Anda di halaman 1dari 161

JILID 2, NOMOR 2, OKTOBER 2012 ISSN 2089-0117

JURNAL
BAHASA DAN SASTRA

JBS
DITERBITKAN OLEH
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS LAMBANG MANGKURAT (UNLAM)
DAN
HIMPUNAN SARJANA KESUSASTRAAN INDONESIA (HISKI)

ISSN 2089-0117

HALAMAN BANJARMASIN ISSN


JBS JILID 2 NOMOR 2
139-291 2012 2089-0117
9 7 7 2 0 8 9 0 1 1 0 0 0
139
i
140
DAFTAR ISI

Bahasa Perumpamaan Tokoh dalam Hikayat Raja Banjar


M. Rafiek (Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin) 143-152

Representation of Cultural Values of Using Community in Banyuwangi Folk Songs


(Mapping the Material for Using Language as Local Content)
Imam Suyitno dan Abdul Syukur Ibrahim (Universitas Negeri Malang) 153-162

Bahasa Indonesia sebagai Identitas Nasional Bangsa Indonesia


Akhmad Yazidi (Universitas Pakuan, Bogor) 163-177

Mengembangkan Gairah Peserta Didik dalam Belajar Bahasa Indonesia melalui


Pembelajaran Berbasis Masalah
Yakobus Paluru (Universitas Terbuka, Palu) 178-190

Tutur Ritual Manenung pada Masyarakat Dayak Hindu Kaharingan Palangka Raya:
Analitis Wacana Kritis Van Dijk
Made Agustus (STIP Bunga Bangsa, Palangka Raya) 191-205

Penggunaan Pemodelan untuk Meningkatkan Kompetensi Siswa SMPN 11


Palangka Raya dalam Menulis Naskah Drama berdasarkan Cerpen
Lukman Juhara (SMPN 11, Palangka Raya) 206-213

Makna dalam Ungkapan Bahasa Banjar


Zulkifli (Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin) 214-220

The Implementation of Extensive Reading Program to Improve the Reading Skills of


The English Department Students Academic Year 2010/2011
Jumariati (Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin) 221-230

Pemerolehan Morfem Anak Autis di Pusat Terapi Autis Bina Permata Keluarga
Marfu’ah dan Rusma Noortyani (Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin) 231-241

Alih Kode dalam Transaksi Jual Beli di Pasar Kecamatan Katingan Tengah
Kabupaten Katingan Kalimantan Tengah
Lili Agustina dan Maria LAS (Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin) 242-258

141
Legenda Tabuan Ranggas di Kabupaten Tabalong
Wina Hastuti dan Sabhan (Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin) 259-268

Nilai Budaya dalam Mantra Banjar


Khairur Rohim dan Rustam Effendi (Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin) 269-279

Tindak Tutur dalam Transaksi Jual Beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin
Siti Norhasuna dan Zakiah Agus Kusasi
(Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin) 280-291

Indeks Pengarang JURNAL BAHASA DAN SASTRA (JBS) Jilid 2 (Tahun 2012) 291. 1

Indeks Mitra Bebestari JURNAL BAHASA DAN SASTRA (JBS) Jilid 2 (Tahun 2012) 291. 2

142
BAHASA PERUMPAMAAN TOKOH DALAM HIKAYAT RAJA BANJAR
(PARABLE OF FIGURES IN THE STORY OF KING BANJAR)

M. Rafiek
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung
Mangkurat, Jl. Brigjend. H. Hasan Basry, Kampus Kayu Tangi, Banjarmasin, Kode Pos 70123,
e-mail rfk012@yahoo.co.id

Abstract

Parable of Figures in the Story of King Banjar. This study aims to discover and clarify
the existing language of parable figures in the saga of king Banjar. The theory used in
this research is the theory of figure of speech (style) and figuratively stilistika theory.
The method used in this research is descriptive qualitative analysis techniques stilistika
literature. The results of this study is contained in the language of parable figures Raden
Putra (prince Suryanata), Huripan Princess, Princess Junjung Buih, Ki Mas Lelana,
and Raden Samudera (Prince Suryanullah or Suriansyah). In the present study found
the language of parable figures used simile in the fifth figure, the Princess Junjung
Buih, Raden Putra, Princess Huripan, Ki Mas Lelana, and Raden Samudera. Simile of
figure in the saga king Banjar use words like as marker. In addition, there is also the use
of figure of speech hyperbole in the parable figures Ki Mas Lelana. Conclusion of the
study is the language of the parable of the characters in the saga of king Banjar using
simile.

Keywords: language of parable, the saga of king banjar, simile

Abstrak

Bahasa Perumpamaan Tokoh dalam Hikayat Raja Banjar. Penelitian ini bertujuan
untuk menemukan dan menjelaskan bahasa perumpamaan tokoh yang ada dalam
Hikayat Raja Banjar. Teori yang digunakan dalam penelitian adalah teori majas (gaya
bahasa) dan teori stilistika kiasan. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah
metode deskriptif kualitatif dengan teknik analisis stilistika sastra. Hasil penelitian ini
berupa bahasa perumpamaan tokoh terdapat pada tokoh Raden Putra (Pangeran
Suryanata), Putri Huripan, Putri Junjung Buih, Ki Mas Lalana, dan Raden Samudera
(Pangeran Suryanullah atau Suriansyah). Dalam penelitian ini ditemukan bahasa
perumpamaan tokoh menggunakan majas perumpamaan pada kelima tokoh, yaitu
Putri Junjung Buih, Raden Putra, Putri Huripan, Ki Mas Lelana, dan Raden Samudera.
Majas perumpamaan tokoh dalam Hikayat Raja Banjar menggunakan kata seperti
sebagai penandanya. Selain itu, ditemukan pula penggunaan majas hiperbola dalam
perumpamaan tokoh Ki Mas Lelana. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian adalah
bahasa perumpamaan tokoh dalam Hikayat Raja Banjar menggunakan majas
perumpamaan.

Kata-kata kunci: bahasa perumpamaan, hikayat raja banjar, majas perumpamaan

143
PENDAHULUAN
Penelitian terhadap Hikayat Raja Banjar ini adalah yang kesekian kali peneliti lakukan, yang
pertama, peneliti bersama M. Zainal Arifin Anis meneliti Eksistensi Wiramartas dalam Hikayat
Banjar (2004), yang kedua, peneliti meneliti Realitas Mitologis dan Ideologis dalam Hikayat Raja
Banjar (2005a), yang ketiga, peneliti meneliti Realitas Mitologis dalam Hikayat Raja Banjar (2005b),
yang keempat, peneliti meneliti Poligami dalam Hikayat Banjar (2006a). Keempat, peneliti meneliti
tokoh mitos Banjar dalam Hikayat Raja Banjar dengan teori antropologi struktural Claude Levi-
Strauss (2006b). Peneliti juga sudah meneliti Mitos Raja dalam Hikayat Raja Banjar (2010), Hikayat
Raja Banjar: Kajian Jenis, Makna, dan Fungsi Mitos Raja (2011), Hikayat Raja Banjar, Tutur Candi,
dan Pararaton: Suatu Perbandingan (2012a), Kearifan Lokal dalam Hikayat Raja Banjar (2012b).
Selanjutnya, pada artikel ilmiah ini, peneliti mencoba menjelaskan bahasa perumpamaan tokoh
mitos Banjar dalam naskah Hikayat Raja Banjar.
Penelitian mengenai bahasa perumpamaan tokoh dalam Hikayat Raja Banjar sepengetahuan
peneliti belum pernah dilakukan orang. Oleh karena itu, penelitian ini menjadi semacam perintis
awal bagi penelitian bahasa perumpamaan dalam Hikayat Raja Banjar. Penelitian semacam ini
akan sangat bermanfaat untuk membuka wawasan baru dalam meneliti aspek kebahasaan suatu
hikayat. Sekalipun penelitian ini sangat sederhana, akan tetapi peneliti berusaha mengkajinya
secara lebih mendalam.
Penelitian orang lain sebelumnya yang dijadikan rujukan dalam penelitian ini adalah Sarana
Retorika dalam Penuturan Munaba Waropen Papua oleh Dharmojo (2004). Dalam penelitiannya
tersebut, Dharmojo menemukan bahwa di dalam munaba terdapat (1) pemilihan kata (diksi), (2)
pengimajian, (3) penggunaan bahasa figuratif, (4) aspek bahasanya bersifat ekspresif, sugestif,
asosiatif, dan magis, (5) bahasa yang mungkin memiliki kegandaan tafsir makna, dan (6)
penggunaan bahasa Waropen. Munaba adalah nyanyian ratapan kematian yang mengungkapkan
kesedihan, penghormatan, kasih sayang, sanjungan terhadap orang yang meninggal (Dharmojo,
2004: 87). Berdasarkan penelitian Dharmojo tersebut dapat diketahui bahwa di dalam karya sastra
terdapat penggunaan bahasa figuratif. Oleh karena itu, penelitian ini ingin mengungkap apakah
dalam Hikayat Raja Banjar juga terdapat bahasa figuratif, khususnya majas perumpamaan?
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menjelaskan bahasa-bahasa
perumpamaan tokoh mitos Banjar dalam naskah Hikayat Raja Banjar. Manfaat penelitian ini adalah
untuk mendokumentasikan dan menginventarisasi khazanah sastra Melayu klasik, khususnya
Hikayat Raja Banjar dari segi bahasa perumpamaan tokoh. Dari segi teoretis, hasil penelitian ini
sangat berguna bagi pengembangan gaya bahasa dan stilistika.
Perumpamaan, menurut Zaidan, Rustapa, dan Hani’ah (2000: 189 dan 210), dinamakan simile
atau umpamaan. Umpamaan adalah majas perbandingan yang menggunakan kata perbandingan,
antara lain umpama, seperti, dan bagaikan, simile. Tarigan (1985: 118) mengatakan perumpamaan
adalah ‘perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan dan yang sengaja kita anggap
sama. Perbandingan itu secara eksplisit dijelaskan oleh pemakaian kata ‘seperti, sebagai, ibarat,
umpama, bak, laksana, dan sejenisnya. Kata simile itu sendiri berasal dari bahasa Latin yang
bermakna ‘seperti’ (Tarigan, 1993: 180-181). Pateda (1995: 191), perumpamaan adalah ‘kemampuan
untuk membandingkan dua hal yang pada hakikatnya berbeda dengan harapan jangan diikuti
atau merupakan keputusan atas sesuatu yang dilihat atau dirasakan. Perumpamaan biasanya
menggunakan kata-kata bak, bagai, seperti, umpama, ibarat, laksana. Keraf (2002: 138) juga
mempunyai pendapat tersendiri tentang perumpamaan yang disamakannya dengan persamaan
atau simile, yaitu perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang dimaksud dengan perbandingan
yang bersifat eksplisit itu adalah bahwa ia langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang

144
lain. Untuk itu, ia memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu
kata-kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya. Contohnya kikirnya seperti
kepiting batu, bibirnya seperti delima merekah, matanya seperti bintang timur. Terkadang diperoleh
persamaan tanpa menyebutkan objek pertama yang mau diperbandingkan, contohnya bagaikan
air di daun talas dan bagai duri dalam daging.
Perumpamaan adalah peribahasa yang membandingkan watak, keadaan, atau kelakuan
seseorang dengan gejala-gejala alam. Biasanya diawali dengan kata ibarat, seperti, umpama, bagai,
sebagai, bak, dan lain-lain (Eneste, 1994: 71). Perumpamaan adalah majas perbandingan yang
dilukiskan dengan membandingkan dua hal berbeda yang dianggap sama (Rani dan Maryani,
2004: 297). Chaer (2002: 174) mengatakan perumpamaan sebagai perbandingan. Perbandingan,
yaitu leksem yang digunakan adalah seperti, sebagai, laksana, seolah-olah, dan seakan-akan. Simile
adalah perbandingan langsung antara benda-benda yang tidak selalu mirip secara esensial.
Perbandingan yang menggunakan simile, biasanya terdapat kata ‘seperti’ atau laksana (engkau
laksana bulan) dan ketimbang atau daripada (ia lebih cantik ketimbang mawar merekah) (Minderop,
2005: 52; Reaske, 1966: 41). Perumpamaan adalah peribahasa yang berisi perbandingan; terjadi
dari maksud (yang tidak diungkapkan) dan perbandingan (yang diungkapkan), misalnya seperti
katak di bawah tempurung, ibarat bunga, sedap dipakai, layu dibuang. Perumpamaan kadang-kadang
memakai kata seperti, ibarat, bagai, macam, dan sebagainya, kadang-kadang tidak
(Kridalaksana,2001: 173).
Peneliti dalam hal ini selain mengacu pada teori gaya bahasa di atas juga mengacu pada teori
stilistika kiasan. Menurut Endraswara (2006: 73), stilistika kiasan terdiri atas dua macam, yaitu
gaya retorik dan gaya kiasan. Gaya retorik meliputi eufemisme, paradoks, tautologi, polisindeton,
dan sebagainya, sedangkan gaya kiasan sangat banyak ragamnya, antara lain alegori, personifikasi,
simile, sarkasme, dan lain-lain.

METODE
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode
deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual, dan akurat tentang bahasa
perumpamaan tokoh dalam Hikayat Raja Banjar (Djajasudarma, 1993: 8). Teknik penelitian yang
digunakan adalah teknik analisis stilistika sastra. Teknik analisis stilistika sastra berupaya
mengungkap aspek-aspek estetik pembentuk kepuitisan karya sastra (Endraswara, 2006: 72).
Pendekatan analisis stilistika sastra, yaitu (1) dimulai dengan analisis sistematis tentang sistem
linguistik karya sastra, dan dilanjutkan ke interpretasi tentang ciri-ciri sastra, interpretasi diarahkan
ke makna secara total dan (2) mempelajari sejumlah ciri khas yang membedakan satu sistem
dengan sistem lain (Endraswara, 2006: 74). Dalam hal ini, peneliti memfokuskan analisis pada
aspek melihat dari ciri teks sastra, yaitu dengan cara mempelajari dan mengkategorikan gaya
bahasa yang tampil dalam teks (Endraswara, 2006: 74).
Langkah-langkah analisis yang digunakan oleh peneliti dalam meneliti bahasa perumpamaan
dalam Hikayat Raja Banjar ini mengacu pada langkah-langkah analisis dari Endraswara (2006:
75), yaitu:
1. Menetapkan unit analisis berupa data yang mengandung bahasa perumpamaan.
2. Menganalisis kata atau kalimat atau paragraf yang digunakan oleh pengarang dalam bahasa
perumpamaan. Peneliti terlebih dahulu menganalisis sistem linguistiknya dan setelah itu
dilanjutkan dengan menganalisis dengan interpretasi tentang ciri-ciri dari tujuan estetis karya
tersebut sebagai “makna total”.
3. Membahas kutipan yang mengandung bahasa perumpamaan secara lebih mendalam.

145
4. Melakukan pengontrasan antara majas yang satu dengan majas yang lainnya (kalau dalam
analisis ada atau ditemukan.
5. Menemukan dan membahas unsur estetis bahasa perumpamaan tokoh.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Bahasa Perumpamaan Tokoh Putri Junjung Buih
Bahasa perumpamaan tokoh Putri Junjung Buih dalam Hikayat Raja Banjar mempunyai kaitan
dengan perumpamaan wajah wanita cantik. Bahasa perumpamaan yang digunakan oleh
pengarang anonim mengacu kepada rupa manusia yang diibarat seperti cahaya kumala.
Perhatikanlah kutipan di bawah ini.
….Maka putri itu kaluar dari dalam buih itu. Rupanya gilang-gumilang, cahayanya saparti
kumala …. (Maka putri itu keluar dari dalam buih itu. Rupanya gilang-gemilang,
cahayanya seperti kumala) (Ras, 1968: 276).
Pada kutipan di atas terdapat majas perumpamaan, yaitu cahayanya seperti kumala. Majas
perumpamaan yang digunakan untuk melukiskan rupa putri ini menunjukkan bahwa tokoh
yang bersangkutan sangat cantik dan rupawan. Tokoh Putri Junjung Buih keluar dari air (buih)
dalam rupa cantik jelita. Kumala bisa berarti batu permata dan bisa pula berarti kumala naga.
Unsur estetis dalam bahasa perumpamaan tokoh di atas terlihat dari adanya perumpamaan rupa
Putri Junjung Buih yang bercahaya seperti kumala.

Bahasa Perumpamaan Tokoh Raden Putra


Bahasa perumpamaan tokoh Raden Putra digambarkan dalam Hikayat Raja Banjar sebagai
seorang yang tampan dan gagah. Raden Putra yang semula sebelum terjun ke air berpenyakit
campah kudung berubah menjadi pemuda yang gagah perkasa setelah keluar dari air. Penyakit
campah kudungnya hilang dan ia keluar dari dalam air dengan menggunakan sarung sutera
berwarna kuning.
Maka Raden Putra itu kaluar bartapih sutra kuning. Maha indah-indah rupa cahayanya
tapih sutra itu, karana bukannya parbuatan manusia itu, parbuatan dewa-dewa itu. Hilanglah
sarungnya Raden Putra yang saparti campah kudung itu. Rupanya itu putih kuning saparti
amas digasa, cahayanya saparti bulan purnama; rambutnya ikal saparti sobrah dikarang,
basarnya itu paradaksa, artinya tingginya dangan basarnya itu sambada (Maka Raden Putra
itu keluar bersarung sutra kuning. Maha indah-indah rupa cahayanya sarung sutra itu,
karena bukannya perbuatan manusia itu, perbuatan dewa-dewa itu. Hilanglah sarungnya
(kulit) Raden Putra yang seperti campah kudung itu. Rupanya itu putih kuning seperti
emas digasa, cahayanya seperti bulan purnama; rambutnya ikal seperti sobrah dikarang,
besarnya itu paradaksa, artinya tingginya dengan besarnya itu sembada) (Ras, 1968:
312).
Penggunaan majas perumpamaan dalam kutipan di atas terlihat pada kutipan Rupanya itu
putih kuning seperti emas digasa, cahayanya seperti bulan purnama; rambutnya ikal seperti sobrah
dikarang. Penggunaan majas perumpamaan dalam mendeskripsikan tokoh Raden Putra dalam
Hikayat Raja Banjar menggunakan kata seperti. Tokoh Raden Putra dideskripsikan sebagai seorang
pemuda tampan dan gagah. Majas perumpamaan tokoh ini membandingkan rupa manusia seperti
benda yang berkilau dan bersinar atau bercahaya. Majas perumpamaan tokoh ini juga
membandingkan rambut manusia yang ikal seperti sobrah dikarang. Unsur estetis dalam bahasa

146
perumpamaan tokoh di atas terlihat dari adanya perumpamaan rupa Raden Putra seperti emas
disepuh, rupanya bercahaya seperti bulan purnama, rambutnya itu ikal seperti sobrah dikarang,
dan ukuran tubuhnya itu ideal.

Bahasa Perumpamaan Tokoh Putri Huripan


Bahasa perumpamaan tokoh Putri Huripan dalam Hikayat Raja Banjar digambarkan seorang
bayi yang mempunyai keajaiban pada waktu dilahirkan. Tokoh Putri Huripan ketika dilahirkan
diceritakan bersama rawingnya dan sudah memakai gelang, kandit, caping, dan kerocong. Intinya,
tokoh Putri Huripan ketika dilahirkan sudah memakai perhiasan wanita yang lengkap. Hal itu
bisa dilihat pada kutipan di bawah ini.
…. Maka budak di dalam parut itu kaluar, sarta rawingnya, sarta galangnya, sarta kanditnya,
sarta capingnya, sarta kakarucungnya itu. Tubuhnya putih kuning, rambutnya mamayang
hanibung cahayanya saparti bulan purnama. Maka ia barkata:”Namaku ini Putri Huripan”
(…. Maka bayi di dalam perut itu keluar, serta rawingnya, serta gelangnya, serta
kanditnya, serta capingnya, serta kakarocongnya itu. Tubuhnya putih kuning,
rambutnya memayang hanibung cahayanya seperti bulan purnama. Maka ia
berkata:”Namaku ini Putri Huripan”) (Ras, 1968: 346).
Dalam kutipan di atas dapat diketahui bahwa Putri Huripan dideskripsikan dengan
menggunakan majas perumpamaan, yaitu cahayanya seperti bulan purnama. Lagi-lagi yang
dideskripsikan pengarang Hikayat Raja Banjar yang anonim berkaitan dengan rupa seseorang.
Dalam hal ini, rupa Putri Huripan pada waktu masih bayi. Dalam kutipan di atas juga terdapat
pelesapan majas perumpamaan dalam kutipan rambutnya memayang hanibung. Kutipan ini dapat
dimaknai secara lengkap dengan menggunakan majas perumpamaan menjadi rambutnya seperti
mayang hanibung. Jadi, rambut Putri Huripan ketika masih bayi panjang seperti mayang terurai.
Aspek keajaiban tokoh sangat dominan untuk mendeskripsikan tokoh ini. Unsur estetis dalam
bahasa perumpamaan tokoh di atas terlihat dari adanya perumpamaan tubuh Putri Huripan
ketika masih bayi yang bercahaya seperti bulan purnama.

Bahasa Perumpamaan I Tokoh Ki Mas Lelana (Raden Sekar Sungsang atau Maharaja Sari
Kaburungan)
Bahasa perumpamaan tokoh Ki Mas Lelana dalam Hikayat Raja Banjar memang sungguh
luar biasa. Tokoh Ki Mas Lelana digambarkan sebagai seorang pria yang sangat tampan sehingga
membuat banyak anak dara menjadi gila, lupa makan, lupa karena sangat mengagumi
ketampanan tokoh Ki Mas Lelana ini. Bayangkan saja, tokoh Ki Mas Lelana ini digambarkan
dengan menggunakan majas perumpamaan seperti berjalan seperti merak menari, berdehem seperti
menggertak musuh, terkejut segala yang mendengar. Hal itu bisa dilihat pada kutipan di bawah ini.
…. Banyaklah anak dara yang jadi gila, lupa akan makan, lupa akan parbuatan birahi kapada
Ki Mas Lalana itu: barjalan saparti marak mahigal, bardehem saparti manggatak musuh,
tarkajut sagala yang mandangar, barludah, tiga dapa lajangnya. Barang laku mambari birahi
kapada hati parampuan (…. Banyaklah anak dara yang jadi gila, lupa akan makan, lupa
akan perbuatan birahi kepada Ki Mas Lalana itu: berjalan seperti merak menari, berdehem
seperti menggertak musuh, terkejut segala yang mendengar, berludah, tiga depa jauhnya.
Barang laku memberi birahi kepada hati perempuan) (Ras, 1968: 360).

147
Dalam kutipan di atas juga ditemukan majas hiperbola, yaitu berludah, tiga depa jauhnya.
Bagi manusia biasa hal tersebut sangat tidak mungkin dan tidak masuk akal, akan tetapi bagi
bahasa hikayat hal itu mungkin saja atau sah-sah saja. Tokoh Ki Mas Lelana dalam kutipan di
atas juga diceritakan mempunyai perilaku yang bisa membuat birahi hati perempuan. Unsur
estetis dalam bahasa perumpamaan tokoh di atas terlihat dari adanya perumpamaan cara berjalan
Ki Mas Lelana yang seperti merak menari, cara berdehem seperti menggertak musuh, berludah
tiga depa jauhnya, dan perilakunya membuat birahi kepada hati perempuan.

Bahasa Perumpamaan II Tokoh Ki Mas Lelana (Raden Sekar Sungsang atau Maharaja
Sari Kaburungan)
Bahasa perumpamaan tokoh Ki Mas Lelana dalam Hikayat Raja Banjar di bawah ini lebih
lengkap dan rinci lagi dibandingkan bahasa perumpamaan tokoh yang sama sebelumnya. Dalam
bahasa perumpamaan tokoh ini terdapat tambahan majas yang lain. Majas tersebut adalah majas
hiperbola. Perhatikanlah kutipan di bawah ini.
…. Maka Ki Mas Lalana itu mahiringkan, barkain limar candrasari diparamas, barsabuk
tali datu, karis batatah barwarangka katimaha, landean tunggul sami, barpamandak
hastakona, barpanduk timbaga suasa, barsasumping surengpati. Tubuhnya kuning saparti
amas digasa, rambutnya ikal saparti sobrah dikarang, tangannya lantik saparti patah, bahu
bidang saparti wayang, pinggangnya ramping sacakak malang, pupu gangsir manunggang
bilalang. Barjalan saparti marak mahigal. Bardaham saparti manggatak musuh bunyinya,
tarkajut orang mandangar, takut sarta kasihnya. Lamun barludah tiga dapa jauhnya. Giginya
saparti mutiara. Lamun barkata suaranya nyaring bunyinya, saparti suara naga, mambari
birahi parampuan hatinya gila …. (…. Maka Ki Mas Lalana itu mengiringkan, berkain
limar candrasari diperemas, bersabuk tali datu, keris bertatah berwarangka katimaha,
landean tunggul sami, berpemandak hastakona, berpanduk tembaga suasa,
bersasumping surengpati. Tubuhnya kuning seperti emas digasa, rambutnya ikal seperti
sobrah dikarang, tangannya lantik seperti patah, bahu bidang seperti wayang,
pinggangnya ramping secakak malang, pupu gangsir menunggang belalang. Berjalan
seperti merak menari. Berdehem seperti menggertak musuh bunyinya, terkejut orang
mendengar, takut serta kasihnya. Lamun berludah tiga depa jauhnya. Giginya seperti
mutiara. Lamun berkata suaranya nyaring bunyinya, seperti suara naga, memberi birahi
perempuan hatinya gila ….) (Ras, 1968: 364).
Dalam kutipan di atas dapat diketahui bahwa tokoh Ki Mas Lelana dideskripsikan dengan
menggunakan majas perumpamaan. Hal itu terlihat pada kutipan Tubuhnya kuning seperti emas
digasa, rambutnya ikal seperti sobrah dikarang, tangannya lantik seperti patah, bahu bidang seperti
wayang, pinggangnya ramping secakak malang, pupu gangsir menunggang belalang. Berjalan seperti
merak menari. Berdehem seperti menggertak musuh bunyinya, terkejut orang mendengar, takut serta
kasihnya. …. Giginya seperti mutiara. Lamun berkata suaranya nyaring bunyinya, seperti suara naga,
memberi birahi perempuan hatinya gila. Majas hiperbola terlihat pada kutipan Lamun berludah tiga
depa jauhnya. Tubuh Ki Mas Lelana diumpamakan seperti emas disepuh, rambutnya ikal seperti
sobrah dikarang, tangannya lentik seperti patah, bahunya bidang seperti wayang. Bila Ki Mas
Lelana berjalan seperti merak menari. Bila Ki Mas Lelana berdehem seperti menggertak musuh.
Gigi Ki Mas Lelana seperti mutiara. Bila Ki Mas Lelana berkata, suaranya nyaring seperti suara
naga. Majas hiperbola pun dapat ditemukan pada kalimat terakhir kutipan ini, yaitu Lamun berkata
suaranya nyaring bunyinya, …., memberi birahi perempuan hatinya gila. Mendengar suaranya yang
nyaring saja bisa membuat birahi perempuan hatinya gila. Unsur estetis dalam bahasa

148
perumpamaan tokoh di atas terlihat dari adanya perumpamaan Ki Mas Lelana yang memiliki
tubuh yang kuning seperti emas disepuh, rambut yang ikal seperti sobrah dikarang, tangannya
lentik seperti patah, bahu bidang seperti wayang, cara berjalan seperti merak menari, berdehem
seperti menggertak musuh, gigi yang seperti mutiara, bunyi suara yang nyaring seperti suara
naga yang membuat birahi perempuan hatinya gila.
Bahasa Perumpamaan Tokoh Raden Samudera
Bahasa perumpamaan tokoh Raden Samudera dalam Hikayat Raja Banjar menggunakan
bahasa yang biasa dan tidak melebih-lebihkan. Bahasa apa adanya ini menunjukkan bahwa
pengarang Hikayat Raja Banjar tidak ingin mengulang atau menambahkan majas perumpamaan
pada tokoh Raden Samudera seperti pada tokoh-tokoh sebelumnya.
…. Tatapinya cahaya mukanya, rupa parduduknya, rupa pardirinya, rupa parjalannya, angkuh
parkataannya, sakaliannya itu bartikas barlain lawan orang banyak. Ia itu rambutnya ikal,
tubuhnya bangbang manis, basarnya paradaksa, artinya sambada basarnya dan tingginya
itu, barang lakunya itu barang pantas. …. (…. Tetapinya cahaya mukanya, rupa
perduduknya, rupa perdirinya, rupa perjalannya, angkuh perkataannya, sekaliannya
itu berbatas berlain dengan orang banyak. Ia itu rambutnya ikal, tubuhnya bangbang
manis, besarnya paradaksa, artinya sembada basarnya dan tingginya itu, barang lakunya
itu barang pantas. ….) (Ras, 1968: 398 dan 400).
Bahasa perumpamaan tokoh pada kutipan di atas tidak menggunakan kata perumpamaan,
tetapi langsung merujuk pada gambaran sosok seseorang atau pendeskripsian sosok tokoh. Hal
itu dapat diketahui dari kutipan Tetapinya cahaya mukanya, rupa perduduknya, rupa perdirinya,
rupa perjalannya, angkuh perkataannya, sekaliannya itu berbatas berlain dengan orang banyak. Ia itu
rambutnya ikal, tubuhnya bangbang manis, besarnya paradaksa, artinya sembada basarnya dan
tingginya itu, barang lakunya itu barang pantas. Pendeskripsikan tokoh Raden Samudera ini
diceritakan apa adanya sebagai seorang raden atau bangsawan atau keturunan darah biru. Tidak
ada majas perumpamaan apalagi hiperbola dalam pendeskripsian tokoh Raden Putra. Hal ini
sangat berbeda dengan perumpamaan tokoh lainnya dalam Hikayat Raja Banjar. Dari deskripsi
tokoh dalam kutipan di atas dapat diketahui bahwa tokoh Raden Samudera adalah orang yang
tampan dan gagah. Hal itu dapat diketahui dari kutipan Ia itu rambutnya ikal, tubuhnya bangbang
manis, besarnya paradaksa, artinya sembada basarnya dan tingginya itu, barang lakunya itu barang
pantas. Kalau diperhatikan pemilihan kata dalam bahasa perumpamaan di atas, tentu dapat kita
pahami bahwa pengarang ingin menceritakan atau mendeskripsikan tokoh seperti apa adanya.
Pengarang tidak menambah majas perumpamaan seperti tokoh-tokoh Hikayat Raja Banjar sebelum
Raden Samudera. Unsur estetis dalam bahasa perumpamaan tokoh di atas terlihat dari deskripsi
sosok tokoh Raden Samudera yang memiliki rambut yang ikal, tubuhnya yang bangbang manis,
besarnya paradaksa, dan barang lakunya barang pantas.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan, yaitu bahasa
perumpamaan tokoh dalam Hikayat Raja Banjar hanya terdapat pada tokoh Putri Junjung Buih,
Raden Putra, Putri Huripan, Ki Mas Lelana yang menggunakan kata seperti, terkecuali tokoh
Raden Samudera. Bahasa perumpamaan tokoh dalam Hikayat Raja Banjar berkaitan dengan (1)
cahaya rupa, (2) cahaya tubuh, (3) rambut, (4) ukuran atau postur tubuh, (5) cara berjalan, (6)
bunyi ketika berdehem, (7) tangan, (8) bahu, (9) gigi, dan (10) bunyi suara ketika berkata. Bahasa

149
perumpamaan tokoh yang paling rinci diceritakan dalam Hikayat Raja Banjar adalah
perumpamaan tokoh Ki Mas Lelana. Selain majas perumpamaan, dalam bahasa perumpamaan
tokoh Ki Mas Lelana juga ditemukan penggunaan majas hiperbola.
Saran
Saran bagi peneliti selanjutnya agar melakukan penelitian-penelitian tentang majas atau gaya
bahasa yang lain dalam Hikayat Raja Banjar. Penelitian lainnya yang disarankan adalah agar
meneliti makna dan fungsi majas dalam Hikayat Raja Banjar. Kedua penelitian yang disarankan
ini sangat penting untuk dilakukan agar majas, makna, dan fungsinya dalam Hikayat Raja Banjar
tuntas dikaji secara lebih mendalam.

150
DAFTAR RUJUKAN

Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Dharmojo. 2004. Sarana Retorika dalam Penuturan Munaba Waropen Papua. Vidya Karya, Jurnal
Kependidikan dan Kebudayaan, 1(1): 84-94.
Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Sastra, Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi.
Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Djajasudarma, T. Fatimah. 1993. Metode Linguistik, Ancangan Metode Penelitian dan Kajian.
Bandung: Eresco.
Eneste, Pamusuk. 1994. Kamus Sastra untuk Pelajar. Ende, Flores, NTT: Nusa Indah.
Keraf, Gorys. 2002. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Minderop, Albertine. 2005. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Pateda, Mansoer. 1995. Kosakata dan Pengajarannya. Ende, Flores, NTT: Nusa Indah.
Rafiek, Muhammad dan Anis, M. Zainal Arifin. 2004. Eksistensi Wiramartas dalam Hikayat Banjar.
Wiramartas, Jurnal Sosial dan Pendidikan, 1 (1): 1-10.
Rafiek, Muhammad. 2005a. Analisis Realitas Mitologis dan Realitas Ideologis dalam Naskah Hikayat
Carita Raja Banjar dan Raja Kota Waringin dengan Pendekatan Strukturalisme Hermeneutika
Claude Levi-Strauss. Laporan tidak diterbitkan. Banjarmasin: Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Unlam.
Rafiek, Muhammad. 2005b. Analisis Realitas Mitologis dalam Naskah Hikayat Carita Raja Banjar
dan Raja Kota Waringin dengan Pendekatan Strukturalisme Hermeneutika Claude Levi-Strauss.
Tesis tidak diterbitkan. Banjarmasin: Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa dan sastra
Indonesia dan Daerah, FKIP, Unlam.
Rafiek, Muhammad. 2006a. Poligami dalam Hikayat Banjar. Kalimantan Scientiae, Majalah Ilmiah
Universitas Lambung Mangkurat, Sosial dan Humaniora, 67 (1): 58-67.
Rafiek, Muhammad. 2006b. Claude Levi-Strauss di Tengah-Tengah Para Tokoh Mitologis Banjar,
Lambu Mangkurat, Putri Junjung Buih, dan Raden Putra (Pangeran Suryanata) yang Takkan
Pernah Terlupakan Versus Wiramartas yang Terlupakan (Sebuah Kajian Strukturalisme
Hermeneutik atas Naskah Hikayat Banjar, Suatu Historiografi Etnik). Jurnal Pendidikan &
Humaniora, 5 (2): 263-279.
Rafiek, Muhammad. 2011. Hikayat Raja Banjar: Kajian Jenis, Makna, dan Fungsi Mitos Raja.
Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya, 1(1): 3-27.
Rafiek, Muhammad. 2012a. Hikayat Raja Banjar, Tutur Candi, dan Pararaton: Suatu Perbandingan.
Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya, 2 (1): 5-17.
Rafiek, Muhammad. 2012b. Kearifan Lokal dalam Hikayat Raja Banjar. IMAN, International Journal
of the Malay World and Civilisation, 30 (1): 67-104.
Rani, Supratman Abdul dan Maryani, Yani. 2004. Intisari Sastra Indonesia dilengkapi dengan Gaya
Bahasa, 30 Ikhtisar Roman Pilihan, dan Kamus Istilah Sastra. Bandung: Pustaka Setia.

151
Ras, Johanes Jacobus. 1968. Hikajat Bandjar. The Hague: Martinus Nijhoff.
Reaske, Christopher Russel. 1966. How to Analyze Poetry. New York: Monarch Press.
Tarigan, Henry Guntur. 1985. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa.
Tarigan, Henry Guntur. 1993. Pengajaran Kosakata. Bandung: Angkasa.
Zaidan, Abdul Rozak, Rustapa, Anita K., dan Hani’ah. 2000. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai
Pustaka.

152
REPRESENTATION OF CULTURAL VALUES OF USING COMMUNITY IN
BANYUWANGI FOLK SONGS (MAPPING THE MATERIAL FOR USING
LANGUAGE AS LOCAL CONTENT)
(REPRESENTASI NILAI-NILAI BUDAYA MASYARAKAT USING DALAM LAGU-
LAGU RAKYAT BANYUWANGI (PEMETAAN BAHAN UNTUK BAHASA USING
SEBAGAI MUATAN LOKAL))

Imam Suyitno dan Abdul Syukur Ibrahim


Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang, Jl. Semarang 5 Malang,
e-mail yitnolis@yahoo.com

Abstract

Representation of Cultural Values of Using Community in Banyuwangi Folk Songs


(Mapping the Material for Using Language as Local Content). The Using community
creates folk songs in Banyuwangi to fulfill their need of artistic creativity. The creation
of art products such as song is a process of creation and innovation which are motivated
and influenced by its surrounding environment. Therefore, Banyuwangi folk songs have
a distinctive form that is consistent with the environment and developments of the times.
The variety of content and meaning of the messages in Banyuwangi folk songs reflects
the variety of social orientation and cultural values of the speech community. The cultural
attitude of the society which abides by the existing ethics in their environment as a
strategy for adapting themselves to obtain security in their social-cultural life. Cultural
values and attitudes of Using community as reflected in the songs reflects the lofty
values that deserves to be taught and passed on to the younger generation of Using
community.

Keywords: cultural values, using community, folk songs, local content

Abstrak

Representasi Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Using dalam Lagu-lagu Rakyat


Banyuwangi (Pemetaan Bahan untuk Bahasa Using sebagai Muatan Lokal).
Masyarakat Using menciptakan lagu daerah Banyuwangi untuk memenuhi kebutuhan
kreativitas seninya. Penciptaan produk seni yang berupa lagu tersebut merupakan proses
kreasi dan inovasi yang didorong dan dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya. Karena
itu, lagu daerah Banyuwangi memiliki wujud yang khas sesuai dengan kebutuhan
lingkungan dan tuntutan zamannya. Keberagaman isi dan makna pesan dalam lagu
daerah Banyuwangi menggambarkan keberagaman orientasi sosial dan nilai-nilai
budaya masyarakat penuturnya. Sikap budaya masyarakat yang patuh pada etika
lingkungan merupakan strategi adaptasi untuk mendapatkan jaminan keamanan dalam
kehidupan sosial budayanya. Nilai budaya dan sikap budaya masyarakat Using yang
tercermin dalam tuturan lagu memuat nilai-nilai luhur yang patut diajarkan kepada
generasi muda Using.

Kata-kata kunci: nilai budaya, etnik using, lagu daerah, muatan lokal

153
INTRODUCTION
The Using community in their daily life is always interacting with their environment by using the
traditional system continuously and they are bound by common identity in their social unity
(Koentjaraningrat, 1990). They are faced by challenges and stimuli from their environments, including
the challenges and stimuli from natural environment. In answering the challenges and stimuli, they,
individually and collectively, have developed their culture and used it as the guidance for adapting
themselves to fulfill their daily needs. One of the manifestation of cultural development is the creation of
Banyuwangi folk songs.
Using community creates Banyuwangi folk songs to fulfill their need for artistic creativity. The
creation of art products in the form of songs is a creative and innovative process which was motivated
and influenced by the environmental condition. Therefore, Banyuwangi folk songs has a distinctive
form in accordance with the needs of their environment and the development of the times.
Banyuwangi folk songs serve the function as symbol of cultural identity for Using community.
Banyuwangi folk songs are considered identical with the characteristics and behavior of Using speech
community. The form, patterns and idioms in these songs are considered as a reflection of the culture of
the community. This fact is consistent with Liliweri (2003:68-71), who states that identity is always
connected or related to certain localities and its community.
As a cultural identity, the development of these songs is always keeping up with the development of
its speech community. Kodiran (1998) explains that the patterns and expressions of art, including musical
or vocal one, is a reflection of the cultural pattern of the community in question. The cultural development
of communities will affect the forms of the songs that appear from year to year. Therefore, Banyuwangi
folk songs from the 1970s and before is different from the ones that appears after the 1980s. The songs
that are performed as part of the gandrung and angklung from the era before 1970s is different from the
ones after 1980s that are more closely related to kendhang kempul and patrol orkestra.
In Using community, there are several groups or social strata that have different structures, power
and sense of appreciation for life. These differences result in different adaptation strategy by each groups
in the community in fulfilling their needs in life. The variety of patterns and adaptation strategy of these
groups are reflected in their cultural products. This implies that the variety in Banyuwangi folk songs
reflects the variety in the adaptation strategy of Using community in keeping up with the demands of
its environment.
The Using community lives in a heterogeneous context. The heterogeneity of this community gives
an impact on the social-cultural life of the Using community. Their patterns of life become more varied
and dynamic so that dynamic social changes will always occur. Social change is an important part of
the social structure, that is the shifts in the social patterns and interactions (Lauer, 1989:4), which in this
case implies that changes will also occur in the cultural norms, values and phenomena (cf. Suparlan,
1985). Part of this social changes is the changes in the position and role of individuals and groups in
social structures. This will have a strong impact on the cultural patterns and perceptions of the community,
including in arts.
Changes in social structure will result in shifts within a culture. The cultural shifts will make an
impact on linguistic shifts. In this event, there are only two choices, that is the language can be driven
aside by other languages or not. A language is driven aside when it cannot maintain its own survival
(Sumarsono and Partana, 2002:231). Linguistic shifts will occur because its speech community has left
the language and choose to use other language. However, if the speech community is motivated to
continue using its own language then the language will survive. The survival of language will entail the
survival of the culture and the shifts in a language will mean that the culture also shifts and changes.

154
In the effort to maintain the language and culture of Using community, it is necessary to
collect documents of research result that can be used as reference for the formulation of policies in
developing Using culture. Several collections of Banyuwangi folk songs has already been
documented as part of the ethnic cultural heritage of Using community. The variety of songs that
has been produced in many kinds of performance groups from year to year can be used as a basis
for determining the periods of Banyuwangi folk songs. The classification of periods will strengthen
the existence of Using language and culture which are unique and different from other ethnic
language and culture.
Based on the discussion above, this article will focus on the effort to integrate the values of
Using culture in Banyuwangi folk songs into a curriculum for Using language learning as local
content. Banyuwangi folk songs can be considered as a cultural product of Using community
which contains local genius of Using ccommunity. Through these songs, the narrator of the song
can inform and teach the values of local wisdom to the Using community. Therefore, the integration
of Banyuwangi folk songs into the curriculum of Using language learning as local content can be
one of the options in the effort to maintain the continuity of Using culture.
In relation to the effort to obtain useful findings for the maintenance of Using culture, in the
first phase, this research tried to (a) elaborate the values of Using culture as expressed in folk songs
of Banyuwangi, (b) identify the values of Using culture which are relevant for the learning material
for local wisdom in the curriculum for Using language learning as local content, and (c) design a
curriculum for Using language learning as local content which is based on the local genius of
Using community by integrating Banyuwangi folk songs.

METHOD
This research is a qualitative one and uses hermeneutic approach. The data for this research is
Banyuwangi folk songs, information and cultural tradition and facts of daily life of Using
community and information on Using language and Banyuwangi folk songs. Data was collected
from documentary study, interviews and observation. In collecting the data, the researcher as the
primary instrument was supported by observation guidelines, interview guidelines, documentary
study guidelines and electronic voice recorder. During data collection, the researcher carried out
selection, identification, classification and categorization of data which is based on emic perspective.
Data was analyzed using the hermeneutics of Ricoeur. The four aspects of research was studied
closely in several levels, that is semantic, reflexive and existential level. In order to verify the findings
of the research, the findings are triangulated to the experts and scholars/literati of Using culture.
The elaborated data on the values of Using community which is obtained from analysis of
Banyuwangi folk songs is then identified and mapped. The identification and mapping is meant to
determine the cultural values relevant for the learning material for local wisdom of Using community.
The result of the mapping of cultural values is then integrated to the existing curriculum for Using
language as local content. By giving due attention to the themes and sub-themes in the curriculum
for Using language learning, the varieties of cultural values as found by this research is integrated
into relevant units. In this way, we can obtain a curriculum for Using language learning which is
integrated and based on local wisdom by using Banyuwangi folk songs as teaching material.

RESULTS
Using community has a distinctive set of manner and tradition which is oriented towards a
value system (as a worldview) which is passed down from earlier generations until the present. In
relation fo religious life, Banyuwangi folk songs express two cultural attitude of Using community
155
in relation to Divinity, that is the belief in the omnipotence of God and in certain aspects of God. In
relation to divine omnipotence, they believe that God is the Almighty, meaning that God is capable
of doing anything that He wills. Mankind and natural environment is under His power and will. As
the Most Exalted Being, God has several aspects or nature and human beings can offer prayer to
ask from Him.
The belief of Using community towards God is documented in the songs, and this includes
ideas on: (a) the omnipotence and perfection of God’s knowledge, (b) God’s power over fate, (c)
God’s power over life and death, (d) God’s power over nature and anything that occurs in it, and (e)
God’s power over human life. This is illustrated in the following quotation:
.../Amit –amit kita njaluk dititeni/Kadung luput ageng alit sepurane/Ayo dulur kekurangane
apikena/Wong kang nganggit kepinterane durung sampurna/...
(.../We humbly request your permission/If anything amiss, whether it is big or small, we
would like to apologize in advance/Let us brothers improve on our weaknesses/People who
compose is never perfect in knowledge ...)
This quotation shows that the narrator admits that he has many weaknesses. He realizes that
his knowledge and capability is still far from perfect. His work or composition still contains many
imperfection. Therefore, he is apologizing to his audience and ask for forgiveness.
The values of Using perspective on divine power orients their awareness to fate. This is illustrated
in the following quotation from a song entitled Lancing Tanggung: /kelayung-layung bingung awak
kulo/wis pasthine paman lancing tanggung/janji urip bareng ditinggal mlaku sulung. The song tells
of a young man who is miserable because he has made a vow with his lover to live together but the
girl goes to marry someone else. The phrase wis pasthine (it is fated/destined) in the lyric is an
illustration of the belief in a fate destined by God. When it has been destined, one must be willing to
accept it.
The belief in God’s power is the foundation for the belief in the aspects or nature of God, where
God is seen as: (a) protector and savior of life, (b) helper of those who are in need, (c) provider of
blessings to those who are willing to endeavor, (d) merciful and compassionate to His creatures, (e)
just in everything, and (f) provider of guidance to mankind. This is illustrated in the following
song:
.../Lare-lare ilingana, eman/Prihatin mbantu wong tuweke/Sithik akeh pada nrima, eman/
Mugo-mugo ulih sawabe/
(.../Oh children, please remember, oh dearest/Diligent in helping parents/In good and bad
times, willing to accept things/May such a person gain His blessings)
This song expresses a didactic message that children should remember and always be mindful
to help their parents, be concerned with the condition of their parents and does not complain easily,
and to accept realities of life as it is so that they can receive blessings and be avoided from misfortune
in their life. Such a child will be blessed by her/his parents. The prayers of the parents will always
be heard and granted by God. The message of the songs expresses implicitly the belief of Using
community that God is compassionate and guards the safety of mankinds.
The song Tanah Kelahiran expresses the belief of Using community of God as savior. In the
song, it is said ngembani kewajiban nong ibu pertiwi/njaluk puji rika mak-bapak ngumbara/. This
lines tells of an individual who asked for the prayers of his/her mother and fathers because s/he is

156
about to carry out a task for the country. S/he expects the prayer from her/his mother and father
for his/her safety in duty. This shows that they believe in God as the savior.
The belief in the power and nature of God has grown a positive attitude among the Using
community where they would not boast for their capabilities. This belief is also the basis for the
willingness to accept God’s will (pasrah) for all the effort that s/he has expended. Human beings
should try to succeed but only God can determine the success. In order to achieve what one wants,
one must try and pray to God, as manifested in worship.
In Banyuwangi folk songs, we can identify two principles of the attitude of Using community
in social life, that is peaceful relation (kerukunan) and harmony. The value of peaceful relation in
the social activities in the society is manifested in many forms, such as helping each other, cooperation,
and maintaining the integrity of the community. This is illustrated in the following song:
.../Gendhongan thek-thek kothekan/Tondho ono wong arep duwe gawe/Dulur tangga podho
rukun teko/Nggowo beras ketan lan gedhang kelopo/...
(The kenthongan is sounded/It is a sign that there is a family who is about to hold a ceremony/
Relatives and neighbors all come in togetherness/Bringing sticky rice and banana and coconut/
...)
The event described in the lines above is a depiction of the realities of daily life of Using
community who are accustomed to helping one another. They will willingly help other people who
are holding an event, without any intention to gain money or any other return. Sometimes for big
events, they will help the person or family having that event for days in the house of the family. In
such a condition, the person who is holding the event would be considerate, in the sense that they
will give some kind of return to those who have helped them, especially those who are under
financial distress. For those who are already well-off, the person holding the event would not give
anything, since they understand that such a gift will be politely refused.
Harmony is manifested in such attitudes as politeness, making good the promises that have
been given, respecting other people’s rights, caring towards others, finding solution through
compromise, being mindful of one’s own duty and being mindful for other people’s feelings. The
example of lines that are related to the value of harmony is the following quotation from the song
Damar Telempik: mula jebeng mula thulik, uripa kaya telempik/mbudi daya laku apik, laku ala ojo
dimilik/ayo dulur tuwek enom, lanang-wadon gedhe-cilik/diniati laku apik, nong tengah dalan aja
balik. This lines is an exhortation to all, both man and woman, young and old, to do good.
Using people do not like to solve a problem or conflict with coercive means because it will only
bring ruin to themselves. Such an attitude is expressed in the following lines from the song Bang
Cilang-Cilung:
Quotation (4.10)
Bang cilang-cilung, kucing garong melung-melung/Bang cilang-cilung, kang direbut doyo
mung belung/Bang cilang-cilung, kucing garong melang-melung/Bang cilang-cilung, sewengi
japleng dibelani tarung/.../Main ramene main suwene/Asune rungu melayu marani/Kaing-
kaing, meang-meong/Belung disaup kucinge ngomplong/
(Bang cilang-cilung, the sound of robber cat/Bang cilang-cilung, what they are fighting about
is only bone/Bang cilang-cilung, the sound of robber cat/Bang cilang-cilung, they are fighting
over it all night/.../The longer they fight the louder they scream/The dog hear it and come
near/The dog barks, the cat meows/The dog grab the bone, the cats can only watch in awe)

157
The metaphorical content of this song describes a conflict or fight that has no end. The parties
involved would not solve their differences peacefully and fairly. They even loudly boast their claim
and defend what they regard as their right boisterously because each feels that s/he is more rightful
than the other. The solution at last comes from other external parties and the quarelling parties get
nothing in the end.
In personal life, the Using people have many attitudes. Several attitudes are mentioned in
Banyuwangi folk songs, both ethical and unethical. The attitudes include: (a) perseverance in
working, (b) proactivity and creativity in working, (c) pride as an Using, (d) courage in action, (e)
willingness to accept reality. These attitudes are portrayed in the songs Aring-aring and Wayah
Surub. The songs portray an attitude of perseverance and endurance in facing the challenges of
natural environment. The song Aring-aring describes the life of tough farmer who lives in a small
hut in the midst of paddy fields when the weather is very cold. While the song Wayah Surub describes
the life of a fisherman who would not give up before he gets some fish despite the late hour.
Using people do not easily give up in facing the chronic unemployment that is experienced by
those from the lower level of social strata. They always work hard to obtain sufficient income to
fulfill their daily needs. This is expressed in the song Perawan Sunthi and Man Jen. Both song
describe the difficult lives of ordinary people who earn their livelihood with difficulty but they are
steadfast. They diligently do about their profession despite the tiny amount of money that they
receive from it. Such an attitude is also reflected in Aring-aring and Wayah Surub. The two songs
also describe the attitude of persons who are steadfast and persevere in facing natural environment.
The song Aring-aring describes a farmer who are unrelenting in his spirit to live in a secluded in the
midst of paddy field during a very cold weather. While the song Wayah Surub describes the spirit of
fishermen who would not go back late at night before they catch some fish.
In the life of Using community, the persistence in facing difficulties in work is common trait
among Using people from lower economic levels. They always work hard to obtain enough livelihood
to fulfill their daily needs. This is expressed in the songs Perawan Sunti and Man Jen. The two songs
describes the life of common people who are always facing difficulties in earning their livelihood,
but they are steadfast and do their work diligently despite the meagre amount of income that they
receive.
Using community is also interacting with nature. In Banyuwangi folk songs, the attitude of
Using people in relation to nature can be classified into three groups based on the function or role
for themselves. Based on these functions or role, the Using community see their natural environment
as (a) source of human livelihood, (b) source of inspiration in dealing with problems in life, (c)
source of knowledge, (d) role model in acting, (e) means to obtain happiness or recreation, (f)
means of communication with God and (g) place to find protection.
The attitude of Using community in their interaction with nature is expressed in the songs
Aring-aring, Berantas Wereng and Nggampung. The three songs describe the life of farmers who
interact with nature everyday. In the interaction, on the one hand they try to manage nature to
fulfill their needs but on the other hand they also have to know what the nature requires from
them. As an example, the songs quoted above that in order to obtain successful harvest, the farmer
must know how much paddy to plan, when it should be planted, how to irrigate them, how much
fertilizer to be used, how to prevent the insects from eating them, when to harvest, etc. This shows
that nature will provide livelihood as expected by human beings only when there is a balance
between the expectation and the actual work being done in the field.
Based on the research findings above, it can be concluded that Banyuwangi folk songs express
cultural value which are held in esteem, respected and applied as the worldview and guide for

158
living by the Using community. The variety of cultural attitude in the songs reflects the attitude
which are manifested in real life in Using community. The variety of cultural attitude is manifested
in ways that are congruent with their worldview. The attitude of the community towards religious,
social and personal life and their relation with natural environment is based on their view of God,
society, themselves and nature.
From the description above, it can be concluded that the culture of Using community in
religious, social, and personal life and their relation with nature is expressed through the messages
in Banyuwangi folksongs. The belief of Using community in religious life is the basis for their
attitude in social and personal life and for their attitude in their relation with nature. They maintain
peace and harmony in their social life, maintain ethical attitude and their harmonious relationh
with nature. They carry out their cultural tradition and beliefs in their daily life. Such an attitude
reflects the ethics of natural environment which is applied by the Using community as a strategy
for adaptation in maintaining the security of their social-cultural life.
The cultural values in the songs as discussed above are lofty values that should be taught to the
younger generation of Using. By inculcating the cultural values, the younger generation of Using
can identify and maintain the ethnic culture of Using. In this way, the culture of Using community
can be maintained and preserved in the life of the society.

DISCUSSION
The description above has elaborated the cultural values of Using community in the folksongs
of Banyuwangi. The cultural value which is documented and reflected in the songs is considered as
the worldview of the Using community in their daily life. The songs reflect the cultural value of
Using community in their religious, social, and personal life and in their relation with nature.
According to Snijders (2004:143), the relation of each human individual with her/himself, with
other human beings, and with nature is affirmative and at the same time paradoxical. The relation
of an individual with another is leading towards unity, but each individual in their unified relationship
with others will tend to manifest her/his own uniqueness. In relation to nature, human beings can
only become themselves by personifying nature. Then as cultural being, human beings declare
themselves as religious being. The religious dimension, according to Snijders, is said to spring from
within the individuals themselves and it serves as a reflection to deepen the understanding about
human beings themselves. By reflecting the religious relation with God, human beings find
themselves to be withdrawn towards God.
The cultural behavior of a person in her/his life in society is based on and guided by his/her
worldview. Koentjaraningrat (1981) explains that worldview (pandangan hidup) is the values held
by a society which have been chosen selectively by the individuals and groups in a society or
community. This worldview serves as the guide for behavior which regulates, control and direct the
behavior and action of individuals in society. All behavior of human beings is patterned after an
order which can be described in detail according to its unique functions in society.
Using community has several institutions, both in the relation to God, in the relation between
human beings and other human beings, in the relation between individual and her/himself, and in
the relation between human being and natural environment. These institutions are founded on
concepts and way of life that have strong values since time immemorial (the remote ancestors) and
passed on from generation to generation until now. According to Daldjoeni and Soeyitno (1986),
the relation between individuals and other individuals, between individuals and their environment
and between individuals and the Creator form an ethic of environment. The three elements are
related to one another and form a unity where all must be accounted for and cannot be ignored.
159
Each society would have a different ethics of environment from another society and it would be
based on the existing culture in the environment where they live.
The beliefs of Using community is evident in the harmonious relations in the daily life of the
community. Despite differences in religion and belief, they live peacefully. Daldjoeni and Suyitno
(1986) explain that individuals living in this world have to abide by ethics which cannot be separated
from religious faith. According to this ethics, human beings should be responsible towards God. In
order to carry out the responsibility, Using community always perform their obligatory worship in
accordance with their religion.
As creatures of God, human beings according to de Vos (in Mardimin, 1994) have been created
according to the image of God. Therefore, human beings should be aware of God, and this is
manifested in good deeds, honesty, respect to others and mindfulness towards God by performing
worship diligently. Individuals should also be responsible towards natural environment and human
beings though human beings are destined to be the highest being in the created universe.
As a community which is familiar with rituals, there are many among Using community
whose beliefs in God’s omnipotence is manifested using certain medium to deliver their prayers to
the Creator. This is illustrated in the daily life of Using community in the village of Kemiren. They
still believe in the founding ancestor (cikal bakal) of the village, whom they call Eyang Buyut Cili.
They would pray to the spirit of the founding ancestor as intercessor to God and to this day, many
prayers have been granted, and therefore the beliefs is still strongly held by the village community.
Human beings are God’s creature, but they also have social dimension in their life. Human
beings tend to live together in society and have the responsibility to understand one another. Their
freedom is limited by deference to other people’s freedom. They are bound by the values, legal
norms and rules which serves as the foundation of their life in society. According to Sumaatmadja
(2005:40-41), individuals are also expected to have the “courageous” spirit (kewiraan), which includes
bravery, honesty, discipline and responsibility. Without these attitudes, individuals will be estranged
from their life in society and will find it difficult to develop their potential.
For the Using community, the relation between human beings have an important place so
that they always have to show respect in their horizontal relation with their fellow human beings.
Due to the importance of this relation, the Using community always tries to maintain good relation
with their fellow human beings. This is based on the idea that human beings cannot live alone
without other people. In other words, an individual in living her/his life is always dependent on
other people. Based on this idea, the Using community generally always puts high value on helping
each other, cooperation and lack of motivation to obtain personal gain (tanpa pamrih) in carrying
out the activities in their village.
Concerning the relation between human beings and nature, the attitude of a society towards
nature can be approach either by using possibilism or probabilism (Sumaatmadja, 2005:73). They
consider the natural environment not as the determining factor but as controlling factor. Natural
environment is also considered as the source of opportunity which will impact the activities and
culture of human beings. In this case, the Using community is considered to be able to make use of
nature in accordance with their needs.

CONCLUSIONS
The cultural attitude of Using community in religious life, social life, personal life and in their
relation with natural environment is epxressed through the message in Banyuwangi folk songs.
The belief of Using community in religious life is the basis of their attitude in social life, personal life
and in their relation with natural environment. They always maintain their peace and harmony in
160
social life, their ethical attitude, and their harmony in the relation with natural environment. They
keep their cultural tradition and beliefs in their daily life. Such a system of attitude is a reflection of
the allegiance of Using community towards ethics of the environment which has been agreed upon
among them as a strategy for adaptation to obtain the guarantee of security in the social-cultural
life of their society.
Based on the discussion above, several conclusions are in order (a) the variety of content and
messages in a speech reflects the variety of social orientation and cultural values of the speech
community, (b) the cultural attitude of a society which obeys the ethics of the environment is a
strategy in adaptation to obtain guarantee of security in their social-cultural life, (c) cultural values
and attitudes of Using community harbors lofty values which are worthy of being disseminated to
the younger generation of Using community.

161
REFERENCES

Daldjoeni & Soeyitno. 1986. Pedesaan, Lingkungan, dan Pembangunan. Bandung: Penerbit Alumni.
Kodiran. 1998. Kesenian dan Perubahan Masyarakat. Paper presented in Simposium Internasional
Ilmu-Ilmu Humaniora in Yogyakarta on 8—9 December 1998.
Koentjaraningrat. 1981. Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Koentjaraningrat. 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: Aksara Baru.
Lauer, R.H. 1989. Perspektif tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Bina Aksara.
Liliweri, Alo. 2003. Makna Budaya dan Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LKIS.
Mardimin, Johanes. 1994. Jangan Tangisi Tradisi: Transformasi Budaya Menuju Masyarakat Indonesia
Moderen. Yogyakarta: Kanisius.
Snijders, Adelbert. 2004. Antropologi Filsafat: Manusia Paradoks dan Seruan. Yogyakarta: Kanisius.
Sumaatmadja, Nursid. 2005. Manusia dalam Konteks Sosial, Budaya, dan Lingkungan Hidup.
Bandung: CV Alfabeta.
Sumarsono and Partana, Paina. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Suparlan, P. 1985. Kebudayaan dan Pembangunan, Makalah Seminar Kependudukan dan
Pembangunan KLH di Jakarta.

162
BAHASA INDONESIA SEBAGAI IDENTITAS NASIONAL BANGSA INDONESIA
(INDONESIAN LANGUAGE AS THE NATIONAL IDENTITY OF INDONESIAN)

Akhmad Yazidi
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Pakuan, Jalan Pakuan Bogor, e-mail tasyrifin_karim@yahoo.co.id

Abstract

Indonesian Language as the National Identity of Indonesian. This paper discusses


the history of the Indonesian language, the role of the Indonesian language in Indonesian
nationalism, the position and function of the Indonesian language, both as a national
language as well as the state language, the Indonesian language as well as the
characteristics of their national identity. Of this section can be summarized as follows.
Youth Pledge results by Indonesian Youth Congress on October 28, 1928 is the
crystallization of Indonesian nationalism. Indonesian as a young man vows content
plays an important role for Indonesian nationalism. Indonesian language is established
and developed blood nationalism in our society who inhabit the thousands of islands in
this archipelago with different tribes and languages. Indonesian language that is derived
from the Malay language as one of the local languages †in the archipelago is then
developed into an intermediate language (lingua franca), continues to be the national
language and the official language of the State. In the position as the national language,
the Indonesian language serves as (1) a symbol of national pride, (2) a symbol of national
identity, (3) as the language of national unity of the various peoples of different languages
†and cultures, and (4) as a lingua franca among regions and intercultural. In a position
as an official language, the Indonesian language serves as (1) the official language of
the state, (2) the language of instruction in educational institutions, (3) language of
relationships in the implementation of national development and governance, and (4)
the language of instruction in the development of science and modern technology. As the
national language and official language, the Indonesian language is the language
standard, open, dynamic along with the dynamics of the development of society as
national. For development impact, we as Indonesian speaker demanded always open
and dynamic in order to follow the development of Indonesian Indonesian language
used always good and right. In addition, the community to always be positive about the
Indonesian language and Indonesian language in an effort to foster the Indonesian
language. Fostering the Indonesian language means to foster nationalism as well as the
Indonesian language is Indonesian national identity.

Key words: Indonesian, national identity, fostering Indonesian

Abstrak

Bahasa Indonesia sebagai Identitas Nasional Bangsa Indonesia. Tulisan ini


membahas tentang sejarah bahasa Indonesia, peranan bahasa Indonesia dalam
nasionalisme Indonesia, kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia, baik sebagai bahasa
nasional maupun sebagai bahasa negara, serta karakteristik bahasa Indonesia sebagai
identitas nasional bangsa. Dari pembahasan ini dapat disimpulkan sebagai berikut.
Sumpah Pemuda hasil oleh Kongres Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928
merupakan kristalisasi dari nasionalisme Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai salah
satu isi sumpah pemuda memegang peranan penting bagi nasionalisme Indonesia.

163
Bahasa Indonesia merupakan darah yang menjalin dan menumbuhsuburkan
nasionalisme dalam masyarakat kita yang mendiami beribu-ribu pulau di nusantara
ini dengan berbagai suku bangsa dan bahasa daerah. Bahasa Indonesia yang berasal
dari bahasa Melayu sebagai salah satu bahasa daerah yang ada di nusantara ini
kemudian berkembang menjadi bahasa perantara (lingua franca), terus menjadi bahasa
nasional, dan bahasa resmi Negara. Dalam kedudukan sebagai bahasa nasional, bahasa
Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan nasional, (2) lambang identitas
nasional, (3) sebagai bahasa persatuan nasional dari berbagai masyarakat yang
berbeda-beda bahasa dan budaya, serta (4) sebagai bahasa perhubungan antardaerah
dan antarbudaya. Dalam kedudukan sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia berfungsi
sebagai (1) bahasa resmi kenegaraan, (2) bahasa pengantar di lembaga pendidikan,
(3) bahasa perhubungan dalam pelaksanaan pembangunan dan pemerintahan tingkat
nasional, dan (4) bahasa pengantar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern. Sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara, bahasa Indonesia
merupakan bahasa yang baku, terbuka, dinamis seiring dengan dinamika
perkembangan masyarakat sebagai dampak pembangunan nasional.Untuk itu, kita
sebagai penutur bahasa Indonesia dituntut selalu terbuka dan dinamis mengikuti
perkembangan bahasa Indonesia agar bahasa Indonesia yang digunakan selalu baik
dan benar. Di samping itu, masyarakat agar selalu bersikap positif terhadap bahasa
Indonesia dan dalam berbahasa Indonesia sebagai upaya membina bahasa Indonesia.
Membina bahasa Indonesia berarti juga membina nasionalisme bangsa karena bahasa
Indonesia merupakan identitas nasional bangsa Indonesia.

Kata-kata kunci: bahasa indonesia, identitas nasional, membina bahasa indonesia

PENDAHULUAN
Identitas nasional adalah ungkapan nilai budaya suatu masyarakat atau bangsa yang bersifat
khas yang membedakannya dengan bangsa lain. Identitas nasional bukan sesuatu yang sudah
selesai, tetapi terus berkembang secara kontekstual sesuai dengan perkembangan zaman. Unsur-
unsur identitas nasional antara lain pola perilaku, simbol simbol, alat-alat perlengkapan, dan tujuan
yang akan dicapai secara nasional, sedangkan unsur pembentuk identitas nasional meliputi sejarah,
kebudayaan, suku bangsa, agama, dan bahasa (Ubaedillah dan Rozak, 2008: 19-21).
Sumpah Pemuda yang dihasilkan Kongres Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928 berisi
tiga deklarasi tentang nasionalisme Indonesia terkait dengan kesatuan bangsa, kesatuan tanah
air, dan bahasa persatuan Indonesia. Kebermaknaan Sumpah Pemuda sebagai deklarasi atas
kebangsaan, tanah air, dan bahasa, karena kita bangsa Indonsia terdiri atas beribu-ribu pulau (13
ribu lebih), banyak suku bangsa (652), beratus-ratus bahasa daerah (742), serta beragam keyakinan
keagamaan. Oleh karena itu, bangsa Indonesia mengenal falsafah bhinneka tunggal ika.
Antara bahasa Indonesia dengan rasa kebangsaan Indonesia terdapat hubungan kejiwaan
yang saling menentukan (Muslich dan Oka, 2010: 72). Bahkan dapat dikatakan bahwa terdapat
hubungan simbiosis antara bahasa Indonesia dan nasionalisme kita. Kesamaan lingua franca (bahasa
Melayu) antarsuku bangsa turut memicu lahirnya nasionalisme kita, dan sebaliknya nasionalisme
kita memperkuat posisi bahasa Melayu sebagai lingua franca yang akhirnya menjadi bahasa
nasional bangsa Indonesia.
Berkaitan dengan tema tulisan ini, yaitu Bahasa Indonesia Identitas Nasional Bangsa Indonesia,
permasalahan yang dibahas adalah sejarah bahasa Indonesia, peranan bahasa Indonesia dalam
nasionalisme Indonesia, kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia, karakteristik bahasa Indonesia
sebagai identitas nasional bangsa. Tulisan ini dibuat sebagai hasil kajian pustaka atas topik ini.

164
PEMBAHASAN
Sejarah Bahasa Indonesia
Kongres II bahasa Indonesia tahun 1954 mengakui bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa
Melayu. Dalam catatan bahwa bahasa Melayu memiliki sejarah yang cukup panjang. Dari batu-
batu bertulis yang ditemukan, seperti Kedukan Bukit, Talang Tuwo, Kota Kapur, Karang Brahi,
Gandasuli, Bogor, dan Pagaruyung, maka yang paling awal bertahun 683 M. Hal ini menunjukkan
bahwa sejak abad ke-7, bahasa Melayu sudah ditemukan dalam tulisan dengan aksara Pallawa
(Collins, 2009: 78; Adul, 1981: 1-2). Dari bukti ini dapat diduga bahwa secara lisan beberapa abad
sebelumnya bahasa Melayu sudah digunakan masyarakat penuturnya (orang Melayu).
Ada 5 faktor yang mendorong tersebarnya bahasa Melayu di nusantara ini. Pertama, bahasa
Melayu adalah bahasa yang digunakan oleh kerajaan Sriwijaya sebagai salah satu kerajaan di
nusantara ini yang berpusat di Sumatera bagian Selatan dan Riau (Ophuijsen, 1983). Kerajaan
Sriwijaya pada masanya pernah menguasai wilayah yang cukup luas di nusantara ini, sehingga
bahasa Melayu sebagai bahasa kerajaan menyebar seiring dengan meluasnya wilayah kerajaan
Sriwijaya.
Faktor kedua, pusat kerajaan Sriwijaya merupakan wilayah pusat perdagangan internasional.
Di wilayah ini terjadi pertemuan dagang antarpedagang di nusantara ini dengan pedagang yang
datang dari luar nusantara. Dalam pertemuan perdagangan tersebut terjadi komunikasi dengan
menggunakan bahasa Melayu sehingga secara tidak langsung para pedagang dari pelosok
nusantara ini dan juga pedagang yang datang dari luar, mau tidak mau mesti berkomunikasi
dalam bahasa Melayu.
Faktor ketiga, pusat kerajaan Sriwijaya menjadi pusat pendidikan, kebudayaan, dan
keagamaan agama Buddha. Sebagai pusat pembelajaran agama Buddha, membuat wilayah ini
didatangi oleh para pembelajar agama Buddha dari berbagai wilayah, termasuk yang berasal
dari Cina, Champa dan Kamboja dengan bahasa pengantar bahasa Melayu Kuno. Dalam kaitan
ini terjadilah persentuhan antara penutur bahasa Melayu dengan penutur yang berbahasa asing.
Sebagai pusat pendidikan, kebudayaan, dan keagamaan, intensitas hubungan berbahasa sangat
kuat sehingga berdampak terhadap penguasaan dan pemakaian bahasa Melayu.
Faktor keempat, letak geografis kerajaan Sriwijaya ini di selat Melaka menjadi pintu masuk
para pedagang dari dan ke nusantara sehingga frekuensi dan intensitas pertemuan dan komunikasi
sangat tinggi di jalur ini. Faktor kelima adalah bahasa dan sastra Melayu. Bahasa Melayu memiliki
sistem bahasa yang sangat sederhana, tidak mengenal tingkat kebahasaan, serta terbuka, sehingga
mudah dipelajari, sedangkan dari segi kesusastraan, sastra Melayu sudah demikian tinggi yang
berarti bahwa bahasa Melayu sudah mempunyai tradisi kesusastraan yang sudah sangat baik.
Kelima faktor di atas yang membuat bahasa Melayu tersebar dan digunakan di nusantara ini
dalam komunikasi antarsuku dan antarbangsa, bagi kepentingan perdagangan, kebudayaan,
pendidikan, dan keagamaan. Dalam kondisi ini memposisikan bahasa Melayu tidak hanya sebagai
bahasa daerah, tetapi sudah menjadi bahasa perantara ‘lingua franca’ dari berbagai suku dan
bangsa yang berbeda bahasa di nusantara ini. Bahkan oleh Van Ophuijsen (1983) disebutnya
sebagai bahasa internasional.
Pendidikan sebagai bentuk politik etis dari pemerintah Hindia Belanda di nusantara dengan
bahasa pengantar adalah bahasa daerah yang bersifat lokal, bahasa Melayu, dan bahasa Belanda.
Pelaksanaan pendidikan ini dapat dinikmati oleh rakyat di tanah air maupun oleh segelintir rakyat
di Belanda dalam bidang hukum, kedokteran, ekonomi, dan teknik menumbuhkan benih-benih
nasionalisme dalam tubuh rakyat dan masyarakat. Tumbuh rasa hak asasi sebagai manusia yang
harus merdeka dari penjajahan. Rasa nasionalisme ini berpadu dengan rasa anti penjajahan yang

165
dilakukan oleh berbagai gerakan pemberontakan dan peperangan dengan berbagai tokohnya.
Kristalisasi dari nasionalisme dan anti penjajahan ini dituangkan dalam satu deklarasi nasionalisme
hasil Kongres Pemuda Indonesia, 28 Oktober 1928 berupa Sumpah Pemuda.
Ketika pembahasan dalam Kongres Pemuda Indonesia tersebut dijelaskan bahwa tidak ada
satu pun dari para pemuda yang berasal dari semua daerah di nusantara ini yang keberatan
menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan dan sebagai bahasa nasional Indonesia.
Sumpah Pemuda dengan 3 deklarasi tersebut oleh A. Teeuw disebut sebagai pentasmiahan nama
Indonesia bagi bangsa, tanah air, dan bahasa sehingga dengan peritiwa ini memposisikan bahasa
Melayu menjadi bahasa persatuan dan bahasa nasional bangsa Indonesia.
Pendirian Komisi Bacaan Rakyat tahun 1908 dan kemudian diubah menjadi Balai Pustaka
pata tahun 1917 sebagai lembaga pemerintah Hindia Belanda yang menerbitkan dan menyediakan
bahan bacaan rakyat dalam berbagai sektor kehidupan dalam bahasa Melayu membuat
berkembangnya dan tersebarnya bahasa Melayu di seluruh wilayah nusantara. Demikian pula
terbitnya majalah Pujangga Baru oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan kawan-kawan yang
berwawasan nasionalisme dan kebudayaan modern menjadikan bahasa Indonesia sebagai media
perjuangan bangsa bagi kemajuan kehidupan yang maju dan modern juga memberi andil dalam
perkembangan dan pertumbuhan bahasa Indonesia. Masa pendudukan Jepang di wilayah Hindia
Belanda setelah Jepang mengalahkan Belanda nusantara ini merupakan masa yang amat berarti
bagi perkembangan bahasa Indonesia. Jepang sebagai penguasa baru tidak ingin segala hal yang
berbau Belanda digunakan, termasuk bahasa. Jepang berkeinginan agar bahasa Jepang yang
digunakan di wilayah pendudukan ini. Namun penguasaan bahasa tidak semudah menguasai
suatu wilayah, penguasaan dan penggunaan bahasa memerlukan proses yang panjang. Dalam
kondisi transisi ini, pertimbangan yang sangat realistis adalah digunakannya bahasa pribumi.
Dalam hal ini, dipilihlah bahasa Melayu (Indonesia) sebagai bahasa dalam pemerintahan dan
pendidikan atau pengajaran sehingga pada masa pendudukan Jepang ini bahasa Indonesia
digunakan secara resmi sebagai bahasa pemerintahan dan pendidikan atau pengajaran.
Perjuangan pergerakan kemerdekaan yang dilakukan oleh rakyat Indonesia, baik perlawanan
fisik berupa peperangan maupun dalam bentuk politik, ditunjang pula oleh perkembangan dan
kondisi wilayah Hindia Belanda di nusantara ini. Kekalahan Belanda atas Jepang dan kemudian
kekalahan Jepang atas sekutu menyebabkan terjadinya kevakuman kekuasaan di wilayah Hindia
Belanda ini. Kondisi ini dimanfaatkan oleh para pejuang untuk memproklamasikan diri menjadi
negara dan bangsa yang merdeka dan berdaulat oleh Bapak Soekarno – Hatta atas nama rakyat
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Sidang PPKI pada tangal 18 Agustus 1945 menetapkan
UUD RI 1945 serta mengangkat Ir. Soekarno dan Drs. Muh. Hatta sebagai Presiden dan Wakil
Presiden RI. Dalam UUD 1945 bab 15 pasal 36 ditetapkan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa
negara.
Dengan demikian, dapat kita ketahui bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu
sebagai salah satu bahasa daerah di nusantara ini, kemudian berkembang menjadi bahasa perantara
‘lingua franca’ antarmasyarakat. Kemudian Kongres Pemuda Indonesia, 28 Oktober 1928
menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional bangsa Indonesia. Setelah
merdeka, bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa resmi Negara.
Berkaitan dengan hal tersebut Slametmulyana mengemukakan bahwa dipilihnya bahasa
Melayu yang dijadikan bahasa nasional Indonesia karena 4 faktor, yaitu (1) bahasa Melayu sudah
merupakan lingua franca di nusantara. (2) sistem bahasa Melayu sederhana sehingga mudah
dipelajari. (3) suku Jawa, suku Sunda, dan suku lainnya dengan suka rela menerima bahasa Melayu
menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, dan (4) bahasa Melayu mempunyai

166
kesanggupan untuk dipakai sebagai bahasa kebudayaan dalam arti luas (Arifin dan Tasai, 2008:
8). Di samping itu, Moeliono (1981: 44) mengemukakan bahwa bahasa Melayu bukan merupakan
bahasa asing di nusantara, dan karena bahasa Melayu merupakan bahasa dengan penutur yang
sangat kecil (4,9%) sementara bahasa Jawa digunakan oleh penutur 47% dan bahasa Sunda
digunakan oleh penutur 14.5% sehingga tidak ada perasaan kalah dan menang, sehingga dalam
hubungan ini, Sutan Takdir Alisjahbana mengatakan sebagai mukjizat dan Sapardi Djoko Damono
menganggap sebagai keajaiban.
Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, namun bahasa Indonesia bukan bahasa Melayu,
karena bahasa Indonesia sudah sangat berbeda dengan bahasa Melayu. Dalam perkembangannya,
bahasa Indonesia sangat banyak menyerap kosakata dari berbagai bahasa, baik bahasa asing
maupun bahasa daerah di Indonesia. Bahasa asing yang berkontribusi dalam pengembangan
bahasa Indonesia meliputi bahasa Sanskerta, bahasa India, bahasa Tamil, bahasa Portugis, bahasa
Parsi, bahasa China, bahasa Jepang, bahasa Belanda, bahasa Jerman, bahasa Arab, dan bahasa
Inggris, sedangkan dari bahasa daerah meliputi bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Batak, bahasa
Minang, bahasa Palembang, bahasa Bugis, bahasa Banjar, bahasa dari Papua, bahasa dari Maluku,
dan lain-lain.

Peranan Bahasa Indonesia Dalam Persatuan dan Kesatuan Bangsa


Bahasa dan nasionalisme sangat berkaitan dan saling memegang peranan penting (Samuel,
2008: 159). Teori Jerman yang dianggap sebagai teori kuno tentang bangsa mengatakan bahwa
suatu bangsa itu ditandai oleh persamaan keturunan, persamaan tempat dan dilengkapi oleh
persamaan bahasa dan kepercayaan. Jadi, menurut teori ini antara bangsa dan bahasa itu terdapat
hubungan yang saling menentukan, dalam arti adanya suatu bangsa itu karena adanya bahasa
yang menandainya dan adanya bahasa karena adanya bangsa pemakainya (Muslich dan Oka,
2010: 67). Menurut Renan (Muslich dan Oka, 2010: 68), bangsa itu adalah suatu lembaga sosial
yang tumbuh sebagai akibat pengalaman sejarah berupa perjuangan dan penderitaan dari
penjajahan yang sama, yang lalu menimbulkan keinginan untuk tetap bersama pada masa-masa
sekarang dan masa-masa yang akan datang (Gazalba, dalam Muslich dan Oka, 2010: 68). Bahasa
adalah alat pengikat sosial yang paling kuat, kalau kita hubungkan dengan kenyataan fungsi
sosial budaya bahasa itu dalam masyarakat (Vendreyes, dalam Muslich dan Oka, 2010: 68).
Menurut Chase (Muslich dan Oka, 2010: 68), suatu bahasa di dalam masyarakat mempunyai 3
fungsi (1) sebagai alat komunikasi eksternal (antarwarga), (2) sebagai alat komunikasi internal
(berpikir), dan (3) sebagai pembentuk pandangan hidup.
Menurut Voessler (Muslich dan Oka, 2010: 71), rasa kebangsaan (nasionality) itu tergantung
sekali oleh bahasa nasional itu, karena bahasa nasional itu merupakan elemen yang membentuk
rasa kebangsaan suatu bangsa. Tentang peranan bahasa nasional sebagai pembentuk rasa
kebangsaan dikemukakan oleh Grya (Muslich dan Oka, 2010: 71) bahwa dengan peranan bahasa
sebagai alat pembentuk rasa kebangsaan maka setiap bangsa berkeinginan untuk memiliki suatu
bahasa sendiri karena memiliki suatu bahasa itu sama saja dengan memiliki suatu peradaban.
Voessler (Muslich dan Oka, 2010: 71) menyatakan antara rasa kebangsaan atau nasional karakter
itu identik dengan bahasa nasional.
Perjuangan kemerdekaan Indonesia boleh dikatakan sejajar dengan perjuangan bahasa
Indonesia dalam mencapai kedudukannya atau fungsinya sebagai bahasa nasional (Alisjahbana,
1957, dalam Muslich dan Oka, 2010: 72). Antara bahasa Indonesia dengan rasa kebangsaan
Indonesia terdapat hubungan kejiwaan yang saling menentukan bila ditinjau dari teori di atas
(Muslich dan Oka, 2010: 72). Bahkan dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan simbiosis antara
bahasa Indonesia dan nasionalisme kita. Kesamaan lingua franca (bahasa Melayu) antarsuku bangsa
167
atau bangsa turut memicu lahirnya nasionalisme kita, dan sebaliknya nasionalisme kita
memperkuat posisi bahasa Melayu sebagai lingua franca yang akhirnya menjadi bahasa nasional
bangsa Indonesia.
Prasyarat pokok yang harus ada dalam rangka mewujudkan kesatuan bangsa adalah
kesadaran nasional tentang pentingnya kesatuan bangsa bagi bangsa Indonesia yang serba
majemuk ini. Dalam kaitan ini peranan bahasa Melayu sebagai bahasa per gaulan (lingua franca)
dalam proses kesatuan bangsa Indonesia sangat penting (Padi, dalam Atmadi dan Setiyaningsih,
2003: 114).
Dari sejarah bahasa Indonesia terlihat dengan jelas bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional mempersatukan bangsa yang demikian bhinneka karena memungkinkan komunikasi
yang lancar antara anggota masyarakat, sekalipun berasal dari beraneka ragam suku bangsa.
Betapa hebat peranan bahasa Indonesia untuk membawa kawan-kawan kita di daerah untuk
dapat cepat turut dalam kehidupan nasional bangsa Indonesia. Persatuan nasional tersebut
merupakan tonggak utama untuk terpeliharanya kemerdekaan bangsa (Suryohadiprodjo, 1980:
40). Tanpa hadirnya bahasa Indonesia sulit dibayangkan dengan alat apakah bangsa Indonesia
akan mempersatukan seluruh kekuatan untuk melawan penjajah dan merebut kemerdekaan
(Suwito, 1983: 483 dan Mahayana, 2008: 38). Junus (1969:40) menegaskan bahwa bahasa Indonesia
adalah (a) bahasa yang digunakan dalam pergerakan kebangsaan untuk mencapai kemerdekaan
Indonesia, dan (b) bahasa yang digunakan pada penerbitan-penerbitan yang bertujuan untuk
mewujudkan cita-cita perjuangan kemerdekaan Indonesia, baik berupa bahasa pers maupun bahasa
dalam karya sastra.
Sudah terbukti peran bahasa Indonesia mampu mencairkan persatuan etnik sebagai pemersatu
dan membangkitkan nasionalisme. Peranan bahasa Indonesia tentu tidak lagi sebagai alat
perjuangan dan sarana mempererat kesatuan bangsa, melainkan bagaimana bahasa Indonsia
mampu mengangkat citra bangsa di mata dunia. Menyadari betapa penting peran kesamaan
bahasa bagi terwujudnya kesatuan bangsa, maka usaha memasyarakatkan bahasa Indonesia di
semua lapisan makin gencar dilakukan (Mahayana, 2008: 34). Melihat perjalanan bahasa Indonesia
selepas merdeka sampai keluar SK Presiden RI No. 57 tanggal 17 Agustus 1972 tentang peresmian
berlakunya Ejaan yang Disempurnakan peranan bahasa Indonsia tidak lagi sebagai alat perjuangan
kebagsaan sebagaimana yang dilakukan bangsa kita selepas Sumpah Pemuda, peranannya justru
memperkokoh keanekaragaman suku, adat, agama, serta bagi kemampuan bahasa Indonesia
sebagai bahasa negara.
Berkaitan dengan peran bahasa Melayu (Indonesia) dalam nasionalisme bangsa Indonesia
juga bisa dilihat pada pernyataan Moh. Yamin dan George MCTruman Kahin sebagai berikut.
Moh. Yamin dalam pidato pada Kongres Pemuda Pemuda Indonesia, 27-28 Oktober 1928 dengan
judul Persatuan dan Kesatuan Indonesia menyatakan:
“Kalau saya sepuluh tahun yang berbicara tentang hal ini semuanya tentu saya
gambarkan sebagai cita-cita saja. Tetapi dalam waktu yang sepuluh tahun ini sudah
banyak digunakan bahasa yang dulu dinamakan bahasa Melayu sekarang sudah
dikuburkan dan hidup menjelma menjadi bahasa Indonesia. Dalam kongres tahun 1926
telah saya uraikan panjang lebar bagaimana arti bahasa ini bagi kita dan tanah air kita,
dan mengapa bahasa Indonesia lahir ke dunia. Segala apa yang saya katakan tiada akan
saya ulang lagi, hanyalah yang saya hendak terangkan bagaimana peranan
sesungguhnya bahasa Indonesia kepada persatuan kita” (Ihsan dan Soeharto, 1981: 148).

168
Menurut Kahin bahwa dalam proses sosial budaya, paling kurang ada 3 faktor yang telah
menyumbang pada terciptanya rasa persatuan Indonesia, yaitu (a) agama Islam sebagai agama
mayoritas rakyat, (b) kenyataan bahwa di Hindia Belanda sejak abad ke-11 bahasa Melayu telah
merupakan bahasa pergaulan (lingua franca), dan (c) diperkenalkannya sistem pendidikan Belanda
di awal abad ke-19" (Tomagola, dalam Maneger dan Achmad, 2010: 69).
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional menjadi penjalin kesatuan dan pengikat kekitaan
Indonesia, keindonesiaan kita. Kohesi nasional mendapat perekat paling kuat karena kita memiliki
bahasa Indonesia. Sumpah Pemuda 1928 memiliki arti dan makna yang dalam dan sangat filosofis
bagi bangsa kita, bangsa Indonesia. Eksistensi bangsa dan negara adalah mendasar, bahasa
Indonesia ada dan berkembang bersama-sama dengan ada dan berkembangnya kebangsaan
Indonesia (Soekirno, 2008: 61).
Bahasa Indonesia dapat dianggap sebagai realisasi terpenting pada zaman penjajahan dari
cita-cita kebangkitan bangsa Indonesia sebagai suatu kesatuan dalam dunia modern serta
perwujudan dari realisasi cita-cita kebudayaan modern yang berbeda dari kebudayaan tradisional
yang ada sejak berabad-abad di bumi Indonesia. Dilihat dari perkembangan bahasa Indonesia
dalam dunia modern yang sejalan dengan bangkitnya nasionalisme sejak zaman Renaissance,
terbentuknya bahasa Indonesia dapat dikatakan sebagai suatu mukjizat yang tidak ada
tandingannya dalam sejarah bahasa-bahasa (Alisjahbana, dalam Purwo, 1992: 1) dan Damono
(Sweeney, dkk, 2007: xii) menganggap sebagai suatu keajaiban. Seperti dikemukakan di atas
bahwa pada saat menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan dan bahasa nasional
tidak mengalami hambatan psikologis dalam tubuh bangsa kita. Ketika pembahasan dalam
Kongres Pemuda Indonesia tahun 1928 tidak ada satu pun wakil dari suku bangsa termasuk
wakil dari Jawa dan Sunda, yang keberatan dijadikannya bahasa Melayu sebagai bahasa nasional.
Berbeda dengan di Filipina, India, Pakistan, dan lain-lain saat menetapkan bahasa nasional sempat
menimbulkan gejolak nasional.
Dengan demikian, bahasa Melayu yang telah berabad-abad menjadi lingua franca di seluruh
kepulauan ini dan telah luas dipakai dalam pergerakan kebangkitan kebangsaan, memantapkan
kedudukannya mengatasi bahasa-bahasa daerah. Dengan kenyataan ini, harus kita sadari bahwa
bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu yang menjadi lingua franca berabad-abad di
Asia Tenggara diangkat oleh pergerakan kebangsaan Indonesia menjadi bahasa persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia dan kemudian menjadi bahasa resmi negara Indonesia (Alisjahbana,
dalam Purwo, 1992: 6).
Pemasyarakatan bahasa Indonesia dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa
dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dengan tujuan agar (1) setiap warga
negara Indonesia mau dan mampu berbahasa Indonesia secara baik dan benar, (2) setiap warga
negara Indonesia mempunyai kebanggaan untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam
berkomunikasi sesama warga negara Indonesia, dan (3) setiap warga Negara Indonesia mempunyai
kemampuan untuk mengerti dan menyerap pesan-pesan pembangunan serta program pemerintah.
Peran yang menonjol dari bahasa Indonesia antara lain (1) bahasa Indonesia sebagai alat untuk
mengkomunikasikan pesan-pesan pembangunan dan (2) bahasa Indonesia sebagai alat
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Anas, dalam Alwi, dkk., 2000: 12).
Bahasa Indonesia telah mampu menerjemahkan pesan dan gagasan pembangunan nasional
kepada rakyat dengan jelas dan mudah dipahami. Partisipasi rakyat dalam pembangunan,
meskipun masih memperlihatkan adanya keterbatasan, cukuplah kita katakan memuaskan. Selain
besarnya partisipasi rakyat itu juga kita lihat tanda-tanda keberhasilan berupa mantapnya stabilitas
politik dalam negeri, mantapnya Pancasila sebagai ideologi nasional, berkembangnya demokrasi,

169
dan mantapnya kesatuan dan persatuan bangsa. Kita tidak menganggap bahwa kemantapan
tersebut terwujud hanya karena kita memiliki satu bahasa nasional, tetapi banyak faktor yang
berperan. Bahasa Indonesia yang kita miliki paling tidak telah mampu menjadi peubah antisenden
terhadap lahirnya kesatuan dan persatuan untuk kemudian melahirkan kemantapan tersebut.
Tuntutan kita terhadap bahasa Indonesia untuk berfungsi sebagai pemersatu sebagai wujud jiwa
kesatuan bangsa tidak berlebihan (Yogie, dalam Alwi, dkk., 2000: 39).
Sebagai sumber inspirasi ke arah persatuan dan kesatuan bangsa sudah tidak diragukan,
namun bahasa Indonsia bukan satu-satunya sumber, sehingga kalau tidak mendapat pembinaan
dan pengembangan yang tepat akan ditinggalkan. Dalam kondisi yang tidak menguntungkan
itu kualitas persatuan dan kesatuan bangsa yang diikat tanpa ikatan bahasa akan memperlihatkan
penurunan kualitas karena dalam bahasa cermin cara berpikir dan cara mengandung muatan
perasaan (Yoegi, dalam Alwi, dkk., 2000: 41-42).
Abad ke-20 adalah abad kebangkitan nasional, abad kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.
Kunci sukses kita untuk mencapai itu tiada lain adalah persatuan. Kita mutlak membutuhkan
persatuan untuk melawan penjajah, untuk mempertahankan kemerdekaan, untuk menangkal
separatisme, untuk menjaga keutuhan wilayah, untuk membangun perekonomian, untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan untuk mengembangkan jati diri bangsa (Yudhoyono,
2010: 9).

Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional


Sudah 83 tahun kita bangsa Indonesia mengakui bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional.
Bahasa Indonesia merupakan darah dan perekat nasionalisme bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia
merupakan wahana penjalin bersemi dan bersemainya nasionalisme dalam diri anggota
masyarakat kita yang tersebar pada seluruh kepulauan di nusantara ini sehingga menjadi satu
keluarga bangsa Indonesia.
Seminar politik bahasa nasional yang dilaksanakan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa pada bulan Pebruari 1975 dan kemudian dikukuhkan dalam Undang-Undang No. 24
Tahun 2009, menetapkan fungsi bahasa Indonesia dalam kedudukan sebagai bahasa nasional.
Fungsi tersebut adalah (1) sebagai lambang kebanggaan nasional, (2) sebagai lambang identitas
nasional, (3) sebagai bahasa persatuan nasional dari masyarakat yang berbeda-beda bahasa daerah,
dan (4) sebagai bahasa perhubungan antarbahasa dan antarbudaya.
Bahasa Indonesia sebagai lambang kebanggaan nasional merupakan ungkapan perwujudan
sikap kita terhadap bahasa Indonesia dan dalam berbahasa Indonesia. Yang menjadi pertanyaan
bagaimana sikap kita terhadap bahasa Indonesia dan bagaimana kebanggaan kita terhadap bahasa
Indonesia. Positif atau negatifnya sikap kita, atau kebanggaan kita terhadap bahasa Indonesia
tergambar pada perilaku kita dalam berbahasa Indonesia. Kalau kita masih sering mengeluhkan
penggunaan bahasa Indonesia oleh masyarakat karena masih seringnya kekurangtepatan
penggunaan bahasa Indonesia tersebut, baik masyarakat umum, aparatur pemerintah, pejabat
negara, atau para elite partai politik dan masyarakat. Hal tersebut merupakan gambaran sikap
dan rasa kebanggaan tersebut atas bahasa Indonesia. Kepedulian, rasa memiliki, dan rasa
bertangung jawab merupakan faktor penentu atas sikap dan kebanggaan terhadap bahasa
Indonesia tersebut. Dengan demikian, kembali kita bertanya apakah kita peduli, merasa memiliki,
dan merasa bertanggung jawab terhadap bahasa Indonesia dan dalam berbahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia sebagai lambang identitas nasional merupakan fungsi yang melekat pada
masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, setiap anggota masyarakat kita harus bisa dan mampu
berbahasa Indonesia baik secara lisan maupun tertulis. Dalam fungsi ini pernah terjadi kasus

170
penyalahgunaan kewarganegaraan Indonesia oleh warga negara asing yang menggunakan pasport
Indonesia di satu Negara. Setelah dilakukan interogasi menggunakan bahasa Indonesia yang
bersangkutan tidak bisa berbahasa Indonesia. Dengan kata lain bahwa orang tersebut bukan
warga negara Indonesia, namun mengunakan pasport palsu Indonesia. Dengan demikian, berarti
bahwa anggota masyarakat kita harus tidak ada lagi yang buta aksara dan buta bahasa Indonesia.
Untuk diketahui bahwa pada saat proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945
kurang dari 10% dari sekitar 85 juta penduduk yang bisa membaca dan menulis dalam bahasa
Indonesia, 600 ribu orang yang duduk di SD dan 500 anak di sekolah lanjutan. Tahun 1980 hasil
sensus penduduk terdata bahwa 39% anak di atas usia 5 tahun tidak bisa membaca dan menulis.
Hasil sensus penduduk tahun 1990 terdata bahwa 17% penduduk berusia 5 tahun ke atas buta
aksara. Pada tahun 2010 masih terdata bahwa 9 juta orang penduduk Indonesia buta aksara
(Maryanto, 2011).
Bahasa Indonesia sebagai wahana persatuan nasional, bahasa Indonesia tidak hanya sebagai
lambang persatuan nasonal, tetapi bahasa Indonesia adalah darah persatuan nasional kita. Bahasa
Indonesialah yang menjalin dan menyatukan masyarakat yang mendiami beribu-ribu pulau di
nusantara ini. Bahasa Indonesia yang menyatukan masyarakat yang berbeda-beda bahasa dan
budaya senasib sepenanggungan mulai zaman penjajahan, masa perjuangan kemerdekaan, sampai
sekarang terjalin karena bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia adalah media perhubungan antarbudaya dan antardaerah yang berbeda-
beda bahasa. Fungsi ini penekanan lebih jauh dari fungsi ketiga di atas pada aspek perhubungan
antarbudaya dan antardaerah. Bahasa-bahasa daerah dan budaya-budaya daerah merupakan
kekayaan dan kekuatan nasional kita. Karena itu diperlukan perekat sebagai budaya nasional,
yaitu dengan bahasa Indonesia, sehingga semua bentuk budaya nasional dari berbagai daerah
bisa tampil dengan menggunakan bahasa Indonesia agar dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat
Indonesia.

Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Resmi Negara


Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang ditetapkan pada tangal 18 Agustus
1945 dan dalam Bab XV, Pasal 36 menetapkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa resmi
negara. Dalam kedudukan sebagai bahasa resmi negara ini, bahasa Indonesia mempunyai 4 fungsi,
yaitu (1) bahasa resmi kenegaraan, (2) bahasa resmi dalam pengajaran di sekolah, (3) bahasa
resmi dalam pembangunan dan pemerintahan pada tingkat nasional, serta (4) bahasa resmi dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berkaitan dengan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan terdapat beberapa
konteks yang bisa kita lihat. Dalam acara dan upacara resmi kenegaraan, baik secara lisan maupun
tertulis harus menggunakan bahasa Indonesia. Demikian pula Presiden RI sebagai personfikasi
kenegaraan di dalam acara-acara resmi di manapun, kapan pun, dan dengan siapa pun harus
atau boleh selalu menggunakan bahasa Indonesia. Berbeda dengan para pejabat negara lainnya
dalam berkomunikasi dengan pihak lain, terutama bila berkomunikasi dengan pihak negara lain,
dia harus menggunakan bahasa yang bisa saling dimengerti kedua belah pihak. Demikian pula
secara tertulis, semua dokumen resmi kenegaraan, semua bentuk perundang-undangan, surat-
surat resmi kenegaraan, dokumen notariat di Indonesia, semuanya harus menggunakan bahasa
Indonesia.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar resmi dalam pendidikan dan pengajaran pada
semua jenjang pendidikan. Ada dua kondisi dibolehkan tidak menggunakan bahasa Indonesia
sebagai bahasa pengantar pendidikan dan pengajaran di sekolah. Di Sekolah Dasar kelas 1 sampai

171
dengan kelas 3 di lingkungan yang tidak mungkin digunakannya bahasa Indonesia, boleh
menggunakan bahasa daerah; serta bahasa pengantar dalam pengajaran bahasa asing boleh atau
harus menggunakan bahasa asing. Dalam pengajaran bahasa Inggris harus menggunakan bahasa
Inggris, dan lainnya agar pengajaran efektif.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dalam pembangunan dan pelaksanaan pemerintahan
tingkat nasional. Di dalam pelaksanaan pembangunan dan pemerintahan pada tingkat nasional
harus menggunakan bahasa Indonesia. Namun di dalam pelaksanaan pembangunan dan
pemerintahan pada tingkat yang lebih rendah, terlebih pada tingkat kelurahan atau desa atau
kampung boleh menggunakan bahasa daerah sesuai dengan daerahnya agar dapat dipahami
oleh masyarakat di daerah yang bersangkutan. Di dalam pelaksanaan penyuluhan pembangunan
di masyarakat, seperti dalam bidang pertanian, kesehatan, KB, agama, energi (seperti kasus kompor
gas), atau pertanahan, dan lain-lain bisa digunakan bahasa daerah. Demikian pula, dalam
penanganan berbagai masalah kemasyarakatan, krisis sosial, konflik sosial, dan berbagai
permasalahan kemasyarakatan lainnya harus menggunakan bahasa yang bisa dipahami
masyarakatnya.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu
pengetahuan dan teknologi merupakan produk dari masyarakat maju dan modern, serta tidak
termasuk dalam ranah adat dan budaya kedaerahan karena itu dalam pengembangannya harus
selalu menggunakan bahasa Indonesia. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak mengenal batas
wilayah sehingga dalam pengembangannya tidak bisa menapikan penggunaan bahasa asing.
Dalam kaitan ini, sudah banyak dibuat dan diterbitkan kamus bahasa Indonesia dalam bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi yang bersumber dari berbagai bahasa asing. Karena itu para
ilmuwan Indonesia yang bergerak dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mau
tidak mau harus memiliki kemampuan penguasaan bahasa asing.

Karakteristik Bahasa Indonesia


Bahasa Indonesia bukan bahasa Melayu, bukan bahasa daerah, dan juga bukan bahasa asing,
bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan bahasa resmi negara Indonesia. Bahasa Indonesia,
sejak awal pembentukannya dari bahasa Melayu sangat banyak menyerap berbagai bahasa asing
dan bahasa daerah. Dilihat dari sifat kebahasaan, bahasa Indonesia bersifat aglutinasi tidak bersifat
derivasi, sehingga dalam proses morfologis menggunakan imbuhan berupa awalan, akhiran, dan
sisipan, serta penggabungan awalan dan akhiran berupa konfiks serta simullfiks, sedangkan dalam
struktur kalimat bahasa Indonesia menganut hukum DM (diterangkan – menerangkan) bukan
MD (menerangkan – diterangkan). Hal ini sangat berbeda dibandingkan dengan bahasa Inggris
atau bahasa Arab.
Dalam kehidupan, kita berkomunikasi bisa dalam bahasa lisan dan bisa dalam bahasa tulis.
Dalam situasi resmi, baik lisan maupun tulisan, kita harus menggunakan bahasa Indonesia baku
(standar). Sebagai bahasa baku, menurut W. A. Stewart harus mempunyai kriteria, yaitu (a)
standardization, (b) autonomy, (c) historicity, dan (d) vitality (Adul, 1981: 13). Keempat kriteria
tersebut terpenuhi dalam bahasa Indonesia. Di samping itu, terdapat kriteria lainnya, yaitu
kecendekiaan (intelektualisme) (Lubis, 1993: 53). Bahasa baku, menurut Moeliono (Adul, 1981:
14) berfungsi sebagai (a) pemersatu, (b) penanda kepribadian, (c) penambah wibawa, dan (d)
kerangka acuan dalam berbahasa. Dalam bahasa lisan, kebakuan bahasa dapat dilihat pada aspek
lafal, kosa kata, dan tata bahasa, sedangkan dalam bahasa tulis, kebakuan bahasa dapat dilihat
pada aspek sistem penulisan yang mengacu pada Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), kosa kata,
dan tata bahasa. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa berbahasa Indonesia baku itu meliputi
baku dalam lafal, kosa kata, tata bahasa, dan penulisan sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan.
172
Salah satu ciri bahasa baku dan modern adalah bersifat dinamis dan terbuka seiring dengan
dinamika masyarakat sebagai implikasi dari modernisasi yang ditopang oleh ilmu pengetahuan
dan teknologi. Keterbukaan dan kedinamisan ini sudah terjadi sejak awal terbentuknya bahasa
Indonesia hingga kini, karena banyak sekali bahasa asing dan bahasa daerah yang berkontribusi.
Dinamika bahasa yang menonjol adalah perkembangan kosakata bagi keperluan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Dalam hubungan ini sudah banyak dibuat dan diterbitkan kamus istilah dalam
berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kita bangsa Indonesia merupakan masyarakat dwibahasawan bahkan multibahasawan.
masyarakat kita paling sedikit bisa dalam dua bahasa dan mungkin lebih, yaitu bahasa daerah
dan bahasa Indonesia. Tidak sedikit pula masyarakat kita yang bisa berbahasa dalam beberapa
bahasa daerah juga bisa berbahasa asing, sehingga mereka termasuk dalam kategori
multibahasawan.
Setiap hari, situasi dan suasana kedaerahan yang paling banyak kita jalani. Hanya pada
segelintir orang ada tuntutan untuk menggunakan bahasa Indonesia baku. Seperti seorang guru
atau dosen saat mengajar di kelas, atau seorang pejabat dan eksekutif lainnya ketika memimpin
rapat di kantor. Jadi, tuntutan penggunaan bahasa baku dalam kehidupan kita sangat sedikit,
selebihnya kita hidup dalam suasana kedaerahan. Bahkan kita bisa dipandang aneh, jika kita
mengunakan bahasa Indonesia baku pada situasi informal yang menuntut suasana akrab dan
personal apakah di kantor, di sekolah, dan terlebih di rumah.
Demikian pula, terpaan pemakaian produk teknologi informatika berupa HP yang sudah
sangat banyak digunakan oleh masyarakat, baik dalam bahasa lisan maupun bahasa tulis. Melalui
sms berkembang penggunaan bahasa tulis yang tidak baku karena pesan yang disampaikan
melalui sms merupakan media informal, personal, dan familiar sehingga selalu dalam bahasa
yang tidak baku.
Kebakuan dalam lafal mempunyai permasalahan tersendiri di masyarakat karena banyaknya
dialek kebahasaan dalam berbahasa Indonesa. Dialek ini bersumber dari pengaruh bahasa daerah
di dalam berbahasa Indonesia (interferensi). Kita masyarakat Indonesia lahir dan besar dalam
suasana kedaerahan, sehingga hal ini sangat besar mempengaruhi dalam berbahasa Indonesia.
Permasalahan menonjol dalam penggunaan bahasa lisan meliputi bunyi /e/ oleh masyarakat
Batak, Papua, Maluku, dan Dayak, bunyi /t/ oleh masyarakat Bali, dan Aceh, bunyi /d/ dan /b/
oleh masyarakat Jawa, bunyi /o/ dan /e/ oleh masyarakat Banjar, bunyi /n/ dan /ng/ yang dilafalkan
terbalik pada posisi akhir kata oleh orang Bugis dan Makassar, serta bunyi /f/ dan /x/ oleh sebagian
masyarakat yang kurang terpelajar. Dalam tataran struktur, sering muncul dari masyarakat yang
berasal dari Maluku dan Papua dengan struktur terbalik (Mahsun, 2010) serta penggunaan frase
daripada, yang mana, dan dimana sebagai penghubung oleh sebagian besar masyarakat karena
terpengaruh pola bahasa asing. Demikian pula, langgam yang bersifat kedaerahan yang bersumber
dari bahasa daerah terjadi pada semua masyarakat. Pelafalan standar bahasa Indonesia hanya
ada dalam deskripsi ilmiah tetapi kurang menjadi acuan bahan pengajaran bahasa Indonesia di
sekolah sehingga anak didik tidak pernah mendengar model pembelajaran lafal baku dari setiap
fonem bahasa Indonesia.
Permasalahan dalam pengunaan bahasa tulis meliputi penggunaan frase daripada, yang mana,
dan dimana yang sering digunakan sebagai penghubung, penggunaan konfiks ke-an dan pe-an,
simulfiks, di-kan, di-i, me-kan, dan me-i yang menyatukan dua kata. Demikian pula, penggunaan
angka Arab dan angka Romawi yang mengarah ke bilangan bertingkat banyak terdapat
kekeliruan. Selain itu, yang sangat menonjol adalah penggunaan awalan di- dan kata depan di
yang disebabkan kekurangfahaman atas aturan penggunaannya dalam bahasa Indonesia.

173
Terkait dengan usaha menjaga ciri dan karakteristik bahasa Indonesia dalam menyerap setiap
kosakata dalam pengembangan bahasa Indonesia sebagai media pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern, selalu dilakukan adaptasi dengan karakter bahasa Indonesia,
sehingga setiap kata dari berbagai bahasa yang diambil, secara struktur dan lafal disesuaikan
dengan bahasa Indonesia. Cara ini dapat memelihara karakteristik bahasa Indonesia, baik dari
segi lafal, kosakata, struktur, maupun penulisan. Hal ini tertuang dalam politik bahasa nasional
berkaitan dengan peran bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing, pedoman Ejaan
yang Disempurnakan, serta pedoman pembentukan istilah.
Dalam hubungan dengan dinamika berbahasa, berkaitan dengan sikap kita sebagai penutur
bahasa Indonesia, apakah positif atau negatif. Bagaimana kepedulian, rasa memiliki, dan rasa
tanggung jawab atas bahasa Indonesia. Di dalam pembelajaran bahasa, ada 3 aspek yang terkait,
yaitu aspek pengetahuan (kognitif), aspek keterampilan (psikomotor), dan aspek sikap (afektif).
Dalam perkembangan awal antara ketiga aspek terbentuk secara runtut dimulai dari kognitif,
psikomotor, dan kemudian afektif. Namun dalam perkembangan kemudian bisa diawali dan
ditentukan oleh aspek afektif. Sikap ini bisa dilihat pada kesetiaan terhadap bahasa Indonesia,
kebanggaan terhadap bahasa Indonesia, dan kesadaran pemakai bahasa akan norma-norma
sosiokultural yang berlaku yang mendorong seseorang untuk selalu menggunakan bahasa
Indonesia secara sungguh-sungguh, baik, dan santun (Rahardi, 2006). Permasalahan pemakaian
bahasa Indonesia yang terjadi di masyarakat bisa disebabkan oleh sikap masyarakat yang tidak
positif terhadap bahasa Indonesia dan berbahasa Indonesia sehingga dalam pemakaian bahasa
Indonesia tidak mengindahkan kaidah bahasa Indonesia, apalagi ditambah dengan sangat
kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap kaedah bahasa Indonesia.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Sumpah Pemuda hasil oleh Kongres Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928 merupakan
kristalisasi dari nasionalisme Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai salah satu isi sumpah pemuda
memegang peranan penting bagi nasionalisme Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan darah
yang menjalin dan menumbuhsuburkan nasionalisme dalam masyarakat kita yang mendiami
beribu-ribu pulau di nusantara ini dengan berbagai suku bangsa dan bahasa daerah. Bahasa
Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu sebagai salah satu bahasa daerah yang ada di nusantara
ini kemudian berkembang menjadi bahasa perantara (lingua franca), terus menjadi bahasa nasional,
dan akhirnya menjadi bahasa resmi Negara.
Dalam kedudukan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang
kebanggaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) sebagai bahasa persatuan nasional dari
berbagai masyarakat yang berbeda-beda bahasa dan budaya, serta (4) sebagai bahasa
perhubungan antardaerah dan antarbudaya. Dalam kedudukan sebagai bahasa resmi, bahasa
Indonesia berfungsi sebagai (1) bahasa resmi kenegaraan, (2) bahasa pengantar di lembaga
pendidikan, (3) bahasa perhubungan dalam pelaksanaan pembangunan dan pemerintahan tingkat
nasional, serta (4) bahasa pengantar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
modern.

Saran
Sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara, bahasa Indonesia merupakan bahasa
yang baku, terbuka, dinamis seiring dengan dinamika perkembangan masyarakat sebagai dampak
pembangunan nasional yang ditopang oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Untuk itu

174
kita masyarakat bangsa sebagai penutur bahasa Indonesia dituntut selalu terbuka dan dinamis
mengikuti perkembangan bahasa Indonesia agar bahasa Indonesia yang digunakan selalu baik
dan benar. Di samping itu, masyarakat agar selalu bersikap positif terhadap bahasa Indonesia
dan dalam berbahasa Indonesia sebagai upaya membina bahasa Indonsia. Membina bahasa
Indonesia berarti juga membina nasionalisme bangsa karena bahasa Indonesia merupakan identitas
nasional bangsa Indonesia.

175
DAFTAR RUJUKAN

Adul, M. Asfandi. 1981. Bahasa Indonesia Baku dan Fungsi Guru dalam Pembinaan Bahasa Indonesia.
Surabaya: Penerbit PT Bina Ilmu.
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1992. Peranan Bahasa Indonesia dalam Modernisasi Kebudayaan
Indonesia. Dalam Bambang Kaswanti Purwo, PELLBA 5. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika
Atma Jaya.
Alwi, Hasan, dkk., (Ed.). 2000. Bahasa Indonesia Menjelang Tahun 2000. Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud RI.
Arifin, E. Zainal dan Tasai, S. Amran. 2008. Cermat Berbahasa Indonesia untuk PT. Jakarta: Penerbit
Akademika Pressindo.
Collins, James T. 2009. Bahasa Sanskerta dan Bahasa Melayu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia,
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, dan Ecole Francaise d’Extreme-Orient.
Junus, Umar. 1969. Sedjarah dan Perkembangan Ke arah Bahasa Indonesia dan Bahasa Indonesia.
Djakarta: Bhrata.
Lubis, A. Hamid Hasan. 1993. Jenggala Bahasa Indonesia. Bandung: Angkasa.
Mahayana, Maman S. 2008. Bahasa Indonesia Kreatif. Jakarta: Penaku.
Mahsun. 2010. Genolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Maryanto. 2011. Prospek Keberaksaraan Bahasa Persatuan, Koran Tempo, Jakarta, 21 Oktober
2011.
Moeliono, Anton M. 1981. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: Ancangan Alternatif di Dalam
Perencanaan Bahasa. Jakarta: Djambatan.
Muslich, Masnur dan Oka, I Gusti Ngurah. 2010. Perencanaan Bahasa pada Era Globalisasi. Jakarta:
Bumi Aksara.
Padi, A. A. 2000. Integrasi Bangsa Dalam Pengajaran Sejarah. Dalam A. Atmadi dan Y. Setiyaningsih
(ed.). Transformasi Pendidikan Memasuki Milenium Ketiga. Yogyakarta: Kanisius-Penerbitan
Universitas Sanata Darma.
Rahardi, R. Kunjana. 2006. Dimensi-Dimensi Kebahasaan, Aneka Masalah Bahasa Indonesia Terkini.
Jakarta: Erlangga.
Samuel, Jerome. 2008. Kasus Ajaib Bahasa Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Soekirno, Ichary. 2008. Globalisasi dan Revolusi Saintifik dalam Keanekaragaman Umat Manusia,
Budaya, dan Nilai. Bandung: Unpad Press.
Suryodihadiprodjo, Sayidiman. 1980. Bahasa Indonesia sebagai Sarana Pembinaan Ketahanan
Nasional. Dalam Majalah Bahasa dan Sastra, Tahun VI No.4. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Suwito. 1983. Sosiolinguistik, Teori dan Problema. Solo: Henary Offset.
Sweeney, Amin, dkk. 2007. Keindonesiaan dan Kemelayuan dalam Sastra. Depok-Jawa Barat:
Desantara.

176
Tomagola, Tamrin Amal. 2010. Pertautan Warga Bangsa Landasan Kukuh Negara. Dalam Maneger
Nasution dan Nur Achmad (Ed.). Umat Beragama Mengawal NKRI – Satu Abad Kebangkitan
Nasional. Jakarta: Panitia Pertemuan Besar Umat Beragama Mengawal NKRI.
Ubaedillah, A. dan Rozak, Abdul. 2008. Pendidikan Kewargaan, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia,
dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah dan Prenada Media Group.
Van Ophuijsen, Ch. A. 1983. Tata Bahasa Melayu. Jakarta: Djambatan.
Yamin, Moh. 1981. Persatuan dan Kesatuan. Dalam A. Zainoel Ihsan dan Pitut Soeharto. Aku
Pemuda Kemarin di Hari Esok, Kumpulan Tulisan Asli Pidato Tokoh Pergerakan Kebangsaan
1913-1938. Jakarta: Jayasakti.
Yudhoyono, Susilo Bambang. 2010. Strategi Menjadi Negara Maju Abad 21, Sambutan Presiden
RI pada Silaturahmi Dengan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Masyarakat
Ilmiah Indonesia, Serpong, 20 Januari 2010.

177
MENGEMBANGKAN GAIRAH PESERTA DIDIK DALAM BELAJAR BAHASA
INDONESIA MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH
(DEVELOPING MOTIVATION OF STUDENTS IN LEARNING INDONESIAN
THROUGH PROBLEM-BASED LEARNING)

Yakobus Paluru
Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Terbuka Palu, e-mail ypaluru@gmail.com

Abstract

Developing Motivation of Students in Learning Indonesian Through Problem-Based


Learning. The world of education in Indonesia is still facing many problems. One such
problem is the lack of enthusiasm of students in learning, especially learning the
Indonesian. They need to get special attention from teachers, especially in the context of
efforts to develop passionate learners learn. The low arousal study of students caused by
many factors. One contributing factor is the learning process that does not comply with
the interests of learners and less challenging to students. Educators need to examine the
old paradigm of learning the system and turn it into a new paradigm that is better able
to excite students to learn. Efforts to provide challenges to students can be done through
changing the system of teacher-centered learning into the learning system centered on
the learner. One form of change in learning systems can be implemented problem-based
learning strategies.

Keywords: passion to learn, learning, problem-based

Abstrak

Mengembangkan Gairah Peserta Didik dalam Belajar Bahasa Indonesia melalui


Pembelajaran Berbasis Masalah. Dunia pendidikan di Indonesia masih menampakkan
banyak masalah. Salah satu problemnya adalah kurang antusiasnya siswa dalam
pembelajaran, khususnya pembelajaran bahasa Indonesia. Mereka ingin mendapat
perhatian khusus dari guru-gurunya, khususnya dalam konteks berupaya untuk
mengembangkan gairah belajar siswa. Rendahnya kegairahan belajar siswa disebabkan
oleh banyak faktor. Satu faktor yang berkontribusi adalah proses pembelajaran yang
tidak sesuai dengan minat para siswa dan kurang menantang untuk para siswa. Para
pendidik perlu untuk melatih paradigma lama sistem pembelajaran dan memasukkannya
ke dalam paradigma baru yang lebih mungkin untuk membangkitkan gairah para
siswa untuk belajar. Upaya-upaya untuk memberikan tantangan pada para siswa dapat
dilaksanakan melalui perubahan sistem guru-pusat pembelajaran menjadi sistem
pembelajaran yang berpusat pada siswa. Satu bentuk perubahan dalam sistem
pembelajaran dapat diimplementasikan dalam strategi pembelajaran berbasis masalah.

Kata-kata kunci: gairah belajar,pembelajaran, berbasis masalah

PENDAHULUAN
Pendidikan di Indonesia masih menampung banyak masalah. Program pemerataan dan
peningkatan kualitas pendidikan belum menampakkan hasil sebagaimana yang diharapkan.
Jumlah anak usia pendidikan dasar yang berada di luar sistem pendidikan nasional masih sangat
besar. Kualitas pendidikan pun masih relatif rendah. Di pihak lain, tantangan di berbagai bidang

178
kehidupan semakin berat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang
informasi, komunikasi, dan transportasi sangat pesat, eskalasi pasar bebas antarnegara dan bangsa
semakin meningkat, dan iklim kompetisi di berbagai aspek kehidupan semakin ketat. Masih
banyak lagi masalah lain yang memerlukan penyelesaian seperti demokratisasi, hak asasi manusia,
serta penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang adil dan
terbuka.
Sejumlah masalah tersebut perlu mendapatkan perhatian secara sungguh-sungguh di kalangan
para penentu kebijakan dan persona di bidang pendidikan. Para pendidik perlu mengkaji kembali
paradigma sistem pendidikan yang selama ini menjadi acuan dalam penyelenggaraan pendidikan
dan menggagas paradigma baru yang sesuai untuk pendidikan kita. Paradigma lama yang
bertumpu pada konsepsi analisis masukan-keluaran perlu diubah menjadi paradigma yang lebih
sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Proses pendidikan tidak hanya membekali dan
melatih peserta didik untuk bisa bekerja, tetapi membekali dan melatih peserta didik untuk bisa
hidup. Pembelajaran dituntut dapat menghasilkan lulusan yang memiliki kecakapan personal,
kecakapan sosial, dan kecakapan akademik dan vokasional. Sikap-sikap yang diperlukan untuk
ini adalah keterbukaan, fleksibilitas, dan prinsip dasar hidup dalam konteks sosial yang meliputi
kepekaan, kemandirian, dan tanggung jawab.
Paradigma lama tentang belajar yang cenderung menekankan pada teori ekonomi perlu
diubah menjadi paradigma baru yang menekankan pada perubahan potensi diri melalui interaksi
yang kreatif dan dinamis. Paradigma yang memandang bahwa masukan diperbaiki, keluaran
secara otomatis akan menjadi baik tidak dapat dipertahankan karena masukan pendidikan tidak
dapat disikapi sebagai masukan yang statis. Masukan pendidikan adalah masukan yang dinamis
yang banyak dipengaruhi oleh faktor proses dan konteks pendidikan. Karena itu, dalam proses
pendidikan, faktor proses dan konteks tersebut harus dipertimbangkan selain pertimbangan
terhadap masukan dan keluaran pendidikan.

PEMBAHASAN
Membangkitkan Gairah Belajar Bahasa
Belajar pada hakikatnya merupakan kegiatan interaksi untuk mengubah potensi menjadi
pancaran dahsyat keunikan diri. Interaksi tersebut akan terjadi jika terdapat hubungan antara
sesuatu yang sudah dipahami dengan sesuatu yang baru. Melalui peristiwa belajar tersebut, diri
peserta didik akan mengalami perubahan ke arah diri yang lain dan baru. Jika pembelajaran
tidak mampu mengubah diri peserta didik, pembelajaran itu sia-sia. Karena itu, proses menciptakan
hubungan antara pengetahuan lama yang telah dimiliki peserta didik dengan perihal baru yang
akan dipelajari merupakan aktivitas penting dalam proses pembelajaran.
Belajar bahasa adalah belajar berbahasa, artinya berpraktik menggunakan bahasa sesuai
dengan fungsi dan maknanya dalam komunikasi. Karena itu, belajar bahasa terjadi dalam suatu
kegiatan interaksi belajar-mengajar bahasa. Aktivitas interaksi pembelajaran bahasa memiliki
karakteristik yang berbeda dengan aktivitas interaksi pembelajaran mata pelajaran lainnya.
Karakteristik aktivitas interaksi belajar-mengajar bahasa disajikan berikut ini.
(1)Aktivitas yang dilaksanakan dalam kegiatan belajar-mengajar berpusat pada peserta didik.
Artinya, peserta didik yang harus aktif dalam melaksanakan praktik penggunaan bahasa.
Keterlibatan peserta didik dalam kegiatan belajar-mengajar merupakan salah satu
karakteristik yang menonjol dari interaksi pembelajaran. Dalam aktivitas belajar, peserta
didik berperan sebagai (a) peneliti, yakni melakukan eksplorasi objek, peristiwa, orang, atau

179
konsep, (b) pemagang kognitif, yakni menghaluskan kognitifnya melalui proses magang,
dan (c) penghasil pengetahuan, yakni menyintesis pengetahuan dan keterampilan.
(2)Aktivitas yang dilaksanakan dalam kegiatan belajar-mengajar mengarah secara langsung
pada latihan atau praktik penggunaan bahasa baik secara lisan maupun tulis. Praktik
penggunaan bahasa memiliki peranan yang sangat penting dalam pengajaran bahasa,
karena pengajaran yang hanya difokuskan pada pemahaman kaidah bahasa tidak akan
berpengaruh pada performansi aktual baik dalam berbicara maupun menulis.
(3)Aktivitas yang dilaksanakan dapat membina dan mengarahkan kemampuan peserta didik
dalam memilih dan menata bahasanya sesuai dengan faktor-faktor penentu tindak
komunikasi. Faktor-faktor yang dimaksudkan meliputi siapa partisipan wicara, untuk tujuan
apa, dalam situasi bagaimana, dalam konteks apa, dengan jalur dan media mana, dan dalam
peristiwa apa.
(4)Aktivitas yang dilaksanakan dalam kegiatan belajar-mengajar mengarah pada kreativitas
penggunaan bahasa bukan hanya penggunaan bahasa yang bersifat mekanik. Aktivitas
yang dilaksanakan harus benar-benar memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
menggunakan bahasa secara kreatif dengan jalan bebas memilih apa yang akan diungkapkan
dan bagaimana mengungkapkannya. Latihan-latihan yang bersifat mekanik harus
diminimalkan karena tidak memberikan kesempatan pada peserta didik untuk berkreasi
dalam memilih dan menata bahasanya sendiri.
Agar aktivitas interaksi belajar-mengajar sebagaimana yang telah diuraikan di atas dapat
dicapai, setiap guru bahasa harus dapat berperan sebagai individu yang mampu memberikan
bimbingan, memantau kegiatan peserta didik, menciptakan latihan-latihan kreatif, dan dalam
kesempatan yang lain dapat bertindak sebagai teman komunikasi bersama-sama dengan peserta
didik. Interaksi dalam kegiatan belajar-mengajar berasal dari dan terletak pada peserta didik.
Peserta didik harus mendapat kesempatan dalam interaksi komunikatif yang bermakna. Dalam
hal ini peserta didik berperan sebagai subjek didik, sedangkan guru bertindak sebagai penyuluh,
penganalisis kebutuhan, dan pembimbing peserta didik dalam berlatih berkomunikasi secara wajar.
Satu hal lagi yang perlu mendapat perhatian adalah kegiatan-kegiatan yang direncanakan
dalam kegiatan belajar-mengajar harus sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Kegiatan yang
sesuai dengan kebutuhan peserta didik akan membangkitkan gairah belajar peserta didik. Gairah
yang tinggi akan dapat meningkatkan keberhasilan peserta didik dalam belajar. Hal ini terjadi
karena dengan semangat yang tinggi, peserta didik terdorong untuk mengetahui, kemudian
melakukan sesuatu untuk dapat menerima apa yang ingin diketahuinya tersebut. Peningkatan
gairah peserta didik dalam belajar dapat dilihat pada adanya keterlibatan secara aktif peserta
didik terhadap hal-hal yang dipelajarinya. Sebaliknya, pengajaran yang kurang sesuai dengan
kebutuhan peserta didik akan sangat membosankan, sehingga motivasi belajar peserta didik
menjadi rendah.
Gairah belajar peserta didik dapat dibangun melalui tugas-tugas belajar yang bermakna dalam
kehidupan peserta didik. Tugas-tugas tersebut merupakan tugas yang menantang, yakni tugas
yang merentang keterampilan berpikir dan keterampilan sosial peserta didik. Selain itu, tugas
yang diberikan kepada peserta didik hendaknya tugas yang otentik, yakni tugas nyata yang
menyatu dengan pengalaman hidup sehari-hari peserta didik. Dalam situasi tertentu, untuk
meningkatkan kegairahan peserta didik dalam belajar, guru bahasa Indonesia dapat bekerja sama
dengan guru mata pelajaran lainnya untuk memberikan tugas yang terintegrasi atau
interdisipliner, yakni tugas yang merupakan pemaduan beberapa mata pelajaran.

180
Kegairahan hidup peserta didik dalam kehidupan di luar sekolah dapat dijadikan sebagai
acuan dalam menggairahkan belajar peserta didik dalam pembelaajaran bahasa Indonesia.
Keragaman, kefleksibelan, dan kesamaan yang ada dalam kehidupan nyata di masyarakat
digunakan sebagai dasar pembentukan kelompok kerja peserta didik dalam memecahkan
permasalahan belajar. Karena itu, dalam pengelompokan peserta didik dalam belajar, guru harus
mempertimbangkan prinsip (a) keberagaman, yakni keberagaman dalam hal jenis kelamin, kultur,
etnis, agama, gaya belajar, kemampuan, dan lain-lain, (b) kefleksibelan, yakni kelenturan dalam
pembentukan kelompok yang tersusun sesuai dengan tujuan belajar, dan (c) kesamaan, yakni
pemerlakuan peserta didik secara adil.

Pembelajaran Berbasis Masalah


Dalam kehidupan di masyarakat, anak-anak selalu menghadapi berbagai persoalan. Persoalan
tersebut ada yang datang dari teman, lingkungan, ataupun dari dirinya sendiri. Mereka berusaha
secara aktif dan kreatif untuk memecahkan persoalan tersebut. Kadang-kadang mereka juga
mengalami konfrontasi dengan temannya dalam mengatasi persoalan hidupnya itu. Mereka
berusaha mengerahkan segala potensinya untuk tetap dapat hidup dan meraih harapan sesuai
dengan yang dicita-citakan. Karena itu, kegairahan hidup melalui upaya memecahkan dan
mengatasi masalah tersebut dapat dijadikan model pembelajaran yang menggairahkan.
Pembelajaran berbasis masalah (PBM) termasuk salah satu model pembelajaran yang dapat
menciptakan kondisi belajar peserta didik lebih aktif dan kreatif. Melalui PBM, peserta didik terlibat
secara aktif dalam pemecahan masalah secara sistematis sesuai dengan metode ilmiah sehingga
peserta didik dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan
sekaligus memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah. Melalui PBM, peserta didik
dikonfrontasikan secara positif dengan masalah-masalah praktis melalui stimulus dalam belajar
(Dasna, 2005).
PBM memiliki beberapa karakteristik di antaranya adalah (1) memulai belajar dengan suatu
masalah, (2) memastikan bahwa masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata
peserta didik, (3) mengorganisasikan pelajaran di seputar masalah, bukan di seputar disiplin ilmu,
(4) memberikan tanggung jawab yang besar kepada peserta didik dalam membentuk dan
menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5) menggunakan kelompok kecil,
dan (6) menuntut peserta didik untuk mendemontrasikan apa yang telah mereka peserta didiki
dalam bentuk produk atau kinerja. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikemukakan bahwa
pembelajaran dengan model PBM dimulai oleh adanya masalah (dapat dimunculkan oleh peserta
didik atau guru), kemudian peserta didik memperdalam pengetahuannya tentang apa yang telah
diketahui dan apa yang perlu diketahui untuk memecahkan masalah tersebut. Peserta didik dapat
memilih masalah yang dianggap menarik untuk dipecahkan sehingga mereka terdorong berperan
aktif dalam belajar.
Masalah yang dijadikan sebagai fokus pembelajaran dapat diselesaikan peserta didik melalui
kerja kelompok sehingga dapat memberi pengalaman-pengalaman belajar yang beragam pada
peserta didik seperti kerja sama dan interaksi dalam kelompok, di samping pengalaman belajar
yang berhubungan dengan pemecahan masalah seperti memahami masalah, mengidentifikasi
masalah, merancang kegiatan pemecahan masalah, mengumpulkan informasi dari berbagai
rujukan, menginterpretasikan jawaban masalah, membuat simpulan, mempresentasikan,
berdiskusi, dan membuat laporan. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa model PBM dapat
memberikan pengalaman yang kaya kepada peserta didik. Dengan kata lain, penggunaan PBM
dapat meningkatkan pemahaman peserta didik tentang apa yang mereka peserta didiki sehingga
diharapkan mereka dapat menerapkannya dalam kondisi nyata pada kehidupan sehari-hari.
181
Pentingnya Pembelajaran Berbasis Masalah
PBM merupakan model pembelajaran yang berorientasi pada kerangka kerja teoritik
konstruktivisme. Dalam PBM, fokus pembelajaran ada pada masalah yang dipilih sehingga peserta
didik tidak saja mempelajari konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah, tetapi juga
metode ilmiah untuk memecahkan masalah. Oleh sebab itu, peserta didik tidak saja harus
memahami konsep yang relevan dengan masalah yang menjadi pusat perhatian, tetapi juga
memperoleh pengalaman belajar yang berhubungan dengan keterampilan menerapkan metode
ilmiah dalam pemecahan masalah dan menumbuhkan pola berpikir kritis.
Bila pembelajaran yang dimulai dengan suatu masalah, apalagi kalau masalah tersebut bersifat
kontekstual, dapat terjadi ketidaksetimbangan kognitif pada diri peserta didik. Keadaan ini dapat
mendorong rasa ingin tahu sehingga memunculkan bermacam-macam pertanyaan di sekitar
masalah seperti “apa yang dimaksud dengan....”, “mengapa bisa terjadi....”, “bagaimana
mengetahuinya...” dan seterusnya. Bila pertanyaan-pertanyaan tersebut telah muncul dalam diri
peserta didik, motivasi intrinsik mereka untuk belajar akan tumbuh. Pada kondisi tersebut
diperlukan peran guru sebagai fasilitator untuk mengarahkan peserta didik tentang “konsep apa
yang diperlukan untuk memecahkan masalah”, “apa yang harus dilakukan” atau “bagaimana
melakukannya” dan seterusnya. Dari paparan tersebut dapat diketahi bahwa penerapan PBM
dalam pembelajaran dapat mendorong peserta didik mempunyai inisiatif untuk belajar secara
mandiri. Pengalaman ini sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari karena berkembangnya
pola pikir dan pola kerja seseorang bergantung pada cara dia membelajarkan dirinya.
Hasil belajar yang diperoleh peserta didik melalui PBM dapat dipilah menjadi tiga, yaitu (1)
keterampilan melakukan pemecahan masalah melalui kegiatan inkuiri, (2) keterampilan belajar
sesuai dengan perilaku orang dewasa (adult role behaviors), dan (3) keterampilan belajar mandiri
(skills for independent learning). Peserta didik yang melakukan inkuiri dalam pembelajaran akan
menggunakan keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher-order thinking skill), yakni mereka
akan melakukan aktivitas mental seperti induksi, deduksi, klasifikasi, dan rasionalisasi. PBM juga
bertujuan untuk membantu peserta didik belajar secara mandiri.
Lingkungan belajar yang konstruktivistik diperlukan dalam pembelajaran melalui PBM.
Lingkungan belajar konstruktivistik mencakup beberapa faktor berikut ini.
a) Adanya keterkaitan antarkasus
Kasus-kasus yang berhubungan dapat membantu peserta didik untuk memahami pokok-
pokok permasalahan secara implisit. Kasus-kasus berhubungan dapat membantu peserta didik
belajar mengidentifikasi akar masalah atau sumber masalah utama yang berdampak pada
munculnya masalah yang lain. Kegiatan belajar seperti itu dapat membantu peserta didik
meningkatkan kemampuan berpikir kritis yang berguna dalam kehidupan sehari-hari.
b) Adanya fleksibilitas kognisi
Fleksibilitas kognisi merepresentasi materi pokok dalam upaya memahami kompleksitas
yang berkaitan dengan domain pengetahuan. Fleksibelitas kognisi dapat ditingkatkan dengan
memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk memberikan ide-idenya, yang
menggambarkan pemahamannya terhadap permasalahan. Fleksibelitas kognisi dapat
menumbuhkan kreativitas berpikir luas (divergent) dalam mempresentasikan masalah. Dari
masalah yang ditetapkan, peserta didik dapat mengembangkan langkah-langkah pemecahan
masalah dan dapat mengemukakan ide pemecahan yang logis. Ide-ide tersebut dapat
didiskusikan dahulu dalam kelompok kecil sebelum dilaksanakan.

182
c) Tersedianya sumber informasi
Sumber-sumber informasi bermanfaat bagi peserta didik dalam menyelidiki permasalahan.
Informasi dikonstruksi dalam model mental dan perumusan hipotesis yang menjadi titik tolak
dalam memanipulasi ruang permasalahan. Dalam konteks belajar bahasa, pengetahuan peserta
didik terhadap masalah yang dipecahkan dapat digunakan sebagai acuan awal dan dalam
penelusuran bahan pustaka sesuai dengan masalah yang mereka pecahkan.
d) Tersedianya bantuan kognitif
Bantuan kognitif merupakan bantuan bagi peserta didik untuk meningkatkan kemampuan
menyelesaikan tugas-tugasnya. Cognitive tools membantu peserta didik untuk merepresentasi
apa yang diketahuinya atau apa yang dipelajarinya, atau melakukan aktivitas berpikir melalui
pemberian tugas-tugas.
e) Adanya pemodelan dinamis
Pemodelan yang dinamis adalah pengetahuan yang memberikan cara-cara berpikir dan
menganalisis, mengorganisasi, dan memberikan cara untuk mengungkapkan pemahaman
mereka terhadap suatu fenomena. Pemodelan membantu peserta didik untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan, “apa yang saya ketahui” dan “apa artinya”.
f) Adanya peluang percakapan dan kolaborasi
Percakapan dan kolaborasi dilakukan dengan diskusi dalam proses pemecahan masalah.
Diskusi secara tidak resmi dapat menumbuhkan suasana kolaborasi. Diskusi intensif yang di
dalamnya terjadi proses menjelaskan dan memperhatikan penjelasan peserta diskusi dapat
membantu peserta didik mengembangkan komunikasi ilmiah, argumentasi yang logis, dan
sikap ilmiah.
g) Adanya dukungan sosial dan kontekstual
Dukungan sosial dan kontekstual berhubungan dengan kondisi yang menjadikan masalah
(yang menjadi fokus pembelajaran) dapat membuat peserta didik termotivasi untuk
memecahkannya. Dukungan sosial dalam kelompok ini penting dalam menumbuhkan kondisi
yang saling memotivasi antarpeserta didik. Suasana kompetitif antarkelompok juga dapat
mendukung kinerja kelompok. Dukungan sosial dan kontekstual hendaknya dapat diakomodasi
oleh guru untuk menyukseskan pelaksanaan pembelajaran.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut.
1 Melalui PBM pembelajaran menjadi lebih bermakna. Peserta didik yang belajar memecahkan
suatu masalah akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha mengetahui
pengetahuan yang diperlukan. Artinya belajar tersebut ada pada konteks aplikasi konsep.
Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika peserta didik berhadapan
dengan situasi diterapkannya konsep tersebut.
2 Dalam situasi PBM, peserta didik mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan secara
simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan. Artinya, apa yang dilakukan
oleh peserta didik sesuai dengan keadaan nyata bukan lagi teoritis sehingga masalah-masalah
dalam aplikasi suatu konsep atau teori akan ditemukan oleh mereka selama pembelajaran
berlangsung.
3 PBM dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif peserta didik
dalam bekerja, menumbuhkan motivasi intrinsik untuk belajar, dan dapat mengembangkan
hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.

183
Gejala umum yang terjadi pada peserta didik pada saat ini adalah “malas berpikir” mereka
cenderung menjawab suatu pertanyaan dengan cara mengutip dari buku atau bahan pustaka
lain tanpa mengemukakan pendapat atau analisisnya terhadap pendapat tersebut. Bila keadaan
ini berlangsung terus, peserta didik akan mengalami kesulitan mengaplikasikan pengetahuan
yang diperolehnya di kelas dengan kehidupan nyata. Dengan kata lain, pelajaran di kelas adalah
untuk memperoleh nilai ujian dan nilai ujian tersebut belum tentu relevan dengan tingkat
pemahaman mereka. Oleh sebab itu, model PBM merupakan alternatif yang dapat menjadi salah
satu solusi untuk mendorong peserta didik berpikir dan bekerja dan tidak hanya menghafal dan
bercerita.

Tahap-tahap Pembelajaran Berbasis Masalah


Penerapan PBM dimulai dengan adanya masalah. Masalah tersebut harus dipecahkan atau
dicari pemecahannya oleh peserta didik. Masalah tersebut dapat berasal dari peserta didik atau
mungkin juga diberikan oleh guru. Peserta didik akan memusatkan pembelajaran di sekitar
masalah tersebut, dengan arti lain, peserta didik belajar teori dan metode ilmiah agar dapat
memecahkan masalah yang menjadi pusat perhatiannya.
Pemecahan masalah dalam PBM harus sesuai dengan langkah-langkah yang diterapkan
dalam metode ilmiah. Peserta didik belajar memecahkan masalah secara sistematis dan terencana.
Oleh sebab itu, penggunaan PBM dapat memberikan pengalaman belajar melakukan kerja ilmiah
kepada peserta didik. Langkah-langkah pemecahan masalah dalam pembelajaran berbasis
masalah paling sedikit ada delapan tahapan, yaitu (1) mengidentifikasi masalah, (2) mengumpulkan
data, (3) menganalisis data, (4) memecahkan masalah berdasarkan data yang ada dan analisisnya,
(5) memilih cara untuk memecahkan masalah, (6) merencanakan penerapan pemecahan masalah,
(7) melakukan ujicoba terhadap rencana yang ditetapkan, dan (8) melakukan tindakan untuk
memecahkan masalah. Empat tahap pertama diperlukan untuk berbagai kategori tingkat berpikir,
sedangkan empat tahap berikutnya harus dicapai bila pembelajaran dimaksudkan untuk mencapai
keterampilan berpikir tingkat tinggi.
Langkah mengidentifikasi masalah merupakan tahapan yang sangat penting dalam PBM.
Pemilihan masalah yang tepat agar dapat memberikan pengalaman belajar yang mencirikan
kerja ilmiah sering menjadi “masalah” bagi guru dan peserta didik. Artinya, pemilihan masalah
yang kurang luas, kurang relevan dengan konteks materi pembelajaran, atau suatu masalah yang
sangat menyimpang dengan tingkat berpikir peserta didik dapat menyebabkan tidak tercapainya
tujuan pembelajaran. Oleh sebab itu, sangat penting adanya pendampingan oleh guru pada tahap
ini. Walaupun tidak melakukan intervensi terhadap masalah, guru dapat memfokuskan masalah
melalui pertanyaan-pertanyaan agar peserta didik melakukan refleksi lebih dalam terhadap
masalah yang dipilih. Dalam hal ini, guru harus berperan sebagai fasilitator agar pembelajaran
tetap pada bingkai yang direncanakan.
Suatu hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam PBM adalah pertanyaan berbasis
why bukan sekadar how. Oleh karena itu, setiap tahap dalam pemecahan masalah, keterampilan
peserta didik dalam tahap tersebut hendaknya tidak semata-mata keterampilan how, tetapi
kemampuan menjelaskan permasalahan dan bagaimana permasalahan dapat terjadi. Tahapan
dalam proses pemecahan masalah digunakan sebagai kerangka atau panduan dalam proses belajar
melalui PBM. Namun, yang harus dicapai pada akhir pembelajaran adalah kemampuan untuk
memahami permasalahan dan alasan timbulnya permasalahan serta kedudukan permasalahan
tersebut dalam tatanan sistem yang sangat luas.

184
Ada lima fase pelaksanaan PBM dalam pembelajaran. Fase-fase yang dimaksudkan adalah
sebagai berikut.
Fase 1: Mengorientasikan peserta didik pada masalah
Pembelajaran dimulai dengan menjelaskan tujuan pembelajaran dan aktivitas-aktivitas
yang akan dilakukan. Dalam penggunaan PBM, tahapan ini sangat penting. Dalam hal ini,
guru harus menjelaskan dengan rinci kegiatan yang harus dilakukan oleh peserta didik dan
juga oleh guru. Di samping proses yang akan berlangsung, perlu juga dijelaskan cara evaluasi
yang akan dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran. Hal ini dimaksudkan untuk
memberikan motivasi agar peserta didik dapat engage dalam pembelajaran yang akan
dilakukan. Sutrisno (2006) menekankan empat hal penting pada proses ini, yaitu (1) tujuan
utama pengajaran ini tidak untuk mempelajari sejumlah besar informasi baru, tetapi lebih
kepada belajar bagaimana menyelidiki masalah-masalah penting dan bagaimana menjadi
peserta didik yang mandiri, (2) permasalahan dan pertanyaan yang diselidiki tidak mempunyai
jawaban mutlak “benar”, sebuah masalah yang rumit atau kompleks mempunyai banyak
penyelesaian dan sering bertentangan, (3) selama tahap penyelidikan, peserta didik didorong
untuk mengajukan pertanyaan dan mencari informasi, sedangkan guru akan bertindak sebagai
pembimbing yang siap membantu, dan (4) selama tahap analisis dan penjelasan, peserta didik
akan didorong untuk menyatakan ide-idenya secara terbuka dan penuh kebebasan. Semua
peserta didik diberi peluang untuk menyumbang kepada penyelidikan dan menyampaikan
ide-ide mereka.
Fase 2: Mengorganisasikan peserta didik untuk belajar
Disamping mengembangkan keterampilan memecahkan masalah, PBM juga mendorong
peserta didik belajar berkolaborasi. Pemecahan suatu masalah sangat membutuhkan kerja sama
dan sharing antaranggota. Oleh sebab itu, guru dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan
membentuk kelompok-kelompok peserta didik yang tiap-tiap kelompok akan memilih dan
memecahkan masalah yang berbeda. Prinsip-prinsip pengelompokan peserta didik dalam
pembelajaran kooperatif dapat digunakan dalam konteks ini seperti kelompok harus heterogen,
pentingnya interaksi antaranggota, komunikasi yang efektif, adanya tutor sebaya, dan
sebagainya. Guru perlu penting memonitor dan mengevaluasi kerja tiap-tiap kelompok untuk
menjaga kinerja dan dinamika kelompok selama pembelajaran.
Setelah peserta didik diorientasikan pada suatu masalah dan telah membentuk kelompok
belajar, guru dan peserta didik menetapkan sub-subtopik yang spesifik, tugas-tugas
penyelidikan, dan jadwal. Tantangan utama bagi guru pada tahap ini adalah mengupayakan
agar semua peserta didik aktif terlibat dalam sejumlah kegiatan penyelidikan dan hasil-hasil
penyelidikan ini dapat menghasilkan penyelesaian terhadap permasalahan tersebut.
Fase 3: Membantu penyelidikan mandiri dan kelompok
Penyelidikan adalah inti dari PBM. Kegiatan yang dilakukan pada fase ini meliputi
mengumpulkan data dan melakukan eksperimen, berhipotesis dan membuat penjelasan, dan
memberikan pemecahan. Pengumpulan data dan eksperimentasi merupakan aspek yang sangat
penting. Pada tahap ini, guru harus mendorong peserta didik untuk mengumpulkan data dan
melaksanakan eksperimen sampai mereka betul-betul memahami dimensi situasi permasalahan.
Tujuannya adalah agar peserta didik mengumpulkan cukup informasi untuk menciptakan
dan membangun ide mereka sendiri. Pada fase ini, peserta didik seharusnya lebih dari sekedar
membaca masalah-masalah dalam buku-buku. Guru perlu membantu peserta didik untuk
mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber. Guru hendaknya

185
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendorong peserta didik untuk berpikir tentang
masalah dan ragam informasi yang dibutuhkan untuk sampai pada pemecahan masalah yang
dapat dipertahankan.
Setelah peserta didik mengumpulkan cukup data dan memberikan permasalahan tentang
fenomena yang diselidiki, selanjutnya mereka mulai menawarkan penjelasan dalam bentuk
hipotesis, penjelasan, dan pemecahan. Selama pengajaran pada fase ini, guru mendorong peserta
didik untuk menyampaikan ide-idenya dan menerima secara penuh ide tersebut. Guru juga
harus mengajukan pertanyaan yang membuat peserta didik berpikir tentang kelayakan hipotesis
dan solusi yang mereka buat serta tentang kualitas informasi yang dikumpulkan. Pertanyaan-
pertanyaan berikut kiranya cukup memadai untuk membangkitkan semangat penyelidikan
bagi peserta didik. “Apa yang Anda butuhkan agar Anda yakin bahwa pemecahan dengan cara
Anda adalah yang terbaik?” atau “Apa yang dapat Anda lakukan untuk menguji kelayakan
pemecahanmu?” atau “Apakah ada solusi lain yang dapat Anda usulkan?”. Oleh karena itu, selama
fase ini, guru harus menyediakan bantuan yang dibutuhkan tanpa mengganggu aktivitas
peserta didik dalam kegaitan penyelidikan.
Fase 4: Mengembangkan dan menyajikan artifak (hasil karya) dan memamerkannya
Tahap penyelidikan diikuti dengan menciptakan artifak (hasil karya) dan pameran. Artifak
lebih dari sekadar laporan tertulis, tetapi bisa berupa videotape (menunjukkan situasi masalah
dan pemecahan yang diusulkan), model (perwujudan secara fisik dari situasi masalah dan
pemecahannya), program komputer, dan sajian multimedia. Tentunya kecanggihan artifak sangat
dipengaruhi tingkat berpikir peserta didik. Langkah selanjutnya adalah memamerkan hasil
karyanya dan guru berperan sebagai organisator pameran. Akan lebih baik jika dalam pemeran
ini melibatkan peserta didik-peserta didik lainnya, guru-guru, orang tua, dan lainnya yang
dapat menjadi “penilai” atau memberikan umpan balik.
Fase 5: Analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah
Fase ini merupakan tahap akhir dalam PBM. Selama fase ini guru meminta peserta didik
untuk merekonstruksi pemikiran dan aktivitas yang telah dilakukan selama proses kegiatan
belajarnya. Kapan mereka pertama kali memperoleh pemahaman yang jelas tentang situasi
masalah? Kapan mereka yakin dalam pemecahan tertentu? Mengapa mereka dapat menerima
penjelasan lebih siap dibanding yang lain? Mengapa mereka menolak beberapa penjelasan?
Mengapa mereka mengadopsi pemecahan akhir dari mereka? Apakah mereka berubah pikiran
tentang situasi masalah ketika penyelidikan berlangsung? Apa penyebab perubahan itu? Apakah
mereka akan melakukan secara berbeda di waktu yang akan datang? Tentunya masih banyak
lagi pertanyaan yang dapat diajukan untuk memberikan umpan balik dan menginvestigasi
kelemahan dan kekuatan PBM untuk pengajaran.

Pembelajaran Bahasa Indonesia Berbasis Masalah


PBM dapat digunakan dalam pembelajaran bahasa, khususnya pembelajaran bahasa
Indonesia. PBM memiliki manfaat besar dalam melatih kreativitas, daya pikir, dan kemandirian
peserta didik. PBM dapat digunakan sebagai alat yang melatih peserta didik untuk memecahkan
masalah. PBM menggunakan suatu kerangka kerja yang menekankan bagaimana para peserta
didik merencanakan suatu kegiatan untuk menjawab sederet pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan
tersebut di antaranya adalah “what do I know”, “what do I need to know”, “what do I need to learn”,
dan “how do I measure or describe the result”. Selama fase merancang kegiatan berbasis masalah,
para peserta didik mengidentifikasi berbagai persoalan dan menyusun suatu daftar setiap tahap
kegiatan yang akan dilakukan.
186
Sebagai salah satu alternatif strategi pembelajaran, PBM dapat diterapkan untuk melatih
peserta didik bekerja secara mandiri dan menggunakan potensi serta kreativitasnya dalam proses
pembelajaran. Dalam aktivitas pembelajaran, peserta didik mendapat porsi dan peluang besar
untuk berlatih menggunakan daya pikir dan keterampilannya dalam menyerap dan menguasai
materi ajar yang dipelajarinya. Hal ini sesuai dengan ruh pembelajaran bahasa, yakni melatih
dan membelajarkan peserta didik terampil dan mahir berbahasa. Anak yang terampil dan mahir
berbahasa adalah anak yang dapat menggunakan kompetensi dan performansi bahasanya secara
optimal, baik kompetensi dan kompetensi berbahasa reseptif maupun produktif.
Pembelajaran bahasa pada hakikatnya adalah pembelajaran menggunakan bahasa untuk
berkomunikasi. Dalam pembelajaran bahasa, peserta didik dilatih dan dibelajarkan untuk
menggunakan bahasa sebagai wahana untuk menyerap informasi, menganalisis, menyintesis,
mengevaluasi, dan menyampaikannya sebagai informasi baru. Bahasa dalam hal ini difungsikan
sebagai sarana untuk berpikir, bernalar, dan berkomunikasi, bukan sebagai materi yang harus
dihafal.
Pada umumnya, pembelajaran bahasa sering terjebak pada pembelajaran konseptual tentang
bahasa. Bahasa diajarkan sebagai konsep yang harus dihafal dan dimengerti oleh anak
sebagaimana pembelajaran ekonomi, kimia, fisika, dan biologi. Anak dibebani pekerjaan untuk
menghafal sejumlah istilah yang tidak menguntungkan bagi pembelajaran bahasa. Akibatnya,
anak lebih mahir menjelaskan istilah-istilah tersebut, tetapi tidak mampu menggunakan atau
menerapkan istilah tersebut dalam aktivitas berbahasa (dalam menulis misalnya). Sebagai contoh,
anak memahami dan mampu menjelaskan serta memberi contoh pengertian sinonim, tetapi anak
tidak dapat memanfaatkan sinonim tersebut untuk kepentingan menulis atau membaca. Karena
itu, model pembelajaran yang demikian ini perlu dirombak sehingga menjadi model pembelajaran
yang lebih kreatif dan inovatif.
Standar isi kurikulum bahasa Indonesia menekankan materi pembelajaran bahasa yang lebih
bersifat fungsional. Melalui pembelajaran bahasa Indonesia, diharapkan peserta didik mampu
menggunakan bahasa tersebut sesuai dengan fungsinya. Sebagai contoh, beberapa pokok materi
ajar bahasa Indonesia dalam kurikulum bahasa Indonesia SMA adalah membuat surat, menyusun
karya ilmiah, mengembangkan paragraf, menyusun naskah pidato, menyusun proposal, dan
sebagainya. Peserta didik perlu dilatih dan dibelajarkan menggunakan bahasa Indonesia untuk
kepentingan membuat surat, menyusun karya ilmiah, mengembangkan paragraf, menyusun
naskah pidato, dan menyusun proposal, bukan diminta untuk memahami dan menghafal
sistematika dan ciri-ciri surat, karya ilmiah, paragraf, dan pidato.
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia secara fungsional, terdapat tiga masalah pokok yang
perlu mendapatkan perhatian dari guru. Ketiga masalah pokok tersebut adalah (a) masalah isi
atau topik, (b) masalah sistematika atau format, dan (c) masalah tatanan bahasa dengan berbagai
variasi kesantunannya. Masalah isi atau topik merupakan masalah pengetahuan umum yang
penguasaannya dapat dilatihkan kepada peserta didik melalui berbagai bidang studi dan dengan
banyak membaca. Masalah sistematika atau format merupakan perihal standar yang dapat
ditemukan dalam berbagai refernsi. Sementara, masalah bahasa dengan variasi kesantunannya
merupakan masalah yang menjadi tugas guru bahasa Indonesia dalam pengembangannya. Karena
itu, masalah ketiga ini merupakan fokus utama yang menjadi tugas guru bahasa Indonesia dalam
aktivitas pembelajaran.
Berdasarkan karakteristik materi ajar bahasa Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas,
PBM dapat dipandang sebagai salah satu strategi yang memberikan peluang besar bagi aktivitas
kelas dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Melalui pembelajaran dengan strategi PBM, aktivitas

187
pembelajaran akan menyadarkan peserta didik untuk bertanya pada dirinya sendiri tentang
masalah atau topik apa yang akan diketahui, aktivitas apa yang perlu dilakukan untuk
mengetahuinya, bagaimana usaha untuk mempelajarinya, dan bagaimana mengukur keberhasilan
dan mendeskripsikan hasilnya. Jika kesadaran peserta didik dalam belajar telah sampai pada
taraf tersebut berarti bahwa aktivitas kelas telah berhasil dalam mencapai tujuan pembelajaran,
yakni penciptaan kelas learning how to learn.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas tentang penerapan pembelajaran berbasis masalah diperoleh
kesimpulan sebagai berikut.
a. Hal yang harus disiapkan guru sebelum pembelajaran
1 Lakukan identifikasi dan pemetaan topik atau kompetensi dasar dalam kurikulum yang
akan dibelajarkan kepada peserta didik.
2 Siapkan lembar-lembar kasus atau masalah yang akan diberikan kepada peserta didik.
3 Lakukan penjajagan ke perpustakaan sekolah untuk menentukan keberadaan sumber
referensi yang diperlukan.
4 Siapkan sumber referensi lain yang diperlukan jika hal tersebut tidak tersedia di
perpustakaan.
5 Buatlah rambu-rambu masalah dan tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik.
b. Hal yang dilakukan guru selama pembelajaran
1 Ciptakan kondisi dan situasi kelas yang siap untuk menerima informasi dan melakukan
aktivitas pembelajaran.
2 Sampaikan kepada peserta didik tentang topik atau materi yang akan dipelajari.
3 Jelaskan tujuan yang akan dicapai dalam aktivitas pembelajaran.
4 Jelaskan aktivitas yang akan dan harus dilakukan oleh peserta didik dalam pembelajaran.
5 Tentukan dan tawarkan kepada peserta didik apakah aktivitas terseebut dilakukan secara
individual atau kelompok.
6 Jika aktivitas dilakukan secara kelompok, tentukan kelompok kerja peserta didik
(pembentukan kelompok dapat dilakukan dengan beragam cara yang menarik).
7 Berikan kasus atau masalah kepada peserta didik untuk dicari penyelesaiannya sesuai
dengan rambu-rambu yang ditetapkan.
8 Berikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengenali kasus dan mengidentifikasi
kegaiatan yang akan dilakukan.
9 Arahkan peserta didik untuk memperdalam wawasannya tentang kasus dengan
membacanya dari buku referensi (dapat mencarinya di perpustakaan atau disiapkan oleh
guru).
10 Bimbinglah peserta didik untuk menemukan jawaban atau penyelesaian masalah dengan
cara mendiskusikannya dengan teman atau kelompoknya.
11 Sarankan kepada peserta didik untuk segera menyusun laporan hasil pemecahan atau
penyelesaian kasus atau masalah.
12 Lakukan aktivitas seminar atau sidang pembahasan kasus per kelompok atau
antarkelompok (aktivitas ini dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai model
pembelajaran yang menarik, misalnya: jigsaw, pemajangan karya dan komentar
kelompok lain, atau model lainnya).

188
13 Lakukan sidang pleno pembahasan kasus dan penarikan simpulan.
14 Lakukan aktivitas refleksi.

Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas disampaikan beberapa saran untuk
menggairahkan belajar peserta didik dalam belajar bahasa Indonesia.
a. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, guru jangan sampai terjebak pada pembelajaran
konsep, tetapi guru hendaknya lebih menitikberatkan pada pembelajaran keterampilan
menggunakan bahasa.
b. Peserta didik jangan dibebani oleh usaha untuk menghafalkan konsep atau istilah, tetapi
hendaknya lebih difokuskan pada upaya menggunakan konsep atau istilah tersebut.
c. Dalam membelajarkan topik tertentu, guru sebaiknya lebih banyak menggunakan model
ilustratif bukan model definitif.
d. Dalam mempersiapkan aktivitas pembelajaran, guru tidak perlu menjelaskan nama metode
yang akan digunakan, tetapi langsung mengarahkan peserta didik pada aktivitas yang harus
dilakukan berdasarkan metode itu.
e. Dalam mempersiapkan pembelajaran, guru jangan disibukkan oleh pembekalan diri
terhadap banyaknya materi yang akan diajarkan, tetapi perkayalah diri dengan berbagai
strategi untuk membelajarkan peserta didik tentang materi itu.
f. Sumber dan media belajar bahasa Indonesia tidak hanya berupa buku teks, tetapi telah
tersedia banyak dan bervariasi di lingkungan kita.
g. Dalam aktivitas pembelajaran, berikan kesempatan kepada peserta didik untuk berkreasi
dan beralternasi dalam berpendapat selama yang bersangkutan dapat
mempertanggungjawabkan pendapatnya itu.

189
DAFTAR RUJUKAN

Dasna, I Wayan. 2005. Penggunaan Model Pembelajaran Problem-based Learning dan Kooperatif
learning untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar kuliah metodologi penelitian.
Malang: Lembaga Penelitian UM.
Sutrisno. 2006. Problem-based Learning. Dalam Monograf Model-model Pembelajaran Sains (Kimia)
Inovatif. Malang: Jurusan Kimia.

190
TUTUR RITUAL MANENUNG PADA MASYARAKAT DAYAK HINDU
KAHARINGAN PALANGKA RAYA: ANALISIS WACANA KRITIS VAN DIJK
(RITUAL SPEECH MANENUNG IN THE DAYAK HINDU KAHARINGAN PALANGKA
RAYA: A STUDY OF VAN DIJK CRITICAL DISCOURSE)

Made Agustus
STIP Bunga Bangsa, Palangka Raya, Jl. Pangeran Samudra, No. 8, Palangka Raya,
Kalimantan Tengah, e-mail made29agustus@yahoo.co.id

Abstract

Ritual Speech Manenung In the Dayak Hindu Kaharingan Palangka Raya: A Study
of Van Dijk Critical Discourse. In this study aim to describe and identify the structures
that form the textual TRM. TRM research uses qualitative methods or interpretive method
also called for more research data regarding the interpretation of the data found in the
field. The results are found, namely (1) the level of superstructure find the introduction,
the core and cover, (2) revealed the macro level of application to the spirit of the rice
theme to convey the request to the dawn of human parapah “god”, and (3) the level of
the microstructure of the review of the parallelism found a parallelism, namely (a)
phonological parallelism found asonansi sound, alliteration, and rhyme; (b) lexico-
gramamtical parallelism found a number of elements of the dyadic pairs at most amount
to ten words in the clause and there is also a single device that does not have dyadic
partner. Parallelism is also found that word-class pairs, namely, nouns, verbs, adjectives,
adverbs, prepositions, pronouns, and numeralia and (c) the lexico-semantics parallelism
find synonymous words more than the antithesis and synthesis.

Keywords: ritual speech manenung, textual structure, discourse analysis

Abstrak

Ritual Pidato Manenung dalam Dayak Hindu Kaharingan Palangka Raya: Analisis
Wacana Kritis Van Dijk. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan
mengidentifikasi struktur yang membentuk TRM tekstual. TRM penelitian menggunakan
metode kualitatif atau metode penafsiran juga menyerukan data penelitian lebih lanjut
mengenai interpretasi data yang ditemukan di lapangan. Hasilnya ditemukan, yaitu
(1) tingkat suprastruktur menemukan pengenalan, inti dan penutup, (2) mengungkapkan
tingkat makro aplikasi dengan semangat tema beras untuk menyampaikan permintaan
ke fajar manusia parapah “god”, dan (3) tingkat mikro review paralelisme menemukan
paralelisme, yaitu (a) paralelisme fonologis menemukan suara asonansi, aliterasi, dan
sajak, (b) lexico-gramatical paralelisme menemukan sejumlah elemen pasang dyadic
sebesar jumlah paling sepuluh kata dalam klausa dan ada juga satu perangkat yang
tidak memiliki pasangan dyadic. Paralelisme juga menemukan bahwa kata-kelas
pasangan, yaitu kata benda, kata kerja, kata sifat, kata keterangan, preposisi, kata
ganti, dan numeralia, dan (c) paralelisme Lexico-semantik menemukan kata-kata
sinonim lebih dari antitesis dan sintesis.

Kata-kata kunci: tutur ritual manenung, struktur tekstual, kajian wacana

191
PENDAHULUAN
Upacara manenung di Palangka Raya digunakan sebagai media untuk “mencari” sesuatu,
melalui balian atau basir dengan keahlian khusus dan ketulusan batin. Balian atau basir inilah
yang memanggil roh (leluhur) atau “tokoh” yang berada di alam niskala sesuai dengan lingkungan
di sekitar. Dalam tutur ritual manenung yang dilakukan masyarakat Dayak Hindu Kaharingan
menggunakan bentuk bahasa Sangiang (BS), yaitu bahasa ritual yang hanya digunakan dalam
upacara tersebut. Bahasa Sangiang (BS) ini hanya bertahan dalam tuturan ritual, seperti Manenung
atau Manajah Antang (memohon petunjuk), Nyadiri (tolak bala), Pakanan Sahur (syukuran),
Mampakanan Pali (tolak roh jahat), dan Tiwah (ritual kematian). Bahasa Sangiang (BS) ini hanya
digunakan oleh kalangan basir, sedangkan masyarakat umum, lebih-lebih kalangan generasi muda
Dayak tidak dapat menggunakan bahasa Sangiang (BS). Menurut Riwut (2003: 117), BS disebut
juga bahasa Sangen, yaitu bahasa sakral dan kuno yang bertahan dalam ritual-ritual keagamaan
Hindu Kaharingan.
Bahasa Sangiang (BS) merupakan warisan dari nenek moyang Masyarakat Dayak Hindu
Kaharingan (MDHK). Keberadaan BS ini tentunya memiliki fenomena lingual dan budaya yang
khas serta mencerminkan kehidupan masyarakat pendukungnya. Nilai dan makna realitas sangat
dipengaruhi oleh cara mempertahankan diri. Cara beraktivitas masyarakat dalam
mengembangkan diri demi mencapai kehidupan yang lebih baik. Tutur ritual manenung ini, hanya
dapat dilakukan oleh basir yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan upacara itu dan
menguasai BS. Pada upacara manenung, basir tidak dapat secara langsung berkomunikasi dengan
Ranying Hatalla Langit ‘Tuhan’, tetapi melalui para Sangiang.
Pada upacara manenung, salah satu tahapan yang dilakukan oleh basir adalah tawur. Tahapan
tawur ini bermaksud untuk “memanggil” para Sangiang agar hadir dan menyertai upacara
manenung yang akan dilaksanakan. Upacara manenung merupakan keyakinan terhadap kekuatan
gaib yang bersumber dari roh-roh penguasa sebagai manifestasi Ranying Hatalla Langit dan Jatha
Bala Wang Bulau. Kekuatan gaib dan roh-roh itu dipanggil. Secara tersirat dikatakan pada Kitab
Panaturan pasal 42, yaitu “Ehem-ehem behas”, artinya ucapan Ehem-ehem, yaitu ucapan Garing
Nganderang memberitahukan, bahwa “IA” dan “IA” adalah kuasa, “IA” Mahapencipta, Mahakuat,
Mahaagung, dan sebagainya. “IA” membuka dan membangunkan segala kekuatan dan
kekuasaan yang terkandung pada beras, merupakan wujud nyata dari kekuatan, kemakmuran
Ranying Hatalla Langit dan Jatha Wang Bulau.
Tutur Ritual Manenung (TRM) dilakukan dalam tiga tahap, yaitu (1) tahap awal menimang-
menimang beras bermaksud untuk pemberian nama behas tawur terhadap jenis upacara yang
akan dilaksanakan. Pada saat ini, tukang tenung (basir) menyebutkan behas tawur digunakan
upacara manenung; (2) tahap inti, yaitu “pemanggilan” kekuatan gaib yang bersumber dari
roh-roh penguasa sebagai manifestasi Ranying Hatalla Langit dan Jatha Bala Wang Bulau yang
bernama Putir Santang Sintung Uju. Tahap ini bertujuan untuk meminta petunjuk; dan (3) tahap
terakhir, yaitu ucapan terima kasih atas berkenan kekuatan gaib sebagai manifestasi Ranying
Hatalla hadir memberikan petunjuk pada saat manenung. Upacara selesai kemudian
mempersilakan mereka kembali ke tempat masing-masing seperti semula.
Fenomena bahasa dalam wacana budaya terdapat dalam TRM di atas termasuk ranah kajian
ilmiah linguistik interdisipliner. Seperti yang diungkapkan oleh Goody (dalam Sastriadi, 2006:
10) bahwa nilai pemakaian bahasa untuk menyampaikan informasi kuat-kuat tertanam dalam
mitologi budaya kita. Dengan kemampuan berbahasa, memungkinkan seorang manusia untuk
mengembangkan berbagai kebudayaan, dengan adat kebiasaan, religi yang dianut, hukum, tradisi
lisan, pola perdagangan, dan sebagainya. Dalam mengkaji fenomena kebahasaan dalam wacana

192
budaya, dalam hal ini, TRM, peneliti menerapkan model penelitian linguistik seperti yang
diungkapkan oleh Pastika (2005: 108-110) bahwa peneliti dianjurkan untuk menafsirkan makna-
makna budaya melalui penggunaan bahasa dalam wacana yang telah dijadikan korpus (data
dalam penelitian).
Pada penelitian ini, ada sejumlah hasil penelitian terdahalu yang dijadikan acuan, yakni (a)
Bahasa, Sastra, dan Sejarah Kumpulan Karangan Mengenai Masyarakat Pulau Roti” oleh Fox (1986).
Hasil penelitian itu menyatakan bahwa fenomena kebahasaan yang terdapat pada bahasa ritual
di Pulau Roti ini sangat unik dan keunikannya tersebut mirip dengan fenomena yang terdapat
dalam bahasa ritual bahasa Sangiang; (b) Ungkapan Paralelisme Bahasa Manggarai dan Dinamikanya
dalam Realitas Sosial Budaya oleh Erom (2004). Penelitian Erom ini lebih terfokus pada unsur
kebahasaan bahasa Manggarai, terutama tentang paralelisme, yaitu penggunaan bentuk sintaksis
berupa kesejajaran, kemiripan, atau kepadanan; dan (c) Wacana Kebudayaan Tudak dalam Ritual
Penti pada Kelompok Etnik Manggarai di Flores Besar oleh Bustan (2004). Analisis yang dilakukan
oleh Bustan mengacu pada model analisis Van Dijk, yang menelaah struktur makro, superstruktur,
dan struktur mikro. Relevansi penelitian Bustan terhadap kajian terletak pada analisis wacana van
Dijk, yang dijadikan model dalam penelitian ini.
Sesuai dengan karakteristik data dan permasalahan penelitian, ada sejumlah teori yang
digunakan, yang memiliki keterkaitan. Penelitian ini mencakup dua aspek, yaitu linguistik dan
nonlinguistik yang meliputi konteks budaya yang tercermin dalam konteks situasi, karena kedua
hal ini membentuk integritas, kesetalian makna, dan keutuhan suatu bahasa. Berhubungan
dengan ritual, Dhavamony (1995: 175) menyatakan bahwa ritual adalah pola-pola pikiran yang
dihubungkan dengan gejala yang mempunyai ciri mistis. Dia membedakan ritus atas empat
macam, yaitu (1) tindakan magis berkaitan dengan menggunakan bahan-bahan yang bekerja
karena daya-daya mistis; (2) tindakan religius, kultus para leluhur; (3) ritual konstitutif, yang
mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada pengertian-pengertian
mistis, dengan cara ini upacara-upacara kehidupan menjadi khas; dan (4) ritual fiktif, yang
meningkatkan produktivitas atau kekuatan pemurnian dan perlindungan dengan cara lain
meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok.
Hadi (2006: 31) menyatakan bahwa ritual merupakan suatu bentuk upacara atau perayaan
(celebration) yang berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama dengan ditandai oleh
sifat khusus yang menimbulkan rasa hormat yang luhur dalam arti suatu pengalaman yang
suci. Pengalaman itu mencakup segala sesuatu yang dibuat atau dipergunakan oleh manusia
untuk menyatakan hubungan dengan ’yang tertinggi’, dan hubungan atau perjumpaan itu bukan
sesuatu yang bersifat biasa atau umum, tetapi sesuatu yang bersifat khusus atau istimewa, sehingga
manusia mampu membuat suatu cara yang pantas digunakan untuk melaksanakan pertemuan
itu.
Djajasudarma (1993: 28) menyatakan bahwa bahasa (linguistik) sebagai materi (objek)
penelitian dapat ditentukan, baik dari strukturnya maupun dari bagian-bagian sebagai unsurnya.
Bahasa dapat pula diteliti dari sudut hubungannya dengan ilmu lain (interdisipliner), atau bahasa
dapat diteliti dari kebahasaan itu sendiri maupun bahasa sebagai dari kebudayaan. Sebagai materi
penelitian, bahasa dapat diteliti pula dari segi tatarannya. Fairclough (1994: 4) menyatakan kategori-
kategori yang membangun sebuah teks pada dasarnya tidak bisa dianalisis secara terpisah, sebab
sebuah wacana atau teks dibangun oleh bentuk-bentuk bahasa yang memiliki orientasi makna,
baik makna budaya maupun makna linguistik. Adapun aspek-aspek yang dikaji meliputi bentuk,
struktur, dan organisasi teks mulai dari tataran terendah fonologi (fonem), gramatika (morfem,
kata, frasa, klausa, dan kalimat), leksikon (kosa kata), sampai tataran yang lebih tinggi seperti

193
sistem pergantian percakapan, struktur argumentasi, dan jenis-jenis aktivitas. Oleh sebab itu,
menganalisis seluruh bagaian-bagian sebuah teks atau wacana harus dilakukan secara simultan
agar didapatkan sebuah pemahaman makna yang sesuai, baik linguistik maupun secara budaya.
Penelitian ini mencakup dua aspek, yaitu aspek linguistik dan nonlinguistik yang meliputi
konteks kebudayaan yang tercermin dalam konteks situasi, karena kedua hal ini yang membentuk
integritas, kesetalian makna dan keutuhan suatu bahasa. Hal ini berdasarkan pada pandangan
bahwa sebuah teks selalu terkait dengan tataran: (1) tataran ekstralinguistik yang mencakupi
tautan, budaya, dan situasi; (2) tataran intralinguistik yang mencakup segi semantik dan
leksikogramtikal dan ekspresi yang mencakupi sistem pembunyian (Suteja, 2005: 64).
Analisis wacana adalah suatu kajian linguistik yang didasarkan pada satuan gramatikal yang
lebih luas atau lebih besar daripada kalimat dengan tujuan untuk menemukan urutan ungkapan
semirip mungkin dengan lingkungannya dan kemantapan distribusi pemakaiannya, atau untuk
mencapai suatu makna yang mendekati makna yang dimaksudkan oleh pembicara dalam wacana
lisan atau oleh penulis (Passandaran, 2000:16). Analisis wacana adalah analisis atas bahasa yang
digunakan. Analisis wacana tidak dapat dibatasi pada deskripsi bentuk bahasa yang tidak terikat
pada tujuan dan fungsi yang dirancang untuk menggunakan bentuk itu dalam urusan-urusan
manusia. Hal yang mendasar diungkapkan oleh Yule (dalam Jumadi, 2006: 115—116), analisis
wacana terfokus pada rekaman atau catatan proses untuk menggunakan bahasa dalam suatu
konteks tertentu untuk mengekspresikan maksud. Di samping itu, Brown dan Yule (1996:1)
mengungkapkan kalau ada ahli linguistik yang memusatkan perhatian pada penentuan sifat-
sifat bahasa, penganalisis wacana berkewajiban untuk menyelidiki tujuan apa bahasa itu dipakai.
Pada penelitian ini analisis struktur TRM dikembangkan menggunakan model analisis wacana
Van Dijk (1985: 103—133). Dengan mengacu pada model analisis Van Dijk, struktur TRM dibagi
ke dalam tiga tataran, yaitu superstruktur, struktur makro, dan struktur mikro. Ketiga tataran
tersebut saling mendukung dalam pembentukan sebuah makna yang utuh pada sebuah teks.
Model Van Dijk juga diungkapkan oleh (Eriyanto, 2009: 227-236; Sobur, 2006:73-75). Superstruktur
mengamati bagaimana bagian dan urutan dalam TRM diskemakan dalam teks wacana yang
utuh. Teks umumnya mempunyai skema atau alur dari pendahuluan sampai akhir. Alur itu
menunjukkan bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga membentuk
kesatuan arti. Menurut Van Dijk (1985: 107-112), suprastruktur merupakan satu kesatuan yang
koheren dan padu. Gagasan apa yang diungkapkan dalam bagian suprastruktur terdahulu akan
diikuti oleh gagasan lain pada bagian berikutnya hingga bagian akhir secara koheren.
Struktur makro pada makna umum teks yang dapat diamati dari tema atau topik yang
dikedepankan dalam suatu wacana, dalam hal ini, TRM. Elemen ini mengacu pada gambaran
umum dari suatu teks, bisa juga disebut sebagai gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari
suatu teks. Struktur mikro adalah pengkajian pada tataran kebahasaan yang digunakan dalam
sebuah teks, diantaranya adalah pada tataran morfologi, sintaksis, dan struktur leksikal kalimat.
Elemen-elemen ini menurut Van Dijk mesti memenuhi persyaratan koherensi suatu wacana
diekspresikan dengan pemilihan unsur-unsur kebahasaan yang tepat dalam sebuah wacana, seperti
tataran klausa, urutan klausa, urutan kalimat, penghubung, pronomina, abverbia, verba, unsur
leksikal, parafrase, dan lain-lain (Eriyanto, 2001: 229).
Paralelisme merupakan salah satu sondre (gaya) berbahasa. Menurut Bakhtin (dalam Foley,
1997: 359), sondre (genre) terdiri atas kerangka yang secara relatif stabil dan diturunkan secara
historis untuk mengadakan produk wacana. Sondre-sondre ini secara kuat berkonvensi dan berakar
dalam praktik produksi dan pemahaman bahasa masyarakat dalam suatu komunikasi, tetapi
tetap fleksibel dan terbuka terhadap manipulasi atau peniruan yang kreatif oleh para pelakunya.

194
Istilah paralelisme diartikan oleh Kridalaksana (2001: 154) sebagai pemakaian yang berulang-
ulang ujaran yang sama dalam bunyi, tata bahasa, atau makna, atau gabungan dari
kesemuanya; ciri khas dari bahasa puitis. Roberth Lowth (dalam Fox, 1986) memberikan sejumlah
konsep tentang paralelisme berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada sejumlah bahasa. Ia
mengemukakan lima konsep tentang paralelisme, yakni (1) istilah paralelisme adalah kata-kata
atau kalimat yang saling bersahutan dalam larik yang berkaitan, (2) paralelisme merupakan
penyesuaian puitis kalimat, terutama atas persamaan derajat, kemiripan antara unsur dari tiap
periode sehingga dalam dua baris benda pada umumnya dikaitkan dengan benda dan kata dengan
kata, (3) paralelisme merupakan kesesuaian atau kecocokan suatu bait (baris) dengan bait (baris)
yang lain, (4) paralelisme merupakan suatu kumpulan pasangan kata baku secara konvensional
sudah tetap, yang digunakan untuk menyusun bentuk sajak, dan (5) paralelisme merupakan
keterkaitan antara preposisi-preposisi yang maknanya serupa atau berbeda dan konstruksi
gramatikalnya sama.
Jakobson (dalam Fox, 1986: 280—292) menyebutkan bahwa paralelisme merupakan semantik
ganda dan juga kesepadanan metaforis. Bahasa puistis merupakan suatu kejadian sederhana,
yang menyatukan dua unsur, yakni unsur semantis dan harmonis. Unsur semantis (varian
semantis) meliputi paralelisme, perbandingan, dan harmonis (varian harmonis) meliputi sajak,
asonansi, dan aliterasi atau repetisi. Paralelisme juga merupakan ekuivalen atau kesepadanan
linguistik dalam tataran fonologis, gramatikal, dan leksikosementris. Paralelisme merupakan
penyepasangan unsur dalam urutan yang sepadan.
Berkenaan dengan analisis struktur mikro TRM ini peneliti terfokus pada kajian paralelisme.
Hal ini didasari atas pertimbangan bahwa bahasa yang digunakan dalam TRM adalah bahasa
ritual BS. Bahasa Sangiang (BS) dalam TRM lebih menekankan pada nilai-nilai estetis puistis,
penggunaan bahasa kias, unsur kesetaraan bunyi, dan irama juga sangat dominan. Di samping
pertimbangan di atas juga sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu untuk memaparkan dan
mengidentifikasi struktur tekstual yang membentuk TRM dan mengidentifikasi dan menganalisis
paralelisme yang terdapat dalam TRM.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang TRM. Gambaran umum yang
dimaksudkan, yakni gambaran tentang latar belakang, tujuan, dan saat kapan TRM itu
dilaksanakan. Pada penelitian ini, tujuan yang ingin diungkapkan secara langsung, yaitu
memaparkan dan mengidentifikasi struktur tekstual yang membentuk TRM. Struktur tekstual
yang dimaksudkan pada (1) tataran superstruktur bertujuan untuk mengungkapkan tahapan-
tahapan dalam TRM, (2) tataran makro bertujuan untuk mengungkapkan tema-tema yang tersirat
dalam TRM, (3) tataran mikro bertujuan untuk mengungkapkan kebahasaan, khususnya
menganalisis paralelisme yang terdapat dalam TRM.

METODE
Penelitian TRM ini menggunakan metode kualitatif atau disebut juga sebagai metode
interpretive karena data hasil penelitian lebih berkenaan dengan interpretasi terhadap data yang
ditemukan di lapangan (Sugiyono, 2008: 14). Jenis penelitian TRM termasuk penelitian linguistik
karena penelitian ini dilakukan melalui pengamatan pada fenomena yang terdapat pada TRM,
yaitu fenomena kebahasaan yang terkandung di dalam TRM. Penelitian ini juga termasuk kategori
penelitian deskriptif, yaitu bahwa data yang dikumpulkan adalah data yang ada pada saat ini
dan selanjutnya data itu dianalisis apa adanya.
Berkaitan dengan metode yang digunakan sebagai usaha untuk mencari dan menemukan
tentang sesuatu kejadian yang terjadi di masyarakat. Temuan yang diperoleh merupakan suatu

195
jawaban dari masalah yang telah ditetapkan. Agar memperoleh jawaban terhadap permasalahan
itu, perlu dilakukan penelitian. Penelitian harus memenuhi kriteria, yaitu logis, sistematis, rasional,
dan empiris. Sugiyono (2008:3) mengemukakan bahwa kriteria penelitian, yaitu rasional berarti
masuk akal dan terjangkau oleh alam pikiran manusia; empiris berarti dapat teramati oleh indra
dan teruji; dan sistematis berarti mengikuti prosedur secara logis.
Penelitian ini mengambil lokasi di Kalimantan Tengah, yaitu Kota Palangka Raya, yang masih
melaksanakan ritual-ritual keagamaan Kaharingan, yaitu masyarakat yang memeluk agama
Hindu Kaharingan, sedangkan agama lainnya dalam konteks manenung sebagian masih
mempercayai, hanya saja pelaksananya oleh pemeluk agama Hindu Kaharingan (basir), sedangkan
agama lain hanya sebagai meminta “petunjuk”. Jenis data yang digunakan, yaitu data lisan dan
tertulis. Data lisan diperoleh dari Tutur Ritual Manenung (TRM) yang dilaksanakan di Palangka
Raya. Informan kunci yang dijadikan sumber data lisan, yaitu basir dan penggalian data dilakukan
dalam ruang dan waktu yang terpisah, sedangkan data tertulis diperoleh dari bahan-bahan tertulis.
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian, karena
dalam tujuan penelitian untuk mendapatkan data (Sugiyono, 2008: 308). Pengumpulan data di
lapangan, peneliti melakukan beberapa tahap, yaitu pengamatan lapangan, (2) wawancara, dan
(3) perekaman dan pencatatan. Pengamatan lapangan bertujuan untuk memperoleh gambaran
secara utuh dan menyeluruh tentang TRM. Teknik yang digunakan adalah pengamatan terlibat.
Peneliti ikut berperan secara langsung dalam rangkaian kegiatan ritual TRM. Selama melakukan
penelitian, peneliti melakukan pencatatan secara deskriptif maupun refleksi tentang kerangka
berpikir, ide atau komentar peneliti tentang hasil pengamatan tersebut untuk mencegah terjadinya
kealpaan (Muhadjir, 2007: 179—180). Untuk melengkapi dokumentasi data-data di lapangan,
peneliti juga melakukan pengambilan gambar dengan kamera digital pada poin-poin penting
ritual manenung serta media yang digunakan dalam ritual TRM. Wawancara diarahkan kepada
pengetahuan informan tentang TRM. Penggalian ini dilakukan untuk memperoleh data yang
menyeluruh tentang TRM, baik secara tekstual maupun kontekstual, kemudian dilakukan
interpretasi tentang fungsi dan makna TRM secara detail. Peneliti merekam ritual TRM bertujuan
untuk memperoleh data konkret di lapangan. Setelah dilakukan perekaman secara audio,
kemudian dilakukan pencatatan tertulis tuturan-tuturan dalam ritual TRM. Dalam perekaman
dan pencatatan, peneliti meminta bantuan kepada basir guna memperoleh hasil yang maksimal
serta penulisan BS dalam TRM secara benar.
Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif. Prosedur analisis data ditempuh secara
bertahap dengan urutan kegiatan (1) penerjemahan, peneliti menerjemahkan semua data TRM
dalam dua cara, yakni terjemahan lurus dan terjemahan bebas. Dengan terjemahan ini akan
ditemukan poin-poin penting yang mengandung unsur paralelisme dan makna budaya yang
terkandung dalam teks tersebut. Terjemahan lurus dilakukan untuk menemukan unsur-unsur
paralelisme dalam TRM, sedangkan terjemahan bebas dilakukan untuk mendeskripsikan makna
yang tersirat di dalam teks dan (2) tahap analisis yang dilakukan berdasarkan masalah utama
dalam penelitian, yaitu mengacu pada model analisis Van Dijk. Pada tataran struktur makro
mengacu pada analisis global teks yang dapat diamati dari tema atau topik yang dikedepankan
dalam suatu wacana. Dalam hal ini, wacana atau teks manenung dianalisis dengan mengamati
tema inti dalam wacana. Selanjutnya, analisis superstruktur mengamati bagaimana bagian dan
urutan dalam manenung diskemakan dalam teks wacana utuh, sedangkan struktur mikro
mengamati makna yang ingin ditekankan dalam sebuah teks dengan mengamati pilihan kata,
kalimat, dan gaya bahasa yang dipakai dalam suatu teks. Struktur mikro yang dikaji dalam
penelitian ini adalah unsur-unsur paralelisme yang terdapat dalam wacana TRM.

196
Analisis struktur mikro ini mengacu pada analisis bentuk fonologis, yang dilakukan untuk
mendapatkan gambaran tentang konfigurasi serta harmonisasi bunyi-bunyi indah, yang membuat
menjadi unik dan berbeda dari dari bahasa sehari-hari. Analisis ini mencakup asonansi,
aliterasi, dan rima. Metode analisis yang digunakan adalah teknik padan artikulatoris (Sudaryanto,
1993: 13—15). Analisis paralelisme leksikogramatikal wacana atau teks TRM dilakukan untuk
memperoleh gambaran tentang pasangan perangkat diad dan ekuivalen kelas kata. Panduan
teoritis untuk memandu analisis adalah teori linguistik. Metode analisis yang digunakan adalah
metode referensial (Sudaryanto, 1993: 14—15) dan teknik ganti (Sudaryanto, 1993: 48—54).
Selanjutnya dilakukan analisis kelas kata perangkat diad dalam TRM.
Analisis pada bentuk leksikosemantis dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang sifat
hubungan semantis antara pasangan diad kata, frasa, dan kalimat dalam wacana TRM. Analisis
ini mengacu pada kriteria semantis, yaitu hubungan antarmakna pasangan diad paralelisme
yang dikemukakan oleh Lowth (dalam Fox, 1986: 388—389), yaitu (1) pasangan bersinonim, (2)
pasangan antonim, dan (3) pasangan bersintesis. Metode analisis yang digunakan adalah teknik
ganti (Sudaryanto, 1993: 48—54).
Hasil analisis data disajikan dengan menggunakan metode formal dan informal (Sudaryanto,
1993: 145). Penerapan metode formal terlihat dalam penggunaan tabel. Penggunaan metode ini
umumnya dimaksudkan untuk meringkas hasil kajian. Pada penelitian ini, sesuai dengan karakter
data dan analisis data disampaikan secara informal, artinya tiap karakter data diuraikan dan
dijelaskan secara rinci dengan kata-kata, seperti menjelaskan bentuk fonologis dan bentuk
leksikogramatikal dalam TRM.

HASIL
Hasil penelitian tentang tutur ritual manenung dengan pendekatan model analisis wacana
kritis Van Dijk, yaitu (1) dalam tataran superstruktur terungkap skema atau alur yang
menunjukkan bagian-bagian teks TRM disusun dan diurutkan sehingga membentuk kesatuan
arti. Alur-alur TRM dapat dirinci dalam tiga bagian, yakni pendahuluan, inti, dan penutup.
Pendahuluan berisi salam pembuka, persiapan, puji-puji kepada roh beras, dan penyampaian
maksud dan tujuan. Inti berisi persiapan manawur yang harus disampaikan oleh roh beras,
penyampaian pesan atau permohonan dalam ritual manenung. Penutup, bagian ini memuat
informasi tentang berakhirnya tugas Putir Santang Bawi Sintung Uju memberikan petunjuk
kepada umat manusia, kemudian kembali ke alamnya. Tataran makro terungkap topik atau tema
yang dikedepankan dalam TRM, yaitu (1) tema permohonan kepada roh beras untuk memanggil
Putir Santang Bawi Sintung Uju, (2) tema penyambutan, dan (3) tema penganugrahan. Tataran
mikro adalah tataran kebahasaan yang dianalisis terungkap bentuk-bentuk paralelisme atau
penyepasangan yang terdapat dalam TRM, yaitu (1) paralelisme-paralelisme tataran fonologis,
(2) leksikogramatikal, dan (3) leksikosemantis.

PEMBAHASAN
1. Tataran superstruktur dalam teks TRM (Tutur Ritual Manenung)
1.1 Bagian pendahuluan Teks TRM
Pada bagian pendahuluan adalah pembuka atas dimulai Tutur Ritual Manenung (TRM)
diawali sebuah tuturan. Bagian pendahuluan dalam memuat beberapa rangkaian informasi,
yaitu pengutaraan maksud dan tujuan penggunaan beras yang ditaburkan (tawur) dalam
upacara itu. Informasi yang terkandung adalah salam pembuka yang ditujukan roh beras.
Persiapan roh beras dengan melakukan puji-pujian berupa mantra kepada roh beras yang

197
berisi informasi yang menceritakan asal-usul diturunkan beras atau padi oleh Ranying Hatalla
‘Tuhan’ ke bumi. Pada konteks TRM ini, puji-pujian terhadap roh beras digunakan untuk
“membangunkan atau memanggil” Putir Santang Bawi Sintung Ujud sebagai pemberi
1.1.1 Salam Pembuka
Salam pembuka memuat informasi tentang proses awal dilaksanakannya ritual
manenung, yaitu membangkitkan kekuasaan beras yang diyakini memiliki roh yang telah
diberikan oleh Ranying Hatalla Langit ‘Tuhan’ kepadanya sehingga akhirnya roh itu
menjadi sarana bagi penyampaian permohonan umat manusia kepada Ranying Hatalla
Langit ‘Tuhan’. Pada awal tuturan ini ditandai dengan pengucapan kata “ehem-ehem”,
bunyi ini memiliki makna sebagai salam pembuka yang selalu diucapkan oleh basir atau
tukang tenung pada setiap melakukan ritual manenung, seperti kalimat berikut.
1.1.2 Persiapan
Pada tahap persiapan memuat informasi tentang persiapan roh beras sebelum
mendengarkan puji-pujian yang berupa sanjungan yang dituturkan oleh basir terhadap
roh beras. Informasi tentang persiapan awal yang dilakukan basir, sebelum melantunkan
puji-pujian kepada roh beras yang digunakan dalam ritual manenung. Tuturan tersebut
menyatakan bahwa mengeluarkan beras dari tempatnya, yaitu Siam Hai Sandehen parung
‘guci’ dan Gusi Renteng Bapampang Palu ‘guci’, kemudian ditempatkan dalam mangkuk
kecil. Mangkuk kecil yang berisi beras inilah nantinya yang akan dimantrai oleh basir
sehingga memiliki kekuatan magis sebagai perantaraan hubungan antara manusia dengan
Ranying Hatalla Langit ‘Tuhan’. Pada tahap persiapan ini mempunyai tujuan utama,
yakni sebagai pemberitahuan kepada roh beras agar bersedia mendengarkan mantra
yang akan dituturkan tentang riwayat awal keberadaannya di bumi ini.
1.1.3 Puji-Puji kepada Roh Beras
Puji-puji kepada roh beras merupakan sanjungan yang dilakukan oleh basir atas
kekuasaan yang dimiliki oleh roh beras. Pujian yang dituturkan ini sebagai basa-basi atau
ungkapan tata krama yang dilakukan secara sopan santun dan tidak untuk
menyampaikan informasi utama dalam komunikasi. Puji-puji terhadap roh beras ini
dibedakan menjadi dua, yaitu (1) pujian yang dilakukan dengan menuturkan riwayat
keberadaan beras di dunia dan (2) pujian dilakukan dengan menuturkan upaya
pengembangan beras oleh manusia. Pada puji-puji ini terungkap tiga kekuasaan roh
beras, yakni (1) akan Jatha tuntung tahaseng pantai danum kalunen ‘untuk menyambung
nafas atau hidup umat manusia’ merupakan fungsi beras secara umum, yaitu sebagai
bahan makanan umat manusia, (2) tau bitim belum mangkar manyiwuh ‘bisa ditanam
dan tumbuh subur’, menyatakan bahwa beras adalah jenis tumbuhan yang bisa
berkembang baik, dan (3) tau injam duhung luang rawei ‘bisa sebagai perantaraan atau
penghubung antara manusia dengan Mahakuasa’, merupakan kekuasaan secara magis
yang dimiliki oleh roh beras, selain sebagai bahan makanan dan tumbuhan juga sebagai
perantara atau penghubungan antara manusia dengan Sang Pencipta.
1.1.4 Penyampaian Maksud dan Tujuan
Pada bagian ini memuat informasi tentang penegasan atas maksud yang hendak
disampaikan oleh basir (penenung) terhadap roh beras yang ditaburkan dalam ritual
manenung menegaskan bahwa penggunaan abverbia limitatif baya ‘hanya’, makna
pembatasan yang dimaksudkan bukan digunakan sebagai makanan, bukan pula untuk
ditanam, melainkan digunakan sebagai indu duhung luang rawei Danum Kalunen//balitam

198
bunu bamba panyuruhan tisui Luwuk kampungan ‘penyampaian pesan umat manusia’
sebagaimana kekuasaan yang telah diamanahkan Tuhan kepadanya.
1.2 Bagian Inti Teks TRM
1.2.1 Persiapan Manawur yang Harus Disampaikan oleh Roh Beras
Informasi yang mengungkapkan tentang manawur atau proses penyampaian
permohonan diawali dengan mempersiapkan roh beras ditabur sebelum menjadi Putir
Santang Bawi Sintung Uju dan menyampaikan pesan kepada para Sangiang bahwa ada
umat manusia mengadakan ritual manenung. Pada ritual manenung agar Putir Santang
Bawi Sintung Uju berkenan hadir dan memberikan berkah dan petunjuk yang diperlukan
oleh orang yang sedang mengadakan ritual manenung saat itu. Pada tahap persiapan
terungkap informasi menimang-menimang beras, menghiasi atau mendandani, dan pujian.
Aktivitas ini oleh roh beras kepada sahur parapah sebagai media untuk “memanggil” Putir
Santang Bawi Sintung Uju. Selanjutnya, terungkap juga informasi bahwa pada taburan
beras merupakan pemanggilan terhadap Putir Santang Bawi Sintung Uju melalui Putir
Bawi Tawur.
1.2.2 Penyampaian Pesan atau Permohonan dalam Ritual Manenung
Informasi permohonan terhadap Putir Santang Bawi Sintung Uju melalui media beras
dan beliung (alat petunjuk) agar berkenan hadir memberikan petunjuk dan pesan
terhadap apa yang ditanya. Dalam permohonan itu juga disiapkan sesajen sebagai “upah”
agar saat pemanggilan itu dikabulkan. Pada klausa Awi tege taluh ije isek awi Pantai
kalunen ‘karena ada yang ingin ditanya karena pantai manusia’ dan gilingan pinang
berhelatan rokok yang ditengahi beras bungkusan ‘gilingan pinang berhelatan rokok yang
ditengahi beras bungkusan’ kedua klausa ini terdapat hubungan timbal balik, yaitu pada
saat pemanggilan atau permohonan kepada sang pemberi petunjuk (Putir Santang Bawi
Sintung Uju) juga harus disiapkan sesajen atau syarat.
1.3 Bagian Penutup Teks TRM
Bagian penutup merupakan bagian yang mengakhiri dari tuturan atau pelaksanaan
TRM. Dalam bagian ini terungkap informasi tentang berakhirnya tugas Putir Santang Bawi
Sintung Uju memberikan petunjuk kepada umat manusia, kemudian kembali ke alamnya.
Dengan kembalinya Putir Santang Bawi Sintung Uju, kembalinya mereka dalam bentuk
beras biasa. Ciri khas berakhirnya TRM adanya fenomena kebahasaan yang berupa
pengucapan kata-kata kuruk bara-kuruk yang bersinonim dengan kata kuriu bara-kuriu,
pengucapan kata yang tidak memiliki arti ini juga selalu muncul pada akhir mantra-mantra
MDHK. Tujuan pengucapan kata-kata itu untuk mengembalikan segala anugrah dan
petunjuk atau informasi telah diperoleh dari dewa (sahur parapah) agar masuk ke beras itu,
kemudian memberikan tanda berupa perubahan beras yang berjumlah tujuh butir beras
(hambaruan) yang telah disiapkan sebelum TRM dilaksanakan. Pada bagian penutup TRM
kembali basir mengucapkan frasa kuruk hambaruan ‘kembali roh’ yang menandai berakhirnya
ritual manenung secara keseluruhan. Pengucapan frasa tersebut bermakna untuk
mengembalikan roh basir ke badannya seperti semula agar tidak tersesat dan dirasuki oleh
roh jahat, karena pada saat melakukan ritual manenung, basir dalam keadaan trans yang
membuatnya mampu berkomunikasi dengan roh beras. Walaupun basir dalam keadaan
trans, tetapi selama ritual manenung berlangsung masih dalam keadaan stabil dan masih
bisa berkomunikasi dengan manusia yang ada di dekatnya. Basir mengucapkan frasa kuruk

199
hambaruan sebanyak tiga kali, komunikasi antara dirinya dengan roh beras juga berakhir
dan beras yang ditabur itu pun kembali menjadi beras biasa.
2. Struktur Makro
2.1 Tema permohonan
Informasi yang memuat tentang tema permohonan kepada roh beras untuk memanggil
Putir Santang Bawi Sintung Uju agar datang menyertai dan memberikan petunjuk kepada
yang melaksanakan ritual manenung saat itu. Tema menyampaikan permohonan agar
mereka datang ke tempat orang yang mengadakan ritual manenung karena ada hal yang
ingin ditanyakan. Pada konteks ini yang dimaksudkan adalah Putir Santang Bawi Sintung
Uju. Penyampaian permohonan agar memberikan petunjuk terhadap pertanyaan yang
disampaikan oleh orang yang mengadakan manenung melalui roh beras.
2.2 Tema Penyambutan
Tema penyambutan mengungkapkan makna penyambutan, pesan atau permohonan
manusia yang disampaikan oleh basir melalui beras agar pesan itu tidak diabaikan. Pada
kata manusia berjenis nominal yang dimaksudkan bukan manusia secara keseluruhan,
melainkan orang yang melakukan ritual.
2.3 Tema Penganugrahan
Tema penganugrahan terungkap makna memohon petunjuk agar diberikan keselamatan.
Topik penganugrahan pada konteks ini bermakna “hasil”. Dari identifikasi dan penafsiran
topik atau tema tersebut, topik atau tema utama, yaitu menyatakan tentang maksud dan
tujuan TRM manenung muncul pada bagian inti, yaitu pada persiapan manawur yang harus
disampaikan oleh roh beras yang berupa sanjungan dan penyampai pesan atau permohonan.
3. Struktur Mikro
Analisis pada tataran struktur mikro pada TRM adalah analisis terhadap fenomena
kebahasaan yang terdapat di dalamnya. Pada tataran kebahasaan ini pengkajian tataran
kebahasaan yang digunakan dalam sebuah teks. Pada penelitian ini, tataran kebahasaan yang
dianalisis adalah bentuk-bentuk paralelisme yang terdapat dalam TRM, hal ini didasarkan atas
pertimbangan bahwa salah satu gaya bahasa yang paling menonjol dalam bahasa ritual BS
yang digunakan dalam ritual TRM adalah penggunaan bahasa puitis yang di dalamnya terdapat
paralelisme atau penyepasangan. Dalam analisis paralelisme ini mengacu pada teori Jacobson
(dalam Fox, 1986: 330) yang meliputi paralelisme tataran fonologis, leksikogramatika, dan
leksikosemantis.
3.1 Paralelisme Fonologi
3.1.1 Asonansi
Pada tataran fonologis fenomena seperti ini adalah hal yang umum terjadi dalam
bahasa ritual, termasuk TRM. Kata-kata berasonansi terkadang memiliki relasi secara
makna, kesetalian bunyi tersebut semata-mata hanya untuk memperindah bunyi.
Penyajian data-data yang mengandung bunyi asonansi dibagi menjadi dua macam, yakni
asonansi sempurna dan asonansi tidak sempurna. (a) Asonansi sempurna Asonansi
sempurna dalam TRM dapat terjadi pada kedua perangkat diad dan juga hanya pada
salah satu perangkat diadnya. (b) Asonansi Tidak Sempurna Asonansi tidak sempurna
yang dimaksudkan pada TRM ini adalah terjadinya pengulangan sebagian bunyi
vokal pada dua kata atau lebih dan pada posisi bunyi tersebut tertukar (asimetris) dalam
kata yang berdekatan.

200
3.1.2 Aliterasi
Aliterasi adalah pengulangan bunyi konsonan atau kelompok konsonan pada awal
suku kata atau awal kata secara berurutan, seperti halnya dengan asonansi. Dalam
TRM ditemukan aliterasi sempurna dan aliterasi tidak sempurna. Aliterasi sempurna adalah
pengulangan bunyi konsonan pada kedua perangkat, sedangkan aliterasi tidak
sempurna pengulangan bunyi konsonan hanya pada salah satu perangkat diad.
3.1.3 Rima
Rima adalah gaya bahasa yang mementingkan keselarasan bunyi bahasa, baik
kesepadanan bunyi, kekontrasan, maupun kesamaan bunyi. Pada TRM terungkap kalimat
yang memiliki jenis rima, yaitu rima sempurna, tidak sempurna, dan rima mutlak. Rima
sempurna adalah pengulangan bunyi pada suku kata terakhir, sedangkan rima tidak
sempurna adalah pengulangan sebagian suku kata terakhir terhadap kata, dan mutlak
adalah adalah pengulangan bunyi pada seluruh kata.
4.1 Paralelisme Leksikogramatikal
Dalam pengklasifikasi kelas kata dalam TRM dilakukan analisis terhadap jumlah unsur
perangkat diadnya. Hal ini untuk mengetahui seberapa banyak unsur kata yang berulang
dalam klausa atau kalimat TRM.
4.1.1 Jumlah Unsur Perangkat Diad
Dari hasil analisis terhadap data kalimat dalam TRM ditemukan jumlah unsur
perangkat diad sebagai berikut.
(a) Jumlah unsur perangkat diad yang tertinggi dalam klausa mencapai sepuluh
unsur yang berpasangan.
(b) Unsur berpasangan antarperangkat diad yang berjumlah delapan unsur.
(c) Unsur berpasangan perangkat diad yang berjumlah tujuh unsur.
(d) Unsur perangkat diad yang berjumlah enam.
(e) Unsur perangkat diad yang berjumlah lima juga dominan dalam TRM yang
sepadan.
(f) Unsur perangkat diad yang berjumlah empat yang dominan dalam TRM.
(g) Perangkat diad yang berjumlah tiga unsur yang berpasangan.
(h) Perangkat diad yang berjumlah dua unsur yang berpasangan.

4.1.2 Ekuivalensi Kelas Kata


Di samping berdasarkan hasil analisis terhadap unsur kesepadanan perangkat diad
juga dikemukakan ekuivalensi kelas kata yang ditemukan dalam TRM. Ekuivalensi kelas
kata yang bersepadan terdapat dalam TRM, yaitu kelas kata nomina, verba, adjektiva,
adverbia, pronomina, preposisi, konjungsi, dan numeralia.
4.1.3 Paralelisme Leksikosemantis
Berdasarkan analisis paralelisme leksikosemantis ditemukan bentuk penyepasangan
makna antarperangkat diad dalam tataran kata, frasa, dan kalimat. Dalam analisis
paralelisme leksikosemantis mencakup: (a) sinonim adalah bentuk bahasa yang maknanya
mirip atau sama dengan bentuk lain. Kesamaan itu berlaku pada kata, kelompok kata
atau kalimat; (b) antitesis, yaitu penggunaan kata atau frasa yang bermakna berlawanan,
hanya saja jumlahnya sangat terbatas; dan (c) sintesis adalah penggabungan unsur-unsur
untuk membentuk ujaran dengan menggunakan alat bahasa yang ada. Jadi,
penggabungan kata itu sama sekali tidak memiliki relasi makna sinonim atau antonim.

201
Keberadaan sintesis dapat memberikan sebuah makna yang utuh. Dari analisis paralelisme
leksikosemantis, ternyata penyepasangan sinonim lebih dominan dibandingkan antitesis
dan sintesis.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa struktur tekstual dalam Tutur
Ritual Manenung (TRM) terdapat tiga tataran sebagai berikut.
a Tataran superstruktur TRM yang terdiri atas bagian pendahuluan diawali dengan salam
pembukaan, bagian inti memuat informasi tentang proses penyampaian pesan atau
permohonan umat manusia melalui “roh beras” yang menjelma menjadi Putir Santang
Bawi Sintung Uju; dan bagian penutup, bagian ini memuat informasi tentang berakhirnya
tugas Putir Santang Bawi Sintung Uju memberikan petunjuk kepada umat manusia,
kemudian kembali ke alamnya.
b Tataran struktur makro, yaitu itu berupa kajian topik atau tema utama yang terdapat pada
teks TRM. Dalam teks TRM, tema dikedepankan tentang permohonan kepada roh beras
untuk memanggil sahur parapah (Putir Santang Bawi Sintung Uju) agar datang menyertai
dan memberikan petunjuk kepada yang melaksanakan ritual manenung pada saat itu.
c Tataran struktur mikro TRM adalah kajian kebahasaan yang terdapat dalam TRM, dalam
konteks ini, yakni kajian tentang paralelisme. Paralelisme yang dikaji mencakup paralelisme
fonologis, leksikogramatikal, dan leksikosemantis. Pada tataran fonologis ditemukan bunyi
asonansi, bunyi aliterasi, dan bunyi berima. Pada tataran leksikogramatikal ditemukan
perangkat diad yang berpasangan maksimal berjumlah sepuluh dan yang minimal
berjumlah dua, sedangkan perangkat diad yang berjumlah sembilan tidak ditemukan dalam
data TRM. Di samping itu juga ditemukan kalimat tunggal yang tidak berpasangan.
Pasangan menurut kelas kata yang berpasangan dalam TRM adalah nominal, verbal,
adjektiva, adverbial, pronomina, preposisi, konjungsi, dan numeralia. Pada tataran
leksikosemantis, ditemukan pasangan bersinonim lebih dominan dibandingkan pasangan
berantitesis dan bersintesis. Penyepasangan kalimat dengan kata-kata bersinonim ini
merupakan ciri utama dalam bahasa Sangiang (BS). Secara keseluruhan, BS yang digunakan
dalam TRM menunjukkan bahwa kesepadanan makna sinonim adalah hal yang paling
utama daripada kesepadanan bunyi. Konteks ini bukan berarti mengabaikan kesepadanan,
tetapi terdapat kesepadanan makna lebih didahulukan dan jika tidak terdapat kesepadanan
makna bersinonim, akan disepadankan dengan kata yang berbunyi sepadan. Kesepadanan
makna bersinonim tampak pada penggunaan kata-kata dengan makna yang berulang.
Kesepadanan bunyi ini tampak pada penggunaan kata-kata dengan bunyi bersepadan atau
bunyi harmonis meskipun tidak memiliki relasi makna.

Saran
Berdasarkan temuan penelitian di atas, dikemukakan sejumlah saran sebagai berikut.
a. Kajian lebih lanjut pada tataran linguistik makro dan mikro terhadap bahasa ritual, khususnya
bahasa Sangiang sangat diperlukan sebagai pengkajian terhadap budaya yang lebih
mendalam lagi.
b. TRM merupakan salah satu dari tuturan ritual yang ada pada Masyarakat Dayak Hindu
Kaharingan yang ada di Palangka Raya, khususnya dan Kalimantan Tengah umumnya,
sehingga masih banyak tuturan ritual lain yang bisa diteliti oleh peneliti linguistik, terutama
bidang mikro dan mikro.
202
c. Sebagai upaya pelestarian budaya lokal MDHK di Palangka Raya, khususnya dan
Kalimantan Tengah Umumnya, mengingat semakin derasnya arus globalisasi sehingga bisa
berdampak negatif terhadap keberadaan budaya lokal MDHK. Oleh sebab itu, diharapkan
peran pemerintah setempat untuk melakukan revitalisasi terhadap kebudayaan lokal melalui
lembaga adat, lembaga agama, dan lembaga masyarakat lain.

203
DAFTAR RUJUKAN

Brown, Gillian & Yule, George. 1996. Analisis Wacana. Terjemahan oleh I. Soetikno. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Bustan, Fransiskus. 2004. Wacana Kebudayaan Tudak dalam Ritual Penti pada Kelompok Etnik
Manggarai di Flores Barat. Disertasi tidak diterbitkan. Denpasar: Program Doktor Unud.
Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Djajasudarma, Fatimah T. 1993. Metode Linguistik Ancangan Model Penelitian dan Kajian. Bandung:
PT Eresco.
Erom, Kletus. 2004. Ungkapan Paralelisme Bahasa Manggarai dan Dinamikanya dalam Realitas
Sosial Budaya Manggarai. Tesis tidak diterbitkan. Denpasar: Program Pascasarjana Unud.
Eriyanto. 2009. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: PT LKIS Printing
Cemerlang.
Fairclough, Norman. 1994. Language and Power. New York: Longman Inc. (Online), http://
books.google.co.id/books/about/Language_and_power. html?id=5RJxAAAAIAAJ&redir_esc=y,
diakses 14 Oktober 2011.
Foley, William A. 1997. Anthopological Linguistics. An Introduction. Malden USA: Blackwell.
Fox, J. James. 1986. Bahasa, Sastra, dan Sejarah: Kumpulan Karangan mengenai Masyarakat
Pulau Roti. Jakarta: Djambatan.
Hadi, Sumandiyo Y. 2006. Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Pustaka
Jumadi. 2010. Wacana: Kajian Kekuasaan Berdasarkan Ancangan Etnografi Komunikasi dan
Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Prisma.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Muhadjir, Noeng. 2007. Metodologi Keilmuan, Paradigma Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed.
Yogyakarta: Rake Sarasin.
Passandaran, Joko. 2000. Struktur Informasi dalam Teras Berita Majalah Berita Indonesia. Tesis
tidak diterbitkan. Malang: IKIP Malang.
Pastika, I Wayan. 2005. Linguistik Kebudayaan: Konsep dan Model. Linguistik Vol.12 No. 22.
Denpasar Program Studi Magister dan Doktor: Udayana.
Riwut, Nila. 2003. Menyelami Kekayaan Leluhur. Palangka Raya: Pustaka Lima.
Sastriadi. 2006. Manawur: Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna. Tesis tidak diterbitkan. Denpasar:
Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa, Pengantar Penelitian Wahana
Kebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media, Pengantar untuk Analisis Wacana Semiotik dan Framing.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif, Kuantitif, dan R&D.
Bandung: Alfabet.
204
Suteja, I Gusti Made. 2005. Teks dan Rekayasa Teks. Linguistik. Vol. 12, No. 22 Denpasar:
Universitas Udayana.
Van Dijk, Teun A. 1985. Semantic Discourse Analysis. Dalam Teun A. Van Dijk A, (Ed.), Handbook
of Discourse Analysis. Vol. 2 Demensions of Discourse. London: Academic Press, Inc. Ltd.

205
PENGGUNAAN PEMODELAN UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI SISWA SMPN
11 PALANGKA RAYA DALAM MENULIS NASKAH DRAMA BERDASARKAN CERPEN
(THE USE OF MODELING TO IMPROVE THE COMPETENCY OF STUDENTS OF SMPN
11 PALANGKA RAYA IN WRITING DRAMA MANUSCRIPT BASED ON SHORT STORY)

Lukman Juhara
SMPN 11 Palangka Raya, e-mail lukmanjuhara@yahoo.co.id

Abstract

The Use of Modelling to Improve the Competency of Students of SMPN 11 Palangka


Raya in Writing Drama Manuscript Based on Short Story. The main problem of this
research is the low result of student’s competence in writing the text of drama based on
short story which is marked by (a) the text of drama which is less fitted to short story;
(b) the information which is not brief; (c) less of understanding about composition of the
text of drama; (d) less of understanding about the languange which is usually used in
drama; (e) one has not mastered the usage of spelling and punctuation. The purpose of
this research is (1) to describe form of teaching and learning in writing the text of
drama based on short story through modeling; (2) to know and the result of students
learning after following teaching and learning process through modelling in writing
the text of drama based on short story; and (3) to know the students response towards
teaching and learning through modelling in writing the text of drama based on short
story. The research subject is 23 students of SMPN 11 Palangka Raya Class IX-1. This
research uses qualitative approach. The data are taken from the result of students writing
and questionare data. The technique of taking the data is done through test, questionaire,
and observation. The technique of analizing the data is qualitative analysis. The results
of writing the text of drama based on short story shows that improvement of students
competence. The result of cycle I is the subject shows ability in writing the text of drama
based on short story better the ability before. In cycle II, the subject can stabilize the
ability which is gotten in cycle I. The subject can write the text of drama based on short
story which they have read. All students get study completeness. They get 7,74 in cycle
I, then improved to 7,88 in cycle II. The result of research shows that the use of modeling
in writing the text of drama based on short story get positive response from students.
They state (a) feel happy in following teaching learning process because by use modeling,
writing text of drama based on short story is easier to do; (b) writing the text of drama
based on short story by use modeling is a new way; (c) use of modeling help them
learning the text of drama; and (d) use of modeling make the process of writing the text
of drama more carefull and easier to be done.

Keywords: modeling, improve, text

Abstrak

Penggunaan Pemodelan untuk Meningkatkan Kompetensi Siswa SMPN 11


Palangka Raya dalam Menulis Naskah Drama berdasarkan Cerpen. Masalah utama
dari penelitian ini adalah hasil rendahnya kompetensi siswa dalam menulis teks drama
berdasarkan cerita pendek yang ditandai dengan (a) teks drama yang kurang pas
untuk cerita pendek, (b) informasi yang tidak singkat, (c) kurang pemahaman tentang
komposisi teks drama, (d) kurang pemahaman tentang bahasa yang biasanya
digunakan dalam drama; (e) satu belum menguasai penggunaan ejaan dan tanda

206
baca. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan bentuk pengajaran dan
pembelajaran dalam menulis teks drama berdasarkan cerita pendek melalui pemodelan,
(2) untuk mengetahui dan hasil belajar siswa setelah mengajar berikut proses belajar
melalui pemodelan secara tertulis teks drama berdasarkan cerita pendek, dan (3) untuk
mengetahui respon siswa terhadap pengajaran dan pembelajaran melalui pemodelan
dalam menulis naskah drama berdasarkan cerita pendek. Subyek penelitian adalah 23
siswa SMPN 11 Palangka Raya Kelas IX-1. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif. Data diambil dari hasil tulisan siswa dan data kuesioner. Teknik pengambilan
data dilakukan melalui tes, angket, dan observasi. Teknik analisa data adalah analisis
kualitatif. Hasil penulisan naskah drama berdasarkan cerita pendek menunjukkan
bahwa peningkatan kompetensi siswa. Hasil dari siklus I adalah subjek menunjukkan
kemampuan dalam menulis teks drama berdasarkan cerita pendek yang lebih baik
kemampuan sebelumnya. Pada siklus II, subjek dapat menstabilkan kemampuan yang
diperoleh pada siklus I. subjek dapat menulis teks drama berdasarkan cerita pendek
yang telah mereka baca. Semua siswa mendapatkan ketuntasan belajar. Mereka
mendapatkan 7,74 pada siklus I, kemudian meningkat menjadi 7,88 pada siklus II.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan model dalam menulis teks drama
berdasarkan cerpen mendapat respons positif dari siswa. Mereka menyatakan (a) merasa
senang dalam mengajar berikut proses belajar karena dengan menggunakan pemodelan,
menulis teks drama berdasarkan cerita pendek lebih mudah dilakukan, (b) menulis
naskah drama berdasarkan cerita pendek dengan pemodelan digunakan adalah cara
baru; (c) penggunaan pemodelan membantu mereka mempelajari teks drama, dan (d)
penggunaan pemodelan membuat proses penulisan naskah drama yang lebih hati-hati
dan lebih mudah untuk dilakukan.

Kata-kata kunci: pemodelan, meningkatkan, teks

PENDAHULUAN
Istilah “pemodelan” berarti dalam mempelajari suatu keterampilan atau pengetahuan tertentu,
ada model yang bisa ditiru (Tim Dikdasmen, 2003: 16). Selain itu, pemodelan adalah proses
penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja, dan belajar. Pemodelan tidak jarang
memerlukan siswa untuk berpikir dengan mengeluarkan suara keras dan mendemontrasikan
apa yang akan dikerjakan siswa (Tim Dikdasmen, 2007: 8). Strategi pemodelan juga berarti memberi
kesempatan kepada siswa untuk mempraktikkan keterampilan spesifik yang dipelajari di kelas
melalui demonstrasi (Zaini, 2004: 78). Sementara itu, Joyce , Weil, dan Calhoun (2009: 6) menyatakan
bahwa model pembelajaran merupakan contoh yang membantu siswa memperoleh informasi,
gagasan, skill, nilai, cara berpikir, dan tujuan mengekspresikan diri mereka sendiri. Lalu, Sumiati
dan Azra (2007: 16) menyatakan pemodelan, yaitu menghadirkan model sebagai contoh dalam
kegiatan belajar. Siswa akan lebih mudah memahami dan menerapkan proses belajar jika dalam
pembelajaran guru menyajikan dalam bentuk suatu model, bukan hanya berbentuk lisan.
Dalam kaitannya dengan kegiatan belajar menulis naskah drama berdasarkan cerpen, siswa
perlu mendapatkan model penulisan naskah drama yang difasilitasi oleh gurunya. Siswa harus
dapat melihat model cara menulis naskah drama berdasarkan cerpen dalam upaya meningkatkan
kompetensinya. Oleh karena itu, guru harus dapat menjadi model atau menampilkan model dalam
kegiatan belajar menulis naskah drama bagi siswa-siswanya. Dengan demikian, pemodelan yang
dimaksud di sini mengandung dua makna. Pertama, pemberian model atau contoh hasil
pembelajaran yang harus dikuasai siswa setelah melaksanakan kegiatan pembelajaran. Kedua,
model berupa proses yang diperagakan guru untuk membelajarkan siswa dalam menguasai
keterampilan tertentu.

207
Penggunaan pemodelan dalam kegiatan belajar menulis naskah drama berdasarkan cerpen
dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu (1) penyampaian Kompetensi Dasar (KD) dan tujuan
pembelajaran; (2) membaca cerpen dan naskah drama; (3) mengamati penggunaan pemodelan;
dan (4) menulis naskah drama berdasarkan cerpen; (5) melakukan refleksi; dan (6) membuat
simpulan. Tahapan tersebut dirancang oleh guru selaku peneliti agar kegiatan belajar dapat
berlangsung sesuai rencana.
Penilaian tulisan dilakukan oleh guru dan peneliti setelah siswa melakukan kegiatan
pembelajaran pada setiap akhir siklus. Penilai dilakukan berdasarkan hasil tulisan siswa berupa
naskah drama berdasarkan cerpen. Penilaian tulisan akan didasarkan pada setiap faktor yang
menjadi unsur penilaian tulisan naskah drama. Ada beberapa unsur yang digunakan untuk menilai
sebuah naskah drama yang ditulis berdasarkan cerpen.
Suganda dan Mulyana (2005: 143) menyebutkan unsur yang dinilai dalam penulisan naskah
drama berdasarkan cerpen adalah kaidah penulisan, kekhasan bahasa drama, dan kesesuaian
naskah dengan isi cerpen. Senada dengan itu, Kuraesin (2005) menyebutkan unsur-unsur yang
dinilai dalam penulisan naskah drama adalah (1) kesesuaian isi naskah, (2) kelengkapan unsur
naskah yang meliputi alur (plot), penokohan, dialog, tema, latar, amanat atau pesan pengarang,
petunjuk teknis, dan (3) kreativitas dan kerapian. Selanjutnya, Wahyudi dan Zuchdi (2009: 150)
merumuskan unsur-unsur yang dinilai dalam menulis naskah drama berdasarkan cerpen adalah
penulisan petunjuk khusus, alur cerita, penggambaran latar, penulisan dialog, dan petunjuk khusus
atau keterangan. Lalu, Supriatna (2005: 160) menyebutkan ketepatan penggunaan kaidah
penulisan naskah drama, kesesuai isi, dan kekhasan bahasa drama adalah hal-hal yang harus
diperhatikan dalam menilai sebuah naskah drama yang ditulis berdasarkan karya sastra lain.
Sementara itu, Nurhadi dan Dawud (2004:192) menguraikan aspek-aspek yang dinilai dalam
penulisan naskah drama berdasarkan cerpen, yaitu (1) kejelasan masalah yang dihadapi tokoh,
(2) daya tarik masalah yang dikembangkan, (3) pengembangan peristiwa, (4) pengembangan
konflik, (5) pengembangan perwatakan, (6) kejelasan tema, (7) kejelasan latar, dan (8) kejelasan
dialog.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, secara ringkas, unsur-unsur yang dinilai dari naskah
drama yang ditulis siswa meliputi (1) kesesuaian naskah dengan isi cerpen, (2) penggunaan kaidah
penulisan naskah drama, (3) kekhasan bahasa drama, (4) deskripsi lakuan tokoh dan latar, dan
(5) penggunaan ejaan dan tanda baca. Unsur-unsur tersebut dianggap secara representatif dianggap
sudah memenuhi kriteria penilaian terhadap naskah drama yang ditulis berdasarkan cerpen.
Masalah utama dalam penelitian ini adalah rendahnya kompetensi siswa dalam menulis
naskah drama berdasarkan cerpen yang ditandai dengan (1) kurang sesuainya isi naskah drama
dengan cerpen, (2) tidak ringkasnya keterangan, (3) kurangnya pemahaman tentang penyusunan
naskah drama, (4) kurangnya pemahaman terhadap bahasa drama yang khas, dan (5) belum
dikuasainya penggunaan ejaan yang disempurnakan dan tanda baca yang benar. Penelitian ini
bertujuan untuk (1) mendeskripsikan proses belajar menulis naskah drama berdasarkan cerpen
dengan menggunakan pemodelan, (2) mengetahui hasil belajar siswa setelah pelaksanaan
pembelajaran dengan pemodelan dalam menulis naskah drama berdasarkan cerpen, dan (3)
mengetahui respon siswa terhadap pelaksanaan pembelajaran dengan pemodelan dalam menulis
naskah drama berdasarkan cerpen. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas IX-1 SMPN 11 Palangka
Raya yang berjumlah 23 orang.

208
METODE
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Data yang
diambil adalah data hasil menulis siswa dan data angket. Teknik pengambilan data dilakukan
melalui tes, angket, dan pengamatan. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Rendahnya hasil tulisan siswa dalam menyusun naskah drama yang terjadi selama ini
dilatarbelakangi oleh (1) kurangya guru memberikan pemodelan, (2) kurangnya pemahaman
terhadap perbedaan naskah drama dan cerpen, (3) kurangnya penguasaan syarat-syarat bahasa
naskah drama, dan (4) belum dikuasainya pemahaman tentang naskah drama merupakan
masalah dalam belajar bahasa Indonesia di SMPN 11 Palangka Raya.
Indikator keberhasilan siswa dalam menulis naskah drama dilihat pada penilaian unsur tulisan.
Penilaian unsur tulisan diarahkan pada kompetensi menulis naskah drama siswa akan dikatakan
meningkat jika hasil belajar pada siklus I lebih baik atau meningkat daripada sebelum adanya
pemberian tindakan; hasil belajar siklus II lebih baik atau meningkat daripada hasil belajar pada
siklus I. Hasil belajar dikatakan baik apabila satu unsur penilaian atau lebih dari kompetensi yang
harus dikuasai siswa menunjukkan nilai positif atau mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal.
Berdasarkan pengamatan terhadap pelaksanaan pembelajaran, rencana pembelajaran yang
telah disiapkan pada siklus II telah dapat dilaksanakan tertib, baik, dan lancar. Semua siswa dengan
penuh semangat mengikuti kegiatan pembelajaran dari awal hingga akhir. Kenyataan ini tampak
dari banyaknya siswa yang senantiasa tertib serta penuh gairah turut berpartisipasi dalam kegiatan
pembelajaran.
Siswa mengalami perkembangan kemampuan menulis naskah drama berdasarkan cerpen
pada siklus II secara signifikan. Mereka dapat mengerjakan tugas dengan jumlah halaman cerpen
yang lebih banyak daripada cerpen yang dikerjakan pada kegiatan pratindakan dan siklus I.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa kemampuan dalam menulis naskah drama mengalami
peningkatan.
Hasil pengamatan terhadap pelaksanaan pembelajaran menunjukkan bahwa rencana
pelaksanaan pembelajaran yang telah disiapkan telah dapat dilaksanakan dengan lancar tanpa
hambatan yang berarti. Para siswa tampak bersemangat dan menaruh minat terhadap kegiatan
pembelajaran. Mereka tampak tenang, tertib, dan disiplin dalam kegiatan pembelajaran, tetapi
tetap dalam suasana yang relaks dan menyenangkan.
Keaktifan subjek penelitian selama kegiatan pembelajaran juga memperlihatkan hasil yang
baik. Aktivitas menulis naskah drama berdasarkan cerpen. Semua subjek dapat menulis naskah
drama berdasarkan cerpen dengan baik pula. Aspek-aspek yang harus dipenuhi dalam penyusunan
naskah drama juga sudah dapat dipenuhi sehingga menghasilkan kemampuan yang standar
dan memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).
Dari segi penggunaan waktu, memang cukup bervariasi antara siswa yang satu dengan siswa
yang lain dalam menyelesaikan tugas menulis naskah drama. Hal itu terjadi pada setiap siklus.
Perbedaan waktu yang bervariasi dalam menulis naskah lebih banyak disebabkan oleh panjang
aatau pendeknya cerpen yang harus disusun menjadi naskah drama. Namun, semua bisa
dilaksanakan tidak melebihi batas alokasi tatap muka setelah awali dengan kegiatan pendahuluan
dan dapat diakhiri dengan refleksi.
Hasil wawancara antara peneliti dan subjek penelitian juga menunjukkan bahwa siswa merasa
cocok dengan penggunaan pemodelan. Semua subjek, bahkan semua siswa menyatakan setuju

209
dengan proses belajar menulis naskah drama berdasarkan cerpen dengan penggunaan pemodelan.
Mereka juga menyatakan senang dengan model pembelajaran tersebut. Menurut mereka cara
guru mengelola kegiatan pembelajaran juga sudah baik sehingga siswa serius dan bergairah dalam
belajar. Siswa juga mengakui bisa menguasai kompetensi yang telah dipelajari bersama bimbingan
guru melalui pemodelan. Hal lain yang diperoleh dari hasil wawancara adalah siswa-siswa telah
diberikan kesempatan oleh guru untuk melakukan diskusi dalam memecahkan masalah. Mereka
juga telah mendapatkan kesempatan untuk bertanya dan mengekspresikan hasil karyanya.
Dengan demikian, menurut mereka penggunaan pemodelan yang telah dilakukan guru benar-
benar telah meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis naskah drama berdasarkan cerpen.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dinyatakan bahwa semua subjek telah mencapai tujuan
pembelajaran yang direncanakan dan diharapkan sebelumnya. Tujuan pembelajaran yang
diharapkan pada siklus II ini, yaitu menulis naskah drama berdasarkan cerpen yang telah dibaca.
Berkaitan dengan kenyataan ini dapat dinyatakan bahwa tindakan pembelajaran yang
dilaksanakan pada siklus II telah berhasil dengan baik. Dengan demikian, pelaksanaan tindakan
pembelajaran dalam dua siklus dinyatakan telah selesai.
Berdasarkan hal tersebut, dikatakan bahwa kemampuan siswa dalam menulis naskah drama
berdasarkan cerpen mengalami peningkatan. Kemampuan siswa menulis naskah drama
berdasarkan cerpen pada siklus I tampak lebih baik daripada kemampuan saat pratindakan.
Hasil kemampuan sudah mencapai nilai lebih dari Kriteria Ketuntasan Minimal, yakni 65. Begitu
juga hasil kemampuan menulis naskah drama berdasarkan cerpen pada siklus II juga menunjukan
kemantapan hasil seperti pada siklus I. Hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan nilai
yang menunjukkan adanya peningkatan kemampuan siswa. Berdasarkan hasil kemampuan pada
siklus I dan siklus II yang telah menunjukkan adanya kemantapan, dapat dinyatakan siklus II
sudah dapat untuk menyatakan bahwa penggunaan pemodelan telah meningkatkan kemampuan
siswa dalam menulis naskah drama berdasarkan cerpen.
Secara umum, siswa telah memberikan tanggapan positif terhadap kegiatan belajar menulis
naskah drama berdasarkan cerpen. Berdasarkan tanggapan siswa terhadap yang ditunjukkan
dengan pilihan kategori pernyataan melalui pengisian angket, dapat dikatakan bahwa menulis
naskah drama dengan penggunaan pemodelan dapat membuat (1) siswa senang mengikuti
pembelajaran karena hal itu merupakan sesuatu yang baru bagi mereka, (2) siswa merasa lebih
mudah menulis naskah drama, (3) siswa sangat terbantu dalam mempelajari naskah drama, (4)
mengetahui hal yang sudah dipahami dan belum dipahami dalam menulis naskah drama, (5)
siswa merasa lebih mudah dalam menyelesaikan tugas menulis naskah drama berdasarkan cerpen,
dan (6) siswa merasa tergiring untuk lebih cermat dalam menyusun naskah drama. Hal ini sesuai
dengan pendapat Sumiyadi dan Rafnis (2009: 55) yang menyatakan bahwa pembuatan suatu
model naskah drama yang disusun secara sistematis dari sebuah cerita pendek akan dapat
membantu siswa dalam belajar menulis naskah drama berdasarkan karya sastra yang lain.
Pernyataan siswa tersebut telah ditunjukkan oleh pernyataan nomor 1. Siswa yang memilih
kategori setuju dan sangat setuju sebanyak 87% atau 20 siswa dari jumlah seluruh siswa 23 orang.
Mereka juga senang mengikuti pembelajaran dengan pemodelan karena dapat menemukan sesuatu
yang baru seperti terdapat pada pernyataan nomor tiga dengan kategori setuju dan sangat setuju
sebanyak 97% dan hanya satu siswa atau 3% yang memilih kategori ragu-ragu.
Sementara itu, pernyataan nomor 5 yang menyebutkan tidak senang menulis naskah drama
berdasarkan cerpen dengan menggunakan pemodelan karena tidak ada yang diperoleh dengan
cara tersebut dipilih oleh sebanyak 20 siswa atau 87%. Hanya tiga siswa atau 13% yang memilih
kategori ragu-ragu dan setuju terhadap pernyataan tersebut. Berkenaan dengan hal itu, hal senada

210
juga ditunjukkan oleh pilihan siswa untuk pernyataan nomor 10 sebanyak seluruh siswa atau
100% pada kategori setuju dan sangat setuju. Sementara pernyataan nomor 2 yang menyatakan
bahwa menulis naskah drama berdasarkan cerpen hanya membuang-buang waktu, sebanyak 19
siswa atau 83% menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju. Meskipun hasilnya tidak sama
antara pernyataan nomor 10 yang bernada positif dan pernyataan nomor 2 yang bernada negatif,
kenyataan ini menunjukkan bahwa sebagian besar siswa pada dasarnya setuju atau sangat setuju
dengan penggunaan pemodelan dalam menulis naskah drama berdasarkan cerpen.
Selanjutnya, berkaitan dengan manfaat yang mereka rasakan seperti yang ditunjukkan pada
pernyataan nomor 4, siswa yang menyatakan setuju dan sangat setuju bahwa penggunaan
pemodelan dalam menulis naskah drama berdasarkan cerpen membuat lebih mudah sebanyak
22 siswa atau 97% dan yang hanya satu siswa atau 3% yang menyatakan ragu-ragu. Pengggunaan
pemodelan juga sangat membantu siswa dalam menulis naskah drama berdasarkan cerpen.
Pernyatan yang tertuang pada nomor 7 tersebut dipilih siswa dengan kategori setuju dan sangat
setuju sebanyak 100%. Bahkan, siswa juga juga menyadari bahwa penggunaan pemodelan
membuat mereka dapat memahami sesuatu yang belum dan sudah dipahami. Kenyataan ini
dibuktikan pada pernyataan nomor 8 yang dipilih siswa dengan kategori setuju dan sangat setuju
sebanyak 100%.
Penggunaan pemodelan juga diakui sangat mempermudah dalam menyelesaikan tugas
menulis naskah drama berdasarkan cerpen. Hal ini diakui siswa dengan pilihan pernyataan nomor
9 dengan dengan kategori setuju dan sangat setuju yang dipilih siswa sebanyak 100%. Berdasarkan
kenyataan tersebut, dapat ditarik simpulan bahwa pada umumnya atau sebagian besar atau
lebih dari 80% siswa menunjukkan sikap positif terhadap kegiatan belajar menulis naskah drama
berdasarkan cerpen dengan penggunaan pemodelan. Sikap positif tersebut secara meyakinkan
telah ditunjukkan mereka berdasarkan pengisian angket yang telah dilakukan.
Hasil belajar menulis naskah drama berdasarkan cerpen menunjukkan adanya peningkatan
kompetensi. Hasil belajar yang diperoleh pada siklus I, subjek penelitian telah menunjukkan
kemampuan menulis naskah drama berdasarkan cerpen dengan lebih baik daripada pada
kegiatan pratindakan. Pada siklus II, subjek penelitian dapat memantapkan kemampuan yang
telah diperoleh pada siklus I. Subjek dapat menghasilkan naskah drama berdasarkan cerpen yang
telah dibacanya. Semua siswa juga memperoleh ketuntasan belajar, dengan nilai rata-rata pada
siklus I, yaitu 7,74 meningkat menjadi 7,88 pada siklus II.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Hasil penelitian telah menunjukkan bahwa penggunaan pemodelan dalam menulis naskah
drama berdasarkan cerpen mendapat respon yang positif dari siswa-siswa. Mereka menyatakan
(a) senang mengikuti karena pembelajaran dengan penggunaan pemodelan sangat memudahkan
mereka dalam menulis naskah drama berdasarkan cerpen, (b) menulis naskah drama berdasarkan
cerpen dengan penggunaan pemodelan merupakan hal yang baru, (c) penggunaan pemodelan
sangat membantu dalam mempelajari penulisan naskah drama, dan (d) penggunaan pemodelan
menggiring mereka untuk lebih cermat dan mudah dalam menyusun naskah drama.

Saran
Ada beberapa saran yang dapat dipertimbangkan, yaitu: (1) guru Bahasa Indonesia sebaiknya
dapat menggunakan pemodelan dalam kegiatan menulis sastra, terutama dalam menulis naskah
drama berdasarkan cerpen; (2) cerpen yang digunakan dalam kegiatan menulis naskah drama

211
sebaiknya tidak terlalu panjang dan tidak terlalu rumit. Sebaiknya cerpen yang dijadikan bahan
penulisan naskah drama juga yang banyak memiliki dialog karena ciri khas naskah drama pada
umumnya adalah berisi dialog para tokohnya; (3) hasil penelitian ini, hendaknya dapat dijadikan
sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan buku teks pelajaran Bahasa Indonesia; dan (4)
Peneliti selanjutnya dapat mengembangkan penelitian tentang penggunaan pemodelan pada
kegiatan belajar menulis teks sastra dan nonsastra.

212
DAFTAR RUJUKAN

Joyce, Bruce, Weil, Marsha, dan Calhoun, Emily. 2009. Models of Teaching, Model-Model Pengajaran.
Terjemahan oleh Achmad Fawaid dan Ateilla Mirza. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kuraesin, Nunung. 2005. Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas IX. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nurhadi dan Dawud. 2004. Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas IX. Bandung: Erlangga.
Suganda, Elia dan Mulyana, Moh. Agus. 2005. Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas IX. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Sumiyadi dan Rafnis. 2009. Kesastraan untuk MGMP SMP. Jakarta: PMPTK.
Sumiati dan Azra. 2007. Metode Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima.
Supriatna, Agus. 2005. Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung: Pribumi Mekar.
Tim Dikdasmen. 2003. Pendekatan Kontekstual. Jakarta: Depdiknas.
Tim Dikdasmen. 2007. Pendekatan Kontekstual untuk SMP. Jakarta: Depdiknas.
Wahyudi, Johan dan Zuchdi, Darmiyati. 2009. Bahasaku Bahasa Indonesia 3 untuk Kelas IX SMP
dan MTs. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Zaini, Hisyam. 2004. Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: CTSD.

213
MAKNA DALAM UNGKAPAN BAHASA BANJAR
(MEANING IN BANJARESE EXPRESSIONS)

Zulkifli
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung
Mangkurat, Jl. Brigjend. H. Hasan Basry, Kampus Kayu Tangi, Banjarmasin, Kode Pos 70123,
e-mail zulkifli_musaba@yahoo.com

Abstract

Meaning in Banjarese expressions. Expression as a part of culture has its own certain
meaning. Particularly, Banjarese expressions have meanings by which one can make
them as behavioral parameters in acting out his life in the society and as best means in
creating individuals so he can put himself appropriately in the society interaction.

Keywords: meaning, expression, banjarese

Abstrak

Makna dalam Ungkapan Bahasa Banjar. Ungkapan sebagai bagian dari budaya
memiliki makna tertentu. Ungkapan bahasa Banjar memiliki makna yang dapat
dijadikan acuan berperilaku dalam bermasyarakat dan dapat dijadikan sebagai sarana
untuk membentuk pribadi yang dapat menempatkan dirinya dalam pergaulan di
masyarakat.

Kata-kata kunci: makna, ungkapan, bahasa banjar

PENDAHULUAN
Ungkapan merupakan bagian dari khazanah budaya. Tiap daerah memiliki ungkapan
sebagai salah satu kekayaan budayanya yang telah ada sejak lama. Carventers (dalam Dananjaya,
1986:28) mengemukakan bahwa ungkapan adalah kalimat pendek yang disarikan dari pengalaman
panjang. Kemudian, bisa saja sebuah ungkapan itu hanya berwujud satu atau dua kata yang
belum berstatus sebagai kalimat.
Masyarakat Banjar memiliki banyak ungkapan yang hidup atau dipakai sejak dahulu hingga
sekarang. Ungkapan-ungkapan itu merupakan bagian dari kekayaan budaya Banjar. Dari waktu
ke waktu, ungkapan bahasa Banjar terus mendapat perhatian masyarakat Banjar dan masih
dianggap relevan dalam konteks kehidupan masyarakat Banjar saat ini. Walaupun, ungkapan-
ungkapan itu tidak semuanya dikenal oleh generasi muda Banjar saat ini. Karena itu, kajian
ungjkapan bahasa Banjar ini merupakan upaya untuk melestarikan ungkapan sebagai sesuatu
yang di dalamnya memiliki makna yang patut untuk dijadikan renungan, bahkan panduan dalam
bertingkah laku sehari-hari.
Budaya Banjar mengalami perubahan dan telah sekian lama berproses sebagai bagian dari
kebudayaan nasional (Ideham, dkk., 2005). Salah satu unsur budaya Banjar adalah sastra Banjar,
yang di dalamnya termasuk berupa ungkapan bahasa Banjar. Ungkapan bahasa Banjar (yang
terkadang disebut sebagai ungkapan tradisional Banjar) cukup banyak mendapat perhatian, baik
oleh peneliti budaya Banjar maupun oleh mereka yang menulis (membukukan) secara khusus
ungkapan bahasa Banjar. Maswan, dkk. (1984) melakukan penelitian tentang Ungkapan Tradisional
sebagai Sumber Informasi Kebudayaan Daerah Kalimantan Selatan, Makkie dan Seman (1996) telah
214
membukukan Peribahasa dan Ungkapan Tradisional Banjar. Hasil penelitian dan penulisan buku
yang berisi ungkapan ini sebagai bagian dari upaya untuk melestarikan budaya Banjar.
Ungkapan sebagai bagian dari budaya Banjar tentu sudah dikenal oleh masyarakat Banjar.
Betapapun sebuah budaya tentu telah menjadi bagian dari kehidupan para pendukung budaya
itu, sekaligus dianggap sebagai sesuatu yang patut untuk diperpegangi. Dalam perkembangannya,
sebuah budaya akan berubah sesuai dengan gerak kehidupan pendukungnya, sesuai dengan
pola pikir dan pengaruh-pengaruh yang melingkupinya. Namun, perubahan itu tidak akan secara
mutlak mengubah substansi dari budayanya sendiri. Hal ini terkait dengan prinsip bahwa sebuah
budaya itu merupakan hasil ekspresi dan bentukan pendukungnya atau pemiliknya yang telah
berabad-abad menyertai masyarakat pendukung budaya itu sendiri. Ungkapan bahasa Banjar
juga bagian dari sastra lisan Banjar yang sudah mentradisi. Penggunaan ungkapan tentu dilakukan
secara lisan atau dalam kegiatan bertutur.
Masyarakat Banjar dikenal suka bergaul, suka bercengkerama satu sama lain. Pada saat
senggang, mereka berkumpul dalam suasana kekeluargaan. Mereka pun mempercakapkan
tentang kehidupan sehari-hari, baik yang berkenaan dengan mata pencaharian, tentang agama,
tentang keluarga, maupun hal lain yang dianggap menarik atau memerlukan perhatian bersama.
Dalam suasana-suasana seperti itulah, ungkapan sering muncul dan digunakan sebagai penambah
keakraban sesama mereka. Ungkapan bisa dimaksudkan sebagai hiburan, juga bisa dimaksudkan
sebagai nasihat atau pelajaran untuk kehidupan bersama dan sekaligus untuk penanaman nilai-
nilai perilaku untuk semua warga Banjar.
Sasaran penggunaan ungkapan bahasa Banjar tentu saja adalah untuk warga masyarakat
Banjar. Ungkapan yang dimunculkan tentunya berbahasa Banjar dan ditujukan untuk warga
atau urang Banjar. Sasaran ungkapan secara dengan sendirinya akan memahami ungkapan yang
didengarnya atau yang ditujukan kepadanya karena pengungkapannya dengan bahasa Banjar,
bahasa sehari-hari mereka. Adapun pemahaman terhadap makna ungkapan itu amat bergantung
pada daya nalar dan kepekaan masing-masing pribadi yang menerima ungkapan tersebut. Ada
sebagian orang yang dengan cepat memahami maksud ungkapan yang didengarnya (atau
ditujukan kepadanya), ada pula harus meminta orang lain untuk mengungkapkan maknanya.
Ungkapan bahasa Banjar ditujukan untuk semua warga, baik mereka yang sudah dewasa,
pemuda, bahkan bisa pula ditujukan untuk anak-anak yang berusia puluhan tahun.

METODE
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif untuk mendeskripsikan makna dalam
ungkapan Banjar. Makna dalam ungkapan Banjar tersebut baru dapat dideskripsikan setelah
terlebih dahulu peneliti memahami maksud kata-kata dalam ungkapan Banjar tersebut. Selain
itu, untuk lebih memperkuat hasil analisis dan pembahasan, peneliti juga melakukan wawancara
dan diskusi teman sejawat untuk mengecek kebenaran atau kesesuaian makna ungkapan Banjar
tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Makna Ungkapan Bahasa Banjar
Pada bagian ini dikemukakan beberapa ungkapan bahasa Banjar dan berikut maknanya.
Tentu saja analisis makna ungkapan ini tidak secara mutlak mengungkapkan apa yang menjadi
makna ungkapan itu sendiri. Makna ungkapan bisa berkembang, menjadi meluas, sesuai dengan
dinamika perkembangan masyarakat Banjar dan/atau karena adanya pengaruh suasana

215
kehidupan yang semakin beragam, termasuk adanya hasil interaksi antarbudaya daerah. Namun,
ungkapan bahasa Banjar pada dasarnya tetap merupakan bagian dari khazanah budaya Banjar.

Jangan ragap papan


Jangan ragap papan (Jangan memeluk papan) bermakna bahwa seseorang tidak dibenarkan
menerima sesuatu secara langsung, tanpa mempertimbangkan atau tanpa memahami apa yang
diterimanya itu. Ungkapan ini memberikan isyarat atau ajaran bahwa setiap orang hendaknya
menggunakan akal pikirannya dalam berhadapan dengan sesuatu agar tidak terjerat atau tidak
terjerumus kepada hal-hal yang merugikan dirinya. Ungkapan ini juga memberikan pelajaran
agar setiap orang dapat meningkatkan daya pikirnya serta harus belajar dengan baik agar
hidupnya menjadi lebih terarah dan mandiri. Ungkapan ini mendorong setiap orang untuk lebih
percaya diri atau mendorong kea rah hidup yang mandiri.

Bapandir baadat
Bapandir baadat (berbicara beradat) bermakna bahwa seseorang jika berbicara hendaknya
memperhatikan atau mengikuti adat atau aturan yang berlaku di tempat ia berbicara. Seseorang
tidak dibenarkan berbicara bebas, tanpa mengindahkan aturan yang berlaku di masyarakat.
Setiap tutur kata yang diucapkan haruslah mempertimbangkan baik-buruknya dampak yang
ditimbulkannya. Jika seseorang berbicara tanpa disertai dengan pertimbangan, bisa merusak tata
pergaulan di masyarakat.

Balang kambingan
Balang kambingan (berwarna seperti kambing) ditujukan kepada seseorang yang tidak
menjalankan agamanya dengan baik. Suatu waktu ia tampak rajin beribadah, tekun mengabdi
kepada Tuhannya, di lain waktu ia menjadi malas atau melalaikan perintah Tuhannya. Ungkapan
ini menggambarkan ketidak-konsistenan seseorang dalam menjalankan ajaran agamanya.

Sarantang saruntung
Sarantang saruntung (serantang seruntung) bermakna suatu ikatan persaudaraan yang sangat
akrab. Seseorang yang berteman sangat dekat dengan yang lain, biasanya disebut sarantang
saruntung. Mereka yang sarantang saruntung ini biasanya bepergian berdua ke mana-mana, sering
makan bersama, kedua pihak keluarganya pun sudah saling mengenal. Persaudaraan ini
berlangsung sejak lama, ada yang sudah 20 tahunan lebih. Jika hanya berteman dua atau tiga
tahunan, belum disebut sebagai sarantang saruntung. Mereka yang sarantang saruntung hidupnya
saling menolong, saling memperhatikan, dan tingkat keakrabannya sudah seperti saudara kandung
atau dalam bahasa Banjar juga disebut badangsanakan (bersaudara).

Panuntut banar
Seseorang yang sangat gemar menuntut ilmu dijuluki dengan ungkapan panuntut banar.
Arah ilmu yang dituju lebih banyak mengarah pada pencarian ilmu pengetahuan agama Islam,
walaupun dapat diterapkan untuk mencari ilmu secara umum. Orang yang disebut panuntut
banar biasanya gemar mendengarkan pengajian agama, berguru dari satu guru ke guru yang
lain. Ia dengan tekun belajar atau melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Orang-
orang seperti ini sangat disegani dalam pergaulan di masyarakat Banjar. Pembicaraannya pun
selalu diperhatikan oleh warga, sekaligus dianggap sebagai panutan.

216
Pandirannya mahalang rabah
Pandirannya mahalang rabah bermakna bahwa seseorang yang tidak mempunyai pendirian
tetap. Orang yang demikian tidak mampu menentukan sikap. Jika ia berbicara, arahnya tidak
jelas. Jika dimintai bersikap, maka ia pun ragu. Orang yang pandirannya mahalang rabah tidak
bisa dijadikan pemimpin karena ia sulit mengambil keputusan dan mudah untuk dipengaruhi
oleh orang lain.

Kada manyusuri pinggir tapih


Kada manyusuri pinggih tapih (tidak menelusuri tepi sarung) menggambarkan seseorang yang
tidak mampu menilai keadaan diri. Orang seperti ini cenderung tidak bisa menempatkan diri
dalam pergaulan di masyarakat, cenderung pula lebih mementingkan diri sendiri, kurang
memperhatikan keberadaan orang lain.

Basusuluh
Basusuluh (meneliti sesuatu) dimaksudkan sebagai suatu usaha seseorang atau suatu keluarga
yang meneliti keadaan seseorang yang akan dijadikan menantu. Sebelum acara pelamaran
(meminang), biasanya kedua keluarga saling basusuluh, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Dengan basusuluh ini diharapkan pihak keluarga tidak keliru memilih menantu, tidak
akan ada penyesalan di kemudian hari. Dengan basusuluh ini tentu akan diperoleh gambaran
selengkapnya mengenai calon menantu, bagaimana silsilah keturunannya, bagaimana keseharian
keluarganya, bagaimana perilakunya, apa pekerjaannya, apa latar belakang pendidikannya, dan
sebagainya.

Masin pandirannya
Masin pandirannya (asin pembicaraannya) ditujukan kepada seseorang yang setiap
pembicaraannya selalu diperhatikan oleh lawan bicaranya. Pembicaraannya dianggap berwibawa,
orang yang mendengarnya cenderung mengikuti apa yang dia tuturkan. Biasanya, orang yang
masin pandirannya disegani dan ditokohkan di suatu masyarakat. Ia sering dimintai pendapat
oleh warganya, bahkan jika ada masalah (misalnya pertikaian antarwarga), ia dipercaya untuk
menyelesaikannya. Kedua pihak yang bertikai pun akan dapat menerima pemecahan yang
diusulkan oleh orang yang masin pandirannya itu.

Waja sampai ka puting


Waja sampai ka puting (baja sampai ke ujung) bermakna bahwa bila mengerjakan sesuatu
harus sampai tuntas. Waja (baja) merupakan jenis logam yang kuat, bila dijadikan sebagai bahan
senjata (pisau, mandau, parang, dan lain-lain), senjata itu akan tahan lama dan sangat kuat.
Ungkapan ini sangat dikenal di kalangan masyarakat Banjar. Ungkapan ini mengajarkan bahwa
setiap pekerjaan harus dilaksanakan dengan sungguh, tidak boleh berputus asa. Ungkapan ini
juga sangat dikenal saat-saat perjuangan masyarakat Banjar melawan penjajah.

Gawi sabumi
Gawi sabumi (kerja sebumi) maksudnya bahwa suatu pekerjaan hendaknya dilakukan secara
bersama-sama, sehingga bila pekerjaan itu berat dan banyak, maka pekejeraan itu akan menjadi
lebih ringan. Ungkapan ini memberikan pelajaran agar semua warga saling membantu, saling
peduli. Gawi sabumi sangat terasa pada saat suatu keluarga akan mengadakan upacara perkawinan,
maka segenap warga yang lain segera ikut membantu atau ikut mengerjakan sesuatu yang
memperlancar pelaksanaan upacara perkawinan tersebut. Gawi sabumi ini juga berlaku dalam

217
banyak kegiatan, misalnya dalam rangka membuat jembatan, memperbaiki jalan, mendirikan
tempat ibadah, bahkan juga saat ada warga yang akan mendirikan rumah.

Kayuh baimbai
Kayuh baimbai (mendayung serentak) maksudnya hampir sama dengan ungkapan gawi sabumi
yang maksudnya bahwa suatu pekerjaan hendaknya dikerjakan secara serentak dan bersama-
sama. Kayuh baimbai bermakna bahwa jika ada pekerjaan, maka harus dilakukan secara serentak,
jangan ada yang tidak berperan, cara mengerjakannya pun harus terarah, masing-masing orang
harus berperan langsung atau memberi andil untuk memperoleh hasil yang baik.

Pandir batata
Pandir batata (berbicara dengan teratur) menggambarkan bahwa setiap orang haruslah mampu
menata pembicaraannya. Orang yang pandir batata akan disenangi oleh orang di sekitarnya,
orang lain yang mendengar pembicaraannya merasa tenteram dan selalu bersemangat mengikuti
pembicaraannya.

Ampun urang-ampun urang, ampun saurang-ampun saurang


Ampun urang-ampun urang, ampun saurang-ampun saurang (kepunyaan orang-kepunyaan
orang, kepunyaan sendiri-kepunyaan sendiri) bermakna bahwa setiap orang haruslah mengerti
dan menyadari akan hak-haknya dan hak-hak orang lain. Ungkapan ini menanamkan bahwa
seseorang tidak boleh mengambil milik orang lain, kejujuran harus diterapkan. Ungkapan ini
juga memberikan pelajaran bahwa setiap orang harus bertindak hati-hati, termasuk jika diberikan
amanah atau tugas tertentu agar dijalankan sesuai dengan kewenangan dan rambu-rambu yang
telah ditetapkan.

Tahu adat
Tahu adat (mengerti aturan) ditujukan kepada seseorang yang dapat menerapkan atau
mengikuti aturan yang berlaku. Jika seseorang dikatakan tidak tahu adat berarti ia telah melanggar
aturan, menentang adat, sekaligus tidak mampu menempatkan dirinya dalam pergaulan di
masyarakat. Karena itu, setiap warga Banjar hendaknya menjadi orang yang tahu adat.

Bakalahi badahulu
Bakalahi baduhulu (berkelahi lebih dahulu) maksudnya dalam pergaulan atau dalam suatu
kegiatan bisnis hendaklah dapat dirundingkan dengan baik, terbuka, jangan ada yang ditutupi,
sehingga di waktu akan datang tidak akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Semua pihak
yang terlibat di dalam suatu kegiatan (misalnya dalam bisnis atau usaha) sudah sejak awal
memahami secara rinci apa-apa yang akan dilakukan, apa-apa yang harus dipenuhi.

Sambut saluangan
Sambut saluangan (sambut ikan seluang) menggambarkan seseorang yang tidak mampu
mengendalikan diri, terutama saat berbicara dengan orang lain. Orang yang dikatakan sambut
saluangan cenderung tidak bisa mendengarkan pembicaraan orang lain, ia lebih mengutamakan
pembicaraannya. Lawan bicaranya sama sekali tidak diperhitungkan. Orang seperti ini agak
sulit untuk maju karena kurang bisa menerima informasi (termasuk berupa ilmu pengetahuan)
dari orang lain. Seharusnya, seseorang harus mau dan mampu mendengarkan tuturan orang
lain, sehingga ia akan memperoleh informasi lebnuh banyak, bahkan ia akan mendapatkan ilmu
pengetahuan.

218
Kada nyaman maliatakan
Kada nyaman maliatakan (tidak nyaman membiarkan) ditujukan kepada seseorang yang
memiliki sifat peduli yang tinggi terhadap orang lain, ia selalu ingin ikut membantu orang lain,
mengutamakan kepentingan orang banyak. Ia tidak tenteram jika ada sesuatu yang kurang baik,
ia segera ikut memperbaikinya. Orang seperti ini akan sangat disenangi dan disegani dalam
pergaulan di masyarakat. Bila ia kaya, ia akan dermawan. Ia berusaha selalu ikut dalam
membangun masyarakat sekitarnya, sesuai dengan kemampuannya.

Dimaklumi
Dimaklumi (diketahui) ditujukan kepada seseorang yang berperilaku kurang baik,
peruilakunya cenderung selalu menyusahkan atau membuat bosan orang lain. Bila hal ini terus
berlangsung, biasanya orang-orang di sekitarnya menyebutnya dimaklumi. Dimaklumi
merupakan ungkapan yang disandarkan kepada seseorang yang tidak diperhitungkan lagi
keberadaannya di masyarakat, orang-orang sudah menganggapnya seperti apa adanya, semacam
pembiaran terhadap perilaku seseorang, asalkan tidak membahayakan orang banyak. Karena
itu, janganlah kita menjadi orang yang dimaklumi atau orang yang tidak diperhitungkan lagi
keberadaannya di masyarakat.

Babuang hintalu sabigi


Babuang hintalu sabigi (menghilangkan telur sebutir) ditujukan kepada suatu keluarga atau
masyarakat dihadapkan kepada satu orang yang tindakannya kurang baik, selalu membuat susah
keluarga atau orang lain. Karena itu, yang bersangkutan tidak dipedulikan lagi atau harus ditindak
sesuai dengan hukum yang berlaku. Karena itu, keluarga atau masyarakat rela mengorbankan
satu orang daripada harus merugikan banyak orang.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Ungkapan bahasa Banjar sampai sekarang masih relevan dengan kehidupan masyarakat
Banjar saat ini. Di dalam ungkapan terdapat banyak makna yang bermanfaat bagi pendidikan
perilaku warga Banjar. Ungkapan bahasa Banjar yang dituturkan secara turun-temurun perlu
dilestarikan sebagai bagian dari kekayaan budaya Banjar. Ungkapan-ungkapan bahasa Banjar
dibentuk dengan unsur-unsur kosakata bahasa Banjar yang khas.

219
DAFTAR RUJUKAN

Dananjaya, James. 1986. Folklor Indonesia: Ilmu, Gosif, Dongeng dan lain-lain.Jakarta: Pustaka
Grafiti.
Ideham, Suriansyah, dkk. 2005. Urang Banjar dan Kebudayaannya. Banjarmasin: Balai Penelitian
dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan.
Makkie, Ahmad dan Syamsiar Seman. 1996. Peribahasa dan Ungkapan Tradisional Daerah Banjar.
Banjarmasin: Dewan Kesenian Daerah Kalimantan Selatan.
Maswan, Syukrani, dkk. 1984. Ungkapan Tradisional sebagai Sumber Informasi Kebudayaan Daerah
Kalimantan Selatan. Jakarta: Depdikbud.

220
THE IMPLEMENTATION OF EXTENSIVE READING PROGRAM TO IMPROVE
THE READING SKILLS OF THE ENGLISH DEPARTMENT STUDENTS
ACADEMIC YEAR 2010/2011
(IMPLEMENTASI PROGRAM MEMBACA EKSTENSIF UNTUK MENINGKATKAN
KETERAMPILAN MEMBACA MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
BAHASA INGGRIS TAHUN AKADEMIK 2010/2011)

Jumariati
Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Brigjend. H. Hasan
Basry, Kampus Kayu Tangi, Banjarmasin, Kode Pos 70123, e-mail jumar.fkip@yahoo.com

Abstract

The Implementation of Extensive Reading Program to Improve the Reading Skills


of the English Department Students Academic Year 2010/2011. This study is aimed
at implementing the Extensive Reading (ER) program to improve the students’ skills in
reading and revealing students’ attitude towards the ER program. The subjects of the
research are the students of Reading III Course in class B1 and B2.The instruments used
are the reading test and questionnaire. The test is to measure the students’ abilities
before and after the treatment while the questionnaire is to explore students’ attitude
towards the ER program. Based on the research findings, ER is effective to improve
students’ reading skills. The mean score on the test after the treatment is increased as
much as 9.80 points. Moreover, the analysis on the test result shows that Ha is received
while Ho is rejected (showing by t0> ttest). This is to say that there is significant difference
on students’ reading abilities. Furthermore, the results of the questionnaire reveal the
students’ positive attitude towards the implementation of ER. They mention that the
program enriches their vocabulary, sharpens their skills in finding main idea, finding
important details, guessing meaning from context, making inference, and encourages
them to read English texts. Thus, it can be concluded that ER is effective to improve
students’ reading skills and also to build positive attitude towards reading English texts.
Based on the findings, it is suggested to apply this program in teaching either in the
Reading Courses or other relevant courses in the English Department of FKIP Unlam or
other schools.

Keywords: extensive reading, improve, reading skills

Abstrak

Implementasi Program Membaca Ekstensif untuk Meningkatkan Keterampilan


Membaca Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Tahun Akademik
2010/2011. Studi ini bertujuan menerapkan program Ekstensif Reading(ER) untuk
meningkatkan keterampilan membaca siswa dan untuk mengungkap respon/sikap siswa
terhadap program tersebut. Subyek penelitian adalah siswa mata kuliah Reading III
kelas B1 dan B2. Instrumen penelitian yang digunakan adalah tes dan angket. Tes
ditujukan untuk mengukur kemampuan siswa membaca sebelum dan setelah program
dilaksanakan sedangkan angket untuk mengetahui respon siswa terhadap program
tersebut. Berdasarkan hasil temuan, ER efektif meningkatkan keterampilan membaca
siswa. Nilai rata-rata hasil tes setelah program dilaksanakan meningkat sebesar 9.80
poin. Terlebih lagi, analisis hasil tes menunjukkan bahwa hipotesa alternatif (Ha)
diterima, sedangkan Ho ditolak (dibuktikan dari t0> ttest). Ini menunjukkan bahwa ada
221
perbedaan signifikan terhadap keterampilan membaca siswa. Selain itu, hasil angket
menunjukkan bahwa siswa memiliki sikap positif terhadap pelaksanaan program ER.
Mereka menyebutkan bahwa program ini memperkaya kosa kata,mempertajam
keterampilan membaca dalam mencari pikiran utama, mencari keterangan rinci,
menebak makna kata berdasarkan konteks, membuat simpulan, dan mendorong mereka
untuk membaca teks berbahasa Inggris. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ER efektif
meningkatkan keterampilan membaca siswa dan membentuk sikap positif terhadap
membaca teks berbahasa Inggris. Berdasarkan temuan ini, disarankan untuk
menerapkan program ini dalam mengajar mata kuliah Reading atau pun mata kuliah
lain baik di lingkungan Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Unlam maupun
pada institusi lain.

Kata-kata kunci: ekstensif reading, meningkatkan, keterampilan membaca

INTRODUCTION
Reading is a skill that is very important to be mastered by the students of English Department.
This is because they need the skill not only to comprehend the textbooks which are dominantly
written in English, but also to enrich their knowledge to support their teaching skills later. In short,
by mastering the skills in reading, students of English Department will be able to achieve the
success in learning English.
However, reading in English as a Foreign Language (EFL) context is not easy. This is because
of two factors: inside and outside (Brown, 2001). The inside factors are those related to the individual
(learner) who is learning to read such as the linguistic competence, interest, motivation, and reading
ability. Meanwhile the outside factors are the factors which come from outside of the learner, that is
the reading materials and the environment. The reading materials refer to the difficulty level of the
text while the environment refers to the situation and condition of the place when the reading
occurs. These factors affect the process of reading and the result.
Based on the researcher’s experience in teaching at the English Department, the students still
face problems in reading English texts. First, they have problems in understanding vocabularies
appear in the reading texts. When they find unknown vocabularies they are commonly stuck in
the reading and thus influences their concentration and comprehension toward the text. Second,
they have difficulties in finding implied or unstated information; they fail to recognize the information
appear in the context. Finally, they have problems in making inferences of the text. They mostly
cannot draw conclusions correctly using the clues given in the text.
In addition, another factor is also found during teaching them, that is their motivation. Mostly
they are unmotivated in doing reading outside classrooms. They rarely read English books, novels,
magazines, or newspaper. The pre-research which has been done shows that they rarely visit the
English Department library unless they have assignments related with reading. Moreover, when
they are asked to read literatures or textbooks, most of them do not read. They merely come to class
and sit without preparing themselves with reading the textbooks assigned. As a result, they cannot
comprehend the materials well because they do not read them. This factor affects their performance
in reading the materials of the courses in general and materials in reading courses in particular.
To deal with these problems, the appropriate technique is needed to encourage the English
Department students to read more books. The technique chosen is the Extensive Reading Program
because it has many benefits in improving students’ reading skills. As it is mentioned by Nuttal
(1988), Extensive Reading (ER) is a relatively fast reading of a large amount of long but easy
materials done outside the classroom and at each students’ own pace and level. ER helps students

222
gain more vocabularies and improve their reading skills such as finding main idea, finding stated
and implied information, and making inferences. It also increases students’ motivation in reading
since they have freedom to choose the materials they would like to read.
For many years, researchers and teachers have acknowledged Extensive Reading (ER) as a
technique of improving students’ fluency in reading and at the same time increasing students’
motivation in reading. ER is not a new idea in developing students’ fluency in reading related to
the speed and comprehension. The main characteristic of ER is that it exposes students to a large
quantity of printed materials that is comprehensible and compelling by joining in reading club
without the risk of being evaluated. The primary goal is of course for achieving comprehension but
at the same time increasing students’ motivation.
Richards and Renandya (2002) also mention that ER is a supplementary activity attached to
an English course which encourages students to read as many books as pleasurably at their own
level. It can enhance students’ learning of the spelling, vocabularies, grammar, and text structure.
Furthermore, it helps the development of three most important components in reading: (1) a large
sight vocabulary, (2) a sizable general vocabulary, and (3) knowledge of the target language and of
the world.
In addition, there are several researches on the implementation of ER showing that it is effective
in helping students become better readers because they learn more through a lot of readings. Tanaka
(2007) conducted a study on the effect of ER to the development of Japanese students’reading skills.
The result was that ER improved his students’ reading skills and built positive attitude toward
reading English texts. Macalister (2008) also conducted the study on ER to non-native students and
found that incorporating ER into the teaching of English could improve students’ skills and abilities
in reading. Thus, the researcher intends to conduct a similar study on the implementation of ER in
the teaching of Reading Course in her university in order to develop studets’ reading skills and to
encourage positive attitude toward reading English texts. Moreover, the aim is to make reading in
EFL context fun and enjoyable because students can select their own reading materials. Thus, at
the same time students enjoy their reading and improve their reading skills.
Carrell and Carson (in Richards and Renandya, 2002) add that ER involves rapid reading of
large quantities of material or longer readings for general understanding, with the main focus on
the meaning of what have been read and not on the language. It differs from Intensive Reading (IR)
in which in IR students work with short texts with close guidance from the teacher. The aim of IR is
to help students obtain detailed meaning from the text, to develop reading skills, and to enhance
vocabulary and grammar knowledge. IR is commonly applied in the real classroom activities.
In order to make clear distinction of an Extensive Reading program, Richards and Renandya
(2002) propose several characteristics of an ER program, they are: (1) Students read large amounts
of material, (2) Students choose what they want to read, (3) Reading materials vary in terms of
topic and genre, (4) The materials students read is within their level of comprehension, (5) Students
usually take part in post-reading activities, (6) Teachers read with their students to model enthusiasm
for reading, and (7) Teachers and students keep track of students’ progress. Seeing the benefits of
ER, it is essential to conduct a study by implementing this program to support the teaching and
learning process. During the implementation, teachers’ roles are mostly as the sources of the materials,
managers of the program, and motivators. The key role is on the learners themselves who choose,
read, and learn the materials within their interest and pace.

223
METHOD
This is an experimental research which utilizes two groups, the experiment and control group,
applies pre-test and post-test, and randomizes assignment to the control group (Tuckman, 1999).
This design involves the control of the three fundamental components of the experiment such as the
population, treatment, and measurement of the treatment.
This study utilizes the control group pre-test post-test design. The experiment group is treated
by using ER while the control group is treated without using ER. The experimental group is asked
to do reading outside the class; it is required to read more than 5 pages a week. The materials to
read are based on each student’s preference that they can choose from the English Department
library. Thus, they are required to read as many pages (sources) as they like. Before giving the
treatment, each group is given pre-test to see their previous achievement in reading including these
skills: finding main ideas, finding detailed information, finding words’ meanings, and making
inference. Then, both groups are given post-test to see whether there is any significant improvement
or not as the result of the treatment in experimental group.
The setting of the research is at the English Department of FKIP University of Lambung
Mangkurat Banjarmasin while the subjects of the research are the students of Reading III Course in
Academic Year 2010/2011. The population is from four classes, that is, Class A1, A2, B1, and B2
with 158 students totally. The purposive sampling technique is used to decide the experimental
group and the control group, that is, Class B1 and B2. Class B1 consisting of 38 students is used as
the experimental group while class B2 which consists of 38 students is used as the control group.
The hypotheses which underlie this study are:
1. Null Hypothesis (H0)
There is no significant difference in reading ability between students join the Extensive Reading
program and those who do not.
2. Alternative Hypothesis (Ha)
The re is significant difference in reading ability between students join the Extensive Reading
program and those who do not.
There are two kinds of data collected: quantitative and qualitative data. The quantitative data
is obtained from the students’ achievement in reading test while the qualitative data is about the
students’ attitude towards the implementation of ER program. Each of the data is obtained from
different instruments: test and questionnaire. The test is used to find out the students’ achievement
in comprehending English texts. It is an achievement test in the form of objective test consisting of
25 items. The skills tested are reading for main idea, finding detailed information, guessing word’
meanings from the context and making inference. These skills are considered as the mostly used in
reading pre-advanced materials. Meanwhile the test is taken from the reading comprehension of
pre-test and post-test of the TOEFL as the standardized test.
The questionnaire is used to gain the students’ attitude towards the implementation of ER. It
consists of 18 items of the indicators of positive attitude toward ER. The data obtained from the
questionnaire is analyzed based on the response and the total number of students choosing the
response (frequency).

RESULTS
The result of the pre-test (conducted on February 25, 2011) shows that students’ achievement
is in the category of average. The mean score of experimental group is 66.25while in the control
group is 65.22. On the other hand, the post-test (conducted on May 27, 2011) gives different result

224
which indicates the increasing of the students’ achievement. In the experimental group, the mean
score is 76.05 while in the control group is 69.55. This is to say that students’ achievement in the
experimental group is categorized as good while in the control group is satisfactory. Thus, the
students’ achievement increases significantly in the experimental group. If it is compared to the
control group, the improvement differs 5.44 point. It proves that the implementation of ER program
contributes to the improvement of the students’ achievement in comprehending English texts.
The result of the questionnaire is classified based on the response and the total number of
students choosing the response. The frequent answer for each item can be used to describe students’
perception and reaction towards ER in general. There are 16 items of the questionnaires classified
into three major categories: reading materials, reading improvement, and students’ attitude.
The first category attempts to reveal the condition of the reading materials used in the ER
program: short stories, newspapers, and novels. The short stories are provided by the teacher
(researcher) while the newspapers and novels are provided by the English Department in its library.
Every student in the experimental group has easy access to use the materials. From all the samples
in the experimental group (38 students), 35 students (92.10%) chose the short stories and newspapers,
and only 3 students (8.57%) chose novels. The reasons they did not choose novels is that because it
takes much time for them to finish reading; they prefer easy-reading. From 35 students choosing
the short stories and newspapers, there were 23 students (60.52%) who read more articles in
newspapers than the short stories. This is because they prefer reading hot issues than narratives.
The rest students (31.57%) chose short stories more in their readings. The reason is that they like
reading fiction which brings them imaginative things.
The following discussion is about the students’ response for each item of the questionnaires.
Table 1 shows the students’ response towards ER materials.
Table 1
Students’ Response towards the Materials in ER Program

225
The first question, that is, What do you think of the difficulty level of the reading materials?
reveals that 3 students think the materials are easy, 33 students think they are just right, and 2
students think the materials are quite difficult. In conclusion, the difficulty level of the materials
used in the ER program is just right; they are neither easy nor difficult for the students.
The second question is Do you find any unknown vocabularies in the reading materials? There
were 15 students found a few unknown vocabularies, 19 students found quite many new
vocabularies, and 4 students found a lot of unknown vocabularies. It shows that mostly they found
quite many unknown vocabularies from the reading materials.
The third question is Do you find problems in comprehending the content of the materials? The
result shows that most of the students do not face problems in comprehending the reading materials.
There were 27 students found no problems in comprehension, 8 students found a few problems,
and only 3 students found quite many problems with comprehension.
The fourth question is about the problem with text organization. There were 27 students
mentioned that they found no problem, 5 students found a few problems, and 6 students found
quite many problems with text organization. It can be concluded that in general, students do not
have problems with text organization. In other words, they can comprehend the organization or
rhetoric patterns so they can comprehend the materials.
The fifth question is Which of the reading materials in the ER that you like most? Among the
three types, 11 students prefer to read short stories, 23 students like reading newspapers, and only
4 students like reading novels. There are several reasons underlying the findings. They like reading
newspapers than short stories and novels because the articles in the newspapers are varied and the
topics are also up to date. Meanwhile those who prefer short stories mention that this is because
they like reading fiction in which they can imagine the characters, settings, and so on. There are
only 4 students choosing novels and they give reason that they simply like fiction rather than news.
The next discussion is about the reading improvement. This question is included in the
questionnaires to give the students chance to evaluate themselves. This is because they are adult
learners thus they are supposed to be able to measure their own progress during their learning. The
following is Table 2 showing the students’ responses on the questionnaires asking about their reading
improvement.
Table 2
Students’ Responses on Reading Improvement

There are 3 items asking about reading improvement. The first is Do you think ER improves
your reading comprehension? From 38 students, there were 30 students (78.94%) answered that ER
program certainly improves their reading comprehension while 8students (21.05 %) mentioned
that the program improves their ability very little.
226
The second question is Do you think your vocabulary mastery improved? There were 31students
said that the ER program certainly improved their vocabulary mastery, 5 students mentioned that
their vocabulary improved quite a lot while 2 students said that their vocabulary improved very
little.
The last question is Do you think ER improves your skill in getting general ideas of English
text? For this question, 36 students answered that ER program improve their skills in getting general
ideas of English text while only 2 students said that the program improved their skills very little.
The third part of the questionnaire is trying to reveal students’ attitude towards ER program.
There are 7 questions asking about it wherein the results can be seen in Table 3.
Table 3
Students’ Responses on Attitudes toward ER Program

The first question is Does ER increase your motivation in reading English texts? For this item,
there were 30 students answered yes, 6 students answered so-so, while 2 students answered yes, very
little. The second question is Do you think that ER is only an additional assignment in your reading
course? For this item, 32 students answered no while 2 students answered yes. The third question is:
Are you happy given the choice of reading materials? All of the students answered yes. The fourth
question is Do you think the use of Reading Log is necessary? There were 36 students gave answer yes
and 2 students said no.
For the question Do you think that ER is a good way to improve reading skills?, all of the
students answered yes. The sixth question is How often would you like ER to meet (Teacher-Student
Conference) in one semester?. For this item, there were 30 students wanted 4 – 7 times, 3 students
chose 1 – 3 times in one semester, and 5 students wanted every week. The last question is asking
about How would you like ER to be conducted at the English Department? There were 20 students
answered that they would like to have ER during the Reading courses only whereas 18 students

227
wanted it to be conducted in every semester apart from the Reading Courses. Table 3 shows the
students’ responses on the questionnaires asking about their attitude towards ER program.

DISCUSSION
Based on the findings on the pre-test and post-test, it can be concluded that the students’
achievement in the experimental group on doing the reading test improves significantly. The pre-
test in experimental group shows that the mean is 66.25 while the post-test is 76.05. Thus, the mean
score increases as 9.8 points. The students’ achievement in pre-test is categorized as satisfactory
while after the post-test it increases to very good level. Meanwhile in the control group, the pre-test
shows that the mean is 65.22 and the post-test is only 69.55. The students’ achievement in control
group increases only as 4.33 points. The category of the students’ achievement before and after the
test remains the same, that is, satisfactory. Thus, the increasing mean score between the experimental
and the control group differs as 5.47 points. Moreover, the students’ achievement in the experimental
group increases from the satisfactory level into very good level.
The results of the questionnaire reveal several things. The first is the condition of the materials
used in the ER program. In terms of the difficulty of the materials, it is in just right level. It means
that the materials used are not too easy nor too difficult. It can be said that the materials used in the
ER program are appropriate with the principle in designing the ER materials, that is, in average
level. In terms of the vocabularies, almost half of the students found quite many vocabularies from
the materials used in the ER program. Thus, the program leads to the development of the students’
vocabulary mastery. Meanwhile in the terms of comprehension problems, most of the students did
not find any problems with comprehending the contents of the materials. It is in line with the first
findings about the difficulty level. They mostly did not find any comprehension problems because
the materials are in just right level of difficulty. The problems in text organization are not found by
most of the students. In other words, the materials are not difficult in terms of text organization.
The students could comprehend the materials well. In addition to the condition of the materials, the
types of text students like most are also asked. Among the three types (short stories, newspapers,
and novels), most of the students prefer newspaper articles to short stories or novels. They gave
reason that it was because they feel easier to follow hot issues in society than in fiction such as short
stories or novels. In conclusion, the materials used in the ER program are appropriate with the
students’ level, needs, and interest as it is suggested in the principles in designing ER program.
The second thing to be revealed from the questionnaires is the reading improvement. In terms
of improving reading comprehension, 78.94% of the students agreed that ER program improved
their abilities in reading comprehension. Meanwhile in terms of improving the vocabulary mastery,
81.57% of the students mentioned that ER improved their vocabulary mastery. Thus, only students
having limited vocabularies found that the program helped them develop their vocabulary mastery
while the rest did not. The last question is about improving the skills in getting general ideas of
English texts. Almost all of the subjects (94.73%) pointed out that their skills in getting general ideas
improved after joining the program. Thus, it can be concluded that the implementation of ER
program improve the students’ skills in reading English texts as it is suggested by Renandya and
Jacobs, in Richards and Renandya (2002).
The third is about students’ attitude towards reading. There were 78.94% of the students agreed
that the program increased their motivation in reading and 84.21% of them did not agree if the
program was said as an additional assignment in reading course. This is to say that the program is
an important part of a Reading Course. In terms of the choice given in selecting the materials, all of
the subjects agreed that they were happy given the choice of the materials to be read. Moreover,

228
94.73% of them admitted that the use of Reading Log was important as a monitor and a guide for
the in doing the reading. In terms of the idea of improving reading skills through ER program, all
of the subjects mentioned that ER was a good way to improve reading skills. In addition, there were
78.94% of them agreed to have ER program 4 to 7 times in a semester. Thus, it can be inferred that
students enjoy the ER program, that they have good attitude towards the implementation of ER
program.
From the discussions on each result of the questionnaires, it can be concluded that the
implementation of the ER program brings several benefits. First, it gives students chance to read a
lot of texts within their interests. Second, it improves their skills in reading such as finding main
idea, finding detailed information, guessing meaning from context, and making inference. Finally,
it creates positive attitudes toward reading English texts which is believed as a difficult task for EFL
students.

CONCLUSIONS AND SUGGESTIONS


Conclusions
Based on the findings, several conclusions can be made:
1. The implementation of Extensive Reading program improves the students’ comprehension in
reading as it is shown in the result of the pre-test and post-test of the experimental group.
Moreover, the result of the questionnaires also shows the improvement in reading after joining
the ER program.
2. The students have positive attitude towards Extensive Reading program as it is revealed from
the questionnaires result.

Suggestions
Considering the research findings, several suggestions are proposed to certain parties below:
1. The lecturers of the English Department and teachers of English in other schools/institutions
are recommended to implement this program in their teaching to give students more chance
to develop their reading skills. Some modification is needed in order to suit the program with
the students’ levels, needs, and interests.
2. The English Department to support the implementation of this program not only in the reading
courses but also in other courses in order to accommodate their students’ need.

229
BIBLIOGRAPHY

Brown, H. Douglas. 2001. Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy


(Second Edition). New York: Addison Wesley Longman.
Macalister, John. 2008. Integrating Extensive Reading into an English for Academic Purposes Program.
The Reading Matrix, Vol. 8, No.1.
Nuttal, C. 1988. Teaching Reading Skills in a Foreign Language. London: Heinemann Educational
Books.
Richards, J. & Renandya, W. A. 2002. Methodology in Language Teaching: An Anthology of Current
Practice. New York: Cambridge University Press.
Tuckman, B.W. 1999. Conducting Educational Research. New York: Harcourt Brace College
Publishers.
Tanaka, Hiroya. 2007. Increasing Reading Input in Japanese High School EFL Classrooms: an Empirical
Study Exploring the Efficacy of Extensive Reading. The Reading Matrix, Vol. 7 No. 1.

230
PEMEROLEHAN MORFEM ANAK AUTIS DI PUSAT TERAPI AUTIS BINA
PERMATA KELUARGA
(THE ACQUISITION OF MORPHEMES OF CHILD AUTISM IN AUTISM TREATMENT
CENTER BINA PERMATA KELUARGA)

Marfu’ah dan Rusma Noortyani


Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Brigjend.
H. Hasan Basry, Kampus Kayu Tangi, Banjarmasin, Kode Pos 70123, e-mail rtyani@yahoo.com

Abstract

The Acquisition of Morphemes of Child Autism in Autism Treatment Center Bina


Permata Keluarga. In acquiring language learning follow a certain order, such as in
the Indonesian language. This study examined the acquisition of morphemes in children
with autism therapy center Bina Permata Keluarga, which is how the ability of children
with autism in morpheme acquisition took place at the time of therapy and determine
the ability of autistic children in the acquisition of morphemes. Source of research data
that is two children as research subjects studied during ongoing therapy, both therapies
are in a special room and the room was music therapy and play. This study uses a
descriptive qualitative method. That is, data collected on the basis of the actual
environment and the situation is, the conversation between the therapist with the child
during ongoing therapy. Data retrieval begins with observation techniques, recording
techniques, interview techniques, analytical techniques and discussion seta. The results
of this study indicate that there are 9 types of morphemes are acquired by children at
the time of speech therapy at the Autism Treatment Center Bina Permata Keluarga,
namely (1) free morphemes, (2) bound morphemes, (3) morphemes intact, (4) morpheme
is divided, (5) segmental morphemes, (6) morphemes beralomorf zero, (7) meaningful
lexical morphemes, (8) is not meaningful lexical morphemes, and (9) basic morphemes.
Morpheme acquisition acquired by a child is more dominant because it is free morpheme,
free morpheme is more easily obtained by children during ongoing therapy. Based on
these results, it is expected that readers, especially teachers in the treatment of autism
Bina Permata Keluarga to pay more attention to the child’s language during ongoing
therapy.

Keywords: acquisition of morphemes, children with autism

Abstrak

Pemerolehan Morfem Anak Autis di Pusat Terapi Autis Bina Permata Keluarga.
Dalam memperoleh pembelajaran bahasa mengikuti urutan tertentu, misalnya dalam
bahasa Indonesia. Penelitian ini menguji akuisisi morfem pada anak-anak dengan
autisme terapi center “Bina Permata Keluarga”, yang adalah bagaimana kemampuan
anak autis dalam akuisisi morfem terjadi pada saat terapi dan menentukan kemampuan
anak-anak autis dalam akuisisi morfem. Sumber data penelitian yang dua anak sebagai
subyek penelitian yang dilaksanakan selama terapi berlangsung, kedua terapi berada
dalam ruangan khusus dan ruangan itu terapi musik dan bermain. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif kualitatif. Artinya, data yang dikumpulkan
berdasarkan dari lingkungan yang sebenarnya dan situasi, percakapan antara terapis
dengan anak selama terapi berlangsung. Pengambilan data dimulai dengan teknik
observasi, teknik merekam, teknik wawancara, teknik analisis dan seta diskusi. Hasil

231
penelitian ini menunjukkan bahwa ada 9 jenis morfem yang diperoleh oleh anak-anak
pada saat terapi wicara di Pusat Perawatan Autisme “Bina Permata Keluarga”, yaitu
(1) morfem bebas, (2) morfem terikat, (3 ) morfem utuh, (4) morfem terbagi, (5) morfem
segmental, (6) morfem beralomorf nol, (7) morfem leksikal bermakna, (8) tidak morfem
leksikal bermakna, dan (9) morfem dasar. Akuisisi morfem diakuisisi oleh seorang anak
lebih dominan karena adalah morfem bebas, bebas morfem lebih mudah diperoleh
oleh anak-anak selama terapi berlangsung. Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan
pembaca, khususnya guru dalam pengobatan autisme “Bina Permata Keluarga” untuk
lebih memperhatikan bahasa anak selama terapi berlangsung.

Kata-kata kunci: pemerolehan morfem, anak autis

PENDAHULUAN
Cummings (1999: 389) mengatakan bahwa kemungkinan penyandang autisme tiga hingga
empat kali lebih mungkin mengenai anak laki-laki daripada anak perempuan, sedangkan Chaer
(2009: 134) mengemukakan bahwa anak perempuan lebih besar ukuran otaknya daripada laki-
laki serta anak perempuan lebih kaya akan neuron, dengan banyaknya neuron di suatu daerah
semakin kuat fungsi otak di sana.
Anak autis itu kadang bersifat seperti orang yang tuli yang tidak dapat mendengar apa yang
dibicarakan oleh orang lain, kadang pernah berbicara namun apa yang dibicarakan itu sebentar
saja sudah hilang. Anak autis juga tidak ada kefokusan dalam melakukan interaksi kepada orang
lain, misalnya saja dia sedang diajak berkomunikasi dia akan menjawab tapi pandangan dia
tidak ke arah lawan bicara. Bahkan dia tidak akan merespon apa yang dibicarakan oleh lawan
bicara.
Setelah peneliti melakukan observasi pada tanggal 30 Maret 2011 di tempat terapi anak autis
di yayasan “ Pusat Terapi Autis Bina Permata Keluarga”, dapat dilihat bahwa kebanyakan anak
yang mengikuti terapi tersebut mengalami autis yang hiperaktif. Pada saat terapi, anak akan
dibimbing oleh para terapis. Setiap ruangan terdapat satu anak dan satu orang penerapi. Hal itu
dilakukan agar saat memberikan pengajaran anak dapat fokus untuk menerima apa yang
diberikan oleh penerapi.
Handojo (2009: 5) mengatakan bahwa ruang terapi one-one tidak perlu terlalu luas. Sebaiknya
berkisar antara 1,5 1,5 m sampai dengan 2 . Karena kalau terlalu luas, akan lebih banyak
kesempatan bagi anak untuk lolos dari kontrol terapis. Akan lebih banyak waktu terbuang untuk
“menangkap” anak kembali. Penerangan harus mencukupi, ventilasi dan suhu ruangan harus
sejuk, bila terlalu panas, dapat diberi AC. Dinding dan jendela harus bebas distraksi. Sebaiknya,
jangan ada hiasan dinding yang mencolok. Pandangan keluar jendela sebaiknya dihalangi dengan
gorden.
Terapi dapat dilakukan dengan meletakkan anak di lantai, di pangkuan atau di kursi. Kursi
dan meja dapat disesuaikan dengan tinggi dan berat badan anak. Tinggi mata terapis sebaiknya
sejajar dengan kedua mata anak. Apabila anak masih sering tantrum, sebaiknya dipakai meja
yang diberi lubang setengah lingkaran, sehingga bila berada di atas kursinya, anak masuk ke
dalam lubang meja. Bila dipepetkan ke dinding, anak tidak bisa keluar dari kursinya. Kursi anak
sebaiknya dibuat dari bahan yang berat, sehingga tidak mudah diangkat dan digeser oleh anak.
Ruang dibuat kedap suara, sehingga suara di luar tidak mendistraksi anak. Sebaiknya suara
instruksi terapis juga tidak mengganggu suara di luar ruangan terapi. Ruangan-ruangan lain di
dalam rumah dan perabotannya sebaiknya diatur dan disusun sedemikian rupa, sehingga tidak
menarik perhatian anak untuk mengacak-acaknya. Form atau buku pencatat proses dan hasil
232
terapi harus disediakan selengkap mungkin. Pencatatan ini sangat penting dilakukan karena proses
terapi sering kali berlangsung lama.
Pada kegiatan terapi wicara anak autis, anak tidak hanya diajarkan mengenai respon berbicara
tetapi anak juga diberikan pengajaran mengenai kemandirian, keaktifan motorik anak pada saat
melakukan kegiatan misalnya, saat berolahraga atau senam. Anak juga diajarkan kepada hal-hal
yang berkaitan dengan keadaan di sekitar dia misalnya, bagaimana kemandiriannya memakai
baju sendiri, memakai celana sendiri, dan anak juga diajarkan bermain secara cermat misalnya,
bagaimana menyusun sebuah benda menjadi sesuatu yang diinginkan misalnya menyusun sebuah
rangkaian menjadi bentuk gambar.
Pada saat terapi dilakukan salah satu hal yang diperhatikan adalah bagaimana anak
mengeluarkan kata-kata pada saat berinteraksi dengan penerapi atau orang-orang di sekitarnya.
Biasanya, penyandang autis sangat sulit untuk mengeluarkan kata-kata pada saat berada di tengah-
tengah orang banyak. Anak autis sulit berkomunikasi dengan orang lain sehingga anak autis
berkomunikasi hanya dengan isyarat atau dengan menarik-narik orang untuk mengambilkan
apa yang dia inginkan.
Dari permasalahan komunikasi, yang perlu diperhatikan pertama kalinya adalah bagaimana
anak autis memperoleh kata-kata yang ingin diungkapkannya dan mengungkapkannya kembali.
Dari kata atau morfologi itulah terdapat bagian-bagian yang salah satunya adalah morfem.
Pemerolehan bahasa termasuk di dalamnya pemerolehan morfem sangatlah sulit bagi anak
yang memiliki gangguan dalam berkomunikasi. Anak yang memiliki gangguan dalam
berkomunikasi salah satunya penyandang autis sulit untuk melakukan komunikasi sehingga
pemerolehan morfemnya sangat sedikit dari anak-anak biasanya yang mudah dalam hal
berkomunikasi. Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian terhadap pemerolehan morfem
anak autis layak untuk diteliti. Adapun yang diteliti adalah bagaimana anak autis dalam
pemerolehan morfemnya pada saat terapi wicara dilakukan. Sejalan dengan itu, judul penelitian
ini adalah Pemerolehan Morfem Anak Autis di Pusat Terapi Autis Bina Permata Keluarga.

METODE
Jenis penelitian ini ialah pemerolehan morfem anak autis di pusat terapi autis Bina Permata
Keluarga. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian dengan pendekatan
kualitatif adalah metode yang berusaha menggambarkan sesuatu yang terjadi dengan apa adanya.
Teknik pengumpulan data menggunakan teknik observasi, teknik rekaman, dan teknik wawancara.
Peneliti dalam mengumpulkan data juga menggunakan teknik pencatatan dan pengamatan
berperan serta.
Analisis data dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut.
1. Mentranskripsikan hasil rekaman anak autis.
2. Mengelompokkan pemerolehan morfem anak autis berdasarkan jenisnya.
3. Menyimpulkan hasil penelitian pemerolehan morfem anak autis.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Jenis Morfem pada Anak Pertama (RY)
Jum’at
Terapis : Hari ini hari apa?
RY : Jum’at

233
Pada percakapan di atas terdapat kata Jum’at. Kata Jum’at yang dikatakan oleh anak dalam
percakapan termasuk dalam morfem bebas karena morfem {jum’at} dapat muncul dalam
pertuturan tanpa kehadiran morfem lain. Morfem {jum’at} yang dikatakan oleh anak dalam
percakapan tersebut juga termasuk dalam morfem bermakna leksikal karena morfem {jum’at}
telah memiliki makna tersendiri tanpa berproses dulu dengan morfem lain.

Mendengar
RY : Telinga
Terapis : Untuk
RY : Mendengar
Pada percakapan di atas terdapat kata mendengar. Kata mendengar yang dikatakan anak
terdiri atas dua morfem. Morfem pertama adalah {me-}, morfem {me-} pada kata mendengar
termasuk dalam morfem terikat karena morfem {me-} tidak dapat muncul dalam pertuturan tanpa
kehadiran morfem lain.
Morfem {me-} yang dikatakan anak pada kata mendengar juga termasuk dalam morfem utuh
yang bersifat terikat karena morfem {me-} tidak dapat dibagi lagi menjadi morfem yang lebih
kecil. Selain morfem terikat dan morfem utuh yang bersifat terikat morfem {me-} juga termasuk
dalam morfem tidak bermakna leksikal karena morfem {me-} tidak memiliki makna apabila tidak
berproses dulu dengan morfem yang lain, sedangkan morfem {dengar} pada kata mendengar
termasuk dalam morfem bebas karena morfem {dengar} dapat muncul dalam pertuturan tanpa
kehadiran morfem yang lain. Morfem {dengar} juga termasuk dalam morfem utuh karena morfem
{dengar} tidak dapat dibagi lagi menjadi morfem yang lebih kecil.

Bekerja
Terapis : Tangan untuk apa?
RY : Bekerja
Pada percakapan di atas terdapat kata bekerja. Kata bekerja yang dikatakan anak terdiri atas
dua morfem. Morfem pertama adalah {ber-}, morfem {ber-} pada kata bekerja termasuk dalam
morfem terikat karena morfem {ber-} tidak dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran morfem
lain.
Morfem {ber-} yang dikatakan anak pada kata bekerja juga termasuk dalam morfem utuh
yang bersifat terikat karena morfem {ber-} tidak dapat dibagi lagi menjadi morfem yang lebih
kecil. Selain morfem terikat dan morfem utuh yang bersifat terikat morfem {ber-} juga termasuk
dalam morfem tidak bermakna leksikal karena morfem {ber-} tidak memiliki makna apabila tidak
berproses dulu dengan morfem yang lain, sedangkan morfem {kerja} pada kata bekerja termasuk
dalam morfem bebas karena morfem {kerja} dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran
morfem yang lain. Morfem {kerja} juga termasuk dalam morfem utuh karena morfem {kerja} tidak
dapat dibagi lagi menjadi morfem yang lebih kecil.

Memegang
Terapis : Memegang
RY : Memegang
Pada percakapan di atas terdapat kata memegang. Kata memegang terdiri atas dua morfem,
morfem yang pertama adalah morfem {mem-}, morfem {mem-} pada kata memegang adalah

234
termasuk dalam morfem terikat karena morfem {mem-} tidak dapat hadir dalam pertuturan tanpa
kehadiran morfem lain.
Morfem {mem-} yang dikatakan anak pada kata memegang juga termasuk dalam morfem
utuh yang bersifat terikat, karena morfem {mem-} tidak dapat dibagi lagi menjadi morfem yang
lebih kecil. Selain morfem terikat dan morfem utuh yang bersifat terikat morfem {mem-} juga
termasuk dalam morfem tidak bermakna leksikal karena morfem {mem-} tidak memiliki makna
apabila tidak berproses dulu dengan morfem yang lain.
Pada kata memegang selain morfem {mem-} juga terdapat morfem {pegang}, morfem {pegang}
adalah termasuk dalam morfem bebas karena morfem {pegang} dapat muncul dalam pertuturan
tanpa kehadiran morfem lain. Morfem {pegang} juga termasuk dalam morfem utuh karena morfem
{pegang} tidak dapat dibagi lagi menjadi morfem yang lebih kecil.

Berjalan
Terapis : Berjalan
RY : Berjalan
Pada percakapan di atas terdapat kata berjalan. Kata berjalan yang dikatakan anak terdiri
atas dua morfem. Morfem pertama adalah {ber-}, morfem {ber-} pada kata berjalan termasuk dalam
morfem terikat karena morfem {ber-} tidak dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran morfem
lain.
Morfem {ber-} yang dikatakan anak pada kata berjalan juga termasuk dalam morfem utuh
yang bersifat terikat karena morfem {ber-} tidak dapat dibagi lagi menjadi morfem yang lebih
kecil. Selain morfem terikat dan morfem utuh yang bersifat terikat morfem {ber-} juga termasuk
dalam morfem tidak bermakna leksikal karena morfem {ber-} tidak memiliki makna apabila tidak
berproses dulu dengan morfem yang lain, sedangkan morfem {jalan} pada kata bekerja termasuk
dalam morfem bebas karena morfem {jalan} dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran
morfem yang lain. Morfem {jalan} juga termasuk dalam morfem utuh karena morfem {jalan}
tidak dapat dibagi lagi menjadi morfem yang lebih kecil.

Kacang
Terapis : Tidak, kacang
RY : Kacang
Pada percakapan di atas terdapat kata kacang. Kata kacang yang dikatakan oleh anak dalam
percakapan termasuk dalam morfem bebas karena morfem {kacang}dapat muncul dalam
pertuturan tanpa kehadiran morfem lain. Morfem {kacang} yang dikatakan oleh anak dalam
percakapan tersebut juga termasuk dalam morfem bermakna leksikal karena morfem {kacang}telah
memiliki makna tersendiri tanpa berproses dulu dengan morfem lain.

Hilang
Terapis : ——
RY : Hilang
Pada percakapan di atas terdapat kata hilang. Kata hilang yang dikatakan oleh anak dalam
percakapan termasuk dalam morfem bebas karena morfem {hilang}dapat muncul dalam pertuturan
tanpa kehadiran morfem lain. Morfem {hilang} yang dikatakan oleh anak dalam percakapan

235
tersebut juga termasuk dalam morfem bermakna leksikal karena morfem {hilang}telah memiliki
makna tersendiri tanpa berproses dulu dengan morfem lain.

Gelang
Terapis : ——
RY : Gelang
Pada percakapan di atas terdapat kata gelang. Kata gelang yang dikatakan oleh anak termasuk
dalam morfem bebas karena morfem {gelang} dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran
morfem lain. Morfem {gelang} yang dikatakan oleh anak dalam percakapan tersebut juga termasuk
dalam morfem bermakna leksikal karena morfem {gelang}telah memiliki makna tersendiri tanpa
berproses dulu dengan morfem lain.

Nyanyi
Terapis : Nyanyi
RY : Nyanyi
Pada percakapan di atas terdapat kata nyanyi. Kata nyanyi yang dikatakan oleh anak morfem
terikat karena morfem {nyanyi} tidak dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran morfem
lain. Pada percakapan di atas terdapat kata nyanyi. Kata nyanyi yang dikatakan oleh anak termasuk
dalam morfem dasar yang bersifat terikat karena morfem {nyanyi} merupakan morfem dasar
untuk pembentukan morfem yang lebih besar. Pada percakapan di atas terdapat kata nyanyi.
Kata nyanyi yang dikatakan oleh anak termasuk morfem utuh bersifat terikat karena morfemnya
tidak dapat terbagi lagi.

Punya
RY : Puna
Terapis : Punya
RY : Punya
Pada percakapan di atas terdapat kata punya. Kata punya yang dikatakan oleh anak termasuk
dalam morfem bebas karena morfem {punya} dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran
morfem yang lain. Pada percakapan di atas terdapat kata punya. Kata punya yang dikatakan oleh
anak adalah termasuk dalam morfem dasar yang bersifat bebas karena morfem dasar {punya}
merupakan morfem dasar untuk pembentukan morfem yang lebih besar.

Nyaman (enak)
RY : Nyaman (enak)
Terapis : Nyaman (enak)
Pada percakapan di atas terdapat kata nyaman. Kata nyaman merupakan bahasa banjar yang
artinya enak yang juga termasuk dalam morfem bebas karena morfem {nyaman} ini dapat muncul
dalam pertuturan tanpa ada kehadiran morfem lain. Pada percakapan di atas terdapat kata nyaman.
Kata nyaman yang dikatakan oleh anak dalam percakapan itu termasuk dalam morfem dasar
yang bersifat bebas. Morfem {nyaman} merupakan morfem dasar untuk pembentukan morfem
yang lebih besar.

236
Nyaring
Terapis : Nyaring
RY : Nyaring
Pada percakapan di atas terdapat kata nyaring. Kata nyaring yang dikatakan oleh anak
termasuk dalam morfem bebas karena morfem {nyaring} dapat muncul dalam pertuturan tanpa
kehadiran morfem yang lain. Pada percakapan di atas terdapat kata nyaring. Kata nyaring yang
dikatakan oleh anak adalah termasuk dalam morfem dasar yang bersifat bebas karena morfem
{nyaring} merupakan morfem dasar untuk pembentukan morfem yang lebih besar. Pada
percakapan di atas terdapat kata nyaring, kata nyaring yang dikatakan oleh anak adalah termasuk
dalam morfem utuh bersifat bebas yang morfemnya tidak dapat terbagi lagi.

Jenis Morfem pada Anak Kedua (MER)


Memakan
Terapis : Di depan kakinya! pintar.
Terapis : Memakan
MER : Memakan
Pada percakapan di atas terdapat kata memakan. Kata memakan yang dikatakan anak terdiri
atas dua morfem. Morfem pertama adalah {me-}, morfem {me-} pada kata memakan termasuk
dalam morfem terikat karena morfem {me-} tidak dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran
morfem lain.
Morfem {me-} yang dikatakan anak pada kata memakan juga termasuk dalam morfem utuh
yang bersifat terikat karena morfem {me-} tidak dapat dibagi lagi menjadi morfem yang lebih
kecil. Selain morfem terikat dan morfem utuh yang bersifat terikat morfem {me-} juga termasuk
dalam morfem tidak bermakna leksikal karena morfem {me-} tidak memiliki makna apabila tidak
berproses dulu dengan morfem yang lain.
Pada percakapan di atas terdapat kata memakan, kata memakan yang dikatakan oleh anak
terdiri atas morfem {makan}, morfem {makan}termasuk dalam morfem bebas karena morfem
{makan} dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran morfem lain.
Morfem {makan} yang dikatakan anak dalam pertuturan itu juga termasuk dalam morfem
zero (kekosongan) karena morfem {makan} apabila dimasukkan dalam sebuah kalimat dia dapat
muncul tanpa morfem afiks. Morfem {makan} yang dikatakan anak dalam pertuturan adalah
termasuk dalam morfem bermakna leksikal karena morfem {makan} telah memiliki makna
tersendiri tanpa berproses dulu dengan morfem lain.

Menyapu
Terapis : Menyapu
MER : Mem-nyapu
Terapis : Tidak Mem-, menyapu
MER : Menyapu
Terapis : Iya
Pada percakapan di atas terdapat kata menyapu. Kata menyapu yang dikatakan anak terdiri
atas dua morfem. Morfem pertama adalah {meny-}, morfem {meny-} pada kata menyapu termasuk
dalam morfem terikat karena morfem {meny-} tidak dapat muncul dalam pertuturan tanpa
kehadiran morfem lain.
237
Morfem {meny-} yang dikatakan anak pada kata menyapu juga termasuk dalam morfem
utuh yang bersifat terikat karena morfem {meny-} tidak dapat dibagi lagi menjadi morfem yang
lebih kecil. Selain morfem terikat dan morfem utuh yang bersifat terikat morfem {meny-} juga
termasuk dalam morfem tidak bermakna leksikal karena morfem {meny-} tidak memiliki makna
apabila tidak berproses dulu dengan morfem yang lain.
Pada percakapan di atas terdapat kata menyapu. Kata menyapu yang dikatakan oleh anak
terdiri atas morfem {sapu}, morfem {sapu} termasuk dalam morfem bebas karena morfem {sapu}
dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran morfem lain. Morfem {sapu} yang dikatakan
anak dalam pertuturan termasuk dalam morfem bermakna leksikal karena morfem {sapu} telah
memiliki makna tersendiri tanpa berproses dulu dengan morfem lain.

Memasak
Terapis : Ulangi lagi! Me-ma-sak
MEF : Memasak
Terapis : lagi, Pintar
MER : Memasak
Pada percakapan di atas terdapat kata memasak. Kata memasak yang dikatakan anak terdiri
atas dua morfem. Morfem pertama adalah {me-}, morfem {me-} pada kata memasak termasuk
dalam morfem terikat karena morfem {me-} tidak dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran
morfem lain.
Morfem {me-} yang dikatakan anak pada kata memasak juga termasuk dalam morfem utuh
yang bersifat terikat karena morfem {me-} tidak dapat dibagi lagi menjadi morfem yang lebih
kecil. Selain morfem terikat dan morfem utuh yang bersifat terikat morfem {me-} juga termasuk
dalam morfem tidak bermakna leksikal karena morfem {me-} tidak memiliki makna apabila tidak
berproses dulu dengan morfem yang lain.
Pada percakapan di atas terdapat kata memasak, kata memasak yang dikatakan oleh anak
terdiri atas morfem {masak}, morfem {masak}termasuk dalam morfem bebas karena morfem
{masak} dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran morfem lain. Morfem {masak} yang
dikatakan anak dalam pertuturan termasuk dalam morfem bermakna leksikal karena morfem
{masak} telah memiliki makna tersendiri tanpa berproses dulu dengan morfem lain.

Masuk
Terapis : Masuk
MER : Masuk
Terapis : Pintar
Pada percakapan di atas terdapat kata masuk. Kata masuk yang dikatakan oleh anak terdiri
dari morfem {masuk}, morfem {masuk}termasuk dalam morfem bebas karena morfem {masuk}
dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran morfem lain. Morfem {masuk} yang dikatakan
anak dalam pertuturan termasuk dalam morfem bermakna leksikal karena morfem {masuk} telah
memiliki makna tersendiri tanpa berproses dulu dengan morfem lain.

Bermain
Terapis : Tidak ada di belakangnya itu, bermain
MER : Bermain I’innn

238
Terapis : Tidak begitu, ber-main
MER : Bermain
Pada percakapan di atas terdapat kata bermain. Kata bermain yang dikatakan anak terdiri
atas dua morfem. Morfem pertama adalah {ber-}, morfem {ber-} pada kata bermain termasuk dalam
morfem terikat karena morfem {ber-} tidak dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran morfem
lain.
Morfem {ber-} yang dikatakan anak pada kata bermain juga termasuk dalam morfem utuh
yang bersifat terikat karena morfem {ber-} tidak dapat dibagi lagi menjadi morfem yang lebih
kecil. Selain morfem terikat dan morfem utuh yang bersifat terikat morfem {ber-} juga termasuk
dalam morfem tidak bermakna leksikal karena morfem {ber-} tidak memiliki makna apabila tidak
berproses dulu dengan morfem yang lain. Pada percakapan di atas terdapat kata bermain. Kata
bermain yang dikatakan oleh anak terdiri atas morfem {main}, morfem {main}termasuk dalam
morfem bebas karena morfem {main} dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran morfem
lain.

Insyaallah
Terapis : Yang mana
MER : (tidak menjawab)
Terapis : Ye lupa, lagu Maherzen insya allah
MER : Insyaallah
Pada percakapan di atas terdapat kata insyaallah. Kata insyaallah yang dikatakan oleh anak
terdiri atas morfem {insyaallah}, morfem {insyaallah} termasuk dalam morfem bebas karena morfem
{insyaallah} dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran morfem lain. Morfem {insyaallah}
yang dikatakan anak dalam pertuturan termasuk dalam morfem bermakna leksikal karena morfem
{insyaallah} telah memiliki makna tersendiri tanpa berproses dulu dengan morfem lain.

Diam
Terapis : Coba mulutnya diam, tidak begitu!
MER : Diam
Pada percakapan di atas terdapat kata diam. Kata diam yang dikatakan oleh anak terdiri atas
morfem {diam}, morfem {diam}termasuk dalam morfem bebas karena morfem {diam} dapat muncul
dalam pertuturan tanpa kehadiran morfem lain.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa kedua anak yang
menjadi subjek penelitian dapat mengujarkan morfem secara baik dan benar pada saat terapi
wicara berlangsung. Kedua subjek ini akan mengujarkan morfem apabila terapis terlebih dahulu
mengujarkannya, yaitu dengan menggunakan metode ABA. Perkembangan penguasaan anak
terhadap morfem tergantung pada pola kehidupan berbahasa yang ada pada lingkungan saat
anak diterapi dan di lingkungan keluarga. Hal ini penting karena tingkat perkembangan morfologi
seorang anak sangat menentukan untuk meraih kemampuan di bidang ilmu pengetahuan lainnya
yang menunjang perkembangan pemerolehan bahasa anak tersebut. Artinya, semakin baik dan

239
cepat perkembangan morfologi anak, menunjukkan bahwa anak itu akan lebih mudah meraih
tingkat kemampuan pemerolehan bahasa dan kemampuan di bidang keilmuan lainnya.
Dalam aktivitas terapi wicara, anak dapat memperoleh morfem. Morfem-morfem yang
diperoleh tersebut meliputi (1) morfem bebas, (2) morfem terikat, (3) morfem utuh, (4) morfem
terbagi, (5) morfem segmental, (6) morfem beralomorf zero, (7) morfem bermakna leksikal, (8)
morfem tidak bermakna leksikal, dan (9) morfem dasar. Morfem yang lebih dominan diperoleh
anak adalah morfem bebas karena morfem bebas merupakan morfem yang hanya terdiri atas
satu kata yang mudah dikatakan.

Saran
Disarankan kepada peneliti berikutnya untuk meneliti secara lebih mendalam mengenai
pemerolehan morfem bebas dan terikat pada subjek banyak. Disarankan pula untuk meneliti
perbandingan pemerolehan morfem bebas dan terikat pada anak usia Pendidikan Anak Usia Dini
dan Taman Kanak-Kanak.

240
DAFTAR RUJUKAN

Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.


Cummings, Louse. 1999. Pragmatik: Sebuah Perspektif Multidisipliner. Terjemahan oleh Eti
Setiawati, dkk. 2007. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Handojo, Y. 2009. Autisme Pada Anak. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia.

241
ALIH KODE DALAM TRANSAKSI JUAL BELI DI PASAR KECAMATAN
KATINGAN TENGAH KABUPATEN KATINGAN KALIMANTAN TENGAH
(CODE SWITCHING IN TRADING TRANSACTION IN KATINGAN TENGAH
MARKET OF KATINGAN DISTRICT OF KALIMANTAN TENGAH)

Lili Agustina dan Maria LAS


Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Brigjend.
H. Hasan Basry, Kampus Kayu Tangi, Banjarmasin, Kode Pos 70123,
e-mail ibumariaedi@yahoo.com

Abstract

Code Switching in Trading Transaction in Katingan Tengah Market of Katingan


District of Kalimantan Tengah. Code switching is a change or transition of one language
to another language, or it can be said to be an intermediate language code made by
the speakers because of certain factors. The study entitled Transfer Transaction Code in
the Sale and Purchase in the Middle District of Katingan Katingan Kalteng aims to (1)
describe code switching seller and buyer in the sale and purchase transactions and (2)
perform data analysis of the factors that determines the code carried over between
sellers and buyers by linking scientific condition. The approach used in this study is a
qualitative approach, type a descriptive qualitative research using descriptive method.
There are two types of data in this study: (1) speech that contains the realization of the
variation of the language used by the seller and buyer in the sale and purchase
transactions and (2) a descriptive note. Descriptive notes provide an overview of code
switching that occurs between the seller and buyer. Data collection techniques used in
this study, that is direct observation, interviewing, listening techniques refer to techniques
that is look good are free, while also recording and engineering techniques in the field
notes. The diversity of languages used in the process of buying and selling in the
market Banjar District Katingan Kalteng Katingan this giving rise to the transfer code,
namely (1) over the code from Indonesian to the local language, (2) over the code of the
local language into Indonesian , and (3) over the area code of the language into the
vernacular. The factors that determine the transfer code performed by the seller and
buyer are divided into two, namely (a) the motive of sellers and buyers and (b) the
purpose of sellers and buyers. Market sellers and buyers in the Middle District of
Katingan should be doing over the code should pay attention to your opponent says, do
not do over the language (code) that is not controlled by the buyer that could lead to
non-current communication.

Keywords: code switching, trading, market

Abstrak

Alih Kode dalam Transaksi Jual Beli di Pasar Kecamatan Katingan Tengah
Kabupaten Katingan Kalimantan Tengah. Alih kode adalah perubahan atau
peralihan bahasa yang satu dengan bahasa lain, atau dapat dikatakan suatu peralihan
kode bahasa yang dilakukan oleh penutur karena faktor tertentu. Penelitian yang
berjudul Alih Kode dalam Transaksi Jual Beli di Kecamatan Katingan Tengah
Kabupaten Katingan Kalteng bertujuan untuk (1) mendeskripsikan alih kode penjual
dan pembeli dalam melakukan transaksi jual beli dan (2) melakukan analisis data
faktor-faktor yang menjadi penenntu alih kode yang dilakukan antara penjual dan

242
pembeli dengan mengaitkan kondisi ilmiah. Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, jenis penelitian kualitatif deskriptif dengan
menggunakan metode deskriptif. Ada dua jenis data dalam penelitian ini yakni (1)
tuturan yang berisi realisasi variasi bahasa yang digunakan oleh penjual dan pembeli
dalam melakukan transaksi jual beli dan (2) berupa catatan deskriptif. Catatan deskriptif
memberi gambaran tentang alih kode yang terjadi antara penjual dan pembeli. Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yakni pengamatan langsung,
wawancara, teknik penyimakan, yakni teknik simak bebas libat cakap, selain itu juga
teknik rekam dan teknik catat di lapangan. Beragamnya bahasa yang digunakan dalam
proses transaksi jual beli di Pasar Banjar Kecamatan Katingan Kabupaten Katingan
Kalteng ini sehingga menimbulkan terjadinya alih kode, yaitu (1) alih kode dari bahasa
Indonesia ke dalam bahasa daerah, (2) alih kode dari bahasa daerah ke dalam bahasa
Indonesia, dan (3) alih kode dari bahasa daerah ke dalam bahasa daerah. Faktor-
faktor yang menjadi penentu terjadinya alih kode yang dilakukan oleh penjual dan
pembeli tersebut yang dibagi menjadi dua, yaitu (a) motif penjual dan pembeli dan
(b) tujuan penjual dan pembeli. Penjual dan pembeli di Pasar Kecamatan Katingan
Tengah seharusnya dalam melakukan alih kode harus memperhatikan lawan tutur,
jangan melakukan alih bahasa (kode) yang tidak dikuasai oleh pembeli yang bisa
menyebabkan komunikasi tidak lancar.

Kata-kata kunci: alih kode, jual beli, pasar

PENDAHULUAN
Bahasa adalah salah satu ciri yang paling khas manusiawi yang membedakannya dari
makhluk-makhluk lain. Bahasa dapat dikaji dari beberapa sudut dan memberikan perhatian khusus
pada unsur-unsur bahasa yang berbeda-beda dan pada hubungan-hubungan (struktur) yang
membeda-bedakan pula (Rafiek, 2007: 49).
Manusia sebagai makhluk sosial senantiasa berinteraksi dengan sesamanya dengan
menggunakan bahasa. Bahasa mempunyai suatu peran yang sangat mendasar yang tidak
mungkin terpisahkan oleh masyarakat pemakainnya. Fungsi mendasar dari bahasa adalah untuk
mengaktualisasikan hubungan timbal balik di dalam masyarakat, baik secara perorangan maupun
berkelompok.
Alih kode yang terjadi di Pasar Kecamatan Katingan Tengah Kabupaten Katingan dipilih
untuk objek penelitian karena banyak masyarakat yang bilingual dan ada juga yang multilingual.
Penjual dan pembeli memiliki bahasa yang beragam sehingga proses transaksi jual beli yang
terjadi menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi yang bervariasi. Ada beberapa bahasa yang
digunakan oleh masyarakat di Kecamatan Katingan Tengah Kabupaten Katingan, yaitu Bahasa
Banjar (BB), Bahasa Katingan (BK), Bahasa Jawa (BJw) dan Bahasa Indonesia (BI). Bahasa Banjar
(BB) dan Bahasa Katingan (BK) yang sering digunakan dalam berinteraksi dan berkomunikasi
yang juga dipakai oleh semua kelompok etnis di Pasar Kecamatan Katingan Tengah. Penelitian
ini bertujuan untuk Mendeskripsikan alih kode penjual dan pembeli dalam melakukan transaksi
jual beli dan melakukan analisis data faktor-faktor yang menjadi penentu terjadinya alih kode
yang dilakukan antara penjual dan pembeli dengan mengaitkan kondisi ilmiah.

METODE
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan
kualitatif diharapkan mampu menghasilkan suatu uraian tentang ucapan, tulisan, dan perilaku
yang dapat diamati atau dilihat dari suatu individu, dan masyarakat. Jenis penelitian ini

243
menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif. Jadi, penelitian ini menggunakan metode
penelitian deskriptif.
Secara teoretis, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
sosiolinguistik, yakni pendekatan penelitian ilmu bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan
bahasa masyarakat. Data dalam penelitian ini, yakni (1) tuturan yang berisi realisasi variasi bahasa
yang di dalamya terdapat alih kode, dan (2) berupa catatan deskriptif. Sumber data dari penelitian
ini adalah masyarakat tutur yang berupa percakapan penjual dan pembeli saat melakukan
transaksi jual beli. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui
observasi, penyimakan, (teknik sadap dan teknik simak bebas libat cakap), teknik rekam, dan
teknik catat.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Alih Kode dari Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Daerah
Alih Kode dari Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Banjar
Peristiwa tutur 1:
a. Peserta tutur
Penjual ayam : jenis kelamin perempuan, umur 30 tahun, etnis Jawa
Pembeli : jenis kelamin perempuan, umur 45 tahun, etnis Banjar
b. Lokasi : Pasar Banjar Tumbang Samba Katingan Tengah
c. Topik : Tawar menawar ayam dan ikan
Penjual : Ayam, Bu? 1
Pembeli : Berapa ayamnya?2 (BI)
Penjual : 25 satu ekor, Bu. 3
Pembeli : Banaikkah wayah hini. Kada harga kaya samalam
haja kah? 4 (BI-BB)
‘Naik kah sekarang ini. Tidak harga kemarin saja kah?’
Penjual : Ya am nah, dari harga maambilnya sudah balarang.5
Iya, dari harga mengambilnya sudah mahal.
Pembeli Barang haja dah, apa basalamatan malam ini di rumah 6
‘Biar saja sudah, ada selamatan malan ini di rumah.’
Penjual : Wah, nyaman banar iwaknya ayam. 7
‘Wah, enak sekali lauknya ayam.’
Dalam percakapan antara penjual dan pembeli dalam melakukan transaksi jual beli ayam
adalah menggambarkan alih kode yang dilakukan oleh penjual dan pembeli dari mulanya
menggunakan Bahasa Indonesia (BI) kemudian beralih ke dalam Bahasa Banjar (BB). Alih kode
yang dilakukan oleh pembeli dari bahasa Indonesia yang berbunyi “Berapa ayamnya?” (penggalan
kalimat 2) ke dalam bahasa Banjar yang berbunyi “Banaikkah wayah hini. Kada harga kaya
samalam hajakah?” (penggalan kalimat 4) yang maknanya adalah ‘(harganya) naik kah sekarang
ini. Tidak harga kemarin saja’. Peristiwa alih kode ini disebabkan pembeli berusaha menawar
kepada penjual ayam. Hal ini terlihat dari pembeli yang kaget dengan harga ayam yang naik,
dan berusaha menawar harga ayam dengan patokan harga sebelumnya. Pembeli secara spontan
beralih mengunakan bahasa Banjar karena merasa harga yang ditawarkan cukup mahal dan
ingin harga ayam lebih murah. Pembeli berusaha menawar harga ayam agar seperti harga yang
belum naik, “Lalu si penjual dengan lemah lembut menjawab “Ya am nah, dari harga maambilnya
sudah balarang” (penggalan kalimat 5) yang maknanya adalah iya, dari harga mengambilnya
(ayam) sudah mahal.

244
Alih Kode dari Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Katingan
Berikut ini adalah percakapan yang menggambarkan peristiwa alih kode yang dilakukan
oleh penjual kepada pembeli.
Peristiwa tutur 2
a. Peserta tutur
Pedagang ikan : jenis kelamin perempuan, umur 45 tahun, etnis Katingan
Pembeli : jenis kelamin perempuan, umur 38 tahun, etnis Jawa
b. Lokasi : Pasar Banjar Tumbang Samba
c. Topik : Tawar menawar ikan
Pembeli : Berapa satu bungkus seluang ini. 1
Penjual : 7 ribu satu bungkus, mau kah? 2(BI)
Pembeli : Kemarin 5 ribu satu bungkus. 5 saja saya ambil 2
bungkus. 3
Penjual : Dia tau, ije bungkus te isut ih duan untung. 4 (sambil
mengelengkan kepala) (BI-BK)
‘Tidak bisa, satu bungkus itu sedikit saja mengambil
untung.’
Pembeli : Tidak bisa kurang lagi ya? 5
Penjual : Ayu ih, duwe bungkus te 12 6.
‘Biar saja dua bungkus itu’ 12.
Pembeli : Saya ambil yang ini. Minta plastiknya. 7
Dari percakapan di atas tampak penjual melakukan alih kode secara spontan kepada pembeli
yang menawar ikan seluang yang dijualnya. Percakapan penjual yang beralih kode, yang pada
awalnya menggunakan bahasa Indonesia (BI) yang berbunyi “7 ribu satu bungkus, mau kah?
(penggalan kalimat 2) kemudian beralih menggunakan bahasa Katingan yang berbunyi “Dia
tau, ije bungkus te isut ih duan untung” (penggalan kalimat 4) yang maknanya adalah ‘Tidak
bisa, satu bungkus itu sedikit saja mengambil untung’. Pada saat itu penjual sambil menggelengkan
kepala tanda tidak setuju. Percakapan penjual yang melakukan alih kode disebabkan oleh faktor
perasaan jengkel penjual kepada pembeli yang terlalu murah menawar harga ikan seluang yang
dijualnya. Penjual jengkel karena harga ikan pada saat itu bisa dikatakan mahal dan susah untuk
mencari ikan.

Alih Kode dari Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Jawa


Berikut ini adalah percakapan yang menggambarkan peristiwa alih kode yang dilakukan
oleh penjual sayur.
Peristiwa tutur 3
a. Peserta tutur
Pedagang sayur : jenis kelamin perempuan, umur 38 tahun, etnis Jawa
Pembeli : jenis kelamin perempuan, umur 23 tahun, etnis Katingan
b. Lokasi : Pasar Banjar Tumbang Samba
c. Topik : Tawar menawar sayur
Pembeli : Bu, ada lombok? 1 (BI)
Penjual : Ada, beli berapa, Sin? 2 (BI)
Pembeli : Beli seribu. Tomatnya yang ini. 3
Penjual : 3 ribu, Sin. Mau buat apa ni? 4
Pembeli : Mau masak serdin. 5

245
Penjual : Wenak tenan. 6 (BI-BJw)
‘Enak sekali.’
Dari percakapan di atas tampak pada akhir percakapan penjual melakukan alih kode. Pada
awalnya penjual menggunakan bahasa Indonesia seperti pada penggalan kalimat 2 dan 4,
kemudian penjual beralih kode menggunakan bahasa Jawa yang berbunyi “Wenak tenan”
(penggalan kalimat 6) yang maknanya adalah ‘Enak sekali’. Pembeli yang beretnis Katingan ini
selain menguasai bahasa daerahnya, yakni bahasa Katingan, dia juga bisa berbahasa Indonesia.

Alih Kode dari Bahasa Daerah ke dalam Bahasa Indonesia


Alih Kode dari Bahasa Katingan ke dalam Bahasa Indonesia
Alih kode terjadi antara penjual yang beretnis Katingan dan pembeli yang beretnis Jawa.
Fenomena alih kode tersebut dapat dilihat pada percakapan penjual dan pembeli pada saat tawar-
menawar ikan patin.
Peristiwa tutur 4
a. peserta tutur
pedagang ikan : jenis kelamin perempuan, umur 25 tahun, etnis Katingan
pembeli : jenis kelamin perempuan,umur 45 tahun, etnis Jawa
b. lokasi : Pasar Banjar Tumbang Samba
c. Topik : Tawar menawar ikan
Penjual : Lauk patin...lauk patin. Laukkah, Cu? 1 (BK)
1 (menawarkan kepada calon pembeli yang lewat)
‘Ikan patin...ikan patin. Ikankah, Bu?’
Pembeli : Berapa harganya yang ini. 2
Penjual : Yang itu 20. 3 (BK-BI)
Pembeli : 15 saja ya. Aku ambil yang ini. 4
Penjual : Biar yang itu 18. 5
Pembeli : Minta plastik buat bungkusnya. 6
Dari percakapan di atas menggambarkan peristiwa alih kode yang dilakukan oleh penjual.
Penjual berusaha menyesuaikan bahasa yang digunakan calon pembelinya, yakni bahasa
Indonesia. Pada awalnya penjual menggunakan bahasa Katingan pada saat menawarkan ikan
kepada calon pembeli yang berbunyi “Lauk patin...lauk patin. Laukkah, Cu?” (penggalan kalimat
1) yang maknanya adalah ‘Ikan patin...ikan patin. Ikankah, Bu?’ kemudian beralih menggunakan
bahasa Indonesia yng berbunyi ‘Yang itu 20’ (penggalan kalimat 3).
Dalam percakapan tersebut terlihat bahwa penjual berusaha menyesuaikan bahasa pembeli,
yakni menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan karena pembeli yang beretnis Jawa ini
tidak menguasai dan tidak mengerti bahasa Katingan. Oleh sebab itu, penjual beralih kode
menggunakan Bahasa Indonesia agar komunikasi dengan pembeli dapat berjalan lancar.

Alih Kode dari Bahasa Jawa ke dalam Bahasa Indonesia


Alih kode tersebut terjadi antara penjual yang beretnis Jawa dengan pembeli (1) yang beretnis
Jawa dan pembeli (2) yang beretnis Banjar. Berikut ini peristiwa alih kode yang dilakukan oleh
penjual kepada calon pembeli (2).

246
Peristiwa tutur 5
a. Peserta tutur
Pedagang : jenis kelamin perempuan, umur 38 tahun, etnis Jawa
Pembeli (1) : jenis kelamin perempuan, umur 40 tahun, etnis Jawa
Pembeli (2) : jenis kelamin perempuan, umur 49 tahun, etnis Banjar
b. Lokasi : Pasar Banjar Tumbang Samba Katingan
c. Topik : Tawar menawar sayur
Pembeli : Ene godong sop lah? 1
‘Ada daun sop?’
Penjual : Ene, a tuku piro? 2
‘Ada, mau beli berapa?’ 2
Pembeli : Piro? 3
‘Berapa?’
Penjual : Seikat seribu. 4
‘Satu ikat seribu.’
Pembeli : Tuku dua ikat wae. 5
‘Beli dua ikat saja.’
Penjual : Oh, gawe sop lah, kentang ambi wartelnya wae. 6
‘Oh, mau buat sop ya, kentang dan wartelnya kah?’
Pembeli : Wes, togu kentang wartel,. 7
‘Sudah beli kentang dan wartel kemarin’
Kemudian datang calon pembeli (2) yang ingin membeli Kentang.
Penjual : Sayur Bu? 8 (BJw-BI)
Pembeli 2 : Ada kentang? 9
Penjual : Ada, mau berapa, Bu? 10
Pembeli 2 : Setengah kilo saja. 11
Penjual : 10 ribu. 12
Pada percakapan di atas penjual melakukan alih kode kepada pembeli 2 yang beretnis Banjar.
Pada awalnya penjual dan pembeli 1 tampak sudah kenal dan akrab. Mereka menggunakan
bahasa Jawa sebagai alat komunikasi mereka. Kemudian datang calon pembeli 2 yang ingin
membeli kentang. Penjual tersebut menawarkan sayur kepada calon pembeli 2 menggunakan
bahasa Indonesia yang berbunyi “Sayur Bu?” (penggalan kalimat 8). Peralihan kode bahasa
yang dilakukan oleh penjual ini menyesuaikan dengan kemampuan berbahasa yang dimiliki
oleh pembeli. Penjual sengaja menggunakan bahasa Indonesia agar pembeli mengerti apa yang
ingin diucapkan oleh penjual tadi dan komunikasi di antara keduanya bisa lancar dan akrab.
Pembeli yang beretnis Banjar tadi tidak menguasai/tidak mengerti bahasa Jawa. Oleh sebab itu,
penjual dituntut untuk melakukan alih kode dari Bahasa Jawa (BJw) ke dalam Bahasa Indonesia
(BI). Jadi bisa dikatakan kehadiran pembeli atau orang ketiga dalam percakapan merupakan
faktor penyebab seorang penutur melakukan alih kode.

Alih Kode dari Bahasa Daerah ke dalam Bahasa Daerah


Beberapa bahasa daerah yang digunakan dalam proses transaksi jual beli, yakni bahasa
Katingan, bahasa Banjar, dan bahasa Jawa. Berikut ini adalah peralihan bahasa dari bahasa daerah
ke dalam bahasa daerah.

247
Alih Kode dari Bahasa Banjar ke dalam Bahasa Jawa
Alih kode terjadi pada penjual beretnis Jawa dengan pembeli dengan etnis Banjar. Percakapan
dapat dilihat pada wacana berikut.
Peristiwa tutur 6
a. Peserta tutur
Pedagang kain : jenis kelamin laki-laki, umur 37 tahun, etnis Jawa
Pembeli : jenis kelamin perempuan, umur 32, etnis Banjar
b. Lokasi : Pasar Banjar Tumbang Samba
c. Topik : Tawar menawar baju
Pembeli : Ada bajual baju seragam SD lah? 1
‘Ada jual baju seragam SD?’
Penjual : Ada, lihati ja ke dalam. 2 (BB)
‘Ada, lihat saja ke dalam’
Pembeli : Inya kelas 3. 3
‘Dia kelas 3’
Penjual : Bila yang ini pas gasan kelas 3. 4 (BB)
‘Yang ini cocok buat kelas 3’
Pembeli : Kaya ini berapa? (BB)
‘Seperti ini berapa?’
Penjual : Itu 45. 6
pembeli : 35 ja lah. Aku ambil yang ini. 7
penjual : Waduh, ora iso. 8 (BB-BJw) (sambil menggelengkan
kepalanya)Aduh, tidak bisa.
Pembeli : Iso ne piro? 9 (BB-BJw)
Bisanya berapa?
Penjual : Iso ne patang puluh wae. 10
‘Cuma bisa 40 saja’
Pembeli : Ya weslah. 11
‘ya sudahlah’
Dalam percakapan di atas menggambarkan fenomena alih kode yang dilakukan oleh penjual
dan pembeli. Pada awalnya, mereka menggunakan bahasa Banjar dalam melakukan proses tawar-
menawar kemudian penjual beralih kode menggunakan bahasa Jawa yang berbunyi “Waduh,
ora iso” (penggalan kalimat 8) yang maknanya adalah ‘Aduh, tidak bisa’. Ketika penjual beralih
menggunakan bahasa Jawa, pembeli yang beretnis Banjar berusaha mengimbangi bahasa yang
digunakan oleh penjual walaupun pembeli hanya sedikit menguasai bahasa Jawa. Hal itu dilakukan
oleh pembeli agar dalam proses tawar-menawar seragam bisa berlangsung santai dan akrab.

Alih Kode dari Bahasa Banjar ke dalam Bahasa Katingan


Alih kode terjadi pada penjual yang beretnis Banjar dan pembeli yang beretnis Katingan.
Peristiwa alih kode tersebut dapat dilihat pada percakapan penjual dan pembeli di pasar ikan.
Peristiwa tutur 8
a. Peserta tutur
Pedagang ikan gabus: jenis kelamin perempuan,umur 32 tahun, etnis Banjar
Pembeli : jenis kelamin perempuan, umur 37 tahun, etnis Katingan
b. Lokasi : Pasar Banjar Tumbang Samba
c. Topik : Tawar menawar ikan gabus

248
Penjual : Iwak haruan, iwak haruan. 1 (menawarkan ikan gabus
Kepada pembeli yang lewat)
‘Ikan gabus, ikan gabus’
Pembeli : Barapa sakilo? 2 (BB)
‘Berapa satu kilo?’
Penjual : .25, handak kah? 3
‘25 mau kah?’
Pembeli : Akuy kalarang ampi nah, buhen tau larang kutuh. 4 (BB-
BK)
‘Aduh mahalnya, mengapa bisa mahal seperti ini’
Penjual : Jituh gin aku isut ih duan untung. 5 (BB-BK)
‘Ini saja aku sedikit ambil untung’
Pembeli : Aku male mili lauk jikau duwe puluh ih ije kilo.6
‘Aku kemarin beli lauk itu 20 satu kilo.’
Penjual : Bahali manggau lauk wayah tuh. Indu Amat gin duan ukaku. 7
‘Susah mencari ikan sekarang ini.ibu Amat saja ambil di
tempatku’
Dari wacana di atas terlihat bahwa adanya fenomena alih kode yang dilakukan oleh pembeli,
yaitu dari bahasa Banjar yang berbunyi “Barapa sakilo?” yang maknanya adalah ‘berapa satu
kilo’ setelah penjual mengatakan harga dari ikan gabus tersebut pembeli terkejut dengan harga
ikan gabus, yang bisa dikatakan cukup mahal dari harga biasanya. Keterkejutan pembeli tersebut
menyebabkan dia melakukan alih kode. Pada awalnya pembeli menyesuaikan bahasanya dengan
penjual ikan gabus, yakni berkomunikasi menggunakan bahasa Banjar. Setelah mendengarkan
harga satu kilo ikan gabus, pembeli beralih menggunakan bahasa Katingan yang berbunyi “Akuy
kalarang ampi nah, buhen tau larang kutuh” (penggalan kalimat 4) yang maknanya adalah
‘Aduh mahalnya, mengapa bisa mahal seperti ini’.

Alih Kode dari Bahasa Katingan ke dalam Bahasa Banjar


Peristiwa tutur 9
a. Peserta tutur
Pedagang sayur : jenis kelamin perempuan, umur 45 tahun, etnis Katingan.
Pembeli : (1) jenis kelamin perempuan, umur 42 tahun, etnis Katingan
(2) jenis kelamin perempuan, umur 30 tahun, etnis Banjar.
b. Lokasi : Di tempat jualan ayam Pasar Banjar Katingan
c. Topik : Tawar menawar ayam dan hati ayam
Pembeli : Pire rega manuk jikau? 1
Berapa harga ayam itu?
Penjual : Talung puluh ije kilo. 2 (BK)
‘30 satu kilo’
Pembeli : Dia tawa kurang. 3
‘Tidak bisa kurang?’
Penjual : Dia tau am. Isut ih aku duan untung. 4 (BK)
‘Tidak bisa lagi. Sedikit aku ambil untung’
Datang calon pembeli lain (pembeli 2) yang menanyakan harga hati Ayam.
Penjual : Handak ayamkah? 5 (BK-BB)
‘Mau ayamkah?’

249
Pembeli 2 : Barapa hati ayam? 6
‘Berapa hati ayam?’
Penjual : Hatikah, 2 lima ribu, handak kah? 7
‘Hati, 2 lima ribu, mau kah?’
Pembeli 1 : Iyoh, aku mili ije kilo ih. 8
‘Iya, saya beli satu kilo saja.’
Penjual : Penglaris nah. 8 ( sambil menggerakkan uang tadi ke
Barang dagangannya supaya cepat laris).
Pembeli 2 : 2 ja. 9 (2 saja)
Penjual : Jual lah. 10 (Jual)
Pembeli : Tukar. 11 (beli)
Alih kode yang terjadi karena penjual berusaha menyesuaikan bahasanya dengan calon
pembeli. Hal ini sering terjadi karena penjual di Pasar Banjar Katingan Tengah menguasai bahasa
Banjar dan bahasa Katingan, bahkan juga penjual menguasai bahasa Jawa. Datangnya pembeli
lain yang menggunakan bahasa yang berbeda, penjual dituntut untuk melakukan alih kode.
Penjual melakukan alih kode tersebut yang berbunyi “Handak ayamkah?” (penggalan kalimat
5) yang maknanya adalah ‘Mau ayamkah?’ pada saat pembeli lain yang lewat. Penjual sengaja
menawarkan ayam kepada pembeli yang lewat menggunakan bahasa Banjar karena dia
mengetahui bahwa calon pembeli berasal dari etnis Banjar. Jadi, dapat dikatakan bahwa pada
awalnya menggunakan bahasa Katingan pada pembeli 1 kemudian datang pembeli 2 beralih
menggunakan bahasa Banjar.

Faktor Penentu Terjadinya Alih Kode dalam Transaksi Jual Beli di Pasar Banjar Tumbang
Samba Katingan Tengah
Motif Penjual dan Pembeli
Agar Mendapatkan Harga Murah
Dalam proses menawar yang dilakukan pembeli agar mendapatkan harga murah, tidak jarang
motif pembeli menggunakan bahasa yang sama dengan penjual. Berikut ini adalah percakapan
yang menggambarkan peristiwa alih kode yang dilakukan oleh pembeli agar mendapatkan harga
ikan yang murah.
Peristiwa tutur 12
a. Peserta tutur
Pedagang ikan : Jenis kelain perempuan, umur 40 tahun, etnis Banjar
Pembeli : Jenis kelamin perempuan, umur 37 tahun, etnis Jawa
b. Lokasi : Pasar Banjar Tumbang Samba
c. Topik : Tawar menawar ikan
Penjual : Iwak lais, iwak lais (menawarkan iwak lais kepada
pembeli yang lewat) 1
‘Ikan lais ikan lais’
Pembeli : Berapa satu kilo? (BI)2
Penjual : Sekilo 35 ribu. (BI) 3
Satu kilo 35
Pembeli : 30 saja (BI) 4
Penjual : Kupadahakan hajalah wayah hini ngalih mancari iwak. 5
Kukatakan sajalah sekarang sulit mencari iwak

250
Pembeli : Kurangi pang nyaman aku tukari. 6 (BI-BB)
‘Kurangi supaya aku beli’
Penjual : Ayuja nah gasan kam 33 haja mangurangi 2 ribu. 7
‘Baiklah buat kamu 33 saja mengurangi 2 ribu’
Pembeli : Ayu ai bila kaya itu. 8
‘Baiklah bila seperti itu’
Dalam percakapan di atas, terlihat bahwa pembeli melakukan alih kode dari semula
menggunakan bahasa Indonesia kemudian beralih kode menggunakan bahasa Banjar. Agar
mendapatkan harga murah, pembeli dapat menggunakan bahasa yang sama yang digunakan
oleh penjual. Di sini tampak bahwa penjual merasa satu daerah sama pembeli.
Pada awal percakapan pembeli mengunakan Bahasa Indonesia (BI) untuk menanyakan berapa
harga satu kilo ikan, yang kemudian beralih menggunakan Bahasa Banjar (BB). Percakapan
pembeli menggunakan bahasa Banjar, yang berbunyi “Kurangi pang nyaman aku tukari”
(penggalan kalimat 6) yang maknanya adalah ‘Kurangi supaya aku beli.’ Kemudian dijawab oleh
penjual ikan yang menggunakan Bahasa Banjar (BB), yang berbunyi “Ayuja nah gasan kam 33
haja mangurangi 2 ribu” (penggalan kalimat 7) yang maknanya adalah ‘Baiklah untuk kamu 33
saja mengurangi 2 ribu’. Karena pembeli menggunakan bahasa Banjar agar sama dengan bahasa
yang dipakai penjual ikan dan juga dengan motif untuk mendapatkan harga murah, akhirnya
penjual mengurangi harga ikan dari semula yang dirasa cukup mahal, yakni 35 satu kilo menjadi
33 satu kilo.

Penjual Berpura-pura kepada Pembeli


Peristiwa tutur 17
a. Peserta tutur
Pedagang sepatu: jenis kelamin laki-laki,umur 37 tahun, etnis Banjar
Pembeli: jenis kelamin perempuan, umur 23 tahun, etnis Katingan
b. Lokasi : Pasar Banjar Tumbang Samba Katingan Tengah
c. Topik : Tawar menawar sepatu
Pembeli : Pire rega sepatu jituh.1
Berapa harga sepatu ini.
Penjual : Jite uju puluh. 2
‘Itu 70’
Pembeli : Dia jahawen puluh ih kah, mangat aku mili jite. 3
‘Tidak 60 saja kah, supaya saya beli itu’
Penjual : Biar ih akam jahawen lime ih gin, jadi aku kurang ah te lime ribu. 4
‘Biar buat kamu 65, mengurangi 5 ribu’
Pembeli : Jahawen puluh ih, aku duan ji warna babilem. 5
‘60 saja saya ambil warna hitam’
Penjual : Ayuja ambil, aku menjual ni gara-gara kasian dengan kam haja.
Bila orang lain tadi, kada menjual aku. Warna apa tadi? (BK-BB) 6
Dari wacana di atas, terlihat bahwa penjual beralih kode yang pada awalnya menggunakan
bahasa Katingan dan kemudian menggunakan bahasa Banjar yang berbunyi “Ayuja ambil, aku
menjual ni gara-gara kasian wan kam haja. Bila orang lain tadi kada menjual aku,” yang
maknanya adalah silakan ambil, saya menjual ni karena kasihan dengan kamu saja. Bila orang
lain tadi tidak saya jual’. Dari tuturan penjual tadi tampak penjual berpura-pura kepada pembeli.
Kepura-puraan tersebut terlihat dari penjual yang mengatakan ambil saja karena saya kasihan
251
sama kamu, kalau orang lain saya tidak jual. Penjual berpura-pura kepada pembeli agar bisa
dikatakan murah oleh pembeli.

Adanya Orang Ketiga (03)


Peristiwa tutur 15
a. Peserta tutur
Pedagang ubi : jenis kelamin perempuan, umur 28 tahun, etnis Katingan
Pedagang sayur (03): jenis kelamin perempuan, umur 30 tahun,etnis Katingan
Pembeli : jenis kelamin perempuan,umur 30 tahun, etnis Banjar
b. Lokasi : Pasar Banjar Tumbang Samba Katingan Tengah
c. Topik : Tawar menawar ubi
Pembeli : Hapuklah gumbilinya ni? 1
‘Enaklah (renyah) ubi ini’
Penjual : Nah, jar orang samalam hapuk pang. 2(BB)
‘Nah, kata orang kemarin enak.’
Pembeli : Barapa sakilo? 3
‘Berapa satu kilo?’
Penjual : 4 ribu ja, banyak dah ditukari orang tadi. 4 (BB)
‘4 ribu.saja, sudah banyak dibeli orang tadi.’
Ketika pembeli memilih ubi, teman dari penjual ubi ini, yakni penjual sayur yang tempatnya
berdekatan menanyakan apakah ada membeli beras. Percakapan antara penjual tersebut sebagai
berikut.
Penjual (03) : Indu Apri, tige ikau mili behas. 5
‘Ibu Apri, ada beli beras’
Penjual : Tige ih, aku mili ikan H. Utuh.6 (BB-BK)
Ada, aku beli di tempat H. Utuh’
Penjual (03) : Pire rega behas ikan H. Utuh te. 7
‘Berapa harga beras tempat H. Utuh’
Penjual : Uju puluh ih ije sak a 8.
‘70 satu karung’
Pembeli : Nah, timbangakan gumbilinya. 9
‘Nah, timbangkan ubinya.’
Penjual : Pas akan akan satu kilo haja nah. 10(BK-BB)
‘Jadikan satu kilo saja’
Pembeli : Tukarlah. 11 beli
Penjual : Jual jua. 12 jual juga
Wacana di atas telah memperlihatkan bahwa penjual melakukan alih kode karena motif
menyesuaikan bahasa yang digunakan oleh lawan bicara. Pada awalnya pedagang sayur
menggunakan bahasa Banjar pada saat melayani pembeli yang bertanya. Pada saat penjual
menjawab pertanyaan dari calon pembelinya yang berbunyi “Nah, jar orang samalam hapuk
pang” (penggalan kalimat 3) yang maknanya adalah ‘Nah, kata orang kemarin enak’. Peristiwa
alih kode terjadi pada saat penjual ubi menjawab pertanyaan dari temannya yang juga sama-
sama pedagang. Pedagang sayur menanyakan kepada temannya yakni penjual ubi yang berbunyi
“ Indu Apri, tige ikau mili behas” (penggalan kalimat 6) yang maknanya adalah ‘Ibu Apri, kamu
ada beli beras’. Dari percakapan tersebut, penjual mulai beralih kode menggunakan bahasa

252
Katingan untuk menjawab pertanyaan dari temannya tadi yang berbunyi “Tige ih, aku mili ikan
H. Utuh” (penggalan kalimat 7) yang maknanya adalah ‘Ada, aku beli di tempat H. Utuh’.

Pembeli Terkejut dengan Harga yang Ditawarkan


Peristiwa tutur
Peserta tutur
Pedagang ikan gabus: jenis kelamin perempuan,umur 32 tahun, etnis Banjar
Pembeli: jenis kelamin perempuan, umur 37 tahun, etnis Katingan
a. Lokasi : Pasar Banjar Tumbang Samba
b. Topik : Tawar menawar ikan gabus
Penjual : Iwak haruan, iwak haruan. 1 (menawarkan ikan gabus kepada pembeli
yang lewat)
‘Ikan gabus, ikan gabus’
Pembeli : Barapa sakilo? 2 (BB)
‘Berapa satu kilo?’
Penjual : 25, handak kah? (BB) 3
‘25 mau kah?’
Pembeli : Akuy kalarang ampi nah, buhen tau larang kutuh. 4 (BB-BK)
‘Aduh mahalnya, mengapa bisa mahal seperti ini’
Penjual : Jituh gin aku isut ih duan untung. 5 (BB-BK)
‘Ini saja aku sedikit ambil untung.’
Pembeli : Aku male mili lauk jikau duwe puluh ih ije kilo.(BK) 6
‘Aku kemarin beli lauk itu 20 satu kilo.’
Penjual : Bahali manggau lauk wayah tuh. Indu Amat gin duan ukaku. (BK) 7
‘Susah mencari ikan sekarang ini. Ibu Amat saja ambil di tempatku.’
Dari wacana di atas terlihat bahwa motif pembeli melakukan alih kode karena pembeli terkejut
dengan harga ikan gabus yang bisa dikatakan cukup mahal dari harga biasanya. Keterkejutan
pembeli tersebut menyebabkan dia melakukan alih kode. Pada awalnya, pembeli berkomunikasi
menggunakan bahasa Banjar yang berbunyi “Barapa sakilo” (penggalan kalimat 2) yang
maknanya adalah ‘Berapa satu kilo’ setelah mendengarkan harga satu kilo ikan gabus, pembeli
beralih menggunakan bahasa Katingan yang berbunyi “Akuy kalarang ampi nah, buhen tau
larang kutuh” (penggalan kalimat 4) yang maknanya adalah ‘Aduh mahalnya, mengapa bisa
mahal seperti ini’.

Perasaan Jengkel Penjual kepada Pembeli


Peristiwa tutur 19
a. Peserta tutur
Pedagang ikan : jenis kelamin perempuan, umur 45 tahun, etnis Katingan
Pembeli : jenis kelamin perempuan, umur 38 tahun, etnis Jawa
b. Lokasi : Pasar Banjar Tumbang Samba
c. Topik : Tawar menawar ikan
Pembeli : Berapa satu bungkus seluang ini. 1
Penjual : 7 ribu satu bungkus. Mau kah? 2(BI)
Pembeli : Kemarin 5 ribu satu bungkus. 5 saja saya ambil 2
bungkus. 3

253
Penjual : Dia tau, ije bungkus te isut ih duan untung. 4 (sambil
mengelengkan kepala) (BI-BK)
‘Tidak bisa, satu bungkus itu sedikit saja mengambil untung’
Pembeli : Tidak bisa kurang lagi ya? 5
Penjual Ayu ih, duwe bungkus te 13 (BK) 6
‘Biar saja dua bungkus itu 13’
Pembeli : Saya ambil yang ini. Minta plastiknya. 7
Dari percakapan di atas tampak penjual melakukan alih kode secara spontan kepada pembeli.
Alih kode yang dilakukan disebabkan penjual merasa jengkel kepada pembeli yang terlalu murah
menawar harga ikan seluang yang dijualnya. Penjual jengkel karena harga ikan pada saat itu
bisa dikatakan mahal dan susah untuk mencari ikan.
Percakapan penjual yang beralih kode pada awalnya menggunakan bahasa Indonesia (BI)
ke dalam bahasa Katingan. Alih kode yang dilakukan oleh penjual, yaitu dari bahasa Indonesia
yang berbunyi “7 ribu satu bungkus. Mau kah?” (penggalan kalimat 2) ke dalam bahasa Banjar
yang berbunyi “Dia tau, ije bungkus te isut ih duan untung” (penggalan kalimat 4) yang maknanya
adalah ‘Tidak bisa, satu bungkus itu sedikit saja mengambil untung’. Jadi, dapat dikatakan bahwa
perasaan jengkel seorang penutur dapat menimbulkan dia melakukan alih kode.

Tujuan Penjual dan Pembeli


Pembeli dan Penjual Saling Kenal
a. Peserta tutur
Pedagang ayam : jenis kelamin perempuan, umur 45 tahun, etnis Katingan
Pembeli : jenis kelamin perempuan, umur 42 tahun, etnis Banjar
b. Lokasi : Pasar Banjar Tumbang Samba Katingan Tengah
c. Topik : Tawar menawar ayam
Pembeli : Gasan siapa bacincang ayam 1
‘Buat siapa memotong ayam’
Penjual : Gasan orang tadi. Ma Agus tukarakan nah ayam, sekilo
haja Mama Agus ai, nyaman dicincangakan. 2
‘Buat orang tadi. Ma Agus beli nah ayam, sekilo saja
mama Agus, supaya dipotong’
Pembeli : Pire rega? 3 (BB-BK)
‘Berara harganya?’
Penjual : 35 ih, mili kah mama Agus. Jite piye tanau duwe kilo ije
ons. (BB-BK) 4
‘35 saja. Beli kah mama Agus itu’
Pembeli : Iyoh, pire rega hati manuk te nah. (BK) 5
‘Iya, berapa harga hati ayam itu.’
Penjual : 2 lima ribu mama Agus ai. 6
‘2 lima ribu ibu Agus’
Pembeli : 2 hati lah. 7
Penjual : (sambil membungkuskan hati ayam ke plastik).
Jadi bilang orang mama Agus ai aku jual ayam ada BRnya. Uma ai jarku.
Aku ni bersih kadeda BR lagi. 8
‘Kata orang aku jual ayam ada Brnya. Waduh ya kataku. Aku bersih tidak
ada br lagi.’ (BI)

254
Pada percakapan di atas penjual dan pembeli melakukan alih kode. Penjual sudah saling
kenal dengan pembeli, yakni mama Agus. Hal ini dapat dilihat dari penggalan percakapan penjual
kepada pembeli “Ma Agus tukarakan nah ayam, sekilo haja mama Agus ai, nyaman
dicincangakan” yang maknanya adalah Bu Agus beli nah ayam, sekilo saja Ibu Agus, supaya
dipotong ayamnya. Dari percakapan tersebut terlihat bahwa penjual sudah akrab dengan pembeli.
Peneliti menemukan bahwa Ibu agus yang beretnis Banjar berkomunikasi menggunakan bahasa
Katingan terhadap temannya, yakni penjual ayam yang beretnis Katingan. Pada awalnya penjual
menggunakan bahasa Banjar untuk berkomunikasi kemudian dijawab oleh pembeli juga
menggunakan bahasa Banjar. Pembeli beralih kode menggunakan bahasa Katingan, yaitu untuk
menanyakan harga ayam yang berbunyi “Pire rega?” yang maknanya adalah ‘Berapa harganya?’
dan juga dijawab oleh pembeli menggunakan bahasa Katingan yang berbunyi “35 ih, mili kah
mama Agus. Jite piye tanau duwe kilo ije ons” (penggalan kalimat 4) yang maknanya adalah ‘35
saja. Belikah Ibu Agus itu’. Tujuannya adalah agar percakapan dalam transaksi tersebut akrab
dan santai

Menyesuaikan dengan Bahasa Pembeli


Alih kode yang juga sering dilakukan adalah disebabkan penjual berusaha menyesuaikan
bahasa yang digunakan oleh pembeli. Tujuannya adalah agar komunikasi dalam transaksi jual
beli dapat lancar diperlukan bahasa yang dapat dimengerti oleh kedua pembicara, yakni penjual
dan pembeli. Berikut ini adalah percakapan yang menggambarkan peristiwa alih kode yang
dilakukan penjual menyesuaikan dengan bahasa pembeli.
Peristiwa tutur 11
a. Peserta tutur
Pedagang sayur : jenis kelamin perempuan, umur 33 tahun, etnis Jawa.
Pembeli : jenis kelamin perempuan, umur 49 tahun, etnis Banjar
b. Lokasi : Pasar Banjar Tumbang Samba Katingan Tengah
c. Topik : Tawar menawar sayur
Penjual : Sayur-sayur, Bu.1 (BI)
Pembeli : Nukar waluh pang sabalah. (BB) 2
‘Beli labu separoh’
Penjual : Sabalah jakah, sabigian yang ini 20 3 (BI-BB)
‘Separoh sajakah, sebiji yang ini 20’
Pembeli : Sabalah haja gin, kena kada tamakan pulang kaya samalam
‘Separoh saja, nanti tidak termakan lagi seperti kemarin.’
Penjual : Bujur jua, sabalah 10 ribu. Handak apa lagi?? 5
‘Benar juga, sebelah 10 ribu. Mau apa lagi?’
Pembeli : Itu haja gin 6
‘Itu saja’
Pada percakapan penjual dan pembeli pada saat membeli sayur, terlihar bahwa penjual
melakukan alih kode. Pada mulanya penjual pada saat menawarkan sayur kepada pembeli
menggunakan bahasa Indonesia yang berbunyi “Sayur-sayur, Bu” (penggalan kalimat 1). Ketika
pembeli datang dan membeli sayur yakni labu dengan menggunakan bahasa Banjar, penjual
pun beralih menggunakan bahasa Banjar yang berbunyi “Sabalah jakah, sabigian yang ini 20”
yang maknanya adalah ‘separoh sajakah, sebiji yang ini 20’. Jadi penjual berusaha menyesuaikan
kode bahasa yang digunakan oleh pembeli, yaitu bahasa Banjar (pada penggalan kalimat 2,4,6)
agar komunikasi yang terjalin dapat lancar dan adanya keakraban antara penjual maupun pembeli.

255
Adanya Pembeli Lain
Berikut ini adalah alih kode yang dilakukan penjual karena adanya calon pembeli lain.
Peristiwa tutur 13
a. Peserta tutur
Pedagang ayam : jenis kelamin perempuan, umur 45 tahun, etnis Banjar
Pembeli(1) : jenis kelamin perempuan, umur 42 tahun, etnis Katingan dan
Pembeli (2) : jenis kelamin perempuan,umur 30 tahun, etnis Banjar.
b. Lokasi: Pasar Banjar Tumbang Samba Katingan Tengah
c. Topik : Tawar menawar ayam dan hati ayam
Pembeli : Pire rega manuk jikau? (BK) 1
‘Berapa harga ayam itu?’
Penjual : Talung puluh ije kilo. (BK) 2
‘35 satu kilo’
Pembeli : Dia tawa kurang. 3
‘Tidak bisa kurang?’
Penjual : Dia tau am. Isut ih aku duan untung. (BK) 4
‘Tidak bisa lagi. Sedikit aku ambil untung’
Datang calon pembeli lain (pembeli 2) yang menanyakan harga hati ayam.
Penjual : Handak ayamkah? 5 (BK-BB)
‘Mau ayamkah?’
Pembeli 2 : Barapa hati ayam? 6
Penjual : Hatikah, 2 lima ribu, handak kah? (BB)7
‘Hati, 2 lima ribu, mau kah?’
Pembeli 1 : Iyoh, aku mili ije kilo ih. 8
‘Iya, saya beli satu kilo saja’
Penjual : Penglaris nah 8 (BB) ( sambil menggerakkan uang tadi ke
barang dagangannya supaya cepat laris).
Berdasarkan percakapan antara penjual, pembeli 1 dan pembeli 2, terjadi fenomena alih kode
yang dilakukan oleh penjual. Pada awalnya penjual menggunakan Bahasa Katingan (BK) pada
saat melayani pembeli 1 dan kemudian beralih menggunakan Bahasa Banjar (BB) pada saat
menawarkan ayam pada pembeli 2. Penjual ayam yang beretnis Banjar ini menguasai bahasa
Banjar dan bahasa Katingan. Jadi, tidak memiliki kendala untuk menyesuaikan dengan bahasa
pembelinya. Pada saat calon pembeli (pembeli 2) lewat, penjual menggunakan bahasa Banjar
untuk menawarkan ayamnya yang berbunyi “Handak ayamkah?” (penggalan kalimat 5) yang
maknanya adalah ‘Mau ayamkah?’.

Penjual Ingin Menekankan


Peristiwa tutur 20
a. Peserta tutur
Pedagang kain : jenis kelamin laki-laki, umur 37 tahun, etnis Jawa
Pembeli : jenis kelamin perempuan, umur 32, etnis Banjar
b. Lokasi : Pasar Banjar Tumbang Samba
c. Topik : Tawar menawar baju
Pembeli : Ada bajual baju seragam SD lah? (BB)1
‘Ada jual baju seragam SD?’

256
Penjual : Ada, lihati ja ke dalam. 2 (BB)
‘Ada, lihat saja ke dalam’
Pembeli : Inya kelas 3. 3
‘Dia kelas 3’
Penjual : Bila yang ini pas gasan kelas 3. 4 (BB)
‘Yang ini cocok buat kelas 3’
Pembeli : Kaya ini berapa? (BB)
‘Seperti ini berapa?’
Penjual : Itu 45. 6
pembeli : 35 ja lah, aku ambil yang ini. 7
‘35 saja, aku ambil yang ini’
penjual : Waduh, ora iso. 8 (BB-BJw) (sambil menggelengkan kepalanya) ‘Aduh, tidak
bisa’
Pembeli : Iso ne piro? 9 (BB-BJw)
‘Bisanya berapa?’
Penjual : Iso ne patang puluh wae. (BJw)10
‘Cuma bisa 40 saja’
Pembeli : Ya weslah. (BJw) 11 (ya sudahlah).
Pada awalnya, penjual menggunakan bahasa Banjar menyesuaikan dengan bahasa pembeli
yang berbunyi “Bila yang ini pas gasan kelas 3” yang maknanya adalah ‘Yang ini cocok buat
kelas 3’ (penggalan 4) kemudian penjual beralih kode menggunakan bahasa Jawa yang berbunyi
“Waduh, ora iso” (penggalan kalimat 8) yang maknanya adalah ‘Aduh, tidak bisa’. Penjual
memiliki maksud dan tujuan untuk menegaskan kepada pembeli bahwa tidak bisa menjual dengan
harga yang diingikan pembeli, yakni 35 dengan berbahasa Jawa. Ketika penjual beralih
menggunakan bahasa Jawa, pembeli yang beretnis Banjar berusaha mengimbangi bahasa yang
digunakan oleh penjual walaupun pembeli hanya sedikit menguasai bahasa Jawa.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis terhadap alih kode yang terjadi di Pasar Kecamatan Katingan
Tengah terdapatlah alih bahasa yang terjadi dan faktor-faktor yang menjadi penentu penutur
melakukan alih kode. Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa peralihan kode tersebut
berupa (1) alih kode dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa daerah, (2) alih kode dari bahasa
daerah ke dalam bahasa Indonesia, dan (3) alih kode dari bahasa daerah ke dalam bahasa daerah.
Faktor-faktor yang menjadi penentu penjual dan pembeli melakukan alih kode terbagi menjadi
dua, yaitu (a) motif penjual dan pembeli dan (b) tujuan penjual dan pembeli.
Saran
Adapun saran yang bisa diberikan oleh peneliti diantaranya bagi tenaga pengajar diharapkan
dapat diaplikasikan dalam pembelajaran sebagai bahan ajar pada pembelajaran sosiolinguistik
sehingga mahasiswa lebih paham mengenai alih kode dan aplikasinya dalam kehidupan. Bagi
penjual dan pembeli seharusnya dalam melakukan alih kode harus memperhatikan lawan tutur,
jangan melakukan alih (kode) yang tidak dikuasai oleh mitra tutur yang bisa menyebabkan
komunikasi tidak lancar. Hasil penelitian ini diharapakan dapat menjadi referensi bagi peneliti
yang akan datang.

257
DAFTAR RUJUKAN

Rafiek, Muhammad. 2007. Sosiologi Bahasa: Pengantar Dasar Sosiolinguistik. Banjarmasin: FKIP
Unlam.

258
LEGENDA TABUAN RANGGAS DI KABUPATEN TABALONG
(THE LEGEND OF TABUAN RANGGAS IN TABALONG DISTRICT)

Wina Hastuti dan Sabhan


Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Brigjend.
H. Hasan Basry, Kampus Kayu Tangi, Banjarmasin, Kode Pos 70123,
e-mail sabhan_saberi@yahoo.com

Abstract

The Legend of Tabuan Ranggas in Tabalong District. Background underlying this


study is a Tabuan Ranggas folklore legend that holds the nation’s cultural heritage
values and cultural teachings. It is the nation’s cultural values that need to be
explored to develop. Methods of qualitative research is descriptive. Data sources used
were informants or informants. Techniques of data collection is done by recording,
interviews, observations, and data reduction. Test the validity of data is done by means
of data triangulation. Data analysis techniques include data collection, classification
data, and drawing conclusions. The results of this study for the structure of the story,
which Tabuan Ranggas folklore themed persistence. Groove contained in this folklore is
the path forward. Background consists of the place, time, and atmosphere. Characters
and characterizations in this folklore is distinguished for its role in the story. Function
Tabuan Ranggas folklore, include (1) As a means of endorsement institutions and cultural
institutions, (2) As a means of education, (3) as a means of coercion and collective members
of the community superintendent (4) as a means of entertainment. Cultural values
contained in the Tabuan Ranggas folklore, including cultural values in a relationship
with him and cultural values in human relationships with nature.

Keywords: structure, function folklor, cultural values

Abstrak

Legenda Tabuan Ranggas di Kabupaten Tabalong. Latar belakang yang mendasari


penelitian ini adalah legenda cerita rakyat Tabuan Ranggas memegang nilai-nilai
warisan budaya bangsa dan ajaran budaya. Ini adalah nilai-nilai budaya bangsa
yang perlu dieksplorasi untuk dikembangkan. Metode penelitian kualitatif adalah
deskriptif. Sumber data yang digunakan adalah informan atau informan. Teknik
pengumpulan data dilakukan dengan merekam, wawancara, observasi, dan
pengurangan data. Uji validitas data dilakukan dengan cara triangulasi data. Teknik
analisis data meliputi pengumpulan data, klasifikasi data, dan penggambaran
kesimpulan. Hasil dari penelitian ini untuk struktur cerita, cerita rakyat Tabuan
Ranggas bertema kegigihan. Groove yang terkandung dalam cerita rakyat ini adalah
jalan ke depan. Latar belakang terdiri dari tempat, waktu, dan suasana. Karakter dan
karakterisasi dalam cerita rakyat ini dibedakan untuk perannya dalam cerita. Fungsi
cerita rakyat Tabuan Ranggas, termasuk (1) Sebagai sarana lembaga dukungan dan
lembaga kebudayaan, (2) Sebagai sarana pendidikan, (3) sebagai sarana pemaksaan
dan anggota kolektif pengawas masyarakat (4) sebagai sarana hiburan. Nilai-nilai
budaya yang terkandung dalam cerita rakyat Tabuan Ranggas, termasuk nilai-nilai
budaya dalam hubungan dengan dia dan nilai-nilai budaya dalam hubungan manusia
dengan alam.

Kata-kata kunci: struktur, fungsi folklor, nilai-nilai budaya

259
PENDAHULUAN
Sastra merupakan milik masyarakat, maknanya berkembang apabila dimanfaatkan oleh
masyarakat. Karya sastra adalah rekaman-rekaman kebudayaan (Ratna, 2007: 14). Objek kajian
karya sastra dapat berupa karya sastra tulis dan sastra lisan. Sastra tulis adalah sastra yang teksnya
berisi cerita yang sudah ditulis atau dibukukan, sedangkan sastra lisan adalah cerita atau teks
yang bersifat kelisanan, dan diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi berikutnya. Sastra
Melayu asli atau sastra tradisional ialah suatu golongan cerita yang hidup dan berkembang secara
turun-temurun, dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. Istilah lain yang biasa digunakan
untuk menyebut golongan karya sastra ini ialah cerita rakyat. Disebut cerita rakyat atau folklor
karena cerita ini hidup di kalangan rakyat (Djamaris, 1990: 15).
Terlepas dari berbagai bentuk cerita rakyat, pada dasarnya, cerita rakyat sarat akan nilai-
nilai, terutama nilai budaya. Koentjaraningrat (1984: 8) mengatakan bahwa nilai budaya itu adalah
tingkat kebudayaan ideal atau adat. Nilai budaya adalah lapisan paling abstrak dan luas ruang
lingkupnya. Tingkat ini adalah ide-ide yang mengonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam
kehidupan masyarakat. Selanjutnya, dikemukakan oleh Koentjaraningrat, suatu sistem nilai-nilai
budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga
masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Oleh karena
itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia
yang tingkatnya lebih konkrit, seperti aturan-aturan khusus, hukum, dan norma-norma, semuanya
juga berpedoman kepada sistem nilai budaya itu.
Mengenai hubungan nilai budaya dengan sastra, Damono (1978: 1) mengatakan sastra
diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Karya
sastra terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu karya sastra tulis dan karya sastra lisan. Karya
sastra tulis meliputi prosa, cerita pendek, novel, dan lain-lain. Adapun yang termasuk karya sastra
lisan adalah karya sastra yang dihasilkan secara turun-temurun secara lisan, salah satu jenisnya
adalah cerita rakyat (folklore). Cerita rakyat adalah suatu bentuk karya sastra lisan yang lahir dan
berkembang dari masyarakat tradisional yang disebarkan dalam bentuk relatif tetap dan
disebarkan di antara kolektif tertentu dari waktu yang cukup lama dengan menggunakan kata
klise (Danandjaya, 1997: 4). Penelitian terhadap cerita rakyat masih sangat perlu untuk dilakukan,
selain untuk mendapatkan bentuk cerita yang lengkap, penelitian terhadap cerita rakyat perlu
dilakukan guna menghindari kepunahan, sehingga penelitian tersebut nanti bisa menemukan
hasil-hasil yang memberikan manfaat bagi manusia, seperti mengungkapkan nilai-nilai budaya
dan fungsi cerita tersebut terhadap masyarakat pemilik dan pendukung cerita, dapat diketahui
bagaimana kebudayaan maupun adat istiadat masyarakat setempat pada saat itu maupun
pengaruhnya pada saat ini.
Cerita rakyat yang berkembang dalam masyarakat memiliki fungsi-fungsi tertentu bagi
kolektif pemiliknya. Pengkajian terhadap cerita rakyat bisa dijadikan sarana yang tepat untuk
penanaman nilai dan norma dalam masyarakat agar dapat dihayati dan diapresiasi sehingga
apabila generasi muda menghayati nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, mereka dapat
mengambil ajaran yang berharga dan menjadikannya sebagai pelajaran untuk sarana introspeksi
diri pribadi masing-masing individu, sehingga bangsa bangga mempunyai generasi muda yang
bermoral dan menghargai budayanya.
Cerita rakyat Tabuan Ranggas merupakan salah satu cerita rakyat warisan budaya bangsa
yang menyimpan berbagai nilai moral dan nilai budaya. Nilai-nilai tersebut merupakan budaya
bangsa yang perlu digali dan didokumentasikan untuk dikembangkan. Dalam bidang ilmu
pengetahuan, khususnya ilmu sastra, penelitian terhadap cerita rakyat Tabuan Ranggas merupakan

260
suatu usaha untuk mengungkapkan sastra Banjar tradisional. Penelitian terhadap cerita rakyat
perlu dilakukan karena cerita rakyat merupakan salah satu budaya lokal yang menyimpan
berbagai kearifan nilai budaya yang mencerminkan identitas budaya dan sosial masyarakatnya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian, yaitu “Bagaimanakah
struktur cerita rakyat Tabuan Ranggas?”, “Fungsi apa sajakah yang terdapat pada cerita rakyat
Tabuan Ranggas?”, dan “Nilai budaya apa sajakah yang terdapat pada cerita rakyat Tabuan
Ranggas?” Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur cerita rakyat Tabuan Ranggas,
menyajikan fungsi yang terdapat pada cerita rakyat Tabuan Ranggas, dan memaparkan nilai
budaya yang terdapat pada cerita rakyat Tabuan Ranggas.

METODE
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Hal-hal yang dipaparkan dalam penelitian ini
meliputi tempat dan waktu penelitian, objek penelitian, data dan sumber data, instrumen penelitian,
teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.
Tempat penelitian adalah Desa Tanta, Kecamatan Tanta, Kabupaten Tabalong Provinsi
Kalimantan Selatan. Waktu penelitian dari tanggal 19 Juli 2011 sampai dengan 6 Oktober 2011.
Objek penelitian adalah isi cerita rakyat Tabuan Ranggas dan objek penelitian lainnya adalah nilai
budaya dan fungsi cerita rakyat Tabuan Ranggas bagi masyarakat pendukungnya. Data dan
sumber data, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder adalah sumber data yang
berkedudukan sebagai penunjang penelitian.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat perekam, kamera, dan lembar
catatan atau catatan lapangan. Teknik pengumpulan data Sesuai dengan bentuk penelitian dan
sumber data, teknik pengumpulan data yang dimanfaatkan dalam penelitian ini, yaitu perekaman,
wawancara, observasi/pengamatan, dan reduksi data. Validitas data dilakukan untuk menjamin
validitas/keabsahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara triangulasi data, yaitu cross
check antara data yang satu dengan data yang lain. Data yang diperoleh kemudian dikonsultasikan
dengan beberapa sumber berbeda, yaitu masyarakat pemilik cerita. Masing-masing data kemudian
dicross check untuk menentukan kevalidannya. Hal ini yang akan menunjukan bahwa data-data
dalam penelitian ini valid. Teknik analisis data model alir terdiri dari pengumpulan data,
penggolongan (klasifikasi), dan penarikan kesimpulan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Cerita rakyat Tabuan Ranggas merupakan prosa rakyat berbentuk legenda. Legenda adalah
cerita yang dianggap empunya sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh terjadi, bersifat
sekuler (keduniawian), terjadinya pada masa yang belum begitu lampau, dan bertempat di dunia
yang kita kenal sekarang. Cerita rakyat Tabuan Ranggas tergolong sastra Banjar tradisional karena
keberadaannya diperkirakan sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Berdasarkan isi cerita,
Tabuan Ranggas termasuk ke dalam legenda alam gaib karena cerita ini ini berkisah tentang Tabuan
Ranggas yang merupakan seekor buaya jadi-jadian (siluman) yang mati karena menerkam sebuah
labu putih yang berisi bara api dan tubuhnya menjadi tanah yang dikenal oleh masyarakat
setempat dengan tungkung buaya. Tungkung itu artinya tanah yang menonjol. Sekarang tanah
tersebut menjadi kebun yang luasnya 400 m. Cerita yang menjadi data penelitian dikumpulkan
dari para informan di daerah yang menjadi tempat penelitian.

261
Struktur (Unsur Intrinsik Cerita rakyat Tabuan Ranggas)
Tema dan Amanat
Tema pada cerita rakyat Tabuan Ranggas dapat ditentukan dengan mengamati kejadian-
kejadian keseluruhan cerita tersebut. Pada awal cerita, sudah tampak adanya pikiran utama cerita,
yaitu digambarkannya Mapihan sebagai seorang pekerja keras, setiap hari ia bekerja tanpa kenal
lelah demi menghidupi keluarganya. Mapihan adalah orang yang sangat gigih dalam bekerja
memperjuangkan kehidupan keluarganya terutama saat ia gigih untuk menghindarkan hal-hal
buruk yang akan menimpa anaknya, walaupun pada akhirnya firasat tersebut benar-benar terjadi.
Dapat disimpulkan bahwa tema cerita rakyat Tabuan Ranggas adalah kegigihan. Amanat yang
terdapat dalam cerita Tabuan Ranggas dapat ditelusuri melalui rangkaian peristiwa yang terjadi
pada tokoh, yaitu saat Mapihan berusaha menghindarkan anaknya dari malapetaka dengan cara
mengajak istri dan anaknya untuk pindah ke dataran yang lebih tinggi supaya jauh dari sumber
air yang menjadi habitat buaya. Walaupun pada akhirnya firasat itu benar-benar terjadi kepada
anaknya. Anaknya diterkam oleh buaya yang merupakan jelmaan mainan buaya yang dibuat
oleh Mapihan sendiri, ketika ia bermain di sumur berdasarkan cerita dapat ditarik simpulan bahwa
amanat dari cerita rakyat Tabuan Ranggas adalah “Manusia boleh berusaha tetapi Tuhan jua yang
menentukan segalanya.”

Alur/Plot
Alur merupakan rangkaian kejadian maupun peristiwa dalam suatu cerita. Sebelum
menentukan bagaimana alur cerita rakyat Tabuan Ranggas terlebih dahulu digambarkan
bagaimana cerita ini berjalan, yaitu meliputi lukisan keadaan, peristiwa mulai bergerak, keadaan
mulai memuncak, peristiwa memuncak, dan penyelesaiannya. Keadaan dimulai dengan situation.
Situation ini merupakan bagian awal alur yang diawali dengan paparan (exposition), rangsangan
(inciting moment), dan gawatan (rising action). Pada struktur paparan yang merupakan bagian
awal dari alur ini digambarkan bagaimana kehidupan Mapihan dan kesehariannya yang ia
habiskan untuk berladang dan berburu di hutan. Selanjutnya, masih pada bagian awal alur tetapi
situasi sudah mulai bergerak dan peristiwa ini masuk dalam struktur rangsangan (inciting moment),
yaitu saat Mapihan mendengar suara-suara gaib saat ia tengah sibuk memasang pulut. Kemudian
pada akhir dari bagian awal alur dilanjutkan ke struktur gawatan (rising action), hal ini ditandai
ketika Mapihan mendengar lagi suara-suara gaib yang sebelumnya sempat ia dengar. Tetapi
yang membuat Mapihan terkejut adalah pembicaraan mereka tentang wanita yang sedang
melahirkan yang membuat Mapihan teringat akan istrinya yang tengah hamil tua. Lalu Mapihan
memutuskan untuk pulang. Setelah bagian awal, alur dilanjutkan ke bagian tengah yang ditandai
dengan keadaan yang mulai bergerak atau disebut Generating Circumstance, Keadaan ini
merupakan bagian tengah alur. yang diawali dengan tikaian (conflict), lalu rumitan (complication),
dan klimaks. Setelah tikaian yang digambarkan saat Mapihan mengetahui istrinya sudah
melahirkan seorang bayi perempuan dan ia pun menyadari bahwa firasat buruk yang dibicarakan
tadi adalah tentang bayinya kemudian keadaan berlanjut pada tahapan rumitan (complication),
yaitu ketika Mapihan terus memikirkan firasat buruk yang akan menimpa anaknya dan membuat
ia khawatir apabila firasat itu benar-benar terjadi. Lalu Mapihan pun mengambil keputusan untuk
pindah ke dataran yang tinggi agar terhindar dari sumber air. Setelah tahap rumitan, bagian
tengah alur dilanjutkan ke struktur yang ketiga, yaitu klimaks yang merupakan puncak konflik
dari cerita. Tahapan ini ditandai dengan peristiwa yang menimpa anak dari Mapihan, yaitu ketika
si anak sedang asyik memainkan boneka buaya yang dibuat oleh Mapihan, tiba-tiba buaya tadi
menjelma menjadi seekor buaya besar dan langsung menekam si anak tadi. Setelah klimaks, alur
kemudian dilanjutkan ke bagian akhir yang terdiri dari leraian (falling action) dan selesaian

262
(denouement). Bagian ini merupakan penutup dari cerita Tabuan Ranggas. Bagian akhir dari cerita
ini menggambarkan bagaimana keadaan buaya yang telah menerkam kulit labu putih berisi
bara api yang diberikan oleh Mapihan untuk membalaskan dendamnya kepada buaya tersebut.

Latar atau Setting


Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, latar atau setting meliputi tempat, ruang,
waktu, termasuk juga lingkungan dari suasana terjadinya peristiwa. Dalam cerita rakyat Tabuan
Ranggas dijumpai beberapa latar seperti tempat, waktu, dan suasana yang berhubungan dengan
cerita, latar satu sama lain mempunyai hubungan atau keterkaitan. Satu per satu latar tersebut
akan diuraikan di bawah ini.
a. Latar tempat meliputi hutan dan sumur
b. Latar waktu meliputi sore dan pagi hari
c. Latar suasana meliputi mistis, kecemasan, kemarahan

Perwatakan
Mapihan dapat digolongkan sebagai tokoh sentral atau sebagai tokoh utama dalam cerita
ini. Dari awal cerita sampai akhir, namanya paling sering disebut, bahkan untuk mengetahui
jalan cerita ini sama halnya dengan mengikuti atau menelusuri perkembangan tokoh ini. Mapihan
adalah seorang pekerja keras. Ia bertani dan juga seorang pemburu hewan terutama burung,
semua pekerjaannya ia lakukan untuk mencukupi kehidupan keluarganya. Sebagai seorang suami
Mapihan sangat bertanggung jawab dan sayang kepada istrinya. Setiap hari ia pergi ke hutan,
berburu, bertani, bercocok tanam di ladang untuk mencukupi kebutuhan hidup akan tetapi ia
selalu ingat akan istrinya sehingga ia tak akan berlama-lama meninggalkan istrinya sendiri di
rumah. Selain itu, Mapihan juga merupakan sosok yang gigih dan tidak mudah menyerah kepada
takdir hal ini jelas terlihat ketika ia memutuskan untuk membawa istri dan anaknya untuk tinggal
di dataran tinggi agar jauh dari sungai dan sumber mata air sehingga anaknya akan terhindar
dari firasat buruk. Selain kelebihan-kelebihan yang dimilikinya, Mapihan juga mempunyai
kelemahan, yaitu dia seorang yang pendendam, sifat ini terlihat ketika Mapihan mengetahui saat
anaknya sudah tidak ada dan ia yakin bahwa anaknya di terkam buaya akhirnya ia mengambil
kulit labu putih yang diisi dengan bara api dan ia berikan kepada buaya untuk membalaskan
dendamnya. Tokoh kedua dalam cerita rakyat Tabuan Ranggas adalah anak. Anak merupakan
tokoh tambahan dalam cerita ini. Tokoh anak merupakan tokoh yang sedikit memegang peran
pada cerita ini tapi secara dramatik tokoh anak dapat dilihat perwatakannya, yaitu ia memiliki
sifat manja. Tokoh ketiga, yaitu Tabuan Ranggas yang merupakan seekor buaya jelmaan dari
sebuah mainan buaya yang terbuat dari pelepah kelapa. Tabuan Ranggas digambarkan melalui
ciri-ciri fisiknya, yakni bertubuh besar. Dalam cerita, Mapihan memberikan kulit labu putih yang
berisi bara api kepada Tabuan Ranggas untuk membalaskan dendamnya. Karena serakah, akhirnya,
Tabuan Ranggas pun menerkam kulit labu putih tersebut hingga menyebabkan ia mati.

Analisis Fungsi
Sebagai Alat Pengesahan Pranata-Pranata dan Lembaga Kebudayaan
Dalam cerita Tabuan Ranggas terdapat peristiwa kasusuban (tertancap benda tajam) yang
dialami oleh makhluk halus penunggu pohon akibat tertancap tombak Mapihan, yang
mengakibatkan mereka merasa terganggu, sehingga mereka mengatakan bahwa istri Mapihan
akan melahirkan seorang anak dan anak tersebut akan mati diterkam oleh buaya, karena Mapihan
takut hal itu akan terjadi, ia berusaha sedemikian rupa untuk menjauhkan anaknya dari firasat
itu, walau pada akhirnya firasat itu benar-benar terjadi. Hal tersebut menggambarkan cerita rakyat
263
Tabuan Ranggas mengandung hal gaib. Peristiwa gaib yang dialami tokoh merupakan pencerminan
kepercayaan masyarakat setempat akan hal-hal gaib. Nawawi (2011) mengatakan bahwa makhluk
halus merupakan sebutan untuk makhluk yang berada di alam gaib. Selain itu, bagi sebagian
masyarakat suku bangsa Banjar, hutan belantara, semak belukar dan gunung bukan semata-
mata dihuni oleh makhluk bumi melainkan juga didiami oleh makhluk gaib, binatang gaib, datu,
dan sebagainya. Lingkungan kehidupan manusia merupakan personifikasi dunia gaib, sehingga
di kalangan sebagian masyarakat Banjar dikenal istilah bumi lamah dan untuk bumi rata adalah
dunia bagi makhluk gaib yang bertempat tinggal di hutan belukar, tanah rawa, dan lain sebagainya.
Konon keberadaan makhluk halus ada di sekitar kita, mereka bisa mengetahui keberadaan
manusia tapi manusia tidak dapat merasakan keberadaannya. Oleh karena itu, manusia harus
menjaga sikap dimana pun dia berada agar terhindar dari marabahaya, karena selayaknya
manusia, makhluk halus juga bisa merasa terganggu apabila manusia mengusik keberadaannya.
Hal itu sangat dipercaya oleh masyarakat Banjar, khususnya masyarakat Tabalong. Bukti dari
realisasi kepercayaan terhadap hal itu membentuk paradigma masyarakat, yaitu apabila seseorang
memasuki tempat yang sepi yang jauh dari keramaian dan dianggap di sana terdapat makhluk
halus penunggu tempat tersebut, seperti hutan, pohon, gunung, dan lain sebagainya, kita harus
bersikap sopan, tidak sembarangan berkata-kata apalagi dalam bertindak, bahkan dalam
masyarakat Tabalong biasanya diiringi dengan ucapan “permisi datuk, saya mau lewat.” Ucapan
tersebut ditujukan kepada makhluk gaib yang mungkin berada di tempat itu meskipun manusia
tidak melihat wujudnya.
Selain proyeksi masyarakat akan hal-hal gaib, cerita rakyat Tabuan Ranggas juga
memproyeksikan adanya hal-hal pralogis yang dipercaya masyarakat setempat, yakni saat mainan
buaya yang dibuat oleh Mapihan dari pelepah kelapa yang menjelma menjadi seekor buaya
besar dan langsung menerkam anak Mapihan. Peristiwa dalam cerita tersebut menimbulkan
anggapan dalam masyarakat, yaitu seekor buaya yang mempunyai kesaktian atau buaya gaib
dapat muncul dari mana saja. Apabila seekor buaya ingin memunculkan dirinya jangankan di
sungai atau sumur yang kecil, dalam secangkir air pun ia dapat muncul.
Cerita rakyat ini juga membenarkan sekaligus mengesahkan pranata dan lembaga
kebudayaan yang terdapat pada kebudayaan tersebut. Koentjaraningrat mengklasifikasikan
lembaga sosial atau pranata-pranata kemasyarakatan menjadi delapan macam, salah satunya
adalah pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk mata pencaharian hidup
(economic institution). Salah satu unsur kebudayaan, yaitu mata pencaharian hidup dan sistem-
sistem ekonomi yang meliputi pertanian, peternakan, sistem produksi, dan lain-lain. Sistem mata
pencaharian hidup dalam hubungannya dengan unsur-unsur kebudayaan terfokus pada masalah-
masalah tradisional, yaitu berburu dan meramu, beternak, bercocok tanam di ladang, menangkap
ikan, dan lain-lain. Masyarakat Tanta, khususnya bagi masyarakat yang rutinitas setiap hari
menyatu dengan alam, baik itu berburu, bercocok tanam, beternak, maupun aktivitas pemanfaatan
alam lainnya yang tujuannya untuk memenuhi kebutuhan hidup dikenal istilah mamulut, yaitu
menjerat burung dengan alat jerat yang disebut pulut dan masih terus dilestarikan sampai saat ini
oleh sebagian kecil masyarakatnya.

Sebagai Alat Pendidikan Anak (Pedagogical Device)


Cerita rakyat sebagai alat pendidikan anak adalah suatu yang sangat umum dalam kehidupan
masyarakat di Indonesia. Cerita rakyat Tabuan Ranggas memiliki pesan moral yang berguna untuk
diketahui anak-anak. Pertama, dalam bertindak atau melakukan sesuatu kita harus hati-hati,
cermat, dan waspada dimana pun, kapan pun, dan dengan siapapun. Kedua, sifat kerja keras dan
pantang menyerah Mapihan perlu diteladani, yakni bagaimana seorang Mapihan berladang,
264
berburu setiap hari tanpa kenal lelah untuk menghidupi keluarganya dan sifat pantang menyerah
yang ia miliki, hal itu tergambar ketika Mapihan tidak begitu saja menyerah kepada takdir dengan
mengambil suatu tindakan, ia membawa anak dan istrinya untuk tinggal ke dataran yang tinggi.
Hal itu menggambarkan betapa Mapihan seorang yang pantang menyerah dan ia gigih berusaha
karena sebagai manusia sudah seharusnya kita berusaha walaupun Tuhan juga yang menentukan
segalanya. Walaupun demikian, kita dapat mengambil pesan moral dari kejadian itu, yakni sebagai
anak, kita harus patuh kepada orang tua karena orang tua pasti menginginkan kebaikan untuk
anaknya. Pada dasarnya, anak-anak adalah sosok yang selalu ingin tahu akan apa yang ada di
sekitarnya sehingga kadang tidak mengindahkan nasihat orang lain atau apa yang dikatakan
oleh orang tua. Padahal keingintahuannya itu mungkin saja bisa membahayakan dirinya maupun
orang di sekitarnya.

Sebagai Alat Pemaksa dan Pengawas


Anggota Kolektif pada Masyarakat seperti pada akhir dari cerita Tabuan Ranggas yang
menceritakan bahwa buaya itu mati dan tubuhnya menjelma menjadi tanah seluas 400 meter
yang berbentuk tubuh buaya dan dikelilingi oleh sungai sehingga tanah tersebut jelas sekali terlihat
menyerupai tubuh buaya. Konon, cerita yang beredar dalam masyarakat bahwa sampai sekarang
apabila sungai di Tabalong pasang mencapai ketinggian maksimal, terdapat banyak buaya yang
berkeliling di sungai yang mengelilingi tungkung buaya tersebut. Hal ini dipercaya oleh masyarakat
sekitar karena ada saksi mata yang melihat langsung peristiwanya, saksi mata tersebut adalah
seorang penangkap ikan, saat itu ketika sungai pasang ia memasang hampang, yaitu alat penjaring
ikan di salah satu sisi sungai yang mengelilingi tungkung buaya, dalam beberapa hari keadaan
air sungai pasang, ia berniat ingin melihat hampangnya, ternyata alangkah terkejutnya ia setelah
melihat banyak buaya yang naik ke daratan karena tidak bisa melewati hampang yang dipasangnya
dan kemudian turun lagi ke sungai, mereka berkeliling-keliling tungkung buaya tersebut dan hal
itu mereka lakukan berkali-kali sehingga dikaitkanlah peristiwa tersebut dengan cerita Tabuan
Ranggas yang merupakan nama dari seekor buaya di dalam cerita tersebut. Menurut masyarakat
setempat bahwa buaya-buaya tersebut berziarah kepada Tabuan Ranggas. Hal ini juga berperan
dalam melestarikan cerita Tabuan Ranggas, selain cerita tersebut memiliki artefak berupa tanah
menonjol yang disebut tungkung buaya tadi, secara disadari atau tidak hal ini berfungsi untuk
memaksa masyarakat kolektifnya untuk mempercayai cerita sehingga masyarakat melestarikan
tempat yang disebut tungkung buaya sekaligus melestarikan cerita tersebut.

Sebagai Hiburan dan Media Komunikasi


Dari fungsi yang dikemukakan oleh Hutomo, peneliti menemukan satu fungsi yang terdapat
pada cerita rakyat Tabuan Ranggas, yaitu sebagai alat untuk melarikan diri dari himpitan hidup
sehari-hari atau untuk hiburan semata. Sastra lisan sebagai suatu ekspresi kesusasteraan warga
suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan, pada dasarnya juga
digunakan sebagai hiburan untuk mengisi waktu senggang. Kebiasaan masyarakat Melayu
khususnya masyarakat Banjar pada saat sela-sela waktu jeda atau istirahat berladang, diisi mereka
dengan bercerita tentang cerita-cerita rakyat. Pada zaman dahulu, cerita rakyat juga sering
dituturkan oleh pencerita saat acara pangantinan, saprah amal, bairik banih, dan lain-lain. Di samping
memiliki fungsi hiburan, fungsi ini juga mengacu sebagai media komunikasi. Cerita rakyat yang
diceritakan di tengah masyarakat pada saat berkumpul atau saat acara tertentu akan menjalin
kebersamaan dan menjaga komunikasi di antara satu dan lainnya.

265
Nilai Budaya dalam Hubungan Manusia dengan Dirinya
Menambah Pengetahuan Hidup
Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang selalu ingin mengetahui dan mencoba sesuatu
hal yang baru. Dalam menjalani dan mencoba hal-hal baru tersebut, manusia dihadapkan oleh
banyaknya cobaan dan kesulitan hidup. Dalam cerita rakyat Tabuan Ranggas terdapat nilai budaya
sebagai pribadi, dalam hal ini, yaitu menambah pengetahuan hidup. Dari cerita diketahui bahwa
Mapihan berusaha untuk menghindari firasat buruk yang kemungkinan besar akan menimpa
anaknya, yaitu dengan menjauhi sungai yang merupakan habitat dari buaya, ia harus pindah ke
dataran yang tinggi walaupun harus meninggalkan hutan tempatnya mencari penghidupan dan
memulai hidup baru di daerah yang baru, tidak ada sumber air maupun ladang untuk bercocok
tanam lagi. Tentu itu merupakan kesulitan yang harus dihadapinya, tetapi ia pantang menyerah,
ia tetap bertekad bulat untuk mempertahankan kehidupan keluarganya.

Membina Disiplin Pribadi


Salah satu kewajiban terhadap diri sendiri adalah menempa diri sendiri, melatih diri sendiri
untuk disiplin pribadi. Disiplin pribadi membutuhkan sifat dan sikap yang terpuji yang disertai
dengan kesabaran, ketekunan, kerajinan, kesetiaan, tabah, dan lain-lain, sifat bagi pembinaan
pribadi. Dalam cerita Tabuan Ranggas terdapat nilai budaya yang menjelaskan hubungan manusia
dengan dirinya dalam hal membina disiplin pribadi. Mapihan dengan tekun mengerjakan tugas
sehari-harinya untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Tidak mengenal lelah. Sifat-
sifat tersebut merupakan sifat positif yang berguna untuk pembinaan disiplin diri. Selain itu,
Mapihan juga mempunyai kesetiaan.

Nilai Budaya dalam Hubungan Manusia dengan Alam


Memanfaatkan Alam
Alam merupakan sumber kehidupan yang menyimpan kekayaan untuk dimanfaatkan oleh
manusia. Manusia mengolah alam untuk keberlangsungan hidupnya. Dalam cerita Tabuan Ranggas
terdapat nilai budaya yang menjelaskan hubungan manusia dengan alam, yaitu dalam hal
memanfaatkan alam. Dalam cerita digambarkan bahwa Mapihan dan masyarakat pada saat itu
memanfaatkan alam untuk bertahan hidup. Dari mulai berladang sampai berburu. Menanam
sayur mayur, bertani, berburu binatang, semua dilakukan dengan memanfaatkan alam. Alam
merupakan sumber kehidupan yang utama untuk Mapihan setiap hari aktivitasnya dari pagi
sampai petang dilakukan di hutan. Hal itu ia lakukan untuk menghidupi keluarganya.

Tidak Merusak Alam


Antara manusia dan alam terjalin suatu hubungan. Manusia menyesuaikan diri dengan alam
untuk kepentingan dirinya. Seperti halnya Mapihan yang menyesuaikan diri dengan lingkungan
tempat tinggalnya. Saat tinggal di hutan, ia bercocok tanam di ladang dan berburu binatang dan
sampai akhirnya ia berpindah ke dataran tinggi yang jauh dari mata air, ia harus membuat sumur
dan mengolah lahan baru untuk bercocok tanam. Hal tersebut menggambarkan bagaimana jalinan
hubungan antara manusia dan alam, yaitu berupa penyesuaian diri yang dilakukan Mapihan
terhadap alam yang memberinya penghidupan. Selain itu, bentuk hubungan manusia dan alam
yang tergambar pada cerita tersebut, yaitu ketika Mapihan menaruh pulut pada pohon, ia memilih
untuk menempelkan pulutnya pada pohon yang sudah tidak berdaun dan hampir mati (tidak
produktif) agar tidak merusak pertumbuhan pohon yang masih muda, rindang, dan produktif.
Selain itu, burung-burung juga lebih suka bertengger di ranting pohon yang sudah tua. Hal tersebut
menggambarkan bahwa hubungan manusia dengan makhluk hidup lainnya mempunyai

266
hubungan timbal balik yang saling memberikan manfaat sehingga membentuk suatu
keharmonisan di alam semesta.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Dari hasil penelitian cerita rakyat Tabuan Ranggas, diketahui struktur yang berupa unsur-
unsur intrinsik yang membangun cerita, fungsi cerita tersebut di kalangan masyarakat, dan nilai
budaya yang terkandung. Berikut kesimpulannya.
1) Unsur-unsur intrinsik meliputi tema dan amanat, alur, latar, perwatakan.
2) Fungsi cerita rakyat Tabuan Ranggas adalah sebagai sistem pengesahan pranata dalam
masyarakat, alat pendidikan anak, pemaksa anggota kolektif masyarakat, dan sebagai sarana
hiburan dan komunikasi.
3) Nilai budaya dalam cerita rakyat Tabuan Ranggas, yaitu nilai budaya dalam hubungan
manusia dengan dirinya yang meliputi menambah pengetahuan hidup dan membina disiplin
pribadi. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan alam yang meliputi memanfaatkan
alam dan tidak merusak alam.

Saran
Dari hasil penelitian, peneliti melihat bahwa cerita rakyat Tabuan Ranggas memiliki nilai dan
fungsi yang berharga, baik secara moral maupun filosofis sehingga dapat dijadikan sebagai cermin,
pelajaran, dan teladan untuk diri kita. Dengan alasan ini, peneliti sangat menyarankan agar
penelitian terhadap folklor, khususnya cerita rakyat agar lebih ditingkatkan lagi supaya kearifan
budaya lokal tetap terjaga di tengah zaman yang terus berkembang.

267
DAFTAR RUJUKAN

Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: PPPB Dep. P
dan K.
Danandjaya, James. 1997. Folklor Indonesia. Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Pustaka
Grafiti Utama.
Djamaris, Edwar. 1990. Menggali Khazanah Sastra Melayu Klasik. Jakarta: Balai Pustaka.
Koentjaraningrat.1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Nawawi, Ramli. 2011. Unsur Kepercayaan dalam Masyarakat Banjar di Kalimatan
Selatan.Artikel.http://ramlinawawiutun.blogspot.com/2011/09/unsur-kepercayaan-dalam-
masyarakat.html
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

268
NILAI BUDAYA DALAM MANTRA BANJAR
(CULTURAL VALUE IN BANJARESE MANTRA)

Khairur Rohim dan Rustam Effendi


Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Brigjend.
H. Hasan Basry, Kampus Kayu Tangi, Banjarmasin, Kode Pos 70123,
e-mail rustameffendi@yahoo.co.id

Abstract

Cultural Value in Banjarese Mantra. Mantra Banjar is one mantra that is not much
different from a spell in the Indonesian literary utterances that are considered to have
supernatural powers. As the literature Mantra Banjar area contains cultural value.
Cultural value is a reference or something that is considered valuable in the life of society.
The focus of this study include Banjar cultural values related to man’s relationship
with God, man’s relationship to his fellow man, man’s relationship with self, and man’s
relationship with nature. The method used is descriptive method. The data collection
techniques using literature. Data processed by content analysis technique. The results of
this study indicate that cultural values contained in Banjar mantra is 1) with respect to
man’s relationship with God include: the value of Islamic influence and the influence of
other beliefs, 2) cultural value contained in Banjar spells related to human relationships
with each other include: value mutual help, love and respect someone, 3) cultural value
contained in Banjar spells related to human relationships with yourself include: value
yourself and always keep careful; 4) cultural value contained in Banjar mantra associated
with man’s relationship to nature include: human values and human nature united to
conquer or to utilize the natural. In connection with these results, the researchers say a
few suggestions, the preservation of culture by making the oral literature of a regional
literature as a literary subject areas, more research on oral literature Banjar and hopefully
can add insight to researchers and young Banjar.

Keywords: cultural values , banjarese mantra

Abstrak

Nilai Budaya dalam Mantra Banjar. Mantra Banjar merupakan salah satu mantra
yang tidak jauh beda dengan mantra dalam kesusasteraan indonesia yaitu ucapan-
ucapan yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Sebagai sastra daerah Mantra Banjar
mengandung nilai budaya. Nilai budaya merupakan acuan atau sesuatu yang dianggap
bernilai di dalam kehidupan masyarakat. Fokus penelitian ini meliputi nilai budaya
Banjar yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia
dengan sesamanya, hubungan manusia dengan diri sendiri, dan hubungan manusia
dengan alam. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Pengumpulan data
mengunakan teknik studi pustaka. Data diolah dengan teknik analisis isi. Hasil penelitian
ini menunjukan bahwa nilai budaya yang terdapat dalam mantra Banjar adalah 1)
berkenaan dengan hubungan manusia dengan Tuhan meliputi: nilai pengaruh Islam
dan pengaruh kepercayaan lain; 2) nilai budaya yang terdapat dalam mantra Banjar
yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan sesamanya meliputi: nilai tolong-
menolong, kasih sayang dan menghormati seseorang; 3) nilai budaya yang terdapat
dalam mantra Banjar yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan diri sendiri
meliputi: nilai jaga diri dan selalu berhati-hati; 4) nilai budaya yang terdapat dalam

269
mantra Banjar yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan alam meliputi: nilai
manusia yang bersatu dengan alam dan manusia yang menaklukan atau
mendayagunakan alam. Sehubungan dengan hasil penelitian ini, peneliti
menyampaikan beberapa saran, yakni pelestarian budaya dengan menjadikan sastra
lisan suatu sastra daerah sebagai mata pelajaran kesusastraan daerah, penelitian lebih
lanjut tentang sastra lisan Banjar dan semoga dapat menambah wawasan bagi peneliti
dan generasi muda Banjar.

Kata-kata kunci: nilai budaya, mantra banjar

PENDAHULUAN
Sastra menjadi cerminan dari berbagai aspek kehidupan, serta tatanan antarmanusia. Maka
dari itu sastra merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat. Menurut Robson (1994: 9-7),
kebudayaan adalah kumpulan adat kebiasaan, pikiran, kepercayaan, dan nilai-nilai yang turun-
temurun serta dipakai oleh masyarakat pada waktu tertentu untuk menghadapi dan menyesuaikan
diri terhadap segala situasi yang sewaktu-waktu timbul, baik dalam kehidupan individu maupun
dalam hidup masyarakat secara keseluruhan. Pada zaman sekarang, masyarakat kurang mengenal
sastra, terutama sastra di daerah sendiri yang dulu merupakan konsumsi keseharian yang
mencerminkan kearifan lokal masyarakat dan sangat mempengaruhi kepekaan adat istiadat.
Mantra merupakan bentuk puisi lama yang kata-katanya dianggap mengandung hikmat
dan kekuatan gaib. Karena itu, harus tersimpan rapi di benak dan di dalam buku-buku suci
penggunanya. Di samping itu, mantra juga merupakan sastra daerah yang sebagian besar
menggunakan media bahasa lisan sehingga disebut sastra lisan (Effendi & Sabhan, 2007: 2).
Kekhasan budaya itu tercermin pula dalam karya sastra daerah. Karya sastra daerah adalah
karya sastra yang menampilkan warna budaya daerah. Warna budaya daerah dalam sastra daerah
terlihat dari bahasa yang digunakan (bahasa daerah), nama dan karakter tokoh, latar cerita, dan
kata-kata atau ungkapan-ungkapan daerah, dan lain-lain. Sastra daerah tergolong sastra lama
atau sastra tradisional, yakni “sastra yang dihasilkan masyarakat yang masih dalam keadaan
tradisional, masyarakat yang belum memperhatikan pengaruh barat secara intensif” (Baried,
dkk, 1985: 9).
Sastra daerah juga dimiliki oleh masyarakat Banjar, yakni sastra yang menggunakan bahasa
Banjar, yang di dalamnya memiliki nilai lokal (keBanjaran), di samping nilai nasional dan nilai
universal (Effendi dan Sabhan, 2007: 2). Umumnya, sastra banjar berupa sastra lisan yang hanya
disampaikan secara lisan dari mulut ke mulut sehingga masyarakat pemilik sastra lisan itu sendiri
yang menentukan nasib suatu bentuk sastra lisan untuk tetap eksis ataupun punah.
Salah satu sastra lisan Banjar adalah mantra. Mantra tidak dikenal dalam masyarakat Banjar.
Walaupun demikan, tidaklah berarti bentuk mantra tidak dijumpai dalam masyarakat Banjar.
Orang Banjar menyebutnya bacaan. Selain dari bacaan, dikenal pula istilah tiupan, isim, penawar,
sumpah, dan sebutan lainnya yang sebenarnya pengertiannya sama dengan pengertian mantra
dalam kesusasteraan Indonesia (Sunarti, dkk 1978: 162).
Menurut Trenholm dan Jensen (1996: 387), budaya merupakan seperangkat nilai,
kepercayaan, norma, adat, aturan, dan kode yang disosialisasikan dalam sebuah masyarakat dan
diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya melalui suatu kesepakatan. Koentjaraningrat
(1984: 8–25) mengemukakan bahwa nilai budaya itu adalah tingkat pertama kebudayaan ideal
atau adat. Nilai budaya adalah lapisan paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Jadi, nilai budaya
adalah suatu yang dianggap sangat berpengaruh dan dijadikan pegangan bagi suatu masyarakat.
Mendukung pernyataan di atas, Djamaris (1996: 3) mengungkapkan bahwa nilai budaya adalah
270
tingkat pertama kebudayaan ideal atau adat, dan merupakan lapisan paling abstrak dengan ruang
lingkup dalam kehidupan masyarakat. Nilai budaya dalam suatu karya sastra sudah berada di
luar struktur karya itu sendiri, tetapi mengarah kepada makna sebuah teks sastra itu sendiri.
Budaya itu memberikan arti kepada semua usaha dan gerak-gerik manusia dan makna-makna
kebudayaan. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam
mantra-mantra Banjar yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan
manusia dengan sesamanya, hubungan manusia dengan diri sendiri, dan hubungan manusia
dengan alam.

METODE
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif, sedangkan
jenis penelitian yang digunakan adalah peneltian kualitatif artinya data yang dianalisis dan hasil
analisisnya berbentuk deskripsi dan bukan berupa angka-angka. Pengkajian ini bertujuan
mengungkap berbagai informasi kualitatif dengan pendeskripsian yang teliti dan mengambarkan
secara cermat sifat-sifat suatu hal (individu/kelompok).
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik studi pustaka. Teknik studi
pustaka adalah penelitiaan atau penyelidikan ilmiah terhadap semua buku, karangan atau tulisan
mengenai suatu bidang ilmu, topik, gejala atau kejadian (Moeliono, 1990: 713). Setelah terkumpul,
data kemudian diolah dengan menggunakan teknik analisis isi (content analysis). Teknik analisis
isi adalah suatu teknik untuk mengungkapkan nilai-nilai dan makna dalam suatu karya yang
berfokus pada pemahaman isi, pesan atau gagasan pengarang (Yunus, 1990: 5).
Dalam proses pengolahan data langkah-langkah yang dilakukan sebagai berikut. Pertama,
membaca mantra Banjar pada buku Sastra Lisan Banjar yang menjadi objek penelitian secara
berulang-ulang agar didapat pemahaman yang lebih mendalam. Kedua, mengumpulkan mantra
Banjar yang menurut peneliti di dalamnya mengandung nilai budaya. Ketiga, menandai bagian-
bagian mantra Banjar yang berhubungan dengan nilai budaya masyarakat Banjar atau pokok
kajian. Dan keempat, mengungkapkan dan menganalisis nilai budaya dalam mantra Banjar.
Sumber data dalam penelitian ini adalah buku Sunarti, dkk. (1978) yang berjudul Sastra Lisan
Banjar dan diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa, Jakarta yang berisi
dokumentasi sastra lisan Banjar.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Setiap mantra Banjar memiliki suatu makna yang dalam. Setiap makna merupakan cerminan
kebudayaan yang khas, baik dalam penggunaan maupun isinya pada mantra Banjar tersebut
yang merupakan wujud suatu nilai budaya.

Nilai Budaya dalam Hubungan Manusia dengan Tuhan


Pengaruh Islam
Kehadiran agama Islam memberikan corak baru pada mantra Banjar yang seluruh bahannya
berasal dari ajaran Islam, seperti halnya mantra Banjar yang keseluruhan menggunakan bahasa
Arab. Mantra seperti ini jelas bukan asli milik masyarakat Banjar. Hal ini disebabkan karena
Islam baru dikenal oleh masyarakat setempat ketika agama tersebut disebarkan kepada mereka.
Sebagai contoh, seluruh bacaan pada mantra menolak bahaya dari gigitan ular diambil seluruhnya
dari bahasa Arab berikut kutipannya:

271
Mantra menolak bahaya dari gigitan ular
salamun’ala nuuhun fil’aalamiin
salamun’ala nuuhun fil’aalamiin
salamukum fil‘aalamiin
assalaamun alaikum nukum fil’aalamiin
Mantra ini memberikan nilai budaya Islam yang khas dengan memasukkan bahasa Arab
secara nyata dan mengaplikasikannya sebagai mantra. Di samping pengaruh tersebut, masuknya
agama Islam memberi corak baru dalam kebudayaannya antra lain:

Keagamaan
Kebiasaan religius memperjelas dan mengungkapkan kepercayaan religi yang berfungsi
mengkomunikasikannya ke dunia luar yang merupakan perwujudan dari usaha warga atau
masyarakat untuk berkomunikasi dengan Tuhan yang mereka yakini ada di sekitar hidupnya.
Dalam mantra, terdapat pokok-pokok kewajiban Islam tergambar dalam rukun Islam yang
pertama yakni kewajiban mengucapkan kalimat syahadat walaupun tersingkat menjadi: Barkat
laailaahaillallaah Muhammadarrasuulullaah dengan berkat atau karna Allah Swt. dan Rasulullah
mantra dapat menjadi kenyataan dan tidak menggantungkan pada kekuatan lain selain dari
pada-Nya. Orang Banjar setiap memulai sesuatu pekerjaan, makan, dan lain-lain harus diawali
dengan mengucapkan Bismillahirahmaanirrahiim yang sudah menjadi budaya Banjar. Seperti
halnya terlihat pada kutipan-kutipan dari mantra Banjar berikut pada bait pertama dan terakhir.
Mantra kekebalan ini dibaca sebelum berkelahi. Setelah dibaca, ditiupkan ketangan dan
diusapkan ke muka.
bismillahirahmaanirrahiim
Naga ulit naga umbang
katiga Naga pertala
barkat laailaahaillallaah
Muhammadarrasuulullaah
Sebagian kutipan mantra di atas, yakni Bismillahirahmaanirrahiim dan barkat laailaahaillallaah
Muhammadarrasuulullaah yang berada di awal dan di akhir mantra menggambarkan akan nilai
budaya masyarakat Banjar yang masih menjunjung unsur religius yang dipadukan dengan tradisi.

Suka Berdoa
Mantra merupan doa yang diciptakan masyarakat Banjar untuk kepentingan manusia, nilai
tersebut secara langsung terkait dengan penerapan ajaran Islam. Meminta perlindungan terhadap
sang pencipta itu tergambar amat penting agar terhindar dari gangguan jin dan mahluk jahat
yang ada dalam diri manusia seperti yang terekam dalam
Mantra sangga atau penahan berikut:
Allahumma jaktartu Jin dan Mahluk tersurat di bawah arasyku
dindingku Allah payungku Muhammad aku berpagar rasulullah
aku menggunakan kalimat dua syahadat
asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadarrasuulullah
aku telah masuk ke dalam kelambu Baitullah dikuliling ulih Rasulallah
jikalau parbuatan di bumi kambali kapada bumi
jikalau parbuatan di air kambali kapada air
jikalau parbuatan d angin kambali kapada angin

272
jikalau parbuatan jin dan makhluk kambali kapada jin dan makhluk
jikalau parbuatan barang suatu kambali kapada kapada sasuatu juga
Allah yang mangambalikan Allah pula yang manyalamatakan
tajam lincir tartinggal lulus luncur luncup lincir tapalur talulus luncur
lincir luncur pacul saluruh panyakit dalam tubuhku
luncur lincir luncur pacul sagala jin dan makhluk akan babuat jahat dalam diriku
barkat La Ilaha Illallah Muhammadarrasulullah
Pada mantra bagian ini Allah diposisikan sebagai dinding atau pagar penahan dan Muhammad
sebagai payung pelindung. Kedudukan sebuah mantra bagi orang Banjar biasanya berada pada
tataran bacaan atau doa seperti halnya mantra di atas yang menggambarkan jelas sebuah nilai
budaya bahwa masyarakat Banjar senantiasa meminta pertolongan kepada sang kuasa.

Pengaruh Keyakinan lain


Kedatangan pengaruh Hindu-Budha telah mewarnai kepercayaan tradisional masyarakat
Banjar yang telah ada. Di dalam mantra untuk mengobati orang yang termakan racun pada
baris pertama yang merupakan pinjaman dari kata Sanskerta melalui agama Hindu. Munculnya
unsur kepercayaan Hindu dalam mantra menunjukan bahwa ada sisa kepercayaan agama itu
yang hidup dimasyarakat. Untuk lebih jelasnya perhatikanlah kutipan mantra di bawah ini.
Mantra untuk Mengobati Orang yang Termakan Racun
hai Sanghiang beruntuk bajauh ikam,
jangan paraki anak Adam
ikam kusumpahi
Barkat Laa Ilaaha Illallah
Muhammadarrasuulullah
Dari kata Sanghiyang yang terdapat dalam mantra di atas dapat dikatakan mantra ini
menunjukan pengaruh nilai budaya Hindu atau kepercayaan dalam masyarakat Banjar sebelum
masuknya agama Islam.

Nilai Budaya dalam Hubungan Manusia dengan Sesamanya


Hubungan sosial masyarakat Banjar dapat tercermin dari mantra yang menggambarkan
corak hubungan sosial masyarakat pengamalnya.

Tolong-menolong
Menolong dalam hal ini dimaksudkan membantu seseorang dengan hati yang tulus iklas.
Dalam kaitan ini kehidupan sehari-hari masyarakat Banjar memiliki mantra yang berfungsi
sebagai obat atau sebagai penawar. Biasanya mantra–mantra seperti ini dikuasai oleh dukun atau
tabib maupun pawang yang biasanya bersedia untuk memberikan jasa-jasa baiknya kepada orang
lain yang ditimpa suatu penyakit. Untuk lebih jelasnya berikut mantra yang berfungsi
menyembuhkan berbagai penyakit.
Mantra untuk Menyembuhkan Penyakit Perut
bismillahirahmaanirrahiim
pucuk segala pucuk
pucuk kayu-kayuan
sakit perut mencucuk-cucuk
dicabut hilang kada ketahuan

273
barkat Laailaahaillallaah
Muhammadarrasuulullaah
Dilihat dari fungsinya, kedua mantra di atas menerapkan nilai saling tolong menolong atas
sesama ini menunjukan salah satu nilai budaya masyarakat Banjar yang harus terjaga sampai
sekarang.

Kasih Sayang
Perihal kasih sayang dalam mantra, yaitu memberikan dorongan untuk saling menyayangi
antara sesama yang merupakan suatu sifat terpuji dan sangat digalakkan bagi setiap individu
masyarakat Banjar. Jelasnya perhatikan mantra di bawah ini.
pur sinupur
kaladi lampuyungan
lamun anakku sudah bapupur
banyak lakian nang karindangan
Contoh mantra di atas biasanya diucapkan oleh seorang ibu sambil membedaki anaknya.
Dengan harapan banyak lelaki yang akan jatuh hati jikalau memandang wajah anaknya. Dapat
dilihat pada kalimat lamun anakku sudah bapupur banyak lakian nang karindangan yang terdapat
pada mantra dapat menjelaskan adanya harapan agar sang anak mendapat kasih sayang dari
orang lain yang merupakan wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks tingkah laku budaya
masyarakat Banjar.

Mengagumi Seseorang
Kekaguman akan seseorang yang diharapkan keberkatannya dalam mantra, yakni Siti
Fatimah anak Nabi Muhammad sekaligus istri Ali dan Umar Ibnu Khatab sebagai seorang
pemimpin serta bersahabat dengan nabi. Mantra berikut menyebutkan nama Siti Fatimah dimana
dalam pikiran Masyarakat Banjar menegaskan keutamaan Siti Fatimah sebagai tokoh yang cantik
dan memiliki kasih sayang yang tinggi.
Mantra Mandi Siti Fatimah
bismillahirahmaanirrahiim
mandiku mandi Siti Fatimah
air sakandi kucucurakan
barkat Laalaahallallaah
Muhammadarrasuulullaa

Penolak Orang Halus (Orang Gaib)


Ya gulam lari ikam kamini anak buah Umar Ibnu Khatab
apabila tidak awas ikam
Siti Fatimah dan Umar Ibnu Khatab menjadi sandaran untuk mendapatkan berkah dalam
mantra. Dipercayai dengan menyebut namanya di situlah terletak kekuatan mantra. Mantra ini
memberikan isi yang mementingkan sosok ideal atau suatu yang diimajinasikan atau dalam
pemikiran mereka sebagai simbol kecantikan dan kekuatan yang merupakan nilai budaya
masyarakat Banjar akan kebiasaan mengagumi seseorang.

274
Nilai Budaya dalam Hubungan Manusia dengan Diri Sendiri
Jaga Diri
Badan manusia juga dapat dimanipulasi hingga menyalahi tabiat alamiahnya seperti tidak
luka oleh senjata tajam dengan mengamalkan sebuah mantra. Orang Banjar mempunyai mantra
supaya tahan senjata tajam untuk berjaga-jaga suatu ketika harus berhadapan dengan musuh
yang hendak berniat jahat, berikut mantranya:
Naga ulit Naga umbang
katiga naga pertala
taguh kulit taguh tulang
katiga taguh sampai ka
karungkung Kapala
Berdasarkan fungsi dan isi mantra di atas menjelaskan bahwa seseorang akan kebal kulit
kebal tulang sampai kebatok kapala dan secara langsung menahan serangan dari senjata tajam.
Jelas tergambar masyarakat Banjar dengan berbagai cara melindungi diri mereka baik
menggunakan jimat maupun mantra hal ini mununjukan adanya budaya jaga diri dalam
masyarakat Banjar.

Selalu Berhati-hati
Mantra atau bacaan sebagai pencegah bahaya yang akan menimpa. Baik bahaya yang
datangnya dari hasil perbuatan manusia, binatang buas maupun datangnya dari alam. Masyarakat
Banjar mengenal bacaan atau mantra yang digunakan sebagai penolak bahaya atau penyakit
pada waktu yang tepat misalnya, waktu akan masuk hutan dan sebagainya. Di bawah ini
diterapkan bacaan yang berhubungan dengan pertahanan diri tersebut.
Mantra Sangga atau Penahan
Datu Tugug Ddatu Tugur
Guru mandak
Sanghiyang lalu lalu kawai
ikam bajauh ka rukun habang
ka rukun kuning ka rukun hirang
ikam jangan mamakan darah manusia
makanan ikam darah kijang binjangan
aku tahu ngaran ikam
cungap lawan cungup

Mantra Manulak Ular (Mantra Menjauhkan Ular)


Orang Banjar sering beraktivitas di lokasi yang rentan akan bahaya dari binatang buas
contohnya ular, orang Banjar memiliki mantra tersendiri untuk menjauhkan serangan ular tersebut.
Berikut di bawah ini kutipan mantranya:
Aria Luli bajauh nah, aku lalu
Budaya itu memberikan arti kepada semua usaha manusia yang sangat bernilai terutama
akan diri sendiri, mantra di atas menunjukan bahwa masyarakat Banjar memiliki kebiasaan akan
perlindungan diri. Mantra ini jelas memberikan nilai selalu berhati-hati agar terhindar dari segala
musibah.

275
Nilai Budaya dalam Hubungan Manusia dengan Alam
Manusia yang Bersatu dengan Alam
Dalam masyarakat Banjar, konsep penyatuan diri dengan alam ini merupakan konsep dasar
kebutuhan masyarakat Banjar terhadap lingkungan sekitarnya Penggunaan konsep-konsep gaib
atau kekuatan gaib yang ditimbulkan oleh alam dijadikan panduan dalam hidup masyarakat
Banjar. Kepercayaan akan adanya kekuatan yang dimiliki oleh sesuatu makhluk hidup yang ada
di alam di sekitar mereka menjadikan suatu yang gaib menjadi lumrah, misalnya penunggu
sungai atau penguasa sungai yang setiap saat bisa saja memangsa manusia. Konsep-konsep ini
terdapat dalam mantra masyarakat Banjar yang tergambar di bawah ini.
Bacaan menciptakan buaya
nangapa ni ngini buhayakah,
buhaya iakah,
ia nangngapa gunanya maanu
nangapa titisnya
nu... anu...
Memerintahkan buaya untuk menyambar orang
wahai Datu Astagal
bilamana kau bujur sakti
aku mambari lamak manis
lamak manis pambarianku
adalah lamak manis jadi
darah darah si...
Mantra menangkap buaya
bilamana kau kada maantar orang ini
lautan ini ku jadikan lautan api
atar oleh mu....
Beberapa konsep di atas menunjukan sosok buaya bagi masyarakat Banjar dianggap memiliki
nilai sakral yang tinggi karena biasanya menurut kepercayaan mereka, buaya ini memiliki
kekuatan gaib yang dapat dijadikan sebagai senjata. Penggunaan ini terlihat pada kutipan di atas
mulai dari penciptaan hingga penangkapan buaya. Jelas terlihat nilai budaya manusia yang bersatu
dengan alam baik secara nyata maupun gaib.

Manusia yang Menaklukkan atau Mendayagunakan Alam


Masyarakat Banjar mempergunakan alam demi kepentingan hidup atau kelangsungan hidup
mereka. Agar hasil lebih memuaskan, masyarakat Banjar sering menggunakan mantra-mantra
dalam memulai aktivitasnya. Pada saat menyadap pohon enau dan agar pohon itu mengeluarkan
air yang banyak, dibacalah mantra di bawah ini.
bismillaahirrahmaanirrahiim
sirmani Nur pada Nuriah Wallah
terbuka pintu surga terbuka pintu negeri Allah
siur-siur tarabang siang
baracak tarabang malam
manggarabak banyunya siang
mengucur banyunya malam
276
berilah Susu anak putri junjung buih
sampai muak
jangan sampai kalaparan
Ketiga mantra di atas pada hakikatnya mempunyai tujuan yang sama, yakni agar pohon
enau yang disadap itu banyak mengeluarkan air.
Mantra untuk Bertanam (Bertani)
bismillahirahmaanirrahiim
kun jada, kun jadi
asal ada awal jadi
ah....jadi
barkat Laalaahallallaah
Muhammadarrasuulullaah
Bacaan atau Mantra untuk Mengail Ikan (diucapkan sewaktu mata kail atau umpan
dimasukan ke dalam air). Bacaannya adalah sebagai berikut.
bismillahirahmaanirrahiim
amas mirah kusuma intan
baitnya emas umpannya intan
Nabi Khaidir pendahulu ikan
Nabi Muhammad membuat umpan
Hampir setiap aktivitas yang berpola dilakukan di sungai diantaranya memancing. Dalam
pemikiran masyarakat Banjar mantra di atas bertujuan agar ikan tertarik seperti halnya kutipan
isi dalam mantranya, yakni Baitnya emas umpannya intan dan Nabi Muhammad membuat umpan
kalimat inilah yang mengibaratkan umpan terbuat dari berlian dan Nabi Muhammad yang
membuatnya dengan begitu dapat memperoleh tangkapan ikan yang banyak.
Menurut jenis-jenis mantra di atas masing-masing memiliki fungsi meningkatkan saat
menyadap pohon enau, bertani, maupun memancing. Jelas, bahwa mantra di atas adalah sarana
pendukung dari nilai budaya Banjar yang memanfaatkan alam yang mencerminkan budaya
yang khas.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, nilai budaya di
dalam mantra Banjar yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan Tuhan meliputi nilai
pengaruh islam dan pengaruh kepercayaan lain; kedua, nilai budaya di dalam mantra Banjar
yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan sesamanya meliputi nilai tolong-menolong,
kasih sayang, dan menghormati seseorang; ketiga, nilai budaya di dalam mantra Banjar yang
berkenaan dengan hubungan manusia dengan diri sendiri meliputi nilai jaga diri dan selalu berhati-
hati; dan keempat, nilai budaya di dalam mantra Banjar berkenaan dengan hubungan manusia
dengan alam meliputi nilai manusia yang bersatu dengan alam dan manusia yang menaklukkan
atau mendayagunakan alam.

277
Saran
Adapun saran yang bisa diberikan oleh peneliti diantaranya agar nilai-nilai luhur suatu
kebudayaan tidak punah, perlu dilakukan pelestarian budaya dengan menjadikan sastra lisan
suatu daerah sebagai mata pelajaran di sekolah dan mengingat sastra lisan adalah cikal bakal
sastra nasional, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang sastra lisan, khususnya sastra lisan
Banjar.

278
DAFTAR RUJUKAN

Baried, Siti Baroroh, dkk. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Djamaris, Edwar. 1996. Menggali Kazanah Sastra Melayu Klasik (Sastra Indonesia Lama). Jakarta:
Balai Pustaka
Effendi, Rustam dan Sabhan. 2007. Sastra Daerah. Banjarmasin: PBS FKIP Universitas Lambung
Mangkurat
Koentjaraningrat 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Moeliono, Anton M. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Robson. 1994. Prinsip-Prinsip Filologi Indonesia. Jakarta: RUL
Sunarti, dkk. 1978. Sastra Lisan Banjar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Trenholm, Sarah & Jensen, Arthur. 1996. Interpersonal Communication. California: Wadsworth
Publishing Company.
Yunus, Ahmad, dkk. 1990. Kajian Analisis Hikayat Budistihara. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.

279
TINDAK TUTUR DALAM TRANSAKSI JUAL BELI
DI PASAR TUNGGING BELITUNG BANJARMASIN
(SPEECH ACT IN TRADING TRANSACTION IN PASAR TUNGGING BELITUNG
BANJARMASIN)

Siti Norhasuna dan Zakiah Agus Kusasi


Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Brigjend.
H. Hasan Basry, Kampus Kayu Tangi, Banjarmasin, Kode Pos 70123,
e-mail pm_pbsid@yahoo.co.id

Abstract

Speech Act in Trading Transaction in Pasar Tungging Belitung Banjarmasin. Speech


act has the function, purpose, and a specific purpose and can cause the effect or impact
on the partners said. Research is about the use of this type of speech act or representative
assertive, directive, expressive, and declarative speech acts and functions in the purchase
and sale transactions in Pasar Tungging Belitung Banjarmasin. This study aims to
describe the use of this type of assertive speech act, directive, expressive, and declarative
speech acts function in the sale and purchase transactions in Pasar Tungging Belitung
Banjarmasin. This research uses descriptive method with qualitative approach. Sources
of data in this study is the speech of traders and buyers when transactions take place in
the Pasar Tungging Belitung Banjarmasin. The study was conducted on December 1 to
7 April 2012. Data were collected by using observation technique (see), recording
techniques, and record. From the research, it can be concluded, from the four types of
speech acts are used, (1) assertive speech act, (2) directive speech act, (3) expressive
speech acts, (4) a declarative speech act. Results of the study, speech acts of the most
widely used type of assertive speech acts, followed by the use of expressive speech act
types, directives, and the least used type of declarative speech act. Of the six functions
of speech acts, there are only five functions of speech acts that were found in the purchase
and sale transactions in Pasar Tungging Belitung Banjarmasin speech acts are (1) for
the exchange of factual information, (2) express this emotion, (3) express moral attitudes
, (4) persuade or influence, (5) socialization. speech acts that are not found in the
purchase and sale transactions in Pasar Tungging Belitung Banjarmasin, which reveals
the intellectual information.

Keywords: speech act, transaction, pasar tungging

Abstrak

Tindak Tutur dalam Transaksi Jual Beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin.
Tindak tutur mempunyai fungsi, maksud, dan tujuan tertentu serta dapat menimbulkan
pengaruh atau akibat pada mitra tutur. Penelititian ini membahas tentang penggunaan
jenis tindak tutur asertif atau representatif, direktif, ekspresif, dan deklaratif dan fungsi
tindak tutur dalam transaksi jual beli di pasar Tungging Belitung Banjarmasin.
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan penggunaan jenis tindak tutur asertif, direktif,
ekspresif, deklaratif dan fungsi tindak tutur dalam transaksi jual beli di Pasar Tungging
Belitung Banjarmasin. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan
pendekatan kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini adalah tuturan dari
pedagang dan pembeli saat transaksi jual beli berlangsung di Pasar Tungging Belitung
Banjarmasin. Penelitian dilakukan pada tanggal 1-7 April 2012. Data dikumpulkan

280
dengan menggunakan teknik observasi (simak), teknik rekam, dan catat. Dari hasil
penelitian dapat disimpulkan, dari empat jenis tindak tutur yang digunakan, (1) tindak
tutur asertif, (2) tindak tutur direktif, (3) tindak tutur ekspresif, (4) tindak tutur deklaratif.
Hasil penelitian, tindak tutur yang paling banyak digunakan adalah jenis tindak tutur
asertif, diikuti oleh penggunaan jenis tindak tutur ekspresif, direktif, dan yang paling
sedikit digunakan adalah jenis tindak tutur deklaratif. Dari enam fungsi tindak tutur,
hanya terdapat lima fungsi tindak tutur yang di temukan dalam transaksi jual beli di
Pasar Tungging Belitung Banjarmasin, fungsi tindak tutur tersebut adalah (1) untuk
tukar menukar informasi faktual, (2) mengungkapkan sikap emosi, (3) mengungkapkan
sikap moral, (4) meyakinkan atau mempengaruhi, (5) sosialisasi. Tindak tutur yang
tidak ditemukan dalam transaksi jual beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin,
yaitu mengungkapkan informasi intelektual.

Kata-kata kunci: tindak tutur, transaksi, pasar tungging

PENDAHULUAN
Mu’in (2009: 16) mengatakan bahwa bahasa digunakan oleh manusia sebagai alat komunikasi
dalam upaya berinteraksi dengan sesamanya. Allan (dalam Nadar, 2009:10) berpendapat bahwa
berkomunikasi merupakan kegiatan sosial dan sebagaimana kegiatan sosial yang lain, kegiatan
berkomunikasi ini hanya akan dapat dilaksanakan apabila ada pihak lain yang terlibat. Masing-
masing pihak harus bekerja sama dan memperhatikan citra lawan bicaranya. Richard yang dikutip
oleh Jumadi (2005: 41) memberikan beberapa hal tentang tujuan percakapan, yakni sebagai
pertukaran informasi, memelihara tali persahabatan sosial dan kekerabatan, negosiasi, status, dan
pengambilan keputusan serta pelaksanaan tindak bersama. Itulah sebabnya, Richard (dalam
Jumadi 2005: 41) menyatakan bahwa salah satu pendekatan analisis fungsi bahasa dalam
percakapan adalah teori tindak tutur. Sebuah percakapan baru akan efektif jika telah jelas konteks
berlangsungnya sebuah penuturan.
Menurut Searle (dalam Rani, dkk, 2000: 136), dalam komunikasi bahasa terdapat tindak
tutur. Ia berpendapat bahwa komunikasi bahasa bukan sekadar lambang, kata, atau kalimat
yang berwujud perilaku tindak tutur. Sebagaimana komunikasi bahasa yang dapat berwujud
pernyataan, pertanyaan, dan perintah, tindak tutur dapat pula berwujud pernyataan, pertanyaan,
dan perintah.
Untuk melakukan sebuah tuturan, manusia memerlukan bahasa, salah satunya bahasa Banjar.
Bahasa Banjar adalah bahasa sehari-hari yang digunakan oleh suku (etnis) Banjar untuk
berkomunikasi dalam pergaulan. Salah satu contohnya untuk berkomunikasi dalam pergaulan
yang terjadi di pasar. Pasar tungging Belitung mempunyai lahan yang cukup luas dan bervariasi
jenis pedagang merupakan daya tarik tersendiri dari pasar ini. Oleh sebab itu, pasar merupakan
tempat perbelanjaan yang ramai akan pengunjung. Tempat untuk berjualan hanya sejenis lapak-
lapak yang diberi atap terpal, tidak sepeti pasar-pasar lainnya yang terdiri atas bangunan-bangunan
pertokoan. Bahasa yang sering digunakan adalah bahasa Banjar, tetapi ada sebagian kecil dari
mereka yang menggunakan bahasa Indonesia. Para pedagang di pasar ini mulai berdagang sejak
jam empat sore sampai jam sepuluh malam hari dan itu dilakukan setiap hari.
Hal yang melatarbelakangi peneliti memilih penelitian dengan judul Tindak Tutur Dalam
Transaksi Jual Beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin karena adanya keinginan peneliti untuk
mengetahui dan menggambarkan bagaimana penggunaan jenis tindak tutur asertif atau
representatif, direktif, ekspresif, dan deklaratif dalam transaksi jual beli tersebut.

281
METODE
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini
bertujuan untuk mendeskripsikan tindak tutur pedagang dan pembeli di pasar tungging.
Pendekatan kualitatif adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tulisan atau perilaku orang-orang yang diamati.

HASIL
Deskripsi Data
Data dalam penelitian ini berupa percakapan yang dituturkan oleh pedagang dan pembeli
saat jual beli berlangsung, yaitu data tuturan mengenai tindak tutur asertif atau representatif,
direktif, ekspresif, dan deklaratif yang berupa kata-kata dan tindakan. Sumber data dalam
penelitian ini diperoleh dari hasil perekaman yang dilakukan pada 11 pedagang, tuturan yang
dihasilkan sebanyak 22 tuturan. dengan pembeli yang tidak terbatas yang ada di Pasar Tungging
Belitung Banjarmasin. Percakapan antara pedagang dan pembeli dari rekaman tersebut ditulis
kemudian diklasifikasikan berdasarkan penggunaan jenis tindak tutur asertif atau representatif,
direktif, ekspresif, deklaratif, dan fungsi tindak tutur. Data pada penelitian ini diambil dengan
pemilihan sekelompok subjek didasarkan pada ciri atau sifat-sifat yang dipandang memiliki sangkut
paut dengan masalah yang diteliti. Data yang diambil di sini ada beberapa contoh tuturan dari
masing-masing jenis tindak tutur dan fungsi tindak tutur.

PEMBAHASAN
Penggunaan Jenis Tindak Tutur Asertif, Direktif, Ekspresif, dan Deklaratif dalam Transaksi
Jual Beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin
Tindak Tutur Asertif
Tindak tutur asertif adalah tindak tutur yang menjelaskan apa dan bagaimana sesuatu itu
adanya, seperti tindak pemberian informasi, pemberian saran, penegasan, mengemukakan,
menjelaskan, menyatakan, dan pelaporan. Dari identifikasi tindak asertif dalam transaksi jual beli
di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin ditemukan empat jenis yang mencakup penggunaan
jenis tindak representatif adalah sebagai berikut.
Tindak Pemberian Saran
[1] Penjual : Kada kawa kurang dari 200.
(Tidak bisa kurang dari 200).
Pembeli 2 : Kaya ini ja ding, kalo ading mau, 190 bungkuskan,
klo kada mau, kada jadi.
(Begini saja dik, kalau adik mau 190 dibungkus,
kalau tidak mau tidak jadi). (T:13)
(konteks: dituturkan oleh pembeli 2 ketika tawar-menawar pakaian antara penjual
dan pembeli).
Contoh kutipan [1] merupakan penggunaan tindak tutur asertif jenis saran. Dalam tuturan
tersebut pembeli 2 menyebutkan klo ading mau 190 bungkuskan, klo kada mau kada jadi kalimat
tersebut merupakan saran sekaligus ajakan dari penutur kepada mitra tutur agar mitra tutur mau
mempertimbangkan keinginannya. Kalimat yang menunjukkan saran pada kutipan tersebut
ditandai dengan kalo ading mau 190 bungkuskan, klo kada mau kada jadi.

282
Tindak Pemberian Penegasan
[2] Pembeli : Berapa kawanya?
(Bisanya berapa?)
Dian : Harga pasnya 50, Ni sudah harga partaiannya, kayapa?
(Harga tetapnya 50 ribu, ini sudah harga partai,
bagaimana?
Pembeli : Oh, saya ambil yang itu satu, ukuran S adalah?
(Oh, saya ambil yang itu satu. Ukuran S ada tidak? (T:12)
(konteks: dituturkan oleh penjual, yaitu Dian ketika terjadi tawar-menawar pakaian
dan pembeli)
Contoh kutipan [2] merupakan penggunaan tindak tutur asertif jenis penegasan. Pada contoh
tersebut penjual menegaskan kepada pembeli bahwa harga pas pakaian tersebut 50 ribu, sudah
harga partai, maksudnya tidak bisa ditawar lagi. Kalimat tersebut jenis penegasan sekaligus
penekanan oleh penutur kepada mitra tuturnya agar dia mengetahui dan tidak menawar kembali
barang yang sudah diberi batas harga.

Tindak Pemberian Menjelaskan


[3] Pembeli : Boleh melihat yang itu?
(Boleh melihat yang itu)
Lisa : Yang ini kah?. Bagus ini, bu. Bahan sutra jadi nyaman di pakai.
(Yang ini ya? Bagus ini, bu. Bahan Sutra jadi enak dipakai).
Pembeli : Balapis?
(Berlapis)
Lisa : Inggeh, sudah belapis jadi kada terang di pakai. Lapisnya dari bahan yang
dingin.
(Iya, sudah berlapis jadi tidak terang dipakai, Lapisannya dari bahan
yang dingin). (T:10)
(konteks: dituturkan oleh Lisa/penjual ketika pembeli bertanya-tanya mengenai pakaian
yang dijual oleh ahmad)
Contoh kutipan [3] merupakan penggunaan tindak tutur asertif menjelaskan yang berisikan
sebuah penjelasan penutur dengan pemberian informasi. Kalimat tersebut menjelaskan tentang
bahan baju tersebut bagus, terbuat dari kain sutra jadi nyaman untuk dipakai dan kalimat
selanjutnya menjelaskan bahwa baju bahan sutra tadi sudah berlapis, jadi tidak akan terang dipakai,
dan bahan lapisannya terbuat dari bahan yang dingin. Dalam kalimat tersebut, penjual menjelaskan
tentang barang dagangannya kepada pembeli agar pembeli dapat mendapatkan informasi dengan
jelas.

Tindak Pemberian Informasi


[4] Pembeli : Warna abu-abu adalah paman?
(Warna abu-abu ada tidak paman?)
Ahmad : Habis kayanya, kadada lagi.
(Sepertinya habis, tidak ada lagi). (T:2)
(Konteks dituturkan oleh Ahmad/penjual ketika memberikan informasi kepada pembeli
tentang jilbab yang dijualnya).

283
Contoh kutipan [4] merupakan penggunaan tindak tutur asertif jenis pemberian informasi.
Dalam tuturan tersebut seorang penjual memberikan informasi saat ditanya pembeli. Kutipan
informasi habis kayanya, kadada lagi, kalimat tersebut merupakan pemberian informasi oleh penjual
kepada pembeli bahwa warna abu-abu yang ditanyakannya sudah habis, tidak ada lagi.

Tindak Tutur Direktif


Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang berfungsi mendorong pendengar melakukan
sesuatu. Hal-hal yang termasuk dalam tindak tutur ini adalah meminta, menyuruh, memohon,
dan menasehati. Dari identifikasi tindak direktif dalam transaksi jual beli di Pasar Tungging Belitung
Banjarmasin ditemukan tiga jenis yang mencakup penggunaan jenis tindak direktif adalah sebagai
berikut.
Tindak direktif jenis meminta
[5] Pembeli : Kawa kurang?
(Bisa kurang?).
Lisa : Bisa, tawar ja?
(Bisa, tawar saja).
Pembeli : 90 lah?
(90 ribu ya?). (T:10)
(konteks: dituturkan oleh pembeli ketika terjadi tawar-menawar pakaian)
Contoh kutipan [5] merupakan penggunaan tindak tutur direktif jenis meminta. Pembeli
sebagai penutur meminta kepada pedagang agar harga yang ditetapkan oleh pedagang bisa
diturunkan sesuai dengan keinginan pembeli.
Tindak direktif jenis menyuruh
[6] Ratna : Ika ambilkan ukuran 28, merek loggo. Bungkuskan lah!
: (Ika ambilkan ukuran 28, merek loggo. Bungkus ya!)
Ika : Inggeh, ka. (Iya, kak) (T:6)
(Kontek dituturkan oleh Ratna memberikan perintah hal tersebut kepada anak buahnya/
Ika ketika pembeli menyebutkan ukuran jeansnya 28).
Contoh kutipan [6] merupakan penggunaan tindak tutur direktif jenis perintah berupa
suruhan. Dalam kutipan tersebut terlihat Ratna memberikan perintah berupa suruhan kepada
Ika untuk mengambil ukuran dan jenis jeans yang sesuai dengan keiinginan pembeli. Kutipan Ika
ambilkan ukuran 28, merek loggo. Bungkus ya!. Kalimat yang dituturkan oleh Ratna bentuk perintah
langsung, yang ditandai dengan ambilkan.
Tindak direktif jenis pertanyaan
[7] Putri : Saestelankah?
(satu pasang ya?) (T:13)
(Konteks dituturkan oleh putri/penjual ketika jual beli berlangsung)
Contoh kutipan [7] merupakan penggunaan tindak tutur direktif jenis pertanyaan. Dalam
kutipan tersebut penutur menanyakan tentang pakaian yang diinginkan oleh pembeli, penjual
menayakan kepada pembeli apakah pembeli itu ingin membeli atasan baju dan langsung dengan
bawahannya.

284
Tindak Tutur Ekspresif
Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang menyangkut perasaan dan sikap, misalnya
berupa tindak meminta maaf, berterima kasih, menyampaikan ucapan selamat, memuji,
menyatakan belasungkawa, dan mengkritik. Tindak ini berfungsi untuk mengekspresikan dan
mengungkapkan sikap psikologis penutur terhadap mitra tuturnya.
Dari identifikasi tindak tutur ekspresif dalam transaksi jual beli di Pasar Tungging Belitung
Banjarmasin ditemukan empat jenis yang mencakup penggunaan jenis tindak ekspresif adalah
sebagai berikut.
Tindak ekspresif jenis rasa senang
[8] Pembeli : Yang ini mba!
(Yang ini mba!)
Lisda : Ini ding, makasih!
(Ini dik, terima kasih). (T:8)
(Konteks: dituturkan oleh Lisda/penjual ketika jual beli akan berakhir)
Contoh kutipan [8] merupakan penggunaan tindak tutur ekspresif jenis rasa senang. Dalam
kutipan tersebut berisi berupa tindakan penutur mengucapkan rasa terima kasih dengan penanda
terima kasih kepada mitra tuturnya sebagai bentuk ungkapan rasa senang.
Tindak Ekspresif Jenis Rasa Suka
[9] Pembeli : Ya, yang ini.
(Iya saya ambil yang ini)
Ria : Warna dan ukuran tetap ini bu?
(Warna dan ukuran tetap ini bu?)
Pembeli : Ya, ini sudah pas ukuran dan warnanya.
(Iya, ini sudah pas ukuran dan warnanya) (T:11)
(Konteks: dituturkan oleh pembeli ketika jual pakaian berlangsung)
Contoh kutipan [9] merupakan penggunaan tindak tutur ekspresif jenis rasa suka. Pada kutipan
tersebut penutur mengekspresikan perasaan suka karena contoh kutipan tersebut berisikan tindak
ekspresif penutur yang menggunakan sesuatu yang dirasakan oleh penutur tersebut. Penanda
yang digunakan adalah iya, ini sudah pas ukuran dan warnanya
Tindak Ekspresif Jenis Menolak
[10] Pembeli 1 : 70 lah?
(70 ribu ya?)
Putri : Masih belum bisa, mba
(Tidak bisa, mba) (T:13)
(Konteks: dituturkan oleh penjual ketika jual beli berlangsung)
Contoh kutipan [10] merupakan penggunaan tindak tutur ekspresif jenis menolak karena
dalam tuturan tersebut, yaitu penjual menolak ketika pembeli meminta bajunya dengan harga
70. Kutipan ditandai dengan belum bisa.
Tindak Ekspresif Jenis Memuji
[11] Pembeli 2 : Bagus nak, kamu ambil aja 1 estel.
(Bagus nak, kamu ambil saja 1 stel) (T:13)
(Konteks: dituturkan oleh pembeli ketika memilih-milih pakaian)
285
Contoh kutipan [11] merupakan penggunaan tindak tutur ekspresif jenis memuji yang
dilakukan oleh penutur. Dalam tuturan tersebut, pembeli 2 memuji pakaian yang dipilih oleh
pembeli 1. Kutipan tersebut ditandai dengan bagus nak.

Tindak Tutur Deklaratif


Tindak tutur deklaratif adalah bentuk tuturan yang menghubungkan isi tuturan dengan
kenyataan. Misalnya membaptis, menghukum, menetapkan, memecat, memberi nama, dan
sebagainya. Dalam identifkasi tindak tutur deklaratif dalam transaksi jual beli di Pasar Tungging
Belitung Banjarmasin ditemukan satu jenis yang mencakup penggunaan jenis tindak deklaratif
adalah sebagai berikut.
Tindak Deklaratif Jenis Memutuskan
[12] Lisa : Ya, 100 aja gasan ibu, buat penglaris hari ini.
(Ya, 100 ribu saja buat ibu, buat penglaris hari ini) (T:10)
(Konteks: dituturkan oleh penjual ketika jual beli pakaian berlangsung)
Contoh kutipan [12] merupakan penggunaan tindak tutur deklaratif jenis memutuskan
sesuatu. Dalam tuturan tersebut penutur, yaitu penjual memutuskan harga yang diinginkannya
pada saat tawar-menawar pakaian tersebut.

Fungsi Tindak Tutur dalam Transaksi Jual Beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin
Berdasarkan hasil identifikasi tindak tutur dalam transaksi jual beli di Pasar Tungging Belitung
Banjarmasin dapat dideskripsikan fungsi tindak tutur sebagai berikut.
Tukar menukar informasi faktual, yaitu bertanya
[13] Pembeli : Paman jilbab panjang ini berapa?
(Paman jilbab panjang ini berapa?).
Ahmad : 35.
(35 ribu).
Pembeli : Kalo yang pendek ini berapa?
(kalau yang pendek ini berapa?
Ahmad : Yang itu 6.
(Yang itu 6 ribu).
Pembeli : Warna abu-abu adalah paman?
(Warna abu-abu ada tidak paman?)
Ahmad : Habis kayanya, kadada lagi.
(Sepertinya habis tidak ada lagi). (T:2)
(Konteks: dituturkan ketika penutur bertanya kepada penjual sebagai mitra tutur)
Contoh kutipan [13] merupakan penggunaan tindak tutur yang berfungsi untuk tukar
menukar informasi faktual. Dalam kutipan [13], penutur memberikan informasi kepada mitra
tutur ketika mitra tutur meminta informasi yang diinginkan kepada mitra tutur.

Mengungkapkan sikap emosi, yaitu berminat


[14] Wahidah : Kada, biasanya 12 ribu dijual.
(Tidak, biasanya dijual 12 ribu).
Pembeli 2 : Nah mba, yang ini.
(Ini mba, saya ambil yang ini). (T:1)

286
(Konteks: dituturkan oleh pembeli ketika penjual menjelaskan bahwa harga jilbabnya tidak
bisa kurang lagi).
Contoh kutipan [14] merupakan penggunaan tindak tutur yang berfungsi untuk
mengungkapkan minat. Dalam kutipan nah mba, yang ini terlihat jelas bahwa penutur
mengungkapkan minatnya terhadap barang yang sudah dipilihnya.

Mengungkapkan sikap moral, yaitu setuju/tidak setuju


[15] Lisda : Kawa ai.
(Bisa). (T:7)
(Konteks: ditutur oleh Lisa/penjual ketika tawar-menawar dengan seorang pembeli).
Contoh kutipan [15] merupakan penggunaan tindak tutur yang berfungsi untuk
mengungkapkan peryataan setuju. Penutur, yaitu penjual setuju jika baju yang dipilih oleh pembeli
di beli dengan harga 30 ribu.
[16] Ria : Kada kawa bu, ini baju batarusan bu, klo yang handap bisa 70.
(Tidak bisa bu, ini baju terusan bu, klo yang pendek bisa 70 ribu) (T:11)
(konteks: dituturkan oleh Ria/penjual ketika tawar-menawar dengan seorang pembeli).
Contoh kutipan [16] merupakan penggunaan tindak tutur yang berfungsi untuk
mengungkapkan pernyataan tidak setuju. Penutur, yaitu penjual tidak setuju jika pembeli menawar
baju yang dipilih oleh pembeli ditawar dengan harga yang murah.

Meyakinkan dan mempengaruhi, yaitu menyarankan


[17] penjual : Kada kawa ding, kaini ja klo ading mau paman potong 5 ribu, biar paman
bungkuskan.
(Tidak bisa dik, Begini saja dik kalau adik mau paman kurangi 5 ribu,
biar paman bungkuskan). (T:3)
(konteks: dituturkan penjual ketika terjadi tawar-menawar pakaian)
Contoh kutipan [17] merupakan penggunaan tindak tutur yang berfungsi untuk memberikan
saran. Dalam tuturan tersebut penjual sebagai penutur, menyarankan kepada seorang pembeli
kalau pembeli tersebut berminat harga baju tersebut akan diturunkan harganya.

Sosialisasi, yaitu menarik perhatian


[17] Lisa : Yang ini kah? Bagus ini bu, bahan sutra jadi nyaman dipakai.
(Yang ini ya? Bagus ini bu, dari bahan sutra jadi enak dipakai).
Pembeli : Belapis?
(Berlapis?)
Lisa : Inggeh, sudah berlapis jadi kada terang dipakai, lapiannya dari bahan yang
digin.
(Ya, sudah berlapis jadi tidak terang dipakai, lapisannya dari bahan yang
dingin. (T:10)
(Konteks: dituturkan oleh Lisa/penjual saat jual beli berlangsung)
Contoh kutipan [17] merupakan penggunaan tindak tutur yang berfungsi untuk menarik
perhatian seorang pembeli. Dalam tuturan tersebut penutur, yaitu penjual berusaha menarik
perhatian pembeli agar pembeli tersebut membeli baju berbahan sutra yang dijualnya.
287
Penggunaan Jenis Tindak Tutur Asertif atau Representatif, Direktif, Ekspresif, dan
Deklaratif dalam Transaksi Jual Beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin
Pada penelitian tindak tutur dalam transaksi jual beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin
telah diketahui ada empat penggunaan jenis tindak tutur yang telah diteliti, yaitu tindak tutur
asertif, direktif, ekspresif, dan deklaratif. Tindak tutur asertif atau representatif adalah tindak tutur
yang menjelaskan apa dan bagaimana sesuatu itu apa adanya, tindak yang digunakan adalah
tindak pemberian informasi, pemberian saran, penegasan, mengemukakan, menjelaskan, dan
menyatakan pelaporan. Dari identifikasi tindak asertif dalam transaksi jual beli di Pasar Tungging
Belitung Banjarmasin ditemukan empat jenis yang mencakup penggunaan jenis tindak asertif,
yaitu:
(1) tindak pemberian saran, yaitu ketika pembeli mencoba memberikan saran kepada penjual
dan contoh selanjutnya penjual juga mencoba memberikan saran kepada pembeli; (2) tindak
pemberian penegasan, yaitu ketika penjual memberikan penegasan kepada pembeli tentang
harga yang sudah ia tentukan;
(3) tindak pemberian menjelaskan, yaitu ketika penjual menjelaskan kepada pembeli tentang
bahan pakaian dan kualitasnya. Tindak pemberian penjelasan ini sering digunakan oleh
pedagang;
(4) tindak pemberian informasi, yaitu ketika penjual memberikan informasi kepada pembeli
tentang warna, ukuran, harga, dan model pakaian. Tindak pemberian informasi ini juga
banyak digunakan oleh pedagang.
Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang berfungsi untuk mendorong pendengar
melakukan sesuatu. Dari identifikasi tindak tutur, tindak yang digunakan adalah tindak direktif
meminta, menyuruh, memohon, menasihati, dan pertanyaan. Dari identifikasi tindak direktif dalam
transaksi jual beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin ditemukan tiga jenis yang mencakup
penggunaan jenis tindak direktif, yaitu:
(1) tindak direktif jenis meminta, yaitu ketika pembeli meminta harga yang lebih murah kepada
seorang penjual;
(2) tindak direktif jenis menyuruh, yaitu ketika penjual memberikan perintah kepada anak
buahnya untuk mengambil pakaian yang diinginkan oleh pembeli;
(3) tindak direktif jenis pertanyaan, yaitu ketika penjual menanyakan maksud kedatangan
pembeli, jumlah lembar pakaian, dan model pakaian yang diinginkan pembeli. Tindak
direktif jenis pertanyaan ini sering digunakan oleh pedagang.
Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang menyangkut perasaan dan sikap. Tindak
yang digunakan adalah tindak meminta maaf, berterima kasih, menyampaikan ucapan selamat,
memuji, menyatakan belasungkawa, dan mengkritik. Dari identifikasi tindak ekspresif dalam
transaksi jual beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin ditemukan empat jenis yang mencakup
penggunaan jenis tindak ekpresif, yaitu:
(1) tindak ekspresif jenis rasa senang. Tindak ekspresif jenis rasa senang adalah tuturan yang
berisi ucapan terima kasih yang sering digunakan oleh penjual dan pembeli, misalnya setelah
transaksi jual beli selesai, penjual biasanya akan mengucapkan terima kasih dan kemudian
pembeli menjawabnya;
(2) tindak ekspresif jenis rasa suka. Tindak ekspresif jenis rasa suka adalah tuturan yang berisi
perasaan suka terhadap sesuatu, misalnya pembeli menyukai model pakaian dan warna
yang telah dipilih pembeli tersebut. Tindak tutur ini sering dikemukakan oleh pembeli;

288
(3) tindak ekspresif jenis menolak. Tindak ekspresif jenis menolak adalah tuturan yang berisi
penolakan sering dituturkan oleh pedagang, misalnya ketika pedagang menolak permintaan
harga yang diinginkan oleh pembeli;
(4) tindak ekspresif jenis memuji. Tindak ekspresif jenis memuji adalah tuturan yang berisi
pujian dituturkan oleh pembeli terhadap kualitas barang yang dijual.
Tindak tutur deklaratif adalah bentuk tuturan yang menghubungkan isi tuturan dengan
kenyataan. Tindak yang digunakan adalah tindak membaptis, menghukum, menetapkan,
memecat, memberi nama, dan sebagainya. Dari identifikasi tindak deklaratif dalam transaksi jual
beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin ditemukan satu jenis yang mencakup penggunaan
jenis tindak deklaratif, yaitu tindak deklaratif jenis memutuskan. Tindak deklaratif jenis
memutuskan adalah tuturan yang berisi memutuskan ini digunakan oleh penjual untuk
memutuskan harga yang ingin ditetapkannya kepada pembeli.
Dari penelitian, penggunaan jenis tindak tutur yang paling banyak digunakan dalam transaksi
jual beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin adalah jenis tindak tutur asertif, diikuti oleh
penggunaan jenis tindak tutur ekspresif, direktif, dan yang paling sedikit digunakan adalah jenis
tindak tutur deklaratif.

Fungsi Tindak Tutur


Fungsi tindak tutur menurut Van Ek, ada enam, yaitu (1) untuk tukar menukar informasi
faktual, (2) untuk mengungkapkan informasi intelektual, (3) untuk mengungkap sikap emosi, (4)
untuk mengungkap sikap moral, (5) untuk meyakinkan atau mempengaruhi, dan (6) untuk
sosialisasi. Pada penelitian tindak tutur dalam transaksi jual beli di Pasar Tungging Belitung
Banjarmasin ditemukan lima fungsi tindak tutur, yaitu (1) untuk tukar-menukar informasi faktual,
(2) untuk mengungkapkan sikap emosi, (3) untuk mengungkapkan sikap moral, (4) untuk
meyakinkan atau mempengaruhi, (5) untuk sosialisasi. Fungsi untuk tukar-menukar informasi
faktual ditemukan dalam tindak bertanya dan memberikan informasi. Fungsi untuk
mengungkapkan sikap emosi ditemukan dalam tindakan mengungkapkan minat. Fungsi untuk
mengungkapkan sikap moral ditemukan dalam pengungkapan setuju atau tidak setuju. Fungsi
tindak tutur untuk meyakinkan dan mempengaruhi ditemukan dalam tindak menyarankan.
Fungsi terakhir, yaitu untuk sosialisasi ditemukan dalam tindak menarik perhatian. Fungsi tindak
tutur yang paling banyak ditemukan dalam transaksi jual beli di Pasar Tungging Belitung
Banjarmasin adalah tukar-menukar informasi faktual. Fungsi tindak tutur yang tidak ditemukan
dalam transaksi jual beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin adalah mengungkapkan
informasi intelektual.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Dalam transaksi jual beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin ditemukan adanya
penggunaan jenis tindak tutur asertif, direktif, ekspresif, dan deklaratif. Dari identifikasi tindak
asertif ditemukan empat jenis yang mencakup penggunaan jenis tindak asertif, yaitu (1)
tindak pemberian saran, (2) tindak pemberian penegasan, (3) tindak pemberian menjelaskan,
dan (4) tindak pemberian informasi. Dari identifikasi tindak direktif ditemukan tiga jenis
yang mencakup penggunaan jenis tindak direktif, yaitu (1) tindak direktif jenis meminta,
(2) tindak direktif jenis menyuruh, (3) tindak direktif jenis pertanyaan. Dari identifikasi tindak
ekspresif telah ditemukan empat jenis yang mencakup penggunaan jenis tindak ekpresif,
289
yaitu (1) tindak ekspresif jenis rasa senang, (2) tindak ekspresif jenis rasa suka, (3) tindak
ekspresif jenis menolak. Tuturan yang berisi penolakan sering dituturkan oleh pedagang, (4)
tindak ekspresif jenis memuji. Jenis tindak tutur yang paling banyak digunakan, yaitu jenis
tindak tutur asertif, diikuti oleh penggunaan jenis tindak tutur ekspresif, direktif, dan yang
paling sedikit digunakan adalah jenis tindak tutur deklaratif.
2) Fungsi tindak tutur yang teridentifikasi dalam transaksi jual beli di Pasar Tungging Belitung
Banjarmasin ada lima fungsi. Kelima fungsi tindak tutur tersebut adalah (1) fungsi untuk
tukar menukar informasi faktual, misalnya untuk mengidentifikasi bertanya, (2) fungsi untuk
mengungkapkan sikap emosi, misalnya untuk mengidentifikasikan berminat atau kurang
berminat, (3) fungsi untuk mengungkapkan sikap moral, misalnya untuk mengidentifikasi
setuju atau tidak setuju, (4) fungsi untuk meyakinkan atau mempengaruhi, misalnya
menyarankan, (5) fungsi untuk sosialisasi, misalnya menarik perhatian.

Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diambil saran sebagai berikut.
1) Para pedagang hendaknya menggunakan bahasa yang bervariasi agar dapat menarik minat
dan perhatian pembeli, misalnya pada saat memberikan informasi dan menjelaskan
mengenai barang dagangannya.
2) Hendaknya penelitian ini dapat menjadi bahan acuan bagi peneliti berikutnya yang akan
mengkaji tindak tutur dalam transaksi jual beli, baik untuk menambah referensi maupun
sebagai bahan perbandingan.

290
DAFTAR RUJUKAN

Rani, Abdul, dkk. 2000. Prinsip-Prinsip Analisis Wacana. Malang: Bayu Media.
Jumadi. 2005. Representasi Power dalam Wacana Kelas. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional.
Mu’in, Fatchul. 2009. Maungkai Budaya: Esai-Esai Kontemplatif tentang Bahasa, Sastra, Seni,
Pendidikan, dan Politik. Banjarbaru: Scripta Cendekia.
Nadar, F X. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.

291
Indeks Pengarang
JURNAL BAHASA DAN SASTRA (JBS)
Jilid 2 (Tahun 2012)

Agustina, L., 242 Nisa, R., 18


Agustus, M., 191 Noor, S., 31
Cuesdeyeni, P., 52 Noortyani, R., 66, 231
Effendi, R., 126, 269 Norhasuna, S., 280
Hastuti, W., 259 Normiani, A., 252
Ibrahim, A. S., 153 Paluru, Y., 178
Juhara, L., 206 Rafiek, M., 5, 143
Jumadi, 75 Rohim, K., 269
Jumariati, 221 Sabhan, 259
Kasmilawati, I., 126 Suriani, E., 114
Kusasi, Z. A., 102, 280 Suyitno, I., 153
LAS, M., 242 Syahwinda, I., 102
Maliq, N. R., 75 Yasluh, M., 45
Mardikayah, 197 Yazidi, A., 163
Marfuah, 231 Zulkifli, 24, 214

292 1
291.
Indeks Mitra Bebestari
JURNAL BAHASA DAN SASTRA (JBS)
Jilid 2 (Tahun 2012)

Untuk penerbitan Jilid 2 Tahun 2012, semua naskah yang disumbangkan kepada Jurnal
Bahasa dan Sastra (JBS) sudah ditelaah dan dinilai kelayakannya oleh mitra bebestari di bawah
ini.
1. Rustam Effendi (Universitas Lambung Mangkurat)
2. Jumadi (Universitas Lambung Mangkurat)
3. Zulkifli (Universitas Lambung Mangkurat)
4. Imam Suyitno (Universitas Negeri Malang)
5. Hilaluddin Hanafi (Universitas Halu Oleo)
6. M. Siddik (Universitas Mulawarman)
7. Akmal Hamsa (Universitas Negeri Makasar)
8. Suminto A. Sayuti (Universitas Negeri Yogyakarta)
9. Darmansyah (Universitas Lambung Mangkurat)
Penyunting Jurnal Bahasa dan Sastra (JBS) mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada para mitra bebestari yang telah menelaah dan menilai kelayakan
artikel ilmiah dalam jurnal ini.

293
291. 2
Petunjuk bagi (Calon) Penulis
Jurnal Bahasa dan Sastra

1. Artikel yang ditulis untuk JBS adalah hasil penelitian atau hasil pemikiran di bidang bahasa,
sastra, dan pembelajarannya. Naskah diketik dengan huruf Times New Roman, ukuran 12 pts,
dengan jarak 1 spasi, dicetak pada kertas A4 sepanjang maksimum 20 halaman, dan diserahkan
dalam bentuk print out sebanyak 3 eksemplar beserta filenya ke sekretariat pengelola JBS.
Berkas (file) dibuat dengan Microsoft Word. Artikel dalam bentuk file dapat juga dikirim langsung
melalui e-mail ke pm_pbsid@yahoo.co.id.
2. Nama penulis artikel dicantumkan tanpa gelar akademik dan ditempatkan di bawah judul
artikel. Jika naskah ditulis oleh tim, penyunting hanya berhubungan dengan penulis utama
atau penulis yang namanya tercantum pada urutan pertama. Penulis perlu mencantumkan
alamat e-mail dan/atau alamat korespondensi.
3. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris disertai judul pada masing-masing bagian
artikel. Judul artikel dicetak dengan huruf besar di tengah-tengah, dengan huruf sebesar 14
poin. Peringkat judul bagian dinyatakan dengan jenis huruf yang berbeda (semua judul bagian
dan sub bagian dicetak tebal atau tebal dan miring).
4. Sistematika artikel hasil penelitian adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik), abstrak
(maksimum 100 kata) yang berisi tujuan, metode, dan hasil penelitian; kata kunci; pendahuluan
yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian, metode; hasil;
pembahasan; kesimpulan dan saran; daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang
dirujuk).
5. Sistematika artikel hasil pemikiran adalah judul, nama penulis (tanpa gelar akademik), abstrak
(maksimum 100 kata), kata kunci, pendahuluan yang berisi latar belakang dan tujuan atau
ruang lingkup tulisan, bahasan utama(dapat dibagi ke dalam beberapa subbagian), penutup
atau kesimpulan, daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk).
6. Judul, abstrak, dan kata kunci ditulis dalam dua bahasa (bahasa Inggris dan bahasa Indonesia).
Panjang masing-masing abstrak 75-100 kata, sedangkan jumlah kata kunci 3-5 kata. Abstrak
minimal berisi judul, tujuan, metode, dan hasil penelitian.
7. Sumber rujukan sedapat mungkin merupakan pustaka-pustaka terbitan 10 tahun terakhir.
Rujukan yang diutamakan adalah sumber-sumber primer berupa laporan penelitian (termasuk
skripsi, tesis, disertasi) atau artikel-artikel penelitian dalam jurnal dan/atau majalah ilmiah.
8. Perujukan dan pengutipan menggunakan teknik rujukan berkurung (nama, tahun).
Pencantuman sumber pada kutipan langsung hendaknya disertai keterangan tentang nomor
halaman tempat asal kutipan. Contohnya: (Rafiek, 2011: 2).
9. Daftar Rujukan disusun dengan tata cara seperti contoh berikut ini dan diurutkan secara alfabetis
dan kronologis.

294
Buku:
Rafiek, Muhammad. 2010. Psikolinguistik: Kajian Bahasa Anak dan Gangguan Berbahasa. Malang:
Universitas Negeri Malang Press.

Buku kumpulan artikel:


Saukah, Ali & Waseso, Mulyadi Guntur (Eds.). 2002. Menulis Artikel untuk Jurnal Ilmiah. Malang:
Universitas Negeri Malang Press.

Buku terjemahan:
Bucaille, Maurice. 1995. Firaun dalam Bibel dan Al-Quran: Menafsirkan Kisah Historis Firaun dalam
Kitab Suci Berdasarkan Temuan Arkeologi. Terjemahan oleh Muslikh Madiyant. 2007. Bandung:
Mizania.

Artikel dalam buku kumpulan artikel:


Bottoms, J. C. 1965. Some Malay Historical Sources: A Bibliographical Note. Dalam Soedjatmoko,
Mohammad Ali, G. J. Resink, & G. MCT. Kahin (Eds.), An Introduction to Indonesian
Historiography (hlm. 156-193). New York: Cornell University Press.

Artikel dalam jurnal:


Bertens, K. 1989. Etika dan Etiket Pentingnya Sebuah Perbedaan. Basis, XXXVIII (7): 266-273.

Artikel dalam Koran:


Antemas, Anggraini. 6 Desember 2006. Adat Istiadat Perkawinan Urang Banjar (III), Bapingit-
Badudus Sebelum Akad Nikah. Banjarmasin Post, tanpa halaman.

Dokumen resmi berupa kamus atau pedoman atau undang-undang:


Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 1990. Jakarta:
PT Armas Duta Jaya.

Skripsi, Tesis, Disertasi, Laporan Penelitian:


Rafiek, Muhammad. 2010. Mitos Raja dalam Hikayat Raja Banjar. Disertasi tidak diterbitkan.
Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang.

Makalah seminar, lokakarya, penataran:


Indriyanto. 2001. Peranan dan Posisi Ilmu Sejarah dalam Menjawab Tantangan Zaman. Makalah
disajikan dalam Diskusi Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah di Semarang, Fakultas Sastra
UNDIP, Semarang, 30 Mei.

Rujukan dari internet:


Ahmad, Syarwan. 2009. Filologi Hikayat Prang Sabi (Online), (http://blog.harian-aceh.com/filologi-
hikayat-prang-sabi.jsp, diakses 18 Desember 2009).
Manuaba, Putera. 2001. Hermeneutika dan Interpretasi Sastra, (Online), (http://www.angelfire.com/
journal/fsulimelight/hermen.html, diakses 10 November 2009).
295
10.Tata cara penyajian kutipan, rujukan, tabel, dan gambar mengikuti ketentuan dalam Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah atau mencontoh langsung dari artikel yang sudah terbit dalam JBS.
11.Semua naskah ditelaah oleh penelaah ahli yang ditunjuk oleh penyunting menurut bidang
kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk memperbaiki artikelnya atas saran
perbaikan dari penelaah ahli. Kepastian pemuatan artikel ilmiah akan diberitahukan kepada
penulis.
12.Segala sesuatu yang menyangkut izin pengutipan atau penggunaan software komputer untuk
pembuatan naskah artikel atau hal ikhwal lain yang terkait dengan HAKI yang dilakukan
oleh penulis artikel termasuk konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya, menjadi
tanggung jawab penuh penulis artikel tersebut.
13.Sebagai prasyarat bagi pemrosesan artikel, para penyumbang artikel wajib menjadi
pelanggan minimal selama satu tahun. Penulis yang artikelnya dimuat wajib memba-
yar kontribusi biaya cetak sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) per judul.Se-
bagai imbalannya, penulis menerima nomor bukti pemuatan sebanyak 5 (lima) eksemplar.

296
FORMULIR BERLANGGANAN

Mohon dicatat sebagai pelanggan JBS


Nama : ……………………………………………………………………….....................

Alamat : …………………………………………………………………………………….
………………………………..(Kode Pos …………………………………….....)

Harga langganan mulai 1 Oktober 2012 (2 nomor)


Untuk satu tahun
· Rp. 100.000,- untuk wilayah Kalimantan Selatan
· Rp. 150.000,- untuk wilayah Kalimantan Barat, Tengah, dan Timur
· Rp. 200.000,- untuk wilayah luar Kalimantan

Formulir ini boleh diperbanyak (…………………………)

———————————gunting di sini dan kirimkan ke alamat Jurnal BS————————

BERITA PENGIRIMAN UANG LANGGANAN

Dengan ini saya kirimkan uang sebesar:


a. Rp. 100.000,- untuk langganan 1 tahun (2 nomor) mulai Nomor ………… Tahun ……...
b. Rp. 150.000,- untuk langganan 1 tahun (2 nomor) mulai Nomor ………… Tahun ……..
c. Rp. 200.000,- untuk langganan 1 tahun (2 nomor) mulai Nomor ………… Tahun ……..
(Lingkari salah satu)

Uang tersebut telah saya kirim melalui:


BNI Capem Universitas Lambung Mangkurat, rekening nomor 0103958218 a.n. Program
Studi Pascasarjana Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia

297
298

Anda mungkin juga menyukai