Anda di halaman 1dari 37

1.

‫َللا عن َْد َمثُوبَةْ ذَلكَْ منْ بش َِّْر أُنَبِّئُكُمْ َهلْ قُ ْل‬


ّْ ْ‫َللاُ لَ َعنَ ْهُ َمن‬
ّْ ‫ب‬ َ ‫علَيهْ َو‬
َْ ‫غض‬ َ ‫ير الق َر َد ْةَ من ُه ُْم َو َج َع َْل‬
َْ ‫عبَ َْد َوال َخنَاز‬ ُ ‫ال ّطا‬
َ ‫غوتَْ َو‬
ُ َ
َْ‫س َواءْ عَنْ َوأضَلْ َمكَانا شَرْ أولَئك‬ َ ْ‫سبيل‬ ّ ‫ال‬
Katakanlah: "Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih
buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang
dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan
(orang yang) menyembah thaghut?" Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat
dari jalan yang lurus.

2. Adapun orang yang termasuk miskin adalah orang yang sudah memiliki pekerjaan halal
dan sejumlah harta, tetapi masih belum mampu mencukupi kebutuhan hidupnya
sekaligus orang yang berada dalam tanggungjawabnya. Umpamanya, orang yang butuh
10 (sepuluh), tetapi hanya memiliki 7 (tujuh) atau 8 (delapan). Orang miskin, mampu
mencukupi sekitar 70-80% dari kebutuhannya.

Al-Qur’an dan Hadits tidak menetapkan angka tertentu dan pasti sebagai ukuran kemiskinan
namun al-Qur’an menjadikan setiap orang yang memerlukan sesuatu dengan fakir atau miskin,
sehingga para pakar Islam berbeda pendapat dalam menetapkan standar atau tolak ukur
kemiskinan dan berusaha menemukan sesuatu dalam ajaran Islam yang dapat digunakan sebagai
tolak ukur kemiskinan, yakni dengan menggunakan zakat.

Zakat adalah bagian dari pendapatan dan kekayaan masyarakat yang berkecukupan yang
diperoleh dari usaha di berbagai sektor seperti pertanian, perdagangan, jasa yang menjadi hak dan
harus diberikan kepada orang yang berhak dengan taraf yang berbeda-beda yang dipotong dalam
hitungan setahun, tetapi distribusinya dapat dilakukan sepanjang waktu.

Dalam zakat terdapat ketentuan bahwa suatu pendapatan atau kekayaan itu wajib dizakati
jika dalam setahun sudah memenuhi nishab. Nishab untuk zakat maal adalah pendapatan atau
kekayaan setara 89 gr emas setahun. Jika harga emas 24 karat itu Rp 24.650/gr maka nilai 89 gr
emas murni adalah Rp 2.293.850 setahun. Inilah garis batas dalam kriteria pendapatan antara yang
miskin dan berhak menerima zakat dan yang cukup dan wajib berzakat. Zakatnya adalah 2 ½ %
yang berarti Rp 54.846 per tahun. Jika pendapatannya Rp 182.821 per bulan, maka zakatnya Rp
4.571 per bulan.[1]
3.Islam melarang keras umatnya untuk meminta-minta kepada orang lain. Karena hal itu
merupakan akhlak tercela, sedangkan jiwa seorang muslim itu mulia dan tidak suka
mengharapkan uluran tangan dari orang lain. Namun, ada tiga golongan yang diperbolehkan
untuk meminta-minta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ ورجل أصابته جائحة اجتاحت‬،‫ رجل تحمل حمالة فحلت له المسألة حتى يصيبها ثم يمسك‬: ‫إن المسألة ال تحل ألحد إال لثالثة‬

ً ‫ ورجل أصابته فاقة فقال ثالثة من ذوي الحجى من قومه لقدأصابت فالنا‬،‫ماله فحلت له المسألة حتى يصيب قواما ً من عيش‬

‫ فحلت له المسألة حتى يصيب قواما ً من عيش‬،‫فاقة‬

“Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal kecuali untuk salah satu dari tiga orang: Pertama,
orang yang menanggung kerugian dalam mendamaikan (dua kabilah yang berperang), maka
boleh bagianya meminta-minta hingga ia mendapatkan kecukupan untuk membeyar semuanya.
Kedua, seseorang yang bangkrut, maka ia boleh meminta-minta hingga ia mendapatkan sesuatu
yang mencukupi hidupnya. Ketiga, orang yang sangat fakir, dan disaksikan oleh tiga orang yang
adil di kaumnya tersebut bahwa ia benar-benar orang fakir, maka ia boleh meminta-minta hingga
mendapatkan kecukupan.”

4.Dalam memberikan jaminan bagi umat Islam menuju taraf hidup yang terhormat, Islam
menjelaskan berbagai cara dan jalan. Di antaranya sebagai berikut:

1. BEKERJA.
Setiap orang yang hidup dalam masyarakat Islam diwajibkan bekerja atau mencari nafkah.
Mereka juga diperintahkan agar berkelana di muka bumi ini serta makan dari rezeki Allah Azza
wa Jalla . Allah Azza wa Jalla berfirman:

‫ور‬
ُ ‫ش‬ُ ُّ‫شوا فِي َمنَا ِك ِب َها َو ُكلُوا ِم أن ِر أزقِ ِه ۖ َو ِإلَ أي ِه الن‬ ‫وًل فَ أ‬
ُ ‫ام‬ َ ‫ه َُو الَّذِي َج َع َل لَ ُك ُم أاْل َ أر‬
‫ض ذَلُ ا‬

”Dia-lah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di
segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu
(kembali setelah) dibangkitkan.” [al-Mulk/67:15]
Mencari nafkah merupakan senjata utama untuk mengatasi kemiskinan. Ia adalah sarana
pokok untuk memperoleh kekayaan serta merupakan faktor dominan dalam memakmurkan dunia.
Dalam Islam, seorang buruh tidak boleh dihalang-halangi untuk menerima upah kerjanya. Bahkan
ia harus menerima upah sebelum keringatnya kering.

Islam memberikan motivasi yang mendorong gairah kerja dan berusaha, serta menggugah
kesadaran untuk bepergian di atas permukaan bumi ini.

Ada sekelompok orang yang enggan dan malas bekerja dengan dalih ”Bertawakal kepada
Allah Azza wa Jalla ”. Pendirian seperti ini tidak dibenarkan oleh Islam. Bertawakal kepada Allah
Azza wa Jalla bukan berarti diam dan tidak bekerja. Tawakal adalah berusaha, berikhtiar sambil
berdo’a dan menggantungkan harapan hanya kepada Allah Azza wa Jalla saja. Sebagai Muslim,
hendaklah kita berpedoman kepada sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ada
seseorang yang membiarkan untanya terlepas, tanpa diikat, dengan dalih bertawakal kepada Allah.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegurnya dengan mengatakan:

‫أع ِق أل َها َوت ََو َّك أل‬


Ikatlah dulu untamu itu kemudian baru engkau bertawakkal.[1]

Ini berarti tawakal itu dilakukan sesudah berusaha mencari rezeki.


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

َ ‫صا َوت َُر أو ُح ِب‬


‫طاناا‬ َّ ‫أو أَنَّ ُك أم تَت ََو َّكلُ أونَ َعلَى هللاِ َح َّق ت ََو ُّك ِل ِه لَ َرزَ قَ ُك أم َك َمـا َي أر ُز ُق ال‬
‫ تَ أغد ُو ِخ َما ا‬، ‫طي َأر‬

Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sungguh-sungguh tawakal kepada-Nya,


sungguh kalian akan diberikannya rezeki oleh Allah sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada
burung. Pagi hari burung itu keluar dalam keadaan perut kosong, lalu pulang di sore hari dalam
keadaan kenyang.”[2]

Demikian pula para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka hidup dengan berdagang,
baik di laut maupun di darat. Mereka bekerja sesuai dengan keahliannya. Sesungguhnya Allah
telah menciptakan bumi dan memberkahi di dalamnya, melengkapinya dengan bahan-bahan
makanan, perbekalan-perbekalan, dan sumber-sumber kekayaan di dalam bumi maupun
dipermukaannya, untuk kebutuhan hidup hamba-hamba-Nya. Allah Azza wa Jalla menerangkan
hal ini dalam banyak ayat, di antaranya dalam Surat al-A’raaf/7 ayat 10; al-Israa’/17 ayat 70;
Ghaafir/40 ayat 64); Huud/11 ayat 6)dan lain-lain.
Sunnatullâh telah berlaku bagi semua makhluk, bahwa segala rezeki yang terkandung di
dalam bumi, bahan-bahan makanan yang telah disiapkan, serta sumber-sumber kekayaan yang
menyenangkan, semuanya itu tidak akan dapat diperoleh, melainkan harus dengan kerja keras dan
usaha sungguh-sungguh. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla sering memerintahkan agar manusia
berusaha, begitu juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :

ٌ‫صدَقَة‬
َ ‫ان أَ أو بَـ ِه أي َمةٌ إًِلَّ َكانَ لَهُ بِ ِه‬
ٌ ‫س‬ َ ُ‫ ؛ فَيَأ أ ُك ُل ِم أنه‬، ‫ع زَ أرعاا‬
َ ‫طي ٌأر أ َ أو إِ أن‬ ُ ‫سا أَ أو يَ أز َر‬ ُ ‫َما ِم أن ُم أس ِل ٍم يَ أغ ِر‬
‫س غ أَر ا‬

Tidak seorang Muslim pun yang menaburkan benih atau menanam tanaman, lalu seekor burung,
seseorang manusia, atau seekor binatang, makan sebagian darinya, melainkan akan dinilai sebagai
sedekah baginya.[3]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

‫ط َخي اأرا ِم أن أ َ أن يَأ أ ُك َل ِم أن َع َم ِل يَ ِد ِه‬


ُّ َ‫طعَا اما ق‬
َ ٌ ‫َما أ َ َك َل أ َ َحد‬

Tidak ada suatu makanan yang lebih baik bagi seseorang (selain) daripada apa yang dihasilkan
oleh karya tangannya sendiri.[4]

Dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain :

ََ ُ‫ط أوهُ أَ أو َمنَعُ أوه‬


َ ‫ أَ أع‬،‫اس‬
َ َّ‫ف هللاُ ِب َها َوجأ َههُ َخي ٌأر لَهُ ِم أن أ َ أن َي أسأ َ َل الن‬ ‫أ‬ ‫أ‬
َ ‫ب َعلَ ٰى‬
َّ ‫ظ أه ِر ِه فَ َي ِب أي َع َها فَ َي ُك‬ َ ِ‫ْل َ أن َيأ ُخذَ أ َ َحد ُ ُك أم َح أبلَهُ فَ َيأت‬
َ ‫ي ِب ُح أز َم ِة َح‬
ٍ ‫ط‬

Sungguh, seseorang dari kalian mengambil tali lalu membawa seikat kayu bakar di atas
punggungnya, kemudian ia menjualnya sehingga dengannya Allah menjaga wajahnya
(kehormatannya), itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, mereka
memberinya atau tidak memberinya.[5]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya memberikan penjelasan yang teoritis semata.
Beliau menampilkan contoh yang praktis (dengan perbuatan), sebagaimana halnya para rasul
mulia yang lainnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Allah Azza wa Jalla tidak
mengutus seorang nabi, melainkan dia itu menggembala kambing.” Para Sahabat bertanya, ”Dan
engkau juga, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, ”Ya, saya menggembala ternak penduduk
Mekah dengan upah beberapa qirâth.”[6]
Demikian, setiap anggota masyarakat Islam harus bertanggung jawab mengatasi segala
rintangan agar terwujud kesejahteraan hidup baik secara individual maupun untuk masyarakat. Di
antara bentuk tanggung jawab itu adalah mengusahakan terbukanya lapangan kerja di semua
bidang yang selalu didambakan seluruh umat setiap saat. Mereka juga berkewajiban
mempersiapkan tenaga-tenaga ahli untuk mengurus dan memeliharanya. Ini semua adalah
kewajiban bersama (fardhu kifâyah) bagi umat Islam. Bila sebagian telah melaksanakannya,
lepaslah dosa dan tanggung jawab seluruh umat. Tetapi, bila tidak ada seorang pun yang
melaksanakannya maka seluruh umat memikul dosanya, khususnya pemerintah (ulil amri) dan
orang-orang kaya (konglomerat).

2. MENCUKUPI KELUARGA YANG LEMAH


Salah satu konsep syari’at Islam adalah bahwa setiap individu harus menanggulangi
kemiskinan dengan mempergunakan senjatanya, yaitu dengan berusaha. Namun di balik itu, juga
harus ada usaha untuk menolong orang-orang lemah yang tidak mampu bekerja.

Konsep yang dikemukakan untuk menanggulangi hal itu ialah dengan adanya jaminan antar
anggota keluarga. Islam memerintahkan anggota keluarga saling menjamin dan mencukupi.
Sebagian meringankan penderitaan anggota yang lain. Allah Azza wa Jalla berfirman, yang
artinya, : ”…Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak
terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) menurut Kitab Allah…” [al-Anfâl/8:75]

Islam mewajibkan orang-orang kaya agar memberikan nafkah kepada keluarganya yang
miskin. Ini berarti Islam telah meletakkan modal pertama bagi terciptanya jaminan sosial. Nafkah
itu bukan hanya sekedar anjuran yang baik, tapi merupakan satu kewajiban dari Allah Azza wa
Jalla untuk dilakasanakan. Syari’at Islam juga telah merinci ketentuan-ketentuannya dalam bab
nafkah kepada keluarga. Hal ini tidak terdapat pada syari’at-syari’at yang terdahulu, juga tidak
terdapat dalam undang-undang modern dewasa ini.

Karena itu, sebagian hak setiap orang miskin yang Muslim adalah mengajukan tuntutan
nafkah kepada keluarganya yang kaya. Hal ini didukung oleh undang-undang dan peraturan-
peraturan Islam, yang sampai saat ini kedudukannya masih berpengaruh di forum persidangan dan
mahkamah-mahkamah syar’iyyah.

3. ZAKAT
Islam tidak bersikap acuh tak acuh dan membiarkan nasib fakir miskin terlantar.
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menetapkan bagi mereka suatu hak tertentu yang ada
pada harta orang-orang kaya, dan suatu bagian yang tetap dan pasti yaitu zakat. Sasaran utama
zakat adalah untuk mencukupi kebutuhan orang-orang miskin.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

ۖ ‫سبِي ِل‬ َّ ‫سبِي ِل‬


َّ ‫َّللاِ َواب ِأن ال‬ ِ ‫ب َو أالغ‬
َ ‫َار ِمينَ َوفِي‬ ِ ‫املِينَ َعلَ أي َها َو أال ُم َؤلَّفَ ِة قُلُوبُ ُه أم َوفِي‬
ِ ‫الرقَا‬ ِ َ‫ين َو أالع‬ َ ‫اء َو أال َم‬
ِ ‫سا ِك‬ ِ ‫صدَقَاتُ ِل ألفُقَ َر‬
َّ ‫إِنَّ َما ال‬
َّ َ‫ضةا ِمن‬
َّ ‫َّللاِ ۗ َو‬
‫َّللاُ َع ِلي ٌم َح ِكي ٌم‬ َ ‫فَ ِري‬

Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang
dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang
yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai
kewajiban dari Allah. Allah Maha mengetahui, Maha bijaksana. [at-Taubah/9:60]

Fakir miskin merupakan kelompok yang harus diutamakan dalam pembagian zakat. Karena
itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan kelompok lain yang berhak atas zakat
tersebut. Fakir miskinlah sasaran utamanya. Ketika Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu
ditugaskan ke Yaman untuk berdakwah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang
artinya:“Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab, maka ajaklah mereka
agar bersaksi bahwa tidak ada ilâh yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah, dan bahwa
Muhammad adalah utusan Allah”. (Pada lafazh lainnya: ‘Maka yang pertama kali engkau
dakwahkan kepada mereka adalah beribadah kepada Allah semata.) (Pada lafazh lainnya lagi:
‘Supaya mereka menjadikan Allah sebagai satu-satunya yang berhak diibadahi). Apabila mereka
mentaatimu karena yang demikian itu (dalam riwayat lain: ”apabila mereka telah mentauhidkan
Allah Azza wa Jalla ), maka beritahukanlah kepada mereka bahwa sesungguhnya Allah telah
mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka mentaatimu karena
yang demikian itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa sesungguhnya Allah telah
mewajibkan atas mereka sedekah yang diambil dari orang-orang yang kaya di antara mereka; lalu
dibagikan kepada orang-orang yang miskin di antara mereka. Jika mereka mentaatimu karena yang
demikian itu, maka jauhilah olehmu harta-harta mereka yang baik dan takutlah kamu terhadap do’a
orang yang dizhalimi, karena tidak ada hijab antara do’a orang yang dizhalimi dengan Allah.”[7]

Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa sedekah (zakat)
yang wajib ini harus dipungut dari orang-orang kaya kemudian dibagikan kepada orang-orang
miskin dari kalangan mereka itu juga. Dalam hadits ini juga terdapat isyarat bahwa dalam
pengelolaan zakat itu perlu ada petugas khusus untuk memungutnya dari orang-orang kaya dan
membagikan kepada orang-orang miskin.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaah berkata, ”Berdasarkan hadits tersebut, Imamlah
(penguasa) yang berwenang untuk mengelola urusan zakat, memungut, dan menyalurkannya
secara langsung ataupun dengan perantaraan wakil-wakilnya. Barangsiapa di antara mereka
menolak, maka bisa dipungut secara paksa.”[8]

Usaha Islam dalam menanggulangi kemiskinan itu bukanlah suatu usaha yang sambil lalu,
temporer, atau setengah-setengah. Pemberantasan kemiskinan, bagi Islam, justru merupakan salah
satu asas yang khas dengan sendi-sendi yang kokoh. Tidak mengherankan kalau zakat yang telah
dijadikan oleh Allah sebagai sumber jaminan hak-hak orang-orang fakir miskin itu tersebut
ditetapkan sebagai rukun Islam yang ketiga.

• Hukuman Bagi Orang Yang Tidak Membayar Zakat


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hukuman di dunia bagi kaum yang
tidak menunaikan zakat, yaitu Allah Azza wa Jalla akan menimpakan kepada mereka kemarau
yang panjang dan kelaparan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ ‫ـاء َولَ أو ًلَ أالبَ َهائِ ُم لَـ أم ي أُـم‬


…‫ط ُر أوا‬ ِ ‫س َم‬ ‫َولَـ أم يَـ أمنَعُ أوا زَ كَاة َ أ َ أم َوا ِل ِه أم إًِلَّ ُمنِعُ أوا أالقَ أ‬
َّ ‫ط َر ِمنَ ال‬

Dan tidaklah mereka menahan zakat harta-harta mereka, melainkan hujan dari langit akan
ditahan bagi mereka. Dan seandainya tidak ada binatang-binatang niscaya hujan tidak akan
diturunkan kepada mereka.[9]

Zakat dalam pandangan Islam, adalah suatu hak, atau suatu utang yang menjadi beban bagi
orang kaya untuk dibayarkan kepada golongan-golongan yang lemah dan yang berhak
menerimanya. Zakat juga merupakan haqqun ma’luum (suatu hak tertentu), maksudnya, tertentu
jumlahnya dan ukurannya, yang diketahui oleh orang yang berkewajiban menunaikan zakat, dan
juga oleh orang yang berhak menerimanya. Yang menetapkan dan membatasi ketentuan ini adalah
Allah Azza wa Jalla .
• Orang Yang Berhak Menerima Zakat
Al-Qur-an telah menjelaskan golongan-golongan dan sektor-sektor yang berhak menerima
zakat. Hal ini sebagai bantahan terhadap orang-orang munafik yang sangat berambisi mendapatkan
bagian zakat dengan menempuh jalan yang tidak halal. Mereka sangat dendam kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena beliau tidak menghiraukan mereka. Allah Azza wa Jalla
berfirman, yang artinya : ”Dan di antara mereka ada yang mencelamu tentang (pembagian)
sedekah (zakat); jika mereka diberi bagian, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi
bagian, tiba-tiba mereka marah.” [at-Taubah/9: 58]

• Orang-Orang Yang Menjaga Kehormatannya Lebih Diutamakan Dalam Menerima Zakat


Karena kekeliruan dalam penyajian dan penerapan ajaran-ajaran Islam, banyak manusia
menyangka bahwa yang dimaksud dengan orang-orang fakir dan miskin yang berhak menerima
zakat itu adalah mereka yang biasa menganggur atau para pengemis yang biasa menunjuk-
nunjukkan kemelaratan dan kemiskinannya. Barangkali gambaran orang miskin yang semacam
inilah; yang menjadi kesalah-pahaman dalam pikiran kebanyakan orang sejak lama. Karena itu,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan perbaikan; antara lain dengan sabdanya:
”Bukanlah yang dinamakan miskin itu orang-orang yang membutuhkan sebiji atau dua biji kurma,
dan bukan pula sesuap atau dua suap makanan. Tetapi sesungguhnya yang dinamakan miskin itu
adalah orang-orang yang memelihara kehormatan dirinya. Bacalah jika kalian mau, ’Mereka tidak
meminta kepada orang-orang dengan cara paksa [al-Baqarah/2: 273].’”[10]

Yang dimaksud dengan ”mereka tidak meminta-minta kepada manusia secara paksa” ialah
mereka yang tidak memaksa dalam meminta-minta dan tidak menyusahkan orang lain dalam hal
yang sebenarnya mereka sendiri sama sekali tidak membutuhkan. Sesungguhnya orang yang
meminta-minta kepada orang lain, padahal apa yang dimintanya itu sudah ada pada dirinya, berarti
orang itu telah melakukan ilhaaf (meminta dengan paksa).

Minta-minta kepada orang lain tanpa ada kebutuhan atau untuk memperkaya diri adalah
diharamkan dalam Islam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ فَ أل َي أست َ ِق َّل أَ أو ِل َي أستَ أكثِ أر‬، ‫ فَإِنَّـ َمـا َيسأأ َ ُل َجـ أم ارا‬، ‫اس أ َ أم َوالَـ ُه أم ت َ َكث ُّ ارا‬
َ َّ‫سأ َ َل الن‬
َ ‫َم أن‬

Barangsiapa meminta harta kepada orang lain untuk memperkaya diri, maka sungguh, ia
hanyalah meminta bara api, maka silakan ia meminta sedikit atau banyak.”[11]
• Orang Yang Kuat Dan Sanggup Bekerja Tidak Berhak Menerima Zakat
Ada sebagian orang yang memiliki pemahaman keliru sehingga mereka menyangka bahwa
zakat itu melindungi pengangguran. Padahal Islam tidak menghendaki demikian.

Karena itu, orang yang kuat lagi sanggup bekerja diharuskan aktif berusaha dan bekerja. Ia
harus diberi kesempatan bekerja sehingga ia dapat mencukupi kebutuhan hidupnya dengan tenaga
dan keringatnya sendiri.

Secara tegas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ٍ ‫س ِوي‬ ‫صدَقَةُ ِلغَنِي ٍ َوًلَ ِل ِذ أ‬


َ ٍ‫ي ِم َّرة‬ ِ ‫ًلَ ت‬
َّ ‫َـح ُّل ال‬

Tidak halal sedekah itu, bagi orang yang kaya dan juga bagi orang yang kuat lagi sehat.[12]

Yang dimaksud orang yang kuat ialah orang yang fisiknya masih memungkinkan bekerja.
Sedangkan yang dimaksud sehat ialah orang yang anggota badannya normal dan sempurna.

Zakat marupakan satu sistem jaminan sosial yang pertama kali di dunia.

Sebenarnya, zakat merupakan suatu perundang-undangan yang konsepsional yang pertama


kali ada, dalam membina terwujudnya suatu jaminan sosial. Zakat tidak berpegang pada bantuan-
bantuan (dana-dana) individual secara sukarela, tetapi berpijak pada bantuan-bantuan yang
ditangani pemerintah secara rutin dan tertib. Bantuan-bantuan itu dapat mewujudkan kesejahteraan
setiap insan yang membutuhkan, baik kebutuhan sandang, pangan, papan, maupun kebutuhan-
kebutuhan hidup yang lain.

Inilah sistem jaminan sosial menurut Islam, yang belum pernah disentuh oleh alam pikiran
dunia Barat. Masyarakat Eropa baru mengenal sistem itu akhir-akhir ini. Itu pun belum bisa
menyamai taraf jaminan sosial Islam. Dengan jaminan sosial Islam, setiap individu mampu
mewujudkan kesejahteraan secara sempurna bagi pribadi maupun keluarga. Hal semacam ini tidak
kita temukan dalam sistem jaminan sosial model Barat.
4. KEHARUSAN MEMENUHI HAK-HAK SELAIN ZAKAT
Di samping zakat, masih ada hak-hak material yang lain, yang wajib dipenuhi oleh orang
Islam, karena berbagai sebab dan hubungan. Hak bertetangga.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ـى َج أن ِب ِه َجائِ ٌع َوه َُو َي أعلَ ُم‬


ٰ َ‫ارهُ ِإل‬ َ ‫لَي‬
َ َ‫أس ِبـ ُمؤأ ِم ٍن َم أن َبات‬
ُ ‫ش أب َعانَ َو َج‬

Tidak patut dinamakan orang yang beriman, orang yang tidur malam dalam keadaan
kenyang sedangkan tetangganya yang berada di sampingnya menderita lapar, padahal ia
mengetahuinya.[13]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abu Dzar Radhiyallahu anhu,

‫ف لَهُ ِم أن َهـا‬ ِ ‫ض أ َ أه ِل َب أي‬


‫ت ِجي َأرانِكَ فَا أغ ِر أ‬ ُ ‫ ث ُ َّم ا أن‬، َ‫ط َب أختَ فَأ َ أكثِ ِر أالـ َم َرق‬
َ ‫ظ أر َب أع‬ َ ‫ِإذَا‬

Apabila engkau memasak sop, perbanyaklah kuahnya, kemudian engkau perhatikan di


antara keluarga tetanggamu, lalu antarkanlah sebagian kepadanya.[14]

a). Kurban Hari Raya Haji


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫صالَّنَا‬ َ ُ‫س َعةٌ َولَـ أم ي‬


َ ‫ضحِ فَالَ َي أق َر َب َّن ُم‬ َ ُ‫َم أن َكانَ لَه‬

Barangsiapa mempunyai kemampuan untuk berkurban, lalu ia tidak melakukannya, maka


hendaklah ia jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.”[15]

b). Kafarat Sumpah


Allah Azza wa Jalla berfirman, yang artinya : “…Maka kafaratnya (denda pelanggaran
sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan
kepada keluargamu, atau memberi mereka pakaian, atau memerdekakan seorang hamba sahaya…”
[al-Mâ-idah/5:89]
c). Kafarat Dzihar
Barangsiapa mengatakan kepada istrinya, “Engkau bagiku seperti ibuku,” maka ucapannya
itu menyebabkan ia menjadi haram mencampuri istrinya sebelum ia melunasi kafaratnya, yaitu
memerdekakan seorang hamba sahaya; jika tidak mampu, ia harus berpuasa dua bulan berturut-
turut; atau jika tidak mampu, ia harus memberi makan kepada enam puluh orang miskin [al-
Mujâdilah/58:1-4]

d). Kafarat karena bersetubuh di siang hari bulan Ramadhan.


Orang yang bersetubuh di siang hari Ramadhan wajib membayar kafarat. Kafaratnya sama
dengan kafarat mendzihar istri. [lihat haditsnya: Shahîh al-Bukhâri (no. 1936) dan Shahîh Muslim
(no. 1111)]

e). Fidyah orang yang lanjut usia dan wanita hamil serta menyusui yang tidak sanggup
berpuasa.
Ketiga golongan di atas jika tidak sanggup berpuasa maka mereka wajib mengganti puasa
yang ditinggalkannya itu dengan memberikan makan kepada satu orang miskin setiap harinya.
[Lihat al-Baqarah/2:184]

f). Hak tanaman pada saat mengetam


Allah Azza wa Jalla berfirman, yang artinya : ”Dan Dia-lah yang menjadikan tanaman-
tanaman yang merambat dan yang tidak merambat, pohon kurma, tanaman yang beraneka ragam
rasanya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak serupa (rasanya).
Makanlah buahnya apabila ia berbuah dan berikanlah haknya pada waktu memetik hasilnya, tapi
janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-
lebihan.” [al-An’âm/6:141]

Dalam menafsirkan pengertian hak di sini, Ibnu ’Umar Radhiyallahu anhu berkata, ”Adalah
para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka memberikan sesuatu selain zakat.”[16]
g). Hak mencukupi fakir miskin.
Ini adalah yang terpenting dari hak-hak tersebut.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ ‫ َمثَ ُل أالـ َج‬، ‫ط ِف ِه أم‬


‫س ِد‬ ُ ‫ َوتَ َعا‬، ‫ َوت ََرا ُح ِم ِه أم‬، ‫َمث َ ُل أالـ ُمؤأ ِمنِيأنَ فِـ أي ت ََوا ِد ِه أم‬
“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi, dan saling
menaruh rasa simpati adalah seperti satu tubuh, …”[17]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ ‫علَى اأْل َ أر َملَ ِة َو أال ِـم أس ِكي ِأن ك أَالـ ُم َجا ِه ِد فِـ أي‬
ِ‫سبِ أي ِل هللا‬ َ ‫لسَّا ِع أي‬

Orang yang membantu kebutuhan para janda dan orang-orang miskin kedudukannya seperti orang
yang berjihad di jalan Allah.[18]

• Ancaman Bagi Orang Yang Tidak Memperhatikan Faqir Miskin


Al-Qur`ân telah membebankan di atas pundak setiap orang yang beriman suatu tanggung
jawab terhadap orang. Al-Qur`ân menegaskan, mengabaikan orang miskin berarti telah durhaka
kepada Allah Azza wa Jalla dan berhak mendapatkan siksa yang pedih. Allah Azza wa Jalla
menjelaskan penyebab hukuman keras tersebut dalam firman-Nya, yang artinya : ”Sesungguhnya
dialah orang yang tidak beriman kepada Allah yang Maha besar. Dan juga dia tidak mendorong
(orang lain) untuk memberi makan orang miskin.” [al-Hâqqah: 33-34]

Selain itu, Allah Azza wa Jalla menyatakan bahwa bersikap kasar terhadap anak yatim dan
enggan menggemarkan orang lain memberi makan kepada orang miskin itu termasuk tanda-tanda
pendustaan terhadap agama.[19]

Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata, ”Dan diwajibkan atas orang-orang kaya di negeri
mana saja untuk menanggulangi secara bersama-sama terhadap fakir miskin. Sedangkan pihak
penguasa boleh campur tangan untuk menekan mereka dalam melaksanaannya, yaitu apabila harta
zakat dan harta-harta kaum Muslimin yang lain tidak cukup untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan
mereka. Sehingga kebutuhan pangan mereka yang tidak bisa ditunda-tunda itu dapat dipenuhi.
Demikian pula halnya dengan kebutuhan sandang dan papan mereka.”[20]
Beliau berhujjah dengan beberapa dalil di antaranya: Firman Allah Azza wa Jalla dalam
Surat an-Nisâ’ ayat 36 dan al-Muddatstsir ayat 38-44

Dalam ayat tersebut Allah Azza wa Jalla meletakkan kedudukan memberi makan kepada orang
miskin sejajar dengan kewajiban menunaikan shalat.”

Sedang hujjah dari Sunnah di antaranya:

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ َّ‫َم أن لَـ أم َي أر َح ِم الن‬


ُ‫اس ًلَ َي أر َح أمهُ هللا‬

Siapa yang tidak menaruh belas kasihan kepada manusia, maka Allah tidak menaruh belas kasihan
kepadanya.[21]

Juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

‫ألـ ُم أس ِل ُم أَ ُخو أالـ ُم أس ِل ِم ًلَ يَ أ‬


ََ ُ‫ظ ِل ُمهُ َوًلَ يُ أس ِل ُمه‬

Orang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Karena itu, janganlah berlaku zhalim
kepadanya dan jangan membiarkan ia terlantar.[22]

Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata, ”Barangsiapa membiarkan saudaranya dalam keadaan
lapar dan tidak berpakaian, padahal ia mampu untuk memberi makan dan pakaian kepadanya,
berarti ia telah membiarkan saudaranya terlantar.”[23]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ُ‫ض ٌل ِم أن زَ ا ٍد فَ أل َيعُدأ ِب ِه َعلَ ٰى َم أن ًلَ زَ ادَ لَه‬ َ َ‫ظ أه ٍر فَ أل َيعُدأ ِب ِه َعلَ ٰى َم أن ًل‬
‫ َو َم أن َكانَ لَهُ فَ أ‬، ُ‫ظ أه َر لَه‬ َ ‫ض ُل‬
‫َم أن َكانَ َم َعهُ فَ أ‬

Barangsiapa mempunyai kelebihan tenaga, maka hendaklah ia berikan kepada orang yang tidak
mempunyai tenaga, dan barangsiapa mempunyai kelebihan bekal, maka hendaklah ia berikan
kepada orang yang tidak mempunyai bekal.
Selanjutnya beliau Shallallahu ’alaihi wa sallam menyebutkan beberapa macam benda
sebagaimana yang tersebut sehingga kami tidak menjumpai seorang pun di antara kami yang
mempunyai kelebihan hak.[24]

Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata, ”Apa yang tersebut di atas adalah ijma’ Sahabat. Dan Abu
Sa’id di dalam menyampaikan riwayat tersebut adalah seperti itu, maka kita pun harus demikian,
dengan menyebut apa yang terkandung dalam riwayat itu.”[25]

5. SEDEKAH SUKARELA DAN KEBAJIKAN INDIVIDU MUSLIM


Pribadi yang mulia dan Muslim sejati adalah insan yang suka memberikan lebih dari apa
yang diminta, suka mendermakan lebih dari apa yang diminta. Ia suka memberikan sesuatu,
kendati tidak diminta. Ia suka berderma (memberikan infak) di kala senang maupun susah, secara
diam-diam maupun secara terang-terangan. Ia melakukannya bukan karena cinta kemegahan atau
kepopuleran dan bukan pula karena takut adanya hukuman dari pihak penguasa.

Sifat-sifat ini serta hal-hal yang memotivasi agar memiliki sifat ini banyak didapatkan dalam
al-Qur’an maupun hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , diantaranya sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,

‫ فَإِ َّن َمالَهُ َما قَد ََّم َو َما َل‬: ‫ قَا َل‬.‫س أو َل هللاِ َما ِمنَّا أَ َحدٌ إًِلَّ َمالُهُ أ َ َحبُّ إِلَ أي ِه‬
ُ ‫ يَا َر‬: ‫أ َ ُّي ُك أم َما ُل َو ِارثِ ِه أ َ َحبُّ إِلَ أي ِه ِم أن َما ِل ِه ؟ قَالُ أوا‬
‫َو ِارثِ ِه َما أَ َّخ َر‬

Siapakah di antara kalian yang mencintai harta ahli warisnya lebih daripada mencintai
hartanya sendiri? Mereka menjawab, ”Wahai Rasulullah! Tidak ada seorang pun di antara kami
melainkan lebih mencintai hartanya sendiri.” lalu beliau bersabda, ”Sesungguhnya hartanya
sendiri itu ialah apa yang telah dipergunakannya (disedekahkannya) dan harta ahli warisnya ialah
apa yang ditinggalkannya.[26]

WAKAF SOSIAL
Di antara sedekah yang dicintai Islam adalah sedekah jâriyah, sebab kekal penggunaannya
dan abadi manfaatnya. Karena itu, kekal pula pahala yang mengalir kepada si pemberinya, selama
sedekah itu masih dimanfaatkan, meski pemberinya sudah meninggal dunia.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ ٌ ‫ َو َولَد‬، ‫ َو ِع أل ٌم يُ أنتَفَ ُع ِب ِه‬، ٌ‫ار َية‬


ُ‫صا ِل ٌح َيدأع أُو لَه‬ ِ ‫صدَقَةٌ َج‬
َ : ‫ط َع َع َملُهُ ِإًلَّ ِم أن ثَالَث َ ٍة‬
َ َ‫سانُ ا أنق‬ ِ َ‫ِإذَا َمات‬
َ ‫أاإل أن‬

Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga hal: sedekah jariyah,
ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akannya.[27]

Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu bahwa ayahnya (‘Umar bin al-Khaththâb) ketika mendapat
sebidang tanah dari perkampungan Khaibar, ia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Wahai Rasulullah! Saya telah mendapat sebidang tanah di Khaibar, dan selama ini saya
tidak pernah mendapat kekayaan yang lebih daripada ini, apa perintah Anda kepadaku dengan
tanah itu?” kemudian Nabi menjawab,

‫صدَّ أقتَ بِ َهـا‬ ‫إِ أن ِشئأتَ َحبَسأتَ أَ أ‬


َ َ‫صلَ َهـا َوت‬

Bila engkau suka, tahanlah pokoknya, dan engkau sedekahkan dia (wakafkan).

Lalu ‘Umar Radhiyallahu anhu melaksanakan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tersebut. Ia menyedekahkan tanah itu, dengan ketentuan tidak boleh dijual, dihibahkan, dan
diwariskan, dan disediakan untuk kepentingan orang-orang fakir dan kaum kerabatnya, untuk
keperluan memerdekakan budak, untuk mencukupi orang-orang lemah, ibnu sabil (musafir yang
kehabisan bekal), dan orang-orang yang mengurusnya diperbolehkan mengambil bagiannya
dengan cara yang patut, serta menikmatinya dengan tidak berlebih-lebihan. (dalam riwayat lain
dinyatakan: Boleh mengambil, asal tidak untuk menumpuk-numpuk kekayaannya.)” [28]

Dengan demikian, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meletakkan “Dasar Wakaf
Sosial” yang manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat Islam sepanjang masa. Peristiwa ini
juga merupakan bukti yang nyata, betapa dalamnya rasa kesadaran suka berbuat baik di kalangan
kaum Muslimin. Mereka tidak sampai hati membiarkan kekurangan-kekurangan yang diderita
oleh masyarakat sehingga mereka mewakafkan sebagian hartanya.
KESIMPULAN

Demikianlah metode-metode yang ditempuh Islam dalam memecahkan problem


kemiskinan, yang kemudian disimpulkan menjadi tiga metode:

Metode pertama: Jalan yang khusus, yang harus ditempuh oleh pihak fakir miskin itu sendiri.
Fakir miskin wajib melakukan usaha, selama ia masih mempunyai kemampuan dan kesanggupan
untuk bekerja. Dalam hal ini, pihak masyarakat, orang yang mampu dan pemerintah berkewajiban
memberikan bantuan.

Metode kedua: Jalan ini berpangkal kepada kesediaan masyarakat Islam untuk membantu.
Mereka mempunyai tanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan fakir miskin, baik
yang merupakan sumbangan wajib misalnya zakat dan kafarat, maupun yang tidak wajib misalnya
wakaf dan sedekah.

Metode ketiga: Jalan khusus, yang harus dilakukan oleh orang kaya dan pihak pemerintah.
Secara syari’at, pemerintah berkewajiban mencukupi kebutuhan fakir miskin, baik ia seorang
Muslim atau bukan (kafir dzimmi), selama ia masih berada di bawah kekuasaan pemerintahan
Islam. Sumber-sumber yang dapat dipakai untuk mencukupi kebutuhan ini ialah zakat, ghanimah,
harta fa’i, jizyah, barang-barang tidak bertuan, kekayaan negara dari sumber alamnya. Di samping
itu juga sumbangan wajib yang ditentukan oleh pemerintah terhadap orang-orang kaya, manakala
pemasukan zakat dan sumber-sumber lainnya mengalami kemerosotan.

Wallaahu a’lam.
Mudah-mudahan apa yang kami paparkan bermanfaat dan dapat membantu dalam mengatasi
kemiskinan. Kita berdo’a kepada Allah Azza wa Jalla agar kita dijauhkan dari keganasan kefakiran
dan kemiskinan.
5.Amilin ialah orang yang diangkat oleh imam atau pemimpin untuk menggarap tugas-tugas
pemungutan, pengumpulan, pemeliharaan, pencatatan, dan pembagian zakat. Amilin ini
hendaknya memiliki syarat diantaranya, muslim yang taat, mukallaf, jujur (amanah), memahami
hukum zakat.
Yang termasuk amiin adalah orang orang bertugas untuk menggarap tugas tugas
pemungutan, pengumpulan, pemeliharaan, pencatatan, dan pembagian zakat
Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda:

"Shadaqah (zakat) itu tidak halal untuk orang kaya, kecuali untuk lima golongan: orang yang
berperang di jalan Allah; orang yang mengurus (pelaksanaan) zakat; orang yang berutang;
orang yang membeli barang zakat itu dengan uangnya sendiri; seseorang yang memiliki
tetangga miskin kemudian ia bersedekah kepada si miskin, lantas si miskin tersebut
menghadiahkannya kepada orang kaya."
(Hadits Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Akan tetapi, apabila pihak amilin tidak ingin menerima zakat, hal tersebut tidaklah menjadi
masalah. Dengan begitu, justru zakat tersebut bisa diberikan kepada orang-orang yang lebih
membutuhkan.

Masih banyak sampai saat ini para amylin yang memenuhi syarat untuk menjadi seorang
amiilin.

7.dikarnakan yang berhak sebenarnya adalah 7,dikarnakan pada saat itu "Beberapa dari
para mu'alaf datang menghadap Abu Bakar sepeninggal Nabi agar ia memberikan bagian mereka
seperti biasa. Maka Abu Bakar menuliskan perintah membayar bagian tersebut (dari uang zakat)
dan mereka membawa surat itu kepada Umar (yang mengelola Bait al-Mal) untuk menerimanya.
Akan tetapi Umar merobeknya seraya berkata : "kami tidak membutuhkan kalian lagi! Allah
telah memenangkan Islam dan karenanya kalian boleh pilih, memeluk agama Islam atau kami
jadikan pedang (sebagai pemutus) antara kami dengan kalian!" Jawab Abu Bakar :"ia,
InsyaAllah" dengan itu Abu Bakar menyetujui dan menetapkan keputusan Umar. Sejak itu pula,
jumhur kaum Muslim memberlakukan ketetapan penghapusan bagian untuk para mualaf.
Sedemikian kuatnya ketetapan itu sehingga seseorang yang memberikan sebagian zakatnya
kepada para mualaf, maka ia dianggap belum menunaikan zakat yang wajib atas dirinya, secara
sepenuhnya.
Dalam berbagai literatur menyebutkan, budak adalah manusia yang terenggut hak asasinya
sebagai manusia bebas dan bermartabat. Budak adalah manusia yang tereksploitasi, baik secara
fisik maupun psikis. Apa pun yang dikehendaki oleh tuannya harus diikuti bila tidak ingin
menerima hukuman.Sementara dalam literatur Islam, budak disebut ar-raqiq. Kata ar-raqiq
diambil dari kata ar-riqq yang merupakan lawan kata dari al-ghildzah (keras) karena budak itu
lembut kepada tuannya dan tidak keras terhadapnya, karena ia dimiliki tuannya.

Perbudakan terjadi karena beberapa sebab, di antaranya,


1.Pertama, karena peperangan. Jika sekelompok manusia memerangi kelompok lainnya
dan dapat mengalahkannya, mereka menjadikan istri-istri dan anak-anak dari musuhnya sebagai
budak.
2.Kedua, karena kemiskinan, sering kali kemiskinan membuat manusia menjual anak-
anaknya sebagai budakkepada orang lain.

3.Ketiga, karena penculikan dan pembajakan. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh
orang-orang Eropa zaman dahulu, ketika mereka singgah di Afrika dan menangkap orang-orang
Negro kemudian menjual mereka di pasar-pasar budak Eropa. Selain itu, para pembajak laut
Eropa juga membajak kapal-kapal yang melewati laut dan menyerang para penumpangnya. Jika
berhasil mengalahkan para penumpang tersebut, mereka menjualnya di pasar-pasar budak di
Eropa dan memakan hasil penjualannya.

Sebelum datangnya Islam, perbudakan sudah ada. Perbudakan sudah dikenal sejak beribu-
ribu tahun yang silam dan dijumpai di bangsa-bangsa kuno, seperti bangsa Mesir, Cina, dan
Romawi serta disebutkan dalam kitab-kitab samawi, seperti Taurat dan Injil.

Oleh karena itu, tidak heran bila di dalam Al-Qur'an dan hadits Nabi Muhammad SAW.,
sering kita jumpai ayatatau sabda Nabi SAW. yang berkaitan dengan perbudakan. Di antaranya
seperti yang terdapat dalam Surat Al-Balad (90) ayat 12 dan 13,
ُ‫َو َما أَد َأراكَ َما أال َعقَ َبة‬
‫فَكُّ َرقَبَ ٍة‬

Wama adraka ma alAAaqabatu Fakku raqabatin

Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Yaitu) melepaskan budak dari
perbudakan.

Rasulullah SAW. bersabda,


"Barangsiapa menampar budaknya, atau memukulnya, maka kafaratnya ialah
memerdekakannya." (Diriwayatkan Muslim)

Dalam ajaran Islam, masalah perbudakan diatur sedemikian rupa. Tujuannya bukan untuk
melanggengkan perbudakan, tetapi untuk menjaga hak hidup mereka dan menghapuskan
perbudakan itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal, di antaranya,
Pertama, Islam tidak membenarkan adanya perbudakan, kecuali karena satu sebab, yaitu
perbudakan karena peperangan. Tujuannya untuk menjaga kelangsungan kehidupan mereka,
membahagiakannya dan memerdekakannya. Bila tidak demikian, kebanyakan para pemenang
perang terdorong berbuat kerusakan karena dorongan balas dendam. Kemudian mereka
membunuh wanita-wanita dan anak-anak untuk mengobati kebencian mereka terhadap laki-laki,
wanita, dan anak-anak tersebut, dan itu tidak dikehendaki oleh Islam.

Kedua, Islam menjadikan pemerdekaan budak sebagai kafarat pembunuhan karena keliru
dan beberapa pelanggaran, seperti dzihar, tidak melaksanakan sumpah, dan melanggar
kehormatan bulan Ramadan dengan tidak berpuasa di siang harinya.

ُ ‫ير َرقَبَ ٍة ِمن قَ أب ِل أَن يَتَ َماسَّا ۚ ٰذَ ِل ُك أم تُو َع‬


َّ ‫ظونَ بِ ِه ۚ َو‬
‫َّللاُ بِ َما‬ ُ ‫سائِ ِه أم ث ُ َّم َيعُود ُونَ ِل َما قَالُوا فَتَحأ ِر‬ َ ُ‫َوالَّذِينَ ي‬
َ ِ‫ظاه ُِرونَ ِمن ن‬
ٌ ‫تَ أع َملُونَ َخ ِب‬
‫ير‬

Waallatheena yuthahiroona min nisaihim thumma yaAAoodoona lima qaloo fatahreeru


raqabatin min qabli an yatamassa thalikum tooAAathoona bihi waAllahu bimaun taAAmaloona
khabeer
Orang-orang yang men-dzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa
yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua
suami istri itu bercampur.(QS. Al-Mujadilah (58): 3)

Ketiga, memberikan kafarat bagi majikan yang berbuat kasar terhadap budaknya dengan
memerdekakan budaknya.
"Barang siapa memukul budak karena hukuman yang tidak dikerjakannya, atau
menamparnya, maka kafaratnya ialah memerdekakannya." (HR. Ahmad, Abu daud, Tirmidzi,
dan Ibnu Majah)

Keempat, adanya alokasi zakat untuk budak. Tujuannya untuk membantu pembebasan
budak.

‫سبِي ِل‬ َّ ‫سبِي ِل‬


َّ ‫َّللاِ َواب ِأن ال‬ ِ ‫ب َو أالغ‬
َ ‫َار ِمينَ َوفِي‬ ِ ‫املِينَ َعلَ أي َها َو أال ُم َؤلَّفَ ِة قُلُوبُ ُه أم َوفِي ا ِلرقَا‬
ِ َ‫ين َو أالع‬ َ ‫اء َو أال َم‬
ِ ‫سا ِك‬ ِ ‫صدَقَاتُ ِل ألفُقَ َر‬
َّ ‫إِنَّ َما ال‬
َۖ‫َّللاُ َع ِلي ٌم َح ِكي ٌم‬ َّ َ‫ضةا ِمن‬
َّ ‫َّللاِ ۗ َو‬ َ ‫فَ ِري‬

Innama alssadaqatu lilfuqarai waalmasakeeni waalAAamileena AAalayha waalmuallafati


quloobuhum wafee alrriqabi waalgharimeena wafee sabeeli Allahi waibni alssabeeli fareedatan
mina Allahi waAllahu AAaleemun hakeemun

Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,


pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan,
sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana. (QS. At-Taubah (9): 60)

Kelima, Islam mengizinkan menggauli budak-budak wanita, agar kelak pada suatu hari
mereka menjadi ibu dari anak-anak yang dikandungnya, kemudian mereka dimerdekakan
karenanya. Rasulullah SAW. bersabda,
"Budak wanita mana pun yang melahirkan anak dari tuannya, ia merdeka setelah kematian
tuannya." (HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim)

Keenam, Islam menekankan kepada pemilik budak untuk melakukan perjanjian


pembebasan dengan budak yang menginginkan pembebasan dirinya.

‫َّللاِ الَّذِي آتَا ُك أم‬


َّ ‫َت أَ أي َمانُ ُك أم فَكَاتِبُو ُه أم إِ أن َع ِل أمت ُ أم فِي ِه أم َخي اأرا ۖ َوآتُوهُم ِمن َّما ِل‬ َ ‫َوالَّذِينَ يَ أبتَغُونَ أال ِكت‬
‫َاب ِم َّما َملَك أ‬
waallatheena yabtaghoona alkitaba mimma malakat aymanukum fakatiboohum in
AAalimtum feehim khayran

Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat
perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah
kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. (QS. An-Nur
(24): 33)

Ketujuh, Islam menetapkan bahwa budak yang memiliki kekerabatan dengan pemiliknya
harus dimerdekakan.Rasulullah SAW. bersabda,
"Barangsiapa memiliki budak yang masih keluarganya, maka ia merdeka." (Diriwayatkan
Muslim)
Pertanyaannya, mengapa Islam tidak mewajibkan sekaligus memerdekaan budak sebagai
suatu yang wajib yang tidak bisa ditinggalkan orang Muslim?

Itu karena ketika Islam datang, budak-budak di tangan manusia. Oleh karena itu, tidak
sepantasnya syariatAllah yang adil ini yang turun untuk menjaga kehidupan manusia,
kehormatannya, dan hartanya, mewajibkan manusia keluar dari harta mereka secara sekaligus.
Selain itu, terkadang pembebasan budak-budak itu tidak mendatangkan kemaslahatan, karena di
antara para wanita, anak-anak bahkan laki-laki sekalipun ada yang tidak sanggup membiayai
dirinya karena tidak mampu bekerja, atau karena tidak mengetahui cara-cara kerja. Dalam
kondisi seperti itu, keberadaan budak bersama tuannya yang Muslim yang memberinya makan
dari apa yang dimakan tuannya, memberinya pakaian dari yang dikenakan tuannya, dan tidak
membebaninya dengan pekerjaan yang tidak mampu ia kerjakan adalah lebih baik daripada ia
dijauhkan dari rumah yang berbuat baik kepadanya dan menyayanginya kepada mereka
kemiskinan. (Abu Bakr Al-Jazairi, Minhajul Muslim)

Dengan demikian, adanya aturan perbudakan dalam Islam bukan untuk merendahkan dan
menyiksa mereka, tetapi untuk melindungi kehidupan mereka dan membebaskan mereka dari
perbudakan.
8. hadist Abu Sa’id al Khudri :

‫ب فَ ِقي َل أام َرأَة ُ اب ِأن َم أسعُو ٍد قَا َل نَ َع أم‬ ِ ِ‫ي ال َّزيَان‬ُّ َ ‫َّللاِ َه ِذ ِه زَ أينَبُ فَقَا َل أ‬َّ ‫سو َل‬ ُ ‫ت زَ أينَبُ أام َرأَة ُ اب ِأن َم أسعُو ٍد تَ أست َأ أ ِذنُ َعلَ أي ِه فَ ِقي َل يَا َر‬ ‫َجا َء أ‬
َُّ‫صدَّقَ بِ ِه فَزَ َع َم ا أبنُ َم أسعُو ٍد أَنه‬ َ َ ‫أ‬ َ
َ ‫ي ِلي فأ َردأتُ أن أت‬ َ َ ‫أ‬ َ
ٌّ ‫صدَق ِة َوكانَ ِعندِي ُح ِل‬ َ ‫أ‬ َ َّ
َّ ‫َّللاِ إِنكَ أ َم أرتَ اليَ أو َم بِال‬ َّ ‫ي‬ ‫أ‬ َ َ َ ُ َ َ
َّ ِ‫ائأذَنُوا ل َها فأذِنَ ل َها قالت يَا نَب‬
‫ت ِب ِه َعلَ أي ِه أم‬ ِ ‫صدَّ أق‬ َ
َ َ ‫صدَقَ ا أبنُ َم أسعُو ٍد زَ أو ُج ِك َو َولَد ُِك أ َح ُّق َم أن ت‬ َ ‫سل َم‬ َّ َ ‫علَ أي ِه َو‬ َّ ‫صلى‬
َ ُ‫َّللا‬ َّ َ ‫ي‬ ُّ ‫صدَّ أقتُ ِب ِه َعلَ أي ِه أم فَقَا َل النَّ ِب‬َ َ ‫َو َولَدَهُ أ َ َح ُّق َم أن ت‬

“ Datanglah Zainab, isteri Ibnu Mas'ud meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam, lalu dikatakan kepada Beliau; "Wahai Rasulullah, ini adalah Zainab". Beliau bertanya:
"Zainab siapa?". Dikatakan: "Zainab isteri dari Ibnu Mas'ud". Beliau berkata,: "Oh ya,
persilakanlah dia". Maka dia diizinkan kemudian berkata,: "Wahai Nabi Allah, sungguh anda hari
ini sudah memerintahkan shadaqah (zakat) sedangkan aku memiliki emas yang aku hendak
menzakatkannya namun Ibnu Mas'ud mengatakan bahwa dia dan anaknya lebih berhak terhadap
apa yang akan aku sedekahkan ini dibandingkan mereka (mustahiq). Maka Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Ibnu Mas'ud benar, suamimu dan anak-anakmu lebih berhak kamu
berikan shadaqah dari pada mereka". ( HR Bukhari )

Berkata Ibnu Hajar ( Fathu al-Bari : 3/ 329 ) : “ Hadist ini menjadi dalil kebolehan seorang istri
memberikan zakat kepada suaminya “

Pendapat yang benar dalam masalah ini adalah pendapat mayoritas ulama yang membolehkan
seorang istri memberikan zakatnya kepada suaminya yang miskin.

Adapun alasan pendapat yang menyamakan antara suami istri dalam masalah pembayaran zakat
tidaklah benar. Karena suami berkewajiban memberikan nafkah kepada istrinya, sehingga istri bisa
tercukupi dengan nafkah tersebut dan tidak membutuhkan zakat, maka suami tidak boleh
memberikan zakat kepadanya.

9. Gharim artinya orang yang terlilit hutang. Abu Hanifah memberikan gambaran bahwa gharim
adalah orang yang menanggung hutang dan ia tidak memiliki harta lebih untuk membayar
hutang.
Sedangkan Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad membagi gharim atau orang yang terlilit hutang
dalam dua kategori: Pertama, orang yang berhutang untuk maslahat dirinya. kedua, orang yang
berhutang untuk mashlahat publik.
Untuk kategori yang pertama, kriterianya adalah: seseorang yang berhutang untuk menafkahi
kebutuhan pokok hidupnya dan ia tidak memiliki harta untuk membayar hutang tersebut. Toh,
apabila ia memiliki harta, harta itu hanyalah cukup untuk menopang kebutuhan pokoknya.
Dengan demikian, apabila seseorang terlilit hutang, namun ia memiliki aset harta yang lebih dari
kebutuhan pokok, seperti : tanah selain untuk rumah, rumah kedua, properti, kendaraan di luar
kebutuhan pokok, maka tidak termasuk gharim. Gharim berhak menerima zakat karena
kedudukannya sama dengan fakir miskin yang tidak mampu memenuhi kebutuhan daruratnya.
Mujahid mengatakan: orang yang termasuk gharim adalah: orang yang hartanya hanyut terbawa
banjir bandang, orang yang hartanya terbakar dan orang yang tidak memiliki harta lantas
berhutang untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.
Dengan demikian, tidak semua orang yang sedang menanggung hutang termasuk kategori
gharim yang berhak menerima zakat.
Gharim atau orang yang berhutang yang berhak menerima zakat adalah orang yang tidak
memiliki harta untuk membayar hutangnya. Apabila ia memiliki harta, harta itu hanya cukup
untuk menopang kebutuhan hidup sehari-hari. Apabila seseorang memiliki hutang dan di saat
yang sama ia memiliki property lebih dari rumah yang ia pakai maka orang itu tidak termasuk
kategori gharim.
Seseorang yang terlilit hutang dapat menerima zakat bila memenuhi beberapa kriteria, antara
lain:
1. Membutuhkan harta untuk membayar hutangnya. apabila ia memiliki harta untuk membayar
hutangnya, walau itu berupa properti, ia tidak berhak menerima zakat.
2. Latar belakang berhutang bukan dalam rangka bermaksiat kepada Allah.
3. Hutang telah jatuh tempo.
Sedangkan gharim kategori kedua, ialah orang yang berhutang untuk kemaslahatan publik atau
umat. Misalnya, seseorang berhutang untuk membangun lembaga pendidikan yang untuk tujuan
sosial bukan profit, membangun asrama yatim piatu dan lain-lain. gharim kategori pertama ini,
menurut ulama, termasuk orang yang berhak menerima zakat. Syaikh Yusuf Al-Qardhawi
berpendapat bahwa mereka termasuk orang yang berhak menerima zakat. Tentu saja, mereka
berhak tatkala mereka tidak memiliki harta lebih dari kebutuhan pokok untuk membayar hutang.
Wallahu a’lam.

10, Para ulama memang berbeda pendapat tentang makna mustahiq zakat yang satu ini, yaitu fi
sabilillah. Perbedaan ini berangkat dari ijtihad mereka yang cenderung muwassain (meluaskan
makna)dan mudhayyiqin (menyempitkan makna).
Sebagian ulama beraliran mudhayyiqin bersikeras untuk tidak memperluas maknanya, fi
sabilillah harus diberikan tetap seperti yang dijalankan di masa Rasulullah SAW dan para
shahabat, yaitu untuk para mujahidin yang perang secara pisik.
Sebagian ulama yang beraliran muwassa'in cenderung untuk memperluas maknanya sampai
untuk biaya dakwah dan kepentingan umat Islam secara umum.
1. Pendapat Pertama
Jumhur ulama termasuk di dalamnya 4 imam mazhab (hanafi, maliki, syafi'i dan hanbali)
termasuk yang cenderung kepada pendapat yang pertama (mudhayyiqin), merekamengatakan
bahwa yang termasuk fi sabilillah adalahpara peserta pertempuran pisik melawan musuh-musuh
Allah dalam rangka menegakkan agama Islam.
Di kalangan ulama kontemporer yang mendukung hal ini adalah Syeikh Muhammad Abu
Zahrah.
Perbedaannya bukan dari segi dalil, tetapi dari segi manhaj atau metodologi istimbath ahkam.
Yaitu sebuah metode yang merupakan logika dan alur berpikir untuk menghasilkan hukum fiqih
dari sumber-sumber Al-Quran dan Sunnah.
Mereka yang termasuk ke dalam pendapat ini adalah Jumhur Ulama.Dalilnya karena di zaman
Rasulullah SAW memang bagian fi sabilillah tidak pernah digunakan untuk membangun masjid
atau madrasah. Di zaman itu hanya untuk mereka yang jihad secara pisik saja.
Para ulama jumhur mengatakan bahwa para mujahidin di medan tempur mereka berhak
menerima dana zakat, meskipun secara materi mereka cukup berada. Sebab dalam hal ini
memang bukan sisi kemiskinannya yang dijadikan objek zakat, melainkan apa yang dikerjakan
oleh para mujahidin itu merupakan mashlahat umum.
Adapun para tentara yang sudah berada di dalam kesatuan, di mana mereka sudah mendapatkan
gaji tetap dari kesatuannya, tidak termasuk di dalam kelompok penerima zakat.
Namun seorang peserta perang yang kaya, tidaklah berperang dengan menggunakan harta yang
wajib dizakati dari kekayaannya. Sebagai seorang yang kaya, bila kekayaannya itu mewajibakan
zakat, wajiblah atasnya mengeluarkan harta zakat dan menyerahkannya kepada amil zakat.
Adapun bila kemudian dia ikut perang, dia berhak mendapatkan harta dari amil zakat karena ikut
sertanya dalam peperangan. Tapi tidak boleh langsung di-bypass. Dia harus bayar zakat dulu
baru kemudian menerima dana zakat.
Namun Abu Hanifah mengatakan bahwa seorang kaya yang ikut serta dalam peperangan, maka
dia tidak berhak menerima dana dari harta zakat.
2. Pendapat Kedua
Sedangkan para ulama yang lain cenderug meluaskan makna fi sabilillah, tidak hanya terbatas
pada peserta perang pisik, tetapi juga untuk berbagai kepentingan dakwah yang lain.
Di antara yang mendukung pendapat ini adalah Syeikh Muhammad Rasyid Ridha, Dr.
Muhammad `Abdul Qadir Abu Farisdan Dr. Yusuf Al-Qradawi.
Dasar pendapat mereka juga ijtihad yang sifatnya agak luas serta bicara dalam konteks fiqih
prioritas. Di masa sekarang ini, lahan-lahan jihad fi sabilillah secara pisik boleh dibilang tidak
terlalu besar. Sementara tarbiyah dan pembinaan umat yang selama ini terbengkalai perlu
pasokan dana besar. Apalagi di negeri minoritas muslim seperti di Amerika, Eropa dan Australia.
Siapa yang akan membiayai dakwah di negeri-negeri tersebut, kalau bukan umat Islam. Dan
bukankah pada hakikatnya perang atau pun dakwah di negeri lawan punya tujuan yang sama,
yaitu menyebarkan agama Allah SWT dan menegakkannya.
Kalau yang dibutuhkan adalah jihad bersenjata, maka dana zakat itu memang diperluakan untuk
biaya jihad. Tapi kalau kesempatan berdakwah secara damai di negeri itu terbuka lebar,
bagaimana mungkin biaya zakat tidak boleh digunakan. Bukankah tujuan jihad dan dakwah sama
saja?
Oleh karena itu, dalam kitab Fiqhuz Zakah, Dr. Yusuf al-Qaradawi menyebutkan bahwa asnaf fi
sabilillah, selain jihad secara pisik, juga termasukdi antaranya adalah:
1. Membangun pusat-pusat dakwah (al-Markaz Al-Islami) yang menunjang program dakwah
Islam di wilayah minoritas, dan menyampaikan risalah Islam kepada non muslim di berbagai
benua merupakan jihad fi sabilillah.
2. Membangun pusat-pusat dakwah (al-Markaz Al-Islami) di negeri Islam sendiri yang
membimbing para pemuda Islam kepada ajaran Islam yang benar serta melindungi mereka dari
pengaruh ateisme, kerancuan fikrah, penyelewengan akhlaq serta menyiapkan mereka untuk
menjadi pembela Islam dan melawan para musuh Islam adalah jihad fi sabilillah.
3. Menerbitkan tulisan tentang Islam untuk mengantisipasi tulisan yang menyerang Islam, atau
menyebarkan tulisan yang bisa menjawab kebohongan para penipu dan keraguan yang
disuntikkan musuh Islam, serta mengajarkan agama Islam kepada para pemeluknya adalah jihad
fi sabilillah.
4. Membantu para du'at Islam yang menghadapi kekuatan yang memusuhi Islam di mana
kekuatan itu dibantu oleh para thaghut dan orang-orang murtad, adalah jihad fi sabilillah.
5. Termasuk di antaranya untuk biaya pendidikan sekolah Islam yang akan melahirkan para
pembela Islam dan generasi Islam yang baik atau biaya pendidikan seorang calon kader dakwah/
da`i yang akan diprintasikan hidupnya untuk berjuang di jalan Allah melalui ilmunya adalah
jihad fi sabilillah
Apakah pergi haji termasuk kategori fi sabilillah?
Al-Hanabilah dan sebagian Al-Hanafiyah mengatakan bahwa pergi haji ke baitullah itu masih
termasuk kategori fi sabilillah. Mereka menggunakan dalil berikut ini:
Dari Ibnu Abbas ra bahwa seseorang menyerahkan seekor hewan untuk fi sabilillah, namun
isterinya ingin pergi haji. Nabi SAW bersabda, "Naikilah, karena hajji itu termasuk fi
sabilillah". (HR Abu Daud)
Maka seorang miskin yang berkewajiban haji berhak atas dana zakat, menurut pendapat ini.
Asalkan hajinya haji yang wajib, yaitu haji untuk pertama kali. Sedangkan untuk haji yang
sunnah, yaitu haji yang berikutnya, tidak termasuk dalam kategori ini.
Tidak Harus Menggunakan Dana Zakat
Karena perdebatan para ulama cukup hangat dalam masalah ini, antara yang pro dan kontra,
maka tidak ada salahnya kita berpikir positif dan mencari jalan tengah yang aman dan selamat.
Misalnya, ketimbang kita terlalu memaksakan hukum zakat untuk sekedar membiayai proyek
dakwah, mengapa kita tidak pikirkan sumber-sumber dana lainnya?
Sebenarnya di luar sistem zakat, dalam syariat Islam ini masih ada begitu banyak jenis infaq
yang lebih fleksibel dan efektif untuk diterapkan, dan yang penting tidak akan menimbulkan
masalah dari segi hukum dan aturannya.
Syariat zakat memang agak kaku dan kurang fleksible untuk digunakan dalam banyak
kebutuhan. Setidak-tidaknya, masih banyak kendala masalah khilafiyah di dalamnya, yang akan
menimbulkan pertentangan.
Sebagai contohnya adalah masalah zakat profesi, yang hingga kini para ulama tidak sepakat.
Sebagian ulama menginginkan diberlakukannya zakat profesi namun sebagian lainnya tidak
setuju dengan keberadaan zakat itu.
Contoh yang paling aktual adalah apa yang anda tanyakan, yaitu tentang khilafiyah makna fi
sabilillah. Sebagian ulama bersikeras tidak memaknai keluar dari konteks di zaman nabi, yaitu
hanya untuk mereka yang ikut dalam perang pisik dan pertempuran saja. Sebagian lainnya
berusaha memperluas maknanya hingga segala bentuk dakwah dianggap sudah termasuk fi
sabilillah. Maka pak ustadz meski sudah kaya, juga dapat dana dari zakat. Karena pak ustadz
dianggap termasuk orang yang dalam kategori fi sabilillah.
Tentu saja masalah ini adalah masalah yang kontroversial, tetapi terjadi tarik menarik dari
mereka yang setuju dan yang tidak. Dan kalau kita coba dalami argumentasi masing-masing
kalangan, rasanya kok sama-sama benarnya. Sehingga sulit buat kita untuk menyalahkan salah
satunya.

Jenis Infaq Selain Zakat


Tapi satu hal yang patut diingat bahwa baitulmaldi masa Rasulullah SAW bukan bersumber dari
zakat semata. Ada begitu banyak jenis infaq yang bukan zakat, dengan ketentuan yang jauh lebih
elastis, fleksible dan sekaligus visible untuk dikembangkan secara modern di zaman sekarang.
Misalnya, syariat wakaf yang unik itu, di mana orang yang berinfaq sama sekali tidak kehilangan
hartanya, kecuali dia hanya melepas keuntungannya. Atau cara yang lain lagi adanya kebolehan
buat pelaksana (nadzir) suatu waqaf untuk mengambil bagian. Dan tidak ada ketentuan batasan
prosentase.
Berbeda dengan zakat yang dibatasi untuk amilnya hanya maksimal 1/8 saja, syariat waqaf tidak
mengenal batasan itu. Semua tergantung kepada kesepakaan antara mereka yang berwaqaf
dengan yang menjadi amilnya (nadzir). Nadzir berhak untuk mengajukan sistem sendiri atas
persetujuan pihak yang memberi waqaf. Tidak seperti amil zakat yang semua aturannya harus
mengacu kepada ketentuan langsung dari langit.
Intinya, syariat waqaf itu jauh lebih mudah dan elastis. Tapi di akhirat sangat berguna.

11. Ibnus Sabil


Orang yang dalam perjalanan (ibnu sabil) adalah orang asing yang tidak memiliki biaya untuk
kembali ke tanah airnya. Golongan ini diberi zakat dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Sedang dalam perjalanan di luar lingkungan negeri tempat tinggalnya. Jika masih di
lingkungan negeri tempat tinggalnya, lalu ia dalam keadaan membutuhkan, maka ia dianggap
sebagai fakir atau miskin.
2. Perjalanan tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam, sehingga pemberian zakat itu
tidak menjadi bantuan untuk berbuat maksiat.
3. Pada saat itu ia tidak memiliki biaya untuk kembali ke negerinya, meskipun di negerinya
sebagai orang kaya. Jika ia mempunyai piutang yang belum jatuh tempo, atau pada orang lain
yang tidak diketahui keberadaannya, atau pada seseorang yang dalam kesulitan keuangan, atau
pada orang yang mengingkari utangnya, maka semua itu tidak menghalanginya berhak menerima
zakat.
Ibnu Sabil iaitu orang asing yang tidak memiliki pembiayaan untuk kembali ke tanah airnya.
Golongan ini bolehIbnu sabil adalah musafir yang terputus bekalnya dalam perjalanan sehingga
dia tidak bisa pulang ke negerinya. Bagaimana dengan calon musafir? Pendapat pertama: dia
tidak termasuk ibnu sabil ini adalah pendapat jumhur, dengan alasan bahwa sabil adalah jalan,
maka ibnu sabil adalah orang jalanan yang ada di jalan bukan orang yang hendak jalan. Kedua:
muqim termasuk ibnu sabil bila dia hendak berangkat dari negerinya, akan tetapi dia tidak
mempunyai harta sebagai bekal dalam safarnya, ini adalah madzhab Syafi’i, dengan
mengqiyaskannya dengan musafir dalam arti yang sebenarnya.

12. A.berhak menerima zakat


B.tidak berhak menerima zakat
C.berhak menerima zakat
D.berhak menerima zakat
E.berhak menerima zakat
F.berhak menerima zakat

13. pengeluaran zakat untuk

A. pertanian(tanaman)
Syarat yang harus dipenuhi dalam mengeluarkan zakat hasil pertanian adalah sebagai
berikut:

1. Hasil pertanian dimiliki sendiri. Artinya, yang berhak mengeluarkan zakat hasil pertanian
adalah pemilik sawah, bukan buruh yang menggarap sawah. Masyarakat Indonesia
mengenal dua jenis pengelola sawah, yaitu pemilik sawah dan orang yang bekerja
merawat tanaman di sawah. Pemilik sawah (tuan tanah) tersebutlah yang harus berzakat
hasil pertanian.
2. Telah mencapai nisab yang telah ditentukan. Hasil pertanian sawah yang wajib
dikeluarkan zakat adalah minimal 653 kg. Bila hasil pertanian tersebut berupa buah,
sayuran, dan bunga, maka seluruh kekayaan hasil pertanian diubah ke nilai hasil
pertanian makanan pokok masyarakat setempat.
Lalu, berapakah jumlah zakat yang harus dikeluarkan petani? Menurut sumber pengairan yang
dipakai untuk mengerjakan sawah, jumlah zakat hasil pertanian dibagi menjadi dua.

1. Pertanian yang menggunakan air hujan, air sungai, dan mata air sebagai sumber
pengairan. Jika sawah yang dikelola adalah sawah tadah hujan dan jenis pengairan lain
yang tidak perlu membeli air, maka besar zakat hasil pertanian adalah sebesar 10 persen
dari seluruh hasil panen.
2. Pertanian yang mengharuskan membeli air irigasi supaya sawah mereka dapat tumbuh.
Untuk pertanian jenis ini jumlah zakat pertanian yang harus dikeluarkan adalah 5 persen
dari seluruh hasil panen. Jumlah 5 persen lainnya diasumsikan sebagai biaya pembelian
pupuk, perawatan lahan, obat hama, dan lain-lain.

Pada saat ini sangat jarang kita temukan sawah yang benar-benar tadah hujan maupun sawah
irigasi. Bagaimana bila sawah dikelola menggunakan kedua cara pengairan, yaitu air hujan dan
air irigasi? Jika kita mengacu kepada pendapat Imam Az-Zarkawi, maka besar zakat hasil
pertanian sawah jenis ini adalah 7.5 persen. Besar prosentase 7.5 adalah nilai tengah dari 5
persen dan 10 persen.

B.deposito

Pertama: Deposito di Bank Konvensional. Untuk deposito jenis ini, zakat hanya terkena
pada uang pokonya saja. Sedangkan bunga dari deposito itu, baik diambil atau tidak, tidak
terkena zakat. Nilai zakatnya adalah: 2,5 persen dari pokok.
Kedua: deposito di Bank Syariah. Untuk deposito jenis ini, system zakatnya berdasarkan pada
saldo akhir atau memasukkan bagi hasil yang diterima yang masih ada hingga akhir tahun.
Sebagai ilustrasi, modalnya : 100 juta. Ada bagi hasil: 10 juta. Maka zakatnya adalah: 2,5 persen
x 110 juta = nilai zakat yang wajib dikeluarkan.
Sedangkan terkait dengan waktu pembayaran zakat atas deposito yang dimiliki adalah: dilakukan
setelah genap satu tahun dari masa mencapai nishab 85 gram emas. Terkait dengan pencapaian
nishab sendiri, apabila memiliki harta lain seperti : emas, perak, tabungan, barang perniagaan
dan sejenisnya, maka semua dihitung secara keseluruhan dan tidak terpisah. Apabila akumulasi
semuanya sudah mencapai 85 gram emas dan genap satu tahun dari masa itu maka dikeluarkan
zakatnya 2,5 persen. Untuk masa berikutnya, zakat dikeluarkan setiap tahun. Jadi, tidak setiap
cair atau menunggu cair. Apabila telah genap satu tahun maka dikeluarkan zakatnya.
Wallahu a’lam

c.perniagaan
Barang siapa memiliki barang-barang perniagaan yang banyaknya cukup satu nisab serta
telah berjalan dalam masa satu tahun, hendaklah ia menaksir harganya pada akhir tahun itu lalu
mengeluarkan zakatnya, yaitu 1/40 dari harga tersebut. Demikianlah harus dilakukan oleh
saudagar itu terhadap perdagangannya setiap tahun. Dan tidak dihitung satu tahun, bila jumlah
yang dimiliki tidak cukup satu nisab.[1].
Jadi sesandainya seorang saudagar memiliki barang dagangan yang nilainya tidak cukup
satu nisab, kemudian masa berlalu dan barang tetap seperti demikian, lalu nilainya bertambah
disebabkan berkembang, atau harganya naik hingga sampai satu nisab, atau dapat dijualnya
dengan harga senisab, atau sementara itu ia beroleh barang lain atau uang hingga dengan itu
tercapai nisab, maka perhitungan tahun dimulai dari saat itu, bukan dari waktu yang telah
berlalu. Ini adalah pendapat Tsauri, Ahnaf, Syafi'i, Ishak, Abu Ubeid, Abu Tsaur dan Ibnul
Mundzir.
Kemudian bila dalam perjalanan tahun nisab jadi berkurang, sedang pada awal dan
akhirnya cukup, maka menurut Abu Hanifah, perhitungan tahun tidaklah terputus, karena itu
membutuhkan diketahuinya harga pada setiap waktu guna mengetahui cukupnya nisab, sedang
ini merupakan hal yang sulit.
Dan menurut golongan Hambali, jika dalam perjalanan tahun jumlahnya berkurang
kemudian bertambah hingga penuh satu nisab, perhitungan tahun diperbarui kembali, karena
terputus disebabkan berkurangnya tadi.

d. Untuk membayar zakat perhiasan emas dan perak ada dua cara.

Cara pertama: Membeli perhiasan emas atau perak sebesar/seberat zakat yang harus ia
bayarkan, lalu memberikannya langsung kepada siapa saja yang berhak menerimanya. Cara ini
berlaku jika pemilik perhiasan tersebut tidak mempersiapkannya untuk perniagaan, tetapi hanya
untuk dipakai saja.
Cara kedua: Ia membayar zakat perhiasan emas atau perak dengan uang yang berlaku di
negerinya sejumlah harga zakat (perhiasan emas atau perak) yang harus ia bayarkan pada saat
itu. Sehingga yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah menanyakan harga beli emas atau
perak per gram saat dikeluarkannya zakat. Jika ternyata telah mencapai nishob dan haul, maka
dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5% (1/40) dari berat perhiasan emas atau perak yang dimiliki dan
disetarakan dalam mata uang di negeri tersebut. Cara ini berlaku jika pemilik perhiasan telah
mempersiapkannya untuk perniagaan.

e. Ada tiga jenis hewan ternak yang wajib dizakati, yaitu:


Unta dan berbagai macam jenisnya.
Sapi dan berbagai macam jenisnya, termasuk kerbau.
Kambing dan berbagai macam jenisnya, termasuk kambing kacang (ma’iz) dan domba.
Mengenai kewajiban zakat pada tiga jenis hewan ini dijelaskan dalam hadits Anas bin
Malik mengenai surat Abu Bakr tentang zakat.[1]
Hewan ternak dapat dibagi menjadi empat macam:
Hewan ternak yang diniatkan untuk diperdagangkan. Hewan seperti ini dikenai zakat
barang dagangan walau yang diperdagangkan cuma satu ekor kambing, satu ekor sapi atau satu
ekor unta.
Hewan ternak yang diambil susu dan digembalakan di padang rumput disebut sa-imah.
Hewan seperti ini dikenai zakat jika telah mencapai nishob dan telah memenuhi syarat lainnya.
Hewan ternak yang diberi makan untuk diambil susunya dan diberi makan rumput (tidak
digembalakan). Seperti ini tidak dikenai zakat karena tidak termasuk hewan yang diniatkan
untuk diperdagangkan, juga tidak termasuk hewan sa-imah.
Hewan ternak yang dipekerjakan seperti untuk memikul barang dan menggarap sawah.
Zakat untuk hewan ini adalah hasil upah dari jerih payah hewan tersebut jika telah mencapai haul
dan nishob.[2]
Syarat wajib zakat hewan ternak:
Ternak tersebut ingin diambil susu, ingin dikembangbiakkan dan diambil minyaknya. Jadi,
ternak tersebut tidak dipekerjakan untuk membajak sawah, mengairi sawah, memikul barang
atau pekerjaan semacamnya. Jika ternak diperlakukan untuk bekerja, maka tidak ada zakat
hewan ternak.
Ternak tersebut adalah sa-imah yaitu digembalakan di padang rumput yang mubah selama
setahun atau mayoritas bulan dalam setahun[3]. Yang dimaksud padang rumput yang mubah
adalah padang rumput yang tumbuh dengan sendirinya atas kehendak Allah dan bukan dari hasil
usaha manusia.[4]
Telah mencapai nishob, yaitu kadar minimal dikenai zakat sebagaimana akan dijelaskan
dalam tabel. Syarat ini sebagaimana berlaku umum dalam zakat.
Memenuhi syarat haul (bertahan di atas nishob selama setahun).[5][6]
Silakan baca syarat-syarat zakat di sini.
Dalil bahwasanya hewan ternak harus memenuhi syarat sa-imah disimpulkan dari hadits
Anas bin Malik mengenai surat yang ditulis Abu Bakr tentang zakat,
َ ‫سائِ َمتِ َها فِى أالغَن َِم‬
‫صدَقَ ِة َوفِى‬ ‫شَاة ٌ َو ِمائ َ ٍة ِع أش ِرينَ ِإلَى أ َ أر َبعِينَ كَان أ‬
َ ‫َت ِإذَا‬
“Mengenai zakat pada kambing yang digembalakan (dan diternakkan) jika telah mencapai
40-120 ekor dikenai zakat 1 ekor kambing.”[7] Berdasarkan mafhum sifat, dapat dipahami
bahwa jika hewan ternak bukan sebagai sa-imah, maka tidak ada kewajiban zakat dengan satu
ekor kambing.[8] Unta dan sapi diqiyaskan dengan kambing.[9]
Sedangkan mengenai nishob dan kadar wajib zakat langsung dijelaskan dengan tabel-tabel
berikut untuk memudahkan. Ketentuan ini berasal dari hadits Anas tentang surat Abu Bakr
mengenai zakat.[10] Sedangkan untuk ketentuan ternak sapi dijelaskan dalam hadits Mu’adz
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
ُّ ِ‫ النَّب‬-‫وسلم عليه هللا صلى‬- ‫ُم ِسنَّةا أ َ أربَعِينَ ُك ِل َو ِم أن تَبِيعَةا أ َ أو ت َ ِبيعاا بَقَ َرة ا ثَالَثِينَ ُك ِل ِم أن آ ُخذَ أ َ أن فَأ َ َم َرنِى أاليَ َم ِن إِلَى‬
‫ى بَعَثَنِى‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mengambil dari setiap 30 ekor
sapi ada zakat dengan kadar 1 ekor tabi’ (sapi jantan umur satu tahun) atau tabi’ah (sapi betina
umur satu tahun) dan setiap 40 ekor sapi ada zakat dengan kadar 1 ekor musinnah (sapi berumur
dua tahun).”[11]
Kadar wajib zakat pada unta
Nishob (jumlah unta)
Kadar wajib zakat
5-9 ekor 1 kambing (syah)
10- 14 ekor 2 kambing
15-19 ekor 3 kambing
20-24 ekor 4 kambing
25-35 ekor 1 bintu makhod (unta betina berumur 1 tahun)
36-45 ekor 1 bintu labun (unta betina berumur 2 tahun)
46-60 ekor 1 hiqqoh (unta betina berumur 3 tahun)
61-75 ekor 1 jadza’ah (unta betina berumur 4 tahun)
76-90 ekor 2 bintu labun (unta betina berumur 2 tahun)
91-120 ekor 2 hiqqoh (unta betina berumur 3 tahun)
121 ekor ke atas setiap kelipatan 40: 1 bintu labun, setiap kelipatan 50: 1 hiqqoh

Kadar wajib zakat pada sapi


Nishob (jumlah sapi)
Kadar wajib zakat
30-39 ekor 1 tabi’ (sapi jantan berumur 1 tahun) atau tabi’ah (sapi betina berumur 1
tahun)
40-59 ekor 1 musinnah (sapi betina berumur 2 tahun)
60-69 ekor 2 tabi’
70-79 ekor 1 musinnah dan 1 tabi’
80-89 ekor 2 musinnah
90-99 ekor 3 tabi’
100-109 ekor 2 tabi’ dan 1musinnah
110-119 ekor 2 musinnah dan 1 tabi’
120 ke atas setiap 30 ekor: 1 tabi’ atau tabi’ah, setiap 40 ekor: 1 musinnah

Kadar wajib zakat pada kambing (domba)


Nishob (jumlah kambing)
Kadar wajib zakat
40-120 ekor 1 kambing dari jenis domba yang berumur 1 tahun atau 1 kambing dari
jenis ma’iz yang berumur 2 tahun
121-200 ekor 2 kambing
201-300 ekor 3 kambing
301 ke atas setiap kelipatan seratus bertambah 1 kambing sebagai wajib zakat

Berserikat (khulthoh) dalam kepemilikan hewan ternak ada dua macam:


Pertama: Khulthoh musyarokah, yaitu berserikat dalam pokok harta di mana nantinya tidak
bisa dibedakan antara harta yang satu dan lainnya.
Contoh: Si A memiliki Rp.5 juta dan si B memiliki Rp.5 juta lalu keduanya membeli
beberapa kambing. Bentuk serikat semacam ini dikenai zakat terhadap harta yang mereka miliki,
seakan-akan harta mereka adalah milik satu orang.
Kedua: Khulthoh mujawaroh, yaitu berserikat dalam nishob hewan ternak yang memiliki
keseluruhan haul yang sama dan kedua harta orang yang berserikat bisa dibedakan satu dan
lainnya. Bentuk serikat semacam ini dikenai zakat seperti teranggap satu orang jika memenuhi
syarat-syarat berikut ini.
Yang berserikat adalah orang yang dikenai kewajiban mengeluarkan zakat. Sehingga
serikat yang terdapat kafir dzimmi dan budak mukatab tidak termasuk.
Telah mencapai nishob ketika diserikatkan. Jika tidak mencapai nishob ketika
digabungkan, maka tidak ada zakat.
Sama dalam keseluruhan haul.
Berserikat dalam hal-hal berikut: (a) memiliki satu pejantan, (b) pergi merumput dan
kembali berbarengan, (c) digembalakan pada satu padang rumput, (d) satu ambing susu, (e) satu
kandang untuk beristirahat.[12]

14. Beberapa dalil yang membolehkan mengeluarkan zakat sebelum mencapai haul:
Dari ‘Ali, ia berkata,
َ ‫صدَقَتِ ِه قَ ْب َل أ َ ْن ت َِحل فَ َرخ‬
َ‫ص لَه فِى ذَلِك‬ َ ‫ فِى ت َ ْع ِجي ِل‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫سأ َ َل الن ِبى‬ َ ‫أَن ْال َعب‬
َ ‫اس‬
“Al ‘Abbas bertanya kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bolehkah mendahulukan
penunaian zakat sebelum mencapai haul. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberikan keringanan dalam hal itu. ”[1]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata pada ‘Umar,
‫ام أَو َل‬
َ ‫امنَا َهذَا َع‬ ِ ‫صدَقَةَ َما ِل ْال َعب‬
ِ ‫اس ِل َع‬ َ ‫ِإنا كنا قَدْ ت َ َعج ْلنَا‬
“Kami dahulu pernah meminta memajukan penunaian zakat dari harta Al ‘Abbas pada tahun ini,
padahal ini baru masuk tahun pertama.”[2]
Selain itu, tidak ada dalil yang menunjukkan terlarangnya hal ini. Sedangkan dalil,
‫ْس فِى َمال زَ كَاة َحتى يَحو َل َعلَ ْي ِه ْال َح ْول‬ َ ‫َولَي‬
“Dan tidak ada zakat pada harta hingga mencapai haul”[3], hadits ini tidak menunjukkan
larangan menunaikan zakat sebelum mencapai haul. Dan sekali lagi, zakat berbeda dengan shalat
yang memiliki batasan waktu awal dan akhir. Dan tidak bisa kita qiyaskan (analogikan), satu
ibadah dengan ibadah dengan lainnya karena asalnya tidak sama. Dan juga shalat memiliki
batasan waktu yang tidak bisa kita analogikan.[4]

15. Zakat Tidak Harus Di Bulan Ramadhan

Banyak orang terkadang hanya mau membayar zakat di bulan ramadhan. Padahal bisa jadi
haulnya jatuh sebelum ramadhan. Akibatnya, dia melanggar larangan menunda pembayaran
zakat.
Bulan Romadhan adalah bulan penuh keberkahan, penuh ampunan, rahmat, dan kasih sayang
Allah. Di bulan ini, Allah mewajibkan seluruh orang yang beriman untuk melaksanakan ibadah
puasa, sebagaimana firman-Nya,

َ‫ب َعلَى الذِينَ ِم ْن قَ ْب ِلك ْم لَعَلك ْم تَتقون‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الذِينَ آ َمنوا ك ِت‬
ِّ ِ ‫ب َعلَيْكم‬
َ ‫الصيَام َك َما ك ِت‬

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Di bulan ini pula, Allah Ta’ala menurunkan Alquran sebagai petunjuk bagi umat manusia, dan
terutama bagi orang-orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang hidupnya ingin meraih
kebahagiaan dan kesuksesan yang hakiki, baik di dunia ini maupun di akhirat nanti. Allah
berfirman:
ِ َ‫اس َوبَ ِِّينَات ِمنَ ْالهدَى َو ْالف ْرق‬
‫ان‬ ِ ‫ضانَ الذِي أ ْن ِز َل فِي ِه ْالق ْرآن هدًى ِللن‬
َ ‫ش ْهر َر َم‬
َ

“Itulah bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Alquran sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara
yang hak dan yang batil).” (QS. Al-Baqarah: 185)

Tak kalah penting, di bulan ini, dibuka pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka, dan diikat
serta dirantai setan-setan (sehingga sulit menggoda dan mengganggu orang yang berpuasa). Di
bulan ini terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Karena itu, barang siapa
yang terhalang mendapatkan kebaikan di bulan ini, maka sungguh dia telah merugi. (HR. Imam
Ahmad dari Abu Hurairah).

Disebut dengan bulan penuh berkah karena terdapat banyak keutamaan dan keistimewaan di
dalamnya. Allah berjanji akan mengampuni dosa-dosa orang yang bersalah bila mereka segera
bertobat dan memohon ampunan Allah. Allah akan mengabulkan segala permohonan, bilamana
hamba-hamba-Nya mau meminta dan berdoa kepada Allah. Selain itu, Allah juga akan melipat-
gandakan nilai ibadah hamba-Nya pada bulan Ramadhan ini.

Oleh karena itu, kaum muslimin masuki bulan Ramadhan ini dengan penuh sukacita karena ingin
meraih keberkahan dan keutamaan dari Allah .

Melihat keutamaan Ramadhan yang banyak, nampak banyak kaum muslimin yang menunaikan
zakatnya dibulan tersebut dengan keyakinan lebih utama daripada dibulan lainnya. Memang
Rasulullah n menjadi sangat dermawan bila dibulan Ramadhan seperti disampaikan ibnu Abbas
dalam pernyataan beliau:

‫ َو َكانَ ِجب ِْريل َعلَ ْي ِه السالَم يَ ْلقَاه فِي‬،‫ ِحينَ يَ ْلقَاه ِجب ِْريل‬، َ‫ضان‬ َ ‫ َوأَجْ َود َما يَكون فِي َر َم‬،‫اس‬ ِ ‫سل َم أَج َْودَ الن‬
َ ‫صلى هللا َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫ي‬ ُّ ِ‫َكانَ النب‬
‫سلَ ِة‬ َ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
ِّ ِ َ‫سل َم أجْ َود بِال َخ ْي ِر ِمن‬
َ ‫الريحِ الم ْر‬ َ ِ‫ فَلَ َرسول َّللا‬، َ‫ فَيدَ ِارسه الق ْرآن‬، َ‫ضان‬
َ ‫صلى هللا‬ َ ‫ك ِِّل لَ ْيلَة ِم ْن َر َم‬

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan. Kedermawanan
Beliau menjadi lebih besar lagi apabila di bulan Ramadhan ketika Jibril menemuinya. Jibril
menemui beliau setiap malam dari Ramadhan, lalu melakukan mudarasah al-Qur`an. Waktu itu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dermawan dalam memberikan kebaikan dari
angin yang berhembus. (HR. Bukhori no. 6 dan Muslim no. 2308).
Imam An-Nawawi mengomentarai hadis ini dengan menyatakan: Dalam hadis ini ada pelajaran
penting, diantaranya adalah disunnahkan memperbanyak berderma pada bulan Ramadhan. Lalu
bagaimana dengan zakat?

Syarat Haul Dalam Zakat


Sudah dimaklumi, kewajiban zakat memiliki beberapa syarat, diantaranya adalah harta yang
telah mencapai nishab (ukuran standar kewajiban zakat) telah berlalu selama setahun.

Syarat ini ditetapkan berdasarkan hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantaranya
hadis ‘Aisyah bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫َال زَ كَاة َ فِي َمال َحتى يَحو َل َعلَ ْي ِه ْال َح ْول‬

“Tidak ada zakat dalam harta hingga berlalu setahun lamanya (HR Ibnu Majah no. 1792 dan
dishahihkan al-Albani dalam shahih sunan Ibnu Maajah 2/98).

Demikian pula hadis Ali, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ْس فِي َمال زَ كَاة َحتى يَحو َل َعلَ ْي ِه ْال َح ْول‬
َ ‫لَي‬

“Tidak ada zakat pada harta hingga berlalu setahun lamanya (HR Abu daud no. 1573 dan
dishahihkan al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud 1/346).
Dalam hadis Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ َحتى يَحو َل َعلَ ْي ِه ال َح ْول ِع ْندَ َربِِّ ِه‬،‫َم ْن ا ْستَفَادَ َم ًاال فَ َال زَ كَاة َ َعلَ ْي ِه‬

“Siapa yang memanfaatkan harta maka tidak ada zakatnya hingga berlalu atasnya setahun di
tangan pemiliknya.” (HR At-Tirmidzi dalam sunannya no. 631 & dishahihkan al-Albani dalam
Shahih sunan At-Tirmidzi 1/348).

Maksudnya adalah tidak ada zakat pada harta hingga berlalu masa penyimpanan dua belas bulan
dari kepemilikannya.

Syarat ini hanya berlaku sebagai syarat wajib zakat pada tiga jenis harta; yaitu hewan ternak
yang digembalakan, emas dan perak (Atsmaan) dan zakat barang perdagangan.

Dengan demikian kewajiban untuk mengeluarkan zakat, terjadi di awal waktu berlalunya
setahun. Misalnya, pada tanggal 2 muharram 1432 H, harta kita mencapai nilai 85 gram emas,
yang berarti sudah masuk nishab zakat. Pada tanggal 2 Muharram 1433 H harta kita mencapai
Rp 100 juta. Ketika tanggal 2 Muharram 1433 H tersebut, kita wajib mengeluarkan zakatnya
karena telah berlalu satu tahun setelah mencapai nishab.

Bolehkah Disegerakan?
Sangat jelas keutamaan mensegerakan pengeluaran zakat harta diwaktu jatuh tempo
pembayarannya pas di hari pertama habisnya masa setahun dari masuknya harta satu nishab.
Sebab Allah berfirman,

‫ت ِللذِينَ آ َمنوا بِاَّللِ َورس ِل ِه ذَلِكَ فَضْل َّللاِ يؤْ تِي ِه َم ْن يَشَاء‬ ِ ‫اء َو ْاأل َ ْر‬
ْ ‫ض أ ِعد‬ ِ ‫سابِقوا إِلَى َم ْغ ِف َرة ِم ْن َر ِبِّك ْم َو َجنة َع ْرض َها َكعَ ْر‬
ِ ‫ض الس َم‬ َ
‫ض ِل ْال َع ِظ ِيم‬
ْ َ‫َوَّللا ذو ْالف‬

“Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang
luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah
dan rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Hadid: 21).

Imam Ibnu Bathaal menyatakan: Kebaikan sepatutnya disegerakan (pelaksanaannya), karena


waktu berjalan dan faktor penghalang bisa menghadang, kematianpun tidak bisa dipastikan dan
menunda-nunda sesuatu adalah perkara tidak terpuji.

Dengan demikian mengundurkan pembayaran zakat setelah berlalunya waktu wajib zakat
dilarang dalam islam kecuali ada udzur alasan yang dibenarkan. Namun bila dibayar sebelum
masa jatuh tempo pembayaran zakat, diperbolehkan menurut pendapat mayoritas ulama.

Bagaimana Membayar Zakat Hanya di Bulan Ramadhan?


Fenomena semangat membayar zakat hanya di bulan Ramadhan memang harus didudukkan dan
diluruskan. Pasalnya, fenomena ini telah menjadi salah satu kebiasaan msyarakat kita.
Dikhawatirkan nantinya akan membentuk opini di masyarakat awam bahwa zakat hanya dibayar
dibulan Ramadhan saja.
Melihat syarat haul (disimpan selama setahun) sejak harta tersebut mencapai nishab, maka sikap
kaum muslimin yang membayar zakat di bulan ramadhan, terbagi menjadi tiga kelompok:

Pertama, kelompok yang memiliki harta satu nishab ketika bulan Romadhan. Keadaannya jelas,
dia harus membayarnya di bulan Ramadhan tahun berikutnya. Dengan demikian, orang ini
membayar zakat tepat pada waktunya.
Kedua, kaum muslimin yang memiliki harta senishab setelah Ramadhan. Masa tempo normal
untuk pembayaran zakatnya adalah setelah Ramadhan. Ketika orang ini membayarnya pada
bulan Romadhan, berarti dia menyegerahkan pembayaran zakat. Dalam istilah fikih sikap
semacam ini dinamakan “Ta’jil az-Zakaat” (mempercepat pembayaran zakat).
Para ulama membolehkan hal ini berdasarkan beberapa riwayat, diantaranya dari
Ali radhiyallahu ’anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memajukan pembayaran zakat
dari Abbas (paman beliau) dua tahun (HR. Abu Ubaid dalam al-Amwaal no. 1885 dan dinilai
hasan oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil 4/316 no. 857).
Dalil yang lain adalah riwayat yang menyatakan,

َ ‫ فَ َرخ‬،‫صدَقَتِ ِه قَ ْب َل أ َ ْن ت َِحل‬
َ‫ص لَه فِي ذَلِك‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ‫سل َم فِي ت َ ْع ِجي ِل‬ َ ‫سأ َ َل النبِي‬
َ ‫صلى هللا‬ َ ‫أَن ْالعَب‬
َ ‫اس‬

“Sesungguhnya al-Abbas bertanya kepada Nabi tentang mempercepat pembayaran zakat


sebelum jatuh tempo pembayaran, lalu beliau memberikan keringanan kepadanya dan
mengizinkannya.” (HR. Abu dawud no. 1624 dan dihasankan al-Albani dalam Shahih sunan Abi
Dawud).

Hanya saja, bolehnya menyegerahkan pembayaran zakat ini dengan syarat hartanya sudah
mencapai nishab. Jika belum mencapai nishab maka tidak sah untuk dinilai sebagai zakat mal
(harta).

Ketiga, Kelompok yang memiliki harta satu nishab sebelum Ramadhan, sehingga seharusnya
jatuh tempo pembayarannya sebelum masuk bulan Ramadhan. Namun orang ini ingin
membayarkan zakatnya di bulan ramadhan, sehingga pembayaran zakatnya mengalami
penundaan. Perbuatan ini hukumnya terlarang, karena berarti mengakhirkan waktu pembayaran
zakat, kecuali jika ada alasan yang diperbolehkan syariat.
Syeikh Ibnu Utsaimin menjelaskan:

Diperbolehkan mengakhirkan pembayaran zakat karena mempertimbangkan maslahat fakir


miskin, sehingga tidak menyusahkan mereka. Misalnya, ketika di bulan Ramadhan banyak orang
yang mengeluarkan zakatnya, sehingga para fakir miskin atau mayoritas fakir miskin, tidak
membutuhkan zakat. Akan tetapi di musim dingin yang tidak bertepatan dengan romadhan,
mereka lebih membutuhkan (harat zakat tersebut), namun sedikit yang bayar zakat waktu itu.
Maka disini boleh mengakhirkan pembayaran zakat, karena ada kemaslahatan bagi orang yang
berhak menerimanya. (Syarhu al-Mumti’ 6/189).

16.Jawaban yang benar adalah B YAITU: orang kaya agar tidak lupa membayar zakat
sehingga bercampur dengan hartanya dan membinaskannya.

Anda mungkin juga menyukai