan atau lebih dikenal dengan
UULAJR, sehingga dengan dikeluarkannya undang-undang tersebut
diharapkan masyarakat dapat memahami dan melaksanakannya sebagai
pedoman dalam disiplin berlalu lintas. Kenyataannya masih banyak
pelanggaran sehingga menyebabkan kecelakaan, jika dilihat dari konsep
diatas maka diketahui bahwa perilaku mengemudi memberikan suatu
bentuk gambaran akan agresivitas.
Agresivitas dalam mengemudi disebut juga dengan aggressive
driving atau road rage (Sarkar dkk,dalam Nopiyanti 2006) atau driving
behavior (dalam applied social psychology). Maksudnya adalah
mengemudi yang dipengaruhi oleh tingkatan emosi dan kadar kesadaran
seseorang akan peraturan dan keselamatan baik dirinya maupun orang
lain.
Shuster (dalam Nopriyani 2006), menyatakan bahwa secara umum
aggressive driving dilihat sebagai salah satu bentuk perilaku yng beresiko
dibelakang kemudi, termasuk di dalamnya adalah kebut-kebutan, tidak
bisa menjaga jarak dengan kendaraan di depannya, menyalip keluar masuk
lalu lintas dan juga mengabaikan rambu lalu lintas. James & Nahl (dalam
Nopriyani,2006) menambahkan bahwa agresivitas pengemudi dibawah
pengeruh ketidakstabilan emosi akan berdampak resiko bagi orang lain.
Dikatakan agresif karena diasumsikan bahwa orang lain berkesempatan
untuk terkena resiko yang sama.
Beachler (dalam Nopriyani 2006) mendefinisikan risk taking
sebagai aktivitas yang berbahaya, dimana aktivitas tersebut dapat
membahayakan nyawa seseorang, seperti balapan mobil, atraksi mobil
naik gunung, dan lain-lain. Pengambilan resiko atau risk taking,
dipengaruhi oleh kondisi emosional seseorang. Perilaku agresif seseorang
di jalan dipengaruhi oleh adanya kecenderungan seseorang yang berani
mengambil resiko saat mengemudi, hal tersebut disebabkan karena
mungkin lingkungan di sekitar sangat mempengaruhi, misalnya pengaruh
dari teman (Midyarini,2006), pengaruh dari keadaan lalu lintas yang sepi
dan jauh dari rambu-rambu lalu lintas. Di satu sisi kesadaran seseorang
merupakan penentu utama untuk mencapai keberhasilan dalam
membangun budaya keselamatan jalan (Sutawi,2006).
Sementara itu perilaku pengambilan resiko menurut Levenson
(dalam Rachmana,2002) adalah sebagai aktivitas yang memungkinkan
membawa sesuatu yang baru atau cukup berbahaya yang menimbulkan
kecemasan pada hampir sebagian besar manusia. Larasati (dalam
Nopriyanti,2006) mengatakan bahwa keputusan individu untuk
mengambil tindakan yang berisiko ini didasari oleh adanya kemauan dan
keberanian. Individu yang berani mengambil resiko, dalam kondisi gagal
akan selalu menerima konsekuensi atau akibat pilihan pekerjaannya, tanpa
berusaha mencari kambing hitam.
Menurut Zuckermen(dalam Nopriyanti,2006) perilaku pengambilan
resiko merupakan bagian dari pencarian sensasi seseorang, sehingga
resiko diartikan sebagai suatu penilaian terhadap kemungkinan dari
perilaku negatif yang akan muncul. Pencarian sensasi diartikan sebagai
sesuatu ciri sifat (trait) yang menggambarkan kecenderungan orang secara
konsisten untuk mencari berbagai macam sensasi dan pengalaman baru
yang luar biasa (atau mungkin agak aneh) dan kompleks, serta bersedia
mengambil resiko fisik, sosial, hukum, dan financial demi pengalaman
tersebut. Misalnya seseorang pengemudi yang melakukan aksi menerobos
lampu merah hanya untuk mencari sensasi semata walaupun pengemudi
tersebut mengetaahui apa yang telah dilakukan melanggar hukum.
Perilaku risk taking yang dilakukan oleh pengemudi sangat
berkaitan dengan adanya kematangan emosi pada pengemudi. Artinya,
Apabila seseorang telah matang secara emosi maka akan dapat mengontrol
emosinya dan dapat mengelolanya dengan baik, sehingga kecenderungan
untuk melakukan aggressive driving seseorang akan rendah.
Hurlock (dalam Utari,2016) berpendapat bahwa individu yang
matang emosinya memiliki kontrol diri yang baik, mampu
mengekspresikan emosinya dengan tepat atau sesuai dengan keadaan yang
dihadapinya, sehingga lebih mampu beradaptasi karena dapat menerima
beragam orang dan situasi dan memberikan reaksi yang tepat sesuai
dengan tuntutan yang dihadapi.
Kematangan emosi adalah kemampuan menerima hal-hal negatif
dari lingkungan tanpa membalasnya dengan sikap yang negatif, melainkan
dengan kebijakan (Martin, 2003). Adapun menurut Chaplin (dalam Utari,
2006) kematangan emosi adalah suatu keadaan atau kondisi mencapai
tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional, dan oleh karena itu
pribadi yang bersangkutan tidak lagi menampilkan pola emosional yang
pantas bagi anak-anak.
Berdasarkan fenomena tersebut, membuat peneliti tertarik untuk
meneliti apakah ada hubungan antara risk taking behavior dan kematangan
emosi dengan aggressive driving pada pengemudi bus.
2. Rumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan antara Risk taking Behavior dan Kematangan
emosi dengan Aggressive Driving pada pengemudi bus.
C. Keaslian Penelitian
LANDASAN TEORI
A. Aggressive Driving
1. Pengertian aggressive driving
Semakin meningkatnya jumlah kecelakaan akhir-akhir ini memang
tidak bisa dipungkiri oleh semua orang, kebanyakan orang berpendapat
bahwa kecelakaan yang sering terjadi disebabkan oleh perilaku pengemudi
yang terlihat ugal-ugalan di jalan. Perilaku tersebut telah memberikan
suatu gambaran mengenai pengemudi yang aggresive. Agresivitas dalam
mengemudi disebut juga aggresive driving (dalam applied social
psichology). Maksudnya adalah mengemudi yang dipengaruhi oleh
tingkatan emosi dan kadar kesadaran seseorang akan peraturan serta
keselamatan baik dirinya maupun orang lain.
Shuster (dalam Nopiyanti, 2000) menyatakan bahwa secara umum
aggressive driving dilihat sebagai salah satu bentuk perilaku yang berisiko
dibelakang kemudi, termasuk di dalamnya adalah kebut -kebutan, tidak
bisa menjaga jarak dengan kendaraan di depannya, menyelip keluar masuk
lalu lintas dan juga mengabaikan rambu lalu lintas. Sementara, dalam
sebuah penelitian James & Nahl (dalam Nopiyanti,2000) mendefinisikan
aggressive driving sebagai mengemudi di bawah pengaruh ketidakstabilan
emosi yang berdampak risiko bagi orang lain. Dikatakan agresif karena
diasumsikan bahwa orang lain berkesempatan untuk terkena risiko yang
sama.
Definisi lain tentang aggressive driving menurut Mizell (dalam D.E.
Miles, 2002) adalah suatu insiden dimana seorang pengendara merasa
marah, tidak sabar, melukai (membunuh) penumpang atau pengendara lain
dan pejalan kaki saat berada dijalan, sedangkan menurut asosiasi hukum
pidana di New York, Amerika Serikat (dalam D.E. Miles, 2002)
menjelaskan bahwa suatu bentuk pengoperasian kendaraan bermotor yang
tidak aman dengan cara bermusuhan, tanpa memperhatikan keamanan
pengguna jalan lainnya. Hal tersebut sejalan dengan pendapat dari
National Highway Traffic and Safety Administration (NHTSA) (dalam
Adam, 2014) yaitu suatu bentuk penggunaan kendaraan roda dua atau roda
empat oleh pengemudi yang dilakukan dengan cara membahayakan atau
cenderung membahayakan orang lain dan property jalanan.
Bentuk-bentuk dari perilaku aggressive driving diketahui langsung
dari pengemudi yang sering melakukan tindakan membuntuti (tailgaiting),
mengklakson (honking),melakukan gerakan kasar (rude gesturing), dan
mengedipkan lampu jauh di suasana lalu lintas yang tenang (flashing
light) (Houston,Harris,dan Norman, dalam Adam,2014). Sementara itu
James (dalam Daning,2018) berpendapat bahwa aggressive driving
merupakan mengemudi di bawah pengaruh ketidak stabilan emosi yang
berdampak resiko bagi orang lain. Pendapat tersebut didukung oleh
penjelasan Harris, Houston, Vazquez, Smither, Harms, Dahlke dan
Sachau, (dalam Daning, 2018) yang menjelaskan bahwa aggressive
driving adalah bentuk perilaku mengemudi yang tidak aman yang bisa
diukur tanpa mengacu pada kondisi emosi dan motivasi, karena banyak
penyebab lainnya antara lain stres, pola berfikir pengemudi dan coping
terhadap kondisi lingkungan.
Dari beberapa teori diatas, semuanya menjelaskan bahwa aggressive
driving merupakan bentuk perilaku fisik maupun verbal yang disengaja
oleh pengemudi dengan tujuan untuk menyakiti orang lain, tapi jika
perbuatan dilakukan karena desakan atau situasi, tidak ada pilihan lain
atau tidak disengaja maka perilaku tersebut tidak dapat disebut sebagai
aggressive driving.
2. Aspek dan Indikator aggressive driving
Aspek aggressive driving menurut Harris, Houston, Vazquez,
Smither, Harms, Dahlke dan Sachau, (dalam Daning,2018) membagi
perilaku aggressive driving menjadi dua aspek, yaitu ; 1) Perilaku konflik
(conflict behavior), conflict behaviour melibatkan interaksi sosial
langsung dengan pengemudi langsung dan ditandai oleh tindakan yang
inkompatibel yang memperoleh respon konflik. Indikator dari conflict
behavior adalah membunyikan klakson (honking), memberikan isyarat
lampu (rude gesturing), menyalakan lampu jauh (flashing high beams). 2)
Mengebut (speeding), perilaku mengebut (speeding) termasuk ke dalam
perilaku beresiko (risk-taking behaviour). Perilaku speeding tersebut
merupakan perilaku yang memperhitungkan resiko, pembuatan keputusan
secara impulsif atau hanyalah kecerobohan dari pengemudi. Indikator dari
speeding adalah mengebut melewati batas kecepatan, membuntuti
kendaraan lain, mempercepat kendaraan saat lampu kuning menyala.
Sementara Bush dan Denny (dalam Dianarfianty,2016) menyebutkan
empat aspek agresi pada pengemudi, diantaranya agresi fisik, agresi
verbal, kemarahan, dan permusuhan. Agresi fisik dan agresi verbal
mewakili komponen motorik dalam agresivitas, sedangkan kemarahan dan
permusuhan mewakili komponen afektif dan kognitifi dalam agresivitas.
Agresi fisik (Physical Agression) ialah bentuk perilaku agresif
pengemudi yang dilakukan dengan menyerang secara fisik dengan tujuan
untuk melukai atau membahayakan seseorang. Perilaku agresif ini ditandai
dengan terjadinya kontak fisik antara agresor dan korbannya, contohnya
adalah memukul, menendang, mendorong dan melukai pengemudi atau
penumpang lain. Agresi verbal (Verbal Agression) ialah agresivitas
dengan kata-kata. Agresi verbal dapat berupa umpatan, sindiran, fitnah,
dan sarkasme . Kemarahan (anger) ialah suatu bentuk indirect agression
atau agresi tidak langsung berupa perasaan benci kepada orang lain
maupun sesuatu hal atau karena seseorang tidak dapat mencapai
tujuannya. Permusuhan (Hostility), merupakan komponen kognitif dalam
agresivitas yang terdiri atas perasaan ingin menyakiti dan ketidakadilan,
contohnya mengambil barang pengemudi lain.
Johnson, Stardiling, dan Meandows (dalam Pardiningsih, 2008),
menambahkan beberapa aspek yang terkandung dalam aggressive driving
antara lain: lapse, error dan violation.
Dijelaskan bahwa Lapse memiliki arti sebagai suatu kesalahan yang
tidak tampak saat sedang berperilaku, terkait dengan hilangnya
konsentrasi saat akan menetapkan jalur yang akan ditempuh untuk
mencapai suatu tujuan (tempat) ketika sedang mengemudi. Lapse biasanya
terjadi sebelum terjadinya error. Selain itu lapse seringkali merupakan
sumber dari ketidaknyamanan para pengemudi, tetapi bukan salah satu
yang membahayakan jiwa. Beberapa sumber menyatakan bahwa sebagian
besar yang melakukan lapse adalah pengemudi wanita. Secara spesifik
umur juga mempengaruhi hal ini. Sebagai contoh ketika seseorang lupa
atau tidak mengetahui secara pasti dimana letak lapangan atau tempat
parkir dan tidak ingat rute jalan yang dituju ketika berkendara.
Error adalah perilaku menyimpang ataupun kesalahan yang
dilakukan tanpa sengaja. Error merupakan salah satu contoh kesalahan
pengemudi pada pelaksanaannya walaupun sebelumnya telah
direncanakan oleh pengemudi tersebut. Contohnya, ketika seseorang salah
memberi tanda ketika akan berbelok dan menyalip kendaraan lain dari
sebelah kiri. Violation adalah dengan sengaja melakukan kesalahan
dengan maksud melanggar hukum. Violation merupakan salah satu bentuk
perilaku yang secara tipikal mengarah pada aggressive driving. Dalam hal
ini violation lebih didefinisikan sebagai bentuk penyimpangan yang
disengaja. Violation merupakan penyimpangan norma-norma dan perilaku
mengemudi di jalan. Sebagai contoh seorang pengemudi yang memacu
kendaraannya dengan kecepatan yang tinggi dan melanggar rambu-rambu
lalu lintas karena berkendara dalam keadaan mabuk (dalam pengaruh
alkohol). Contoh lainnya yaitu ketika seorang pengemudi memotong atau
berpindah jalur dengan tiba-tiba ketika terjebak macet.
Berdasarkan uraian tentang beberapa aspek aggresive driving diatas
penelitian ini menggunakan teori Harris, Houston, Vazquez, Smither,
Harms, Dahlke dan Sachau, (dalam Daning,2018). Penelitian ini
menggunakan dua aspek yaitu 1) perilaku konflik (conflict behavior).
Indikator yang digunakan adalah membunyikan klakson (honking),
memberikan isyarat lampu (rude gesturing), menyalakan lampu jauh
(flashing high beams).per 2) Mengebut (speeding), perilaku mengebut
(speeding) termasuk ke dalam perilaku beresiko (risk-taking behaviour).
2) Mengebut (speeding),Indikator dari speeding adalah mengebut
melewati batas kecepatan, membuntuti kendaraan lain, mempercepat
kendaraan saat lampu kuning menyala.
3. Faktor yang mempengaruhi aggressive driving
Aggressive driving dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.
Faktor internal meliputi Faktor kepribadian individu berhubungan dengan
cara pemikiran,emosi, dan sifat fisiologis, otak individu tidak dapat lagi
memproduksi sejumlah endorgin yang memberikan perasaan nyaman.
Faktor eksternal meliputikeluarga,lingkungan teman sebaya (Tasca,2000).
Menurut Tasca (dalam Akhmad,2016) faktor penyebab aggressive driving
adalah sebagai berikut :
a. Usia dan jenis kelamin
Hasil penelitian Parry (1968) menunjukan bahwa kebanyakan
aggressive driving melibatkan pengemudi laki-laki usia muda
antara 17-35 tahun lebih tinggi dari pengemudi perempuan pada
rentang usia yang sama ( dalam Tasca 2000). Pengemudi laki-laki
cenderung meremehkan resiko yang terikat dengan pelanggaran
lalu lintas.sedangkan pengemudi perempuan cenderung
memandang peraturan lalu lintas sebagai kewajiban untuk
mematuhinya.
b. Anonimitas
Anonimitas biasanya mengacu pada seseorang yang sering
berarti bahwa identitas pribadi.informasi identitas pribadi orang
tersebut tidak diketahui.jalan raya, terutama pada malam hari
memberikan anonimitas dan kesempatan untuk melarikan diri,
keadaan tersebut memberikan kesempatan untuk melarikan diri
dan diketahuinya seseorang sebagai pengemudi yang melakukan
aggressive driving (Novaco,1988,Dalam Tasca 2000). Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa anonimitas merupakan suatu
kondisi mengemudi yang memungkinkan seorang pengemudi tidak
diketahui identitasnya.
c. Faktor Sosial
Aggressive driving merupakan pengaruh dari norma,hukuman,
dan model yang ada di masyarakat (Grey 1989, dalam Tasca,
2000) Banyaknya kasus aggressive driving yang tidak
mendapatkan hukuman dapat membentuk bahwa persepsi seperti
ini normal dan dapat diterimanya (Novaco 1989, dalam Tasca,
2000). Kondisi seperti inilah yang menyebabkan para pengemudi
merasa bawa perilaku aggressive driving yang dilakukannya tidak
atau kurang dikontrol, sehingga para pengemudi tetap melakukan
aggressive driving.
d. Kepribadian
Individu memiliki ciri khas dalam berperilaku, antara individu
satu dengan individu lain berbeda-beda dan memiliki sifat yang
membentuk kepribadian mereka. Tasca (2000), Grey, dkk (1989)
melaporkan bahwa faktor pribadi yang telah diidentifikasi sebagai
berhubungan dengan kecelakaan kendaraan umumnya termasuk
agresif tingkat tinggi, permusuhan, daya saing, kurangkepedulian
terhadap orang lain,sikap mengemudi yang tidak baik, mengemudi
untuk melepaskan emosional, impulsive dan mengambil resiko
(Tasca, dalam Akhmad,2016).
e. Gaya Hidup
Gaya hidup merupakan salah satu faktor penyebab perilaku
Aggressive driving Beirness (1996) dalam Tasca, (2000).
Melakukan review terhadap berbagai penelitian yang berhubungan
dengan gaya hidup performa mengemudi dan resiko tabrakan yang
difokuskan pada pengemudi usia muda. Mereka memiliki gaya
hidup seperti minum-minuman keras, menggunakan obat-obat
terlarang, merokok dan kelelahan, karena bersosialisasi sampai
larut malam. Dimana gaya hidup tersebut menyerap pada semua
aspek kehidupan mereka
f. Tingkah laku pengemudi
Tasca (dalam Akhmad, 2016) menyatakan tingkah laku
pengemudi dapat menjadi salah satu faktor penyebab aggressive
driving. Dalam sebuah penelitian ditemukan bahwa orang yang
merasa dirinya memiliki ketrampilan yang tinggi dalam menangani
kendaraan lebih memungkinkan untuk mengalami kemarahan
dalam situasi lalu-lintas yang menghambat laju kendaraannya.
Sebaliknya pengemudi yang menilai diri mereka sendiri
memiliki ketrampilan yang tinggi dalam hal keselamatan
kemungkinan akan kurang terganggu oleh situasi lalu-lintas yang
menghambat laju kendaraannya kurang. Hal ini berarti bahwa
orang yang memiliki ketrampilan yang tinggi dalam menanggan
kendaraan lebih memungkinkan untuk mengalami aggressive
driving.
g. Faktor Lingkungan
Pengemudi yang terbiasa dengan kemacetan yang tidak
diperkirakan dapat menimbulkan emosi marah pada pengemudi
yang kemudian dapat meningkatkan kecenderungan pengemudi
untuk melakukan aggressive driving (Lajunen, dalam
Akhmad,2016). Faktor lingkungan yang juga mempengaruhi
timbulnya perlaku aggressive driving adalah faktor kepadatan.
Kepadatan seringkali memiliki dampak pada manusia salah
satunya yakni perilaku agresif. Berdasarkan penjelasan diatas
dapat disimpulkan faktor yang mempengaruhi aggressive driving
ada dua, yakni faktor internal dan eksternal, dimana faktor internal
meliputi kepribadian, emosi dan fisiologi. Faktor eksternal
meliputi lingkungan, social, teman sebaya. Faktor-faktor tersebut
menjadi pemicu terjadinya aggressive driving.
C. Kematangan emosi
1. Pengertian Kematangan Emosi
Individu yang berperilaku agresi secara konsisten menunjukkan
kekurangan dalam kemampuan interpersonal terhadap perencanaan dan
manajemen agresi. Menurut Mundy (dalam Aryani, 2006), bahwa
kemunculan perilaku agresi bisa disebabkan karena berhadapan dengan
situasi-situasi atau keadaan yang tidak menyenangkan dalam
lingkungannya. Individu yang melakukan perilaku agresi dipengaruhi oleh
beberapa faktor salah satunya adalah kematangan emosi. Individu yang
belum stabil dan kurang matang emosinya dapat lebih mudah muncul
perilaku agresinya daripada yang telah matang emosinya (Rahayu, 2008).
Emosi marah yang bersifat negatif dan meledak-ledak disertai dengan
faktor eksternal seperti frustrasi dan provokasi, menyebabkan terjadinya
proses penyaluran energi negatif berupa dorongan agresi yang akan
mempengaruhi perilaku individu. Individu dengan tingkat kematangan
emosional tinggi mampu meredam dorongan agresi dan mengendalikan
emosinya, pandai membaca perasaan orang lain, serta dapat memelihara
hubungan baik dengan lingkungannya, sehingga apabila individu memiliki
kematangan emosi yang baik, maka individu tersebut mampu
mengendalikan perilaku agresinya (Rahayu, 2008).
Individu yang telah mencapai kematangan emosi dapat
diidentifikasikan sebagai individu yang dapat menilai situasi secara kritis
terlebih dahulu sebelum bertindak, tidak lagi bereaksi tanpa berpikir
sebelumnya seperti anak-anak atau orang yang tidak matang emosinya
(Hurlock, 1994).
Kemampuan individu untuk merespon stimulus yang berpengaruh
terhadap lingkungannya dapat ditunjukkan dengan pribadi yang sehat,
terarah dan jelas sesuai dengan stimulus serta tanggung jawab atas segala
keputusan dan perbuatannya terhadap lingkungan. Jika hal tersebut
terpenuhi, maka individu tersebut dikatakan matang emosinya (Cole dalam
Khotimah, 2006).
Menurut Hurlock (1980) kematangan emosi adalah apabila individu
menilai situasi secara kritis terlebih dulu sebelum bereaksi secara
emosional, tidak lagi bereaksi tanpa berfikir sebelumnya seperti anak-anak
atau orang yang belum matang. Kematangan emosi adalah kemampuan
menerima hal-hal negatif dari lingkungan tanpa membalasnya dengan sikap
yang negatif, melainkan dengan kebijakan (Martin, 2003). Adapun menurut
Chaplin (dalam Khotimah, 2006) kematangan emosi adalah suatu keadaan
atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional,
dan oleh karena itu pribadi yang bersangkutan tidak lagi menampilkan pola
emosional yang pantas bagi anak-anak.
2. Aspek dan Indikator Kematangan Emosi
Menurut Bimo Walgito (dalam Riski,2016) ada beberapa ciri – ciri
individu yang matang secara emosi antara lain : a) Dapat menerima baik
keadaan dirinya maupun keadaan orang lain sesuai dengan keadaan
objektifnya; b)Tidak bersifat impulsif, dapat mengatur pikirannya untuk
memberikan tanggapan terhadap stimulus yang mengenainya; c) Dapat
mengontrol emosi dengan baik sehingga dapat mengontrol ekspresi
emosinya walaupun dalam keadaan marah; d) Bersifat sabar, penuh
pengertian dan mempunyai toleransi yang baik; e) Mempunyai tanggung
jawab yang baik, dapat berdiri sendiri, tidak mudah mengalami frustasi dan
menghadapi masalah dengan penuh pengertian.
Sementara Wiramihardja (dalam Riski,2016) mengungkapkan ada 3
ciri yang paling penting dalam mengidentifikasi kematangan emosi yaitu :
a) Disiplin Diri, orang yang memiliki kematangan emosi adalah orang yang
mampu mendisiplinkan diri dan mampu mengendalikan diri karena
biasanya mereka mendahulukan apa yang seharusnya lebih dulu dilakukan
dan menomor-duakan apa yang dapat ditunda. (Wiramihardja, dalam Riski
2018) ; b) Determinasi, determinasi terdapat pada orang-orang matang
yang mampu membuat keputusan sendiri dan menemukan cara sendiri
dalam menyelesaikan masalah. Bagi orang yang matang emosinya masalah
merupakan tantangan dan bukan merupakan ancaman; c) Kemandirian,
individu yang memiliki kematangan emosi pada dasarnya memiliki
keinginan untuk melakukan sendiri apa yang diinginkannya. Apa yang
dilakukannya adalah berdasarkan kemampuan diri, dapat mengontrol
ekpresi emosi.
Hurlock(dalam Riski,2016) juga menambahkan beberapa karakteristik
kematangan emosi, yaitu : a) Kontrol emosi, individu dikatakan sudah
mencapai kematangan emosi bila pada akhir masa remaja tidak
“meledakkan” emosinya di hadapan orang lain melainkan menunggu saat
dan tempat yang tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara
yang lebih dapat diterima; b) Penggunaan fungsi kritis mental petunjuk
kematangan emosi salah satunya bahwa individu mampu menilai situasi
secara kritis telebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional dan tidak
lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya seperti seperti anak – anak atau
orang yang tidak matang. Ketika ada rangsangan atau stimulus yang
menyebabkan emosi maka individu yang matang emosinya dapat berpikir
dahulu sebelum memberikan tanggapan; c) Pemahaman diri, individu yang
emosinya matang memberikan reaksi emosinal yang stabil, tidak berubah-
ubah dari satu emosi ke suasana hati yang lain seperti dalam periode
seblumnya. Individu dikatakan memahami diri apabila mampu mengenali
emosi yang ada pada dirinya.
Berdasarkan pendapat yang telah dijelaskan sebelumnya maka peneliti
menggunakan aspek dan indikator kematangan emosi menurut Hurlock
yaitu kontrol emosi, penggunaan fungsi kritis mental, dan pemahaman diri.
Selanjutnya karakteristik menurut Hurlock ini akan dijadikan acuan oleh
peneliti untuk membuat aspek kematangan emosi karena teori tersebut
dianggap peneliti relevan dengan penelitian yang akan dilakukan.
3. Faktor yang Mempengaruhi Kematangan Emosi
Young (dalam Rizki, 2016) mengungkapkan beberapa faktor yang dapat
memepengaruhi kematangan emosi seseorang, diantaranya adalah sebagai
berikut :
a. Faktor Lingkungan
Lingkungan tempat individu tinggal termasuk didalamnya adalah
lingkungan keluarga dan lingkungan sosial masyarakat.
b. Faktor Individu
Faktor individu meliputi faktor kepribadian yang dipunyai individu.
Adanya persepsi pada setiap individu dalam mengartikan suatu hal
juga dapat menimbulkan gejolak emosi pada dirinya.
c. Faktor Pengalaman
Pengalaman yang diperoleh individu selama hidupnya akan
mempengaruhi kematangan emosi yang dimiliki.
D. Karangka Berpikir
Aggressive adalah segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk melukai
atau menyakiti makhluk hidup lain yang terdorong untuk menghindari
perlakuan itu (Baron dan Richardson, dalam Anderson & Bushman, 2002).
Sementara Tasca (2000) menyatakan bahwa aggressive driving dipengaruhi
oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi faktor kepribadian
individu berhubungan dengan cara pemikiran, emosi, dan sifat faktor
fisiologis, otak individu tidak dapat lagi memproduksi sejumlah endorpin
yang memberikan perasaan nyaman. Faktor eksternal meliputi faktor
keluarga, lingkungan teman sebaya.
Dari pembahasan terkait antara kematangan emosi dan aggressive driving
yang relevan untuk menjelaskan kondisi emosi pengendara dan kaitannya
dengan perilaku pengendara yang aggresif. Hurlock (1996) mengungkapkan
bahwa individu dikatakan matang emosinya jika tidak meledakkan emosinya
dihadapan orang lain, melainkan menunggu saat yang tepat untuk
mengungkapkan emosinya. Individu yang memiliki kematangan emosi
memiliki cara–cara yang lebih dapat diterima oleh orang lain dan dapat
menilai situasi secara kritis terlebih daulu sebelum bereaksi secara emosional,
serta tidak lagi bereaksi tanpa berfikir sebelumnya seperti anak-anak atau
orang yang kurang matang emosionalnya.
Adanya perilaku aggresive driving saat berlalulintas tentu sangat dipengaruhi
oleh faktor kematangan emosi. Artinya, pengemudi yang tingkat kematangan
emosionalnya rendah cenderung akan melakukan tindakan yang
membahayakan individu lain yang sifatnya menyakiti dan merusak bahkan
melanggar tata tertib berlalulintas. Peneliti sering menjumpai pengemudi yang
melampiaskan rasa emosionalnya di jalanan dengan berkendara secara ugal-
ugalan atau saling salip antar pengemudi lain saat di jalan raya, serta banyak
kasus kecelakaan yang disebabkan pengguna jalan yang tidak sabar dalam
menghadapi situasi jalanan yang penuh sesak.
Dalam konteks berkendara peneliti menduga, orang yang memiliki
kematangan emosi yang tinggi akan lebih tenang dan berfikir jauh sebelum
mengambil tindakan, sehingga dia akan mampu untuk berkendara lebih
tenang dan tidak melakukan aggressive driving. Sebaliknya jika seseorang
memiliki kematangan emosi yang rendah akan meledakkan kemarahan akibat
kondisi lalu lintas ataupun situasi lain dengan berkendara secara agresif
karena kurang memikirkan resiko yang dapat menimpanya maupun menimpa
pengguna jalan lain.
E. Hipotesis
Hipotesis adalah suatu dugaan yang bersifat sementara terhadap
permasalahan penelitian sampai terbukti pada data yang terkumpul
(Arikunto,2006 ), maka dalam penelitian ini diajukan empat hipotesis yaitu:
1) Ada hubungan negatif yang signifikan antara kematangan emosi dan
risk takig behavior dengan aggressive driving pada pengemudi bus.
2) Ada hubungan negatif yang signifikan antara kematangan emosi
dengan aggressive driving pada pengemudi bus.
3) Ada hubungan negatif yang signifikan antara risk taking behavior
dengan aggressive driving pada pengemudi bus.