OLEH :
NUR HIKMA SARI, S.kep
7121861914
( ) ( )
2023
LAPORAN PENDAHULUAN
A. DEFINISI
Kolesteatoma atau jaringan granulasi adalah pertumbuhan kulit secara tidak
terkendali di area telinga tengah atau belakang gendang telinga. Kondisi yang
menyerupai tumor ini jangan dianggap remeh karena bisa menyebabkan gangguan
pendengaran bahkan ketulian jika tidak ditangani. Kolesteatoma sering kali dialami oleh
orang yang menderita infeksi telinga tengah secara berulang. Sedangkan pada kasus yang
tergolong jarang, kondisi dialami sejak lahir (kelainan kongenital atau cacat lahir)
B. ETIOLOGI
Kolesteatoma biasanya terjadi karena tuba eustachian yang tidak berfungsi
dengan baik karena terdapatnya infeksi pada telinga tengah. Tuba eustachian membawa
udara dari nasofaring ke telinga tengah untuk menyamakan tekanan telinga tengah
dengan udara luar. Normalnya tuba ini kolaps pada keadaan istirahat, ketika menelan atau
menguap, otot yang mengelilingi tuba tersebut kontraksi sehingga menyebabkan tuba
tersebut membuka dan udara masuk ke telinga tengah. Saat tuba eustachian tidak
berfungsi dengan baik udara pada telinga tengah diserap oleh tubuh dan menyebabkan di
telinga tengah sebagian terjadi hampa udara. Keadaan ini menyebabkan pars plasida di
atas colum maleus membentuk kantong retraksi, migrasi epitel membran timpani melalui
kantong yang mengalami retraksi ini sehingga terjadi akumulasi keratin. Kantong
tersebut menjadi kolesteatoma.
Kolestoma kongenital dapat terjadi ditelinga tengan dan tempat lain misal pada
tulang tengkorak yang berdekatan dengan kolesteatomanya. Perforasi telinga tengah yang
disebabkan oleh infeksi kronik atau trauma langsung dapat menjadi kolesteatoma. Kulit
pada permukaan membran timpani dapat tumbuh melalui perforasi tersebut dan masuk ke
dalam telinga tengah. Beberapa pasien dilahirkan dengan sisa kulit yang terperangkap di
telinga tengah (kolesteatoma kongenital) atau apex petrosis.
Beberapa kondisi yang menyebabkan kolesteatoma adalah :
1. Flu atau pilek parah
2. Sinusitis
3. Infeksi telingan tengah (otitis media)
4. Alergi
C. PATOFISIOLOGI
Banyak teori dikemukakan oleh para ahli tentang patogenesis kolesteatoma,
antara lain adalah: teori invaginasi, teori imigrasi, teori metaplasi dan teori implantasi.
1. Teori invaginasi invaginasi Banyak teori dikemukakan oleh para ahli tentang
patogenesis kolesteatoma, antara lain adalah: teori invaginasi, teori imigrasi, teori
metaplasi dan teori implantasi.
2. Teori imigrasi imigrasi Kolesteatoma terbentuk akibat dari masuknya epitel kulit dari
liang telinga atau dari pinggir perforasi membrana timpani ke telinga tengah. Migrasi
ini berperan penting dalam akumulasi debris keratin dan sel skuamosa dalam retraksi
kantong dan perluasan kulit ke dalam telinga tengah melalui perforasi membran
timpani.
3. Teori metaplasi metaplasi Terjadi akibat metaplasi mukosa kavum timpani karena
iritasi infeksi yang berlangsung lama.
4. Teori impantasi impantasi Pada teori implantasi dikatakan bahwa kolesteatom terjadi
akibat adanya implantasi epitel kulit secara iatrogenik ke dalam telinga tengah waktu
operasi, setelah blust injury, pemasangan ventilasi tube atau setelah miringotomi.
Kolesteatoma merupakan media yang baik untuk tumbuhnya kuman, yang paling
sering adalah Pseudomonas aerogenusa. Pembesaran kolesteatom menjadi lebih cepat
apabila sudah disertai infeksi, kolesteatom ini akan menekan dan mendesak organ di
sekitarnya serta menimbulkan nekrosis terhadap tulang. Terjadinya proses nekrosis
terhadap tulang diperhebat dengan adanya pembentukan reaksi asam oleh
pembusukan bakteri. Proses nekrosis tulang ini mempermudah timbulnya komplikasi
seperti labirinitis, meningitis dan abses otak.
D. MANISFESTASI KLINIS
1. Nyeri
Pasien mengeluh nyeri tumpul dan otore intermitten akibat erosi tulang dan infeksi
sekuder. Perasaan sakit dibelakang atau didalam telinga dapat dirasakan terutama
pada malam hari sehingga dapat menyebabkan tidak nyaman pada pasien.
2. Pendengaran
Pendengaran berkurang berkurang Kolesteatoma dapat tetap asimtomatik dan
mencapai ukuran yang cukup besar sebelum terinfeksi atau menimbulkan gangguan
pendengaran, dengan akibatnya hilangnya tulang mastoid, osikula, dan pembungkus
tulang saraf fasialis.
3. Perasaan
Perasaan penuh Kantong kolesteatoma dapat membesar sehingga dapat menyebabkan
perasaan penuh atau tekanan dalam telinga, bersamaan dengan kehilangan
pendengaran.
4. Pusing
Perasaan pusing atau kelemahan otot dapat terjadi di salah satu sisi wajah (sisi telinga
yang terinfeksi).
E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Anamnesis
Riwayat keluhan pada telinga sebelumnya harus di selidiki untuk memperoleh gejala
awal kolesteatoma. Gejala yang sering dikeluhkan adalah otore, otalgia, obstruksi
nasal, tinitus dan vertigo. Riwayat penyakit dahulu menderita penyakit pada telinga
tengah seperti otitis media dan atau perforasi membrana timpani harus ditanyakan,
kehilangan pendengaran unilateral progresif dengan otore yang berbau busuk1,
riwayat operasi sebelumnya
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik terdiri atas pemeriksaan kepala dan leher, dengan perhatian
terutama pada pemeriksaan telinga. Penilaian umum untuk menghindari terlewatnya
penilaian demam, perubahan status mental dan penilaian lainnya yang dapat
memberikan petunjuk kearah komplikasi. Otomikroskopi merupakan alat pada
pemeriksaan fisik untuk mengetahui dengan pasti kolesteatoma. Diperlukan aural
toiletisasi untuk menghilangkan otore, debris atau lapisan kulit sehingga visualisasi
dapat lebih jelas. Membran timpani harus diperiksa dengan teliti. Retraksi sering
terdapat pada attic atau membran timpani kuadran posterosuperior.
Akumulasi Akumulasi debris skuamosa dapat skuamosa dapat dijumpai dijumpai
pada kantongny kantongnya. Terdapat Terdapat juga perforasi perforasi membrana
membrana timpani, timpani, pemeriksaa pemeriksaan mukosa telinga telinga tengah
untuk menilai ada atau tidaknya udema, dan jaringan granulasi. Tes Rinne dan Weber
dengan menggunakan garputala 512 Hz didapatkan hasil tuli konduksi, sebaiknya
dibandingkan dengan pemeriksaan audiometric.
a. Audiometri
Audiometri Audiometri nada murni dengan konduksi konduksi udara dan tulang,
tulang, ambang penerimaan pembicaraan dan pengenalan kata umumnya dipakai
untuk menetapkan tuli konduksi pada telinga yang sakit. Derajat tuli konduksi
bervariasi tergantung beratnya penyakit. Tuli konduksi sedang > 40dB
menyatakan terjadinya diskontinuitas ossikula, biasanya karena erosi posesus
longus incus atau capitulum stapes.
b. Timpanometri
Dapat menurun pada penderita dengan perforasi membran timpani
c. Radiologi
Pemeriksaan radiologi preoperasi dengan CT scan tulang temporal tanpa kontras
dalam potongan axial dan koronal dapat memperlihatkan anatomi, keluasan
penyakit dan skrening komplikasi asimptomatik. CT scan tidak essensial untuk
penilaian preoperasi, dikerjakan pada kasus revisi pembedahan sebelumnya, otitis
media supuratif kronik, kecurigaan abnormalitas kongenital atau kasus
kolesteatoma dengan tuli sensorunerual, gejala vestibular atau komplikasi lainnya.
F. KOMPLIKASI
1. Tuli konduksi
konduksi Tuli konduksi merupakan komplikasi yang sering terjadi karena terjadi erosi
rangkaian tulang pendengaran. Erosi prosesus lentikular dan atau super struktur
stapes dapat menyebabkan tuli konduksi sampai dengan 50dB. Kehilangan
pendengaran bervariasi sesuai dengan perkembangan myringostapediopexy atau
transmisi suara melalui kantong kolesteatoma ke stapes atau footplate.
2. Tuli sensorineural
sensorineural Terdapatnya tuli sensorineural menandakan terdapatnya keterlibatan
labyrin.
3. Kehilangan pendengaran total
Setelah operasi sebanyak 3% telinga yang dioperasi mengalami kerusakan permanen
karena penyakitnya sendiri aau komplikasi proses penyembuhan. Pasien harus
diberikan penjelasan tentang kemungkinan kehilangan pendengaran total.
4. Paralisis fasialis
fasialis Paralisis fasialis disebabkan karena hancurnya tulang diatas nervus fasialis.
5. Fistula
Fistula labyrinthin labyrinthin Fistula labyrinthin terjadi pada 10% pasien dengan
infeksi kronik dengan kolesteatoma. Fistula dicurigai pada pasien dengan gangguan
tuli sensorineural yang sudah berjalan lama dan atau vertigo yang diinduksi dengan
suara atau perubahan tekanan pada telinga tengah.
6. Intrakranial
Komplikasi intrakranial seperti abses periosteal, trombosis sinus lateral dan abses
intrakranial terjadi pada 1% penderita kolesteatoma. Komplikasi intra kranial ditandai
dengan gejala otore maladorous supuratif, biasanaya dengan nyeri kepala kronik,
nyeri dan atau demam.
G. PENATALAKSANAAN
1. Perawatan
a. Pembersihan Pembersihan liang telinga. telinga.
b. Penilaian terhadap sekret, edema dinding kanalis dan membran tymphani
2. Medis
a. Terapi awal
Terapi awal terdiri atas pembersihan telinga, antibiotika dan tetes telinga. Terapi
bertujuan untuk menghentikan drainase pada telinga dengan mengendalikan
infeksi. Pada kantong dengan retraksi yang awal dapat dipasang timpanostomi.
b. Terapi pembedahan
pembedahan Kolestoma merupakan penyakit bedah. Tujuan utama pembedahan
adalah menghilangkan kolesteatoma secara total. Tujuan kedua adanya
mengembalikan atau memelihara fungsi pendengaran. Tujuan ketiga adalah
memeliharan sebisa mungkin penampilan anatomi normal. Prosedur pembedahan
diterapkan pada individu dengan tanda-tanda patologis. Keluasan penyakit akan
menentukan keluasan pendekatan pembedahan. Kolesteatoma besar atau yang
mengalami komplikasi memerlukan terapi pembedahan untuk mencegah
komplikasi yang lebih serius. Tes pendengaran dan keseimbangan, rontgen
mastoid dan CT scan mastoid diperlukan. Tes tersebut dilakukan dengan maksud
untuk menentukan tingkat pendengaran dan keluasan desktruksi yang disebabkan
oleh kolesteatomanya sendiri. Prosedur pembedahan meliputi :
Canal Wall Down Procedure Procedure (CWD)
Canal Wall Up Procedure Procedure (CWU)
Trancanal Trancanal Anterior Anterior Atticotomi Atticotomi
Bondy Modified Modified Radical Radical Procedure Procedure
Berbagai macam faktor turut menentukan operasi yang terbaik untuk pasien.
Canal-wall-down prosedur memiliki probabilitas yang tinggi membersihkan
permanen kolesteatomanya. Canal-wall-up procedure memiliki keuntungan yaitu
mempertahankan penampilan normal, tetapi resiko tinggi terjadinya rekurensi dan
persisten kolestatoma. Resiko rekurensi cukup tinggi sehingga ahli bedah
disarankan melakukan tympanomastoidectomi setelah 6 bulan sampai 1 tahun
setelah operasi pertama.
c. Follow up
Tiap pasien dimonitor selama beberapa tahun. Rekurensi dapat terjadi setelah
pembedahan awal. Follow up meliputi evaluasi setengah tahunan atau tahunan,
bahkan pada pasien yang asimptomatik. Pasien yang telah menjalani Canal-Wall-
Down prosedure memerlukan follow up tiap 3 bulan untuk pembersihan saluran
telinga. Pasien yang menjalani canal- wall-up prosedur umumnya memerlukan
operasi tahap kedua selelah 6-9 bulan dari operasi pertama. Follow up dilakukan 6
bulan sampai dengan 1 tahun untuk mencegah terjadinya kolesteatoma persisten
atau rekurensi.
KONSEP DASAR KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Pengkajian Umum
a. Identitas klien Nama: Umur dan tanggal lahir: Keratitis dapat terjadi pada semua
usia Jenis kelamin: Keratitis bisa terjadi pada laki-laki dan perempuan Suku
bangsa: Pekerjaan: Pendidikan: Status menikah: Alamat: Tanggal MRS: Diagnosa
medis: Keratitis
b. Identitas penanggung jawab meliputi nama, tanggal lahir, umur, jenis kelamin,
alamat.
c. Alasan MRS dan Keluhan Utama: Tidak dapat bernafas melalui hidung, ada
sesuatu yang mengganjal.
d. Riwayat penyakit sekarang: Adanya keluhan tidak dapat berna$as melalui hidung!
hidung terasa nyeri, tidak dapat makan karena takut tersedak.
e. Riwayat penyakit dahulu: Pilek terus menerus, biasanya lebih dari satu tahun dan
tidak ada perubahan meskipun diberi obat.
f. Riwayat penyakit keluarga: tanyakan pada pasien apakah keluarga pasien ada
yang pernah mengalami penyakit yang sama dengan pasien atau riwayat penyakit
menular pada anggota keluarga.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum:
b. TTV: TD (biasanya naik), Nadi (biasanya naik), RR (biasanya naik), Suhu
(biasanya naik)
c. Tingkat kesadaran:
d. Rambut dan hygiene kepala: kaji kondisi kepala dan rambut meliputi inspeksi
warna rambut, jenis rambut, bentuk kepala, ada tidaknya lesi dan ketombe, ada
tidaknya memar, kondisi rambut apakah kotor dan berbau. Palpasi apakah
terdapat nyeri tekan, apakah terdapat rambut rontok.
e. Mata : Amati kesimetrisan kedua mata, reflek cahaya, diameterpupil, kondisi bola
mata (sklera, kornea, atau lensa, dll) keadaan kelopak mata dan konjungtiva serta
temuan lainya.
f. Hidung : Amati keadaan hidung, adanya perlukaan, keadaanseptum, adanya sekret
pada lubang hidung, darah atau obstruksi), adanya pernafasan cuping hidung dan
temuan lain saat melakukan inspeksi (rinci keadaan luka, luas luka, adanya
jahitan, kondisi luka).
g. Gigi dan mulut: meliputi kelengkapan gigi, keadaan gusi mukosa bibir, warna
lidah, peradangan pada tonsil
h. Leher: inspeksi kondisi leher, palpasi adanya nyeri tekan
i. Dada/thorax: lakukan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Kaji
jenis pernafasan dada atau perut, perubahan pola nafas, biasanya RR pasien
meningkat
j. Cardiovaskuler: lakukan dengan cara inspeksi, palpasin, perkusi dan auskultasi.
biasanya terjadi peningkatan tekanan darah pada pasien
k. Pencernaan: lakukan dengan cara inspeksi, auskultasi, palpasi, dan perkusi. Kaji
adanya keluhan mual muntah, bising usus.
l. Genetalia: kaji kondisi kebersihan dan keluhan lainnya.
3. Aktifitas sehari-hari: kaji apakah dengan berkurangnya fungsi penglihatan pasien
aktivitas sehari-harinya biasanya terganggu.
4. Data Sosial Ekonomi: menyangkut hubungan pasien dengan lingkungan sosial dan
hubungan dengan keluarga.
5. Data Psikologis: meliputi kesadaran dan emosional pasien .
6. Data Spiritual: data apakah pasien atau keluarga memiliki kepercayaan yang
bertentangan dengan kesehatan.
B. DIAGNOSA
1. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan gangguan pendengaran.
2. Nyeri akut berhubungan berhubungan dengan agen pencedera fisik.
3. Risiko infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan.
C. INTERVENSI
D. IMPLEMENTASI