Anda di halaman 1dari 28

HEWAN

AVERTEBR
ATA AIR FILUM
ANNELID
Denas Maranti Mitayani – L1B020081 – Akuakultur A
A
FILUM ANNELIDA

01 02 03 04 05
Cacing Tanah Cacing Laut Cacing Hutan Cacing Palolo Lintah India
Cacing Tanah (Lumbricus rebellus)

Kingdom : Animalia
Phylum : Annelida
Class : Oligochaeta
Order : Haplotaxida
Klasifikasi
Family : Lumbricidae
Genus : Lumbricus
Species : Lumbricus rubellus (Ciptanto & Paramita,
2011)

Nama Latin Lumbricus rebellus


Gambar 1. Lumbricus rebellus
Di Indonesia, cacing ini disebut juga dengan nama
Nama Daerah
cacing Jayagiri (Rukmana, 1999).
Cacing Tanah (Lumbricus rebellus)
Cacing tanah hidup di tempat atau tanah yang terlindung dari sinar matahari,
lembap, gembur, dan mengandung banyak serasah. Habitat ini sangat spesifik bagi
Habitat cacing tanah untuk tumbuh dan berkembang biak dengan baik. Marga Lumbricus
ini sangat menyukai bahan organik yang berasal dari kotoran ternak dan sisa-sisa
tumbuhan (Palungkun, 2010).
Distribusi asli spesies ini adalah Eropa dan Kepulauan Inggris, tetapi spesies ini
Distribusi di Dunia telah menyebar di seluruh dunia saat ini dan mampu bertahan hidup pada habitat
dan keadaan lingkungan yang cocok (Khairuman & Amri, 2010)
Pada tahun 1998, masyarakat mulai mengembangkan budi daya cacing tanah
secara komersial. Beberapa daerah, seperti Bandung, Lembang, dan Tasikmalaya
Distribusi di Indonesia
merupakan sentra pengembangan budi daya dan bisnis hewan pengurai ini
(Khairuman & Amri, 2010).
Cacing Tanah (Lumbricus rebellus)

Cara Reproduksi

Pada saat melakukan perkawinan, kedua cacing saling melekat di bagian depannya dengan posisi
saling berlawanan yang diperkuat oleh seta. Lendir akan keluar untuk melindungi spermatozoa yang
keluar dari lubang kelamin jantan. Spermatozoa akan masuk dalam kantong penerima sperma
pasangannya. Kedua cacing melakukan perkawinan hingga beberapa jam dan tidak terganggu oleh
gerakan apa pun. Setelah masing-masing cacing menerima spermatozoa, keduanya akan saling
berpisah dan selanjutnya cairan klitellium akan menyelubungi kokon yang bergerak ke arah mulut
dan bertemu dengan lubang saluran telur. Telur-telur itu keluar dari lubang tadi dan masuk ke
selubung kokon yang akan bergerak ke arag mulut. Pada waktu melewati lubang penerima sperma,
masuklah spermatozoa ke dalam selubung kokon dan terjadi pembuahan telur oleh spermatozoa.
Kokon yang dihasilkan dari perkawinan sepasang cacing tanah dipermukaan tanah bila tanah lembab,
namun bila tanah kering, kokon akan diletakan di dalam tanah (Rukmana, 1999)
Cacing Tanah (Lumbricus rebellus)

Potensi Ekonomi

1. Sebagai pengurai bahan organik di dalam pengolahan limbah padat;


2. Sebagai penghasil pupuk limbah organik.
3. Sebagai bahan baku sumber protein hewani (64-72%) dan asam amino esensial untuk
berbagai hal, di antaranya:
a) Bahan baku pembuatan pakan ternak, ikan, dan udang;
b) Bahan baku pembuatan pangan;
c) Bahan baku pembuatan obat-obatan dan kosmetik (Mubarok & Zalizar, 2003).
Cacing Tanah (Lumbricus rebellus)

Khairuman dan K Amri. 2010. Mengeruk untung dari berternak cacing,80. AgroMedia Pustaka,
Bintaro.
Mubarok, A. dan Zalizar. 2003. Budidaya Cacing Tanah sebagai Usaha Alternatif di Masa Krisis
Ekonomi. Jurnal Dedikasi. Vol. 1 No. 1.

Palungkun, R. 2010. Usaha Ternak Cacing Tanah. Penebar Swadaya: Jakarta

Rukmana, H.R. 1999. Budi Daya Cacing Tanah. Yogyakarta : Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI).
Cacing Sutera (Tubifex sp)

Filum : Annelida
Kelas : Oligochaeta
Ordo : Clitellata
Klasifikasi
Familia : Tubificidae
Genus : Tubifex
Spesies : Tubifex sp. (Barnes, 1982)

Nama Latin Tubifex sp.

Gambar 2. Tubifex sp. Cacing Tubifex dapat disebut dengan Sludge worm
Nama Daerah mempunyai nama lokal cacing sutera, cacing rambut,
dan cacing merah (Waseanti dkk., 2012) .
Cacing Sutera (Tubifex sp)

Habitat Tubifex banyak ditemukan di selokan, parit,


dan sungai yang tercemar bahan organik
(Setiowati dan Fuqonita, 2007)

Distribusi di Dunia Tubifex mempunyai nilai ekonomis penting


karena menjadi komoditas ekspor ke Negara
Malaysia, Singapura dan Hongkong
(Anggraeni, 2013).

Distribusi di Indonesia Tubifex disebarluaskan di berbagai daerah di


Pulau Jawa hingga di seluruh Kawasan
Indonesia (Rukmana, 2015).
Cacing Sutera (Tubifex sp)
Cara Reproduksi
Reproduksi cacing sutra, terjadi secara sexual antara dua individu sepeti halnya pada cacing tanah
(Pennak, 1978). Telur cacing sutra terjadi di dalam kokon, yaitu suatu bangunan berbentuk bulat
telur panjang 1,0 mm dan garis tengahnya 0,7 mm. Kokon dibentuk oleh kelenjar epidermis dari
salah satu segmen tubuhnya yang disebut klitelum. Telur yang berada dalam kokon akan
mengalami pembelahan menjadi morula, yaitu suatu bangunan berbentuk bulat telur, panjang 1,0
mm dan garis tengahnya 0,7 mm. Telur yang berada dalam kokon akan mengalami pembelahan
menjadi morula (Astutik, 2016). Selanjutnya embrio akan berkembang (pertama kali) menjadi 3
segmen, kemudian berkembang menjadi beberapa segmen. Setelah beberapa hari embrio akan
keluar melalui ujung kokon secara enzymatik. Perkembangan embrio pada suhu 24ºC dari telur
hingga meninggalkan kokon lamanya 10-12 hari (Suharyadi, 2012). Setelah meninggalkan kokon,
cacing sutra pertama kali menghasilkan kokon setelah berumur 40-45 hari. Jadi daur hidup cacing
sutra dari telur hingga menetas membutuhkan waktu 50-57 hari (Suharyadi, 2012).
Cacing Sutera (Tubifex sp)

Potensi Ekonomi

Cacing sutra banyak dicari untuk kebutuhan pakan ikan hias maupun untuk
pakan benih ikan. Selama ini kebutuhan cacing sutra banyak dipenuhi dari hasil
tangkapan liar. Penjualan cacing sutra biasa dikemas dalam bentuk dibekukan,
dikeringkan maupun langsung dijual dalam bentuk segar (Meilisza, 2003).
Cacing Sutera (Tubifex sp)
Anggraeni. 2013. Pengaruh Pemberian Pakan Alami dan Pakan Buatan Terhadap Pertumbuhan Ikan Betutu (Oxyeleotris
marmorata) pada Skala Laboratorium. Jurnal Sains dan Seni Pomits. Vol. 2, No.1
Astutik W. 2016. Perbedaan Media Kotoran Ayam, Kotoran Sapi, Ampas Tahu, dan Limbah Media Jamur Tiram terhadap
Pertumbuhan Cacing Sutra (Tubifex Tubifex L.) dan Pemanfaatannya Sebagai Buku Ilmiah Populer. Skripsi. 64 Hal.

Barnes, 1982. Invertebrai zoology. Fourth edition. West Washington Square. Philadelphia. Page 794 .
Meilisza. 2003. Efisiensi Pemberian Pakan pada Benih Ikan Patin (Pangasius pangasius) pada Sistem Keramba di Saluran
Cibalok, Bogor
Pennak, R. W. 1978. Freshwater Invertebrates of United States. 2an Edition. John Willey and Sons Inc. New York. 803. P
The Ronald Press Company. New York. 769.
Rukmana, Rahmat dan Yudirachman, Herdi. 2015. Untung Selangit dari Agribisnis Teh. Yogyakarta: Lily Publisher.
Setiowati, T. dan Furqonita. 2007. Biologi Interaktif. Azka press. Jakarta. Hal 135 .
Suharyadi. 2012. Studi Pertumbuhan dan Produksi Cacing Sutra dengan Pupuk yang Berbeda dalam Sistem Resirkulasi. Tugas
Akhir Program Magister Universitas Terbuka. Jakarta.
Waseanti, N., Almsjah, A., Kusnoto. 2012, „Kombinasi Cacing (Tubifex sp.) Kering dan Tepung Chorella sp. Sebagai Pakan
Tambahan pada Pertumbuhan dan Retensi Protein Benih Ikan Bandeng (Chanos chanos)‟, Journal of Marine and Coastal
Science, vol. 1, no. 1, hal. 45 – 52.
Lintah Medis (Hirudo medicinalis)

Kingdom : Animalia
Filum : Annelida
Kelas : Hirudinae
Klasifikasi Ordo : Rhynchabdillida
Family : Hirudinidae
Genus : Hirudo
Spesies : Hirudo Medicilanis (Pechenik, 2005)

Nama Latin Hirudo medicinalis

Gambar 3. Hirudo medicinalis


Di Indonesia, lintah ini dikenal dengan nama lintah
Nama Daerah
kerbau (Midin, 2003)
Lintah Medis (Hirudo medicinalis)

Lintah merupakan hewan Invertebrata yang termasuk dalam filum Annelida


Habitat dan subkelas Hirudinea yang tersebar di seluruh dunia yang dapat hidup di
berbagai habitat seperti air tawar, air laut, gurun, dan oasis (Gouda, 2006)

Lintah medis memiliki daerah penyebaran geografis yang luas meliputi


Distribusi di Dunia Afrika Selatan, Iran, Sri Lanka, India, Thailand, Malaysia, Singapura,
Indonesia, Filipina, Australia dan Jepang (Mahardika, 2020).

Penyebarannya meliputi Jawa, Kalimantan, Bengal dan Burma dari


Distribusi di Indonesia
ketinggian 0-780 m di atas permukaan laut (Harding dan Moore, 1927)
Lintah Medis (Hirudo medicinalis)

Cara Reproduksi

Kopulasi terjadi dengan cara saling menempelkan bagian ventral badan antara lintah satu dan yang
lain, berlangsung di air, tempat yang berbatu atau di pasir yang hanya sedikit tergenangi air (Conniff,
1987). Dari pengamatan diketahui bahwa proses kopulasi berlangsung selama 4 hingga 5 menit.
Dalam penelitian ini kokon yang dihasilkan pada bulan ke 8 sebanyak satu buah, diikuti dengan
sebuah lagi pada bulan ke 9, bulan ke 10 sebanyak dua buah dan bulan ke 17 sebanyak dua buah
lagi. Empat kokon yang berhasil menetas menghasilkan masing- masing 1, 4, 9 dan 12 anak lintah
dengan panjang tubuh rata-rata 16 mm dan bobot 0,05 - 1,8 gram, masih lebih pendek daripada
yang dilaporkan oleh Soos (1969) sepanjang 40 mm. Conniff (1987) melaporkan Hirudo medicinalis
mampu menghasilkan 12 hingga 24 lintah tiap kokon dan menetas setelah satu bulan
Lintah Medis (Hirudo medicinalis)

Potensi Ekonomi

Menurut Chruch (2013: 1) terapi lintah atau hirudotherapy adalah terapi yang
menggunakan lintah untuk mengekstraksi darah dari jaringan edema dalam berbagai
macam patologi untuk tujuan penyembuhan, sebagai salah satu praktek pengobatan yang
telah lama dilakukan. Selama bertahun-tahun, penggunaan lintah telah berkembang mulai
dari prosedur mengeluarkan darah secara sederhana menjadi ilmu yang berbasis ilmu
pengetahuan fisiologis dengan aplikasi klinis yang rasional. (Kumar, et.al, 2012: 152).
Ada beberapa penyakit yang dapat diobati menggunakan terapi ini, dengan indikasinya
sebagai berikut : (1) penyakit kulit, (2) penyakit mata, (3), atritis, (4) operasi plastik, (5)
borok (Das ,2014:39)
Lintah Medis (Hirudo medicinalis)
Church et,al,. 2013. Biotherapy - History, Principles and Practice : A Practical Guide to the Diagnosis and Treatment of Disease
using Living Organisms. Springer. ISBN 978-94- 007-6584-9. Hlm 1-4, 31-75. New York: Amerika.

Conniif, R. 1987. The little suckers have made a comeback. Discover, Augu t: 85·94
Das, B.K. 2014. An Overview on Hirudotherapy/Leech therapy. Indian Research Journal of Pharmacy and Science. Hlm 34-
45. Karnataka : India
Gouda, H.A. (2006). The Effect of Peritrich Ciliates on Some Freshwater Leeches from Assiut, Egypt. Journal of
Invertebrate Pathology, 93: 143-149.
Harding, W. A. & John P. Moore. 1927. The Fauna of British India, including Ceylon and Burma. Hirudinea Taylor & Francis,
London : i-xxxviii; 1-302; pls. 1-9
Kumar et,al.. 2012. Clinical Significance of Leech Therapy in Indian Medicine. Journal of Evidence-Based Complementary
and Alternative Medicine.
Mahardika. 2020. Respon Lintah Terhadap Salinitas Tinggi Secara In Vitro Dan In Vivo. Jurnal Fisheries. Vol. 2 Issue 1.
Midin, N. 2003. Flora dan Fauna; Seri Konservasi. BKSDA. Yogyakarta.
Pechenik. 2005. Biology of the Invertebrates. Fifth Edition.
Soos, A. 1969. Identification key to the each (Hirudinea) genera of the world, with a catalogue of the species. V. Family
Hirudinidea. Act. Zool. Acad, Sci. Hunger. XV (1-2) : 160.
Cacing Laut (Nereis sp.)

Kingdom : Animalia
Filum : Annelida
Kelas : Polychaeta
Klasifikasi Ordo : Errantia
Famili : Nereidae
Genus : Nereis
Spesies : Nereis sp (Suwignyo dkk, 2005)
Nama Latin Nereis sp

Cacing Nereis sp. lebih banyak dikenal masyarakat


lokal dan dijadikan nama umum untuk semua jenis
Gambar 4. Nereis sp. Nama Daerah cacing laut yang dimanfaatkan di pembenihan udang,
walaupun setelah diidentifikasi nama ilmiah cacing
laut tersebut belum tentu Nereis sp. (Odum, 1993).
Cacing Laut (Nereis sp.)

Cacing Nereis sp. hidup di daerah laut dan estuarian. Cacing Nereis sp. dan
Habitat jenis Polycheta lain banyak dijumpai di pantai utara Jawa (Abdurrachman et
al., 1990).

Setidaknya terdapat 16 jenis cacing laut yang diekspor oleh beberapa negara
Distribusi di Dunia sebagai umpan pancing, kebanyakan dari Suku Nereididae (Inggris, Amerika
Serikat, Irlandia) (Olive, 1994; Gambi et al., 1994).

Dapat ditemukan di Indonesia, tepatnya di perairan Indonesia timur (Horst,


Distribusi di Indonesia
1924) dan Pulau Pari, Jakarta (Glasby & Hsieh, 2006).
Cacing Laut (Nereis sp.)

Cara Reproduksi

Sistem reproduksi pada nereis bersifat diesius, artinya testes atau ovarium pada dinding selom
yang tersusun secara segmental (beberapa atau banyak segmen). Gamet tua akan keluar dengan
paksa melalui dinding tubuh. Luka pada dinding akibat keluarnya gamet, namun luka terssebut
akan segera menutup kembali. Fertilasi terjadi di dalam air dan zigot tumbuh menjadi trokofor
Spesies Nereis virens bersifat  diesius, artinya dimana  alat kelamin jantan dan betina terpisah.
Gonad hanya berkembang pada musim perkawinan. Gonad terdapat pada semua segmen,
kecuali pada bagian ujung anterior badan. Ovarium dan spermatozoa terdapat di bagian tepi
selom. Setelah sel jantan dan betina melakukan reproduksi, maka sel tersebut akan menjadi larva.
Larva tersebut akan terbang bebas di lautan atau menempel pada bebatuan karang pinggir pantai
(Brotowidjoyo,1984).
Cacing Laut (Nereis sp.)

Potensi Ekonomi

Cacing laut sebenarnya mempunyai potensi untuk


dibudidayakan di Indonesia. Potensi tersebut dapat dilihat
dari banyaknya pembenihan udang yang memanfaatkannya
sebagai pakan induk di beberapa sentra pembenihan udang
di Indonesia antara lain di wilayah Kabupaten Serang,
Cilacap, Situbondo, dan Barru (Rasidi, 2012).
Cacing Laut (Nereis sp.)
Abdurrahman, F., Harminto, S., Oemarjati, B. S., Wardhana, W., dan Patria, M. P.1990. Biota Bentik Teluk Jakarta, LP-UI, Depok, Jawa
Barat.
Brotowidjoyo, M. Djambitu. 1989. Zoologi Dasar. Jakarta: Erlangga
Gambi, M.C., A. Castelli, A. Giangrande, P. Lanera, D. Prevendelli & R.Z. Vandini. 1994. Polychaetes of commercial and applied
interest in Italy: an overview . Dalam: J.C. Dauvin, L. Laubier and D.J. Reish (eds.). Actes de la 4eme Conference internationale des
Polychetes. Mem. Mus. natn. Hist. nat. 162:593=-603.
Glasby, C.J. & H. Hsieh. 2006. New species and new records of the Perinereisnuntia species group (Nereididae: Polychaeta) from
Taiwan and other Indo-WestPacific shores. Zoological Studies 45(4): 553- 577.
Horst, R. 1924. PolychaetaErrantia 0/ TheSiboga Expedition: Part III. Nereididae and Hesionidae. E. J. Brill. Leiden: 198 hal

Odum, E. P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi 3. Yogyakarta, Gajah Mada University


Olive, P.J.W. 1994. Polychaeta as a world resource: a review of pattern of exploitation as sea angling baits and the potential for aquaculture
based production. Dalam: J.C. Dauvin, L. Laubier and D.J. Reish (eds.)-,Actes de la 4eme Conference intemationale des Polychetes. Mem.
Mus. natn. Hlst. nat. 162:603-610.
Rasidi. 2012. Pertumbuhan, Sintasan, dan Kandungan Nutrisi Cacing Polychaeta Nereis sp. Yang diberi jenis pakan berbeda dan kajian
pemanfaatan Polychaeta oleh masyrakat sebagai pakan induk di pembenihan udang. Tesis. Fakultas MIPA Program Pascasarjana
Biologi. Universitas Indonesia. Depok.
Suwignyo, S. dkk.  2005.  Avertebrata air.  Penebar Swadaya.  Jakarta.
Cacing Tanah (Eudrilus eugeniae)
Kingdom : Animalia
Phylum : Annelida
Kelas : Oligochaeta
Klasifikasi Ordo : Haplotaxida
Famili : Eudrilidae
Genus : Eudrilus
Spesies : Eudrilus eugeniae (Blakemore, 2015).
Nama Latin Eudrilus eugeniae
Cacing tanah dari famili eudrillidae yaitu cacing
Afrika yang dikenal dengan nama ilmiah Eudrilus
Gambar 5. Eudrilus eugeniae Nama Daerah eugeniae atau lebih sering disebut dengan cacing
African Night Crawler (ANC) (Rahmawati, et al.
2017).
Cacing Tanah (Eudrilus eugeniae)

Eudrilus eugeniae pada alaminya hidup di tanah yang lembab dan banyak
mengandung senyawa organik seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin
Habitat dan mineral yang dibutuhkan untuk pertumbuhan. Bahan organik yang bisa
dijadikan media hidup cacing tanah antara lain kotoran hewan ternak, ampas
tahu, ampas singkong, dan sebagainya (Sugiantoro, 2012).

Cacing ini telah dikembangkan secara ekstensif di Amerika Serikat, Kanada,


Distribusi di Dunia
Eropa dan Asia (Dominguez et al., 2001).

Cacing ini banyak ditemukan di daerah tropis seperti kawasan hutan hujan
Distribusi di Indonesia
tropis salah satunya di Pulau Aceh (Hasbuna, 2018).
Cacing Tanah (Eudrilus eugeniae)

Cara Reproduksi

Cacing tidak melakukan pembuahan sendiri melainkan secara silang. Perkawinan silang (cross
fertilization) dilakukan dengan cara saling bertukar spermatozoid. Sel-sel sperma yang keluar dari
masing-masing cacing tanah akan bergerak kearah belakang (posterior), lalu masuk ke dalam
lubang penerima sperma masing-masing. Setelah beberapa jam berkopulasi (kawin) dan masing-
masing kantung ovarium yang berisi sel-sel telur menerima sel-sel sperma maka masing-masing
kantung ovarium saling berpisah. Tahap selanjutnya terjadi pembentukan selubung kokon
(mucous band). Proses pembentukan selubung kokon terjadi pada klitelium. Masing-masing sel
telur yang telah menerima sel-sel sperma bergerak ke arah mulut dan bertemu dengan lubang
saluran sel-sel telur, lalu masuk ke dalam selubung kokon, dari selubung kokon, sel-sel telur yang
telah dibuahi sel-sel sperma tadi akan bergerak ke arah mulut, sehingga terjadi pelepasan kokon
(cocoon) dari masing-masing cacing tanah bersama-sama dengan selubung kokonnya. Kokon
Eudrilus eugeniae menetas hanya dalam 12 hari pada suhu 25ºC (Jorge Dominguez., dkk., 2001:
341).
Cacing Tanah (Eudrilus eugeniae)

Potensi Ekonomi

Salah satu spesies cacing tanah yang biasa digunakan dalam vermicomposting
adalah Eudrilus eugeniae. Cacing ini juga digunakan untuk campuran pakan ikan
karena kandungan proteinnya yang tinggi (Banu et al., 2008).
Cacing Tanah (Eudrilus eugeniae)
Banu, J.R., I.T. Yeom, S. Esakkiraj, N. Kumar and S. Logakanthi. 2008. Biomanagement of sago-sludge using an earthworm,
Eudrilus eugeniae. J. Environ Bio., 9(1): 453-468.
Blakemore, Robert., J. (2015). Eco-taxonomic Profile of an Iconic Vermicomposter The ‘African Nightcrawler’ Earthworm,
Eudrilus eugeniae (Kinberg, 1867). Jurnal African Invertebrates (Volume 56 nomor 3). Hlm. 527-548.

Dominguez, Jorge., Clive, A., Edwards & John Ashby. (2001). Biology and population dynamics of Eudrilus eugeniae (Kingberg)
(Oligochaeta) in cattle waste solid) (Jurnal Penelitian). Hlm. 1-15.
Hasbuna, dkk. 2018. Jenis Cacing Tanah di Kawasan Deudap Pulo Aceh Kabupaten Aceh Besar. Prosiding Seminar Nasional
Biotik. Aceh.
Rahmawati, F., Suhandoyo, Ciptono. 2017. Pengaruh Kombinasi Media Serbuk Gergaji Batang Pohon Aren Dan
Limbah Rumput Manila Terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Kokon Cacing Afrika (Eudrilus eugeniae). Jurnal Prodi
Biologi. Vol. 6, No. 1.
Sugiantoro, A. 2012. Harta Karun dari Cacing Tanah, Budidaya Cacing Tanah Untuk Obat Alteratif. Yogyakarta: Dafa Publishing.
THAN
K YOU

Anda mungkin juga menyukai