Anda di halaman 1dari 14

Pada percobaan ini dilakukan analisis estimasi populasi hewan tanah

dengan cara memasang jebakan dari botol bekas yang diisi dengan larutan
atraktan yang berfungsi untuk menarik serangga. Pemasangan jebakan atau pitfall
trap ini diletakkan di 15 transek yang berbeda, dimana setiap transek diletakkan
jebakan sebanyak satu. Hasil dari percobaan ini diperoleh data jumlah spesies
sebanyak 26 dengan jumlah total individu sebanyak 257.
Organisme yang didapatkan dari percobaan ini yaitu berupa hewan-hewan
serangga yang hidup di permukaan tanah. Menurut Suwondo (1971), tanah
merupakan tempat hidup berbagai organisme yang menyediakan makanan bagi
masing-masing organisme yang hidup di dalamnya. Serasah yang jatuh di tanah
dapat digunakan oleh tumbuhan lagi apabila sudah terurai sampai ke tingkat
mineral. Fauna yang hidup di tanah dapat dibagi menjadi beberapa kelompok
berdasarkan ukuran tubuh, yaitu mikrofauna (protozoa, nematoda, dll), mesofauna
(collembola, mites, dll), makrofauna (cacing tanah, rayap, larva, dll), dan
megafauna (kelinci, tikus, dll). Sedangkan pada percobaan ini hampir secara
keseluruhan berupa hewan makrofauna.
Pada percobaan ini, spesies dengan jumlah individu yang paling banyak
ditemukan adalah Pheidole megacephala. Spesies Pheidole megacephala atau
yang biasa disebut semut berkepala besar Afrika ini merupakan spesies semut
yang agresif dan dapat membentuk koloni yang besar. Spesies semut yang invasif
ini dapat ditemukan hampir di setiap pulau wilayah Magalasi. (Suin, 2006)
Berikut adalah klasifikasi Pheidole megacephala :
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Insecta
Order : Hymnoptera
Family : Formicidae
Subfamily : Myrmicinae
Tribe : Attini
Genus : Pheidole
Spesies : Pheidole megacephala
Menurut Suwondo (1971), penyebaran dari spesies ini terjadi karena
perdangan yang dilakukan oleh manusia. Ciri-ciri dari semut Pheidole
megacephala ialah kepala yang berbentuk hati dan lebih besar dari ukuran semut
biasanya, mesonotum yang melingkar, postpetiole oval, dan memiliki 2 gigi
hipostomal. Semut ini bersifat predator dengan koloni yang besar. Koloni ini
hidup pada habitat yang lembab karena semut ratu dapat berkembangbiak dengan
baik pada suhu yang lembab. Lokasi sarang yang sangat disukai oleh spesies
Pheidole megacephala ialah di bawah kayu yang membusuk, di bawah bebatuan,
dan di bawah pohon atau daun yang lembab. Selain karena tempat yang lembab,
semut-semut ini juga membangun sarang pada lokasi atau tempat yang dekat
dengan sumber makanan.
Pada semut jenis ini memiliki tugas masing-masing, yaitu semut penjaga
dan semut pekerja. Pada bagian mulut semut terdapat gigi yang digunakan untuk
menghancurkan biji. Semut penjaga memiliki panjang sekitar 4mm, sedangkan
semut pekerja hanya sekitar 2mm. Warna dari semut ini biasanya coklat
kemerahan. Bagian belakang kepala dari semut ini warnanya mengkilap. Pada
bagian tubuhnya terdapat duri-duri pendek disertai dengan rambut-rambut halus.
Dalam satu koloni semut ini dapat memiliki beberapa ratu, itulah mengapa
semut jenis ini dapat dengan cepat bereproduksi. Jika terlalu banyak ratu dalam
satu koloni, maka ratu tersebut akan berpindah dan mendirikan koloni baru. Setiap
ratu dapat menghasilkan telur hingga 290 butir per bulan. Telur menetas setelah
dua sampai empat minggu dan akan diberi makan oleh para semut pekerja. Semut
Pheidole megacephala memakan serangga mati, invertebrata kecil dan madu yang
diekskresikan oleh serangga seperti kutu daun.
Untuk spesies dengan jumlah individu terendah, terdapat 10 spesies hewan
berbeda yaitu Scolopendra gigantea , Culex sp , Lumbricus rubellus , Dermestes
sp , dan yang terakhir Melanoplus differentialis.
Spesies dengan jumlah individu terendah pertama adalah Scolopendra
gigantea. Spesies ini memiliki tubuh agak gepeng, terdiri atas kepala dan badan
yang beruas-ruas (15 –173 ruas). Tiap ruas memiliki satu pasang kaki, kecuali
ruas (segmen) di belakang kepala dan dua segmen terakhirnya. Pada segmen di
belakang kepala terdapat satu pasang “taring bisa” (maksiliped) yang berfungsi
untuk membunuh mangsanya. Pada kepala terdapat sepasang antena panjang yang
terdiri atas 12 segmen, dua kelompok mata tunggal dan mulut.
Hewan ini memangsa hewan kecil berupa insecta, mollusca, cacing dan
binatang kecil lainnya, sehingga bersifat karnivora. Alat pencernaan makanannya
sudah sempurna artinya dari mulut sampai anus. Alat eksresi berupa dua buah
saluran malphigi. Respirasi (pernafasan) dengan trakea yang bercabang-cabang
dengan lubang yang terbuka hampir pada setiap ruas. Habitat (tempat hidup) di
bawah batu-batuan/timbunan tumbuhan lembab yang telah membusuk. Kelas ini
sering disebut Sentipede.
Berikut adalah klasifiksi Scolopendra gigantea :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Famili : Scolopendridae
Kelas : Chilopoda
Ordo : Scolopendromorpha
Genus : scolopendra
Spesies : Scolopendra gigantea
Spesies dengan jumlah individu terendah kedua adalah Culex sp. Culex sp
adalah genus dari nyamuk yang berperan sebagai vektor penyakit. Nyamuk
dewasa dapat berukuran 4 – 10 mm (0,16 – 0,4 inci). Dan dalam morfologinya
nyamuk memiliki tiga bagian tubuh umum: kepala, dada, dan perut. Nyamuk
Culex yang banyak di temukan di Indonesia yaitu jenis Culex quinquefasciatus.
Klasifikasi nyamuk Culex adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Insecta
Ordo : Diptera
Family : Culicidae
Genus : Culex
Species : Culex sp
Seekor nyamuk betina mampu meletakan 100-400 butir telur. Setiap
spesies nyamuk mempunyai kebiasaan yang berbeda-beda. Nyamuk Culex sp
meletakan telurnya diatas permukaan air secara bergelombolan dan bersatu
membentuk rakit sehingga mampu untuk mengapung. Setelah kontak dengan air,
telur akan menetas dalam waktu 2-3 hari. Pertumbuhan dan perkembangan larva
dipengaruhi oleh faktor temperature, tempat perindukan dan ada tidaknya hewan
predator. Pada kondisi optimum waktu yang dibutuhkan mulai dari penetasan
sampai dewasa kurang lebih 5 hari.
Pupa merupakan stadium terakhir dari nyamuk yang berada di dalam air,
pada stadium ini tidak memerlukan makanan dan terjadi pembentukan sayap
hingga dapat terbang, stadium kepompong memakan waktu lebih kurang satu
sampai dua hari. Pada fase ini nyamuk membutuhkan 2-5 hari untuk menjadi
nyamuk, dan selama fase ini pupa tidak akan makan apapun dan akan keluar dari
larva menjadi nyamuk yang dapat terbang dan keluar dari air.
Setelah muncul dari pupa nyamuk jantan dan betina akan kawin dan
nyamuk betina yang sudah dibuahi akan menghisap darah waktu 24-36 jam.
Darah merupakan sumber protein yang esensial untuk mematangkan telur.
Perkembangan telur hingga dewasa memerlukan waktu sekitar 10 sampai 12 hari.
Nyamuk betina menghisap darah untuk proses pematangan telur, berbeda
dengan nyamuk jantan. Nyamuk jantan tidak memerlukan darah tetapi hanya
menghisap sari bunga. Setiap nyamuk mempunyai waktu menggigit, kesukaan
menggigit, tempat beristirahat dan berkembang biak yang berbeda-beda satu
dengan yang lain. Nyamuk Culex sp suka menggigit manusia dan hewan terutama
pada malam hari (nocturnal). Nyamuk Culex sp menggigit beberapa jam setelah
matahari terbenam sampai sebelum matahari terbit. Dan puncak menggigit
nyamuk ini adalah pada pukul 01.00-02.00.
Nyamuk Culex sp suka berkembang biak di sembarang tempat misalnya di
air bersih dan air yang kotor yaitu genangan air, got terbuka. Nyamuk dewasa
merupakan ukuran paling tepat untuk memprediksi potensi penularan arbovirus.
Larva dapat di temukan dalam air yang mengandung tinggi pencemaran organik
dan dekat dengan tempat tinggal manusia.
Terdapat 3 faktor utama yang mempengaruhi nyamuk Culex sp yaitu
faktor suhu, kelembaban, dan pencahayan. Faktor suhu sangat mempengaruhi
nyamuk Culex sp dimana suhu yang tinggi akan meningkatkan aktivitas nyamuk
dan perkembangannya bisa menjadi lebih cepat tetapi apabila suhu di atas 35°C
akan membatasi populasi nyamuk. Suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk
berkisar antara 20°C – 30°C. Suhu udara mempengaruhi perkembangan virus
dalam tubuh nyamuk.
Kelembaban udara adalah banyaknya uap air yang terkandung dalam udara
yang dinyatakan dalam (%). Jika udara kekurangan uap air yang besar maka daya
penguapannya juga besar. Sistem pernafasan nyamuk menggunakan pipa udara
(trachea) dengan lubang-lubang pada dinding tubuh nyamuk (spiracle). Adanya
spiracle yang terbuka lebar tanpa ada mekanisme pengaturannya. Pada saat
kelembaban rendah menyebabkan penguapan air dalam tubuh sehingga
menyebabkan keringnya cairan tubuh. Salah satu musuh nyamuk adalah
penguapan, kelembaban mempengaruhi umur nyamuk, jarak terbang, kecepatan
berkembang biak, kebiasaan menggigit, istirahat dan lain-lain.
Pencahayaan ialah jumlah intensitas cahaya menuju ke permukaan per unit
luas. Merupakan pengukuran keamatan cahaya tuju yang diserap. Begitu juga
dengan kepancaran berkilau yaitu intensitas cahaya per unit luas yang dipancarkan
dari pada suatu permukaan. Dalam unit terbitan SI, kedua-duanya diukur dengan
menggunakan unit lux (lx) atau lumen per meter persegi (cd.sr.m-2 ). Bila
dikaitkan antara intensitas cahaya terhadap suhu dan kelembaban, hal ini sangat
berpengaruh. Semakin tinggi atau besar intensitas cahaya yang dipancarkan ke
permukaan maka keadaan suhu lingkungan juga akan semakin tinggi. Begitu juga
dengan kelembaban, semakin tinggi atau besar intensitas cahaya yang dipancarkan
ke suatu permukaan maka kelembaban di suatu lingkungan tersebut akan menjadi
lebih rendah.
Spesies dengan jumlah individu terendah ketiga adalah Lumbricus
rubellus. Ciri-ciri fisik cacing tanah antara lain di tubuhnya terdapat segmen luar
dan dalam, berambut, tidak mempunyai kerangka luar, tubuhnya dilindungi oleh
kutikula (kulit bagian luar), tidak memiliki alat gerak seperti kebanyakan
binatang, dan tidak memiliki mata. Untuk dapat bergerak, cacing tanah harus
menggunakan otot-otot tubuhnya yang panjang dan tebal yang melingkari
tubuhnya.
Adanya lendir pada tubuhnya yang dihasilkan oleh kelenjar epidermis
dapat mempermudah pergerakannya di tempat-tempat yang padat dan kasar.
Lendir itupun dapat memperlicin tubuhnya dalam membuat lubang di tanah
sehingga cacing dapat dengan mudah keluar masuk lubang. Selain fungsi tersebut,
lendir pun dapat digunakan untuk mempertahankan diri. Oleh karena tubuhnya
licin, cacing tanah sangat sukar ditangkap musuh-musuhnya
Klasifikasi Cacing Lumbricus rubellus adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Phylum : Annelida

Kelas : Oligochaeta

Ordo : Haplotaxida

Famili : Lumbricidae

Genus : Lumbricus

Spesies : Lumbricus rubellus

Makanan cacing tanah terdiri atas sisa-sisa hewan dan tanaman. Cacing-
cacing tanah itu mencari makanannya di luar liang pada saat malam hari. Habitat
alaminya, cacing tanah hidup dan berkembangbiak di dalam tanah yang lembab
dengan suhu sekitar 15-25°C. Cacing tanah merupakan hewan nokturnal yakni
aktivitas hidupnya lebih banyak pada malam hari sedangkan pada siang harinya
istirahat.
Cacing tanah juga hewan fototaksis negatif artinya cacing tanah selalu
menghindar setiap ada cahaya, dan segera menutup lubang sarang. Tindakan ini
bertujuan untuk menghalangi masuknya udara dingin dan air ke dalam lubang,
dan sekaligus menyamarkan keberadaannya di dalam tanah dari pemangsa.
Cacing tanah senang tinggal di tanah lembab, namun cacing tanah tidak suka
tinggal di tempat yang terlalu banyak air karena ketersediaan oksigen di dalamnya
sangat sedikit (anaerob).
Karena itulah, di saat curah hujan sedang tinggi, cacing tanah akan banyak
berada di lapisan tanah paling atas. Cacing tanah pada keadaan yang sangat dingin
atau sangat kering mereka akan masuk ke dalam liang, seringkali sampai sedalam
8 kaki, dan dalam keadaan ini beberapa cacing seringkali terdapat melingkar
bersama – sama, dengan di atasnya terdapat lapisan tanah yang bercampur dengan
lendir
Spesies dengan jumlah individu terendah keempat adalah Dermestes sp.
Spesies ini berasal dari famili Dermestidae. Dermestes sp merupakan salah satu
jenis hama. Kumbang ini berwarna kelabu coklat sampai kehitaman. Pada seluruh
tubuhnya terdapat duri-duri. Dermestes sp memiliki antena yang semakin besar
pada ujungnya.

Spesies dengan jumlah individu terendah kelima adalah Melanoplus


differentialis. Tubuh belalang terdiri dari 3 bagian utama, yaitu kepala, dada
(thorax) dan perut (abdomen). Belalang juga memiliki 6 enam kaki bersendi, 2
pasang sayap, dan 2 antena. Kaki belakang yang panjang digunakan untuk
melompat sedangkan kaki depan yang pendek digunakan untuk berjalan.

Meskipun tidak memiliki telinga, belalang dapat mendengar. Alat


pendengar pada belalang disebut dengan tympanum dan terletak pada abdomen
dekat sayap. Tympanum berbentuk menyerupai disk bulat besar yang terdiri dari
beberapa prosesor dan saraf yang digunakan untuk memantau getaran di udara,
secara fungsional mirip dengan gendang telinga manusia. Belalang bernafas
dengan trakea.

Belalang punya 5 mata (2 compound eye, dan 3 ocelli). Belalang termasuk


dalam kelompok hewan berkerangka luar (exoskeleton). Contoh lain hewan
dengan exoskeleton adalah kepiting dan lobster.
Berikut klasifikasi Melanoplus differentialis :
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Insecta
Order : Orthoptera
Suborder : Caelifera
Species : Melanoplus differentialis
Spesies dengan jumlah individu terendah keenam adalah Scaptomyza
flava. Berikut adalah klasifikasi Scaptomyza flava :

Divisi : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Diptera
Famili : Drosophilidae
Spesies : Scaptomyza flava

Lalat petualang dari Eropa ini pertama kali ditemukan di Selandia Baru di
sebuah peternakan dekat Levin pada Maret 1964. Dalam tiga musim
pertumbuhan, ia ditemukan di seluruh Pulau Utara dan di Pulau Selatan dan
Kepulauan Chatham. Hewan Ini adalah hama tanaman tanaman Brassica dan
beberapa tanaman hias. Ini juga membentuk ranjau daun di beberapa spesies
brassica asli.
Lalat berkembang biak sepanjang tahun dan sering paling banyak pada
akhir musim semi dan awal musim panas. Kehadiran daun muda tampaknya
penting untuk pembentukan populasi di pabrik. Lalat dewasa dan larva,
Scaptomyza flava (Diptera: Drosophilidae), Lalat dewasa coklat kuning memiliki
ukuran yang sama dengan lalat cuka, spesies Drosophila . (Drosophilidae).
Seperti spesies Drosophila mereka memiliki bulu di antena. Mereka adalah satu-
satunya drosophilid di Selandia Baru yang memiliki 4 baris seta acrostichal pada
mesonotum (segmen terlihat seperti kepala). Setae akrostis kecil ditemukan di
dekat garis tengah mesonotum dekat garis coklat gelap pusat.
Spesies Scaptomyza lainnya di Selandia Baru hanya memiliki 2 baris seta
akrostichal. Larva memiliki mandibula dengan empat gigi yang kuat dan kerangka
pendukung yang kompak, sedangkan larva spesies Liriomyza (Agromyzidae) yang
juga membentuk ranjau daun di beberapa spesies tanaman yang sama memiliki
mandibula yang sangat berbeda dan kerangka pendukung yang memiliki dua
lapisan tipis. Cabang berbentuk Y. Tambang daun yang dibentuk oleh larva
berbentuk panjang dan sempit. Kemudian meluas membentuk sebuah bercak yang
mungkin kompak dan ditempati oleh beberapa larva.
Hama lalat pengorok daun (Diptera: Agromyzidae) dikenal sebagai hama
pada berbagai tanaman sehingga dikenal sebagai serangga polifag. Beberapa
contoh inang serangga ini adalah seledri, kacang merah, kubis, cabai, gambas,
selada, kapri, brokoli, bawang daun, turnip, bayam liar, kedelai, kacang panjang,
tomat, mentimun, kacang tanah, kacang tunggak, kecipir, labu merah, blonceng,
komak, buncis, orok-orok, Synedrella nodiflora, kemangi, bayam, cabai, dan
ceplukan. Berdasarkan penelitian di kebun raya Purwodadi kita hanya
menemukan 1 Spesies Scaptomyza flava pada satu transek, hal tersebut
disebabkan karena Inang dari serangga ini sangat sedikit ditemukan di lokasi
tersebut.
Gejala awal serangan Scaptomyza flava adalah adanya bintik putih pada
tanaman yang merupakan lubang bekas tusukan ovipositor betina. Larva akan
membuat korokan pada daun yang bisa mencapai kerusakan hingga 100%
serangan yang sedemikian rupa akan menyebabkan tanaman mengering dan
akhirnya mati. Serangan dapat ditemukan pada tanaman kedelai bisa ditemui di
semua bagian tajuk tanaman kedelai, walaupun sebagian besar ditemukan di tajuk
bagian bawah (Suin, 2006). Lalat betina meletakan telurnya pada daun muda.
Telur yang diletakkan berwarna putih bening, berbentuk lonjong dan licin. Fase
telur biasanya berlangsung 2-4 hari.
Larva melalui tiga instar dan masa perkembangannya antara 6-12 hari
tergantung pada iklim di sekitarnya dengan suhu optimum 25-30⁰C dan spesies
lalat pengorok. Pupa biasa dibentuk di dalam tanah, tetapi pada tanaman bawang
merah, pupa dapat ditemukan menempel pada permukaan bagian dalam dari
rongga daun. Stadium pupa berlangsung antara 11-12 hari. Imago betina dapat
menghasilkan 50-300 butir telur. Beberapa parasitoid lalat pengorok asli
Indonesia yang diketahui adalah Asecodes sp., Chrysocharis sp.,
Cirrospilusambiguus , Closterocerus sp., Hemiptarsenusvaricornis (Girault),
Neochrysocharis formosa (Westwood), Neochrysocharis sp., Pnigalio sp.,
Quadrastichus sp., Zagrammosoma sp.,dan Gronotoma sp. (Suin, 2006)

Pada percobaan ini menghitung besarnya nilai -(Pi ln Pi). Untuk mencari
nilai H’ tinggal menjumlahkan seluruh nilai -(Pi ln Pi). Sedangkan untuk
menghitung nilai E dengan cara H’ dibagi dengan ln (jumlah spesies). Selain itu,
juga menghitung nilai R dengan cara jumlah spesies dikurangi satu lalu dibagi
dengan total individu.

H’ atau indeks keanekaragaman dapat digunakan untuk menyatakan


hubungan kelimpahan spesies dalam komunitas. Menurut Suin (1999) , kekayaan
dan kesamaanya dalam suatu nilai tunggal digambarkan dengan indeks
keanekaragaman. Pada percobaan ini diperoleh indeks keanekaragaman sebesar
1,8399. Indeks keanekaragaman jenis (H’) menggambarkan tingkat kestabilan
suatu komunitas tegakan.

Semakin tinggi nilai H’ maka komunitas hewan tanah tersebut juga


semakin tinggi tingkat kesabilannya. Suatu komunitas yang memiliki nilai H’ < 1
dikatakan komunitas kurang stabil. Apabila nilai H’ > 2 dikatakan komunitas
stabil. Pada percobaan ini, besar nilai indeks keragaman diatas 1, sehingga dapat
dikatakan bahwa komunitas hewan tanah di Kebun Raya Purwodadi stabil.

Menurut Rososoedarmo (1990), keanekaragaman kecil terdapat pada


daerah dengan lingkungan yang ekstrem, misalnya daerah kering, tanah miskin,
dan pegunungan tinggi. Sementara itu, keanekaragaman yang tinggi terdapat di
daerah dengan lingkungan optimum. Komunitas yang mempunyai
keanekaragaman yang tinggi, menunjukkan bahwa keanekaragaman nya stabil.
Ada enam faktor yang menentukan perubahan keanekaragaman jenis organisme
dalam satu ekosistem yaitu waktu, heterogenitas ruang, persaingan, pemangsaan,
stabilitas lingkungan, dan produktivitas.

Selama kurun waktu geologis akan terjadi perubahan keadaan lingkungan


yang mengakibatkan banyak individu yang tidak dapat mempertahankan
kehidupannya, namun ada juga kelompok-kelompok individu yang mampu
bertahan hidup terus dalam waktu yang relatif lama sebagai hasil evolusi.

Pada percobaan ini juga menghitung besarnya nilai indeks kemerataan (E).
Indeks kemerataan (E) menggambarkan ukuran jumlah individu antar spesies
dalam suatu komunitas. Semakin merata penyebaran individu antar spesies, maka
keseimbangan ekosistem akan semakin meningkat. Menurut Suwondo (1971),
nilai indeks kemerataan yang berkisar antara 0-1, dapat digolongkan sebgai
berikut :

 0 < E ≤ 0,4 = Kemerataan kecil, komunitas tertekan


 0,4 < E ≤ 0,6 = Kemerataan sedang, komunitas labil
 0,6 < E ≤ 1,0 = Kemerataan tinggi, komunitas stabil
Pada percobaan ini nilai indeks kemerataannya sebesar 0,5647. Nilai
tersebut tergolong pada 0,4 < E ≤ 0,6 , maka nilai kemerataannya sedang dan
komunitasnya labil.
Menurut Rososoedarmo (1990), suatu jenis yang memiliki tingkat
kestabilan yang tinggi mempunyai peluang yang lebih besar untuk
mempertahankan kelestarian jenisnya. Semakin tinggi nilai indeks kemerataannya
(E), maka keanekaragamannya stabil. Dan begitu pula sebaliknya, semakin rendah
nilai indeks kemerataanya, maka kestabilan keanekaragaman jenis dalam
komunitas tersebut semakin rendah.
Selain menghitung indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan, pada
percobaan ini juga menghitung indeks kekayaan jenis (R). Kekayaan jenis
menunjukkan jumlah spesies yang ada. Semakin banyak jenis spesies yang ada di
suatu daerah, semakin tinggi tingkat kekayaanya. Menurut (Suin, 2006),
rentangan nilai yang menggambarkan nilai indeks kekayaan (R) adalah sebagai
berikut :
 R < 3,5 = Kekayaan jenis rendah
 R 3,5 – 5 = Kekayaa jenis sedang
 R > 3,5 = Kekayaan jenis tinggi
Pada percobaan ini didapat indeks kekayaan sebesar 0,04744 dimana nilai
tersebut dibawah 3,5 sehingga dapat dikatakan bahwa nilai kekayaan jenis di
Kebun Raya Purwodadi tergolong rendah. Nilai indeks keanekaragaman, indeks
kekayaan dan indeks kemerataan juga dipengaruhi oleh faktor abiotik. Menurut
Suin (1999) , faktor lingkungn abiotik secara besarnya dapat dibagi atas faktor
fisika dan faktor kimia. Faktor fisika antara lain ialah suhu, kadar air, porositas
dan tekstur tanah.
Faktor kimia antara lain adalah salinitas, PH , kadar organik tanah dan
unsur-unsur mineral tanah. Faktor lingkungan abiotik sangat menentukan struktur
komunitas hewan-hewan yang terdapat dalam suatu habitat. Selain itu, faktor
abiotik juga mempengaruhi. Faktor lingkungan biotik bagi hewan tanah adalah
organisme lain yang juga terdapat di habitatnya seperti mikrofauna, makrofauna,
tumbuh-tumbuhan dan golongan hewan lainnya. Pada komunitas itu, jenis-jenis
organisme saling berinteraksi satu sama lain. Interaksi itu dapat berupa predasi,
parasitisme, kompetisi dan penyakit.
Pada percobaan ini, data abiotik yang diukur antara lain suhu tanah sebesar
26,09°C, kadar PH 7,06, kelembaban tanah 55% dan suhu udara sebesar 27,18,
intensitas cahaya 1,33 lux, dan kesuburan too little. Menurut Suin (2006) , suhu
tanah merupakan salah satu faktor fisika tanah yang sangat menentukan kehadiran
dan kepadatan organisme tanah, dengan demikian suhu tanah akan menentukan
tingkat dekomposit material organik tanah. Fluktuasi suhu tanah lebih rendah dari
suhu-suhu udara dan suhu udara menentukan besarnya suhu tanah.
Suhu tanah lapisan atas mengalami fluktuasi dalam satu hari satu malam
dan tergantung musim. Fluktuasi itu juga tergantung pada keadaan cuaca,
topogreafi daerah dan keadaan tanah. Menurut Odum (1993) , temperatur sangat
mempengaruhi aktivitas mikrobial tanah. Aktivitas ini sangat terbatas pada
temperatur dibawah 10°C. Laju optimum aktivitas biota tanah yang
menguntungkan terjadi ada suhu 18-30°C.
Nitrifikasi berlangsung secara optimum pada temperatur sekitar 30°C.
Pada percobaan ini baik suhu tanah maupun suhu udara belum menjadi suhu yang
optimum untuk aktivitas mikrobial tanah, karena suhu udara dan tanah berkisar
antara 26,09 sampai 27,18°C.
Pengukuan PH tanah juga sangat diperlukan dalam melakukan penelitian
mengenai makrofauna tanah. Keadaan iklim daerah dan berbagai tanaman yang
tumbuh pada tanahnya serta berlimpahnya mikroorganisme yang mendiami suatu
daerah sangat mempengaruhi kanekaragaman relatif populasi mikroorganisme.
Menurut Rososoedarmo (1990), PH tanah menentukan mudah tianya
usnur-unsur hara diserap oleh akar tanaman. Pada PH 7 (netral) akar muah
menyerap unsur hara, karena pada PH tersebut kebanyakan unsur hara mudh larut
dalam air. Pada percobaan ini besarnya PH yaitu 7,06 sehingga bisa dikatakan
bahwa di Kebun Raya Purwodadi tanamannya mudah menyerap unsur hara yang
berada di dalam tanah.
Menurut Odum (1993) sebagian besar fauna tanah menyukai PH berkisar
antara 6-7, karena ketersediaan unsur hara yang cukup tinggi. Kondisi PH tanah
yang terlalu asam dan basa dapata mengganggu kehidupan fauna tanah, tetapi
Suin (2006) menjelaskan bahwa terdapat fauna tanah yang dapat hidup dalam
kondisi PH asam dan dapat juga dijumpai dalam kondisi PH basa.
Suin (2006) menjelaskan bahan organik tanah sangat menentukan
kepadatan populasi organisme tanah salah satunya adalah fauna tanah dimana
semakin tinggi bahan organik pada tanah maka akan semakin beranekaragam
fauna tanah yang terdapat dalam ekosistem.
Faktor abiotik lain yang mempengaruhi adalah kelembaban tanah pada
percobaan ini kelembaban tanah sebesar 55%. Nilai kelembaban tersebut
tergolong tinggi. Hal ini disebabkan karena curah hujan di daerah Kebun Raya
Purwodadi termasuk tinggi. Kelembaban tanah dapat berpengaruh terhadap
pertumbuhan tanaman, baik berupa pertumbuhan daun, tinggi dan lebar tanaman.
Adapun kelembaban tanah dipengaruhi oeh besarnya kandungan air dalam
tanah. Kelembaban tanah merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk
mengindikasikan tingkat kekeringan tanah. Menurut Odum (1993), peningkatan
kandungan air tanah yang terlalu tinggi pada umumnya juga akan mengganggu
kehidupan makrofauna di dalam tanah. Pningkatan kandungan air dalam tanah
dapat mengurangi kandungan udara dalam tanah. Dengan demikian berbagai jenis
makrofauna tanah yang mengambil oksigen langsung dari udara tida dapat
beradaptasi pada kandungan air yang tinggi.
Jadi pada percobaan ini, nilai indeks keragaman (H’) diatas 1, sehingga
dapat dikatakan bahwa komunitas hewan tanah di Kebun Raya Purwodadi stabil.
Nilai indeks kemerataannya (E) sebesar 0,5647. Nilai tersebut tergolong pada 0,4
< E ≤ 0,6 , maka nilai kemerataannya sedang dan komunitasnya labil. Indeks
kekayaan (R) sebesar 0,04744 dimana nilai tersebut dibawah 3,5 sehingga dapat
dikatakan bahwa nilai kekayaan jenis di Kebun Raya Purwodadi tergolong
rendah.
Daftar Pustaka

Suwondo, S.D. Tanjung, dan Harminani. 1971. Komposisi dan keanekaragaman


mikroartropoda tanah sebagai bioindikator deposisi asa, di sekitarKawah Sikidang
Dataran Tinggi Dieng. Jawa Tengah: BPPS-UGM 9 (1c): 175-186

Suin, N.M. 2006. Ekologi Hewan Tanah. Jakarta: Bumi Aksara

Suin, Nurdin Muhammad. 1999. Metode Ekologi.Dirjen Dikti. Depdikbud. Jakarta

Rososoedarmo dan soedjiran., 1990 : Pengantar Ekologi, Remaja karya,


Bandung,Cetakan kedua, halaman 23.

Odum. EP., 1993 : Dasar - dasar Ekolo gi, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, Cetakan kedua, halaman 22.

Anda mungkin juga menyukai