Anda di halaman 1dari 22

Fakultas Hukum, Faculty of Law

Seminar Universitas
Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang 110
Seminar Nasional Hukum Negeri Semarang
Volume 4 Nomor 1 Tahun 2018, 110-131

Akuntabilitas Pengelolaan Dana Desa sebagai


Upaya Pencegahan Korupsi Pengelolaan Dana
Desa

Ellectrananda Anugerah Ash-shidiqq, Hindrawan Wibisono*


Magister Ilmu Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta

Penggunaan Dana Desa belum digunakan secara optimal untuk


pembangunan desa. Beberapa kasus penyelewengan dana desa
terjadi karena kurangnya akuntablitas penggunaan dana desa serta
minimnya pengawasan dari pihak-pihak terkait. Belum
kompetennya penggunaan dana desa juga menjadi sebab terjaidnya
kasus penyalahgunaan dan korupsi dana desa.mPenelitian ini
berfokus mengenai aspek akuntablitas serta pengawasan dana desa
dengan menggunakan studi pustaka. Hasil penelitian ini
menghasilkan model ideal akuntabilitas penggunaan dana desa
mulai dari pengawasan hingga penggunaan sehingga diharapkan
desa agar lebih maksimal dalam menggunakan dana desa untuk
pembangunan.

Kata kunci: Akuntabilitas, Pengawasan, Pembangunan, Dana Desa

Pendahuluan
Undang Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa yang selanjutnya
disingkat UU Desa, memberikan kedudukan penting bagi desa untuk dapat
menjalankan perannya dalam pembangunan nasional. Peran penting desa
adalah adanya kewenangan lokal yang dimiliki oleh desa dalam mengatur
rumah tangganya. Peran strategis ini yang kemudian diterjemahkan dalam
wujud implementasi pembangunan desa mulai dari proses perencanaan,
pelaksanaan dan pertanggungjawaban kegiatan. Undang-undang ini
memberikan suatu perubahan yang sangat signifikan dibandingkan dengan
undang-undang sebelumnya, dimana desa hanya sebagai “suatu sub sistem”
pemerintahan tanpa kewenangan pengelolaan keuangan secara mandiri.
Pemberian kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab
dalam peratuan perundangan tersebut, adalah pencerminan proses

*Surel: ellectra_aa@yahoo.co.id

ISSN (Cetak) 2614-3216 ISSN (Online) 2614-3569


© 2018 Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
http://fh.unnes.ac.id
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
111 Ellectrananda Anugerah Ash-shidiqq, Hindrawan Wibisono

demokratisasi dalam pelaksanaan otonomi desa untuk membantu


pernerintah pusat dalam menyelenggarakan pemerintahan di desa dengan
titik berat kepada pemerintah kabupaten/kota. Pelaksanaan otonomi yang
luas dan nyata tersebut bukan merupakan kelanjutan. Keadaan yang faktual
empiris, merupakan kesinambungan dari pelaksanaan otonomi desa
berdasarkan UU nomor 5 tahun 1974 dan bahkan peraturan sebelumnya.
Tujuan kebijakan desentralisasi yang tersirat dalam undang-undang tersebut
adalah: mewujudkan keadilan antara kemampuan dan hak desa; peningkatan
pendapatan asli desa dan pengurangan subsidi dari pusat; mendorong
pembangunan desa sesuai dengan aspirasi masing-masing desa.
Dana Desa sebagai salah satu amanat Undang-Undang No 6 Tahun
2014 tentang Desa yang harus dilakukan oleh pemerintah tak hanya
menimbulkan kegembiraan bagi desa yang selama ini terbatas dalam
pengelolaan sumber-sumber pendapatan dana desa untuk kemajuan dana.
Pengalokasian dana Desa yang pertama kali dimulai pada tahun 2015
melalui APBN tahun anggaran 2015 dengan anggaran Rp. 20,766,2 Triliun
sehingga rata-rata per-desa memperoleh Rp. 280,3 juta untuk 74.754 desa
se-Indonesia. 1.
Penggunaan dana Desa menimbulkan permasalahan klasik dalam
sistem penggunaan dana desa yakni peruntukkannya tidak memberikan hasil
yang sesuai untuk pembangunan desa. . Seperti hasil penelitian PATTIRO
sekitar 6 % dana Desa dipergunakan tidak sesuai peruntukkannya selama
tahun 2015 jumlah tersebut masih akan terus bertambah seiring
pertambahan alokasi dana desa setiap tahunnya2.
Komisi Pemberantasan Korupsi telah melakukan inventarisir
setidaknya 14 potensi permasalahan yang mencakup aspek regulasi dan
kelembahaan, tatalaksana, pengawasan dan aspek sumber daya manusia.
Lembaga Swadaya Masyarakat ICW dalam laporan tahunannya menuliskan
teridentifikasi tujuh bentuk korupsi yang umumnya dilakukan pemerintah
desa, yaitu penggelapan, penyalahgunaan anggaran, penyalahgunaan
wewenang, pungutan liar, mark up, laporan fiktif, pemotongan anggaran dan
suap.
Tujuh bentuk korupsi tersebut menunjukkan terdapat lima titik
rawan korupsi dalam proses pengelolaan dana desa. Lima titik rawan
tersebut adalah pada:

1
http://bisnis.liputan6.com/read, pada tanggal 30/09/2018
2
http://www.liputan6.com, pada tgl. 10/03/2016

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang 112

1. proses perencanaan;
2. proses pertanggungjawaban;
3. proses monitoring dan evaluasi;
4. proses pelaksanaan; dan
5. proses pengadaan baranng dan jasa dalam hal penyaluran dan
pengelolaan dana desa.3

Sedangkan modus korupsi dana yang berhasil terpantau antara lain


1. Membuat Rancangan Anggaran Biaya di atas harga pasar.
2. Mempertanggungjawabkan pembiayaaan bangunan fisik dengan dana
desa padahal proyek tersebut bersumber dari sumber lain.
3. Meminjam sementara dana desa untuk kepentingan pribadi namun tidak
dikembalikan.
4. Pungutan atau Pemotongan dana desa oleh oknum pejabat kecamatan
atau kabupaten.
5. Membuat perjalanan dinas fiktif kepala desa atau jajarannya.
6. Pengelembungan (Mark Up) pembayaran honorarium perangkat desa.
7. Pengelembungan (Mark Up) pembayaran Alat tulis kantor.
8. Memungut pajak atau retribusi desa namun hasil pungutan tidak
disetorkan ke kas desa atau kantor pajak.
9. Pembelian inventaris kantor dengan dana desa namun diperuntukkan
secara pribadi.
10. Pemangkasan anggaran publik kemudian dialokasikan untuk
kepentingan perangkat desa.
11. Melakukan permainan (Kongkalingkong) dalam proyek yang didanai
dana desa.
12. Membuat kegiatan atau proyek fiktif yang dananya dibebankan dari
dana desa.

Besarnya dana yang harus dikelola oleh pemerintah desa


memilikirisiko yang cukup tinggi dalam pengelolaannya, khususnya bagi
aparaturpemerintah desa. Fenomena pejabat daerah yang tersangkut kasus
hukum jangansampai terulang kembali dalam skala pemerintahan
desa.Aparatur pemerintahdesa dan masyarakat desa yang direpresentasikan
oleh BPD harus memilikipemahaman atas peraturan perundang-undangan
dan ketentuan lainnya, sertamemiliki kemampuan untuk melaksanakan

3
www.antikorupsi.org akses tgl 6/4/2018

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
113 Ellectrananda Anugerah Ash-shidiqq, Hindrawan Wibisono

pencatatan, pelaporan danpertanggungjawaban.Oleh karena itu,


sebagaimana diamanatkan dalam UU Desa, pemerintah,pemerintah provinsi,
dan pemerintah kabupaten/kota turut membantumemberdayakan masyarakat
desa dengan pendampingan dalam perencanaan,pelaksanaan, dan
pemantauan pembangunan desa.4
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis ingin melakukan
penelitian dengan judul Akuntabilitas Pengelolaan Dana Desa sebagai
Upaya Pencegahan Korupsi Pengelolaan Dana Desa. Maka dalam tulisan
ini, masalah yang dikaji adalah: (1) Bagaimana alur pengelolaan dana desa?
dan (2) Bagaimana model ideal akuntabilitas pengelolaan dana desa sebagai
upaya pencegahan korupsi pengelolaan dana desa?

Metode Penelitian
Peter Mahmud Marzuki mengatakan , penelitian hukum adalah suatu
kegiatan know-how dalam ilmu hukum, bukan sekedar know-about. Sebagai
kegiatan know-how, penelitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu
hukum yang dihadapi.5
Jenis penelitian adalah penelitian hukum. Hal ini berdasarkan
pendapat Peter Mahmud Marzuki bahwa tidak perlu istilah penelitian
hukum normatif, karena legal research atau bahasa Belanda rechtsonderzoek
selalu normatif. Sama halnya dengan istilah yuridis normatif yang
sebenarnya tidak dikenal dalam penelitian hukum. Dengan pernyataan
demikian sudah jelas bahwa penelitian tersebut bersifat normatif. Hanya saja
pendekatan dan bahan hukum yang digunakan harus dikemukakan6
Sifat penelitian ini adalah preskriptif. Dalam penelitian hukum tidak
diperlukan adanya hipotesis, di dalam penelitian hukum juga tidak dikenal
data 7 Hal ini sesuai dengan sifat ilmu hukum yang bersifat preskriptif.
Obyek ilmu hukum adalah koherensi antara norma hukum dan prinsip
hukum, antara aturan hukum dan norma hukum, serta kohernsi antara
tingkah laku (act)-bukan perilaku (behavior) individu dengan norma hukum.

4
Muhammad Syukri. Peran Kecamatan dalam Pelaksanaan UU Desa.Jurnal Smeru
Catatan Kebijakan. Tanpa Volume. 1 Desember 2015.
5
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Penerbit Prenadamedia Group, Jakarta,
2014, hlm. 60.
6
Ibid., hlm. 55-56.
7
Ibid hlm, 59-60.

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang 114

Dapat dikatakan bahwa titik anjak dalam mempelajari hukum adalah


memahami kondisi intrinsik aturan-aturan hukum.8
Dalam penelitian hukum dikenal beberapa pendekatan. Dengan
pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai
aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Adapun
pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum
diantaranya adalah pendekatan undang-undang (statute approach),
pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical
approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan
konseptual (conceptual approach).9
Penelitian hukun ini telah dapat dinyatakan dapat dikonfirmasi
karena telah melakukan pendekatan yang sesuai dan pendekatan yang
digunakan dalam penelitian hukum ini adalah undang-undang (statute
approach), pendekatan historis (historical approach), dan pendekatan
konseptual (conceptual approach).
Penelitian ini adalah penelitian hukum. Bahan hukum yang
digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder, berikut adalah penjelasannya:
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri
dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam
pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim10. Adapun
yang menjadi bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah:
a. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Hasil
Amandemen
b. Undang-Undang No 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional;
c. Undang-Undang No 6 Tahun 2014 Tentang Desa;
d. Undang-Undang No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah;
e. Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2008 Tentang Kecamatan;
f. Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 2014 Tentang Desa;
g. Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 2015 Tentang Perubahan Peraturan
Pemerintah No 43 Tahun 2014 Tentang Desa;

8
Ibid. hlm 41-42.
9
Ibid., hlm. 133.
10
Ibid. hlm. 181

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
115 Ellectrananda Anugerah Ash-shidiqq, Hindrawan Wibisono

h. Peraturan Menteri Dalam Negeri No 111 Tentang Pedoman Teknis


Peraturan Di Desa;
i. Peraturan Menteri Dalam Negeri No 112 Tentang Pemilihan Kepala
Desa;
j. Peraturan Menteri Dalam Negeri No 113 Tentang Pengelolaan
Keuangan Desa;
k. Peraturan Menteri Dalam Negeri No 114 Tentang Pedoman
Pembangunan Desa;
l. Peraturan Daerah Kabupaten Pacitan No 5 Tahun 2008 Tentang
Pembentukan Dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa;

2. Bahan Hukum Sekunder


Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, yang meliputi buku-buku teks,
dan jurnal-jurnal hukum yang relevan dengan penelitian.11
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian
ini adalah studi pustaka. Studi pustaka merupakan teknik untuk
mengumpulkan bahan hukum dengan cara menelaah peraturan perundang-
undangan, buku-buku hukum, makalah-makalah hukum, jurnal-jurnal
hukum, majalah, dan koran.12 Studi pustaka ini berguna untuk mendapatkan
landasan teori dengan mengkaji bahan hukum yang digunakan yaitu baik
bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang berkaitan erat
dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini yaitu mengenai model
pembinaan dan pengawasan camat dalam pengelolaan dana desa.

Akuntabilitas dan Transparansi Desa

Desa menurut Prof. Drs. HAW. Widjaja dalam bukunya yang berjudul
“Otonomi Desa” menyatakan bahwa: “Desa adalah sebagai kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal usul
yang bersifat istimewa. Landasan pemikiran dalam mengenai pemerintahan
desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan
pemberdayaan masyarakat”. 13
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014
menjelaskan desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama
lain,selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang

11
12
Ibid
Ibid.
13
Widjaja,HAW, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada. 2005.hlm.154

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang 116

memiliki bataswilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus


urusan pemerintah,kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan
dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Akuntabilitas merupakan istilah yang melekat dalam kajian tata
pemerintahan (Governance). Akuntabilitas memiliki beberapa makna yang
terminologinya sering dikaitkan dengan beberapa konsep seperti
answerability, responsibility, liability dan terminologi lain yang berkaitan
dengan harapan pemberi mandat dengan pelaksana mandat.
Dalam konteks politik, secara singkat accountability mencakup
harapan atau asumsi prilaku hubungan antara pemberi mandat dan penerima
mandat, sedangkan dalam konsep yang lebih luas accountability
memungkinkan adanya negative feedback setelah keputusan atau tindakan
diambil, sehingga accountability memiliki fungsi yang amat penting untuk
mencegah terjadinya penyalahgunaan fasilitas, sarana, dan anggaran publik
oleh suatu institusi14 Akuntabilitas tidak hanya dimaknai dari konteks
politik. Dalam konteks kebijakan pun dapat dilihat bagaimana mandat itu
dilaksanakan untuk memenuhi aspirasi politik masyarakat. Segala hal yang
meliputi cara pilihan kebijakan ditetapkan, cara kebijakan dilaksanakan dan
didelegasikan, bagaimana kewenangan diberikan, dan bagaimana program
dilaksanakan adalah sepenuhnya berdasarkan pada konteks-tualitas politik.
Jika pemahamannya seperti itu maka konsep ini tidak lain merupakan
konsekuensi politik dari akuntabilitas.
Sejalan dengan pemahaman diatas berarti akuntabilitas
menggambarkan adanya proses dan hubungan antara pemilik kedaulatan
yaitu rakyat dengan aktor-aktor lain seperti anggota legislatif, pejabat
pemerintah hingga pelaksana kebijakan pada level yang paling rendah. Pada
hubungan ini tercipta public accountability (pertanggungjawaban publik)
dari suatu institusi publik atas tindakannya yang mencerminkan kehendak
dan keinginan rakyat yang disuarakan melalui lembaga perwakilan15.
Selanjutnya Bickers & Williams mengutarakan “ pada negara dan
pemerintahan demokrasi, rakyat sebagai pemegang kedaulatan perlu
mendapat jaminan mekanisme bahwa pembuat maupun pelaksana kebijakan

14
Setiyono, Budi, 2014, Pemerintahan dan Manajemen Sektor Publik, Yogyakarta:
CAPS hlm 181
15
Ibidi hlm 182

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
117 Ellectrananda Anugerah Ash-shidiqq, Hindrawan Wibisono

tidak menyalahgunakan kewenangannya untuk kepentingan mereka sendiri,


yang pada hakekatnya justru merugikan rakyat “. 16
Pada pemerintahan demokratis proses serah terima mandat terjadi
pada para aktor, seperti rakyat dengan wakil rakyat atau pada lingkup yang
lebih besar antara pemilik kewenangan (yang memberikan kewenangan)
kepada aktor lain yaitu penerima kewenangan (birokrasi, pejabat publik).
Dengan demikian peran akuntabilitas semakin memperjelas tugas,
kewajiban dan hak para aktor karena pada dasarnya hakekat akuntabilitas
adalah penentuan kriteria atau kesepakatan yang jelas dari para pihak,
sifatnya, transparan, secara konsisten diimplementasikan, memunculkan
inisiatif, mengidentifikasi tanggungjawab, serta mendorong partisipasi
untuk perbaikan.17
Sesuai perkembangan pemerintahan saat ini, penerapan prinsip
akuntabilitas menjadi syarat penting dan semakin menguat tuntutannya
untuk diterapkan diseluruh tingkatan pemerintahan. Menurut pandangan
yang dikemukakan oleh Koppel; “Akuntabilitas secara tradisional dipahami
sebagai alat yang digunakan untuk mengawasi dan mengarahkan perilaku
administrasi dengan cara memberikan kewajiban untuk dapat memberikan
jawaban (answerability) kepada sejumlah otoritas eksternal. Dalam arti yang
paling fundamental, akuntabilitas pada publik merujuk kepada kemampuan
menjawab seseorang terkait dengan kinerja yang diharapkan “.
Menyimak pendapat Koppel ini, berarti akuntabilitas erat kaitannya
dengan perilaku administrasi yang wajib dilakukan oleh penerima tanggung
jawab dalam menerima pertanggungjawaban dari pihak yang memiliki
kedaulatan yaitu warga negara sebagai owner, atas semua urusan publik
yang telah dimandatkan.18 Demikian pula pendapat Bovens “Adapun
akuntabilitas publik berkaitan dengan urusan publik yang dilaksanakan oleh
para pejabat publik“19.
Dari beberapa pandangan diatas, Akuntabilitas berhubungan dengan
kewajiban institusi pemerintahan maupun para aparatur untuk menjawab

16
Bickert, Kenneth, N. Williams, John, T., 2001, Public Policy Analysis: A Political
Economic Approach, New York: Houghton Mifflin Company.
17
Manar, Dzunuwanus Ghulam, 2015, Mempertegas Akuntabilitas, Bandung; Prosiding
Fisip Unikom hlm 786.
18
Koppel, J. GS. 2005, Pathologies of Accountability : ICANN and The Challenge of
Multiple Accountabilities Disorder, Public Administration Review, Vol.65 No.1.
19
Bovens, Mark, 2003, Public Accountability, presentation paper on EGPA Annual
Conference, Portugal, September 2003

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang 118

(obligation to answer) semua amanah yang diperoleh dari rakyat,


kewenangan dan capaian kinerjanya kepada masyarakat, bukan hanya
sekedar penyampaian laporan (giving an account), dan untuk membuat
kebijakan maupun melakukan aksi yang sesuai dengan nilai yang berlaku
maupun sesuai kebutuhan masyarakat. Oleh karenanya, akuntabilitas publik
adalah mekanisme yang melibatkan rakyat – wakil rakyat – dan pejabat
publik sampai dengan penyedia layanan publik yang berhadapan langsung
dengan rakyat.
Akuntabilitas juga berkorelasi positif dalam penyelenggaran tata
kelola pemerintahan terutama membantu penerima tanggung-jawab dalam
proses pengambilan keputusan yang tepat. Simon Joss mengatakan : “
Processes are also supposed to enhance the legitimacy of decision-making
and its outcomes through increased transparency, openness and
accountability (on the link, at policy level, between accountability and
„good governance)”20. Dalam bahasa Indoensia dapat diakatakan untuk
meningkatkan legitimasi dalam pengambilan keputusan, dapat diperoleh
hasilnya melalui transparansi, keterbukaan dan akuntabilitas. Keadaan ini
pun akan dapat membantu terwujudnya suatu tata kelola pemerintahan yang
baik.
Akuntabilitas sebagai sebuah pilar tata pemerintahan memiliki
beberapa dimensi. Dimensi merupakan variabel yang dapat digunakan untuk
mengukur ketercapaian kinerja organisasi sektor publik menjalankan fungsi,
tugas dan tanggung-jawab. Salah seorang pencetus dimensi akuntabilitas
adalah Koppelyang menyatakan ; “The five dimensions of accountability
offered aretransparency, liability, controllability, responsibility,
21
andresponsiveness“. Maknanya bahwa terdapat lima dimensi
akuntabilitas, yaitu transparansi, kewajiban, pengendalian, tanggung jawab,
dan responsif.
1. Pertama; Dimensi transparansi merujuk pada “ Did the organization
reveal the facts of its performance ?” (apakah suatu organisasi telah
mengungkapkan fakta-fakta kinerjanya kepada stakeholder dan publik)
2. Kedua; dimensi pertanggunganjawab merujuk pada “ Did the
organization face consequences for its performance?” (apakah suatu
organisasi telah menyadari konsekuensi atas tindakan dan aktivitasnya)

20
Simon Joss : 2010, Accountable Governance, Accountable Sustainability? A Case
Study of Accountability in the Governance for Sustainability, Environmental Policy
and Governance No. 20, 408–421.
21
Koppel hlm 96

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
119 Ellectrananda Anugerah Ash-shidiqq, Hindrawan Wibisono

3. Ketiga ; dimensi pengendalian merujuk pada “ Did the organization do


what the principal (e.g., congress, president) desired ? “ (apakah suatu
organisasi telah melakukan secara tepat apa yang diharapkan para pihak
yang berkepentingan)
4. Keempat; dimensi tanggungjawab merujuk pada “ Did the organization
follow the rules?” (apakah suatu organisasi telah mengikuti aturan-
aturan hukum)
5. Kelima; dimensi responsiveness merujuk pada “Did the organization
fulfill the substantive expectation (deman/need) ? “ (apakah organisasi
memenuhi harapan substantif yang disampaikan dalam bentuk
kebutuhan /permintaan)

Sementara itu, korupsi dana desa menjadi perhatian, dimana korupsi


itu sendiri berakar dari bahasa latin yakni, Corruptio-Corrumpere yang
berarti menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok22. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, lema kalimat Korupsi berarti perbuatan busuk,
penyelewemngan, penggelapan untuk kepentingan pribadi 23. Pengertian
korupsi telah diatur secara jelas dalam Pasal 2 dan 3 Undang-Undnag No 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu :
1) Setiap orang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara
2) Setiap orang yang dengan tujuan menguntungan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan,
atau sarana yang ada padanyan karena jabatan, kedudukan yang dapat
merugikan keuangan Negara atau perekonomia Negara
Unsur-unsur korupsi oleh Undang-Undang 31 Tahun 1999 adalah:
dilakukan oleh orang atau badan, adanya perbuatan melawan
hukum,menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau badan dan
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Teori yang paling
sering digunakan dalam mencari akar permasalaha Tindak Pidana Korupsi
adalah teori Gone Theory yang dikemukana oleh Jack Bolognes. Dalam
teori tersebut pada intinya suatu tindak pidana korupsi berkaitan dengan
faktor Greeds dan Needs.
Faktor-faktor greeds dan needs berkaitan dengan pelaku korupsi itu
sendiri. Individu atau kelompok baik dalam organisasi ataupun di luar

22
Pusat Telaah PATTIRO Surakarta
23
Kamus Besar Bahasa Indonesia

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang 120

organisasi yang melakukan tindakan korupsi merugikan pihak korban.


Sedangkan faktor kesempatana dan exposures berkaitan dengan korban
perbuatan korupsi yaitu organisasi, institusi dan masyarakat yang
kepentingannya dirugikan.24
Sarlito W Sarsono dalam Evi Hartati mengungkapkan bahwa faktor
penyebab seseorang melakukan syatu tindak pidana korupsi ada dua yakni
faktor dorongan dari dalam diri sendiri dan faktor pendorong dari luar.
Faktor pendorong dari dalam yakni: (1) Keinginan, (2) Hasrat, dan (3)
Kehendak dan sebagaimana. Faktor penyebab dari luar adalah: (1)
Dorongan dari kawan sejawat, (2) Kesempatan, dan (3) Kurangnya
pengawasan baik dari pimpinan, rekan maupun masyarakat25
Usaha yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka untuk
mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan agar berjalan secara efektif
dan efisien sesuai rencana yang ditetapkan. Dalam Peraturan Pemerintah
No. 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan, pembinaan adalah pemberian
pedoman, standar pelaksanaan, bimbingan, pendidikan dan pelatihan,
konsultasi, supervisi, monitoring, pengawasan umum dan evaluasi
pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan.
Di dalam mengadakan pembinaan di desa, pemerintah kecamatan
khususnya camat dan perangkatnya tidak hanya terbatas pada hasil yang
telah dicapai namun juga agar dapat menumpahkan suatu perkembangan
dan peningkatan masyarakat tersebut untuk itu perlu diadakan penyuluhan-
penyuluhan agar kreatifitas dari masyarakat itu tumbuh, sehingga
masyarakat dapat memperbaiki keadaan dalam kehidupannya yang lebih
baik dari sebelumnya.
Pembinaan merupakan tugas yang mendukung karena tujuannya
adalah meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan agar makin lama makin
baik dari sebelumnya. Pembinaan yang dilakukan mencakup bimbingan,
pelatihan dan bantuan. Dalam pelaksanaannya pemerintah kecamatan selalu
memberikan pengarahan secara umum baik secara perorangan maupun
kelompok dalam memilih cara pemecahan masalah yang dihadapi.
Pembinaan juga diarahkan untuk menciptakan aparat yang lebih efisien,
efektif, bersih dan berwibawa serta mampu melaksanakan tugas umum,
pemerintahan dan pembangunan dengan sebaik-baiknya serta dilandasi
semangat dan sikap pengabdian pada masyarakat, Bangsa dan Negara.

24
Hartanti,Evi S.H. 2005. Tindak Pidana Korupsi.Sinar Grafika.hlm 14
25
www.bpkp.go.id tanggal akses 5/4/2018

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
121 Ellectrananda Anugerah Ash-shidiqq, Hindrawan Wibisono

Dalam pembinaan ini kemampuan aparat pemerintah untuk


merencanakan, melaksanakan, mengawasi dan mengendalikan
pembangunan perlu ditingkatkan. Pembinaan, penyempurnaan dan pendaya
gunaan perangkat pemerintah baik di tingkat pusat maupun ditingkat daerah
perlu dilakukan terus menerus sehingga dapat meningkatkan kemampuan
pengabdian, disiplin dan keteladanan.
Sarwoto mengatakan bahwa:”Pengawasan adalah kegiatan manajer
yang mengusahakan agar pekerjaan-pekerjaan terlaksana sesuai dengan
rencana yang ditetapkan dan atau hasil yang dikehendaki”.26 Dari pendapat
Sarwoto ini secara implisit dapat terlihat tujuan dari pengawasan yaitu
mengusahakan agar pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana. Seluruh
pekerjaan yang dimaksud adalah pekerjaan yang sedang dalam pelaksanaan
dan bukan pekerjaan yang telah selesai dikerjakan. Hal hampir senada
diutarakan oleh Ukas yang menyatakan bahwa: Pengawasan adalah suatu
proses kegiatan yang dilakukan untuk memantau, mengukur dan bila perlu
melakukan perbaikan atas pelaksanaan pekerjaan sehingga apa yang telah
direncanakan dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang diinginkan. 27
Sedikit berbeda diungkapkan oleh Siagian yang menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan pengawasan adalah: “Proses pengamatan daripada
pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar supaya semua
pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah
ditentukan sebelumnya.” 28 Ciri terpenting dari konsep yang dikemukan
oleh Siagian ini adalah bahwa pengawasan hanya dapat diterapkan bagi
pekerjaan yang sedang berjalan dan tidak dapat diterapkan untuk pekerjaan
yang sudah selesai dilaksanakan.
Penulis berkesimpulan tindakan pengawasan dapat dianggap sebagai
aktivitas untuk menemukan dan mengoreksi penyimpangan penting dalam
hasil yang dicapai dari aktivitas yang direncanakan untuk mencapai tujuan
awal. Penulis memiliki pendapat bahwa hakikat pengawasan adalah untuk
mencegah sedini mungkin terjadinya penyimpangan, pemborosan,
penyelewengan, hambatan, kesalahan dan kegagalan dalam pencapaian
tujuan dan sasaran serta pelaksanaan tugas organisasi.
26
Sarwoto.2002.Dasar-Dasar Organisasi dan Manajemen. Ghalia Indonesia.
Jakarta.hlm. 77
27
Ukas, Maman 2004. Manajemen: Konsep, Prinsip dan Aplikasi. Penerbit
Agnini.Bandung. hlm. 37.
28
Siagian, Sondang P. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia. PT Bumi Aksara.
Jakarta hlm. 107.

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang 122

Hal senada dikemukakan oleh Manullang bahwa: “Pengawasan


adalah suatu proses untuk menetapkan pekerjaan apa yang sudah
dilaksanakan, menilainya dan mengoreksi bila perlu dengan maksud supaya
pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana semula”.29 Pada hakekatnya,
pandangan Manullang di atas juga menekankan bahwa pengawasan
merupakan suatu proses dimana pekerjaan itu telah dilaksanakan kemudian
diadakan penilaian apakah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan
ataukah terjadi penyimpangan, dan tidak hanya sampai pada penemuan
penyimpangan tetapi juga bagaimana mengambil langkah perubahan dan
perbaikan sehingga organisasi tetap dalam kondisi yang sehat.
Bertitik tolak dari pengertian para ahli tentang pengawasan sebagai
mana diungkapkan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang
dimaksud dengan pengawasan adalah sebagai suatu proses kegiatan
pimpinan yang sistematis untuk membandingkan (memastikan dan
menjamin) bahwa tujuan dan sasaran serta tugas organisasi yang akan dan
telah terlaksana dengan baik sesuai dengan standard, rencana, kebijakan,
instruksi, dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dan yang berlaku,
serta untuk mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan, guna
pemanfaatan manusia dan sumber daya lain yang paling efektif dan efisien
dalam mencapai tujuan.

Alur Pengelolaan Dana Desa

Dalam UU Desa maupun Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113


Tahun 2014 sebagai petunjuk teknis mengenaiasas-asas pengelolaan
keuangan desa sebagaimana yang diatur dalam tentang Pengelolaan
Keuangan Desa dengan tegas menyebutkan, pengelolaan dana desa harus
dilakukan dengan empat prinsip utama yakni Transparan, AkuntabeL,
Partisipatif dan Tertib dan Disiplin Anggaran. Keempat prinsip tersebut
dijelaskan sebagai berikut:

a. Transparan
Makna transparan pengelolaan keuangan desa, pengelolaan uang
tidak secara tersembunyi atau dirahasiakan dari masyarakat, dan sesuai
dengan kaedah-kaedah hukum atau peraturan yang berlaku. Dalam prinsip
ini, semua sumber serta pengeluaran untuk desa dapat diketahui dan

29
Manullang. 1977. Dasar-Dasar Manajemen. Monara. Medan.hlm.107

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
123 Ellectrananda Anugerah Ash-shidiqq, Hindrawan Wibisono

diawasi oleh pihak lain yang berwenang. Asas transparan ini menjadi sangat
penting, karena semua sumber – sumber pendapatan serta pengeluaran yang
dilakukan melalui dana desa dapat memenuhi hak masyarakat serta
menghindari konflik horizontal dalam masyarakat desa. Dalam asas
transparan ini, seluruh perangkat desa secara tidak langsung harus
melakukan keterbukaan informasi publik agar perangkat desa yang secara
sosiologis merupakan pemimpin cultural akan mendapatkan kepercayaan
dan legitimasi secara utuh dari public dalam hal ini masyarakat desa.

b. Akuntabel
Akuntabel berdasarkan dalam kajian Adminitrasi Negara
mempunyai pengertian bahwa setiap tindakan pemerintah/lembaga dapat
dipertanggungjawabkan kepada pihak-pihak yang memiliki hak atau
berkewenangan untuk meminta keterangan akan pertanggungjawaban.
Pelaksanaan kegiatan dan penggunaan anggaran harus dapat
dipertanggungjawabkan dengan baik, mulai dari proses perencanaan hingga
pertanggungjawaban. Asas Akuntabel secara tidak langsung menuntut
Kepala Desa secara jabatannya mempertanggungjawabkan dan melaporkan
pelaksanaan APB Desa secara tertib, kepada masyarakat maupun kepada
jajaran pemerintahan di atasnya, sesuai peraturan perundang-undangan.

c. Keuangan Desa yang Partisipatif


Asas ini memiliki makna setiap tindakan yang dilakukan harus
mengikutsertakan keterlibatan masyarakat baik secara langsung maupun
tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan
aspirasinya, yaitu Badan Permusyawaratan Desa (BPD),atau nama lain yang
memiliki nama sama. Asas Pengelolaan Keuangan Desa yang partisipatif
ini secara tidak langsung bahwa pengelolaan dana desa sejak tahap
perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan
pertanggugjawaban wajib melibatkan masyarakat, para pemangku
kepentingan di desa serta masyarakat luas, utamanya kelompok marjinal
sebagai penerima manfaat dari program atau kegiatan pembangunan di
Desa.
Pelibatan seluruh stake holder sejak awal seluruh pendapatan asli
desa yang digunakan untuk pembangunan di desa ditetapkan berdasarkan
kebutuhan masyarakat desa, bukan keinginan dari pemerintah desa bersama
elit-elit desa. Adanya partisipasi sejak awal diharapkan semua hak-hak

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang 124

masyarakat desa dapat terpenuhi dengan sendirinya akan tumbuh rasa


memiliki dan keswadayaan masyarakat dalam pembangunan desa.

d. Tertib dan Disiplin Anggaran


Keuangan Desa yang tertib dan disiplin anggaran mempunyai
pengertian bahwa seluruh anggaran desa harus dilaksanakan secara
konsisten, dan dilakukan percatatan atas penggunaannya yang sesuai dengan
prinsip akuntansi keuangan di desa. Dalam perwujudannya keuangan desa
yang tertip dan disiplin anggaran, maka harus pengelolaan dana desa harus
taat hukum, harus tepat waktu, harus tepat jumlah, dan sesuai dengan
prosedur yang ada. Tujuannya untuk menghindari penyimpangan, dan
meningkatkan profesionalitas pengelolaanya. Asas, dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (edisi ketiga) terbitan Pusat Bahasa Departemen
pendidikan Nasional, Balai Pustaka, 2006., asas berarti dasar atau hukum
dasar. Asas atau dasar diartikan sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau
berpendapat. Dalam pembentukan suatu regulasi atau peraturan perundang-
undangan asas merupakan filosofi yang mendasari terbentuknya regulasi
atau peraturan perundang-undangan. Pada hakikatnya asas menerangkan
sesuatu arah, suatu panduan/pedoman, sesuatu kewajiban atau sesuatu yang
dianggap benar, dan sesuatu larangan.
Saat ini sumber-sumber keuangan desa yang menjadi Pendapatan
Asli Desa yang jumahnya setiap tahun semakin besar jumlahnya,
seharusnya menjadikan desa sebetulnya dapat lebih fokus dalam
mengintenfisikasi pelayanan publik serta pembangunan dalam skala yang
lebih kecil. Otonomi yang dimiliki berdasarkan Undang-Undang Desa
menjadikkan sebuah akumulasi seluruh aset yang memungkinkan desa
bertambah kaya dengan modal yang dimilikinya. Sumber pendapatan asli
desa yang berasal dari non dana desa serta alokasi dana desa dapat
digunakan untuk meningkatkan pelayanan publik agar masyarakat dapat
lebih efisien dan efektif dilayani oleh pemerintah desa.
Penyelenggaraan pemerintahan desa selama ini menggambarkan
rendahnya dukungan sarana dan prasarana sehingga pelayanan di desa tak
maksimal. Alokasi pembangunan yang berasal dari pemerintah, desa dapat
mempercepat pembangunan infrastruktur dalam jangka panjang sehingga
terjadi pembangunan desa yang berkelanjutan. Realitas desa sejauh ini
menunjukkan lemahnya pertumbuhan ekonomi, tingginya kemiskinan dan
pengangguran sehingga menurunkan daya saing desa dibanding kota.

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
125 Ellectrananda Anugerah Ash-shidiqq, Hindrawan Wibisono

Sumber keuangan negara setidaknya berpeluang mendorong laju


pertumbuhan ekonomi desa sehingga tak jauh ketinggalan dibanding kota.
Sekalipun demikian, alokasi APBN tidaklah merupakan wujud dari
pendekatan local state government semata, tetapi lebih merupakan
tanggungjawab negara yang diamanahkan konstitusi.
Alokasi dana dari APBD Kota/ Kabupaten bukanlah merupakan
manifestasi dari pendekatan local self government semata, namun perintah
undang-undang pemerintahan daerah. Jadi, sekalipun desa dalam undang-
undang ini bersifat self governing community, namun negara dan pemerintah
daerah tetap bertanggungjawab untuk mengakui, menghormati dan
memelihara keberlangsungan pemerintahan, pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat di desa. Pengakuan negara terhadap desa dapat
dilihat dari pengakuan atas realitas keberagaman desa di berbagai daerah
(asas rekognisi). Sedangkan konkritisasi dari penghormatan negara terhadap
desa adalah terbukanya kran alokasi negara secara langsung yang akan
dikelola desa (asas subsidiaritas). Penggunaan kedua asas tersebut sekalipun
didahului oleh pengakuan konstitusi atas keragaman dan batasan desa dalam
pengertian umum (desa, desa adat dan atau nama lain), setidaknya menjadi
pijakan konkrit dalam pengaturan desa lebih lanjut di tingkat daerah
masing-masing. Dalam Dana desa, penyebab perilaku korupsi dapat dibagi
menjadi empat faktor yakni :
1. Kurang dilibatkannya masyarakat dalam proses perencanaan dan
pengawasan dana desa. Akses masyarakat untuk mendapatkan
informasi pengelolaan dana desa dan terlibat aktif dalam perencanaan
dan pengelolaan pada praktiknya banyak dibatasi. Padahal, pasal 68
UU Desa telah mengatur hak dan kewajiban masyarakat desa untuk
mendapatkan akses dan dilibatkan dalam pembangunan desa.
Pelibatan masyarakat ini menjadi faktor paling dasar karena
masyarakat desa lah yang mengetahui kebutuhan desa dan secara
langsung menyaksikan bagaimana pembangunan di desa.
2. Terbatasnya kompetensi kepala desa dan perangkat desa.
Keterbatasan ini khususnya mengenai teknis pengelolaan dana desa,
pengadaan barang dan jasa, dan penyusunan pertanggungjawaban
keuangan desa.
3. Tidak optimalnya lembaga-lembaga desa yang baik secara langsung
maupun tidak memainkan peran penting dalam pemberdayaan
masyarakat dan demokrasi tingkat desa, seperti Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) dan lainnya.

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang 126

4. Tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah penyakit cost politik


tinggi akibat kompetitifnya arena pemilihan kepala desa.
Meningkatnya anggaran desa disertai dengan meningkatnya minat
banyak pihak untuk maju dalam pemilihan kepala desa tanpa agenda
dan komitmen membangun desa.

Model Akuntabilitas Pengelolaan Dana Desa

Dalam asas partisipatif dalam pengelolaan dana desa, secara jelas


disebutkan bahwa masyarakat desa harus dilibatkan sejak dalam perencaan
sumber pendapatan dan pembangunan desa. Salah satu yang harus
dilakukan oleh pemerintah desa berdasarkan amanat Undnag-Undang adalah
mengadakan musawarah desa. Dalam penjelasan UU Desa, Musyawarah
Desa adalah proses musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa
(BPD), Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh
BPD untuk menyepakati hal yang bersifat strategis. Secara singkat menurut
hemat penulis, musyawarah desa adalah kesepakatan antara seluruh
stakeholder masyarakat desa untuk menyetujui hal-hal yang bersifat
strategis dalam desa.
Dalam pasal 54Undang-Undang Desa disebutkan bahwa
(1) Musyawarah Desa merupakan forum permusyawaratan yang diikuti
oleh Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur
masyarakat Desa untuk memusyawarahkan hal yang bersifat strategis
dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa. \
(2) Hal yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
b. penataan Desa;
c. perencanaan Desa;
d. kerjasama Desa;
e. rencana investasi yang masuk ke Desa;
f. pembentukan BUM Desa;
g. penambahan dan pelepasan Aset Desa; dan
h. kejadian luar biasa.
(3) Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
paling kurang sekali dalam 1 (satu) tahun.
(4) Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibiayai dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
127 Ellectrananda Anugerah Ash-shidiqq, Hindrawan Wibisono

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah


dan peraturan pelaksanaannya, PP 72 tahun 2005, tak mengatur spesifik
musyawarah Desa. Namun korelasi kedua regulasi ini bisa dilihat dari
pembahasan perencanaan desa yang disebut dalam Pasal 54 UU Desa.
Musyawarah Desa sebagaimana diinginkan dalam Pasal 54 merupakan
sebuah tahapan yang cukup penting dalam pembangunan desa, khususnya
perencanaan desa. Salah satu perencanaan desa yang berlangsung terjadwal
tahunan adalah Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan Desa
(Musrenbangdes). Payung hukum pelaksanaan Musrenbang secara umum
diatur dalam Undang Undang No. 25 Tahun 2004 dan secara teknis
pelaksanaannya diatur melalui Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Dalam
Negeri tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musrenbang yang
diterbitkan setiap tahun. Secara khusus Musrenbangdes diatur dalam
Permendagri No. 66 Tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa
yang didalamnya termuat petunjuk teknis penyelenggaraan Musrenbang
untuk penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
(RPJMDes) dan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPDes) tahunan
yang kemudian ditekniskan lagi melalui Surat Dirjen PMD No.
414.2/1408/PMD tanggal 31 Maret 2010 tentang Petunjuk Teknis
Perencanaan Pembangunan Desa.
Dalam prakteknya, sesuai dengan konstruksi campuran yang dipakai
UU Desa, sangat mungkin terjadi perbedaan kepentingan tiap-tiap unsur
yang membentuk Musdes. Oleh karena itu sangat mungkin terjadi Kepala
Desa yang membawa kepentingan pemerintahan kabupaten/kota menolak
melaksanakan keputusan Musdes, baik secara terang-terangan maupun
secara halus. Penjelasan Pasal 54 UU Desa sebenarnya sudah memberi garis
yang tegas: “Hasil ini menjadi pegangan bagi perangkat pemerintah desa
dan lembaga lain dalam pelaksanaan tugasnya”. Dalam hal terjadi konflik
kepentingan, maka peraturan teknis harus memberikan jalan keluar yang
tegas, misalnya sejauh mana masyarakat desa punya kewenangan menegur
Kepala Desa. Pasal 68 ayat (1) UU Desa memang memberi hak kepada
masyarakat desa untuk melakukan pengawasan atas kegiatan
penyelenggaraan pemerintahan desa serta menyampaikan aspirasi, saran dan
pendapat. Dalam hal konflik kepentingan itu berkaitan dengan hak asal usul
dan lokal berskala desa, maka Desa punya kekuatan untuk mengatur dan
mengurus. Sedangkan jika berkaitan dengan wewenang yang ditugaskan dan
kewenangan lain dari supra desa, maka Desa hanya punya kewenangan

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang 128

mengurus (vide Pasal 20 dan 21 UU Desa). Bahkan dalam hal penataan


Desa, keputusan akhir tetap ada di tangan pemerintah kabupaten/kota.
Musyawarah Desa hanya sekadar forum untuk memberikan pertimbangan
dan masukan (Penjelasan Pasal 54 ayat 2 UU Desa). Seperti disebutkan
dalam Pasal 54 UU Desa, musyarawah Desa adalah forum untuk
memusyawarahkan hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
Sesuai makna yang terangkum dalam pengertian Desa sebagai
kesatuan masyarakat hukum yang berhak mengatur dan mengurus
kepentingannya sendiri, maka peran dan keterlibatan masyarakat dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa menjadi keharusan.
Karena, pada dasarnya Desa adalah organisasi milik masyarakat. Tata kelola
Desa secara tegas juga menyaratkan hal itu, terlihat dari fungsi pokok
Musyawarah Desa sebagai forum pembahasan tertinggi di desa bagi Kepala
Desa (Pemerintah Desa), BPD, dan unsur-unsur masyarakat untuk
membahas hal-hal strategis bagi keberadaan dan kepentingan desa. Peran
dan keterlibatan masyarakat juga menjadi keharusan dalam Pengelolaan
Keuangan Desa (PKD). Setiap tahap kegiatan PKD harus memberikan
ruang bagi peran dan keterlibatan masyarakat. Masyarakat dimaksud secara
longgar dapat dipahami sebagai warga desa setempat, 2 orang atau lebih,
secara sendiri-sendiri maupun bersama, berperan dan terlibat secara positif
dan memberikan sumbangsih dalam Pengelolaan Keuangan Desa. Peran
dan keterlibatan dimaksud hendaknya dilakukan oleh para warga desa
secara terorganisasi melalui Lembaga Kemasyarakatan dan/atau Lembaga
Masyarakat yang ada di desa setempat.
Peran dan keterlibatan masyarakat menjadi faktor penting, karena:
1) Menumbuhkan rasa tanggungjawab masyarakat atas segala hal yang
telah diputuskan dan dilaksanakan.
2) Menumbuhkan rasa memiliki, sehingga masyarakat sadar dan sanggup
untuk memelihara dan mengembangkan hasil-hasil pembangunan
(swadaya), dan
3) Memberikan legitimasi/keabsahan atas segala yang telah diputuskan.
Dalam praktek akuntabilitas pengelolaan dana desa ada tiga hal yang
menjadi perhatian
Pertama, upaya pencegahan melalui penguatan fungsi pengawasan
formal dan non formal. Peran serta masyarakat adalah pengawasan yang
diyakini paling efektif sehingga penting dijamin implementasinya. Dalam
hal ini, komitmen pemerintah desa dalam membuka akses informasi dan

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
129 Ellectrananda Anugerah Ash-shidiqq, Hindrawan Wibisono

ruang keterlibatan masyarakat penting dilakukan. Kedua, BPD perlu lebih


maksimal dalam menyerap aspirasi dan mengajak masyarakat aktif terlibat
dalam pembangunan desa, dari pemetaan kebutuhan desa, perencanaan,
pengelolaan, hingga pertanggungjawaban. Bahkan, peran masyarakat juga
penting dalam ruang elektoral desa.
Pengawasan formal perlu dioptimalkan. Kementerian Desa telah
membentuk Satuan Tugas Dana Desa yang bisa memaksimalkan
pengawasan serta memberikan pelatihan bagi pendamping dan Kepala Desa.
Hal lain adalah pentingnya bagi Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri)
untuk memperkuat kapasitas perangkat desa. Hingga saat ini, upaya tersebut
belum terang terlihat. Padahal pengelolaan anggaran desa utamanya dengan
kehadiran dana desa yang teramat besar mesti ditunjang dengan kualitas
sumber daya manusia yang baik. Tidak menutup kemungkinan korupsi
marak terjadi akibat ketidaktahuan atau ketidakmampuan perangkat desa
dalam mengelola anggaran. Oleh sebab itu jika penguatan kapasitas tidak
dilakukan maka penyelewengan akan terus terjadi.
Pada sisi lain perlu dibentuk inisiatif bersama antara pemerintah dan
masyarakat sipil untuk mensinergikan inisiatif maupun inovasi yang telah
lahir untuk mengawal dana desa. Sejauh ini, telah lahir pelbagai inovasi
seperti contohnya Open Data Keuangan Desa. Inisiatif tersebut dapat
memberikan sumbangsih penting bagi perbaikan tata kelola desa sekaligus
mencegah korupsi.
Kedua, upaya penindakan dan pemberian efek jera. Peran aparat
penegak hukum menjadi penting, kejadian seperti di Pamekasan tidak boleh
terulang kembali. Perlu ada koordinasi yang baik antara Kejaksaan,
Kepolisian, dan KPK. Tentu lembaga seperti KPK tidak bisa diberikan
beban tanggungjawab yang begitu besar untuk mengawasi setiap alokasi
dana desa di seluruh Indonesia. Hal ini mengingat ketersediaan Sumber
Daya Manusia (SDM) KPK yang tergolong minim, sehingga mustahil
apabila diharuskan untuk mengawasi seluruh desa di Indonesia. Justru
Kejaksaan dan Kepolisian bisa ambil peran untuk memastikan tidak ada
pelanggaran hukum dalam pengalokasian dana desa serta implementasinya
di daerah.
Sebagai pemberian efek jera untuk pelaku, selain proses pidana
maka sebaiknya pemerintah (daerah) melakukan pemecatan atau
pemberhentian bagi Kepala Desa atau Perangkat Desa yang terbukti
melakukan praktek korupsi. Pemecatan juga sebaiknya dilakukan terhadap

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang 130

Lurah atau Camat yang melakukan pungutan liar atau pemotongan


penyaluran anggaran dana desa ke Kepala Desa.
Ketiga, pemerintah perlu melakukan evaluasi dan perbaikan secara
menyeluruh terkait penyaluran dan pengelolaan dana desa. Evaluasi ini
menjadi penting agar kejadian-kejadian seperti di Kabupaten Pamekasan
tidak terulang kembali. Sebaiknya Pemerintah menindaklanjuti rekomendasi
dari KPK agar proses pengelolaan dana desa diubah sistemnya agar lebih
sederhana dan tidak tumpang tindih.

Daftar Pustaka

Bickert, Kenneth, N. Williams, John, T. (2001). Public Policy Analysis: A


Political Economic Approach, New York: Houghton Mifflin
Company.
Bovens, Mark. (2003). Public Accountability, presentation paper on EGPA
Annual Conference, Portugal.
Dzunuwanus Ghulam. (2015). Mempertegas Akuntabilitas, Bandung;
Prosiding FISIP UNIKOM.
Hartanti,Evi S.H. (2005). Tindak Pidana Korupsi.Sinar Grafika.
Koppel, J. GS. (2005). Pathologies of Accountability: ICANN and The
Challenge of Multiple Accountabilities Disorder, Public
Administration Review, Vol.65 No.1.
Manullang. (1977). Dasar-Dasar Manajemen. Medan: Monara.
Muhammad Syukri. Peran Kecamatan dalam Pelaksanaan UU Desa.Jurnal
Smeru Catatan Kebijakan. Tanpa Volume. 1 Desember 2015.
Peter Mahmud Marzuki, (2014). Penelitian Hukum. Jakarta: Prenadamedia
Group.
Sarwoto. (2002). .Dasar-Dasar Organisasi dan Manajemen. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Setiyono, Budi. (2014). Pemerintahan dan Manajemen Sektor Publik,
Yogyakarta: CAPS.
Simon Joss . (2010). Accountable Governance, Accountable Sustainability?
A Case Study of Accountability in the Governance for Sustainability,
Environmental Policy and Governance No. 20, 408–421.
Siagian, Sondang P. (2001). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT
Bumi Aksara.
Ukas, Maman (2004). Manajemen: Konsep, Prinsip dan Aplikasi. Bandung:
Penerbit Agnini.

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
131 Ellectrananda Anugerah Ash-shidiqq, Hindrawan Wibisono

Widjaja, HAW. (2005). Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia. Jakarta:


PT Raja Grafindo Persada.

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Hasil Amandemen
Undang-Undang No 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional
Undang-Undang No 6 Tahun 2014 Tentang Desa
Undang-Undang No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2008 Tentang Kecamatan
Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 2014 Tentang Desa
Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 2015 Tentang Perubahan Peraturan
Pemerintah No 43 Tahun 2014 Tentang Desa
Peraturan Menteri Dalam Negeri No 111 Tentang Pedoman Teknis
Peraturan Di Desa
Peraturan Menteri Dalam Negeri No 112 Tentang Pemilihan Kepala Desa
Peraturan Menteri Dalam Negeri No 113 Tentang Pengelolaan Keuangan
Desa
Peraturan Menteri Dalam Negeri No 114 Tentang Pedoman Pembangunan
Desa

Sumber Online
http://bisnis.liputan6.com/read, pada tanggal 30/09/2018
http://www.liputan6.com, pada tgl. 10/03/2016
www.antikorupsi.org akses tgl 6/4/2018
www.bpkp.go.id tanggal akses 5/4/2018

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang

Anda mungkin juga menyukai