Anda di halaman 1dari 152

TUGAS FARMASI

DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG & TENGGOROKAN


(THT)

KEPANITERAAN FARMAKOTERAPI DAN FARMASI TERAPAN


PERIODE 26 AGUSTUS 2017 – 30 SEPTEMBER 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2.OMSK
Ngakan Made Krisna Radiwa 1161050086

Definisi
Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah infeksi kronik di telinga tengah ditandai dengan
perforasi membran timpani dan sekret yang keluar terus-menerus atau hilang timbul, sekret
berupa serous, mukoid atau purulen lebih dari 8 minggu.

Etiologi
Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit infeksi telinga tengah supuratif menjadi kronis
majemuk, antara lain:

1. Gangguan fungsi tuba eustachius yang kronis atau berulang.

a. Infeksi hidung dan tenggorok yang kronis atau berulang.

b. Obstruksi anatomik tuba Eustachius parsial atau total

2. Perforasi membran timpani yang menetap.

3. Terjadinya metaplasia skumosa atau perubahan patologik menetap lainya pada telinga
tengah.

4. Obstruksi menetap terhadap aerasi telinga atau rongga mastoid.

5. Terdapat daerah-daerah dengan sekuester atau osteomielitis persisten di mastoid.

6. Faktor-faktor konstitusi dasar seperti alergi, kelemahan umum atau perubahan mekanisme
pertahanan tubuh.

Patogenesis
Patogenesis OMSK benigna terjadi karena proses patologi telinga tengah, pada tipe ini
didahului oleh kelainan fungsi tuba, faktor penyebab utama dari otitis media. Pencegahan in-
vasi kuman ke telinga tengah juga terganggu, sehingga kuman masuk ke dalam telinga tengah
dan terjadi peradangan. Kadang-kadang infeksi berasal dari telinga luar masuk ke telinga ten-
gah melalui perforasi membran timpani, maka terjadilah proses inflamasi. Bila terbentuk pus
akan terperangkap di dalam kantong mukosa telinga tengah. Dengan pengobatan yang cepat
dan adekuat dan dengan perbaikan fungsi ventilasi telinga tengah, biasanya proses patologis
akan berhenti dan kelainan mukosa akan kembali normal
Respon inflamasi yang timbul adalah berupa udem mukosa. Jika proses inflamasi ini tetap
berjalan, pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya ulkus dan merusak epitel. Mekanisme
pertahanan tubuh penderita dalam menghentikan infeksi biasanya menyebabkan terdapatnya
jaringan granulasi yang pada akhirnya dapat berkembang menjadi polip di ruang telinga ten-
gah. Jika lingkaran antara proses inflamasi, ulserasi, infeksi dan terbentuknya jaringan granu-
lasi ini berlanjut terus akan merusak jaringan sekitarnya (Helmi, 2005).

Gejala Klinis

1. Telinga Berair (Otorrhoe)

Sekret bersifat purulen atau mukoid tergantung stadium peradangan. Pada OMSK tipe jinak,
cairan yang keluar mukopus yang tidak berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi iritasi
mukosa telinga tengah oleh perforasi membran timpani dan infeksi. Keluarnya sekret bi-
asanya hilang timbul. Pada OMSK stadium inaktif tidak dijumpai adannya sekret telinga. Pa-
da OMSK tipe ganas unsur mukoid dan sekret telinga tengah berkurang atau hilang karena
rusaknya lapisan mukosa secara luas. Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan
adanya jaringan granulasi dan polip telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatom yang
mendasarinya. Suatu sekret yang encer berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan tuberkulo-
sis.

2. Gangguan Pendengaran

Biasanya dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Beratnya ketulian ter-
gantung dari besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem
pengantaran suara ke telinga tengah. Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli kon-
duktif berat.

3. Otalgia (Nyeri Telinga)

Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena terbendungnya drainase pus. Nyeri dapat berarti
adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret, terpaparnya durameter atau
dinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan abses otak. Nyeri merupakan tanda
berkembang komplikasi OMSK seperti Petrositis, subperiosteal abses atau trombosis sinus
lateralis.

4. Vertigo
Keluhan vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat erosi dinding
labirin oleh kolesteatom. Vertigo yang timbul biasanya akibat perubahan tekanan udara yang
mendadak atau pada panderita yang sensitif keluhan vertigo dapat terjadi hanya karena per-
forasi besar membran timpani yang akan menyebabkan labirin lebih mudah terangsang oleh
perbedaan suhu. Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga akan meyebabkan keluhan vertigo.
Vertigo juga bisa terjadi akibat komplikasi serebelum.

PENATALAKSANAAN

Prinsip pengobatan OMSK adalah:

1. Membersihkan liang telinga dan kavum timpani.


2. Pemberian antibiotika:
3. Topikal antibiotik ( antimikroba)

Pemberian antibiotik secara topikal pada telinga dan sekret yang banyak tanpa dibersihkan
dulu, adalah tidak efektif. Bila sekret berkurang/tidak progresif lagi diberikan obat tetes yang
mengandung antibiotik dan kortikosteroid.Mengingat pemberian obat topikal dimaksudkan
agar masuk sampai telinga tengah, maka tidak dianjurkan antibiotik yang ototoksik misalnya
neomisin dan lamanya tidak lebih dari 1 minggu. Cara pemilihan antibiotik yang paling baik
dengan berdasarkan kultur kuman penyebab dan uji resistesni. Bubuk telinga yang digunakan
seperti:

 Acidum boricum dengan atau tanpa iodine


 Terramycin
 Asidum borikum 2,5 gram dicampur dengan khloromicetin 250 mg
Resep
Bubuk Telinga
Sediaan Asidum borikum 2,5 g akan dicampur dengan khloromicetin 250 mg yang akan di-
jadikan serbuk tabur

R/ Asidum borikum 2,5 g


Khloromicetin 250 mg
mf. la. pulv adsp
s.u.c
------------------------------------
Pro ( Tn. X)

Tetes Telinga
Ofloxacin 3mg/ml. Dosis dewasa sehari 2x 6-10 tetes. Dosis Anak sehari 2x 3-5 tetes.

R/ Ofloxacin drops gtt auric 3mg/ml


S 2 dd VI gtt auric dex ad auric sin
--------------------------------------------
Pro ( Tn. X)
3. OTITIS EKSTERNA DIFUSA
Margareth Octa -126105004

Definisi :
Otitis eksterna ialah radang liang telinga akut maupun kronis yang disebabkan oleh bakteri,
sulit dibedakan dengan radang yang disebabkan olehjamur, alergi atau virus. Otitis eksterna
ini merupakan suatu infeksi liang telinga bagian luar yang dapat menyebar ke pina, periau-
rikular, atau ke tulang temporal. Biasanya seluruh liang telinga terlibat, tetapi pada furunkel
liang telinga luar dapat dianggap pembentukan lokal otitis eksterna.
Otitis eksterna difusa biasanya mengenai kulit liang telinga 2/3 dalam. Tampak kulit liang
telinga hiperemis dan edema yang tidak jelas batasannya.

Etiologi :
Kuman penyebab biasanya golongan Pseudomonas , Kuman lain yang dapat menyebabkan
adalah Staphylococcus albus, escherichia coli dan sebagainya. Otitis eksterna difusa dapat
juga terjadi skunder pada otitis media supuratif kronis. Riwayat pemaparan terhadap air,
trauma mekanik dan goresan atau benda asing dalam liang telinga. Berenang dalam air yang
tercemar merupakan salah satu penyebab otitis eksterna

Manifestasi Klinis :
Otalgia , telinga terasa penuh ,kehilangan pendengaran , tinnitus , liang telinga terasa gatal ,
terkadang adanya demam dan adanya discharge .

PATOFISIOLOGI
Otitis eksterna difusa adalah infeksi bakteri pada liang telinga yang disebabkan oleh rusaknya
kulit pada liang telinga/berkurangnya produksi serumen sebagai pelindung liang telinga dari
kelembaban dan temperatur yang tinggi, biasanya dikenal sebagai “Swimmer’s ear”. Trauma
ketika membersihkan liang telinga dengan kuku jari atau kapas pengorek telinga diketahui
sebagai faktor lokal penyebab otitis eksterna difusa yang paling sering terjadi.
Stadium otitis eksterna difusa terdiri dari 2 stadium :
1. Stadium akut.
Rasa tidak nyaman hingga nyeri didalam dan sekitar liang telinga yang sesuai dengan
pergerakan dari rahang. Dalam kasus berat terdapat pembengkakan di sekitar jaringan
lunak dan bagian luar dari aurikula. Pada pemeriksaan, kulit dari liang telinga
berwarna merah, edema dan sangat sensitif. Dijumpai nanah pada liang telinga dan
sebagai perkembangan penyakit dari deskuamasi epitel pada liang telinga yang ter-
bentuk dari massa debris seperti keju didalam liang telinga serta membran timpani
sering tidak jelas terlihat.
2. Stadium kronis.
Gejala stadium kronis adalah iritasi dan keluarnya cairan dari telinga. Dapat terjadi tuli se-
bagai hasil dari akumulasi debris pada liang telinga. Tidak ada rasa sensitif pada liang telinga
tetapi terjadi penebalan pada kulit liang telinga serta lumen liang telinga yang menyempit
Diagnosis
Anamnesis :
Pada anamnesis dapat ditanyakan apakah ada gejala seperti otalgia, rasa penuh ditelinga, ga-
tal, sekret, penurunan pendengaran,tinnitus, riwayat berenang .Kebiasaan membersihkan tel-
inga dengan benda-benda logam
Pemeriksaan Fisik :
Pada inspeksi ditemukan kemerahan , edema dan penyempitan pada kanalis eksternus audito-
rius ,ditemukan secret yang purulent atau serous , adanya nyeri tekan pada palpasi tragus dan
nyeri ketika telinga di tarik ke atas . kehilangan pendengaran mulai dari tingkat sedang hing-
ga berat , adanya limfadenopaty ipsilateral . Pemeriksaan dengan otoskop ditemukan mem-
brane timpani menunjukan tanda-tanda radang seperti kemerahan dan edema

Pemeriksaan Penunjang :
Kultur sekret mengetahui etiologi penyebab otitis.

Tatalaksana :
Pada otitis eksterna difus dengan memasukkan tampon yang mengandung antibiotik ke liang
telinga supaya terdapat kontak yang baik antara obat dengan kulit yang meradang. Pilihan
antibiotika yang dipakai adalah campuran polimiksin B, neomisin,hidrokortison dan anestesi
topikal.
dr. Margareth Octa
12-610-50-004
RS UKI, Cawang
Jakarta Timur

No.II Jakarta,
04/11/2017
R/Kassa
R/Otopain guttae auric 8ml No.II lag
S2 dd3 gtt auric dex
R/Ciprofloxacin tab 500 mg No.XVIII
S 3 dd I a.c
R/ Asam Mefenamat tab 500 mg No.IX
S 3 dd I p.c

Pro : Rina
Usia : 22 tahun

4. Otitis Ekseterna Sirkumskripta


Gabriel Riadhy Tanok Harmany 1216050016

1. DEFINISI
Otitis Eksterna secara umum didefinisikan sebagai suatu proses inflamasi pada kanalis
auditorius eksternus, aurikula, dan/atau keduanya. Sedangkan secara spesifik, Otitis
Eksterna Sirkumskripta adalah suatu proses peradangan pada kanal telinga luar yang
diikuti dengan infeksi folikel rambut telinga atau juga disebut sebagai furunkulosis.
(Furunculotic Otitis Externa).

2. ETIOLOGI
OE paling sering (91%) disebabkan oleh infeksi bacterial, namun tidak hanya terbatas
pada mikroba tersebut. Etiologi lain seperti fungi (Fungal OE) maupun yang non-
infeksi (psoriatic OE) dapat ditemukan. Mikroba yang paling sering ditemukan adalah
Stafilokokus a. ; Pseudomonas a.; dan bakteri anaeorb gram negative.

3. KLASIFIKASI
OE secara umum dapat dikelompokan menjadi:
 OE Diffusa Akut (swimmer’s ear) – merupakan bentuk tersering pada OE.
 OE Sirkumskripta Akut (Furunkulosis) – merupakan OE dengan infeksi fo-
likel rambut.
 OE Kronik – OE yang berlangsung selama lebih dari 6 minggu.
 OE Eksematosa (psoriatic) – Mencakup etiologi dermatologis.
 Necrotizing OE (Malignant) – Infeksi menyebar ke jaringan dalam yang
berdekatan dengan kanalis eksterna seperti telinga tengah dan sel-sel mastoid.
 Otomikosis – Etiologi fungal.

4. ANAMNESIS
Pasien dengan OE sirkumskripta dapat mengeluhkan berbagai macam keluhan namun
keluhan utama tersering adalah adanya rasa nyeri di liang telinga atau/sampai telinga
luar (otalgia).
 Nyeri Telinga (Otalgia) – Dapat ringan sampai berat, umumnya progresif se-
makin memburuk setelah 1-2 hari.
 Penurunan pendengaran – karena tersumbatnya liang telinga oleh proses
edematosa yang berlangsung.
 Telinga terasa penuh atau tertekan – akibat terjadinya proses edematosa,
membuat telinga terasa sumpek.
 Sensasi Denging (tinnitus) di telinga – akibat proses peradangan dan
penumpukan cairan di liang telinga luar.
 Demam
 Gatal (pada OE fungal maupun OE kronis)

Pada OE gejala-gejala tersebut ditemukan hanya pada sebelah telinga (unilateral.


Faktor Risiko:
 Episode OE sebelumnya
 Riwayat Berenang, menyelam, dan aktivitas akuatik lainnya.
 Penggunaan sumbat telinga atau korek telinga.
 Udara hangat yang lembab.
 Pemakaian alat bantu dengar

5. PEMERIKSAAN FISIK
Kunci pemeriksaan fisik dalam penegakan diagnosis OE adalah nyeri tekan tragus,
sensasi nyeri pada saat melakukan pemeriksaan palpasi pada tragus (anterior kanalis
auditorius) atau saat melakukan traksi pada pinnae. Kedua pemeriksaan ini merupa-
kan hallmark pada penegakan diagnosis.
Pada OE Sirkumskripta, jika ditemukan adanya suatu peradangan folikel rambut di
pintu masuk liang pada pemeriksaan inspeksi, diagnose sudah dapat dipastikan.

6. PATOFISIOLOGI
7. TATALAKSANA
Prinsip tatalaksana OE secara umum:
a. Manajemen nyeri
b. Pengangkatan debris dari EAC
c. Administrasi medikasi topical untuk mengontrol oedem dan infeksi
d. Menghindari factor kontributif.
Nonfarmakoterapi
Farmakoterapi
 Medikasi Topikal
o Solusi asam asetat dalam alumunium triasetat (Solutio Burowi)
o Hydrocortisone dan asam asetat
 Analgetic agents
o NSAID (acetaminophen)
 Antibiotika Topikal
o Neomycin
o Polymixin B
o Ofloxacin
 Antibiotik Oral
o Ciprofloxacin
6. Herpes Zooster Otikus
Kristian Lihardo Girsang 1261050086

PENDAHULUAN

Herpes Zooster Otikus atau Herpes Zooster Chepalicus atau dapat disebut juga Ram-
say-Hunt Syndrom tipe 1 yaitu kumpulan gejala yang terdiri dari erupsi herpetik pada telinga,
nyeri yang hebat, disertai paralise nervus fasialis akut, dan di awali dengan periode prodor-
mal. Menurut Koerner (1904) herpes zoster otikus, yaitu berupa sindroma yang terdiri dari
bulla pada daun telinga, paralise fasial dan gangguan telinga dalam.
Postulat pertama James Ramsay Hunt mengatakan bahwa Herpes zoster otikus
disebabkan oleh virus varicella zoster golongan herpes virus, yang mengalami reaktivasi dari
infeksi yang sebelumnya merupakan infeksi laten virus varicella pada ganglion genikulatum.
Herpes zoster otikus yang disertai dengan paralisis nervus fasialis menempati urutan
kedua kejadian paralisis fasialis akut setelah bell’s palsy. Di Amerika Serikat terjadi kasus 5
/100.000 populasi penduduk per tahun. Lebih sering terjadi pada umur diatas 60 tahun dan
sangat jarang terjadi pada anak – anak. Sedangkan di RSUP H. Adam Malik Medan, sejak
tahun 2008 – oktober 2010 terdapat 15 pasien herpes zoster otikus yaitu 7 wanita dan 8 laki-
laki dengan usia rata –rata di atas 40 tahun.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Herpes Zooster Otikus


1.1.Definisi
Herpes Zooster Otikus atau Herpes Zooster Chepalicus atau dapat disebut juga Ramsay-
Hunt Syndrom tipe 1 yaitu kumpulan gejala yang terdiri dari erupsi herpetik pada telinga,
nyeri yang hebat, disertai paralise nervus fasialis akut, dan di awali dengan periode prodor-
mal. Menurut Koerner (1904) herpes zoster otikus, yaitu berupa sindroma yang terdiri dari
bulla pada daun telinga, paralise fasial dan gangguan telinga dalam.
Pengertian lain menyebutkan Herpes zoster otikus adalah infeksi virus yang mengenai
ganglion genikulatum. Herpes zoster otikus yang disertai dengan paralisis nervus fascialis
disebut Ramsay-Hunt Syndrom tipe I.

1.2.Patogenesis
Saat terinfeksi varicella, virus varicella zoster melewati lesi masuk ke permukaan kulit
dan mukosa menuju ujung–ujung saraf sensoris dan di transportasikan oleh serat–serat saraf
ke ganglion sensoris. Di gangglion virus menetap dan mejadi infeksi laten sepanjang hidup.
Selama virus laten di gangglion tidak tampak gejala infeksi. Reaktifasi dari varicella-
zos-
ter virus (VZV) yang terdistribus sepanjang saraf sensoris yang menginervasi telinga, ter
masuk didalamnya ganglion genikulatum. Apabila gejala disertai ku-
rang pendengaran dan vertigo, maka ini adalah akibat penjalaran infeksi virus lang-
sung pada N. VIII pada posisi sudut serebelo pontin, atau melalui vasa vasorum.
Mekanisme yang menyebabkan reaktivasi virus varicella zoster ini masih belum jelas sering
berhubungan dengan orang-orang dengan daya tahan tubuh yang menurun, stress emosional,
suatu keganasan, terapi radiasi, kemoterapi, atau infeksi HIV mempunyai risiko yang tinggi
untuk terjadinya reaktifasi herpes virus zoster.

1.3.Gejala dan tanda klinis


 Gejala awal.
Setelah masa inkubasi 4 – 20 hari, muncul gejala prodromal berupa demam, sakit
kepala, malaise, kadang-kadang mual dan muntah.
Kemudian diikuti dengan nyeri yang hebat pada daerah telinga dan mastoid yang bi-
asanya mendahului timbulnya lesi yang berupa vesikula
yang berada diatas kulit yang hiperemis.
 Virus → ganglion genikulatum :
o hiperakusis,
o gangguan sekresi kelenjar lakrimalis,
o paralisis fasial,
o gangguan sekresi kelenjar liur dan
o penurunan rasa pengecapan pada duapertiga depan lidah.
 Lesi → distal korda timpani → kelumpuhan otot-otot wajah unilateral.
 Lesi → lebih proksimal pons sampai ke meatus akustikus internus :
o disertai strabismus,
o gangguan pendengaran dan keseimbangan .

1.4.Tipe-tipe Herpes Zoster Otikus


Ramsay Hunt menyebutkan empat tipe herpes zoster otikus yaitu:
1) Penyakit yang hanya mengenai saraf sensoris nervus fasialis
2) Penyakit yang mengenai saraf sensorik dan motorik nervus fasialis
3) Penyakit yang mengenai saraf sensorik dan motorik nervus fasialis disertai gejala au-
ditorik
4) Penyakit yang mengenai saraf sensorik dan motorik nervus fasialis disertai gejala au-
ditorik dan vestibuler

1.5.Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan:
 Anamnesis
Pasien dengan gejala berupa :
o nyeri pada telinga,
o rasa tebakar di sekitar telinga, wajah, mulut, dapat juga terjadi di lidah.
o mual dan muntah dapat terjadi,
o disertai gangguan pendengaran, hiperakusis atau tinnitus.
 Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan didapatkan :
o Tampak vesikel pada liang telinga, konka dan daun telinga.
o Bintik-bintik merah juga dapat terlihat pada kulit di belakang telinga, dinding
lateral hidung, palatum molle dan lidah bagian anterolateral.
o Vertigo,
o Tuli sensorineural dan
o Paralise saraf fasialis dapat terjadi.
 Pemeriksaan penunjang
o CT scan
o Magnetic Ressonance Imaging (MRI) dengan menggunakan gadolinium di-
ethylene-triamine pentaacetic acid ( Gd-DTPA).

1.6.Diagnosis Banding
 Bell’s Palsy
 Otitis Eksterna

1.7.Penatalaksanaan
Pengobatan sesuai dengan tatalaksana Herpes Zooster
Pengobatan Antivirus:
• Asiklovir dewasa : 5x800mg/hari selama 7-10hari atau
• Asiklovir iv 3x10 mg/kgBB/hari
• Valasiklovir untuk dewasa 3x1 gram/hari selama 7 hari atau
• Famsiklovir untuk dewasa: 3x250 mg/hari selama 7 hari.
Catatan khusus:
• Pemberian antivirus masih dapat diberikan setelah 72 jam bila masih
timbul lesi baru atau terdapat vesikel berumur < 3 hari.
• Bila disertai keterlibatan organ visceral diberikan asiklovir intravena
10 mg/kgBB, 3x per hari selama 5-10 hari. Asiklovir dilarutkan dalam
100 cc NaCl 0,9% dan diberikan tetes selama satu jam.
• Untuk wanita hamil diberikan asiklovir.
• Untuk herpes zoster dengan paralisis fasial/kranial, polineuritis, dan
keterlibatan SSP dikombinasikan dengan kortikosteroid walaupun keun-
tungannya belum dievaluasi secara sistematis.

Dosis Acyclovir anak


• <12 tahun : 30 mg/kgBB/ 7 hari
• >12 tahun: 60mg/kgBB/7 hari

Analgetik
• Nyeri ringan : Parasetamol/NSAID
• Nyeri sedang-berat: Kombinasi opioid ringan (tramadol, kodein)

Resep

dr. Kristian L Girsang


SIP: 1261050086
Jln. Mayjen Soetoyo no.04 Rt 05,Rw X
Cawang - Jakarta

Jakarta,22 maret 2018

R/ Acyclovir tab 400 mg No LXX


S 5 dd II tab

R/Asam mefenamat tab 500mg No.XV


S3 dd I tab p.r.n

Pro.Tn. A
umur: Dewasa
1.8.Komplikasi
 Paralysis berat akan mengakibatkan tidak lengkap atau tidak sempurnanya kesem-
buhan dan berpotensi untuk menjadi paralysis fasial yang permanen dan synkinesis.
 Adakalanya, virus dapat menyebar ke saraf-saraf lain atau bahkan ke otak dan jarin-
gan saraf dalam tulang punggung, menyebabkan sakit kepala, sakit punggung, ke-
bingungan, kelesuan dan kelemahan.
 Serangan vertigo bisa muncul sebagai komplikasi Herpes Zoster di wajah.

1.10.Prognosis
 Diagnosa yang ditegakkan lebih cepat dan mendapat terapi sebelum 72 jam setelah
onset memberikan hasil yang lebih baik.
 Herpes zoster otikus yang mengalami vertigo dan tuli sensorineural prognosisnya
lebih jelek terutama pada pasien dengan umur lebih tua
BAB III
KESIMPULAN

 Herpes zoster otikus adalah infeksi virus yang mengenai ganglion genikulatum. Her-
pes zoster otikus yang disertai dengan paralisis nervus fascialis disebut Ramsay-Hunt
Syndrom tipe I.
 Herpes zoster otikus yang disertai dengan paralisis nervus fasialis merupakan urutan
kedua paling sering dari kejadian paralisis fasialis akut.
 Ramsay Hunt menyebutkan empat tipe herpes zoster otikus yaitu:
1) Penyakit yang hanya mengenai saraf sensoris nervus fasialis
2) Penyakit yang mengenai saraf sensorik dan motorik nervus fasialis
3) Penyakit yang mengenai saraf sensorik dan motorik nervus fasialis disertai gejala
auditorik
4) Penyakit yang mengenai saraf sensorik dan motorik nervus fasialis disertai gejala
auditorik dan vestibuler
 Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
 Obat – obat anti viral adalah standar terapi lini pertama untuk herpes zoster otikus,
Obat lain seperti anti inflamasi dan analgetik juga diberikan sebagai terapi simptom-
atis.
 Komplikasi dari herpes zoster otikus yang paling sering adalah neuralgia.
 Diagnosa yang ditegakkan lebih cepat dan mendapat terapi sebelum 72 jam setelah
onset memberikan hasil yang lebih baik. Herpes zoster otikus yang mengalami vertigo
dan tuli sensorineural prognosisnya lebih jelek terutama pada pasien dengan umur
lebih tua.
7. CORPUS ALIENUM TELINGA
1261050106 Jevonda Edria Bamitha

1. Definisi

Telinga adalah organ penginderaan dengan fungsi ganda dan kompleks (pendengaran
dan keseimbangan) . Indera pendengaran berperan penting pada partisipasi seseorang dalam
aktivitas kehidupan sehari-hari. Sangat penting untuk perkembangan normal dan pemeli-
haraan bicara, dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain melalui bicara tergantung
pada kemampuan mendengar 2,3.
Benda asing merupakan benda yang berasal dari luar tubuh atau dari dalam tubuh
yang dalam keadaan normal tidak ada. Telinga sering kemasukan benda asing. Kadang-
kadang benda dapat masuk. Bila kemasukan benda asing di telinga, tentu saja terjadi
penurunan pendengaran. Terkadang benda asing dapat masuk tanpa sengaja ke dalam telinga
orang dewasa yang mencoba membersihankan kanalis eksternus atau mengurangi gatal atau
dengan sengaja anak-anak memasukkan benda tersebut ke dalam telinganya sendiri.Namun,
terkadang sering dianggap enteng oleh setiap orang3.
Pada anak, anak tak melaporkan keluhannya sebelum timbul keluhan nyeri akibat in-
feksi di telinga tersebut, lama-lama telinganya berbau. Jika hal ini terjadi, orang tua patut
mencurigainya sebagai akibat kemasukan benda asing. Jangan menanganinya sendiri karena
bisa-bisa benda yang masuk malah melesak ke dalam karena anatomi liang telinga yang ber-
lekuk. Di telinga banyak terdapat saraf-saraf dan bisa terjadi luka. Benda yang masuk bi-
asanya hanya bisa dikeluarkan oleh dokter THT dengan menggunakan peralatan dan keahlian
khusus.

2. Etiologi

Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan benda asing diliang telinga yaitu4 :
 Faktor kesengajaan, biasanya terjadi pada anak-anak balita.
 Faktor kecerobohan sering terjadi pada orang dewasa sewaktu menggunakan alat
alat pembersih telinga misalnya kapas, tangkai korek api atau lidi yang tertinggal di
dalam telinga, yang terakhir adalah faktor kebetulan terjadi tanpa sengaja dimana
benda asing masuk kedalam telinga contoh masuknya serangga, kecoa, lalat dan
nyamuk.

Predileksi benda asing di dalam telinga

Berikut beberapa benda asing yang sering masuk ke telinga:


a. Air
Sering kali saat kita heboh mandi, berenang dan keramas, membuat air masuk
ke dalam telinga. Jika telinga dalam keadaan bersih, air bisa keluar dengan
sendirinya. Tetapi jika di dalam telinga kita ada kotoran, air justru bisa membuat
benda lain di sekitarnya menjadi mengembang dan air sendiri menjadi terperangkap
di dalamnya.
b. Cotton Bud
Cotton buds tidak di anjurkan secara medis untuk membersihkan telinga.
Selain kapas bisa tertinggal di dalam telinga, bahaya lainnya adalah dapat menusuk
selaput gendang bila tidak hati-hati menggunakannya.
c. Benda-benda kecil
Anak-anak kecil sering tidak sengaja memasukkan sesuatu ke dalam telin-
ganya. Misalnya, manik-manik mainan.
d. Serangga
Bila telinga sampai kemasukan semut, berarti ada yang salah dengan bagian
dalam telinga. Pada prinsipnya, telinga punya mekanisme sendiri yang dapat meng-
hambat binatang seperti semut untuk tidak masuk ke dalam.

3. Manifestasi Klinis
Efek dari masuknya benda asing tersebut ke dalam telinga dapat berkisar di tanpa
gejala sampai dengan gejala nyeri berat dan adanya penurunan pendengaran.
 Merasa tidak enak ditelinga
Karena benda asing yang masuk pada telinga, tentu saja membuat telinga me-
rasa tidak enak, dan banyak orang yang malah membersihkan telinganya, padahal
membersihkan akan mendoraong benda asing yang mauk kedalam menjadi masuk
lagi.
 Tersumbat
Karena terdapat benda asing yang masuk kedalam liang telinga, tentu saja
membuat telinga terasa tersumbat.
 Pendengaran terganggu
Biasanya dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Be-
ratnya ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani serta
keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga tengah.
 Rasa nyeri telinga / otalgia\
Nyeri dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran
sekret, terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan
abses otak. Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi telinga akibat benda as-
ing.
 Pada inspeksi telinga akan terdapat benda asing

4. Patofisiologi
Benda asing yang masuk ke telinga biasanya disebabkan oleh beberapa factor antara
lain pada anak – anak yaitu factor kesengajaan dari anak tersebut , factor kecerobohan misal-
nya menggunakan alat-alat pembersih telinga pada orang dewasa seperti kapas, korek api
ataupun lidi serta factor kebetulan yang tidak disengaja seperti kemasukan air, serangga lalat,
nyamuk dan lain-lain3,4.
Masukknya benda asing ke dalam telinga yaitu ke bagian kanalis audiotorius ekster-
nus akan menimbulkan perasaaan tersumbat pada telinga, sehingga klien akan berusaha
mengeluarkan benda asing tersebut. Namun, tindakan yang klien lakukan untuk mengeluar-
kan benda asing tersebut sering kali berakibat semakin terdorongnya benda asinr ke bagian
tulang kanalis eksternus sehingga menyebabkan laserasi kulit dan melukai membrane timpa-
ni. Akibat dari laserasi kulit dan lukanya membrane timpanai, akan menyebabkan gangguan
pendengaran , rasa nyeri telinga/otalgia dan kemungkinan adanya resiko terjadinyainfeksi.

5. Diagnosis8
a. Pemeriksaan dengan Otoskopik
Caranya :
 Bersihkan serumen
 Lihat kanalis dan membran timpani
Interpretasi:
 Warna kemerahan, bau busuk dan bengkak menandakan adanya infeksi
 Warna kebiruan dan kerucut menandakan adanya tumpukan darah dibelakang
gendang.
 Kemungkinan gendang mengalami robekan.

Gambar : pemeriksaan dengan otoskopi


Gambar : benda asing pada liang telinga

b. Pemeriksaan Ketajaman Pendengaran


 Test penyaringan sederhana :
 Lepaskan semua alat bantu dengar
 Uji satu telinga secara bergiliran dengan cara tutup salah satu telinga
 Berdirilah dengan jarak 30 cm
 Tarik nafas dan bisikan angka secara acak (tutup mulut)
 Untuk nada frekuensi tinggi: lakukan dgn suara jam
 Uji Ketajaman Dengan Garpu Tala
 Uji weber
 Uji Rine
 Uji Swabach

6. Penatalaksanaan

Ada benda yang sangat kecil dapat dicoba untuk mengoyangkan secara hati-hati.
Menarik pinna telinga kearah posterior meluruskan liang telinga dan benda asing dapat keluar
dengan goncangan lembut pada telinga. Jika benda asing masuk lebih dalam maka perlu di-
angkat oleh dokter yang kompeten. Tidak dianjurkan untuk mengorek telinga sendiri karena
dapat mendorong lebih kedalam dan menyebabkan ruptur membran timpani atau dapat me-
lukai liang telinga4,5
Beberapa tehnik di klinik pada pengeluaran benda asing di teinga5:
- Forceps yang sudah dimodifikasi dapat digunakan untuk mengambil benda dengan
bantuan otoskop

- Suction dapat digunakan untuk menghisap benda
- Irigasi liang telinga dengan air hangat dengan pipa kecil dapat membuat benda-benda
keluar dari liang telinga dan membersihkan debris.
- Penggunaan alat seperti magnet dapat digunakan untuk benda dari logam
- Sedasi pada anak perlu dilakukan jika tidak dapat mentoleransi rasa sakit dan takut.
- Serangga dalam liang telinga biasanya diberikan lidocain atau minyak, lalu diirigasi
dengan air hangat.
- Setelah benda asing keluar, diberikan antibiotik tetes selama lima hari sampai sem-
inggu untuk mencegah infeksi dari trauma liang telinga.

7. Pencegahan
a. Kebiasaan terlalu sering memakai cottonbud untuk membersihkan telinga sebaiknya
dijauhi karena dapat menimbulkan beberapa efek samping: kulit teling kita yang di-
tumbuhi bulu-bulu halus yang berguna untuk membuat gerakan menyapu kotoran di
telinga kita akan rusak, sehingga mekanisme pembersihan alami ini akan hilang. Jika
kulit kita lecet dapat terjadi infeksi telinga luar yang sangat tidak nyaman dan
kemungkinan lain bila anda terlalu dalam mendorong Cottonbud, maka dapat melukai
atau menembus gendang telinga.
b. Hindarkan memberi mainan berupa biji-bijian pada anak-anak, dapat tejadi bahaya di
atas atau juga dapat tertelan dan yang fatal dapat menyumbat jalan nafas

Contoh resep:
R/ Ofloxacin gtt. auric 3 mg/ml no. I lag
S. 3 dd II gtt AD/AS
Pro: An. X (3 tahun)
DAFTAR PUSTAKA

1. Lee KJ. Otolaryngology and Head Neck Surgery, New York ; Elsevier, 1989 : 20 - 3, 67
- 9.
2. Shambaugh GE. Surgery of the Ear, 4h ed, Tokyo ; WB Saunders Company, 1990:5-
7,210-1.
3. Wright A. Anatomy and Ultrastructure of the Human Ear, Basic Science, Dalam : Scott-
Brown's Otolaryngology, 6"' ed, Vol I, Oxford ; Butterworth- Heinemann Ltd, Interna-
tional Editions : 1/1/1 - /11.
4. Heim SW, Maughan KL. Foreign Body in the Ear, Nose, and Throat. University of Vir-
ginia School of Medicine, Charlottesville, Virginia. Am Fam Physician. 2007, Oct 15;
76(8): 1185-89. Diunduh dari: http://www.aafp.org/afp/2007/1015/p1185.html pada
tanggal 16 Juli 2011.
5. Cunha JP. Objects or insects in Ear.
http://www.medicinenet.com/objects_or_insects_in_ear/article.htm. Diunduh pada 16 Ju-
li 2011
6. Mattox DE, Et all. Congenital Aural Atresia ; Embryology, Pathology, Classification,
Genetic and Surgical Management. Dalam : Paparella MM. Otolaryngology. ed 3. Vol 3.
Wb. Saunders : 1191 – 4
7. Russel JD, Et all : What Cause Acute Otitis Externa ? Dalam : the Journal of Laringolo-
gy and Otology, Vol 107, No. 10, 1993: 898 - 900.
8. Boies. Penyakit Telinga Luar. Buku Ajar Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorokan, ed 6,
Alih Bahasa Dr. Caroline Wijaya, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta, 1994: 78 -
80. 28. Maqbool M. Textbook
9. SENSORINEURAL HEARING LOSS (SNHL)
Nama : Ignatia Nugrahi Hulukiti
NIM : 1261050140

A. Definisi

Sensori-neural hearing loss (SNHL) adalah gangguan pendengaran yang dapat ber-
sifat total maupun parsial yang dapat mempengaruhi salah satu telinga ataupun kedua -
duanya. Keadaan ini ditandai oleh hilangnya kemampuan mendengar yang dapat disebab-
kan oleh gangguan di telinga dalam, gangguan pada jaras saraf dari telinga dalam ke otak
serta gangguan di otak. Gangguan ini merupakan penyebab tersering kurang pendengaran
permanen. SNHL menurunkan kemampuan penderita untuk mendengarkan suara yang
cukup keras. SNHL biasanya dipengaruhi oleh usia atau disebabkan karena kelainan con-
genital.
B. Klasifikasi SNHL
Tuli sensorineural disebut juga dengan tuli saraf atau tuli perseptif. Tuli sensorineu-
ral ini dibagi 2 :
1. Tuli koklea, yaitu apabila gangguan terdapat pada reseptor ataumekanisme
penghantar pada koklea. Biasanya disebabkan aplasia, labirinitis, intoksikasi obat
ototoksik atau alkohol. Pada tuli koklea ini terjadi suatu fenomena rekrutmen di-
mana terjadi peningkatan sensitifitas pendengaran yang berlebi-
han di atas ambang dengar. Pada kelainan koklea pasien dapat membedakan bunyi
1 dB,sedangkan orang normal baru dapat membedakan bunyi 5 dB
2. Tuli retrokoklea, yaitu apabila terdapat gangguan pada nervus vestibulokoklearis
atau satu dari area pendengaran di lobus temporalisotak. Pada tuli retrokoklea ter-
jadi kelelahan (fatigue) yang merupakan adaptasi abnormal, dimana saraf pen-
dengaran cepat lelah bila dirangsang terus menerus. Bila diberi istirahat, maka
akan pulih kembali.
C. Etiologi SNHL
1. Koklea
Penyebab tuli sensorineural yang berasal dari koklea terdiri dari :
 Labirinitis
Labirinitis (oleh bakteri/ virus) merupakan suatu proses radang yang meli-
batkan telinga dalam, palingsering disebabkan oleh otitis media kronik dan
berat. Penyebab lainnya bisadisebabkan oleh meningitis dan infeksi virus.
Pada otitis media maligna,kolesteatom paling sering menyebabkan labiri-
nitis, yang mengakibatkan kehilangan pendengaran mulai dari yang ringan
sampai yang berat.
 Obat ototoksik.
Merupakan obat yang dapat menimbulkan gangguan fungsi dan degenerasi
seluler telinga dalam dan saraf vestibuler. Gejala utama yang dapat timbul
akibat ototoksisitas ini adalah tinnitus, vertigo, dan gangguan pendengaran
yang bersifat sensorineural. Ada beberapa obat yang tergolong ototoksik,
diantaranya:
Antibiotik : streptomisin, neomisin, kanamisin, gentamisin, tobramisin,
eritromisin,kloramfenikol
Loop diuretic : furosemid, ethyrynic acid, dan bumetanidesc.
Obat anti inflamasi: salisilat seperti aspirind.
Obat anti malaria: kina dan klorokuine.
Obat anti tumor : bleomisin, cisplatin
 Presbikusis.
Merupakan tuli sensorineural frekuensi tinggi yang terjadi pada orang tua,
akibat mekanisme penuaan pada telinga dalam. Umumnya terjadi mulai-
usia 65 tahun, simetris pada kedua telinga, dan bersifat progresif. Pres-
bikusis ini terjadi akibat dari proses degenerasi yang terjadi
secara bertahap oleh karena
efek kumulatif terhadap pajanan yang berulang. Presbikusis dipengaruhi
oleh banyak faktor, terutama faktor lingkungan, dan diperburuk oleh pen-
yakit yang menyertainya.
 Trauma
Trauma pada telinga dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu trauma akus-
tik dan trauma mekanis. Trauma tertutup ataupun langsung pada tulang
temporal bisa mengakibatkan terjadinya tuli sensorineural. Diantara
semua trauma, trauma akustik merupakan trauma paling umum penyabab
tuli sensorineural. Fraktur tulang temporal dapat menyebabkan tuli senso-
rineural unilateral dan tuli konduksi. Tuli sensorineural terjadi jika fraktur
tersebut melibatkan labirin. Trauma dapat menimbulkan perpecahan pada
foramen ovale sehingga perilymph bocor ke telinga. Pasien tiba - tiba
mengalami kehilangan pendengaran, bersama dengan tinitus dan vertigo.
 Tuli akibat bising
Bising adalah suara atau bunyi yang mengganggu dan tidak dikehendaki.
Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya bising itu sangat subyektif, tergan-
tung dari masing-masing individu, waktu dan tempat terjadinya bising. Se-
dangkan secara audiologi, bising adalah campuran bunyi nada murni
dengan berbagai frekwensi. 1 Bising dengan intensitas 80 dB atau lebih
dapat mengakibatkan kerusakan reseptor pendengaran corti pada telinga
dalam. Hilangnya pendengaran sementara akibat pemaparan bising bi-
asanya sembuh setelah istirahat beberapa jam( 1 – 2 jam ). Bising dengan
intensitas tinggi dalam waktu yang cukup lama ( 10 – 15 tahun ), akan me-
nyebabkan robeknya sel-sel rambut organ Corti sampai terjadi destruksi to-
tal organ corti. Hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat
terpapar bising antara lain intensitas bising yang lebih tinggi, berfrekuensi
tinggi, lebih lama terpapar bising, kepekaan individu dan faktor lain yang
dapat menimbulkan ketulian. Tuli akibat bising mempengaruhi organ corti
di koklea terutama sel-sel rambut.
2. Retrokoklea
 Penyakit Meniere
Penyakit Meniere merupakan penyakit yang terdiri dari trias atau sindrom
Meniere yaitu vertigo,tinitus dan tuli sensorineural. Penyebab pasti dari
penyakit meniere belum diketahui, tapi dipercaya penyebab dari penyakit
ini berhubungan dengan hidrops endolimfe atau kelebihan cairan di telin-
ga dalam. Ini disebabkan cairan endolimfe keluar dari saluran yang nor-
malmengalir ke area lain yang menyebabkan terjadinya gangguan. Ini
mungkin dihubungkan dengan pembengkakan sakus endolimfatik atau
jaringan di system vestibuler dari telinga dalam yang merangsang organ
keseimbangan.
 Neuroma Akustik
Neuroma akustik adalah tumor intrakranial yang berasal dari selubung sel
Schwann nervusvestibuler atau nervus koklearis. Lokasi tersering berada
dicerebellopontin angel. Neuroma akustik berasal dari saraf vestibularis
dengan gambaran makroskopis berkapsul, konsistensikeras, bewarna
kuning kadang putih atau translusen dan bisa disertai komponen kistik
maupun perdarahan. Neuroma akustik ini diduga berasal dari titik dimana
glia (central) nerve sheats bertransisi menjadi sel schwann dan fibroblast.
Lokasi transisi ini biasanya terletak di dalamkanalis auditoris internus.
Tumor akan tumbuh dalam kanalis auditoris internus dan menyebabkan
pelebaran diameter dan kerusakan dari bibir bawah porus. Selanjutnya
akan tumbuh dan masuk ke cerebellopontin angel mendorong batang otak
dan cerebellum. Tuli akibat neuroma akustik ini terjadi akibat:
a. trauma langsung terhadap nervus koklearis
b. gangguan suplai darah ke kokleaTrauma langsung yang progresif me-
nyebabkan tuli sensorineural yang berjalan progresif lambat sedangkan
pada gangguan suplai darah koklea ditemukan tuli sensorineural men-
dadak dan berfluktuasi.

D. Patofisiologi
Pada proses pendengaran normal, gelombang suara sampai di aurikula dan di-
jalarkan melalui kanalis auditoris eksternal menuju membran timpani. Ketika
mengenai membran timpani, gelombang digetarkan, membuat rantai getaran sepan-
jang tulang pendengaran (maleus, inkus, dan stapes) ke membran foramen ovale dan
masuk menuju koklea.
Proses ini menyebabkan amplifikasi suara dari lingkungan menjadi sekitar 20
kali lebih keras. Koklea merupakan organ terakhir dari sistem pendengaran yang ber-
bentuk seperti rumah siput dengan saluran dua setengah lingkaran. Di dalamnya, dua
membran secara longitudinal membagi koklea menjadi tiga bagian, yaitu skala timpa-
ni, skala vestibuli, dan skala media. Ketiga bagian tersebut berisi cairan dengan kon-
sentrasi ion yang berbeda (sama dengan kandungan cairan intraseluler dan ekstrase-
luler). Di sepanjang membran pada skala media atau duktus koklearis terdapat sel
rambut internal dan eksternal.
Pergerakan dari tulang stapes pada foramen ovale menimbulkan gelombang
atau getaran pada cairan perilimfe di dalam koklea. Pergerakan cairan, yang membuka
kanal ion pada sel rambut, menggeser sel rambut, memicu potensial aksi, dan membu-
at saraf pada koklea mengirimkan stimulus menuju otak. Pada SNHL terjadi hambat-
an pada transmisi setelah melalui koklea. Gangguan tersebut dapat terjadi pada koklea
itu sendiri, saraf vestibulokoklearis, atau jalur persarafan dari telinga ke otak. Aki-
batnya, otak tidak dapat menangkap dan mengintepretasikan gelombang suara yang
ditransmisikan. Gangguan ini dapat disebabkan oleh berbagai etiologi dan faktor-
faktor yang merusak sel rambut pada koklea atau merusak saraf vestibulokoklearis
(N.VIII). Derajat dari distorsi tidak berkaitan dengan derajat hilangnya pendengaran.
E. Diagnosis
1. Anamnesis
Diperlukan anamnesis yang terarah untuk menggali lebih dalam dan luas keluhan
utama pasien.Keluhan utama telinga antara lain pekak (tuli), suara berdenging
(tinnitus), rasa pusing berputar (vertigo), rasa nyeri di dalam telinga (otalgia), dan
keluar cairan dari telinga (otore). Perlu ditanyakan apakah keluhan tersebut pada
satu atau kedua telinga, timbul tiba-tiba atau bertambah berat, sudah berapa lama
diderita, riwayat trauma kepala, telinga tertampar, trauma akustik,terpajan bising,
pemakaian obat ototoksik, pernah menderita penyakit infeksi virus, apakah
gangguan pendengaran ini sudah diderita sejak bayi sehingga terdapat gangguan
bicara dan komunikasi, dan apakah gangguan lebih terasa di tempat yang bising
atau lebih tenang.
2. Pemeriksaan Fisik Uji Penala
 Uji Rinne : dilakukan dengan menggetarkan garpu tala 512Hz dengan
jari ataumengetukkannya pada siku atau lutut pemeriksa. Kaki garpu
tala tersebut diletakkan pada tulang mastoid telinga yang diperiksa
selama 2-3detik. Kemudian dipindahkan ke depan liang telinga selama
2-3detik. Pasien menentukan tempat mana yang terdengar lebih keras.
Jika bunyi terdengar lebih keras bila garpu tala diletakkan depan liang
telinga berarti telinga yang diperiksa normal atau menderita tuli senso-
rineural. Keadaan seperti ini disebut Rinne positif. Bila bunyi yang
terdengar lebih keras di tulang mastoid, maka telinga yang diperiksa
menderita tuli konduksi dan biasanya lebih dari 20 dB. Hal ini disebut
Rinne negatif.
 Uji Weber: dilakukan dengan meletakkan kaki penala yang telah dige-
tarkan padagaris tengah wajah atau kepala. Dinyatakan pada telinga
mana yang terdengar lebih keras. Pada keadaan normal pasien
mendengar suara di tengah atau tidak dapat membedakan telinga mana
yang mendengar lebih keras. Bila pasien mendengar lebih keras pada
telinga yang sehat (lateralisasi ke telinga yang sehat) berarti telinga-
yang sakit menderita tuli sensorineural. Bila pasien mendengar lebih
keras padatelinga yang sakit (lateralisasi ke telinga yang sakit) berarti
telinga yang sakit menderita tuli konduktif.
 Uji Schwabach : Penala digetarkan, tangkai penala diletakkan pada
prosesus mastoideus sampai tidak terdengar bunyi. Kemudian tangkai
penala segera dipindahkan pada prosesus mastoideus telinga pemeriksa
yang pendengarannya normal. Bila pemeriksa masih dapat mendengar
disebut schwabach memendek, bila pemeriksa tidak dapat mendengar,
pemeriksaan diulang dengan cara sebaliknya yaitu penala diletak-
kan pada prosesus mastoideus pemeriksa lebih dulu. Bila pasien masih
dapat mendengar bunyi disebut schwabach memanjang dan bila pasien
dan pemeriksa kira-kira sama-sama mendengar maka schwabach sama
dengan pemeriksa.
3. Pemeriksaan Penunjang:
 Timpanometri : pengukuran tekanan telinga yang berhubungan dengan tu-
ba saluran eustachius pada membran timpani. Tujuan : mengetahui Com-
pliance/mobilitas membrana timpani, tekanan pada telinga tengah, serta
volume canalis auditorius eksterna.
 Pemeriksaan audiologi khusus : untuk membedakan tuli koklea dan tuli
retrokoklea diperlukan pemeriksaan yang terdiri dari audiometri khusus,
audiometri objektif, pemeriksaan tuli anorganik, dan pemeriksaan audi-
ometri anak.
 Play audiometry
Pemeriksaan ini digunakan untuk anak usai 2-5 tahun, meliputi teknik
melatih anak untuk mendengar stimulus bunyi disertai penamatan re-
spons motorik spesifik dalam suatu aktivitas permainan. Jika metode
ini gagal, dapat digunakan pemeriksaan BERA.
 Speech Audiometry
Pemeriksaan ini dapat mengukur ambang penerimaan bicara melalui
kata-kata yang diucapkan atau diperdengarkan melalui audiometri ini
 Brainstem evoked response audiometry (BERA)
Pemeriksaan BERA merupakan pemeriksaan elektrofisiologis untuk
menilai integritas sistem auditorik, bersifat objektif, dan tidak invasif.
Pemeriksaan inidikatakan objektif karena tidak bergantung pada usia,
dapat memeriksa bayi, anak, dewasa, atau penderita koma. Pemerik-
saan BERA dilakukan dengan melihat respons pusat auditoris pada
batang otak terhadap stimulus auditoris (klik). Pemeriksaan dilakukan
dengan menimbulkan klik atau nada pip singkat yang ditransmisikan
dari transducer akustik dalam bentuk earphone atau headphone. Ge-
lombang yang dihasilkan diukur melalui permukaan elektroda yang
ditempatkan pada verteks dan lobus telinga. Rata-rata amplitudo
(mikrovoltase) dari sinyal yang dihasilkan dan waktu (milidetik) yang
dibutuhkan untuk menimbulkan respons ditunjukkan dalam bentuk
grafik, seperti electroenchepalogram (EEG).
F. Tatalaksana
Penatalaksanaan tuli sensorineural disesuaikan dengan penyebab ketulian. Tuli
karena pemakaian obat-obatan yang bersifat ototoksik, diatasi dengan penghentian obat.
Jika diakibatkan oleh bising, penderita sebaiknya dipindahkan kerjanya dari lingkungan
bising. Bila tidak memungkinkan dapat menggunakan alat pelindung telinga terhadap bi-
sing, seperti sumbat telinga (ear plug ), tutup teling (iear muff) dan pelindung kepala
(helmet ). Apabila gangguan pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan berkomunikasi
bisa menggunakan alat bantu dengar.
1. Alat Bantu Dengar (ABD)
Rehabilitasi sebagai upaya untuk mengembalikan fungsi pendengaran dilakukan
dengan pemasangan alat bantu dengar (hearing aid Memasang suatu alat ban-
tudengar merupakan suatu proses yang rumit yang tidak hanya melibatkan derajat
dan tipe ketulian, namun juga perbedaan antar telinga, kecakapan diskriinasi dan
psikoakustik lainnya.
2. Implan Koklea
Implan koklea merupakan perangkat elektronik yang memepunyai kemampu-
anmenggantikan fungsi koklea untuk meningkatkan kemampuan mendengar
dan berkomunikasi pada pasien tuli sensorineural berat dan total bilateral. Indikasi
pemasangan implan koklea adalah :
 Tuli sensorineural berat bilateral atau tuli total bilateral (anak maupun dewasa)
yang tidak / sedikit mendapat manfaat dari ABD.
 Usia 12 bulan - 17 tahun
 Tidak ada kontra indikasi medis
 Calon pengguna mempunyai perkembangan kognitif yang baik

Kontra Indikasi pemasangan implan koklea antara lain :


 Tuli akibat kelainan pada jalur pusat (tuli sentral)
 Proses penulangan koklea
 Koklea tidak berkembang

3. Medikamentosa: vitamin B1, 1x100mg (neurotropik)


8. Conductive Hearing Loss
Nadila Nur Haspiani Putri

- 1261050111

1. DEFINISI
Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara parsial atau total untuk
mendengar suara pada salah satu atau kedua telinga.
Tuli konduktif adalah hilangnya pendengaran karena tidak dapat tersampaikannya
getaran suara. Pada tuli konduktif terdapat gangguan hantaran suara, disebabkan oleh
kelainan atau penyakit di telinga luar atau di telinga tengah.1
Tuli konduktif atau Conductive hearing loss adalah jenis ketulian yang tidak dapat
mendengar suara berfrekuensi rendah. Misalnya tidak dapat mendengar huruf U dari kata
susu sehingga penderita mendengarnya ss. Biasanya gangguan ini ”reversible” karena
kelainannya terdapat di telinga luar dan telinga tengah. (purnawan junadi,dkk. 1997 hal.
238)

2. EPIDEMIOLOGI
Data WHO tahun 2005 memperkirakan sejumlah 250 juta penduduk dunia mengalami
gangguan pendengaran dan ketulian dan angka ini meningkat di tahun 2005 menjadi 278
juta (4,6%) dengan gradasi gangguan pendengaran sedang dan berat. Jika tidak segera
ditangani maka pada tahun 2015, akan ada lebih dari 700 juta penduduk dunia yang
menderita gangguan pendengaran. Menurut WHO, setengah jumlah ini berada di Asia
Tenggara termasuk Indonesia.6
Dari WHO Multicenter Study tahun 1998, Indonesia menduduki nomer 4 (4,6%)
setelah Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%) dan India (6,3%). Data di Indonesia berdasar-
kan Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran tahun 1994-1996, didapati
bahwa : Morbiditas penyakit telinga adalah 18.5 %, dengan prevalensi gangguan pen-
dengaran 16,8 % dan ketulian 0,4.%, paling tinggi pada kelompok usia sekolah (7-18 ta-
hun). Penyakit infeksi penyebab ketulian yaitu OMSK (congek) 3,1% (sekitar 6 juta), Tu-
li pada orang tua (2,6%), Tuli sejak lahir (0,1%). Bayi lahir tuli diperkirakan berkisar 0,1-
0,2% dan dengan angka kelahiran di Indonesia sekitar 2,6%, maka setiap tahunnya akan
ada 5.200 bayi tuli di Indonesia.6
Data studi di berbagai sekolah dasar di Indonesia (Jakarta, Tanggerang, Bekasi,
Krawang, Surabaya, Semarang, Medan dll), ternyata angka serumen (kotoran telinga) dan
OMSK (congek) cukup tinggi, serumen didapati sekitar 50% anak SD. Umumnya congek
terjadi karena tingginya infeksi saluran pernafas atas (ISPA) dan gizi buruk akibat
kemiskinan.6

3. ETIOLOGI
1. Tuli konduktif disebabkan kelainan di telinga luar atau telinga tengah.
Kelainan telinga luar yang menyebabkan tuli konduktif adalah:
a. Otalgia, rasa nyeri di dalam telinga.
b. Atresia liang telinga, Malformasi lengkap dari saluran telinga eksternal disebut
atresia. Ini dapat dilihat bersama dengan malformasi lengkap atau sebagian dari
pinna (telinga luar) dan ditemukan pada saat lahir. Hal ini jarang terkait dengan
kelainan bawaan lainnya dan yang paling sering hanya pada satu sisi (unilateral).
c. Sumbatan oleh serumen, Kotoran telinga dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan
medis dan biasanya dapat dihilangkan dengan cepat.5
d. Sumbatan benda asing, Hal ini juga mudah diidentifikasi pada pemeriksaan dan
biasanya dapat dibersihkan di poli klinik. Kadang-kadang, anestesi singkat diper-
lukan untuk prosedur ini pada anak-anak. Umumnya benda asing termasuk man-
ik-manik dan kacang pada anak-anak dan kapas atau ujung kapas-tipped aplikator
pada orang dewasa. Jarang, Kadang binatang hidup seperti kecoa yang dapat me-
nyebabkan gatal, nyeri dan kebisingan.1
e. Otitis eksterna sirkumskripta,infeksi pilosebaseus oleh staphylococcus aureus atau
staphylococcus albus. Rasa nyeri yang hebat yang tidak sesuai dengan besar
bisul.1
f. Otitis eksterna maligna, Otitis Eksterna Maligna merupakan infeksi telinga luar
yang ditandai dengan adanya jaringan granulasi pada liang telinga dan nekrosis
kartilago dan tulang liang telinga hingga meluas ke dasar tengkorak. Keadaan ini
sering dijumpai pada pasien diabetes mellitus atau pasien dengan
immunocompromised.7
g. Osteoma liang telinga.
2. Kelainan telinga tengah yang menyebabkan tuli konduktif ialah
a. Sumbatan tuba eustachius, dapat terjadi oleh berbagai kondisi, seperti peradangan
di nasofaring, peradangan adenoid atau tumor nasofaring.1
b. Otitis media,
c. Otosklerosis, berupa berkurangnya getaran tulang pendengaran dikarenakan
adanya pertumbuhan tulang yang abnormal yang penyebab pastinya belum
diketahui. Hilangnya pendengaran terkait dengan otosklerosis kemungkinan untuk
perlahan-lahan kemajuan dari waktu ke waktu.
d. Timpanosklerosia, membran timpani yang menunjukkangambaran bercak-bercak
putih tebal atau menjadi putih dan tebal seluruhnya akibattimbunan kolagen
terhialinisasi pada bagian tengahnya yang disebabkan proses autoimun
e. Hemotimpanum, terdapatnya darah pada kavum timpani dengan membrana
timpani berwarna merah atau biru. Warna tidak normal ini disebabkan oleh cairan
steril bersama darah di dalam telinga tengah. Keadaan ini dapat menyebabkan tuli
konduktif, biasanya ada sensasi penuh atau tekanan. Hemotimpanum bukan
merupakan suatu penyakit akan tetapi lebih kepada suatu gejala dari penyakit
yang sering disebabkan oleh karena trauma.
f. Dislokasi tulang pendengaran yaitu pada fraktur os temporal dan trauma
iatrogenik pada ekstraksi benda asing di telinga tengah

4. PATOGENESIS
Gangguan pendengaran konduktif adalah suatu bentuk gangguan pendengaran akibat
kelainan pada bagian dari telinga. Mereka adalah bagian bergerak (termasuk gendang tel-
inga) yang mengirimkan suara dari luar ke telinga bagian dalam dimana sistem saraf kita
membutuhkan dan mengirimkan sinyal ke otak. Gangguan pendengaran konduktif terjadi
ketika bagian-bagian bergerak yang rusak atau ketika mobilitas mereka terganggu.
Patofisiologi tuli konduktif berdasarkan penyebabnya berupa gangguan hantaran suara
yaitu dikarenakan kelainan pada telinga luar dan telinga tengah anatar lain :
Gambar 6. Lokasi anatomis tuli konduktif
Otalgia

Nyeri di temporomandibularis, nyeri dari bagian lain seperti


laring, faring, vertigo, iritasi lokal.

menjalar

Kulit telinga yang banyak saraf (nervus kranialis V, VII, IX,


dan X selain cabang saraf servikalis kedua dan ketiga.)

Kulit sensitif

Bila tidak diatasi kemungkinan saraf menjadi kebas

Gangguan pendengaran karena saraf kurang peka

Benda asing

Benda asing (serangga, kerikil, manik-manik, dll)

Masuk telinga kanalis

Penderita mencoba membersihkan

Resiko terdorong ke bagian tulang kanalis

Laserasi kulit

Membran timpani

Nyeri dan penurunan pendengaran


5. DIAGNOSIS DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
Ada beberapa karakteristik yang ditemukan pada tuli konduktif, yang palin utama
adalah pasien dapat mendengar lebih baik dengan hantaran tulang dibandingkan
dengan hantaran udara, dan biasanya hantaran tulang mendekati normal. Pada tuli
konduktif murni hantaran tulang normal atau mendekati normal karena tidak ada
kerusakan di telinga dalam atau jaras pendengaran. Dari anamnesis dan pemeriksaan
fisik di dapatkan beberapa karakteristik dari tuli konduktif , yaitu :
1. Anamnesis menunjukan adanya riwayat keluar cairan dari telinga , atau pernah
mengalami infeksi telinga, bias disertai dengan gangguan pendengaran.
2. Tinitus, digambarkan sebagai dengungan nada rendah
3. Mendengar lebih baik pada tempat yang ramai (paracusis of willis)
4. Pada saat mengunyah, penderita menjadi lebih terganggu
5. Ditemukan air bone gap
6. Pada pemeriksaan otologis ditemukan adanya kelainan di canalis acusticua
eksternus, membran timpani, atau telinga tengah. Kadang ditemukan gambaran
”fluid level” di belakang membran timpani
7. Tidak ada kesulitan dalam komunikasi terutama bila suara cukup keras
8. Bila kedua telinga terkena, biasanya penderita berbicara dengan suara lembut
(soft voice) khususnya pada penderita otosklerosis.

Beberapa pemeriksaan untuk menunjang diagnosa tuli konduktif adalah dengan


audiologi dasar berupa :
A. Tes Penala
Pemeriksaan ini merupakan tes kualitatif. Seperti tes rine, tes weber, tes schwa-
bach
- Tes weber : Membandingkan hantaran tulang telinga kiri dengan telinga kakan
- Tes Schwabach : Membandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa
dengan memeriksa yang pendengarannya normal.
- Tes Rinne : Membandingkan hantaran melalui udara dan hantaran melalui
udara dan hantaran melalui tulang pada telinga yang diperiksa

Gambar 7. Cara melakukan tes Rinne

Gambar 8. Hasil kesimpulan pada tes weber dan rinne

B. Tes Berbisik
Pemeriksaan ini bersifat semi-kuantitatif, menentukan derajat ketulian secara
kasar. Hal yang perlu diperhatikan ialah ruangan cukup tenang, dengan panjang
minimal 6 meter dengan nilai normal 5/6-6/6.1
Pada tes fungsi pendengaran, yaitu tes bisik, dijumpai penderita tidak dapat
mendengar suara bisik pada jarak lima meter dan sukar mendengar kata-kata yang
mengandung nada rendah.

C. Audiometri
3. Audiometri nada murni adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengukur
sensivitas pendengaran dengan alat audiometer yang menggunakan nada murni
(pure tone). Ambang nada murni diukur dengan intensitas minimum yang dapat
didengar selama satu atau dua detik melalui antaran udara ataupun hantaran
tulang. Frekuensi yang dipakai berkisar antara 125 – 8000 Hz dan diberikan
secara bertingkat (Feldman dan Grimes, 1997).
4. Audiometri harus memenuhi 3 persyaratan untuk mendapatkan keabsahan
pemeriksaan yaitu (1) audiometri yang telah dikalibrasi, (2) suasana/ruangan
sekitar pemeriksa harus tenang, dan (3) pemeriksa yang terlatih.
5. Komponen yang ada pada audiometri yaitu:
1. Oscilator: untuk menghasilkan bermacam nada murni
2. Amplifier: alat untuk menambah intensitas nada
3. Interuptor/pemutus : alat pemutus nada
4. Atteneurator: alat mengukurintensitas suara
5. Earphone: alat merubah sinyal listrik yang ditimbulkan audiometer menjadi
sinyal suara yang dapat didengar
6. Masking noise generator: untuk penulian telinga yang tidak diperiksa
6. Cara pemeriksaan audiometri adalah headphone dipasang pada telinga
untuk mengukur ambang nada melalui konduksi udara. Tempat pemeriksaan
harus kedap udara. Pasien diberitahu supaya menekan tombol bila mendengar
suara walaupun kecil. Suara diberi interval 2 detik, biasanya dimulai dengan
frekwensi 1000 Hz sampai suara tidak terdengar. Kemudian dinaikkan 5 dB
sampai suara terdengar. Ini dicatat sebagai audiometri nada murni (pure tone
audiometry) (Keith, 1989).
7. Biasanya yang diperiksa terlebih dahulu adalah telinga yang dianggap
normal (tidak sakit) pendengarannya melalui hantaran udara, kemudian diperiksa
melalui hantara tulang. Kalau perbedaan kekurangan pendengaran yang diperiksa
50 dB atau lebih dari telinga lainnya, maka telinga yang tidak diperiksa harus
ditulikan (masking). Ketika memeriksa satu telinga pada intensitas tertentu, suara
akan terdengar pada telinga yang satu lagi. Hal ini disebut “cross over” yang
dapat membuat salah interpretasi pada pemeriksaan audiometer.
8. Notasi pada audiogram.
9. Untuk pemeriksaan audiogram, dipakai grafik AC, yaitu dibuat dengan
garis lurus penuh (intensitas yang diperiksa antara 125-8000Hz) dan grafik BC
yaitu dibuat dengan garis terputus-putus.
10. Untuk telinga kiri dipakai warna biru, sedangkan untuk telinga kanan
warna merah.

Gambar 9. Audiogram normal AC Air conduction telinga kiri dan kanan

Gambar 10. Audiogram normal AC Air conduction telinga kiri dan kanan (AC<25db)
Gambar 10. Audiogram tuli konduktif telinga kanan (BC normal 10db, AC>25 db)

Derajat gangguan pendengaran berdasarkan International Standard Organization


(ISO) adalah normal (0 – 25 dB), tuli ringan (26 – 40 dB), tuli sedang (41 – 60 dB),
tuli berat (61 – 90 dB), dan tuli sangat berat (>90 dB).1

6. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan tuli konduktif tentulah sesuai dengan etiologi dari tuli konduktif
tersebut berupa observatif, medikamentosa dan tindakan operatif. Tindakan
pembedahan seperti stapedeotomy pada otosclerosis, pada perforasi membran timpani
seperti timpanoplasty ataupun tindakan miringotomi serta mastoidektomy pada otits
media.
RESEP
dr. Nadila Nur
1261050111
Jl. Lembah Aren 2, Pondok Kelapa, Jakarta Timur

Jakarta , 21 Maret 2018

R/ Sol H2O2 3% 5cc No. I


S 2 dd gtt AD

Nama : Tn. X
Umur : 30 tahun
10. Miringitis Bulosa
Jessica audina 1261050160

Miringitis atau inflamasi pada membran timpani merupakan salah satu jenis kelainan ya
ng dapat mengakibatkan gangguan pendengaran dan menimbulkan sensasi kongesti s
erta nyeri telinga. Setelah tiga minggu, suatu miringitis akut akan menjadi subakut, dan a
pabila tidak tertangani hingga 3 bulan, maka kita sudah dapat mengkategorikannya sebag
ai suatu kasus kronik.Miringitis bulosa merupakan suatu miringitis akut yang ditandai o
leh adanya pembentukan bulla pada membran timpani.1 Adapun referensi lain menyebu
tkan bahwa miringitis bulosa adalah bentuk perandangan v irus yang jarang dalam teling
a yang menyertai selesma dan influenza.

B.PATOGENESIS
Suatu infeksi virus menyebabkan gangguan epitel pernapasan dan disfungsi tuba Eusta-
chius, yang menyebabkan tekanan negative di telinga tengah dan akumulasi sekresi pada
telinga tengah. Disfungsi tuba Eustachius memungkinkan mikroba pathogen untuk masuk
dari nasofaring ke telinga tengah dan menyebabkan serangan otitis media akut. Telah di-
perkirakan adanya lesi bulosa mungkin hanya manifestasi dari cidera mekanik membran
timpani atau reaksi jaringan non-spesifik untuk beberapa agen infektif. Dalam beberapa
kasus iritasi tahap awal otitis media akut kausa bakteri, dilain kasus mungkin karena agen
infeksi virus. Karelitz merasa bahwa faktanya dalam hampir semua kasus myringitis, in-
feksi saluran nafas atas yang ada, menunjukkan bahwa jalurnya adalah melalui tuba eusta-
chius, pertama menyebabkan radang telinga tengah dan kemudian secara sekunder me-
nyebabkan myringitisbulosa.

Middle ear fluid (MEF) telah sering ditemukan pada myringitis bulosa dan mungkin
timbul sebagai akibat dari pecahnya bulla ke telinga tengah atau bulla mungkin telah
muncul secara sekunder setelah radang telinga tengah. Pada tulang temporal manusia oti-
tis media akut telah ditunjukkan bahwa membran timpani lebih tebal dibandingkan
dengan telinga normal. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh pembengkakan lapisan
jaringan subepitel dan submukosa membran timpani. Selain itu, ada banyak kapiler dan
infiltrasi sel inflamasi ke dalam lapisan jaringan subepitel dan submukosa. Studi histology
pada myringitis bulosa kurang, tetapi dapat dibayangkan bahwa di awal penyakit reaksi
inflamasi yang kuat diprakarsai oleh paparan pathogen yang menyebabkan akumulasi
cairan kotor pada membran timpani.
C.MANIFESTASIKLINIS
Myringitis bulosa dianggap sebagai penyakit self limiting disease, kadang-kadang men-
jadi rumit oleh infeksi sekunder yang purulen. Namun komplikasi serius seperti menin-
goensefalitis telah dilaporkan dalam beberapa kasus yang langka. Karakteristik gambaran
klinis pasien yaitu tiba-tiba nengalami sakit telinga yang parah atau otalgia. Pada anak-
anak dengan gejala otitis media akut biasanya tidak spesifik, karena mereka tidak dapat
mengungkapkan gejala atau asal usul rasa sakit. Dalam myringitis akut otalgia sifatnya
berdenyut. Nyeri biasanya terletak di dalam telinga, tetapi dapat menyebar ke ujung mas-
toid, tengkuk,temporomandibula bersama wajah.

Pada kebanyakan pasien nyeri mereda dalam satu atau dua hari, namun beberapa kelu-
han biasanya dirasakan selama tiga hari sampai empat hari. Rasa sakit tidak sepenuhnya
hilang setelah myringotomi atau setelah bulla pecah spontan. Membran timpani kembali
ke keadaan normalnya dalam dua atau tiga minggu. Otoskopi menunjukkan suatu mem-
bran timpani meradang dengan satu atau lebih bulla. Bulla ini penuh dengan cairan
bening, agak kuning atau perdarahan.

Beberapa bulla hampir tidak bisa dibedakan dan beberapa menempati sebagian besar
membran timpani. Bulla yang muncul paling sering pada sisi posterior atau postero inferi-
or membran timpani atau pada dinding kanalis posterior. Bulla ini tampaknya hanya meli-
batkan lapisan subepitel dari membran timpani. Myringitis bulosa sering terdeteksi hanya
unilateral sedangkan di beberapa penelitian proporsi infeksi bilateral tersebut telah 11-
33%. Jika bulla pecah maka debit serosanguineous durasi pendek muncul di saluran telin-
ga, kecuali keadaannya menjadi rumit oleh invasi bakteri saat discharge menjadi purulen.
Peningkatan suhu tubuh biasanya terlihat dalam perjalanan awal myringitis tersebut. Bulla
paling sering menghilang dengan sendirinya. Dalam sebagian besar kasus bulla berlang-
sung tiga atau empat hari.

D.DIAGNOSIS
• Anamnesis
Secara umum, keluhan utama pasien yang mengalami miringitis adalah nyeri pada daerah
telinga yang onsetnya 2-3 hari terakhir sebab bulla terbentuk pada area yang kaya akan
persarafan pada epitel terluar membran timpani. Keluhan pada telinga dan gangguan pen-
dengaran. Kemudian dari anamnesis lebih lanjut, bisa kita dapatkan riwayat demam serta
kemungkinan riwayat trauma pada saluran telinga akibat membersihkan telinga, atau pun
akibat penetrasi benda asing. Kadang juga pasien mengeluhkan adanya cairan yang keluar
dari telinga. Adanya riwayat penyakit saluran pernafasan dan gangguan telinga sebe-
lumnya juga perlu ditanyakan.
• Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan yang penting untuk mendiagnosis miringitis bulosa adalah otoskopi. Ada-
paun beberapa temuan yang bisa didapatkan dari pemeriksaan otoskopi pada pasien mir-
ingitis antara lain
- Terdapat tanda-tanda inflamasi pada membran impani, seperti warna membran terlihat
lebih merah, serta tampak mengalami deformasi, dan refleks cahaya memendek atau
bahkan menghilang sama sekali.
- Karakteristik dari miringitis bulosa adalah adanya bulla pada membran timpani. Kita
harus dapat membedakan antara bulla yang berasal dari membran timpani dan bula yang
berasal dari saluran telinga luar. Bulla ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan pada
membran timpani.
- Pada beberapa kasus dapat ditemukan nyeri ketika pinna ditarik.
- Pneumatik otoskopi, dengan pemeriksaan ini kita dapat menentukan apakah miringitis
bulosa sudah menyebabkan perforasi.
Pemeriksaan lain
- Pada pemeriksaan kelenjar, terdapat limfadenopati servikal posterior.
- Pada pemeriksaan pendengaran dapat ditemukan adanya penurunan pendengaran.
- Tympanometri: pemeriksaan ini dilakukan untuk menemukan bukti adanya cairan di
belakang membran timpani. Sehingga kita dapat mengetahui adanya otitis media yang
menyertai miringitis bulosa.
- Tympanoparasintesis: pemeriksaan ini dilakukan untuk kultur dan identifikasi agen
penyebab miringitis bulosa.

Gambar 1. Sebuah bula besar yang


berisis cairan serosa pada permukaan su- per-
fisial membran timpani kanan pada regio umbo. Dan Miringitis bulosa pada telinga kanan

E.DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding untuk miringitis hemoragik atau bulosa


- Otitis eksterna
- Herpes zoster otikus ( Sindroma Ramsay-Hunt)
Sindrom Ramsay-Hunt ini harus dibedakan dari myringitis akut. Pada sindrom Ramsay-H
unt, ada paralisis saraf perifer pada wajah, disertai dengan ruam vesikuler eritematosa di t
elinga (oticus zoster) atau di dalam mulut, dan lepuh terlihat dalam banyak kasus di daera
h antihelix, fossa dari antihelix dan atau lobulus. Dalam beberapa kasus lepuhan juga terli
hat di dalam liang telinga. Virus Varicella zoster adalah agent dari sindrom ini.

F. PENATALAKSANAAN
• Prosedur penatalaksanaan miringitis
- Pembersihan kanalis auditorius eksterna
- Irigasi liang telinga untuk membuang debris (kontraindikasi bila status membran tim
pani tidak diketahui)
- Timpanosintesis, yaitu pungsi kecil yang dibuat di membran timpani dengan sebuah
jarum untuk jalan masuk ke telinga tengah. Prosedur ini dapat memungkinkan dilak
ukan kultur dan identifikasi penyebab inflamasi.
- Miringotomi, dimana pada otitis media akut miringotomi dan pembuangan cairan m
encegah terjadinya pecahnya membran timpani setelah “bulging”. Tindakan ini men
yembuhkan gejala lebih cepat, dan insisi sembuh dalam waktu lebih cepat.
- Timpanostomi dengan insersi pipa ke telinga tengah memungkinkan drainase.

• Myringitomi atau insisi bulla

Pada beberapa dekade terakhir, telah direkomendasikan untuk dilakukan insisi bulla sebag
ai terapi pilihan. Namun beberapa mengatakan bahwa myringotomi dapat meningkatkan r
isiko infeksi sekunder pada telinga tengah. Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars te
nsa membran timpani agar terjadi drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar.
Miringotomi ini merupakan indikasi untuk kasus otitis media supuratif akut dengan eksud
asi pada timpani.
Miringotomi merupakan tindakan pembedahan kecil yang dilakukan dengan syarat tindak
an ini harus dilakukan secara a-vue (dilihat langsung), anak harus tenang dan dapat dikuas
ai, sehingga membran timpani dapat dilihat dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kua
dran posterior-inferior. Untuk tindakan ini haruslah memakai lampu kepala yang mempun
yai sinar cukup terang, memakai corong telinga yang sesuai dengan besar liang telinga, da
n pisau khusus (miringotom) yang digunakan berukuran kecil dan steril.

• Medikamentosa
Prinsip pengobatan adalah meredakan nyeri dan mencegah terjadinya infeksi sekunder. Pe
nanganan miringitis bulosa terdiri dari pemberian analgetika untuk nyeri dan memelihara
kebersihan dan kekeringan telinga. Terapi konservatif ditujukan untuk mengurangi rasa ny
eri. Analgetik, obat anti-inflamasi, antipruritics, antihistamin, dan antibiotik dapat diberik
an. Dalam hal komplikasi supuratif, membran timpani berlubang, atau kecurigaan dari ma
stoiditis, dianjurkan konsultasi pada dokter ahli. Saran dari dokter ahli diperlukan untuk m
emilih pengobatan yang sesuai dan untuk memastikan perawatan yang berhasil pada myri
ngitis kronis disertai dengan perforasi membran timpani. Pengobatan khusus perforasi me
mbran timpani meliputi:
- Larutan alkohol yang mengandung asam salisilat merangsang pertumbuhan epitel y
ang sangat berguna jika tingkat pertumbuhan epithelium berkurang. Namun, ketika
kontak dengan mukosa telinga tengah, alkohol bisa menyebabkan sakit telinga dan iri
tasi berlebihan mukosa dengan meningkatnya sekresi lendir berikutnya.
- Larutan burowi dapat membantu menghilangkan peradangan pada mukosa pada telin
ga tengah, tetapi dapat menyebabkan maserasi dari epidermis dalam liang telinga.

Pemberian antibiotik:
Lini I
- Amoksisilin
Dewasa = 3 x 500 mg/hari
Bayi/anak = 50 mg/kgBB/hari
- Eritromisin
Dosis dewa dan anak sama dengan dosis amoksisilin
- Cotrimoksazol
Dewasa = 2 x 2 tablet
Anak = TM 40 dan SMZ 200 mg
Suspensi 2 x 1 cth

Lini II
Bila ditengarai oleh kuman yang sudah resisten (infeksi berulang)
- Kombinasikan amoksisilin dan asam klavulanat dengan dosis:
Dewasa = 3 x 625 mg/hari
Bayi.anak = disesuaikan dengan BB dan usia
- Sefalosporin II/III oral (cefuroksim, cefiksim, cefadroxyl, dsb)
Antibiotik diberikan 7-10 hari. Pemberian yang tidak adekuat dapat menyebabkan kekamb
uhan.

Pemberian kortikosteroid:
Prednison 40-60 mg/hari (single dose) diberikan pada pagi hari selama satu minggu kemu
dian dosis diturunkan perlahan.
Pemberian analgetik:
Dengan pemberian asetaminofen dengan kodein. Hasil yang baik didapat dari penggunaan
larutan asetil salisilat.

dr. Jessica Audina


SIP 1261050160
Jalan Mayjen Sutoyo no 18
Cawang Jakarta Timur

Jakarta15 Maret 2017


R/ amoksisilin tab 500mg No.I
S 3 dd I tab
Paraf
R/ prednison tab 40 mg No.I
S 1 dd I tab p.d. Sing
Paraf

Pro : Tn. X
Umur : 27 tahun

11. Meniere Syndrome

Hansen Ferdinan Panjaitan

1261050169

1. Definisi
Penyakit Meniere adalah kelainan telinga bagian dalam yang menyebabkan tim-
bulnya episode vertigo (pusing berputar), tinnitus (telinga berdenging), perasaan penuh
dalam telinga, dan gangguan pendengaran yang bersifat fluktuatif. Sehingga menyebab-
kan penderitanya tidak mampu mempertahankan posisi dalam berdiri tegak. Hal ini
disebabkan oleh adanya hidrops (pembengkakan) rongga endolimfa pada kokhlea dan
vestibulum.
2. Epidemiologi

Penyakit Meniere dapat ditemukan pada hampir semua usia, namun paling ban-
yak ditemukan pada usia 40 sampai 60 tahun. Penyakit Meniere lebih sering mengenai
wanita dibandingkan dengan pria, dengan rasio perbandingan 1,3 :1 sampai 1,8:1. Pada
sebagian besar kasus timbul pada laki-laki atau perempuan dewasa. Paling banyak
ditemukan pada usia 20-50 tahun. Kemungkinan ada komponen genetic yang berperan
dalam penyakit Meniere karena ada riwayat keluarga yang positif sekitar 21% pada
pasien dengan penyakit Meniere. Pasien dengan risiko besar terkena penyakit Meniere
adalah orang-orang yang memiliki riwayat alergi, merokok, stress, dan pasien yang
alkoholisme
3. Etiologi

Penyebab pasti penyakit Meniere ini belum diketahui secara pasti. Namun terdapat
berbagai teori termasuk pengaruh neurokimia dan hormonal abnormal pada aliran darah
yang menuju labirin dan terjadi gangguan elektrolit dalam cairan labirin, reaksi alergi dan
autoimun.4 Penyakit Meniere masa kini dianggap sebagai keadaan diman terjadi ketid-
akseimbangan cairan telinga dalam yang abnormal dan diduga disebabkan oleh terjadinya
malabsorpsi dalam sakus endolimfatikus. Selain itu para ahli juga mengatakan terjadinya
suatu robekan pada membrane di labirin kokhlea sehingga menyebabkan endolimfa dan
perilimfa bercampur. Hal ini menurut para ahli dapat menimbulkan gejala dari penyakit
Meniere.
Para peneliti juga sedang melakukan penyelidikan dan penelitian terhadap kemungkinan
lain penyebab penyakit Meniere dan masing-masing memiliki keyakinan tersendiri ter-
hadap penyebab dari penyakit ini, termasuk faktor lingkungan seperti suara bising, infeksi
virus HSV, penekanan pembuluh darah terhadap saraf (microvascular compression syn-
drome). Selain itu gejala penyakit Meniere dapat ditimbulkan oleh trauma kepala, infeksi
saluran pernapasan atas, aspirin, merokok, alcohol atau konsumsi garam berlebih. Namun
pada dasarnya adalah belum ada yang tahu secara pasti apa penyebab dari penyakit
Meniere ini.
4. Manifestasi Klinis
Terdapat trias atau sindrom Meniere yaitu vertigo, tinitus dan tuli sensoneural
terutama nada rendah. Serangan pertama sangat berat, yaitu vertigo disertai muntah.
Setiap kali merasa untuk berdiri, dia meras berputar, mual kemudian muntah lagi. Hal
ini berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu, meskipun keadaannya berang-
sur baik. Penyakit ini bisa sembuh tanpa obat dan gejalanya bisa hilang sama sekali.
Pada serangan kedua kalinya dan selanjutnya dirasakan lebih ringan, tidak seperti se-
rangan pertama kali. Pada penyakit Meniere vertigo-nya periodik yang makin mereda
pada serangan-serangan berikutnya. Pada setiap serangan biasanya disertai dengan
gangguan pendengaran dan dalam keadaan tidak ada serangan, pendengaran dirasakan
baik kembali. Gejala lain yang menyertai serangan adalah tinitus, yang kadang-kadang
menetap, meskipun diluar serangan. Gejala yang lain menjadi tanda khusus adalah
perasaan penuh di dalam telinga.
5. Patofisiologi

Patofisiologi dari penyakit Meniere masih kontroversial. Gejala klinis penyakit


Meniere disebabkan oleh adanya hidrops endolimfa pada koklea dan vestibulum. Hi-
drops yang terjadi mendadak dan hilang timbul diduga disebabkan oleh : 1) mening-
katnya tekanan hidrostatik pada ujung arteri, 2) berkurangnya tekanan osmotik dalam
kapiler, 3) meningkatnya tekanan ostmotik ruang ekstrakapiler, 4) jalan keluar sakus
endolimfatikus tersumbat, sehingga terjadi penimbunan cairan endolimfa.
Peningkatan tekanan endolimfa menimbulkan gangguan pada organ pendengar-
an dan keseimbangan. Karena utrikulus dan sakulus sangat peka terhadap deteksi
gerakan linear dann translational (maupun akselerasi angular dan ratasional), maka
iritasi terhadap organ tersebut dapat mengakibatkan gejala vestibuler nonratasional. Hal
ini juga mengakibatkan gangguan dari organ Corti. Peregangan dari membran basilar
dan sel-sel rambut dapat mengakibatkan tinitus dan kehilangan pendengaran.
6. Diagnostik

Diagnosis dipermudah dengan dibakukannya kriteria diagnosis, yaitu : vertigo hilang


timbul, fluktuasi gangguan pendengaran berupa tuli saraf, menyingkirkan kemungkinan
penyebab dari sentral seperti tumor nervus VIII. Bila gejala-gejala khas penyakit Meniere
pada anamnesis ditemukan, maka diagnosis penyakit Meniere dapat ditegakkan. Pemerik-
saan fisik diperlukan hanya untuk menguatkan diagnosis penyakit ini. Bila dalam anam-
nesis terdapat riwayat fluktuasi pendengaran, sedangkan pada pemeriksaan ternyata ter-
dapat tuli sensoneural, maka kita sudah dapat mendiagnosis penyakit Meniere, sebab tidak
ada penyakit lain yang bisa menyebabkan adanya perbaikan dalam tuli sensoneural kecua-
li pada penyakit Meniere. Dalam hal yang meragukan kita dapat membuktikan adanya hi-
drops dengan tes gliserin. Selain itu tes gliserin ini berguna untuk menentukan prognosis
tindakan operatif pada pembuatan “shunt”. Bila terdapat hidrops, maka operasi diduga
akan berhasil dengan baik.
7. Tatalaksana

1. Vasodilator : agonis histamin : betahistine ( anti vertigo)


2. Steroid : prednisone, deksametason
3. Antihistamine dan Antiemetik: antihistamin dan antiemetik tertentu efektif
menghentikan atau mengurangi keparahan serangan vertigo pada pasien Meniere.
Antihistamin yang sering diberikan adalah dimenhidrinat (dramamine) dan siklizin
(Marezine). Sedangkan antiemetic yang biasa digunakan adalah antiemetic difer-
idol.

dr. Hansen Panjaitan


SIP: 1261050169
Jl. Dewi Sartika No. 1, Jakarta Timur

Jakarta, 22 Maret 2018


R/ Dexametason tab. 0,5 mg No. IX
S 3 dd I tab p.r.n
_________________________________________
R/ Betahistine tab. 8 mg No. XV
S 3 dd I tab p.r.n
_________________________________________
R/ Dimenhidrinat tab. 50 mg No. IX
S 3 dd I tab p.r.n
_________________________________________

Pro :
Umur : tahun

12. Rinitis Alergi


Artaulina Napitulupu 1261050229

2.1. Rinitis Alergi

2.1.1. Definisi

Rinitis alergi adalah radang selaput lendir hidung yang disebabkan proses in-

flamasi mukosa hidung yang dimediasi oleh reaksi hipersensitifitas/alergi tipe 1,


dengan gejala hidung gatal, bersin-bersin, rinore encer dan hidung tersumbat yang

reversibel secara spontan maupun dengan pengobatan

2.1.2. Imunopatogenesis

Mukosa saluran nafas selalu terpapar oleh bermacam alergen yang terbawa oleh

udara nafas. Pada penderita yang mempunyai bakat alergi, alergen yang terbawa

udara nafas akan menyebabkan sensitisasi mukosa respirasi. Akibat sensitisasi ini,

apabila terjadi paparan berikutnya akan menimbulkan gejala alergi. Selengkapnya

imunopatogenesis rinitis alergi adalah sebagai berikut:

1. Fase sensitisasi

Alergen yang terhirup bersama udara nafas akan terdeposit dalam mukosa

hidung yang kemudian diproses oleh makrofag atau sel dendrit yang berfungsi se-

bagai fagosit dan sel penyaji antigen (antigen presenting cell/APC). Didalam en-

dosom alergen diproses menjadi bentuk fragmen peptide (berupa 7 sampai 14 asam

amino) yang akan berikatan dengan molekul MHC (major histocompatibility com-

plex) kelas II, yang disintesis di vesikel golgi. Dengan gerakan intraseluler, en-

dosom yang
mengandung peptide bergabung (intersect) dengan vesikel yang berisi molekul

MHC kelas II dan membentuk ikatan non kovalen. Fusi antara endosom dengan

membran plasma akan mengekspresikan komplek peptide dan MHC kelas II di

permukaan sel penyaji.22 Tipe polimorfik molekul MHC kelas II yang diekspresi-

kan oleh tiap-tiap individu akan menentukan afinitas molekul terhadap peptide an-

tigen spesifik, yang akan berperanan pada respon sistem imun terhadap protein

spesifik. Sel penyaji antigen ini akan berjalan melintasi adenoid, tonsil dan lim-

fonodi regional. Pada area sel T limfonodi, antigen dipresentasikan pada sel Th 0

yang baru keluar dari timus. Diduga sel Th 0 ini mengekspresikan tanda permukaan

sel yang dapat membuat sel tersebut tinggal di pembuluh darah mukosa saluran

nafas.

Penderita dengan kecenderungan atopik, reseptor antigen spesifik sel Th 0

(TCR) bersama molekul CD4 dengan MHC kelas II, CD 28 dengan B7 serta

molekul asesoris pada sel T ( CD2, LFA-1) dengan ligand pada sel penyaji antigen,

memicu terjadinya rangkaian aktivitas pada membran sel, sitoplasma maupun

nukleus sel T yang hasil akhirnya berupa produksi sitokin.23,24 Berdasarkan sitokin

yang dihasilkan, sel T CD4 dapat mengalami polarisasi menjadi sel Th 1 dan atau

sel Th 2 yang tergantung dari tipe antigen, dosis, tipe sel APC, microenviroment

sitokin, sinyal kostimulator yang diterima sel T dan faktor genetik.25 Sel T CD4+

pada individu yang atopik mengalami polarisasi menjadi sel Th 2 dan akan

menghasilkan berbagai sitokin antara lain IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-10, IL-13,

GM-CSF yang akan mempertahankan lingkungan pro atopik ( terutama IL-4) yaitu

menginduksi sel B yang memproduksi Ig E dan menghambat produksi sitokin sel

Th 1. Paparan alergen
dosis rendah yang terus menerus dan presentasi alergen oleh sel penyaji antigen

(APC) kepada sel B disertai adanya pengaruh sitokin IL-4 maka sel B akan

memproduksi Ig E yang terus bertambah yang akan beredar bebas dalam sir-

kulasasi, berikatan dengan reseptornya (high affinity receptors

mast, yang kemudian keluar dari sirkulasi be-

rada dalam jaringan termasuk mukosa hidung. Dalam fase ini maka sesorang sudah

dalam keadaan sensitif.

2. Fase elisitasi

Terjadinya gejala-gejala rinitis ditandai dengan dimulainya aktivasi sel mast

yang diakibatkan oleh paparan ulang alergen serupa pada mukosa yang sudah sen-

sitif. Terjadi cross- linking pada molekul FcεRI, oleh karena adanya

ikatan/bridging antara dua molekul IgE pada permukaan sel mast dengan alergen

(multivalent/bivalen). Akibatnya terjadi aktifasi guanosin triphosfate (GTP) bind-

ing (G) protein yang mengaktifkan enzim phospholipase C untuk mengkatalisa

phosphatidyil inositol biphosphat (PIP2) menjadi inositol triphosfate (IP3) dan di-

acyglicerol (DAG) pada membrane PIP2. IP3 menyebabkan pelepasan ion calcium

intraseluler (Ca2+) dari reticulum endoplasma. Ca2+ di sitoplasma secara langsung

mengaktifkan beberapa enzim seperti phospolipase A, dan komplek Ca2+ kemudian

mengaktifkan enzim myosin light chain kinase C. Sehingga hasil akhir aktivasi ini

terbentuk lipids mediators ( newly formed mediators) seperti prostaglandin D2

(PGD2), leukotrin C4 (LCT4), platelet activating factor dan exocytosis sekresi

granula yang berisi mediator kimia (preformed mediators) seperti histamin, tryp-

tase, bradykinin. Histamin merupakan mediator penting yang dihasilkan dari

degranulasi sel mast, merupakan


penyebab lebih dari 50% gejala rinitis alergi. Histamin dimetabolisme oleh hista-

mine N-methyltransferase (HMT) pada sel epitel maupun endotel.

Reseptor histamin H1 terdapat pada sel endotel, yang apabila diinduksi dapat me-

nyebabkan kenaikan permeabilitas kapiler dan rinore. Selain itu histamin juga teri-

kat pada resptor H1 di saraf nociceptive tipe C. Saraf ini secara luas bercabang di

epitel dan submukosa. Neuron berasal dari cabang pertama dan kedua nervus tri-

geminus. Salah satu fungsi penting dari saraf nociceptive mengaktifkan pusat gatal,

mengerakkan reflek sistemik seperti bersin-bersin dan reflek parasimpatik yang

mengakibatkan peningkatan sekresi kelenjar. Gejala-gejala hidung gatal, rinore,

kongesti dan bersin yang disebabkan pelepasan mediator kimia oleh sel mast akibat

paparan alergen disebut reaksi fase cepat.

Apabila mediator-mediator telah mengalami metabolisme dan dibersihkan dari

mukosa, gejala-gejalanya akan berkurang. Tetapi setelah reaksi fase cepat, adanya

pelepasan sitokin dan aktivasi sel endotel mengakibatkan terjadinya reaksi fase

lambat yang terjadi antara 4-6 jam setelah paparan alergen dan menetap selama 24-

48 jam.2 Keadaan ini secara klinik ditandai dengan penebalan mukosa hidung yang

dapat dideteksi dengan adanya kenaikan resistensi nasal airflow dengan sedikit pe-

rubahan pada gejala hidung lainnya. Gambaran khas reaksi fase lambat ditandai

dengan tertariknya berbagai sel inflamasi khususnya eosinofil pada mukosa hidung.

Kenaikan eosinofil dapat ditunjukkan dengan meningkatnya kadar eosinophil cati-

onic protein (ECP) dan produk eosinofil lainnya pada sekresi hidung.21 Mekanisme

tertariknya eosinofil sampai ke lokasi alergi dipengaruhi sekresi sitokin oleh sel

mast, eosinophil dan dan sel Th 2, yang dapat meningkatkan ekspresi molekul
adhesi endotel (IL-3, IL-4, IL-5, GM-CSF) dan eosinofil chemoattractant (eotaxin, IL-5,

RANTES). Oleh pengaruh IL-3, IL-5 dan GM-CSF dapat meningkatkan survival eosino-

fil dijaringan. Eosinofil dalam perjalannya dari sirkulasi sampai ke lokasi alergi melalui

beberapa tahap yaitu perpindahan eosinofil dari tengah ke tepi dinding pembuluh darah

dan berikatan secara reversibel dengan sel endotel (rolling) yang disebabkan interaksi

antar E-selectin dengan glikoprotein eosinofil. Selanjutnya oleh karena pengaruh sitokin

(IL-4) terjadi peningkatan ekspresi molekul adhesi endotel seperti ICAM-1 (inter cell

adhesion molecule-1), VCAM-1 (vascular cell adhesion molecule-1). VCAM-1 bersifat

spesifik terhadap perlekatan eosinofil karena eosinofil mengekspresikan VLA-4 yang

akan berikatan dengan VCAM-1, sehingga ekspresi VCAM-1 meningkat pada rinitis

alergi. Dengan adanya ikatan antara VCAM-1 dan VLA-4 ini eosinofil semakin kuat

melekat pada endotel, kemudian terjadi perubahan bentuk dan diikuti migrasi eosinofil

keluar dari pembuluh darah lewat celah antar sel endotel (diapedesis) untuk selanjutnya

menuju lokasi alergi.

Tertariknya eosinofil ditempat alergi menyebabkan perubahan mukosa saluran

nafas. Pelepasan granula eosinofil yang mengandung berbagai macam mediator kimia

yaitu major basic protein (MBP), eosinophil cationic protein (ECP), eosinophil derived

neurotoxin (EDN) dan eosinophil peroxidase (EPO) yang berikatan dengan proteoglikan

dan hyaluran membran basalis menyebabkan disagregasi sel dan deskuamasi epitel. Pro-

tein ini juga merusak membran sel yang berakibat kematian


sel. EDN dapat menginaktifkan saraf mukosa dan EPO menyebabkan kerusakan sel oleh

karena radikal bebas.

2.1.3. Diagnosis

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan penunjang.

a. Anamnesis

Gejala rinitis alergi yang khas adalah gatal di hidung, bersin-bersin terutama

pagi hari atau bila terpapar debu-debuan. Gejala lain yang sering menyertai

adalah rinore encer, hidung tersumbat, dan kadang-kadang sakit kepala.

Selain itu biasanya terdapat riwayat alergi dalam keluarga.


b. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat ditemukan mukosa hidung yang

bervariasi dari tampak normal sampai edema, basah, berwarna pucat atau

keabuan disertai rinore encer dengan jumlah bervariasi. Meskipun tidak

selalu ditemukan, tetapi merupakan gejala/tanda yang khas pada rinitis

alergi ini adalah allergic shiner, allergic solute, dan allergic crease. Aller-

gic shiner adalah warna kehitaman pada daerah infra orbita yang terjadi

karena adanya stasis dari vena yang mengakibatkan edema mukosa hidung

dan sinus. Allergic solute adalah sering mengusap hidung dengan punggung

tangan ke atas karena gatal, sedangkan allergic crease adalah timbulnya

garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, karena kebiasaan

mengusap hidung
C. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis rinitis alergi meliputi :

pemeriksaan eosinofil sekret hidung, jumlah eosinofil dalam darah tepi, ka-

dar Ig E spesifik dan tes kulit.4,13 Diantara pemeriksaan tersebut yang pal-

ing sering digunakan adalah tes kulit, karena sederhana (mudah pelaksa-

naannya), murah, cepat, aman, cukup sensitif dan spesifik.27,28 Dasar tes ku-

lit adalah menguji ekstrak alergen yang terikat pada sel mast di jaringan

kulit. Teknik tes kulit ada 2 macam yaitu tes epidermal dan tes intra der-

mal.27,28Diantara kedua tes tersebut yang sering dilakukan adalah

skin prick test

2.1.4. Klasifikasi

Klasifikasi rinitis alergi yang didasarkan atas waktu paparan dan jenis alergen

menjadi rinitis alergi musiman/seaseonal dan sepanjang tahun /perennial dianggap

tidak memuaskan. Hal ini didasarkan atas beberapa kenyataan sebagai berikut :3

1. Ada beberapa daerah dimana pollen dan mould terdapat sepanjang tahun

2. Simptom rinitis alergi perennial tidak terjadi sepanjang tahun

3. Kebanyakan penderita tersensitisasi terhadap banyak alergen yang berbeda,

oleh karena itu simptomnya dapat terjadi sepanjang tahun

4. Pada sebagian kasus rinitis perennial mengalami eksaserbasi ketika terpapar

pollen

5. Banyak penderita alergi terhadap pollen juga alergi terhadap mite


6. Karena efek priming pada mukosa hidung oleh pollen konsentrasi rendah dan in-

flamasi minimal persisten pada penderita rinitis, simptom tidak secara strick

berhubungan dengan musim.

Oleh karena itu ARIA bekerjasama dengan WHO 2001 mengusulkan klasifikasi

baru, yang parameternya adalah persistensi dan derajat gangguan sebagai beri-

kut:Berdasarkan persistensi :

1. Rinitis alergi intermiten, bila gejala berlangsung :

- kurang dari 4 hari/minggu

- atau kurang dari 4 minggu

2. Rinitis alergi persisten, bila gejala berlangsung :

- lebih dari 4 hari/minggu

- dan lebih dari 4 minggu Ber-

dasarkan derajat gangguan:

1. Ringan, bila tidak ditemukan satupun dari hal-hal berikut :

- Gangguan tidur

- Gangguan aktivitas sehari-hari

- Gangguan pekerjaan atau sekolah

- Gejala dirasa menganggu

2. Sedang berat, bila didapatkan salah satu atau lebih hal sebagaimana disebut di atas.

Tatalaksana
1. Antihistamin
pengobatan rinitis alergi yang paling sering diresepkan. Obat inibekerja secara kompetitif
dengan mediator alergi, histamin, pada reseptor Histamin-1.Efeknya berupa mengurangi vas-
odilatasi, hipersekresi kelenjar mukus, dan refleksiritasi untuk bersin. Antihistamin yang
bekerja pada reseptor H-1 dibagi menjadi duagenerasi berdasarkan sifat sedatifnya, generasi
pertama bersifat sedatif karena bersifatlipofilik dan generasi kedua bersifat lipofobik. Contoh
antihistamin generasi pertamaada-
lah klorfeniramin, difenhidramin, siproheptadin. Antihistamin generasi keduamemiliki keun-
tungan tidak menyebabkan sedasi, namun efek samping lain ternyatadilaporkan suatu kasus
kecil berupa anemia aplastik dan golongan tertentu tidak bolehdiberikan pada penderita
dengan gangguan jantung karena menyebabkan aritmia.Antihistamin generasi kedua
yang aman adalah loratadin, setirizin, feksofenadin.Dianjurkan konsumsi antihistamin agar
dimakan secara reguler dan bukan dimakanseperlunya saja karena akan memberikan
efek meredakan gejala alergi yang efektif.Apabila antihistamin generasi pertama dipilih,
maka pemberian secara reguler akan mem-
beri toleransi kepada pasien terhadap efek sedasi sehingga ia mampu tetaptoleran terhadap
pekerjaannya.

2. Dekongestan
oralberkerja mengurangi edema pada membran mukus hidung karena bersifat-
vasokonstriksi (alfa adrenergik), sehingga efek obat ini melengkapi pengobatan
gejalarinitis alergi oleh antihistamin dengan mengurangi edema membran mukus.
Contohobat dekongestan oral adalah pseudoefedrin, fenilpropanolamin, fenilefrin.
Obat inicukup diberikan beberapa hari saja. Dianjurkan pemberian dekongestan
oraldibandingkan dekongestan topikal karena efek "rebound phenomena" obat terse-
butterhadap mukosa hidung yang dapat menyebabkan rinitis medikamento-
sa. Pemberianobat ini merupakan kontraindikasi bila pasien sedang mengonsumsi
atau dalam fase"tappering off" dari obat-obatan monoamin oksidase inhibitor karena
bahaya akanterjadinya krisis hipertensi

.3. Sodium kromolin


Bekerja pada intraseluler dengan menstabilkan dinding sel mastosit yaituberu-
pa mencegah pelepasan mediator-mediator ke luar sel. Kerja dari obat ini ada-
lahdengan menghambat influks Ca2+ lebih banyak ke dalam sel mast sehing-
gadegranulasi mediator terhambat. Obat ini dapat diberikan sebagai pilihan alter-
natif apabila antihistamin tidak dapat ditoleransi pada pasien

.4. Kortikosteroid inhalasi


bekerja dengan mengurangi kadar histamin.Kadar histamin dikurangi dengan mencegah
konversi asam amino histidinmenjadi histamin, selain itu kortikosteroid juga meningkatkan
produksi c-AMP selmast. Secara umum kortikosteroid mencegah epitel hidung bersifat sensi-
tif terhadaprangsangan alergen baik pada fase cepat maupun lambat. Efek kortikosteroid
bekerjasecara langsung mengurangi peradangan di mukosa hidung dan efektif mengurang-
ieksaserbasi. Preparat yang tersedia seperti beklometason, budesonid, dan flunisolid.Efek
samping kortikosteroid inhalasi lebih kecil dibanding steroid sistemik
kecualipasien diberikan dalam dosis sangat tinggi atau sedang menjalani pengobatanpenyakit
paru.

5.Imunoterapi
.Cara ini lebih dikenal sebagai desensitisasi atau hiposensitisasi. Caranyaadalah dengan
memberikan injeksi berulang dan dosis yang ditingkatkan dari alergen,tujuannya adalah
mengurangi beratnya reaksi tipe I atau bahkan menghilangkan samasekali. Imunoterapi
bekerja dengan pergeseran produksi antibodi IgE menjadiproduksi IgG atau dengan cara
menginduksi supresi yang dimediasi oleh sel T (lebihmeningkatkan produksi Th1 dan IFN-y).
Dengan adanya IgG, maka antibodi ini akanbersi-
fat "blocking antibody" karena berkompetisi dengan IgE terhadap alergen,kemudian
mengikatnya, dan membentuk kompleks antigen-antibodi untuk kemudiandifagosit. Aki-
batnya alergen tersebut tidak ada dalam tubuh dan tidak merangsangmembran mastosit.

13. Rhinitis Ozaena


Fratisca Sara- 1261050179

DEFINISI
Rinitis atrofi (ozaena) adalah penyakit hidung kronik yang ditandai atrofi progresif
mukosa hidung dan tulang penunjangnya disertai pembentukan sekret yang kental dan tebal
yang cepat mengering membentuk krusta, menyebabkan obstruksi hidung, anosmia, dan
mengeluarkan bau busuk.Rinitis atrofi disebut juga rinitis sika, rinitis kering, sindrom
hidung-terbuka, atau ozaena.

INSIDENSI

Rinitis atrofi merupakan penyakit yang umum di negara-negara berkembang. Penyakit


ini muncul sebagai endemi di daerah subtropis dan daerah yang bersuhu panas seperti Asia
Selatan, Afrika, Eropa Timur dan Mediterania. Pasien biasanya berasal dari kalangan
ekonomi rendah dengan status higiene buruk. Rinitis atrofi kebanyakan terjadi pada wanita,
angka kejadian wanita : pria adalah 3:1. Penyakit ini dikemukakan pertama kali oleh
dr.Spencer Watson di London pada tahun 1875.1 Penyakit ini paling sering menyerang
wanita usia 1 sampai 35 tahun, terutama pada usia pubertas dan hal ini dihubungkan dengan
status estrogen (faktor hormonal).

KLASIFIKASI

Rinitis atrofi berdasarkan gejala klinis diklasifikasikan oleh dr. Spencer Watson
(1875) sebagai berikut:
• Rinitis atrofi ringan, ditandai dengan pembentukan krusta yang tebal dan mudah
ditangani dengan irigasi.
• Rhinitis atrofi sedang, ditandai dengan anosmia dan rongga hidung yang berbau.
Rinitis atrofi berat, misalnya rinitis atrofi yang disebabkan oleh sifilis, ditandai oleh rongga
hidung yang sangat berbau disertai destruksi tulang.

Berdasarkan penyebabnya rinitis atrofi dibedakan atas:


1. Rinitis atrofi primer, merupakan bentuk klasik rinitis atrofi yang didiagnosis perek-
sklusionam setelah riwayat bedah sinus, trauma hidung, atau radiasi disingkirkan.
Penyebab primernya merupakan Klebsiella ozenae.
2. Rinitis atrofi sekunder, merupakan bentuk yang palng sering ditemukan di negara
berkembang. Penyebab terbanyak adalah bedah sinus, selanjutnya radiasi, trauma, serta
penyakit granuloma dan infeksi.

ETIOLOGI

Etiologi rinitis atrofi dibagi menjadi primer dan sekunder.


Rinitis atrofi primer adalah rinitis atrofi yang terjadi pada hidung tanpa kelainan sebe-
lumnya, sedangkan rinitis atorfi sekunder merupakan komplikasi dari suatu tindakan atau
penyakit.Rinitis atrofi primer adalah bentuk klasik dari rinitis atrofi dimana penyebab pasti-
nya belum diketahui namun pada kebanyakan kasus ditemukan klebsiella ozaenae.
Rinitis atrofi sekunder kebanyakan disebabkan oleh operasi sinus, radiasi, trauma,
penyakit infeksi, dan penyakit granulomatosa atau. Operasi sinus merupakan penyebab 90%
rinitis atrofi sekunder. Prosedur operasi yang diketahui berpengaruh adalah turbinektomi par-
sial dan total (80%), operasi sinus tanpa turbinektomi (10%), dan maksilektomi (6%).
Penyakit granulomatosa yang mengakibatkan rinitis atrofi diantaranya penyakit
sarkoid, lepra, dan rhinoskleroma. Penyebab infeksi termasuk tuberkulosis dan sifilis. Pada
negara berkembang, infeksi hanya berperan sebanyak 1-2% sebagai penyebab rinitis atrofi
sekunder. Meskipun infeksi bukan faktor kausatif pada rinitis atrofi sekunder, namun sering
ditemukan superinfeksi dan hal ini menjadi penyebab terbentuknya krusta, sekret, dan bau
busuk. Terapi radiasi pada hidung dan sinus hanya menjadi penyebab pada 2-3% kasus, se-
dangkan trauma hidung sebanyak 1%.
Selain faktor diatas, beberapa keadaan dibawah ini juga diduga sebagai penyebab
rinitis atrofi:
1. Infeksi kronik spesifik oleh kuman lain yakni infeksi oleh Stafilokokus, Streptokokus dan
Pseudomonas aeruginosa, Kokobasilus, Bacillus mucosus, Diphteroid bacilli, Cocobacil-
lus foetidus ozaena. Telah dilaporkan terjadinya rinitis atrofi pada seorang anak 7 tahun
dari satu keluarga setelah anak dari tetangga keluarga tersebut yang diketahui menderita
rinitis atrofi menginap bersamanya.
2. Defisiensi besi dan vitamin A. Dilaporkan terjadi perbaikan pada 50% pasien yang
mendapat terapi besi dan pada 84% pasien yang diterapi dengan vitamin A mengalami
perbaikan simptomatis. Adanya hiperkolesterolemia pada 50% pasien rinitis atrofi
menunjukkan peran diet pada penyakit ini.
3. Perkembangan. Dilaporkan adanya pengurangan diameter anteropsterior hidung dan ali-
ran udara maksiler yang buruk pada penderita rinitis atrofi.
4. Lingkungan. Dilaporkan telah terjadi rinitis atrofi pada pasien yang terpapar fosforit dan
apatida.
5. Sinusitis kronik
6. Ketidakseimbangan hormon estrogen. Dilaporkan adanya perburukan penyakit saat hamil
atau menstruasi.
7. Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun
8. Teori mekanik dari Zaufal
9. Ketidakseimbangan otonom
10. Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS)
11. Herediter. Dilaporkan adanya rinitis atrofi yang diturunkan secara dominan autosom pa-
da sebuah keluarga dimana ayah serta 8 dari 15 anaknya menderita penyakit ini.
12. Supurasi di hidung dan sinus paranasal
13. Golongan darah

PATOGENESIS
Analisis terhadap mukosa hidung menemukan hal yang sama baik pada rinitis atrofi
primer maupun sekunder. Mukosa hidung yang normal terdiri atas epitel pseudostratifikatum
kolumnar, dan glandula mukosa dan serosa. Pada rinitis atrofi, lapisan epitel mengalami met-
aplasia squamosa dan kehilangan silia. Hal ini mengakibatkan hilangnya kemampuan pem-
bersihan hidung dan kemampuan membersihkan debris. Glandula mukosa mengalami atrofi
yang parah atau menghilang sama sekali sehingga terjadi kekeringan. Selain itu terjadi juga
penyakit pada pembuluh darah kecil, andarteritis obliteran (yang dapat menjadi penyebab ter-
jadinya rinitis atrofi atau sebagai akibat dari proses penyakit rinitis atrofi itu sendiri).
Secara patologis, rinitis atrofi dapat dibagi menjadi dua, yakni tipe I, adanya
endarteritis dan periarteritis pada arteriola terminal akibat infeksi kronik yang membaik
dengan efek vasodilator dari terapi estrogen; dan tipe II, terdapat vasodilatasi kapiler yang
bertambah jelek dengan terapi estrogen.
Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriola akan menyebabkan
berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa.
Selain itu didapatkan sel endotel bereaksi positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan
adanya absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebab-
kan pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran nafas jadi
lapang. Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun, dimana terdeteksi adanya anti-
bodi yang berlawanan dengan surfaktan protein A.
Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung ter-
hadap infeksi. Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi klirens
mukus dan mempunyai pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan me-
nyebabkan bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan
hilangnya silia. Mukus akan mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, memben-
tuk krusta yang merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.

GEJALA KLINIS
Pemeriksaan fisik terhadap rinitis atrofi dapat dengan mudah dikenali. Tanda per-
tama sering berupa bau (foeter ex nasi) dari pasien. Pada beberapa kasus, bau ini bisa berat.
Hal ini akan menyebabkan ganggguan pada setiap orang kecuali pasien, karena pasien men-
galami anosmia. Beberapa pasien juga memperlihatkan depresi yang terjadi sebagai implikasi
sosial dari penyakit. Pasien biasanya mengeluh obstruksi hidung (buntu), krusta yang luas,
dan perasaan kering pada hidung.
Gejala klinis rinitis atrofi secara umum adalah:
I. obstruksi hidung (buntu)
II. sakit kepala
III. epistaksis pada pelepasan krusta
IV. bau busuk pada hidung (foeter ex nasi) yang dikeluhkan oleh orang lain yang ada di seki-
tarnya. Bau ini tidak diketahui oleh pasien karena atrofi dari mukosa olfaktoria.
V. Faringitis sikka
VI. Penyumbatan yang terjadi karena lepasnya krusta dari nasofaring masuk ke orofaring.

Prinsip tatalaksana
Oleh karena etiologinya multifaktorial, maka pengobatan belum ada yang baku. Pen-
gobatan di tunjukan untuk mengatasi etiologi , dan menghilangkan gejala. Pengobatan yang
diberikan dapat bersifat konservatif atau kalau tidak dapat menolong dilakukan pembedahan
jika tidak ada perbaikan.
Pengobatan konservatif diberikan antibiotik spektrum luas atau sesuai dengan uji re-
sistensi kuman, dengan dosis yang adekuat. Lama pengobatan bervariasi tergantung dari
hilangnya tanda klinis berupa sekret purulen kehijauan.
Untuk menghilangkan bau busuk akibat hasil proses infeksi serta sekret purulen dan
krusta, dapat di[akai obat cuci hidung. Lrutan yang dapat digunakan adalah larutan garam
hipertonik.
NaCL + Na4CL + NaHCO3 + Aqua
Larutan tersebur di encerkan dengan perbandingan 1 sendok makan larutan dicampur 9
sendok makan air hangat. Larutan dihirup dimasukan kedalam rongga hidung dan dikeluar-
kan lagi dengan dihembuskan kuat-kuat. Hal ini dilakukukan 2 kali dalam sehari.
Pemberian Antibiotik Amoksisilin :
Indikasi : Dapat diberikan untuk kuman gram (-) atau pun (+)
Farmakodinamik : Menghambat sintesis mekopeptida yang diperlukan untuk pembentukaan
dinding sel bakteri.
Efek samping :
1. Reaksi alergi (ini paling sering terjadi )
2. Reaksi toksik dan iritasi lokal
3. Gangguan GIT : mual, muntah, diare
4. Syok anafilaktik

Sediaan :
Kapsul/Tablet : 125 mg, 250mg, 500mg
Sirup : 125mg/5 ml
waktu paruh 8 jam. Sehingga diberikan 3x dalam sehari.

Resep
dr. Fratisca Sara
1261050179
Jl. Mayjen Sutoyo, Cawang, UKI no 66
Jakarta Timur
Jakarta, 22 Maret 2017

R/ Amoksisilin tab 500 mg No. XV


S 3 dd I tab (Habiskan)
Pro Tn. X

14. RHINITIS VASOMOTOR

Adinda Adia Putri 1261050240

2.1. Definisi
Rinitis vasomotor adalah terdapatnya gangguan fisiologi lapisan mukosa
hidung yang disebabkan peningkatan aktivitas saraf parasimpatis. Penyakit ini termasuk
dalam penyakit rinitis kronis selain rinitis alergika.
Rinitis vasomotor adalah inflamasi kronis lapisan mukosa hidung yang
disebabkan oleh terganggunya keseimbangan sistem saraf parasimpatis dan simpatis.
Parasimpatis menjadi lebih dominan sehingga terjadi pelebaran dan pembangkakan pem-
buluh darah di hidung. Gejala yang timbul berupa hidung tersumbat, bersin dan ingus
yang encer.

2.2. Etiologi
Etilogi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat gangguan
keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat tertentu.
Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor :
1. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti ergotamin,
chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal.
2. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang ting-
gi dan bau yang merangsang.
3. Faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti hamil dan
hipotiroidisme.
4. Faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.

2.3. Patofisiologi
Sistem saraf otonom mengontrol aliran darah ke mukosa hidung dan sekresi
dari kelenjar. Diameter resistensi pembuluh darah di hidung diatur oleh sistem saraf sim-
patis sedangkan parasimpatis mengontrol sekresi kelenjar. Pada rinitis vasomotor terjadi
disfungsi sistem saraf otonom yang menimbulkan peningkatan kerja parasimpatis yang
disertai penurunan kerja saraf simpatis. Baik sistem simpatis yang hipoaktif maupun sis-
tem parasimpatis yang hiperaktif, keduanya dapat menimbulkan dilatasi arteriola dan ka-
piler disertai peningkatan permeabilitas kapiler, yang akhirnya akan menyebabkan tran-
sudasi cairan, edema dan kongesti.
Teori lain mengatakan bahwa terjadi peningkatan peptide vasoaktif dari sel-sel
seperti sel mast. Termasuk diantara peptide ini adalah histamin, leukotrin, prostaglandin,
polipeptide intestinal vasoaktif dan kinin. Elemen-elemen ini tidak hanya mengontrol di-
ameter pembuluh darah yang menyebabkan kongesti, tetapi juga meningkatkan efek aset-
ilkolin dari sistem saraf parasimpatis terhadap sekresi hidung, yang menyebabkan rinore.
Pelepasan peptide-peptide ini tidak diperantarai oleh Ig-E (non-Ig E mediated) seperti
pada rinitis alergi.
Adanya reseptor zat iritan yang berlebihan juga berperan pada rhinitis vaso-
motor. Banyak kasus yang dihubungkan dengan zat-zat atau kondisi yang spesifik. Be-
berapa diantaranya adalah perubahan temperatur atau tekanan udara, perfume, asap ro-
kok, polusi udara dan stress ( emosional atau fisikal ).
Dengan demikian, patofisiologi dapat memandu penatalaksanaan rinitis vaso-
motor yaitu :
1. Meningkatkan perangsangan terhadap sistem saraf simpatis
2. Mengurangi perangsangan terhadap sistem saraf parasimpatis
3. Mengurangi peptide vasoaktif
4. Mencari dan menghindari zat-zat iritan.

2.4. Gejala Klinis


Gejala yang dijumpai pada rinitis vasomotor kadang-kadang sulit dibedakan
dengan rinitis alergi seperti hidung tersumbat dan rinore. Rinore yang hebat dan bersifat
mukus atau serous sering dijumpai. Gejala hidung tersumbat sangat bervariasi yang dapat
bergantian dari satu sisi ke sisi yang lain, terutama sewaktu perubahan posisi.
Keluhan bersin-bersin tidak begitu nyata bila dibandingkan dengan rinitis
alergi dan tidak terdapat rasa gatal di hidung dan mata. Gejala dapat memburuk pada pagi
hari waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab,
dan juga oleh karena asap rokok dan sebagainya. Selain itu juga dapat dijumpai keluhan
adanya ingus yang jatuh ke tenggorok ( post nasal drip ).
Berdasarkan gejala yang menonjol, rinitis vasomotor dibedakan dalam 2 go-
longan, yaitu golongan obstruksi (blockers) dan golongan rinore (runners / sneezers).
Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan rinore. Oleh ka-
rena golongan rinore sangat mirip dengan rinitis alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan
yang teliti untuk memastikan diagnosisnya.

2.5. Diagnosis

Gambaran klinis dan pemeriksaan pada rinitis vasomotor


Riwayat Penyakit - Tidak berhubungan dengan
musim.
- Riwayat keluarga ( - )
- Riwayat alergi sewaktu anak-
anak ( - )
- Timbul sesudah dewasa.
- Keluhan gatal dan bersin ( - )
Pemeriksaan THT - Struktur abnormal ( - )
- Tanda – tanda infeksi ( - )
- Pembengkakan pada mukosa ( + )
- Hipertrofi konka inferior sering
dijumpai.
Radiologi X-Ray/CT - Tidak dijumpai bukti kuat keterli-
batan sinus.
- Umumnya dijumpai penebalan
mukosa.
Bakteriologi - Rinitis bakterial ( - )
Tes Alergi Ig E total - Normal
Prick test - Negatif atau positif lemah
RAST - Negatif atau positif lemah

2.6. Diagnosis Banding


1. Rinitis alergi
2. Rinitis infeksi

Perbedaan Karakteristik antara Rhinitis Alergi dan Rhinitis Vasomotor.


Karakteristik Rhinitis Alergi Rhinitis Vasomotor
Mulai serangan Belasan tahun Dekade ke 3 – 4
Riwayat terpapar allergen ( Riwayat terpapar allergen ( - )
+)
Etiologi Reaksi Ag - Ab terhadap Reaksi neurovaskuler terhadap
rangsangan spesifik beberapa rangsangan mekanis
atau
kimia, juga faktor psikologis
Gatal & bersin Menonjol Tidak menonjol
Gatal dimata Sering dijumpai Tidak dijumpai
Test kulit Positif Negatif
Sekret hidung Peningkatan eosinofil Eosinofil tidak meningkat
Eosinofil darah Meningkat Normal
Ig E darah Meningkat Tidak meningkat
Neurektomi Tidak membantu Membantu
n. vidianus

2.7. Penatalaksanaan
Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor penyebab
dan gejala yang menonjol.
Secara garis besar, pengobatan dibagi dalam :
1. Menghindari penyebab / pencetus ( Avoidance therapy )
2. Pengobatan konservatif ( Farmakoterapi ) :
- Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk mengurangi keluhan hidung
tersumbat. Contohnya: Pseudoephedrine dan Phenylpropanolamine (oral) serta Phe-
nylephrine dan Oxymetazoline (semprot hidung ).
- Anti histamin : paling baik untuk golongan rinore.
- Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat, rinore dan bersin-bersin
dengan menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan oleh mediator vasoaktif. Bi-
asanya digunakan paling sedikit selama 1 atau 2 minggu sebelum dicapai hasil yang
memuaskan. Contoh steroid topikal : Budesonide, Fluticasone, Flunisolide atau Be-
clomethasone
- Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai keluhan utamanya. Con-
toh : Ipratropium bromide ( nasal spray )

Algoritme tatalaksana Rhinitis Vasomotor

2.8. Komplikasi
1. Sinusitis
2. Eritema pada hidung sebelah luar
3. Pembengkakan wajah
2.9. Prognosis
Prognosis dari rinitis vasomotor bervariasi. Penyakit kadang-kadang dapat
membaik dengan tiba –tiba, tetapi bisa juga resisten terhadap pengobatan yang diberi-
kan

CONTOH RESEP

Dr. Adinda Adia Putri


SIP: 1261050240
Jl. Mayjen Sutoyo No. 13
Cawang- Jakarta

Jakarta, 22 Maret 2018

R/ Pseudoefedrin tab 60mg No. IX


S 3 dd I tab

Pro: Tn. X
Usia: 24 tahun
15. RHINITIS MEDIKA-MENTOSA

Anisa Wulandari - 1361050004

I. DEFINISI
Rinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung yang berupa gangguan respons
normal vasomotor. Kelainan ini merupakan akibat dari pemakaian vasokontriktor topikal
seperti obat tetes hidung atau obat semprot hidung dalam waktu lama dan berlebihan, sehing-
ga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap. Istilah rinitis mendikamentosa ini pertama
kali dikenalkan oleh Lake pada tahun 1946. [1,2,3,4,5]

II. ETIOLOGI

Penyakit rinitis medikamentosa disebabkan oleh pemakaian obat sistemis yang bersi-
fat sebagai antagonis adreno-reseptor alfa seperti anti hipertensi dan psikosedatif . Selain itu
aspirin, derivat ergot, pil kontrasepsi , dan anti kolinesterasi yang digunakan secara berlebi-
han juga dapat menyebabkan gangguan hidung. Obat vasokonstriktor topikal sebaiknya
isotonik dengan sekret hidung yang normal, dengan pH antara 6,3 dan 6,5, serta pemakaiann-
ya tidak lebih dari satu minggu. Jika tidak, akan terjadi kerusakan pada mukosa
hidung berupa:[4,10]

5. Stroma tampak edema


1. Silia rusak
6. Hipersekresi kelenjar mukus
2. Sel goblet berubah ukurannya
7. Lapisan submukosa menebal
3. Membran basal menebal
8. Lapisan periostium menebal
4. Pembuluh darah melebar
Antihipertensi Phosphodiesterase type 5 Hormon
inhibitors

 Amiloride  Sildenafil  Estrogen Eksoge-


 Angiotensin-  Tadalafil nous
converting enzyme in-  Vardenafil  Pil kontrasepsi
hibitors
 ß-blockers
 Chlorothiazide
 Clonidine
 Hydralazine
 Hydrochlorothiazide
 Prazosin
 Reserpine

Anti-nyeri Psikotropik Lain- lain

 Aspirin  Chlordiazepoxide-  Kokain


 NSAIDs amitriptyline  Gabapentin
 Chlorpromazine
 Risperidone
 Thioridazine

Tabel 1 : Obat yang menyebabkan Drug-Induced Rhinitis


( Dikutip dari kepustakaan 1 )
Dekongestan Imidazolines

– Simpatomimetik :
 Amfetamin  Klonidin
 Benzedrine  Naphazolin
 Kafein  Oxymetazolin
 Ephedrin  Xylometazolin
 Mescalin
 Phenylephrin
 Phenylpropanolamin
 Pseudoephedrin

Tabel 2 : Dekongestan yang menyebabkan Rhinitis Medikamentosa


( Dikutip dari kepustakaan 1 )
III. PATOFISIOLOGI

Mukosa hidung merupakan organ yang amat peka terhadap rangsangan atau
iritan sehingga harus berhati hati dalam mengkonsumsi obat vasokonstriksi topikal
dari golongan simptomatik yang dapat mengakibatkan terganggunya siklus nasal dan
akan berfungsi kembali dengan menghentikan pemakaian obat. Pemakaian vasokon-
striktor topikal yang berulang dalam waktu lama, akan mengakibatkan terjadinya fase
dilatasi berulang (rebound dilatation) setelah vasokonstriksi, sehingga menimbulkan
terjadinya obstruksi atau penyumbatan. Dengan adanya gejala obstruksi hidung ini
menyebabkan pasien lebih sering dan lebih banyak lagi memakai obat tersebut se-
hingga efek vasokonstriksi berkurang, pH hidung berubah dan aktivitas silia ter-
ganggu, sedangkan efek balik akan menyebabkan obstruksi hidung lebih hebat dari
keluhan sebelumnya. Bila pemakaian obat diteruskan akan menyebabkan dilatasi dan
kongesti jaringan. Kemudian terjadi pertambahan mukosa jaringan dan rangsangan
sel–sel mukoid, sehingga sumbatan akan menetap dengan produksi sekret yang ber-
lebihan. [ 4 ]

Selain itu, terdapat juga hipotesis bahwa rhinitis medikamentosa terjadi se-
bagai akibat berkurangnya produksi nor-epinefrin simpatetik endogen menerusi jalur
umpan balik negatif. Dengan penggunaan dekongestan dalam jangka waktu yang la-
ma, saraf simpatetik tidak bisa berfungsi untuk mempertahankan vasokonstriksi ka-
rena pelepasan nor-epinefrin yang ditekan. [ 4 ]

IV. MANIFESTASI KLINIS

Keluhan utama pasien adalah hidung tersumbat secara terus menerus tanpa
mengeluarkan sekret. Penampakan pada pemeriksaan fisis bagi rhinitis medikamento-
sa tidak jauh bedanya dengan infeksi atau rhinitis alergi. Mukosa hidung kelihatan
kemerahan ( beefy-red ) dengan area bercak pendarahan dan sekret yang min-
imal atau udem. Selain itu juga, mukosanya bisa tampak pucat dan udem, juga bisa
menjadi atrofi dan berkrusta disebabkan penggunaan dekongestan hidung dalan
jangka waktu yang lama. [ 1,2,3,4,5 ]
V. DIAGNOSIS

Kriteria bagi diagnosis Rhinitis Medikamentosa adalah :- [ 1,2 3,4,5,11 ]

i. Riwayat pemakaian vasokontriktor topikal seperti obat tetes hidung atau obat
semprot
hidung dalam waktu lama dan berlebihan.
ii. Obstruksi hidung yang berterusan ( kronik ) tanpa pengeluaran sekret atau ber-
sin.
iii. Ditemukan mukosa hidung yang menebal pada pemeriksaan fisis.
Rhinitis medikamentosa sering terjadi disebabkan oleh kondisi medis lainnya
yang menyebabkan penggunaan dekongestan. Jadi, penting untuk menjalankan be-
berapa pemeriksaan lainnya untuk mengidentifikasi kondisi medis lainnya yang ber-
potensi untuk diobati. Di antara pemeriksaannya adalah uji tusuk bagi pasien yang
mempunyai riwayat rhinitis alergi, uji aspirin bagi pasien yang mempunyai trias ASA
dan pemeriksaan rinoskopi untuk mengidentifikasi deviasi septal, abnormalitas
[ 1,2 3,4 ]
struktur anatomi dan juga polip hidung.

VI. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding untuk Rinitis Medikamentosa adalah :- [ 1,3, 12 ]


i. Rinitis Alergi
ii. Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) Rhinitis
iii. Polip Nasi
iv. Rinitis Non-Alergi
v. Rhinosinusitis

VII. PENATALAKSANAAN
Jika rinitis medikamentosa dikenal pasti akibat penggunaan dekongentan
topikal, maka pasien harus dinasihatkan agar segera dihentikan penggunaannya.
Pasien juga harus diberi edukasi mengenai keluhan yang dialami dan diberikan pen-
gobatan alternatif lainnya bagi menggantikan obat yang menyebabkan terjadinya
sumbatan hidung pada pasien. [ 2,3,5,13 ]
Penghentian penggunaan secara mendadak dapat menyebabkan rebound
swelling dan kongesti. Beberapa obat telah dikenalpasti bagi mengatasi masalah ini
yaitu dengan menggunakan Cromolyn, sedatif / hipnotik, semprotan hidung yang
menggunakan larutan saline. Adenosin trifosfat oral, obat tetes deksametason dan
obat tetes triamcinolon juga membantu dalam usaha menyembuhkan pasien. [ 2 3,5,14,15 ]
Menurut penelitian, kombinasi antihistamin oral dengan dekongestan bersama
penggunaan deksametason intranasal juga direkomendasikan buat pengobatan rhinitis
medikamentosa. Pada penelitian lainnya, injeksi kortikosteroid ( triamsinolone asetat
20 mg pada turbinasi anterior juga mampu mengurangkan kongesti hidung. Gluko-
[
kortikosteroid intranasal ( semprotan deksametason sodium fosfat / budesonide ).
2,3,5,14,15 ]

VIII. KOMPLIKASI
Hampir semua pasien pada akhirnya bisa menghentikan penggunaan obat te-
tes hidung dengan penyembuhan sempurna. Pada pasien yang tidak bisa menghenti-
kan penggunaannya, menurut penelitian dapat terjadi hiperplasia menetap yang me-
merlukan intervensi yang bervariasi dari elektrokauter submukosa atau kryoterapi un-
tuk mengurangkan destruksi turbinasi melalui penggunaan laser dan reseksi bedah.
Komplikasi lainnya yang dapat terjadi adalah seperti perforasi septum, rinitis atropi
dan infeksi sinus. [ 1 ]

IX. PROGNOSIS

Penelitian menunjukkan bahwa hampir semua pasien bisa menghentikan


penggunaan obat tetes hidung dan akhirnya menunjukkan penyembuhan yang sem-
purna. Bagi yang tetap menggunakan obat tersebut, fenomena kongesti rebound ini
akan tetap berlangsung selagi pasien tidak menghentikan pengobatan tersebut. [ 1 ]

X. PERESEPAN OBAT
R/ Chlorpheniramin Maleat TAB 4 mg No. IX
S 3 dd TAB I p.r.n
__________________________________________
R/ Nasonex 50 mcg No. I fl
S 1 dd Puff IV p.r.n
__________________________________________
Pro : Nn. I Gusti Ayu Ratna
Umur : 23 Tahun
17. Epistaksis Anterior
1361050047 - Ni Kadek Sasmita Prayasti

Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih


dari biasanya. Rongga hidung kita kaya dengan pembuluh darah. Pada rongga bagian
depan, tepatnya pada sekat yang membagi rongga hidung kita menjadi dua, terdapat
anyaman pembuluh darah yang disebut pleksus Kiesselbach. Pada rongga bagian
belakang juga terdapat banyak cabang-cabang dari pembuluh darah yang cukup besar,
antara lain dari arteri sphenopalatina.

A. DEFINISI
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang merupakan gejala atau
manifestasi penyakit lain, penyebabnya bisa lokal atau sistemik. Perdarahan bisa
ringan sampai serius dan bila tidak segera ditolong dapat berakibat fatal. Sumber
perdarahan biasanya berasal dari bagian depan atau bagian belakang hidung.

B. VASKULARISASI
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior
dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris
interna, diantaranya adalah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang
keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki
rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung
mendapat pendarahan dari cabang – cabang a. fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.
sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior, dan a. palatina mayor
yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis (pendarahan hidung) terutama pada anak. Vena-vena hidung
mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya.
Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v. oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki
katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran
infeksi hingga ke intrakranial.

C. EPIDEMIOLOGI
Epistaksis jarang terjadi pada bayi, namun terdapat kecenderungan
peningkatan insiden epistaksis seiring dengan pertambahan usia. Epistaksis
anterior lebih sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda, sedangkan
epistaksis posterior lebih sering terjadi pada usia yang lebih tua, terutama pada
laki-laki berusia 50an dengan penyakit hipertensi dan arteriosklerosis. Epistaksis
lebih sering terjadi pada musim dingin. Hal ini mungkin disebabkan peningkatan
kejadian infeksi pernafasan atas dan udara yang lebih kering akibat pemakaian
pemanas dan kelembaban lingkungan yang rendah. Epistaksis juga sering terjadi
pada iklim yang panas dengan kelembaban yang rendah. Pasien yang menderita
alergi, inflamasi hidung, dan penyakit sinus lebih rentan terhadap risiko terjadinya
epistaksis karena mukosanya lebih mudah kering dan hiperemis yang disebabkan
oleh reaksi inflamasi.

D. KLASIFIKASI
Epistaksis dibedakan atas dasar sumber pendarahan atau tempat pendarahan.
Sumber perdarahan dapat berasal dari bagian anterior atau bagian posterior hidung.

 Epistaksis Anterior

Epistaksis ini dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan sumber


perdarahan paling sering dijumpai pada anak-anak. Perdarahan dapat berhenti
sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana.
 Epistaksis Posterior

Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina (area Woodruff,


dibawah bagian posterior konka nasalis inferior) atau arteri etmoid posterior.
Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Pasien terus
mengeluhkan darah mengalir dibelakang tenggorokkannya. Epistaksis ini
sering ditemukan pada pasien hipertensi, arteriosclerosis, atau pasien dengan
penyakit kardiovaskuler.

E. ETIOLOGI
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat ditelusuri penyebabnya.
Namun kadang-kadang jelas disebabkan oleh trauma. Perdarahan hidung diawali
dengan pecahnya pembuluh darah di selaput mukosa hidung. 80% perdarahan be-
rasal dari pembuluh darah pleksus Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach terletak di
septum nasi bagian anterior, dibelakang persambungan mukokutaneus tempat
pembuluh darah yang kaya anastomosis.
Secara umum epistaksis dapat disebabkan oleh sebab-sebab lokal seperti
trauma, infeksi, neoplasma, kelainan kongenital, dan bisa juga disebabkan oleh
keadaan umum atau kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan
darah, infeksi, perubahan tekanan atmosfir, dan gangguan endokrin.

1. Lokal

a. Trauma
Epistaksis yang berhubungan dengan trauma biasanya karena mengeluar-
kan sekret dengan kuat, bersin, mengorek hidung, atau trauma seperti ter-
pukul. Selain itu iritasi oleh gas yang merangsang dan trauma pada pem-
bedahan bisa juga menyebabkan epistaksis.

b. Infeksi
Infeksi hidung dan sinus paranasal, rhinitis, sinusitis, serta granuloma spe-
sifik seperti sifilis, lepra, dan lupus dapat menyebabkan epistaksis.

c. Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan in-
termiten, kadang-kadang disertai mukus yang bernoda darah. Hemangioma,
karsinoma, dan angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat.

d. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah telean-
giektasis hemoragik herediter (hereditary hemorrhagic teleangiectasis
Osler’s Disease). Pasien ini juga menderita teleangiektasis di tangan,
wajah, atau bahkan di traktus gastrointestinal atau di pembuluh darah paru.

e. Sebab – sebab lain termasuk benda asing dan perforasi septum


Perforasi septum dan benda asing hidung dapat menjadi predisposisi
perdarahan hidung. Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi
atau perforasi akan terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung
mengerikan aliran sekresi hidung . Pembentukan krusta yang keras dan
usaha pelepasan krusta dengan jari dapat menimbulkan trauma. Penge-
luaran krusta berulang menyebabkan erosi membran mukosa septum yang
menyebabkan perdarahan.

f. Faktor lingkungan
Misalnya tinggal di daerah tinggi, tekanan udara rendah, atau lingkungan
udaranya sangat kering.

2. Sistemik

a. Kelainan darah
Kelainan darah penyebab epistaksis, misalnya trombositopenia, hemofilia,
dan leukemia. Obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin, dan fenil-
butazon dapat pula mempredisposisi epistaksis berulang.

b. Penyakit kardiovaskular
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada arteriosklerosis, ne-
fritis kronis, sirosis hepatis, sifilis, dan diabetes melitus dapat menyebabkan
epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat, sering kambuh dan
prognosisnya kurang baik.
c. Infeksi sistemik
Yang paling sering menyebabkan epistaksis adalah demam berdarah den-
gue, selain itu juga morbili, demam tifoid, dan influenza dapat juga disertai
adanya epistaksis.

d. Gangguan endokrin
Wanita hamil, menars, dan menopause sering juga dapat menimbulkan epi-
staksis.

e. Perubahan tekanan atmosfir


Contoh dalam hal ini adalah Caisson Disease (pada penyelam).

F. PENATALAKSANAAN EPISTAKSIS ANTERIOR


Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah memperbaiki keadaan umum, men-
cari sumber perdarahan, menghentikan perdarahan, dan mencari faktor penyebab
untuk mencegah berulangnya perdarahan.
Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan keadaan umumnya seperti
nadi, pernafasan, serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan, atasi terlebih dahulu
misalnya dengan memasang infus. Jalan nafas dapat tersumbat oleh darah atau
bekuan darah, perlu dibersihkan atau dihisap.
Bila sumber perdarahan dapat terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik
dengan larutan Nitrat Argenti (AgNO2) 25-30%. Sesudahnya area tersebut diberi
area krim antibiotik.
Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka perlu dil-
akukan pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kasa yang diberi
pelumas vaseline atau salep antibiotik. Pemakaian pelumas ini agar tampon mudah
dimasukan dan tidak menimbulkan perdarahan baru saat dimasukan sebanyak 2-4
buah, disusun dengan teratur dan harus dipertahankan selama 2x24 jam, harus di
keluarkan untuk mencegah infeksi hidung. Selama 2 hari ini dilakukan pemerik-
saan penunjang untuk mencari faktor penyebab epistaksis. Bila perdarahan masih
belum berhenti, dipasang tampon baru.

G. KOMPLIKASI DAN PENCEGAHAN


Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau se-
bagai akibat dari usaha penanggulangan epistaksis.
Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran
napas bawah, juga dapat menyebabkan syok, anemia dan gagal ginjal. Turunya
tekanan darah secara mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia
serebri, insufiensi koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan
kematian. Dalam hal ini pemberian infus atau transufusi darah harus dilakukan se-
cepatnya.

Mencegahan Perdarahan Berulang


Setelah perdarahan untuk sementara dapat diatasi dengan pemasangan tam-
pon, selanjutnya perlu dicari penyebabnya. Perlu dilakukan pemeriksaan laboratri-
um darah lengkap, pemeriksaan fungsi hepar dan ginjal, gula darah, hemeostatis.
Pemeriksaan foto polos atau CT Scan sinus bila dicurigai ada sinusitis. Konsul ke
Penyakit Dalam atau Kesehatan Anak bila dicurigai ada kelainan sistemik.

H. RESEP

dr. Kadek Sasmita


Jl. Mayjen Soetoyo no.4
Cawang, Jakarta
SIP: 1361050047

Jakarta , 22 /03/2018

R/ Tampon Hidung No. I


S.I.M.M

R/ Krim Antibiotik No. I


S.I.M.M

Pro: An. Bagus (10thn)


18. Furunkel Hidung

Joseph Anggasta Simanjuntak - 1361050052

A. DEFINISI
Furunkel adalah infeksi dari kelenjar sebasea atau folikel rambut hidung yang
melibatkan jaringan subkutan. Biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus.
Furunkel dapat terjadi di seluruh bagian tubuh, predileksi terbesar penyakit ini pa-
da wajah, leher, ketiak, pantat atau paha dapat juga terjadi pada mukosa tubuh
manusia, seperti mukosa hidung.

B. EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini memiliki insidensi yang rendah. Belum terdapat data spesifik yang
menunjukkan prevalensi furunkel. Furunkel umumnya terjadi paling banyak pada
anak-anak, remaja sampai dewasa muda.

C. PATOFISIOLOGI
1. Bakteri masuk melalui luka, goresan, robekan, dan iritasi pada kulit
2. Kemudian berkolonisasi di jaringan kulit
3. Setelah terjadi peradangan, area sekitar infeksi membentuk pus yang terdiri
dari sel darah putih, bakteri, dan sel kulit yang mati.

D. FAKTOR RISIKO
1. Sosio ekonomi rendah
2. Higiene personal yang buruk
3. Rinitis kronis, akibat iritasi dari sekret rongga hidung.
4. Kebiasaan mengorek rinitisbagian dalam hidung.

D. GEJALA KLINIS
1. Bisul di dalam hidung, disertai rasa nyeri dan perasaan tidak nyaman.
2. Kadang dapat disertai gejala rinitis.
3. Mula-mula nodul kecil yang mengalami peradangan pada folikel rambut,
kemudian menjadi pustule dan mengalami nekrosis dan menyembuh setelah
pus keluar. Proses nekrosis ini biasanya berlangsung selama 2 hari – 3 minggu
4. Setelah seminggu kebanyakan pecah sendiri dan sebagian dapat hilang dengan
sendirinya.
5. Gejala konstitusional yang sedang (demam, malaise, mual).
6. Terdapat satu atau lebih dan dapat kambuh kembali.

E. PEMERIKSAAN FISIK
1. Pada lubang hidung tampak furunkel. Paling sering terdapat pada lateral ves-
tibulum nasi yang mempunyai vibrissae (rambut hidung).
2. Terdapat nodul berwarna merah, hangat dan berisi pus. Supurasi terjadi
setelah kira-kira 5-7 hari dan pus dikeluarkan melalui saluran keluar tunggal
(single follicular orifices).
3. Furunkel yang pecah dan kering kemudian membentuk lubang yang kuning
keabuan ireguler pada bagian tengah dan sembuh perlahan dengan granulasi.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Furunkel biasanya menunjukkan leukositosis.
 Pemeriksaan histologis dari furunkel menunjukkan proses inflamasi
dengan PMN yang banyak di dermis dan lemak subkutan.
 Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang dikonfirma-
si dengan pewarnaan gram dan kultur bakteri.
- Pewarnaan gram S. aureus akan menunjukkan sekelompok kokus
berwarna ungu (gram positif) bergerombol seperti anggur, dan tid-
ak bergerak.
- Kultur pada medium agar MSA (Manitot Salt Agar) selektif un-
tuk S. aureus. Bakteri ini dapat memfermentasikan manitol sehing-
ga terjadi perubahan medium agar dari warna merah menjadi
kuning.
- Kultur S. aureus pada agar darah menghasilkan koloni bakteri yang
lebar (6-8 mm), permukaan halus, sedikit cembung, dan warna
kuning keemasan
F. DIAGNOSIS BANDING
 Abses Nasal
 Folikulitis

G. KOMPLIKASI
1. Penyebaran infeksi ke vena fasialis, vena oftalmika, lalu ke sinus kavernosus
sehingga menyebabkan tromboflebitis sinus kavernosus.
2. Abses.
3. Vestibulitis.

H. PENATALAKSANAAN
1. Non Medikamentosa
a. Kompres hangat
b. Insisi dilakukan jika telah timbul abses
2. Medikamentosa
a. Antibiotik topikal, seperti salep Bacitrasin dan Polimiksin B
b. Antibiotik oral selama 7-10 hari, yaitu Amoksisilin 3 x 500 mg/hari, Sefaleksin
4 x 250 – 500 mg/hari, atau Eritromisin 4 x 250 – 500 mg/hari.

I. KONSELING DAN EDUKASI


1. Menghindari kebiasaan mengorek-ngorek bagian dalam hidung.
2. Tidak memencet atau melakukan insisi padafurunkel.
3. Selalu menjaga kebersihan diri.

J. PROGNOSIS
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
K. RESEP
R/ Enbatic ung (tube 10 g) No. I tube
S. u.e.

R/ Amoxicillin tab 500mg No.X


S. 3 dd I tab p.c
19. CORPUS ALIENUM NASAL
Oleh : Nena Desyana, 1361050072

I. DEFINISI
Corpus alienum dapat diartikan sebagai benda asing berupa benda mati atau
benda hidup. Benda asing di dalam organ ialah benda yang berasal dari luar tubuh,
yang dalam keadaan normal tidak ada. Biasanya anak kecil sering memasukan manik-
manik atau potongan mainan, karet penghapus dan sebagainya ke dalam hidung. Ka-
dang-kadang ada lalat yang bertelur di hidung, dan telurnya menetas menjadi larva.
Keadaan ini disebut myasis hidung.

II. ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI


Faktor yang mempermudah terjadinya aspirasi benda asing ke dalam saluran
napas antara lain faktor personal (umur, jenis kelamin, pekerjaan, kondisi sosial, tem-
pat tinggal), kegagalan mekanisme proteksi yang normal (antara lain keadaan tidur,
kesadaran menurun, alkoholisme dan epilepsi). Faktor fisik yaitu kelainan dan penya-
kit neurologik, proses menelan yang belum sempurna pada anak. Faktor dental, med-
ikal dan surgikal (antara lain tindakan bedah, ekstraksi gigi molar pada anak yang
berumur < 4 tahun). Faktor kejiwaan antara lain emosi dan gangguan psikis. Ukuran
dan bentuk serta sifat benda asing, faktor kecerobohan (antara lain meletakkan benda
asing di dalam mulut, persiapan makanan yang kurang baik, makan atau minum
tergesa-gesa, makan sambil bermain (pada anak-anak), memberikan kacang atau per-
men pada anak yang gigi molarnya belum lengkap.

III. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI


Benda asing mati (inanimate foreign bodies) di hidung cenderung menyebab-
kan edema dan inflamasi mukosa hidung, dapat terjadi ulserasi, epistaksis, jaringan
granulasi dan dapat berlanjut menjadi sinusitis. Benda asing hidup (animate foreign
bodies) menyebabkan reaksi inflamasi dengan derajat bervariasi dari infeksi lokal
sampai destruksi masif tulang rawan dan tulang hidung dengan membentuk daerah
supurasi yang dalam dan berbau. Cacing askaris di hidung dapat menimbulkan iritasi
dengan derajat yang bervariasi karena gerakannya.
Tujuh puluh lima persen dari benda asing di bronkus ditemukan pada anak
di bawah umur 2 tahun, dengan riwayat yang khas yaitu pada saat benda atau ma-
kanan ada di dalam mulut, anak tertawa atau menjerit sehingga pada saat inspirasi,
laring terbuka dan makanan atau benda asing masuk ke dalam laring. Pada saat benda
asing tersebut terjepit di sfingter laring, pasien batuk berulang-ulang (paroksismal),
sumbatan di trakea, mengi dan sianosis. Bila benda asing telah masuk ke dalam trakea
atau bronkus kadang-kadang terjadi fase asimtomatik selama 24 jam atau lebih
kemudian diikuti oleh fase pulmonum dengan gejala yang tergantung pada derajat
sumbatan bronkus.
Benda asing organik seperti kacang-kacangan, mempunyai sifat higroskopik,
mudah untuk menjadi lunak dan mengembang jika terkena air serta dapat menyebab-
kan iritasi pada mukosa. Mukosa bronkus menjadi edema dan meradang serta dapat
pula terjadi jaringan granulasi di sekitar benda asing, sehingga gejala sumbatan bron-
kus makin menghebat. Akibatnya timbul gejala laringotrakeobronkitis, toksemia, ba-
tuk dan demam yang tidak terus-menerus (irreguler).
Benda asing anorganik menimbulkan reaksi jaringan yang lebih ringan dan
lebih mudah didiagnosis dengan pemeriksaan radiologik, karena umumnya benda as-
ing anorganik bersifat radioopak. Benda asing yang terbuat dari metal seperti peniti
dan jarum dapat masuk ke dalam bronkus yang lebih distal dengan gejala batuk spas-
modik. Benda asing yang lama berada di bronkus dapat menyebabkan perubahan
patologik jaringan sehingga menimbulkan komplikasi, antara lain penyakit paru
kronik supuratif, bronkiektasis, abses paru dan jaringan granulasi yang menutupi ben-
da asing.

IV. MANIFESTASI KLINIS


Gejala sumbatan benda asing di dalam saluran napas tergantung pada lokasi benda
asing, derajat sumbatan (total atau sebagian) sifat, bentuk dan ukuran benda asing.
Benda asing yang masuk melalui hidung dapat tersangkut di hidung, nasofaring, lar-
ing, trakea dan bronkus. Selain itu, biasanya pasien datang berobat dengan keluhan
hidung kemasukan benda serta hidung teras tersumbat, keluar sekret dan bau pada sa-
tu sisi hidung. Kadang demam dan sampai merusak bentuk hidung.
Benda yang masuk melalui mulut dapat terhenti di orofaring, hipofaring, ton-
sil, dasar lidah, sinus piriformis, esofagus atau dapat juga tersedak masuk ke laring,
trakea dan bronkus. Gejala yang timbul bervariasi dari tanpa gejala sampai kematian
sebelum diberi pertolongan akibat sumbatan total.
Benda asing di hidung pada anak sering luput dari perhatian orang tua karena
tidak ada gejala dan bertahan untuk waktu yang lama. Dapat timbul rinolith di sekitar
benda asing. Gejala yang paling sering ialah hidung tersumbat, rinore unilateral
dengan cairan kental dan berbau. Kadang-kadang terdapat rasa nyeri, demam, epistak-
sis dan bersin. Pada pemeriksaan, tampak edema dengan inflamasi mukosa hidung
unilateral dan dapat terjadi ulserasi. Benda asing biasanya tertutup oleh mukopus, se-
hingga disangka sinusitis. Dalam hal demikian bila akan menghisap mukopus harus-
lah berhati-hati supaya benda asing itu tidak terdorong ke arah nasofaring yang
kemudian dapat masuk ke laring, trakea dan bronkus. Benda asing seperti karet busa
sangat cepat menimbulkan sekret yang berbau busuk.

V. DIAGNOSIS
Diagnosis klinis benda asing di saluran napas ditegakan berdasarkan anamnesis adan-
ya riwayat tersedak sesuatu, tiba-tiba timbul choking (rasa tercekik) gejala, tanda,
pemeriksaan fisik dengan auskultasi, palpasi dan pemeriksaan radiologik sebagai
pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti benda asing di saluran napas ditegakkan
setelah dilakukan tindakan endoskopi atas indikasi diagnostik dan terapi.
Anamnesis yang cermat perlu ditegakkan, karena kasus aspirasi benda asing
sering tidak segera dibawa ke dokter pada saat kejadian. Perlu diketahui macam benda
atau bahan yang teraspirasi dan telah berapa lama tersedak benda asing tersebut.

VI. PENATALAKSANAAN
Untuk dapat menanggulangi kasus aspirasi dengan cepat dan tepat perlu
diketahui dengan sebaik-baiknya gejala di tiap lokasi tersangkutnya benda tersebut.
Secara prinsip benda asing di saluran napas diatasi dengan pengangkatan segera
secara endoskopik dalam kondisi yang paling aman, dengan trauma yang minimum.
Kebanyakan pasien dengan aspirasi benda asing yang datang ke ahli THT (Telinga,
Hidung, Tenggorok) telah melalui fase akut, sehingga pengangkatan harus dipersiap-
kan seoptimal mungkin baik dari segi alat maupun personal yang telah terlatih.
Benda asing di hidung. Cara mengeluarkan benda asing dari dalam hidung
ialah dengan memakai pengait (haak) yang dimasukkan ke dalam hidung di bagian
atas, menyusuri atap kavum nasi sampai menyentuh nasofaring. Setelah itu pengait
diturunkan sedikit dan ditarik ke depan. Dengan cara ini benda asing itu akan ikut
terbawa ke luar. Dapat pula menggunakan cunam Nortman atau “wire loop”.
Tidaklah bijaksana mendorong benda asing dari hidung ke arah nasofaring
dengan maksud supaya masuk ke dalam mulut. Dengan cara itu benda asing dapat
terus masuk ke laring dan saluran napas bagian bawah yang menyebabkan sesak na-
pas, sehingga menimbulkan keadaan yang gawat. Pemberian antibiotik sistemik sela-
ma 5-7 hari hanya diberikan pada kasus benda asing hidung yang telah menimbulkan
infeksi hidung maupun sinus.
Resep

dr. Nena Desyana


Jl. Mayjen Soetoyo no. XII, Jakarta Timur
1361050072

Jakarta, 22 Maret 2018

R/ Amoxicilin tab 500 mg No. XV


S 3 dd I tab pc (HABIS)
paraf

Pro :…
Usia :…
Berat Badan :….
20. Epistaksis Posterior

Faradiba Saumly Agniesta (1361050016)

Definisi

Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari cavum nasal atau naso-
faring yang keluar melalui nasal. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan suatu
gejala dari suatu penyakit. Epistaksis disebabkan oleh kelainan lokal maupun sistemik
dan sumber perdarahan yang paling sering adalah dari arteri sfenopalatina (area
Woodruff, dibawah bagian posterior konka nasalis inferior) atau arteri etmoid
posterior.

Etiologi

 Trauma.
 Congenital (meningioma).
 Operasi hidung.
 Infeksi.
 Vaskuler(hypertension, littles area/Kiesselbach’s plx, Woodruff plx, posterior
degeneration).
 Neoplasma (juvenile angiofibroma).
 Obat-obatan (warfarin, aspirin, cocaine).
 Genetik (von willebrand).
 Kelainan Perdarahan (Leukemia)
 Granulomatosis(Wegeners)
 Idiopatik.

Kelainan Lokal
 Trauma hidung (tampon hidung, benda asing, benturan pada hidung)
 Alergi, rinitis kronik atau infeksi.
 Iritasi zat kimia.
 Pengobatan topikal hidung.
 Mukosa hidung kering, dan kelembaban mukosa rendah.
 Septum deviasi, atau perporasi septum.
 Perdarahan polip pada septum, atau pada lateral hidung (inverted papilloma)
 Neoplasms hidung atau sinus.
 Tumor pada nasopharynx terutama Nasopharyngeal Angiofibroma
 Vascular malformation

Kelainan Sistemik
 hipertensi
 Kelainan Endocrine Causes: kehamilan, pheochromocytoma
 telangektasias hemorhajik Herediter
 Osler Rendu Weber Syndrome
 Anticoagulants.
 Penyakit hati.
 Kelainan darah dan pembekuan darah seperti Thrombocytopenia, ITP, Leu-
kemia, Hemophilia
 Disfungsi trombosit.
Obat-obatan
 Menimbulkan Trombocitopenia: kemoterapi, quinidine, preparat sulfa, H2
blockers, Anti diabetes oral,rifampin, heparin, alkohol
 Pengaruh pada coagulation pathway: Warfarin, Heparin
 Pengaruh pada fungsi trombosit: Aspirin, clopidogrel, NSAIDS
 Herbs dapat menyebabkan perdarahan: Dong quai, Danshen, Feverfew, Garlic,
Ginger, Gingko, Ginseng

Penyebab Tersering
 Kerusakan mukosa hidung- local trauma, lingkungan yang kering, benturan
pada hidung.
 Trauma pada muka.
 Sikatrik dan kerusakan sebelumnya karena perdarahan (reopen and bleed)
 Pengobatan intranasal.
 Hypertension and/or arteriosclerosis.
 Pengobatan Anticoagulant.
Patofisiologi

Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis
posterior. Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya sehingga
memerlukan perawatan di rumah sakit. Sering ditemukan pada pasien lebih tua
dengan hipertensi, arteriosklerosis atau penyakit kardiovaskuler lainnya.
Pada orang yang berusia menengah dan lanjut, pemeriksaan arteri kecil dan sedang
terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi jaringan
kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan yang
komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya kon-
traksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga mengakibatkan
perdarahan yang banyak dan lama. Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lo-
kasi perdarahan setelah terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan
lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau
trauma.

Diagnosis
Anamnesis dan menentukan lokasi sumber perdarahan serta menemukan
penyebabnya harus segera dilakukan. Perdarahan dari bagian anterior biasanya akibat
mengorek hidung, epistaksis idiopatik, rinitis anterior dan penyakit infeksi. Se-
dangkan dari bagian posterior atau biasanya akibat hipertensi, arteriosklerosis, fraktur
atau tumor. Lakukan pengukuran tekanan darah dan periksa faktor pembekuan darah.
Disamping pemeriksaan rutin THT, dilakukan pemeriksaan tambahan foto tengkorak
kepala, hidung dan sinus paranasal, kalau perlu CT-scan. Anamnesis yang penting
ditanyakan antara lain :
 Riwayat perdarahan sebelumnya
 Lokasi perdarahan
 Apakah ada darah mengalir kedalam tenggorokan atau keluar dari hidung bila
pasien duduk tegak?
 Lama perdarahan dan frekuensinya
 Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
 Hipertensi
 Diabetes mellitus
 Penyakit hati
 Penggunaan antikoagulan
 Trauma hidung yang belum lama

Tatalaksana
Epistaksis posterior lebih sulit diatasi karena biasanya perdarahan hebat dan sulit
dicari sumbernya dengan pemeriksaan rinoskopi anterior. Dapat dilakukan pemasan-
gan tampon posterior atau yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini terbuat dari kasa
padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini terikat 3 buah
benang, 2 di satu sisi dan 1 di sisi yang lain. Sebagai pengganti tampon Bellocq, dapat
digunakan kateter Folley dengan balon.
Cara pemasangan tampon Bellocq :
 Pada perdarahan satu sisi masukkan tampon ke lubang hidung hingga tampak
orofaring lalu tarik keluar mulut. Pada ujung kateter di mulut, ikatkan dua utas
benang tampon Bellocq. Tarik kembali kateter melalui hidung hingga dua utas
benang tersebut tampak dan dapat ditarik
 Dorong tampon dengan bantuan jari telunjuk agar dapat melewati palatum
mole ke nasofaring
 Jika masih terdapat perdarahan, tambahkan tampon anterior ke kavum nasi
 Kedua benang yang sudah keluar di hidung diikat pada sebuah gulungan kain
kasa di depan nares anterior
 Seutas benang yang keluar dari mulut diikat secara longgar pada pipi pasien (
setelah 2-3 hari, tampon ditarik keluar melalui benang ini)
 Jika perdarahan hebat dapat digunakan dua kateter masing-masing di kavum
nasi kanan dan kiri. Epistaksis posterior dapat mengakibatkan perdarahan
massif, bahkan hingga syok hipovolemik bia tidak ditangani segera
 Agar epistaksis tidak berulang pasien diedukasi untuk tidak menggoyangkan
atau menggosok hidung dan tetap menjaga letak kepala agar lebih tinggi dari
jantung
Contoh Resep

Epistaksis Posterior :
- Pemasangan tampon Bellocq & Folley cateter
- Asam Traneksamat. (untuk mencegah perdarahan ulang)
- Ringer Laktat 500 ml (sebagai pengganti darah yang hilang)

dr. Faradiba Saumly Agniesta


SIP: 1361050116
Jl. Mayjen Sutoyo No. 2, Jakarta Timur

R/ Tampon Bellocq No. I


Kateter ukuran 16 Jakarta,
No. I 21 Maret 2018
Ringer Laktat 500 ml No. I
Abocath ukuran 20 No. I
Asam Traneksamat 100mg/ml No. I
S. I . M . M

R/ Asam traneksamat tab 500 mg XXI


S 3 dd I tab (7 hari)

Pro: Ny. Nani


21 FARINGITS
Jody Aprilio
1361050130

1. Definisi

Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan paling ban-


yak ditemukan oleh virus, lalu bakteri, alergi, trauma, atau pun penyebab
lainnya seperti refluks gastroesofageal.

2. Klasifikasi

Secara umum faringitis dapat dibagi menjadi 3 yaitu:


a. Faringitis akut

 Faringitis viral  dapat disebabkan oleh Rinovirus, Adenovirus,


Epstein Barr Virus (EBV), virus influenza, Coxsachievirus,
Cytomegalovirus dan lain-lain. Gejala dan tanda biasanya terdapat
demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorok, sulit menelan. Pada
pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis.
 Faringitis bacterial  infeksi Streptococcus B hemoliticus grup A
merupakan penyebab faringits akut pada orang dewasa (15%) dan pada
anak (30%). Gejala dan tanda biasanya penderita mengeluhkan nyeri
kepala yang hebat, muntah, kadang-kadang disertai demam dengan
suhu yang tinggi, jarang disertai batuk. Pada pemeriksaan tampak
tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat
dipermukaannya. Beberapa hari kemudian, timbul bercak petechiae
pada palatum dan faring. Kelenjar limfa leher anterior membesar,
kenyal dan nyeri apabila ada penekanan.
 Faringitis fungal  candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut
dan faring. Gejala dan tanda biasanya terdapat keluhan nyeri tenggorok
dan nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring
dan mukosa faring lainnya hiperemis.
 Faringitis gonorea  hanya terdapat pada pasien yang melakukan
kontak orogenital.

b. Faringitis kronik

 Faringitis kronik hiperplastik  pada faringitis kronik hiperplastik


terjadi perubahan mukosa dinding posterior faring. Tampak kelenjar
limfa di bawah mukosa faring dan lateral hiperplasi. Pada pemeriksaan
tampak mukosa dinding posterior tidak rata, bergranular. Gejala dan
tanda biasanya pasien mengeluh mula-mula tenggorok kering dan gatal
dan akhirnya batuk yang bereak.
 Faringitis kronik atrofi  sering timbul bersamaan dengan rhinitis
atrofi. Pada rhinitis atrofi, udara pernafasan tidak diatur suhu serta
kelembapannya sehingga menimbulkan rangsangan serta infeksi pada
faring. Gejala dan tanda biasanya pasien mengeluhkan tenggorokan
kering dan tebal serta mulut berbau. Pada pemeriksaan tampak mukosa
faring ditutupi oleh lendir yang kental dan bila diangkat tampak
mukosa kering.

c. Faringitis spesifik

I. Faringitis tuberculosis  merupakan proses sekunder dari tuberculosis


paru. Pada infeksi kuman tahan asam jenis bovinum dapat timbul
tuberculosis faring primer. Cara infeksi eksogen yaitu Cara infeksi
eksogen yaitu kontak dengan sputum yang mengandung kuman atau
inhalasi kuman melalui udara. Cara infeksi endogen yaitu penyebaran
melalui darah pada tuberkulosis miliaris. Bila infeksi timbul secara
hematogen maka tonsil dapat terkena pada kedua sisi dan lesi sering
ditemukan pada dinding posterior faring, arkus faring anterior, dinding
lateral hipofaring, palatum mole dan palatum durum. Kelenjar regional
leher membengkak, saat ini penyebaraan secara limfogen. Gejala dan
tanda biasanya pasien dalam keadaan umum yang buruk karena
anoreksi dan odinofagia. Pasien mengeluh nyeri yang hebat di
tenggorok, nyeri di telinga atau otalgia serta pembesaran kelenjar limfa
servikal.
II. Faringitis luetika  Treponema pallidum (Syphilis) dapat men-
imbulkan infeksi di daerah faring, seperti juga penyakit lues di organ
lain. Gambaran klinik tergantung stadium penyakitnya. Kelainan stadi-
um primer terdapat pada lidah, palatum mole, tonsil dan dinding poste-
rior faring berbentuk bercak keputihan. Apabila infeksi terus berlang-
sung akan timbul ulkus pada daerah faring seperti ulkus pada genitalia
yaitu tidak nyeri dan didapatkan pula pembesaran kelenjar mandibula
yang tidak nyeri tekan. Kelainan stadium sekunder jarang ditemukan,
namun dapat terjadi eritema pada dinding faring yang menjalar ke arah
laring. Kelainan stadium tersier terdapat pada tonsil dan palatum, ja-
rang ditemukan pada dinding posterior faring. Pada stadium tersier bi-
asanya terdapat guma, guma pada dinding posterior faring dapat
meluas ke vertebra servikal dan apabila pecah akan menyebabkan ke-
matian

3. Etiologi
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh Rhino-
virus, Adenovirus, dapat juga disebabkan oleh bakteri seperti Streptococcus ß hemo-
lyticus group A, Chlamydia, Corynebacterium diphtheriae.

4. Tanda dan Gejala


Gejala dan tanda faringitis akut adalah
 nyeri tenggorok
 sulit menelan
 Suara serak
 demam
 mual
 kelenjar limfe leher membengkak.
Gejala khas berdasarkan jenisnya, yaitu:
a. Faringitis viral:
Umunya disebabkan oleh rhinovirus yang diawali dengan gejala rhini-
tis dan beberapa hari kemudian timbul faringitis. Gejala lain demam
disertai rinorea dan mual. Faringitis viral pada anak dapat muncul
dengan gejala atipikal seperti muntah, nyeri perut, pernapasan lewat
mulut, dan diare.
b. Faringitis bakterial:
Gejala klinis tidak selalu dapat langsung membedakan faringitis viral
dengan faringitis bakterialis. Kultur dan atau rapid antigen detection
test (RADT) dapat digunakan untuk membedakannya. Faringitis bak-
terial jarang timbul dengan rinorea, batuk, ataupun konjungtivitis. Bi-
asanya pasien datang dengan nyeri tenggorokan, nyeri menelan,
demam, nyeri kepala hebat, mual, muntah, dan nyeri perut.

c. Faringitis fungal:
Gejala umumnya sama dengan faringitis yang disebabkan etiologi
lainnya, hanya yakni nyeri tenggorokan dan nyeri saat menelan lebih
menonjol.
d. Faringitis kronik:
Sensasi yang paling sering dirasakan berupa tenggorokan yang kering
sehingga sering berusaha membersihkan tenggorokan. Dapat pula tera-
sa batuk kering dan sensasi seperti benda asing di faring. Selain
pemeriksaan faring, juga perlu dilakukan pemeriksaan hidung untuk
mengeksklusi obstruksi hidung yang mungkin menjadi penyebabnya.

5. Patofisiologi
Pada faringitis yang disebabkan infeksi, bakteri ataupun virus dapat secara
langsung menginvasi mukosa faring dan akan menyebabkan respon inflamasi
lokal. Kuman akan menginfiltrasi lapisan epitel, lalu akan mengikis epitel
sehingga jaringan limfoid superfisial bereaksi dan akan terjadi pembendungan
radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat
hiperemis, kemudian edema dan sekresi yang meningkat. Pada awalnya eksudat
bersifat serosa tapi menjadi menebal dan kemudian cenderung menjadi kering dan
dapat melekat pada dinding faring. Dengan keadaan hiperemis, pembuluh darah
dinding faring akan melebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih atau
abu-abu akan didapatkan di dalam folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa
folikel limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring posterior atau yang terletak
lebih ke lateral akan menjadi meradang dan membengkak. Virus-virus seperti
Rhinovirus dan Coronavirus dapat menyebabkan iritasi sekunder pada mukosa
faring akibat sekresi nasal.

6. Penegakan Diagnosa

a. Anamnesa

Pada umumnya pasien faringitis mengeluhkan lemas, anoreksia, demam, suara


serak, kaku, dan sakit pada otot leher. Terdapat beberapa gejala yang khasa pada
setiap jenis mikroorganismen, yaitu:

 Faringitis viral  umumnya oleh rhinovirus diawali dengan gejala rhi-


nitis dan beberapa hari kemudian timbul faringitis. Gejala lain demam
disertai rinorea dan mual.
 Faringitis bakterial  pasien mengeluhkan nyeri kepala hebat, muntah,
kadang disertai demam dengan suhu yang tinggi dan jarang disertai ba-
tuk
 Faringitis fungal  terutama nyeri tenggorok dan nyeri menelan.
 Faringitis kronik hiperplastik  mula-mula tenggorok kering, gatal
dan akhirnya batuk yang berdahak
 Faringitis kronik atrofi  umumnya tenggorokan kering dan tebal ser-
ta mulut berbau
 Faringitis tuberkulosis  biasanya nyeri hebat pada faring dan tidak
berespon dengan pengobatan bakterial non spesifik
 Faringits gonorea atau faringitis luetika  ditanyakan riwayat hub-
ungan seksual pasien.

b. Pemeriksaan fisik

i. Faringitis virus
Pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis, eksudat (virus
influenza, coxsachievirus, cytomegalovirus tidak menghasilkan ek-
sudat). Pada coxsachievirus dapat menimbulkan lesi vesikular di
orofaring dan lesi.
ii. Faringitis bakterial
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis
dan terdapat eksudat dipermukaannya. Beberapa hari kemudian timbul
bercak petechiae pada palatum dan faring. Kadang ditemukan kelenjar
limfa leher anterior membesar, kenyal dan nyeri pada penekanan.
iii. Faringitis fungal
Pada pemeriksaan fisik tampak plak putih didaerah orofaring dan
mukosa faring tampak hiperemis.

iv. Faringitis kronik


Terdapat 2 bentuk faringitis kronik, yakni :
 Faringitis Kronik Hiperplastik
Hiperplasia jaringan limfatik dinding faring posterior me-
nyebabkan perubahan pada mukosa dinding posterior faring
yakni menjadi tidak rata, tampak kasar, dan berglanular.
 Faringitis Kronik Atrofi
Pemeriksaan dengan cermin dapat memberikan gambaran
mukosa faring yang tertutup lender kental dan bila diangkat
tampak mukosa kering, licin, dan halus.

c. Pemeriksaan Penunjang

Faringitis didiagnosis dengan cara pemeriksaan tenggorokan atau kultur apus


tenggorokan. Kultur tenggorokan merupakan suatu metode yang dilakukan untuk
menegaskan suatu diagnosis dari faringitis yang disebabkan oleh bakteri. Tes ini
akan menjadi indikasi jika pasien memiliki risiko sedang atau jika seorang dokter
memberikan terapi antibiotik dengan risiko tinggi untuk pasien. Jika hasil yang
diperoleh positif maka pengobatan diberikan antibiotik dengan tepat namun apabi-
la hasilnya negatif maka pengobatan antibiotik dihentikan kemudian dilakukan
follow-up. Untuk mencapai hasil yang akurat, pangambilan apus tenggorok dil-
akukan pada daerah tonsil dan dinding faring posterior. Spesimen diinokulasi pada
agar darah dan ditanami disk antibiotik.

7. Penatalaksanaan

a. Non Medikamentosa
- Istirahat cukup
- Minum air putih yang cukup
- Berkumur dengan air yang hangat

b. Medikamentosa
- Faringitis viral  analgetika dapat diberikan seperlunya seperti
asetaminofen atau ibuprofen. Pada infeksi herpes simpleks dapat
diberikan antivirus metisoprinol 60-100 mg/kg pada dewasa dan pa-
da anak kurang dari 5 tahun diberikan 50 mg/kg dibagi dalam 4-6
kali pemberian.
- Terapi untuk faringitis bakterial diberikan antibiotik terutama bila
diduga penyebab faringitis.
- Dapat diberikan golonga Penicilin (amoksisilin 500 mg).
- jika pasien alergi terhadap penisilin dapat diberikan eritromisin 500
mg/hari.
- Faringitis fungal  nistatin 100.000-400.000 2 kali sehari. Dapat
ditambahkan terapi suportif berupa analgetika.

8. Komplikasi
 Endokarditis
 Meningitis
 Otitis Media
 Pneumonia
 Abses peritonsil
 Limfadenitis servikal
 Demam rematik
 Glomerulonefritisi post-streptokokus

Resep

Dr. Jody Aprilio


1361050130
Jl. Mayjen Sutoyo No.2
Cawang – Jak. Tim.

Jakarta, 22 Maret 2018

R/ Amoksisilin tab 500 mg No X


S 3 dd tab I p.c ____________paraf
R/ Paracetamol tab 500 mg No X
S 3 dd I tab feb.dur paraf

Pro : Tn. X
Usia :
BB :
22.Tonsilitis

Melia Fadiansari Suriansyah - 1361050163

A. Definisi
Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada
tenggorokan terutama pada usia muda. Penyakit ini terjadi disebabkan pera-
dangan pada tonsil oleh karena kegagalan atau ketidaksesuaian pemberian an-
tibiotik pada penderita tonsilitis akut (Palandeng, Tumbel, Dehoop, 2014).
Tonsilitis kronis timbul karena rangsangan yang menahun dari rokok, bebera-
pa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik,
dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat (Soepardi et al.,2007).

B. Klasifikasi Tonsilitis
Ada tiga jenis utama dari tonsilitis, yaitu:
 Tonsilitis akut - terjadi ketika tonsilitis disebabkan oleh salah satu bak-
teri atau virus. Infeksi ini biasanya sembuh sendiri (Eunice, 2014).
 Subakut tonsilitis - terjadi ketika tonsilitis disebabkan oleh Actinomy-
ces bakteri - organisme anaerob yang bertanggungjawab untuk
keadaan suppuratif pada tahap infeksi. Infeksi ini bisa bertahan antara
tiga minggu dan tiga bulan (Eunice, 2014).
 Tonsilitis kronis - terjadi ketika tonsilitis disebabkan oleh infeksi bak-
teri yang dapat bertahan jika tidak diobati (Eunice, 2014).

C. Etiologi dan Faktor Risiko


Virus herpes simplex, Group A beta-hemolyticus Streptococcus py-
ogenes (GABHS), Epstein-Barr virus (EBV),sitomegalovirus, adenovirus, dan
virus campak merupakan penyebab sebagian besar kasus faringitis akut dan
tonsilitis akut.Bakteri menyebabkan 15-30 persen kasus faringotonsilitis;
GABHS adalah penyebab tonsilitis bakteri yang paling banyak (American
Academy of Otolaryng ology — Head and Neck Surgery, 2011).
Tonsilitis kronis disebabkan oleh bakteri yang sama yang terdapat pada
tonsilitis akut, dan yang paling sering adalah bakteri gram positif namun
terkadang bakteri berubah menjadi bakteri golongan gram negatif. Pada hasil
penelitian Suyitno S, Sadeli S, menemukan 9 jenis bakteri penyebab tonsilo-
faringitis kronis yaitu Streptokokus alpha, Staphylococcus aureus, Streptoko-
kus β hemolitikus grup A, Enterobakter, Streptokokus pneumonie, Pseudomo-
nas aeroginosa, Klebsiela sp., Escherichea coli, Staphylococcus epidermidis
(Suyitno S, Sadeli S, 1995 dalam Farokah, 2005).
Faktor risiko nya terdiri dari paparan asap beracun, asap industri dan
polusi udara lainnya; Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat, Kanak-
kanak; remaja dan orang dewasa berusia 65 tahun ke atas; Stres; Traveler;
Mulut yang tidak higiene; Kondisi ko-morbid yang mempengaruh sistem imun
seperti hayfever,alergi,kemoterapi,infeksi Epstein-barr virus (EBV),infeksi
herpes simplexvirus (HSV),infeksi sitomegalovirus (CMV) dan infeksi human
immune virus (HIV) atau acquired immune deficiency syndrome (AIDS) (Sa-
saki, 2008; Jain et al., 2001; Lewy, 2008).

D. Patofisiologi
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa
juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan
limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga
kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proses ber-
jalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan
perlekatan dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini dis-
ertai dengan pembesaran kelenjar limfa dengan submandibula (Soepardi,
2007). Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang ter-
lepas. Akibat dari proses ini akan terjadi pembengkakan atau pembesaran ton-
sil ini, nyeri menelan, disfagia. Kadang apabila terjadi pembesaran melebihi
uvula dapat menyebabkan kesulitan bernafas. Apabila kedua tonsil bertemu
pada garis tengah yang disebut kissing tonsils dapat terjadi penyumbatan pen-
galiran udara dan makanan. Komplikasi yang sering terjadi akibat disfagia dan
nyeri saat menelan, penderita akan mengalami malnutrisi yang ditandai
dengan gangguan tumbuh kembang, malaise, mudah mengantuk (Stephanie,
2011). Pembesaran adenoid mungkin dapat menghambat ruang samping
belakang hidung yang membuat kerusakan lewat udara dari hidung ke
tenggorokan, sehingga akan bernafas melalui mulut. Bila bernafas terus lewat
mulut maka mukosa membrane dari orofaring menjadi kering dan teriritasi,
adenoid yang mendekati tuba eustachus dapat meyumbat saluran mengakibat-
kan berkembangnya otitis media (Reeves, Charlene, 2001 ).

E. Gejala Klinis
Menurut Effiaty Arsyad Soepardi, et al, (2007),yang merupakan gejala klinis:
 Gejala lokal, yang bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit
tenggorok, sulit sampai sakit menelan.
 Gejala sistemis, seperti rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri
kepala, demam subfebris, nyeri otot dan persendian.
 Gejala klinis, seperti tonsil dengan debris di kriptenya (tonsilitis fo-
likularis kronis), edema atau hipertrofi tonsil (tonsilitis parenkimatosa
kronis), tonsil fibrotik dan kecil (tonsilitis fibrotik kronis), plika ton-
silaris anterior hiperemis dan pembengkakan kelenjar limfe regional.
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaanyang
tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kriptus terisi oleh detritus. Ra-
sa ada yang mengganjal di tenggorokan, dirasakan kering di
tenggorokan dan nafas berbau.
Menurut Adams ( 2001 ) yang merupakan gejala klinis pada pemeriksaan, ter-
dapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis Kronis yang mungkin tam-
pak, yakni:
 Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke
jaringan sekitar, kripte yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang
purulen atau seperti keju.
 Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang
seperti terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis,
kripte yang melebar dan ditutup eksudat yang purulen.
Menurut (Adam et al., 2000; Sasaki, 2008) yang merupakan gejala klinis:
 Sakit kepala
 Malaise
 Demam
 Sakit saat menelan (Disfagia)
 Halitosis
 Kurangnya nafsu makan
 Mual dan muntah
 Pembesaran atau terjadinya tenderness pada kelenjar getah bening
servikal serta sakit telinga disebabkan persarafan yang sama kepada
kedua telinga serta tenggorokan

F. Diagnosis
Adapun tahapan menuju diagnosis tonsilitis kronis adalah sebagai berikut:
1. Anamnesa
Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting karena hampir 50% di-
agnosa dapat ditegakkan dari anamnesa saja. Penderita sering datang
dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit waktu
menelan, nafas bau busuk, malaise, sakit pada sendi, kadang-kadang ada
demam dan nyeri pada leher.

2. Pemeriksaan fisik pasien dengan tonsilitis dapat menemukan:


 Demam dan pembesaran pada tonsil yang inflamasi serta ditutupi
pus.
 Bila dilakukan penekanan pada plika anterior dapat keluar pus atau
material menyerupai keju.
 Group A beta-hemolytic Streptococcus pyogenes (GABHS) dapat
menyebabkan tonsilitis yang berasosiasi dengan perjumpaan pete-
chiae palatal.
 Pernapasan melalui mulut serta suara terendam disebabkan pem-
besaran tonsil yang obstruktif. Tenderness pada kelenjar getah
bening servikal.
 Tanda dehidrasi ( pada pemeriksaan kulit dan mukosa ).
 Pembesaran unilateral pada salah satu sisi tonsil disebabkan abses
peritonsilar.
 Rahang kaku, kesulitan membuka mulut serta nyeri menjalar ke
telinga mungkin didapati pada tingkat keparahan yang berbeda.
 Warna kemerahan pada plika anterior bila dibanding dengan
mukosa faring, tanda ini merupakan tanda penting untuk mene-
gakkan diagnosa infeksi kronis pada tonsil. (American Academy of
Otolaryngology - Head and Neck Surgery, 2014).
Pada pemeriksaan didapatkan pilar anterior hiperemis, tonsil biasanya
membesar (hipertrofi) terutama pada anak atau dapat juga mengecil (atro-
fi), terutama pada dewasa, kripte melebar detritus (+) bila tonsil ditekan
dan pembesaran kelenjar limfe angulus mandibula (Aritomoyo D, 1980
dalam Farokah, 2005).Thane & Cody membagi pembesaran tonsil dalam
ukuran T1 – T4:
 T1: batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar
anterior – uvula.
 T2 : batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior – uvula
sampai ½ jarak anterior – uvula.
 T3 : batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior – uvula
sampai ¾ jarak pilar anterior – uvula.
 T4 : batas medial tonsil melewati ¾ jarak anterior – uvula sampai
uvula atau lebih.
Pada anak, tonsil yang hipertrofi dapat terjadi obstruksi saluran nafas
atas yang dapat menyebabkan hipoventilasi alveoli yang selanjutnya dapat
terjadi hiperkapnia dan dapat menyebabkan kor polmunale (Paradise JL,
2009). Gejala klinis sleep obstructive apnea lebih sering ditemui pada anak
– anak (Akcay, 2006)

G. Pemeriksaan Penunjang
Display Test (RADT) dikembangkan untuk identifikasi streptokokus
Grup A dengan melakukan apusan tenggorokan. Meskipun tes ini lebih mahal
daripada kultur agar darah, tesnya memberikan hasil yang lebih cepat. RADT
memiliki akurasi 93% dan spesifisitas > 95% dibandingkan dengan kultur
darah. Hasil tes false positive jarang berlaku. Identifikasi yang cepat dan pen-
gobatan pasien dapat mengurangi resiko penyebaran tonsilitis yang disebab-
kan oleh streptokokus grup A dan terapi yang tepat dapat diperkenalkan
(Bisno et al., 2002).
Suatu penelitian dilakukan di Iraq untuk membandingkan antara swab
tenggorokan dan kultur tonsil core pada tonsilitis kronis. Patogen terdeteksi
sebanyak 41% pada swab dibandingkan 90,4% di tonsil core, sedangkan flora
normal yang terdeteksi adalah sebanyak 58,9% pada swab dibandingkan
9,59% di tonsil core. [Hasil dari penelitian ini meyokong hasil dari penelitian
Kurien, et al., (2000)], yang menemukan patogen pada 55% dari swab
tenggorokan dan 72,5% dari kultur core (Yousef et al.,2014 ).
H. Penatalaksanaan
 Medikamentosa
Penatalaksanaan tonsilitis kronis dapat diatasi dengan menjaga higiene
mulut yang baik, obat kumur, obat hisap dan tonsilektomi jika terapi kon-
servatif tidak memberikan hasil.Pengobatan tonsilitis kronis dengan
menggunakan antibiotik oral perlu diberikan selama sekurangnya 10
hari.Antibiotik yang dapat diberikan adalah golongan penisilin atau sulfon-
amida, namun bila terdapat alergi penisilin dapat diberikan eritromisin atau
klindamisin (Soepardi et al., 2007). Penggunaan terapi antibiotika amat dis-
arankan pada pasien tonsilitis kronis dengan penyakit kardiovaskular
(Shishegar dan Ashraf, 2014). Obstruksi jalan nafas harus ditatalaksana
dengan memasang nasal airway device, diberi kortikosteroid secara in-
travena dan diadministrasi humidified oxygen. Pasien harus diobservasi se-
hingga terbebas dari obstruksi jalan nafas (Udayan et al., 2014).
RESEP :
dr. Melia Fadiansari Suriansyah
Jl. Musi No.22, Mataram-NTB
SIP: 1361050163
Jakarta, 21 Maret 2018
R/ Povidone Iodine 1% garg No. I lag
S 3 dd garg p.r.n

R/ Amoksisilin tab 500 mg No. XXX


S 3 dd I tab (habiskan)

R/ Metil prednisolon tab 4 mg No. IX


S 3 dd I tab

Pro : Nn. Lila (23 th)


 Operatif
Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik,
gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma (Soepardi et al., 2007). Pada
penelitian Vivit Sapitri mengenai karakteristik penderita tonsilitis kronis
yang diindikasi tonsilektomi di RSUD Raden Mattaher Jambi dari bulan
Mei-Juli 2013 didapatkan data bahawa dari 30 orang, ditemukan penderita
tonsilitis kronis yang diindikasikan tonsilektomi terbanyak pada rentang
usia antara 5-14 tahun yaitu 15 orang (50%), jenis kelamin terbanyak ada-
lah perempuan yaitu 17 orang (56,7%), semua keluhan utamanya adalah
nyeri pada tenggorok/ sakit menelan sebanyak 30 orang (100%), indikasi
tonsilektomi terbanyak adalah indikasi relatif sebanyak 22 orang (73,3%)
yaitu terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil pertahun dengan terapi anti-
biotik adekuat (Sapitri, 2013). Tonsilektomi juga merupakan tatalaksana
yang diaplikasikan untuk Sleep-Disordered Breathing (SDB) serta untuk
tonsilitis rekuren yang lebih sering terjadi pada anak –anak (Shishegar dan
Ashraf, 2014).
TONSILITIS DIFTERI
Hanna Immanuela 1361050186

A. Definisi
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan
ikat dengan kriptus di dalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringal (ade-
noid), tonsil palatina dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran
yang disebut cincin Waldeyer. Kedua tonsil terdiri juga atas jaringan limfe, letaknya
di antara lengkung langit-langit dan mendapat persediaan limfosit yang melimpah di
dalam cairan yang ada pada permukaan dalam sel-sel tonsil.
Tonsilitis merupakan inflamasi atau pembengkakan akut pada tonsil atau amandel.
Tonsilitis diferi merupakan tonsilitis yang disebabkan kuman Coryne bacterium diph-
teriae. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak-anak berusia kurang dari 10 ta-
hunan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun.
Difteri adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae.
Kuman ini menghasilkan toksin yang bisa membahayakan atau menghancurkan
jaringan dan organ tubuh manusia. Salah satu jenis difteri menyerang tenggorokan
dan tonsil. Tipe lain, yang lebih umum di daerah tropis, dapat menyebabkan ulkus
pada kulit.1
Difteria mempengaruhi orang dari segala usia, namun paling sering menyerang
anak yang tidak diimunisasi. Di daerah beriklim sedang, difteri cenderung terjadi
selama bulan-bulan dingin. Pada tahun 2000, 30.000 kasus dan 3000 kematian difteri
dilaporkan di seluruh dunia.1 Difteri dapat menyebabkan infeksi nasofaring, yang
dapat menyebabkan kesulitan bernapas dan kematian.1
Difteri ditularkan dari orang ke orang melalui kontak fisik dan kontak pernapasan
yang dekat. Difteri sangat menular melalui droplet dan penularan dapat terjadi tidak
hanya dari penderita saja, namun juga dari karier (pembawa) baik anak maupun de-
wasa yang tampak sehat kepada orang-orang di sekitarnya.2
Kejadian luar biasa yang terjadi di Jawa Timur dan secara sporadik di daerah lain
(Pontianak dan Banjarmasin) merupakan indikator bahwa program imunisasi nasional
tidak mencapai sasaran. Oleh karena itu, dalam menghadapi dan mengatasi masalah
difteri, kita harus memperbaiki pelaksanaan program imunisasi secara menyeluruh.2
B. Etiologi
Penyebab tonsilitis difteri adalah kuman Corynebacterium diphteriae, yang terma-
suk bakteri gram positif yang tidak bergerak, tidak membentuk spora dan berbentuk
batang pleomorfis serta berkembang pada saluran nafas bagian atas antara lain
hidung, faring dan laring.

C. Patofisiologi
Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada permukaan
mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke
sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan
darah.
Toksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak ta-
han panas/cahaya, mempunyai dua fragmen yaitu fragmen A (aminoterminal) dan
fragmen B (carboxyterminal) yang disatukan dengan ikatan disulfida. Fragmen B di-
perlukan untuk melekatkan molekul toksin yang teraktifasi pada reseptor sel pejamu
yang sensitif. Perlekatan ini mutlak agar fragmen A dapat melakukan penetrasi ke
dalam sel. Kedua fragmen ini penting dalam menimbulkan efek toksik pada sel.
Reseptor-reseptor toksin diphtheria pada membran sel terkumpul dalam suatu
coated pit dan toksin mengadakan penetrasi dengan cara endositosis. Proses ini
memungkinkan toksin mencapai bagian dalam sel. Selanjutnya endosom yang
mengalami asidifikasi secara alamiah ini dan mengandung toksin memudahkan toksin
untuk melalui membran endosom ke sitosol. Efek toksik pada jaringan tubuh manusia
adalah hambatan pembentukan protein dalam sel.
Toksin diphtheria mula mula menempel pada membran sel dengan bantuan
fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivasi
enzim translokase melalui. Hal ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan se-
hingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan
mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi in-
flamasi lokal yang bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak ek-
sudat yang mula-mula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi
semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang
melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkan-
dung. selain fibrin, membran juga terdiri dari sel- sel radang, eritrosit dan sel-sel epi-
tel. Bila dipaksa melepas membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran
akan terlepas sendiri dalam periode penyembuhan.
Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya Streptococcus
pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan nafas.
Gangguanpernafasan/suffokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring
atau cabang- cabang tracheobronchial. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa
mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal.
Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang ter-
absorbsi pada sel, tetapi tidak bila telah terjadi penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin
terfiksasi dalam sel, terdapat periode laten yang bervariasi sebelum timbulnya mani-
festasi klinik. Miokardiopati toksik biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi
saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologi yang menonjol
adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jarin-
gan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot
dan sistem konduksi. Bila penderita tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis
interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput
mielin. Nekrosis hati bisa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak
perdarahan adrenal dan nekrosis tubuler akut pada ginjal.

D. Manifestasi klinis
Pada mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah terjadi
membran putih/keabu-abuan. Dalam 24 jam membran dapat menjalar dan menutupi
tonsil, palatum molle, uvula. Mula-mula membran tipis, putih dan berselaput yang
segera menjadi tebal, abu-abu/hitam tergantung jumlah kapiler yang berdilatasi dan
masuknya darah ke dalam eksudat.
Membran mempunyai batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan dibawahnya.
Sehingga sukar untuk diangkat, sehingga bila diangkat secara paksa menimbulkan
perdarahan. Jaringan yang tidak ada membran biasanya tidak membengkak. Pada
difteri sedang biasanya proses yang terjadi akan menurun pada hari-hari 5-6,
walaupun antitoksin tidak diberikan.
Gambaran klinik dibagi dalam tiga golongan yaitu :
 Gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu demam yang biasanya
subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat, serta
keluhan nyeri menelan
 Gejala lokal, yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor
yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk semu. Membran ini dapat
meluas ke palatum molle, uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus dan dapat
menyumbat saluran nafas. Membran semu ini melekat erat pada dasarnya,
sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini
bila infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian
besarnya sehingga leher menyerupai sapi (bullneck) atau disebut juga
Burgermeester’s hals.
 Gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi
miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai saraf kranial menyebabkan
kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernafasan dan pada ginjal menimbulkan
albuminuria.

F. Diagnosis
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah membran
semu dan didapatkan kuman Corynebacterum diphteriae.
Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody
technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C,
diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan dengan tes
toksinogenesitas secara vivo (marmut) dan vitro (tes Elek). Cara Polymerase Chain
Reaction (PCR) dapat membantu menegakkan diagnosis difteri dengan cepat, namun
pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk
penggunaan secara luas.

G. Penatalaksanaan
1. Isolasi dan Karantina :
Penderita diisolasi sampai biakan negatif tiga kali berturut-turut setelah masa
akut terlampaui. Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan berikut
terlaksana :
a. Biakan hidung dan tenggorok
b. Tes Schick (tes kerentanan terhadap diphtheria)
c. Diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan toksoid
diphtheria.
 Bila kultur (-)/Schick test (-) : bebas isolasi
 Bila kultur (+)/Schick test (-) : pengobatan carrier
 Bila kultur (+)/Schick test (+)/gejala (-) : anti toksin diphtheria + penisilin
 Bila kultur (-)/Shick test (+) : toksoid (imunisasi aktif).

2. Pengobatan
Tujuan mengobati penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin yang be-
lum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta men-
gobati infeksi penyerta dan penyulit diphtheria.
Apabila seseorang diduga menderita difteri oleh dokter, maka pengobatan ha-
rus segera dilakukan tanpa menunggu hasil pemeriksaan penunjang. Selain itu,
kontak dekat, seperti anggota keluarga, kontak rumah tangga, dan karier harus
menerima pengobatan profilaksis tanpa memandang status imunisasi atau usia,
yaitu pengobatan dengan eritromisin atau penisilin selama 14 hari dan kultur pas-
ca pengobatan untuk mengkonfirmasi ketiadaan bakteri.Pengobatan yang paling
efektif yaitu pada tahap awal penyakit, untuk mengurangi penularan, mengobati
infeksi, dan mencegah perjalanan infeksi lebih jauh
2.1 Umum
Pasien dengan difteri dirawat di rumah sakit selama pemberian antitoxin
diberikan. Selama perawatan, yang biasanya dilakukan adalah:
 Perawatan tirah baring selama 2 minggu dalam ruang isolasi sampai setid-
aknya 2 kultur berturut-turut setelah pengobatan selesai dengan jarak 24 jam
memberikan hasil negatif
 Jamin intake cairan dan makanan. Bentuk makanan disesuaikan dengan toler-
ansi, untuk hal ini dapat diberikan makanan lunak, saring/cair, bila perlu sonde
lambung jika ada kesukaran menelan (terutama pada paralisis palatum molle
dan otot-otot faring).
 Bila ada tanda-tanda obstruksi jalan nafas perbaiki segera. Berikan oksigen
atau lakukan tindakan trakeostomi bila diperlukan.
 Monitoring jantung dan organ-organ vital lain.

2.2 Medikamentosa
1. Anti Diphteria Serum(ADS)
Antitoksin difteri adalah preparat steril yang mengandung globulin bersifat an-
titoksin spesifik yang memiliki kekuatan menetralisir toksin yang dibentuk oleh
Corynebacterium diphtheriae. Antitoxin ini dibuat dari plasma kuda yang sehat,
yang telah terimunisasi dengan suntikan toksin difteri.
Antitoksin difteri tersedia dalam bentuk vial 5 ml (10.000 IU) dan 10 ml
(20.000 IU), tiap ml mengandung 2000 IU antitoxin difteri dan 0,25% fenol v/v.
Untuk pencegahan, dosis untuk anak-anak adalah 1000-3000 IU, sedangkan untuk
dewasa 3000-5000 IU. Untuk pengobatan, dosis tergantung usia, berat gejala, dan
lokasi membran. Pada Difteria Tonsil biasanya diberikan 40.000 IU Intramuscu-
lar/Intravena.
Serum antidifteri merupakan serum heterolog, maka dapat menimbulkan
reaksi anafilaktik. Untuk mencegah hal tersebut, maka dilakukan hal-hal berikut:
 Pengawasan tanda vital dan reaksi lainnya seperti perluasan membran, selama
dan sesudah pemberian terutama sampai 2 jam setelah pemberian serum.
 Adrenalin 1:1000 dalam dalam semprit harus selalu disediakan untuk me-
nanggulangi reaksi anafilaktik (dosis 0,01 cc/kg BB intramuskuler, maksimal
diulang tiga kali dengan interval 5-15 menit).
 Sarana dan penanggulangan reaksi anafilaktik harus tersedia.
 Uji kepekaan, yang terdiri dari :
o Tes kulit
Anti difteri serum 0,1 cc diencerkan dengan perbandingan 1:10 dalam NaCl
0,9% disuntikkan intrakutan. Hasilnya dibaca setelah 15-20 menit. Dianggap
positif bila teraba indurasi dengan diameter paling sedikit 10 mm.
o Tes mata
Satu tetes anti difteri serum yang telah diencerkan dengan perbandingan 1:10
dalam NaCl 0,9% diteteskan pada salah satu kelopak mata bagian bawah. Sa-
tu tetes NaCl 0,9% digunakan sebagai kontras pada mata lainnya untuk per-
bandingan. Hasilnya dilihat setelah 15 – 20 menit kemudian. Dianggap positif
bila ada tanda konjungtivitis (merah, bengkak, lakrimasi). Apabila terjadi
konjungtivitis diobati dengan adrenalin 1:1000. Bila salah satu tes kepekaan
positif, maka ADS tidak diberikan secara sekaligus (single dose) tetapi secara
bertahap, yaitu dengan dosis yang ditingkatkan secara perlahan-lahan (desen-
sitisasi) dengan interval 20 menit. ADS diencerkan dalam NaCl 0,9% dengan
dosis sebagai berikut:

Efek samping yang bisa terjadi pada pemberian antitoksin ini adalah :
1. Reaksi anafilaktik jarang terjadi, tetapi bila ada timbulnya dengan segera
atau dalam waktu beberapa jam sesudah suntikan.
2. Serum Sickness dapat timbul 7 - 10 hari setelah suntikan dan dapat
berupa kenaikan suhu, gatal-gatal, eksantema, sesak nafas dan gejala alergi
lainnya. Reaksi ini jarang terjadi bila menggunakan serum yang telah di-
murnikan.
3. Demam dengan menggigil yang biasanya timbul setelah pemberian serum
secara intravena.
4. Rasa nyeri pada tempat suntikan yang biasanya timbul pada penyuntikan
serum dalam jumlah besar. Reaksi ini biasanya terjadi dalam 24 jam.

2. Antimikrobal
Terapi antimikroba diindikasikan untuk menghentikan produksi toksin,
mengobati infeksi lokal, dan mencegah penularan. C. diphtheriae biasanya rent-
an terhadap berbagai agen in vitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin,
rifampisin, dan tetrasiklin. Resistensi terhadap eritromisin sering terjadi karena
obat tersebut telah digunakan secara luas. Eritromisin diberikan pada pasien
dengan alergi penisilin. Eritromisin sedikit lebih unggul dari penisilin untuk
pemberantasan infeksi nasofaring. Terapi antibiotik bukanlah pengganti untuk
terapi antitoksin. Pemberantasan bakteri harus didokumentasikan oleh setid-
aknya 2 kultur berturut-turut diperoleh 24 jam setelah selesai terapi. Pengobatan
dengan eritromisin diulang jika hasil kultur tetap positif.
Dosis:
 Penisilin prokain 25.000-50.000 IU/kgBB/hari intramuskuler, selama 14 hari
atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut negatif.
 Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, per oral, tiap 6 jam selama
14 hari.
 Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m. atau i.v. , dibagi
dalam 4 dosis, diberikan selama 14 hari.

3. Koritikosteroid
Kortikosteroid 1,2 mg/kgBB perhari dapat diberikan kepada penderita
dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas dan bila terdapat penyulit
miokardiopati toksik.
4. Simtomatis
Dapat diberikan antipiretik untuk menurunkan demam, jika pasien
anak gelisah berikansedatif, dan apabila batuk bisa diberikan antitusif

CONTOH PENULISAN RESEP

dr. Hanna Immanuela


SIP: 1361050186
Jl. Mayjen Sutoyo No. 2
Cawang- Jakarta Timur
Jakarta, 21 Maret 2018
R/ Eritromisin tab 500 mg No. LVI
S 4 dd tab I (habiskan)
R/ Paracetamol tab 500 mg No. XV
S 3 dd tab I feb.dur
Pro: An. Linda
Umur: 12 tahun
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization (WHO). Diphtheria - The disease. Available


from URL:
http://www.who.int/immunization/topics/diphtheria/en/index1.html .

2. http://www.idai.or.id/about-idai/idai-statement/pendapat-ikatan-dokter-
anak-indonesia-kejadian-luar-biasa-difteri

2. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi kelima
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2004.

3. Demirci CS, Abuhammour W. Pediatric Diphhteria. Available at :


http://emedicine.medscape.com/article/963334-overview#showall.

4. The Histopathology of Tonsilitis Diphtheria. Available at :


http://www.histopathology-india.net/Dipth.htm

5. CDC. Diphtheria Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases.


Edisi12. 2011, diakses darihttp://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/dip.html.

6. CDC. Diphtheria .Edisi 5. 2011, diakses dari


http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/surv-manual/chpt01-dip.html.
25. Karsinoma Nasofaring

Marini Elisabeth 1361050224

1. Definisi Carsinoma Nasofaring


Carsinoma nasofaring adalah keganasan pada nasofaring yang berasal dari epitel
mukosa nasofaring atau kelenjar yang terdapat di nasofaring
berada di antara belakang hidung dan esofagus.
2. Etiologi Carsinoma Nasofaring
 Faktor lingkungan
Makanan seperti Ikan asin dan makanan yang diawetkan mengandung sejumlah
besar nitrosodimethyamine (NDMA), N-nitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospi-
peridine (NPIP) yang mungkin merupakan faktor karsinogenik karsinoma naso-
faring. Merokok (tembakau) juga merupakan salah satu faktor resiko, dimana da-
lam suatu penelitian didapatkan angka insiden KNF tinggi pada orang yang
merokok lebih dari 10 tahun atau lebih. Ada pun penelitian dilakukan di Taiwan
oleh Lin et al menunjukkan bahwa paparan terlalu lama oleh asap rokok mening-
katkan resiko KNF. Hal ini dihubungkan dengan merokok dan perokok pasif yg
terkena yang mengandung formaldehide dan yang tepapar debu kayu dapat
mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.
 Faktor genetic : histocampability locus antigen (HLA) mempunyai kaitan dengan
KNF. Dimana HLA termasuk HLA-A2, HLA-B46 dan HLA-B58. korelasi
menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim
sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap
karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi
metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen
 Faktor Epstein barr (EBV): Pada pasien karsinoma nasofaring dijumpai
peninggian titer antibodi anti EBV (EBNA-1) di dalam serum plasma. EBNA-1
adalah protein nuklear yang berperan dalam mempertahankan genom virus. pen-
ingkatan titer antibodi terhadap EBV pada KNF serta titer antibodi IgG terhadap
EBV, capsid antigen dan early antigen. Kenaikan titer ini sejalan dengan ting-
ginya stadium penyakit.ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya
EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric Immuno-
globlin Receptor). Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan
beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus ep-
stein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang menin-
feksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi nor-
mal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehing-
ga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel
menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.
3. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis Carsinoma Nasofaring
Hubungan antara virus Epstein-Barr (EBV) dan konsumsi nitrosamine
diketahui sebagai penyebab utama terjadinya karsinoma nasofaring. EBV adalah
suatu virus dari keluarga herpes (yang termasuk Virus herpes simpleks dan Cy-
tomegalovirus), yang merupakan salah satu virus-virus paling umum di dalam
manusia. Banyak orang yang terkena infeksi EBV, yang sering asimptomatis
tetapi biasanya penyakit akibat radang yang cepat menyebar. Virus tersebut dapat
masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal disana tanpa menyebabkan suatu ke-
lainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan
suatu mediator. Kebiasaan untuk mengkonsumsi ikan asin atau makanan dengan
kandungan garam tinggi secara terus menerus mulai dari masa anak-anak, meru-
pakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan
karsinoma nasofaring.

Gejala nasofaring yang pokok adalah :


1. Gejala Hidung:
 Pilek lama yang tidak sembuh
 Epistaksis. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedi-
kit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah
jambu
 Ingus dapat seperti nanah, encer atau kental dan berbau.
2. Gejala Hidung :
 Tinitus. Tumor menekan muara tuba eustachii sehingga terjadi tuba
oklusi, karena muara tuba eustachii dekat dengan fosa rosenmulleri.
Tekanan dalam kavum timpani menjadi menurun sehingga terjadi tinnitus.
 Gangguan pendengaran hantaran
 Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia).
3. Gejala Mata :
 Diplopia. Tumor merayap masuk foramen laseratum dan menimbulkan
gangguan N. IV dan N. VI. Bila terkena chiasma opticus akan men-
imbulkan kebutaan.
4. Tumor sign :
 Pembesaran kelenjar limfoid leher ini merupakan penyebaran atau metas-
tase dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring.
5. Cranial sign
Gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan dirasakan pada
penderita. Gejala ini berupa :
 Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase
secara hematogen.
 Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang.
 Kesukaran pada waktu menelan
 Afoni
 Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean mengenai N. IX,
N. X, N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada lidah, pala-
tum, faring atau laring, M. sternocleidomastoideus, dan M. trapezius.
4. Penentuan Stadium Carsinoma Nasofaring

TUMOR SIZE (T)

T Tumor primer

T0 Tidak tampak tumor

T1 Tumor terbatas pada satu lokasi saja

T2 Tumor dterdapat pada dua lokalisasi atau lebih tetapi masih


terbatas pada rongga nasofaring

T3 Tumor telah keluar dari rongga nasofaring

T4 Tumor teah keluar dari nasofaring dan telah kmerusak tulang


tengkorak atau saraf-saraf otak
Tx Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap

REGIONAL LIMFE NODES (N)

N0 Tidak ada pembesaran

N1 Terdapat pembesarantetapi homolateral dan masih bisa digerakkan

N2 Terdapat pembesaran kontralateral/ bilateral dan masih dapat


digerakkan

N3 Terdapat pembesaran, baik homolateral, kontralateral maupun


bilateral yang sudah melekat pada jaringan sekitar

METASTASE JAUH (M)

M0 Tidak ada metastase jauh

M1 Metastase jauh

 Stadium I : T1 No dan Mo
 Stadium II : T2 No dan Mo
 Stadium III : T1/T2/T3 dan N1 dan Mo atau T3 dan No dan Mo
 Stadium IV : T4 dan No/N1 dan Mo atau T1/T2/T3/T4 dan N2/N3 dan
Mo atau T1/T2/T3/t4 dan No/N1/N3/N4 dan M1

5. Diagnosis Carsinoma Nasofaring

Adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring, protokol


dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta stadium
tumor :
1. Anamnesis / pemeriksaan fisik : keluhan yang dirasakn pasien (tanda dan
gejala KNF)
2. Pemeriksaan nasofaring : Menggunakan kaca nasofaring atau dengan nasho-
pharyngoskop : Rinoskopi posterior dengan atau tanpa kateter
3. Biopsi multiple : Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klin-
ik ditunjang dengan diagnosis histologik atau sitologik.
 Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang
dan buruk.
 Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe ini
dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa
tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.
 Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada tipe
ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, ber-
bentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas
sel tidak terlihat dengan jelas.
4. Radiologi :Thorak PA, Foto tengkorak, Tomografi, CT Scan, Bone scantig-
raphy (bila dicurigai metastase tulang)
5. Pemeriksaan Neuro-oftalmologi : untuk mengetahui perluasan tumor ke-
jaringan sekitar yang menyebabkan penekanan atau infiltrasi kesaraf otak,
manifestasi tergantung dari saraf yang dikenai.
6. Pemeriksaan serologi : IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (cap-
sid antigen) untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam
mendeteksi karsinoma nasofaring.
7. Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal untuk
melihat/mendeteksi metastasis.

6. Penatalaksanaan Carsinoma Nasofaring


Carcinoma nasofaring merupakan kompetensi II. Dokter umum berperan dalam
melakukan promosi kesehatan, pencegahan dan deteksi dini karsinoma nasofaring.
Pencegahan :
 Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus Ep-
stein Barr yang dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah
dengan resiko tinggi.
Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak ma-
kanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya,
menghindari asap.
25. Laringitis
I Gusti Ayu Ratna Dewi - 1361050238

Laringitis merupakan peradangan pada laring. Gejala yang umum pada


laringitis yaitu nyeri tenggorokan seperti saat menelan atau berbicara, batuk, demam,
suara yang dikeluarkan serak, atau bahkan kehilangan suara sama sekali (afoni). Pada
penderita anak-anak dengan struktur saluran pernapasan yang kecil, bisa saja terjadi
kesulitan bernapas. Meski begitu, hal tersebut hanya terjadi pada beberapa kasus saja.
Gejala laringitis bisa muncul secara tiba-tiba, lalu terus memburuk selama dua sampai
tiga hari, dan pulih dalam waktu satu minggu tanpa pengobatan. Biasanya suara serak
dan kesulitan mengeluarkan suara adalah gejala yang terakhir pulih dibandingkan
gejala laringitis lainnya.

Terjadinya peradangan pada laring bisa disebabkan oleh beberapa faktor, anta-
ra lain:
 Kerusakan pada pita suara. Getaran pada organ tersebut yang melebihi batas
ketahanan, misalnya akibat penderita berteriak terlalu keras atau bernyanyi
dengan suara yang tinggi dapat menyebabkan laringitis. Selain itu, kerusakan pita
suara juga dapat terjadi akibat batuk berkepanjangan dan cedera saat penderita
melakukan aktivitas fisik atau akibat kecelakaan.
 Infeksi virus, bakteri, dan jamur. Laringitis pada umumnya disebabkan oleh
infeksi virus influenza (tipe A dan B), parainfluenza (tipe 1, 2, 3), rhinovirus, dan
adenovirus. Penyebab lain adalah Haemofilus influenzae, Branhamella
catarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus dan Streptococcus
pneumonia. Sedangkan dari jenis jamur adalah jamur Candida yang juga dapat
menyebabkan sariawan. Infeksi jamur dan bakteri pada kasus laringitis lebih ja-
rang terjadi dibandingkan infeksi virus. Infeksi jamur rentan dialami oleh orang-
orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah, misalnya akibat efek
samping obat kortikosteroid, kemoterapi, atau akibat penyakit HIV/AIDS.
 Reaksi alergi terhadap suatu zat kimia atau paparan debu.
 Naiknya asam lambung ke tenggorokan lewat kerongkongan pada kasus pen-
yakit refluks gastroesofageal (GERD). Jika asam lambung mencapai tenggorokan
maka risiko untuk terjadinya iritasi laring cukup tinggi.
 Mengering dan teriritasinya laring akibat merokok dan konsumsi minuman be-
ralkohol. Sama seperti kasus GERD, peluang terjadinya infeksi pada laring yang
teriritasi juga cukup tinggi.
 Penggunaan obat kortikosteroid hirup, biasanya obat untuk asma.

Berdasarkan rentang waktu timbulnya gejala, laringitis dibagi dua, yaitu:


 Laringitis jangka pendek (akut). Biasanya disebabkan oleh infeksi virus atau
bakteri, serta pita suara yang menegang.
 Laringitis jangka panjang (kronis). Umumnya muncul akibat sinusitis kronis,
reaksi alergi, iritasi dari asam lambung, asap rokok, atau minuman keras.

Penatalaksaan Laringitis:
Umumnya penderita penyakit ini tidak perlu masuk rumah sakit, namun ada indikasi
masuk rumah sakit apabila :
• Usia penderita dibawah 3 tahun
• Tampak toksik, sianosis, dehidrasi atau exhausted
• Diagnosis penderita masih belum jelas
• Perawatan dirumah kurang memadai
Terapi :
Non Medikamentosa
1. Untuk mengurangi ketegangan pada pita suara yang sedang mengalami radang
dan mempercepat proses penyembuhan, bicaralah dengan suara perlahan atau bila
perlu jangan berbicara terlebih dahulu.
2. Minumlah banyak air putih untuk mencegah dehidrasi. Hindari mengonsumsi mi-
numan yang mengandung kafein dan alkohol.
3. Hindari paparan debu.
4. Jangan merokok.
5. Jika pasien sesak dapat diberikan O2 2 l/ menit
6. Pengisapan lendir dari tenggorok atau laring, bila penatalaksanaan ini tidak
berhasil maka dapat dilakukan endotrakeal atau trakeostomi bila sudah terjadi
obstruksi jalan nafas.

Medikamentosa
1. Terapi medikamentosa dapat berupa simptomimetik, yaitu apabila terdapat gejala
sakit kepala yang mengganggu atau bahkan demam, dapat berikan analgetik sep-
erti ibuprofen atau paracetamol.
2. Gejala hidung tersumbat dapat diberikan dekongestan nasal seperti
fenilpropanolamin (PPA), efedrin, pseudoefedrin, napasolin.
3. Kortikosteroid dapat diberikan untuk menurunkan inflamasi selama 1-2 hari.
4. Apabila terbukti laryngitis yang disebabkan oleh bakteri dapat diberikan
antibiotika yang adekuat

Contoh Resep:

dr. Ratna Dewi


SIP: 136 105 0238
Jl. Angin Ribut No. 23 Jakarta Timur

Jakarta, 21 Maret 2018

R/ Paracetamol tab. 500 mg No. IX


S 3 dd I tab p.r.n.
____________________________________
R/ Pseudoefedrin tab. 30 mg No. IX
S 3 dd I tab
____________________________________
R/ Dexametason tab. 0,5 mg No. IX
S 3 dd I tab
____________________________________

Pro : Tn. X
Umur : ...... thn
26. Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)
Hotland Sitorus 1361050205

A. DEFINISI
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) termasuk vertigo perifer

karena kelainannya terdapat pada telinga dalam, yaitu pada sistem vestibularis pe-

rifer.1 Untuk itu perlu diketahui definisi dari vertigo. Vertigo berasal dari bahasa

latin “vertere”= memutar. Vertigo termasuk kedalam gangguan keseimbangan

yang dinyatakan sebagai pusing, pening, sempoyangan, rasa seperti melayang atau

dunia seperti berjungkir balik. Berbagai macam defenisi vertigo dikemukakan

oleh banyak penulis, tetapi yang paling tua dan sampai sekarang banyak dipakai

adalah yang dikemukakan oleh Gowers pada tahun 1893 yaitu setiap gerakan atau

rasa (berputar) tubuh penderita atau obyek-obyek di sekitar penderita yang ber-

sangkutan dengan kelainan keseimbangan.2 Sesuai kejadiannya, vertigo ada be-

berapa macam yaitu vertigo spontan, vertigo posisi, vertigo kalori. Gejala yang

dikeluhkan pada BPPV adalah vertigo yang datang tiba-tiba pada perubahan po-

sisi kepala.3

BPPV pertama kali dikemukakan oleh Barany pada tahun 1921. BPPV

ialah gangguan keseimbangan perifer yang timbul bila kepala mengambil sikap

tertentu atau perubahan posisi tertentu. BPPV merupakan kelainan perifer yang

paling sering ditemukan, yaitu sekitar 30%. Pada penyakit ini, terlebih bila telinga

yang terlibat ditempatkan di sebelah bawah, menimbulkan vertigo yang berat yang

berlangsung singkat. Sindrom ini ditandai dengan vertigo yang berat dan disertai

oleh nausea dan muntah.4


B. ETIOLOGI

Penyebab paling umum BPPV pada usia di bawah 50 tahun adalah cedera

kepala. Pada usia lanjut, penyebab paling umum adalah degenerasi sistem vestibu-

lar dalam telinga. BPPV meningkat dengan semakin bertambahnya usia (Froeling

dkk, 1991). Kadang-kadang BPPV terjadi pasca operasi, dimana penyebabnya

adalah kombinasi atau salah satu diantara terlalu lama berbaring dalam keadaan

terlentang, atau trauma telinga bagian dalam ketika operasi (Atacan et al 2001).

BPPV juga sering terjadi pada orang yang berada dalam pengobatan dengan obat

ototoxic seperti gentamisin (Black et al, 2004). Setengah dari seluruh kasus BPPV

disebut idiopatik yang berarti terjadi tanpa alasan yang diketahui.5

Semakin bertambah usia semakin meningkat angka kejadian BPPV. Ban-

yak BPPV yang timbul spontan, disebabkan oleh kelainan di otokonial berupa de-

posit yang berada di kupula bejana semisirkular posterior. Deposit ini menyebab-

kan bejana semisirkular jadi sensitive terhadap perubahan gravitasi yang menyer-

tai keadaan posisi kepala yang berubah. Penyebab lain yang signifikan meski ja-

rang adalah neuritis vestibularis akibat infeksi virus di telinga, str oke minor

yang melibatkan sindrom AICA, serta penyakit meniere. Bilateral BPPV lebih

sering ditemukan pada pos traumatis.6

C. ANATOMI DAN FISIOLOGI KESEIMBANGAN

Tiga sistem yang mengelola pengaturan keseimbangan tubuh yaitu sistem

vestibular, sistem proprioseptik, dan sistem optik. Sistem vestibular meliputi labi-

rin (aparatus vestibularis), nervus vestibularis dan vestibular sentral. Labirin ter-

letak dalam pars petrosa os temporalis dan dibagi atas koklea (alat pendengaran)

dan aparatus vestibularis (alat keseimbangan). Labirin yang merupakan seri salu-
ran, terdiri atas labirin membran yang berisi endolimfe dan labirin tulang berisi

perilimfe, dimana kedua cairan ini mempunyai komposisi kimia berbeda dan tidak

saling berhubungan.7

Aparatus vestibularis terdiri atas satu pasang organ otolith dan tiga pasang

kanalis semisirkularis. Otolith terbagi atas sepasang kantong yang disebut sakulus

dan utrikulus. Sakulus dan utrikulus masing-masing mempunyai suatu penebalan

atau makula sebagai mekanoreseptor khusus. Makula terdiri dari sel-sel rambut

dan sel penyokong. Kanalis semisirkularis adalah saluran labirin tulang yang beri-

si perilimfe, sedang duktus semisirkularis adalah saluran labirin selaput berisi en-

dolimfe. Ketiga duktus semisirkularis terletak saling tegak lurus. 8

Sistem vestibular terdiri dari labirin, bagian vestibular nervus kranialis

kedelapan (yaitu,nervus vestibularis, bagian nervus vestibulokokhlearis), dan

nuklei vestibularis di bagian otak, dengan koneksi sentralnya. Labirin terletak di

dalam bagian petrosus os tempolaris dan terdiri dari utrikulus, sakulus, dan tiga

kanalis semisirkularis. Labirin membranosa terpisah dari labirin tulang oleh rong-

ga kecil yang terisi dengan perilimf; organ membranosa itu sendiri berisi endo-

limf. Urtikulus, sakulus, dan bagian kanalis semisirkularis yang melebar (ampula)

mengandung organ reseptor yang berfungsi untuk mempertahankan keseim-

bangan. 9
Gambar 1. Organ pendengaran dan keseimbangan

Tiga kanalis semisirkularis terletak di bidang yang berbeda. Kanalis semisirkularis

lateral terletak di bidang horizontal, dan dua kanalis semisirkularis lainnya tegak lurus

dengannya dan satu sama lain. Kanalis semisirkularis posterior sejajar dengan aksis os

petrosus, sedangkan kanalis semisirkularis anterior tegak lurus dengannya. Karena

aksis os petrosus terletak pada sudut 450 terhadap garis tengah, kanalis semisirkularis

anterior satu telinga pararel dengan kanalis semisirkularis posterior telinga sisi

lainnya, dan kebalikannya. Kedua kanalis semisirkularis lateralis terletak di bidang

yang sama (bidang horizontal).

Gambar 2. Krista Ampularis


Masing-masing dari ketiga kanalis semisirkularis berhubungan dengan utriku-

lus. Setiap kanalis semisirkularis melebar pada salah satu ujungnya untuk membentuk

ampula, yang berisi organ reseptor sistem vestibular, krista ampularis. Rambut-

rambut sensorik krista tertanam pada salah satu ujung massa gelatinosa yangmeman-

jang yang disebut kupula, yang tidak mengandung otolit. Pergerakan endolimf di kan-

alis semisirkularis menstimulasi rambut-rambut sensorik krista, yang dengan

demikian, merupakan reseptor kinetik (reseptor pergerakan). 9

Utrikulus dan sakulus mengandung organ resptor lainnya, makula utrikularis

dan makula sakularis. Makula utrikulus terletak di dasar utrikulus paralel dengan da-

sar tengkorak, dan makula sakularis terletak secara vertikal di dinding medial sakulus.

Sel-sel rambut makula tertanam di membrana gelatinosa yang mengandung kristal

kalsium karbonat, disebut statolit. Kristal tersebut ditopang oleh sel-sel penunjang. 9

Reseptor ini menghantarkan implus statik, yang menunjukkan posisi kepala

terhadap ruangan, ke batang otak. Struktur ini juga memberikan pengaruh pada tonus

otot. Implus yang berasal dari reseptor labirin membentuk bagian aferen lengkung

refleks yang berfungsi untuk mengkoordinasikan otot ekstraokular, leher, dan tubuh

sehingga keseimbangan tetap terjaga pada setiap posisi dan setiap jenis pergerakan

kepala. 9

Stasiun berikutnya untuk transmisi implus di sistem vestibular adalah nervus

vestibulokokhlearis. Ganglion vestibulare terletak di kanalis auditorius internus;

mengandung sel-sel bipolar yang prosesus perifernya menerima input dari sel resptor

di organ vestibular, dan yang proseus sentral membentuk nervus vestibularis. Nervus

ini bergabung dengan nervus kokhlearis, yang kemudian melintasi kanalis auditorius

internus, menmbus ruang subarakhnoid di cerebellopontine angle, dan masuk ke ba-


tang otak di taut pontomedularis. Serabut-serabutnya kemudian ke nukleus vestibu-

laris, yang terletak di dasar ventrikel keempat. 9

Gambar 3. Krista ampularis dan Makula Statika

Kompleks nuklear vestibularis terbentuk oleh : 9

 Nukleus vestibularis superior (Bekhterev)

 Nukleus vestibularis lateralis (Deiters)

 Nukleus vestibularis medialis (Schwalbe)

 Nukleus vestibularis inferior (Roller)


Gambar 4. Kompleks nuklear vestibularis dan hubungan sentralnya

Serabut-serabut nervus vestibularis terpisah menjadi beberapa cabang sebelum

memasuki masing-masing kelompok sel di kompleks nuklear vestibularis, tempat

mereka membentuk relay sinaptik dengan neuron kedua.

Anatomi hubungan aferen dan eferen nuklei vestibularis saat ini belum

diketahui secara pasti. Sebagian serabut yang berasal dari nervus vestibularis

menghantarkan impuls langsung ke lobus flokulonodularis serebeli (arkhiserebelum)

melalui traktus juxtarestiformis, yang terletak di dekat pedunkulus serebelaris inferior.

Kemudian, lobus flokulonodularis berproyeksi ke nukleus fastigialis dan melalui

fasikulus unsinatus (Russell), kembali ke nukleus vestibularis; beberapa serabut kem-

bali melalui nervus vstibularis ke sel-sel rambut labirin, tempat mereka mengeluarkan
efek regulasi inhibitorik utama. Selain itu, arkhi serebelum mengandung serabut-

serabut ordo kedua dari nukleus vestibularis superior, medialis, dan inferior dan

mengirimkan serabut eferen langsung kembali ke kompleks nuklear vestibularis, serta

ke neuron motorik medula spinalis, melalui jaras serebeloretikularis dan retikulospi-

nalis.

Traktus vestibulospinalis lateralis yang penting berasal dari nukleus vestibu-

laris lateralis (Deiters) dan berjalan turun pada sisi ipsilateral di dalam fasikulus ante-

rior ke motor neuron ɤ dan α medula spinalis, turun hingga ke level sakral. Impuls

yang dibawa di traktus vestibularis lateralis berfungsi untuk memfasilitasi refleks ek-

stensor dan mempertahankan tingkat tonus otot seluruh tubuh yang diperlukan untuk

keseimbangan.

Serabut nukleus vestibularis medialis memasuki fasikulus longitudinalis medi-

alis bilateral dan berjalan turun di dalamnya ke sel-sel kornu anterius medula spinalis

servikalis, atau sebagai traktus vestibulospinalis medialis ke medula spinalis torasika

bagian atas. Serabut-serabut ini berjalan turun di bagian anterior medula spinalis

servikalis, di dekat fisura mediana anterior, sebagai fasikulus sulkomarginalis, dan

mendistribusikan dirinya ke sel-sel kornu anterior setinggi servikal dan torakal bagian

atas. Serabut ini mempengaruhi tonus otot leher sebagai respon terhadap posisi kepala

dan kemungkinan juga berpapartisipasi dalam refleks yang menjaga ekuilibrium

dengan gerakan lengan untuk keseimbangan.

Semua nukleus vestibularis berproyeksi ke nuklei yang mempersarafi otot-otot

ekstraokular melalui fasikulus longitudinalis medialis.


Gambar 5. Hubungan sentral nervus vestibularis

Neurofisiologi Alat Keseimbangan Tubuh 10

Alur perjalanan informasi berkaitan dengan fungsi AKT melewati beberapa tahapan

adalah sebagai berikut.

1. Tahap Transduksi

Rangsangan gerakan diubah reseptor (R) vestibuler (hair cell), R. visus (rod

dan cone cells) dan R proprioseptik, menjadi impuls saraf. Dari ketiga R ter-

sebut, R vestibuler menyumbang informasi terbesar disbanding dua R lainnya,

yaitu lebih dari 55%.

Mekanisme transduksi hari cells vestibulum berlangsung ketika rangsangan

gerakan membangkitkan gelombang pada endolyimf yang mengandung ion K


(kalium). Gelombang endolimf akan menekuk rambut sel (stereocilia) yang

kemudian membuka/menutup kanal ion K bila tekukan stereocilia mengarah

ke kinocilia (rambut sel terbesar) maka timbul influks ion K dari endolymf ke

dalam hari cells yang selanjutnya akan mengembangkan potensial aksi. Aki-

batnya kanal ion Ca (kalsium) akan terbuka dan timbul ion masuk ke dalam

hair cells. Influks ion Ca bersama potensial aksi merangsangn pelepasan neu-

rotransmitter (NT) ke celah sinaps untuk menghantarkan (transmisi) impuls ke

neuron berikutnya, yaitu saraf aferen vestibularis dan selanjutnya menuju ke

pusat AKT.

2. Tahap Transmisi

Impuls yang dikirim dari haircells dihantarkan oleh saraf aferen vestibularis

menuju ke otak dengan NT-nya glutamate

A. Normal synoptic transmition

B. Induktion of longtem potentiation

3. Tahap Modulasi

Modulasi dilakukan oleh beberapa struktur di otak yang diduga pusat AKT,

antara lain

- Inti vestibularis

- Vestibulo-serebelum

- Inti okulo motorius

- Hiptotalamus

- Formasio retikularis

- Korteks prefrontal dan imbik


Struktur tersebut mengolah informasi yang masuk dan memberi respons yang

sesuai. Manakala rangsangan yang masuk sifatnya berbahaya maka akan

disensitisasi. Sebaliknya, bila bersifat biasa saja maka responsnya adalah ha-

bituasi.

4. Tahap Persepsi

Yang berguna untuk alat keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh respetor

vestibuler visual dan propioseptik. Dan ketiga jenis reseptor tersebut, reseptor

vestibuler yang punya kontribusi paling besar, yaitu lebih dari 50% disusul

kemudian reseptor visual dan yang paling kecil konstibusinya adalah propi-

oseptik.11

Informasi berlangusng intensif bila ada gerakan atau perubahan gerakan dari

kepala atau tubuh, akibat gerakan ini menimbulkan perpindahan cairan endo-

limfe di labirin dan selanjutnya bulu (cilia) dari sel rambut (hair cells) akan

menekuk. Tekukan bulu menyebabkan permeabilitas membran sel berubah se-

hingga ion Kalsium menerobos masuk kedalam sel (influx). Influx Ca akan

menyebabkan terjadinya depolarisasi dan juga merangsang pelepasan NT eksi-

tator (dalam hal ini glutamat) yang selanjutnya akan meneruskan impul senso-

ris ini lewat saraf aferen (vestibularis) ke pusat-pusat alat keseimbangan tubuh

di otak. 9

Pusat Integrasi alat keseimbangan tubuh pertama diduga di inti vertibularis

menerima impuls aferen dari propioseptik, visual dan vestibuler. Serebellum

selain merupakan pusat integrasi kedua juga diduga merupakan pusat kompar-

asi informasi yang sedang berlangsung dengan informasi gerakan yang sudah

lewat, oleh karena memori gerakan yang pernah dialami masa lalu diduga ter-
simpan di vestibuloserebeli. Selain serebellum, informasi tentang gerakan juga

tersimpan di pusat memori prefrontal korteks serebri.11

D. PATOFISIOLOGI BPPV

Terdapat 2 hipotesa yang menerangkan patofisiologi BPPV, yaitu 12,13

1. Hipotesa kupulotiasis

Hipotesa kanalitiasis

Hipotesa Kupulotiasis

Adanya debris yang berisi kalsium karbonat berasal dari fragmen

otokonia yang terlepas dari macula utrikulus yang berdegenerasi, menempel

pada permukaan kupula semisirkularis posterior yang letaknya langsung di

bawah makula urtikulus. Debris ini menyebabkannya lebih berat daripada en-

dolimfe sekitarnya, dengan demikian menjadi lebih sensitif terhadap peru-

bahan arah gravitasi. Bilamana pasien berubah posisi dari duduk ke berbaring

dengan kepala tergantung, seperti pada tes Dix Hallpike, kanalis posterior
berubah posisi dari inferior ke superior, kupula bergerak secara utrikulofugal,

dengan demikian timbul nistagmus dan keluhan vertigo.

Pergeseran massa otokonia tersebut membutuhkan waktu, hal ini yang

menyebabkan adanya masa laten sebelum timbulnya nistagmus dan keluhan

vertigo.

Gerakan posisi kepala yang berulang akan menyebabkan otokonia ter-

lepas dan masuk ke dalam endolimfe, hal ini yang menyebabkan timbulnya fa-

tigue, yaitu berkurangnya atau menghilangnya nistagmus/vertigo, disamping

adanya mekanisme kompensasi sentral.

Nistagmus tersebut timbul secara paroksismal pada bidang kanalis posterior

telinga yang berada pada bidang kanalis posterior telinga yang berada pada

posisi di bawah, dengan arah komponen cepat ke atas.

Hipotesa Kanalitiasis

Menurut hipotesa ini debris otokonia tidak melekat pada kupula,

melainkan mengambang di dalam endolimfe kanalisis posterior. Pada peru-

bahan posisi kepala debris tersebut akan bergerak ke posisi paling bawah, en-

dolimfe bergerak menjauhi ampula dan merangsang nervus ampularis. Bila

kepala digerakkan tertentu debris akan ke luar dari kanalis posterior ke dalam

krus komunis, lalu masuk ke dalam vestibulum, dan vertigo/nistagmus

menghilang.14

E. MANIFESTASI KLINIS

Pasien BPPV akan mengeluh jika kepala berubah pada suatu keadaan ter-

tentu. Pasien akan merasa berputar atau merasa sekelilingnya berputar jika akan
ke tempat tidur, berguling dari satu sisi ke sisi lainnya, bangkit dari tempat tidur,

mencapai sesuatu yang tinggi, menggerakan kepala ke belakang atau mem-

bungkuk. Biasanya vertigo hanya berlangsung 10-20 detik. Kadang-kadang dis-

ertai rasa mual dan seringkali pasien merasa cemas. Penderita biasanya dapat

mengenali keadaan ini dan berusaha menghindarinya dengan tidak melakukan

gerakan yang dapat menimbulkan vertigo.

Vertigo tidak akan terjadi jika kepala tegak lurus atau berputar secara ak-

sial tanpa ekstensi, pada hampir sebagian besar pasien, vertigo akan berkurang

dan akhirnya berhenti secara spontan dalam beberapa hari atau beberapa bulan,

tetapi kadang-kadang dapat juga sampai beberapa tahun. Pasien dengan BPPV

memiliki pendengaran yang normal, tidak ada nistagmus spontan, dan pemerik-

saan neurologis dalam batas normal.15

E. DIAGNOSIS

Anamnesis

Pasien biasanya mengeluh vertigo dengan onset akut kurang dari 10-20 detik aki-

bat perubahan posisi kepala. Posisi yang memicu adalah berbalik di tempat tidur

pada posisi lateral, bangun dari tempat tidur, melihat ke atas dan belakang, dan

membungkuk. Vertigo bisa diikuti dengan mual.

Pemeriksaan Fisik

Pasien memiliki pendengaran yang normal, tidak ada nistagmus spontan, dan pada

evaluasi neurologis normal.15 Pemeriksaan fisis standar untuk BPPV adalah Dix-

Hallpike dan maneuver side lying untuk kss posterior dan anterior. Dan untuk kss

horizontal dengan menggunakan manuver supine roll test.

Selama Dix-Hallpike’s maneuver, diyakini bahwa debris otolitik yang bebas

mengambang (canalolithiasis) dalam kanal posterior bergerak menjauh dari cupu-


la dan menstimulasi kanal posterior dengan menginduksi ampullofugal aliran en-

dolymph (hukum pertama Ewald). Eksitasi dari kanal posterior mengaktifkan otot

superior oblik ipsilateral dan otot rectus inferior, yang menghasilkan deviasi mata

ke atas dengan torsi ke arah telinga atas. Akibatnya, nistagmus yang dihasilkan

akan ke atas dan torsional, dengan kutub teratas mata ke arah telinga bawah.

Nistagmus biasanya dimulai dengan latensi singkat beberapa detik, sembuh dalam

waktu 1 menit (biasanya kurang dari 30 detik) dan arahnya berlawanan dari posisi

duduk. Nistagmus berkurang (misalnya mata lelah) dengan pemeriksaan ulang.

Cupulolithiasis dapat ada dalam kanal posterior. Dibandingkan dengan canalo-

lithiais, cupulolithiasis tipe kanal posterior-BPPV cenderung memiliki latensi

lebih pendek dan waktu konstan yang lebih lama (yaitu lebih persisten).

BPPV jarang melibatkan kanal semisirkular anterior, dan kanalis anterior-BPPV

menunjukkan beberapa karakteristik yang berlawanan dengan kanalis posterior-

BPPV. Pada kanalis anterior-BPPV, seperti Dix-Hallpike’s maneuver keduanya

dapat menimbulkan nistagmus ke arah bawah dengan komponen ipsitorsional (ke

arah telinga yang terkena).

Dix-Hallpike’s maneuver telah dianggap sebagai gold standard untuk diagnosis

kanal posterior-BPPV. Namun, manuver ini harus dilakukan dengan hati-hati pada

pasien dengan riwayat operasi leher, sindrom radikulopati cervical dan diseksi

pembuluh darah, karena memerlukan posisi rotasi dan ekstensi leher. “The side-

lying test” dapat digunakan sebagai alternative ketika Dix-Hallpike’s maneuver

tidak dapat dilaksanakan; setelah pasien duduk di meja pemerikaan, pasien segera

berbaring dengan kepala berpaling 45˚ ke arah yang berlawanan.


F. TATALAKSANA

BPPV dengan mudah diobati. Prinsip dari terapi ini adalah partikel dengan

sederhana perlu dikeluarkan dari kanal semisirkularis menuju Utrikulus, tempat

dimana partikel tersebut tidak akan lagi menimbulkan gejala.17

Beberapa manuver yang dapat dilakukan, antara lain sebagai berikut.

1. Canalith Reposisi Prosedur (CRT)/Epley manuver

CRP adalah pengobatan non-invasif untuk penyebab paling umum dari verti-

go. CRP membimbing pasien melalui serangkaian posisi yang menyebabkan

pergerakan canalit dari daerah di mana dapat menyebabkan gejala (yaitu, salu-

ran setengah lingkaran dalam ruang cairan telinga dalam) ke daerah telinga

bagian dalam dimana canalit tidak menyebabkan gejala (yaitu, ruang depan).18

Dalam kebanyakan kasus BPPV canalit bergerak di kanal ketika posisi kepala

berubah sehubungan dengan gravitasi, dan gerakan dalam kanal menyebabkan

defleksi dari saraf berakhir dalam kanal (cupula itu). Ketika saraf berhenti

dirangsang, pasien mengalami serangan tiba-tiba vertigo.

 Indikasi Canalith Reposisi Prosedur (CRT)/Epley manuver :

1. Episode berulang pusing dipicu BPPV.

2. Positif menemukan gejala dan nistagmus dengan pengujian posisi

(misalnya, uji Dix-Hallpike).

 Keterbatasan Canalith Reposisi Prosedur (CRT)/Epley manuver :

1. Penggunaan CRP pada pasien tidak memiliki BBPV

2. Salah kinerja masing-masing komponen CRP.

 Komplikasi CRT/Epley Maneuver

1. Kanalith pindah ke kanal yang lain


2. Kekakuan pada leher, spasme otot.

2. Latihan Semont Liberatory

Latihan ini dikontraindikasikan pada pasien ortopedi dengan kasus fraktur tu-

lang panggul ataupun replacement panggul.

3. Latihan Brandt Daroff

Latihan Brand Daroff merupakan suatu metode untuk mengobati BPPV, bi-

asanya digunakan jika penanganan di praktek dokter gagal. Latihan ini 95%

lebih berhasil dari pada penatalaksanaan di tempat praktek. Latihan ini dil-

akukan dalam 3 set perhari selama 2 minggu. Pada tiap-tiap set, sekali

melakukan manuver dibuat dalam 5 kali. Satu pengulangan yaitu manuver dil-

akukan pada masing-masing sisi berbeda (membutuhkan waktu 2 menit).

Mulai dengan posisi duduk kemudian berubah menjadi posisi baring miring

pada satu sisi, dengan sudut kepala maju sekitar setengah. Tetap pada posisi

baring miring selama 30 detik, atau sampai pusing di sisi kepala, kemudian

kembali ke posisi duduk. Tetap pada keadaan ini selama 30 detik, dan

kemudian dilanjutkan ke posisi berlawanan dan ikuti rute yang sama. Latihan

ini harus dilakukan selama 2 minggu, tiga kali sehari atau selama tiga minggu,

dua kali sehari. Sekitar 30% pasien, BPPV dapat muncul kembali dalam 1 ta-

hun.

 Dari beberapa latihan, umumnya yang dilakukan pertama adalah CRT atau Se-

mont Liberatory, jika masih terasa ada sisa baru dilakukan Brand-Darroff exer-

cise. Pada sebuah penelitian disebutkan bahwa dalam setelah pelaksanaan maneu-

ver-manuver terapi BPPV tidak perlu dilakukan pembatasan terhadap gerak tubuh

maupun kepala. Epley maneuver sangat sederhana, mudah dilakukan, hasil yang

diharapkan untuk mengurangi gejala cepat muncul, efektif, tidak ada komplikasi,
dan dapat diulang beberapa kali setelah mencoba pertama kali sehingga sangat di-

anjurkan kepada orang yang menderita BPPV.

 Sebagai terapi tambahan dapat diberikan medikamentosa yang dapat membantu

mengatasi gejala BPPV, berupa antihistamin (Meclizine, Dimenhydrinate), antie-

metic, dan benzodiazepine (diazepam). Tetapi terapi medikamentosa ini tidak ter-

lalu banyak membantu. Terapi utama dan paling disarankan dalam mengatasi

BPPV adalah dengan beberapa maneuver yang telah dijelaskan diatas.

 Operasi dilakukan pada sedikit kasus pada pasien dengan BPPV berat. Pasien ini

gagal berespon dengan manuver yang diberikan dan tidak terdapat kelainan

patologi intrakranial pada pemeriksaan radiologi. Gangguan BPPV disebabkan

oleh respon stimulasi kanalis semisirkuler posterior, nervus ampullaris, nervus

vestibuler superior, atau cabang utama nervus vestibuler. Oleh karena itu, terapi

bedah tradisional dilakukan dengan transeksi langsung nervus vestibuler dari fossa

posterior atau fossa medialis dengan menjaga fungsi pendengaran.19

 PROGNOSIS

Prognosis setelah dilakukan CRP (canalith repositioning procedure) bi-

asanya bagus. Remisi dapat terjadi spontan dalam 6 minggu, meskipun beberapa

kasus tidak terjadi. Dengan sekali pengobatan tingkat rekurensi sekitar 10-25%.

CRP/Epley maneuver terbukti efektif dalam mengontrol gejala BPPV dalam wak-

tu lama.

Pada beberapa kasus dapat terjadi adanya remisi dan rekurensi yang tidak

dapat diprediksi dan rata-rata rekurensi ± 10-15% per tahun. Jika terdapat reku-

rensi, maka dilakukan maneuver reposisi ulang.


RESEP OBAT

dr. Hotland Sitorus


SIP: 1361050205
Jl. Jaaini Nasir No.63 Cawang
Jakarta Timur

Jakarta, 24 Maret 2018

R/ difenhidramin tab 25 mg No. XII


S 4 dd I tab
R/ cinnarizine tab 15 mg No. X
S 3 dd I tab

Pro : Tn. X

Anda mungkin juga menyukai