Anda di halaman 1dari 105

KARAKTERISASI MOLEKULER KLON, SPESIES, DAN

HIBRIDA ANGGREK Phalaenopsis MENGGUNAKAN MARKA


SNAP BERBASIS GEN Pto

ERICK RAYNALTA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakterisasi Molekuler


Klon, Spesies, dan Hibrida Anggrek Phalaenopsis Menggunakan Marka SNAP
Berbasis Gen Pto adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2017

Erick Raynalta
NIM A253130061
RINGKASAN

ERICK RAYNALTA. Karakterisasi Molekuler Klon, Spesies, dan Hibrida


Anggrek Phalaenopsis Menggunakan Marka SNAP Berbasis Gen Pto. Dibimbing
oleh DEWI SUKMA dan SUDARSONO.

Phalaenopsis merupakan salah satu komoditas tanaman hias yang telah


dikembangkan secara komersial di berbagai negara. Perkembangan Phalaenopsis
dari tanaman hias berskala hobi menjadi kegiatan usaha komersial tentunya tidak
terlepas dari peran kemajuan bioteknologi yang dewasa ini semakin berkembang.
Teknologi kultur jaringan telah berhasil diterapkan secara masif untuk perbanyakan
klon elit hasil pemuliaan. Selain itu, teknologi molekuler juga dapat diaplikasikan
secara luas dalam upaya memperoleh tanaman yang memiliki karakter superior.
Salah satunya adalah karakter ketahanan terhadap penyakit. Tanaman Phalaenopsis
yang tahan terhadap serangan penyakit dapat diperoleh melalui seleksi langsung
dengan menginokulasikan inokulum penyakit pada tanaman, namun cara ini
tergolong kurang efisien apabila dilakukan untuk seleksi tanaman dalam jumlah
besar. Agar seleksi dapat dilakukan secara efisien, maka diperlukan bantuan
teknologi molekuler sebagai marka seleksi karakter ketahanan terhadap penyakit.
Studi ini terdiri atas 4 judul penelitian, yakni: propagasi klonal Phalaenopsis
amabilis dan analisis keseragaman klon menggunakan marka SNAP berbasis gen
Pto (1), analisis keragaman genetik Phalaenopsis menggunakan marka SNAP
berbasis gen Pto (2), evaluasi metode inokulasi bakteri patogen penyebab busuk
lunak dengan uji leaf disk pada Phalaenopsis (3), pendugaan respon ketahanan 22
genotipe Phalaenopsis terhadap infeksi Dickeya dadantii dan evaluasi marka SNAP
berdasarkan karakter ketahanan (4). Penelitian ke-1 bertujuan untuk memperoleh
komposisi media induksi dan proliferasi Phalaenopsis in-vitro yang optimal, serta
menganalisis tingkat keseragaman klon hasil perbanyakan. Pada tahap induksi,
TDZ yang dikombinasikan dengan PVP dapat meningkatkan keberhasilan dalam
induksi PLBs menggunakan eksplan daun. Tingkat keasaman media juga
memengaruhi tingkat keberhasilan dalam induksi PLBs menggunakan eksplan daun.
Pada tahap proliferasi, media dengan konsentrasi TDZ rendah yang dikombinasikan
dengan PVP dapat digunakan. Hasil analisis molekuler menggunakan marka SNAP
berdasarkan 18 lokus SNP pada fragmen gen Pto yang diujikan pada tanaman klon
hasil induksi pada media ½ MS dengan penambahan 1 mg/l TDZ+ 0.5 g/l PVP,
menunjukkan bahwa 88.24% tanaman klon memiliki profil SNP yang sama dengan
tanaman induknya.
Penelitian ke-2 bertujuan untuk mengevaluasi primer dan menganalisis
keragaman genetik Phalaenopsis menggunakan marka SNAP berbasis gen Pto.
Pada percobaan ini seluruh primer SNAP berhasil mengamplifikasi produk PCR.
Aplikasi 18 primer SNAP pada 27 genotipe Phalaenopsis mampu mengakses 85.57
% keragaman berdasarkan analisis faktorial, sedangkan 9 primer SNAP yang diuji
pada individu populasi hasil persilangan antara P. bellina “B1(11)” x P. Salu Spot
“SP (12)” mampu mengakses 75,42 % keragaman. Berdasarkan hasil analisis
filogenetik, 27 genotipe Phalaenopsis spesies terbagi ke dalam 3 kelompok utama,
begitu juga dengan populasi zuriat hasil persilangan yang terbagi ke dalam 3
kelompok utama.
Penelitian ke-3 bertujuan untuk mengevaluasi metode inokulasi bakteri
patogen penyebab busuk lunak dengan uji leaf disk pada Phalaenopsis. Diperoleh
1 galur bakteri yang dapat menginfeksi daun Phalaenopsis amabilis pada percobaan
ini. Konsentrasi bakteri tanpa pengenceran (10-0) paling efektif dalam
menyebabkan kebusukan pada potongan daun Phalaenopsis amabilis. Volume
inokulum yang lebih tinggi menghasilkan diameter gejala busuk lunak yang lebih
lebar.
Penelitian ke-4 bertujuan untuk mengevaluasi respon ketahanan 22 genotipe
Phalaenopsis spesies menggunakan uji leaf disk dan evaluasi marka SNAP berbasis
gen Pto terkait ketahanan terhadap penyakit busuk lunak. Percobaan pengujian
respon genotipe Phalaenopsis spesies terhadap serangan penyakit busuk lunak telah
berhasil mengklasifikasikan Phalaenopsis spesies ke dalam 5 kelas ketahanan
berdasarkan hasil pengamatan pada 72 JSI (jam setelah inokulasi). Evaluasi marka
SNAP berbasis gen Pto terhadap karakter ketahanan pada 22 genotipe Phalaenopsis
spesies menunjukkan bahwa pohon filogenetik yang dihasilkan belum mampu
mengelompokkan genotipe Phalaenopsis spesies berdasarkan klasifikasi
ketahanannya, oleh karena itu, perlu dilakukan kajian ulang dengan melibatkan
lokus-lokus SNP pada gen lain yang telah diketahui atau diduga terlibat saat
terjadinya serangan penyakit busuk lunak pada Phalaenopsis.

Kata kunci: Gen Pto, kultur jaringan, marka SNAP, penyakit busuk lunak,
Phalaenopsis
SUMMARY

ERICK RAYNALTA. Molecular Characterization of Phalaenopsis Orchid Clones,


Species, and Hybrid, using Pto Gene-Based SNAP Marker. Supervised by DEWI
SUKMA dan SUDARSONO.

Phalaenopsis is the one of important ornamental plant commodity that has


been developed commercially in many countries. Transformation of Phalaenopsis
from hobby-scale into commercial activities certainly can not be separated from the
role of biotechnological advancement. Application of tissue culture techniques has
been successfully used massively for the propagation of elite clones that resulted
from breeding programs. In addition, molecular technology has also been applied
widely in the effort to obtain plants that have superior characters. Resistance against
pathogens is the one character that should be improved. Resistant plants can be
obtained by direct selection by infecting plants to the pathogens, but this method is
not fully effective, as this type of selection requires plants in large quantities. In
order to selection can be done efficiently, the use of molecular technology as
selection markers of disease resistance character can be tested.
This study consisted of 4 experiments: clonal propagation of Phalaenopsis
amabilis and clonal diversity analysis (1), genetic diversity analysis of
Phalaenopsis using Pto gene-based SNAP marker (2), evaluation of bacterial soft
rot disease inoculation methods using Phalaenopsis leaf disk (3), estimation of
resistance response of 22 genotypes of Phalaenopsis to Dickeya dadantii infection
and SNAP marker evaluation based on resistance character (4).
Experiment 1 aimed to obtain optimal induction medium composition and
proliferation of Phalaenopsis amabilis in-vitro and to analyze the uniformity level
of clonally propagated plants. At the induction stage, TDZ combined along with
PVP improved the success in the induction of PLBs using leaf segment explants.
The pH level of the media also affected the success level in the induction of PLBs
using leaf explants. At the proliferation stage, mediums with low TDZ
concentration combined with PVP could be used. The results of molecular analysis
using SNAP marker based on 18 SNP loci on Pto gene fragment tested to clones,
showed that 88.24% clones had identical SNP profiles compared to its mother plant.
Experiment 2 aimed to evaluate the primers and to analyze the genetic
diversity of Phalaenopsis using Pto gene-based SNAP marker. All of the SNAP
primers successfully amplified the PCR products. The application of 18 SNAP
primers on 27 genotypes of Phalaenopsis species were able to access 85.57% of
diversity based on factorial analysis, while 9 SNAP primers tested on progenies of
P. bellina "B1 (11)" x P. Salu Spot "SP (12) were able to access 75.42% of diversity.
Based on the result of phylogenetic analysis, the 27 genotypes of Phalaenopsis
species were divided into three main groups, as well as the population of crossbred
progenies which were divided into three main groups too.
Experiment 3 aimed to evaluate the method of inoculation of pathogenic
bacteria causing soft rot disease using leaf disk test on Phalaenopsis. The
concentration of bacteria without dilution (10-0) was most effective in inducing soft
rot on Phalaenopsis amabilis leaf segment. The higher inoculum volume results in
a wider diameter of soft rot symptom.
Experiment 4 aimed to evaluate the resistance response of 22 species
Phalaenopsis genotypes using leaf disk test and Pto gene-based SNAP markers
evaluation related to plant resistance. This study had successfully classified
Phalaenopsis into five resistance classes based on observations at 72 HAI (hours
after inoculation). Evaluation of Pto gene-based SNAP markers on 22 species
Phalaenopsis genotypes showed that phylogenetic tree that produced from 18 sets
SNAP marker was not correlated with Phalaenopsis resistance classification.
therefore, in future, it is necessary to reconduct this research by involving the SNP
loci on other genes that have been known or suspected to be involved during soft
rot disease attack.

Keywords: Phalaenopsis, Pto gene, SNAP marker, soft rot disease, tissue culture
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KARAKTERISASI MOLEKULER KLON, SPESIES, DAN
HIBRIDA ANGGREK Phalaenopsis MENGGUNAKAN MARKA
SNAP BERBASIS GEN Pto

ERICK RAYNALTA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Diny Dinarti, MSi
Judul Tesis : Karakterisasi Molekuler Klon, Spesies, dan Hibrida Anggrek
Phalaenopsis Menggunakan Marka SNAP Berbasis Gen Pta
Nama : Erick Raynalta
NIM : A253130061

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Dewi Sukma. SP MSi Prof Dr Ir Sudarsono, MSc


Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi


Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

Dr Ir Yudiwanti Wahyu EK, MS Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 12 Juli 2017 Tanggal Lulus: l 8 AUG 2017


PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena oleh
kasih dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul
“Karakterisasi Molekuler Klon, Spesies, dan Hibrida Anggrek Phalaenopsis
Menggunakan Marka SNAP Berbasis Gen Pto” dengan baik. Tesis ini dibuat
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada program
studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada ibu tercinta
yang selalu dengan sabar memberikan semangat kepada penulis untuk terus belajar
dan menekuni bidang yang telah penulis pilih, kepada alm. ayahanda tercinta yang
semasa hidupnya selalu mendukung dan memfasilitasi penulis dalam belajar, dan
adik serta kakak tercinta yang selalu memberikan semangat dan motivasi kepada
penulis untuk menyelesaikan studi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
Dr. Dewi Sukma, SP MSi dan Prof Dr Ir Sudarsono, MSc selaku komisi
pembimbing yang telah mencurahkan sebagian waktunya untuk membimbing dan
memberikan pengarahan kepada penulis dalam kegiatan penelitian dan pembuatan
tesis ini hingga selesai. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-
teman PBT 2013, teman-teman PBT 2014, serta teman-teman seperjuangan di
Laboratorium Kulur Jaringan 1 dan Laboratorium Biologi Molekuler 1 atas
kebersamaan, pengetahuan, dan dukungan moral yang tak henti-hentinya diberikan
kepada penulis. Tak lupa ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada teh Juju,
pak Eddy, bu Susi, dan mas Agus yang telah membantu penulis secara teknis, baik
di laboratorium maupun lapang.
Semoga tesis ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pemuliaan dan
bioteknologi tanaman.

Bogor, Agustus 2017

Erick Raynalta
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii


DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN viii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan 3
Hipotesis 3
Ruang Lingkup Penelitian 3
2 TINJAUAN PUSTAKA 6
Anggrek 6
Teknik Perbanyakan dan Kultur Jaringan Anggrek 6
Browning dalam Kultur Jaringan 7
Sitokinin 8
Embriogenesis Somatik 9
Analisis Variasi Somaklonal Phalaenopsis 10
Mekanisme Pertahanan Tanaman terhadap Penyakit 11
Marka Molekuler 11
Gen Pto 12
Bakteri Dickeya dadantii 13
3 PROPAGASI KLONAL Phalaenopsis amabilis DAN ANALISIS
KESERAGAMAN KLON MENGGUNAKAN MARKA SNAP
BERBASIS GEN Pto 14
Abstrak 14
Abstract 14
Pendahuluan 15
Bahan dan Metode 16
Hasil dan Pembahasan 18
Simpulan 24
Daftar Pustaka 25
4 ANALISIS KERAGAMAN GENETIK Phalaenopsis MENGGUNAKAN
MARKA SNAP BERBASIS GEN Pto 28
Abstrak 28
Abstract 28
Pendahuluan 29
Bahan dan Metode 30
Hasil dan Pembahasan 32
Simpulan 41
Daftar Pustaka 41
5 EVALUASI METODE INOKULASI BAKTERI PATOGEN
PENYEBAB BUSUK LUNAK DENGAN UJI LEAF DISK PADA
Phalaenopsis 43
Abstrak 43
Abstract 43
Pendahuluan 44
Bahan dan Metode 44
Hasil dan Pembahasan 46
Simpulan 50
Daftar Pustaka 50
6 PENDUGAAN RESPON KETAHANAN 22 GENOTIPE Phalaenopsis
TERHADAP INFEKSI Dickeya dadantii DAN EVALUASI MARKA
SNAP BERDASARKAN KARAKTER KETAHANAN 52
Abstrak 52
Abstract 52
Pendahuluan 53
Bahan dan Metode 54
Hasil dan Pembahasan 56
Simpulan 61
Daftar Pustaka 62
7 PEMBAHASAN UMUM 64
8 SIMPULAN UMUM DAN SARAN 67
DAFTAR PUSTAKA 68
LAMPIRAN 79
RIWAYAT HIDUP 89
DAFTAR TABEL

3.1 Pengaruh konsentrasi TDZ, PVP, dan interaksi TDZ dan PVP dalam
induksi PLBs menggunakan eksplan daun P. amabilis pada usia 8
MST 19
3.2 Pengaruh pH media dalam induksi PLBs menggunakan eksplan daun
P. amabilis pada usia 8 MST 21
3.3 Pengaruh konsentrasi TDZ, PVP, dan Interaksi TDZ dan PVP dalam
proliferasi PLBs P. amabilis pada usia 8 MST 22
3.4 Persentase keseragaman planlet klon P. amabilis hasil propagasi
klonal in-vitro 24
4.1 Daftar 27 genotipe Phalaenopsis spesies yang digunakan 31
4.2 Nilai heterozigositas dan polimorfisme tiap lokus berdasarkan data
kodominan pada 27 genotipe Phalaenopsis spesies 33
4.3 Rangkuman analisis faktorial dan akses keragaman 18 marka SNAP
terhadap 27 genotipe Phalaenopsis spesies 35
4.4 Profil genotipe P. bellina “B1(11)” dan P. Salu Spot “SP (12)” pada 9
lokus SNP berdasarkan marka SNAP 37
4.5 Nilai heterozigositas dan polimorfisme tiap lokus berdasarkan data
kodominan pada 39 individu zuriat hasil persilangan antara P. bellina
“B1(11)” dan P. Salu Spot “SP (12)” 37
4.6 Rangkuman analisis faktorial dan akses keragaman antar marka
terseleksi pada populasi zuriat hasil persilangan antara P. bellina
“B1(11)” dan P. Salu Spot “SP (12)” 38
4.7 Analisis khi-kuadrat pada 9 lokus SNP populasi zuriat hasil
persilangan antara P. bellina “B1(11)” dan P. Salu Spot “SP (12) 39
5.1 Pengaruh faktor pengenceran dan galur bakteri terhadap rata-rata
diameter busuk lunak (mm) leaf disk P. amabilis pada 24, 48, dan 72
JSI 47
5.2 Persentase leaf disk P. amabilis terserang penyakit busuk lunak dari
inokulum bakteri galur 1 pada 24, 48, dan 72 JSI 48
5.3 Pengaruh volume inokulum bakteri terhadap diameter gejala serangan
penyakit busuk lunak leaf disk P. amabilis 49
6.1 Rata-rata diameter busuk lunak pada 22 genotipe Phalaenopsis spesies 56
6.2 Kadar air dan ketebalan daun 22 genotipe Phalaenopsis spesies 57
6.3 Nilai intensitas serangan penyakit (IP) dan kriteria ketahanan 22
genotipe Phalaenopsis spesies terhadap infeksi D. dadantii 58

DAFTAR GAMBAR

1.2 Diagram alir penelitian 5


3.1 Pertumbuhan dan perkembangan eksplan daun P. amabilis dalam
media perlakuan 1 mg/l TDZ + 0.5 g/l PVP pada tahap induksi PLBs
menggunakan eksplan daun usia 0 MST (a), 6 MST (b), 8 MST (d),
dan 12 MST (d) 20
3.2 Perkembangan PLBs P. amabilis pada media 0.5 g/l PVP+1 mg/l TDZ
usia 0 MST (a), 6 MST (b), 8 MST (c), dan 34 MST (d) 22
3.3 Representasi hasil analisis molekuler klon P. amabilis pada lokus SNP
Pto-52 (a), Pto-72 (b), Pto-355 (c) 24
4.1 Representasi hasil gradien suhu primer reference SNAP lokus Pto-340
pada suhu 60.7 (1), 59.8 (2), 58.3 (3), 56.2 (4), 53.5 (5), 51.2 (6), 49.8
(6), dan 49o C (8) 32
4.2 Pohon filogenetik 27 Phalaenopsis spesies berdasarkan 18 lokus
marka SNAP dengan pendekatan Weighted Neighbor Joining 36
4.3 Pohon filogenetik populasi zuriat hasil persilangan dan tetua
berdasarkan 9 lokus marka SNAP terpilih dengan pendekatan
Weighted Neighbor Joining 40
5.1 Isolasi bakteri menggunakan metode gores kuadran (a); perbanyakan
bakteri galur 1(b) dan galur 2(c); hasil pengujian inokulan terhadap
potongan daun P. amabilis pada 5 hari setelah inokulasi menggunakan
galur bakteri 1(d) dan galur bakteri 2 (e) 46
5.2 Hasil inokulasi bakteri pada leaf disk P. amabilis dengan faktor
pengenceran 10-0 pada 24 JSI menggunakan isolat bakteri galur 1 (a)
dan galur 2 (b); pada 48 JSI menggunakan isolat bakteri galur 1 (c) dan
galur 2 (d) 48
5.3 Potongan daun P. amabilis pada 24 jam setelah inokulasi pada berbagai
volume inokulum bakteri D. dadantii 49
6.1 Pohon filogenetik 22 Phalaenopsis spesies dan karakter ketahanannya
berdasarkan 18 lokus marka SNAP dengan pendekatan Weighted
Neighbor Joining 60

DAFTAR LAMPIRAN

1 Daftar primer SNAP berdasarkan sekuen gen Pto Phalaenopsis dan


spesifikasinya 79
2 Pohon filogenetik populasi zuriat persilangan dan tetua menggunakan
metode hierarchial clustering dengan pendekatan complete linkage 82
3 Gejala busuk lunak 22 genotipe Phalaenopsis spesies pada 72 jam
setelah inokulasi 83
1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Phalaenopsis merupakan nama salah satu marga dari keluarga Orchidaceae


yang pertama kali dideskripsikan oleh Carl Ludwing Blume pada tahun 1825.
Nama Phalaenopsis berarti “menyerupai Phalaen” yang kemungkinan mengacu
pada kelompok ngengat berukuran besar dari genus Phalaena karena beberapa
spesiesnya memiliki bentuk bunga yang menyerupai ngengat yang terbang (Gogol
et al. 2012). Marga ini setidaknya memiliki 66 spesies yang tersebar dari wilayah
Asia tropik hingga Australia utara (Christenson 2001).
Program pemuliaan tanaman pada Phalaenopsis telah menghasilkan varietas-
varietas hibrida yang memiliki karakter unggul mulai dari bentuk bunga, ukuran
bunga, aroma, dan warna bunga. Dalam upaya merakit varietas, selain
pengembangan karakter-karakter visual yang terkait dengan selera konsumen,
pemuliaan yang berorientasi pada masalah-masalah yang terkait dengan kegiatan
budidaya juga perlu dilakukan, salah satunya adalah karakter ketahanan terhadap
penyakit. Salah satu penyakit yang sering muncul adalah penyakit yang busuk lunak
yang diakibatkan oleh serangan patogen Dickeya spp.. Penyakit ini dapat
menyebabkan daun Phalaenopsis yang terserang menjadi busuk, berwarna coklat,
dan terkadang mengeluarkan bau (Rianawati 2010). Hal tersebut dapat diatasi
dengan mengaplikasian bakterisida secara intensif (Handayati et al. 2006).
Walaupun dapat mengurangi intensitas serangan, namun pengaplikasian bakterisida
dinilai kurang efektif karena memerlukan biaya yang cukup tinggi dan juga dapat
mencemari lingkungan (Elina 2016). Oleh karena itu, varietas tahan dapat
digunakan sebagai salah satu alternatif.
Upaya menghasilkan varietas yang tahan terhadap serangan patogen Dickeya
sp. dapat dilakukan dengan teknik pemuliaan secara konvensional, namun akan
membutuhkan waktu yang lama apabila harus melalui proses seleksi dengan
memberikan inokulum patogen pada tanaman. Untuk mempersingkat waktu
pemuliaan, teknologi molekuler dapat dimanfaatkan. Salah satu teknologi
molekuler yang dapat dimanfaatkan adalah marka SNAP (Single Nucleotide
Amplified Polymorphism) yang memanfaatkan keberadaan situs SNP (Single
Nucleotide Polymorphism) pada gen tertentu. SNP adalah polimorfisme nukleotida
yang terdapat pada situs tertentu pada genom tanaman (Sutanto et al. 2013) yang
jumlahnya melimpah dalam genom (Rafalski 2002). Sebagai contoh,
pengembangan marka SNAP telah dilakukan pada tanaman pisang terkait dengan
ketahanan terhadap penyakit layu FOC (Sutanto et al. 2013). Pengembangan marka
SNAP berbasis gen Pto terkait ketahanan terhadap penyakit busuk lunak pada
Phalaenopsis yang disebabkan oleh Dickeya dadantii juga telah dilakukan pada
penelitian Elina (2016), namun marka SNAP yang dikembangkan belum berhasil
memisahkan antara genotipe resisten dengan genotipe rentan. Sebagai lanjutan dari
penelitian Elina (2016), penelitian ini dilakukan untuk validasi marka SNAP
Phalaenopsis terkait ketahanan terhadap penyakit busuk lunak. Apabila marka
SNAP yang dikembangkan berhasil memprediksi respon tanaman terhadap
serangan penyakit busuk lunak yang disebabkan oleh Dickeya dadantii, maka
2

seleksi tidak langsung terhadap karakter tersebut pada populasi bersegregasi akan
dapat dilakukan.
Mikropropagasi klonal in-vitro Phalaenopsis umumnya dilakukan melalui
pembentukan PLBs (embrio somatik) atau tunas aksilar menggunakan berbagai
jenis eksplan (Chugh et al. 2009). Salah satu metode yang dapat menghasilkan bibit
dalam jumlah dan waktu yang cepat dibandingkan metode lainnya adalah melalui
induksi embrio somatik langsung menggunakan eksplan daun (Kuo et al. 2005;
Chen dan Chang 2006; Gow et al. 2008; Khoddamzadeh et al. 2011). Keberhasilan
dalam induksi PLBs menggunakan eksplan daun sangat dipengaruhi oleh
keberadaan sitokinin pada media kultur. Hasil penelitian Chen dan Chang (2006)
menunjukkan bahwa penambahan sitokinin sintetik TDZ secara tunggal ke dalam
media kultur efektif meningkatkan keberhasilan induksi embrio somatik langsung
pada eksplan daun Phalaenopsis amabilis Shimadzu var. formosa. PLBs
(protocorm-like bodies) yang didapatkan dari hasil induksi tersebut kemudian dapat
diperbanyak kembali melalui proses proliferasi PLBs. Perbanyakan melalui
proliferasi tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan media cair dalam
bioreaktor (Park et al. 2000) atau dengan media padat (Raynalta dan Sukma 2013;
Samarfard et al. 2013). Media padat digunakan pada penelitian ini, baik pada tahap
induksi dan proliferasi PLBs, karena metode ini lebih sederhana dan lebih hemat
biaya dibandingkan dengan kultur cair dalam bioreaktor.
Dalam penerapan metode mikropropagasi klonal Phalaenopsis in-vitro sering
ditemukan beberapa kendala, salah satunya adalah browning. Browning pada
ekslpan merupakan salah satu masalah umum yang terjadi pada tahap awal dalam
kultur jaringan tanaman (Ru et al. 2013). Browning (pencoklatan) disebabkan oleh
oksidasi enzimatik senyawa fenolik yang dikeluarkan tanaman. Senyawa tersebut
menyebabkan media kultur menjadi coklat dan menghambat penyerapan nutrisi
oleh eksplan yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian (Ahmad et al. 2013).
Dalam mengatasi masalah tersebut, beberapa upaya telah dilakukan sebelumnya.
Inkubasi dalam ruang gelap (George dan Sherrington 1984), pemindahan eksplan
ke media baru (Compton dan Preece 1986), penambahan adsorben, dan antioksidan
(Ahmad et al. 2013) telah berhasil mengurangi browning. Penelitian ini
menggunakan PVP sebagai adsorben karena Chen et al. (2007) menyatakan bahwa
PVP terbukti efektif dalam mengendalikan dan mengurangi browning pada kultur
Phalaenopsis.
Kendala lain yang sering dikhawatirkan muncul dalam mikropropagasi klonal
in-vitro adalah variasi somaklonal pada bibit hasil perbanyakan. Untuk mengetahui
tingkat variasi somaklonal, maka diperlukan metode deteksi yang cepat dan tepat.
Metode deteksi variasi somaklonal dapat dilakukan dengan menggunakan beragam
teknik yang terdiri atas 3 kategori, yaitu: morfologi, fisiologi/biokimia, dan
molekuler (Bairu et al. 2011). Salah satu cara untuk mendeteksi variasi somaklonal
pada Phalaenopsis adalah dengan menggunakan marka molekuler. Marka
molekuler yang telah digunakan untuk analisis variasi somaklonal pada
Phalaenopsis adalah marka RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA;
Khoddamzadeh et al. 2010) dan ISSR (Inter simple sequence repeat; Samarfard et
al. 2013). Marka lain yang berpotensi digunakan untuk analisis variasi somaklonal
adalah SNAP (Single Nucleotide Amplified Polymorphysm). Walaupun belum ada
penelitian yang melaporkan penggunaan marka SNAP untuk menganalis
keragaman genetik tanaman klonal hasil perbanyakan, namun metode ini sangat
3

memungkinkan dilakukan, paling tidak untuk mengetahui ada atau tidaknya


perubahan SNP pada gen target klon hasil perbanyakan.

Tujuan

1. Mengevaluasi media induksi dan proliferasi PLBs Phalaenopsis amabilis,


serta menganalisis keragaman tanaman klon hasil propagasi menggunakan
marka SNAP berbasis gen Pto.
2. Menganalisis keragaman genetik 27 genotipe Phalaenopsis spesies dan zuriat
hasil persilangan antara P. bellina dan P. Salu Spot menggunakan marka
SNAP berbasis gen Pto.
3. Mengevaluasi metode inokulasi bakteri patogen penyebab busuk lunak
dengan uji leaf disk pada Phalaenopsis.
4. Mengevaluasi respon ketahanan 22 genotipe Phalaenopsis menggunakan uji
leaf disk dan evaluasi marka SNAP terkait ketahanan terhadap penyakit
berbasis gen Pto.

Hipotesis

1. Terdapat media kultur terbaik dalam induksi dan proliferasi PLBs


Phalaenopsis amabilis.
2. Metode propagasi klonal yang dilakukan tidak menyebabkan keragaman
somaklonal pada propagul anggrek Phalaenopsis yang dihasilkan.
3. Primer SNAP berbasis gen Pto yang didesain mampu menghasilkan produk
PCR yang polimorfik, sehingga dapat memisahkan spesies-spesies atau zuriat
hasil persilangan berdasarkan perbedaan SNP.
4. Terdapat metode inokulasi yang dapat mengevaluasi kareakter ketahanan
Phalaenopsis terhadap penyakit busuk lunak.
5. Terdapat genotipe Phalaenopsis yang tahan dan rentan terhadap serangan
penyakit busuk lunak yang disebabkan Dickeya dadantii.
6. Marka SNAP yang dikembangkan mampu memprediksi respon ketahanan
Phalaenopsis terhadap penyakit busuk lunak yang disebabkan Dickeya dadantii.

Ruang Lingkup Penelitian

Studi ini terdiri atas 4 penelitian, yakni: propagasi klonal Phalaenopsis


amabilis dan analisis keseragaman klon menggunakan marka SNAP berbasis gen
Pto (1), analisis keragaman genetik Phalaenopsis menggunakan marka SNAP
berbasis gen Pto (2), evaluasi metode inokulasi bakteri patogen penyebab busuk
lunak dengan uji leaf disk pada Phalaenopsis (3), pendugaan respon ketahanan 22
genotipe Phalaenopsis terhadap infeksi Dickeya dadantii dan evaluasi marka SNAP
berdasarkan karakter ketahanan (4). Alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.1.
Penelitian ke-1 bertujuan untuk memperoleh komposisi media induksi dan
proliferasi Phalaenopsis in-vitro yang optimal, serta menganalisis tingkat
keseragaman klon hasil perbanyakan. Penelitian ini dilaksanakan melalui beberapa
tahapan kegiatan, yakni: pembuatan media kultur untuk induksi dan proliferasi
4

PLBs Phalaenopsis amabilis; evaluasi media induksi dan proliferasi PLBs


Phalaenopsis amabilis; evaluasi keseragaman propagul hasil perbanyakan
menggunakan marka SNAP; dan analisis data.
Penelitian ke-2 bertujuan untuk mengevaluasi primer dan menganalisis
keragaman genetik Phalaenopsis menggunakan marka SNAP berbasis gen Pto.
Penelitian ini dilaksanakan melaui beberapa tahapan kegiatan, yakni: isolasi DNA
tanaman Phalaenopsis menggunakan metode CTAB; desain primer SNAP
berdasarkan 40 sekuen gen Pto Phalaenopsis; amplifikasi dan visualisasi produk
PCR; dan analisis data menggunakan perangkat lunak CERVUS 2.0 untuk
menentukan nilai PIC, GenAlEx 6.502 untuk menentukan nilai heterozigositas,
serta DARwin 6.0.14 untuk analisis faktorial dan konstruksi pohon filogenetik.
Penelitian ke-3 bertujuan untuk mengevaluasi metode inokulasi bakteri
patogen penyebab busuk lunak dengan uji leaf disk pada Phalaenopsis. Penelitian
ini dilaksanakan melaui beberapa tahapan kegiatan, yakni: Pembuatan isolat
bakteri Dickeya dadantii dari tanaman Phalaenopsis amabilis yang terserang
penyakit busuk lunak; pengujian galur isolat, konsentrasi inokulum, dan volume
inokulum dalam menginfeksi potongan daun Phalaenopsis amabilis; dan analisis
data.
Penelitian ke-4 bertujuan untuk mengevaluasi respon ketahanan 22 genotipe
Phalaenopsis spesies menggunakan uji leaf disk dan evaluasi marka SNAP terkait
ketahanan terhadap penyakit berbasis gen Pto. Penelitian ini dilakukan melalui
beberapa tahapan kegiatan, yakni: inokulasi bakteri patogen untuk evaluasi karakter
ketahanan 22 genotipe Phalaenopsis menggunakan metode leaf disk; analisis data
untuk mengklasifikasikan 22 genotipe Phalaenopsis berdasarkan tingkat
ketahanannya; konstruksi pohon filogenetik 22 genotipe Phalaenopsis spesies
menggunakan perangkat lunak DARwin 6.0.14; Evaluasi marka SNAP berdasarkan
klasifikasi ketahanan 22 genotipe Phalaenopsis spesies terhadap penyakit busuk
lunak.
Gambar 1. 1 Diagram alir penelitian

5
6

TINJAUAN PUSTAKA

Anggrek

Orchidaceae merupakan salah satu keluarga tumbuhan terbesar (Arditti 1992)


yang kurang lebih memiliki 43,000 spesies dari 750 genus berbeda (Iswanto 2002).
Indonesia sendiri memiliki sekitar 5000 spesies anggrek (Yusnita 2010).
Berdasarkan substrat tempat tumbuhnya, anggrek dapat dibedakan menjadi
beberapa kelompok, yakni anggrek epifit, terestrial, saprofit, litofit (Darmono 2003),
dan semi-akuatik (Yusnita 2010). Arditti (1992) menyatakan bahwa berdasarkan
substrat tempat tumbuhnya, sekitar 25% terrestrial, 70% epifit, dan 5% lainnya
dapat hidup pada berbagai jenis substrat, termasuk batu.
Cara membedakan anggrek dari tanaman lainnya adalah dengan melihat
morfologi bunganya. Secara umum, bunga anggrek terdiri atas tiga sepalum atau
kelopak bunga. Satu buah sepalum yang terletak di punggung dinamakan daun
kelopak punggung atau sepalum dorsale. Dua lainnya dinamakan daun kelopak
samping atau sepala lateralia. Mahkota bunga atau petala anggrek berjumlah tiga,
namun satu di antaranya termodifikasi menjadi labelum. Letak dua petala berseling
dengan sepala. Labelum atau bibir bunganya terletak di antara kedua sepala. Di
pusat bunga terdapat alat yang berfungsi sebagai alat kelamin jantan dan betina
yang menjadi satu bagian. Alat kelamin jantan dinamakan stemona atau benang sari,
sedangkan alat kelamin betina dinamakan tangkai putik atau gynostemium (Iswanto
2002).
Beberapa genus dari ratusan genus yang telah disebutkan oleh Iswanto (2002),
di antaranya telah dikenal luas karena keindahan bunganya. Contoh genus anggrek
yang yang telah dimanfaatkan sebagai tanaman hias antara lain adalah Cymbidium
(Obara-Okeyo dan Kako 1998), Phalaenopsis (Christenson 2001), Paphiopedilum
(Koopowitz et al. 2008), Dendrobium (Takamiya et al. 2011), Vanda, Ascocentrum,
Neofinetia, serta hibrida intergenerik lainnya (Teixeira da Silva 2013). Selain
karena keindahan bunganya, anggrek juga dikenal luas karena manfaat lainnya.
Salah satu anggrek yang telah dimanfaatkan dalam industri makanan adalah vanili
(Arditti 1992). Selain itu anggrek juga dimanfaatkan untuk keperluan medis, yakni
sebagai obat tradisional. Anggrek-anggrek tersebut antara lain adalah:
Anoectochilus (Huang et al. 1991), Dendrobium (Takamiya et al. 2011), dan
Gastrodia (Liu et al. 2002).

Teknik Perbanyakan dan Kultur Jaringan Anggrek

Anggrek umumnya dapat diperbanyak melalui dua cara, yakni melalui


perbanyakan generatif dan vegetatif. Perbanyakan generatif adalah perbanyakan
yang dilakukan dengan menggunakan organ biji sebagai bahan tanam, sedangkan
perbanyakan vegetatif adalah perbanyakan yang menggunakan bahan tanam dari
organ-organ vegetatif. Perbanyakan anggrek secara vegetatif dapat dilakukan
dengan pemisahan rumpun, keiki, stek batang, stek tangkai bunga, perbanyakan
dengan akar, perbanyakan dengan umbi, dan kultur jaringan (Soeryowinoto dan
Soeryowinoto 1977). Dibandingkan dengan perbanyakan vegetatif lainnya, metode
yang paling sering digunakan hingga saat ini adalah kultur jaringan. Metode ini
7

banyak digunakan karena dapat menghasilkan bibit dalam jumlah bersar dalam
waktu yang relatif singkat (Iswanto 2002).
Secara umum, teknik kultur jaringan didasarkan atas suatu konsep yang
dikemukakan oleh Scleiden dan Schwan, bahwa setiap sel dari suatu individu akan
mampu untuk berkembang menjadi individu yang sempurna jika berada pada
kondisi lingkungan yang sesuai (Soeryowinoto 1976). Kultur jaringan pada
tanaman anggrek pertama kali diperkenalkan oleh seorang ilmuan Prancis yang
bernama George Morel pada tahun 1960 (Sarwono 2002). Keberhasilan dalam
pemanfaatan metode kultur jaringan terutama sangat bergantung pada pengetahuan
yang lebih baik tentang kebutuhan hara sel dan jaringan yang disediakan oleh media
kultur selama proses tersebut dilakukan. Agar menghasilkan bibit dengan
pertumbuhan yang optimum, maka dibutuhkan komposisi media kultur yang tepat.
Hara terdiri atas komponen utama (garam mineral, sumber karbon dari gula, vitamin
dan pengatur tumbuh) dan tambahan (senyawa nitrogen organik, asam organik,
metabolit, dan ekstrak tambahan) (Gamborg 1991).
Sejak usaha persemaian benih anggrek secara in-vitro dilakukan oleh
Knudson (1946), kini perkembangan teknologi budidaya anggrek, khususnya di
dalam teknologi kultur jaringan semakin pesat. Hal tersebut ditunjukkan dari
banyaknya jumlah penelitian yang dilakukan untuk mengembangkan protokol
perbanyakan dan pemanfaatan kultur jaringan untuk kepentingan lainnya yang lebih
luas. Upaya mengembangkan metode sederhana seperti perbanyakan anggrek
menggunakan eksplan tangkai bunga (Tse et al. 1971) hingga metode yang rumit
seperti fusi protoplas (Kanchanapoom et al. 2001) telah dilakukan. Selain itu, kultur
jaringan juga telah digunakan lebih lanjut tidak hanya sebagai sarana perbanyakan,
tapi juga dijadikan alat untuk tujuan pemuliaan tanaman seperti induksi mutasi
(Rianawati 2010) hingga rekayasa genetika (Belarmino dan Mii 2000).
Walaupun penelitian-penelitian mutakhir tentang pemanfaatan kultur
jaringan dewasa ini telah berkembang pesat, namun penelitian-penelitian dasar
mengenai kebutuhan hara yang sesuai untuk menunjang pertumbuhan tanaman
dalam kultur jaringan masih sangat perlu dilakukan, mengingat kebutuhan hara
tanaman anggrek sifatnya spesifik/berbeda-beda dari satu jenis ke jenis yang
lainnya. Sebagai contoh, Park et al. (2002) menguji media dasar yang sesuai untuk
perbanyakan Phalaenopsis. Dalam penelitian tersebut, media MS dan Hyponex
menghasilkan persentase PLBs Phalaenopsis tertinggi dibandingkan dengan media
KC, LM, dan VW. Begitu juga pada penelitian Puspitaningtyas et al. (2006) yang
menunjukkan bahwa biji anggrek P. serpentilingua dapat berkecambah baik pada
media MS dan Hyponex. Pada penelitian lainnya, Pimsen dan Kanchanapoom
(2011) menguji konsentrasi karbohidrat yang sesuai dalam perbanyakan PLBs
Grammatophyllum speciosum. Dalam penelitian tersebut, pemberian sukrosa
sebanyak 2% pada media kultur menghasilkan respon terbaik dibandingkan
perlakuan lainnya.

Browning dalam Kultur Jaringan

Browning pada ekslpan merupakan salah satu peristiwa yang umum terjadi
pada tahap awal dalam kultur jaringan (Ru et al. 2013). Peristiwa ini biasanya dipicu
akibat adanya luka bekas potongan saat persiapan eksplan sebelum ditanam
kedalam media kultur (Yahraus et al. 1995) pada banyak spesies tanaman berkayu
8

(Ahmad et al. 2013). Selain pada spesies-spesies tanaman berkayu, browning juga
diketahui muncul pada eksplan anggrek Phalaenopsis yang dikultur (Xu et al. 2005).
Proses ini disebabkan oleh oksidasi enzimatik senyawa fenolik yang dikeluarkan
tanaman, yakni: PPO (polifenol oksidase), POD (peroksidase), dan PAL (L-
fenilalanina amonialiase) (Xu dan Li 2006). Pada dasarnya, senyawa fenolik
tersebut diproduksi sebagai respon dari stres abiotik maupun biotik sebagai
mekanisme pertahanan tanaman. Dalam kultur jaringan, senyawa fenolik tersebut
menyebabkan media kultur menjadi coklat dan dapat menghambat penyerapan
nutrisi oleh eksplan yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian (Ahmad et
al. 2013).
Faktor-faktor stres abiotik seperti pemotongan dan pelukaan dapat memicu
keluarnya senyawa fenolik dari tanaman (Stewart et al. 2001). Selain hal tersebut,
faktor lain seperti pH, temperatur, keberadaan oksigen, jumlah dan sifat senyawa
fenolik, jumlah ion logam, aktifitas PPO (Yoruk dan Marshall 2003), umur tanaman,
dan ukuran tanaman (Chandra et al. 2007) dapat memengaruhi tingkat browning
pada eksplan. Berdasarkan penelitian Ozyigit (2008), umur tanaman induk
berkorelasi positif dengan eksudasi senyawa fenolik pada kultur jaringan kapas.
Pencoklatan dapat menghambat pertumbuhan tanaman bahkan menyebabkan
kematian sehingga pencegahannya sangat penting untuk dilakukan. Usaha dalam
mengurangi browning antara lain dengan merendam eksplan Eucalyptus dalam air
steril kemudian mengkulturkannya dalam ruangan yang bersuhu 16°C (Cresswell
dan Nitsch 1975), mengkulturkan dalam ruang gelap (George dan Sherrington
1984), memindahkan eksplan ke media baru (Compton dan Preece 1986),
penambahan adsorben, dan antioksidan (Ahmad et al 2013).

Sitokinin

Penemuan sitokinin pertama kali diawali dari penelitian F.Skoog dan C.O.
Miller yang menemukan suatu senyawa/zat yang dapat merangsang pertumbuhan
kalus dari jaringan empulur tembakau. Pada penelitian tersebut ditemukan bahwa
media kultur yang ditambah dengan air kelapa, ekstrak ragi, dan IAA dapat
memacu pertumbuhan kalus (Watimena 1988). Sejak penemuan zeatin, beberapa
sitokinin yang terdapat di alam dan beberapa substansi sintetik yang memiliki
persamaan aktivitas biologis telah berhasil teridentifikasi (Srivastava 2002).
Secara umum, jaringan tanaman tertentu mengandung beberapa jenis
sitokinin dan turunannya. Distribusi berbagai sitokinin berbeda-beda antar spesies
tanaman secara signifikan. Analisis fenotipik mutan biosintetik dapat
mengungkapkan peran dari sitokinin spesifik. Sayangnya, belum ada mutan dengan
sitokinin tereduksi yang berhasil diisolasi, dan ekspresi gen-gen biosintetik yang
berlebihan umumnya memengaruhi seluruh kelompok sitokinin endogen. Oleh
karena itu, sulit untuk mengukur sitokinin secara in-vivo, terutama berkenaan
dengan distribusinya di dalam jaringan tanaman atau organ tertentu, sehingga
pengetahuan mengenai peranan sitokinin itu sendiri secara in-vivo masih sangat
terbatas (Haberer dan Kieber 2002) .
Fungsi sitokinin dalam kultur jaringan antara lain: memacu proses
pembentukan tunas yang berasal dari jaringan kalus, daun, potongan batang atau
kotiledon (Hendaryono dan Wijayani 1994). Selain itu, Widyastuti dan
Tjokrokusumo (2001) menambahkan bahwa sitokinin berperan dalam proses
9

pembelahan sel, proliferasi tunas, penghambatan pertumbuhan akar tanaman, dan


juga induksi umbi mikro kentang. Menurut Hendaryono dan Wijayani (1994),
sekitar 75% spesies tanaman membentuk tunas jika diberikan kinetin atau BAP
dengan konsentrasi sekitar 0.1-10 mg/l pada media kultur. Pada anggrek, sitokinin
telah digunakan untuk inisiasi planlet dari kuncup lateral perbungaan Phalaenopsis
secara in-vitro. Selain itu sitokinin juga berfungsi dalam menginduksi pembungaan
pada beberapa Dendrobium dan Aranda hibrida serta meningkatkan produksi tunas
lateral yang dibentuk oleh anggrek Paphiopedilum (Arditti 1992). Pada kultur
jaringan anggrek, senyawa yang umum digunakan adalah BAP dan TDZ (Ishii et
al. 1998; Gow et al. 2008). Senyawa tersebut sebenarnya merupakan senyawa
sintetik dari golongan sitokinin yang biasa dipakai dalam perbanyakan in vitro
untuk menstimulasi pembelahan sel dan multiplikasi tunas (George dan Sherrington
1984).

Embriogenesis Somatik

Embrio merupakan tahap multiseluler awal dari sebuah individu yang terjadi
sebelum struktur atau organnya berkembang menjadi organisme utuh. Pada
kebanyakan organisme, embrio secara morfologi memiliki bentuk berbeda yang
merupakan tahap transisi dari siklus hidup gametofitik ke sporofitik. Pada
tumbuhan tingkat tinggi kebanyakan embrio berkembang dalam biji yang
merupakan perkembangan dari hasil fusi antara gamet jantan dan betina (zigot)
melalui proses reproduksi seksual yang biasa disebut embrio zigotik. Walaupun
demikian, embrio juga dapat berkembang dari berbagai macam sel dan jaringan
baik dari fase gametofitik maupun sporofitik yang dikenal dengan embrio
nonzigotik atau embrio somatik (Gray 2005).
Pengetahuan awal mengenai embriogenesis somatik dimulai ketika Steward
et al. (1958) mendemonstrasikan regenerasi tanaman melalui embriogenesis
somatik melalui kultur sel wortel. Setelah itu, usaha dalam regenerasi tanaman
melalui embriogenesis somatik telah berhasil dilakukan pada berbagai tanaman
baik angiosperma maupun gimnosperma, sehingga pada akhirnya embrogenesis
somatik dipandang sebagai kemampuan umum dari tanaman tingkat tinggi (Gray
2005). Dalam embriogenesis somatik, sel somatik membelah hingga membentuk
embrio sempurna yang proses perkembangannya mirip dengan emriogenesis
zigotik. Embrio somatik memiliki struktur bipolar yang terdiri atas meristem akar
dan pucuk. Embrio berkembang melalui tahap globular, hati, torpedo, kotiledon,
dan kemudian fase maturasi (Park et al. 2010).
Pada tanaman monokotil, khususnya anggrek, induksi embriogenesis somatik
sudah banyak berhasil dilakukan dengan menggunakan berbagai jenis eksplan baik
melalui embriogenesis somatik langsung maupun tidak langsung. Menurut Lee et
al. (2013), istilah protocorm-like bodies (PLBs) adalah sama dengan embrio
somatik karena pada tahap awal pembentukannya sel menunjukkan karakteristik
sitologi dan penanda dinding sel menyerupai perkembangan embrio zigotik. Organ
tanaman yang digunakan sebagai eksplan dalam induksi embrio somatik anggrek
antara lain: potongan daun (Park et al. 2002; Kuo et al. 2005; Chen dan Chang
2006; Rianawati et al. 2009), akar (Park et al. 2003), rimpang (Takahashi dan
Kondo 1998), ujung tunas/shoot tips (Morel 1970; Devi et al. 1997; Subramanium
dan Taha 2003), dan tangkai bunga (Goh dan Wong 1990).
10

Penggunaan eksplan daun dinilai memiliki keunggulan dibandingkan dengan


menggunakan ujung tunas karena mudah untuk membentuk embrio somatik atau
tunas dan tidak begitu merusak tanaman induknya. Selain itu, eksplan daun tersedia
sepanjang waktu, tidak seperti eksplan tangkai bunga yang terbatas musim (Chugh
et al. 2009). Keberhasilan dalam induksi embrio somatik pada anggrek ditentukan
oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain genotipe, sistem pencahayaan,
posisi dan arah eksplan (Gow et al. 2009), jenis dan konsentrasi zat pengatur
tumbuh (Kuo et al. 2005; Chen dan Chang 2006; Gow et al. 2008), periode kultur
dan ukuran eksplan (Gow et al. 2010).
Kuo et al. (2005) menyatakan bahwa penggunaan BA dan TDZ lebih efektif
dalam induksi embrio somatik langsung pada potongan daun Phalaenopsis ‘Little
Steve’ dibandingkan dengan penggunaan kinetin. Hasil yang sama juga diperoleh
melalui penelitian Gow et al. (2008) yang menyatakan bahwa persentase
embriogenesis tertinggi pada eksplan daun Phalaenopsis amabilis dihasilkan pada
media dengan penambahan BA sebanyak 3 mg/l, sementara jumlah embrio
terbanyak yang dihasilkan oleh eksplan berasal dari media dengan penambahan
TDZ sebanyak 3 mg/l. Berkebalikan dengan sitokinin yang dapat memacu
pembentukan embrio somatik, auksin jenis 2,4 D (Kuo et al. 2005) dan NAA (Chen
dan Chang 2006; Gow et al. 2010; Khoddamzadeh et al. 2011) dalam media dapat
menghambat induksi embrio somatik langsung pada Phalaenopsis.
Cahaya sangat menghambat embriogenesis somatik pada Phalaenopsis
Nebula dan Phalaenopsis amabilis baik dengan bagian abaksial daun bersentuhan
langsung degan media atau sebaliknya. Phalaenopsis amabilis lebih sensitif dengan
efek negatif yang ditimbulkan pencahayaan dibandingkan dengan Phalaenopsis
Nebula dalam embriogenesis somatik. Eksplan dari bagian pangkal daun
menghasilkan persentase embriogenesis yang lebih tinggi dibandingkan dengan
bagian ujung daun (Gow et al. 2008). Selain hal tersebut, hasil penelitian Gow et
al. (2010) menyatakan bahwa eksplan daun Phalaenopsis yang ukurannya kurang
dari 1 cm lebih baik dibandingkan dengan ukuran eksplan yang lebih besar, dan
pada kasus ini, periode subkultur terbaik adalah 45 hari.

Analisis Variasi Somaklonal Phalaenopsis

Tujuan perbanyakan klonal adalah mendapatkan tanaman klon yang true to


type dengan induknya. Sesuai dengan tujuan tersebut, maka tanaman hasil
perbanyakan klonal harus dievaluasi untuk mengetahui tingkat keseragamannya.
Untuk mengetahui tingkat variasi somaklonal, maka diperlukan metode deteksi
yang tepat. Metode deteksi variasi somaklonal dapat dilakukan dengan
menggunakan beragam teknik yang terdiri atas 3 kategori, yaitu: morfologi,
fisiologi/biokimia, dan molekuler (Bairu et al. 2011).
Salah satu cara yang efisien untuk mendeteksi variasi somaklonal pada
Phalaenopsis adalah dengan menggunakan marka molekuler. Marka molekuler
yang telah digunakan untuk analisis variasi somaklonal pada Phalaenopsis adalah
marka RAPD dan ISSR. Pengunaan marka RAPD untuk mendeteksi variasi
somaklonal pada PLBs Phalaenopsis bellina pada media induksi ½ MS + 3 mg/l
TDZ menunjukkan tidak adanya perbedaan antara tanaman induk dengan PLBs
hasil perbanyakan pada usia 3 bulan. Namun setelah PLBs hasil induksi tersebut
disubkulturkan kembali selama 6 bulan, hasilnya menunjukkan bahwa terdapat 17%
11

ketidaksamaan dengan tanaman induknya (Khoddamzadeh et al. 2010). Selain


penggunaan marka RAPD, marka ISSR juga telah digunakan untuk menganalisis
variasi somaklonal pada anggrek Phalaenopsis. Penelitian Samarfard et al. (2013)
menghasilkan sejumlah 275 pita monomorfik antara tanaman induk dan PLBs
sekunder yang berusia 16 minggu menggunakan marka ISSR.

Mekanisme Pertahanan Tanaman terhadap Penyakit

Tanaman pada dasarnya selalu berhubungan langsung dengan berbagai


mikroba patogen, seperti cendawan, oomycetes, bakteri, dan virus. Untuk
menangkal patogen tersebut, tanaman harus mengenali dan mengaktifkan secara
efektif mekanisme pertahannannya (Ponce de Leon dan Montesano 2013). Secara
umum, pertahanan tanaman dibagi menjadi dua, yakni mekanisme pertahanan
konstitutif dan mekanisme pertahanan trinduksi. Mekanisme pertahanan konstitutif
adalah mekanisme pertahanan yang selalu aktif, sedangkan mekanisme pertahanan
terinduksi adalah mekanisme pertahanan yang akan aktif apabila adanya serangan
patogen (Tollrian dan Harvell 1999).
Ketahanan terinduksi merupakan kondisi peningkatan kapasitas defensif
secara fisiologis yang ditimbulkan oleh stimulus lingkungan tertentu, ketika
pertahanan bawaan tanaman diperkuat pada cekaman biotik di masa yang akan
datang (van Loon et al. 1998). Keadaan ini efektif melawan berbagai patogen dan
parasit, termasuk jamur, bakteri, virus, nematoda, tanaman parasit, dan bahkan
serangga herbivora (Vallad dan Goodman 2004) .
Mekanisme systemic acquired resistance (SAR) dan induced systemic
resistance (ISR) merupakan bentuk dari mekanisme pertahanan terinduksi
(Choudhary et al. 2007). Kedua mekanisme pertahanan tersebut dapat dibedakan
dari tipe agen penginduksi dan jalur penghantaran sinyal pada inang yang
menghasilkan ekspresi ketahanan (Hammerschmidt 2007). SAR dapat terpicu
apabila tanaman terekspos mikroba (virulen, avirulen, atau nonpatogenik) atau
secara artifisial dengan bahan kimia seperti asam salisilat (Sticher et al. 1997),
sedangkan ISR dapat terpicu oleh PGPR (plant growth-promoting rhizo-bacteria),
seperti strain-strain pada beberapa spesies Pseudomonas yang tidak menunjukkan
kerusakan sama sekali pada sistem perakaran tanaman (van Loon et al. 1998).
Perbedaan lainnya adalah bahwa SAR melibatkan akumulasi protein PR
(pathogenesis-related) dan asam salisilat, sedangkan ISR tidak (Vallad dan
Goodman 2004).

Marka Molekuler

Penerapan metode biologi molekuler mempunyai manfaat yang sangat besar


bagi manusia. Manfaatnya tidak hanya pada penyelesaian masalah ilmiah dasar saja,
tetapi juga dapat diaplikasikan pada berbagai macam masalah-masalah yang
dihadapi manusia seperti: pencegahan penyakit dan pengobatan, pembuatan produk
protein baru, bahkan rekayasa tanaman dan hewan untuk mendapatkan sifat
fenotipik tertentu yang diinginkan (Tait 1999).
Salah satu manfaat penggunaan teknik molekuler adalah untuk mendapatkan
marka terkait ketahanan terhadap penyakit. Marka molekuler yang telah digunakan
12

adalah RFLP pada tanaman padi terkait dengan ketahanan terhadap penyakit yang
disebabkan oleh patogen Pyricularia orizae (Yu et al. 1991), RAPD pada tanaman
padi terkait dengan ketahanan terhadap penyakit hawar daun bakteri (Yoshimura et
al. 1995), AFLP pada tanaman gandum terkait dengan ketahanan terhadap penyakit
yang disebabkan oleh patogen Erysiphe graminis p.v. trictici (Hartl et al. 1998),
SSR pada tanaman gandum terkait dengan ketahanan terhadap penyakit yang
disebabkan oleh Erysiphe graminis p.v. trictici (Xie et al. 2003), dan SNAP pada
tanaman pisang terkait dengan ketahanan terhadap penyakit layu panama yang
disebabkan oleh patogen Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Sutanto 2014).
Semua metode analisis molekuler tersebut berpegang pada prinsip dasar
bahwa DNA suatu individu organisme mengandung gen yang menyandikan
karakter fisik dengan kombinasi yang unik, kecuali pada kasus kembar identik.
Oleh karena itu, DNA yang diisolasi dari suatu individu organisme dapat digunakan
untuk memprediksi karakter fisik atau untuk mengidentifikasi individu-individu
dalam suatu kelompok (Tait 1999).
Salah satu marka molekuler yang tergolong baru adalah Allel Specific-PCR
(AS-PCR) atau Single Nucleotide Amplified Polymorphism (SNAP; Liu et al. 2012).
Marka molekuler tersebut dapat digunakan dengan memanfaatkan keberadaan situs
SNP yang berlimpah jumlahnya dalam genom tanaman (Varshney et al. 2004).
SNP sendiri dapat didefinisikan sebagai perubahan/subtitusi basa tunggal atau
indels (insersi dan delesi) pada posisi nukleotida tertentu (Kim et al. 2005). Sebagai
contoh, pada 25 genotipe kedelai ditemukan 280 SNP (233 subtitusi basa dan 27
indels) dalam runutan basa nukleotida yang berukuran 76,3-kbp (Zhu et al. 2003).
Pada anggrek Phalaenopsis marka molekuler SNAP juga telah digunakan.
Handini (2014) menggunakan marka SNAP berbasis gen CHS untuk menganalisis
keragaman 12 genotipe Phalaenopsis dan populasi hibrida TSW1102 (P. bellina x
P. Salu Spot), sedangkan Elina (2016) menggunakan marka SNAP berbasis gen Pto
untuk seleksi tidak langsung sifat ketahanan tanaman anggrek Phalaenopsis
terhadap penyakit busuk lunak.

Gen Pto

Hingga saat ini, informasi mengenai resistance gene analogues (RGAs) tipe
Pto yang telah diisolasi dari tanaman tergolong masih sangat minim apabila
dibandingkan dengan RGAs tipe nucleotide binding site (NBS) yang merupakan
kelas gen ketahanan terbesar dengan sebuah domain NBS dan sebuah LRR (leucine-
rich repeat) (Wan et al. 2009). Homolog Pto dewasa ini telah dianalisis dari genus
tanaman Solanum (Vleeshouwers et al. 2001), Phaseolus vulgaris L. (Vallad et al.
2001), Citrus sp. (Deng and Gmitter 2003), Vitis vinifera L. (Di Gaspero dan
Cipriani 2003), Musa acuminate Colla (Peraza-Echeverría et al. 2007), Fragaria
ananassa Duch. (Martínez Zamora et al. 2008), Theobroma cacao (Kurniasih 2012),
dan Genus Phalaenopsis (Elina 2016).
Gen Pto adalah salah satu dari kelompok gen ketahanan yang tidak memiliki
daerah terkonserfasi NBS-LRR, tapi gen ini termasuk dalam kelompok RGA yang
produk proteinnya berperan dalam tahap awal pengenalan infeksi dan transduksi
sinyal untuk mengaktifkan mekanisme respon ketahanan tanaman terhadap patogen
(Wan et al. 2009). Gen Pto mengkode serine/threonine kinase (STK) yang
berinteraksi secara fisik dengan protein avirulen AvrPto dan AvrPtoB dari bakteri
13

Pseudomonas syringae pv. tomato, yang mengekspresikan ketahanan melalui


hypersensitive response (HR; Wan et al. 2013). Selain itu, Pto juga berinteraksi
dengan Pti4, Pti5, dan Pti6, yang merupakan faktor transkripsi yang mungkin
terlibat dalam regulasi gen PR (Cohn et al. 2001).

Bakteri Dickeya dadantii

Dickeya dadantii (Erwinia chrisantemii) adalah bakteri fitopatogen yang


menyebabkan penyakit busuk lunak pada banyak tanaman. Seperti spesies Erwinia
lainnya, bakteri ini merupakan salah satu bakteri fitopatogenik dari famili
Enterobacteriaceae yang dapat menyebabkan penyakit busuk lunak pada berbagai
tanaman penting secara ekonomi (Grenier et al. 2006). Bakteri ini dapat bertahan
di dalam tanah, yang kemudian ditularkan ke tanaman dengan perantara air,
berbagai jenis serangga, atau teknik budidaya. Salah satu serangga vektor yang
diklaim menjadi vektor dari beberapa spesies Erwinia adalah Drosophila
melanogaster (Basset et al. 2000).
Gejala umum yang ditimbulkan dari infeksi Dickeya dadantii atau yang
dikenal dengan sebutan busuk lunak pektinolitik Erwinia, ditandai dengan
kerusakan cepat jaringan parenkima yang terutama disebabkan oleh enzim pektik
(Hugouvieux-Cotte-Pattat et al. 1996). Enzim pektolitik merupakan komponen
penting di dalam patogenisitas yang mampu mendegradasi pektat (Rianawati 2010).
Bakteri masuk ke jaringan tanaman melalui lubang alami atau lubang yang
disebabkan oleh luka, kemudian menginfeksi daun, lalu memperbanyak diri pada
ruang intraseluler dengan bantuan enzim pektinolitik. Dengan bantuan enzim ini,
bakteri dapat mendegradasi dinding sel tanaman sehingga jaringan tanaman yang
terserang menjadi busuk (Elina 2016).
14

3 PROPAGASI KLONAL Phalaenopsis amabilis DAN ANALISIS


KESERAGAMAN KLON MENGGUNAKAN MARKA
SNAP BERBASIS GEN Pto

Abstrak

Phalaenopsis amabilis merupakan salah satu spesies anggrek asli Indonesia


yang memiliki bunga putih besar dengan labellum berwarna kuning. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengevalusasi pelbagai komposisi media dan kondisi
kultur pada tahap induksi PLBs menggunakan eksplan daun (TDZ, PVP, dan pH),
komposisi media dalam proliferasi PLBs ( TDZ, PVP), dan tingkat keragaman
somaklon yang disebabkan oleh media dan kondisi kultur menggunakan marka
SNAP. Media kultur 3 mg/l TDZ + 0,5 g/l PVP, sementara pada percobaan lain
(menggunakan 1 mg/l TDZ + 05 mg/l PVP) pH 7 merupakan media yang paling
sesuai salam induksi PLBs menggunakan eksplan daun. Pada percobaan proliferasi
PLBs, penggunaan TDZ dalam konsentrasi rendah dikombinasikan dengan
penggunaan PVP dapat digunakan pada tahap proliferasi. Tingkat keragaman
somaklonal dari tanaman klon (diinduksi dalam media 1 mg/l TDZ + 05 mg/l PVP
selama 2 bulan) adalah sebesar 11.76% (88.24% klon seragam) apabila
dibandingkan dengan tanaman induk menggunakan marka SNAP berbasis gen Pto.

Kata kunci : marka SNAP, Phalaenopsis, polyvinylpyrrolidone, propagasi klonal,


thidiazuron

Abstract

Phalaenopsis amabilis is a native orchid species of Indonesia that has big


white flowers with yellow coloration on its labellum. The objectives of this study
were to investigate various medium compositions and conditions in leaves-derived
PLBs induction (TDZ, PVP,dan pH), medium composition in PLBs proliferation
(TDZ, PVP), and degree of somaclonal variation caused by in-vitro propagation
condition using SNAP markers. Medium containing 3 mg/l TDZ + 0,5 g/l PVP,
while in other trial (using 1 mg/l TDZ + 05 mg/l PVP) pH 7 was the most suitable
medium for leaves-derived PLBs induction. In proliferation of PLBs, low
concentrations TDZ along with 0.5 g/l PVP can be used as well as in higher
concentrations. Somaclonal variation degree of clones (propagated in medium
containing 1 mg/l TDZ + 05 mg/l PVP; 2 month exposed) was 11.76% (88.24%
identical clones) compared to mother plant using 18 sets of primer Pto gene-based
SNAP marker.

Keywords: clonal propagation, Phalaenopsis, polyvinylpyrrolidone, SNAP


marker, thidiazuron
15

Pendahuluan

Phalaenopsis amabilis atau yang lebih sering dikenal dengan nama anggrek
bulan, merupakan salah satu spesies dari marga Phalaenopsis yang memiliki bunga
berwarna putih polos dengan labellum berwarna kuning dengan beberapa garis
merah dan memilik ukuran 7-12 cm (Handoyo 2010). Keberadaan anggrek ini di
alam masih terbilang cukup melimpah. Di Indonesia sendiri, anggrek ini dapat
dijumpai di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Ambon, Buru, Papua, dan Jawa
(Djaafarer 2003). Walaupun jumlahnya masih cukup melimpah, tetapi perlu
dilakukan upaya konservasi dari sekarang mengingat tingginya laju perburuan dan
perusakan hutan sebagai habitatnya. Agar di kemudian hari anggrek ini tidak punah,
maka diperlukan metode perbanyakan yang tepat. Salah satu metode yang dapat
digunakan adalah dengan mikropropagasi klonal in-vitro.
Protokol mikropropagasi klonal in-vitro Phalaenopsis pada penelitian
sebelumnya umumnya dilakukan melalui pembentukan PLBs (embrio somatik) dan
tunas aksilar menggunakan berbagai jenis eksplan (Chugh et al. 2009). Jaringan
daun merupakan salah satu sumber eksplan yang sering digunakan untuk
menghasilkan PLBs melalui embriogenesis somatik langsung (Kuo et al. 2005;
Chen dan Chang 2006; Gow et al. 2008; Khoddamzadeh et al. 2011). Keberhasilan
dalam induksi PLBs menggunakan eksplan daun sangat dipengaruhi oleh
keberadaan sitokinin pada media kultur. Hasil penelitian Chen dan Chang (2006)
menunjukkan bahwa penambahan sitokinin sintetik TDZ secara tunggal ke dalam
media kultur efektif meningkatkan keberhasilan induksi embrio somatik langsung
pada eksplan daun Phalaenopsis amabilis Shimadzu var. formosa. Hasil induksi
PLBs dapat langsung diregenerasikan menjadi planlet atau diproliferasikan kembali
untuk mendapatkan planlet klon dalam jumlah yang lebih besar. Perbanyakan
melalui proliferasi tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan media cair dalam
bioreaktor (Park et al. 2000) atau dengan media padat (Raynalta dan Sukma 2013;
Samarfard et al. 2013). Media padat digunakan dalam penelitian ini, baik pada tahap
induksi dan proliferasi PLBs karena metode ini lebih sederhana dan hemat biaya
dibandingkan dengan kultur cair dalam bioreaktor.
Dalam penerapan metode mikropropagasi klonal Phalaenopsis in-vitro sering
ditemukan beberapa kendala, salah satunya adalah browning. Browning pada
ekslpan merupakan salah satu masalah umum yang terjadi pada tahap awal dalam
kultur jaringan tanaman (Ru et al. 2013). Proses browning disebabkan oleh oksidasi
enzimatik senyawa fenolik yang dikeluarkan tanaman, yakni: PPO (polifenol
oksidase), POD (peroksidase), dan PAL (L-fenilalanina amonialiase) (Xu dan Li
2006). Pada dasarnya, senyawa fenolik tersebut diproduksi sebagai respon dari stres
abiotik maupun biotik sebagai mekanisme pertahanan tanaman. Dalam kultur
jaringan, senyawa fenolik tersebut menyebabkan media kultur menjadi coklat dan
dapat menghambat penyerapan nutrisi oleh eksplan yang pada akhirnya dapat
menyebabkan kematian (Ahmad et al. 2013). Dalam mengatasi masalah tersebut,
inkubasi dalam ruang gelap (George dan Sherrington 1984), pemindahan eksplan
ke media baru (Compton dan Preece 1986), penambahan adsorben, dan antioksidan
(Ahmad et al. 2013) telah dilakukan. Salah satu adsorben yang telah digunakan
untuk mengurangi browning pada kultur Phalaenopsis adalah PVP (Raynalta dan
Sukma 2013; Chen et al. 2007).
16

Masalah lain yang dikhawatirkan muncul dalam mikropropagasi klonal in-


vitro adalah variasi somaklonal. Untuk mengetahui tingkat variasi somaklonal,
maka diperlukan metode deteksi yang sesuai. Metode deteksi variasi somaklonal
dapat dilakukan dengan menggunakan beragam teknik yang terdiri dari 3 kategori,
yaitu: morfologi, fisiologi/biokimia, dan molekuler (Bairu et al. 2011). Marka
molekuler yang telah digunakan untuk analisis variasi somaklonal pada
Phalaenopsis adalah marka RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA;
Khoddamzadeh et al. 2010) dan ISSR (Inter-Simple Sequence Repeat; Samarfard
et al. 2013). Marka lain yang berpotensi digunakan untuk analisis variasi
somaklonal adalah SNAP (Single Nucleotide Amplified Polymorhism). Walaupun
belum ada penelitian yang melaporkan penggunaan marka SNAP untuk menganalis
keragaman genetik tanaman klon hasil perbanyakan, namun metode ini sangat
memungkinkan dilakukan paling tidak untuk mengetahui ada atau tidaknya
perubahan SNP (Single Nucleutide Polymorphism) pada gen target dalam genom
tanaman klon hasil perbanyakan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi media induksi dan
proliferasi PLBs (protocorm-like bodies) Phalaenopsis amabilis dan menganalisis
tingkat keseragaman tanaman hasil perbanyakan klonal in-vitro dengan marka
molekuler SNAP berbasis gen Pto.

Bahan dan Metode

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan 1 dan


Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman, Departemen Agronomi dan
Hortikultura, Institut Pertanian Bogor pada bulan Desember 2015 sampai dengan
bulan Januari 2017. Penelitian ini terdiri atas 3 percobaan in-vitro dan 1 kegiatan
analisis molekuler. Percobaan 1: Pengaruh TDZ dan PVP dalam induksi PLBs
menggunakan eksplan daun, percobaan 2: pengaruh pH media dalam induksi PLBs
menggunakan eksplan daun, percobaan 3: pengaruh TDZ dan PVP dalam
proliferasi PLBs, percobaan 4: analisis keseragaman klon hasil perbanyakan klonal.

3.2.1 Sumber Eksplan dan Kondisi Kultur


Bahan tanaman yang digunakan pada percobaan induksi PLBs adalah
potongan daun pertama dari planlet P. amabilis usia 4 bulan sejak awal penyemaian
benih yang ditanam pada media Knudson C (KC; Knudson 1946) selama 3 bulan,
kemudian disubkultur ke media HP (2 g/l Hyponex 20:20:20, 50g/l ekstrak pisang,
50 g/l ekstrak kentang, 2 g/l arang aktif, vitamin MS (Murashige dan Skoog), 30 g/l
gula, dan 7 g/l agar). pH media diatur hingga 5.2 sebelum disterilisasi pada suhu
121oC dengan tekanan 15 psi selama 20 menit. Tiap botol kultur dengan media HP
ditanami 10 planlet. Planlet yang telah ditanam diinkubasikan pada ruang kultur
dengan periode pencahayaan 16 jam (500-800 lux) selama 2 minggu, kemudian
dipindahkan ke kondisi gelap selama 2 minggu sebelum digunakan sebagai bahan
percobaan.
Bahan tanam yang digunakan pada percobaan proliferasi PLBs (pengaruh
TDZ dan PVP) adalah protokorm asal benih yang ditanam pada media KC selama
3 bulan, kemudian disubkultur ke media HP dengan periode pencahayaan 16 jam
selama 1 bulan.
17

3.2.2 Induksi PLBs Menggunakan Eksplan Daun


Media dasar ½ MS dengan penambahan 100 mg/l myo-inositol, 0.5 mg/l
niasin, 0.5 mg/l piridoksin HCl, 0.1 mg/l thiamin HCl, 2.0 mg/l glisin, 1 g/l pepton,
30 g/l gula, dan 7 g/l agar digunakan sebagai media dasar pada percobaan ini.
Pengujian pengaruh TDZ (Thidiazuron) dan PVP (Polyvinylpyrrolidone) dilakukan
dengan mengombinasikan 4 taraf konsentrasi TDZ (0.1, 0.5, 1, 3 mg/l) dan 2 taraf
konsentrasi PVP (0 dan 0.5 g/l). Pada percoban ini, pH seluruh media perlakuan
diatur hingga 5.2 sebelum sterilisasi. Potongan daun pertama yang berukuran 0.7-1
cm dari planlet P. amabilis disayat secara transfersal (Gambar 3.1a), kemudian
dimasukkan ke dalam media perlakuan dengan posisi abaksial kontak dengan media
kultur. Percobaan ini menggunakan RAL (Rancangan Acak Lengkap) dua faktor.
Seluruh perlakuan diulang 3 kali sehingga terdapat 24 unit percobaan, setiap unit
percobaan terdiri atas 3 botol kultur yang masing-masing ditanami 1 eksplan.
Pengujian pengaruh pH dilakukan dengan menggunakan media dasar yang
sama dengan penambahan 1 mg/l TDZ dan 0.5 g/l PVP pada beberapa taraf pH (4,
5, 6, dan 7). Percobaan ini menggunakan RAL satu faktor. Seluruh perlakuan
diulang 3 kali, sehingga terdapat 12 unit percobaan. Setiap unit percobaan terdiri
atas 3 botol kultur yang masing masing ditanami 1 eksplan.
Eksplan yang telah ditanam diinkubasikan ke dalam ruang kultur dengan
kondisi gelap selama dua bulan. Pengamatan dilakukan terhadap parameter warna
eksplan (hijau, kuning, coklat), jumlah eksplan hidup, jumlah eksplan berespon
membentuk PLBs, dan jumlah PLBs yang terbentuk. Setelah dua bulan, dilakukan
subkultur ke dalam media baru yang sama dengan perlakuan sebelumnya dan
diinkubasi dalam ruang kultur dengan periode pencahayaan 16 jam selama dua
bulan. Eksplan yang membentuk PLBs kemudian disubkultur ke dalam media
regenerasi HP dengan periode subkultur 4 bulan sekali.

3.2.3 Proliferasi PLBs dari Protokorm


Pengujian pengaruh TDZ dan PVP dalam proliferasi PLBs menggunakan
media dasar dan perlakuan yang sama dengan percobaan sebelumnya. Protokorm
yang digunakan sebagai eksplan dipotong bagian apikalnya sebelum dimasukkan
ke dalam media perlakuan. Eksplan ditanam dengan posisi basal menyentuh media
kultur. Percobaan ini menggunakan RAL 2 faktor dengan 3 ulangan. Setiap unit
percobaan terdiri atas 3 botol kultur yang masing masing ditanami 3 eksplan.
Eksplan yang telah ditanam diinkubasi ke dalam ruang kultur dengan kondisi
gelap selama 1 bulan, kemudian dipindahkan ke ruang kultur dengan periode
pencahayaan 16 jam selama 1 bulan. Pengamatan dilakukan terhadap parameter
jumlah eksplan hidup, jumlah eksplan membentuk PLBs, dan jumlah PLBs yang
terbentuk. Setelah dua bulan inkubasi, PLBs kemudian disubkultur ke media
regenerasi HP dalam ruang kultur (16 jam pencahayaan) dengan periode subkultur
4 bulan sekali.

3.2.4 Analisis Data Percobaan In-Vitro


Data percobaan in-vitro yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (Anova)
menggunakan perangkat lunak STAR (Statistical Tool for Agricultural Research).
Jika perlakuan menunjukkan pengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut Tukey pada
α 0.05.
18

3.2.5 Analisis Keseragaman Klon Hasil Perbanyakan Menggunakan Marka


SNAP
DNA diisolasi dari induk dan klon hasil propagasi yang berasal dari perlakuan
1 mg/l TDZ+ 0.5 g PVP (percobaan 1). Isolasi dilakukan dengan menggunakan
metode CTAB (Doyle dan Doyle 1987) yang telah dikembangkan oleh Das et al.
(2009). Stok DNA yang diperoleh kemudian diuji kualitasnya dengan elektrofresis.
Situs SNP yang dianalisis berasal dari data sekuen gen Pto Phalaenopsis dari
penelitian Elina (2016) yang memiliki ukuran 449 pb (pasang basa). Pensejajaran,
identifikasi situs SNP, desain primer, reaksi PCR, dan elektroforesis mengikuti
metode Elina (2016).
Analisis keragaman genetik dilakukan dengan menggunakan data visual yang
didapatkan dari elektroforesis produk PCR. Data visual dikonversi menjadi data
biner berdasarkan kemunculan pita untuk membuat data genotipe. Apabila dalam
satu lokus hanya alel reference yang menghasilkan pita, maka disandi dengan ‘1-
0’; apabila hanya alel alternate yang menghasilkan pita, maka disandi dengan ‘0-
1’; dan apabila pada kedua alel menghasilkan pita, maka disandi dengan ‘1-1’. Skor
yang diperoleh digunakan untuk mendapatkan persentase keseragaman antara
genotipe induk dan klon.

Hasil dan Pembahasan

3.3.1 Pengaruh TDZ dan PVP dalam Induksi PLBs Menggunakan Eksplan
Daun Phalaenopsis amabilis
Berdasarkan analisis sidik ragam, perlakuan PVP menunjukkan pengaruh
nyata pada peubah persentase eksplan hidup, persentase eksplan berembriogenesis
dan jumlah PLBs/ eksplan berembriogenesis. Perlakuan TDZ menunjukkan
pengaruh nyata pada jumlah PLBs/ eksplan berembriogenesis, sedangkan interaksi
perlakuan TDZ dan PVP menujukkan pengaruh nyata pada peubah persen eksplan
berembriogenesis (Tabel 3.1).
PVP telah digunakan sebagai adsorben untuk menjerap senyawa metabolit
bersifat toksik yang dikeluarkan oleh tanaman (Arditti dan Ernst 1993). Pada
percobaan ini, perlakuan penambahan sebanyak 0.5 g/l PVP menunjukkan hasil
berbeda nyata dibandingkan perlakuan tanpa penambahan PVP pada ketiga
parameter yang disajikan dalam Tabel 3.1. Hasil yang lebih rendah untuk peubah
persentase eksplan hidup, persentase eksplan berembriogenesis, dan jumlah PLBs/
eksplan berembriogenesis ditunjukkan oleh perlakuan 0 g/l PVP diduga disebabkan
oleh oksidasi senyawa fenolik yang dikeluarkan oleh eksplan yang ditunjukkan
dengan mencoklatnya permukaan media sekitar eksplan diikuti dengan matinya
eksplan. Browning media kultur disebabkan oleh oksidasi seyawa mono-fenol dan
di-fenol yang dilepaskan oleh jaringan ke media sekitarnya (Saxena dan Gill 1986).
Proses tersebut secara negatif sangat memengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman, baik pada tingkat molekuler maupun seluler, demikian
juga pada tingkat fisiologis dan biokimia (Chen et al. 2012). Penggunaan PVP
dalam penelitian ini efektif dalam meningkatkan respon eksplan dalam induksi
PLBs (persentase eksplan hidup dan jumlah PLBs/eksplan berembriogenesis). Hasil
penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Tanaka et al. (1988) yang melaporkan
bahwa PVP meghambat pembentukan tunas pada kultur tangkai bunga
19

Tabel 3.1 Pengaruh konsentrasi TDZ, PVP, dan interaksi TDZ dan PVP dalam
induksi PLBs menggunakan eksplan daun P. amabilis pada usia 8
MST
TDZ (mg/l) Rata-rata PVP
Perlakuan
0.1 0.5 1 3
PVP (g/l) Eksplan hidup (%)a
0 33.33 44.43 66.67 77.80 55.56 b
0.5 55.57 88.90 88.90 100.00 83.34 a
Rata-rata T 44.45 66.67 77.78 88.9 KK: 8.82%
PVP (g/l) Eksplan berembriogenesis (%)a
0 22.20 Aa 22.20 Ab 55.57 Aa 55.57 Aa 38.88
0.5 11.10 Ba 89.03 Aa 66.67 Aa 77.80 Aa 61.15
Rata-rata T 16.65 55.62 61.12 66.68 KK: 7.10%
PVP (g/l) Jumlah PLBs/ eksplan berembriogenesisa
0 0 0.52 1.99 3.92 1.61 b
0.5 0 2.66 3.15 5.04 2.71 a
Rata-rata T 0.00 C 1.59 B 2.57 B 4.48 A KK: 12.65%
a
Angka dalam kolom yang sama diikuti oleh huruf kecil dan dalam baris yang sama diikuti huruf
besar yang sama tidak berbeda nyata pada α 0.05 (uji tukey); Transformasi data dengan √(x+1)
dilakukan untuk memenuhi distribusi normal; MST: minggu setelah tanam.

Phalaenopsis. Perbedaan tersebut diduga terjadi akibat perbedaan konsentrasi PVP


(4 g/l) yang digunakan, genotipe tanaman, dan eksplan yang digunakan.
Sitokinin sintetik TDZ secara tunggal efektif digunakan dalam induksi embrio
somatik dari eksplan daun Phalaenopsis (Chen dan Chang 2006; Gow et al. 2008;
Khoddamzadeh et al. 2011). Pada percobaan ini, eksplan menghasilkan embrio
pertama kali dapat terlihat pada usia 25 hari setelah tanam. Struktur PLBs muncul
diawali dengan pembengkakan eksplan daun (Gambar 3.1b), kemudian diikuti
dengan terbrntuknya PLBs pada area sekitar luka (Gambar 3.1c). Perlakuan
konsentrasi TDZ menunjukkan pengaruh sangat nyata terhadap peubah persentase
eksplan berembriogenesis dan jumlah PLBs/ eksplan berespon. Berdasarkan Tabel
3.1, hasil tertinggi persentase eksplan berembriogenesis dan jumlah PLBs/ eksplan
berembriogenesis dihasilkan oleh media kultur yang menggunakan 3 mg/l TDZ.
Hasil serupa juga dihasilkan pada penelitian Chen dan Chang (2006) yang
memperoleh persentase embriogenesis dan jumlah embrio somatik tertinggi
dihasilkan perlakuan dengan penambahan 3 mg/l TDZ dalam media kultur eksplan
daun Phalaenopsis amabilis.
Pada percobaan ini, eksplan yang berwarna coklat menandakan bahwa
eksplan tersebut mati. Seluruh eksplan yang berwarna coklat pada percobaan ini
tidak membentuk embrio somatik. Pada percobaan ini terdapat beberapa eksplan
pada perlakuan 0.1 mg/l TDZ yang tetap berwarna hijau hingga 8 MST, namun
tidak menunjukkan respon embriogenesis somatik. Respon membentuk embrio
somatik dihasilkan dari daun yang masih berwarna hijau maupun yang sudah
menguning. Kuningnya eksplan daun diduga disebabkan oleh akumulasi etilen
20

Gambar 3.1 Pertumbuhan dan perkembangan eksplan daun P. amabilis dalam


media perlakuan 1 mg/l TDZ + 0.5 g/l PVP pada tahap induksi
PLBs menggunakan eksplan daun usia 0 MST (a), 6 MST (b), 8
MST (c), dan 12 MST (d). MST: minggu setelah tanam; garis
pada gambar: 1 mm.

karena kurangnya pertukaran udara dalam botol kultur. Akumulasi etilen lebih
tinggi pada botol kultur tanpa ventilasi dibandingkan pada botol kultur berfentilasi
(Park et al. 2006). Dalam embriogenesis somatik, etilen dapat menjadi faktor
penghambat ataupun stimulator. Pada kultur daun Doritaenopsis, etilen berperan
dalam menstimulasi pembentukan embrio somatik (Park et al. 2006). Berkebalikan
dengan etilen, sitokinin berperan dalam mengganggu proses senesen yang
disebabkan oleh etilen (Haberer dan Kieber 2002). Walaupun demikian, aplikasi
eksternal sitokinin tidak selalu efektif mencegah senesen pada daun yang dipotong
(Gan dan Amasino 1996). Oleh karena itu perlu ada investigasi lanjut mengenai
hubungan antara etilen dan sitokinin dalam proses embriogenesis somatik.
Setelah dua bulan diinkubasi dalam kondisi gelap, eksplan yang berespon
dipindahkan ke media perlakuan baru yang sama. Hasil subkultur kemudian
diinkubasi pada kondisi ruang kultur dengan periode pencahayaan 16 jam selama 2
bulan. Setelah beberapa minggu dipindah ke media baru, ukuran PLBs mejadi lebih
besar dan memiliki warna yang lebih hijau (Gambar 3.1d). PLBs kemudian
dipindahkan ke media HP untuk diinkubasi selama 4 bulan. Setelah dipindahkan ke
dalam media regenerasi, PLBs mulai membentuk tunas dan pada akhirnya menjadi
tanaman sempurna. Untuk proses pembesaran, planlet yang telah dihasilkan
tersebut dipindahkan kembali ke media HP untuk periode kultur yang sama hingga
siap diaklimatisasi.

3.3.2 Pengaruh pH Media dalam Induksi PLBs Menggunakan Eksplan Daun


Phalaenopsis amabilis
Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 3.2, perlakuan menunjukkan
pengaruh sangat nyata terhadap persentase eksplan hidup, persentase eksplan
berembriogenesis, dan jumlah PLBs/eksplan berembriogenesis. Nilai terendah
dihasilkan perlakuan pH 4 pada seluruh parameter yang diuji. Hal tersebut diduga
diakibatkan oleh pemadatan media yang kurang baik, sehingga eksplan terendam
dalam media yang kemudian menyebabkan eksplan kekurangan oksigen. Nilai
tertinggi untuk semua parameter diperoleh media perlakuan pH 7. Berdasarkan data
hasil percobaan ini, pH 7 merupakan tingkat keasaman media yang sesuai untuk
21

Tabel 3.2 Pengaruh pH media dalam induksi PLBs menggunakan eksplan


daun P. amabilis pada usia 8 MST
Eksplan
Eksplan hidup berembriogenesis Jumlah PLBs/ eksplan
Perlakuan (%)a (%)a berembriogenesisa
pH4 33.30 b 0.00 b 0.00 c
pH5 88.90 a 66.67 a 1.95 b
pH6 77.80 a 77.80 a 3.25 b
pH7 100.00 a 100.00 a 5.46 a
Uji F ** ** **
KK(%) 18.13 5.87 T 8.32 T
a
Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada α 0.05 (uji
tukey); (**): perlakuan berpengaruh sangat nyata; TTransformasi data dengan √(x+1) dilakukan
untuk memenuhi distribusi normal.

induksi PLBs. Penelitian Santarem et al. (1997) juga mendapatkan hasil yang sama
dengan percobaan pada spesies (Glycine max kult. Jack) dan jenis bahan tanam
(kotiledon) yang berbeda. Dalam penelitian tersebut, media perlakuan dengan pH 7
merupakan tingkat keasaman media yang paling sesuai dengan hasil 100 % eksplan
berespon menghasilkan embrio somatik, dengan rata-rata 44.2 embrio somatik
dihasilkan setiap eksplan.
Tingkat keasaman media (pH) memiliki peranan penting baik in-vitro maupun
in-vivo. Perubahan pH media mungkin memiliki pelbagai dampak yang dapat
memengaruhi hasil dan perkembangan tanaman (George et al. 2008). Tanpa
pengaturan pH, ionisasi senyawa asam dan basa mengalami perubahan struktur
yang dapat memengaruhi fungsinya pada tingkat seluler (Sakano 1990). Sebagai
ilustrasi, pH media pada induksi embriogenesis berhubungan dengan tingkat
penyerapan auksin oleh jaringan (Santarem et al. 1997). Pada koleoptil jagung
terjadi peningkatan penyerapan auksin seiring menurunnya pH (Edwards dan
Goldsmith 1980), sedangkan jika pH ditingkatkan (dalam inisiasi embriogenesis
somatik) maka tingkat penyerapan auksin akan lebih lambat dan bertahap
(Santarem et al. 1997). Walaupun pengaruh pH terhadap penyerapan auksin telah
dijelaskan dengan baik, namun informasi mengenai pengaruh pH terhadap
penyerapan sitokinin oleh tanaman masih belum diketahui.

3.3.3 Pengaruh TDZ dan PVP dalam Proliferasi PLBs Phalaenopsis amabilis
Tujuan dari pemotongan bagian apikal PLBs pada percobaan ini adalah untuk
mencegah dominasi apikal pada eksplan. Pada penelitian Huang et al. (2014),
pemotongan bagian apikal PLBs yang ditanam dengan posisi basal kontak dengan
media kultur membentuk sekumpulan sel yang memiliki struktur granul pada PLBs
yang dilukai saat usia 2 minggu, dan banyak PLBs sekunder yang muncul dari
lapisan epidermal sekitar daerah perlukaan. Pada percobaan ini, sebagian besar
PLBs juga muncul dari daerah sekitar perlukaan (Gambar 3.2b; tanda panah).
Pengaruh nyata ditunjukkan oleh perlakuan PVP terhadap peubah persentase
eksplan membentuk PLBs sekunder. Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel
3.3, perlakuan 0.5 g/l PVP memperoleh persentase eksplan menghasilkan PLBs
22

Tabel 3.3 Pengaruh konsentrasi TDZ, PVP, dan Interaksi TDZ dan PVP
dalam proliferasi PLBs P. amabilis pada usia 8 MST

Perlakuan TDZ (mg/l) Rata-rata PVP


0.1 0.5 1 3
a
PVP (g/l) Eksplan hidup (%)
0 96.30 96.30 88.90 88.90 92.6
0.5 96.30 92.60 100.00 100.00 97.23
Rata- rata T 96.30 94.45 94.45 94.45 KK(%): 6.32%
PVP (g/l) Eksplan menghasilkan PLBs sekunder (%)a
0 92.60 92.60 85.20 81.5 87.98 b
0.5 96.30 96.30 96.30 100 97.23 a
Rata- rata T 94.45 94.45 90.75 90.75 KK(%): 8.82%
a
PVP (g/l) Jumlah PLBs/ eksplan hidup
0 4.31 6.00 5.72 6.04 5.52
0.5 4.67 5.06 4.37 5.78 4.97
Rata- rata T 4.49 5.53 5.04 5.91 KK(%): 18.83T
a
Angka dalam kolom yang sama diikuti oleh huruf kecil dan dalam baris yang sama diikuti
huruf besar yang sama tidak berbeda nyata pada taraf α 0.05 (uji tukey); Transformasi data
dengan √(x+1) dilakukan untuk memenuhi distribusi normal.

Gambar 3.2 Perkembangan PLBs P. amabilis pada media 0.5 g/l PVP+1 mg/l
TDZ usia 0 MST (a), 6 MST (b), 8 MST (c), dan 34 MST (d).
MST: minggu setelah tanam; garis pada gambar (a, b, c): 1 mm,
garis pada gambar (d): 10 mm.

sekunder lebih tinggi (97.23%) dari perlakuan tanpa PVP (87.98%). Rendahnya
persentase eksplan yang menghasilkan PLBs pada media perlakuan tanpa
penambahan PVP diduga berkaitan dengan peristiwa pencoklatan media.
Pencoklatan (browning) media terjadi hampir di seluruh media perlakuan tanpa
penambahan PVP pada percobaan ini. Menurut Ahmad et al. (2013), peristiwa
pencoklatan media dapat menyebabkan terhambatnya penyerapan nutrisi pada dan
pada akhirnya dapat menyebabkan kematian.
23

Perlakuan penambahan TDZ pada percobaan ini tidak menunjukkan pengaruh


nyata pada seluruh peubah pengamatan. Hasil serupa juga dihasilkan pada
penelitian Chen et al. (2002) yang melaporkan bahwa pada Epidendrum, TDZ (0,1-
1 mg/l) tidak berpengaruh nyata terhadap laju proliferasi dan jumlah PLBs yang
dihasilkan. Berbeda dengan hasil percobaan ini, penelitian Samarfard et al. (2014)
menunjukkan bahwa penambahan 0.1 mg/l TDZ lebih efektif (berbeda nyata)
dibandingkan dengan penambahan 0.5 mg/l TDZ dalam menghasilkan PLBs pada
tahap proliferasi PLBs Phalaenopsis gigantea.
PLBs sekunder hasil percobaan ini, kemudian disubkultur ke media HP
dengan periode subkultur 4 bulan sekali. PLBs mulai beregenerasi menjadi planlet
yang diawali dengan munculnya tunas, diikuti dengan terbentuknya akar. Setelah
34 MST sejak inisiasi, planlet (2-3 akar dan 3-4 daun) siap diaklimatisasi. Dalam
percobaan ini, klon yang dihasilkan dari media proliferasi dengan konsentrasi TDZ
lebih rendah menghasilkan tanaman yang secara visual lebih besar dari tanaman
yang dihasilkan pada media proliferasi berkonsentrasi TDZ lebih tinggi.

3.3.4 Analisis Keseragaman Klon Hasil Perbanyakan Menggunakan Marka


SNAP
Materi genetik yang digunakan untuk ekstraksi DNA adalah daun (0.25 g)
dari planlet hasil perbanyakan klonal pada percobaan induksi PLBs (Percobaan 1;
media perlakuan 1 mg/l TDZ + 0.5 g/l PVP) yang berusia 12 bulan sejak inisiasi
induksi PLBs dan tanaman induknya. Ekstraksi DNA menggunakan metode CTAB
menghasilkan 39 DNA genom yang terdiri atas 34 DNA genom tanaman klon dan
5 DNA genom tanaman induk.
Reaksi PCR dilakukan terhadap 39 DNA genom hasil ekstraksi menggunakan
thermal cycler BioRad T100™. Sejumlah 18 set (reference dan alternate) primer
SNAP digunakan untuk mengamplifikasi produk PCR. Kedua atau salah satu
pasang dari set primer yang digunakan tersebut dapat mengamplifikasi produk PCR
sesuai dengan ukuran produknya masing-masing. Berdasarkan hasil elektroforesis
produk PCR, sebagian besar lokus SNP tetua klon Phalaenopsis amabilis berada
dalam kondisi heterozigot, dan hanya terdapat 4 lokus SNP yang berada dalam
kondisi homozigot (Pto-37, Pto-64, Pto-223, dan Pto-292). Walaupun masing-
masing tetua berasal dari seedling (hasil perbanyakan melalui biji), namun seluruh
tetua yang digunakan memiliki profil SNP yang sama pada ke-18 lokus yang
diujikan. Dalam percobaan ini perbedaan ditemukan pada 3 lokus SNP, yakni Pto-
52, Pto-72, dan Pto-355. Berdasarkan hasil percobaan ini, dari 34 klon yang diuji,
terdapat 4 tanaman yang memiliki profil SNP berbeda dari klon lain dan tetuanya
(Gambar 3.3). Data persentase keseragaman klon untuk ,masing-masing nomor
induk disajikan pada Tabel 3.4. Nilai % keseragaman juga dihitung berdasarkan 34
klon untuk mendapatkan nilai total persentase keseragaman. Dari hasil perhitungan
didapatkan nilai 88.24% klon seragam.
Penelitian terdahulu mengenai pengujian tingkat variasi somaklonal pada
Phalaenopsis menggunakan marka molekuler sudah berhasil diterapkan.
Pengunaan marka RAPD untuk mendeteksi variasi somaklonal pada PLBs
Phalaenopsis bellina pada media induksi ½ MS + 3 mg/l TDZ menunjukkan tidak
adanya perbedaan antara tanaman induk dengan PLBs hasil perbanyakan pada usia
3 bulan, namun setelah PLBs hasil induksi tersebut disubkulturkan kembali selama
6 bulan, hasilnya menunjukkan bahwa terdapat disimilaritas sebesar 17% jika
24

Tabel 3.4 Persentase keseragaman planlet klon P. amabilis hasil propagasi


klonal in-vitro
No. %
Σ klon Klon dan identitas lokus yang menunjukkan
tanaman keseragaman
dievaluasi variasi berdsarkan marka SNAP
induk klon
24 10 100.0 -
28 9 88.9 28.6.1 (Lokus Pto-72)
30 5 100.0 -
63 5 60.0 63.1 (Lokus Pto-52);63.5 (Lokus Pto-52)
71 5 80.0 71.5 (Lokus Pto-355)
Total 34 88.2a 4 planlet
a
Nilai persentase keseragaman klon total adalah jumlah dari hasil pengalian antara Σ klon dan %
keseragaman klon dibagi jumlah total klon keseluruhan.

Gambar 3.3 Representasi hasil analisis molekuler klon P. amabilis pada lokus
SNP Pto-52 (a), Pto-72 (b), Pto-355 (c). *Nomor klon yang
memiliki profil SNP berbeda dengan profil SNP mayoritas; L:
ladder; ref: alel referensi; alt: alel alternatif.

dibandingkan dengan tanaman induknya (Khoddamzadeh et al. 2010). Sementara


itu, Samarfard et al. (2014) menghasilkan 20% keragaman antara PLBs sekunder
hasil proliferasi dengan tanaman induk dalam media 0.1 mg/l TDZ+10 mg/l kitosan
pada usia 20 minggu menggunakan marka ISSR. Walaupun metode kultur, genotipe,
konsentrasi TDZ, dan metode molekuler yang digunakan berbeda, namun metode
ini juga telah berhasil mengidentifikasi keragaman somaklonal pada tanaman hasil
perbanyakan berdasarkan perubahan SNP pada fragmen gen Pto.

Simpulan

Evaluasi media induksi dan proliferasi PLBs P. amabilis telah berhasil


dilakukan pada penelitian ini. Penggunaan TDZ dikombinasikan dengan PVP dapat
meningkatkan keberhasilan dalam induksi PLBs menggunakan eksplan daun.
Tingkat keasaman media memengaruhi tingkat keberhasilan dalam induksi PLBs
menggunakan eksplan daun. Media dengan konsentrasi TDZ rendah (0.5 mg/l),
yang dikombinasikan dengan PVP dapat digunakan untuk proliferasi PLBs.
Marka SNAP telah berhasil diaplikasikan dalam mendeteksi perubahan basa
nukleotida pada gen Pto tanaman hasil perbanyakan klonal. Dari hasil analisis
25

molekuler yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa metode kultur yang
digunakan dapat menyebabkan perubahan basa pada lokus tertentu pada fragmen
gen Pto. Karena perubahan basa terjadi pada lokus SNP dari gen yang berperan
dalam mekanisme ketahanan tanaman, maka metode kultur jaringan yang
digunakan bisa saja memengaruhi tingkat ketahanan tanaman terhadap penyakit
bila perubahan basa tunggal tersebut menyebabkan perubahan residu asam amino
hasil translasi.

Daftar Pustaka

Ahmad I, Hussain T, Ashraf I, Nafees M, Maryam, Rafay M, Iqbal M. 2013. Lethal


effect of secondary metabolites on plant tissue culture. American-Eurasian J
Agric and Environ Sci.13(4):539-547.
Arditti J, Ernst R. 1993. Miropropagation of Orchids. New York (US): John Wiley
and Sons.
Bairu MW, Aremu AO, Staden JV. 2011. Somaclonal variation in plants: causes
and detection methods. Plant Growth Regul. 63:147–173.
Chen JT, Chang WC. 2006. Direct somatic embryogenesis and plant regeneration
from leaf explants of Phalaenopsis amabilis. Biol Plant. 50: 169–173.
Chen LR, Chen JT, Chang WC. 2002. Efficient production of protocorm-like bodies
and plant regeneration from flower stalk explants of the sympodial orchid
Epidendrum radicans. In Vitro Cell Dev Biol. 38:441-445.
Chen G, Chen D, Wang T, Xu C, Li L. 2012. Analysis of the proteins related to
browning in leaf culture of Phalaenopsis. Scientia Horticulturae. 141:17–22.
Chugh S, Guha S, Rao IU. 2009. Micropropagation of orchids: a review on the
potential of different explants [ulas balik]. Scientia Horticulturae.122:507-
520.
Compton ME, Preece JB. 1986. Exudation and explants establishment. Int Assoc
Plant Tissue Cult Newslett. 50:9-18.
Das BK, Jena RC, Samal KC. 2009. Optimation of DNA isolation and PCR protocol
for RAPD analysis of banana/plantain (Musa spp.). Int J Agricul Sci. 1(2): 21-
25.
Djaafarer R. 2003. Phalaenopsis Spesies. Jakarta (ID) : Penebar Swadaya.
Doyle JJ, Doyle JL. 1987. A rapid DNA isolation procedure for small quantities of
fresh leaf tissue. Phytochem Bull 19:11-15.
Edwards K. Goldsmith, MHM. 1980. pH dependent accumulation of indoleacetic
acid by corn coleoptile sections, a system capable of polar transport of auxin.
Planta. 147:457.
Elina J. 2016. Respon ketahanan anggrek Phalaenopsis terhadap penyakit busuk
lunak akibat infeksi Dickeya dadantii dan karakterisasi molekuler dengan
marka SNAP [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Gan S, Amasino RM. 1996. Cytokinins in plant senescence: from spray and pray to
clone and play. Bioessays. 18: 557–565.
George EF, Hall MA, De Klerk GJ. 2008. Plant Propagation by Tissue Culture.
Vol 1: The Background. Ed ke-3. Dordrecht (NL): Springer.
George EF, Sherington PD. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture.
Basingstoke (GB): Exegetics Ltd.
26

Gow WP, Chen JT, Chang WC. 2008. Influence of growth regulators on direct
embryo formation from leaf explants of Phalaenopsis orchids. Acta Phsyol
Plant. 30:507-512.
Haberer G. Kieber JJ. 2002. Cytokinins. New insights into a classic phytohormone.
Plant Physiol.128: 354–362.
Handoyo F. 2010. Orchids of Indonesia. Jakarta (ID): Indonesian Orchid Society.
Huang YW, Tsai YJ, Cheng TC, Chen JJ, Chen FC. 2014. Physical wounding and
ethylene stimulated embryogenic stem cell proliferation and plantlet
regeneration in protocorm-like bodies of Phalaenopsis orchids. Gen and Mol
Research. 13 (4): 9543-9557.
Khoddamzadeh AA , Sinniah UR, Kadir MA, Kadzimin SB, Mahmood M,
Sreeramanan S. 2010. Detection of somaclonal variation by random amplified
polymorphic DNA analysis during micropropagation of Phalaenopsis bellina
(Rchb.f.) Christenson. African J of Biotech. 9(40): 6632-6639.
Khoddamzadeh AA. Sinniah UR. Kadir MA, Kadzimin SB, Mahmood M,
Sreeramanan S. 2011. In vitro induction and proliferation of protocorm- like
bodies (PLBs) from leaf segments of Phallaenopsis bellina (Rchb.f.)
Christenson. Plant Growth Regul.65:381-387.
Knudson L. 1946. A new nutrient solution for germination of orchid seed. American
Orchid Society Bulletin.15: 214-217.
Kuo HL, Chen JT, Chang WC. 2005. Efficient plant regeneration through direct
somatic embryogenesis from leaf explants of Phalaenopsis ‘Little Steve’. In
Vitro Cell Dev Biol Plant. 41: 453–456.
Park SY, Murthy HN, Paek KY. 2000. Mass multiplication of protocorm-like
bodies using bioreactor system and subsequent plant regeneration
in Phalaenopsis. Plant Cell Tissue Organ Cult. 63: 67–72.
Park SY, Shin KS, Paek KY. 2006. Increased ethylene and decreased phenolic
compounds stimulate somatic embryo regeneration in leaf thin section
cultures of Doritaenopsis Hybrid. Journal of Plant Biology. 49(5): 358-363.
Raynalta E, Sukma D. 2013. Pengaruh komposisi media dalam perbanyakan
protocorm like bodies, pertumbuhan planlet, dan aklimatisasi Phalaenopsis
amabilis. J Hort Indonesia. 4(3):131-139.
Ru Z, Lai Y, Xu C, Li L. 2013. Polyphenol oxidase (PPO) in early stage of browning
of Phalaenopsis leaf explants. Journal of Agricultural Science. 5(9): 57-64.
Sakano K. 1990. Proton/phosphate steichiometry in uptake of inorganic phosphate
by cultured cells of Catharanthus roseus (L.) G. Don. Plant Physiol. 93:
479−483.
Samarfard S, Kadir MA, Kadzmin SB, Ravanfar SA, Saud HM. 2013. Genetic
stability of in vitro mmultiplied Phalaenopsis gigantea protocorm-like bodies
as affected by chitosan. Not Bot Horti Agrobo. 41(1):177-183.
Samarfard S, Kadir MA, Kadzmin SB, Saud HM, Ravanfar SA, Danaee M. 2014.
In vitro propagation and detection of somaclonal variation in Phalaenopsis
gigantea as affected by chitosan and thidiazuron combination. Hort Sci. 49
(1): 82-88.
Santarem ER, Pelissier B, Finer AJ. 1997. Effect of explant orientation, pH,
solidifying agent and wounding on initiation of soybean somatic embryos. In
Vitro Cell Dev Biol. 33:13-19.
27

Saxena PK, Gill R. 1986. Removal of browning and growth enhancement by


polyvinylpolypyrrolidone in protoplast cultures of Cyamopsis tetragonoloba
L. Biol Plant. 28 (4):313-315.
Tanaka M, Kumura M, Goi M. 1988. Optimal conditions for shoot production from
Phalaenopsis flower-stalk cuttings cultured in vitro. Scientia Horticulturae.
35: 117-126.
Xu CJ, Li L. 2006. Changes of total phenol content and the activities of PPO, POD
and PAL during the browning in Phalaenopsis explant in vitro. Acta
Horticulturae Sinica. 33(3):671-674.
28

4 ANALISIS KERAGAMAN GENETIK Phalaenopsis


MENGGUNAKAN MARKA P BERBASIS
GEN Pto

Abstrak

Palaenopsis merupakan salah satu marga dari keluarga Orchidaceae yang


setidaknya memiliki 66 spesies yang tersebar dari wilayah Asia tropik hingga
Australia. Teknologi molekuler sudah digunakan secara luas, salah satunya untuk
studi filogenetik dan identifikasi varietas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mendesain primer SNAP berdasarkan sekuen gen Pto berdsarkan 20 genotipe
Phalaenopsis, evaluasi efektifitas pasangan primer SNAP dalam menghasilkan
produk PCR, evaluasi jumlah primer SNAP efektif dalam mengakses keragaman
27 genotipe Phalaenopsis spesies dan populasi hasil persilangan antara P. bellina
“B1(11)” x P. Salu Spot “SP (12)”, dan analisis keragaman genetik 27 genotipe
Phalaenopsis spesies dan populasi zuriat hasil persilangan antara P. bellina “B1(11)”
x P. Salu Spot “SP (12)” berbasis gen Pto. Penelitian ini dilakukan melalui beberapa
tahapan kegiatan, yakni: identifikasi situs SNP, desain primer SNAP, amplifikasi
produk PCR, visualisasi produk PCR, dan analisis data. Pada percobaan ini seluruh
set primer SNAP berhasil mengamplifikasi produk PCR. Aplikasi 18 set primer
SNAP pada 27 genotipe Phalaenopsis mampu mengakses 85.57 % keragaman
berdasarkan analisis faktorial, sedangkan 9 primer SNAP yang diuji pada individu
populasi hasil persilangan antara P. bellina “B1(11)” x P. Salu Spot “SP (12)”
mampu mengakses 75,42 % keragaman. Berdasarkan hasil analisis filogenetik, 27
genotipe Phalaenopsis spesies terbagi ke dala 3 kelompok utama, begitu juga
dengan populasi zuriat hasil persilangan yang terbagi ke dalam 3 kelompok utama.

Kata kunci: analisis keragaman, marka SNAP, Phalaenopsis, pohon filogenetik,


weighted neighbour joining

Abstract

Phalaenopsis is a genus belongs to Orchidaceae family that has 66 species


spread from tropical Asia to Australia. Molecular technology has been used
extensively, especially for phylogenetic studies and plant varieties identification.
The purpose of this study was to design of SNAP primers based on Pto gene
sequences, evaluate the effectiveness of SNAP primers pair to generate PCR
products, evaluate the number of SNAP primers that effectively access diversity of
27 genotypes of species Phalaenopsis and population crossed between P. bellina
"B1 (11) "x P. Salu Spot" SP (12) ", and genetic diversity analysis of 27 genotypes
of Phalaenopsis species and population of crossbreed progenies between P. bellina"
B1 (11) "x P. Salu Spot" SP (12) based on Pto gene. This study was conducted
through some activity: SNP site identification, SNAP primers design, PCR product
amplification, PCR product visualization, and data analysis. In this experiment, the
entire SNAP primer sets had successfully amplified the PCR product. The
application of 18 SNAP primers on 27 Phalaenopsis genotypes was able to access
85.57% of diversity based on a factorial analysis. While 9 SNAP primer sets were
29

tested on the progenies population of crossbreed between P. bellina "B1 (11)" x P.


Salu Spot "SP (12)” was able to access 75.42% diversity. Based on a result of the
phylogenetic analysis, 27 genotypes of Phalaenopsis species are divided into three
main groups, while the population of crossbreed progenies is divided into three
main groups.

Keywords: diversity analysis, Phalaenopsis, phylogenetic tree, SNAP marker,


weighted neighbor joining

Pendahuluan

Phalaenopsis merupakan salah satu marga dari keluarga Orchidaceae yang


pertama kali dideskripsikan oleh Carl Ludwing Blume pada tahun 1825. Nama
Phalaenopsis berarti “menyerupai Phalaen” yang kemungkinan mengacu pada
kelompok ngengat berukuran besar dari genus Phalaena karena beberapa
spesiesnya memiliki bentuk bunga yang menyerupai ngengat yang terbang (Gogol
et al. 2012). Marga tersebut setidaknya memiliki 66 spesies yang tersebar dari
wilayah Asia tropik hingga Australia (Christenson 2001).
Keanekaragaman Phalaenopsis yang cukup tinggi dan berkat kerja keras yang
dilakukan pemulia tanaman selama bertahun-tahun dalam mengembangkan varietas
yang memiliki karakter yang sesuai dengan selera pasar, telah membawa
Phalaenopsis menjadi tanaman hias bernilai ekonomi tinggi yang telah
dikembangkan secara komersial. Menurut Tang dan Chen (2007), secara umum
program pemuliaan Phalaenopsis diarahkan untuk mengembanggkan karakter
ukuran bunga, warna bunga, panjang tangkai bunga, bentuk daun, kemudahan
budidaya, dan ketahanan terhadap penyakit.
Pemuliaan tanaman dapat dilakukan melalui proses hibridisasi konvensional
yang diikuti proses seleksi untuk memindahkan atau mentransmisikan sifat yang
diinginkan ke dalam varietas komersial. Seleksi karakter tertentu menggunakan
marka fenotipik terkadang menemui beberapa kendala, yaitu adanya pengaruh
lingkungan yang menyebabkan tekanan seleksi menjadi tidak merata (Elina 2016).
Kendala lain yang dihadapi dalam proses seleksi adalah siklus pertumbuhan
Phalaenopsis yang panjang, yakni berkisar antara 2-3 tahun (Tang dan Chen 2007).
Oleh karena itu, seleksi terhadap karakter yang baru tampak pada akhir siklus hidup
Phalaenopsis akan membutuhkan waktu yang panjang pula.
Dalam menghadapi tantangan tersebut, diperlukan metode yang dapat
mempersingkat waktu seleksi. Salah satu teknologi yang dapat digunakan sebagai
alat bantu seleksi adalah marka molekuler berbasis DNA (Kumar et al. 2009) yang
kemungkinan dapat mewakili ekspersi karakter fenotipik tanaman (Agarwal et al.
2008). Penggunaan marka molekuler untuk seleksi karakter tertentu pada
Phalaenopsis sudah berhasil dilakukan untuk skrining marka RAPD terkait karakter
warna merah pada bunga tanaman Phalaenopsis equestris (Chen et al. 2001).
Penelitian untuk seleksi karakter ketahanan juga telah dilakukan dengan
menggunakan marka SNAP berbasis gen Pto (Elina 2016), namun pada penelitian
tersebut marka SNAP yang dikembangkan belum sepenuhnya berhasil memisahkan
genotipe-genotipe anggrek Phalaenopsis yang tahan dari genotipe anggrek
Phalaenopsis yang rentan. Selain seleksi karakter ketahanan, pada Phalaenopsis
30

marka SNAP juga telah digunakan untuk marka terkait warna bunga (Handini 2014;
Haristianita 2017).
Marka molekuler berbasis DNA juga dapat digunakan untuk studi filogenetik
dan identifikasi varietas (Tang dan Chen 2007). Penelitian untuk studi filogenetik
pada Phalaenopsis telah dilakukan oleh Fu et al. (1997) dengan menggunakan
marka RAPD, Fatimah dan Sukma (2011) menggunakan marka mikrosatelit,
Handini (2014) menggunakan marka SNAP untuk analisis keragaman genetik
berbasis gen CHS, dan Elina (2016) menggunakan marka SNAP untuk analisis
keragaman genetik berbasis gen Pto.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendesain primer SNAP berdasarkan
sekuen gen Pto dari 20 genotipe Phalaenopsis dari penelitian Elina (2016), evaluasi
efektifitas pasangan primer SNAP dalam menghasilkan produk PCR, evaluasi
jumlah primer SNAP efektif dalam mengakses keragaman 27 genotipe
Phalaenopsis spesies dan populasi zuriat hasil persilangan antara Phalaenopsis.
bellina “B1(11)” x Phalaenopsis. Salu Spot “SP (12)”, serta analisis keragaman
genetik 27 genotipe Phalaenopsis spesies dan populasi zuriat hasil persilangan
antara P. bellina “B1(11)” x P. Salu Spot “SP (12)” berbasis gen Pto.

Bahan dan Metode

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman,


Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor pada bulan Mei
2016 sampai dengan bulan Desember 2016. Penelitian ini terdiri atas 2 percobaan
molekuler, yakni percobaan 1: analisis keragaman genetik 27 genotipe
Phalaenopsis spesies dan percobaan 2: analisis keragaman genetik populasi zuriat
hasil persilangan antara P. bellina “B1(11)” x P. Salu Spot “SP (12).

4.2.1 Materi genetik


Materi genetik yang digunakan pada percobaan 1 terdiri atas 27 genotipe
tanaman Phalaenopsis spesies (Tabel 4.1). Materi genetik yang digunakan pada
percobaan 2 terdiri atas 39 progeni hasil persilangan antara P. bellina x P. Salu
Spot dan tetuanya.

4.2.2 Prosedur Isolasi DNA


Isolasi dilakukan dengan menggunakan metode CTAB (Doyle dan Doyle
1987) yang telah dikembangkan oleh Das et al. (2009). Stok DNA yang diperoleh
kemudian diuji kualitasnya dengan melakukan elektroforesis. Elektroforesis DNA
genom dilakukan dengan mencampurkan 4 µl stok DNA genom dengan 2 µl
loading dye pada lubang sumur (well) gel agarose 1% (larutan buffer SB + agarose;
pewarnaaan dengan gelred 20 µl/l). Kualitas DNA genom yang diperoleh dari
elektroforesis dievaluasi dengan menggunakan transluminator ultraviolet.

4.2.3 Identifikasi Situs SNP dan Desain Primer SNAP


Situs SNP yang dianalisis berasal dari data sekuen gen Pto Phalaenopsis pada
penelitian Elina (2016) yang memiliki ukuran 449 pb (pasang basa). Pensejajaran
dan identifikasi situs SNP dilakukan terhadap 40 sekuen gen Pto yang berasal dari
20 genotipe Phalaenopsis, yakni: P. amabilis “Jawa Barat”, P. gigantea, P.
31

Tabel 4.1 Daftar 27 genotipe Phalaenopsis spesies yang digunakan


Nama genotipe Kode Sectiona
P. amabilis “Jawa Barat” PAJ Phalaenopsis
P. amabilis “Kalimantan” PAK Phalaenopsis
P. amabilis “Papua” PAP Phalaenopsis
P. amabilis “Pelaihari” PPL Phalaenopsis
P. amboinensis PAM Amboinenses
P. aphrodite PRO Phalaenopsis
P. bellina PBE Amboinenses
P. celebensis PCE Stauroglottis
P. corningiana PCO Zebrinae
P. cornu-cervi PCC Polychilos
P. cornu-cervi f. Sanguinea PCCR Polychilos
P. fimbriata PFI Amboinenses
P. floresensis PFL Amboinenses
P. gigantea PG Amboinenses
P. javanica PJA Amboinenses
P. lamelligera PLA Polychilos
P. lueddemanniana PLU Amboinenses
P. modesta PMO Amboinenses
P. pantherina PPA Polychilos
P. pulcherrima PPU Esmeralda
P. schilleriana PSC Phalaenopsis
P. stuartiana PST Phalaenopsis
P. tetraspis PTE Zebrinae
P. violacea “Mentawai” PVM Amboinenses
P. violacea PVI Amboinenses
P. viridis PVD Fuscatae
P. zebrina PZE Zebrinae
a
Warna merah pada kolom section menunjukkan bahwa anggrek merupakan anggota subgenus
Phalaenopsis, sedangkan warna hitam menunjukkan bahwa anggrek merupakan anggota
subgenus Polychilos menurut Christenson (2001).

schilleriana, P. pulcherrima, P. amboinensis, P. bellina, P. cornu-cervi, P. tetraspis,


P. lamelligera, P. lueddemanniana, P. stuartiana, P. amabilis “Kalimantan”, P.
amabilis “Papua”, P. violacea, P. fimbriata, P. modesta, P. Hibrida “V3”, P.
Hibrida “KHM0421”, P. Hibrida “MKW002”, dan P. Hibrida “AMP17”.
Identifikasi situs SNP dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Genious
Basic 5.6.6 (Biomatters, USA).
Setelah dilakukan identifikasi situs SNP, maka dilakukan desain primer
SNAP. Primer SNAP didesain berdasarkan situs SNP yang terpilih dengan
perangkat lunak online WebSNAPER yang tersedia pada situs
http://ausubellab.mgh.harvard.edu/. Langkah yang dilakukan antara lain adalah
32

memilih menu ‘SNAP Program’, ‘Sign In’ dengan memasukkan email pengguna
yang baru pertama kali mengakses situs ini, kemudian runutan nukleotida dengan
dengan situs SNP target yang akan dievaluasi dan beberapa parameter yang
dibutuhkan dimasukkan kotak dialog yang tersedia. Situs SNP target ditandai
sebagai [X/Y], dimana X merupakan nukleotida untuk alel referensi dan Y adalah
nukleotida untuk alel alternatif (Sutanto 2014; Elina 2016).
Hasil desain primer yang dikirim melalui pesan elektronik oleh WebSNAPER
kemudian diseleksi sepasang primer untuk alel referensi dan sepasang untuk alel
alternatif. Setelah primer diperoleh dan dipilih sesuai dengan jumlah situs SNP,
primer dipesan dengan memanfaatkan jasa perusahaan pembuat primer. Primer
SNAP yang telah dipesan, kemudian diuji untuk memperoleh produk amplifikasi
dengan menggunakan DNA genom Phalaenopsis spesies.

4.2.4 Amplifikasi dan Analisis Data


Reaksi PCR dan elektroforesis mengikuti prosedur yang dilakukan oleh Elina
(2016). Analisis keragaman genetik dilakukan dengan menggunakan data visual
yang didapatkan dari elektroforesis produk PCR. Data visual dikonversi menjadi
data alelik berdasarkan kemunculan pita dan jenis pasangan basa (reference dan
alternate) pada masing-masing lokus. Basa DNA adenina (A) disandi dengan angka
1, sitosina (C) disandi dengan angka 2, guanina (G) disandi dengan angka 3, dan
timina (T) disandi dengan angka 4. Jika dalam satu lokus memiliki alel A pada
pasangan primer reference dan alel C pada pasangan primer alternate, maka akan
disandi sebagai 1-1 (pita muncul pada alel reference); 2-2 (pita muncul pada alel
reference); dan 1-2 (pita muncul pada alel). Data yang telah dikonversi tersebut
selanjutnya digunakan untuk analisis filogenetik menggunakan perangkat lunak
DARwin 6.0.14.

Hasil dan Pembahasan

4.3.1 Analisis Keragaman Genetik 27 Genotipe Phalaenopsis Spesies


Menggunakan Marka SNAP Berbasis Gen Pto
Identifikasi situs SNP berdasarkan data sekuen gen Pto pada penelitian Elina
(2016) dilakukan dengan metode pensejajaran menggunakan bantuan perangkat
lunak Geneious Basic 5.6.6 (Biomatters, USA). Dari hasil pensejajaran, didapatkan
18 situs SNP potensial selain situs yang telah digunakan pada penelitian Elina

Gambar 4.1 Representasi hasil gradien suhu primer reference SNAP


lokus Pto-340 pada suhu 60.7 (1), 59.8 (2), 58.3 (3),
56.2 (4), 53.5 (5), 51.2 (6), 49.8 (6), dan 49o C (8)
33

(2016). Pada sekuen fragmen gen Pto yang disejajarkan tersebut sebenarnya masih
terdapat beberapa situs SNP potensial lainnya, namun posisi situs SNP tersebut
tidak memenuhi syarat yang dikemukakan Sutanto (2014) bahwa paling tidak
terdapat 25 basa nukleotida di sekitar situs SNP yang akan digunakan dalam
mendesain primer. Primer SNAP pada percobaan ini dibuat berdasarkan 18 situs
SNP terpilih. Berdasarkan tipe perubahan basanya, 18 situs SNP terpilih tersebut 3
di antaranya bersifat synonymous dan 15 lainnya bersifat non-synonymous. Dari
hasil desain primer menggunakan perangkat lunak online webSNAPER diperoleh
18 set primer SNAP (reference dan alternate) yang dapat mengamplifikasi produk
PCR berkisar antara 205 hingga 297 pasang basa nukleotida (Lampiran 1).
Gradien suhu dilakukan sebagai langkah awal untuk menentukan suhu
optimum reaksi PCR masing-masing pasangan primer (forward dan reverse).
Berdasarkan hasil elektroforesis, suhu optimum reaksi PCR ditunjukkan oleh
kemunculan pita yang jelas (clear band). Sebagai contoh, hasil gradien terhadap
primer SNAP lokus Pto-340 menghasilkan pita paling jelas pada Ta (temperature
annealing) 56.2o C (Gambar 4.1). Pita juga muncul pada nilai suhu lainnya, namun
hasilnya tidak sejelas pita yang muncul pada pengaturan Ta 56.2o C. Berdasarkan
gambar tersebut, pada suhu yang lebih rendah terlihat adanya smear pada pita hasil
elektroforesis. Hal tersebut diduga terjadi akibat suhu anealing yang tidak tepat,

Tabel 4.2 Nilai heterozigositas dan polimorfisme tiap lokus berdasarkan data
kodominan pada 27 genotipe Phalaenopsis spesies
Lokus
SNP N Naa PIC Ne Ho He
Pto-52 27 3 0.469 2.30 0.59 0.57
Pto-72 27 2 0.372 1.98 0.89 0.49
Pto-79 27 2 0.366 1.93 0.74 0.48
Pto-94 27 2 0.352 1.84 0.70 0.46
Pto-181 27 2 0.366 1.93 0.30 0.48
Pto-220 27 2 0.256 1.43 0.15 0.30
Pto-223 27 2 0.200 1.29 0.19 0.23
Pto-229 27 2 0.375 2.00 1.00 0.50
Pto-241 27 2 0.372 1.98 0.81 0.49
Pto-292 27 3 0.357 1.72 0.33 0.42
Pto-340 27 2 0.310 1.62 0.37 0.38
Pto-349 27 3 0.468 2.29 0.33 0.56
Pto-380 27 2 0.375 2.00 0.81 0.50
Pto-424 27 2 0.366 1.93 0.74 0.48
Pto-37 27 3 0.294 1.47 0.22 0.32
Pto-64 27 2 0.372 1.98 0.67 0.49
Pto-127 27 2 0.330 1.72 0.59 0.42
Pto-355 27 2 0.352 1.84 0.63 0.46
a
Nilai Na> 2 mengindikasikan bahwa lokus tersebut bukan lokus bi-allelic berdasarkan populasi
yang diuji. N: jumlah individu yang diuji; Na: jumlah alel yang berbeda; PIC: Polymorphism
Information Content; Ne: jumlah alel yang efektif, Ho: nilai heterozigositas pengamatan; He:
nilai heterozigositas harapan.
34

sehingga primer dapat menempel pada lokasi yang tidak spesifik. Pesik et al. (2017)
menyatakan bahwa suhu dan konsentrasi primer sangat besar pengaruhnya dalam
proses amplifikasi produk PCR. Apabila Ta terlalu rendah, maka akan dihasilkan
produk amplifikasi yang tidak spesifik. Apabila suhu terlalu tinggi, maka produk
PCR tidak dihasilkan. Dari hasil elektroforesis produk gradien pada penelitian ini,
36 pasang primer (18 set) yang digunakan pada percobaan ini mampu menghasilkan
pita sesuai dengan ukuran produknya masing-masing.
Reaksi PCR dilakukan terhadap isolat DNA genom 27 genotipe Phalaenopsis
spesies menggunakan 36 pasang primer (18 set) yang telah dievaluasi suhu
anealingnya (Ta). Data yang diperoleh dari visualisasi hasil elektroforesis
dikonversi ke data biner berdasarkan kemunculan pita pada masing-masing lokus.
Data biner kemudian dikonversi menjadi data alelik agar dapat dianalisis. Pada
percobaan ini analisis data dilakukan dengan memanfaatkan perangkat lunak
CERVUS 2.0 untuk menentukan nilai PIC (Elina 2016), GenAlEx 6.502 untuk
menentukan nilai heterozigositas, serta DARwin 6.0.14 untuk analisis faktorial dan
filogenetik (Haristianita 2017).
Pada lokus SNP yang diuji menggunakan marka SNAP terdapat lokus yang
diduga memiliki alel lebih dari 2, yakni lokus Pto-52, Pto-292, Pto-349, dan Pto-
37. Adanya lokus berbeda tersebut ditunjukkan dengan tidak munculnya pita alel
reference maupun alternate saat visualisasi hasil elektroforesis hasil PCR pada
lokus tertentu. Nilai Ne merupakan invers jumlah dari kuadrat frekuensi alel
(Brown dan Weir 1983). Nilai Ne masing-masing lokus pada populasi dalam
percobaan ini berkisar antara 1.47 hingga 2.30. Apabila nilai Ne makin dekat
dengan nilai Na maka dapat dikatakan bahwa frekuensi masing-masing alel dalam
suatu lokus berada dalam posisi yang makin setimbang pula. Dari nilai Na dan Ne
yang disajikan pada Tabel 4.2, populasi yang diuji berdasarkan 18 lokus SNP
bersifat di-alelik atau lebih (pada beberapa lokus) yang kemudian frekuensinya
tergambar dari nilai Ne.
Nilai Ho mengindikasikan frekuensi genotipe atau pasangan alel heterozigot
tiap lokus yang dapat dihitung dengan cara membagi jumlah individu bergenotipe
heterozigot dengan jumlah individu dalam satu populasi. Menurut Shete et al.
(2000), heterozigositas merupakan peluang dari suatu individu yang diambil secara
acak bersifat heterozigot. Pada percobaan ini, nilai Ho paling tinggi dihasilkan oleh
lokus SNP no. 229 dengan nilai 1.00, sementara yang paling rendah dihasilkan
lokus SNP no. 220 dengan nilai 0.15. Nilai Ho yang tinggi mengindikasikan bahwa
populasi pada lokus SNP tersebut memiliki genotipe heterozigot yang tinggi pula.
Hasil perbandingan antara nilai Ho dengan He (dihitung dengan cara mengurangkan
1 dengan jumlah kuadrat frekuensi alel) pada percobaan ini menunjukkan bahwa
terdapat 11 lokus yang menghasilkan nilai Ho yang lebih tinggi dari nilai He.
Menurut Haristianita (2017), lokus yang memiliki nilai Ho lebih tinggi dari nilai He
mengindikasikan bahwa heterozigositas suatu lokus tinggi.
Nilai PIC dalam populasi berdasarkan masing-masing lokus yang diuji
menunjukkan rentang nilai antara 0.200-0.469. Nilai PIC memiliki rentang antara 0
hingga 1 (Elina 2016). Besaran nilai PIC tersebut sangat dipengaruhi oleh jumlah
alel yang terlibat atau tersedia pada lokus tertentu dalam populasi uji. Nilai PIC
tersebut, pada dasarnya berguna untuk menentukan status keinformatifan suatu
marka SNAP yang digunakan (Haristianita 2017). Berdasarkan simulasi yang
dilakukan Shete et al. (2000), dalam kondisi frekuensi alel setimbang, nilai PIC
35

Tabel 4.3 Rangkuman analisis faktorial dan akses keragaman


18 marka SNAP terhadap 27 genotipe Phalaenopsis
spesies
Jumlah Inersia Total keragaman yang dapat dievaluasi
lokus (%) dengan marker (%)
1 19.05 19.05
2 14.52 33.57
3 12.29 45.86
4 8.16 54.02
5 6.57 60.59
6 5.95 66.54
7 4.98 71.52
8 3.58 75.1
9 3.43 78.53
10 2.57 81.1
11 2.13 83.23
12 1.37 84.6
13 0.64 85.24
14 0.25 85.49
15 0.08 85.57
16 0 85.57
17 0 85.57
18 0 85.57

pada lokus dengan 2 alel bernilai 0.375 dan 3 alel bernilai 0.5926. Jika merujuk
pada nilai PIC yang disajikan pada Tabel 4.2 , maka dapat dikatakan sebagian besar
marka yang digunakan bersifat informatif.
Sebagai bahan pertimbangan tambahan dalam pemilihan marka, maka
dilakukan analisis faktorial untuk mengetahui persentase total keragaman yang
dapat dievaluasi dengan marker. Berdasarkan hasil analisis yang disajikan pada
Tabel 4.3, persentase total keragaman yang dapat dievaluasi dengan 18 marka
SNAP adalah 85.57 %. Persentase total keragaman yang dapat diakses (85.57%)
tersebut sebenarnya sudah dapat diakses hanya dengan menggunakan 15 marka
SNAP saja.
Studi genetik juga dapat dilakukan dengan pendekatan klustering atau
pengelompokan berdasarkan indeks disimilaritas suatu data genotipe untuk
memisahkan individu-individu berdasarkan tingkat kekerabatnnya. Pembagian
grup dalam populasi dapat pula dilihat berdasarkan jarak persamaan atau perbedaan
alel dalam sekuen antar individu menggunakan perhitungan alogaritma disimilaritas
(Haristianita 2017). Berdasarkan hasil analisis filogenetik pada percobaan ini
(Gambar 4.2), secara umum individu-individu Phalaenopsis spesies yang diuji
terbagi ke dalam 3 kelompok utama (I, II, III). Kelompok I dapat dibagi menjadi 2
subkelompok (a,b), begitu juga dengan kelompok 2. Apabila pengelompokan
berdasarkan marka SNAP berbasis gen Pto pada penelitian ini disandingkan dengan
pengelompokan berdasarkan klasifikasi berdasarkan karakter morfologi yang
36

PCO

PZE

PAM
PVD PCE

PJA PCC

PG
PPA PBE PPU
PMO

PTE
PLA PFI

PFL

PVI

PAP PAJ
PCCR PRO
PVM
PPL PAK

PST

PSC

PLU
0 0.1

Gambar 4.2 Pohon filogenetik 27 Phalaenopsis spesies berdasarkan 18 lokus


marka SNAP dengan pendekatan Weighted Neighbor Joining
(keterangan kode genotipe pada Tabel 4.1)

diajukan oleh Christenson (2001), hasil penelitian ini tidak dapat mengelompokkan
spesies-spesies tersebut berdasarkan subgenus maupun section-nya. Hal tersebut
diduga disebabkan oleh karena marka yang digunakan dalam penelitian ini hanya
didasarkan pada perbedaan SNP pada satu gen saja, yakni Pto. Walaupun penelitian
ini belum dapat mengelompokkan spesies berdasarkan subgenusnya, namun
kompleks spesies Phalaenopsis amabilis yang dikemukakan Tsai et al. (2015),
yakni P. amabilis “Jawa Barat”, P. amabilis “Kalimantan”, P. amabilis “Papua”, P.
amabilis “Pelaihari”, dan P. aphrodite telah mengelompok dalam kelompok II.

4.3.2 Analisis Keragaman Genetik Populasi Zuriat Hasil Persilangan P.


bellina “B1(11)” x P. Salu Spot “SP (12)
Percobaan ini diawali dengan proses skrining primer SNAP terhadap tertua.
Proses skrining dilakukan untuk mengetahui genotipe tetua pada setiap lokusnya.
Berdasarkan hasil skrining terhadap marka SNAP pada 18 lokus, didapatkan 9 lokus
yang memiliki alel heterozigot pada salah satu atau kedua tetuanya (Tabel 4.4).
Lokus SNP tetua yang memiliki alel monomorfik tidak digunakan untuk menguji
keragaman zuriat hasil persilangan. Kombinasi genotipe tetua yang digunakan
untuk analisis keragaman disajikan pada Tabel 4.4. Terdapat 2 jenis tipe persilangan,
yakni persilangan antara F1 dengan F1 yang menghasilkan keturunan F2 intercross
dengan nisbah genotipe zuriat 1:2:1 dan persilangan antara F1 dengan
37

Tabel 4.4 Profil genotipe P. bellina “B1(11)” dan P. Salu Spot “SP (12)” pada
9 lokus SNP berdasarkan marka SNAP
Lokus SNP Nama tetua Genotipe Zuriat
Pto-181 P. bellina C T
P. Salu Spot C T F2 intercross
Pto-223 P. bellina C C
P. Salu Spot C G BC1
Pto-229 P. bellina C T
P. Salu Spot C T F2 intercross
Pto-241 P. bellina G G
P. Salu Spot G C BC1
Pto-292 P. bellina T C
P. Salu Spot T C F2 intercross
Pto-349 P. bellina T C
P. Salu Spot T C F2 intercross
Pto-380 P. bellina T C
P. Salu Spot T C F2 intercross
Pto-424 P. bellina G G
P. Salu Spot A G BC1
Pto-355 P. bellina C T
P. Salu Spot C T F2 intercross

Tabel 4.5 Nilai heterozigositas dan polimorfisme tiap lokus berdasarkan data
kodominan pada 39 individu zuriat hasil persilangan antara P. bellina
“B1(11)” dan P. Salu Spot “SP (12)”
Lokus SNP N Na PIC Ne Ho He
Pto-181 41 2.000 0.374 1.995 0.756 0.499
Pto-223 41 2.000 0.275 1.490 0.415 0.329
Pto-229 41 2.000 0.375 2.000 0.951 0.500
Pto-241 41 2.000 0.339 1.764 0.634 0.433
Pto-292 40 2.000 0.365 1.923 0.300 0.480
Pto-349 41 2.000 0.374 1.995 0.951 0.499
Pto-380 41 2.000 0.370 1.958 0.805 0.489
Pto-424 41 2.000 0.368 1.943 0.829 0.485
Pto-355 39 2.000 0.335 1.742 0.462 0.426
N: jumlah individu yang diuji; Na: jumlah alel yang berbeda; PIC: Polymorphism Information
Content; Ne: jumlah alel yang efektif; Ho: nilai heterozigositas pengamatan; He: nilai
heterozigositas harapan.

P1(homozigot) yang menghasilkan keturunan BC1 dengan nisbah genotipe zuriat


1:1 dari 9 lokus terpilih pada percobaan ini.
Marka SNAP terpilih (9 set primer SNAP) digunakan untuk mengamplifikasi
produk PCR dari 39 individu populasi zuriat hasil persilangan antara P. bellina
38

Tabel 4.6 Rangkuman analisis faktorial dan akses keragaman antar


marka terseleksi pada populasi zuriat hasil persilangan
antara P. bellina “B1(11)” dan P. Salu Spot “SP (12)”
Jumlah Inersia Total keragaman yang dapat dievaluasi dengan
lokus (%) marker (%)
1 21.84 21.84
2 17.2 39.04
3 12.34 51.38
4 9.66 61.04
5 5.57 66.61
6 3.84 70.45
7 2.42 72.87
8 1.55 74.42
9 1.00 75.42

“B1(11)” dan P. Salu Spot “SP (12). Data yang diperoleh kemudian dianalisis
untuk mendapatkan nilai heterozigositas dan polimorfisme populasi berdasarkan
lokus SNP terpilih. Selain 39 individu populasi zuriat persilangan, kedua tetuanya
juga diikutkan dalam analisis data. Seluruh Na pada percobaan ini bernilai dua.
Hal tersebut disebabkan karena individu yang tidak menghasilkan pita pada alel
reference dan alternate dianggap sebagai data hilang. Heterozigositas populasi
memiliki nilai yang relatif tinggi pada sebagian besar lokusnya. Nilai PIC yang
diperoleh dari setiap lokus pada percobaan ini juga tergolong tinggi.
Berdasarkan analisis faktorial yang dilakukan pada percobaan ini (Tabel 4.6),
ke-9 marka SNAP yang digunakan mampu mengakses sebesar 75,42 % keragaman
dalam populasi. Berdasarkan nilai tersebut, berarti dapat dikatakan bahwa masih
terdapat 24,58% keragaman yang belum dapat diakses oleh 9 marka tersebut. Oleh
karena itu, perlu didesain primer lain yang informatif agar persentase keragaman
yang dapat diakses oleh marka lebih tinggi.
Salah satu alasan digunakannya populasi bersegregasi pada percobaan ini
ialah untuk mengetahui dan mempelajari pola segregasi masing-masing lokus SNP
dari fragmen gen Pto. Pola segregasi tersebut perlu diketahui karena sangat
berkaitan dengan pola pewarisan sifat dari tetua ke zuriatnya melalui perkawinan.
Berdasarkan hasil percobaan ini, segregasi pada sebagian besar lokus sifatnya tidak
memenuhi nisbah Mendel. Pada percobaan ini hanya terdapat 2 lokus yang
memenuhi nisbah Mendel pada taraf α 0.05, yakni lokus 223 dan 241 (Tabel 4.7).
Nisbah mendel tidak terpenuhi pada kebanyakan lokus diduga diakibatkan oleh
jumlah individu populasi yang diuji terlalu sedikit.
Untuk membuktikan apakah ada keterpautan antar lokus yang diujikan, maka
perlu dilakukan konfirmasi berdasarkan data haplotipe tetua yang kemudian
dibandingkan dengan pohon filogenetik yang dihasilkan menggunakan pendekatan
complete linkage hierarchial clustering. Karena data haplotipe tetua melalui
sekuensing tidak tersedia, maka pada percobaan ini digunakan asumsi. Haplotipe
adalah kelompok alel pada lokus yang terhubung erat yang biasanya diwariskan
bersama-sama (Jehan dan Lakhanpaul 2006). Apabila tanaman induk yang
digunakan diasumsikan keduanya diploid dan heterozigot, maka kedua tetua
39

Tabel 4.7 Analisis khi-kuadrat pada 9 lokus SNP populasi zuriat hasil
persilangan antara P. bellina “B1(11)” dan P. Salu Spot “SP (12)
Lokus SNP Genotipe Observasi(o) Harapan(e) (o-e)2/e X2 hit Kesimpulana
Pto-181 CC 4 9.75 3.39 9.46 Tolak H0
CT 29 19.50 4.63
TT 6 9.75 1.44
Pto-223 CC 23 19.50 0.63 1.26 Terima H0
CG 16 19.50 0.63
Pto-229 CC 1 9.75 7.85 31.41 Tolak H0
CT 37 19.50 15.71
TT 1 9.75 7.85
Pto-241 CG 25 19.50 1.55 3.10 Terima H0
CC 14 19.50 1.55
Pto-292 TT 18 9.50 7.61 11.89 Tolak H0
TC 10 19.00 4.26
CC 10 9.50 0.03
Pto-349 TT 2 9.75 6.16 31.62 Tolak H0
TC 37 19.50 15.71
CC 0 9.75 9.75
Pto-355 TT 18 9.25 8.28 12.84 Tolak H0
TC 16 18.5 0.34
CC 3 9.25 4.22
Pto-380 TT 7 9.75 0.78 15.41 Tolak H0
TC 31 19.50 6.78
CC 1 9.75 7.85
Pto-424 GG 6 19.50 9.35 18.69 Tolak H0
AG 33 19.50 9.35
a
Pengujian hipotesis pada α 0.05. Nilai X2 tabel: 3.841 (db=1) atau 5.991 (db=2); db: derajat
bebas.

silangan masing-masing memiliki 2 haplotipe, sehingga secara keseluruhan


terdapat 4 haplotipe. Apabila seluruh lokus-lokus dalam fragmen gen Pto tersebut
terpaut, maka akan dihasilkan 4 kelompok genotipe keturunan. Berdasarkan pohon
filogenetik yang disajikan pada Lampiran 2, genotipe zuriat hasil silangan
mengelompok menjadi 26 kelompok genotipe. Hasil tersebut jauh berbeda dengan
harapan bahwa zuriat akan terbagi ke dalam 4 kelompok. Hasil tersebut bisa saja
disebabkan karena tidak semua lokus-lokus yang diujikan terpaut satu sama lain.
Kemungkinan lainnya adalah salah satu atau kedua tetua bersifat poliploid. Untuk
membuktikan bahwa alel-alel tersebut terpaut atau tidak, maka dibutuhkan validasi
hasil PCR menggunakan teknologi sekuensing. Apabila alel-alel tidak sepenuhnya
terpaut satu sama lain dalam satu fragmen gen yang sama, maka penggunaan marka
SNAP untuk karakter fenotipe tertentu disarankan didasarkan pada banyak lokus
SNP, terutama pada lokus yang memiliki tingkat keterpautan rendah, agar marka
molekuler dapat dengan tepat memprediksi karakter yang diinginkan.
40

Gambar 4.3 Pohon filogenetik populasi zuriat hasil persilangan dan tetua
berdasarkan 9 lokus marka SNAP terpilih dengan pendekatan
Weighted Neighbor Joining (topologi)

Berdasarkan pohon filogenetik yang ditampilkan pada Gambar 4.3, individu


zuriat hasil persilangan terbagi dalam 3 kelompok besar. Kelompok I terdiri atas 16
individu zuriat hasil persilangan, kelompok kedua terdiri atas 23 individu (21
individu zuriat hasil persilangan dan 2 individu tetua persilangan), dan kelompok
III yang hanya terdiri atas 2 individu zuriat hasil persilangan. Walaupun kedua tetua
masuk ke dalam kelompok utama yang sama, namun kedua tetua terpisah dalam
subkelompok. Terdapat 11 individu zuriat hasil persilangan yang mengelompok
dalam subkelompok bersama P. bellina (tetua betina), sedangkan pada
subkelompok yang beranggotakan P. Salu Spot (tetua jantan) terdapat 10 individu
zuriat hasil persilangan di dalamnya. Hasil ini selanjutnya dapat digunakan sebagai
41

dasar pengelompokan individu terhadap karakter tertentu, dalam hal ini karakter
ketahanan terhadap penyakit busuk lunak. Walaupun individu-individu dalam
percobaan ini belum diuji respon ketahanannya, namun pada penelitian Haristianita
(2017), marka SNAP telah berhasil mengelompokkan karakter warna bunga dengan
ciri khas yang sama.

Simpulan

Secara keseluruhan percobaan ini telah berhasil mengamplifikasi produk PCR


menggunakan primer SNAP. Aplikasi 18 primer SNAP pada 27 genotipe
Phalaenopsis mampu mengakses 85.57 % keragaman berdasarkan analisis faktorial,
sedangkan 9 primer SNAP yang diuji pada individu populasi hasil persilangan
antara P. bellina “B1(11)” x P. Salu Spot “SP (12)” mampu mengakses 75,42 %
keragaman. Berdasarkan hasil konstruksi pohon filogenetik menggunakan
pendekatan weighted neighbor joining, 27 genotipe Phalaenopsis spesies terbagi ke
dalam 3 kelompok utama, begitu juga dengan populasi zuriat hasil persilangan yang
terbagi ke dalam 3 kelompok utama. Walaupun marka SNAP dapat digunakan
untuk analisis keragaman genetik, namun perlu dilakukan validasi produk PCR
melalui sekuensing untuk membuktikan bahwa pita yang muncul saat elektroforesis
memiliki konten yang sesuai dengan yang diharapkan.

Daftar Pustaka

Agarwal M, Shrivastava N, Padh H. 2008. Advances in molecular marker


techniques and their applications in plant sciences. Plant Cell Rep. 27:617–
631.
Brown AHD, Weir BS. 1983. Measuring genetic variability in plant populations. Di
dalam: Tanksley SD, Orton TJ, editor. Isozymes in Plant Genetics and
Breeding. Bagian A. Amsterdam (NL): Elsevier Science Publ. hlm. 219-239.
Chen WH, Fu YM, Lin YS, Chen YH. 2001. Identification of RAPD markers linked
to the floral gene in Phalaenopsis equestris by a stepwise screening method.
Taiwan Sugar. 48(4): 23-29.
Christenson EA.2001. Phalaenopsis. Portland (US): Timber Press. 330 hlm.
Das BK, Jena RC, Samal KC. 2009. Optimation of DNA isolation and PCR protocol
for RAPD analysis of banana/plantain (Musa spp.). Int J Agricul Sci. 1(2): 21-
25.
Doyle JJ, Doyle JL. 1987. A rapid DNA isolation procedure for small quantities of
fresh leaf tissue. Phytochem Bull. 19:11-15.
Elina J. 2016. Respon ketahanan anggrek Phalaenopsis terhadap penyakit busuk
lunak akibat infeksi Dickeya dadantii dan karakterisasi molekuler dengan
marka SNAP [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Fatimah, Sukma D. 2011. Development of sequence-based microsatellite marker
for Phalaenopsis orchid. HAYATI Journal of Biosciences.18(2):71–76.
Fu YM, Chen WH, Tsai WT, Lin YS, Chyou MS, and Chen YH. 1997. Phylogenetic
studies of taxonomy and evolution among wild species of Phalaenopsis by
random amplified DNA markers. Rep. Taiwan Sugar Res. Inst. 157: 27–42.
42

Gogol K, Raju das, Yonzone R. 2012. Diversity and distribution of the genus
Phalaenopsis Blume (Orchidaceae) in Assam, India. Sci Res Rep. 2(3): 260-
264.
Handini AS. 2014. Analisis keragaman morfologi dan biokimia pada anggrek
Phalaenopsis serta analisis keragaman genetik dengan marka SNAP. [tesis].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Haristianita MD. 2017. Gen terkait warna bunga: pemanfaatannya untuk
pengembangan marka molekuler dan analisis genetik warna bunga
Phalaenopsis [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Jehan T, Lakhanpaul S. 2006. Single nucleotide polymorphism (SNP)-methods and
applications in plant genome: a review. Indian Journal of Biotechnology.
5:453-459.
Kumar P, Gupta VK, Misra AK, Modi DR, Pandey BK. 2009. Potential of
molecular markers in plant biotechnology. Plant Omics, 2(4):141-162.
Pesik A, Efendi D, Novarianto H, Dinarti D, Sudarsono S. 2017. Development of
SNAP markers based on nucleotide variability of WRKY genes in coconut
and their validation using multiplex PCR. Biodiversitas. 18(2): 465-475.
Shete S, Tiwari H, Elston RC. 2000. On Estimating the Heterozygosity and
Polymorphism Information Content Value. Theoretical Population Biology
57:265-271.
Sutanto A. 2014. Karakterisasi molekuler ketahanan beberapa kultivar pisang
(Musa spp.) terhadap penyakit layu panama (Fusarium oxysporum f.sp.
cubense) [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Tang CY, Chen WH. 2007. Breeding and development of new varietes in
Phalaenopsis, Di dalam: Chen WH, Chen HH, editor. Orchid Biotechnology.
Singapura (SG): World Sci.
Tsai CC, Chou CH, Wang HV, Ko YZ, Chiang TY, Chiang YC. 2015.
Biogeography of the Phalaenopsis amabilis species complex inferred from
nuclear and plastid DNAs. BMC Plant Biology. 15:202.
43

5 EVALUASI METODE INOKULASI BAKTERI PATOGEN


PENYEBAB BUSUK LUNAK DENGAN UJI LEAF DISK
PADA Phalaenopsis

Abstrak

Penyakit busuk lunak (soft rot) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
bakteri patogen Dickeya dadantii. Penyakit ini telah menyebabkan kerugian yang
sangat besar dalam industri anggrek. Penelitian ini bertujuan menguji pengaruh
galur isolat bakteri, konsentrasi bakteri, dan volume suspensi bakteri dalam
menimbulkan gejala penyakit busuk lunak terhadap potongan daun (leaf disk)
Phalaenopsis amabilis. Penelitian terdiri atas dua percoban, yakni pengujian
pengaruh konsentrasi dan galur isolat terhadap gejala busuk lunak pada
Phalaenopsis amabilis dan pengujian pengaruh volume dan inokulum bakteri
terhadap gejala busuk lunak pada Phalaenopsis. Berdasarkan hasil penelitian ini,
didapatkan 1 galur bakteri yang dapat menimbulkan gejala busuk lunak.
Konsentrasi bakteri tanpa pengenceran (10-0) paling efektif dalam menyebabkan
kebusukan daun Phalaenopsis amabilis. Volume inokulum yang lebih tinggi dapat
meningkatkan diameter gejala busuk lunak. Hasil percobaan ini digunakan sebagai
dasar metode inokulasi pada bab selanjutnya.

Kata kunci: busuk lunak, Dickeya dadantii, inokulasi bakteri, leaf disk,
Phalaenopsis amabilis

Abstract

Soft rot is a plant disease caused by infection of pathogenic bacteria named


Dickeya dadantii. This disease has caused enormous losses in the orchid industry.
This study aims to examine the effect of bacterial isolate strains, bacterial
concentration, and bacterial suspension volume in causing symptoms of soft rot
using leaf disk of Phalaenopsis amabilis. This study consisted of two experiments.
The first was the examination of the effects of the concentration and the strain
isolates against the soft rot symptoms in Phalaenopsis amabilis. The second was
the examination of the effects of bacterial volume inoculum in generating soft rot
symptoms on Phalaenopsis amabilis. Based on the results of this study, from six
bacteria strains that obtained, one strain of bacteria can cause soft rot symptoms.
The concentration of bacteria without dilution (10-0) was the most effective in
causing soft rot on Phalaenopsis amabilis. Higher inoculum volume could increase
the diameter of soft rot symptoms. The results of these experiments are used as the
basis for inoculation methods in the next chapter.
Keywords: bacterial inoculation, Dickeya dadantii, leaf disk, Phalaenopsis
amabilis, soft rot
44

Pendahuluan

Penyakit busuk lunak (soft rot) merupakan salah satu faktor pembatas dalam
kegiatan budidaya anggrek. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri patogen
Dickeya dadantii (Samson et al. 2005) yang awalnya diklasifikasikan sebagai
Erwinia chrysantemii pv. dadantii. Penyakit busuk lunak pada anggrek telah
menyebabkan kerugian yang besar dalam kegiatan budidaya anggrek. Kerugian
secara ekonomi yang diakibatkan bakteri patogen ini biasanya terjadi pada saat
kondisi lingkungan mendukung siklus hidup bakteri ini, seperti suhu udara yang
relatif panas dikombinasikan dengan kelembaban yang tinggi (McMillan et al.
2007). Menurut Lee et al. (1999), penanaman anggrek yang terlalu padat dengan
sirkulasi udara yang buruk juga dapat menjadi faktor pendukung timbulnya
serangan penyakit ini.
Penyakit ini diketahui telah menyerang banyak kebun anggrek di seluruh
dunia (Keith et al. 2005), seperti di Korea (Lee et al. 1999) dan Amerika Serikat
(McMillan et al. 2007). Di Indonesia, penyakit ini telah menyerang beberapa
kebun anggrek di Jawa Barat dan Yogyakarta (Joko et al. 2011; Hanudin dan
Rahardjo 2012). Saat ini belum ada laporan mengenai nilai kerugian secara
ekonomis yang ditimbulkan penyakit ini di Indonesia, namun berdasarkan survey
yang dilakukan Joko et al. (2011) pada tujuh lokasi di Jawa Barat dan Yogyakarta,
penyakit ini dapat menyerang tanaman anggrek Phalaenopsis dengan tingkat
kejadian serangan penyakit hingga 100% dan intensitas serangan hingga 46.2 %.
Gejala umum yang ditimbulkan dari infeksi Dickeya dadantii atau yang
dikenal dengan sebutan busuk lunak pektinolitik Erwinia, ditandai dengan
kerusakan cepat jaringan parenkima yang terutama disebabkan oleh enzim pektik
(Hugouvieux-Cotte-Pattat et al. 1996). Enzim pektolitik merupakan komponen
penting di dalam patogenisitas yang mampu mendegradasi pektat (Rianawati 2010).
Bakteri masuk ke jaringan tanaman melalui lubang alami atau lubang yang
disebabkan oleh luka, kemudian menginfeksi daun, lalu memperbanyak diri pada
ruang intraseluler dengan bantuan enzim pektolitik. Dengan bantuan enzim ini,
bakteri dapat mendegradasi dinding sel tanaman sehingga jaringan tanaman yang
terserang menjadi busuk (Elina 2016).
Untuk mengetahui tingkat virulensi bakteri, maka perlu dilakukan pengujian
pengaruh jenis galur bakteri patogen, konsentrasi, dan volume suspensi bakteri
dalam menginfeksi tanaman uji. Penelitian mengenai pengaruh konsentrasi dan
jenis isolat bakteri Dickeya dadantii sebelumnya telah dilakukan Elina (2016),
namun pengujian ulang perlu dilakukan kembali mengingat isolat bakteri yang
digunakan berasal dari sumber yang berbeda.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh galur isolat bakteri,
konsentrasi bakteri, dan volume suspensi bakteri dalam menimbulkan gejala
penyakit busuk lunak terhadap potongan daun (leaf disk) Phalaenopsis amabilis.

Bahan dan Metode

5.2.1 Waktu dan Tempat


Penelitian dilaksanakan bulan Februari hingga April 2017 di Laboratorium
Kultur Jaringan 1 dan Laboratorium Biologi Molekuler, Departemen Agronomi dan
Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
45

5.2.2 Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah potongan daun P. amabilis
dan isolat bakteri Dickeya dadantii yang diperoleh dari tanaman P. amabilis yang
terserang penyakit busuk lunak. Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah
inkubator, timbangan analitik, laminar air flow cabinet, autoclave, centrifuge.

5.2.3 Pembuatan Isolat dan Inokulum Dickeya dadantii


Isolat bakteri diambil dari daun tanaman P. amabilis yang terserang penyakit
busuk lunak. Daun tanaman yang terinfeksi dikultivasi dalam media NA (Nutrient
Agar) selama 48 jam pada ruang kultur bersuhu 22-25o C. Bakteri yang tumbuh di
sekitar bagian daun yang busuk kemudian disubkultur ke media NA baru untuk
mendapatkan koloni tunggal menggunakan metode gores kuadran (quadrant streak
plate). Koloni tunggal diambil dari goresan pada kuadran keempat, kemudian
disubkultur kembali ke media NA untuk dimurnikan kembali. Koloni tunggal dari
hasil subkultur tersebut dikultivasi dalam media media cair LB (Luria-Bertani) yang
diinkubasi pada ruang kultur 22-25o C selama 20 jam pada meja bergoyang (shaker)
dengan kecepatan rotasi 100 RPM (rotate per minute).
Pengujian isolat hasil kultivasi dilakukan dengan menginokulasikan 10 µl
suspensi bakteri pada daun P. amabilis yang dilukai dengan jarum untuk menguji
patogenisitas bakteri. Isolat yang menyebabkan gejala busuk lunak pada daun uji
menunjukkan bahwa suspensi yang digunakan adalah suspensi isolat bakteri
Dickeya dadantii. Isolat bakteri Dickeya dadantii digunakan sebagai bahan
inokulum.
Isolat bakteri yang menunjukkan gejala busuk lunak pada daun uji pada media
NA disubkultur kembali ke dalam media cair LB selama 20 jam pada meja
bergoyang dengan kecepatan rotasi 100 RPM. Suspensi bakteri dipindahkan ke
dalam centrifuge tube sebanyak 50 ml untuk disentrifugasi dengan kecepatan rotasi
8000 RPM selama 6 menit. Pelet yang diperoleh kemudian dilarutkan kembali
dalam media LB untuk disentrifugasi kembali. Pelet yang diperoleh kemudian
diencerkan menggunakan akuades untuk membuat 50 ml suspensi bakteri. Suspensi
bakteri yang diperoleh tersebut kemudian diencerkan kembali sesuai dengan
perlakuan yang diujikan.

5.2.4 Pengaruh Konsentrasi dan Galur Isolat terhadap Gejala Busuk Lunak
pada Phalaenopsis amabilis
Bahan tanaman yang digunakan pada percobaan ini adalah potongan daun
kedua P. amabilis yang berukuran 2 x 2 cm. Percobaan ini menggunkanan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) 2 faktor perlakuan, yakni 4 taraf konsentrasi
bakteri dan 2 galur bakteri. Percobaan diulang 3 kali sehingga terdapat 24 satuan
percobaan. Masing-masing satuan percobaan terdiri atas 3 potongan daun, sehingga
terdapat 72 potongan daun. Setiap potongan daun ditusuk bagian tengahnya (dilukai
bagian epidermisnya) dengan jarum berdiameter 0.9 mm, kemudian ditetesi
suspensi bakteri sebanyak 10 µl sesuai dengan jenis dan konsentrasi masing-
masing perlakuan dengan menggunakan pipet mikro. Potongan daun yang telah
diberi perlakuan diinkubasi diatas spons lembab dalam kotak plastik tertutup
dengan suhu 27±2o C dan kelembaban relatif 75±5%.
46

5.2.5 Pengaruh Volume Inokulum Bakteri terhadap Gejala Busuk Lunak


pada Phalaenopsis amabilis
Percobaan ini menggunakan RAL faktor tunggal, yakni volume inokulum
bakteri (kontrol, 10, 20, 30, 40 µl) . Percobaan diulang 3 kali sehingga terdapat 15
satuan percobaan. Masing-masing satuan percobaan terdiri atas 1 potongan daun,
sehingga terdapat 15 potongan daun. Setiap potongan daun ditusuk bagian
tengahnya (dilukai bagian epidermisnya) dengan jarum berdiameter 0.9 mm,
kemudian ditetesi suspensi bakteri sesuai perlakuan dengan menggunakan pipet
mikro. Potongan daun yang telah diberi perlakuan diinkubasi diatas spons lembab
dalam kotak plastik tertutup dengan suhu 27±2o C dan kelembaban relatif 75±5%.

5.2.6 Pengamatan dan Analisis Data


Pengamatan dilakukan setiap 24 jam selama 3 hari terhadap peubah gejala
yang ditimbulkan bakteri dan diameter gejala busuk lunak pada daun yang terserang.
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (Anova) menggunakan
perangkat lunak STAR (Statistical Tool for Agricultural Research). Jika perlakuan
menunjukkan pengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut DMRT pada α 0.05.

Hasil dan Pembahasan

5.3.1 Pengujian Awal 6 Galur Bakteri pada Planlet Phalaenopsis amabilis


Daun Phalaenopsis amabilis yang terserang penyakit busuk lunak dari lapang
diisolasi dengan cara menggerus bagian busuk dalam mortar menggunakan alu.
Hasil gerusan dikultivasi pada media NA dengan menggunakan metode gores
kuadran (Gambar 5.1a). Koloni tunggal yang dihasilkan setelah 48 jam inkubasi
pada suhu ruang kemudian disubkultur ke dalam media NA yang baru untuk
dimurnikan kembali. Hasil koloni tunggal yang didapatkan kemudian diperbanyak

Gambar 5.1 Isolasi bakteri menggunakan metode gores kuadran (a); perbanyakan
bakteri galur 1(b) dan galur 2(c); hasil pengujian inokulan terhadap
potongan daun P. amabilis pada 5 hari setelah inokulasi menggunakan
galur bakteri 1(d) dan galur bakteri 2 (e)
47

pada media NA yang baru (Gambar 5.1b dan 5.1c). Didapatkan 6 galur bakteri dari
hasil pemurnian tersebut. Berdasarkan pengujian terhadap daun planlet P. amabilis
hasil kultur jaringan (meneteskan 10 µl larutan bakteri pada luka tusukan)
didapatkan 1 galur bakteri yang dapat menginfeksi potongan daun planlet P.
amabilis (Gambar 5.1b, d)
Berdasarkan hasil pengujian awal yang dilakukan terhadap daun planlet P.
amabilis, gejala yang ditimbulkan oleh inokulum bakteri galur 1 mulai terlihat 1
hari setelah inokulasi (HSI) dan terus meluas hingga 3 HSI. Setelah 3 HSI luas
serangan mulai terhenti seiring dengan mengeringnya bagian yang terserang
(nekrosis). Pengujian awal terhadap 5 galur bakteri lainnya pada percobaan ini tidak
menunjukkan gejala kebusukan pada potongan daun planlet P. amabilis
(Gambar 5.1e).

5.3.2 Pengaruh Konsentrasi dan Galur Isolat terhadap Gejala Busuk Lunak
pada Phalaenopsis amabilis
Berdasarkan hasil pengujian awal, bakteri galur 1 digunakan sebagai bahan
inokulum. Selain itu, bakteri galur 2 juga digunakan sebagai pembanding dan
konfirmasi ulang hasil yang didapatkan pada tahap pengujian awal.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa terdapat pengaruh sangat nyata (α
0.05) konsentrasi, jenis galur isolat, dan interaksi antara konsentrasi dan jenis galur
isolat pada 24, 48, dan 72 jam setelah inkubasi (JSI) terhadap diameter gejala busuk
lunak (KK pada 24 JSI: 7.54%, 48 JSI: 6.28%, dan 72 JSI: 8.45%). Berdasarkan
Tabel 5.1 dapat terlihat bahwa perlakuan inokulasi bakteri dengan inokulum yang
berasal dari bakteri galur 2 tidak menunjukkan gejala kebusukan sama sekali pada
seluruh tingkat faktor pengenceran, sedangkan potongan daun yang diinokulasikan
dengan suspensi bakteri galur 1 menunjukkan gejala kebusukan pada faktor
pengenceran 10-0 (tanpa pengenceran) -10-3. Berdasarkan hasil penelitian ini, galur
isolat bakteri 1 tidak dapat menimbulkan gejala busuk lunak pada faktor
pengenceran 10-3 hingga waktu pengamatan 72 JSI, namun dapat menimbulkan
gejala kebusukan pada faktor pengenceran 10-0 sampai dengan faktor pengenceran
10-2. Batas konsentrasi bakteri yang dapat menginfeksi daun uji, yakni 10-2
mengindikasikan bahwa konsentrasi bakteri tersebut telah memenuhi quorum

Tabel 5.1 Pengaruh faktor pengenceran dan galur bakteri terhadap rata-rata
diameter busuk lunak (mm) leaf disk P. amabilis pada 24, 48, dan
72 JSI
Faktor Galur bakteri inokuluma
pengenceran 1 2 1 2 1 2
-24 JSI- -48 JSI- -72 JSI-
-0
10 2.13Aa 0.00Ba 2.79Aa 0.00Ba 3.02Aa 0.00Ba
10-1 1.04Ab 0.00Ba 1.24Ab 0.00Ba 1.49Ab 0.00Ba
10-2 0.34Ac 0.00Ba 0.34Ac 0.00Ba 0.39Ac 0.00Aa
10-3 0.00Ad 0.00Aa 0.00Ad 0.00Aa 0.00Ac 0.00Aa
a
Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf kecil dan pada baris dengan JSI yang sama
diikuti huruf besar yang sama tidak berbeda nyata pada α 0.05 (uji lanjut DMRT); Transformasi
data pada seluruh waktu pengamatan dengan √(x+1) dilakukan untuk memenuhi distribusi
normal; JSI: jam setelah inokulasi.
48

Gambar 5.2 Hasil inokulasi bakteri pada leaf disk P. amabilis dengan faktor
pengenceran 10-0 pada 24 JSI menggunakan isolat bakteri galur 1
(a) dan galur 2 (b); pada 48 JSI menggunakan isolat bakteri galur
1 (c) dan galur 2 (d). JSI: jam setelah inokulasi.

Tabel 5.2 Persentase leaf disk P. amabilis terserang penyakit busuk lunak
dari inokulum bakteri galur 1 pada 24, 48, dan 72 JSI
Faktor pengenceran Persentase kejadian serangan penyakit (%)
-24 JSI- -48 JSI- -72 JSI-
10-0 100.00 100.00 100.00
10-1 66.67 77.78 77.78
10-2 22.22 22.22 22.22
10-3 0.00 0.00 0.00

sensing. Quorum sensing adalah meknisme untuk memastikan jumlah sel


mencukupi sebelum bakteri melakukan aktifitas biologi tertentu (Miller dan Bassler
2001). Informasi jumlah minimum bakteri ini pada dasarnya dibutuhkan untuk
menentukan konsentrasi bakteri minimum yang dapat menginfeksi tanaman inang.
Berdasarkan hasil percobaan ini, konsentrasi bakteri tanpa pengenceran (10-0)
paling efektif dalam menginfeksi potongan daun Phalaenopsis amabilis bila dilihat
dari hasil rata-rata diameter gejala yang ditimbulkan.
Selain berdasarkan diameter gejala yang ditimbulkan bakteri, efektifitas
konsentrasi bakteri dalam menginfeksi potongan daun juga dapat dilihat dari
persentase serangan penyakit busuk lunak. Data persentase kejadian serangan
penyakit yang disebabkan oleh inokulum bakteri galur 1 disajikan dalam Tabel 5.2.
Persentase kejadian penyakit tertinggi dihasilkan oleh perlakuan faktor
pengenceran 10-0 (Gambar 5.2a dan 5.2c), yakni 100 % sejak 24 JSI. Hasil terendah
dihasilkan oleh perlakuan faktor pengenceran 10-3, yakni 0 % sejak 24 JSI hingga
78 JSI. Persentase kejadian penyakit yang disebabkan oleh inokulum bakteri galur
2 memiliki nilai 0 % pada seluruh taraf faktor pengenceran (Gambar 5.2b dan 5.2d).

5.3.3 Pengaruh Volume Inokulum Bakteri terhadap Gejala Busuk Lunak


pada Phalaenopsis amabilis
Percobaan ini menggunakan suspensi bakteri Dickeya dadantii galur 1 yang
digunakan pada percobaan sebelumnya. Berdasarkan sidik ragam anova, perlakuan
menunjukkan pengaruh sangat nyata terhadap diameter serangan busuk lunak pada
24 JSI dan 48 JSI. Rata-rata diameter serangan busuk lunak tertinggi diperoleh dari
49

Tabel 5.3 Pengaruh volume inokulum bakteri terhadap diameter gejala


serangan penyakit busuk lunak leaf disk P. amabilis
Perlakuan Rata-rata diameter gejala (mm)a
-24 JSI- -48 JSI-
Kontrol (10 µl akuades) 0c 0b
10 µl 2.1b 2.53a
20 µl 3.07ab 3.07a
30 µl 3.97a 3.97a
40 µl 4.03a 4.03a
KK (%) 13.24 12.14
a
Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada α 0.05
(uji lanjut DMRT); Transformasi data dengan √(x+0.5) dilakukan untuk memenuhi distribusi
normal; KK: koefisien keragaman; JSI: jam setelah inokulasi.

Gambar 5.3 Potongan daun P. amabilis pada 24 jam setelah inokulasi pada
berbagai volume inokulum bakteri D. dadantii

perlakuan volume inokulum 40 µl dengan nilai 4.03 mm (24 JSI), namun hasilnya
tidak berbeda nyata dengan perlakuan 20, dan 30 µl. Rata-rata diameter gejala
busuk lunak pada 48 JSI tertinggi dihasilkan oleh perlakuan 40 µl namun hasilnya
tidak berbeda nyata dengan perlakuan 10, 20, dan 30 µl inokulum. Data rata-rata
diameter gejala serangan penyakit busuk lunak disajikan pada Tabel 5.3.
Gejala serangan penyakit busuk lunak sudah mulai terlihat pada 24 JSI.
Munculnya gejala serangan pada percobaan ini diawali dengan adanya warna hitam
pada bagian bekas tusukan (Gambar 5.3). Perlakuan kontrol pada percobaan ini
tidak menunjukkan adanya gejala busuk lunak. Tidak adanya gejala busuk yang
muncul pada perlakuan kontrol semakin memperkuat asumsi bahwa inokulum
bakteri yang digunakan merupakan inokulum bakteri Dickeya dadantii.
Kemampuan bakteri dalam menginfeksi inangnya sangat dipengaruhi
densitas bakteri yang digunakan (Elina 2016). Walaupun volume inokulum yang
digunakan sebenarnya tidak berhubunggan dengan densitas bakteri pada saat
50

bakteri diinokulasikan pertama kali, namun penguapan air pada suspensi inokulum
yang diteteskan pada potongan daun yang terjadi seiring dengan berjalannya waktu,
secara tidak langsung diduga berperan dalam meningkatkan konsentrasi bakteri.
Peningkatan konsentrasi tersebut bisa saja membantu bakteri untuk
mengoptimalkan aktifitas metabolisme dalam menginfeksi inangnya (quorum
sensing). Selain itu, peningkatan volume inokulum yang diteteskan pada potongan
daun juga diduga berperan dalam mempertahankan kondisi lingkungan yang sesuai
bagi bakteri pada masa inkubasi. Berdasarkan hasil yang direpresentasikan dalam
gambar 10, pada 24 JSI dapat terlihat bahwa daun yang ditetesi 30 µl dan 40 µl
menunjukkan adanya larutan bakteri yang masih tersisa di atas permukaan daun.
Walaupun demikian, pengaruh volume inokulum dalam terhadap efektifitas
inokulum dalam menginfeksi tanaman inang perlu dikonfirmasi ulang, mengingat
jumlah sampel yang digunakan sedikit dan kurangnya informasi yang mendukung
asumsi ini.
Penelitian Elina (2016) menggunakan 10 µl suspensi bakteri untuk
diinokulasikan pada daun uji, namun pada percobaan ini penggunaan inokulum
dengan volume tetes 10 µl kurang efektif pada percobaan ini. Pada 24 JSI,
perlakuan yang paling efektif adalah perlakuan dengan volume tetes 40 µl, namun
pada saat inokulum ditetesi di atas permukaan daun dengan volume tersebut,
suspensi inokulum cenderung meluber ke bagian pinggir daun, sehingga
memungkinkan bakteri menginfeksi daun dari bagian pinggir yang mengalami
perlukaan juga. Penggunaan volume suspensi bakteri yang terlalu tinggi juga tidak
disarankan berkenaan dengan keakuratan data diameter gejala penyakit yang
ditimbulkan. Fu et al. (2012) menggunakan 30 μl suspensi bakteri untuk
diinokulasikan pada daun uji.

Simpulan

Percobaan ini berhasil mengisolasi 6 galur bakteri yang diduga Dickeya


dadantii, satu di antaranya mampu menimbulkan gejala busuk lunak pada potongan
daun Phalaenopsis amabilis. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa galur bakteri,
konsentrasi isolat, dan volume tetesan isolat memengaruhi diameter gejala busuk
lunak. Hasil percobaan ini digunakan sebagai pedoman dasar metode inokulasi
bakteri pada Bab berikutnya.

Daftar Pustaka

Elina J. 2016. Respon ketahanan anggrek Phalaenopsis terhadap penyakit busuk


lunak akibat infeksi Dickeya dadantii dan karakterisasi molekuler dengan
marka SNAP [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Fu SF, Tsai TM, Chen YR, Liu CP, Haiso LJ, Syue LH, Yeh HH, Huang HJ. 2012.
Characterization of the early response of the orchid, Phalaenopsis amabilis,
to Erwinia chrysanthemi infection using expression profiling. Physiol
Plant. 145(3): 406-25.
Hanudin, Rahardjo IP. 2012. Penyakit busuk lunak (pbl) pada anggrek: penyebab
dan upaya pengendaliannya. Prosiding Seminar Nasional Anggrek 2012;
51

2012 Jun 21; Jakarta Selatan (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hortikultura. Hlm 275- 281.
Hugouvieux-Cotte-Pattat N, Condemine G, Nasser W, and Reverchon S. 1996.
Regulation of pectinolysis in Erwinia chrysanthemi. Annu Rev
Microbiol. 50: 213-257.
Joko T, Kiswanti D, Hanudin Subandiyah S. Occurence of bacterial soft-rot of
Phalaenopsis orchids in Yogyakarta and West Java, Indonesia. Proceeding
of Internasional Seminar on “Natural Resources, Climate Change, and Food
Security in Developing Countries; 2011 Jun 27-28; Surabaya, Indonesia.
Surabaya (ID): ISNAR. hlm 255-264.
Lee DH, Kim JH, Lee JH, Hur JS, Koh YJ. 1999. Bacterial soft rot of Dendrobium
phalaenopsis and Phalaenopsis species by Erwinia chrysanthemi. Plant
Pathol J. 15: 302-307.
McMillan RT, Palmateer A, Vendrame W. 2007. Effect of roguing on Erwinia soft
rot in commercial production with two Phalaenopsis plants per pot. Proc Fla
State Hort Soc. 120: 353-355.
Miller MB, Bassler BL. 2001. Quorum sensing in bacteria. Annu Rev Microbiol.
55:165-199.
Rianawati S. 2010. Induksi variasi somaklonal dan uji in vitro untuk perbaikan
ketahanan Phalaenopsis terhadap penyakit busuk lunak [Disertasi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Samson R, Legendre JB, Christen R, Fischer-Le SM, Achouak W, Gardan L. 2005.
Transfer of Pectobacterium chrysanthemi (Burkholder et al. 1953) Brenner
et al. 1973 and Brenneria paradisiaca to the genus Dickeya gen. nov. as
Dickeya chrysanthemi comb. nov. and Dickeya paradisiaca comb. nov. and
delineation of four novel species, Dickeya dadantii sp. nov., Dickeya
dianthicola sp. nov., Dickeya dieffenbachiae sp. nov. and Dickeya zeae sp.
nov. Intl Jrnl of Syst and Evol Micrb. 55: 1415–1427.
6 PENDUGAAN RESPON KETAHANAN 22 GENOTIPE
Phalaenopsis TERHADAP INFEKSI Dickeya dadantii
DAN EVALUASI MARKA SNAP BERDASARKAN
KARAKTER KETAHANAN

Abstrak

Peningkatan produktivitas Phalaenopsis sering terhambat akibat kendala


infeksi penyakit yang disebabkan oleh Dickeya dadantii. Oleh karena itu perlu
dilakukan upaya pencarian genotipe Phalaenopsis yang tahan terhadap penyakit
busuk lunak. Marka SNAP adalah marka kodominan yang memanfaatkan
keberadaan perbedaan basa tunggal (SNP) pada genom tanaman. Penelitian ini
terdiri atas dua percobaan, yaitu: pengujian respon genotipe Phalaenopsis spesies
terhadap serangan penyakit busuk lunak dan evaluasi marka SNAP berbasis gen Pto
menggunakan 22 genotipe Phalaenopsis spesies terkait karkter ketahanan terhadap
penyakit busuk lunak. Percobaan pertama telah berhasil mengklasifikasikan
Phalaenopsis spesies ke dalam 5 kelas ketahanan berdasarkan hasil pengamatan
pada 72 JSI (jam setelah inokulasi). Pada percobaan kedua, Pohon filogenetik yang
dihasilkan berdasarkan 18 marka SNAP berbasis gen Pto belum dapat
mengelompokkan Phalaenopsis berdasarkan klasifikasi ketahanannya. Oleh karena
itu perlu dilakukan pengujian ulang dengan melibatkan lokus-lokus SNP pada gen
lain yang telah diketahui terlibat saat terjadinya serangan penyakit busuk lunak pada
Phalaenopsis.

Kata kunci: busuk lunak, gen Pto, ketahanan tanaman, Phalaenopsis, pohon
filogenetik

Abstract

Phalaenopsis production is often limited due to disease-related problems that


caused by Dickeya dadantii. It is necessary to search for Phalaenopsis genotypes
that are resistant to soft rot disease. The SNAP marker is a codominant marker that
utilize the existence of a single nucleotide polymorphism in the plant genome. This
study consisted of two experiments, namely: Phalaenopsis species genotype
response test against soft rot disease and evaluation of SNAP markers based on Pto
gene using 22 genotypes of Phalaenopsis that related to resistance against soft rot
disease. The first experiment has successfully classified the Phalaenopsis species
into 5 resistance classes based on observations at 72 HAI (hours after inoculation).
In the second experiment, the phylogenetic tree that generated by using 18 SNAP
markers locus based on Pto gene were not able to classify Phalaenopsis based on
its resistance classification. It is necessary to do confirmation test by involving the
SNP loci on another gene that has been known to be involved during sof rot disease
attack.

Keywords: Phalaenopsis, phylogenetic tree, plant resistance, Pto gene, soft rot
53

Pendahuluan

Phalaenopsis adalah salah satu genus dari famili Orchidaceae yang


merupakan famili terbesar selain Asteraceae dan Poaceae (Arditti 1992).
Phalaenopsis memiliki keragaman yang cukup besar mulai dari bentuk bunga,
ukuran bunga, dan aroma, dan warna bunga. Menurut Christenson (2001), marga
tersebut setidaknya memiliki 66 spesies yang terbagi ke dalam 5 subgenus.
Berawal dari tahun 1875 ketika John Seden dari Inggris menghasilkan
Phalaenopsis hibrida pertama (Griesbach 2002), kini Phalaenopsis sudah menjadi
salah satu komoditas tanaman hias komersial yang dikembangkan dengan skala
industri. Upaya pemuliaan terus dilakukan hingga kini dalam mengeksplorasi dan
mengombinasikan karakter-karakter unggul untuk menghasilkan tanaman superior.
Walaupun dewasa ini kegiatan pemuliaan pada Phalaenopsis sudah menghasilkan
sangat banyak varietas hibrida unggul, namun peningkatan produktivitas sering
terhambat oleh kendala penyakit. Salah satu penyakit yang menjadi kendala terbesar
dalam budidaya Phalaenopsis adalah penyakit busuk lunak yang disebabkan oleh
bakteri patogen Dickeya dadantii (Rianawati 2010, Elina 2016).
Studi yang melibatkan aspek fisiologis pada tanaman sudah banyak dilakukan,
namun pemahaman molekuler mengenai mekanisme pensinyalan terkait cekaman
abiotik atau biotik pada anggrek masih belum jelas diketahui (Tsai et al. 2007).
Oleh karena itu, studi mengenai hubungan antara cekaman biotik dengan penanda
molekuler tertentu sangat menarik untuk dilakukan, didukung oleh perkembangan
dan penggunaan penanda molekuler untuk deteksi dan eksploitasi polimorfisme
DNA yang berkembang signifikan (Gupta et al. 2005). Penggunaan marka
molekuler sebagai alat seleksi karakter ketahanan sudah sudah dilakukan pada
beberapa komoditas tanaman, yakni pada tomat (Pasev et al. 2016), cabai (Celik et
al. 2016), padi (Liu et al. 2016). Salah satu marka yang akhir-akhir ini sering
digunakan adalah marka SNAP. Marka SNAP adalah marka kodominan (Gupta et
al. 2001) yang memanfaatkan keberadaan perbedaan basa tunggal (SNP) pada
genom tanaman (Agarwal et al. 2008). Keberadaan SNP diketahui menyebar di
seluruh bagian dari genom tanaman sehingga berpotensi untuk digunakan sebagai
marka molekuler (Gupta et al. 2001).
Marka SNAP sebelumnya telah digunakan sebagai alat seleksi karakter
ketahanan tanaman pisang terhadap penyakit layu Fusarium oxysporium (Sutanto
2014). Selain itu, marka SNAP juga telah digunakan untuk seleksi karakter
ketahanan pada tanaman Phalaenopsis (Elina 2016). Walaupun telah digunakan
untuk seleksi karakter ketahanan Phalaenopsis untuk karakter ketahanan terhadap
penyakit busuk lunak, namun masih perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut
mengingat marka SNAP yang dikembangkan pada penelitian sebelumnya belum
dapat sepenuhnya memisahkan antara genotipe tahan dan genotipe rentan tehadap
penyakit busuk lunak.
Sebagai penelitian lanjutan dari penelitian Elina (2016), penelitian ini
bertujuan mengevaluasi respon ketahanan 22 genotipe Phalaenopsis menggunakan
uji leaf disk dan evaluasi marka SNAP terkait ketahanan terhadap penyakit berbasis
gen Pto untuk mengembangkan marka seleksi tidak langsung sifat ketahanan
anggrek Phalaenopsis terhadap penyakit busuk lunak yang disebabkan oleh bakteri
Dickeya dadantii.
54

Bahan dan Metode

6.2.1 Waktu dan Tempat


Penelitian dilaksanakan bulan Februari hingga April 2017 di Laboratorium
Kultur Jaringan 1 dan Laboratorium Biologi Molekuler, dan Rumah Anggrek
“Angle”, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.

6.2.2 Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah potongan daun dari 22
genotipe spesies Phlaenopsis dan isolat bakteri Dickeya dadantii yang diperoleh
dari percobaan sebelumnya. Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah
inkubator, timbangan analitik, laminar air flow cabinet, autoclave,dan centrifuge.

6.2.3 Pembuatan Isolat dan Inokulum Dickeya dadantii


Isolat bakteri yang digunakan pada percobaan ini merupakan isolat galur
bakteri 1 yang digunakan pada percobaan sebelumnya. Galur bakteri yang
digunakan disegarkan kembali pada media TSA (Tryptone Soya Agar). Koloni
tunggal diambil dari goresan pada kuadran keempat, kemudian dikultivasi dalam
media media cair LB (Luria-Bertani) yang diinkubasi pada ruang kultur 22-25o C
selama 22 jam pada meja bergoyang (shaker) dengan kecepatan rotasi 100 RPM
(rotate per minute).
Suspensi bakteri yang diperoleh kemudian digunakan sebagai bahan
inokulum untuk menguji respon ketahanan 22 genotipe Phalaenopsis spesies.
Selain itu, suspensi bakteri tersebut digunakan untuk evaluasi jumlah koloni bakteri
dengan faktor pengenceran 10-0-10-11. Evaluasi jumlah koloni bakteri dilakukan
dengan menebarkan 100 µl suspensi bakteri dalam akuades pada media TSA dalam
cawan petri. Konsentrasi suspensi stok bakteri dihitung pada faktor pengenceran
10-6 dengan menghitung jumlah koloni yang terbentuk setelah 24 jam inkubasi pada
suhu ruang.

6.2.4 Pengujian Kadar Air dan Ketebalan Daun Phalaenopsis spesies


Pengujian kadar air daun diawali dengan pengambilan sampel daun dari 3
bagian daun, yakni: bagian ujung daun, tengah daun, dan pangkal daun. Sampel
daun yang telah diambil kemudian ditimbang menggunakan timbangan analitik
untuk menentukan bobot basah daun. Setelah itu, sampel daun kemudian dibungkus
dalam kertas dan diberi nomor sesuai dengan jenisnya. Daun yang telah dibungkus
tersebut dimasukkan kedalam wadah berisi silica gel, kemudian dioven pada suhu
60o C selama 24 jam. Daun yang telah dikeringkan dalam oven tersebut ditimbang
kembali untuk menentukan bobot kering daun. Kadar air daun dihitung dengan
rumus:

𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ − 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔


𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 = 𝑥 100%
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ
Ketebalan daun dihitung dengan mengambil 5 sampel acak potongan daun/
leaf disk berukuran 2x2 cm dari masing-masing genotipe Phalaenopsis spesies yang
digunakan pada percobaan ini, kemudian mengukurnya dengan menggunakan
Digital Thickness Gauge. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam
55

(Anova) menggunakan perangkat lunak STAR (Statistical Tool for Agricultural


Research). Jika perlakuan menunjukkan pengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut
DMRT pada α 0.05.

6.2.5 Evaluasi Respon Genotipe Phalaenopsis Spesies terhadap Serangan


Penyakit Busuk Lunak
Bahan tanaman yang digunakan pada percobaan ini adalah potongan daun
kedua 22 genotipe Phalaenopsis spesies yang berukuran 2 x 2 cm. Percobaan ini
menggunkanan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktor tunggal, yakni genotipe
uji. Percobaan diulang 3 kali sehingga terdapat 66 satuan percobaan. Masing-
masing satuan percobaan terdiri atas 3-5 potongan daun (tergantung dari daun yang
tersedia). Setiap potongan daun ditusuk bagian tengahnya (dilukai bagian
epidermisnya) dengan jarum berdiameter 0.9 mm, kemudian ditetesi suspensi
bakteri sebanyak 30 µl dengan menggunakan pipet mikro. Potongan daun yang
telah diberi perlakuan diinkubasi dalam inkubator (diatas spons lembab dalam
kotak plastik tertutup) dengan suhu 32±1o C dan kelembaban relatif 80-100%.

6.2.6 Penentuan Intensitas Serangan Penyakit (IP) dan Kriteria Ketahanan


(KK) Phalaenopsis spesies
Intensitas serangan penyakit busuk lunak dihitung dengan menggunakan
rumus yang digunakan pada penelitiaan Rianawati (2010) dengan modifikasi
kriteria skala pada setiap skor (v):

∑(𝑛𝑖 𝑥 𝑣)
𝐼𝑃 = 𝑥 100%
𝑍𝑥𝑁
Keterangan:
N : jumlah tanaman yang diamati,
Z : nilai skor tertinggi,
𝑛𝑖 : jumlah daun terserang dengan skor ke-i,
v : skor penyakit pada skala i.

Skor (v) dihitung berdasarkan kriteria sebagai berikut: 0= diameter gejala < 1 mm;
1= diameter gejala 1 < i < 2 mm; 3= diameter gejala 2 < i < 4 mm; 5= diameter
gejala 4 < i < 6 mm; 7= diameter gejala 6 < i < 8 mm; 9= diameter gejala > 8 mm.
Kriteria ketahanan penyakit (KK) ditentukan berdasarkan kriteria intensitas
penyakit. Tanaman dinyatakan tahan (T) jika IP antara 0 % - 20 % ; agak tahan
(AT) jika IP antara 21 % - 40 %; agak rentan (AR) jika IP antara 41`% - 60 %;
rentan (R*) jika IP antara 61 % - 80 % ; sangat rentan (SR) jika IP lebih dari 80 %.

6.2.7 Evaluasi Marka SNAP Berbasis Gen Pto Terkait Ketahanan 22


Genotipe Phalaenopsis Spesies
Pada percobaan ini digunakan data alelik dari 22 genotipe Phalaenopsis
spesies yang telah diuji kriteria ketahanannya untuk perhitungan matriks
disimilaritas menggunakan metode pencocokan sederhana indeks disimilaritas.
Jumlah analisisis bootstrap diatur pada 30,000 kali pengulangan. Konstruksi Pohon
filogenetik menggunakan pendekatan weighted neighbor joining. Perhitungan
56

matriks disimilaritas, bootstrap, dan konstruksi pohon filogenetik terebut dilakukan


dengan bantuan perangkat lunak DARwin 6.0.14.

Hasil dan Pembahasan

6.3.1 Respon Genotipe Phalaenopsis spesies terhadap Serangan Penyakit


Busuk Lunak
Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan pada percobaan ini, suspensi
bakteri yang digunakan sebagai bahan inokulum memiliki konsentrasi 0.81 x 109
cfu/ml. Inokulum bakteri yang digunakan pada percobaan ini mampu menimbulkan
gejala busuk lunak pada berbagai genotipe Phalaenopsis spesies (Lampiran 3).
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan dan pengelompokan

Tabel 6.1 Rata-rata diameter busuk lunak pada 22 genotipe Phalaenopsis spesies
Jam setelah inokulasi
Genotipe
24 48 72
-diameter gejala (mm)a-
P. amabilis “Jawa Barat” 3.05bcd 3.33cde 3.77defgh
P. amabilis “Kalimantan” 2.58cdefg 4.86abcde 6.33abcdefgh
P. amabilis “Pelaihari” 3.38b 8.82ab 12.59ab
P. amboinensis 2.29fghi 7.97abcd 10.26abcde
P. aphrodite 2.96bcde 8.12abc 12.04abc
P. bellina 2.35cdefg 2.44e 10.71abc
P. celebensis 4.08a 9.14a 12.77a
P. corningiana 2.05ghi 2.11e 2.8fgh
P. cornu-cervi 2.34fghi 5.44abcde 5.92abcdefgh
P. cornu-cervi f. sanguinea 2.4efgh 8.68abc 11.08abcd
P. fimbriata 1.63hi 1.7e 1.77h
P. floresensis 2.35fghi 4.06bcde 5.27cdefgh
P. gigantea 2.04ghi 6.43abcde 8.86abcdef
P. javanica 1.85ghi 1.87e 2.05h
P. lamelligera 2.48cdef 2.58de 3.49efgh
P. modesta 2ghi 3.54cde 5.24cdefgh
P. pantherina 3.13bc 5.98abcde 8.64abcdefg
P. pulcherrima 2.26fghi 2.64de 4.32defgh
P. schilleriana 2.53defg 4.47abcde 10.29abcd
P. tetraspis 2.05ghi 2.12e 6.04bcdefgh
P. viridis 2.19fghi 2.28e 2.42gh
P. zebrina 1.75i 1.94e 2.15h
KK (%) 12.70 5.87log(x+10) 6.78log(x+10)
a
Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada α 0.05 (uji
lanjut DMRT); log(x+10) Transformasi data dengan log(x+10) dilakukan untuk memenuhi distribusi
normal; KK: koefisien keragaman.

Tabel 1 Rata-rata diameter busuk lunak pada 22 genotipe Phalaenopsis spesies


Jam setelah inokulasi
Genotipe
24 48 72
-diameter gejala (mm)a-
P. amabilis “Jawa Barat” 3.05bcd 3.33cde 3.77defgh
57

Tabel 6.2 Kadar air dan ketebalan daun 22 genotipe Phalaenopsis spesies
Genotipe Kadar air (%)b Ketebalan (mm)a
P. zebrina 86.84 0.77fgh
P. modesta 87.43 0.54h
P. tetraspis 88.15 0.84efg
P. javanica 88.29 0.61gh
P. viridis 88.37 1.12bcde
P. corningiana 88.43 0.88efg
P. fimbriata 88.91 0.79fgh
P. pantherina 89.07 1.12bcde
P. cornu-cervi 89.89 1.26abc
P. bellina 90.93 1.10bcde
P. amboinensis 91.53 0.94def
P. floresensis 91.73 1.03cdef
P. amabilis “Pelaihari” 91.93 1.23abcd
P. gigantea 92.14 1.34ab
P. lamelligera 92.14 1.35ab
P. cornu-cervi f. Sanguinea 92.76 1.29abc
P. schilleriana 93.04 1.25abc
P. amabilis “Kalimantan” 93.19 1.31abc
P. pulcherrima 93.62 1.52a
P. celebensis 93.72 0.88efg
P. aphrodite 93.84 1.06bcdef
P. amabilis “Jawa Barat” 94.63 1.32abc
a
Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%
(uji lanjut DMRT); bUji F tidak dilakukan untuk parameter kadar air; KK hasil uji F terhadap
parameter ketebalan: 19.00%; KK: koefisien keragaman.

berpengaruh nyata terhadap rata-rata diameter gejala busuk lunak. Berdasarkan


Tabel 6.1 dapat terlihat bahwa pada 24, 48, 72 JSI P. fimbriata menghasilkan rata-
rata diameter serangan paling kecil, sedangkan P. celebensis menghasilkan rata-rata
diameter serangan paling tinggi.
Pengujian kadar air dan ketebalan daun dilakukan sebagai bahan
pertimbangan tambahan untuk mengetahui kecenderungan tingkat kadar air dan
ketebalan daun tertentu hubungannya dengan tingkat ketahanan Phalaenopsis
terhadap serangan patogen. Berdasarkan hasil yang ditunjukkan pada Tabel 6.2,
kadar air terendah dihasilkan P. zebrina dengan nilai 86.84%, sedangkan kadar air
tertinggi dihasilkan oleh P. amabilis “Jawa Barat” dengan nilai 94.63%. Perbedaan
kadar air yang dimiliki oleh masing-masing genotipe Phalaenopsis spesies pada
percobaan ini belum jelas diketahui penyebabnya, apakah secara alami memiliki
kadar air yang beragam pada kondisi optimumnya atau perbedaan kadar air tersebut
merupakan akibat dari respon tanaman terhadap lingkungan budidaya.
58

Ketebalan daun Phalaenopsis spesies yang diuji pada penelitian ini juga
beragam. Ketebalan daun terendah diperoleh P. modesta dengan nilai 0.54 mm,
sedangkan ketebalan daun tertinggi dihasilkan oleh P. lamelligera. Walaupun
ketebalan daun antar spesies beragam, namun tekstur dan bentuknya cenderung
sama pada genus ini. Seluruh spesies Phalaenopsis memiliki daun yang sukulen
sebagai tempat penyimpanan makanan karena anggrek ini tidak memiliki organ
penyimpanan lain seperti umbi semu (Christenson 2001).
Berdasarkan hasil perhitungan intensitas serangan penyakit yang disajikan
pada Tabel 6.3, pada 24 JSI intensitas serangan yang terjadi berkisar antara 13- 44%,
pada 48 JSI berkisar antara 13- 67%, dan pada 72 JSI berkisar antara 13- 89%.
Intensitas serangan penyakit yang diperoleh tersebut, kemudian dijadikan dasar
dalam penentuan klasifikasi ketahanan. Pada percobaan ini, kelas ketahanan
Phalaenopsis spesies cenderung berubah dari waktu pengamatan 24 JSI hingga 72
JSI. Hal tersebut diakibatkan oleh adanya beberapa spesies yang intensitas serangan
penyakitnya berubah dari waktu pengamatan satu ke waktu pengamatan lainnya
karena meluasnya diameter serangan penyakit. Sebagai contoh, P. bellina yang

Tabel 6.3 Nilai intensitas serangan penyakit (IP) dan kriteria ketahanan 22
genotipe Phalaenopsis spesies terhadap infeksi D. dadantii
Genotipe IP KK IP KK IP KK
-24 JSI- -48 JSI- -72 JSI-
P. fimbriata 13% T 13% T 13% T
P. javanica 19% T 19% T 20% T
P. corningiana 19% T 19% T 21% AT
P. zebrina 19% T 21% AT 24% AT
P. floresensis 23% AT 24% AT 29% AT
P. viridis 26% AT 26% AT 31% AT
P. tetraspis 21% AT 23% AT 33% AT
P. modesta 22% AT 27% AT 35% AT
P. pulcherrima 26% AT 31% AT 39% AT
P. lamelligera 33% AT 33% AT 41% AR
P. amabilis “Jawa Barat” 35% AT 39% AT 41% AR
P. cornu-cervi 28% AT 41% AR 44% AR
P. amabilis “Kalimantan” 32% AT 38% AT 48% AR
P. gigantea 22% AT 41% AR 54% AR
P. amboinensis 23% AT 48% AR 59% AR
P. cornu-cervi f. Sanguinea 26% AT 52% AR 59% AR
P. bellina 25% AT 29% AT 63% R
P. pantherina 32% AT 54% AR 64% R
P. schilleriana 29% AT 48% AR 67% R
P. amabilis “Pelaihari” 33% AT 68% R 70% R
P. aphrodite 33% AT 56% AR 72% R
P. celebensis 44% AR 67% R 89% SR
JSI: jam setelah inokulasi, T: tahan, AT: agak tahan, AR: agak rentan, R: rentan, SR: sangat
rentan.
59

masuk dalam kelas agak tahan pada 48 JSI kemudian masuk dalam kelas rentan
pada 72 JSI. Perubahan kelas ketahanan tersebut juga terjadi pada penelitian
sebelumnya. Pada penelitian Elina (2016) P. amboinensis yang semula
diklasifikasikan sebagai genotipe tahan pada 24 JSI berubah menjadi agak rentan
pada 48 JSI.
Pada percobaan ini, klasifikasi ketahanan anggrek yang digunakan sebagai
acuan adalah klasifikasi ketahanan yang diperoleh pada 72 JSI. Berbeda dengan
Elina (2016) yang menggunakan klasifikasi ketahanan 24 JSI sebagai acuan,
penggunaan klasifikasi ketahanan 72 JSI pada percobaan ini digunakan karena pada
waktu pengamatan tersebut sudah mencakup seluruh kelas ketahanan mulai dari
tahan dan sangat rentan. Jika hasil percobaan ini dibandingkan dengan penelitian
Elina (2016) yang menyatakan bahwa P. amboinensis termasuk resisten, pada
percobaan ini justru didapatkan bahwa P. amboinensis tergolong agak rentan. Hal
tersebut bisa saja terjadi karena perbedaan kondisi tanaman saat pengambilan
sampel uji, galur bakteri yang digunakan, konsentrasi bakteri yang digunakan, dan
kondisi lingkungan pada masa inkubasi. Perbedaan kadar air sampel uji sebagai
salah satu faktor yang berpengaruh dalam penentuan klasifikasi ketahanan dapat
dibuktikan dengan membandingkan hasil percobaan ini dengan penelitian
sebelumnya. Kadar air P. amboinensis pada penelitian Firgiyanto (2015) sebesar
87.59 % (cenderung tahan), sedangkan pada percobaan ini 91.59 % (cenderung
agak rentan). Oleh karena itu, perbedaan respon ketahanan pada spesies yang sama
bisa saja terjadi akibat perbedaan kadar air daun sampel yang digunakan.
Berdasarkan hasil percobaan ini dapat dilihat bahwa seluruh spesies yang
diklasifikasikan ke dalam kelompok tahan dan agak tahan memiliki kadar air yang
kurang dari 90%, kecuali P. floresensis dan P. pulcherrima. Sebaliknya, spesies
yang diklasifikasikan ke dalam kelompok agak rentan hingga sangat rentan
memiliki kadar air lebih dari 90%, kecuali P. cornu-cervi dan P. pantherina.
Berdasarkan data ketebalan daun, tanaman yang diklasifikasikan ke dalam
kelompok tahan hingga agak tahan memiliki daun yang relatif lebih tipis, kecuali
P. pulcherrima. Sebaliknya, tanaman yang memiliki kriteria agak rentan hingga
sangat rentan memiliki daun yang cenderung lebih tebal, kecuali P. celebensis dan
P. amboinensis. Walaupun ketebalan daun dan kadar air dapat memisahkan
berdasarkan karakter ketahahanan dengan beberapa pengecualian, namun hal ini
belum dapat dijadikan tolok ukur tingkat ketahanan karena ketebalan daun dan
kadar air bisa saja merupakan salah satu bentuk evolusi tanaman dalam menghadapi
tantangan pada kondisi ekologis tempat tumbuhnya (sangat dipengaruhi
lingkungan). Sebagai contoh, P. gigantea dan P. pantherina memiliki daun yang
kasar (tebal) untuk mencegah kekeringan dan relatif toleran terhadap tingkat
pencahayaan yang lebih tinggi dibandingkan spesies Phalaenopsis lainnya
(Christenson 2001). Apabila kondisi lingkungan tumbuh artifisial (lingkungan
budidaya) tidak sesuai dengan kebutuhan tanaman, maka mungkin saja tanaman
cenderung lebih mudah terserang patogen. Pada dasarnya pencegahan penyakit
dapat dilakukan dengan mengendalikan ketersediaan dan kualitas air, pencahayaan,
sirkulasi udara, suhu optimal, dan mencegah tanaman dari kekurangan nutrisi (Wu
et al. 2011). Oleh karena itu, perbedaan hasil uji percobaan ini dengan penelitian
sebelumnya mungkin saja dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dikemukakan oleh
Wu et al. (2011). Sebagai tambahan, Gupta et al. (1999) menyatakan bahwa pada
beberapa kasus, sifat tidak terekspresi karena ketidaktersediaan kondisi lingkungan
60

yang sesuai, khususnya pada gen-gen yang berhubungan dengan cekaman. Pada
percobaan ini, menyiapkan bahan uji pada kondisi yang lingkungan tumbuh sesuai
dengan habitatnya agar mencapai kemampuan optimalnya dalam merespon
cekaman yang diakibatkan oleh patogen sangat sulit untuk dilakukan, mengingat
tanaman uji yang digunakan memiliki syarat tumbuh berbeda-beda.

6.3.2 Evaluasi Marka SNAP Berbasis Gen PTO pada 22 Genotipe


Phalaenopsis Spesies Terkait Karkter Ketahanan terhadap Penyakit
Busuk Lunak
Berdasarkan pohon filogenetik yang ditampilkan pada Gambar 6.1,
Phalaenopsis spesies yang telah diuji karakter ketahanannya terbagi ke dalam 3

PAJ(AR)
56
PRO(R*)
18

26 PPL(R*)

25 PAK(AR)

PSC(R*)
1

PFL(AT)
11
PCCR(AR)

PJA(T)
22
PCC(AR)
6
PPU(AT)
37
PG(AR)
1
PAM(AR)
30
PZE(AT)
37
PVD(AT)
2 45
PCO(AT)

PTE(AT)
8
PCE(SR)
14

PFI(T)

PMO(AT)
32
PLA(AR)
21

6 PPA(R*)

PBE(R*)
0 0.1

Gambar 6.1 Pohon filogenetik 22 Phalaenopsis spesies dan karakter


ketahanannya berdasarkan 18 lokus marka SNAP dengan
pendekatan Weighted Neighbor Joining
61

kelompok utama. Konstruksi pohon filogenetik berdasarkan 18 primer SNAP


tersebut belum mampu memisahkan genotipe-genotipe berdsarkan tingkat
ketahanannya. Ada beberapa kemungkinan yang dapat menyebabkan pohon
filogenetik tersebut tidak dapat memisahkan genotipe yang tahan dari yang rentan.
Kemungkinan pertama adalah bahwa gen ketahanan tidak hanya dikendalikan oleh
satu gen saja. Dalam kasus ini, 18 primer SNAP yang dibuat adalah berasal dari
satu fragmen gen saja, yakni gen Pto. Gen Pto merupakan gen ketahanan yang
menghasilkan produk protein yang berperan dalam pengenalan awal terjadinya
infeksi untuk mengaktifkan mekanisme ketahanan tanaman (Wan et al. 2009).
Karena gen ini berperan pada tahap pengenalan awal, berarti kemungkinan ada gen
lain yang ikut terlibat selama terjadinya serangan patogen. Gen lain yang diduga
terlibat saat terjadinya serangan penyakit busuk lunak pada Phalaenopsis antara
lain: PaCDPK1 ( Tsai et al. 2007), PaPTP1 (Fu et al. 2011), CHS, ABC, GST, ACC
dan PR10 (Fu dan Huang 2011). Dalam upaya untuk memperoleh marka molekuler
yang terkait sifat ketahanan, maka perlu dilakukan evaluasi marka SNAP
berdasarkan gen-gen lain yang berhubungan dengan ketahanan tanaman.
Kemungkinan kedua adalah tanaman uji tidak berada dalam kondisi
optimumnya akibat lingkungan budidaya yang berbeda dengan lingkungan habitat
aslinya di alam. Phalaenopsis celebensis membutuhkan lingkungan tumbuh yang
lebih dingin dibanding genotipe lainnya (Christenson 2001). Pada percobaan ini P.
celebensis dikategorikan memiliki tingkat ketahanan yang sangat rentan. Apabila
ditanam pada kondisi yang sesuai dengan syarat tumbuhnya mungkin saja anggrek
ini memiliki respon pertahanan yang berbeda pula. Pengujian ketahanan anggrek
Phalaenopsis pada berbagai kondisi lingkungan budidaya perlu dilakukan sebagai
langkah untuk validasi hasil klasifikasi ketahanan terhadap penyakit pada penelitian
selanjutnya. Agar marka berpeluang besar berhasil digunakan untuk seleksi
karakter ketahanan, maka marka SNAP berbasis gen Pto ini perlu diuji kembali
kepada populasi bersegregasi dari hasil silangan antara tetua yang sudah diuji
karakter ketahanannya di berbagai kondisi lingkungan budidaya.

Simpulan

Percobaan pengujian respon genotipe Phalaenopsis spesies terhadap serangan


penyakit busuk lunak telah berhasil mengklasifikasikan Phalaenopsis spesies ke
dalam 5 kelas ketahanan berdasarkan hasil pengamatan pada 72 JSI (jam setelah
inokulasi). Walaupun telah berhasil, namun perlu konfirmasi ulang mengenai hal
tersebut melalui pengujian lapang pada berbagai kondisi lingkungan budidaya.
Evaluasi marka SNAP berbasis gen Pto terhadap karakter ketahanan 22 genotipe
Phalaenopsis spesies menunjukkan bahwa pohon filogenetik yang dihasilkan
berdasarkan 18 lokus primer SNAP berbasis gen Pto belum dapat mengelompokkan
Phalaenopsis berdasarkan klasifikasi ketahanannya. Oleh karena itu perlu
dilakukan pengujian ulang dengan melibatkan lokus-lokus SNP pada gen lain yang
telah diketahui atau diduga berhubungan dengan ketahanan tanaman Phalaenopsis
terhadap penyakit busuk lunak.
62

Daftar Pustaka

Agarwal M, Shrivastava N, Padh H. 2008. Advances in molecular marker


techniques and their applications in plant sciences. Plant Cell Rep. 27: 617–
631.
Arditti J. 1992. Fundamentals of Orchid Biology. New York (US): John Willey dan
Sons.
Celik I, Sogut M, Ozkaynak E, Doganlar S, Frary A. 2016. Physical mapping of
NBS-coding resistance genes to the Me-gene cluster on chromosome P9
reveals markers tightly linked to the N gene for root-knot nematode
resistance in pepper. Mol Breeding. 36:137.
Christenson EA.2001. Phalaenopsis. Portland (US): Timber Press. 330 hlm.
Elina J. 2016. Respon ketahanan anggrek Phalaenopsis terhadap penyakit busuk
lunak akibat infeksi Dickeya dadantii dan karakterisasi molekuler dengan
marka SNAP [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Firgiyanto R. 2015. pertumbuhan dan ketahanan terhadap penyakit busuk lunak
pada anggrek Phalaenopsis dengan pemupukan dan asam salisilat [tesis].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Fu S, Huang HJ. 2011. Molecular characterization of the early response of orchid
Phalaenopsis amabilis to Erwinia chrysantemi infection. Di dalam: Chen
WH, Chen HH, editor. Orchid Biotechnology II. Singapura (SG): World Sci.
hlm. 283-308.
Fu SF, Lin CW, Kao TW, Huang DD, Huang HJ. 2011. PaPTP1, a gene encoding
protein tyrosine phosphatase from orchid, Phalaenopsis amabilis, is
regulated during floral development and induced by wounding. Plant Mol
Biol Rep. 29:106–116.
Griesbach, R.J. 2002. Development of Phalaenopsis orchids for the mass-market.
Di dalam: Janick J, Whipkey A, editor. Trends in New Crops and New Uses.
Alexandria (EG): ASHS Press. hlm 458–465.
Gupta PK, Roy JK, Prasad M. 1999. DNA chips, microarrays and genomics. Curr
Sci. 77: 875-884.
Gupta PK, Roy JK, Prasad M. 2001. Single nucleotide polymorphism: A new
paradigm for molecular marker technology and DNA polymorphism
detection with emphasis on their use in plants. Current Sci. 80:524-535.
Gupta PK, Rustgi S, Kulwal PL. 2005. Linkage disequilibrium and association
studies in higher plants: present status and future prospects. Plant Molecular
Biology. 57:461–485.
Liu Y, Jia Y, Gealy D, Goad DM, Caicedo AL, Olsen KM. 2016. Marker
development for rice blast resistance gene Pi66(t) and application in the
USDA rice mini-core collection. Crop Sci. 56:1001-1008.
Pasev G, Radeva-Ivanova V, Ganeva D, Kostova D. 2016. Evaluation of some
molecular markers as selection tools for tomato mosaic virus (TOMV)
resistance in Solanum lycorpesicum L. Bulgarian Journal of Agricultural
Science. 22 (6): 961–967.
Rianawati S. 2010. Induksi variasi somaklonal dan uji in vitro untuk perbaikan
ketahanan Phalaenopsis terhadap penyakit busuk lunak [disertasi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
63

Sutanto A. 2014. Karakterisasi molekuler ketahanan beberapa kultivar pisang


(Musa spp.) terhadap penyakit layu panama (Fusarium oxysporum f.sp.
cubense) [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Tsai TM, Chen YR, Kao TW, Tsay WS, Wu CP, Huang DD, Chen WH, Chang CC,
Huang HJ. 2007. PaCDPK1, a gene encoding calcium-dependent protein
kinase from orchid, Phalaenopsis amabilis, is induced by cold, wounding,
and pathogen challenge. Plant Cell Rep. 26(10):1899-1908.
Wan H, Qian C, Malik AA, Zhao Z, Chen J. 2009. Isolation, phylogeny and
evolutionary analysis of Pto-type disease resistance gene analogues from a
Cucumis hystrix introgression line of cucumber (C. sativus). Funct Plant Biol.
37:513-523.
Wu PH, Huang DD, Chang DCN. 2011. Mycorrhizal symbiosis enhances
Phalaenopsis orchid’s growth and resistance to Erwinia chrysanthemi.
African Journal of Biotechnology.10(50): 10095-10100.
7 PEMBAHASAN UMUM

Anggrek bulan adalah salah satu jenis anggrek yang pertama kali
dideskripsikan sebagai Epidendrum amabile oleh botanis berkebangsaan Swedia
bernama Carolus Linnaeus pada tahun 1753 (Christenson 2001) dari spesimen yang
dikoleksi oleh Peter Osbeck pada tahun 1752 dari pulau Jawa, yang kemudian pada
tahun 1825 dideskripsikan ke dalam genus baru “Phalaenopsis” oleh Carl Ludwing
Blume (Sanjappa dan Kumar 2003). Semenjak pertama kali dideskripsikan,
Phalaenopsis kini telah berkembang menjadi komoditas tanaman hias penting yang
telah dibudidayakan di banyak negara. Perkembangan itu tentunya tak lepas dari
peran pemuliaan tanaman dan teknologi propagasi yang diaplikasikan pada
tanaman ini.
Pemuliaan tanaman pada Phalaenopsis selama ini diterapkan untuk
meningkatkan karakter ekonomis, seperti ukuran bunga, warna bunga, jumlah
bunga, dan juga karakter ketahanan tanaman terhadap penyakit tertentu. Hal paling
fundamental dalam pengembangan karakter-karakter tersebut adalah seleksi
tanaman dengan karakter yang diinginkan (Jehan dan Lakhanpaul 2006). Hasil
tanaman seleksi kemudian diperbanyak melalui teknik perbanyakan klonal karena
pada dasarnya Phalaenopsis merupakan tanaman tahunan yang menyerbuk silang.
Teknik perbanyakan klonal yang paling sering digunakan pada Phalaenopsis adalah
kultur jaringan (Park et al. 2002; Gow et al. 2008; Gow et al. 2010).
Penelitian ini secara umum terbagi ke dalam 2 kelompok percobaan utama,
yakni evaluasi metode mikropropagasi klonal Phalaenopsis (percobaan 1) dan
evaluasi marka molekuler SNAP untuk seleksi karakter ketahanan Phalaenopsis
terhadap penyakit busuk lunak (percobaan 2, 3, dan 4). Pada kelompok percobaan
pertama, metode induksi dan proliferasi PLBs Phalaenopsis amabilis telah berhasil
dievaluasi. Pada kelompok percobaan kedua, evaluasi marka SNAP juga telah
berhasil dilakukan. Walaupun evaluasi marka telah berhasil dilakukan, namun
marka molekuler yang dihasilkan belum dapat memisahkan genotipe tanaman
berdasarkan tingkat ketahanannya terhadap penyakit busuk lunak yang disebabkan
oleh bakteri Dickeya dadantii.
Percobaan mikropropagasi klonal pada penelitian ini telah berhasil
menginduksi PLBs menggunakan eksplan daun Phalaenopsis amabilis. Pada
percobaan induksi PLBs, penambahan 0.5 g/l PVP media kultur dengan TDZ pada
level 0.5 s.d. 3 mg/l mampu meningkatkan keberhasilan eksplan dalam membentuk
PLBs. Pada tahap proliferasi PLBs PVP juga mampu meningkatkan keberhasilan
dalam menghasilkan PLBs sekunder. Meningkatnya keberhasilan dalam fase
induksi dan proliferasi PLBs pada media dengan penambahan PVP diduga
berkaitan dengan kemampuan PVP dalam mengadsorb metabolit sekunder
(senyawa fenolik) yang pada dasarnya dapat menghambat penyerapan nutrisi.
Walaupun belum ada penelitian yang melaporkan pengaruh penggunaan PVP pada
level dan bahan tanam yang sama, namun setidaknya pada kultur protoplas tanaman
Cyamopsis tetragonoloba (Saxena dan Gill 1986) dan Vitis sp. cv. Vidal blanc
(Reustle dan Natter 1994) PVP dapat menghambat terjadinya browning.
Selain pengaruh komposisi media, pH media juga diuji pada penelitian ini.
Berdasarkan hasil pengujian, media 1 mg/l TDZ+ 0.5 g/l PVP, pH 7 merupakan
perlakuan yang paling optimum dalam menginduksi PLBs dari eksplan daun.
65

Belum ada penelitian pada Phalaenopsis yang melaporkan hasil mengenai


pengaruh pH media dalam induksi PLBs menggunakan eksplan daun, namun
pengaruh pH telah diuji pada tanaman lain. Santarem et al. (1997) menyatakan
frekuensi embriogenesis kedelai tertinggi dihasilkan pada pH 7, sedangkan
Hofmann et al. (2004) menyatakan bahwa jumlah embrio kedelai tertinggi
dihasilkan pada media dengan pH 5.7. Walaupun hasil penelitian ini sama dengan
penelitian Santarem et al. (1997), namun pengujian lanjut pada genotipe, jenis
media dasar, dan level sitokinin lainnya perlu dilakukan agar pengaruh pH dalam
induksi PLBs Phalaenopsis dapat dijelaskan dengan baik.
Analisis menggunakan marka SNAP berdasarkan 18 lokus SNP pada fragmen
gen Pto yang diujikan pada tanaman klon hasil induksi pada media ½ MS dengan
penambahan 1 mg/l TDZ+ 0.5 g/l PVP menunjukkan bahwa terdapat sebesar
11.76% (4 tanaman) klon yang memiliki profil SNP berbeda dari tanaman induknya.
Walaupun belum ada laporan sebelumnya mengenai analisis molekuler
Phalaenopsis hasil perbanyakan klonal yang didasarkan pada pola perubahan SNP,
namun pada tanaman padi (kultur sel selama 5 bulan; diperkirakan terjadi 20 kali
replikasi sel), identifikasi perubahan SNP yang dilakukan melalui sekuensing
menemukan sebesar 1.74 x 10-6 subtitusi basa per situs per regenerasi yang
menyebar pada seluruh genom tanaman (Miyao et al. 2012). Karena telah ada
penelitian sebelumnya pada tanaman lain yang menyatakan bahwa subtitusi SNP
dapat terjadi selama periode kultur, maka dapat menguatkan asumsi bahwa sustitusi
basa memang benar terjadi pada percobaan ini. Walaupun demikian, perlu
dilakukan validasi melalui sekuensing hasil PCR tanaman pada lokus yang
memiliki profil SNP berbeda dari tanaman klon lainnya. Karena perubahan basa
pada percobaan ini terjadi pada lokus SNP dari gen Pto yang sebelumnya diketahui
berperan dalam mekanisme ketahanan tanaman (Vleeshouwers et al. 2001), maka
metode kultur jaringan yang digunakan bisa saja memengaruhi tingkat ketahanan
tanaman terhadap penyakit apabila perubahan basa tunggal tersebut menyebabkan
perubahan residu asam amino hasil translasi.
Pada penelitian ini, marka SNAP juga digunakan untuk menganalisis
keragaman antar genotipe Phalaenopsis spesies. Aplikasi 18 primer SNAP pada 27
genotipe Phalaenopsis mampu mengakses 85.57 % keragaman berdasarkan analisis
faktorial. Berdasarkan hasil konstruksi pohon filogenetik menggunakan pendekatan
weighted neighbor joining, 27 genotipe Phalaenopsis spesies terbagi ke dalam 3
kelompok utama. Walaupun desain primer hanya didasarkan pada 1 fragmen gen
saja, namun marka ini dapat mengelompokkan kompleks Phalaenopsis amabilis
(P. amabilis “Jawa Barat”, P. amabilis “Kalimantan”, P. amabilis “Papua”, P.
amabilis “Pelaihari”, dan P. aphrodite) ke dalam 1 kelompok yang sama. Oleh
karena itu, marka ini berpeluang dimanfaatkan sebagai sarana untuk studi
kekerabatan atau identifikasi tanaman apabila melibatkan banyak lokus pada gen
lainnya, terutama yang terletak pada genom mitokondria dan plastida yang pada
dasarnya berhubungan dengan evolusi.
Analisis keragaman juga dilakukan pada populasi bersegregasi. Sejumlah 9
primer SNAP yang digunakan untuk analisis keragaman pada populasi hasil
persilangan antara P. bellina “B1(11)” x P. Salu Spot “SP (12)” mampu mengakses
75,42 % keragaman. Salah satu alasan digunakannya populasi bersegregasi pada
penelitian ini ialah untuk mengetahui dan mempelajari pola segregasi masing-
masing lokus SNP dari fragmen gen Pto. Pola segregasi tersebut perlu diketahui
66

karena sangat berkaitan dengan pola pewarisan sifat dari tetua ke zuriatnya melalui
perkawinan. Berdasarkan hasil percobaan ini, hanya terdapat 2 lokus yang
memenuhi nisbah mendel. Hal ini diduga diakibatkan oleh karena jumlah individu
populasi yang diuji terlalu sedikit jumlahnya. Hasil serupa juga ditemui pada
penelitian Handini (2014), yang memperoleh 1 lokus memenuhi nisbah mendel dari
2 lokus yang diujikan. Selain itu, pada percobaan ini juga dilakukan konstruksi
pohon filogenetik menggunakan pendekatan complete linkage hierarchial
clustering untuk membuktikan apakah seluruh lokus pada fragmen gen Pto saling
terpaut. Hasil konstruksi pohon filogenetik menghasilkan 26 kelompok genotipe
zuriat. Hasil tersebut diduga disebabkan oleh fenomena segregasi dalam satu
fragmen gen yang sama.
Evaluasi metode inokulasi dilakukan sebelum pengujian ketahanan penyakit
busuk lunak dilakukan pada berbagai genotipe Phalaenopsis spesies. Pada
percobaan ini, didapatkan 6 galur bakteri yang diduga Dickeya dadantii, satu di
antaranya mampu menimbulkan gejala busuk lunak pada potongan daun
Phalaenopsis amabilis. Inokulum bakteri tanpa pengenceran mampu menimbulkan
diameter gejala paling tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Diameter
gejala busuk lunak pada percobaan ini lebih kecil dibandingkan dengan hasil
penelitian Elina (2016). Hal tersebut diduga disebabkan oleh perbedaan galur
bakteri yang digunakan. Selain pengujian konsentrasi inokulum, pada penelitian
ini juga dilakukan pengujian pengaruh volume inokulum bakteri dalam menginfeksi
potongan daun Phalaenopsis amabilis. Volume inokulum berpengaruh dalam
meningatkan efektifitas serangan penyakit busuk lunak pada percobaan ini.
Penggunaan volume inokulum yang lebih tinggi diduga berperan dalam menjaga
kondisi lingkungan mikro tempat tumbuh bakteri.
Hasil pengujian isolat bakteri terhadap potongan daun dari 22 genotipe
Phalaenopsis spesies telah mengelompokkan genotipe-genotipe uji ke dalam 5
kelas ketahanan. Pada penelitian ini P. javanica dan P. fimbriata diklasifikasikan
sebagai genotipe tahan dan P. celebensis diklasifikasikan sebagai genotipe sangat
rentan. Pada penelitian ini, tanaman yang memiliki daun tipis dan kadar air rendah
cenderung lebih tahan jika dibandingkan dengan tanaman yang memiliki daun tebal
dan kadar air tinggi. Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya (Firgiyanto
2015; Elina 2016) hasil penelitian ini cenderung memiliki hasil yang berbeda.
Perbedaan tersebut terjadi karena skoring terhadap karakter fenotipik hasilnya
mungkin berbeda jika dinilai oleh orang yang berbeda pula (Jehan dan Lakhanpaul
2006).
Hasil pengujian tersebut selanjutnya dibandingkan dengan hasil
pengelompokan pohon filogenetik berdasarkan 18 marka SNAP. Hasil penelitian
ini belum mampu menunjukkan asosiasi antara karakter ketahanan dengan marka
molekuler yang digunakan. Tidak berasosiasinya antara marka dan karakter
ketahanan dalam penelitian ini mungkin terjadi akibat pengaruh-pengaruh lain yang
tidak dapat dikendalikan saat pengujian ketahanan pada masing-masing genotipe
Phalaenopsis spesies, seperti kadar air, preferensi lingkungan tumbuh, kebutuhan
nutrisi, dan faktor lainnya yang dapat memengaruhi performa tanaman pada level
ekspresi. Karena mekanisme pertahanan tanaman dikendalikan oleh regulasi
transkripsi yang kompleks (Jones dan Dangl 2006), maka desain primer SNAP
berbasis gen-gen lain yang terlibat saat terjadi serangan penyakit busuk lunak pada
Phalaenopsis seperti yang telah dijelaskan oleh Fu dan Huang (2011).
8 SIMPULAN UMUM DAN SARAN

Penelitian ini telah dilakukan untuk mengeksplorasi aplikasi marka SNAP


pada tanaman klonal hasil perbanyakan, berbagai genotipe Phalaenopsis spesies,
dan juga populasi zuriat hasil persilangan. Selain itu, penelitian ini juga telah
dilakukan untuk mengembangkan metode mikropropagasi klonal Phalaenopsis dan
metode inokulasi dan klasifikasi Phalaenopsis berdasarkan ketahanannya terhadap
penyakit busuk lunak.
Aplikasi marka SNAP pada tanaman klonal hasil perbanyakan melalui induksi
PLBs menggunakan eksplan daun menunjukkan adanya perubahan basa yang
terjadi selama proses perbanyakan. Hal tersebut tentunya merugikan apabila dilihat
dari tujuan kultur jaringan untuk menghasilkan tanaman yang true to type dengan
tetuanya. Namun apabila dilihat dari aspek pemuliaan, perubahan basa nukleotida
yang terjadi justru menguntungkan apabila perubahan tersebut dapat merubah
karakter tanaman ke arah positif.
Pada genotipe Phalaenopsis spesies, marka SNAP yang digunakan telah
berhasil mendeteksi adanya keragaman SNP. Pada penelitian ini, konstruksi pohon
filogenetik yang dibuat belum mampu mengelompokkan genotipe tanaman
berdasarkan tingkay ketahanannya. Agar dapat dengan jelas memisahkan individu
berdasarkan tingkat ketahanannya, pengujian marka SNAP pada gen-gen lain yang
terlibat dalam membangun mekanisme pertahanan pada tanaman Phalaenopsis
disarankan dilakukan pada penelitian selanjutnya.
Aplikasi marka SNAP pada populasi zuriat hasil persilangan juga telah
berhasil mendeteksi adanya keragaman SNP dalam populasi zuriat. Konstruksi
pohon filogenetik menggunakan pendekatan complete linkage hierarchial
clustering membuktikan bahwa terdapat lokus yang bersegregasi pada saat
pembentukan gamet, namun mengenai frekuensi segregasinya belum dapat
diketahui. Untuk mengetahui pola segregasi tersebut, maka perlu dilakukan
penelitian lanjutan yang menggunakan induk silangan yang telah diketahui
haplotipenya. Selain itu, pada penelitian selanjutnya disarankan menggunakan
ukuran populasi yang lebih besar agar pola dan proporsi segregasi dapat diketahui.
DAFTAR PUSTAKA

Agarwal M, Shrivastava N, Padh H. 2008. Advances in molecular marker


techniques and their applications in plant sciences. Plant Cell Rep. 27: 617–
631.
Ahmad I, Hussain T, Ashraf I, Nafees M, Maryam, Rafay M, Iqbal M. 2013. Lethal
effect of secondary metabolites on plant tissue culture. American-Eurasian J
Agric and Environ Sci.13(4):539-547.
Arditti J, Ernst R. 1993. Miropropagation of Orchids. New York (US): John Wiley
and Sons.
Arditti J. 1992. Fundamentals of Orchid Biology. New York (US): John Willey and
Sons.
Bairu MW, Aremu AO, Staden JV. 2011. Somaclonal variation in plants: causes
and detection methods. Plant Growth Regul. 63:147–173.
Basset A, Khush RS, Braun A, Gardan L, Boccard F, Hoffmann JA, Lemaitre B.
2000. The phytopathogenic bacteria Erwinia carotovora infects Drosophila
and activates an immune response. Proc Natl Acad Sci USA. 97:3376-3381.
Belarmino M. Mii M. 2000. Agrobacterium-mediated genetic transformation of a
Phalaenopsis orchid. Plant Cell Reports. 19: 435.
Brown AHD, Weir BS. 1983. Measuring genetic variability in plant populations. Di
dalam: Tanksley SD, Orton TJ, editor. Isozymes in Plant Genetics and
Breeding. Bagian A. Amsterdam (NL): Elsevier Science Publ. hlm. 219-239.
Celik I, Sogut M, Ozkaynak E, Doganlar S, Frary A. 2016. Physical mapping of
NBS-coding resistance genes to the Me-gene cluster on chromosome P9
reveals markers tightly linked to the N gene for root-knot nematode
resistance in pepper. Mol Breeding. 36:137.
Chandra R, Mishra M, Bajpai A. 2007. Biotechnological interventions for
improvement of guava (Psidium guajava L.). Di dalam: Kishun R, Mishra
AK, Singh G, Chandra R, editor. Proceeding of the 1st International Guava
Symposium; 2005 Des 5-8: Lucknow, India. Leuven (BE): International
Society for Horticultural Science. Hlm 19-25.
Chen G, Chen D, Wang T, Xu C, Li L. 2012. Analysis of the proteins related to
browning in leaf culture of Phalaenopsis. Scientia Horticulturae. 141:17–22.
Chen JT, Chang WC. 2006. Direct somatic embryogenesis and plant regeneration
from leaf explants of Phalaenopsis amabilis. Biol Plant. 50: 169–173.
Chen LR, Chen JT, Chang WC. 2002. Efficient production of protocorm-like bodies
and plant regeneration from flower stalk explants of the sympodial orchid
Epidendrum radicans. In Vitro Cell Dev Biol. 38:441-445.
Chen WH, Fu YM, Lin YS, Chen YH. 2001. Identification of RAPD markers linked
to the floral gene in Phalaenopsis equestris by a stepwise screening method.
Taiwan Sugar. 48(4): 23-29.
Choudhary DK, Prakash A, Johri BN. 2007. Induced systemic resistance (ISR) in
plants: mechanism of action. Indian J Microbiol. 47(4):289-297.
Christenson EA.2001. Phalaenopsis. Portland (US): Timber Press. 330 hlm.
Chugh S, Guha S, Rao IU. 2009. Micropropagation of orchids: a review on the
potential of different explants [ulas balik]. Scientia Horticulturae.122:507-
520.
69

Cohn J, Sessa G, Martin GB. 2001. Innate immunity in plants. Current Opinion in
Immunology. 13: 55–62.
Compton ME, Preece JB. 1986. Exudation and explants establishment. Int Assoc
Plant Tissue Cult Newslett. 50:9-18.
Cresswell RJ, Nitsch C. 1975. Organ culture of Eucalyptus grandis. Planta. 125:
87-90.
Darmono DW. 2003. Menghasilkan Anggrek Silangan. Jakarta(ID): Penebar
Swadaya.
Das BK, Jena RC, Samal KC. 2009. Optimation of DNA isolation and PCR protocol
for RAPD analysis of banana/plantain (Musa spp.). Int J Agricul Sci. 1(2): 21-
25.
Deng Z, Gmitter FG. 2003. Cloning and characterization of receptor kinase class
disease resistance gene candidates in Citrus. Theoretical and Applied
Genetics. 108: 53–61.
Devi JB, Borthakur B, Deka PC. 1997. Clonal propagation of Dendrobium
moschatum and Cymbidium aloifolium through shoot tip culture. J Orchid
Soc India. 11: 19–21.
Di Gaspero G, Cipriani G. 2003. Nucleotide binding site/leucine-rich repeats, Pto-
like and receptor-like kinases related to disease resistance in grapevine.
Molecular Genetics and Genomics. 269: 612–623.
Djaafarer R. 2003. Phalaenopsis Spesies. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Doyle JJ, Doyle JL. 1987. A rapid DNA isolation procedure for small quantities of
fresh leaf tissue. Phytochem Bull. 19:11-15.
Edwards K. Goldsmith, MHM. 1980. pH dependent accumulation of indoleacetic
acid by corn coleoptile sections, a system capable of polar transport of auxin.
Planta. 147:457.
Elina J. 2016. Respon ketahanan anggrek Phalaenopsis terhadap penyakit busuk
lunak akibat infeksi Dickeya dadantii dan karakterisasi molekuler dengan
marka SNAP [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Fatimah, Sukma D. 2011. Development of sequence-based microsatellite marker
for Phalaenopsis orchid. HAYATI Journal of Biosciences.18(2):71–76.
Firgiyanto R. 2015. pertumbuhan dan ketahanan terhadap penyakit busuk lunak
pada anggrek Phalaenopsis dengan pemupukan dan asam salisilat [tesis].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Fu S, Huang HJ. 2011. Molecular characterization of the early response of orchid
Phalaenopsis amabilis to Erwinia chrysantemi infection. Di dalam: Chen
WH, Chen HH, editor. Orchid Biotechnology II. Singapura (SG): World Sci.
hlm. 283-308.
Fu SF, Lin CW, Kao TW, Huang DD, Huang HJ. 2011. PaPTP1, a gene encoding
protein tyrosine phosphatase from orchid, Phalaenopsis amabilis, is
regulated during floral development and induced by wounding. Plant Mol
Biol Rep. 29:106–116.
Fu SF, Tsai TM, Chen YR, Liu CP, Haiso LJ, Syue LH, Yeh HH, Huang HJ. 2012.
Characterization of the early response of the orchid, Phalaenopsis amabilis,
to Erwinia chrysanthemi infection using expression profiling. Physiol
Plant. 145(3): 406-25.
70

Fu YM, Chen WH, Tsai WT, Lin YS, Chyou MS, and Chen YH. 1997. Phylogenetic
studies of taxonomy and evolution among wild species of Phalaenopsis by
random amplified DNA markers. Rep Taiwan Sugar Res. Inst. 157: 27–42.
Gamborg OL. 1991. Metode Kultur Jaringan Tanaman. Wetter LR, Constabel F,
editor. Bandung (ID): Penerbit ITB. Terjemahan dari: Plant tissue culture:
methods and applications in agriculture.
Gan S, Amasino RM. 1996. Cytokinins in plant senescence: from spray and pray to
clone and play. Bioessays. 18: 557–565.
George EF, Hall MA, De Klerk GJ. 2008. Plant Propagation by Tissue Culture.
Vol 1: The Background. Ed ke-3. Dordrecht (NL): Springer.
George EF, Sherington PD. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture.
Basingstoke (GB): Exegetics Ltd.
Gogol K, Raju das, Yonzone R. 2012. Diversity and distribution of the genus
Phalaenopsis Blume (Orchidaceae) in Assam, India. Sci Res Rep. 2(3): 260-
264.
Goh CJ, Wong PF. 1990. Micropropagation of the monopodial orchid hybrid
Aranda Deborah using inflorescence explants. Sci Hortic. 44: 315–321.
Gow WP, Chen JT, Chang WC. 2008. Influence of growth regulators on direct
embryo formation from leaf explants of Phalaenopsis orchids. Acta Phsyol
Plant. 30:507-512.
Gow WP, Chen JT, Chang WC. 2010. Enhancement of direct somatic
embryogenesis and plantlet growth from leaf explants of Phalaenopsis by
adjusting period and explants length. Acta Plant Physiol. 32:621-627.
Gray DJ. 2005. Plant Development and Biotechnology. Trigiano RN, Gray DJ,
editor. Boca Raton (US): CRC Press.
Grenier AM, Duport G, Page’s S, Condemine G, Rahbe’ Y. 2006. The
phytopatogen Dickeya dadantii (Erwinia chrysanthemi 3937) is a patogen of
the Pea Aphid. Appl and Enviro Microb. 72(3):1956–1965.
Griesbach, R.J. 2002. Development of Phalaenopsis orchids for the mass-market.
Di dalam: Janick J, Whipkey A, editor. Trends in New Crops and New Uses.
Alexandria (EG): ASHS Press. hlm 458–465.
Gupta PK, Roy JK, Prasad M. 1999. DNA chips, microarrays and genomics. Curr
Sci. 77: 875-884.
Gupta PK, Roy JK, Prasad M. 2001. Single nucleotide polymorphism: A new
paradigm for molecular marker technology and DNA polymorphism
detection with emphasis on their use in plants. Current Sci. 80:524-535.
Gupta PK, Rustgi S, Kulwal PL. 2005. Linkage disequilibrium and association
studies in higher plants: present status and future prospects. Plant Molecular
Biology. 57:461–485.
Haberer G. Kieber JJ. 2002. Cytokinins. New insights into a classic phytohormone.
Plant Physiol.128: 354–362.
Hammerschmidt R. 2007. Introduction: definition and some history. Di dalam:
Walters D, Newton A, Lyon G, editor. Induced Resistance for plant Defence.
A Sustainable Approach to Crop Protection. Singapura (SG): Blackwell
Publshing Ltd. hlm 1-11.
Handayati W, Rahadjo IB, Kartikaningrum S. 2006. Pra-evaluasi ketahanan
anggrek Phalaenopsis terhadap penyakit busuk lunak (Erwinia spp.). Balai
Penelitian Tanaman Hias. Cipanas Segunung. 6 hal.
71

Handini AS. 2014. Analisis keragaman morfologi dan biokimia pada anggrek
Phalaenopsis serta analisis keragaman genetik dengan marka SNAP. [tesis].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Handoyo F. 2010. Orchids of Indonesia. Jakarta (ID): Indonesian Orchid Society.
Hanudin, Rahardjo IP. 2012. Penyakit busuk lunak (pbl) pada anggrek: penyebab
dan upaya pengendaliannya. Prosiding Seminar Nasional Anggrek 2012;
2012 Jun 21; Jakarta Selatan (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hortikultura. Hlm 275- 281.
Haristianita MD. 2017. Gen terkait warna bunga: pemanfaatannya untuk
pengembangan marka molekuler dan analisis genetik warna bunga
Phalaenopsis [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Hartl L, Mon S, Schweiger G. 1998. Identification of a diagonistic molecular
marker for the powdery mildew resistance gene Pm4b based on fluorescently
labelled AFLPs, Di dalam: Slinkard AE, editor, Proc. 9th Int. Wheat Genet.
Symp. Vol. 3. [Waktu pertemuan tidak diketahui]. Univ. Of Saskatchewan,
Saskatoon, Canada (CA):Uinv. Extension Press. hlm 111–113.
Hendaryono PS, Wijayani A. 1994. Teknik Kultur Jaringan: Pengenalan dan
Petunjuk Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif Modern. Yogyakarta
(ID):Kanisius.
Hofmann N, Nelson RL, Korban SS. 2004. Influence of media components and pH
on somatic embryo induction in three genotypes of soybean. Plant Cell,
Tissue and Organ Culture. 77: 157–163.
Huang DD, Law RCS, Mak OT .1991. Effects of tissue cultured Anoectochilus
formosanus Hay. extracts on the arachidonate metabolism. Botanical
Bulletin of Academia Sinica Taipei. 32: 113-120.
Huang YW, Tsai YJ, Cheng TC, Chen JJ, Chen FC. 2014. Physical wounding and
ethylene stimulated embryogenic stem cell proliferation and plantlet
regeneration in protocorm-like bodies of Phalaenopsis orchids. Gen and Mol
Research. 13 (4): 9543-9557.
Hugouvieux-Cotte-Pattat N, Condemine G, Nasser W, and Reverchon S. 1996.
Regulation of pectinolysis in Erwinia chrysanthemi. Annu Rev
Microbiol. 50: 213-257.
Ishii Y, Takamura T, Goi M, Tanaka M. 1998. Callus induction and somatic
embryogenesis of Phalaenopsis. Plant Cell Rep., 17: 446-450.
Iswanto H. 2002. Petunjuk Perawatan Anggrek. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka.
Jehan T, Lakhanpaul S. 2006. Single nucleotide polymorphism (SNP)-methods and
applications in plant genome: a review. Indian Journal of Biotechnology.
5:453-459.
Joko T, Kiswanti D, Hanudin Subandiyah S. Occurence of bacterial soft-rot of
Phalaenopsis orchids in Yogyakarta and West Java, Indonesia. Proceeding
of Internasional Seminar on “Natural Resources, Climate Change, and Food
Security in Developing Countries; 2011 Jun 27-28; Surabaya, Indonesia.
Surabaya (ID): ISNAR. hlm 255-264.
Jones JD, Dangl JL. 2006. The plant immune system. Nature. 444: 323–329.
Kanchanapoom K, Jantaro S, Rakchad D. 2001. Isolation and fusion of protoplasts
from mesophyll cells of Dendrobium Pompadour. Science Asia. 27: 29-34.
Khoddamzadeh AA , Sinniah UR, Kadir MA, Kadzimin SB, Mahmood M,
Sreeramanan S. 2010. Detection of somaclonal variation by random amplified
72

polymorphic DNA analysis during micropropagation of Phalaenopsis bellina


(Rchb.f.) Christenson. African J of Biotech. 9(40): 6632-6639.
Khoddamzadeh AA. Sinniah UR. Kadir MA, Kadzimin SB, Mahmood M,
Sreeramanan S. 2011. In vitro induction and proliferation of protocorm-like
bodies (PLBs) from leaf segments of Phallaenopsis bellina (Rchb.f.)
Christenson. Plant Growth Regul. 65:381-387.
Kim MY, Van K, Lestari P, Moon J-K, Lee S-H. 2005. SNP identification and
SNAP marker development for a GmNARK gene controlling
supernodulation in soybean. Theor App Genet. 110:1003-1010.
Knudson L. 1946. A new nutrient solution for germination of orchid seed. American
Orchid Society Bulletin.15: 214-217.
Koopowitz H, Comstock J, Woodin C. 2008. Tropical Slipper Orchids:
Paphiopedilum and Phragmipedium Species and Hybrids. Portland (US):
Timber Press.
Kumar P, Gupta VK, Misra AK, Modi DR, Pandey BK. 2009. Potential of
molecular markers in plant biotechnology. Plant Omics, 2(4):141-162.
Kuo HL, Chen JT, Chang WC. 2005. Efficient plant regeneration through direct
somatic embryogenesis from leaf explants of Phalaenopsis ‘Little Steve’. In
Vitro Cell Dev Biol Plant. 41: 453–456.
Kurniasih S. 2012. Pemanfaatan marka molekuler untuk mendukung perakitan
kultivar unggul kakao (Theobroma cacao L.). [disertasi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Lee DH, Kim JH, Lee JH, Hur JS, Koh YJ. 1999. Bacterial soft rot of Dendrobium
phalaenopsis and Phalaenopsis species by Erwinia chrysanthemi. Plant
Pathol J. 15: 302-307.
Lee YI, Hsu ST, Yeung EC. 2013. Orchid protocorm–like bodies are embryos. Am
J Bot. 100(11): 2121-2131.
Liu J, Huang S, Sun M, Liu S, Liu Y, Wang W, Zhang X, Wang H, Hua W. 2012.
An improved allele-specific PCR primer design method for SNP marker
analysis and its application. Plant Methods. 8:34.
Liu Y, Jia Y, Gealy D, Goad DM, Caicedo AL, Olsen KM. 2016. Marker
development for rice blast resistance gene Pi66(t) and application in the
USDA rice mini-core collection. Crop Sci. 56:1001-1008.
Martínez Zamora MG, Castagnaro JC, Díaz Ricci JC. 2008. Genetic diversity of
Pto-like serine/threonine kinase disease resistance genes in cultivated and
wild strawberries. Journal of Molecular Evolution. 67: 211–221.
McMillan RT, Palmateer A, Vendrame W. 2007. Effect of roguing on Erwinia soft
rot in commercial production with two Phalaenopsis plants per pot. Proc Fla
State Hort Soc. 120: 353-355.
Miller MB, Bassler BL. 2001. Quorum sensing in bacteria. Annu Rev Microbiol.
55:165-199.
Miyao A, Nakagome M, Ohnuma T, Yamagata H, Kanamori H, Katayose Y,
Takahashi A, Matsumoto T, Hirochika H. 2012. Molecular spectrum of
somaclonal variation in regenerated rice revealed by whole-genome
sequencing. Plant Cell Physiol. 53 (1): 256-264.
Morel G. 1970. Neres ouf dem gebiet der meristem-forchung. Die Orchidee. 20:
433–443.
73

Obara-Okeyo P, Kako S. 1998. Genetic diversity and identification of cymbidium


cultivars as measured by random amplified polymorphic DNA (RAPD)
markers. Euphytica. 99: 95.
Ozyigit II. 2008. Phenolic changes during in vitro organogenesis of cotton
(Gossypium hirsutum L.) shoot tips. Afr J Biotechnol. 7(8):1145-1150.
Park SY, Murthy HN, Paek KY. 2000. Mass multiplication of protocorm-like
bodies using bioreactor system and subsequent plant regeneration
in Phalaenopsis. Plant Cell Tissue Organ Cult. 63: 67–72.
Park SY, Murthy HN, Paek KY. 2002. Rapid propagation of Phalaenopsis from
floral stalk-derived leaves. In Vitro Cell Dev Biol Plant. 38: 168–172.
Park SY, Murthy HN, Paek KY. 2003. Protocorm-like body induction and
subsequent plant regeneration from root tip cultures of Doritaenopsis. Plant
Sci. 164: 919–923.
Park SY, Shin KS, Paek KY. 2006. Increased ethylene and decreased phenolic
compounds stimulate somatic embryo regeneration in leaf thin section
cultures of Doritaenopsis Hybrid. Journal of Plant Biology. 49(5): 358-363.
Park WT, Kim YK, Uddin MR, Park N II, Kim SG, Lee SY, Park SU. 2010. Somatic
embryogenesis and plant regeneration of lovage (Levisticum officinale
Koch)[catatan penelitian]. Plant Omics Journal. 3(5):159-161.
Pasev G, Radeva-Ivanova V, Ganeva D, Kostova D. 2016. Evaluation of some
molecular markers as selection tools for tomato mosaic virus (TOMV)
resistance in Solanum lycorpesicum L. Bulgarian Journal of Agricultural
Science. 22 (6): 961–967.
Peraza-Echeverría S, James-Kay A, Canto-Canché B, Castillo-Castro E. 2007.
Structural and phylogenetic analysis of Pto-type disease resistance gene
candidates in banana. Molecular Genetics and Genomics. 278: 443–453.
Pesik A, Efendi D, Novarianto H, Dinarti D, Sudarsono S. 2017. Development of
SNAP markers based on nucleotide variability of WRKY genes in coconut
and their validation using multiplex PCR. Biodiversitas. 18(2): 465-475.
Pimsen M, Kanchanapoom K. 2011. Effect of basal media and sugar types on in
vitro regeneration of Grammatophyllum speciosum Blume. Not Sci Biol.
3(3): 101-104.
Ponce de León I, Montesano M. 2013. Activation of defense mechanisms against
pathogens in mosses and flowering plants. Int J Mol Sci. 14: 3178–3200.
Puspitaningtyas DM, Mursidawati S, Wijayanti S. 2006. Studi fertilitas anggrek
Paraphalaenopsis serpentilingua (J.J.Sm.). A.D. Hawkes. Biodiversity. 7(3):
237-241.
Rafalski JA. 2002. Novel genetic mapping tools in plants: SNPs and LD-based
approaches [ulas balik]. Plant Science. 162: 329–333.
Raynalta E, Sukma D. 2013. Pengaruh komposisi media dalam perbanyakan
protocorm like bodies, pertumbuhan planlet, dan aklimatisasi Phalaenopsis
amabilis. J Hort Indonesia. 4(3):131-139.
Reustle G, Natter I. 1994. Effect of polyvinylpyrrolidone and activated charcoal on
formation of microcallus from grapevine protoplasts (Vitis sp.). Vitis.
36:416–420.
Rianawati S, Purwito A, Marwoto B, Kurniati R, Suryanah. 2009. Embriogenesis
somatik dari eksplan daun anggrek Phalaenopsis sp L. J Agron Indonesia.
37(3): 240-248.
74

Rianawati S. 2010. Induksi variasi somaklonal dan uji in vitro untuk perbaikan
ketahanan Phalaenopsis terhadap penyakit busuk lunak [disertasi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Ru Z, Lai Y, Xu C, Li L. 2013. Polyphenol oxidase (PPO) in early stage of browning
of Phalaenopsis leaf explants. Journal of Agricultural Science. 5(9): 57-64.
Sakano K. 1990. Proton/phosphate steichiometry in uptake of inorganic phosphate
by cultured cells of Catharanthus roseus (L.) G. Don. Plant Physiol. 93:
479−483.
Samarfard S, Kadir MA, Kadzmin SB, Ravanfar SA, Saud HM. 2013. Genetic
stability of in vitro mmultiplied Phalaenopsis gigantea protocorm-like bodies
as affected by chitosan. Not Bot Horti Agrobo. 41(1):177-183.
Samarfard S, Kadir MA, Kadzmin SB, Saud HM, Ravanfar SA, Danaee M. 2014.
In vitro propagation and detection of somaclonal variation in Phalaenopsis
gigantea as affected by chitosan and thidiazuron combination. Hort Sci. 49
(1): 82-88.
Samson R, Legendre JB, Christen R, Fischer-Le SM, Achouak W, Gardan L. 2005.
Transfer of Pectobacterium chrysanthemi (Burkholder et al. 1953) Brenner
et al. 1973 and Brenneria paradisiaca to the genus Dickeya gen. nov. as
Dickeya chrysanthemi comb. nov. and Dickeya paradisiaca comb. nov. and
delineation of four novel species, Dickeya dadantii sp. nov., Dickeya
dianthicola sp. nov., Dickeya dieffenbachiae sp. nov. and Dickeya zeae sp.
nov. Intl Jrnl of Syst and Evol Micrb. 55: 1415–1427.
Sanjappa M, Kumar CS. 2003. 19TH century Phalaenopsis paintings of Central
National Herbarium (Cal), India. Manilal KS, Kumar CS, editor. Orchid
Memories - A tribute to Gunnar Seidenfaden. Calicut (IN): Mentor Books
dan Indian Association for Angiosperm Taxonomy (IAAT).
Santarem ER, Pelissier B, Finer AJ. 1997. Effect of explant orientation, pH,
solidifying agent and wounding on initiation of soybean somatic embryos. In
Vitro Cell Dev Biol. 33:13-19.
Sarwono B. 2002. Mengenal dan Membuat Anggrek Hibrida. Jakarta (ID): Agro
Media Pustaka.
Saxena PK, Gill R. 1986. Removal of browning and growth enhancement by
polyvinylpolypyrrolidone in protoplast cultures of Cyamopsis tetragonoloba
L. Biol Plant. 28 (4):313-315.
Shete S, Tiwari H, Elston RC. 2000. On Estimating the Heterozygosity and
Polymorphism Information Content Value. Theoretical Population Biology
57:265-271.
Soeryowinoto M. 1976. Prospect Tissue culture di Indonesia. Pekan anggrek
nasional; 1976 1-4 April; Jakarta, Indonesia. Jakarta (ID).
Soeryowinoto SM, Soeryowinoto M. 1977. Perbanyakan Vegetatif pada Anggrek.
Yogyakarta (ID): Kanisius.
Srivastava LM. 2002. Plant Growth and Development Hormones and
Environtment. Hongkong (CN): Academic Press.
Steward FC, Marion OM, Mears K .1958. Growth and organized development of
cultured cells. II. Organization in cultures grown from freely suspended cells.
Am J Bot. 45:705-708.
75

Stewart RJ, Sawyer BJB, Bucheli CS, Robinson SP. 2001. Polyphenol oxidase is
induced by chilling and wounding in pineapple. Australian Journal of Plant
Physiology. 28(3): 181-191.
Sticher L, Mauch-Mani B, Métraux AJ. 1997. Systemic acquired resistance [ulas
balik]. Annual review of phytopathology. 35(1): 235-270.
Subramanium G, Taha RM. 2003. Morphogenesis of Cymbidium atropurpureum in
vitro. Malays J Sci. 22: 1–5.
Sutanto A, Hermanto C, Sukma D, Sudarsono. 2013. Pengembangan marka SNAP
berbasis resistance gene analogue. J Hort. 23(4): 300-309.
Sutanto A. 2014. Karakterisasi molekuler ketahanan beberapa kultivar pisang
(Musa spp.) terhadap penyakit layu panama (Fusarium oxysporum f.sp.
cubense) [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Tait RC. 1999. The application of molecular biology. Curr Issues Mol Biol. 1(1-
2):1-12.
Takahashi CT, Kondo K. 1998. Induction of adventitious shoots, rhizome-derived
protocorm-like bodies and aggregations from rhizome segments of Pogonia.
Lindleyana. 13: 284–291.
Takamiya T, Wongsawad P, Tajima N, Shioda N, Lu JF, Wen CL, Wu JB, Handa
T, Iijima H, Kitanaka S, et al. 2011 Identification of Dendrobium species
used for herbal medicines based on ribosomal DNA internal transcribed
spacer sequence. Biological dan Pharmaceutical Bulletin. 34(5): 779-782.
Tanaka M, Kumura M, Goi M. 1988. Optimal conditions for shoot production from
Phalaenopsis flower-stalk cuttings cultured in vitro. Scientia Horticulturae.
35: 117-126.
Tang CY, Chen WH. 2007. Breeding and development of new varietes in
Phalaenopsis, Di dalam: Chen WH, Chen HH, editor. Orchid Biotechnology.
Singapura (SG): World Sci.
Teixeira da Silva JA. 2013. Orchids: Advances in tissue culture, genetics,
phytochemistry and transgenic biotechnology [ulasan]. Floriculture and
Ornamental Biotechnology. 7(1): 1-52.
Tollrian R, Harvell CD. 1999. The Ecology and Evolution of Inducible Defenses.
Princeton (US): Princeton University Press.
Tsai CC, Chou CH, Wang HV, Ko YZ, Chiang TY, Chiang YC. 2015.
Biogeography of the Phalaenopsis amabilis species complex inferred from
nuclear and plastid DNAs. BMC Plant Biology. 15:202.
Tsai TM, Chen YR, Kao TW, Tsay WS, Wu CP, Huang DD, Chen WH, Chang CC,
Huang HJ. 2007. PaCDPK1, a gene encoding calcium-dependent protein
kinase from orchid, Phalaenopsis amabilis, is induced by cold, wounding,
and pathogen challenge. Plant Cell Rep. 26(10):1899-1908.
Tse AT, Smith RJ, Hackett WP. 1971. Adventitious shoot formation on
Phalaenopsis nodes. American Orchid Society Bulletin. 40: 807-810.
Vallad G, Rivkin M, Vallejos C, McClean P. 2001. Cloning and homology
modelling of a Pto-like protein kinase family of common bean (Phaseolus
vulgaris L.). Theoretical and Applied Genetics. 103:1046–1058.
Vallad GE, Goodman RM. 2004. Systemic acquired resistance and induced
systemic resistance in conventional agriculture [ulas balik]. Crop science.
44(6): 1920-1934.
76

Van Loon LC, Bakker PAHM, Pieterse MJ. 1998. Systemic resistance induced by
rhizosphere bacteria [ulas balik]. Annual review of phytopathology. 36(1):
453-483.
Varshney A, Mahapatra T, Sharma RP. 2004. Molecular mapping and marker
assisted selection of traits for crop improvement. Di dalam: Srivastava
PS, Narula A, Srivastava S, editor. Plant Biotechnology and Molecular
Markers. New Delhi (IN): Anamaye Publisher. hlm 289-330.
Vleeshouwers VGAA, Martens A, van Dooijeweert W, Colon LT, Govers F,
Kamoun S. 2001. Ancient diversification of the Pto kinase family preceded
speciation in Solanum. Molecular Plant–Microbe Interactions. 14: 996–1005.
Wan H, Qian C, Malik AA, Zhao Z, Chen J. 2009. Isolation, phylogeny and
evolutionary analysis of Pto-type disease resistance gene analogues from a
Cucumis hystrix introgression line of cucumber (C. sativus). Funct Plant Biol.
37:513-523.
Wan H, Yuan W, Ruan M, Ye Q, Wang R, Li Z, Zhou G, Yao Z, Yang Y. 2013.
Identification, phylogeny, and expression analysis of Pto-like genes in
pepper. Plant Molec Biol Rep. 31:901-916.
Watimena GA. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Bogor (ID): Pusat Antar
Universitas Institut Pertanian Bogor.
Widyastuti N, Tjokrokusumo D. 2001. Peranan beberapa zat pengatur tumbuh
(ZPT) tanaman pada kultur in vitro. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia.
3:55-63.
Wu PH, Huang DD, Chang DCN. 2011. Mycorrhizal symbiosis enhances
Phalaenopsis orchid’s growth and resistance to Erwinia chrysanthemi.
African Journal of Biotechnology.10(50): 10095-10100.
Xie C, Sun Q, Ni Z, Yang T, Nevo E, Fahima T. 2003. Chromosomal location of a
Triticum dicoccoides derived powdery mildew resistance gene in common
wheat by using microsatellite markers. Theor Appl Genet. 106: 341–345.
Xu CJ, Li L, Li H, Zhang MG. 2005. Preliminary studies on the elements of
browning and the changes in cellular texture of leaf explant browning in
Phalaenopsis. Acta Hort Sinica. 32: 1111-1113.
Xu CJ, Li L. 2006. Changes of total phenol content and the activities of PPO, POD
and PAL during the browning in Phalaenopsis explant in vitro. Acta
Horticulturae Sinica. 33(3):671-674.
Yahraus TS, Chandra S, Legendre L, Low PS. 1995. Evidence for a mechanically
induced oxidative burst. Plant Physiol. 109: 1259-1266.
Yoruk R, Marshall M. 2003. Physicochemical properties and functiom of plant
polyphenol oxidase [ulas balik]. Journal of Food Biochemistry. 27(5): 361-
422.
Yoshimura S, Yoshimura A, Nelson RJ, Mew TW, Iwata N. 1995. Tagging Xa-1,
the bacterial blight resistance gene in rice by using RAPD markers. Breed
Sci. 45: 81–85.
Yu ZH, Mackill DJ, Bonman JM, Tanksley DM. 1991. Tagging genes for balst
resistance in rice via linkage to RFLP markers. Theor Appl Genet. 81: 471–
476.
Yusnita. 2010. Perbanyakan In Vitro Tanaman Anggrek. Bandar Lampung (ID):
Penerbit Universitas Lampung.
77

Zhu YL, Song QJ, Hyten SM, Fickus EW, Young ND, Cregan PB. 2003. Single-
nucleotide polymorphism in soybean. Genetics. 163:1123–1134.
78

LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar primer SNAP berdasarkan sekuen gen Pto Phalaenopsis dan spesifikasinya
No. Ukuran produk
Kode primer Sekuen Primera TM L
lokus (pb)
52 CNPto#52_L_REF_2 CAAGGTCTCAATGAATTGCAC 54.46 21 267
CNPto#52_L_ALT_1 CAGCAAGGTCTCAATGAATTTAAT 55.58 24 270
CNPto#52_L_ALT_1_REVERSE ATCGCGATGAATGATGGC 56.5 18
72 CNPto#72_L_REF_4 CGGAAATTGAATTGCGTTC 55.39 19 297
CNPto#72_L_REF_4_REVERSE CAGCAACCTTTGCCATGA 55.18 18
CNPto#72_L_ALT_4 CGGAAATTGAATTGCGTTT 54.99 19 250
CNPto#72_L_ALT_4_REVERSE TTGACATCGCGATGAATGAT 56.12 20
79 CNPto#79_L_REF_6 AAATTGAATTGCTTTCGAGACTT 55.32 23 250
CNPto#79_L_REF_6_REVERSE GACTTGACATCGCGATGAAT 54.78 20
CNPto#79_L_ALT_1 TGAATTGCTTTCGAGGGTC 54.91 19 253
CNPto#79_L_ALT_1_REVERSE ATTTGCAGACTTGACATCGC 55.04 20
94 CNPto#94_L_REF_5 GCTTCGTCATCGTCAGCTC 55.61 19 250
CNPto#94_L_REF_5_REVERSE ATCCAGAAGGATATTTGCAGACT 54.98 23
CNPto#94_L_ALT_7 GGCTTCGTCATCGTCATCTT 56.41 20 290
CNPto#94_L_ALT_7_REVERSE CGAAAGACCAAAATCAGC 50.26 18
181 CNPto#181_L_REF_5 GGGAACTCTGAAGAGTCAGCTC 55.99 22 251
CNPto#181_L_ALT_5 GGGAACTCTGAAGAGTCAGCTT 55.59 22 251
CNPto#181_L_ALT_5_REVERSE TAACTGCGGTGCTCACGT 54.84 18
220 CNPto#220_L_REF_3 CCTCAACTGGGAGCAGAGG 56.97 19 218

79
80
Lampiran 1 Daftar primer SNAP berdasarkan sekuen gen Pto Phalaenopsis dan spesifikasinya (Lanjutan)
No. Ukuran produk
Kode primer Sekuen Primer TM L
lokus (pb)
CNPto#220_L_ALT_5 CTCAACTGGGAGCAGCGA 57.12 18 217
CNPto#220_L_ALT_5_REVERSE AGCTCCCTTTAACTGCGG 54.28 18
223 CNPto#223_L_REF_1 AACTGGGAGCAGCGGTTC 57.41 18 205
CNPto#223_L_ALT_1 AACTGGGAGCAGCGGATG 58.35 18 205
CNPto#223_L_ALT_1_REVERSE TAACTGCGGTGCTCACGT 54.84 18
229 CNPto#229_L_REF_2 GAGCAGCGGCTCGAGATC 58.33 18 208
CNPto#229_L_ALT_4 GAGCAGCGGCTCGAGATT 57.82 18 208
CNPto#229_L_ALT_4_REVERSE AGCTCCCTTTAACTGCGGT 55.32 19
241 CNPto#241_R_REF_1 TAGTGAAGCCCTCGTCCG 55.93 18 257
CNPto#241_R_ALT_4 GATAGTGAAGCCCTCGTTCC 55.06 20 259
CNPto#241_R_ALT_4_REVERSE GCTGTCAAGCGTGGCAAT 56.93 18
292 CNPto#292_R_REF_6 GCAGACTTGACATCCCGA 53.89 18 260
CNPto#292_R_ALT_7 TGCAGACTTGACATCTCGG 54.22 19 261
CNPto#292_R_ALT_7_REVERSE CACACGGAAATTGAATTGCT 54.9 20
340 CNPto#340_R_REF_1 AGACCAAAATCAGCAACGTTT 55.24 21 260
CNPto#340_R_ALT_4 GACCAAAATCAGCAACGTTC 54.43 20 259
CNPto#340_R_ALT_4_REVERSE CTTATCGGATACTGCGACGA 55.19 20
349 CNPto#349_R_REF_6 TGTCTTCGAAAGACCAAAATCA 56.17 22 262
CNPto#349_R_ALT_7 GTCTTCGAAAGACCAAAGTCG 55.36 21 261
CNPto#349_R_ALT_7_REVERSE ATACTGCGACGAGCGAAA 54.13 18
Lampiran 1 Daftar primer SNAP berdasarkan sekuen gen Pto Phalaenopsis dan spesifikasinya (Lanjutan)
No. Ukuran produk
Kode primer Sekuen Primer TM L
lokus (pb)
380 CNPto#380_R_REF_2 TGCTCACGTGAGTCTGATACAA 55.66 22 293
CNPto#380_R_ALT_2 GTGCTCACGTGAGTCTGATCTAG 55.49 23 294
CNPto#380_R_ALT_2_REVERSE ATACTGCGACGAGCGAAA 54.13 18
424 CNPto#424_R_REF_2 CGGAAGTATTCAGGATCAAGCTAT 56.87 24 291
CNPto#424_R_ALT_3 CGGAAGTATTCAGGATCAAGGTAC 57.05 24 291
CNPto#424_R_ALT_3_REVERSE GAAGGGAACTCTGAAGAGTCATC 54.96 23
37 CNPto#37_L_REF_2 CCGAAATCCCAGCAAGAC 55.19 18 265
CNPto#37_L_ALT_2 CCGAAATCCCAGCAGGGT 59.46 18 265
CNPto#37_L_ALT_2_REVERSE TTGCCTTTGCAGAACCAG 54.43 18
64 CNPto#64_L_REF_3 GAATTTCACACGGAAATCGAG 55.96 21 261
CNPto#64_L_ALT_4 AATTTCACACGGAAATCGAA 54.4 20 260
CNPto#64_L_ALT_4_REVERSE CTTGACGTCGCGGTGAAT 56.76 18
127 CNPto#127_L_REF_1 TACTGCGACGAGCGCAAT 57.72 18 258
CNPto#127_L_ALT_7 GATACTGCGACGAGCGTAAC 54.83 20 260
CNPto#127_L_ALT_7_REVERSE CTTCGAAAGACCGAAATCG 54.69 19
355 CNPto#355_R_REF_6 CCCGTCTTCGAAAGTCCG 57.83 18
CNPto#355_R_REF_6_REVERSE CGTCATCGTCACCTCGTG 55.4 18 293
CNPto#355_R_ALT_7 CCCGTCTTCGAAAGACCA 55.72 18
CNPto#355_R_ALT_7_REVERSE TTCGTCATCGTCACCTCG 54.98 18 295
a
Huruf berwarna menunjukkan bahwa basa nukleotida pada primer berbeda dengan basa nukleotida pada sekuen asli. TM: temperatur melting;
L:panjang sekuen primer.

81
82
82

Lampiran 2 Pohon filogenetik populasi zuriat persilangan dan tetua


menggunakan metode hierarchial clustering dengan
pendekatan complete linkage

B1(11)
31a(8)
41a(2)
16a
11a
39a(9)
52a(3)
10a
42a
22a
40a
42aC
SP(12)
3a(6)
30a
36a
18a
55a
51a
61a(4)
58a
1a
34a
38a*
46a(7)
44a(5)
50a(1)
35a
13a*
26a
43a
6a
56a
5a
58a*
35a*
28a*
27a
14a*
8a
17a
0 0.1
Lampiran 3 Gejala busuk lunak 22 genotipe Phalaenopsis spesies pada 72 jam setelah inokulasi

83
84
Lampiran 3 Gejala busuk lunak 22 genotipe Phalaenopsis spesies pada 72 jam setelah inokulasi (Lanjutan)
Lampiran 3 Gejala busuk lunak 22 genotipe Phalaenopsis spesies pada 72 jam setelah inokulasi (Lanjutan)

85
86
Lampiran 3 Gejala busuk lunak 22 genotipe Phalaenopsis spesies pada 72 jam setelah inokulasi (Lanjutan)
Lampiran 3 Gejala busuk lunak 22 genotipe Phalaenopsis spesies pada 72 jam setelah inokulasi (Lanjutan)

87
88
Lampiran 3 Gejala busuk lunak 22 genotipe Phalaenopsis spesies pada 72 jam setelah inokulasi (Lanjutan)
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada 2 Desember 1989 di Jakarta.


Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari
pasangan suami istri Simon Ramly Sinulingga (Alm.) dan
Korinta Pinem. Pendidikan SMA ditempuh penulis di SMA
Negeri 61 Jakarta selama tiga tahun dan lulus pada tahun
2008. Setelah lulus SMA, pada tahun yang sama penulis
lolos SNMPTN jurusan Agronomi dan Hortikultura, Institut
Pertanian Bogor. Pada tahun 2013 penulis menyelesaikan
studi S1, dan pada tahun yang sama pula, penulis
mendapatkan beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam
Negeri (BPPDN) untuk melanjutkan studi S2 pada program studi Pemuliaan dan
Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura di Institut
Pertanian Bogor.
Selain kegiatan akademik, penulis juga melakukan kegiatan usaha di bidang
pertanian dan pariwisata di Cisarua sejak tahun 2011 hingga sekarang. Penulis juga
aktif mengikuti kegiatan-kegiatan seputar budidaya dan konservasi anggrek sejak
tahun 2007 hingga sekarang.

Anda mungkin juga menyukai