Anda di halaman 1dari 20

SULTAN HASANUDDIN DAN ARUNG PALAKKA:

MASA LALU YANG (MASIH) AKTUAL

Disusun dan diajukan oleh:

ABD. RAHMAN HAMID


Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin

Lomba Penulisan Penjernihan/Pelurusan Sejarah Sulawesi Selatan


Tema “Sultan Hasanuddin dan Arung Palakka”
Diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Provinsi Sulawesi Selatan
Tahun 2013

~0~
SULTAN HASANUDDIN DAN ARUNG PALAKKA:
MASA LALU YANG (MASIH) AKTUAL1
Oleh: Abd. Rahman Hamid2

Setiap orang bukan saja merupakan seorang sejarawan yang harus menyusun sejarahnya sendiri
untuk pengertiannya sendiri, tetapi juga mempunyai kans untuk termasuk diantara mereka yang
catatan-catatannya akan menarik minat sejarawan dari masa ratusan atau ribuan tahun yang akan
datang dan dengan demikian akan memperoleh keabadian yang mungkin tidak akan diperoleh orang-
orang sejamannya yang lebih terkemuka (Gottschalk 1985:17-18).

A. Pendahuluan
Pembicaraan mengenai Sultan Hasanuddin dan Arung Palakkka selalu diwarnai
dengan polemik kepahlawanan mereka. Hal itu mungkin tidak akan terjadi bila salah
satu dari mereka tidak mendapat gelar pahlawan nasional, atau gelar itu disematkan
untuk keduanya, ataupun keduanya tidak mendapatkan gelar itu. Jika alternatif terakhir
dipilih, mungkin juga akan mengemuka wacana mengenai semangat kebangsaan
masyarakat di Sulawesi Selatan. Pasalnya, pahlawan nasional sering dipandang sebagai
simbol perjuangan rakyat di suatu daerah untuk mengusir penjajah. Dengan kata lain,
jika tidak ada pahlawan nasional, maka daerah itu dapat dipandang tidak memiliki andil
dalam perjuangan bangsa. Kemudian, jika dipilih alternatif pertama dan kedua, maka
harus jelas parameternya. Setidaknya, perlu pemahaman sejarah sebelum menyematkan
gelar kepada tokoh-tokoh yang dipandang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan
dalam perjuangannya.
Sejak pemerintah menyematkan gelar pahlawan nasional bagi Sultan
Hasanuddin3, maka posisi Arung Palakka selalu ditempatkan sebagai bukan pahlawan
nasional. Posisi itu diperkuat oleh parameter yang digunakannya, bahwa pahlawan
nasional adalah orang yang berjuang menentang penjajah. Dengan demikian, tokoh
yang tidak menentang atau bekerjasama dengan penjajah, apa pun dalihnya, tidak dapat
memperoleh gelar pahlawan nasional. Demikianlah nasib Raja Bugis Arung Palakka,
yang pernah bekerjasama dengan Belanda, tidak dapat menjadi pahlawan nasional.

1
Artikel ini diajukan untuk lomba penulisan penjernihan/pelurusan sejarah Sulawesi Selatan
tahun 2013, dengan tema “Sultan Hasanuddin dan Arung Palakka” yang diselenggarakan oleh Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2013.
2
Penulis adalah staf pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin Makassar.
3
Keputusan Presiden RI Nomor 087/TK/1973, tanggal 6 November 1973.

~1~
Namun, itu tidak berarti bahwa Arung Palakka tidak memiliki nilai-nilai kepahlawanan.
Bagi bangsanya, dia sangat dihargai dan dijunjung tinggi. Setidaknya, berkat upayanya,
bangsanya terbebas dari kontrol politik bangsa lainnya yang saat itu berada dibawah
kepemimpinan Sultan Hasanuddin.
Pandangan yang tidak historis kerap menjadi sebab dihakiminya seseorang
dalam perjuangannya di masa lalu. Itulah yang dialami oleh Arung Palakka dalam
merespon dinamika politik di Sulawesi Selatan abad ke-17, yang membuatnya memilih
jalan perjuangan membela bangsanya. Pilihan itu kemudian mempengaruhi pandangan
mahasiswa dan masyarakat terhadap tokoh tersebut yang sering kali tidak beralaskan
kisah sejarah yang sesungguhnya. Karena itulah tulisan ini diajukan sebagai bahan
bacaan bagi generasi muda agar lebih cerdas dan kritis membaca sejarah dari kedua
tokoh tersebut.

B. Kerangka Konseptual

Sejarah menurut Edward Hellet Carr adalah dialog yang tidak berkesudahan
antara sejarawan dengan masa lalu dan sumber-sumbernya. Tidak ada tafsir final
tentang masa lalu selama masih ditemukan sumber-sumber baru. Selain aspek sumber,
penggunaan perangkat analisis juga mempengaruhi perspektif ita terhadap peristiwa
sejarah. Secara ideologis, rekonstruksi masa lalu kerap dilakukan sesuai fungsi dan
tujuan sejarawan.
Berkaitan dengan fungsi dan tujuan itu, Bernard Lewis (2009) mengklasifikasi
sejarah dalam tiga jenis. Pertama, sejarah yang diingat (remembered history). Sejarah
jenis ini lebih merupakan memori kolektif suatu komunitas atau bangsa. Apa yang
dipilih untuk diingat adalah yang bermakna, baik secara realitas maupun simbolik.
Kebenarannya lebih bersifat puitis atau sebagaimana dipahami pendukungnya. Jika citra
diri yang dikehendaki berubah dan masa lampau yang diingat tidak lagi mendukung hal
itu, maka berarti sejarah yang diingat itu tidak benar atau dianggap palsu. Dengan
demikian, kebenaran dalam konteks ini dikaitkan dengan kepentingan suatu bangsa.
Kedua, sejarah yang ditemukan kembali (recovered history), yakni peristiwa, tokoh, dan
gagasan yang dalam batas tertentu telah dilupakan dan dengan alasan tertentu ditolak
oleh memori kolektif suatu komunitas. Penemuan itu dilakukan melalui pengkajian

~2~
terhadap sumber-sumber sejarah. Ketiga, sejarah yang ditemu-ciptakan (invented
history). Sejarah jenis ini ditulis dengan suatu tujuan baru, yang berbeda dari tujuan-
tujuan sebelumnya, yang digali dan ditafsirkan dari jenis sejarah pertama dan kedua.
Tujuan itu dapat berupa upaya untuk melegitimasi kekuasaan ataupun sebaliknya.
Menurut Sam Winburg (2006), keakraban kita dengan masa lalu terkait dengan
kebutuhan kita pada masa kini. Karena itu, setiap generasi harus mempertanyaan,
mengapa penting mempelajari sejarah. Dalam konteks ini, sejarah diharapkan dapat
mempersatukan, bukan memecah belah kita. Meskipun demikian, cara berpikir yang
historis harus selalu dikedepankan. Apa pun tujuannya, presentisme (melihat masa lalu
melalui lensa masa kini) tidak dibenarkan karena akan membuat buntu pikiran kita
dalam memahami kejadian yang sesungguhnya. Sejarah, kata Wineburg, memiliki
potensi untuk menjadikan kita manusia yang berperikemanusiaan.

C. Masa Lalu Yang Aktual

Pandangan Mahasiswa
Pada pertengahan tahun 2000, saat pertama menjadi mahasiswa baru di Jurusan
Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Makassar (UNM), saya memperoleh kesan yang
sangat menarik ketika diadakan diskusi penyambutan mahasiswa baru. Topiknya
seputar “Sultan Hasanuddin dan Arung Palakka: Penghianat atau Pahlawan”. Peserta
diskusi dibagi menjadi dua kelompok. Yang pertama (selanjutnya disebut KSH)
diarahkan untuk menyuguhkan berbagai argumen yang mendukung upaya Sultan
Hasanuddin sebagai pahlawan. Sedangkan, kelompok kedua (disebut KAP) bertugas
mengemukakan pendapat yang mendukung usaha-usaha yang dilakukan oleh Arung
Palakka sehingga patut mendapatkan gelar pahlawan seperti halnya Sultan Hasanuddin.
Pembagian kelompok dilakukan secara acak, tanpa memperhatikan aspek latar
kultural (etnis) setiap anggotanya. Beberapa peserta yang nota bene adalah orang
Makassar ditempatkan pada kelompok Arung Palakka. Demikian pula sebagian orang
Bugis menjadi anggota kelompok yang bertugas membela Sultan Hasanuddin. Setiap
kelompok bertanggungjawab menyajikan gagasan-gagasan yang mendukung sepak
terjang tokoh yang dibelanya. Diskusi ini dipandu oleh seorang mahasiswa senior.

~3~
Sebagai wacana pembuka, dia mengetengahkan berbagai informasi seputar tokoh dan
peristiwa yang terjadi di Sulawesi Selatan abad ke-17. Dilanjutkan dengan tanggapan
peserta diskusi, sesuai dengan pembagian kelompok dan tanggung jawab masing-
masing.
Pada awalnya, diskusi berlangsung tenang. Setiap kelompok berupaya
mengetengahkan argumennya untuk membela tokoh sejarahnya. Tetapi, tiba-tiba terjadi
ketegangan antara anggota kelompok, terutama setelah pemandu diskusi mengarahkan
peserta pada pilihan atas status kedua tokoh itu, sebagai pahlawan atau penghianat.
Salah seorang dari KAP, yang berlatar etnis Makassar, menyatakan keluar dari
kelompoknya, lalu bergabung ke KSH. Tindakan itu diikuti pula oleh sebagian anggota
KSH, yang nota bene berlatar etnis Bugis. “Saya tidak mau berada di kelompok ini,
karena saya orang Bugis/Makassar”, demikian alasan mereka untuk pindah kelompok
sesuai latar kultural tokoh yang didiskusikan. Fakta tersebut menunjukkan bahwa faktor
emosional sangat mempengaruhi alam pikiran dan sikap mahasiswa dalam menyikapi
kedua tokoh tersebut pada mimbar akademik.
Masih dalam tahun yang sama, salah seorang mahasiswa baru (yunior) didatangi
oleh seniornya. Pada awalnya, mereka berbincang seadanya. Tiba-tiba satu pertanyaan
terlontar dari sang senior, ”kamu dari [orang] mana?” si yunior menjawab ”saya orang
Buton”. Mendengar jawaban itu, sang senior lalu mangatakan bahwa “rajamu [Sultan
Buton] penghinat. Dia bekerjasama dengan Arung Palakka dan Kompeni 4 untuk
melawan Sultan Hasanuddin”. Sang yunior terdiam. Dia tidak bisa berkata apa-apa.
Namun, dalam benaknya terbersik Tanya, “mengapa harus mendapat sindiran ini?”
(Hamid 2008:2).
Dua kisah tersebut menunjukkan bahwa persepsi tentang tokoh sejarah sangat
dipengaruhi oleh latar etnis. Kedekatan emosional kadang membuat seseorang sulit
berlaku obyektif terhadap masa lalu, termasuk sikapnya hari ini. Padahal, sejarah
menceritakan, meminjam istilah Leopold von Ranke, “apa yang sesungguhnya terjadi”
(wie es eigentlicht gewesen). Kualitas rekonstruksi dipengaruhi diwarnai oleh kadar
imajinasi kesejarahan yang dimiliki dan dihayati. Terkadang, rekonstruksi sejarah tidak

4
Sebutan lain yang sering digunakan untuk merujuk pada Verenigde Oostindische Compagnie
(VOC). Dalam tulisan ini menggunakan istilah Kompeni.

~4~
semata salinan polos dari kenyataan yang dibicarakan, tetapi juga pada tahap yang lebih
ekstrim merupakan manifestasi dari imajinasi kesejarahan itu sendiri (Abdullah 1996:4).
Imajinasi kesejarahan terkait dengan tingkat pemahaman kita tentang sejarah
lokal. Faktor ini terungkap dalam penelitian Patahuddin (2009) mengenai persepsi
mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah UNM terhadap ketokohan Arung Palakka.
Sumber informasinya adalah mahasiswa yang sudah memprogramkan mata kuliah
Sejarah Lokal dan berlatar etnis Bugis dan Makassar. Dengan menggunakan uji statistik
terhadap informasi yang disampaikan oleh mahasiswa, Patahuddin menyimpulkan
bahwa pemahaman sejarah lokal lebih besar pengaruhnya, daripada latar etnis, dalam
membentuk sikap mahasiswa terhadap Arung Palakka dan Sultan Hasanuddin. Pada
konteks ini, jelas bahwa peran pembelajaran sejarah lokal sangat penting dalam
membentuk sikap generasi muda terhadap tokoh sejarah serta cara berpikir dan perilaku
mereka hari ini.

Pandangan Masyarakat

Pada awal tahun 2001, seorang mahasiswa sejarah berkunjung ke rumah


kontrakan sahabatnya, di Kompleks Manuruki Kota Makassar. Rumah dikontrak itu
milik orang Makassar. Ketika mereka sedang asyik berbincang, sang pemilik rumah
datang. Dia ikut berbincang tentang kehidupan kampus. Setelah beberapa menit
jalannya perbincangan, dia bertanya kepada sang tamu,”kamu orang [dari] mana?” Lalu
dijawabnya, saya orang Buton Pak! Serentak, sang pemilik rumah menyahut, kok kamu
tidak punya poge? Semua orang Buton, katanya, pasti ada poge-nya. Sebab dahulu,
Sultan Buton pernah berbohong kepada Sultan Hasanuddin, bahwa dia tidak
menyembunyikan Arung Palakka di atas tanah Buton. Karena itulah, Sultan Hasanuddin
bersumpah, bahwa bila ternyata benar Sultan Buton menyembunyikan Arung Palakka
maka anak keturunannya akan menderita poge (Hamid 2008:2).
Latar pengungsian Arung Palakka ke Buton dan derita poge (bagi orang Buton)
dapat diperiksa dalam Sinrilikna Kappa Tallumbatua (SKT). Dalam sastra lisan
Makassar ini, tokoh Arung Palakka disamarkan dengan nama Andi Patunru. Dalam
pergaulannya sehari-hari, dia terkenal dengan kemampuannya bermain raga. Pada suatu
hari, ketika 6 orang keluarga istana bermain raga, dia disuruh untuk masuk gelanggang

~5~
untuk mencukupi jumlah pemain menjadi 7 orang. Andi Patunru sangat mahir
memainkan bola rotan. Bola itu diterima dengan kaki kiri, lalu dioper ke kaki kanan,
kemudian dinaikkan ke bahu kanan lalu ke bahu kiri. Setelah dipermainkan beberapa
kali, bola itu ditendang melambung tinggi, lalu ditadahnya lagi dengan dester yang
bertengger di kepala, lalu turun ke perut, terus ke kaki. Selanjutnya, bola itu disepak
keras ke angkasa hingga melampaui bubungan istana. Setelah jatuh dan berhasil
diraihnya, bola itu kembali disepaknya dengan kuat dan tepat mengena jendela istana.
Maka runtuhlah jendela dan mengena kepala baginda Tunisombaya. Akibatnya, baginda
tidak sadarkan diri. Orang-orang pun panik. Lalu, berteriaklah Boto Lempangan “Bunuh
dia! Habiskan nyawanya! Anak terkutuk, tidak tahu adat”. Akibat tindakannya itu, Andi
Patunru dikeroyok oleh massa. Dia dibantu oleh kakaknya, Patta Belo. Mereka
berkelahi. Banyak orang yang dibunuh. Dalam kondisi amukan massa itu, keduanya
berhasil meloloskan diri.
Sejak kejadian itu mereka takut kembali ke istana. Sebab mereka dicari untuk
ditangkap oleh pasukan Kerajaan Gowa. Meski demikian, mereka tetap ingin kembali,
dengan berbagai cara. Mereka meminta bantuan kepada beberapa tokoh masyarakat di
Sulawesi Selatan5, namun mereka tidak menyanggupinya, karena tidak mau bermasalah
dengan raja Gowa. Karena tidak mendapatkan bantuan, Andi Patunru kemudian
berlayar ke Buton, yang diantar oleh delapan awak dan jurumudi Gallarang Bira. Dalam
pelayaran itu, juru mudi berseru “Bertiuplah engkau angin! Hai anginnya Bira, ganti
berganti (sambung-menyambung) dengan anginnya Lemo-lemo yang kencang karena
kami mau ke timur, ke Butung akan mengantarkan keturunan Karaeng Tunisombaya”
(Arief dan Hakim 1993: 201-202).
Setelah tiga hari berlayar, tibalah mereka di Buton. Sultan Buton menyambut
mereka dengan gembira. Pasalnya, yang datang ini adalah keluarga istana Gowa. Maka
diperintahkanlah sekalian penghuni istana Buton untuk mengenakan pakaian kemuliaan
istana. Jika telah tiba anak Tunisombaya, maka pergilah kalian semua menghadap
kepadanya. Dia hendak dihormati. “Jangan engkau sepelekan aku (Raja Butung) yang

5
Tokoh masyarakat yang didatangi dan dimintai bantuan oleh Andi Patunru dan kakaknya,
untuk kembali ke istana Gowa, antara lain adalah Karaeng Bungoro, Raja Labakkang, Datu Sidenreng,
Arumpone, Raja Bantaeng, Gallarang Bira, dan Gallarang lemo-lemo. Semua tokoh masyarakat tersebut
menolak permintaan Andi Patunru dan saudaranya.

~6~
kebesaranku ada pada Gowa”, kata Sultan Buton (Arief dan Hakim 1993:205). Dalam
pertemuan ini, Andi Patunru meminta bantuan kepada Sultan Buton untuk kembali ke
istana Gowa, setelah ditinggalkannya dengan hati yang pedih, tetapi permintaan itu
tidak bisa dipenuhi oleh Sultan Buton dengan pertimbangan: (1) tidak ada senjataku, (2)
aku kekurangan rakyat, (3) tidak ada pemberani yang menghadapi Gowa, (4) tidak ada
perongkosanku, dan (5) Buton bertuan kepada Gowa (Arief dan Hakim 1993:208).
Berita tentang keberadaan Andi Patunru di Buton kemudian diketahui oleh
kalangan istana Gowa, dari seorang nelayan (I Nyanggak) yang pernah bertemu mereka
di sana. Kemudian berangkatlah pasukan Gowa ke Buton, menggunakan 42 buah
perahu, untuk menangkap mereka. Sultan Buton yang mengetahui kedatangan perahu-
perahu tersebut, mengatakan kepada Andi Patunru bahwa “lebih baik engkau
disembunyikan, engkau dimasukkan saja ke dalam sumur kemudian ditimbuni tanah
lalu diberi lagi sampah di atasnya”. Andi Patunru menjawab, “Apa yang dianggap baik
itulah yang kami turuti”. Walhasil, pasukan Gowa tidak dapat menemukan Andi
Patunru, meskipun telah melakukan pencarian ke seluruh wilayah kesultanan Buton.
Karaengta di Mampang kemudian memanggil I Nyanggak, orang yang memberikan
kabar tentang keberadaan Andi Patunru dan saudaranya di Buton, dan memarahinya
“Omong kosong saja yang engkau katakan, karena dia tidak ada di Buton” (Arief dan
Hakim 1993:214-216).
Selanjutnya berkatalah Sultan Buton “Aku rela diruntuhi gunung, kalau Karaeng
Andi Patunru ada di sini”. Tak cukup dengan itu, Karaengta di Mamampang menyuruh
Sultan Buton untuk bersumpah “Aku akan ditimpa purujawa (penyakit kulit), akan
bengkak dan luka leherku, dan aku berjalan pincang kalau dia ada di Buton”. “Apa
lagi?” kata Karaengta. Sultan Buton berkata “Aku akan ditimpa poge 6 , akan robek
mulutku sampai ke telinga, kalau dia ada di atas tanah Buton” (Arief dan Hakim
1993:216-217).
Tiga hari setelah pasukan Gowa meninggalkan Buton, barulah Andi Patunru
diangkat dari sumur7 bersama saudaranya. Sampai pada titik kisah ini, orang Makassar

6
Bengkak pada mulut
7
Di Buton, Arung Palakka dikenal dengan nama La Tondu (kata “La” merujuk pada laki-laki,
dan “tondu” berarti tenggelam) yang secara harfiah dapat diartikan orang (laki-laki) yang tenggelam atau
disembunyikan.

~7~
memandang bahwa Sultan Buton telah berbohong, karena ternyata Arung Palakka
berada di Buton. Namun hal itu dibantah oleh orang Buton karena Arung Palakka tidak
berada di atas tanah Buton, seperti yang ditanyakan oleh pasukan Gowa saat menemui
Sultan Buton, melainkan di dalam tanah (goa) yang letaknya berada di luar benteng
keraton Buton. Atas dasar itulah terbangun ingatan orang Makassar mengenai penyakit
poge bagi orang Buton.
Selama tiga tahun berada di Buton, Arung Palakka mendapat kepercayaan dari
Sultan Buton sebagai lakina (pemimpin adat atau raja kecil) di Holimombo.
Kepercayaan itu dilatari oleh dua sebab: pertama, dia dipandang sebagai keturunan dari
raja Gowa, yang dijunjung dan dihormati oleh Sultan Buton sebagaimana terungkap
dalam SKT; kedua, dalam tradisi lisan masyarakat Buton, La Tondu (namanya di
Buton) merupakan cucu dari raja Batauga, La Maindo, dari anaknya yang bernama La
Kabaura. Karena itulah, menurut tradisi lisan itu, pilihan pengungsian Arung Palakka ke
Buton tidak salah.
Citra negatif mengenai orang Buton di kalangan orang Makassar terkait dengan
ingatan masa lalu, yakni sikap keberpihakan Buton kepada Arung Palakka dan Kompeni
dalam perang Makassar (1666-1669)8. Dalam SKT, pihak-pihak yang bersekutu dengan
Arung Palakka digambarkan sebagai pemberontak (atau penghianat dalam tilikan
sekarang). Mereka disebut dengan berbagai istilah yang berkonotasi negatif, seperti
“Buton si kutuk Allah”, “si Bugis Welanda syaitan”, Welanda Bugis yang hina”,
“Welanda pencuri”, “Bugis Buton pencuri”, “Bugis kutuk Welanda kuffar”, “Bugis
Meluku si Buton hantu”, “Meluku hantu”, “Bugis Buton Ternate hantu” (Skinner
2008:91-142).
Meskipun demikian, realitas tersebut tidak mencerminkan keseluruhan dari
sikap orang Makassar terhadap Arung Palakka. Dalam sebuah artikelnya, Leonard Y.
Andaya memaparkan kenyataan yang sangat menarik dari sikap masyarakat terhadap
Arung Palakka dan Sultan Hasanuddin.
Sampai masa kini, kenangan terhadap Arung Palakka dianggap suci oleh banyak
orang di Goa. Walaupun makam Sultan Hasanuddin, raja Gowa di masa perang,

8
Peristiwa ini digambarkan dalam Syair Perang Mengkasar sebagai “Perangnya itu terlalu
besar, tidaklah terdengar bunyi setinggar, bunyi meriam laksana tagar, ra‟yat pun banyak mati terkapar”
(Skinner 2008:138).

~8~
terletak di sekitar makam Arung Palakka, makam tersebut jarang sekali
dikunjungi oleh orang Makassar. Sedangkan makam Arung Palakka bersama
istrinya Daeng Talele (seorang puteri Makassar) telah menjadi tempat keramat,
baik bagi orang Bugis maupun orang Makassar. Biasanya terlihat kembang-
kembang tertabur di atas makam. Dan apabila sengkuap makam dan kayu-kayu
penanda pusara habis dicopot atau dikoyak-koyak yang percaya akan kekuatan
penyembuh yang sakral magis benda-benda itu, segera diganti baru oleh orang-
orang yang membayar nazar mereka di makam tersebut (Andaya 1983:153).

Tampaknya, dari keterangan di atas, sikap perhatian masyarakat jauh lebih besar
kepada Arung Palakka dibandingkan dengan Sultan Hasanuddin. Sikap tersebut terkait
erat dengan memori kolektif tentang sang tokoh. Dalam SKT, Arung Palakka (dengan
nama Andi Patunru) dipandang sebagai anak dari Tunisombaya (yang dipertuan),
sehingga selama berada dalam istana Gowa, dia mendapat perlakuan lazimnya putra
istana. Ditambah lagi dengan pergaulannya yang luas serta kemampuannya bermain
raga, meninggalkan kesan mendalam pada masyarakat yang pernah mengenalnya.
Ingatan itu terwariskan secara turun temurun, sehingga mempengaruhi pandangan dan
sikap mereka terhadap tokoh itu.
Andaya (1983:152) menulis bahwa ketika berusia sebelas tahun, Arung Palakka
mengikuti orang tuanya sebagai tawanan ke Gowa. Dia diperlakukan sebagai anak
dalam keluarga Karaeng Patingaloang. Dibesarkan menurut tata cara seorang putra
keraton. Dia menghabiskan sebagian waktunya di istana Gowa. Kepribadian Arung
Palakka membuat Karaeng Patingaloang tertarik untuk mendidiknya menjadi seorang
pangeran. Ia mendapat kehormatan sebagai pembawa sirih Tumabicara Butta. Karena
itu dia selalu bersua pada setiap acara penting yang melibatkan Karaeng Patingaloang.
Dia dikenal dan mengesankan bagi banyak utusan luar negeri yang datang mengunjungi
raja. Dia dibiarkan bergaul dengan pemuda-pemuda bangsawan Makassar. Di kalangan
pemuda bangsawan Makassar, ia dikenal dengan nama Daeng Serang. Bentuk muka dan
fisiknya sangat menarik dan mengesankan. Dahinya tinggi, hidungnya mancung.
Matanya tajam menawan, dagunya runcing pertanda berkemauan keras. Tubuhnya
lampai, berisi dan kekar (Patunru at all 1989: 124-125; Andaya 2004:64).
Ketika tumbuh dewasa, dia sangat dihargai di kalangan pemuda seusianya,
bahkan orang tua sekalipun. Ternyata dia memiliki keahlian luar biasa dalam bermain
raga, selain olahraga lainnya seperti bermain tombak, pencak silat, dan sebagainya,

~9~
sehingga sangat memukau lawan dan orang yang menyaksikan permainanya
(Mappangara 2004:18). Namun demikian, seiring pergantian waktu, pada masa
pembentukan dirinya itu di istana Makassar, Arung Palakka menyaksikan tindakan yang
tidak berkemanusiaan terhadap keluarga dan bangsanya, terutama ketika mangkubumi
Kerajaan Gowa dijabat oleh Karaeng Karunrung (putra dari Karaeng Patingaloang).
Pada tahun 1660, Karaeng Karunrung mengeluarkan perintah kepada regent
Bone, Tobala, untuk membawa 10.000 orang dari Bone untuk menggali parit di
sepanjang garis pertahanan di pantai pelabuhan Makassar, dari benteng paling selatan
Barombong hingga ke benteng paling utara Ujung Tanah. Para pekerja diseret dari
daerahnya di Bone, berjalan melintasi gunung-gunung menuju Makassar. Pekerjaan itu
tidak hanya dilakukan oleh rakyat biasa, tetapi juga bangsawan Bone dan Soppeng. Bagi
orang Bugis, tindakan itu telah melecahkan harga diri (Andaya 2004:65).
Di antara pekerja terdapat Arung Palakka. Dengan bantuan para pemimpin
Bugis lainnya, Arung Palakka melakukan perlawanan dan membebaskan mereka dari
kekuasaan Kerajaan Gowa-Tallo9. Tindakan itu menimbulkan kemarahan besar dari raja
Gowa-Tallo, sehingga dilakukanlah pengejaran terhadap mereka. Dalam pengejaran itu,
Arung Palakka berhasil meloloskan diri dan berlayar ke Buton. Di sana, dia mendapat
perlindungan dari Sultan Buton, sembari memperkuat posisinya dan selanjutnya ke
Batavia meminta bantuan Kompeni yang saat itu sedang berupaya menguasai
perdagangan maritim di kawasan timur Nusantara. Salah satu kekuatan politik yang
dihadapinya adalah Kerajaan Gowa-Tallo. Dengan demikian, kedatangan Arung
Palakka merupakan kekuatan baru yang dapat mendukung usahanya. Bersatunya dua
kekuatan itu merupakan ancaman massif bagi Kerajaan Gowa-Tallo, dan kelak
mempengaruhi jalannya sejarah daerah ini.

D. Membaca Sejarah, Memahami Konteks


Sejarah lokal bertolak dari realitas lokal yang diseleksi menurut tingkat
pentingnya dalam perkembangan suatu daerah (Abdullah 1996:15-18). Mengikuti alur

9
Dalam SKT, tindakan Arung Palakka digambarkan sebagai upaya untuk kembali ke istana
Gowa, setelah melarikan diri dari amukan massa, untuk menegakkan harga dirinya. Meskipun
tindakannya telah memproduksi ingatan negatif tentang dirinya, yang kerap dipandang sebagai
pembangkang (penghianat), dari kalangan istana Gowa, namun bagi kaumnya dia adalah pahlawan yang
patut mendapat penghargaan (pahlawan).

~ 10 ~
pemikiran ini, penempatan Sultan Hasanuddin dan Arung Palakka sangat penting dalam
sejarah Sulawesi Selatan abad ke-17. Mereka memiliki peran penting dalam perubahan
struktur kekuasaan. Arung Palakka sendiri, meminjam istilah Andaya, setelah Perang
Makassar tampil sebagai arsitek utama dalam penciptaan sebuah keluarga (politik)
tunggal, dengan cara merajut kesatuan antara negara-negara di Sulawesi Selatan. Selain
itu, dia juga menjadi sebab langsung dan tidak langsung pengungsian ribuan orang dari
pulau ini untuk melarikan diri dari kekuasaannya. Mereka (para pengungsi itu) berhasil
menanamkan pengaruh besar dan bertahan lama di banyak kerajaan di sepanjang
kepulauan Nusantara bagian barat dan Siam. Itulah warisan Arung Palakka yang tak
terlupakan (Andaya 2004:379-380). Demikian pula Sultan Hasanuddin yang membela
martabat kerajaan dan rakyatnya. Dia tidak dapat menghindarkan diri dari perang
terbuka menghadapi Kompeni dan Arung Palakka.
Untuk memahami konteks perebutan kekuasaan yang melibatkan kedua tokoh
tersebut dalam Perang Makassar (1666-1669), yang menjadi titik balik kekuasaan di
Sulawesi Selatan, perlu dikemukakan dinamika dan perkembangan politik lokal pada
abad ke-16 sampai paruh pertama abad ke-17. Interaksi politik kerajaan-kerajaan dalam
abad itu terpola dalam dua kelompok utama yakni Kerajaan Gowa di Tanah Makassar
dan Kerajaan Bone di Tanah Bugis. Masing-masing berupaya memperkuat posisi
sebagai kerajaan yang unggul dan sekaligus memperluas wilayah kekuasaannya.
Dengan demikian setiap upaya itu merupakan ancaman bagi kekuatan lainnya.
Kerajaan Gowa paling aktif dalam meluaskan wilayah kekuasannya. Tidak
hanya di jazirah Sulawesi, tetapi juga negeri-negeri di seberang lautan seperti Nusa
Tenggara dan Maluku. Tindakan itu merupakan ancaman bagi kekuatan politik lain,
khususnya di Sulawesi Selatan. Eksistensi kerajaan-kerajaan Bugis yang kuat menjadi
terancam. Karena itu mereka memperkuat diri, baik dengan jalan perang ataupun damai.
Pada masa pemerintahan Raja Gowa IX, Daeng Matanre Karaeng Manguntungi
Tumapa‟risi Kallona (1510-1546)10 , Kerajaan Gowa telah menguasai hampir seluruh
negeri di Sulawesi Selatan, kecuali Bone yang sulit ditaklukan (Mattulada 1998: 115).

10
Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Gowa da kerajaan Tallo berpadu menjadi satu, sebagai
kerajaan yang tak dapat dipisahkan satu sama lain. Sejak itulah, Raja Tallo selalu mendampingi raja
Gowa memerintah. Raja Tallo selalu merangkap menjadi Pabbicara Butta (mangkubumi) kerajaan Gowa.

~ 11 ~
Setelah beberapa kali gagal menguasai Bone lewat perang, raja Gowa
menempuh jalur damai lewat perjanjian, Ulukanaya ri Tamalate, dimana kedua pihak
mencapai posisi sebagai kerajaan yang bersaudara dan sederajat11. Dalam perjanjian itu
dikatakan, bahwa jika orang Bone mengalami kesukaran, maka membentang luaslah
lautan untuk diarungi orang Makassar ke Bone untuk membantu, demikian juga
sebaliknya, jika orang Makassar mengalami kesukaran, maka meratalah gunung untuk
dilalui orang Bone menuju Makassar untuk membantu. Tak akan saling berprasangka
jelek satu dengan yang lain, tak akan saling mendatangkan peperangan antara Bone
dengan Gowa (Patunru at all 1989: 38-39).
Keinginan untuk menjadi kekuatan yang lebih unggul mempengaruhi sikap raja
Gowa untuk terus melakukan upaya penguasan terhadap Bone. Dua raja Gowa yang
sangat bergiat melakukan upaya itu adalah Raja Gowa X, I Mario Gau Daeng Bonto
Karaeng Lakiung Tunipalangga Ulaweng (1546-1565) dan Raja Gowa XI, I Tajibarani
Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatta (1565). Raja yang disebut terakhir meninggal
dunia, setelah 20 hari dilantik menjadi raja, di medan perang ketika akan menaklukan
Bone. Pasca perang itu, kedua belah pihak kembali berdamai lewat Ulukanaya ri
Caleppa. Sesuai perjanjian ini, daerah-daerah yang pernah ditaklukkan oleh Gowa,
meliputi seluruh daerah yang terbentang ke Barat dan daerah-daerah yang membentang
sampai ke daerah Ulaweng di sebelah Utara. Sungai Tangka, yang terletak di perbatasan
Bone-Sinjai, menjadi batas kekuasaan Bone dan Gowa. Daerah-daerah yang teletak di
sebelah utara Sungai Walanae menjadi kekuasaan Bone, sedangkan yang terletak di
sebelah selatannya merupakan wilayah kekuasaan Gowa. Daerah Cenrana di wilayah
Tanah Luwu, yang dahulu dikuasai oleh Bone pada masa pemeritahan Raja Bone V, La
Tenri Sukki MappajungngE, dikembalikan kepada Bone (Patunru at all 1989: 50-51;
Sagimun 1985:61-62).
Sejak perjanjian itu, hubungan antara kedua kerajaan terjalin baik. Bahkan,
beberapa tahun sebelum menjadi Raja Gowa, I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng
Bontolangkasa Tunijallo, bermukim di Bone dibawah perlindungan Raja Bone, La

Penyatuan kedua kerajaan itu tersimpul dalam suatu ungkapan Ruwa Karaeng se’re ata (dua raja satu
hamba). Lebih jelasnya baca Sagimun (1985:53).
11
Pada masa perjanjian ini, Kerajaan Bone dipimpin oleh La Ulio Bote‟e Matinre ri Tennung
(1535-1560)

~ 12 ~
Tenrirawe Bongkange, karena konflik internal di istana Gowa. Pelantikannya sebagai
raja juga dihadiri oleh La Tenrirawe Bongkange. Namun, kedamaian itu tidak
berlangsung lama, lebih kurang sepuluh tahun. Kali ini, Kerajaan Bone bergiat
meluaskan wilayah kekuasannya. Tindakan itu mengancam kelangsungan sekutu-sekutu
Gowa, yakni Wajo dan Soppeng. Kedua kerajaan ini kian mendekat pada Bone. Untuk
mencegahnya, Kerajaan Gowa melakukan tekanan terhadap kedua kerajaan itu agar
tetap setia. Tetapi, ternyata pilihannya sudah kuat bergabung dengan Bone. Pilihan itu
mengandung konsekwensi terutama dari Kerajaan Gowa.
Untuk menghadapi kemungkinan itu, pada tahun 1582, Kerajaan Bone,
Soppeng, dan Wajo bersepakat membentuk sebuah persekutuan politik yang dikenal
dengan Tellu Poccoe. Menurut kesepakatan, tidak akan ada persoalan perang di antara
mereka. Terjalin sikap senasib sepenanggungan. Tidak ada di antara ketiganya yang
membiarkan kematian seseorang, tanpa pembelaan dari yang lain (Patunru al all 1989:
54-57; Mattulada, 1998: 124). Dua tahun kemudian, Kerajaan Bone mendapat serangan
dari Gowa, tetapi tidak sampai dikuasainya. Namun, sejak saat itu keadaan istana dan
rakyat Bone tidak kondusif akibat tindakan rajanya, La Inca (1578-1589) yang
sewenang-wenang. Penggantinya, La Pattawe (1589-1596), tidak dapat berbuat banyak.
Rekam jejaknya kurang tampak dalam sejarah Bone. Kondisi itu berlangsung sampai
datangnya Islam di Sulawesi Selatan.
Agama Islam diterima oleh raja Gowa sebagai agama kerajaan dan masyarakat
pada 9 Nopember 1607. Sejak saat itu, kebijakan politik Sultan Alauddin satu paket
dengan misi syiar Islam, atau lebih dikenal dengan Musu Selleng (perang peng-Islam-
an). Usaha tersebut menimbulkan kecurigaan bagi kerajaan-kerajaan lain, khususnya
Tellu Poccoe. Kebijakan ini, menurut Ahmad Sewang (2005), lebih merupakan ekspansi
politik ekonomi daripada upaya peng-Islam-an. Hal itu dikaitkan perkembangan
kerajaan Gowa-Tallo pada saat itu di bidang perdagangan maritim. Konsekwensi dari
perkembangan itu mensyaratkan adanya daerah-daerah peyedia komoditi niaga, yang
berada dalam wilayah Tellu Poccoe. Menurutnya, Musu Selleng hanyalah satu titik
dalam suatu rantai peristiwa sebelumnya, sekaligus menjadi pemicu dari penyebab

~ 13 ~
sesungguhnya, yakni keinginan Sultan Alauddin untuk menjadikan Gowa sebagai
kerajaan yang kuat12.
Penolakan Kerajaan Bone, Soppeng, dan Wajo terhadap seruan pengislaman dari
Kerajaan Gowa-Tallo ditengarai oleh pengalaman masa lalu mereka dalam hubungan
dengan kerajaan itu. Akibatnya penolakan itu, Sultan Alauddin memaklumkan perang
terhadap mereka. Satu demi satu kerajaan berhasil ditaklukkan. Agama Islam akhirnya
diterima oleh Soppeng (1609), Wajo (1610), dan Bone (1611). Penaklukan dan
pengislaman Bone memiliki arti penting bagi Kerajaan Gowa-Tallo sebab: pertama,
kerajaan Bugis itu selama ini sangat sulit ditaklukan; dan kedua, selesainya misi
Islamisasi di Sulawesi Selatan (Mattulada 1998:153; Sewang 2005).
Momen tersebut mengantarkan Kerajaan Gowa-Tallo menjadi kekuatan politik
yang unggul di Sulawesi Selatan. Tidak ada satu pun kekuatan politik lokal yang mudah
menaklukaannya 13 . Kerajaan ini sangat kuat, kapal dagang dan duta yang datang ke
Makassar bersaksi atas kebesarannya. Ditengah perkembangan ini, Kerajaan Gowa-
Tallo diperingatkan akan bahaya yang mungkin timbul dari meningkatnya jumlah kapal
Eropa di perairan timur Nusantara. Namun, momen itu justru dimanfaatkannya untuk
kemakmuran (Andaya 2004:55-56).
Kebesaran Kerajaan Gowa-Tallo menjadi ancaman bagi kekuatan-kekuatan
politik lokal dan kekuatan asing yang berupaya memanfaatkan peluang kemajuannya.
Dalam perkembangan itulah, Sultan Hasanudin menerima takhta dari ayahnya, Sultan
Malikussaid, pada tahun 1653. Pada tahun pertama, dia didampingi oleh Karaeng
Pattingaloang sebagai mangkubumi yang cerdas dan bijaksana. Salah satu ancaman
yang dihadapinya saat itu bersumber dari Kompeni yang sedang memaksanakan
monopolinya dalam perdagangan maritim. Kompeni melarang orang-orang Makassar
berlayar dan berdagang ke Maluku. Sultan Hasanuddin, seperti juga pendahulunya,
menentang keras segala upaya monopoli di laut dan perdagangan. Ditengah kondisi ini,
Karaeng Patingaloang dipanggil oleh Tuhan tahun 1654. Ini merupakan pukulan bagi

12
Meskipun demikian menurut Sewang 2005), tidak dapat juga dipungkiri, upaya itu
berpengaruh besar terhadap perkembangan syiar Islam di Sulawesi Selatan.
13
kebesaran raja dan kerajaan ini digambarkan dalam Sinrilikna Kappala Talumbatua sebagai
berikut: “Sungguh benar aku telah dipertuan di Gowa, tinggi amat kedudukanku. Tidak ada lagi raja
yang dipertuan di atasku dan tidak ada juga raja yang menyamai kedudukank di Gowa ini” (Arief dan
Zainuddin 1993:170).

~ 14 ~
Kerajaan Gowa-Tallo yang masih membutuhkan tenaganya. Dia kemudian digantikan
oleh puteranya, Karaeng Karunrung, yang terkenal gagah berani, sangat keras, dan tidak
kenal kompromi dengan Kompeni.
Dalam menjaga kebesaran kerajaannya, Sultan Hasanuddin dan Karaeng
Karunrung juga mendapat acaman dari Arung Palakka dan para pengikutnya. Setelah
berhasil membebaskan diri Kerajaan Gowa-Tallo, Arung Palakka mencari bantuan ke
Buton, kemudian Kompeni di Batavia. Kedatangannya disambut baik, sebab pada sat itu
Kompeni juga sedang menyusun siasat dan kekuatan untuk memerangi Gowa-Tallo.
Bagaikan gayun yang bersambut. Kedua kekuatan itu menyatu dan bersiap menghadapi
Makassar dalam perang terbuka. Dalam perang ini, Kerajaan Gowa-Tallo dibantu oleh
Kesultanan Bima. Sedangkan Arung Palakka dan Kompeni mendapat bantuan dari
Buton dan Ternate. Perang terbuka terjadi pada tahun 1666 sampai berakhir lewat
Perjanjian Bungaya 1666 dan 1669.
Setelah perang dan perjanjian itu, terjadi titik balik kekuasaan di Sulawesi
Selatan. Semula berada dalam kendali Kerajaan Gowa-Tallo dan kini beralih pada
Arung Palakka dan Kompeni. Peristiwa ini merupakan kenangan pahit bagi Kerajaan
Gowa-Tallo, karena wibawa politiknya diambil alih oleh kekuatan baru. Kebencian
terhadap kekuatan baru itu terungkap dalam karya Enci Amin, juru tulis Kerajaan
Gowa-Tallo di pada masa Sultan Hasanuddin, berjudul Syair Perang Mengkasar. Dalam
karya ini, semua pihak yang bersekutu menghancurkan Kerajaan Gowa-Tallo
digambarkan dengan citra negatif, dan sebaliknya menyanjung kebesaran dan ketabahan
Makassar menghadapi perang besar itu. Kenangan terhadap peristiwa itu juga tersimpan
dalam sastra lisan Makassar, Sinrilikna Kappa Tallumbatua. Terdapat juga sebuah novel
(berlatar) sejarah, yang ditulis oleh S.M. Noor (2011) tentang perang Makassar dengan
setting prahara benteng Somba Opu. Meskipun ketiga karya tersebut dibuat dalam
waktu yang berbeda14, namun fokusnya pada peristiwa besar itu yang tidak akan pernah
dilupakan oleh masyarakat Sulawesi Selatan.

14
Karya pertama dibuat pada masa yang dekat dengan kejadian itu, sedangkan karya kedua dan
ketiga lebih jauh dari waktu peristiwanya.

~ 15 ~
E. Tinjauan Akhir

Perebutan keunggulan antara kerajaan-kerajaan lokal pada abad ke-16


menimbulkan dinamika politik dan kekuasaan dalam sejarah Sulawesi Selatan.
Kekuatan-kekuatan politik lokal itu terbagi dalam dua kelompok utama, yang masing-
masing dipimpin oleh Kerajaan Gowa (Makassar) dan Kerajaan Bone (Bugis).
Perebutan itu berlanjut pada bagian pertama abad ke-17. Sampai pada periode ini,
Kerajaan Gowa-Tallo lebih unggul dari semua kerajaan di Sulawesi Selatan, kecuali
Bone yang baru berhasil ditaklukannya tahun 1611 seiring penyebaran agama Islam
oleh Sultan Alauddin.
Sampai tahun 1666, Kerajaan Gowa-Tallo merupakan satu-satunya kekuatan
politik paling unggul di Sulawesi Selatan. Tidak ada satu kekuatan politik lokal berani
melawannya. Demikian juga kekuatan asing. Namun demikian, ibarat bidang roda yang
tidak selamanya berada di atas, pada bagian kedua abad ke-17 terjalin kerjasama Arung
Palakka dengan Kompeni. Gabungan dari kedua kekuatan ini menantang Kerajaan
Gowa-Tallo dalam perang terbuka, atau lebih dikenal dengan Perang Makassar (1666-
1669). Perang ini diakhiri dengan kemenangan kekuatan baru. Kekuatan lama yang
dipimpin oleh Sultan Hasanuddin terpaksa menerima kenyataan itu dan menandatangani
Perjanjian Bungayya. Sejak itulah, keunggulan politik beralih pada Arung Palakka dan
sekutunya.
Dinamika politik dan perubahan kekuasaan tersebut sebagai konteks dalam
memahami sejarah perjuangan Sultan Hasanuddin dan Arung Palakka kerap diabaikan.
Tokoh pertama memiliki akses besar dalam narasi sejarah resmi, terutama setelah
mendapatkan penghargaan dari Pemerintah sebagai pahlawan nasional tahun 1973.
Sebaliknya, tokoh kedua yang bekerjasama dengan Kompeni (sebagai penjajah) yang
berhasil mangambil alih posisi keunggulan politik di Sulawesi Selatan pasca Perang
Makassar sering dihakimi dalam pentas sejarah secara tidak historis. Ironisnya lagi,
kedua tokoh itu kerap diletakkan dalam sudut pandang kekinian (presentisme), yang
jelas tidak beralaskan sejarah. Apa pun ingatan (pahit dan manis) dari peristiwa itu, para
tokohnya harus ditempatkan dalam kisah sejarah yang sesungguhnya. Memang, bagi
pihak yang kalah dalam perang, kejadian itu merupakan kisah pahit yang tidak mudah

~ 16 ~
dilupakan. Sebaliknya, bagi pihak yang menang, hal itu merupakan langkah baru yang
revolusioner dalam peta kekuasaan di Sulawesi Selatan.
Terlepas dari pandangan mahasiswa dan masyarakat terhadap Sultan
Hasanuddin dan Arung Palakka, yang masih ditempatkan dalam wacana konflik masa
lalu dan masa kini, terdapat suatu realitas yang terabaikan. Hingga kini, makam Arung
Palakka berada dalam satu kompleks dengan Karaeng Patingaloang, yang tak lain
adalah „orang tua‟ yang membesarkan dan mendidiknya pada masa remaja. Jika
memang Arung Palakka telah melakukan „kesalahan‟ besar dan tidak dapat dimaafkan,
maka tidak mungkin setelah menghembuskan nafas terakhir dalam istananya di
Bontoala 6 April 1698 (Mappangara 2004:23), dia mendapatkan kehormatan untuk
dimakamkan dalam lingkungan bangsawan Makassar. Kenyataan terakhir ini
mengingatkan kita pada kisah Andi Patunru (nama samaran Arung Palakka) dalam SKT
sebagai putra Tunisombaya (Yang Dipertuan) atau Raja Gowa.

~ 17 ~
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. 1996. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.
Andaya, Leonard Y. “Pandangan Arung Palakka tentang Desa dan Perang Makassar
1666-1669” dalam Anthony Reid dan David Marr (eds). 1983. Dari Raja Ali
Haji Hingga Hamka: Indonesia dan Masa Lalunya. Jakarta: Grafiti Press. (Hal.
139-162).
________________. 2004. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-
17. (Diterjemahkan oleh Nurhady Sirimorok). Makassar: Ininnawa.
Arief, Aburaerah dan Zainuddin Hakim (ed), 1993. Sastra Lisan Makassar: Sinrilikna
Kappalak Tallumbatua. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah. Diterjemahkan oleh Nugroho Notosusanto.
Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Hamid, Abd. Rahman. 2009. Jejak Arung Palakka di Negeri Buton. Makassar: Pustaka
Refleksi.
Lewis, Bernard. 2009. Sejarah Diingat, Ditemukan Kembali, Ditemu-Ciptakan.
Diterjemahkan oleh Bambang A. Widyanto. Yogyakarta: Ombak.
Mappangara, Suriadi (ed), 2004. Ensiklopedia Sejarah Sulawesi Selatan sampai tahun
1905. Makassar: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan.
Mattulada, 1998. Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Ujung
Pandang: Hasanuddin University Press.
Noor, S.M. 2011. Perang Makassar 1669: Prahara Benteng Somba Opu.Jakarta:
Kompas.
Patunru, Abdul Razak Daeng at all (tim peny.), 1989. Sejarah Bone. Ujung Pandang:
Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.
Sagimun MD, 1985. Sultan Hasanuddin Menentang VOC. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Sewang, Ahmad. 2005. Islamisasi Kerajaan Gowa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Skinner, C (ed), 2008. Syair Perang Mengkasar. Diterjemahkan oleh Abdul Rahman
Abu. Makassar: Ininnawa – Jakarta: KITLV.
Wineburg, Sam. 2006. Berpikir Historis: Memetakan Masa Depan, Mengajarkan Masa
Lalu. Diterjemahkan oleh Masri Maris. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Patahuddin, 2009. Arung Palakka di Mata Etnis Bugis dan Makassar. Makassar:
Pustaka Refleksi.

~ 18 ~
TENTANG PENULIS

Nama Lengkap : Abd. Rahman Hamid


e-mail: abdul_pasca@yahoo.com
Pekerjaan : Staf Pengajar Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra, UNHAS
Pendidikan :
S1 : Jurusan Pendidikan Sejarah UNM (2004)
S2 : Program Studi Antropologi, Peminatan Sejarah UNHAS (2007)
S3 : Program Doktor Ilmu Sejarah Universitas Indonesia (2013-sekarang)

Karya (buku) yang telah diterbitkan:


1. Sejarah Maritim Indonesia (Ombak Yogyakarta, 2013)
2. Pengantar Ilmu Sejarah (Ombak Yogyakarta, 2011)
3. Orang Buton: Suku Bangsa Bahari Indonesia (Ombak Yogyakarta, 2011)
4. Qahhar Mudzakkar Mendirikan Negara Islam (Pustaka Refleksi Makassar, 2009)
5. Qahhar Mudzakkar di Persimpangan Jalan (Pustaka Refleksi Makassar, 2008)
6. Jejak Arung Palakka di Negeri Buton (Pustaka Refleksi Makassar, 2008)

~ 19 ~

Anda mungkin juga menyukai