Definisi
Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah infeksi kronik di telinga tengah ditandai dengan
perforasi membran timpani dan sekret yang keluar terus-menerus atau hilang timbul, sekret
berupa serous, mukoid atau purulen lebih dari 8 minggu.
Etiologi
Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit infeksi telinga tengah supuratif menjadi kronis
majemuk, antara lain:
3. Terjadinya metaplasia skumosa atau perubahan patologik menetap lainya pada telinga
tengah.
6. Faktor-faktor konstitusi dasar seperti alergi, kelemahan umum atau perubahan mekanisme
pertahanan tubuh.
Patogenesis
Patogenesis OMSK benigna terjadi karena proses patologi telinga tengah, pada tipe ini
didahului oleh kelainan fungsi tuba, faktor penyebab utama dari otitis media. Pencegahan in-
vasi kuman ke telinga tengah juga terganggu, sehingga kuman masuk ke dalam telinga tengah
dan terjadi peradangan. Kadang-kadang infeksi berasal dari telinga luar masuk ke telinga ten-
gah melalui perforasi membran timpani, maka terjadilah proses inflamasi. Bila terbentuk pus
akan terperangkap di dalam kantong mukosa telinga tengah. Dengan pengobatan yang cepat
dan adekuat dan dengan perbaikan fungsi ventilasi telinga tengah, biasanya proses patologis
akan berhenti dan kelainan mukosa akan kembali normal
Respon inflamasi yang timbul adalah berupa udem mukosa. Jika proses inflamasi ini tetap
berjalan, pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya ulkus dan merusak epitel. Mekanisme
pertahanan tubuh penderita dalam menghentikan infeksi biasanya menyebabkan terdapatnya
jaringan granulasi yang pada akhirnya dapat berkembang menjadi polip di ruang telinga ten-
gah. Jika lingkaran antara proses inflamasi, ulserasi, infeksi dan terbentuknya jaringan granu-
lasi ini berlanjut terus akan merusak jaringan sekitarnya (Helmi, 2005).
Gejala Klinis
Sekret bersifat purulen atau mukoid tergantung stadium peradangan. Pada OMSK tipe jinak,
cairan yang keluar mukopus yang tidak berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi iritasi
mukosa telinga tengah oleh perforasi membran timpani dan infeksi. Keluarnya sekret bi-
asanya hilang timbul. Pada OMSK stadium inaktif tidak dijumpai adannya sekret telinga. Pa-
da OMSK tipe ganas unsur mukoid dan sekret telinga tengah berkurang atau hilang karena
rusaknya lapisan mukosa secara luas. Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan
adanya jaringan granulasi dan polip telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatom yang
mendasarinya. Suatu sekret yang encer berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan tuberkulo-
sis.
2. Gangguan Pendengaran
Biasanya dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Beratnya ketulian ter-
gantung dari besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem
pengantaran suara ke telinga tengah. Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli kon-
duktif berat.
Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena terbendungnya drainase pus. Nyeri dapat berarti
adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret, terpaparnya durameter atau
dinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan abses otak. Nyeri merupakan tanda
berkembang komplikasi OMSK seperti Petrositis, subperiosteal abses atau trombosis sinus
lateralis.
4. Vertigo
Keluhan vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat erosi dinding
labirin oleh kolesteatom. Vertigo yang timbul biasanya akibat perubahan tekanan udara yang
mendadak atau pada panderita yang sensitif keluhan vertigo dapat terjadi hanya karena per-
forasi besar membran timpani yang akan menyebabkan labirin lebih mudah terangsang oleh
perbedaan suhu. Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga akan meyebabkan keluhan vertigo.
Vertigo juga bisa terjadi akibat komplikasi serebelum.
PENATALAKSANAAN
Pemberian antibiotik secara topikal pada telinga dan sekret yang banyak tanpa dibersihkan
dulu, adalah tidak efektif. Bila sekret berkurang/tidak progresif lagi diberikan obat tetes yang
mengandung antibiotik dan kortikosteroid.Mengingat pemberian obat topikal dimaksudkan
agar masuk sampai telinga tengah, maka tidak dianjurkan antibiotik yang ototoksik misalnya
neomisin dan lamanya tidak lebih dari 1 minggu. Cara pemilihan antibiotik yang paling baik
dengan berdasarkan kultur kuman penyebab dan uji resistesni. Bubuk telinga yang digunakan
seperti:
Tetes Telinga
Ofloxacin 3mg/ml. Dosis dewasa sehari 2x 6-10 tetes. Dosis Anak sehari 2x 3-5 tetes.
Definisi :
Otitis eksterna ialah radang liang telinga akut maupun kronis yang disebabkan oleh bakteri,
sulit dibedakan dengan radang yang disebabkan olehjamur, alergi atau virus. Otitis eksterna
ini merupakan suatu infeksi liang telinga bagian luar yang dapat menyebar ke pina, periau-
rikular, atau ke tulang temporal. Biasanya seluruh liang telinga terlibat, tetapi pada furunkel
liang telinga luar dapat dianggap pembentukan lokal otitis eksterna.
Otitis eksterna difusa biasanya mengenai kulit liang telinga 2/3 dalam. Tampak kulit liang
telinga hiperemis dan edema yang tidak jelas batasannya.
Etiologi :
Kuman penyebab biasanya golongan Pseudomonas , Kuman lain yang dapat menyebabkan
adalah Staphylococcus albus, escherichia coli dan sebagainya. Otitis eksterna difusa dapat
juga terjadi skunder pada otitis media supuratif kronis. Riwayat pemaparan terhadap air,
trauma mekanik dan goresan atau benda asing dalam liang telinga. Berenang dalam air yang
tercemar merupakan salah satu penyebab otitis eksterna
Manifestasi Klinis :
Otalgia , telinga terasa penuh ,kehilangan pendengaran , tinnitus , liang telinga terasa gatal ,
terkadang adanya demam dan adanya discharge .
PATOFISIOLOGI
Otitis eksterna difusa adalah infeksi bakteri pada liang telinga yang disebabkan oleh rusaknya
kulit pada liang telinga/berkurangnya produksi serumen sebagai pelindung liang telinga dari
kelembaban dan temperatur yang tinggi, biasanya dikenal sebagai “Swimmer’s ear”. Trauma
ketika membersihkan liang telinga dengan kuku jari atau kapas pengorek telinga diketahui
sebagai faktor lokal penyebab otitis eksterna difusa yang paling sering terjadi.
Stadium otitis eksterna difusa terdiri dari 2 stadium :
1. Stadium akut.
Rasa tidak nyaman hingga nyeri didalam dan sekitar liang telinga yang sesuai dengan
pergerakan dari rahang. Dalam kasus berat terdapat pembengkakan di sekitar jaringan
lunak dan bagian luar dari aurikula. Pada pemeriksaan, kulit dari liang telinga
berwarna merah, edema dan sangat sensitif. Dijumpai nanah pada liang telinga dan
sebagai perkembangan penyakit dari deskuamasi epitel pada liang telinga yang ter-
bentuk dari massa debris seperti keju didalam liang telinga serta membran timpani
sering tidak jelas terlihat.
2. Stadium kronis.
Gejala stadium kronis adalah iritasi dan keluarnya cairan dari telinga. Dapat terjadi tuli se-
bagai hasil dari akumulasi debris pada liang telinga. Tidak ada rasa sensitif pada liang telinga
tetapi terjadi penebalan pada kulit liang telinga serta lumen liang telinga yang menyempit
Diagnosis
Anamnesis :
Pada anamnesis dapat ditanyakan apakah ada gejala seperti otalgia, rasa penuh ditelinga, ga-
tal, sekret, penurunan pendengaran,tinnitus, riwayat berenang .Kebiasaan membersihkan tel-
inga dengan benda-benda logam
Pemeriksaan Fisik :
Pada inspeksi ditemukan kemerahan , edema dan penyempitan pada kanalis eksternus audito-
rius ,ditemukan secret yang purulent atau serous , adanya nyeri tekan pada palpasi tragus dan
nyeri ketika telinga di tarik ke atas . kehilangan pendengaran mulai dari tingkat sedang hing-
ga berat , adanya limfadenopaty ipsilateral . Pemeriksaan dengan otoskop ditemukan mem-
brane timpani menunjukan tanda-tanda radang seperti kemerahan dan edema
Pemeriksaan Penunjang :
Kultur sekret mengetahui etiologi penyebab otitis.
Tatalaksana :
Pada otitis eksterna difus dengan memasukkan tampon yang mengandung antibiotik ke liang
telinga supaya terdapat kontak yang baik antara obat dengan kulit yang meradang. Pilihan
antibiotika yang dipakai adalah campuran polimiksin B, neomisin,hidrokortison dan anestesi
topikal.
dr. Margareth Octa
12-610-50-004
RS UKI, Cawang
Jakarta Timur
No.II Jakarta,
04/11/2017
R/Kassa
R/Otopain guttae auric 8ml No.II lag
S2 dd3 gtt auric dex
R/Ciprofloxacin tab 500 mg No.XVIII
S 3 dd I a.c
R/ Asam Mefenamat tab 500 mg No.IX
S 3 dd I p.c
Pro : Rina
Usia : 22 tahun
1. DEFINISI
Otitis Eksterna secara umum didefinisikan sebagai suatu proses inflamasi pada kanalis
auditorius eksternus, aurikula, dan/atau keduanya. Sedangkan secara spesifik, Otitis
Eksterna Sirkumskripta adalah suatu proses peradangan pada kanal telinga luar yang
diikuti dengan infeksi folikel rambut telinga atau juga disebut sebagai furunkulosis.
(Furunculotic Otitis Externa).
2. ETIOLOGI
OE paling sering (91%) disebabkan oleh infeksi bacterial, namun tidak hanya terbatas
pada mikroba tersebut. Etiologi lain seperti fungi (Fungal OE) maupun yang non-
infeksi (psoriatic OE) dapat ditemukan. Mikroba yang paling sering ditemukan adalah
Stafilokokus a. ; Pseudomonas a.; dan bakteri anaeorb gram negative.
3. KLASIFIKASI
OE secara umum dapat dikelompokan menjadi:
OE Diffusa Akut (swimmer’s ear) – merupakan bentuk tersering pada OE.
OE Sirkumskripta Akut (Furunkulosis) – merupakan OE dengan infeksi fo-
likel rambut.
OE Kronik – OE yang berlangsung selama lebih dari 6 minggu.
OE Eksematosa (psoriatic) – Mencakup etiologi dermatologis.
Necrotizing OE (Malignant) – Infeksi menyebar ke jaringan dalam yang
berdekatan dengan kanalis eksterna seperti telinga tengah dan sel-sel mastoid.
Otomikosis – Etiologi fungal.
4. ANAMNESIS
Pasien dengan OE sirkumskripta dapat mengeluhkan berbagai macam keluhan namun
keluhan utama tersering adalah adanya rasa nyeri di liang telinga atau/sampai telinga
luar (otalgia).
Nyeri Telinga (Otalgia) – Dapat ringan sampai berat, umumnya progresif se-
makin memburuk setelah 1-2 hari.
Penurunan pendengaran – karena tersumbatnya liang telinga oleh proses
edematosa yang berlangsung.
Telinga terasa penuh atau tertekan – akibat terjadinya proses edematosa,
membuat telinga terasa sumpek.
Sensasi Denging (tinnitus) di telinga – akibat proses peradangan dan
penumpukan cairan di liang telinga luar.
Demam
Gatal (pada OE fungal maupun OE kronis)
5. PEMERIKSAAN FISIK
Kunci pemeriksaan fisik dalam penegakan diagnosis OE adalah nyeri tekan tragus,
sensasi nyeri pada saat melakukan pemeriksaan palpasi pada tragus (anterior kanalis
auditorius) atau saat melakukan traksi pada pinnae. Kedua pemeriksaan ini merupa-
kan hallmark pada penegakan diagnosis.
Pada OE Sirkumskripta, jika ditemukan adanya suatu peradangan folikel rambut di
pintu masuk liang pada pemeriksaan inspeksi, diagnose sudah dapat dipastikan.
6. PATOFISIOLOGI
7. TATALAKSANA
Prinsip tatalaksana OE secara umum:
a. Manajemen nyeri
b. Pengangkatan debris dari EAC
c. Administrasi medikasi topical untuk mengontrol oedem dan infeksi
d. Menghindari factor kontributif.
Nonfarmakoterapi
Farmakoterapi
Medikasi Topikal
o Solusi asam asetat dalam alumunium triasetat (Solutio Burowi)
o Hydrocortisone dan asam asetat
Analgetic agents
o NSAID (acetaminophen)
Antibiotika Topikal
o Neomycin
o Polymixin B
o Ofloxacin
Antibiotik Oral
o Ciprofloxacin
6. Herpes Zooster Otikus
Kristian Lihardo Girsang 1261050086
PENDAHULUAN
Herpes Zooster Otikus atau Herpes Zooster Chepalicus atau dapat disebut juga Ram-
say-Hunt Syndrom tipe 1 yaitu kumpulan gejala yang terdiri dari erupsi herpetik pada telinga,
nyeri yang hebat, disertai paralise nervus fasialis akut, dan di awali dengan periode prodor-
mal. Menurut Koerner (1904) herpes zoster otikus, yaitu berupa sindroma yang terdiri dari
bulla pada daun telinga, paralise fasial dan gangguan telinga dalam.
Postulat pertama James Ramsay Hunt mengatakan bahwa Herpes zoster otikus
disebabkan oleh virus varicella zoster golongan herpes virus, yang mengalami reaktivasi dari
infeksi yang sebelumnya merupakan infeksi laten virus varicella pada ganglion genikulatum.
Herpes zoster otikus yang disertai dengan paralisis nervus fasialis menempati urutan
kedua kejadian paralisis fasialis akut setelah bell’s palsy. Di Amerika Serikat terjadi kasus 5
/100.000 populasi penduduk per tahun. Lebih sering terjadi pada umur diatas 60 tahun dan
sangat jarang terjadi pada anak – anak. Sedangkan di RSUP H. Adam Malik Medan, sejak
tahun 2008 – oktober 2010 terdapat 15 pasien herpes zoster otikus yaitu 7 wanita dan 8 laki-
laki dengan usia rata –rata di atas 40 tahun.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.2.Patogenesis
Saat terinfeksi varicella, virus varicella zoster melewati lesi masuk ke permukaan kulit
dan mukosa menuju ujung–ujung saraf sensoris dan di transportasikan oleh serat–serat saraf
ke ganglion sensoris. Di gangglion virus menetap dan mejadi infeksi laten sepanjang hidup.
Selama virus laten di gangglion tidak tampak gejala infeksi. Reaktifasi dari varicella-
zos-
ter virus (VZV) yang terdistribus sepanjang saraf sensoris yang menginervasi telinga, ter
masuk didalamnya ganglion genikulatum. Apabila gejala disertai ku-
rang pendengaran dan vertigo, maka ini adalah akibat penjalaran infeksi virus lang-
sung pada N. VIII pada posisi sudut serebelo pontin, atau melalui vasa vasorum.
Mekanisme yang menyebabkan reaktivasi virus varicella zoster ini masih belum jelas sering
berhubungan dengan orang-orang dengan daya tahan tubuh yang menurun, stress emosional,
suatu keganasan, terapi radiasi, kemoterapi, atau infeksi HIV mempunyai risiko yang tinggi
untuk terjadinya reaktifasi herpes virus zoster.
1.5.Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan:
Anamnesis
Pasien dengan gejala berupa :
o nyeri pada telinga,
o rasa tebakar di sekitar telinga, wajah, mulut, dapat juga terjadi di lidah.
o mual dan muntah dapat terjadi,
o disertai gangguan pendengaran, hiperakusis atau tinnitus.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan didapatkan :
o Tampak vesikel pada liang telinga, konka dan daun telinga.
o Bintik-bintik merah juga dapat terlihat pada kulit di belakang telinga, dinding
lateral hidung, palatum molle dan lidah bagian anterolateral.
o Vertigo,
o Tuli sensorineural dan
o Paralise saraf fasialis dapat terjadi.
Pemeriksaan penunjang
o CT scan
o Magnetic Ressonance Imaging (MRI) dengan menggunakan gadolinium di-
ethylene-triamine pentaacetic acid ( Gd-DTPA).
1.6.Diagnosis Banding
Bell’s Palsy
Otitis Eksterna
1.7.Penatalaksanaan
Pengobatan sesuai dengan tatalaksana Herpes Zooster
Pengobatan Antivirus:
• Asiklovir dewasa : 5x800mg/hari selama 7-10hari atau
• Asiklovir iv 3x10 mg/kgBB/hari
• Valasiklovir untuk dewasa 3x1 gram/hari selama 7 hari atau
• Famsiklovir untuk dewasa: 3x250 mg/hari selama 7 hari.
Catatan khusus:
• Pemberian antivirus masih dapat diberikan setelah 72 jam bila masih
timbul lesi baru atau terdapat vesikel berumur < 3 hari.
• Bila disertai keterlibatan organ visceral diberikan asiklovir intravena
10 mg/kgBB, 3x per hari selama 5-10 hari. Asiklovir dilarutkan dalam
100 cc NaCl 0,9% dan diberikan tetes selama satu jam.
• Untuk wanita hamil diberikan asiklovir.
• Untuk herpes zoster dengan paralisis fasial/kranial, polineuritis, dan
keterlibatan SSP dikombinasikan dengan kortikosteroid walaupun keun-
tungannya belum dievaluasi secara sistematis.
Analgetik
• Nyeri ringan : Parasetamol/NSAID
• Nyeri sedang-berat: Kombinasi opioid ringan (tramadol, kodein)
Resep
Pro.Tn. A
umur: Dewasa
1.8.Komplikasi
Paralysis berat akan mengakibatkan tidak lengkap atau tidak sempurnanya kesem-
buhan dan berpotensi untuk menjadi paralysis fasial yang permanen dan synkinesis.
Adakalanya, virus dapat menyebar ke saraf-saraf lain atau bahkan ke otak dan jarin-
gan saraf dalam tulang punggung, menyebabkan sakit kepala, sakit punggung, ke-
bingungan, kelesuan dan kelemahan.
Serangan vertigo bisa muncul sebagai komplikasi Herpes Zoster di wajah.
1.10.Prognosis
Diagnosa yang ditegakkan lebih cepat dan mendapat terapi sebelum 72 jam setelah
onset memberikan hasil yang lebih baik.
Herpes zoster otikus yang mengalami vertigo dan tuli sensorineural prognosisnya
lebih jelek terutama pada pasien dengan umur lebih tua
BAB III
KESIMPULAN
Herpes zoster otikus adalah infeksi virus yang mengenai ganglion genikulatum. Her-
pes zoster otikus yang disertai dengan paralisis nervus fascialis disebut Ramsay-Hunt
Syndrom tipe I.
Herpes zoster otikus yang disertai dengan paralisis nervus fasialis merupakan urutan
kedua paling sering dari kejadian paralisis fasialis akut.
Ramsay Hunt menyebutkan empat tipe herpes zoster otikus yaitu:
1) Penyakit yang hanya mengenai saraf sensoris nervus fasialis
2) Penyakit yang mengenai saraf sensorik dan motorik nervus fasialis
3) Penyakit yang mengenai saraf sensorik dan motorik nervus fasialis disertai gejala
auditorik
4) Penyakit yang mengenai saraf sensorik dan motorik nervus fasialis disertai gejala
auditorik dan vestibuler
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
Obat – obat anti viral adalah standar terapi lini pertama untuk herpes zoster otikus,
Obat lain seperti anti inflamasi dan analgetik juga diberikan sebagai terapi simptom-
atis.
Komplikasi dari herpes zoster otikus yang paling sering adalah neuralgia.
Diagnosa yang ditegakkan lebih cepat dan mendapat terapi sebelum 72 jam setelah
onset memberikan hasil yang lebih baik. Herpes zoster otikus yang mengalami vertigo
dan tuli sensorineural prognosisnya lebih jelek terutama pada pasien dengan umur
lebih tua.
7. CORPUS ALIENUM TELINGA
1261050106 Jevonda Edria Bamitha
1. Definisi
Telinga adalah organ penginderaan dengan fungsi ganda dan kompleks (pendengaran
dan keseimbangan) . Indera pendengaran berperan penting pada partisipasi seseorang dalam
aktivitas kehidupan sehari-hari. Sangat penting untuk perkembangan normal dan pemeli-
haraan bicara, dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain melalui bicara tergantung
pada kemampuan mendengar 2,3.
Benda asing merupakan benda yang berasal dari luar tubuh atau dari dalam tubuh
yang dalam keadaan normal tidak ada. Telinga sering kemasukan benda asing. Kadang-
kadang benda dapat masuk. Bila kemasukan benda asing di telinga, tentu saja terjadi
penurunan pendengaran. Terkadang benda asing dapat masuk tanpa sengaja ke dalam telinga
orang dewasa yang mencoba membersihankan kanalis eksternus atau mengurangi gatal atau
dengan sengaja anak-anak memasukkan benda tersebut ke dalam telinganya sendiri.Namun,
terkadang sering dianggap enteng oleh setiap orang3.
Pada anak, anak tak melaporkan keluhannya sebelum timbul keluhan nyeri akibat in-
feksi di telinga tersebut, lama-lama telinganya berbau. Jika hal ini terjadi, orang tua patut
mencurigainya sebagai akibat kemasukan benda asing. Jangan menanganinya sendiri karena
bisa-bisa benda yang masuk malah melesak ke dalam karena anatomi liang telinga yang ber-
lekuk. Di telinga banyak terdapat saraf-saraf dan bisa terjadi luka. Benda yang masuk bi-
asanya hanya bisa dikeluarkan oleh dokter THT dengan menggunakan peralatan dan keahlian
khusus.
2. Etiologi
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan benda asing diliang telinga yaitu4 :
Faktor kesengajaan, biasanya terjadi pada anak-anak balita.
Faktor kecerobohan sering terjadi pada orang dewasa sewaktu menggunakan alat
alat pembersih telinga misalnya kapas, tangkai korek api atau lidi yang tertinggal di
dalam telinga, yang terakhir adalah faktor kebetulan terjadi tanpa sengaja dimana
benda asing masuk kedalam telinga contoh masuknya serangga, kecoa, lalat dan
nyamuk.
3. Manifestasi Klinis
Efek dari masuknya benda asing tersebut ke dalam telinga dapat berkisar di tanpa
gejala sampai dengan gejala nyeri berat dan adanya penurunan pendengaran.
Merasa tidak enak ditelinga
Karena benda asing yang masuk pada telinga, tentu saja membuat telinga me-
rasa tidak enak, dan banyak orang yang malah membersihkan telinganya, padahal
membersihkan akan mendoraong benda asing yang mauk kedalam menjadi masuk
lagi.
Tersumbat
Karena terdapat benda asing yang masuk kedalam liang telinga, tentu saja
membuat telinga terasa tersumbat.
Pendengaran terganggu
Biasanya dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Be-
ratnya ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani serta
keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga tengah.
Rasa nyeri telinga / otalgia\
Nyeri dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran
sekret, terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan
abses otak. Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi telinga akibat benda as-
ing.
Pada inspeksi telinga akan terdapat benda asing
4. Patofisiologi
Benda asing yang masuk ke telinga biasanya disebabkan oleh beberapa factor antara
lain pada anak – anak yaitu factor kesengajaan dari anak tersebut , factor kecerobohan misal-
nya menggunakan alat-alat pembersih telinga pada orang dewasa seperti kapas, korek api
ataupun lidi serta factor kebetulan yang tidak disengaja seperti kemasukan air, serangga lalat,
nyamuk dan lain-lain3,4.
Masukknya benda asing ke dalam telinga yaitu ke bagian kanalis audiotorius ekster-
nus akan menimbulkan perasaaan tersumbat pada telinga, sehingga klien akan berusaha
mengeluarkan benda asing tersebut. Namun, tindakan yang klien lakukan untuk mengeluar-
kan benda asing tersebut sering kali berakibat semakin terdorongnya benda asinr ke bagian
tulang kanalis eksternus sehingga menyebabkan laserasi kulit dan melukai membrane timpa-
ni. Akibat dari laserasi kulit dan lukanya membrane timpanai, akan menyebabkan gangguan
pendengaran , rasa nyeri telinga/otalgia dan kemungkinan adanya resiko terjadinyainfeksi.
5. Diagnosis8
a. Pemeriksaan dengan Otoskopik
Caranya :
Bersihkan serumen
Lihat kanalis dan membran timpani
Interpretasi:
Warna kemerahan, bau busuk dan bengkak menandakan adanya infeksi
Warna kebiruan dan kerucut menandakan adanya tumpukan darah dibelakang
gendang.
Kemungkinan gendang mengalami robekan.
6. Penatalaksanaan
Ada benda yang sangat kecil dapat dicoba untuk mengoyangkan secara hati-hati.
Menarik pinna telinga kearah posterior meluruskan liang telinga dan benda asing dapat keluar
dengan goncangan lembut pada telinga. Jika benda asing masuk lebih dalam maka perlu di-
angkat oleh dokter yang kompeten. Tidak dianjurkan untuk mengorek telinga sendiri karena
dapat mendorong lebih kedalam dan menyebabkan ruptur membran timpani atau dapat me-
lukai liang telinga4,5
Beberapa tehnik di klinik pada pengeluaran benda asing di teinga5:
- Forceps yang sudah dimodifikasi dapat digunakan untuk mengambil benda dengan
bantuan otoskop
- Suction dapat digunakan untuk menghisap benda
- Irigasi liang telinga dengan air hangat dengan pipa kecil dapat membuat benda-benda
keluar dari liang telinga dan membersihkan debris.
- Penggunaan alat seperti magnet dapat digunakan untuk benda dari logam
- Sedasi pada anak perlu dilakukan jika tidak dapat mentoleransi rasa sakit dan takut.
- Serangga dalam liang telinga biasanya diberikan lidocain atau minyak, lalu diirigasi
dengan air hangat.
- Setelah benda asing keluar, diberikan antibiotik tetes selama lima hari sampai sem-
inggu untuk mencegah infeksi dari trauma liang telinga.
7. Pencegahan
a. Kebiasaan terlalu sering memakai cottonbud untuk membersihkan telinga sebaiknya
dijauhi karena dapat menimbulkan beberapa efek samping: kulit teling kita yang di-
tumbuhi bulu-bulu halus yang berguna untuk membuat gerakan menyapu kotoran di
telinga kita akan rusak, sehingga mekanisme pembersihan alami ini akan hilang. Jika
kulit kita lecet dapat terjadi infeksi telinga luar yang sangat tidak nyaman dan
kemungkinan lain bila anda terlalu dalam mendorong Cottonbud, maka dapat melukai
atau menembus gendang telinga.
b. Hindarkan memberi mainan berupa biji-bijian pada anak-anak, dapat tejadi bahaya di
atas atau juga dapat tertelan dan yang fatal dapat menyumbat jalan nafas
Contoh resep:
R/ Ofloxacin gtt. auric 3 mg/ml no. I lag
S. 3 dd II gtt AD/AS
Pro: An. X (3 tahun)
DAFTAR PUSTAKA
1. Lee KJ. Otolaryngology and Head Neck Surgery, New York ; Elsevier, 1989 : 20 - 3, 67
- 9.
2. Shambaugh GE. Surgery of the Ear, 4h ed, Tokyo ; WB Saunders Company, 1990:5-
7,210-1.
3. Wright A. Anatomy and Ultrastructure of the Human Ear, Basic Science, Dalam : Scott-
Brown's Otolaryngology, 6"' ed, Vol I, Oxford ; Butterworth- Heinemann Ltd, Interna-
tional Editions : 1/1/1 - /11.
4. Heim SW, Maughan KL. Foreign Body in the Ear, Nose, and Throat. University of Vir-
ginia School of Medicine, Charlottesville, Virginia. Am Fam Physician. 2007, Oct 15;
76(8): 1185-89. Diunduh dari: http://www.aafp.org/afp/2007/1015/p1185.html pada
tanggal 16 Juli 2011.
5. Cunha JP. Objects or insects in Ear.
http://www.medicinenet.com/objects_or_insects_in_ear/article.htm. Diunduh pada 16 Ju-
li 2011
6. Mattox DE, Et all. Congenital Aural Atresia ; Embryology, Pathology, Classification,
Genetic and Surgical Management. Dalam : Paparella MM. Otolaryngology. ed 3. Vol 3.
Wb. Saunders : 1191 – 4
7. Russel JD, Et all : What Cause Acute Otitis Externa ? Dalam : the Journal of Laringolo-
gy and Otology, Vol 107, No. 10, 1993: 898 - 900.
8. Boies. Penyakit Telinga Luar. Buku Ajar Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorokan, ed 6,
Alih Bahasa Dr. Caroline Wijaya, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta, 1994: 78 -
80. 28. Maqbool M. Textbook
9. SENSORINEURAL HEARING LOSS (SNHL)
Nama : Ignatia Nugrahi Hulukiti
NIM : 1261050140
A. Definisi
Sensori-neural hearing loss (SNHL) adalah gangguan pendengaran yang dapat ber-
sifat total maupun parsial yang dapat mempengaruhi salah satu telinga ataupun kedua -
duanya. Keadaan ini ditandai oleh hilangnya kemampuan mendengar yang dapat disebab-
kan oleh gangguan di telinga dalam, gangguan pada jaras saraf dari telinga dalam ke otak
serta gangguan di otak. Gangguan ini merupakan penyebab tersering kurang pendengaran
permanen. SNHL menurunkan kemampuan penderita untuk mendengarkan suara yang
cukup keras. SNHL biasanya dipengaruhi oleh usia atau disebabkan karena kelainan con-
genital.
B. Klasifikasi SNHL
Tuli sensorineural disebut juga dengan tuli saraf atau tuli perseptif. Tuli sensorineu-
ral ini dibagi 2 :
1. Tuli koklea, yaitu apabila gangguan terdapat pada reseptor ataumekanisme
penghantar pada koklea. Biasanya disebabkan aplasia, labirinitis, intoksikasi obat
ototoksik atau alkohol. Pada tuli koklea ini terjadi suatu fenomena rekrutmen di-
mana terjadi peningkatan sensitifitas pendengaran yang berlebi-
han di atas ambang dengar. Pada kelainan koklea pasien dapat membedakan bunyi
1 dB,sedangkan orang normal baru dapat membedakan bunyi 5 dB
2. Tuli retrokoklea, yaitu apabila terdapat gangguan pada nervus vestibulokoklearis
atau satu dari area pendengaran di lobus temporalisotak. Pada tuli retrokoklea ter-
jadi kelelahan (fatigue) yang merupakan adaptasi abnormal, dimana saraf pen-
dengaran cepat lelah bila dirangsang terus menerus. Bila diberi istirahat, maka
akan pulih kembali.
C. Etiologi SNHL
1. Koklea
Penyebab tuli sensorineural yang berasal dari koklea terdiri dari :
Labirinitis
Labirinitis (oleh bakteri/ virus) merupakan suatu proses radang yang meli-
batkan telinga dalam, palingsering disebabkan oleh otitis media kronik dan
berat. Penyebab lainnya bisadisebabkan oleh meningitis dan infeksi virus.
Pada otitis media maligna,kolesteatom paling sering menyebabkan labiri-
nitis, yang mengakibatkan kehilangan pendengaran mulai dari yang ringan
sampai yang berat.
Obat ototoksik.
Merupakan obat yang dapat menimbulkan gangguan fungsi dan degenerasi
seluler telinga dalam dan saraf vestibuler. Gejala utama yang dapat timbul
akibat ototoksisitas ini adalah tinnitus, vertigo, dan gangguan pendengaran
yang bersifat sensorineural. Ada beberapa obat yang tergolong ototoksik,
diantaranya:
Antibiotik : streptomisin, neomisin, kanamisin, gentamisin, tobramisin,
eritromisin,kloramfenikol
Loop diuretic : furosemid, ethyrynic acid, dan bumetanidesc.
Obat anti inflamasi: salisilat seperti aspirind.
Obat anti malaria: kina dan klorokuine.
Obat anti tumor : bleomisin, cisplatin
Presbikusis.
Merupakan tuli sensorineural frekuensi tinggi yang terjadi pada orang tua,
akibat mekanisme penuaan pada telinga dalam. Umumnya terjadi mulai-
usia 65 tahun, simetris pada kedua telinga, dan bersifat progresif. Pres-
bikusis ini terjadi akibat dari proses degenerasi yang terjadi
secara bertahap oleh karena
efek kumulatif terhadap pajanan yang berulang. Presbikusis dipengaruhi
oleh banyak faktor, terutama faktor lingkungan, dan diperburuk oleh pen-
yakit yang menyertainya.
Trauma
Trauma pada telinga dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu trauma akus-
tik dan trauma mekanis. Trauma tertutup ataupun langsung pada tulang
temporal bisa mengakibatkan terjadinya tuli sensorineural. Diantara
semua trauma, trauma akustik merupakan trauma paling umum penyabab
tuli sensorineural. Fraktur tulang temporal dapat menyebabkan tuli senso-
rineural unilateral dan tuli konduksi. Tuli sensorineural terjadi jika fraktur
tersebut melibatkan labirin. Trauma dapat menimbulkan perpecahan pada
foramen ovale sehingga perilymph bocor ke telinga. Pasien tiba - tiba
mengalami kehilangan pendengaran, bersama dengan tinitus dan vertigo.
Tuli akibat bising
Bising adalah suara atau bunyi yang mengganggu dan tidak dikehendaki.
Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya bising itu sangat subyektif, tergan-
tung dari masing-masing individu, waktu dan tempat terjadinya bising. Se-
dangkan secara audiologi, bising adalah campuran bunyi nada murni
dengan berbagai frekwensi. 1 Bising dengan intensitas 80 dB atau lebih
dapat mengakibatkan kerusakan reseptor pendengaran corti pada telinga
dalam. Hilangnya pendengaran sementara akibat pemaparan bising bi-
asanya sembuh setelah istirahat beberapa jam( 1 – 2 jam ). Bising dengan
intensitas tinggi dalam waktu yang cukup lama ( 10 – 15 tahun ), akan me-
nyebabkan robeknya sel-sel rambut organ Corti sampai terjadi destruksi to-
tal organ corti. Hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat
terpapar bising antara lain intensitas bising yang lebih tinggi, berfrekuensi
tinggi, lebih lama terpapar bising, kepekaan individu dan faktor lain yang
dapat menimbulkan ketulian. Tuli akibat bising mempengaruhi organ corti
di koklea terutama sel-sel rambut.
2. Retrokoklea
Penyakit Meniere
Penyakit Meniere merupakan penyakit yang terdiri dari trias atau sindrom
Meniere yaitu vertigo,tinitus dan tuli sensorineural. Penyebab pasti dari
penyakit meniere belum diketahui, tapi dipercaya penyebab dari penyakit
ini berhubungan dengan hidrops endolimfe atau kelebihan cairan di telin-
ga dalam. Ini disebabkan cairan endolimfe keluar dari saluran yang nor-
malmengalir ke area lain yang menyebabkan terjadinya gangguan. Ini
mungkin dihubungkan dengan pembengkakan sakus endolimfatik atau
jaringan di system vestibuler dari telinga dalam yang merangsang organ
keseimbangan.
Neuroma Akustik
Neuroma akustik adalah tumor intrakranial yang berasal dari selubung sel
Schwann nervusvestibuler atau nervus koklearis. Lokasi tersering berada
dicerebellopontin angel. Neuroma akustik berasal dari saraf vestibularis
dengan gambaran makroskopis berkapsul, konsistensikeras, bewarna
kuning kadang putih atau translusen dan bisa disertai komponen kistik
maupun perdarahan. Neuroma akustik ini diduga berasal dari titik dimana
glia (central) nerve sheats bertransisi menjadi sel schwann dan fibroblast.
Lokasi transisi ini biasanya terletak di dalamkanalis auditoris internus.
Tumor akan tumbuh dalam kanalis auditoris internus dan menyebabkan
pelebaran diameter dan kerusakan dari bibir bawah porus. Selanjutnya
akan tumbuh dan masuk ke cerebellopontin angel mendorong batang otak
dan cerebellum. Tuli akibat neuroma akustik ini terjadi akibat:
a. trauma langsung terhadap nervus koklearis
b. gangguan suplai darah ke kokleaTrauma langsung yang progresif me-
nyebabkan tuli sensorineural yang berjalan progresif lambat sedangkan
pada gangguan suplai darah koklea ditemukan tuli sensorineural men-
dadak dan berfluktuasi.
D. Patofisiologi
Pada proses pendengaran normal, gelombang suara sampai di aurikula dan di-
jalarkan melalui kanalis auditoris eksternal menuju membran timpani. Ketika
mengenai membran timpani, gelombang digetarkan, membuat rantai getaran sepan-
jang tulang pendengaran (maleus, inkus, dan stapes) ke membran foramen ovale dan
masuk menuju koklea.
Proses ini menyebabkan amplifikasi suara dari lingkungan menjadi sekitar 20
kali lebih keras. Koklea merupakan organ terakhir dari sistem pendengaran yang ber-
bentuk seperti rumah siput dengan saluran dua setengah lingkaran. Di dalamnya, dua
membran secara longitudinal membagi koklea menjadi tiga bagian, yaitu skala timpa-
ni, skala vestibuli, dan skala media. Ketiga bagian tersebut berisi cairan dengan kon-
sentrasi ion yang berbeda (sama dengan kandungan cairan intraseluler dan ekstrase-
luler). Di sepanjang membran pada skala media atau duktus koklearis terdapat sel
rambut internal dan eksternal.
Pergerakan dari tulang stapes pada foramen ovale menimbulkan gelombang
atau getaran pada cairan perilimfe di dalam koklea. Pergerakan cairan, yang membuka
kanal ion pada sel rambut, menggeser sel rambut, memicu potensial aksi, dan membu-
at saraf pada koklea mengirimkan stimulus menuju otak. Pada SNHL terjadi hambat-
an pada transmisi setelah melalui koklea. Gangguan tersebut dapat terjadi pada koklea
itu sendiri, saraf vestibulokoklearis, atau jalur persarafan dari telinga ke otak. Aki-
batnya, otak tidak dapat menangkap dan mengintepretasikan gelombang suara yang
ditransmisikan. Gangguan ini dapat disebabkan oleh berbagai etiologi dan faktor-
faktor yang merusak sel rambut pada koklea atau merusak saraf vestibulokoklearis
(N.VIII). Derajat dari distorsi tidak berkaitan dengan derajat hilangnya pendengaran.
E. Diagnosis
1. Anamnesis
Diperlukan anamnesis yang terarah untuk menggali lebih dalam dan luas keluhan
utama pasien.Keluhan utama telinga antara lain pekak (tuli), suara berdenging
(tinnitus), rasa pusing berputar (vertigo), rasa nyeri di dalam telinga (otalgia), dan
keluar cairan dari telinga (otore). Perlu ditanyakan apakah keluhan tersebut pada
satu atau kedua telinga, timbul tiba-tiba atau bertambah berat, sudah berapa lama
diderita, riwayat trauma kepala, telinga tertampar, trauma akustik,terpajan bising,
pemakaian obat ototoksik, pernah menderita penyakit infeksi virus, apakah
gangguan pendengaran ini sudah diderita sejak bayi sehingga terdapat gangguan
bicara dan komunikasi, dan apakah gangguan lebih terasa di tempat yang bising
atau lebih tenang.
2. Pemeriksaan Fisik Uji Penala
Uji Rinne : dilakukan dengan menggetarkan garpu tala 512Hz dengan
jari ataumengetukkannya pada siku atau lutut pemeriksa. Kaki garpu
tala tersebut diletakkan pada tulang mastoid telinga yang diperiksa
selama 2-3detik. Kemudian dipindahkan ke depan liang telinga selama
2-3detik. Pasien menentukan tempat mana yang terdengar lebih keras.
Jika bunyi terdengar lebih keras bila garpu tala diletakkan depan liang
telinga berarti telinga yang diperiksa normal atau menderita tuli senso-
rineural. Keadaan seperti ini disebut Rinne positif. Bila bunyi yang
terdengar lebih keras di tulang mastoid, maka telinga yang diperiksa
menderita tuli konduksi dan biasanya lebih dari 20 dB. Hal ini disebut
Rinne negatif.
Uji Weber: dilakukan dengan meletakkan kaki penala yang telah dige-
tarkan padagaris tengah wajah atau kepala. Dinyatakan pada telinga
mana yang terdengar lebih keras. Pada keadaan normal pasien
mendengar suara di tengah atau tidak dapat membedakan telinga mana
yang mendengar lebih keras. Bila pasien mendengar lebih keras pada
telinga yang sehat (lateralisasi ke telinga yang sehat) berarti telinga-
yang sakit menderita tuli sensorineural. Bila pasien mendengar lebih
keras padatelinga yang sakit (lateralisasi ke telinga yang sakit) berarti
telinga yang sakit menderita tuli konduktif.
Uji Schwabach : Penala digetarkan, tangkai penala diletakkan pada
prosesus mastoideus sampai tidak terdengar bunyi. Kemudian tangkai
penala segera dipindahkan pada prosesus mastoideus telinga pemeriksa
yang pendengarannya normal. Bila pemeriksa masih dapat mendengar
disebut schwabach memendek, bila pemeriksa tidak dapat mendengar,
pemeriksaan diulang dengan cara sebaliknya yaitu penala diletak-
kan pada prosesus mastoideus pemeriksa lebih dulu. Bila pasien masih
dapat mendengar bunyi disebut schwabach memanjang dan bila pasien
dan pemeriksa kira-kira sama-sama mendengar maka schwabach sama
dengan pemeriksa.
3. Pemeriksaan Penunjang:
Timpanometri : pengukuran tekanan telinga yang berhubungan dengan tu-
ba saluran eustachius pada membran timpani. Tujuan : mengetahui Com-
pliance/mobilitas membrana timpani, tekanan pada telinga tengah, serta
volume canalis auditorius eksterna.
Pemeriksaan audiologi khusus : untuk membedakan tuli koklea dan tuli
retrokoklea diperlukan pemeriksaan yang terdiri dari audiometri khusus,
audiometri objektif, pemeriksaan tuli anorganik, dan pemeriksaan audi-
ometri anak.
Play audiometry
Pemeriksaan ini digunakan untuk anak usai 2-5 tahun, meliputi teknik
melatih anak untuk mendengar stimulus bunyi disertai penamatan re-
spons motorik spesifik dalam suatu aktivitas permainan. Jika metode
ini gagal, dapat digunakan pemeriksaan BERA.
Speech Audiometry
Pemeriksaan ini dapat mengukur ambang penerimaan bicara melalui
kata-kata yang diucapkan atau diperdengarkan melalui audiometri ini
Brainstem evoked response audiometry (BERA)
Pemeriksaan BERA merupakan pemeriksaan elektrofisiologis untuk
menilai integritas sistem auditorik, bersifat objektif, dan tidak invasif.
Pemeriksaan inidikatakan objektif karena tidak bergantung pada usia,
dapat memeriksa bayi, anak, dewasa, atau penderita koma. Pemerik-
saan BERA dilakukan dengan melihat respons pusat auditoris pada
batang otak terhadap stimulus auditoris (klik). Pemeriksaan dilakukan
dengan menimbulkan klik atau nada pip singkat yang ditransmisikan
dari transducer akustik dalam bentuk earphone atau headphone. Ge-
lombang yang dihasilkan diukur melalui permukaan elektroda yang
ditempatkan pada verteks dan lobus telinga. Rata-rata amplitudo
(mikrovoltase) dari sinyal yang dihasilkan dan waktu (milidetik) yang
dibutuhkan untuk menimbulkan respons ditunjukkan dalam bentuk
grafik, seperti electroenchepalogram (EEG).
F. Tatalaksana
Penatalaksanaan tuli sensorineural disesuaikan dengan penyebab ketulian. Tuli
karena pemakaian obat-obatan yang bersifat ototoksik, diatasi dengan penghentian obat.
Jika diakibatkan oleh bising, penderita sebaiknya dipindahkan kerjanya dari lingkungan
bising. Bila tidak memungkinkan dapat menggunakan alat pelindung telinga terhadap bi-
sing, seperti sumbat telinga (ear plug ), tutup teling (iear muff) dan pelindung kepala
(helmet ). Apabila gangguan pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan berkomunikasi
bisa menggunakan alat bantu dengar.
1. Alat Bantu Dengar (ABD)
Rehabilitasi sebagai upaya untuk mengembalikan fungsi pendengaran dilakukan
dengan pemasangan alat bantu dengar (hearing aid Memasang suatu alat ban-
tudengar merupakan suatu proses yang rumit yang tidak hanya melibatkan derajat
dan tipe ketulian, namun juga perbedaan antar telinga, kecakapan diskriinasi dan
psikoakustik lainnya.
2. Implan Koklea
Implan koklea merupakan perangkat elektronik yang memepunyai kemampu-
anmenggantikan fungsi koklea untuk meningkatkan kemampuan mendengar
dan berkomunikasi pada pasien tuli sensorineural berat dan total bilateral. Indikasi
pemasangan implan koklea adalah :
Tuli sensorineural berat bilateral atau tuli total bilateral (anak maupun dewasa)
yang tidak / sedikit mendapat manfaat dari ABD.
Usia 12 bulan - 17 tahun
Tidak ada kontra indikasi medis
Calon pengguna mempunyai perkembangan kognitif yang baik
- 1261050111
1. DEFINISI
Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara parsial atau total untuk
mendengar suara pada salah satu atau kedua telinga.
Tuli konduktif adalah hilangnya pendengaran karena tidak dapat tersampaikannya
getaran suara. Pada tuli konduktif terdapat gangguan hantaran suara, disebabkan oleh
kelainan atau penyakit di telinga luar atau di telinga tengah.1
Tuli konduktif atau Conductive hearing loss adalah jenis ketulian yang tidak dapat
mendengar suara berfrekuensi rendah. Misalnya tidak dapat mendengar huruf U dari kata
susu sehingga penderita mendengarnya ss. Biasanya gangguan ini ”reversible” karena
kelainannya terdapat di telinga luar dan telinga tengah. (purnawan junadi,dkk. 1997 hal.
238)
2. EPIDEMIOLOGI
Data WHO tahun 2005 memperkirakan sejumlah 250 juta penduduk dunia mengalami
gangguan pendengaran dan ketulian dan angka ini meningkat di tahun 2005 menjadi 278
juta (4,6%) dengan gradasi gangguan pendengaran sedang dan berat. Jika tidak segera
ditangani maka pada tahun 2015, akan ada lebih dari 700 juta penduduk dunia yang
menderita gangguan pendengaran. Menurut WHO, setengah jumlah ini berada di Asia
Tenggara termasuk Indonesia.6
Dari WHO Multicenter Study tahun 1998, Indonesia menduduki nomer 4 (4,6%)
setelah Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%) dan India (6,3%). Data di Indonesia berdasar-
kan Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran tahun 1994-1996, didapati
bahwa : Morbiditas penyakit telinga adalah 18.5 %, dengan prevalensi gangguan pen-
dengaran 16,8 % dan ketulian 0,4.%, paling tinggi pada kelompok usia sekolah (7-18 ta-
hun). Penyakit infeksi penyebab ketulian yaitu OMSK (congek) 3,1% (sekitar 6 juta), Tu-
li pada orang tua (2,6%), Tuli sejak lahir (0,1%). Bayi lahir tuli diperkirakan berkisar 0,1-
0,2% dan dengan angka kelahiran di Indonesia sekitar 2,6%, maka setiap tahunnya akan
ada 5.200 bayi tuli di Indonesia.6
Data studi di berbagai sekolah dasar di Indonesia (Jakarta, Tanggerang, Bekasi,
Krawang, Surabaya, Semarang, Medan dll), ternyata angka serumen (kotoran telinga) dan
OMSK (congek) cukup tinggi, serumen didapati sekitar 50% anak SD. Umumnya congek
terjadi karena tingginya infeksi saluran pernafas atas (ISPA) dan gizi buruk akibat
kemiskinan.6
3. ETIOLOGI
1. Tuli konduktif disebabkan kelainan di telinga luar atau telinga tengah.
Kelainan telinga luar yang menyebabkan tuli konduktif adalah:
a. Otalgia, rasa nyeri di dalam telinga.
b. Atresia liang telinga, Malformasi lengkap dari saluran telinga eksternal disebut
atresia. Ini dapat dilihat bersama dengan malformasi lengkap atau sebagian dari
pinna (telinga luar) dan ditemukan pada saat lahir. Hal ini jarang terkait dengan
kelainan bawaan lainnya dan yang paling sering hanya pada satu sisi (unilateral).
c. Sumbatan oleh serumen, Kotoran telinga dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan
medis dan biasanya dapat dihilangkan dengan cepat.5
d. Sumbatan benda asing, Hal ini juga mudah diidentifikasi pada pemeriksaan dan
biasanya dapat dibersihkan di poli klinik. Kadang-kadang, anestesi singkat diper-
lukan untuk prosedur ini pada anak-anak. Umumnya benda asing termasuk man-
ik-manik dan kacang pada anak-anak dan kapas atau ujung kapas-tipped aplikator
pada orang dewasa. Jarang, Kadang binatang hidup seperti kecoa yang dapat me-
nyebabkan gatal, nyeri dan kebisingan.1
e. Otitis eksterna sirkumskripta,infeksi pilosebaseus oleh staphylococcus aureus atau
staphylococcus albus. Rasa nyeri yang hebat yang tidak sesuai dengan besar
bisul.1
f. Otitis eksterna maligna, Otitis Eksterna Maligna merupakan infeksi telinga luar
yang ditandai dengan adanya jaringan granulasi pada liang telinga dan nekrosis
kartilago dan tulang liang telinga hingga meluas ke dasar tengkorak. Keadaan ini
sering dijumpai pada pasien diabetes mellitus atau pasien dengan
immunocompromised.7
g. Osteoma liang telinga.
2. Kelainan telinga tengah yang menyebabkan tuli konduktif ialah
a. Sumbatan tuba eustachius, dapat terjadi oleh berbagai kondisi, seperti peradangan
di nasofaring, peradangan adenoid atau tumor nasofaring.1
b. Otitis media,
c. Otosklerosis, berupa berkurangnya getaran tulang pendengaran dikarenakan
adanya pertumbuhan tulang yang abnormal yang penyebab pastinya belum
diketahui. Hilangnya pendengaran terkait dengan otosklerosis kemungkinan untuk
perlahan-lahan kemajuan dari waktu ke waktu.
d. Timpanosklerosia, membran timpani yang menunjukkangambaran bercak-bercak
putih tebal atau menjadi putih dan tebal seluruhnya akibattimbunan kolagen
terhialinisasi pada bagian tengahnya yang disebabkan proses autoimun
e. Hemotimpanum, terdapatnya darah pada kavum timpani dengan membrana
timpani berwarna merah atau biru. Warna tidak normal ini disebabkan oleh cairan
steril bersama darah di dalam telinga tengah. Keadaan ini dapat menyebabkan tuli
konduktif, biasanya ada sensasi penuh atau tekanan. Hemotimpanum bukan
merupakan suatu penyakit akan tetapi lebih kepada suatu gejala dari penyakit
yang sering disebabkan oleh karena trauma.
f. Dislokasi tulang pendengaran yaitu pada fraktur os temporal dan trauma
iatrogenik pada ekstraksi benda asing di telinga tengah
4. PATOGENESIS
Gangguan pendengaran konduktif adalah suatu bentuk gangguan pendengaran akibat
kelainan pada bagian dari telinga. Mereka adalah bagian bergerak (termasuk gendang tel-
inga) yang mengirimkan suara dari luar ke telinga bagian dalam dimana sistem saraf kita
membutuhkan dan mengirimkan sinyal ke otak. Gangguan pendengaran konduktif terjadi
ketika bagian-bagian bergerak yang rusak atau ketika mobilitas mereka terganggu.
Patofisiologi tuli konduktif berdasarkan penyebabnya berupa gangguan hantaran suara
yaitu dikarenakan kelainan pada telinga luar dan telinga tengah anatar lain :
Gambar 6. Lokasi anatomis tuli konduktif
Otalgia
menjalar
Kulit sensitif
Benda asing
Laserasi kulit
Membran timpani
B. Tes Berbisik
Pemeriksaan ini bersifat semi-kuantitatif, menentukan derajat ketulian secara
kasar. Hal yang perlu diperhatikan ialah ruangan cukup tenang, dengan panjang
minimal 6 meter dengan nilai normal 5/6-6/6.1
Pada tes fungsi pendengaran, yaitu tes bisik, dijumpai penderita tidak dapat
mendengar suara bisik pada jarak lima meter dan sukar mendengar kata-kata yang
mengandung nada rendah.
C. Audiometri
3. Audiometri nada murni adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengukur
sensivitas pendengaran dengan alat audiometer yang menggunakan nada murni
(pure tone). Ambang nada murni diukur dengan intensitas minimum yang dapat
didengar selama satu atau dua detik melalui antaran udara ataupun hantaran
tulang. Frekuensi yang dipakai berkisar antara 125 – 8000 Hz dan diberikan
secara bertingkat (Feldman dan Grimes, 1997).
4. Audiometri harus memenuhi 3 persyaratan untuk mendapatkan keabsahan
pemeriksaan yaitu (1) audiometri yang telah dikalibrasi, (2) suasana/ruangan
sekitar pemeriksa harus tenang, dan (3) pemeriksa yang terlatih.
5. Komponen yang ada pada audiometri yaitu:
1. Oscilator: untuk menghasilkan bermacam nada murni
2. Amplifier: alat untuk menambah intensitas nada
3. Interuptor/pemutus : alat pemutus nada
4. Atteneurator: alat mengukurintensitas suara
5. Earphone: alat merubah sinyal listrik yang ditimbulkan audiometer menjadi
sinyal suara yang dapat didengar
6. Masking noise generator: untuk penulian telinga yang tidak diperiksa
6. Cara pemeriksaan audiometri adalah headphone dipasang pada telinga
untuk mengukur ambang nada melalui konduksi udara. Tempat pemeriksaan
harus kedap udara. Pasien diberitahu supaya menekan tombol bila mendengar
suara walaupun kecil. Suara diberi interval 2 detik, biasanya dimulai dengan
frekwensi 1000 Hz sampai suara tidak terdengar. Kemudian dinaikkan 5 dB
sampai suara terdengar. Ini dicatat sebagai audiometri nada murni (pure tone
audiometry) (Keith, 1989).
7. Biasanya yang diperiksa terlebih dahulu adalah telinga yang dianggap
normal (tidak sakit) pendengarannya melalui hantaran udara, kemudian diperiksa
melalui hantara tulang. Kalau perbedaan kekurangan pendengaran yang diperiksa
50 dB atau lebih dari telinga lainnya, maka telinga yang tidak diperiksa harus
ditulikan (masking). Ketika memeriksa satu telinga pada intensitas tertentu, suara
akan terdengar pada telinga yang satu lagi. Hal ini disebut “cross over” yang
dapat membuat salah interpretasi pada pemeriksaan audiometer.
8. Notasi pada audiogram.
9. Untuk pemeriksaan audiogram, dipakai grafik AC, yaitu dibuat dengan
garis lurus penuh (intensitas yang diperiksa antara 125-8000Hz) dan grafik BC
yaitu dibuat dengan garis terputus-putus.
10. Untuk telinga kiri dipakai warna biru, sedangkan untuk telinga kanan
warna merah.
Gambar 10. Audiogram normal AC Air conduction telinga kiri dan kanan (AC<25db)
Gambar 10. Audiogram tuli konduktif telinga kanan (BC normal 10db, AC>25 db)
6. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan tuli konduktif tentulah sesuai dengan etiologi dari tuli konduktif
tersebut berupa observatif, medikamentosa dan tindakan operatif. Tindakan
pembedahan seperti stapedeotomy pada otosclerosis, pada perforasi membran timpani
seperti timpanoplasty ataupun tindakan miringotomi serta mastoidektomy pada otits
media.
RESEP
dr. Nadila Nur
1261050111
Jl. Lembah Aren 2, Pondok Kelapa, Jakarta Timur
Nama : Tn. X
Umur : 30 tahun
10. Miringitis Bulosa
Jessica audina 1261050160
Miringitis atau inflamasi pada membran timpani merupakan salah satu jenis kelainan ya
ng dapat mengakibatkan gangguan pendengaran dan menimbulkan sensasi kongesti s
erta nyeri telinga. Setelah tiga minggu, suatu miringitis akut akan menjadi subakut, dan a
pabila tidak tertangani hingga 3 bulan, maka kita sudah dapat mengkategorikannya sebag
ai suatu kasus kronik.Miringitis bulosa merupakan suatu miringitis akut yang ditandai o
leh adanya pembentukan bulla pada membran timpani.1 Adapun referensi lain menyebu
tkan bahwa miringitis bulosa adalah bentuk perandangan v irus yang jarang dalam teling
a yang menyertai selesma dan influenza.
B.PATOGENESIS
Suatu infeksi virus menyebabkan gangguan epitel pernapasan dan disfungsi tuba Eusta-
chius, yang menyebabkan tekanan negative di telinga tengah dan akumulasi sekresi pada
telinga tengah. Disfungsi tuba Eustachius memungkinkan mikroba pathogen untuk masuk
dari nasofaring ke telinga tengah dan menyebabkan serangan otitis media akut. Telah di-
perkirakan adanya lesi bulosa mungkin hanya manifestasi dari cidera mekanik membran
timpani atau reaksi jaringan non-spesifik untuk beberapa agen infektif. Dalam beberapa
kasus iritasi tahap awal otitis media akut kausa bakteri, dilain kasus mungkin karena agen
infeksi virus. Karelitz merasa bahwa faktanya dalam hampir semua kasus myringitis, in-
feksi saluran nafas atas yang ada, menunjukkan bahwa jalurnya adalah melalui tuba eusta-
chius, pertama menyebabkan radang telinga tengah dan kemudian secara sekunder me-
nyebabkan myringitisbulosa.
Middle ear fluid (MEF) telah sering ditemukan pada myringitis bulosa dan mungkin
timbul sebagai akibat dari pecahnya bulla ke telinga tengah atau bulla mungkin telah
muncul secara sekunder setelah radang telinga tengah. Pada tulang temporal manusia oti-
tis media akut telah ditunjukkan bahwa membran timpani lebih tebal dibandingkan
dengan telinga normal. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh pembengkakan lapisan
jaringan subepitel dan submukosa membran timpani. Selain itu, ada banyak kapiler dan
infiltrasi sel inflamasi ke dalam lapisan jaringan subepitel dan submukosa. Studi histology
pada myringitis bulosa kurang, tetapi dapat dibayangkan bahwa di awal penyakit reaksi
inflamasi yang kuat diprakarsai oleh paparan pathogen yang menyebabkan akumulasi
cairan kotor pada membran timpani.
C.MANIFESTASIKLINIS
Myringitis bulosa dianggap sebagai penyakit self limiting disease, kadang-kadang men-
jadi rumit oleh infeksi sekunder yang purulen. Namun komplikasi serius seperti menin-
goensefalitis telah dilaporkan dalam beberapa kasus yang langka. Karakteristik gambaran
klinis pasien yaitu tiba-tiba nengalami sakit telinga yang parah atau otalgia. Pada anak-
anak dengan gejala otitis media akut biasanya tidak spesifik, karena mereka tidak dapat
mengungkapkan gejala atau asal usul rasa sakit. Dalam myringitis akut otalgia sifatnya
berdenyut. Nyeri biasanya terletak di dalam telinga, tetapi dapat menyebar ke ujung mas-
toid, tengkuk,temporomandibula bersama wajah.
Pada kebanyakan pasien nyeri mereda dalam satu atau dua hari, namun beberapa kelu-
han biasanya dirasakan selama tiga hari sampai empat hari. Rasa sakit tidak sepenuhnya
hilang setelah myringotomi atau setelah bulla pecah spontan. Membran timpani kembali
ke keadaan normalnya dalam dua atau tiga minggu. Otoskopi menunjukkan suatu mem-
bran timpani meradang dengan satu atau lebih bulla. Bulla ini penuh dengan cairan
bening, agak kuning atau perdarahan.
Beberapa bulla hampir tidak bisa dibedakan dan beberapa menempati sebagian besar
membran timpani. Bulla yang muncul paling sering pada sisi posterior atau postero inferi-
or membran timpani atau pada dinding kanalis posterior. Bulla ini tampaknya hanya meli-
batkan lapisan subepitel dari membran timpani. Myringitis bulosa sering terdeteksi hanya
unilateral sedangkan di beberapa penelitian proporsi infeksi bilateral tersebut telah 11-
33%. Jika bulla pecah maka debit serosanguineous durasi pendek muncul di saluran telin-
ga, kecuali keadaannya menjadi rumit oleh invasi bakteri saat discharge menjadi purulen.
Peningkatan suhu tubuh biasanya terlihat dalam perjalanan awal myringitis tersebut. Bulla
paling sering menghilang dengan sendirinya. Dalam sebagian besar kasus bulla berlang-
sung tiga atau empat hari.
D.DIAGNOSIS
• Anamnesis
Secara umum, keluhan utama pasien yang mengalami miringitis adalah nyeri pada daerah
telinga yang onsetnya 2-3 hari terakhir sebab bulla terbentuk pada area yang kaya akan
persarafan pada epitel terluar membran timpani. Keluhan pada telinga dan gangguan pen-
dengaran. Kemudian dari anamnesis lebih lanjut, bisa kita dapatkan riwayat demam serta
kemungkinan riwayat trauma pada saluran telinga akibat membersihkan telinga, atau pun
akibat penetrasi benda asing. Kadang juga pasien mengeluhkan adanya cairan yang keluar
dari telinga. Adanya riwayat penyakit saluran pernafasan dan gangguan telinga sebe-
lumnya juga perlu ditanyakan.
• Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan yang penting untuk mendiagnosis miringitis bulosa adalah otoskopi. Ada-
paun beberapa temuan yang bisa didapatkan dari pemeriksaan otoskopi pada pasien mir-
ingitis antara lain
- Terdapat tanda-tanda inflamasi pada membran impani, seperti warna membran terlihat
lebih merah, serta tampak mengalami deformasi, dan refleks cahaya memendek atau
bahkan menghilang sama sekali.
- Karakteristik dari miringitis bulosa adalah adanya bulla pada membran timpani. Kita
harus dapat membedakan antara bulla yang berasal dari membran timpani dan bula yang
berasal dari saluran telinga luar. Bulla ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan pada
membran timpani.
- Pada beberapa kasus dapat ditemukan nyeri ketika pinna ditarik.
- Pneumatik otoskopi, dengan pemeriksaan ini kita dapat menentukan apakah miringitis
bulosa sudah menyebabkan perforasi.
Pemeriksaan lain
- Pada pemeriksaan kelenjar, terdapat limfadenopati servikal posterior.
- Pada pemeriksaan pendengaran dapat ditemukan adanya penurunan pendengaran.
- Tympanometri: pemeriksaan ini dilakukan untuk menemukan bukti adanya cairan di
belakang membran timpani. Sehingga kita dapat mengetahui adanya otitis media yang
menyertai miringitis bulosa.
- Tympanoparasintesis: pemeriksaan ini dilakukan untuk kultur dan identifikasi agen
penyebab miringitis bulosa.
E.DIAGNOSIS BANDING
F. PENATALAKSANAAN
• Prosedur penatalaksanaan miringitis
- Pembersihan kanalis auditorius eksterna
- Irigasi liang telinga untuk membuang debris (kontraindikasi bila status membran tim
pani tidak diketahui)
- Timpanosintesis, yaitu pungsi kecil yang dibuat di membran timpani dengan sebuah
jarum untuk jalan masuk ke telinga tengah. Prosedur ini dapat memungkinkan dilak
ukan kultur dan identifikasi penyebab inflamasi.
- Miringotomi, dimana pada otitis media akut miringotomi dan pembuangan cairan m
encegah terjadinya pecahnya membran timpani setelah “bulging”. Tindakan ini men
yembuhkan gejala lebih cepat, dan insisi sembuh dalam waktu lebih cepat.
- Timpanostomi dengan insersi pipa ke telinga tengah memungkinkan drainase.
Pada beberapa dekade terakhir, telah direkomendasikan untuk dilakukan insisi bulla sebag
ai terapi pilihan. Namun beberapa mengatakan bahwa myringotomi dapat meningkatkan r
isiko infeksi sekunder pada telinga tengah. Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars te
nsa membran timpani agar terjadi drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar.
Miringotomi ini merupakan indikasi untuk kasus otitis media supuratif akut dengan eksud
asi pada timpani.
Miringotomi merupakan tindakan pembedahan kecil yang dilakukan dengan syarat tindak
an ini harus dilakukan secara a-vue (dilihat langsung), anak harus tenang dan dapat dikuas
ai, sehingga membran timpani dapat dilihat dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kua
dran posterior-inferior. Untuk tindakan ini haruslah memakai lampu kepala yang mempun
yai sinar cukup terang, memakai corong telinga yang sesuai dengan besar liang telinga, da
n pisau khusus (miringotom) yang digunakan berukuran kecil dan steril.
• Medikamentosa
Prinsip pengobatan adalah meredakan nyeri dan mencegah terjadinya infeksi sekunder. Pe
nanganan miringitis bulosa terdiri dari pemberian analgetika untuk nyeri dan memelihara
kebersihan dan kekeringan telinga. Terapi konservatif ditujukan untuk mengurangi rasa ny
eri. Analgetik, obat anti-inflamasi, antipruritics, antihistamin, dan antibiotik dapat diberik
an. Dalam hal komplikasi supuratif, membran timpani berlubang, atau kecurigaan dari ma
stoiditis, dianjurkan konsultasi pada dokter ahli. Saran dari dokter ahli diperlukan untuk m
emilih pengobatan yang sesuai dan untuk memastikan perawatan yang berhasil pada myri
ngitis kronis disertai dengan perforasi membran timpani. Pengobatan khusus perforasi me
mbran timpani meliputi:
- Larutan alkohol yang mengandung asam salisilat merangsang pertumbuhan epitel y
ang sangat berguna jika tingkat pertumbuhan epithelium berkurang. Namun, ketika
kontak dengan mukosa telinga tengah, alkohol bisa menyebabkan sakit telinga dan iri
tasi berlebihan mukosa dengan meningkatnya sekresi lendir berikutnya.
- Larutan burowi dapat membantu menghilangkan peradangan pada mukosa pada telin
ga tengah, tetapi dapat menyebabkan maserasi dari epidermis dalam liang telinga.
Pemberian antibiotik:
Lini I
- Amoksisilin
Dewasa = 3 x 500 mg/hari
Bayi/anak = 50 mg/kgBB/hari
- Eritromisin
Dosis dewa dan anak sama dengan dosis amoksisilin
- Cotrimoksazol
Dewasa = 2 x 2 tablet
Anak = TM 40 dan SMZ 200 mg
Suspensi 2 x 1 cth
Lini II
Bila ditengarai oleh kuman yang sudah resisten (infeksi berulang)
- Kombinasikan amoksisilin dan asam klavulanat dengan dosis:
Dewasa = 3 x 625 mg/hari
Bayi.anak = disesuaikan dengan BB dan usia
- Sefalosporin II/III oral (cefuroksim, cefiksim, cefadroxyl, dsb)
Antibiotik diberikan 7-10 hari. Pemberian yang tidak adekuat dapat menyebabkan kekamb
uhan.
Pemberian kortikosteroid:
Prednison 40-60 mg/hari (single dose) diberikan pada pagi hari selama satu minggu kemu
dian dosis diturunkan perlahan.
Pemberian analgetik:
Dengan pemberian asetaminofen dengan kodein. Hasil yang baik didapat dari penggunaan
larutan asetil salisilat.
Pro : Tn. X
Umur : 27 tahun
1261050169
1. Definisi
Penyakit Meniere adalah kelainan telinga bagian dalam yang menyebabkan tim-
bulnya episode vertigo (pusing berputar), tinnitus (telinga berdenging), perasaan penuh
dalam telinga, dan gangguan pendengaran yang bersifat fluktuatif. Sehingga menyebab-
kan penderitanya tidak mampu mempertahankan posisi dalam berdiri tegak. Hal ini
disebabkan oleh adanya hidrops (pembengkakan) rongga endolimfa pada kokhlea dan
vestibulum.
2. Epidemiologi
Penyakit Meniere dapat ditemukan pada hampir semua usia, namun paling ban-
yak ditemukan pada usia 40 sampai 60 tahun. Penyakit Meniere lebih sering mengenai
wanita dibandingkan dengan pria, dengan rasio perbandingan 1,3 :1 sampai 1,8:1. Pada
sebagian besar kasus timbul pada laki-laki atau perempuan dewasa. Paling banyak
ditemukan pada usia 20-50 tahun. Kemungkinan ada komponen genetic yang berperan
dalam penyakit Meniere karena ada riwayat keluarga yang positif sekitar 21% pada
pasien dengan penyakit Meniere. Pasien dengan risiko besar terkena penyakit Meniere
adalah orang-orang yang memiliki riwayat alergi, merokok, stress, dan pasien yang
alkoholisme
3. Etiologi
Penyebab pasti penyakit Meniere ini belum diketahui secara pasti. Namun terdapat
berbagai teori termasuk pengaruh neurokimia dan hormonal abnormal pada aliran darah
yang menuju labirin dan terjadi gangguan elektrolit dalam cairan labirin, reaksi alergi dan
autoimun.4 Penyakit Meniere masa kini dianggap sebagai keadaan diman terjadi ketid-
akseimbangan cairan telinga dalam yang abnormal dan diduga disebabkan oleh terjadinya
malabsorpsi dalam sakus endolimfatikus. Selain itu para ahli juga mengatakan terjadinya
suatu robekan pada membrane di labirin kokhlea sehingga menyebabkan endolimfa dan
perilimfa bercampur. Hal ini menurut para ahli dapat menimbulkan gejala dari penyakit
Meniere.
Para peneliti juga sedang melakukan penyelidikan dan penelitian terhadap kemungkinan
lain penyebab penyakit Meniere dan masing-masing memiliki keyakinan tersendiri ter-
hadap penyebab dari penyakit ini, termasuk faktor lingkungan seperti suara bising, infeksi
virus HSV, penekanan pembuluh darah terhadap saraf (microvascular compression syn-
drome). Selain itu gejala penyakit Meniere dapat ditimbulkan oleh trauma kepala, infeksi
saluran pernapasan atas, aspirin, merokok, alcohol atau konsumsi garam berlebih. Namun
pada dasarnya adalah belum ada yang tahu secara pasti apa penyebab dari penyakit
Meniere ini.
4. Manifestasi Klinis
Terdapat trias atau sindrom Meniere yaitu vertigo, tinitus dan tuli sensoneural
terutama nada rendah. Serangan pertama sangat berat, yaitu vertigo disertai muntah.
Setiap kali merasa untuk berdiri, dia meras berputar, mual kemudian muntah lagi. Hal
ini berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu, meskipun keadaannya berang-
sur baik. Penyakit ini bisa sembuh tanpa obat dan gejalanya bisa hilang sama sekali.
Pada serangan kedua kalinya dan selanjutnya dirasakan lebih ringan, tidak seperti se-
rangan pertama kali. Pada penyakit Meniere vertigo-nya periodik yang makin mereda
pada serangan-serangan berikutnya. Pada setiap serangan biasanya disertai dengan
gangguan pendengaran dan dalam keadaan tidak ada serangan, pendengaran dirasakan
baik kembali. Gejala lain yang menyertai serangan adalah tinitus, yang kadang-kadang
menetap, meskipun diluar serangan. Gejala yang lain menjadi tanda khusus adalah
perasaan penuh di dalam telinga.
5. Patofisiologi
Pro :
Umur : tahun
2.1.1. Definisi
Rinitis alergi adalah radang selaput lendir hidung yang disebabkan proses in-
2.1.2. Imunopatogenesis
Mukosa saluran nafas selalu terpapar oleh bermacam alergen yang terbawa oleh
udara nafas. Pada penderita yang mempunyai bakat alergi, alergen yang terbawa
udara nafas akan menyebabkan sensitisasi mukosa respirasi. Akibat sensitisasi ini,
1. Fase sensitisasi
Alergen yang terhirup bersama udara nafas akan terdeposit dalam mukosa
hidung yang kemudian diproses oleh makrofag atau sel dendrit yang berfungsi se-
bagai fagosit dan sel penyaji antigen (antigen presenting cell/APC). Didalam en-
dosom alergen diproses menjadi bentuk fragmen peptide (berupa 7 sampai 14 asam
amino) yang akan berikatan dengan molekul MHC (major histocompatibility com-
plex) kelas II, yang disintesis di vesikel golgi. Dengan gerakan intraseluler, en-
dosom yang
mengandung peptide bergabung (intersect) dengan vesikel yang berisi molekul
MHC kelas II dan membentuk ikatan non kovalen. Fusi antara endosom dengan
permukaan sel penyaji.22 Tipe polimorfik molekul MHC kelas II yang diekspresi-
kan oleh tiap-tiap individu akan menentukan afinitas molekul terhadap peptide an-
tigen spesifik, yang akan berperanan pada respon sistem imun terhadap protein
spesifik. Sel penyaji antigen ini akan berjalan melintasi adenoid, tonsil dan lim-
fonodi regional. Pada area sel T limfonodi, antigen dipresentasikan pada sel Th 0
yang baru keluar dari timus. Diduga sel Th 0 ini mengekspresikan tanda permukaan
sel yang dapat membuat sel tersebut tinggal di pembuluh darah mukosa saluran
nafas.
(TCR) bersama molekul CD4 dengan MHC kelas II, CD 28 dengan B7 serta
molekul asesoris pada sel T ( CD2, LFA-1) dengan ligand pada sel penyaji antigen,
nukleus sel T yang hasil akhirnya berupa produksi sitokin.23,24 Berdasarkan sitokin
yang dihasilkan, sel T CD4 dapat mengalami polarisasi menjadi sel Th 1 dan atau
sel Th 2 yang tergantung dari tipe antigen, dosis, tipe sel APC, microenviroment
sitokin, sinyal kostimulator yang diterima sel T dan faktor genetik.25 Sel T CD4+
pada individu yang atopik mengalami polarisasi menjadi sel Th 2 dan akan
menghasilkan berbagai sitokin antara lain IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-10, IL-13,
GM-CSF yang akan mempertahankan lingkungan pro atopik ( terutama IL-4) yaitu
Th 1. Paparan alergen
dosis rendah yang terus menerus dan presentasi alergen oleh sel penyaji antigen
(APC) kepada sel B disertai adanya pengaruh sitokin IL-4 maka sel B akan
memproduksi Ig E yang terus bertambah yang akan beredar bebas dalam sir-
rada dalam jaringan termasuk mukosa hidung. Dalam fase ini maka sesorang sudah
2. Fase elisitasi
yang diakibatkan oleh paparan ulang alergen serupa pada mukosa yang sudah sen-
sitif. Terjadi cross- linking pada molekul FcεRI, oleh karena adanya
ikatan/bridging antara dua molekul IgE pada permukaan sel mast dengan alergen
phosphatidyil inositol biphosphat (PIP2) menjadi inositol triphosfate (IP3) dan di-
acyglicerol (DAG) pada membrane PIP2. IP3 menyebabkan pelepasan ion calcium
mengaktifkan enzim myosin light chain kinase C. Sehingga hasil akhir aktivasi ini
granula yang berisi mediator kimia (preformed mediators) seperti histamin, tryp-
Reseptor histamin H1 terdapat pada sel endotel, yang apabila diinduksi dapat me-
nyebabkan kenaikan permeabilitas kapiler dan rinore. Selain itu histamin juga teri-
kat pada resptor H1 di saraf nociceptive tipe C. Saraf ini secara luas bercabang di
epitel dan submukosa. Neuron berasal dari cabang pertama dan kedua nervus tri-
geminus. Salah satu fungsi penting dari saraf nociceptive mengaktifkan pusat gatal,
kongesti dan bersin yang disebabkan pelepasan mediator kimia oleh sel mast akibat
mukosa, gejala-gejalanya akan berkurang. Tetapi setelah reaksi fase cepat, adanya
pelepasan sitokin dan aktivasi sel endotel mengakibatkan terjadinya reaksi fase
lambat yang terjadi antara 4-6 jam setelah paparan alergen dan menetap selama 24-
48 jam.2 Keadaan ini secara klinik ditandai dengan penebalan mukosa hidung yang
dapat dideteksi dengan adanya kenaikan resistensi nasal airflow dengan sedikit pe-
rubahan pada gejala hidung lainnya. Gambaran khas reaksi fase lambat ditandai
dengan tertariknya berbagai sel inflamasi khususnya eosinofil pada mukosa hidung.
onic protein (ECP) dan produk eosinofil lainnya pada sekresi hidung.21 Mekanisme
tertariknya eosinofil sampai ke lokasi alergi dipengaruhi sekresi sitokin oleh sel
mast, eosinophil dan dan sel Th 2, yang dapat meningkatkan ekspresi molekul
adhesi endotel (IL-3, IL-4, IL-5, GM-CSF) dan eosinofil chemoattractant (eotaxin, IL-5,
RANTES). Oleh pengaruh IL-3, IL-5 dan GM-CSF dapat meningkatkan survival eosino-
fil dijaringan. Eosinofil dalam perjalannya dari sirkulasi sampai ke lokasi alergi melalui
beberapa tahap yaitu perpindahan eosinofil dari tengah ke tepi dinding pembuluh darah
dan berikatan secara reversibel dengan sel endotel (rolling) yang disebabkan interaksi
antar E-selectin dengan glikoprotein eosinofil. Selanjutnya oleh karena pengaruh sitokin
(IL-4) terjadi peningkatan ekspresi molekul adhesi endotel seperti ICAM-1 (inter cell
akan berikatan dengan VCAM-1, sehingga ekspresi VCAM-1 meningkat pada rinitis
alergi. Dengan adanya ikatan antara VCAM-1 dan VLA-4 ini eosinofil semakin kuat
melekat pada endotel, kemudian terjadi perubahan bentuk dan diikuti migrasi eosinofil
keluar dari pembuluh darah lewat celah antar sel endotel (diapedesis) untuk selanjutnya
nafas. Pelepasan granula eosinofil yang mengandung berbagai macam mediator kimia
yaitu major basic protein (MBP), eosinophil cationic protein (ECP), eosinophil derived
neurotoxin (EDN) dan eosinophil peroxidase (EPO) yang berikatan dengan proteoglikan
dan hyaluran membran basalis menyebabkan disagregasi sel dan deskuamasi epitel. Pro-
2.1.3. Diagnosis
a. Anamnesis
Gejala rinitis alergi yang khas adalah gatal di hidung, bersin-bersin terutama
pagi hari atau bila terpapar debu-debuan. Gejala lain yang sering menyertai
bervariasi dari tampak normal sampai edema, basah, berwarna pucat atau
alergi ini adalah allergic shiner, allergic solute, dan allergic crease. Aller-
gic shiner adalah warna kehitaman pada daerah infra orbita yang terjadi
karena adanya stasis dari vena yang mengakibatkan edema mukosa hidung
dan sinus. Allergic solute adalah sering mengusap hidung dengan punggung
mengusap hidung
C. Pemeriksaan penunjang
pemeriksaan eosinofil sekret hidung, jumlah eosinofil dalam darah tepi, ka-
dar Ig E spesifik dan tes kulit.4,13 Diantara pemeriksaan tersebut yang pal-
ing sering digunakan adalah tes kulit, karena sederhana (mudah pelaksa-
naannya), murah, cepat, aman, cukup sensitif dan spesifik.27,28 Dasar tes ku-
lit adalah menguji ekstrak alergen yang terikat pada sel mast di jaringan
kulit. Teknik tes kulit ada 2 macam yaitu tes epidermal dan tes intra der-
2.1.4. Klasifikasi
Klasifikasi rinitis alergi yang didasarkan atas waktu paparan dan jenis alergen
tidak memuaskan. Hal ini didasarkan atas beberapa kenyataan sebagai berikut :3
1. Ada beberapa daerah dimana pollen dan mould terdapat sepanjang tahun
pollen
flamasi minimal persisten pada penderita rinitis, simptom tidak secara strick
Oleh karena itu ARIA bekerjasama dengan WHO 2001 mengusulkan klasifikasi
baru, yang parameternya adalah persistensi dan derajat gangguan sebagai beri-
kut:Berdasarkan persistensi :
- Gangguan tidur
2. Sedang berat, bila didapatkan salah satu atau lebih hal sebagaimana disebut di atas.
Tatalaksana
1. Antihistamin
pengobatan rinitis alergi yang paling sering diresepkan. Obat inibekerja secara kompetitif
dengan mediator alergi, histamin, pada reseptor Histamin-1.Efeknya berupa mengurangi vas-
odilatasi, hipersekresi kelenjar mukus, dan refleksiritasi untuk bersin. Antihistamin yang
bekerja pada reseptor H-1 dibagi menjadi duagenerasi berdasarkan sifat sedatifnya, generasi
pertama bersifat sedatif karena bersifatlipofilik dan generasi kedua bersifat lipofobik. Contoh
antihistamin generasi pertamaada-
lah klorfeniramin, difenhidramin, siproheptadin. Antihistamin generasi keduamemiliki keun-
tungan tidak menyebabkan sedasi, namun efek samping lain ternyatadilaporkan suatu kasus
kecil berupa anemia aplastik dan golongan tertentu tidak bolehdiberikan pada penderita
dengan gangguan jantung karena menyebabkan aritmia.Antihistamin generasi kedua
yang aman adalah loratadin, setirizin, feksofenadin.Dianjurkan konsumsi antihistamin agar
dimakan secara reguler dan bukan dimakanseperlunya saja karena akan memberikan
efek meredakan gejala alergi yang efektif.Apabila antihistamin generasi pertama dipilih,
maka pemberian secara reguler akan mem-
beri toleransi kepada pasien terhadap efek sedasi sehingga ia mampu tetaptoleran terhadap
pekerjaannya.
2. Dekongestan
oralberkerja mengurangi edema pada membran mukus hidung karena bersifat-
vasokonstriksi (alfa adrenergik), sehingga efek obat ini melengkapi pengobatan
gejalarinitis alergi oleh antihistamin dengan mengurangi edema membran mukus.
Contohobat dekongestan oral adalah pseudoefedrin, fenilpropanolamin, fenilefrin.
Obat inicukup diberikan beberapa hari saja. Dianjurkan pemberian dekongestan
oraldibandingkan dekongestan topikal karena efek "rebound phenomena" obat terse-
butterhadap mukosa hidung yang dapat menyebabkan rinitis medikamento-
sa. Pemberianobat ini merupakan kontraindikasi bila pasien sedang mengonsumsi
atau dalam fase"tappering off" dari obat-obatan monoamin oksidase inhibitor karena
bahaya akanterjadinya krisis hipertensi
5.Imunoterapi
.Cara ini lebih dikenal sebagai desensitisasi atau hiposensitisasi. Caranyaadalah dengan
memberikan injeksi berulang dan dosis yang ditingkatkan dari alergen,tujuannya adalah
mengurangi beratnya reaksi tipe I atau bahkan menghilangkan samasekali. Imunoterapi
bekerja dengan pergeseran produksi antibodi IgE menjadiproduksi IgG atau dengan cara
menginduksi supresi yang dimediasi oleh sel T (lebihmeningkatkan produksi Th1 dan IFN-y).
Dengan adanya IgG, maka antibodi ini akanbersi-
fat "blocking antibody" karena berkompetisi dengan IgE terhadap alergen,kemudian
mengikatnya, dan membentuk kompleks antigen-antibodi untuk kemudiandifagosit. Aki-
batnya alergen tersebut tidak ada dalam tubuh dan tidak merangsangmembran mastosit.
DEFINISI
Rinitis atrofi (ozaena) adalah penyakit hidung kronik yang ditandai atrofi progresif
mukosa hidung dan tulang penunjangnya disertai pembentukan sekret yang kental dan tebal
yang cepat mengering membentuk krusta, menyebabkan obstruksi hidung, anosmia, dan
mengeluarkan bau busuk.Rinitis atrofi disebut juga rinitis sika, rinitis kering, sindrom
hidung-terbuka, atau ozaena.
INSIDENSI
KLASIFIKASI
Rinitis atrofi berdasarkan gejala klinis diklasifikasikan oleh dr. Spencer Watson
(1875) sebagai berikut:
• Rinitis atrofi ringan, ditandai dengan pembentukan krusta yang tebal dan mudah
ditangani dengan irigasi.
• Rhinitis atrofi sedang, ditandai dengan anosmia dan rongga hidung yang berbau.
Rinitis atrofi berat, misalnya rinitis atrofi yang disebabkan oleh sifilis, ditandai oleh rongga
hidung yang sangat berbau disertai destruksi tulang.
ETIOLOGI
PATOGENESIS
Analisis terhadap mukosa hidung menemukan hal yang sama baik pada rinitis atrofi
primer maupun sekunder. Mukosa hidung yang normal terdiri atas epitel pseudostratifikatum
kolumnar, dan glandula mukosa dan serosa. Pada rinitis atrofi, lapisan epitel mengalami met-
aplasia squamosa dan kehilangan silia. Hal ini mengakibatkan hilangnya kemampuan pem-
bersihan hidung dan kemampuan membersihkan debris. Glandula mukosa mengalami atrofi
yang parah atau menghilang sama sekali sehingga terjadi kekeringan. Selain itu terjadi juga
penyakit pada pembuluh darah kecil, andarteritis obliteran (yang dapat menjadi penyebab ter-
jadinya rinitis atrofi atau sebagai akibat dari proses penyakit rinitis atrofi itu sendiri).
Secara patologis, rinitis atrofi dapat dibagi menjadi dua, yakni tipe I, adanya
endarteritis dan periarteritis pada arteriola terminal akibat infeksi kronik yang membaik
dengan efek vasodilator dari terapi estrogen; dan tipe II, terdapat vasodilatasi kapiler yang
bertambah jelek dengan terapi estrogen.
Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriola akan menyebabkan
berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa.
Selain itu didapatkan sel endotel bereaksi positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan
adanya absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebab-
kan pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran nafas jadi
lapang. Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun, dimana terdeteksi adanya anti-
bodi yang berlawanan dengan surfaktan protein A.
Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung ter-
hadap infeksi. Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi klirens
mukus dan mempunyai pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan me-
nyebabkan bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan
hilangnya silia. Mukus akan mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, memben-
tuk krusta yang merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.
GEJALA KLINIS
Pemeriksaan fisik terhadap rinitis atrofi dapat dengan mudah dikenali. Tanda per-
tama sering berupa bau (foeter ex nasi) dari pasien. Pada beberapa kasus, bau ini bisa berat.
Hal ini akan menyebabkan ganggguan pada setiap orang kecuali pasien, karena pasien men-
galami anosmia. Beberapa pasien juga memperlihatkan depresi yang terjadi sebagai implikasi
sosial dari penyakit. Pasien biasanya mengeluh obstruksi hidung (buntu), krusta yang luas,
dan perasaan kering pada hidung.
Gejala klinis rinitis atrofi secara umum adalah:
I. obstruksi hidung (buntu)
II. sakit kepala
III. epistaksis pada pelepasan krusta
IV. bau busuk pada hidung (foeter ex nasi) yang dikeluhkan oleh orang lain yang ada di seki-
tarnya. Bau ini tidak diketahui oleh pasien karena atrofi dari mukosa olfaktoria.
V. Faringitis sikka
VI. Penyumbatan yang terjadi karena lepasnya krusta dari nasofaring masuk ke orofaring.
Prinsip tatalaksana
Oleh karena etiologinya multifaktorial, maka pengobatan belum ada yang baku. Pen-
gobatan di tunjukan untuk mengatasi etiologi , dan menghilangkan gejala. Pengobatan yang
diberikan dapat bersifat konservatif atau kalau tidak dapat menolong dilakukan pembedahan
jika tidak ada perbaikan.
Pengobatan konservatif diberikan antibiotik spektrum luas atau sesuai dengan uji re-
sistensi kuman, dengan dosis yang adekuat. Lama pengobatan bervariasi tergantung dari
hilangnya tanda klinis berupa sekret purulen kehijauan.
Untuk menghilangkan bau busuk akibat hasil proses infeksi serta sekret purulen dan
krusta, dapat di[akai obat cuci hidung. Lrutan yang dapat digunakan adalah larutan garam
hipertonik.
NaCL + Na4CL + NaHCO3 + Aqua
Larutan tersebur di encerkan dengan perbandingan 1 sendok makan larutan dicampur 9
sendok makan air hangat. Larutan dihirup dimasukan kedalam rongga hidung dan dikeluar-
kan lagi dengan dihembuskan kuat-kuat. Hal ini dilakukukan 2 kali dalam sehari.
Pemberian Antibiotik Amoksisilin :
Indikasi : Dapat diberikan untuk kuman gram (-) atau pun (+)
Farmakodinamik : Menghambat sintesis mekopeptida yang diperlukan untuk pembentukaan
dinding sel bakteri.
Efek samping :
1. Reaksi alergi (ini paling sering terjadi )
2. Reaksi toksik dan iritasi lokal
3. Gangguan GIT : mual, muntah, diare
4. Syok anafilaktik
Sediaan :
Kapsul/Tablet : 125 mg, 250mg, 500mg
Sirup : 125mg/5 ml
waktu paruh 8 jam. Sehingga diberikan 3x dalam sehari.
Resep
dr. Fratisca Sara
1261050179
Jl. Mayjen Sutoyo, Cawang, UKI no 66
Jakarta Timur
Jakarta, 22 Maret 2017
2.1. Definisi
Rinitis vasomotor adalah terdapatnya gangguan fisiologi lapisan mukosa
hidung yang disebabkan peningkatan aktivitas saraf parasimpatis. Penyakit ini termasuk
dalam penyakit rinitis kronis selain rinitis alergika.
Rinitis vasomotor adalah inflamasi kronis lapisan mukosa hidung yang
disebabkan oleh terganggunya keseimbangan sistem saraf parasimpatis dan simpatis.
Parasimpatis menjadi lebih dominan sehingga terjadi pelebaran dan pembangkakan pem-
buluh darah di hidung. Gejala yang timbul berupa hidung tersumbat, bersin dan ingus
yang encer.
2.2. Etiologi
Etilogi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat gangguan
keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat tertentu.
Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor :
1. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti ergotamin,
chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal.
2. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang ting-
gi dan bau yang merangsang.
3. Faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti hamil dan
hipotiroidisme.
4. Faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.
2.3. Patofisiologi
Sistem saraf otonom mengontrol aliran darah ke mukosa hidung dan sekresi
dari kelenjar. Diameter resistensi pembuluh darah di hidung diatur oleh sistem saraf sim-
patis sedangkan parasimpatis mengontrol sekresi kelenjar. Pada rinitis vasomotor terjadi
disfungsi sistem saraf otonom yang menimbulkan peningkatan kerja parasimpatis yang
disertai penurunan kerja saraf simpatis. Baik sistem simpatis yang hipoaktif maupun sis-
tem parasimpatis yang hiperaktif, keduanya dapat menimbulkan dilatasi arteriola dan ka-
piler disertai peningkatan permeabilitas kapiler, yang akhirnya akan menyebabkan tran-
sudasi cairan, edema dan kongesti.
Teori lain mengatakan bahwa terjadi peningkatan peptide vasoaktif dari sel-sel
seperti sel mast. Termasuk diantara peptide ini adalah histamin, leukotrin, prostaglandin,
polipeptide intestinal vasoaktif dan kinin. Elemen-elemen ini tidak hanya mengontrol di-
ameter pembuluh darah yang menyebabkan kongesti, tetapi juga meningkatkan efek aset-
ilkolin dari sistem saraf parasimpatis terhadap sekresi hidung, yang menyebabkan rinore.
Pelepasan peptide-peptide ini tidak diperantarai oleh Ig-E (non-Ig E mediated) seperti
pada rinitis alergi.
Adanya reseptor zat iritan yang berlebihan juga berperan pada rhinitis vaso-
motor. Banyak kasus yang dihubungkan dengan zat-zat atau kondisi yang spesifik. Be-
berapa diantaranya adalah perubahan temperatur atau tekanan udara, perfume, asap ro-
kok, polusi udara dan stress ( emosional atau fisikal ).
Dengan demikian, patofisiologi dapat memandu penatalaksanaan rinitis vaso-
motor yaitu :
1. Meningkatkan perangsangan terhadap sistem saraf simpatis
2. Mengurangi perangsangan terhadap sistem saraf parasimpatis
3. Mengurangi peptide vasoaktif
4. Mencari dan menghindari zat-zat iritan.
2.5. Diagnosis
2.7. Penatalaksanaan
Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor penyebab
dan gejala yang menonjol.
Secara garis besar, pengobatan dibagi dalam :
1. Menghindari penyebab / pencetus ( Avoidance therapy )
2. Pengobatan konservatif ( Farmakoterapi ) :
- Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk mengurangi keluhan hidung
tersumbat. Contohnya: Pseudoephedrine dan Phenylpropanolamine (oral) serta Phe-
nylephrine dan Oxymetazoline (semprot hidung ).
- Anti histamin : paling baik untuk golongan rinore.
- Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat, rinore dan bersin-bersin
dengan menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan oleh mediator vasoaktif. Bi-
asanya digunakan paling sedikit selama 1 atau 2 minggu sebelum dicapai hasil yang
memuaskan. Contoh steroid topikal : Budesonide, Fluticasone, Flunisolide atau Be-
clomethasone
- Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai keluhan utamanya. Con-
toh : Ipratropium bromide ( nasal spray )
2.8. Komplikasi
1. Sinusitis
2. Eritema pada hidung sebelah luar
3. Pembengkakan wajah
2.9. Prognosis
Prognosis dari rinitis vasomotor bervariasi. Penyakit kadang-kadang dapat
membaik dengan tiba –tiba, tetapi bisa juga resisten terhadap pengobatan yang diberi-
kan
CONTOH RESEP
Pro: Tn. X
Usia: 24 tahun
15. RHINITIS MEDIKA-MENTOSA
I. DEFINISI
Rinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung yang berupa gangguan respons
normal vasomotor. Kelainan ini merupakan akibat dari pemakaian vasokontriktor topikal
seperti obat tetes hidung atau obat semprot hidung dalam waktu lama dan berlebihan, sehing-
ga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap. Istilah rinitis mendikamentosa ini pertama
kali dikenalkan oleh Lake pada tahun 1946. [1,2,3,4,5]
II. ETIOLOGI
Penyakit rinitis medikamentosa disebabkan oleh pemakaian obat sistemis yang bersi-
fat sebagai antagonis adreno-reseptor alfa seperti anti hipertensi dan psikosedatif . Selain itu
aspirin, derivat ergot, pil kontrasepsi , dan anti kolinesterasi yang digunakan secara berlebi-
han juga dapat menyebabkan gangguan hidung. Obat vasokonstriktor topikal sebaiknya
isotonik dengan sekret hidung yang normal, dengan pH antara 6,3 dan 6,5, serta pemakaiann-
ya tidak lebih dari satu minggu. Jika tidak, akan terjadi kerusakan pada mukosa
hidung berupa:[4,10]
– Simpatomimetik :
Amfetamin Klonidin
Benzedrine Naphazolin
Kafein Oxymetazolin
Ephedrin Xylometazolin
Mescalin
Phenylephrin
Phenylpropanolamin
Pseudoephedrin
Mukosa hidung merupakan organ yang amat peka terhadap rangsangan atau
iritan sehingga harus berhati hati dalam mengkonsumsi obat vasokonstriksi topikal
dari golongan simptomatik yang dapat mengakibatkan terganggunya siklus nasal dan
akan berfungsi kembali dengan menghentikan pemakaian obat. Pemakaian vasokon-
striktor topikal yang berulang dalam waktu lama, akan mengakibatkan terjadinya fase
dilatasi berulang (rebound dilatation) setelah vasokonstriksi, sehingga menimbulkan
terjadinya obstruksi atau penyumbatan. Dengan adanya gejala obstruksi hidung ini
menyebabkan pasien lebih sering dan lebih banyak lagi memakai obat tersebut se-
hingga efek vasokonstriksi berkurang, pH hidung berubah dan aktivitas silia ter-
ganggu, sedangkan efek balik akan menyebabkan obstruksi hidung lebih hebat dari
keluhan sebelumnya. Bila pemakaian obat diteruskan akan menyebabkan dilatasi dan
kongesti jaringan. Kemudian terjadi pertambahan mukosa jaringan dan rangsangan
sel–sel mukoid, sehingga sumbatan akan menetap dengan produksi sekret yang ber-
lebihan. [ 4 ]
Selain itu, terdapat juga hipotesis bahwa rhinitis medikamentosa terjadi se-
bagai akibat berkurangnya produksi nor-epinefrin simpatetik endogen menerusi jalur
umpan balik negatif. Dengan penggunaan dekongestan dalam jangka waktu yang la-
ma, saraf simpatetik tidak bisa berfungsi untuk mempertahankan vasokonstriksi ka-
rena pelepasan nor-epinefrin yang ditekan. [ 4 ]
Keluhan utama pasien adalah hidung tersumbat secara terus menerus tanpa
mengeluarkan sekret. Penampakan pada pemeriksaan fisis bagi rhinitis medikamento-
sa tidak jauh bedanya dengan infeksi atau rhinitis alergi. Mukosa hidung kelihatan
kemerahan ( beefy-red ) dengan area bercak pendarahan dan sekret yang min-
imal atau udem. Selain itu juga, mukosanya bisa tampak pucat dan udem, juga bisa
menjadi atrofi dan berkrusta disebabkan penggunaan dekongestan hidung dalan
jangka waktu yang lama. [ 1,2,3,4,5 ]
V. DIAGNOSIS
i. Riwayat pemakaian vasokontriktor topikal seperti obat tetes hidung atau obat
semprot
hidung dalam waktu lama dan berlebihan.
ii. Obstruksi hidung yang berterusan ( kronik ) tanpa pengeluaran sekret atau ber-
sin.
iii. Ditemukan mukosa hidung yang menebal pada pemeriksaan fisis.
Rhinitis medikamentosa sering terjadi disebabkan oleh kondisi medis lainnya
yang menyebabkan penggunaan dekongestan. Jadi, penting untuk menjalankan be-
berapa pemeriksaan lainnya untuk mengidentifikasi kondisi medis lainnya yang ber-
potensi untuk diobati. Di antara pemeriksaannya adalah uji tusuk bagi pasien yang
mempunyai riwayat rhinitis alergi, uji aspirin bagi pasien yang mempunyai trias ASA
dan pemeriksaan rinoskopi untuk mengidentifikasi deviasi septal, abnormalitas
[ 1,2 3,4 ]
struktur anatomi dan juga polip hidung.
VII. PENATALAKSANAAN
Jika rinitis medikamentosa dikenal pasti akibat penggunaan dekongentan
topikal, maka pasien harus dinasihatkan agar segera dihentikan penggunaannya.
Pasien juga harus diberi edukasi mengenai keluhan yang dialami dan diberikan pen-
gobatan alternatif lainnya bagi menggantikan obat yang menyebabkan terjadinya
sumbatan hidung pada pasien. [ 2,3,5,13 ]
Penghentian penggunaan secara mendadak dapat menyebabkan rebound
swelling dan kongesti. Beberapa obat telah dikenalpasti bagi mengatasi masalah ini
yaitu dengan menggunakan Cromolyn, sedatif / hipnotik, semprotan hidung yang
menggunakan larutan saline. Adenosin trifosfat oral, obat tetes deksametason dan
obat tetes triamcinolon juga membantu dalam usaha menyembuhkan pasien. [ 2 3,5,14,15 ]
Menurut penelitian, kombinasi antihistamin oral dengan dekongestan bersama
penggunaan deksametason intranasal juga direkomendasikan buat pengobatan rhinitis
medikamentosa. Pada penelitian lainnya, injeksi kortikosteroid ( triamsinolone asetat
20 mg pada turbinasi anterior juga mampu mengurangkan kongesti hidung. Gluko-
[
kortikosteroid intranasal ( semprotan deksametason sodium fosfat / budesonide ).
2,3,5,14,15 ]
VIII. KOMPLIKASI
Hampir semua pasien pada akhirnya bisa menghentikan penggunaan obat te-
tes hidung dengan penyembuhan sempurna. Pada pasien yang tidak bisa menghenti-
kan penggunaannya, menurut penelitian dapat terjadi hiperplasia menetap yang me-
merlukan intervensi yang bervariasi dari elektrokauter submukosa atau kryoterapi un-
tuk mengurangkan destruksi turbinasi melalui penggunaan laser dan reseksi bedah.
Komplikasi lainnya yang dapat terjadi adalah seperti perforasi septum, rinitis atropi
dan infeksi sinus. [ 1 ]
IX. PROGNOSIS
X. PERESEPAN OBAT
R/ Chlorpheniramin Maleat TAB 4 mg No. IX
S 3 dd TAB I p.r.n
__________________________________________
R/ Nasonex 50 mcg No. I fl
S 1 dd Puff IV p.r.n
__________________________________________
Pro : Nn. I Gusti Ayu Ratna
Umur : 23 Tahun
17. Epistaksis Anterior
1361050047 - Ni Kadek Sasmita Prayasti
A. DEFINISI
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang merupakan gejala atau
manifestasi penyakit lain, penyebabnya bisa lokal atau sistemik. Perdarahan bisa
ringan sampai serius dan bila tidak segera ditolong dapat berakibat fatal. Sumber
perdarahan biasanya berasal dari bagian depan atau bagian belakang hidung.
B. VASKULARISASI
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior
dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris
interna, diantaranya adalah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang
keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki
rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung
mendapat pendarahan dari cabang – cabang a. fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.
sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior, dan a. palatina mayor
yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis (pendarahan hidung) terutama pada anak. Vena-vena hidung
mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya.
Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v. oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki
katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran
infeksi hingga ke intrakranial.
C. EPIDEMIOLOGI
Epistaksis jarang terjadi pada bayi, namun terdapat kecenderungan
peningkatan insiden epistaksis seiring dengan pertambahan usia. Epistaksis
anterior lebih sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda, sedangkan
epistaksis posterior lebih sering terjadi pada usia yang lebih tua, terutama pada
laki-laki berusia 50an dengan penyakit hipertensi dan arteriosklerosis. Epistaksis
lebih sering terjadi pada musim dingin. Hal ini mungkin disebabkan peningkatan
kejadian infeksi pernafasan atas dan udara yang lebih kering akibat pemakaian
pemanas dan kelembaban lingkungan yang rendah. Epistaksis juga sering terjadi
pada iklim yang panas dengan kelembaban yang rendah. Pasien yang menderita
alergi, inflamasi hidung, dan penyakit sinus lebih rentan terhadap risiko terjadinya
epistaksis karena mukosanya lebih mudah kering dan hiperemis yang disebabkan
oleh reaksi inflamasi.
D. KLASIFIKASI
Epistaksis dibedakan atas dasar sumber pendarahan atau tempat pendarahan.
Sumber perdarahan dapat berasal dari bagian anterior atau bagian posterior hidung.
Epistaksis Anterior
E. ETIOLOGI
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat ditelusuri penyebabnya.
Namun kadang-kadang jelas disebabkan oleh trauma. Perdarahan hidung diawali
dengan pecahnya pembuluh darah di selaput mukosa hidung. 80% perdarahan be-
rasal dari pembuluh darah pleksus Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach terletak di
septum nasi bagian anterior, dibelakang persambungan mukokutaneus tempat
pembuluh darah yang kaya anastomosis.
Secara umum epistaksis dapat disebabkan oleh sebab-sebab lokal seperti
trauma, infeksi, neoplasma, kelainan kongenital, dan bisa juga disebabkan oleh
keadaan umum atau kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan
darah, infeksi, perubahan tekanan atmosfir, dan gangguan endokrin.
1. Lokal
a. Trauma
Epistaksis yang berhubungan dengan trauma biasanya karena mengeluar-
kan sekret dengan kuat, bersin, mengorek hidung, atau trauma seperti ter-
pukul. Selain itu iritasi oleh gas yang merangsang dan trauma pada pem-
bedahan bisa juga menyebabkan epistaksis.
b. Infeksi
Infeksi hidung dan sinus paranasal, rhinitis, sinusitis, serta granuloma spe-
sifik seperti sifilis, lepra, dan lupus dapat menyebabkan epistaksis.
c. Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan in-
termiten, kadang-kadang disertai mukus yang bernoda darah. Hemangioma,
karsinoma, dan angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat.
d. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah telean-
giektasis hemoragik herediter (hereditary hemorrhagic teleangiectasis
Osler’s Disease). Pasien ini juga menderita teleangiektasis di tangan,
wajah, atau bahkan di traktus gastrointestinal atau di pembuluh darah paru.
f. Faktor lingkungan
Misalnya tinggal di daerah tinggi, tekanan udara rendah, atau lingkungan
udaranya sangat kering.
2. Sistemik
a. Kelainan darah
Kelainan darah penyebab epistaksis, misalnya trombositopenia, hemofilia,
dan leukemia. Obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin, dan fenil-
butazon dapat pula mempredisposisi epistaksis berulang.
b. Penyakit kardiovaskular
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada arteriosklerosis, ne-
fritis kronis, sirosis hepatis, sifilis, dan diabetes melitus dapat menyebabkan
epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat, sering kambuh dan
prognosisnya kurang baik.
c. Infeksi sistemik
Yang paling sering menyebabkan epistaksis adalah demam berdarah den-
gue, selain itu juga morbili, demam tifoid, dan influenza dapat juga disertai
adanya epistaksis.
d. Gangguan endokrin
Wanita hamil, menars, dan menopause sering juga dapat menimbulkan epi-
staksis.
H. RESEP
Jakarta , 22 /03/2018
A. DEFINISI
Furunkel adalah infeksi dari kelenjar sebasea atau folikel rambut hidung yang
melibatkan jaringan subkutan. Biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus.
Furunkel dapat terjadi di seluruh bagian tubuh, predileksi terbesar penyakit ini pa-
da wajah, leher, ketiak, pantat atau paha dapat juga terjadi pada mukosa tubuh
manusia, seperti mukosa hidung.
B. EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini memiliki insidensi yang rendah. Belum terdapat data spesifik yang
menunjukkan prevalensi furunkel. Furunkel umumnya terjadi paling banyak pada
anak-anak, remaja sampai dewasa muda.
C. PATOFISIOLOGI
1. Bakteri masuk melalui luka, goresan, robekan, dan iritasi pada kulit
2. Kemudian berkolonisasi di jaringan kulit
3. Setelah terjadi peradangan, area sekitar infeksi membentuk pus yang terdiri
dari sel darah putih, bakteri, dan sel kulit yang mati.
D. FAKTOR RISIKO
1. Sosio ekonomi rendah
2. Higiene personal yang buruk
3. Rinitis kronis, akibat iritasi dari sekret rongga hidung.
4. Kebiasaan mengorek rinitisbagian dalam hidung.
D. GEJALA KLINIS
1. Bisul di dalam hidung, disertai rasa nyeri dan perasaan tidak nyaman.
2. Kadang dapat disertai gejala rinitis.
3. Mula-mula nodul kecil yang mengalami peradangan pada folikel rambut,
kemudian menjadi pustule dan mengalami nekrosis dan menyembuh setelah
pus keluar. Proses nekrosis ini biasanya berlangsung selama 2 hari – 3 minggu
4. Setelah seminggu kebanyakan pecah sendiri dan sebagian dapat hilang dengan
sendirinya.
5. Gejala konstitusional yang sedang (demam, malaise, mual).
6. Terdapat satu atau lebih dan dapat kambuh kembali.
E. PEMERIKSAAN FISIK
1. Pada lubang hidung tampak furunkel. Paling sering terdapat pada lateral ves-
tibulum nasi yang mempunyai vibrissae (rambut hidung).
2. Terdapat nodul berwarna merah, hangat dan berisi pus. Supurasi terjadi
setelah kira-kira 5-7 hari dan pus dikeluarkan melalui saluran keluar tunggal
(single follicular orifices).
3. Furunkel yang pecah dan kering kemudian membentuk lubang yang kuning
keabuan ireguler pada bagian tengah dan sembuh perlahan dengan granulasi.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Furunkel biasanya menunjukkan leukositosis.
Pemeriksaan histologis dari furunkel menunjukkan proses inflamasi
dengan PMN yang banyak di dermis dan lemak subkutan.
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang dikonfirma-
si dengan pewarnaan gram dan kultur bakteri.
- Pewarnaan gram S. aureus akan menunjukkan sekelompok kokus
berwarna ungu (gram positif) bergerombol seperti anggur, dan tid-
ak bergerak.
- Kultur pada medium agar MSA (Manitot Salt Agar) selektif un-
tuk S. aureus. Bakteri ini dapat memfermentasikan manitol sehing-
ga terjadi perubahan medium agar dari warna merah menjadi
kuning.
- Kultur S. aureus pada agar darah menghasilkan koloni bakteri yang
lebar (6-8 mm), permukaan halus, sedikit cembung, dan warna
kuning keemasan
F. DIAGNOSIS BANDING
Abses Nasal
Folikulitis
G. KOMPLIKASI
1. Penyebaran infeksi ke vena fasialis, vena oftalmika, lalu ke sinus kavernosus
sehingga menyebabkan tromboflebitis sinus kavernosus.
2. Abses.
3. Vestibulitis.
H. PENATALAKSANAAN
1. Non Medikamentosa
a. Kompres hangat
b. Insisi dilakukan jika telah timbul abses
2. Medikamentosa
a. Antibiotik topikal, seperti salep Bacitrasin dan Polimiksin B
b. Antibiotik oral selama 7-10 hari, yaitu Amoksisilin 3 x 500 mg/hari, Sefaleksin
4 x 250 – 500 mg/hari, atau Eritromisin 4 x 250 – 500 mg/hari.
J. PROGNOSIS
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
K. RESEP
R/ Enbatic ung (tube 10 g) No. I tube
S. u.e.
I. DEFINISI
Corpus alienum dapat diartikan sebagai benda asing berupa benda mati atau
benda hidup. Benda asing di dalam organ ialah benda yang berasal dari luar tubuh,
yang dalam keadaan normal tidak ada. Biasanya anak kecil sering memasukan manik-
manik atau potongan mainan, karet penghapus dan sebagainya ke dalam hidung. Ka-
dang-kadang ada lalat yang bertelur di hidung, dan telurnya menetas menjadi larva.
Keadaan ini disebut myasis hidung.
V. DIAGNOSIS
Diagnosis klinis benda asing di saluran napas ditegakan berdasarkan anamnesis adan-
ya riwayat tersedak sesuatu, tiba-tiba timbul choking (rasa tercekik) gejala, tanda,
pemeriksaan fisik dengan auskultasi, palpasi dan pemeriksaan radiologik sebagai
pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti benda asing di saluran napas ditegakkan
setelah dilakukan tindakan endoskopi atas indikasi diagnostik dan terapi.
Anamnesis yang cermat perlu ditegakkan, karena kasus aspirasi benda asing
sering tidak segera dibawa ke dokter pada saat kejadian. Perlu diketahui macam benda
atau bahan yang teraspirasi dan telah berapa lama tersedak benda asing tersebut.
VI. PENATALAKSANAAN
Untuk dapat menanggulangi kasus aspirasi dengan cepat dan tepat perlu
diketahui dengan sebaik-baiknya gejala di tiap lokasi tersangkutnya benda tersebut.
Secara prinsip benda asing di saluran napas diatasi dengan pengangkatan segera
secara endoskopik dalam kondisi yang paling aman, dengan trauma yang minimum.
Kebanyakan pasien dengan aspirasi benda asing yang datang ke ahli THT (Telinga,
Hidung, Tenggorok) telah melalui fase akut, sehingga pengangkatan harus dipersiap-
kan seoptimal mungkin baik dari segi alat maupun personal yang telah terlatih.
Benda asing di hidung. Cara mengeluarkan benda asing dari dalam hidung
ialah dengan memakai pengait (haak) yang dimasukkan ke dalam hidung di bagian
atas, menyusuri atap kavum nasi sampai menyentuh nasofaring. Setelah itu pengait
diturunkan sedikit dan ditarik ke depan. Dengan cara ini benda asing itu akan ikut
terbawa ke luar. Dapat pula menggunakan cunam Nortman atau “wire loop”.
Tidaklah bijaksana mendorong benda asing dari hidung ke arah nasofaring
dengan maksud supaya masuk ke dalam mulut. Dengan cara itu benda asing dapat
terus masuk ke laring dan saluran napas bagian bawah yang menyebabkan sesak na-
pas, sehingga menimbulkan keadaan yang gawat. Pemberian antibiotik sistemik sela-
ma 5-7 hari hanya diberikan pada kasus benda asing hidung yang telah menimbulkan
infeksi hidung maupun sinus.
Resep
Pro :…
Usia :…
Berat Badan :….
20. Epistaksis Posterior
Definisi
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari cavum nasal atau naso-
faring yang keluar melalui nasal. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan suatu
gejala dari suatu penyakit. Epistaksis disebabkan oleh kelainan lokal maupun sistemik
dan sumber perdarahan yang paling sering adalah dari arteri sfenopalatina (area
Woodruff, dibawah bagian posterior konka nasalis inferior) atau arteri etmoid
posterior.
Etiologi
Trauma.
Congenital (meningioma).
Operasi hidung.
Infeksi.
Vaskuler(hypertension, littles area/Kiesselbach’s plx, Woodruff plx, posterior
degeneration).
Neoplasma (juvenile angiofibroma).
Obat-obatan (warfarin, aspirin, cocaine).
Genetik (von willebrand).
Kelainan Perdarahan (Leukemia)
Granulomatosis(Wegeners)
Idiopatik.
Kelainan Lokal
Trauma hidung (tampon hidung, benda asing, benturan pada hidung)
Alergi, rinitis kronik atau infeksi.
Iritasi zat kimia.
Pengobatan topikal hidung.
Mukosa hidung kering, dan kelembaban mukosa rendah.
Septum deviasi, atau perporasi septum.
Perdarahan polip pada septum, atau pada lateral hidung (inverted papilloma)
Neoplasms hidung atau sinus.
Tumor pada nasopharynx terutama Nasopharyngeal Angiofibroma
Vascular malformation
Kelainan Sistemik
hipertensi
Kelainan Endocrine Causes: kehamilan, pheochromocytoma
telangektasias hemorhajik Herediter
Osler Rendu Weber Syndrome
Anticoagulants.
Penyakit hati.
Kelainan darah dan pembekuan darah seperti Thrombocytopenia, ITP, Leu-
kemia, Hemophilia
Disfungsi trombosit.
Obat-obatan
Menimbulkan Trombocitopenia: kemoterapi, quinidine, preparat sulfa, H2
blockers, Anti diabetes oral,rifampin, heparin, alkohol
Pengaruh pada coagulation pathway: Warfarin, Heparin
Pengaruh pada fungsi trombosit: Aspirin, clopidogrel, NSAIDS
Herbs dapat menyebabkan perdarahan: Dong quai, Danshen, Feverfew, Garlic,
Ginger, Gingko, Ginseng
Penyebab Tersering
Kerusakan mukosa hidung- local trauma, lingkungan yang kering, benturan
pada hidung.
Trauma pada muka.
Sikatrik dan kerusakan sebelumnya karena perdarahan (reopen and bleed)
Pengobatan intranasal.
Hypertension and/or arteriosclerosis.
Pengobatan Anticoagulant.
Patofisiologi
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis
posterior. Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya sehingga
memerlukan perawatan di rumah sakit. Sering ditemukan pada pasien lebih tua
dengan hipertensi, arteriosklerosis atau penyakit kardiovaskuler lainnya.
Pada orang yang berusia menengah dan lanjut, pemeriksaan arteri kecil dan sedang
terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi jaringan
kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan yang
komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya kon-
traksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga mengakibatkan
perdarahan yang banyak dan lama. Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lo-
kasi perdarahan setelah terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan
lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau
trauma.
Diagnosis
Anamnesis dan menentukan lokasi sumber perdarahan serta menemukan
penyebabnya harus segera dilakukan. Perdarahan dari bagian anterior biasanya akibat
mengorek hidung, epistaksis idiopatik, rinitis anterior dan penyakit infeksi. Se-
dangkan dari bagian posterior atau biasanya akibat hipertensi, arteriosklerosis, fraktur
atau tumor. Lakukan pengukuran tekanan darah dan periksa faktor pembekuan darah.
Disamping pemeriksaan rutin THT, dilakukan pemeriksaan tambahan foto tengkorak
kepala, hidung dan sinus paranasal, kalau perlu CT-scan. Anamnesis yang penting
ditanyakan antara lain :
Riwayat perdarahan sebelumnya
Lokasi perdarahan
Apakah ada darah mengalir kedalam tenggorokan atau keluar dari hidung bila
pasien duduk tegak?
Lama perdarahan dan frekuensinya
Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
Hipertensi
Diabetes mellitus
Penyakit hati
Penggunaan antikoagulan
Trauma hidung yang belum lama
Tatalaksana
Epistaksis posterior lebih sulit diatasi karena biasanya perdarahan hebat dan sulit
dicari sumbernya dengan pemeriksaan rinoskopi anterior. Dapat dilakukan pemasan-
gan tampon posterior atau yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini terbuat dari kasa
padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini terikat 3 buah
benang, 2 di satu sisi dan 1 di sisi yang lain. Sebagai pengganti tampon Bellocq, dapat
digunakan kateter Folley dengan balon.
Cara pemasangan tampon Bellocq :
Pada perdarahan satu sisi masukkan tampon ke lubang hidung hingga tampak
orofaring lalu tarik keluar mulut. Pada ujung kateter di mulut, ikatkan dua utas
benang tampon Bellocq. Tarik kembali kateter melalui hidung hingga dua utas
benang tersebut tampak dan dapat ditarik
Dorong tampon dengan bantuan jari telunjuk agar dapat melewati palatum
mole ke nasofaring
Jika masih terdapat perdarahan, tambahkan tampon anterior ke kavum nasi
Kedua benang yang sudah keluar di hidung diikat pada sebuah gulungan kain
kasa di depan nares anterior
Seutas benang yang keluar dari mulut diikat secara longgar pada pipi pasien (
setelah 2-3 hari, tampon ditarik keluar melalui benang ini)
Jika perdarahan hebat dapat digunakan dua kateter masing-masing di kavum
nasi kanan dan kiri. Epistaksis posterior dapat mengakibatkan perdarahan
massif, bahkan hingga syok hipovolemik bia tidak ditangani segera
Agar epistaksis tidak berulang pasien diedukasi untuk tidak menggoyangkan
atau menggosok hidung dan tetap menjaga letak kepala agar lebih tinggi dari
jantung
Contoh Resep
Epistaksis Posterior :
- Pemasangan tampon Bellocq & Folley cateter
- Asam Traneksamat. (untuk mencegah perdarahan ulang)
- Ringer Laktat 500 ml (sebagai pengganti darah yang hilang)
1. Definisi
2. Klasifikasi
b. Faringitis kronik
c. Faringitis spesifik
3. Etiologi
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh Rhino-
virus, Adenovirus, dapat juga disebabkan oleh bakteri seperti Streptococcus ß hemo-
lyticus group A, Chlamydia, Corynebacterium diphtheriae.
c. Faringitis fungal:
Gejala umumnya sama dengan faringitis yang disebabkan etiologi
lainnya, hanya yakni nyeri tenggorokan dan nyeri saat menelan lebih
menonjol.
d. Faringitis kronik:
Sensasi yang paling sering dirasakan berupa tenggorokan yang kering
sehingga sering berusaha membersihkan tenggorokan. Dapat pula tera-
sa batuk kering dan sensasi seperti benda asing di faring. Selain
pemeriksaan faring, juga perlu dilakukan pemeriksaan hidung untuk
mengeksklusi obstruksi hidung yang mungkin menjadi penyebabnya.
5. Patofisiologi
Pada faringitis yang disebabkan infeksi, bakteri ataupun virus dapat secara
langsung menginvasi mukosa faring dan akan menyebabkan respon inflamasi
lokal. Kuman akan menginfiltrasi lapisan epitel, lalu akan mengikis epitel
sehingga jaringan limfoid superfisial bereaksi dan akan terjadi pembendungan
radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat
hiperemis, kemudian edema dan sekresi yang meningkat. Pada awalnya eksudat
bersifat serosa tapi menjadi menebal dan kemudian cenderung menjadi kering dan
dapat melekat pada dinding faring. Dengan keadaan hiperemis, pembuluh darah
dinding faring akan melebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih atau
abu-abu akan didapatkan di dalam folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa
folikel limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring posterior atau yang terletak
lebih ke lateral akan menjadi meradang dan membengkak. Virus-virus seperti
Rhinovirus dan Coronavirus dapat menyebabkan iritasi sekunder pada mukosa
faring akibat sekresi nasal.
6. Penegakan Diagnosa
a. Anamnesa
b. Pemeriksaan fisik
i. Faringitis virus
Pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis, eksudat (virus
influenza, coxsachievirus, cytomegalovirus tidak menghasilkan ek-
sudat). Pada coxsachievirus dapat menimbulkan lesi vesikular di
orofaring dan lesi.
ii. Faringitis bakterial
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis
dan terdapat eksudat dipermukaannya. Beberapa hari kemudian timbul
bercak petechiae pada palatum dan faring. Kadang ditemukan kelenjar
limfa leher anterior membesar, kenyal dan nyeri pada penekanan.
iii. Faringitis fungal
Pada pemeriksaan fisik tampak plak putih didaerah orofaring dan
mukosa faring tampak hiperemis.
c. Pemeriksaan Penunjang
7. Penatalaksanaan
a. Non Medikamentosa
- Istirahat cukup
- Minum air putih yang cukup
- Berkumur dengan air yang hangat
b. Medikamentosa
- Faringitis viral analgetika dapat diberikan seperlunya seperti
asetaminofen atau ibuprofen. Pada infeksi herpes simpleks dapat
diberikan antivirus metisoprinol 60-100 mg/kg pada dewasa dan pa-
da anak kurang dari 5 tahun diberikan 50 mg/kg dibagi dalam 4-6
kali pemberian.
- Terapi untuk faringitis bakterial diberikan antibiotik terutama bila
diduga penyebab faringitis.
- Dapat diberikan golonga Penicilin (amoksisilin 500 mg).
- jika pasien alergi terhadap penisilin dapat diberikan eritromisin 500
mg/hari.
- Faringitis fungal nistatin 100.000-400.000 2 kali sehari. Dapat
ditambahkan terapi suportif berupa analgetika.
8. Komplikasi
Endokarditis
Meningitis
Otitis Media
Pneumonia
Abses peritonsil
Limfadenitis servikal
Demam rematik
Glomerulonefritisi post-streptokokus
Resep
Pro : Tn. X
Usia :
BB :
22.Tonsilitis
A. Definisi
Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada
tenggorokan terutama pada usia muda. Penyakit ini terjadi disebabkan pera-
dangan pada tonsil oleh karena kegagalan atau ketidaksesuaian pemberian an-
tibiotik pada penderita tonsilitis akut (Palandeng, Tumbel, Dehoop, 2014).
Tonsilitis kronis timbul karena rangsangan yang menahun dari rokok, bebera-
pa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik,
dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat (Soepardi et al.,2007).
B. Klasifikasi Tonsilitis
Ada tiga jenis utama dari tonsilitis, yaitu:
Tonsilitis akut - terjadi ketika tonsilitis disebabkan oleh salah satu bak-
teri atau virus. Infeksi ini biasanya sembuh sendiri (Eunice, 2014).
Subakut tonsilitis - terjadi ketika tonsilitis disebabkan oleh Actinomy-
ces bakteri - organisme anaerob yang bertanggungjawab untuk
keadaan suppuratif pada tahap infeksi. Infeksi ini bisa bertahan antara
tiga minggu dan tiga bulan (Eunice, 2014).
Tonsilitis kronis - terjadi ketika tonsilitis disebabkan oleh infeksi bak-
teri yang dapat bertahan jika tidak diobati (Eunice, 2014).
D. Patofisiologi
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa
juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan
limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga
kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proses ber-
jalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan
perlekatan dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini dis-
ertai dengan pembesaran kelenjar limfa dengan submandibula (Soepardi,
2007). Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang ter-
lepas. Akibat dari proses ini akan terjadi pembengkakan atau pembesaran ton-
sil ini, nyeri menelan, disfagia. Kadang apabila terjadi pembesaran melebihi
uvula dapat menyebabkan kesulitan bernafas. Apabila kedua tonsil bertemu
pada garis tengah yang disebut kissing tonsils dapat terjadi penyumbatan pen-
galiran udara dan makanan. Komplikasi yang sering terjadi akibat disfagia dan
nyeri saat menelan, penderita akan mengalami malnutrisi yang ditandai
dengan gangguan tumbuh kembang, malaise, mudah mengantuk (Stephanie,
2011). Pembesaran adenoid mungkin dapat menghambat ruang samping
belakang hidung yang membuat kerusakan lewat udara dari hidung ke
tenggorokan, sehingga akan bernafas melalui mulut. Bila bernafas terus lewat
mulut maka mukosa membrane dari orofaring menjadi kering dan teriritasi,
adenoid yang mendekati tuba eustachus dapat meyumbat saluran mengakibat-
kan berkembangnya otitis media (Reeves, Charlene, 2001 ).
E. Gejala Klinis
Menurut Effiaty Arsyad Soepardi, et al, (2007),yang merupakan gejala klinis:
Gejala lokal, yang bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit
tenggorok, sulit sampai sakit menelan.
Gejala sistemis, seperti rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri
kepala, demam subfebris, nyeri otot dan persendian.
Gejala klinis, seperti tonsil dengan debris di kriptenya (tonsilitis fo-
likularis kronis), edema atau hipertrofi tonsil (tonsilitis parenkimatosa
kronis), tonsil fibrotik dan kecil (tonsilitis fibrotik kronis), plika ton-
silaris anterior hiperemis dan pembengkakan kelenjar limfe regional.
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaanyang
tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kriptus terisi oleh detritus. Ra-
sa ada yang mengganjal di tenggorokan, dirasakan kering di
tenggorokan dan nafas berbau.
Menurut Adams ( 2001 ) yang merupakan gejala klinis pada pemeriksaan, ter-
dapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis Kronis yang mungkin tam-
pak, yakni:
Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke
jaringan sekitar, kripte yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang
purulen atau seperti keju.
Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang
seperti terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis,
kripte yang melebar dan ditutup eksudat yang purulen.
Menurut (Adam et al., 2000; Sasaki, 2008) yang merupakan gejala klinis:
Sakit kepala
Malaise
Demam
Sakit saat menelan (Disfagia)
Halitosis
Kurangnya nafsu makan
Mual dan muntah
Pembesaran atau terjadinya tenderness pada kelenjar getah bening
servikal serta sakit telinga disebabkan persarafan yang sama kepada
kedua telinga serta tenggorokan
F. Diagnosis
Adapun tahapan menuju diagnosis tonsilitis kronis adalah sebagai berikut:
1. Anamnesa
Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting karena hampir 50% di-
agnosa dapat ditegakkan dari anamnesa saja. Penderita sering datang
dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit waktu
menelan, nafas bau busuk, malaise, sakit pada sendi, kadang-kadang ada
demam dan nyeri pada leher.
G. Pemeriksaan Penunjang
Display Test (RADT) dikembangkan untuk identifikasi streptokokus
Grup A dengan melakukan apusan tenggorokan. Meskipun tes ini lebih mahal
daripada kultur agar darah, tesnya memberikan hasil yang lebih cepat. RADT
memiliki akurasi 93% dan spesifisitas > 95% dibandingkan dengan kultur
darah. Hasil tes false positive jarang berlaku. Identifikasi yang cepat dan pen-
gobatan pasien dapat mengurangi resiko penyebaran tonsilitis yang disebab-
kan oleh streptokokus grup A dan terapi yang tepat dapat diperkenalkan
(Bisno et al., 2002).
Suatu penelitian dilakukan di Iraq untuk membandingkan antara swab
tenggorokan dan kultur tonsil core pada tonsilitis kronis. Patogen terdeteksi
sebanyak 41% pada swab dibandingkan 90,4% di tonsil core, sedangkan flora
normal yang terdeteksi adalah sebanyak 58,9% pada swab dibandingkan
9,59% di tonsil core. [Hasil dari penelitian ini meyokong hasil dari penelitian
Kurien, et al., (2000)], yang menemukan patogen pada 55% dari swab
tenggorokan dan 72,5% dari kultur core (Yousef et al.,2014 ).
H. Penatalaksanaan
Medikamentosa
Penatalaksanaan tonsilitis kronis dapat diatasi dengan menjaga higiene
mulut yang baik, obat kumur, obat hisap dan tonsilektomi jika terapi kon-
servatif tidak memberikan hasil.Pengobatan tonsilitis kronis dengan
menggunakan antibiotik oral perlu diberikan selama sekurangnya 10
hari.Antibiotik yang dapat diberikan adalah golongan penisilin atau sulfon-
amida, namun bila terdapat alergi penisilin dapat diberikan eritromisin atau
klindamisin (Soepardi et al., 2007). Penggunaan terapi antibiotika amat dis-
arankan pada pasien tonsilitis kronis dengan penyakit kardiovaskular
(Shishegar dan Ashraf, 2014). Obstruksi jalan nafas harus ditatalaksana
dengan memasang nasal airway device, diberi kortikosteroid secara in-
travena dan diadministrasi humidified oxygen. Pasien harus diobservasi se-
hingga terbebas dari obstruksi jalan nafas (Udayan et al., 2014).
RESEP :
dr. Melia Fadiansari Suriansyah
Jl. Musi No.22, Mataram-NTB
SIP: 1361050163
Jakarta, 21 Maret 2018
R/ Povidone Iodine 1% garg No. I lag
S 3 dd garg p.r.n
A. Definisi
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan
ikat dengan kriptus di dalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringal (ade-
noid), tonsil palatina dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran
yang disebut cincin Waldeyer. Kedua tonsil terdiri juga atas jaringan limfe, letaknya
di antara lengkung langit-langit dan mendapat persediaan limfosit yang melimpah di
dalam cairan yang ada pada permukaan dalam sel-sel tonsil.
Tonsilitis merupakan inflamasi atau pembengkakan akut pada tonsil atau amandel.
Tonsilitis diferi merupakan tonsilitis yang disebabkan kuman Coryne bacterium diph-
teriae. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak-anak berusia kurang dari 10 ta-
hunan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun.
Difteri adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae.
Kuman ini menghasilkan toksin yang bisa membahayakan atau menghancurkan
jaringan dan organ tubuh manusia. Salah satu jenis difteri menyerang tenggorokan
dan tonsil. Tipe lain, yang lebih umum di daerah tropis, dapat menyebabkan ulkus
pada kulit.1
Difteria mempengaruhi orang dari segala usia, namun paling sering menyerang
anak yang tidak diimunisasi. Di daerah beriklim sedang, difteri cenderung terjadi
selama bulan-bulan dingin. Pada tahun 2000, 30.000 kasus dan 3000 kematian difteri
dilaporkan di seluruh dunia.1 Difteri dapat menyebabkan infeksi nasofaring, yang
dapat menyebabkan kesulitan bernapas dan kematian.1
Difteri ditularkan dari orang ke orang melalui kontak fisik dan kontak pernapasan
yang dekat. Difteri sangat menular melalui droplet dan penularan dapat terjadi tidak
hanya dari penderita saja, namun juga dari karier (pembawa) baik anak maupun de-
wasa yang tampak sehat kepada orang-orang di sekitarnya.2
Kejadian luar biasa yang terjadi di Jawa Timur dan secara sporadik di daerah lain
(Pontianak dan Banjarmasin) merupakan indikator bahwa program imunisasi nasional
tidak mencapai sasaran. Oleh karena itu, dalam menghadapi dan mengatasi masalah
difteri, kita harus memperbaiki pelaksanaan program imunisasi secara menyeluruh.2
B. Etiologi
Penyebab tonsilitis difteri adalah kuman Corynebacterium diphteriae, yang terma-
suk bakteri gram positif yang tidak bergerak, tidak membentuk spora dan berbentuk
batang pleomorfis serta berkembang pada saluran nafas bagian atas antara lain
hidung, faring dan laring.
C. Patofisiologi
Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada permukaan
mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke
sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan
darah.
Toksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak ta-
han panas/cahaya, mempunyai dua fragmen yaitu fragmen A (aminoterminal) dan
fragmen B (carboxyterminal) yang disatukan dengan ikatan disulfida. Fragmen B di-
perlukan untuk melekatkan molekul toksin yang teraktifasi pada reseptor sel pejamu
yang sensitif. Perlekatan ini mutlak agar fragmen A dapat melakukan penetrasi ke
dalam sel. Kedua fragmen ini penting dalam menimbulkan efek toksik pada sel.
Reseptor-reseptor toksin diphtheria pada membran sel terkumpul dalam suatu
coated pit dan toksin mengadakan penetrasi dengan cara endositosis. Proses ini
memungkinkan toksin mencapai bagian dalam sel. Selanjutnya endosom yang
mengalami asidifikasi secara alamiah ini dan mengandung toksin memudahkan toksin
untuk melalui membran endosom ke sitosol. Efek toksik pada jaringan tubuh manusia
adalah hambatan pembentukan protein dalam sel.
Toksin diphtheria mula mula menempel pada membran sel dengan bantuan
fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivasi
enzim translokase melalui. Hal ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan se-
hingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan
mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi in-
flamasi lokal yang bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak ek-
sudat yang mula-mula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi
semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang
melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkan-
dung. selain fibrin, membran juga terdiri dari sel- sel radang, eritrosit dan sel-sel epi-
tel. Bila dipaksa melepas membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran
akan terlepas sendiri dalam periode penyembuhan.
Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya Streptococcus
pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan nafas.
Gangguanpernafasan/suffokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring
atau cabang- cabang tracheobronchial. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa
mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal.
Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang ter-
absorbsi pada sel, tetapi tidak bila telah terjadi penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin
terfiksasi dalam sel, terdapat periode laten yang bervariasi sebelum timbulnya mani-
festasi klinik. Miokardiopati toksik biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi
saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologi yang menonjol
adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jarin-
gan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot
dan sistem konduksi. Bila penderita tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis
interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput
mielin. Nekrosis hati bisa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak
perdarahan adrenal dan nekrosis tubuler akut pada ginjal.
D. Manifestasi klinis
Pada mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah terjadi
membran putih/keabu-abuan. Dalam 24 jam membran dapat menjalar dan menutupi
tonsil, palatum molle, uvula. Mula-mula membran tipis, putih dan berselaput yang
segera menjadi tebal, abu-abu/hitam tergantung jumlah kapiler yang berdilatasi dan
masuknya darah ke dalam eksudat.
Membran mempunyai batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan dibawahnya.
Sehingga sukar untuk diangkat, sehingga bila diangkat secara paksa menimbulkan
perdarahan. Jaringan yang tidak ada membran biasanya tidak membengkak. Pada
difteri sedang biasanya proses yang terjadi akan menurun pada hari-hari 5-6,
walaupun antitoksin tidak diberikan.
Gambaran klinik dibagi dalam tiga golongan yaitu :
Gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu demam yang biasanya
subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat, serta
keluhan nyeri menelan
Gejala lokal, yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor
yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk semu. Membran ini dapat
meluas ke palatum molle, uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus dan dapat
menyumbat saluran nafas. Membran semu ini melekat erat pada dasarnya,
sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini
bila infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian
besarnya sehingga leher menyerupai sapi (bullneck) atau disebut juga
Burgermeester’s hals.
Gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi
miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai saraf kranial menyebabkan
kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernafasan dan pada ginjal menimbulkan
albuminuria.
F. Diagnosis
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah membran
semu dan didapatkan kuman Corynebacterum diphteriae.
Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody
technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C,
diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan dengan tes
toksinogenesitas secara vivo (marmut) dan vitro (tes Elek). Cara Polymerase Chain
Reaction (PCR) dapat membantu menegakkan diagnosis difteri dengan cepat, namun
pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk
penggunaan secara luas.
G. Penatalaksanaan
1. Isolasi dan Karantina :
Penderita diisolasi sampai biakan negatif tiga kali berturut-turut setelah masa
akut terlampaui. Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan berikut
terlaksana :
a. Biakan hidung dan tenggorok
b. Tes Schick (tes kerentanan terhadap diphtheria)
c. Diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan toksoid
diphtheria.
Bila kultur (-)/Schick test (-) : bebas isolasi
Bila kultur (+)/Schick test (-) : pengobatan carrier
Bila kultur (+)/Schick test (+)/gejala (-) : anti toksin diphtheria + penisilin
Bila kultur (-)/Shick test (+) : toksoid (imunisasi aktif).
2. Pengobatan
Tujuan mengobati penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin yang be-
lum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta men-
gobati infeksi penyerta dan penyulit diphtheria.
Apabila seseorang diduga menderita difteri oleh dokter, maka pengobatan ha-
rus segera dilakukan tanpa menunggu hasil pemeriksaan penunjang. Selain itu,
kontak dekat, seperti anggota keluarga, kontak rumah tangga, dan karier harus
menerima pengobatan profilaksis tanpa memandang status imunisasi atau usia,
yaitu pengobatan dengan eritromisin atau penisilin selama 14 hari dan kultur pas-
ca pengobatan untuk mengkonfirmasi ketiadaan bakteri.Pengobatan yang paling
efektif yaitu pada tahap awal penyakit, untuk mengurangi penularan, mengobati
infeksi, dan mencegah perjalanan infeksi lebih jauh
2.1 Umum
Pasien dengan difteri dirawat di rumah sakit selama pemberian antitoxin
diberikan. Selama perawatan, yang biasanya dilakukan adalah:
Perawatan tirah baring selama 2 minggu dalam ruang isolasi sampai setid-
aknya 2 kultur berturut-turut setelah pengobatan selesai dengan jarak 24 jam
memberikan hasil negatif
Jamin intake cairan dan makanan. Bentuk makanan disesuaikan dengan toler-
ansi, untuk hal ini dapat diberikan makanan lunak, saring/cair, bila perlu sonde
lambung jika ada kesukaran menelan (terutama pada paralisis palatum molle
dan otot-otot faring).
Bila ada tanda-tanda obstruksi jalan nafas perbaiki segera. Berikan oksigen
atau lakukan tindakan trakeostomi bila diperlukan.
Monitoring jantung dan organ-organ vital lain.
2.2 Medikamentosa
1. Anti Diphteria Serum(ADS)
Antitoksin difteri adalah preparat steril yang mengandung globulin bersifat an-
titoksin spesifik yang memiliki kekuatan menetralisir toksin yang dibentuk oleh
Corynebacterium diphtheriae. Antitoxin ini dibuat dari plasma kuda yang sehat,
yang telah terimunisasi dengan suntikan toksin difteri.
Antitoksin difteri tersedia dalam bentuk vial 5 ml (10.000 IU) dan 10 ml
(20.000 IU), tiap ml mengandung 2000 IU antitoxin difteri dan 0,25% fenol v/v.
Untuk pencegahan, dosis untuk anak-anak adalah 1000-3000 IU, sedangkan untuk
dewasa 3000-5000 IU. Untuk pengobatan, dosis tergantung usia, berat gejala, dan
lokasi membran. Pada Difteria Tonsil biasanya diberikan 40.000 IU Intramuscu-
lar/Intravena.
Serum antidifteri merupakan serum heterolog, maka dapat menimbulkan
reaksi anafilaktik. Untuk mencegah hal tersebut, maka dilakukan hal-hal berikut:
Pengawasan tanda vital dan reaksi lainnya seperti perluasan membran, selama
dan sesudah pemberian terutama sampai 2 jam setelah pemberian serum.
Adrenalin 1:1000 dalam dalam semprit harus selalu disediakan untuk me-
nanggulangi reaksi anafilaktik (dosis 0,01 cc/kg BB intramuskuler, maksimal
diulang tiga kali dengan interval 5-15 menit).
Sarana dan penanggulangan reaksi anafilaktik harus tersedia.
Uji kepekaan, yang terdiri dari :
o Tes kulit
Anti difteri serum 0,1 cc diencerkan dengan perbandingan 1:10 dalam NaCl
0,9% disuntikkan intrakutan. Hasilnya dibaca setelah 15-20 menit. Dianggap
positif bila teraba indurasi dengan diameter paling sedikit 10 mm.
o Tes mata
Satu tetes anti difteri serum yang telah diencerkan dengan perbandingan 1:10
dalam NaCl 0,9% diteteskan pada salah satu kelopak mata bagian bawah. Sa-
tu tetes NaCl 0,9% digunakan sebagai kontras pada mata lainnya untuk per-
bandingan. Hasilnya dilihat setelah 15 – 20 menit kemudian. Dianggap positif
bila ada tanda konjungtivitis (merah, bengkak, lakrimasi). Apabila terjadi
konjungtivitis diobati dengan adrenalin 1:1000. Bila salah satu tes kepekaan
positif, maka ADS tidak diberikan secara sekaligus (single dose) tetapi secara
bertahap, yaitu dengan dosis yang ditingkatkan secara perlahan-lahan (desen-
sitisasi) dengan interval 20 menit. ADS diencerkan dalam NaCl 0,9% dengan
dosis sebagai berikut:
Efek samping yang bisa terjadi pada pemberian antitoksin ini adalah :
1. Reaksi anafilaktik jarang terjadi, tetapi bila ada timbulnya dengan segera
atau dalam waktu beberapa jam sesudah suntikan.
2. Serum Sickness dapat timbul 7 - 10 hari setelah suntikan dan dapat
berupa kenaikan suhu, gatal-gatal, eksantema, sesak nafas dan gejala alergi
lainnya. Reaksi ini jarang terjadi bila menggunakan serum yang telah di-
murnikan.
3. Demam dengan menggigil yang biasanya timbul setelah pemberian serum
secara intravena.
4. Rasa nyeri pada tempat suntikan yang biasanya timbul pada penyuntikan
serum dalam jumlah besar. Reaksi ini biasanya terjadi dalam 24 jam.
2. Antimikrobal
Terapi antimikroba diindikasikan untuk menghentikan produksi toksin,
mengobati infeksi lokal, dan mencegah penularan. C. diphtheriae biasanya rent-
an terhadap berbagai agen in vitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin,
rifampisin, dan tetrasiklin. Resistensi terhadap eritromisin sering terjadi karena
obat tersebut telah digunakan secara luas. Eritromisin diberikan pada pasien
dengan alergi penisilin. Eritromisin sedikit lebih unggul dari penisilin untuk
pemberantasan infeksi nasofaring. Terapi antibiotik bukanlah pengganti untuk
terapi antitoksin. Pemberantasan bakteri harus didokumentasikan oleh setid-
aknya 2 kultur berturut-turut diperoleh 24 jam setelah selesai terapi. Pengobatan
dengan eritromisin diulang jika hasil kultur tetap positif.
Dosis:
Penisilin prokain 25.000-50.000 IU/kgBB/hari intramuskuler, selama 14 hari
atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut negatif.
Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, per oral, tiap 6 jam selama
14 hari.
Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m. atau i.v. , dibagi
dalam 4 dosis, diberikan selama 14 hari.
3. Koritikosteroid
Kortikosteroid 1,2 mg/kgBB perhari dapat diberikan kepada penderita
dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas dan bila terdapat penyulit
miokardiopati toksik.
4. Simtomatis
Dapat diberikan antipiretik untuk menurunkan demam, jika pasien
anak gelisah berikansedatif, dan apabila batuk bisa diberikan antitusif
2. http://www.idai.or.id/about-idai/idai-statement/pendapat-ikatan-dokter-
anak-indonesia-kejadian-luar-biasa-difteri
2. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi kelima
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2004.
T Tumor primer
M1 Metastase jauh
Stadium I : T1 No dan Mo
Stadium II : T2 No dan Mo
Stadium III : T1/T2/T3 dan N1 dan Mo atau T3 dan No dan Mo
Stadium IV : T4 dan No/N1 dan Mo atau T1/T2/T3/T4 dan N2/N3 dan
Mo atau T1/T2/T3/t4 dan No/N1/N3/N4 dan M1
Terjadinya peradangan pada laring bisa disebabkan oleh beberapa faktor, anta-
ra lain:
Kerusakan pada pita suara. Getaran pada organ tersebut yang melebihi batas
ketahanan, misalnya akibat penderita berteriak terlalu keras atau bernyanyi
dengan suara yang tinggi dapat menyebabkan laringitis. Selain itu, kerusakan pita
suara juga dapat terjadi akibat batuk berkepanjangan dan cedera saat penderita
melakukan aktivitas fisik atau akibat kecelakaan.
Infeksi virus, bakteri, dan jamur. Laringitis pada umumnya disebabkan oleh
infeksi virus influenza (tipe A dan B), parainfluenza (tipe 1, 2, 3), rhinovirus, dan
adenovirus. Penyebab lain adalah Haemofilus influenzae, Branhamella
catarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus dan Streptococcus
pneumonia. Sedangkan dari jenis jamur adalah jamur Candida yang juga dapat
menyebabkan sariawan. Infeksi jamur dan bakteri pada kasus laringitis lebih ja-
rang terjadi dibandingkan infeksi virus. Infeksi jamur rentan dialami oleh orang-
orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah, misalnya akibat efek
samping obat kortikosteroid, kemoterapi, atau akibat penyakit HIV/AIDS.
Reaksi alergi terhadap suatu zat kimia atau paparan debu.
Naiknya asam lambung ke tenggorokan lewat kerongkongan pada kasus pen-
yakit refluks gastroesofageal (GERD). Jika asam lambung mencapai tenggorokan
maka risiko untuk terjadinya iritasi laring cukup tinggi.
Mengering dan teriritasinya laring akibat merokok dan konsumsi minuman be-
ralkohol. Sama seperti kasus GERD, peluang terjadinya infeksi pada laring yang
teriritasi juga cukup tinggi.
Penggunaan obat kortikosteroid hirup, biasanya obat untuk asma.
Penatalaksaan Laringitis:
Umumnya penderita penyakit ini tidak perlu masuk rumah sakit, namun ada indikasi
masuk rumah sakit apabila :
• Usia penderita dibawah 3 tahun
• Tampak toksik, sianosis, dehidrasi atau exhausted
• Diagnosis penderita masih belum jelas
• Perawatan dirumah kurang memadai
Terapi :
Non Medikamentosa
1. Untuk mengurangi ketegangan pada pita suara yang sedang mengalami radang
dan mempercepat proses penyembuhan, bicaralah dengan suara perlahan atau bila
perlu jangan berbicara terlebih dahulu.
2. Minumlah banyak air putih untuk mencegah dehidrasi. Hindari mengonsumsi mi-
numan yang mengandung kafein dan alkohol.
3. Hindari paparan debu.
4. Jangan merokok.
5. Jika pasien sesak dapat diberikan O2 2 l/ menit
6. Pengisapan lendir dari tenggorok atau laring, bila penatalaksanaan ini tidak
berhasil maka dapat dilakukan endotrakeal atau trakeostomi bila sudah terjadi
obstruksi jalan nafas.
Medikamentosa
1. Terapi medikamentosa dapat berupa simptomimetik, yaitu apabila terdapat gejala
sakit kepala yang mengganggu atau bahkan demam, dapat berikan analgetik sep-
erti ibuprofen atau paracetamol.
2. Gejala hidung tersumbat dapat diberikan dekongestan nasal seperti
fenilpropanolamin (PPA), efedrin, pseudoefedrin, napasolin.
3. Kortikosteroid dapat diberikan untuk menurunkan inflamasi selama 1-2 hari.
4. Apabila terbukti laryngitis yang disebabkan oleh bakteri dapat diberikan
antibiotika yang adekuat
Contoh Resep:
Pro : Tn. X
Umur : ...... thn
26. Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)
Hotland Sitorus 1361050205
A. DEFINISI
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) termasuk vertigo perifer
karena kelainannya terdapat pada telinga dalam, yaitu pada sistem vestibularis pe-
rifer.1 Untuk itu perlu diketahui definisi dari vertigo. Vertigo berasal dari bahasa
yang dinyatakan sebagai pusing, pening, sempoyangan, rasa seperti melayang atau
oleh banyak penulis, tetapi yang paling tua dan sampai sekarang banyak dipakai
adalah yang dikemukakan oleh Gowers pada tahun 1893 yaitu setiap gerakan atau
rasa (berputar) tubuh penderita atau obyek-obyek di sekitar penderita yang ber-
berapa macam yaitu vertigo spontan, vertigo posisi, vertigo kalori. Gejala yang
dikeluhkan pada BPPV adalah vertigo yang datang tiba-tiba pada perubahan po-
sisi kepala.3
BPPV pertama kali dikemukakan oleh Barany pada tahun 1921. BPPV
ialah gangguan keseimbangan perifer yang timbul bila kepala mengambil sikap
tertentu atau perubahan posisi tertentu. BPPV merupakan kelainan perifer yang
paling sering ditemukan, yaitu sekitar 30%. Pada penyakit ini, terlebih bila telinga
yang terlibat ditempatkan di sebelah bawah, menimbulkan vertigo yang berat yang
berlangsung singkat. Sindrom ini ditandai dengan vertigo yang berat dan disertai
Penyebab paling umum BPPV pada usia di bawah 50 tahun adalah cedera
kepala. Pada usia lanjut, penyebab paling umum adalah degenerasi sistem vestibu-
lar dalam telinga. BPPV meningkat dengan semakin bertambahnya usia (Froeling
adalah kombinasi atau salah satu diantara terlalu lama berbaring dalam keadaan
terlentang, atau trauma telinga bagian dalam ketika operasi (Atacan et al 2001).
BPPV juga sering terjadi pada orang yang berada dalam pengobatan dengan obat
ototoxic seperti gentamisin (Black et al, 2004). Setengah dari seluruh kasus BPPV
yak BPPV yang timbul spontan, disebabkan oleh kelainan di otokonial berupa de-
posit yang berada di kupula bejana semisirkular posterior. Deposit ini menyebab-
kan bejana semisirkular jadi sensitive terhadap perubahan gravitasi yang menyer-
tai keadaan posisi kepala yang berubah. Penyebab lain yang signifikan meski ja-
rang adalah neuritis vestibularis akibat infeksi virus di telinga, str oke minor
yang melibatkan sindrom AICA, serta penyakit meniere. Bilateral BPPV lebih
vestibular, sistem proprioseptik, dan sistem optik. Sistem vestibular meliputi labi-
rin (aparatus vestibularis), nervus vestibularis dan vestibular sentral. Labirin ter-
letak dalam pars petrosa os temporalis dan dibagi atas koklea (alat pendengaran)
dan aparatus vestibularis (alat keseimbangan). Labirin yang merupakan seri salu-
ran, terdiri atas labirin membran yang berisi endolimfe dan labirin tulang berisi
perilimfe, dimana kedua cairan ini mempunyai komposisi kimia berbeda dan tidak
saling berhubungan.7
Aparatus vestibularis terdiri atas satu pasang organ otolith dan tiga pasang
kanalis semisirkularis. Otolith terbagi atas sepasang kantong yang disebut sakulus
atau makula sebagai mekanoreseptor khusus. Makula terdiri dari sel-sel rambut
dan sel penyokong. Kanalis semisirkularis adalah saluran labirin tulang yang beri-
si perilimfe, sedang duktus semisirkularis adalah saluran labirin selaput berisi en-
dalam bagian petrosus os tempolaris dan terdiri dari utrikulus, sakulus, dan tiga
kanalis semisirkularis. Labirin membranosa terpisah dari labirin tulang oleh rong-
ga kecil yang terisi dengan perilimf; organ membranosa itu sendiri berisi endo-
limf. Urtikulus, sakulus, dan bagian kanalis semisirkularis yang melebar (ampula)
bangan. 9
Gambar 1. Organ pendengaran dan keseimbangan
lateral terletak di bidang horizontal, dan dua kanalis semisirkularis lainnya tegak lurus
dengannya dan satu sama lain. Kanalis semisirkularis posterior sejajar dengan aksis os
aksis os petrosus terletak pada sudut 450 terhadap garis tengah, kanalis semisirkularis
anterior satu telinga pararel dengan kanalis semisirkularis posterior telinga sisi
lus. Setiap kanalis semisirkularis melebar pada salah satu ujungnya untuk membentuk
ampula, yang berisi organ reseptor sistem vestibular, krista ampularis. Rambut-
rambut sensorik krista tertanam pada salah satu ujung massa gelatinosa yangmeman-
jang yang disebut kupula, yang tidak mengandung otolit. Pergerakan endolimf di kan-
dan makula sakularis. Makula utrikulus terletak di dasar utrikulus paralel dengan da-
sar tengkorak, dan makula sakularis terletak secara vertikal di dinding medial sakulus.
kalsium karbonat, disebut statolit. Kristal tersebut ditopang oleh sel-sel penunjang. 9
terhadap ruangan, ke batang otak. Struktur ini juga memberikan pengaruh pada tonus
otot. Implus yang berasal dari reseptor labirin membentuk bagian aferen lengkung
refleks yang berfungsi untuk mengkoordinasikan otot ekstraokular, leher, dan tubuh
sehingga keseimbangan tetap terjaga pada setiap posisi dan setiap jenis pergerakan
kepala. 9
mengandung sel-sel bipolar yang prosesus perifernya menerima input dari sel resptor
di organ vestibular, dan yang proseus sentral membentuk nervus vestibularis. Nervus
ini bergabung dengan nervus kokhlearis, yang kemudian melintasi kanalis auditorius
Anatomi hubungan aferen dan eferen nuklei vestibularis saat ini belum
diketahui secara pasti. Sebagian serabut yang berasal dari nervus vestibularis
bali melalui nervus vstibularis ke sel-sel rambut labirin, tempat mereka mengeluarkan
efek regulasi inhibitorik utama. Selain itu, arkhi serebelum mengandung serabut-
serabut ordo kedua dari nukleus vestibularis superior, medialis, dan inferior dan
nalis.
laris lateralis (Deiters) dan berjalan turun pada sisi ipsilateral di dalam fasikulus ante-
rior ke motor neuron ɤ dan α medula spinalis, turun hingga ke level sakral. Impuls
yang dibawa di traktus vestibularis lateralis berfungsi untuk memfasilitasi refleks ek-
stensor dan mempertahankan tingkat tonus otot seluruh tubuh yang diperlukan untuk
keseimbangan.
alis bilateral dan berjalan turun di dalamnya ke sel-sel kornu anterius medula spinalis
bagian atas. Serabut-serabut ini berjalan turun di bagian anterior medula spinalis
mendistribusikan dirinya ke sel-sel kornu anterior setinggi servikal dan torakal bagian
atas. Serabut ini mempengaruhi tonus otot leher sebagai respon terhadap posisi kepala
Alur perjalanan informasi berkaitan dengan fungsi AKT melewati beberapa tahapan
1. Tahap Transduksi
Rangsangan gerakan diubah reseptor (R) vestibuler (hair cell), R. visus (rod
dan cone cells) dan R proprioseptik, menjadi impuls saraf. Dari ketiga R ter-
ke kinocilia (rambut sel terbesar) maka timbul influks ion K dari endolymf ke
dalam hari cells yang selanjutnya akan mengembangkan potensial aksi. Aki-
batnya kanal ion Ca (kalsium) akan terbuka dan timbul ion masuk ke dalam
hair cells. Influks ion Ca bersama potensial aksi merangsangn pelepasan neu-
pusat AKT.
2. Tahap Transmisi
Impuls yang dikirim dari haircells dihantarkan oleh saraf aferen vestibularis
3. Tahap Modulasi
Modulasi dilakukan oleh beberapa struktur di otak yang diduga pusat AKT,
antara lain
- Inti vestibularis
- Vestibulo-serebelum
- Hiptotalamus
- Formasio retikularis
disensitisasi. Sebaliknya, bila bersifat biasa saja maka responsnya adalah ha-
bituasi.
4. Tahap Persepsi
Yang berguna untuk alat keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh respetor
vestibuler visual dan propioseptik. Dan ketiga jenis reseptor tersebut, reseptor
vestibuler yang punya kontribusi paling besar, yaitu lebih dari 50% disusul
kemudian reseptor visual dan yang paling kecil konstibusinya adalah propi-
oseptik.11
Informasi berlangusng intensif bila ada gerakan atau perubahan gerakan dari
kepala atau tubuh, akibat gerakan ini menimbulkan perpindahan cairan endo-
limfe di labirin dan selanjutnya bulu (cilia) dari sel rambut (hair cells) akan
hingga ion Kalsium menerobos masuk kedalam sel (influx). Influx Ca akan
tator (dalam hal ini glutamat) yang selanjutnya akan meneruskan impul senso-
ris ini lewat saraf aferen (vestibularis) ke pusat-pusat alat keseimbangan tubuh
di otak. 9
selain merupakan pusat integrasi kedua juga diduga merupakan pusat kompar-
asi informasi yang sedang berlangsung dengan informasi gerakan yang sudah
lewat, oleh karena memori gerakan yang pernah dialami masa lalu diduga ter-
simpan di vestibuloserebeli. Selain serebellum, informasi tentang gerakan juga
D. PATOFISIOLOGI BPPV
1. Hipotesa kupulotiasis
Hipotesa kanalitiasis
Hipotesa Kupulotiasis
bawah makula urtikulus. Debris ini menyebabkannya lebih berat daripada en-
bahan arah gravitasi. Bilamana pasien berubah posisi dari duduk ke berbaring
dengan kepala tergantung, seperti pada tes Dix Hallpike, kanalis posterior
berubah posisi dari inferior ke superior, kupula bergerak secara utrikulofugal,
vertigo.
lepas dan masuk ke dalam endolimfe, hal ini yang menyebabkan timbulnya fa-
telinga yang berada pada bidang kanalis posterior telinga yang berada pada
Hipotesa Kanalitiasis
bahan posisi kepala debris tersebut akan bergerak ke posisi paling bawah, en-
kepala digerakkan tertentu debris akan ke luar dari kanalis posterior ke dalam
menghilang.14
E. MANIFESTASI KLINIS
Pasien BPPV akan mengeluh jika kepala berubah pada suatu keadaan ter-
tentu. Pasien akan merasa berputar atau merasa sekelilingnya berputar jika akan
ke tempat tidur, berguling dari satu sisi ke sisi lainnya, bangkit dari tempat tidur,
ertai rasa mual dan seringkali pasien merasa cemas. Penderita biasanya dapat
Vertigo tidak akan terjadi jika kepala tegak lurus atau berputar secara ak-
sial tanpa ekstensi, pada hampir sebagian besar pasien, vertigo akan berkurang
dan akhirnya berhenti secara spontan dalam beberapa hari atau beberapa bulan,
tetapi kadang-kadang dapat juga sampai beberapa tahun. Pasien dengan BPPV
memiliki pendengaran yang normal, tidak ada nistagmus spontan, dan pemerik-
E. DIAGNOSIS
Anamnesis
Pasien biasanya mengeluh vertigo dengan onset akut kurang dari 10-20 detik aki-
bat perubahan posisi kepala. Posisi yang memicu adalah berbalik di tempat tidur
pada posisi lateral, bangun dari tempat tidur, melihat ke atas dan belakang, dan
Pemeriksaan Fisik
Pasien memiliki pendengaran yang normal, tidak ada nistagmus spontan, dan pada
evaluasi neurologis normal.15 Pemeriksaan fisis standar untuk BPPV adalah Dix-
Hallpike dan maneuver side lying untuk kss posterior dan anterior. Dan untuk kss
dolymph (hukum pertama Ewald). Eksitasi dari kanal posterior mengaktifkan otot
superior oblik ipsilateral dan otot rectus inferior, yang menghasilkan deviasi mata
ke atas dengan torsi ke arah telinga atas. Akibatnya, nistagmus yang dihasilkan
akan ke atas dan torsional, dengan kutub teratas mata ke arah telinga bawah.
Nistagmus biasanya dimulai dengan latensi singkat beberapa detik, sembuh dalam
waktu 1 menit (biasanya kurang dari 30 detik) dan arahnya berlawanan dari posisi
lebih pendek dan waktu konstan yang lebih lama (yaitu lebih persisten).
kanal posterior-BPPV. Namun, manuver ini harus dilakukan dengan hati-hati pada
pasien dengan riwayat operasi leher, sindrom radikulopati cervical dan diseksi
pembuluh darah, karena memerlukan posisi rotasi dan ekstensi leher. “The side-
tidak dapat dilaksanakan; setelah pasien duduk di meja pemerikaan, pasien segera
BPPV dengan mudah diobati. Prinsip dari terapi ini adalah partikel dengan
CRP adalah pengobatan non-invasif untuk penyebab paling umum dari verti-
pergerakan canalit dari daerah di mana dapat menyebabkan gejala (yaitu, salu-
ran setengah lingkaran dalam ruang cairan telinga dalam) ke daerah telinga
bagian dalam dimana canalit tidak menyebabkan gejala (yaitu, ruang depan).18
Dalam kebanyakan kasus BPPV canalit bergerak di kanal ketika posisi kepala
defleksi dari saraf berakhir dalam kanal (cupula itu). Ketika saraf berhenti
Latihan ini dikontraindikasikan pada pasien ortopedi dengan kasus fraktur tu-
Latihan Brand Daroff merupakan suatu metode untuk mengobati BPPV, bi-
asanya digunakan jika penanganan di praktek dokter gagal. Latihan ini 95%
lebih berhasil dari pada penatalaksanaan di tempat praktek. Latihan ini dil-
akukan dalam 3 set perhari selama 2 minggu. Pada tiap-tiap set, sekali
melakukan manuver dibuat dalam 5 kali. Satu pengulangan yaitu manuver dil-
Mulai dengan posisi duduk kemudian berubah menjadi posisi baring miring
pada satu sisi, dengan sudut kepala maju sekitar setengah. Tetap pada posisi
baring miring selama 30 detik, atau sampai pusing di sisi kepala, kemudian
kembali ke posisi duduk. Tetap pada keadaan ini selama 30 detik, dan
kemudian dilanjutkan ke posisi berlawanan dan ikuti rute yang sama. Latihan
ini harus dilakukan selama 2 minggu, tiga kali sehari atau selama tiga minggu,
dua kali sehari. Sekitar 30% pasien, BPPV dapat muncul kembali dalam 1 ta-
hun.
Dari beberapa latihan, umumnya yang dilakukan pertama adalah CRT atau Se-
mont Liberatory, jika masih terasa ada sisa baru dilakukan Brand-Darroff exer-
cise. Pada sebuah penelitian disebutkan bahwa dalam setelah pelaksanaan maneu-
ver-manuver terapi BPPV tidak perlu dilakukan pembatasan terhadap gerak tubuh
maupun kepala. Epley maneuver sangat sederhana, mudah dilakukan, hasil yang
diharapkan untuk mengurangi gejala cepat muncul, efektif, tidak ada komplikasi,
dan dapat diulang beberapa kali setelah mencoba pertama kali sehingga sangat di-
metic, dan benzodiazepine (diazepam). Tetapi terapi medikamentosa ini tidak ter-
lalu banyak membantu. Terapi utama dan paling disarankan dalam mengatasi
Operasi dilakukan pada sedikit kasus pada pasien dengan BPPV berat. Pasien ini
gagal berespon dengan manuver yang diberikan dan tidak terdapat kelainan
vestibuler superior, atau cabang utama nervus vestibuler. Oleh karena itu, terapi
bedah tradisional dilakukan dengan transeksi langsung nervus vestibuler dari fossa
PROGNOSIS
asanya bagus. Remisi dapat terjadi spontan dalam 6 minggu, meskipun beberapa
kasus tidak terjadi. Dengan sekali pengobatan tingkat rekurensi sekitar 10-25%.
CRP/Epley maneuver terbukti efektif dalam mengontrol gejala BPPV dalam wak-
tu lama.
Pada beberapa kasus dapat terjadi adanya remisi dan rekurensi yang tidak
dapat diprediksi dan rata-rata rekurensi ± 10-15% per tahun. Jika terdapat reku-
Pro : Tn. X