Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN DIAGNOSA MEDIS

JARINGAN GRANULASI (KOLESTEATOMA)

OLEH :
NUR HIKMA SARI, S.kep
7121861914

PERSEPTOR LAHAN PERSEPTOR INSTITUSI

( ) ( )

PROGRAM STUDI PROFESI NERS ANGKATAN XI

SEKOLAT TINGGI ILMU KEPERAWATAN FAMIKA MAKASSAR

2023
LAPORAN PENDAHULUAN

A. DEFINISI
Kolesteatoma atau jaringan granulasi adalah pertumbuhan kulit secara tidak
terkendali di area telinga tengah atau belakang gendang telinga. Kondisi yang
menyerupai tumor ini jangan dianggap remeh karena bisa menyebabkan gangguan
pendengaran bahkan ketulian jika tidak ditangani. Kolesteatoma sering kali dialami oleh
orang yang menderita infeksi telinga tengah secara berulang. Sedangkan pada kasus yang
tergolong jarang, kondisi dialami sejak lahir (kelainan kongenital atau cacat lahir)
B. ETIOLOGI
Kolesteatoma biasanya terjadi karena tuba eustachian yang tidak berfungsi
dengan baik karena terdapatnya infeksi pada telinga tengah. Tuba eustachian membawa
udara dari nasofaring ke telinga tengah untuk menyamakan tekanan telinga tengah
dengan udara luar. Normalnya tuba ini kolaps pada keadaan istirahat, ketika menelan atau
menguap, otot yang mengelilingi tuba tersebut kontraksi sehingga menyebabkan tuba
tersebut membuka dan udara masuk ke telinga tengah. Saat tuba eustachian tidak
berfungsi dengan baik udara pada telinga tengah diserap oleh tubuh dan menyebabkan di
telinga tengah sebagian terjadi hampa udara. Keadaan ini menyebabkan pars plasida di
atas colum maleus membentuk kantong retraksi, migrasi epitel membran timpani melalui
kantong yang mengalami retraksi ini sehingga terjadi akumulasi keratin. Kantong
tersebut menjadi kolesteatoma.
Kolestoma kongenital dapat terjadi ditelinga tengan dan tempat lain misal pada
tulang tengkorak yang berdekatan dengan kolesteatomanya. Perforasi telinga tengah yang
disebabkan oleh infeksi kronik atau trauma langsung dapat menjadi kolesteatoma. Kulit
pada permukaan membran timpani dapat tumbuh melalui perforasi tersebut dan masuk ke
dalam telinga tengah. Beberapa pasien dilahirkan dengan sisa kulit yang terperangkap di
telinga tengah (kolesteatoma kongenital) atau apex petrosis.
Beberapa kondisi yang menyebabkan kolesteatoma adalah :
1. Flu atau pilek parah
2. Sinusitis
3. Infeksi telingan tengah (otitis media)
4. Alergi
C. PATOFISIOLOGI
Banyak teori dikemukakan oleh para ahli tentang patogenesis kolesteatoma,
antara lain adalah: teori invaginasi, teori imigrasi, teori metaplasi dan teori implantasi.
1. Teori invaginasi invaginasi Banyak teori dikemukakan oleh para ahli tentang
patogenesis kolesteatoma, antara lain adalah: teori invaginasi, teori imigrasi, teori
metaplasi dan teori implantasi.
2. Teori imigrasi imigrasi Kolesteatoma terbentuk akibat dari masuknya epitel kulit dari
liang telinga atau dari pinggir perforasi membrana timpani ke telinga tengah. Migrasi
ini berperan penting dalam akumulasi debris keratin dan sel skuamosa dalam retraksi
kantong dan perluasan kulit ke dalam telinga tengah melalui perforasi membran
timpani.
3. Teori metaplasi metaplasi Terjadi akibat metaplasi mukosa kavum timpani karena
iritasi infeksi yang berlangsung lama.
4. Teori impantasi impantasi Pada teori implantasi dikatakan bahwa kolesteatom terjadi
akibat adanya implantasi epitel kulit secara iatrogenik ke dalam telinga tengah waktu
operasi, setelah blust injury, pemasangan ventilasi tube atau setelah miringotomi.
Kolesteatoma merupakan media yang baik untuk tumbuhnya kuman, yang paling
sering adalah Pseudomonas aerogenusa. Pembesaran kolesteatom menjadi lebih cepat
apabila sudah disertai infeksi, kolesteatom ini akan menekan dan mendesak organ di
sekitarnya serta menimbulkan nekrosis terhadap tulang. Terjadinya proses nekrosis
terhadap tulang diperhebat dengan adanya pembentukan reaksi asam oleh
pembusukan bakteri. Proses nekrosis tulang ini mempermudah timbulnya komplikasi
seperti labirinitis, meningitis dan abses otak.
D. MANISFESTASI KLINIS
1. Nyeri
Pasien mengeluh nyeri tumpul dan otore intermitten akibat erosi tulang dan infeksi
sekuder. Perasaan sakit dibelakang atau didalam telinga dapat dirasakan terutama
pada malam hari sehingga dapat menyebabkan tidak nyaman pada pasien.
2. Pendengaran
Pendengaran berkurang berkurang Kolesteatoma dapat tetap asimtomatik dan
mencapai ukuran yang cukup besar sebelum terinfeksi atau menimbulkan gangguan
pendengaran, dengan akibatnya hilangnya tulang mastoid, osikula, dan pembungkus
tulang saraf fasialis.
3. Perasaan
Perasaan penuh Kantong kolesteatoma dapat membesar sehingga dapat menyebabkan
perasaan penuh atau tekanan dalam telinga, bersamaan dengan kehilangan
pendengaran.
4. Pusing
Perasaan pusing atau kelemahan otot dapat terjadi di salah satu sisi wajah (sisi telinga
yang terinfeksi).
E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Anamnesis
Riwayat keluhan pada telinga sebelumnya harus di selidiki untuk memperoleh gejala
awal kolesteatoma. Gejala yang sering dikeluhkan adalah otore, otalgia, obstruksi
nasal, tinitus dan vertigo. Riwayat penyakit dahulu menderita penyakit pada telinga
tengah seperti otitis media dan atau perforasi membrana timpani harus ditanyakan,
kehilangan pendengaran unilateral progresif dengan otore yang berbau busuk1,
riwayat operasi sebelumnya
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik terdiri atas pemeriksaan kepala dan leher, dengan perhatian
terutama pada pemeriksaan telinga. Penilaian umum untuk menghindari terlewatnya
penilaian demam, perubahan status mental dan penilaian lainnya yang dapat
memberikan petunjuk kearah komplikasi. Otomikroskopi merupakan alat pada
pemeriksaan fisik untuk mengetahui dengan pasti kolesteatoma. Diperlukan aural
toiletisasi untuk menghilangkan otore, debris atau lapisan kulit sehingga visualisasi
dapat lebih jelas. Membran timpani harus diperiksa dengan teliti. Retraksi sering
terdapat pada attic atau membran timpani kuadran posterosuperior.
Akumulasi Akumulasi debris skuamosa dapat skuamosa dapat dijumpai dijumpai
pada kantongny kantongnya. Terdapat Terdapat juga perforasi perforasi membrana
membrana timpani, timpani, pemeriksaa pemeriksaan mukosa telinga telinga tengah
untuk menilai ada atau tidaknya udema, dan jaringan granulasi. Tes Rinne dan Weber
dengan menggunakan garputala 512 Hz didapatkan hasil tuli konduksi, sebaiknya
dibandingkan dengan pemeriksaan audiometric.
a. Audiometri
Audiometri Audiometri nada murni dengan konduksi konduksi udara dan tulang,
tulang, ambang penerimaan pembicaraan dan pengenalan kata umumnya dipakai
untuk menetapkan tuli konduksi pada telinga yang sakit. Derajat tuli konduksi
bervariasi tergantung beratnya penyakit. Tuli konduksi sedang > 40dB
menyatakan terjadinya diskontinuitas ossikula, biasanya karena erosi posesus
longus incus atau capitulum stapes.
b. Timpanometri
Dapat menurun pada penderita dengan perforasi membran timpani
c. Radiologi
Pemeriksaan radiologi preoperasi dengan CT scan tulang temporal tanpa kontras
dalam potongan axial dan koronal dapat memperlihatkan anatomi, keluasan
penyakit dan skrening komplikasi asimptomatik. CT scan tidak essensial untuk
penilaian preoperasi, dikerjakan pada kasus revisi pembedahan sebelumnya, otitis
media supuratif kronik, kecurigaan abnormalitas kongenital atau kasus
kolesteatoma dengan tuli sensorunerual, gejala vestibular atau komplikasi lainnya.
F. KOMPLIKASI
1. Tuli konduksi
konduksi Tuli konduksi merupakan komplikasi yang sering terjadi karena terjadi erosi
rangkaian tulang pendengaran. Erosi prosesus lentikular dan atau super struktur
stapes dapat menyebabkan tuli konduksi sampai dengan 50dB. Kehilangan
pendengaran bervariasi sesuai dengan perkembangan myringostapediopexy atau
transmisi suara melalui kantong kolesteatoma ke stapes atau footplate.
2. Tuli sensorineural
sensorineural Terdapatnya tuli sensorineural menandakan terdapatnya keterlibatan
labyrin.
3. Kehilangan pendengaran total
Setelah operasi sebanyak 3% telinga yang dioperasi mengalami kerusakan permanen
karena penyakitnya sendiri aau komplikasi proses penyembuhan. Pasien harus
diberikan penjelasan tentang kemungkinan kehilangan pendengaran total.
4. Paralisis fasialis
fasialis Paralisis fasialis disebabkan karena hancurnya tulang diatas nervus fasialis.
5. Fistula
Fistula labyrinthin labyrinthin Fistula labyrinthin terjadi pada 10% pasien dengan
infeksi kronik dengan kolesteatoma. Fistula dicurigai pada pasien dengan gangguan
tuli sensorineural yang sudah berjalan lama dan atau vertigo yang diinduksi dengan
suara atau perubahan tekanan pada telinga tengah.
6. Intrakranial
Komplikasi intrakranial seperti abses periosteal, trombosis sinus lateral dan abses
intrakranial terjadi pada 1% penderita kolesteatoma. Komplikasi intra kranial ditandai
dengan gejala otore maladorous supuratif, biasanaya dengan nyeri kepala kronik,
nyeri dan atau demam.
G. PENATALAKSANAAN
1. Perawatan
a. Pembersihan Pembersihan liang telinga. telinga.
b. Penilaian terhadap sekret, edema dinding kanalis dan membran tymphani
2. Medis
a. Terapi awal
Terapi awal terdiri atas pembersihan telinga, antibiotika dan tetes telinga. Terapi
bertujuan untuk menghentikan drainase pada telinga dengan mengendalikan
infeksi. Pada kantong dengan retraksi yang awal dapat dipasang timpanostomi.
b. Terapi pembedahan
pembedahan Kolestoma merupakan penyakit bedah. Tujuan utama pembedahan
adalah menghilangkan kolesteatoma secara total. Tujuan kedua adanya
mengembalikan atau memelihara fungsi pendengaran. Tujuan ketiga adalah
memeliharan sebisa mungkin penampilan anatomi normal. Prosedur pembedahan
diterapkan pada individu dengan tanda-tanda patologis. Keluasan penyakit akan
menentukan keluasan pendekatan pembedahan. Kolesteatoma besar atau yang
mengalami komplikasi memerlukan terapi pembedahan untuk mencegah
komplikasi yang lebih serius. Tes pendengaran dan keseimbangan, rontgen
mastoid dan CT scan mastoid diperlukan. Tes tersebut dilakukan dengan maksud
untuk menentukan tingkat pendengaran dan keluasan desktruksi yang disebabkan
oleh kolesteatomanya sendiri. Prosedur pembedahan meliputi :
 Canal Wall Down Procedure Procedure (CWD)
 Canal Wall Up Procedure Procedure (CWU)
 Trancanal Trancanal Anterior Anterior Atticotomi Atticotomi
 Bondy Modified Modified Radical Radical Procedure Procedure
Berbagai macam faktor turut menentukan operasi yang terbaik untuk pasien.
Canal-wall-down prosedur memiliki probabilitas yang tinggi membersihkan
permanen kolesteatomanya. Canal-wall-up procedure memiliki keuntungan yaitu
mempertahankan penampilan normal, tetapi resiko tinggi terjadinya rekurensi dan
persisten kolestatoma. Resiko rekurensi cukup tinggi sehingga ahli bedah
disarankan melakukan tympanomastoidectomi setelah 6 bulan sampai 1 tahun
setelah operasi pertama.
c. Follow up
Tiap pasien dimonitor selama beberapa tahun. Rekurensi dapat terjadi setelah
pembedahan awal. Follow up meliputi evaluasi setengah tahunan atau tahunan,
bahkan pada pasien yang asimptomatik. Pasien yang telah menjalani Canal-Wall-
Down prosedure memerlukan follow up tiap 3 bulan untuk pembersihan saluran
telinga. Pasien yang menjalani canal- wall-up prosedur umumnya memerlukan
operasi tahap kedua selelah 6-9 bulan dari operasi pertama. Follow up dilakukan 6
bulan sampai dengan 1 tahun untuk mencegah terjadinya kolesteatoma persisten
atau rekurensi.
KONSEP DASAR KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Pengkajian Umum
a. Identitas klien Nama: Umur dan tanggal lahir: Keratitis dapat terjadi pada semua
usia Jenis kelamin: Keratitis bisa terjadi pada laki-laki dan perempuan Suku
bangsa: Pekerjaan: Pendidikan: Status menikah: Alamat: Tanggal MRS: Diagnosa
medis: Keratitis
b. Identitas penanggung jawab meliputi nama, tanggal lahir, umur, jenis kelamin,
alamat.
c. Alasan MRS dan Keluhan Utama: Tidak dapat bernafas melalui hidung, ada
sesuatu yang mengganjal.
d. Riwayat penyakit sekarang: Adanya keluhan tidak dapat berna$as melalui hidung!
hidung terasa nyeri, tidak dapat makan karena takut tersedak.
e. Riwayat penyakit dahulu: Pilek terus menerus, biasanya lebih dari satu tahun dan
tidak ada perubahan meskipun diberi obat.
f. Riwayat penyakit keluarga: tanyakan pada pasien apakah keluarga pasien ada
yang pernah mengalami penyakit yang sama dengan pasien atau riwayat penyakit
menular pada anggota keluarga.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum:
b. TTV: TD (biasanya naik), Nadi (biasanya naik), RR (biasanya naik), Suhu
(biasanya naik)
c. Tingkat kesadaran:
d. Rambut dan hygiene kepala: kaji kondisi kepala dan rambut meliputi inspeksi
warna rambut, jenis rambut, bentuk kepala, ada tidaknya lesi dan ketombe, ada
tidaknya memar, kondisi rambut apakah kotor dan berbau. Palpasi apakah
terdapat nyeri tekan, apakah terdapat rambut rontok.
e. Mata : Amati kesimetrisan kedua mata, reflek cahaya, diameterpupil, kondisi bola
mata (sklera, kornea, atau lensa, dll) keadaan kelopak mata dan konjungtiva serta
temuan lainya.
f. Hidung : Amati keadaan hidung, adanya perlukaan, keadaanseptum, adanya sekret
pada lubang hidung, darah atau obstruksi), adanya pernafasan cuping hidung dan
temuan lain saat melakukan inspeksi (rinci keadaan luka, luas luka, adanya
jahitan, kondisi luka).
g. Gigi dan mulut: meliputi kelengkapan gigi, keadaan gusi mukosa bibir, warna
lidah, peradangan pada tonsil
h. Leher: inspeksi kondisi leher, palpasi adanya nyeri tekan
i. Dada/thorax: lakukan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Kaji
jenis pernafasan dada atau perut, perubahan pola nafas, biasanya RR pasien
meningkat
j. Cardiovaskuler: lakukan dengan cara inspeksi, palpasin, perkusi dan auskultasi.
biasanya terjadi peningkatan tekanan darah pada pasien
k. Pencernaan: lakukan dengan cara inspeksi, auskultasi, palpasi, dan perkusi. Kaji
adanya keluhan mual muntah, bising usus.
l. Genetalia: kaji kondisi kebersihan dan keluhan lainnya.
3. Aktifitas sehari-hari: kaji apakah dengan berkurangnya fungsi penglihatan pasien
aktivitas sehari-harinya biasanya terganggu.
4. Data Sosial Ekonomi: menyangkut hubungan pasien dengan lingkungan sosial dan
hubungan dengan keluarga.
5. Data Psikologis: meliputi kesadaran dan emosional pasien .
6. Data Spiritual: data apakah pasien atau keluarga memiliki kepercayaan yang
bertentangan dengan kesehatan.
B. DIAGNOSA
1. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan gangguan pendengaran.
2. Nyeri akut berhubungan berhubungan dengan agen pencedera fisik.
3. Risiko infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan.
C. INTERVENSI

Diagnosa Tujuan Dan Intervensi

No. Keperawatan Kriteria Hasil Keperawatan Rasional

(SDKI,2016) (SLKI,2016) (SIKI,2016)

1. Gangguan Persepsi sensori Manajemen halusinasi 1) mengidentifikasi


persepsi (L.09083) (I.09288) perilaku pasien
sensori Setelah dilakukan Tindakan berkaitan dengan
berhubungan asuhan 1). Monitor perilaku halusinasi
keperawatan yang mengindikasi 2) mengetahui koping
dengan
selama 1x24 jam halusinasi klien sebagai data
gangguan
diharapkan dapat 2). Monitor dan untuk intervensi
pendengaran memenuhi kriteria
(D.0085) sesuaikan tingkat selanjutnya
hasil:
aktivitas dan stimulasi 3) mengumpulkan
1. Verbalisasi
lingkungan intervensi
mendengar bisikan
3). Monitor isi halusinasi 4) meningkatkan
meningkat
(mis. Kekerasan atau keamanan dan
2. Respons sesuai
stimulus membaik
membahayakan) mencegah terjadinya
Terapeutik cedera
1). Pertahanakan 5) mencegah
lingkungsn yang aman terjadinya perilaku
2). Lakukan tindakan kekerasan
keselamatan ketika tidak 6) melibatkan pasien
dapat mengontrol dalam
perilaku memperkenalkan
3). Diskusikan perasaan dirinya
dan respons terhadap 7) sebagai upaya
halusinasi dalam membina
4). Hindari perdebatan hubungan terapeutik
tentang validitas dengan keluarga
halusinasi 8) memberikan
Edukasi kesempatan kepada
1). Anjurkan memonitor pasien untuk memilih
sendiri situasi terjadinya cara sesuai kehendak
halusinasi dan kemampuannya
2). Anjurkan bicara pada
orang yang dipercaya
untuk memberi
dukungan dan umpan
balik
3). Anjurkan melakukan
distraksi
4). Anjarkan pasien dan
keluarga cara
mengontrol halusinasi.
2. Nyeri Akut b/d Tingkat Nyeri Manajemen Nyeri 1) Mengetahui
Agen pencedera (L.07214) (I.08238) perkembangan nyeri
fisik (D.0077) Setelah dilakukan 1) Identifikasi lokasi, dan tanda – tanda
asuhan karakteristik, durasi, nyeri hebat sehingga
keperawatan frekuensi, dapat menentukan
selama 1x24 jam kualitas,intensit as nyeri tindakan selanjutnya
diharapkan dapat 2) Identifikasi skala 2) Mengetahui skala
memenuhi kriteria nyeri nyeri 1- 10, berada
hasil:
3) Identifikasi respon diangka berapa.
1. Keluhan nyeri
nyeri non verbal 3) Agar mengetahui
menurun
4) Identifikasi faktor ketika nyeri
2. Meringis
yang memperberat dan tersebut timbul.
menurun
3. Perasaan takut
memperingan nyeri 4) Agar mengetahui
mengalami 5) Identifikasi faktor yag bisa
cedera berulang pengetahuan dan mengurangi dan
menurun keyakinan tentang nyeri menambah nyeri
4. Ketegangan otot 6) Identifikasi pengaruh 5) Agar mengetahui
menurun budaya terhadap respon pengetahuan pasien
nyeri tentang nyeri
7) Monitor keberhasilan 6) Agar mengetahui
terapi komplementer apakah ada
yang sudah diberikan budaya dari
8) Monitor efek samping pasien yang
penggunaan analgetik. mempengaruhi nyeri
9) Berikan teknik tersebut.
nonfarmakologi untuk 7) Agar mengetahui
mengurangi nyeri terapi komplementer
(Misal, terapi musik, yang bisa mengurangi
kompres hangat/ dingin) nyeri
10) Kontrol lingkungan 8) Agar mengetahui
yang memperberat rasa efek yang ditimbulkan
nyeri (mis. Suhu oleh pemberian obat
ruangan,pencahayaan, analgetik.
kebisingan) 9) Agar nyeri bisa
11) Fasilitasi istirahat berkurang
dan tidur 10) Memberi rasa
12) Pertimbangkan jenis aman nyaman pasien
dan sumber nyeri dalam saat nyeri timbul
pemilihan strategi 11) Agar pasien
meredakan nyeri bisa nyaman ketika
13) Jelaskan merasakan nyeri
penyebab, periode, dan 12) Mengetahui
pemicu nyeri pertimbangan nyeri
14) Jelaskan strategi yang dirasakannya.
mereredakan nyeri 13) Mengetahui
15) Anjurkan memonitor penyebab yang terjadi
nyeri secara mandiri saat nyeri timbul
16) Anjurkan 14) Agar mengetahui
menggunakan analgetik teknik untuk
secara tepat mengurangi nyeri
17) Ajarkan teknik 15) Agar bisa tau
nonfarmakologi untuk nyeri yang dirasakan
mengurangi rasa nyeri 16) Untuk
18) Kolaborasi mengurangi nyeri
pemberian analgetik, jika 17) Untuk mengurangi
perlu. nyeri dengan
cara tanpa
menggunakan obat
18) Agar mengetahui
apakah pasien bisa
diberi obat
nyri atau tidak.

3. Resiko Infeksi Tingkat infeksi Pencegahan infeksi 1)Agar mengetahui


b/d (L.14137) (I.14539) adanya tanda- tanda
Setelah dilakukan 1) Monitor tanda dan infeksi
kerukasakan
asuhan gejala infeksi lokal dan 2) Agar tidak
jaringan keperawatan sistemik menambah risiko
(D.0142) selama 1x24 jam 2) Batasi jumlah infeksi
diharapkan dapat pengunjung 3) Agar infeksi tidak
memenuhi kriteria 3) Berikan merata
hasil: perawatan kulit pada 4) Agar
1) Kebersihan area edema meminimalisir
badan meningkat 4) Cuci tangan sebelum penularan infeksi
2) Nyeri menurun dan sesudah kontak 5) Agar tidak
3) Bengkak dengan pasien dan menambah infeksi
menurun lingkungan pasien pada pasien yang
4) Kemerahan 5) Pertahankan teknik bersiko tinggi
menurun aseptik pada pasien 6) Agar mengetahui
beresiko tinggi tanda gejala infeksi
6) Jelaskan tanda dan 7) Agar lebih terhindar
gejala infeksi dari infeksi
7) Ajarkan cara 8) Agar pasien
mencuci tangan dengan mengetahui
benar cara memeriksa
8) Cara memeriksa kondisi luka bekas
kondisi luka/ luka operasi
operasi 9) Agar nutrisi pasien
9) Anjurkan bertambah
meningkatkan asupan 10) Agar
nutrisi kebutuhan cairan
10) Anjurkan pasien tercukupi
meningkatkan asupan 11) Agar
cairan mengastisipasi infeksi
11) Kolaborasi yang disebabkan oleh
pemberian imunisasi, penurunan imun.
jika perlu.

D. IMPLEMENTASI

Tahap ini di lakukan pelaksanaan dan perencanaan keperawatan yang telah


ditentukan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pasien secara optimal. Pelaksanaan
adalah pengelolahan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah di susun pada
tahap pencananaan (Muttaqin, 2018).
E. EVALUASI
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan. Evaluasi adalah
kegiatan yang disengaja dan terus menerus dengan melibatkan klien, perawat, dan
anggota tim kesehatan lainnya. Tujuan evaluasi adalah untuk menilai apakah tujuan
dalam rencana keperawatan tercapai atau tidak (Muttaqin, 2018).
DAFTAR PUSTAKA
Adams, G.L, 1997 .L, 1997, BOIES Buku Ajar Penyakit THT, Jakarta: EGC
Candra, S. P, 2006, Ringkasan Patologi Anatomi, Jakarta: EGC
Mubarak, W. I. (2018). Buku ajar kebutuhan dasar manusia: Teori dan aplikasi dalam praktik.
Jakarta: Media Aesculapius.
Muttaqin, A. (2018). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Salemba Medika.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (1st ed.).
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Tim Pokja SIKI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) (Edisi 1).Jakarta:
DPP PPNI.
Tim Pokja SLKI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) (Edisi 1).Jakarta:
DPP PPNI.
Smeltzer, Smeltzer, S. C, 2001, , Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth,
Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai