Anda di halaman 1dari 27

HUBUNGAN ANTARA KONROL DIRI DENGAN PERILAKU AGRESIF

DALAM BERKENDARA PADA KOMUNITAS MOTOR RX KING


DI KECAMATAN SUMPIUH

Disusun Oleh:
IRFAN IBNU FATHONI
1407010126

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Lalu lintas mempunyai peran yang besar bagi kemajuan di Indonesia,

perannya untuk mewujudkan keamanan, kesejahteraan, dan ketertiban erlalu

lintas (UU RI No. 22 Th.2009). Departemen perhubungan RI mengumumkan

bahwa 8 dari 10 kecelakaan di Indonesia melibatkan sepeda motor sebagai

korban. Sekitar 85% kejadian kecelakaan disebabkan oleh faktor pengendara

atau pengemudi, itu berarti faktor pengendaralah yang menjadi faktor utama

atau faktor terbesar yang menyebabkan terjadi kecelakaan lalu lintas.

Penyebab berikutnya adalah faktor kendaraan (seperti: tipe, kondisi kendaran)

4%, jalan dan prasarana 3%, pemakai jalan lainnya 3%, faktor lingkungan

5%. Dari 85% tersebut, modus kesalahan yang dilakukan pengemudi yang

menjadi penyebab terjadinya kecelakaan adalah pengemudi tidak sabar dan

tidak mau mengalah (26%), menyalip atau mendahului (17%), berkecepatan

tinggi (11%), sedangkan penyebab lainnya seperti pelanggaran rambu,

kondisi pengemudi, dan lain-lain berkisar (0.5-8%) (Badan Pusat Statistik,

2010). Faktor-faktor yang telah disebutkan di atas seperti pengemudi tidak

sabar dan tidak mau mengalah, menyalip atau mendahului, berkecepatan

tinggi, dan melanggar lalu lintas, merupakan perilaku agresif dalam

berkendara (agressive driving). Perilaku-perilaku para pengemudi motor

tersebut termasuk ke dalam perilaku mengemudi agresif atau disebut juga


dengan agressive driving. Suatu perilaku mengemudi dikatakan agresif jika

dilakukan secara sengaja, cenderung meningkatkan risiko tabrakan dan

dimotivasi oleh ketidaksabaran, kekesalan, permusuhan, dan atau upaya untuk

menghemat waktu (Tasca, 2000).

Perilaku agresifitas dalam berkendara seringkali muncul keika

pengendara tak mengntrol emosinya, baik dari luar maupun dari dalam

individu. Pada hal ini pada tingkat observasi menunjukan bahwa seberapa

besar tingkat kemacetan mempengaruhi emosi individu saat berkendara.

Menurut Ayuningtyas dalam Winurini (2012), terdapat beberapa penyebab

internal perilaku agresi berkendara adalah suasana hati, usia dan jenis

kelamin, kepribadian, gaya hidup, sikap pengendara, dan intensi (niat) dan

beberapa penyebab eksternalnya adalah kebisingan, temperatur atau suhu

lingkungan, overcrowding, dan territoriality (Winurini, 2012). Agresi

seringkali terjadi mengerucut pada emosi seseorang. Dalam hal ini, perilaku

kekerasan dan kemarahan pada pengemudi kendaraan bermotor yang

berlangsung singkat namun kuat, dan sebagian ditimbulkan oleh stimulus

fisiologis yang dihasilkan oleh stress yang terjadi saat mengemudikan

kendaraan (Wade, Carole.,Tavris, Carol.2007). Emosi seringkali menjelaskan

bahwasannya pengemudi lebih mengalami rasa marah atau emosi yang

berlebihan ketika berkendara dibanding dengan penumpang, terutama apabila

terdapat dalam situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan atau ekstrem.

Misal pada jalan raya yang padat, lebih memungkinkan emosi seseorang

meluap secara negative atau marah. Sebaliknya pada jalanan yang santai,
pengemudi cenderung memiliki kestabilan emosi, namun emosi disini juga

dipengaruhi eksternal dan internal seperti mood dan cuaca.

Menurut Philippe, Vallerand, Catherine, dan Celine (2009) gairah

seseorang juga dapat mempengaruhi aggressive driving. Ada dua jenis gairah

yang diteliti olehnya, yaitu gairah obsesi dan gairah harmoni. Gairah obsesi

didapati lebih cenderung membuat orang melakukan aggressive

driving. Gairah obsesi adalah gairah dimana seseorang mempunyai dorongan

internal yang kuat untuk mengontrol atau mengatur untuk mencapai hal yang

diinginkannya, sehingga orang yang memiliki gairah yang obsesi akan sangan

mudah terpancing amarahnya ketika ada gangguan terhadap apa yang telah

diaturnya, karena orang yang memiliki gairah obsesi tidak mampu

mengontrol dorongan didalam dirinya yang sangat kuat. Orang yang memiliki

gairah harmoni lebih dapat mengontrol dorongan yang ada di dalam dirinya,

sehingga akan cenderung lebih tenang ketika dijalan. (Muhaz, 2013).

Pengertian kontrol diri yang dikemukakan oleh Averill (Kusumadewi,

2012) ialah kontrol diri merupakan variabel psikologis yang mencakup

kemampuan individu untuk memodifikasi perilaku, kemampuan individu

dalam mengelola informasi yang tidak penting atau penting dan kemampuan

individu untuk memilih suatu tindakan yang diyakininya. Burger (Arisandy,

2009) menyatakan ahwa konrol diri sebagai kemampuan yang di rasakan

dapat mengubah kejadian secara signifikan, di mana individu di anggap

mempunyai kemampuan dalam mengelola prilakunya, kemampuan tersebut

membuat individu mampu memodifikasi kejadian yang di hadapinya


sehinggaa berubah denan kemampuanya. Kontrol diri yang baik dari

pengendara merupakan salah satu kunci dalam disiplin berlalu lintas, karena

seorang pengendara motor yang memiliki kontrol diri yang baik akan

memikirkan perilakunya kearah yang positif. Bila pengendara sepeda motor

memiliki kotrol diri yang baik ketika mengendarai sepeda motor di jalan raya,

maka pengedara tersebut dapat menahan diri dari segala hal yang

mengakiatkan hal negatif.

Dari hasil studi pendahuluan yang di lakukan peneliti pada bulan

januari sampai dengan februari 2018, menunjukan adanya fenomena-

fenomena kurangnya kontol diri pada pengandara sepeda motor khususnya rx

king. Seperti sering terlihat perilaku pengendara yang kurang bisa menguasai

dirinya dicontohkan engan perilaku pengendara yang memaksakan diri untuk

mendahlui kendaran lain yang ada di depanya ketika berada di jalan yang

lurus tanpa memperhtungkan keselamatan dirinya dan orang lain, padahal

jalur tersebut adalah daerah ramai dengan lalu lalang kendraan dan juga

masyarakat, serta memacu motor nya dengan kecepatan tinggi di jalur yang

ramai.

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam usaha untuk membktikan

apakah control diri benar-benar berhubungan dengna prilaku agresifitas

dalam berkendara, peneliti tertark untuk melakukan suatu penelitian lebih

lanjut yang akan mengji huungan Antara kontol diri dengan perilaku agresif

dalam berkendara pada komunita motor rx king di Kecamatan Sumpiuh,

Kabupaten Banyumas.
B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti

merumuskan permasalahan yang akan di teliti yaitu ‘’ Apakah ada hubungan

antar control diri dengan perilaku agresif dalam berkendara pada komunitas

motor rx king di Kecamatan Sumpiuh, Kabupaten Banyumas’’

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah yang akan di teliti, penelitian ini

bertujuan mengngkap dan mengetahui lebih lanjut tentang hubungan antar

control diri dengan perilaku agresif dalam berkendara pada komunitas motor

rx king di Kecamatan Sumpiuh, Kabupaten Banyumas.

D. Manfaat Penelitian

Apabila hipotesis yang di ajukan dalam penelitian ini dapat terbukti,

maka hasil penelitian ini di harapkan akan memberikan beberapa manfaat,

yaitu:

1. Secara teoritis

Hasil penelitian ini dapat di jadikn seagai bahan tambahan

informasi untuk memperluas wawasan keilmuan, khususnya ilmu

pengetahuan di psikologi perkembangan dan psikologi sosial di

kehidupan nyata.

2. Secara Praktis

a. Dapat memerkan masukan kepada pembina club motor khuusnya di

Kecamatan Sumpiuh melalu ketua atau anggota club agar dapat


menekankan disiplin pribadi yang di miliki individu ketika sedang

menggunakan sepeda motor di jalan raya sehingga dapat

menghindari beragai pelanggaran ketika berlalu lintas.

b. Kontrol diri isa dijadikan materi pendukung dalam sosialisasi dan

himbauan akan pentingnya menjaga kedisplnan dalam berlalu lintas.


BAB II

KAJIAN TEORI

A. Agresivitas Dalam Berkendara

1. Pengertian Agresivitas

Menurut Freud, Mc Dougall, dan Lorenz (dalam Ekawati,2001)

mengemukakan bahwa manusia mempunyai dorongan bawaan atau

naluri untuk berkelahi. Sebagaimana pengalaman fisiologis rasa lapar,

haus, atau bangkitnya dorongan seksual, maka dibuktikan bahwa

manusia mempunyai naluri bawaan untuk berperilaku agresi.

Definisi tentang agresivitas telah dikemukakan oleh banyak ahli,

sehingga sangat variatif. Baron dan Byrne (1984) mengemukakan, bahwa

agresivitas adalah dorongan dasar yang dimiliki oleh manusia dan hewan,

dengan tujuan menyakiti badan atau melukai perasaan orang lain. Lebih

lanjut Baron dan Byrne (1984) mengatakan bahwa perilaku agresif

adalah suatu bentuk perilaku yang ditujukan untuk melukai atau

mencelakakan orang lain.

Brigham (1991) mendefinisikan agresi sebagai perilaku yang

ditujukan untuk menyakiti orang lain baik secara fisik maupun psikis.

Pendapat senada diungkapkan oleh Berkowitz (1995) yang

mendefinisaikan agresi sebagai segala bentuk perilaku yang dimaksudkan

untuk menyakiti seseorang baik fisik maupun mental. Ahli lain Moore

dan Fibe, Aronson (Koeswara, 1988) juga mendefinisikan agresi sebagai


segala bentuk perilaku kekerasan baik itu secara fisik ataupun verbal

yang dilakukan seseorang dengan maksud untuk melukai atau

mencelakakan orang lain baik dengan ataupun tanpa tujuan.

Medinnus dan Johnson (1976) mengemukakan bahwa agresi

adalah perilaku yang bersifat menyerang, dapat berupa serangan fisik,

serangan terhadap objek, serangan verbal, dan melakukan pelanggaran

terhadap hak milik atau menyerang daerah orang lain. Lebih lanjut

Medinus dan Johnson (1997) mengemukakan bahwa agresi adalah

serangakaian tindakan atau tingkah laku yang bermaksud merugikan atau

melukai.

Agresivitas dapat terjadi kapan dan dimana saja, tidak

memandang waktu dan tidak peduli siapa yang akan jadi korban. Hal ini

senada dengan apa yang telah diungkapkan oleh Dollard ( Harvey dan

Smith, 1977), bahwa tindakan agresi ditujukan kepada orang lain yang

menjadi sasaran dari tingkah laku tersebut.

(Concise Oxford English Dictionary, 2002) menjelaskan Agresi

adalah kata benda yang secara umum didefinisikan sebagai tindakan

perilaku agresif Sepanjang tulisan ini, istilah "agresi" dan "perilaku

agresif" digunakan secara bergantian. Bentuk perilaku agresif dapat

dicirikan oleh serangan verbal atau fisik. Agresi mungkin tepat

(misalnya, melindungi diri sendiri) atau, alternatifnya, mungkin merusak

diri sendiri dan orang lain (Ferris & Grisso, 1996).


Ketika agresi pada orang dewasa bukanlah respon terhadap

ancaman yang jelas, kadang-kadang dianggap sebagai tanda gangguan

mental (Brennan, Mednick, & Hodgins, 2000; Hodgins & Grunau, 1988;

Shelton, 2001). Bahkan, ada komorbiditas antara agresi dan penyakit

mental, dengan banyak gangguan mental seperti skizofrenia dan

alkoholisme juga memanifestasikan perilaku agresif (Citrome &

Volavka, 2001; Pihl & Peterson, 1993). Agresi dapat diarahkan ke luar

terhadap orang lain, menyebabkan kerusakan, seperti dalam kasus

gangguan kepribadian eksplosif. Atau, mungkin diarahkan ke depan

terhadap diri sendiri, yang mengarah ke tindakan merusak diri seperti

bunuh diri (Raine, 1993, Stoff, Breiling, & Maser, 1997).

Secara historis, beberapa peneliti perilaku manusia dan hewan,

seperti Sigmund Freud dan Konrad Lorenz, berpendapat bahwa perilaku

agresif adalah bawaan tetapi, alternatifnya, yang lain telah mengusulkan

bahwa itu adalah perilaku yang dipelajari (Conger, Neppl, Kim, &

Scaramella, 2003; Huesmann, Moise-Titus, Podolski, & Eron, 2003).

Dalam semua kemungkinan, ada kontribusi genetik dan lingkungan

terhadap perilaku agresif (Ghodsian-Carpey & Baker, 1987; Raine,

1993), dan beberapa anteseden biologis dan lingkungan dari agresi yang

ditinjau di bawah ini. Saat ini, penelitian tentang penyebab agresi

difokuskan pada pembelajaran sosial, pemodelan, kekerasan keluarga,

pelecehan anak, penelantaran, kekerasan TV, kelainan otak struktural dan

fungsional, hormon (misalnya, testosteron), dan neurotransmitter


(misalnya, serotonin) (Raine, 2002; Stoff & Cairns, 1996). Konsep agresi

digunakan dalam banyak konteks yang berbeda. Yang penting, itu telah

diterapkan pada perilaku hewan serta perilaku manusia. Ini digunakan

untuk menggambarkan kepribadian dan sikap, serta ciri perilaku pada

anak-anak dan orang dewasa. Ketika agresi digunakan di bidang medis,

sering dikaitkan dengan gangguan mental, seperti epilepsi (Tebartz van

Elst, 2002). Ini juga digunakan dalam konteks militer untuk

mengkarakterisasi tindakan suatu bangsa (bukan individu) terhadap yang

lain (Nordstrom, 1998; Satterfield & Seligman, 1994).

Dari beberapa uraian di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa

agresivitas adalah suatu perilaku yang dimaksudkan untuk melukai atau

menyakiti yang mengandung unsur kekerasan, serangan atau gangguan

baik secara fisik ataupun verbal, dan merusak atau mengambil hak milik

orang lain dengan atau tanpa tujuan dan korban tidak menghendaki

perilaku tersebut.

Dari uraian di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa

pengertian agresivitas adalah perilaku yang bersifat menyerang, dapat

berupa serangan fisik, serangan terhadap objek, serangan verbal, dan

melakukan pelanggaran terhadap hak milik atau menyerang daerah orang

lain yang bermaksud merugikan atau melukai.

2. Bentuk-Bentuk Agresivitas

Byrne membedakan bentuk agresivitas menjadi dua yaitu

agrsivitas fisik yang dilakukan dengan cara melikai atau menyakiti badan
dan agresivitas verbal yaitu agresi yang dilakukan dengan mengucapkan

katakata kotor atau kasar. Buss mengklasifikasikan agesivitas yaitu

agresivitas secara fisik dan verbal, secara aktif maupun pasif, secara

langsung maupun tidak langsung. Tiga kalsifikasi tersebutmasing-masing

saling berinteraksi, sehingga menghasilkan bentuk-bentuk agresivitas.

Pendapat ini dikemukakan oleh Buss ada 8 agresivitas yaitu;

a. Agresivitas fisik aktif yang dilakukan secara langsung misalnya

menusuk, memukul, mencubit.

b. Agresivitas fisik aktif yang dilakukan secara tidak langsung

misalnya menjebak untuk mencelakakn orang lain.

c. Agresivitas fisik pasif yang dilakukan secara langsung misalnya

memberikan jalan untuk orang lain.

d. Agresivitas fisik pasif yang dilakukan secara tidak langsung

misalnya menolak melakukan sesuatu.

e. Agresivitas verbal aktif secara langsung misalnya mencaci maki

orang lain menusuk, memukul.

f. Agresivitas verbal aktif yang dilakukan secara tidak langsung

misalnya menyebarkan gosip yang tidak benar kepada orang lain.

g. Agresivitas verbal pasif yang dilakukan secara langsung misalnya

tidak mau berbicara pada orang lain.

h. Agresivitas verbal pasif fisik aktif yang dilakukan secar tidak

langsung misalnya diam saja meskipun tidak setuju.


Berdasarkan uraian diatas dapat diperoleh kesimpulan bahwa

bentuk-bentuk agresifitas adalah agresif verbal atau fisik terrhadap objek

yang dilakukan secara langsung atau tidak langsung dengan intensitas

secara aktif atau pasif.

3. Aspek-Aspek Agresivitas

Menurut Wills (2010:123) mengatakan bahwa persepsi terhadap

tayangan ditelevisi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau

informasi kepada individu yang mengaitkan beberapa aspek persepsi

sebagai efek dari penyiksaan, perkelahian, dan pembunuhan yang

menyebabkan perilaku meniru, reaksi emisional, dan kecendrungan

prilaku agresif. Lebih lanjut Menurut Taylor (2009:524-526) aspek

persepsi terhadap tayangan kekerasan ditelevisi terdiri dari beberapa

aspek, antara lain:

a. Aspek kognitif

Aspek kognitif mengenai tayangan kekerasan berupa citra

atau persepsi yang dibangun individu saat dan sesudah menonton

tayangan kekerasan ditelevisi. Persepsi tentang dunia dipengaruhi

oleh apa yang dilihatnya dalam televisi. Efek kognitif dari tayangan

kekerasan ditelevisi meliputi pengetahuan teknis tiap individu akan

tidak kekerasan individu yang menonton tayangan kekerasan akan

mengetahui bagaimana gaya berkelahi. Efek kognitif tayangan

kekerasan berhubungan dengan penilaian individu mengenai realitas

yang ditampilkan televisi dengan realitas sebenarnya.


b. Aspek afektif

Tayangan kekerasan dan kekerasan dilayar televisi, telah

lama menimbulkan kegelisahan. Menurut penelitian, remaja yang

telah menonton tayangan kekerasan dilayar televisi mengalami susah

tidur, karena terbayang peristiwa tersebut. Fenomena tersebut

menggambarkan meningkatnya kecemasan pada diri seseorang

sesudah menonton tanyangan kekerasan, hal ini berarti bagaimana

empati tiap individu mengenai kekerasan yang terjadi pada realitas

ditelevisi dengan realita nyata, terutama kepada korban atau perilaku

kekerasan. Media televisi dapat memberikan efek yang tajam dari

tayangan kekerasan terhadap khalayak salah satunya

yakni desensitization effects. Berkurang atau hilangnya kepekaan

kita terhadap kekerasan itu sendiri.

c. Aspek konatif

Perilaku meniru adegan kekerasan yang ditayangkan

ditelevisi, dimana suatu kejahatan yang dilaporkan dimedia

kemudian ditiru oleh individu. Lebih lanjut dijelaskan oleh

Sugihartono (dalam Taylor(2009:7) bahwa persepsi dipengaruhi

oleh:

1) Pengetahuan, pengalaman atau wawasan individu

2) Kebutuhan individu

3) Kesenangan dan hobi individu

4) Kebiasaan atau pola hidup sehari-hari


d. Aspek Behavioral (perilaku)

Merupakan aspek tentang Behavioral (perilaku), dampak dari

tayangan kekerasan ditelevisi dapat mempengaruhi perilaku masyara

kat.

Menurut Suminar (2004:160) ada beberapa aspek yaitu aspek

fisik, aspek psikologis, aspek sosial dan aspek ekonomi.

1) Aspek fisik : terjadi pola kehidupan

2) Aspek psikologis : berupa perasaan ketakutan, muncul gejala

depresi, merasa tidak berdaya, menurunya gairah untuk

menjalani kehidupan sehari- hari, bahkan muncul

keinginan untuk mengakhiri hidup.

3) Aspek sosial : timbul perasaan malu terhadap orang lain dan

terbatasnya interaksi dengan orang lain.

4) Aspek ekonomi : korban harus mengeluarkan biaya untuk

pengobatan fisik dan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan

hidup.

Menurut Baron dan Byrne (2005:140-141) ada beberapa

aspek agresivitas remaja diantaranya:

1) Agresi fisik.

Perilaku yang dimaksudkan menyakiti fisik individu lain.

Misalnya: memukul, menendang.

2) Agresi verbal

Perilaku yang dimaksud mengancam, memaki, dll.


3) Agresi pasif

Perilaku dimaksudkan menyakiti individu lain tapi tidak

dengan fisik ataupun verbal melainkan dengan menolak bicara,

tidak menjawab pertanyaan dan tidak peduli.

Berdasarkan diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi

terhadap tayangan kekerasan di televisi adalah proses yang

menyangkut masuknya pesan atau informasi kepada individu

yang mengaitkan aspek persepsi yaitu aspek kognitif, afektif,

konatif, dan behavioral (perilaku), aspek fisik, aspek psikologi,

aspek sosial, aspek ekonomi, agresi verbal dan agresi pasif.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Agresivitas

Baron dan Byrne (2003:533) menyatakan ada 2 kondisi penyebab

timbulnya agresivitas remaja, yaitu kondisi internal dan kondisi

eksternal.

Kondisi internal terdiri dari:

a. Kepribadian

Keseluruhan cara seorang individu bereaksi dan berinteraksi

dengan individu lain.

b. Hubungan Interpersinal

Sebagai hubungan yang erat yang terjadi antara dua

individuatau lebih

c. Kemampuan

kesanggupan, kecakapan, kakuatan kita berusaha dengan diri

sendiri atau kemampuan sebagai suatu dasar seseorang yang dengan


sendirinya berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan secara efektif

atau sangat berhasil

Kondisi eksternal terdiri dari:

a. Frustasi

Penyebab yang sangat kuat dari agresi atau kegagalan dalam

mencapai tujuan

b. Profokasi

Tindakan oleh orang lain yang cenderung memicu agresi

pada diri si penerima, sering kali karena tindakan tersebut di

persepsikan berasal dari maksud yang jahat

c. Model yang kurang baik

Orang yang melakukannya tidak ingin atau tidak dapat

melakukan agresi terhadap sumber provokasi awal

Afiati (2002:25) menyebutkan beberapa faktor penyebab

timbulnya perilaku agresif, diantaranya yaitu:

a. Faktor keluarga

Kondisi keluarga dapat memicu timbulnya perilaku agresif

remaja, antara lain sikap penolakan orang tua terhadap anak,

komunikasi yang kurang baik antara orang tua dan anak, tidak

konsistennya orangtua dalam menerapkan aturan dan disiplin

sehingga anak mengalami kegagalan dalam mengembangkan

identitas diri, kondisi keluarga yang tidak menyenangkan, dan lain-

lain.
b. Faktor media massa

Banyak penelitian yang mengungkap bahwa media massa,

khususnya televisi, yang menampilkan adegan kekerasaan dan

kejahatan turut berperan dalam memunculkan perilaku agresif

remaja, karena remaja suka meniru adegan kekerasan yang

dilihatnya di televisi. Semakin banyak remaja menonton kekerasan

melalui televisi, maka tingkat agresi remaja akan semakin meningkat

pula.

Menurut Dariyo (2004:109) menyebutkan beberapa faktor

penyebab timbulnya perilaku agresif, diantaranya yaitu:

a. Kondisi keluarga yang berantakan (broken home).

Keluarga yg integritas, hubungan akrab, dan solidaritasnya telah

rusak oleh ketegangan dan konflik

b. Kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua.

Akibat dari kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua

mempengaruhi tingkat agresif remaja

c. Status sosial ekonomi orang tua yang rendah. Dimana akibat status

sosial ekonomi orangtua rendah, remaja akan semakin melukai orang

lain dan akan meningkatkan perilaku agresif dalam situasi hidup

sehari- hari

d. Penerapan disiplin keluarga yang tidak tepat (kurang).

Dari kurangnya perilaku disiplin dalam keluarga, remaja akan

bertingkah laku agresif karena kurangnya binaan dari orangtua


Berdasarkan diatas dapat disimpulkan bahwa agresivitas

merupakan konsep dinamis yang terkait dengan perkembangan individu.

Beberapa faktor penyebab agresivitas antara lain: Kondisi keluarga yang

berantakan, kurangnya perhatian dan kasih sayang orangtua, status

sosial ekonomiorangtua yang rendah, penerapan disiplin keluarga yang

tidak tepat, danpengaruh sosial budaya dalam kehidupan sosialisasi indivi

du. Dan dari faktor keluarga, faktor media massa, faktor internal dan

eksternal.

B. Kontrol diri

Kontrol diri adalah keyakinan individu bhwa tindakan akan

mmempenaruhi perilakunya dan individu sendiri yang dapat mengontrol

prilaku tersebut. Wallstones (dalam Adenoalia, 2002: 36).

Calhoun dan Acocella (dalam Ghufron & Risnawita, 2011: 21-22)

mendefinisikan kontrol diri sebagai pengaturan proses-proses fisik,

psikologis, dan perilaku seseorang. Dengan kata lain serangkaian proses yang

membentuk dirinya sendiri. Golgfriend dan Merbaum (dalam Ghufron &

Risnawita, 2011: 22) mendefinisikan kontrol diri sebagai suatu kemampuan

untuk menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk perilaku

yang dapat membawa individu ke arah konsekuensi positif. Kontrol diri juga

menggambarkan keputusan individu yang melalui pertimbangan kognitif

untuk menyatukan perilaku yang telah disusun untuk meningkatkan hasil dan

tujuan tertentu seperti yang diinginkan.


Synder dan Gangestad (dalam Ghufron & Risnawita, 2011: 22)

mengatakan bahwa konsep mengenai kontrol diri secara langsung sangat

relevan untuk melihat hubungan antara pribadi dengan lingkungan

masyarakat dalam mengatur kesan masyarakat yang sesuai dengan isyarat

situasional dalam bersikap dan berpendirian yang efektif.

Kontrol diri berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan

emosi serta dorongan-dorongan dari dalam dirinya (Ghufron & Risnawita,

2011: 23). Menurut konsep ilmiah, pengendalian emosi berarti mengarahkan

energi emosi ke saluran ekspresi yang bermanfaat dan dapat diterima secara

sosial.

Hurlock (dalam Ghufron & Risnawita, 2011: 24) menyebutkan tiga

kriteria emosi:

1. Dapat melakukan kontrol diri yang bisa diterima secara sosial.

2. Dapat memahami seberapa banyak kontrol yang dibutuhkan untuk

memuaskan kebutuhannya dan sesuai dengan harapan masyarakat.

3. Dapat menilai situasi secara kritis sebelum meresponnya dan

memutuskan cara reaksi terhadap situasi tersebut.

Jadi dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kontrol

diri adalah kemampuan individu untuk memandu, mengarahkan dan mengatur

perilakunya dalam menghadapi stimulus sehingga menghasilkan akibat yang

diinginkan dan menghindari akibat yang tidak diinginkan. Kontrol diri juga

dapat diartikan sebagai suatu aktivitas pengendalian tingkah laku. Individu

memiliki pertimbangan-pertimbangan ketika berperilaku. Semakin tinggi


kontrol diri seseorang, maka semakin tinggi pengendalian diri individu

terhadap tingkah lakunya.

1. Aspek-Aspek Kontrol Diri

Menurut Averil (dalam Adeonalia, 2002: 37) aspek-aspek yang

terdapat dalam kontrol diri antara lain:

a. Kemampuan mengontrol perilaku

Dalam hal ini perilaku sangat penting peranannya sehingga

apabila perilaku seeorang tidak terkontrol maka dapat terjadi

perilaku yang menyimpang, meskipun kemampuan mengontrol

perilaku pada tiap-tiap individu berbeda.

b. Kemampuan mengontrol stimulus

Kemampuan mengontrol stimulus juga menjadi salah satu

aspek dari kontrol diri karena dalam kehidupan seseorang terdapat

berbagai macam stimulus yang diterima. Dari berbagai macam

stimulus yang masuk tersebut individu harus mempunyai

kemampuan untuk mengontrol stimulus-stimulus tersebut, yaitu

dengan memilah stimulus yang mana yang harus diterima dan

stimulus yang harus ditolak.

c. Kemampuan mengantisipasi peristiwa

Individu dalam menghadapi suatu masalah atau suatu

peristiwa harus memiliki kemampuan untuk mengantisipasi asalah

tersebut agar tidak menjadi masalah yang semakin besar dan rumit.
d. Kemampuan menafsirkan peristiwa

Individu juga harus mempunyai kemampuan untuk

menafsirkan peristiwa, artinya individu harus dapat mengartikan

semua peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya, sehingga individu

dapat dengan mudah untuk menjalani peristiwa tersebut dan dapat

memikirkan langkah-langkah apa yang akan dilakukan selanjutnya.

e. Kemampuan mengambil keputusan

Dalam setiap peristiwa pasti ada sesuatu yang harus

diputuskan. Setiap individu harus mempunyai kemampuan untuk

mengambil suatu keputusan yang baik, dimana keputusan yang

diambil tersebut baik untuk diri individu sendiri maupun bagi orang

lain yang ada di sekitarnya, juga tidak merugikan diri sendiri

maupun orang lain.

Kesimpulan dari aspek-aspek yang disebutkan di atas adalah

apabila individu mempunyai kemampuan-kemampuan yang terdapat

dalam aspek- aspek tersebut maka individu dapat mengontrol dirinya

dengan baik sebaik mungkin, dan individu dapat terhindar dari

masalah yang tidak diinginkan.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kontrol Diri

Sebagaimana faktor psikologis lainnya, kontrol diri dipengaruhi

oleh beberapa faktor. Secara garis besarnya faktor-faktor yang

mempengaruhi kontrol diri ini terdiri dari faktor internal (dari diri

individu) dan faktor eksternal (lingkungan individu) (Ghufron &

Risnawita, 2011: 32).


a. Faktor Internal

Faktor internal yang ikut andil terhadap kontrol diri adalah

usia. Semakin bertambah usia seseorang, maka semakin baik

kemampuan mengontrol diri seseorang itu.

b. Faktor Eksternal

Faktor eksternal ini diantaranya adalah lingkungan keluarga.

Lingkungan keluarga terutama orang tua menentukan bagaimana

kemampuan mengontrol diri seseorang. Hasil penelitian Nasichah

(dalam Ghufron, 2011: 32) menunjukkan bahwa persepsi remaja

terhadap penerapan disiplin orang tua yang semakin demokratis

cenderung diikuti tingginya kemampuan mengontrol dirinya. Oleh

sebab itu bila orang tua menerapkan sikap disiplin kepada anaknya

secara intens sejak dini, dan orang tua tetap konsisten terhadap

semua konsekuensi yang dilakukan anak bila ia menyimpang dari

yang sudah diterapkan, maka sikap kekonsistenan ini akan

diinternalisasi anak, dan kemudian akan menjadi kontrol diri

baginya.

C. Hubungan Antara Kontrol Diri dengan Perilaku Agresif dalam

berkendara pada Komunitas motor rx king di Kecamatan Sumpiuh

Perilaku agresifitas dalam berkendara seringkali muncul keika

pengendara tak mengntrol emosinya, baik dari luar maupun dari dalam

individu. Pada hal ini pada tingkat observasi menunjukan bahwa seberapa
besar tingkat kemacetan mempengaruhi emosi individu saat berkendara.

Menurut Ayuningtyas dalam Winurini (2012), terdapat beberapa penyebab

internal perilaku agresi berkendara adalah suasana hati, usia dan jenis

kelamin, kepribadian, gaya hidup, sikap pengendara, dan intensi (niat) dan

beberapa penyebab eksternalnya adalah kebisingan, temperatur atau suhu

lingkungan, overcrowding, dan territoriality (Winurini,2012). Agresi

seringkali terjadi mengerucut pada emosi seseorang. Dalam hal ini, perilaku

kekerasan dan kemarahan pada pengemudi kendaraan bermotor yang

berlangsung singkat namun kuat, dan sebagian ditimbulkan oleh stimulus

fisiologis yang dihasilkan oleh stress yang terjadi saat mengemudikan

kendaraan (Wade, Carole.,Tavris, Carol.2007). Emosi seringkali menjelaskan

bahwasannya pengemudi lebih mengalami rasa marah atau emosi yang

berlebihan ketika berkendara dibanding dengan penumpang, terutama apabila

terdapat dalam situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan atau ekstrem.

Misal pada jalan raya yang padat, lebih memungkinkan emosi seseorang

meluap secara negative atau marah. Sebaliknya pada jalanan yang santai,

pengemudi cenderung memiliki kestabilan emosi, namun emosi disini juga

dipengaruhi eksternal dan internal seperti mood dan cuaca.

Kontrol diri adalah keyakinan individu bhwa tindakan akan

mmempenaruhi perilakunya dan individu sendiri yang dapat mengontrol

prilaku tersebut. Wallstones (dalam Adenoalia, 2002: 36).

Calhoun dan Acocella (dalam Ghufron & Risnawita, 2011: 21-22)

mendefinisikan kontrol diri sebagai pengaturan proses-proses fisik,


psikologis, dan perilaku seseorang. Dengan kata lain serangkaian proses yang

membentuk dirinya sendiri. Golgfriend dan Merbaum (dalam Ghufron &

Risnawita, 2011: 22) mendefinisikan kontrol diri sebagai suatu kemampuan

untuk menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk perilaku

yang dapat membawa individu ke arah konsekuensi positif. Kontrol diri juga

menggambarkan keputusan individu yang melalui pertimbangan kognitif

untuk menyatukan perilaku yang telah disusun untuk meningkatkan hasil dan

tujuan tertentu seperti yang diinginkan.

Synder dan Gangestad (dalam Ghufron & Risnawita, 2011: 22)

mengatakan bahwa konsep mengenai kontrol diri secara langsung sangat

relevan untuk melihat hubungan antara pribadi dengan lingkungan

masyarakat dalam mengatur kesan masyarakat yang sesuai dengan isyarat

situasional dalam bersikap dan berpendirian yang efektif.

Kontrol diri berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan

emosi serta dorongan-dorongan dari dalam dirinya (Ghufron & Risnawita,

2011: 23). Menurut konsep ilmiah, pengendalian emosi berarti mengarahkan

energi emosi ke saluran ekspresi yang bermanfaat dan dapat diterima secara

sosial.

Bagi pengendara rx king ebagai pengguna jalan yang bisa mengontrol

diri dengan baik akan menunjukan perilaku yang sesuai dengan aturan, yaitu

dapat menjalankan tangggung jawabya sebagai pengguna jalan yang

tercermin dalam perilakunya saat mengendari sepeda motor sesuai aturan

yang ada tanpa mengganggu kenyamanan pengguna jalan lainya.


Sealiknya bila pengendara rx king sebagai pengguna jalan tidak dapat

mengentrol diri nya dengan baik akan menunjukan perilaku yang berlawanan

dengan aturan yang ada. Sehingga berdampak buruk bagi penggun jalan

maupun dirinya sendiri.

D. Kerangka Berfikir

Komunitas Motor RX King


Di Kecamatan Sumpiuh

Agresifitas dalam berkendara

- Sikap akan peraturan dalam berlalu lintas


- Tanggung jawab pengendara di jalan raya
- Kemampuan menyesuaian diri terhadap peraturan lalu
lintas saat berkendara

Mampu mengontrol diri

Tinggi Rendah

Agresifitas tinggi Agresifitas rendah


dalam berkendara dalam berkendara
E. Hipotesis

HO : Tidak ada hubungan antara kontrol diri dengan agresifitas dalam

berkendara pada komunitas Motor RX King Di Kecamatan Sumpiuh,

Kabupaten Banyumas

HI : Ada hubungan antara antara kontrol diri dengan agresifitas dalam

berkendara pada komunitas Motor RX King Di Kecamatan Sumpiuh,

Kabupaten Banyumas

Anda mungkin juga menyukai