Anda di halaman 1dari 27

JUDUL : KARAKTERISTIK MUTU EKSTRAK

ETANOL CACING TANAH


(Lumbricus Rubellus)
NAMA : WAYAN SISKA DARMA DEWI
NIM : 16.193.AF
PEMBIMBING 1 : DZULASFI S.Farm., M.SI., Apt
PEMBIMBING 2 : YUSRIANI S.SI., M.Kes., Apt

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah


Pengobatan tradisional semakin maju dan berkembang

pesat hal itu dimanfaatkan oleh para peneliti untuk melakukan

penelitian. Penelitian dilakukan mulai dari tanaman hingga

hewan, salah satunya adalah cacing tanah. Cacing tanah

dikenal dimasyarakat terutama masyarakat pedesaan yang

hampir setiap hari menemukannya disawah, tegalan atau kebun.

Tanpa kita sadari, kehadiran cacing tanah di bumi telah

memberi manfaat yang begitu besar (Hermawan, 2014).

Pemanfaatan cacing tanah bagi kehidupan manusia antara

lainsebagai penghasil pupuk organik, daur ulang limbah, bahan

dasar pakan ternak, sebagai bahan dasar makanan dan

minuman pada masyarakat Jepang dan beberapa negara di

Eropa misalnya vermijuice dan worm spaghetti, bahan dalam

1
pembuatan kosmetik, obat untuk menurunkan kadar kolestrol,

meningkatkan daya tahan tubuh, dan menurunkan tekanan

darah yang tinggi, disamping itu cacing tanah juga dikenal

sebagai obat untuk penyakit demam tifoid dengan

mengkonsumsi air rebusan ataupun serbuk cacing tanah yang

diperoleh dari toko obat Cina (Palungkung,2016).

Pemanfaatan cacing tanah sebagai obat untuk

menyembuhkan berbagai penyakit dan memperkuat daya tahan

tubuh telah dikenal sejak lama. Cina salah satu negara yang

sudah lama memanfaatkan cacing tanah untuk

membuatramuanobatdaricacingtanahyangseringdisebut“dilong”.

Cacing tanah yang digunakan sebagai sampel penelitian ini

adalah cacing tanah jenis Lumbricus rubellus, atau biasanya

masyarakat menyebutnya dengan julukan cacing merah atau

cacing Eropa. Cacing jenis ini banyak dan mudah kita jumpai di

tempat-tempat sampah dan merupakan cacing lokal Indonesia.

Beberapa penelitian tentang pemanfaatan cacing tanah

Lumbricus rubellus sudah banyak dilakukan. Indriati et al.,

(2016) membuktikan “Pengaruh Air Rebusan Cacing Tanah

(Lumbricus rubellus) terhadap pertumbuhan bakteri Escherichia

coli”. Hasilnya air rebusan cacing tanah Lumbricus rubellus

dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli yang

2
dapat menyebabkan diare. Penelitian yang dilakukan oleh

Suryani (2015) juga membuktikan pemberian tambahan kitosan

pada infusum cacing tanah

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya

adalah penelitian ini fokus untuk meneliti kandungan yang

terdapat pada cacing tanah

Berdasarkan latar belakang di atas peneliti tertarik untuk

mengetahui karakteristik mutu cacing tanah (Lumbricus rubellus)

yang diekstraksi dengan cara maserasi dengan menggunakan

pelarut etanol.

I. RumusanMasalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah

penelitian ini yaitu:

1. Apakah ekstrak cacing tanah (Lumbricus rubellus) yang diekstraksi

dengan pelarut etanol memenuhi standarisasi mutu.

II. TujuanPenelitian

Tujuandaripenelitianiniadalah:

1. Untuk mengetahui mutu fisik ekstrak cacing tanah (Lumbricus

rubellus) yang diekstraksi dengan pelarut etanol

3
III. Manfaat Penelitian

4
1. Untuk mempelajari dan mengetahui mutu fisik cacing tanah setelah

diesktrak

2. sebagai bahan informasi untuk masyarakat tentang manfaat dari

cacing tanah.

3. sebagai referensi untuk peneliyian selanjutnya

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Uraian sampel

II.1.1 Klasifikasi CacingTanah

Klasifikasi cacing tanah (Lumbricus Rubellus) menurut

Ciptanto dan Paramita (2011) :

phylum : Annelida

Class : Clitellata

Subclass : Oligochaeta

Ordo : Haplotaxida

Family : Lumbricidae

Genus : Lumbricus

Spesies : Lumbricus rubellus

II.1.2 Morfologi CacingTanah

Cacing tanah merupakan hewan yang tidak mempunyai

5
tulang belakang (invertebrata). Tubuhnya tersusun atas segnen-

segmen yang terbentuk cincin (chaeta), yaitu struktur berbentuk

rambut yang berguna untuk memegang substrat dan bergerak.

Tubuh dibedakan atas bagian anterior dan posterior. Pada bagian

anteriornya terdapat mulut dan beberapa segmen yang agak

menebal membentuk klitelium (Edward & Lofty. 1997).

Hegner dan Engeman (1978) menjelaskan bahwa cacing

tanah tidak mempunyai kepala, tetapi mempunyai mulut pada

ujungnya (anterior) yang disebut prostomium. Bagian belakang

mulut terdapat bagian badan yang sedikit segmennya dinamakan

klitelium yang merupakan pengembangan segmen-segmen,

biasanya mempunyai warna yang sedikit menonjol atau tidak

dibandingkan dengan bagian tubuh lain. Cacing tanah juga tidak

mempunyai alat pendengar, tetapi peka sekali terhadap sentuhan

dan getaran. Cacing tanah juga tidak mempunyai mata, tetapi peka

sekali terhadap sentuhan dan getaran, sehingga dapat mengetahui

kecendrungan untuk menghindari cahaya, selain itu cacing juga

tidak mempunyai gigi.(Hegner dan Engeman,1978)

Pada bagian bawah (ventral) terdapat pori-pori yang letaknya

tersusun atas setiap segmen dan berhubungan dengan alat

ekskresi (nepredia) yang ada dalam tubuh. Nepredia ini

mengeluarkan zat-zat sisa yang telah berkumpul di dalam rongga

6
tubuh (rongga selomik) berupa cairan. Fungsi pori-pori adalah untuk

menjaga kelembaban kulit cacing tanah agar selalu basah karena

cacing tanah bernafas melalui kulit yang basah tersebut. Kulit luar

(kutikula) selalu dibasahhi oleh kelenjar-kelenjar lendir (kelenjar

mukus). Lendir ini terus diproduksi cacing tanah untuk membasahi

tubuhnya agar dapat bergerak dan melicinkan tubuhnya (Rukmana,

1999).

Secara sitematik, cacing tanah bertubuh tanpa kerangka

yang tersusun oleh segmen-segmen fraksi luar dan fraksi dalam

yang saling berhubungan secara integral, diselaputi oleh epidermis

(kulit) berupa kutikula (kulit kaku) berpigmen tipis dan setae

(lapisan daging semu di bawah kulit) kecuali pada dua segmen

pertama yaitu pada bagian mulut (Hanafiah, 2005).

Setae, struktur yang bebentuk bulu muncul di dalam kantong

rambut pada bagian luar dari kulit, dapat dimelarkan atau

dikerutkan dengan alat otot protactor dan retractor yang menempel

pada dasar lubang rambut dan melewati lapisan otot longitudinal ke

dalam otot sirkular dIbawahnya.

7
Setiap spesies dari oligochaeta mempunyai setae yang

bervariasi bentuknya, baik berbentuk batang, jamur atau berbentuk

rambut. Bentuk setae tergantung pada posisinya, yang paling

sering dijumpahi adalah seperti pada Lumbricus, yang berbentuk

kurva sigmoid dengan panjang sekitar 1 mm.

Cacing tanah bersifat hermafrodit dan mempunyai alat atau

lubang kelamin jantan dan betina pada bagian luar badannya,

seperti pada lubang pada punggung dan sebelah sisi

badannya

II.1.3 Ekologi CacingTanah


Populasi cacing tanah sangat erat hubungannya dengan

keadaan lingkungan dimana cacing tanah itu berada.

Lingkungan yang disebut disini adalah totalitas kondisi- kondisi

fisik, kimia, botik dan makanan yang secara bersama-sama dapat

mempengaruhi populasi cacing tanah.

Selanjutnya dijelaskan bahwa faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap populasi cacing tanah adalah: kelembaban,

suhu, pH tanah, serta vegetasi yang terdapat disana

sebagaiberikut:

a. Kelembaban

Kelembaban sangat berpengaruh terhadap aktifitas

9
pergerakan cacing tanah karena sebagian tubuhnya terdiri atas air

berkisar 75-90 % dari berat tubuhnya. Itulah sebabnya usaha

pencegahan kehilangan air merupakan masalah bagi cacing tanah.

Meskipun demikian cacing tanah masih mampu hidup dalam

kondisi kelembaban yang kurang menguntungkan dengan cara

berpindah ketempat yang lebih sesuai atau pun diam.

Lumbricusterretris misalnya, dapat hidup walaupun kehilangan 70

% dari air tubuhnya.

b. Suhu

Kehidupan hewan tanah juga ikut ditentukan oleh suhu

tanah. Suhu yang ekstrim tinggi atau rendah dapat mematikan

hewan tanah. Disamping itu suhu tanah pada umumnya juga

mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi dan metabolisme hewan

tanah. Tiap spesies hewan tanah memiliki kisaran suhu optimum

Kesuburan cacing tanah di suatu habitat sangat dipengaruhi oleh

perbesaran suhu, contohnya jumlah kokon yang dihasilkan oleh

Allolobophora caliginosa dan beberapa spesies Lumbricus

jumlahnya bertambah 4 kali lipat ada kisaran suhu 6-16 oC. Kokon

dari Allolobophora chlorotica menetas dalam waktu 36 hari pada

suhu 29 oC, 49 hari pada suhu 15 0C dan 112 hari pada suhu 10 oC

bila tersedia air yang cukup. Suhu yang ekstrim tinggi atau rendah

dapat mematikan cacing tanah. Suhu tanah pada umumnya dapa

10
mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi dan metabolisme.

Tiap spesies cacing tanah memiliki kisaran suhu optimum

tertentu, contohnya L. Rubellus kisaran suhu optimumnya 15- 18


oC, L. Terrestris kurang lebih 10 oC, sedangkan kondisi yang sesuai

untuk aktivitas cacing tanah dipermukaan tanah pada waktu malam

hari ketika suhu tidak melebihi 10,5 oC (Wallwork,2015).

c. pH

Tingkat keasaman tanah (pH) menentukan besarnya

populasi cacing tanah. Cacing tanah dapat berkembang dengan

baik dengan pH netral, atau agak sedikit basah, pH yang ideal

adalah antara 6-7,2. Pada tanah-tanah hutan yang asam,

keberadaan cacing tanah digantikan oleh Enchytraeid yaitu cacing

berukuran kecil yang hanya berfungsi sebagai penghancur seresah.

Enchytraid adalah oligochaeta yang paling kecil berkisar antara 1

mm sampai beberapa sentimeter saja (Handayanto,2017).

II.1.4 Peranan CacingTanah

Secara umum peranan cacing tanah merupakan sebagai

bioamelioran (jasad hayati penyubur dan penyehat) tanah terutama

melalui kemampuannya dalam memperbaiki sifat-sifat tanah,

seperti ketersediaan hara, dekomposisi bahan organik, pelapukan

mineral, sehingga mampu meningkatkan produktivitas tanah

11
(Hanafiah,2015).

II.2 Uraian Tentang Ekstraksi

II.2.1 Pengertian Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia

yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat

larut dengan pelarut cair (Depkes RI,2000).

II.2.2 Metode Ekstraksi

A. Ekstraksi dengan menggunakan pelarut

1. Cara dingin

a. Maserasi

Maserasi adalah cara ekstraksi simplisia

dengan cara merendam dalam pelarut dalam suhu

kamar sehingga kerusakan atau degradasi dapat

diminimalkan. Pada maserasi, terjadi keseimbangan

konsentrasi antara larutan luar dan didalam sel

sehingga dilakukan penggantian pelarut secara

berulang. Maserasi digunakan untuk penyarian

simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut

dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang

mudah mengembang dalam cairan penyari, tidak

mengandung benzoin, stirak dan lain-lain. Kerugian

utama pada metode maserasi ini adalah memakan

12
banyak waktu, pelarut yang digunakan cukup banyak,

dan besar kemungkinan beberapa senyawa hilang.

Selain itu, beberapa senyawa mungkin saja sulit

diekstraksi pada suhu kamar. Namun, disisi lain

metode maserasi dapat menghindari rusaknya

senyawa-senyawa yang bersifat termolabil (Hanani,

2016).

b. Perkolasi

Pada metode perkolasi, serbuk sampel

dibasahi secara perlahan dalam sebuah perkolator

(wadah silinder yang dilengkapi dengan kran pada

bagian bawahnya). Pelarut ditambahkan pada bagian

atas serbuk sampel dan dibiarkan menetes perlahan

pada bagian bawah. Kelebihan dari metode ini adalah

sampel senantiasa dialiri oleh pelarut baru.

Sedangkan kerugiannya adalah jika sampel dalam

perkolator tidak homogen maka pelarut akan sulit

menjangkau seluruh area. Selain itu, metode ini juga

membutuhkan banyak pelarut dan memakan banyak

waktu (Hanani, 2016).

13
2. Cara Panas

a. Soxhletasi

Metode ini dilakukan dengan

menempelkan serbuk sampel dalam sarung

selulosa (dapat digunakan kertas saring) dalam

klonsong yang ditempelkan diatas labu dan

dibawah kondensor. Pelarut yang sesuai

dimasukkan kedalam labu dan suhu penangas

diatur dibawah suhu reflux. Keuntungan dari

metode ini adalah proses ekstraksi yang

kontinyu, sampel terekstraksi oleh pelarut murni

hasil kondensasi sehingga tidak membutuhkan

banyak pelarut dan tidak memakan banyak

waktu. Kerugiannya adalah senyawa yang

bersifat temolabil dapat terdegrasi karena

ekstrak yang diperoleh terus-menerus berada

pada titik didih (Hanani, 2016).

b. Refluks

Refluks adalah cara ekstraksi dengan

pelarut pada suhu tertentu dan jumlah pelarut

terbatas yang relatif konstan dengan adanya

pendingin balik. Agar hasil penyarian lebih baik

dan sempurna, refluks umumnya dilakkan

14
berulang-ulang (3-6 kali) pada residu pertama.

Cara ini memungkinkan terjadinya penguraian

senyawa yang tidak tahan panas. Selama

pemanasan uap terkondensasi dan destilat

(terpisah sebagai 2 bahian yang tidak saking

bercampur). Ditampung didalam wadah yang

terhubung dengan kondensor (Hanani, 2016).

c. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetic (dengan

pengadukan kontinu) pada temperature yang

lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar),

yaitu secara umum dilakukan pada temperature

40-50ºC (Depkes RI,2000).

d. Infus

Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air

pada temperatur penangas air (bejana infus

tercelup dalam penangas air mendidih,

temperature terukur 96-98ºC) selama waktu

tertentu (15-20 menit) (Depkes RI,2000).

e. Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih

lama (≥30ºC) dan temperatur sampai titik didih air

(Depkes RI,2000).

15
B. Destilasi uap (Depkes RI,2000)

Destilasi uap adalah ekstraksi senyawa kandungan

menguap (minyak atsiri) dari bahan (segar atau simplisia)

dengan uap air berdasarkan peristiwa tekanan parsial

senyawa kandungan menguap dengan fase uap air dari

ketel secara kontinu sampai sempurna dan diakhiri dengan

kondensasi fase uap campuran (senyawa kandungan

menguap ikut terdestilasi) menjadi destilat air bersama

senyawa kandungan yang memisah sempurna atau

memisah sebagian.

Destilasi uap dan air, bahan (simplisia) bercampur

sempurna atau sebagian dengan air mendidih, senyawa

kandungan menguap tetap kontinu ikut terdestilasi.

II.3 Penentuan parameter-parameter standarisasi

II.3.1 Pengertian standarisasi

Standarisasi adalah serangkaian parameter, prosedur dan

cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait

paradigma mutu kefarmasian, memenuhi syarat standar (Kimia,

biologi, dan farmasi). Termasuk jaminan batas-batas stabilitas

sebagai produk kefarmasian umumnya. Persyaratan mutu

16
eksrtak terdiri dari berbagai parameter standar umum dan

parameter standar spesifik (Depkes RI,2000).

II.3.2 Parameter spesifik ( Depkes,2000)

1. Organoleptik

Penetapan organoleptik menggunakan pancaindra

mendiskripsikan bentuk, warna, bau, rasa.

2. Identitas

Mendiskripsikan tata nama ekstrak (generik, dagang, paten),

nama latin tumbuhan (sistematka botani), bagian tumbuhan yang

digunakan, nama indonesia tumbuhan.

3. Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu

Melarutkan ekstrak dengan pelarut (alkohol atau air) untuk

ditentukan jumlah solut yang identik dengan jumlah senyawa

kandungan secara gravimetri. Dalam hal tertentu dapat diukur

senyawa terlarut dalam pelarut lain misalnya heksana, dikrometan,

metanol.

a. Kadar senyawa yang terlaut dalam air

Maserasi sejumlah 5,0 gram ekstrak selama 24 jam dengan

100 ml air kloroforom LP menggunakan labu bersumbat sambil

17
berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian

dibiarkan dibiarkan selama 18 jam. Saring, uapkan 20 ml filtrat

hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah

ditara, panaskan residu pada suhu 105°C hingga bobot tetap.

Hitung kadar dalam persen senyawa yang larut dalam air,

dihitung terhadap ekstrak awal.

b. Kadar senyawa yang larut dalam etanol

Maserasi sejumlah 5,0 gram ekstrak selama 24 jam dengan

100ml etanol(95%), menggunakan labu tersumbat sambil

berkali-kali diaduk dikocok selama 6 jam pertama dan

kemudian dibiarkan selama 18 jam. Saring cepat dengan

menghindarkan penguapan etanol, kemudian uapkan 20ml

filtrat hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang

telah ditara, panaskan residu pada suhu 105°C hingga bobot

tetap. Hitung kadar dalam persen senyawa yang larut dalam

etanol (95%), dihitung terhadap ekstrak awal.

II.3.3 Parameter Non Spesifik (Depkes RI, 2000)

1.Penetapan kadar air

Ditimbang seksama 1 g ekstrak dalam krus porselin

18
bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 105°C

selama 30 menit dan telah ditara. Ratakan dengan

menggoyangkan hingga merupakan lapisan setebal (5mm-

10mm) dan dikeringkan pada suhu penetapan hingga bobot

tetap, buka tutupnya, biarkan krus dalam keadaan tertutup,

biarkan krus dalam keadaan tertutup dan mendingin dalam

desikator hingga suhu kamar, kemudian dicatat bobot tetep

yang diperoleh untuk menghitung persentase susut

pengeringan.

2.Penetapan Kadar Abu

Ditimbang 2 g ekstrak dengan seksama ke dalam krus yang

telah ditara, dipijarkan perlahan-lahan. Kemudian suhu

dinaikkan secara bertahap hingga 600+25°C sampai bebas

karbon, selanjutnya didinginkan dalam desikator, serta

timbang berat abu. Kadar abu dihitung dalam persense

terhadap berat sampel awal. Kadar abu yang tidak larut dalam

asam, abu yang diperoleh dari penetapan kadar abu, didihkan

dengan 25 ml asam klorida encer P selama 5 menit, bagian

yang tidak larut asam dikumpulkan, disaring dan ditimbang,

19
ditentukan kadar abu yang tidak larut asam dalam persen

terhadap berat sampel

3 .Penentuan bobot jenis

Bobot jenis ekstrak ditentukan terhadap hasil pengenceran

ekstrak (5% dan 10%) dalam pelarut tertentu (etanol) dengan alat

piknometer.

a. Penentuan total bakteri dan total kapang

b. Penentuan total bakteri

Dipipet dengan pipet steril 1 ml ekstrak dari pengenceran 10-

4, ditanamkan dalam medium NA, lalu diinkubasi pada suhu

37°C selama 24 jam. Kemudian diamati dan dihitung jumlah

koloni yang tumbuh dan dikalikan dengan faktor pengenceran.

c.Penentuan total kapang

Dipipet dengan pipet steril 1 ml ekstrak dari pengenceran 10-

4 ditanam dalam medium PDA, lalu diinkubasi pada suhu 25°C

selama tiga hari. Kemudian diamati dan dihitung jumlah koloni

yang tumbuh dan dikalikan dengan faktor pengenceran.

20
BAB III

METODE KERJA

III.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian ekperimental labolatorium

Yaitu untuk mengetahui mutu ekstrak etanol pada cacing tanah

(Lumbricus rubellus)

III.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian akan dilakukan pada bulan April – Agustus di

Laboratorium Fitokimia Farmasi Akademi Farmasi Makassar.

III.3 Tempat Pengambilan Sampel

Sampel berupa cacing tanah yang diperoleh di Desa

pattallassang Kecamatan pattallassang Kabupaten gowa.

21
III.4 Alat dan Bahan yang digunakan

1. Alat
Alat yang digunakan yaitu bejana maserasi, tabung

reaksi, pipet tetes, sendok tanduk, timbangan analitik, saringan,

rotary evaporator.

2. Bahan
Adapun bahan yang digunakan pada praktium ini yaitu ekstrak

cacing tanah (Lumbricus rubellus), aquadest, etanol 96% kertas saring,

methanol dan tissue.

III.5 Cara kerja

III.5.1 Pengolahan bahan baku

Cacing tanah (Lumbricua rubellus) yang diambil langsung dari

dalam tanah dibersihkan dengan cara sortasi basah, lalu dicuci

kembali dengan air mengalir. Setelah itu, tiriskan cacing tanah

kemudian jemur dibawah sinar matahari langsung beberapa hari

sampai kering. Setelah kering kembali dilkukan sortasi kering untuk

memisahkan kotoran yang tertinggal pada saat penjemuran.cacing

22
tanah yang kering kemudian diblender hingga menjadi serbuk hingga

derajat kehalusan serbuk yang sesuai.

III.5.2 Pembuatan ekstrak etanol cacing tanah

Cara kerja metode ekstraksi etanol cacing tanah (Lumbricus

rubellus).

1. Disiapkan alat dan bahan

2. Ditimbang sampel kering yang telah diserbukkan sebanyak 2000

gram.

3. Blender cacing tanah,kemudian rendam dengan etanol 96%

sebanyak 1L pada toples kaca tertutup selama 5x24 jam

4. Saring rendaman cacing tanah, buang ampas dari rendaman

5. Kemudian masukkan dalam rotary evaporator selama 4 jam.

6. Setelah itu dilakukan pengentalan ekstrak cacing tanah dengan

menggunakan Hot plate dan di aduk selama proses pengentalan

tersebut.

Rendemen Cacing tanah (Lumbricus rubellus) dihitung

dengan cara membandingkan jumlah ekstrak yang

diperoleh dengan simplisia awal yang digunakan.

Rendemen = bobot ektrak X 100%

bobot simplisia

23
III.6 Standardisasi Parameter Non Spesifik

1.Penetapan kadar air

Ditimbang seksama 1 g ekstrak dalam krus porselin

bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 105°C

selama 30 menit dan telah ditara. Ratakan dengan

menggoyangkan hingga merupakan lapisan setebal (5mm-

10mm) dan dikeringkan pada suhu penetapan hingga bobot

tetap, buka tutupnya, biarkan krus dalam keadaan tertutup dan

mendingin dalam desikator hingga suhu kamar, kemudian

dicatat bobot tetep yang diperoleh untuk menghitung

persentase susut pengeringan.

2.Penetapan Kadar Abu

Ditimbang 2 g ekstrak dengan seksama ke dalam krus yang

telah ditara, dipijarkan perlahan-lahan. Kemudian suhu

dinaikkan secara bertahap hingga 600+25°C sampai bebas

karbon, selanjutnya didinginkan dalam desikator, serta

timbang berat abu. Kadar abu dihitung dalam persentase

terhadap berat sampel awal. Kadar abu yang tidak larut dalam

asam, abu yang diperoleh dari penetapan kadar abu, didihkan

24
dengan 25 ml asam klorida encer P selama 5 menit, bagian

yang tidak larut asam dikumpulkan, disaring dan ditimbang,

ditentukan kadar abu yang tidak larut asam dalam persen

terhadap berat sampel

3 .Penentuan bobot jenis

Bobot jenis ekstrak ditentukan terhadap hasil pengenceran

ekstrak (5% dan 10%) dalam pelarut tertentu (etanol) dengan alat

piknometer.

a. Penentuan total bakteri dan total kapang

b. Penentuan total bakteri

Dipipet dengan pipet steril 1 ml ekstrak dari pengenceran 10-

4, ditanamkan dalam medium NA, lalu diinkubasi pada suhu

37°C selama 24 jam. Kemudian diamati dan dihitung jumlah

koloni yang tumbuh dan dikalikan dengan faktor pengenceran.

c. Penentuan total kapang

Dipipet dengan pipet steril 1 ml ekstrak dari pengenceran 10-

4 ditanam dalam medium PDA, lalu diinkubasi pada suhu 25°C

selama tiga hari. Kemudian diamati dan dihitung jumlah koloni

yang tumbuh dan dikalikan dengan faktor pengenceran.

25
III.7 Analisis Data

Dianalisis dari data yang telah diperoleh kemudian dibuat

pembahasan lalu ditarik kesimpulan,

26
DAFTAR PUSTAKA
Palungkun, R. 2016. Sukses Beternak Cacing Tanah (Lumbricus
rubellus).Jakarta: Penebar Swadaya.

Hermawan, 2014. Usaha Budidaya Cacing Tanah Lumbricus rubellus. Pustaka


Baru. Yogyakarta.

Sejuthi, Dordin; dkk 2014. Efek Antipiretik Ekstrak Cacing Tanah.


Bandung:Jurusan Kimia FMIPA IPB.

Arifiyanti, Dewi. 2009. Pengaruh Cacing Tanah Lumbricus rubellus dan


Pheretima sp. Terhadap Pertumbuhan Bakteri Salmonella typhi
Secara InVitro. http://digilib.upi.edu/pasca/available/etd-0105107
DiaksesPada Tanggal 6 Februari 2018

Eriska, Risa dkk. 2000. Efek Proteksi Suspensi dan Ekstrak Air Cacing
Tanah(Lumbricus rubellus.) terhadap Kerusakan Hati Mencit
Swiss-WebsterJantan yang Diinduksi dengan Karbon Tetraklorida.
Bandung: DepartemantITB.

Anwar EK. 2009. Efektivitas Cacing Tanah Pheretima hupiens, Eudrellus


sp DanLumbricus sp. Dalam Proses Dekomposisi Bahan Organik.
Jurnal Tanah Trop.Gunawan, Muhammad Arif. 2009.

Pengaruh Penggunaan Tepung Cacing Tanah (LumbricusRubellus)dalam


Ransum Terhadap Performan Domba LokalJantan. Solo:
Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo.

Budiarti A. dan R. Palungkun. 1992. Cacing Tanah: Aneka Cara Budi


Daya.Penanganan Lepas Panen, Peluang Campuran Ransum
Ternak dan Ikan.Penebar Swadaya. Jakarta

Brata B. 2009. Cacing Tanah (Faktor Mempengaruhi Pertumbuhan dan


Perkembangbiakan). Institut Pertanian Bogor Press. Bogor.

27
28

Anda mungkin juga menyukai