Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Kompresi medula spinalis akut (KMSA) merupakan suatu kejadian berupa penekanan
pada medula spinalis yang harus ditangani segera dikarenakan statusnya yang merupakan
masalah kegawatdaruratan. Kompresi medula akut yang disebabkan oleh kondisi yang
menempatkan tekanan pada tulang belakang. Kompresi medula spinalis dapat terjadi di mana
saja dari leher ke tulang punggung bagian bawah dan menyebabkan gejala, seperti mati rasa,
nyeri, dan kelemahan. Tergantung pada penyebab kompresi, gejala dapat muncul tiba-tiba
atau secara bertahap.1-3

Kompresi medula akut termasuk dalam kategori kegawat daruratan medis dikarenakan
perlunya penanganan dan diagnosis secara cepat untuk mencegah terjadinya disabilitas jangka
panjang akibat efek ireversibel dari kompresi medula spinalis. Prognosis penderita kompresi
medula akut jelas berkaitan dengan keterlambatan antara saat timbul gejala kompresi medula
spinalis dengan tindakan pengobatan.

Pada SKDI 2011 kompresi medula spinalis akut dimasukkan kedalam kompetensi 3B
untuk dokter umum. Sehingga pada fasilitas layanan kesehatan pertama seorang dokter umum
seharusnya dapat mendiagnosis kondisi tersebut dan memberikan penanganan pertama,
kemudian dapat merujuknya dengan tepat.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kompresi medula spinalis akut (KMSA) didefiniskan sebagai penekanan baik


langsung maupun tidak langsung pada medula spinalis. Kompresi medulla spinalis
terjadi secara akut dan disebabkan oleh berbagai macam mekanisme seperti trauma,
tumor, abses trauma dan penyakit tertentu yang dapat menekan medula spinalis dan
mengganggu fungsi normalnya. Kompresi medula spinalis merupakan penekanan
terhadap sumsum tulang belakang yang mengakibatkan perubahan, baik sementara atau
permanen, menimbulkan keluhan motorik, sensorik, atau fungsi otonom.
2.2 Epidemiologi
Insiden dan prevalensi Kompresi medulla spinalis akut diestimasikan baiksecara
nasinal dan regional di beberapa negara di dunia didapatkan 14 hingga 40 kasus per 1.000.000
penduduk. Sekhon dan Fehlin melaporkan pada pertemuan global, berdasarkan literature
review merangkumkan bahwa epidemiologi menyimpulkan kauss tertinggi terjadi di negara
New Zaeland (49,1 per 1 juta penduduk), dan yang terendah di Fiji (10,0 per 1 juta penduduk)
dan Spanyol (10 per satu juta penduduk). Di Indonesia endiri, cedera tulang belakang yang
tercatat di RSUD Dr. Soetomo ratarata 111 kasus pertahun. Sejak tahun 1983–1997 terdapat
1592 kasus yang dirawat di RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
Penyebab Kompresi medula spinalis akut paling banyak diakibatkan oleh trauma yaitu
80% dari seluruh kasus kompresi medulla spinalis akut dengan insiden tersering yaitu
kecelakaan sepeda bermotor. kompresi medula spinalis terutama mengenai orang muda,
paling sering usia dewasa dibandingkan anak-anak dengan usia terbanyak 20-24 tahun dan
sekitar 65% kasus terjadi dibawah usia 35 tahun. Secara demografi KMSA lebih sering
mengenai laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3-4:1. Perbedaan insiden
pada laki-laki dan wanita insiden pada laki-laki mengenai dewasa dan puncak kedua pada
dekade ke 8, sementara wanita pada dewasa muda dan decade ke 7 dalam hidup.
Lokasi kompresi medula spinalis sering mengenai area servikal dan lumbal dengan
lesi paling sering setinggi C5, C4, C6, C7, T12, dan L1. Kepustakaan lain menyebutkan
insiden sesuai lokasi lesi, yaitu, servikal 40%, torakal 10%, lumbal 3%, dorsolumbal 35%,
lain-lain 14%.1,3,4 lesi pada servikal dikarenakan pada area ini digunakan sebagai
penompa beban dari kepala dan karena gerakan ekstensif yang dapat dihasilkan
dari servikal. Lesi pada lumbal dikarenakan bagian iniberfungsi menompa beban
berat yang dari bagian vertebrae diatasnya, beban batang tubuh dan adanya
gerakan yang luas.
2.3 Etiologi

Penyebab cedera medulla spinalis secara garis besar diakibatkan oleh trauma dan non
trauma. Trauma sendiri biasanya diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, olahraga,
kekerasan atau bahkan karena penyelaman dalam. Penyebab non trauma dapat diakibatkan
oleh kanker primer, metastase kanker, multiple sclerosis, arthritis, osteoporosis maupun
inflamasi pada spinal cord. Berikut adalah etiologi terbesar yang menyebabkan cedera

medulla spinalis:1–3

2.3.1 Trauma

Bentuk kompresi sumsum tulang belakang yang paling akut disebabkan oleh trauma di
mana 50% terjadi di tulang belakang leher dan sebagian besar sisanya di torakolumbalis dan
tulang belakang lumbar. Pasien biasanya laki-laki muda yang terlibat dalam kecelakaan lalu
lintas, jatuh dan sebagian karena aktivutas yang berhubungan dengan olahraga.

Gambar x.x herniasi disk sentral yang menekan medula spinalis anterior

Gambar x.x Fraktur vertebra yang mengakibatkan kompresi pada medula spinalis anterior
Trauma mengakibatkan KMSA melalui tiga cara. Pertama adalah melalui herniasi disk
sentral, kemudian kedua akibat kompresi tulang vertebra yang mengalami fraktur, dan
terakhir adalah subluksasi dari corpus vertebra. Trauma dapat terjadi pada semua tempat di
vertebra, namun lokasi yang paling sering adalah vertebra servikal, akibat gerakan servikal
yang lebih luas dan sendi facet yang lebih kecil. Karena vertebra servikal secara langsung
menerima beban dari kepala, maka jika terjadinya trauma kepala, maka trauma servikal juga
mungkin terjadi secara bersamsaan.

2.3.2 Lesi infeksi

Infeksi tulang belakang dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi kolumna


vertebrae, intervertebral disc, kanalis spinalis, dan jaringan lunak sekitar. Penyebab infeksi
spinal dapat diakibatkan karena adanya infeksi primer vertebra atau pada bagian tubuh lain
yang disebarkan melalui hematognous dengan etiologi penyebab tersering dikarenakan
pyogenic, granulomatosa dan parasite. Pyogenic disebabkan oleh bakteri (streptokokus,).
Sementara yang lain seperti mycobacterium, fungi, brucella dan sifilis mengakibatkan tipe
granulomatosa. Penting dalam memberakan pyogenik dan spondylitis tb karena terapi yang
tepat akan mengurangu diabilitas dan kerusakan fungsi.
Infeksi pada kanalis spinalis biasanya menyebabkan epidural spinalis abses yang
mengakibatkan KMSA. Lesi biasanya muncul pada ruang didalam dura. Abses subdural
mengenai ruang potensial antara dura dan arachnoid jarang terjadi. Sedangkan infeksi pada
parenkin korda spinalis disebut intramedullary abses. Infeksi pyogenic vertebrae paling
sering mengenai lumbal, diikuti thorak dan servikal yang paling sedikit (< 10 %).
Tuberculosis vertebrae paling banyak mengenai thorak kemudian lumbal.
Abses tulang belakang ekstradural dapat ditemukan di mana saja di dalam ruang
ekstradural tulang belakang tetapi ini tidak berhubungan dengan ruang ekstradural
intrakranial karena keduanya dipisahkan pada foramen magnum di mana lapisan luar
endosteal dari dura intrakranial melekat pada tulang. Dura vertebrae adalah lapisan tunggal
dengan ruang ekstradural yang paling menonjol di posterior dan di sinilah sebagian besar
abses ekstradural ditemukan, sebagian besar berada di tulang belakang dada atau lumbar.
Abses ekstradural serviks jarang terjadi dan biasanya dikaitkan dengan osteomielitis vertebra.
spondilitis TB diakibatkan karena persebaran hematogenus dan/atau inokulasi eksternal
langsung dari jaringan lunak yeng terinfeksi. Hematogenous arteri penyebabutama
persebaran jarak jauh. Wiley dan Trueta mendemonstasikan metafisi dan kartilago adalah
area pertama persebaran secara hematogen karena bakteri mudah menginvasi
metafisialplate.spondilitis TB biasanya menhancurkan bagian anteroinferior corpus vertebrae
dan menyebar ke anterior spinal ligament dan mengenai anterosuperior dibawah vertebra
yang terkena. Persebaran abses ke anterior karena abses mengenai anterior longitudinal
ligament dan periosteum. Bagaimanapun juga spondylitis TB jarang mengenai diskus hingga
fase terakhir infeksi. Sedangkan pada pyogenic spondilosisketika bakteri telah memasuki
sistemik vaskular akan mengakibatkan kerusakan diskus karena dihancurkan oleh enzim
bakteria. Pada spondylitis TB bagian anterior cancellous bone pada corpus vertebra dan
meluas dibawah anterior longitudinal ligament dan membentuk abses pasa sekitar corpus
vertebra. Abses yang terbentuk biasanya epidural abses. Berikut perbedaan pyogenic dan
tuberculosis TB.
Tabel x.x perbedaan gambaran spondilosis pyogenic dan spondilosis TB

Variabel Spondilosis Pyogenik Spondilosis Tuberkulosis


Para atau Intraspinal Abses Jarang Sering
Dinding Abses Tebal-Iregular Tipis-halus
Pemberian kontras Berbatas tidak tegas Berbatas tidak tegas
Abses pada pemberian Diskus abses Abses vertebral intraoseus
kontras
Keterlibatan Corpus homogen Heterogen dan fokal
vertebrae
Predileksi lumbal Thoraks
Drajat kerusakan diskus Destruksi moderate hingga Destruksi diskus normal
komplit hingga ringan
Destruksi tulang belakan Jarang-sedang Sering dan berat
lebih dari setengah
Demam Sering dan tinggi Intermiden dan tidak tinggi
Usia Tua Muda
Durasi Penyakit Cepat Lama
ESR dan CRP Meningkat Meningkat sedang

Pasien biasanya datang dengan gejala sistemik, tetapi karena abses membesar dan
mengompresi medulla spinalis maka gejala mielopatik secara bertahap berkembang, biasanya
selama beberapa hari. Gambaran klinis yang menonjol adalah nyeri tulang belakang dan
kelembutan tulang belakang lokal yang ditandai pada tingkat pembentukan abses. Mengetuk
proses spinosus ringan dengan palu tendon dapat memperoleh hal ini dan menunjukkan
diagnosis patologis.Terapi utama adalah menghilangkan pnyebab infeksi, dan
mengembalikan fungsi dan struktur tulang belakang.

2.3.3 Tumor dan Metastase

Kompresi spinal cord neoplastik yang paling sering disebabkan oleh metastase. Metastase
paling sering ditemukan di corpus vertebral dan pedikel dengan penyebaran langsung ke
kanal tulang belakang. Pada sekitar 5% kasus, metastasis tumor terbatas pada ruang
ekstradural tulang belakang. Metastase pada ruang ekstradural corda spinalis merupakan
bagian dari kegawatdaruratan onkologi. lokasi paling sering mengenai thorakal (59-78%),
diikuti lumbal (16-33%), dan yang terakhir servikal (4-13%). Metastase mengisi ruang
epidural dan biasanya mengenai dua atau lebih lokasi epidural.
Metsastase Epidural Spinal Cord Compression (MESCC) didefinisikan sebagai bukti
radiografis adanya lesi metastase epidural yang merubah bentuk korda spinalis dari posisi
normal di spinal kanal. Biasanya mengenai anterior vertebra atau ventral vertebra. Vertebrae
thorakalis merupakan lokasi paling sering dari metastase bone disease di tulang belakang
hingga 70% dari kasus metastase tulang belakang. Hal tersebut dikarenakan adanya system
drainase vena organ visceral yang melalui batson plexus dan lokasi yang dekat dengan
viscera abdomen dan viscera thorakal. 9-10
Intradural Extramedullary (IDEM) Tumor menempati 2 sampai 3 tumor tersering pada
intradural spine tumor. Penyebab paling sering adalah meningioma, neurofibroma, dan
schwanoa pada lokasi ini. Meningioma tumbuh dari arachnoid cap sel, 75% kasus berlokasi
pada thorakal vertebra, wanita merupakan penderita terbanyak dan bersifat benign.
Schawanoma berasal dari sel scwann posterior nerve roots dan sering berlokasi pada thorakal
dan lumbal bagian superior. Neurofibroma bersifat sporadik. IDEM pada thorakal vertebra
bermanifestasi pada area corticosponal yang cukup lama. Kaku dan gangguan otot
merupakan tanda primer diikuti spastisitas selanjutnya.
Intramedullary Spinal Cord (IMSC) tumor dengan presentase 2-8,5% dari SSP tumor,
merupakan tumor ketingga tersering pada tumor tulang belakang. Biasanya berasal dari glial
sel (90%). Tipe terbanyak astrositoma, ependymoma. Astrositoma biasa berlokasi di
pertemuan servikothorakal dan area posterior thorakal korda sppinalis. Ependymoma biasa
berlokasi di servikal spine tumbuh dari filum terminal. Manifestasi klinis paling sering pada
IMSC adalah nyeri thorakal setinggi lokasi tumor baik regional back pain maupun redikular.
Pasien juga menderita gangguan sensorik dan motoric dan spastisitas. Manifestasi paling
sering adalah scoliosis dengan spastik dan gangguan sensorik.
Tumor Primer kolumna vertebra jarang terjadi dan hanya mengenai 10% tumor yang
mengenai kolumna spinal. Pasien biasanya datang senganmasa pada vertebra dengan
impending atau tanpa adanya deficit neurogi dan minimal invasif. Tumor Osseous Primer
dibagi menjadi tiga katagori, benign, benign tetapi agresif loka, dan malignan. Benign tumor
yaitu hemangioma, osteoid osteoma/osteoblastoma, chondroma/osteochondroma, aneurysma
bone cyst, dan eosinophilik neolplasma. Hemangioma merupakan neoplasma primer paling
sbanyak dan sering mengenai area thorkal. Hemangioma juga dapat bersifat atypical dan
berlaku aggresif dan dapat mengkompresi korda spinalis. Tipe Malignan
diantaranyaplasmasitoma, chondrosarcoma, dan osteosarcoma. Biasanya juga mengenai
thorakal vertebra.

2.3.2 Kompresi medulla spinalis oleh hematoma


Hematoma ekstradural dan subdural merupakan kondisi yang umum dalam bedah saraf,
tetapi jarang ditemukan pada tulang belakang. Hematoma subdural jarang dilaporkan.
Hematoma epidural, walaupun jarang, merupakan penyebab kompresi medulla spinalis yang
dikaitkan dengan pasien yang menerima terapi antikoagulan. Pungsi lumbal pada kelompok
pasien ini dapat menyebabkan pembentukan hematoma epidural tulang belakang. Sebagian
besar terjadi tanpa alasan tertentu meskipun dalam literatur mereka dikaitkan dengan, atau
bahkan terkait dengan, apa yang mungkin digambarkan sebagai trauma kecil dari kehidupan
sehari-hari.

Tampaknya lebih mungkin bahwa ini adalah faktor kebetulan daripada sebab akibat. Ada
sedikit bukti bahwa kelainan arteriovenosa pada vertebra atau bentuk lain dari malformasi
angiomatosa berhubungan secara kausal dengan lebih dari sejumlah kecil hematoma epidural.

Gejala klinis yang ditimbulkan mirip dengan beberapa bentuk kompresi spinal yang lain.
Hematoma membuat kombinasi antara spinal pain dan root pain, yang diikuti dengan
myelopathy progresif tergantung dengan tingkat kompresi. Proses perkembangannya sebagian
memerlukan waktu beberapa hari dan myelopati dirasakan beberapa minggu kemudian.
Sebagian besar yang lain memerlukan waktu yang cept dalam satu hingga dua hari dan
diagnosis dikonfirmasi dengan MRI atau CT-SCAN.
2.4 Patofisiologi

Gambaran klinis kompresi medulla akut primer biasanya merupakan hasil dari dampak
traumatis mendadak pada tulang belakang yang menyebabkan patah tulang atau dislokasi
tulang belakang. Kekuatan mekanis awal yang sampai ke medulla spinalis pada saat cedera
dikenal sebagai cedera primer adalah "displasce fragmen tulang, diskus, robekan atau memar
pada ligamen ke jaringan sumsum tulang belakang". Sebagian besar cedera tidak sampai
memutus sumsum tulang belakang. Empat mekanisme utama cedera primer telah
diidentifikasi meliputi: 1) Dampak kompresi persisten; 2) Dampak langsung kompresi
transien; 3) Distraksi; 4) Laserasi / transeksi. Bentuk paling umum dari cedera primer adalah
dampak dari kompresi persisten, yang biasanya terjadi melalui burst fraktur dengan fragmen
tulang yang menekan sumsum tulang belakang atau karena cedera fraktur-dislokasi. Dampak
transien kompresi yang diamati lebih jarang dengan yang paling sering pada cedera
hiperekstensi. Cidera terjadi ketika dua vertebra yang berdekatan ditarik dan dipisahkan
sehingga menyebabkan menyebabkan columna spinal teregang dan terobek pada bidang
aksial. Terakhir, laserasi dapat terjadi karena cedera dislokasi parah, atau dislokasi fragmen
tulang yang tajam dan dapat terjadi karena peristiwa yang sangat bervariasi mulai dari cedera
ringan hingga transeksi komplit. Fraktur lumbal burst bawah dan disosiasi lumbosakral lebih
sering terjadi pada cedera tempur. Terlepas dari bentuk cedera primer, kekuatan yang diterima
secara langsung merusak jalur asenden dan desenden di sumsum tulang belakang dan
mengganggu pembuluh darah dan membran sel yang menyebabkan spinal shock, sistemik
hipotensi, vasospasme, iskemia, ketidakseimbangan ionik, dan akumulasi neurotransmitter.
Sampai saat ini, perawatan klinis yang paling efektif untuk membatasi kerusakan jaringan
setelah cedera primer adalah dekompresi bedah awal (<24 jam postinjury) dari sumsum tulang
belakang yang cedera. Secara keseluruhan, luasnya cedera primer menentukan keparahan dan
hasil SCI.1

Kompresi medulla akut sekunder terjadi beberapa menit setelah inisial kompresi medulla
akut primer dan berlanjut beberapa minggu hingga bulan dan mengakibatkan progresivitas
kerusakan jaringan korda spinalis disekitas lokasi lesi. Konsep dari kompresi medulla akut
sekunder diperkenalkan oleh Allen pada 1911 ketika mempelajari kasus ini pada anjing
dimana setelah tauma hematomyelia adanya peningkatan luaran neurologis. Hipotesis yang
Allen rancang berupa adanya factor biomekanik pada lesi nekrosis hemorrhagic menyebabkan
kerusakan lebih jauh pada korda spinalis. Terminology cidera sekunder masih digunakan pada
kasus ini dan mengacu pada serial seluler, molekuler, dan fenomena biokimia
yang melanjutkan mekanisme rusaknya jaringan korda spinalis dan mengganggu proses
penyembuhan pada cidera akut medulla spinalis. Cedera sekunder dapat terjadi pada fase akut,
sub akut, dan kronis. Fase akut dimulai segera setelah kompresi medulla diantaranya
kerusakan vaskular, ketidakseimbangan ionic, akumulasi neurotransmitter (excitotoxicity),
radikal bebas, influx kalsium, lipid peroxidase, inflamasi, edema, dan nekrosis. Progress dari
pada cedera kemudian akan diikuti fase sub akut yaitu dimulai dengan apaptosis, demyelinasi
dari akson yang bertahan, wallerian degenerasi dan kematian kembali aksional, remodeling
matrix dan evolusi jaringan parut glial. Perubahan lebih jauh terjadi pada fase kronis dimana
terjadi pembentukan cavitas kistik, progresivitas kematian aksioal dan maturasi dari jaringan
parut glial.

Gambar 1. Efek sekunder pada patofisiologi cedera medulla spinalis.

Diagram skematik ini menggambarkan komposisi sumsum tulang belakang normal dan
cedera. Dari catatan, sementara peristiwa ini ditunjukkan dalam satu lesi kontra dan ipsilateral
dan plastisitas.
Gambar 2. skematik komposisi tulang belakang normal dan yang mengalami
cedera.
Gambar 3. Respon Immune

2.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis yang timbul tergantung pada tingkat keparahan dan lokasi cedera.
Biasanya, gejala lebih parah jika lokasi lesi lebih tinggi. Misalnya, cedera pada leher, di C1
atau C2 (pertama dan kedua tulang leher di tulang belakang), mempengaruhi otot-otot
pernapasan dan kemampuan untuk bernapas. Lokasi cedera yang lebih rendah, di vertebra
lumbalis, dapat mempengaruhi kontrol saraf dan otot ke kandung kemih, usus dan kaki.
Gambaran kardinal dari kompresi medula spinalis akut adalah adanya nyeri disertai salah
satunya yaitu paralisis tungkai relatif simetris, retensi atau inkontinensia urin, dan hilangnya
sensasi atau fungsi sensorik dapat muncul diawali dengan hilangnya rasa yang dimulai dari
kaki, lalu meningkat hingga ke level kompresi medulla.1–3

a. Nyeri
Ditemukan pada 90-95% pasien. Terdapat dua tipe nyeri:
• Nyeri punggung lokal merupakan nyeri yang hampir selalu muncul sifatnya
konstan dan lokasi dekat dengan lesi. Nyeri berkurang pada saat duduk atau
berdiri, tidak seperti kelainan pada diskus yang reda jika berada pada posisi
berbaring. Eksaserbasi dengan peningkatan tekanan intratoraks (bersin, batuk,
maneuver Valsalva, serta mengedan).
• Nyeri radikular merupakan kompresi yang terjadi pada spinal root, ditemukan
pada 66% pasien, sering ditemukan pada kejadian metastasis lumbosacral
(90%) dan servikal (79%) dibandingkan dengan metastasis pada toraks
(55%). Pasien merasa nyeri yang menjalar dari belakang ke depan. Pada
ekstremitas, nyeri radicular biasanya unilateral. Eksaserbasi dengan posisi
berbaring, bergerak, batuk, bersin, dan manuver valsalva Nyeri ini memburuk
pada malam hari dan menjalar sesuai dengan dermatom.
b. Kelemahan pada tungkai
Gejala akan muncul jika tidak ditangani dengan seksama, diawali dengan adanya
kekakuan dan perasaan ingin jatuh (ketidakseimbangan).
c. Kelainan sensoris
Gejala yang diawali dengan hilangnya rasa yang dimulai dari kaki, lalu meningkat
hingga ke level kompresi medulla. Daerah yang mengalami mati rasa jika diraba
akan terasa dingin.
d. Disfungsi anatomis
Tanda-tanda awal ialah hilangnya kontrol berkemih, urgensi. Tanda-tanda akhir
berupa retensi urin, serta overflow incontinence. Ditemukan gejala konstipasi dan
hilangnya perspirasi keringat didaerah bawah lesi.

Lokasi dari kerusakan pada medula spinalis menentukan otot dan sensasi yang
terkena. Kelemahan atau kelumpuhan serta berkurangnya atau hilangnya rasa
cenderung terjadi di bawah daerah yang mengalami cedera. Tumor atau infeksi di
dalam atau di sekitar medula spinalis bisa secara perlahan menekan medula, sehingga
timbul nyeri pada sisi yang tertekan disertai kelemahan dan perubahan rasa. Jika
keadaan semakin memburuk, nyeri dan kelemahan akan berkembang menjadi
kelumpuhan dan hilangnya rasa, dalam beberapa hari atau minggu. Jika aliran darah
ke medula spinalis terputus, maka kelumpuhan dan hilangnya rasa bisa terjadi dalam
waktu hanya beberapa menit. Penekanan medula spinalis yang berjalan paling lambat
biasanya merupakan akibat dari kelainan pada tulang yang disebabkan oleh artritis
degenerativa atau tumor yang pertumbuhannya sangat lambat. Penderita tidak
merasakan nyeri atau nyeri bersifat ringan, perubahan rasa (misalnya kesemutan) dan
kelemahan berkembang dalam beberapa bulan.

2.6 Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis yang adekuat, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang.1–3

a. Pemeriksaan fisik
Pada semua pasien dengan kecurigaan akibat trauma, pemeriksaan awal dimulai
dengan penilaian kondisi jalan napas (airway), pernapasan (breathing) dan peredaran
darah (circulation). Selain itu, adanya riwayat penyakit kardiopulmonal harus
diketahui melalui anamnesis, karena memengaruhi fungsi paru. Penemuan dari
pemeriksaan fisik biasanya terbatas pada kelainan pada sistem neurologis, yang terdiri
atas gabungan lesi pada upper motor neuron dan lower motor neuron yang mensuplai
ekstremitas atas yang mengakibatkan paralisis flaksid parsial, dan lesi yang lebih
dominan pada upper motor neuron yang mensuplai ekstremitas bawah yang
mengakibatkan paralisis spastik. Pemeriksaan neurologis harus dilakukan dengan teliti
untuk memperikirakan lokasi lesi pada medulla spinalis :
- Kelemahan pada ekstremitas atas biasanya akan lebih parah daripada kelainan
pada ekstremitas bawah, dan terutama terjadi pada otot-otot tangan bagian
distal. Jika terjadi kompresi cauda equina akut yang disebabkan oleh lesi di
lumbar, menyebabkan paraparesis flaksid dan inkontinensi dini, temuan yang
hampir serupa pada pasien dengan sindroma syok spinal.
- Kehilangan kemampuan sensori hingga derajat tertentu, meskipun sensasi
sakral biasanya masih utuh. Kemampuan kontraksi anus dan tonus sfingter
serta refleks babinski harus diperiksa. Tanda-tanda hiperreflexia dan babinski,
biasanya merupakan karakteristik dari adanya suatu penyakit intrinsik medulla
spinalis, dan tidak terdapat dalam kasus kompresi medulla spinalis akut,
terutama jika penyebabnya adalah trauma.
- Refleks regang otot biasanya hilang pada awalnya tapi dapat kembali muncul
namun disertai oleh spatisitas otot yang bersangkutan. Awalnya, tungkai
menjadi flaksid dan arefleksia, kemudian harus diwaspadai apakah disertai
dengan hipotensi sistemik karena bisa jadi merupakan syok spinal.

Kelalaian yang paling sering dalam melakukan pemeriksaan fisik yaitu saat
melakukan pemeriksaan fungsi sensorik diatas klavikula dimana temuan yang ada
dapat mengindikasikan terjadinya kompresi medulla spinalis servikal,
kelalaian perkusi tulang belakang yaitu suatu manuver yang dapat mengungkapkan
apakah terdapat penyakit atau fraktur metastasis. Walaupun pemeriksaan fisik saat ini
tidak begitu menonjol di era modern Magnetic Resonance Imaging (MRI),
pemeriksaan neurologis tetap merupakan bagian penting dalam evaluasi untuk
kompresi medulla spinalis akut.

b. Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada tes laboratorium spesifik yang diperlukan untuk membantu menegakkan
diagnosis. Tetapi beberapa pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengevalusi
kondisi pasien :
- Darah lengkap
Diperlukan untuk mengarahkan diagnosis jika tidak ada penyebab dasar
yang dicurigai
- Arterial blood gas (ABG)
Diperlukan untuk mengevaluasi kondisi oksigenasi dan ventilasi yang
adekuat.
- Level laktat
Untuk monitoring kondisi perfusi, mendeteksi adanya kondisi syok.
- Level hemoglobin / hematokrit
Untuk monitoring kondisi kehilangan darah karena cedera yang terjadi.
- Urinalisis
Berfungsi untuk monitoring kondisi genitourinary injury.

2. Pemeriksaan Radiologi
- Foto polos
Foto polos posisi antero-posterior dan lateral pada daerah yang
diperkirakan mengalami trauma akan memperlihatkan adanya fraktur dan
mungkin disertai dengan dislokasi. Pada ruang gawat darurat, foto lateral
daerah vertebra yang diperkirakan mendapat trauma harus dikerjakan segera,
meskipun penderita telah membawa foto dari rumah sakit sebelumnya
(khususnya pada trauma daerah servikal). Tujuan tindakan ini adalah untuk
memastikan bahwa tidak terjadi perubahan jajaran vertebra (alignment)
sewaktu diangkat/ dipindahkan. Foto polos servikal harus mampu
menunjukkan gambaran fraktur maupun dislokasi dan derajat spondilitik pada
korpus vertebra cervikal. Foto pada posisi leher ekstensi dan fleksi dapat
membantu mengevaluasi stabilitas ligamentum flavum. Pada kecurigaan
trauma daerah servikal foto dengan posisi mulut terbuka dapat membantu
dalam memeriksa adanya kemungkinan fraktur vertebra C1- C2.
- CT Scan
Dapat menunjukkan adanya gangguan pada kanalis spinalis dan dapat
memberikan informasi mengenai derajat penekanan yang terjadi pada medula
spinalis.
Gambar 1 CT Scan kompresi medulla spinalis

- MRI
Dapat menunjukkan secara langsung tekanan/kompresi pada medula
spinalis oleh tulang, vertebral disc atau hematoma.

Gambar 2 MRI kompresi medulla spinalis

3. Pungsi Lumbal
Berguna pada fase akut trauma medula spinalis. Sedikit peningkatan tekanan
liquor serebrospinal dan adanya blokade pada tindakan Queckenstedt menggambarkan
beratnya derajat edema medula spinalis, tetapi perlu diingat tindakan pungsi lumbal ini
harus dilakukan dengan hati- hati, karena posisi fleksi tulang belakang dapat
memperberat dislokasi yang telah terjadi. Dan antefleksi pada vertebra servikal harus
dihindari bila diperkirakan terjadi trauma pada daerah vertebra servikalis tersebut.

4. Mielografi
Mielografi tampaknya tidak mempunyai indikasi pada fase akut trauma medula
spinalis. Tetapi mielografi dianjurkan pada penderita yang telah sembuh dari trauma
pada daerah lumbal, sebab sering terjadi herniasi diskus intevertebralis

Penentuan tingkat dan severitas dari suatu trauma medula spinalis, maka dapat menggunakan
ASIA impairment scale (AIS). Dimana terdapat 5 derajat (A, B, C, D, dan E)
o A= “complete” menandakan tidak adanya fungsi sensoris ataupun motoris yang intak
pada segmen sakral S4-S5
o B= “sensory incomplete” menandakan bahwa fungsi sensoris masih berfungsi
dibawah lokasi dari lesi. Namun fungsi motorik tidak intak
o C= “motor incomplete” fungsi motorik masih intak dibawah lokasi lesi, namun lebih
dari setengah kekuatan otot pada otot dibawah lesi memiliki kekuatan kurang dari 3
o D= “motor incomplete” fungsi motorik masih intak dibawah lokasi lesi, namun
setidaknya setengah dari otot dibawah lesi memiliki kekuatan otot lebih dari sama
dengan 3
o E= “normal” memiliki fungsi sensoris dan motoris yang normal, namun tidak
digunakan jika pasien tidak memiliki riwayat trauma vertebra

2.6 Diagnosis Banding


a. Lumbago
Terdapat rasa nyeri hanya di sekitar daerah pinggang bawah tanpa radiasi.
Adanya sciatika dengan nyeri punggung bawah yang menyebar ke bokong atau
anggota tubuh bagian bawah, tergantung pada dermatome yang terkena. Keduanya
sering disebabkan oleh herniasi diskus yang menekan saraf keluar, menghasilkan
tanda-tanda lower motor neuron.

b. Mielitis tranversa
Ditandai dengan paraplegia atau tetraplegia akut atau sub akut, kadang
asimetris disertai nyeri punggung dan hilangnya sensasi sensoris. Infeksi virus
sebelumnya (mononukleosis) kadang terjadi kadang tidak. Cairan serebrospinalis
menunjukkan pleositosis dengan meningkatnya protein dan glukosa normal.
Mielografi biasanya diperlukan untuk menyingkirkan lesi.
c. Mielopati transversa akut
Terjadi akibat sumbatan bagian arteri spinalis anterior. Biasanya terjadi gangguan
fungsi motorik dan nyeri serta suhu, sedangkan sensasi posisi dan getar tidak
terganggu sehubungan dengan struktur anatomi aliran pembuluh darah pada medula
spinalis

2.7 Treatment
Kompresi medula spinalis akut (KMSA) memiliki beragam etiologi, sehingga
penanganannya harus disesuaikan dengan mekanisme terjadinya kompresi. Pada kejadian
KMS traumatik seperti pada kasus trauma lainnya diawali dengan survey primer melalui

algoritma ATLS yaitu ABCDE.5

Tindakan pertama adalah pemeriksaan (A) atau airway dan restriksi gerakan vertebra
servikal. Pemeriksaan airway dilakukan dengan cara inspeksi apakah ada tanda-tanda
obstruksi dari darah ataupun benda asing; kemudian memeriksa apakah adanya trauma fasial,
mandibula, trachea dan trauma lainnya yang dapat mengakibatkan obstruksi jalan nafas;
selanjutnya adalah melakukan suction untuk membersihkan jalan nafas dari darah.
Memperbaiki jalan nafas awalnya dapat melalui metode jaw-thrust atau chin-lift, kemudian
dapat dilakukan pemasangan alat orofaring. Pada pasien dengan GCS kurang dari 8 atau pada
pasien dengan cedera kepala berat harus dilakukan pemasangan jalan nafas paten melalui
intubasi. Untuk restriksi gerakan vertebra servikal, maka cervical collar digunakan.5

Pemeriksaan (B) breathing berupa pemeriksaan ventilasi yang dapat dilakukan dengan
berbagai pemeriksaan seperti pemeriksaan jugular venous pressure (JVP), posisi trakea,
pemeriksaan toraks yang meliputi inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Pasien sebaiknya

juga dilakukan monitor saturasi oksigen, dan pemberian oksigen secara adekuat.5

Pemeriksaan (C) circulation bertujuan untuk mengetahui gambaran hemodinamik


pasien. Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan derajat kesadaran, perfusi ke jaringan, dan
pemeriksaan nadi. Pasien juga sebaiknya dilakukan pemeriksaan apakah terdapat sumber
pendarahan baik eksternal maupun internal. Pendarahan eksternal sebaiknya dikendalikan
agar tidka terjadi pendarahan lebih lanjut. Pendarahan internal diketahui melalui beberapa

metode seperti DPL dan USG FAST.5

Pemeriksaan (D) disability adalah pemeriksaan neurologis yang singkat, metode yang
digunakan biasanya adalah GCS. Ketika adanya penurunan angka GCS maka dapat
merupakan adanya tanda penurunan perfusi ke jaringan serebral ataupun kerusakan serebral
sendiri. Pemeriksaan (E) eksposure berupa pemeriksaan seluruh tubuh pasien, sehingga
pakaian pasien dilepas semua sehingga dapat dilakukan pemeriksaan pada seluruh permukaan
pasien.5

Pada kasus KMSA trauma, penggunaan corticostreoid masih dalam tahapan


controversial. Beberapa studi RCT menunjukkan adanya hasil positif dalam penggunaan
corticostreoid, namun setelah analisis ulang dan beberapa penelitian lain menghasilkan hasil
negatif, beberapa institusi telah meninggalkan penggunaan corticosteroid. Pada kasus ini juga
dapat terjadi hipotensi sistemik, sehingga penggunaan vasopressor dapat digunakan untuk
mempertahankan MAP 85 hingga 90 mmHg.1

Tindakan operasi dapat dilakukan pada KMSA trauma untuk menghilangkan fragmen
tulang belakang yang menekan medula spinalis dan memperbaiki kelurusan. Tindakan
pembedahan memiliki hasil paling baik ketika tindakan dilakukan dalam 24 jam setelah
trauma. Stabilisasi dicapai melalui fiksasi internal dengan sekrup yang ditempatkan pada
struktur tulang belakang atau tulang belakang, yang dihubungkan dengan batang atau pelat .
Penggabungan segmen tulang belakang mungkin diperlukan untuk stabilitas jangka panjang
dan dilakukan dengan mendekortasi permukaan tulang yang berdekatan dan menggunakan
cangkok tulang autologus atau kadaver atau bahan sintetis. Penyembuhan tulang selama
beberapa bulan menciptakan artrodesis antara badan vertebra yang berdekatan. Prosedur
dekompresi, fiksasi, dan fusi kombinasi dapat mengalami komplikasi infeksi yang jarang
namun serius, kegagalan perangkat keras, pseudoarthrosis, dan perubahan degeneratif yang
tertunda pada tingkat tulang belakang yang berdekatan. Traksi dapat mengembalikan
kelurusan tulang belakang, dan fiksasi eksternal dengan halo atau brace dapat
mempertahankan penyelarasan, tetapi ini biasanya bukan perawatan yang tahan lama untuk
kompresi sumsum tulang belakang.1

Pengobatan KMSA akibat malignansi dengan radioterapi dan dekompresi bedah


sebagian bersifat paliatif, tetapi penyembuhan paraplegia dan pengurangan nyeri mungkin
dilakukan untuk periode yang cukup lama. Infiltrasi vertebral dengan tumor yang tidak
menekan tali pusat dapat dikelola dengan radiasi jika tulang belakang stabil. Baik perawatan
bedah dan radiasi harus ditambahkan dengan glukokortikoid. Keterlambatan dalam
pengobatan dapat berhubungan dengan hilangnya fungsi neurologis

Glukokortikoid pada KMSA akibat malignansi dapat mengurangi gangguan neurologis


dan nyeri tulang belakang, tetapi dosis yang paling efektif belum ditetapkan. Dosis awal 100
mg deksametason telah digunakan, tetapi sebuah penelitian menunjukkan bahwa dosis yang
lebih rendah mungkin sama-sama efektif. Sebagai contoh, 10 mg yang diberikan secara
intravena, diikuti dengan dosis oral 4 mg setiap 6 jam dan penurunan jumlah yang diberikan
secara oral selama minggu-minggu berikutnya, adalah rejimen yang khas. Dosis ini sudah
terkenal risiko, tetapi sudah sesuai karena mereka mengurangi edema medula spinalis dan
mengurangi rasa sakit dan kelemahan.1,6

Operasi radiologis (radiosurgery) dapat dilakukan pada KMSA malignansi melalui


pemberian dosis radiasi tinggi ke daerah terbatas dengan bantuan pencitraan rontgen dan
radiasi yang sesuai dengan bentuk tumor selama satu atau beberapa perawatan. Tindakan ini
mungkin lebih unggul daripada radioterapi konvensional untuk metastasis tulang belakang,
termasuk untuk beberapa tumor yang resisten dengan radiasi. Namun, ulasan subjek
mengakui rendahnya bukti untuk keunggulan radiosurgery dibandingkan teknik radiasi
lainnya untuk kompresi tali pusat akut.1

Singkatnya, operasi tulang belakang adalah metode paling cepat untuk menghilangkan
KSM dan diperlukan jika terdapat ketidakstabilan tulang belakang. Radiasi biasanya
diberikan setelah dekompresi bedah. Jika radioterapi dapat diberikan segera, dapat digunakan
untuk mengobati kompresi tali pusat karena tumor hematologis. Pasien yang tidak diharapkan
untuk bertahan hidup lebih lama dari waktu yang diperlukan untuk pemulihan dari operasi
(umumnya 2 sampai 3 bulan) dirawat dengan radioterapi paliatif.1,6

2.8 Prognosis

Pasien dengan cedera tulang belakang lengkap memiliki kesempatan kurang dari 5%
untuk pemulihan. Jika kompresi komplit berlanjut pada 72 jam setelah cedera kemungkinan
untuk penyembuhan kembali adalah 0. Sekitar 10-20% dari pasien yang telah menderita
kompresi akut tulang belakang tidak bertahan untuk mencapai rumah sakit sedangkan sekitar
3% dari pasien meninggal selama rawat inap akut. Angka harapan hidup bagi pasien dengan
cedera tulang belakang terus meningkat namun masih di bawah populasi umum. Pasien
berusia 20 tahun memiliki harapan hidup sekitar 35 tahun (pasien dengan tetraplegia tinggi
[C1-C4]), 40 tahun (pasien dengan tetraplegia rendah [C5-C8]), atau 45 tahun (pasien dengan
paraplegia). Individu berusia 60 tahun pada saat terjadi cedrea atau kompresi akut medulla
spinalis memiliki harapan hidup sekitar 7,7 tahun (pasien dengan tetraplegia tinggi), 9,9 tahun
(pasien dengan tetraplegia rendah), dan 12,8 tahun (pasien dengan paraplegia).6
Daftar Pustaka

1. Article R. Acute Spinal Cord Compression. 2017;

2. Rogers WK, Assistant C, Todd M. Short Title : Acute Spinal Cord Injury. Best Pract
Res Clin Anaesthesiol [Internet]. 2015; Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.bpa.2015.11.003

3. Care N, Phelan KHO. Emergency Neurologic Life Support : Spinal Cord Compression.
Neurocrit Care. 2017;

4. Kirshblum SC, Burns SP, Biering-sorensen F, Donovan W, Graves DE, Jha A, et al.
International standards for neurological classification of spinal cord injury ( Revised
2011 ). 2011;34(6):535–46.

5 ATLS. Initial Assesment and Management. ATLS: Advanced Trauma Life Support
Student Course Manual. 2018

6 Ropper AH, Samuels MA. Adams and Victors’s Principles of Neurology Nine Edition.
Mc Graw Hill Inc. New York. ISBN : 978-0-07-149992-7.

7 Kyu Yeol Lee. Comparison of Pyogenic spondilosis and Tuberculosis Spondilosis.


Asian Spine Journal. Asian Spine J 2014;8(2):216-223.

8 Sciubba, Daniel M, Spinal Cord Compression. Abeloff’s Clinical Oncology, 2014

9 Aregawi, Dawit G, Schiff David, Handbook of clinical Neurology, 2012

10 M.H.Y, Rades D. Metastatic Epidural Spinal Cord Compression. Supportive radiation


oncology. 2017.

11

Anda mungkin juga menyukai