ERICK RAYNALTA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Erick Raynalta
NIM A253130061
RINGKASAN
Kata kunci: Gen Pto, kultur jaringan, marka SNAP, penyakit busuk lunak,
Phalaenopsis
SUMMARY
Keywords: Phalaenopsis, Pto gene, SNAP marker, soft rot disease, tissue culture
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KARAKTERISASI MOLEKULER KLON, SPESIES, DAN
HIBRIDA ANGGREK Phalaenopsis MENGGUNAKAN MARKA
SNAP BERBASIS GEN Pto
ERICK RAYNALTA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Diny Dinarti, MSi
Judul Tesis : Karakterisasi Molekuler Klon, Spesies, dan Hibrida Anggrek
Phalaenopsis Menggunakan Marka SNAP Berbasis Gen Pta
Nama : Erick Raynalta
NIM : A253130061
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena oleh
kasih dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul
“Karakterisasi Molekuler Klon, Spesies, dan Hibrida Anggrek Phalaenopsis
Menggunakan Marka SNAP Berbasis Gen Pto” dengan baik. Tesis ini dibuat
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada program
studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada ibu tercinta
yang selalu dengan sabar memberikan semangat kepada penulis untuk terus belajar
dan menekuni bidang yang telah penulis pilih, kepada alm. ayahanda tercinta yang
semasa hidupnya selalu mendukung dan memfasilitasi penulis dalam belajar, dan
adik serta kakak tercinta yang selalu memberikan semangat dan motivasi kepada
penulis untuk menyelesaikan studi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
Dr. Dewi Sukma, SP MSi dan Prof Dr Ir Sudarsono, MSc selaku komisi
pembimbing yang telah mencurahkan sebagian waktunya untuk membimbing dan
memberikan pengarahan kepada penulis dalam kegiatan penelitian dan pembuatan
tesis ini hingga selesai. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-
teman PBT 2013, teman-teman PBT 2014, serta teman-teman seperjuangan di
Laboratorium Kulur Jaringan 1 dan Laboratorium Biologi Molekuler 1 atas
kebersamaan, pengetahuan, dan dukungan moral yang tak henti-hentinya diberikan
kepada penulis. Tak lupa ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada teh Juju,
pak Eddy, bu Susi, dan mas Agus yang telah membantu penulis secara teknis, baik
di laboratorium maupun lapang.
Semoga tesis ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pemuliaan dan
bioteknologi tanaman.
Erick Raynalta
DAFTAR ISI
3.1 Pengaruh konsentrasi TDZ, PVP, dan interaksi TDZ dan PVP dalam
induksi PLBs menggunakan eksplan daun P. amabilis pada usia 8
MST 19
3.2 Pengaruh pH media dalam induksi PLBs menggunakan eksplan daun
P. amabilis pada usia 8 MST 21
3.3 Pengaruh konsentrasi TDZ, PVP, dan Interaksi TDZ dan PVP dalam
proliferasi PLBs P. amabilis pada usia 8 MST 22
3.4 Persentase keseragaman planlet klon P. amabilis hasil propagasi
klonal in-vitro 24
4.1 Daftar 27 genotipe Phalaenopsis spesies yang digunakan 31
4.2 Nilai heterozigositas dan polimorfisme tiap lokus berdasarkan data
kodominan pada 27 genotipe Phalaenopsis spesies 33
4.3 Rangkuman analisis faktorial dan akses keragaman 18 marka SNAP
terhadap 27 genotipe Phalaenopsis spesies 35
4.4 Profil genotipe P. bellina “B1(11)” dan P. Salu Spot “SP (12)” pada 9
lokus SNP berdasarkan marka SNAP 37
4.5 Nilai heterozigositas dan polimorfisme tiap lokus berdasarkan data
kodominan pada 39 individu zuriat hasil persilangan antara P. bellina
“B1(11)” dan P. Salu Spot “SP (12)” 37
4.6 Rangkuman analisis faktorial dan akses keragaman antar marka
terseleksi pada populasi zuriat hasil persilangan antara P. bellina
“B1(11)” dan P. Salu Spot “SP (12)” 38
4.7 Analisis khi-kuadrat pada 9 lokus SNP populasi zuriat hasil
persilangan antara P. bellina “B1(11)” dan P. Salu Spot “SP (12) 39
5.1 Pengaruh faktor pengenceran dan galur bakteri terhadap rata-rata
diameter busuk lunak (mm) leaf disk P. amabilis pada 24, 48, dan 72
JSI 47
5.2 Persentase leaf disk P. amabilis terserang penyakit busuk lunak dari
inokulum bakteri galur 1 pada 24, 48, dan 72 JSI 48
5.3 Pengaruh volume inokulum bakteri terhadap diameter gejala serangan
penyakit busuk lunak leaf disk P. amabilis 49
6.1 Rata-rata diameter busuk lunak pada 22 genotipe Phalaenopsis spesies 56
6.2 Kadar air dan ketebalan daun 22 genotipe Phalaenopsis spesies 57
6.3 Nilai intensitas serangan penyakit (IP) dan kriteria ketahanan 22
genotipe Phalaenopsis spesies terhadap infeksi D. dadantii 58
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
seleksi tidak langsung terhadap karakter tersebut pada populasi bersegregasi akan
dapat dilakukan.
Mikropropagasi klonal in-vitro Phalaenopsis umumnya dilakukan melalui
pembentukan PLBs (embrio somatik) atau tunas aksilar menggunakan berbagai
jenis eksplan (Chugh et al. 2009). Salah satu metode yang dapat menghasilkan bibit
dalam jumlah dan waktu yang cepat dibandingkan metode lainnya adalah melalui
induksi embrio somatik langsung menggunakan eksplan daun (Kuo et al. 2005;
Chen dan Chang 2006; Gow et al. 2008; Khoddamzadeh et al. 2011). Keberhasilan
dalam induksi PLBs menggunakan eksplan daun sangat dipengaruhi oleh
keberadaan sitokinin pada media kultur. Hasil penelitian Chen dan Chang (2006)
menunjukkan bahwa penambahan sitokinin sintetik TDZ secara tunggal ke dalam
media kultur efektif meningkatkan keberhasilan induksi embrio somatik langsung
pada eksplan daun Phalaenopsis amabilis Shimadzu var. formosa. PLBs
(protocorm-like bodies) yang didapatkan dari hasil induksi tersebut kemudian dapat
diperbanyak kembali melalui proses proliferasi PLBs. Perbanyakan melalui
proliferasi tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan media cair dalam
bioreaktor (Park et al. 2000) atau dengan media padat (Raynalta dan Sukma 2013;
Samarfard et al. 2013). Media padat digunakan pada penelitian ini, baik pada tahap
induksi dan proliferasi PLBs, karena metode ini lebih sederhana dan lebih hemat
biaya dibandingkan dengan kultur cair dalam bioreaktor.
Dalam penerapan metode mikropropagasi klonal Phalaenopsis in-vitro sering
ditemukan beberapa kendala, salah satunya adalah browning. Browning pada
ekslpan merupakan salah satu masalah umum yang terjadi pada tahap awal dalam
kultur jaringan tanaman (Ru et al. 2013). Browning (pencoklatan) disebabkan oleh
oksidasi enzimatik senyawa fenolik yang dikeluarkan tanaman. Senyawa tersebut
menyebabkan media kultur menjadi coklat dan menghambat penyerapan nutrisi
oleh eksplan yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian (Ahmad et al. 2013).
Dalam mengatasi masalah tersebut, beberapa upaya telah dilakukan sebelumnya.
Inkubasi dalam ruang gelap (George dan Sherrington 1984), pemindahan eksplan
ke media baru (Compton dan Preece 1986), penambahan adsorben, dan antioksidan
(Ahmad et al. 2013) telah berhasil mengurangi browning. Penelitian ini
menggunakan PVP sebagai adsorben karena Chen et al. (2007) menyatakan bahwa
PVP terbukti efektif dalam mengendalikan dan mengurangi browning pada kultur
Phalaenopsis.
Kendala lain yang sering dikhawatirkan muncul dalam mikropropagasi klonal
in-vitro adalah variasi somaklonal pada bibit hasil perbanyakan. Untuk mengetahui
tingkat variasi somaklonal, maka diperlukan metode deteksi yang cepat dan tepat.
Metode deteksi variasi somaklonal dapat dilakukan dengan menggunakan beragam
teknik yang terdiri atas 3 kategori, yaitu: morfologi, fisiologi/biokimia, dan
molekuler (Bairu et al. 2011). Salah satu cara untuk mendeteksi variasi somaklonal
pada Phalaenopsis adalah dengan menggunakan marka molekuler. Marka
molekuler yang telah digunakan untuk analisis variasi somaklonal pada
Phalaenopsis adalah marka RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA;
Khoddamzadeh et al. 2010) dan ISSR (Inter simple sequence repeat; Samarfard et
al. 2013). Marka lain yang berpotensi digunakan untuk analisis variasi somaklonal
adalah SNAP (Single Nucleotide Amplified Polymorphysm). Walaupun belum ada
penelitian yang melaporkan penggunaan marka SNAP untuk menganalis
keragaman genetik tanaman klonal hasil perbanyakan, namun metode ini sangat
3
Tujuan
Hipotesis
5
6
TINJAUAN PUSTAKA
Anggrek
banyak digunakan karena dapat menghasilkan bibit dalam jumlah bersar dalam
waktu yang relatif singkat (Iswanto 2002).
Secara umum, teknik kultur jaringan didasarkan atas suatu konsep yang
dikemukakan oleh Scleiden dan Schwan, bahwa setiap sel dari suatu individu akan
mampu untuk berkembang menjadi individu yang sempurna jika berada pada
kondisi lingkungan yang sesuai (Soeryowinoto 1976). Kultur jaringan pada
tanaman anggrek pertama kali diperkenalkan oleh seorang ilmuan Prancis yang
bernama George Morel pada tahun 1960 (Sarwono 2002). Keberhasilan dalam
pemanfaatan metode kultur jaringan terutama sangat bergantung pada pengetahuan
yang lebih baik tentang kebutuhan hara sel dan jaringan yang disediakan oleh media
kultur selama proses tersebut dilakukan. Agar menghasilkan bibit dengan
pertumbuhan yang optimum, maka dibutuhkan komposisi media kultur yang tepat.
Hara terdiri atas komponen utama (garam mineral, sumber karbon dari gula, vitamin
dan pengatur tumbuh) dan tambahan (senyawa nitrogen organik, asam organik,
metabolit, dan ekstrak tambahan) (Gamborg 1991).
Sejak usaha persemaian benih anggrek secara in-vitro dilakukan oleh
Knudson (1946), kini perkembangan teknologi budidaya anggrek, khususnya di
dalam teknologi kultur jaringan semakin pesat. Hal tersebut ditunjukkan dari
banyaknya jumlah penelitian yang dilakukan untuk mengembangkan protokol
perbanyakan dan pemanfaatan kultur jaringan untuk kepentingan lainnya yang lebih
luas. Upaya mengembangkan metode sederhana seperti perbanyakan anggrek
menggunakan eksplan tangkai bunga (Tse et al. 1971) hingga metode yang rumit
seperti fusi protoplas (Kanchanapoom et al. 2001) telah dilakukan. Selain itu, kultur
jaringan juga telah digunakan lebih lanjut tidak hanya sebagai sarana perbanyakan,
tapi juga dijadikan alat untuk tujuan pemuliaan tanaman seperti induksi mutasi
(Rianawati 2010) hingga rekayasa genetika (Belarmino dan Mii 2000).
Walaupun penelitian-penelitian mutakhir tentang pemanfaatan kultur
jaringan dewasa ini telah berkembang pesat, namun penelitian-penelitian dasar
mengenai kebutuhan hara yang sesuai untuk menunjang pertumbuhan tanaman
dalam kultur jaringan masih sangat perlu dilakukan, mengingat kebutuhan hara
tanaman anggrek sifatnya spesifik/berbeda-beda dari satu jenis ke jenis yang
lainnya. Sebagai contoh, Park et al. (2002) menguji media dasar yang sesuai untuk
perbanyakan Phalaenopsis. Dalam penelitian tersebut, media MS dan Hyponex
menghasilkan persentase PLBs Phalaenopsis tertinggi dibandingkan dengan media
KC, LM, dan VW. Begitu juga pada penelitian Puspitaningtyas et al. (2006) yang
menunjukkan bahwa biji anggrek P. serpentilingua dapat berkecambah baik pada
media MS dan Hyponex. Pada penelitian lainnya, Pimsen dan Kanchanapoom
(2011) menguji konsentrasi karbohidrat yang sesuai dalam perbanyakan PLBs
Grammatophyllum speciosum. Dalam penelitian tersebut, pemberian sukrosa
sebanyak 2% pada media kultur menghasilkan respon terbaik dibandingkan
perlakuan lainnya.
Browning pada ekslpan merupakan salah satu peristiwa yang umum terjadi
pada tahap awal dalam kultur jaringan (Ru et al. 2013). Peristiwa ini biasanya dipicu
akibat adanya luka bekas potongan saat persiapan eksplan sebelum ditanam
kedalam media kultur (Yahraus et al. 1995) pada banyak spesies tanaman berkayu
8
(Ahmad et al. 2013). Selain pada spesies-spesies tanaman berkayu, browning juga
diketahui muncul pada eksplan anggrek Phalaenopsis yang dikultur (Xu et al. 2005).
Proses ini disebabkan oleh oksidasi enzimatik senyawa fenolik yang dikeluarkan
tanaman, yakni: PPO (polifenol oksidase), POD (peroksidase), dan PAL (L-
fenilalanina amonialiase) (Xu dan Li 2006). Pada dasarnya, senyawa fenolik
tersebut diproduksi sebagai respon dari stres abiotik maupun biotik sebagai
mekanisme pertahanan tanaman. Dalam kultur jaringan, senyawa fenolik tersebut
menyebabkan media kultur menjadi coklat dan dapat menghambat penyerapan
nutrisi oleh eksplan yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian (Ahmad et
al. 2013).
Faktor-faktor stres abiotik seperti pemotongan dan pelukaan dapat memicu
keluarnya senyawa fenolik dari tanaman (Stewart et al. 2001). Selain hal tersebut,
faktor lain seperti pH, temperatur, keberadaan oksigen, jumlah dan sifat senyawa
fenolik, jumlah ion logam, aktifitas PPO (Yoruk dan Marshall 2003), umur tanaman,
dan ukuran tanaman (Chandra et al. 2007) dapat memengaruhi tingkat browning
pada eksplan. Berdasarkan penelitian Ozyigit (2008), umur tanaman induk
berkorelasi positif dengan eksudasi senyawa fenolik pada kultur jaringan kapas.
Pencoklatan dapat menghambat pertumbuhan tanaman bahkan menyebabkan
kematian sehingga pencegahannya sangat penting untuk dilakukan. Usaha dalam
mengurangi browning antara lain dengan merendam eksplan Eucalyptus dalam air
steril kemudian mengkulturkannya dalam ruangan yang bersuhu 16°C (Cresswell
dan Nitsch 1975), mengkulturkan dalam ruang gelap (George dan Sherrington
1984), memindahkan eksplan ke media baru (Compton dan Preece 1986),
penambahan adsorben, dan antioksidan (Ahmad et al 2013).
Sitokinin
Penemuan sitokinin pertama kali diawali dari penelitian F.Skoog dan C.O.
Miller yang menemukan suatu senyawa/zat yang dapat merangsang pertumbuhan
kalus dari jaringan empulur tembakau. Pada penelitian tersebut ditemukan bahwa
media kultur yang ditambah dengan air kelapa, ekstrak ragi, dan IAA dapat
memacu pertumbuhan kalus (Watimena 1988). Sejak penemuan zeatin, beberapa
sitokinin yang terdapat di alam dan beberapa substansi sintetik yang memiliki
persamaan aktivitas biologis telah berhasil teridentifikasi (Srivastava 2002).
Secara umum, jaringan tanaman tertentu mengandung beberapa jenis
sitokinin dan turunannya. Distribusi berbagai sitokinin berbeda-beda antar spesies
tanaman secara signifikan. Analisis fenotipik mutan biosintetik dapat
mengungkapkan peran dari sitokinin spesifik. Sayangnya, belum ada mutan dengan
sitokinin tereduksi yang berhasil diisolasi, dan ekspresi gen-gen biosintetik yang
berlebihan umumnya memengaruhi seluruh kelompok sitokinin endogen. Oleh
karena itu, sulit untuk mengukur sitokinin secara in-vivo, terutama berkenaan
dengan distribusinya di dalam jaringan tanaman atau organ tertentu, sehingga
pengetahuan mengenai peranan sitokinin itu sendiri secara in-vivo masih sangat
terbatas (Haberer dan Kieber 2002) .
Fungsi sitokinin dalam kultur jaringan antara lain: memacu proses
pembentukan tunas yang berasal dari jaringan kalus, daun, potongan batang atau
kotiledon (Hendaryono dan Wijayani 1994). Selain itu, Widyastuti dan
Tjokrokusumo (2001) menambahkan bahwa sitokinin berperan dalam proses
9
Embriogenesis Somatik
Embrio merupakan tahap multiseluler awal dari sebuah individu yang terjadi
sebelum struktur atau organnya berkembang menjadi organisme utuh. Pada
kebanyakan organisme, embrio secara morfologi memiliki bentuk berbeda yang
merupakan tahap transisi dari siklus hidup gametofitik ke sporofitik. Pada
tumbuhan tingkat tinggi kebanyakan embrio berkembang dalam biji yang
merupakan perkembangan dari hasil fusi antara gamet jantan dan betina (zigot)
melalui proses reproduksi seksual yang biasa disebut embrio zigotik. Walaupun
demikian, embrio juga dapat berkembang dari berbagai macam sel dan jaringan
baik dari fase gametofitik maupun sporofitik yang dikenal dengan embrio
nonzigotik atau embrio somatik (Gray 2005).
Pengetahuan awal mengenai embriogenesis somatik dimulai ketika Steward
et al. (1958) mendemonstrasikan regenerasi tanaman melalui embriogenesis
somatik melalui kultur sel wortel. Setelah itu, usaha dalam regenerasi tanaman
melalui embriogenesis somatik telah berhasil dilakukan pada berbagai tanaman
baik angiosperma maupun gimnosperma, sehingga pada akhirnya embrogenesis
somatik dipandang sebagai kemampuan umum dari tanaman tingkat tinggi (Gray
2005). Dalam embriogenesis somatik, sel somatik membelah hingga membentuk
embrio sempurna yang proses perkembangannya mirip dengan emriogenesis
zigotik. Embrio somatik memiliki struktur bipolar yang terdiri atas meristem akar
dan pucuk. Embrio berkembang melalui tahap globular, hati, torpedo, kotiledon,
dan kemudian fase maturasi (Park et al. 2010).
Pada tanaman monokotil, khususnya anggrek, induksi embriogenesis somatik
sudah banyak berhasil dilakukan dengan menggunakan berbagai jenis eksplan baik
melalui embriogenesis somatik langsung maupun tidak langsung. Menurut Lee et
al. (2013), istilah protocorm-like bodies (PLBs) adalah sama dengan embrio
somatik karena pada tahap awal pembentukannya sel menunjukkan karakteristik
sitologi dan penanda dinding sel menyerupai perkembangan embrio zigotik. Organ
tanaman yang digunakan sebagai eksplan dalam induksi embrio somatik anggrek
antara lain: potongan daun (Park et al. 2002; Kuo et al. 2005; Chen dan Chang
2006; Rianawati et al. 2009), akar (Park et al. 2003), rimpang (Takahashi dan
Kondo 1998), ujung tunas/shoot tips (Morel 1970; Devi et al. 1997; Subramanium
dan Taha 2003), dan tangkai bunga (Goh dan Wong 1990).
10
Marka Molekuler
adalah RFLP pada tanaman padi terkait dengan ketahanan terhadap penyakit yang
disebabkan oleh patogen Pyricularia orizae (Yu et al. 1991), RAPD pada tanaman
padi terkait dengan ketahanan terhadap penyakit hawar daun bakteri (Yoshimura et
al. 1995), AFLP pada tanaman gandum terkait dengan ketahanan terhadap penyakit
yang disebabkan oleh patogen Erysiphe graminis p.v. trictici (Hartl et al. 1998),
SSR pada tanaman gandum terkait dengan ketahanan terhadap penyakit yang
disebabkan oleh Erysiphe graminis p.v. trictici (Xie et al. 2003), dan SNAP pada
tanaman pisang terkait dengan ketahanan terhadap penyakit layu panama yang
disebabkan oleh patogen Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Sutanto 2014).
Semua metode analisis molekuler tersebut berpegang pada prinsip dasar
bahwa DNA suatu individu organisme mengandung gen yang menyandikan
karakter fisik dengan kombinasi yang unik, kecuali pada kasus kembar identik.
Oleh karena itu, DNA yang diisolasi dari suatu individu organisme dapat digunakan
untuk memprediksi karakter fisik atau untuk mengidentifikasi individu-individu
dalam suatu kelompok (Tait 1999).
Salah satu marka molekuler yang tergolong baru adalah Allel Specific-PCR
(AS-PCR) atau Single Nucleotide Amplified Polymorphism (SNAP; Liu et al. 2012).
Marka molekuler tersebut dapat digunakan dengan memanfaatkan keberadaan situs
SNP yang berlimpah jumlahnya dalam genom tanaman (Varshney et al. 2004).
SNP sendiri dapat didefinisikan sebagai perubahan/subtitusi basa tunggal atau
indels (insersi dan delesi) pada posisi nukleotida tertentu (Kim et al. 2005). Sebagai
contoh, pada 25 genotipe kedelai ditemukan 280 SNP (233 subtitusi basa dan 27
indels) dalam runutan basa nukleotida yang berukuran 76,3-kbp (Zhu et al. 2003).
Pada anggrek Phalaenopsis marka molekuler SNAP juga telah digunakan.
Handini (2014) menggunakan marka SNAP berbasis gen CHS untuk menganalisis
keragaman 12 genotipe Phalaenopsis dan populasi hibrida TSW1102 (P. bellina x
P. Salu Spot), sedangkan Elina (2016) menggunakan marka SNAP berbasis gen Pto
untuk seleksi tidak langsung sifat ketahanan tanaman anggrek Phalaenopsis
terhadap penyakit busuk lunak.
Gen Pto
Hingga saat ini, informasi mengenai resistance gene analogues (RGAs) tipe
Pto yang telah diisolasi dari tanaman tergolong masih sangat minim apabila
dibandingkan dengan RGAs tipe nucleotide binding site (NBS) yang merupakan
kelas gen ketahanan terbesar dengan sebuah domain NBS dan sebuah LRR (leucine-
rich repeat) (Wan et al. 2009). Homolog Pto dewasa ini telah dianalisis dari genus
tanaman Solanum (Vleeshouwers et al. 2001), Phaseolus vulgaris L. (Vallad et al.
2001), Citrus sp. (Deng and Gmitter 2003), Vitis vinifera L. (Di Gaspero dan
Cipriani 2003), Musa acuminate Colla (Peraza-Echeverría et al. 2007), Fragaria
ananassa Duch. (Martínez Zamora et al. 2008), Theobroma cacao (Kurniasih 2012),
dan Genus Phalaenopsis (Elina 2016).
Gen Pto adalah salah satu dari kelompok gen ketahanan yang tidak memiliki
daerah terkonserfasi NBS-LRR, tapi gen ini termasuk dalam kelompok RGA yang
produk proteinnya berperan dalam tahap awal pengenalan infeksi dan transduksi
sinyal untuk mengaktifkan mekanisme respon ketahanan tanaman terhadap patogen
(Wan et al. 2009). Gen Pto mengkode serine/threonine kinase (STK) yang
berinteraksi secara fisik dengan protein avirulen AvrPto dan AvrPtoB dari bakteri
13
Abstrak
Abstract
Pendahuluan
Phalaenopsis amabilis atau yang lebih sering dikenal dengan nama anggrek
bulan, merupakan salah satu spesies dari marga Phalaenopsis yang memiliki bunga
berwarna putih polos dengan labellum berwarna kuning dengan beberapa garis
merah dan memilik ukuran 7-12 cm (Handoyo 2010). Keberadaan anggrek ini di
alam masih terbilang cukup melimpah. Di Indonesia sendiri, anggrek ini dapat
dijumpai di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Ambon, Buru, Papua, dan Jawa
(Djaafarer 2003). Walaupun jumlahnya masih cukup melimpah, tetapi perlu
dilakukan upaya konservasi dari sekarang mengingat tingginya laju perburuan dan
perusakan hutan sebagai habitatnya. Agar di kemudian hari anggrek ini tidak punah,
maka diperlukan metode perbanyakan yang tepat. Salah satu metode yang dapat
digunakan adalah dengan mikropropagasi klonal in-vitro.
Protokol mikropropagasi klonal in-vitro Phalaenopsis pada penelitian
sebelumnya umumnya dilakukan melalui pembentukan PLBs (embrio somatik) dan
tunas aksilar menggunakan berbagai jenis eksplan (Chugh et al. 2009). Jaringan
daun merupakan salah satu sumber eksplan yang sering digunakan untuk
menghasilkan PLBs melalui embriogenesis somatik langsung (Kuo et al. 2005;
Chen dan Chang 2006; Gow et al. 2008; Khoddamzadeh et al. 2011). Keberhasilan
dalam induksi PLBs menggunakan eksplan daun sangat dipengaruhi oleh
keberadaan sitokinin pada media kultur. Hasil penelitian Chen dan Chang (2006)
menunjukkan bahwa penambahan sitokinin sintetik TDZ secara tunggal ke dalam
media kultur efektif meningkatkan keberhasilan induksi embrio somatik langsung
pada eksplan daun Phalaenopsis amabilis Shimadzu var. formosa. Hasil induksi
PLBs dapat langsung diregenerasikan menjadi planlet atau diproliferasikan kembali
untuk mendapatkan planlet klon dalam jumlah yang lebih besar. Perbanyakan
melalui proliferasi tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan media cair dalam
bioreaktor (Park et al. 2000) atau dengan media padat (Raynalta dan Sukma 2013;
Samarfard et al. 2013). Media padat digunakan dalam penelitian ini, baik pada tahap
induksi dan proliferasi PLBs karena metode ini lebih sederhana dan hemat biaya
dibandingkan dengan kultur cair dalam bioreaktor.
Dalam penerapan metode mikropropagasi klonal Phalaenopsis in-vitro sering
ditemukan beberapa kendala, salah satunya adalah browning. Browning pada
ekslpan merupakan salah satu masalah umum yang terjadi pada tahap awal dalam
kultur jaringan tanaman (Ru et al. 2013). Proses browning disebabkan oleh oksidasi
enzimatik senyawa fenolik yang dikeluarkan tanaman, yakni: PPO (polifenol
oksidase), POD (peroksidase), dan PAL (L-fenilalanina amonialiase) (Xu dan Li
2006). Pada dasarnya, senyawa fenolik tersebut diproduksi sebagai respon dari stres
abiotik maupun biotik sebagai mekanisme pertahanan tanaman. Dalam kultur
jaringan, senyawa fenolik tersebut menyebabkan media kultur menjadi coklat dan
dapat menghambat penyerapan nutrisi oleh eksplan yang pada akhirnya dapat
menyebabkan kematian (Ahmad et al. 2013). Dalam mengatasi masalah tersebut,
inkubasi dalam ruang gelap (George dan Sherrington 1984), pemindahan eksplan
ke media baru (Compton dan Preece 1986), penambahan adsorben, dan antioksidan
(Ahmad et al. 2013) telah dilakukan. Salah satu adsorben yang telah digunakan
untuk mengurangi browning pada kultur Phalaenopsis adalah PVP (Raynalta dan
Sukma 2013; Chen et al. 2007).
16
3.3.1 Pengaruh TDZ dan PVP dalam Induksi PLBs Menggunakan Eksplan
Daun Phalaenopsis amabilis
Berdasarkan analisis sidik ragam, perlakuan PVP menunjukkan pengaruh
nyata pada peubah persentase eksplan hidup, persentase eksplan berembriogenesis
dan jumlah PLBs/ eksplan berembriogenesis. Perlakuan TDZ menunjukkan
pengaruh nyata pada jumlah PLBs/ eksplan berembriogenesis, sedangkan interaksi
perlakuan TDZ dan PVP menujukkan pengaruh nyata pada peubah persen eksplan
berembriogenesis (Tabel 3.1).
PVP telah digunakan sebagai adsorben untuk menjerap senyawa metabolit
bersifat toksik yang dikeluarkan oleh tanaman (Arditti dan Ernst 1993). Pada
percobaan ini, perlakuan penambahan sebanyak 0.5 g/l PVP menunjukkan hasil
berbeda nyata dibandingkan perlakuan tanpa penambahan PVP pada ketiga
parameter yang disajikan dalam Tabel 3.1. Hasil yang lebih rendah untuk peubah
persentase eksplan hidup, persentase eksplan berembriogenesis, dan jumlah PLBs/
eksplan berembriogenesis ditunjukkan oleh perlakuan 0 g/l PVP diduga disebabkan
oleh oksidasi senyawa fenolik yang dikeluarkan oleh eksplan yang ditunjukkan
dengan mencoklatnya permukaan media sekitar eksplan diikuti dengan matinya
eksplan. Browning media kultur disebabkan oleh oksidasi seyawa mono-fenol dan
di-fenol yang dilepaskan oleh jaringan ke media sekitarnya (Saxena dan Gill 1986).
Proses tersebut secara negatif sangat memengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman, baik pada tingkat molekuler maupun seluler, demikian
juga pada tingkat fisiologis dan biokimia (Chen et al. 2012). Penggunaan PVP
dalam penelitian ini efektif dalam meningkatkan respon eksplan dalam induksi
PLBs (persentase eksplan hidup dan jumlah PLBs/eksplan berembriogenesis). Hasil
penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Tanaka et al. (1988) yang melaporkan
bahwa PVP meghambat pembentukan tunas pada kultur tangkai bunga
19
Tabel 3.1 Pengaruh konsentrasi TDZ, PVP, dan interaksi TDZ dan PVP dalam
induksi PLBs menggunakan eksplan daun P. amabilis pada usia 8
MST
TDZ (mg/l) Rata-rata PVP
Perlakuan
0.1 0.5 1 3
PVP (g/l) Eksplan hidup (%)a
0 33.33 44.43 66.67 77.80 55.56 b
0.5 55.57 88.90 88.90 100.00 83.34 a
Rata-rata T 44.45 66.67 77.78 88.9 KK: 8.82%
PVP (g/l) Eksplan berembriogenesis (%)a
0 22.20 Aa 22.20 Ab 55.57 Aa 55.57 Aa 38.88
0.5 11.10 Ba 89.03 Aa 66.67 Aa 77.80 Aa 61.15
Rata-rata T 16.65 55.62 61.12 66.68 KK: 7.10%
PVP (g/l) Jumlah PLBs/ eksplan berembriogenesisa
0 0 0.52 1.99 3.92 1.61 b
0.5 0 2.66 3.15 5.04 2.71 a
Rata-rata T 0.00 C 1.59 B 2.57 B 4.48 A KK: 12.65%
a
Angka dalam kolom yang sama diikuti oleh huruf kecil dan dalam baris yang sama diikuti huruf
besar yang sama tidak berbeda nyata pada α 0.05 (uji tukey); Transformasi data dengan √(x+1)
dilakukan untuk memenuhi distribusi normal; MST: minggu setelah tanam.
karena kurangnya pertukaran udara dalam botol kultur. Akumulasi etilen lebih
tinggi pada botol kultur tanpa ventilasi dibandingkan pada botol kultur berfentilasi
(Park et al. 2006). Dalam embriogenesis somatik, etilen dapat menjadi faktor
penghambat ataupun stimulator. Pada kultur daun Doritaenopsis, etilen berperan
dalam menstimulasi pembentukan embrio somatik (Park et al. 2006). Berkebalikan
dengan etilen, sitokinin berperan dalam mengganggu proses senesen yang
disebabkan oleh etilen (Haberer dan Kieber 2002). Walaupun demikian, aplikasi
eksternal sitokinin tidak selalu efektif mencegah senesen pada daun yang dipotong
(Gan dan Amasino 1996). Oleh karena itu perlu ada investigasi lanjut mengenai
hubungan antara etilen dan sitokinin dalam proses embriogenesis somatik.
Setelah dua bulan diinkubasi dalam kondisi gelap, eksplan yang berespon
dipindahkan ke media perlakuan baru yang sama. Hasil subkultur kemudian
diinkubasi pada kondisi ruang kultur dengan periode pencahayaan 16 jam selama 2
bulan. Setelah beberapa minggu dipindah ke media baru, ukuran PLBs mejadi lebih
besar dan memiliki warna yang lebih hijau (Gambar 3.1d). PLBs kemudian
dipindahkan ke media HP untuk diinkubasi selama 4 bulan. Setelah dipindahkan ke
dalam media regenerasi, PLBs mulai membentuk tunas dan pada akhirnya menjadi
tanaman sempurna. Untuk proses pembesaran, planlet yang telah dihasilkan
tersebut dipindahkan kembali ke media HP untuk periode kultur yang sama hingga
siap diaklimatisasi.
induksi PLBs. Penelitian Santarem et al. (1997) juga mendapatkan hasil yang sama
dengan percobaan pada spesies (Glycine max kult. Jack) dan jenis bahan tanam
(kotiledon) yang berbeda. Dalam penelitian tersebut, media perlakuan dengan pH 7
merupakan tingkat keasaman media yang paling sesuai dengan hasil 100 % eksplan
berespon menghasilkan embrio somatik, dengan rata-rata 44.2 embrio somatik
dihasilkan setiap eksplan.
Tingkat keasaman media (pH) memiliki peranan penting baik in-vitro maupun
in-vivo. Perubahan pH media mungkin memiliki pelbagai dampak yang dapat
memengaruhi hasil dan perkembangan tanaman (George et al. 2008). Tanpa
pengaturan pH, ionisasi senyawa asam dan basa mengalami perubahan struktur
yang dapat memengaruhi fungsinya pada tingkat seluler (Sakano 1990). Sebagai
ilustrasi, pH media pada induksi embriogenesis berhubungan dengan tingkat
penyerapan auksin oleh jaringan (Santarem et al. 1997). Pada koleoptil jagung
terjadi peningkatan penyerapan auksin seiring menurunnya pH (Edwards dan
Goldsmith 1980), sedangkan jika pH ditingkatkan (dalam inisiasi embriogenesis
somatik) maka tingkat penyerapan auksin akan lebih lambat dan bertahap
(Santarem et al. 1997). Walaupun pengaruh pH terhadap penyerapan auksin telah
dijelaskan dengan baik, namun informasi mengenai pengaruh pH terhadap
penyerapan sitokinin oleh tanaman masih belum diketahui.
3.3.3 Pengaruh TDZ dan PVP dalam Proliferasi PLBs Phalaenopsis amabilis
Tujuan dari pemotongan bagian apikal PLBs pada percobaan ini adalah untuk
mencegah dominasi apikal pada eksplan. Pada penelitian Huang et al. (2014),
pemotongan bagian apikal PLBs yang ditanam dengan posisi basal kontak dengan
media kultur membentuk sekumpulan sel yang memiliki struktur granul pada PLBs
yang dilukai saat usia 2 minggu, dan banyak PLBs sekunder yang muncul dari
lapisan epidermal sekitar daerah perlukaan. Pada percobaan ini, sebagian besar
PLBs juga muncul dari daerah sekitar perlukaan (Gambar 3.2b; tanda panah).
Pengaruh nyata ditunjukkan oleh perlakuan PVP terhadap peubah persentase
eksplan membentuk PLBs sekunder. Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel
3.3, perlakuan 0.5 g/l PVP memperoleh persentase eksplan menghasilkan PLBs
22
Tabel 3.3 Pengaruh konsentrasi TDZ, PVP, dan Interaksi TDZ dan PVP
dalam proliferasi PLBs P. amabilis pada usia 8 MST
Gambar 3.2 Perkembangan PLBs P. amabilis pada media 0.5 g/l PVP+1 mg/l
TDZ usia 0 MST (a), 6 MST (b), 8 MST (c), dan 34 MST (d).
MST: minggu setelah tanam; garis pada gambar (a, b, c): 1 mm,
garis pada gambar (d): 10 mm.
sekunder lebih tinggi (97.23%) dari perlakuan tanpa PVP (87.98%). Rendahnya
persentase eksplan yang menghasilkan PLBs pada media perlakuan tanpa
penambahan PVP diduga berkaitan dengan peristiwa pencoklatan media.
Pencoklatan (browning) media terjadi hampir di seluruh media perlakuan tanpa
penambahan PVP pada percobaan ini. Menurut Ahmad et al. (2013), peristiwa
pencoklatan media dapat menyebabkan terhambatnya penyerapan nutrisi pada dan
pada akhirnya dapat menyebabkan kematian.
23
Gambar 3.3 Representasi hasil analisis molekuler klon P. amabilis pada lokus
SNP Pto-52 (a), Pto-72 (b), Pto-355 (c). *Nomor klon yang
memiliki profil SNP berbeda dengan profil SNP mayoritas; L:
ladder; ref: alel referensi; alt: alel alternatif.
Simpulan
molekuler yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa metode kultur yang
digunakan dapat menyebabkan perubahan basa pada lokus tertentu pada fragmen
gen Pto. Karena perubahan basa terjadi pada lokus SNP dari gen yang berperan
dalam mekanisme ketahanan tanaman, maka metode kultur jaringan yang
digunakan bisa saja memengaruhi tingkat ketahanan tanaman terhadap penyakit
bila perubahan basa tunggal tersebut menyebabkan perubahan residu asam amino
hasil translasi.
Daftar Pustaka
Gow WP, Chen JT, Chang WC. 2008. Influence of growth regulators on direct
embryo formation from leaf explants of Phalaenopsis orchids. Acta Phsyol
Plant. 30:507-512.
Haberer G. Kieber JJ. 2002. Cytokinins. New insights into a classic phytohormone.
Plant Physiol.128: 354–362.
Handoyo F. 2010. Orchids of Indonesia. Jakarta (ID): Indonesian Orchid Society.
Huang YW, Tsai YJ, Cheng TC, Chen JJ, Chen FC. 2014. Physical wounding and
ethylene stimulated embryogenic stem cell proliferation and plantlet
regeneration in protocorm-like bodies of Phalaenopsis orchids. Gen and Mol
Research. 13 (4): 9543-9557.
Khoddamzadeh AA , Sinniah UR, Kadir MA, Kadzimin SB, Mahmood M,
Sreeramanan S. 2010. Detection of somaclonal variation by random amplified
polymorphic DNA analysis during micropropagation of Phalaenopsis bellina
(Rchb.f.) Christenson. African J of Biotech. 9(40): 6632-6639.
Khoddamzadeh AA. Sinniah UR. Kadir MA, Kadzimin SB, Mahmood M,
Sreeramanan S. 2011. In vitro induction and proliferation of protocorm- like
bodies (PLBs) from leaf segments of Phallaenopsis bellina (Rchb.f.)
Christenson. Plant Growth Regul.65:381-387.
Knudson L. 1946. A new nutrient solution for germination of orchid seed. American
Orchid Society Bulletin.15: 214-217.
Kuo HL, Chen JT, Chang WC. 2005. Efficient plant regeneration through direct
somatic embryogenesis from leaf explants of Phalaenopsis ‘Little Steve’. In
Vitro Cell Dev Biol Plant. 41: 453–456.
Park SY, Murthy HN, Paek KY. 2000. Mass multiplication of protocorm-like
bodies using bioreactor system and subsequent plant regeneration
in Phalaenopsis. Plant Cell Tissue Organ Cult. 63: 67–72.
Park SY, Shin KS, Paek KY. 2006. Increased ethylene and decreased phenolic
compounds stimulate somatic embryo regeneration in leaf thin section
cultures of Doritaenopsis Hybrid. Journal of Plant Biology. 49(5): 358-363.
Raynalta E, Sukma D. 2013. Pengaruh komposisi media dalam perbanyakan
protocorm like bodies, pertumbuhan planlet, dan aklimatisasi Phalaenopsis
amabilis. J Hort Indonesia. 4(3):131-139.
Ru Z, Lai Y, Xu C, Li L. 2013. Polyphenol oxidase (PPO) in early stage of browning
of Phalaenopsis leaf explants. Journal of Agricultural Science. 5(9): 57-64.
Sakano K. 1990. Proton/phosphate steichiometry in uptake of inorganic phosphate
by cultured cells of Catharanthus roseus (L.) G. Don. Plant Physiol. 93:
479−483.
Samarfard S, Kadir MA, Kadzmin SB, Ravanfar SA, Saud HM. 2013. Genetic
stability of in vitro mmultiplied Phalaenopsis gigantea protocorm-like bodies
as affected by chitosan. Not Bot Horti Agrobo. 41(1):177-183.
Samarfard S, Kadir MA, Kadzmin SB, Saud HM, Ravanfar SA, Danaee M. 2014.
In vitro propagation and detection of somaclonal variation in Phalaenopsis
gigantea as affected by chitosan and thidiazuron combination. Hort Sci. 49
(1): 82-88.
Santarem ER, Pelissier B, Finer AJ. 1997. Effect of explant orientation, pH,
solidifying agent and wounding on initiation of soybean somatic embryos. In
Vitro Cell Dev Biol. 33:13-19.
27
Abstrak
Abstract
Pendahuluan
marka SNAP juga telah digunakan untuk marka terkait warna bunga (Handini 2014;
Haristianita 2017).
Marka molekuler berbasis DNA juga dapat digunakan untuk studi filogenetik
dan identifikasi varietas (Tang dan Chen 2007). Penelitian untuk studi filogenetik
pada Phalaenopsis telah dilakukan oleh Fu et al. (1997) dengan menggunakan
marka RAPD, Fatimah dan Sukma (2011) menggunakan marka mikrosatelit,
Handini (2014) menggunakan marka SNAP untuk analisis keragaman genetik
berbasis gen CHS, dan Elina (2016) menggunakan marka SNAP untuk analisis
keragaman genetik berbasis gen Pto.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendesain primer SNAP berdasarkan
sekuen gen Pto dari 20 genotipe Phalaenopsis dari penelitian Elina (2016), evaluasi
efektifitas pasangan primer SNAP dalam menghasilkan produk PCR, evaluasi
jumlah primer SNAP efektif dalam mengakses keragaman 27 genotipe
Phalaenopsis spesies dan populasi zuriat hasil persilangan antara Phalaenopsis.
bellina “B1(11)” x Phalaenopsis. Salu Spot “SP (12)”, serta analisis keragaman
genetik 27 genotipe Phalaenopsis spesies dan populasi zuriat hasil persilangan
antara P. bellina “B1(11)” x P. Salu Spot “SP (12)” berbasis gen Pto.
memilih menu ‘SNAP Program’, ‘Sign In’ dengan memasukkan email pengguna
yang baru pertama kali mengakses situs ini, kemudian runutan nukleotida dengan
dengan situs SNP target yang akan dievaluasi dan beberapa parameter yang
dibutuhkan dimasukkan kotak dialog yang tersedia. Situs SNP target ditandai
sebagai [X/Y], dimana X merupakan nukleotida untuk alel referensi dan Y adalah
nukleotida untuk alel alternatif (Sutanto 2014; Elina 2016).
Hasil desain primer yang dikirim melalui pesan elektronik oleh WebSNAPER
kemudian diseleksi sepasang primer untuk alel referensi dan sepasang untuk alel
alternatif. Setelah primer diperoleh dan dipilih sesuai dengan jumlah situs SNP,
primer dipesan dengan memanfaatkan jasa perusahaan pembuat primer. Primer
SNAP yang telah dipesan, kemudian diuji untuk memperoleh produk amplifikasi
dengan menggunakan DNA genom Phalaenopsis spesies.
(2016). Pada sekuen fragmen gen Pto yang disejajarkan tersebut sebenarnya masih
terdapat beberapa situs SNP potensial lainnya, namun posisi situs SNP tersebut
tidak memenuhi syarat yang dikemukakan Sutanto (2014) bahwa paling tidak
terdapat 25 basa nukleotida di sekitar situs SNP yang akan digunakan dalam
mendesain primer. Primer SNAP pada percobaan ini dibuat berdasarkan 18 situs
SNP terpilih. Berdasarkan tipe perubahan basanya, 18 situs SNP terpilih tersebut 3
di antaranya bersifat synonymous dan 15 lainnya bersifat non-synonymous. Dari
hasil desain primer menggunakan perangkat lunak online webSNAPER diperoleh
18 set primer SNAP (reference dan alternate) yang dapat mengamplifikasi produk
PCR berkisar antara 205 hingga 297 pasang basa nukleotida (Lampiran 1).
Gradien suhu dilakukan sebagai langkah awal untuk menentukan suhu
optimum reaksi PCR masing-masing pasangan primer (forward dan reverse).
Berdasarkan hasil elektroforesis, suhu optimum reaksi PCR ditunjukkan oleh
kemunculan pita yang jelas (clear band). Sebagai contoh, hasil gradien terhadap
primer SNAP lokus Pto-340 menghasilkan pita paling jelas pada Ta (temperature
annealing) 56.2o C (Gambar 4.1). Pita juga muncul pada nilai suhu lainnya, namun
hasilnya tidak sejelas pita yang muncul pada pengaturan Ta 56.2o C. Berdasarkan
gambar tersebut, pada suhu yang lebih rendah terlihat adanya smear pada pita hasil
elektroforesis. Hal tersebut diduga terjadi akibat suhu anealing yang tidak tepat,
Tabel 4.2 Nilai heterozigositas dan polimorfisme tiap lokus berdasarkan data
kodominan pada 27 genotipe Phalaenopsis spesies
Lokus
SNP N Naa PIC Ne Ho He
Pto-52 27 3 0.469 2.30 0.59 0.57
Pto-72 27 2 0.372 1.98 0.89 0.49
Pto-79 27 2 0.366 1.93 0.74 0.48
Pto-94 27 2 0.352 1.84 0.70 0.46
Pto-181 27 2 0.366 1.93 0.30 0.48
Pto-220 27 2 0.256 1.43 0.15 0.30
Pto-223 27 2 0.200 1.29 0.19 0.23
Pto-229 27 2 0.375 2.00 1.00 0.50
Pto-241 27 2 0.372 1.98 0.81 0.49
Pto-292 27 3 0.357 1.72 0.33 0.42
Pto-340 27 2 0.310 1.62 0.37 0.38
Pto-349 27 3 0.468 2.29 0.33 0.56
Pto-380 27 2 0.375 2.00 0.81 0.50
Pto-424 27 2 0.366 1.93 0.74 0.48
Pto-37 27 3 0.294 1.47 0.22 0.32
Pto-64 27 2 0.372 1.98 0.67 0.49
Pto-127 27 2 0.330 1.72 0.59 0.42
Pto-355 27 2 0.352 1.84 0.63 0.46
a
Nilai Na> 2 mengindikasikan bahwa lokus tersebut bukan lokus bi-allelic berdasarkan populasi
yang diuji. N: jumlah individu yang diuji; Na: jumlah alel yang berbeda; PIC: Polymorphism
Information Content; Ne: jumlah alel yang efektif, Ho: nilai heterozigositas pengamatan; He:
nilai heterozigositas harapan.
34
sehingga primer dapat menempel pada lokasi yang tidak spesifik. Pesik et al. (2017)
menyatakan bahwa suhu dan konsentrasi primer sangat besar pengaruhnya dalam
proses amplifikasi produk PCR. Apabila Ta terlalu rendah, maka akan dihasilkan
produk amplifikasi yang tidak spesifik. Apabila suhu terlalu tinggi, maka produk
PCR tidak dihasilkan. Dari hasil elektroforesis produk gradien pada penelitian ini,
36 pasang primer (18 set) yang digunakan pada percobaan ini mampu menghasilkan
pita sesuai dengan ukuran produknya masing-masing.
Reaksi PCR dilakukan terhadap isolat DNA genom 27 genotipe Phalaenopsis
spesies menggunakan 36 pasang primer (18 set) yang telah dievaluasi suhu
anealingnya (Ta). Data yang diperoleh dari visualisasi hasil elektroforesis
dikonversi ke data biner berdasarkan kemunculan pita pada masing-masing lokus.
Data biner kemudian dikonversi menjadi data alelik agar dapat dianalisis. Pada
percobaan ini analisis data dilakukan dengan memanfaatkan perangkat lunak
CERVUS 2.0 untuk menentukan nilai PIC (Elina 2016), GenAlEx 6.502 untuk
menentukan nilai heterozigositas, serta DARwin 6.0.14 untuk analisis faktorial dan
filogenetik (Haristianita 2017).
Pada lokus SNP yang diuji menggunakan marka SNAP terdapat lokus yang
diduga memiliki alel lebih dari 2, yakni lokus Pto-52, Pto-292, Pto-349, dan Pto-
37. Adanya lokus berbeda tersebut ditunjukkan dengan tidak munculnya pita alel
reference maupun alternate saat visualisasi hasil elektroforesis hasil PCR pada
lokus tertentu. Nilai Ne merupakan invers jumlah dari kuadrat frekuensi alel
(Brown dan Weir 1983). Nilai Ne masing-masing lokus pada populasi dalam
percobaan ini berkisar antara 1.47 hingga 2.30. Apabila nilai Ne makin dekat
dengan nilai Na maka dapat dikatakan bahwa frekuensi masing-masing alel dalam
suatu lokus berada dalam posisi yang makin setimbang pula. Dari nilai Na dan Ne
yang disajikan pada Tabel 4.2, populasi yang diuji berdasarkan 18 lokus SNP
bersifat di-alelik atau lebih (pada beberapa lokus) yang kemudian frekuensinya
tergambar dari nilai Ne.
Nilai Ho mengindikasikan frekuensi genotipe atau pasangan alel heterozigot
tiap lokus yang dapat dihitung dengan cara membagi jumlah individu bergenotipe
heterozigot dengan jumlah individu dalam satu populasi. Menurut Shete et al.
(2000), heterozigositas merupakan peluang dari suatu individu yang diambil secara
acak bersifat heterozigot. Pada percobaan ini, nilai Ho paling tinggi dihasilkan oleh
lokus SNP no. 229 dengan nilai 1.00, sementara yang paling rendah dihasilkan
lokus SNP no. 220 dengan nilai 0.15. Nilai Ho yang tinggi mengindikasikan bahwa
populasi pada lokus SNP tersebut memiliki genotipe heterozigot yang tinggi pula.
Hasil perbandingan antara nilai Ho dengan He (dihitung dengan cara mengurangkan
1 dengan jumlah kuadrat frekuensi alel) pada percobaan ini menunjukkan bahwa
terdapat 11 lokus yang menghasilkan nilai Ho yang lebih tinggi dari nilai He.
Menurut Haristianita (2017), lokus yang memiliki nilai Ho lebih tinggi dari nilai He
mengindikasikan bahwa heterozigositas suatu lokus tinggi.
Nilai PIC dalam populasi berdasarkan masing-masing lokus yang diuji
menunjukkan rentang nilai antara 0.200-0.469. Nilai PIC memiliki rentang antara 0
hingga 1 (Elina 2016). Besaran nilai PIC tersebut sangat dipengaruhi oleh jumlah
alel yang terlibat atau tersedia pada lokus tertentu dalam populasi uji. Nilai PIC
tersebut, pada dasarnya berguna untuk menentukan status keinformatifan suatu
marka SNAP yang digunakan (Haristianita 2017). Berdasarkan simulasi yang
dilakukan Shete et al. (2000), dalam kondisi frekuensi alel setimbang, nilai PIC
35
pada lokus dengan 2 alel bernilai 0.375 dan 3 alel bernilai 0.5926. Jika merujuk
pada nilai PIC yang disajikan pada Tabel 4.2 , maka dapat dikatakan sebagian besar
marka yang digunakan bersifat informatif.
Sebagai bahan pertimbangan tambahan dalam pemilihan marka, maka
dilakukan analisis faktorial untuk mengetahui persentase total keragaman yang
dapat dievaluasi dengan marker. Berdasarkan hasil analisis yang disajikan pada
Tabel 4.3, persentase total keragaman yang dapat dievaluasi dengan 18 marka
SNAP adalah 85.57 %. Persentase total keragaman yang dapat diakses (85.57%)
tersebut sebenarnya sudah dapat diakses hanya dengan menggunakan 15 marka
SNAP saja.
Studi genetik juga dapat dilakukan dengan pendekatan klustering atau
pengelompokan berdasarkan indeks disimilaritas suatu data genotipe untuk
memisahkan individu-individu berdasarkan tingkat kekerabatnnya. Pembagian
grup dalam populasi dapat pula dilihat berdasarkan jarak persamaan atau perbedaan
alel dalam sekuen antar individu menggunakan perhitungan alogaritma disimilaritas
(Haristianita 2017). Berdasarkan hasil analisis filogenetik pada percobaan ini
(Gambar 4.2), secara umum individu-individu Phalaenopsis spesies yang diuji
terbagi ke dalam 3 kelompok utama (I, II, III). Kelompok I dapat dibagi menjadi 2
subkelompok (a,b), begitu juga dengan kelompok 2. Apabila pengelompokan
berdasarkan marka SNAP berbasis gen Pto pada penelitian ini disandingkan dengan
pengelompokan berdasarkan klasifikasi berdasarkan karakter morfologi yang
36
PCO
PZE
PAM
PVD PCE
PJA PCC
PG
PPA PBE PPU
PMO
PTE
PLA PFI
PFL
PVI
PAP PAJ
PCCR PRO
PVM
PPL PAK
PST
PSC
PLU
0 0.1
diajukan oleh Christenson (2001), hasil penelitian ini tidak dapat mengelompokkan
spesies-spesies tersebut berdasarkan subgenus maupun section-nya. Hal tersebut
diduga disebabkan oleh karena marka yang digunakan dalam penelitian ini hanya
didasarkan pada perbedaan SNP pada satu gen saja, yakni Pto. Walaupun penelitian
ini belum dapat mengelompokkan spesies berdasarkan subgenusnya, namun
kompleks spesies Phalaenopsis amabilis yang dikemukakan Tsai et al. (2015),
yakni P. amabilis “Jawa Barat”, P. amabilis “Kalimantan”, P. amabilis “Papua”, P.
amabilis “Pelaihari”, dan P. aphrodite telah mengelompok dalam kelompok II.
Tabel 4.4 Profil genotipe P. bellina “B1(11)” dan P. Salu Spot “SP (12)” pada
9 lokus SNP berdasarkan marka SNAP
Lokus SNP Nama tetua Genotipe Zuriat
Pto-181 P. bellina C T
P. Salu Spot C T F2 intercross
Pto-223 P. bellina C C
P. Salu Spot C G BC1
Pto-229 P. bellina C T
P. Salu Spot C T F2 intercross
Pto-241 P. bellina G G
P. Salu Spot G C BC1
Pto-292 P. bellina T C
P. Salu Spot T C F2 intercross
Pto-349 P. bellina T C
P. Salu Spot T C F2 intercross
Pto-380 P. bellina T C
P. Salu Spot T C F2 intercross
Pto-424 P. bellina G G
P. Salu Spot A G BC1
Pto-355 P. bellina C T
P. Salu Spot C T F2 intercross
Tabel 4.5 Nilai heterozigositas dan polimorfisme tiap lokus berdasarkan data
kodominan pada 39 individu zuriat hasil persilangan antara P. bellina
“B1(11)” dan P. Salu Spot “SP (12)”
Lokus SNP N Na PIC Ne Ho He
Pto-181 41 2.000 0.374 1.995 0.756 0.499
Pto-223 41 2.000 0.275 1.490 0.415 0.329
Pto-229 41 2.000 0.375 2.000 0.951 0.500
Pto-241 41 2.000 0.339 1.764 0.634 0.433
Pto-292 40 2.000 0.365 1.923 0.300 0.480
Pto-349 41 2.000 0.374 1.995 0.951 0.499
Pto-380 41 2.000 0.370 1.958 0.805 0.489
Pto-424 41 2.000 0.368 1.943 0.829 0.485
Pto-355 39 2.000 0.335 1.742 0.462 0.426
N: jumlah individu yang diuji; Na: jumlah alel yang berbeda; PIC: Polymorphism Information
Content; Ne: jumlah alel yang efektif; Ho: nilai heterozigositas pengamatan; He: nilai
heterozigositas harapan.
“B1(11)” dan P. Salu Spot “SP (12). Data yang diperoleh kemudian dianalisis
untuk mendapatkan nilai heterozigositas dan polimorfisme populasi berdasarkan
lokus SNP terpilih. Selain 39 individu populasi zuriat persilangan, kedua tetuanya
juga diikutkan dalam analisis data. Seluruh Na pada percobaan ini bernilai dua.
Hal tersebut disebabkan karena individu yang tidak menghasilkan pita pada alel
reference dan alternate dianggap sebagai data hilang. Heterozigositas populasi
memiliki nilai yang relatif tinggi pada sebagian besar lokusnya. Nilai PIC yang
diperoleh dari setiap lokus pada percobaan ini juga tergolong tinggi.
Berdasarkan analisis faktorial yang dilakukan pada percobaan ini (Tabel 4.6),
ke-9 marka SNAP yang digunakan mampu mengakses sebesar 75,42 % keragaman
dalam populasi. Berdasarkan nilai tersebut, berarti dapat dikatakan bahwa masih
terdapat 24,58% keragaman yang belum dapat diakses oleh 9 marka tersebut. Oleh
karena itu, perlu didesain primer lain yang informatif agar persentase keragaman
yang dapat diakses oleh marka lebih tinggi.
Salah satu alasan digunakannya populasi bersegregasi pada percobaan ini
ialah untuk mengetahui dan mempelajari pola segregasi masing-masing lokus SNP
dari fragmen gen Pto. Pola segregasi tersebut perlu diketahui karena sangat
berkaitan dengan pola pewarisan sifat dari tetua ke zuriatnya melalui perkawinan.
Berdasarkan hasil percobaan ini, segregasi pada sebagian besar lokus sifatnya tidak
memenuhi nisbah Mendel. Pada percobaan ini hanya terdapat 2 lokus yang
memenuhi nisbah Mendel pada taraf α 0.05, yakni lokus 223 dan 241 (Tabel 4.7).
Nisbah mendel tidak terpenuhi pada kebanyakan lokus diduga diakibatkan oleh
jumlah individu populasi yang diuji terlalu sedikit.
Untuk membuktikan apakah ada keterpautan antar lokus yang diujikan, maka
perlu dilakukan konfirmasi berdasarkan data haplotipe tetua yang kemudian
dibandingkan dengan pohon filogenetik yang dihasilkan menggunakan pendekatan
complete linkage hierarchial clustering. Karena data haplotipe tetua melalui
sekuensing tidak tersedia, maka pada percobaan ini digunakan asumsi. Haplotipe
adalah kelompok alel pada lokus yang terhubung erat yang biasanya diwariskan
bersama-sama (Jehan dan Lakhanpaul 2006). Apabila tanaman induk yang
digunakan diasumsikan keduanya diploid dan heterozigot, maka kedua tetua
39
Tabel 4.7 Analisis khi-kuadrat pada 9 lokus SNP populasi zuriat hasil
persilangan antara P. bellina “B1(11)” dan P. Salu Spot “SP (12)
Lokus SNP Genotipe Observasi(o) Harapan(e) (o-e)2/e X2 hit Kesimpulana
Pto-181 CC 4 9.75 3.39 9.46 Tolak H0
CT 29 19.50 4.63
TT 6 9.75 1.44
Pto-223 CC 23 19.50 0.63 1.26 Terima H0
CG 16 19.50 0.63
Pto-229 CC 1 9.75 7.85 31.41 Tolak H0
CT 37 19.50 15.71
TT 1 9.75 7.85
Pto-241 CG 25 19.50 1.55 3.10 Terima H0
CC 14 19.50 1.55
Pto-292 TT 18 9.50 7.61 11.89 Tolak H0
TC 10 19.00 4.26
CC 10 9.50 0.03
Pto-349 TT 2 9.75 6.16 31.62 Tolak H0
TC 37 19.50 15.71
CC 0 9.75 9.75
Pto-355 TT 18 9.25 8.28 12.84 Tolak H0
TC 16 18.5 0.34
CC 3 9.25 4.22
Pto-380 TT 7 9.75 0.78 15.41 Tolak H0
TC 31 19.50 6.78
CC 1 9.75 7.85
Pto-424 GG 6 19.50 9.35 18.69 Tolak H0
AG 33 19.50 9.35
a
Pengujian hipotesis pada α 0.05. Nilai X2 tabel: 3.841 (db=1) atau 5.991 (db=2); db: derajat
bebas.
Gambar 4.3 Pohon filogenetik populasi zuriat hasil persilangan dan tetua
berdasarkan 9 lokus marka SNAP terpilih dengan pendekatan
Weighted Neighbor Joining (topologi)
dasar pengelompokan individu terhadap karakter tertentu, dalam hal ini karakter
ketahanan terhadap penyakit busuk lunak. Walaupun individu-individu dalam
percobaan ini belum diuji respon ketahanannya, namun pada penelitian Haristianita
(2017), marka SNAP telah berhasil mengelompokkan karakter warna bunga dengan
ciri khas yang sama.
Simpulan
Daftar Pustaka
Gogol K, Raju das, Yonzone R. 2012. Diversity and distribution of the genus
Phalaenopsis Blume (Orchidaceae) in Assam, India. Sci Res Rep. 2(3): 260-
264.
Handini AS. 2014. Analisis keragaman morfologi dan biokimia pada anggrek
Phalaenopsis serta analisis keragaman genetik dengan marka SNAP. [tesis].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Haristianita MD. 2017. Gen terkait warna bunga: pemanfaatannya untuk
pengembangan marka molekuler dan analisis genetik warna bunga
Phalaenopsis [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Jehan T, Lakhanpaul S. 2006. Single nucleotide polymorphism (SNP)-methods and
applications in plant genome: a review. Indian Journal of Biotechnology.
5:453-459.
Kumar P, Gupta VK, Misra AK, Modi DR, Pandey BK. 2009. Potential of
molecular markers in plant biotechnology. Plant Omics, 2(4):141-162.
Pesik A, Efendi D, Novarianto H, Dinarti D, Sudarsono S. 2017. Development of
SNAP markers based on nucleotide variability of WRKY genes in coconut
and their validation using multiplex PCR. Biodiversitas. 18(2): 465-475.
Shete S, Tiwari H, Elston RC. 2000. On Estimating the Heterozygosity and
Polymorphism Information Content Value. Theoretical Population Biology
57:265-271.
Sutanto A. 2014. Karakterisasi molekuler ketahanan beberapa kultivar pisang
(Musa spp.) terhadap penyakit layu panama (Fusarium oxysporum f.sp.
cubense) [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Tang CY, Chen WH. 2007. Breeding and development of new varietes in
Phalaenopsis, Di dalam: Chen WH, Chen HH, editor. Orchid Biotechnology.
Singapura (SG): World Sci.
Tsai CC, Chou CH, Wang HV, Ko YZ, Chiang TY, Chiang YC. 2015.
Biogeography of the Phalaenopsis amabilis species complex inferred from
nuclear and plastid DNAs. BMC Plant Biology. 15:202.
43
Abstrak
Penyakit busuk lunak (soft rot) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
bakteri patogen Dickeya dadantii. Penyakit ini telah menyebabkan kerugian yang
sangat besar dalam industri anggrek. Penelitian ini bertujuan menguji pengaruh
galur isolat bakteri, konsentrasi bakteri, dan volume suspensi bakteri dalam
menimbulkan gejala penyakit busuk lunak terhadap potongan daun (leaf disk)
Phalaenopsis amabilis. Penelitian terdiri atas dua percoban, yakni pengujian
pengaruh konsentrasi dan galur isolat terhadap gejala busuk lunak pada
Phalaenopsis amabilis dan pengujian pengaruh volume dan inokulum bakteri
terhadap gejala busuk lunak pada Phalaenopsis. Berdasarkan hasil penelitian ini,
didapatkan 1 galur bakteri yang dapat menimbulkan gejala busuk lunak.
Konsentrasi bakteri tanpa pengenceran (10-0) paling efektif dalam menyebabkan
kebusukan daun Phalaenopsis amabilis. Volume inokulum yang lebih tinggi dapat
meningkatkan diameter gejala busuk lunak. Hasil percobaan ini digunakan sebagai
dasar metode inokulasi pada bab selanjutnya.
Kata kunci: busuk lunak, Dickeya dadantii, inokulasi bakteri, leaf disk,
Phalaenopsis amabilis
Abstract
Pendahuluan
Penyakit busuk lunak (soft rot) merupakan salah satu faktor pembatas dalam
kegiatan budidaya anggrek. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri patogen
Dickeya dadantii (Samson et al. 2005) yang awalnya diklasifikasikan sebagai
Erwinia chrysantemii pv. dadantii. Penyakit busuk lunak pada anggrek telah
menyebabkan kerugian yang besar dalam kegiatan budidaya anggrek. Kerugian
secara ekonomi yang diakibatkan bakteri patogen ini biasanya terjadi pada saat
kondisi lingkungan mendukung siklus hidup bakteri ini, seperti suhu udara yang
relatif panas dikombinasikan dengan kelembaban yang tinggi (McMillan et al.
2007). Menurut Lee et al. (1999), penanaman anggrek yang terlalu padat dengan
sirkulasi udara yang buruk juga dapat menjadi faktor pendukung timbulnya
serangan penyakit ini.
Penyakit ini diketahui telah menyerang banyak kebun anggrek di seluruh
dunia (Keith et al. 2005), seperti di Korea (Lee et al. 1999) dan Amerika Serikat
(McMillan et al. 2007). Di Indonesia, penyakit ini telah menyerang beberapa
kebun anggrek di Jawa Barat dan Yogyakarta (Joko et al. 2011; Hanudin dan
Rahardjo 2012). Saat ini belum ada laporan mengenai nilai kerugian secara
ekonomis yang ditimbulkan penyakit ini di Indonesia, namun berdasarkan survey
yang dilakukan Joko et al. (2011) pada tujuh lokasi di Jawa Barat dan Yogyakarta,
penyakit ini dapat menyerang tanaman anggrek Phalaenopsis dengan tingkat
kejadian serangan penyakit hingga 100% dan intensitas serangan hingga 46.2 %.
Gejala umum yang ditimbulkan dari infeksi Dickeya dadantii atau yang
dikenal dengan sebutan busuk lunak pektinolitik Erwinia, ditandai dengan
kerusakan cepat jaringan parenkima yang terutama disebabkan oleh enzim pektik
(Hugouvieux-Cotte-Pattat et al. 1996). Enzim pektolitik merupakan komponen
penting di dalam patogenisitas yang mampu mendegradasi pektat (Rianawati 2010).
Bakteri masuk ke jaringan tanaman melalui lubang alami atau lubang yang
disebabkan oleh luka, kemudian menginfeksi daun, lalu memperbanyak diri pada
ruang intraseluler dengan bantuan enzim pektolitik. Dengan bantuan enzim ini,
bakteri dapat mendegradasi dinding sel tanaman sehingga jaringan tanaman yang
terserang menjadi busuk (Elina 2016).
Untuk mengetahui tingkat virulensi bakteri, maka perlu dilakukan pengujian
pengaruh jenis galur bakteri patogen, konsentrasi, dan volume suspensi bakteri
dalam menginfeksi tanaman uji. Penelitian mengenai pengaruh konsentrasi dan
jenis isolat bakteri Dickeya dadantii sebelumnya telah dilakukan Elina (2016),
namun pengujian ulang perlu dilakukan kembali mengingat isolat bakteri yang
digunakan berasal dari sumber yang berbeda.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh galur isolat bakteri,
konsentrasi bakteri, dan volume suspensi bakteri dalam menimbulkan gejala
penyakit busuk lunak terhadap potongan daun (leaf disk) Phalaenopsis amabilis.
5.2.4 Pengaruh Konsentrasi dan Galur Isolat terhadap Gejala Busuk Lunak
pada Phalaenopsis amabilis
Bahan tanaman yang digunakan pada percobaan ini adalah potongan daun
kedua P. amabilis yang berukuran 2 x 2 cm. Percobaan ini menggunkanan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) 2 faktor perlakuan, yakni 4 taraf konsentrasi
bakteri dan 2 galur bakteri. Percobaan diulang 3 kali sehingga terdapat 24 satuan
percobaan. Masing-masing satuan percobaan terdiri atas 3 potongan daun, sehingga
terdapat 72 potongan daun. Setiap potongan daun ditusuk bagian tengahnya (dilukai
bagian epidermisnya) dengan jarum berdiameter 0.9 mm, kemudian ditetesi
suspensi bakteri sebanyak 10 µl sesuai dengan jenis dan konsentrasi masing-
masing perlakuan dengan menggunakan pipet mikro. Potongan daun yang telah
diberi perlakuan diinkubasi diatas spons lembab dalam kotak plastik tertutup
dengan suhu 27±2o C dan kelembaban relatif 75±5%.
46
Gambar 5.1 Isolasi bakteri menggunakan metode gores kuadran (a); perbanyakan
bakteri galur 1(b) dan galur 2(c); hasil pengujian inokulan terhadap
potongan daun P. amabilis pada 5 hari setelah inokulasi menggunakan
galur bakteri 1(d) dan galur bakteri 2 (e)
47
pada media NA yang baru (Gambar 5.1b dan 5.1c). Didapatkan 6 galur bakteri dari
hasil pemurnian tersebut. Berdasarkan pengujian terhadap daun planlet P. amabilis
hasil kultur jaringan (meneteskan 10 µl larutan bakteri pada luka tusukan)
didapatkan 1 galur bakteri yang dapat menginfeksi potongan daun planlet P.
amabilis (Gambar 5.1b, d)
Berdasarkan hasil pengujian awal yang dilakukan terhadap daun planlet P.
amabilis, gejala yang ditimbulkan oleh inokulum bakteri galur 1 mulai terlihat 1
hari setelah inokulasi (HSI) dan terus meluas hingga 3 HSI. Setelah 3 HSI luas
serangan mulai terhenti seiring dengan mengeringnya bagian yang terserang
(nekrosis). Pengujian awal terhadap 5 galur bakteri lainnya pada percobaan ini tidak
menunjukkan gejala kebusukan pada potongan daun planlet P. amabilis
(Gambar 5.1e).
5.3.2 Pengaruh Konsentrasi dan Galur Isolat terhadap Gejala Busuk Lunak
pada Phalaenopsis amabilis
Berdasarkan hasil pengujian awal, bakteri galur 1 digunakan sebagai bahan
inokulum. Selain itu, bakteri galur 2 juga digunakan sebagai pembanding dan
konfirmasi ulang hasil yang didapatkan pada tahap pengujian awal.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa terdapat pengaruh sangat nyata (α
0.05) konsentrasi, jenis galur isolat, dan interaksi antara konsentrasi dan jenis galur
isolat pada 24, 48, dan 72 jam setelah inkubasi (JSI) terhadap diameter gejala busuk
lunak (KK pada 24 JSI: 7.54%, 48 JSI: 6.28%, dan 72 JSI: 8.45%). Berdasarkan
Tabel 5.1 dapat terlihat bahwa perlakuan inokulasi bakteri dengan inokulum yang
berasal dari bakteri galur 2 tidak menunjukkan gejala kebusukan sama sekali pada
seluruh tingkat faktor pengenceran, sedangkan potongan daun yang diinokulasikan
dengan suspensi bakteri galur 1 menunjukkan gejala kebusukan pada faktor
pengenceran 10-0 (tanpa pengenceran) -10-3. Berdasarkan hasil penelitian ini, galur
isolat bakteri 1 tidak dapat menimbulkan gejala busuk lunak pada faktor
pengenceran 10-3 hingga waktu pengamatan 72 JSI, namun dapat menimbulkan
gejala kebusukan pada faktor pengenceran 10-0 sampai dengan faktor pengenceran
10-2. Batas konsentrasi bakteri yang dapat menginfeksi daun uji, yakni 10-2
mengindikasikan bahwa konsentrasi bakteri tersebut telah memenuhi quorum
Tabel 5.1 Pengaruh faktor pengenceran dan galur bakteri terhadap rata-rata
diameter busuk lunak (mm) leaf disk P. amabilis pada 24, 48, dan
72 JSI
Faktor Galur bakteri inokuluma
pengenceran 1 2 1 2 1 2
-24 JSI- -48 JSI- -72 JSI-
-0
10 2.13Aa 0.00Ba 2.79Aa 0.00Ba 3.02Aa 0.00Ba
10-1 1.04Ab 0.00Ba 1.24Ab 0.00Ba 1.49Ab 0.00Ba
10-2 0.34Ac 0.00Ba 0.34Ac 0.00Ba 0.39Ac 0.00Aa
10-3 0.00Ad 0.00Aa 0.00Ad 0.00Aa 0.00Ac 0.00Aa
a
Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf kecil dan pada baris dengan JSI yang sama
diikuti huruf besar yang sama tidak berbeda nyata pada α 0.05 (uji lanjut DMRT); Transformasi
data pada seluruh waktu pengamatan dengan √(x+1) dilakukan untuk memenuhi distribusi
normal; JSI: jam setelah inokulasi.
48
Gambar 5.2 Hasil inokulasi bakteri pada leaf disk P. amabilis dengan faktor
pengenceran 10-0 pada 24 JSI menggunakan isolat bakteri galur 1
(a) dan galur 2 (b); pada 48 JSI menggunakan isolat bakteri galur
1 (c) dan galur 2 (d). JSI: jam setelah inokulasi.
Tabel 5.2 Persentase leaf disk P. amabilis terserang penyakit busuk lunak
dari inokulum bakteri galur 1 pada 24, 48, dan 72 JSI
Faktor pengenceran Persentase kejadian serangan penyakit (%)
-24 JSI- -48 JSI- -72 JSI-
10-0 100.00 100.00 100.00
10-1 66.67 77.78 77.78
10-2 22.22 22.22 22.22
10-3 0.00 0.00 0.00
Gambar 5.3 Potongan daun P. amabilis pada 24 jam setelah inokulasi pada
berbagai volume inokulum bakteri D. dadantii
perlakuan volume inokulum 40 µl dengan nilai 4.03 mm (24 JSI), namun hasilnya
tidak berbeda nyata dengan perlakuan 20, dan 30 µl. Rata-rata diameter gejala
busuk lunak pada 48 JSI tertinggi dihasilkan oleh perlakuan 40 µl namun hasilnya
tidak berbeda nyata dengan perlakuan 10, 20, dan 30 µl inokulum. Data rata-rata
diameter gejala serangan penyakit busuk lunak disajikan pada Tabel 5.3.
Gejala serangan penyakit busuk lunak sudah mulai terlihat pada 24 JSI.
Munculnya gejala serangan pada percobaan ini diawali dengan adanya warna hitam
pada bagian bekas tusukan (Gambar 5.3). Perlakuan kontrol pada percobaan ini
tidak menunjukkan adanya gejala busuk lunak. Tidak adanya gejala busuk yang
muncul pada perlakuan kontrol semakin memperkuat asumsi bahwa inokulum
bakteri yang digunakan merupakan inokulum bakteri Dickeya dadantii.
Kemampuan bakteri dalam menginfeksi inangnya sangat dipengaruhi
densitas bakteri yang digunakan (Elina 2016). Walaupun volume inokulum yang
digunakan sebenarnya tidak berhubunggan dengan densitas bakteri pada saat
50
bakteri diinokulasikan pertama kali, namun penguapan air pada suspensi inokulum
yang diteteskan pada potongan daun yang terjadi seiring dengan berjalannya waktu,
secara tidak langsung diduga berperan dalam meningkatkan konsentrasi bakteri.
Peningkatan konsentrasi tersebut bisa saja membantu bakteri untuk
mengoptimalkan aktifitas metabolisme dalam menginfeksi inangnya (quorum
sensing). Selain itu, peningkatan volume inokulum yang diteteskan pada potongan
daun juga diduga berperan dalam mempertahankan kondisi lingkungan yang sesuai
bagi bakteri pada masa inkubasi. Berdasarkan hasil yang direpresentasikan dalam
gambar 10, pada 24 JSI dapat terlihat bahwa daun yang ditetesi 30 µl dan 40 µl
menunjukkan adanya larutan bakteri yang masih tersisa di atas permukaan daun.
Walaupun demikian, pengaruh volume inokulum dalam terhadap efektifitas
inokulum dalam menginfeksi tanaman inang perlu dikonfirmasi ulang, mengingat
jumlah sampel yang digunakan sedikit dan kurangnya informasi yang mendukung
asumsi ini.
Penelitian Elina (2016) menggunakan 10 µl suspensi bakteri untuk
diinokulasikan pada daun uji, namun pada percobaan ini penggunaan inokulum
dengan volume tetes 10 µl kurang efektif pada percobaan ini. Pada 24 JSI,
perlakuan yang paling efektif adalah perlakuan dengan volume tetes 40 µl, namun
pada saat inokulum ditetesi di atas permukaan daun dengan volume tersebut,
suspensi inokulum cenderung meluber ke bagian pinggir daun, sehingga
memungkinkan bakteri menginfeksi daun dari bagian pinggir yang mengalami
perlukaan juga. Penggunaan volume suspensi bakteri yang terlalu tinggi juga tidak
disarankan berkenaan dengan keakuratan data diameter gejala penyakit yang
ditimbulkan. Fu et al. (2012) menggunakan 30 μl suspensi bakteri untuk
diinokulasikan pada daun uji.
Simpulan
Daftar Pustaka
2012 Jun 21; Jakarta Selatan (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hortikultura. Hlm 275- 281.
Hugouvieux-Cotte-Pattat N, Condemine G, Nasser W, and Reverchon S. 1996.
Regulation of pectinolysis in Erwinia chrysanthemi. Annu Rev
Microbiol. 50: 213-257.
Joko T, Kiswanti D, Hanudin Subandiyah S. Occurence of bacterial soft-rot of
Phalaenopsis orchids in Yogyakarta and West Java, Indonesia. Proceeding
of Internasional Seminar on “Natural Resources, Climate Change, and Food
Security in Developing Countries; 2011 Jun 27-28; Surabaya, Indonesia.
Surabaya (ID): ISNAR. hlm 255-264.
Lee DH, Kim JH, Lee JH, Hur JS, Koh YJ. 1999. Bacterial soft rot of Dendrobium
phalaenopsis and Phalaenopsis species by Erwinia chrysanthemi. Plant
Pathol J. 15: 302-307.
McMillan RT, Palmateer A, Vendrame W. 2007. Effect of roguing on Erwinia soft
rot in commercial production with two Phalaenopsis plants per pot. Proc Fla
State Hort Soc. 120: 353-355.
Miller MB, Bassler BL. 2001. Quorum sensing in bacteria. Annu Rev Microbiol.
55:165-199.
Rianawati S. 2010. Induksi variasi somaklonal dan uji in vitro untuk perbaikan
ketahanan Phalaenopsis terhadap penyakit busuk lunak [Disertasi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Samson R, Legendre JB, Christen R, Fischer-Le SM, Achouak W, Gardan L. 2005.
Transfer of Pectobacterium chrysanthemi (Burkholder et al. 1953) Brenner
et al. 1973 and Brenneria paradisiaca to the genus Dickeya gen. nov. as
Dickeya chrysanthemi comb. nov. and Dickeya paradisiaca comb. nov. and
delineation of four novel species, Dickeya dadantii sp. nov., Dickeya
dianthicola sp. nov., Dickeya dieffenbachiae sp. nov. and Dickeya zeae sp.
nov. Intl Jrnl of Syst and Evol Micrb. 55: 1415–1427.
6 PENDUGAAN RESPON KETAHANAN 22 GENOTIPE
Phalaenopsis TERHADAP INFEKSI Dickeya dadantii
DAN EVALUASI MARKA SNAP BERDASARKAN
KARAKTER KETAHANAN
Abstrak
Kata kunci: busuk lunak, gen Pto, ketahanan tanaman, Phalaenopsis, pohon
filogenetik
Abstract
Keywords: Phalaenopsis, phylogenetic tree, plant resistance, Pto gene, soft rot
53
Pendahuluan
∑(𝑛𝑖 𝑥 𝑣)
𝐼𝑃 = 𝑥 100%
𝑍𝑥𝑁
Keterangan:
N : jumlah tanaman yang diamati,
Z : nilai skor tertinggi,
𝑛𝑖 : jumlah daun terserang dengan skor ke-i,
v : skor penyakit pada skala i.
Skor (v) dihitung berdasarkan kriteria sebagai berikut: 0= diameter gejala < 1 mm;
1= diameter gejala 1 < i < 2 mm; 3= diameter gejala 2 < i < 4 mm; 5= diameter
gejala 4 < i < 6 mm; 7= diameter gejala 6 < i < 8 mm; 9= diameter gejala > 8 mm.
Kriteria ketahanan penyakit (KK) ditentukan berdasarkan kriteria intensitas
penyakit. Tanaman dinyatakan tahan (T) jika IP antara 0 % - 20 % ; agak tahan
(AT) jika IP antara 21 % - 40 %; agak rentan (AR) jika IP antara 41`% - 60 %;
rentan (R*) jika IP antara 61 % - 80 % ; sangat rentan (SR) jika IP lebih dari 80 %.
Tabel 6.1 Rata-rata diameter busuk lunak pada 22 genotipe Phalaenopsis spesies
Jam setelah inokulasi
Genotipe
24 48 72
-diameter gejala (mm)a-
P. amabilis “Jawa Barat” 3.05bcd 3.33cde 3.77defgh
P. amabilis “Kalimantan” 2.58cdefg 4.86abcde 6.33abcdefgh
P. amabilis “Pelaihari” 3.38b 8.82ab 12.59ab
P. amboinensis 2.29fghi 7.97abcd 10.26abcde
P. aphrodite 2.96bcde 8.12abc 12.04abc
P. bellina 2.35cdefg 2.44e 10.71abc
P. celebensis 4.08a 9.14a 12.77a
P. corningiana 2.05ghi 2.11e 2.8fgh
P. cornu-cervi 2.34fghi 5.44abcde 5.92abcdefgh
P. cornu-cervi f. sanguinea 2.4efgh 8.68abc 11.08abcd
P. fimbriata 1.63hi 1.7e 1.77h
P. floresensis 2.35fghi 4.06bcde 5.27cdefgh
P. gigantea 2.04ghi 6.43abcde 8.86abcdef
P. javanica 1.85ghi 1.87e 2.05h
P. lamelligera 2.48cdef 2.58de 3.49efgh
P. modesta 2ghi 3.54cde 5.24cdefgh
P. pantherina 3.13bc 5.98abcde 8.64abcdefg
P. pulcherrima 2.26fghi 2.64de 4.32defgh
P. schilleriana 2.53defg 4.47abcde 10.29abcd
P. tetraspis 2.05ghi 2.12e 6.04bcdefgh
P. viridis 2.19fghi 2.28e 2.42gh
P. zebrina 1.75i 1.94e 2.15h
KK (%) 12.70 5.87log(x+10) 6.78log(x+10)
a
Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada α 0.05 (uji
lanjut DMRT); log(x+10) Transformasi data dengan log(x+10) dilakukan untuk memenuhi distribusi
normal; KK: koefisien keragaman.
Tabel 6.2 Kadar air dan ketebalan daun 22 genotipe Phalaenopsis spesies
Genotipe Kadar air (%)b Ketebalan (mm)a
P. zebrina 86.84 0.77fgh
P. modesta 87.43 0.54h
P. tetraspis 88.15 0.84efg
P. javanica 88.29 0.61gh
P. viridis 88.37 1.12bcde
P. corningiana 88.43 0.88efg
P. fimbriata 88.91 0.79fgh
P. pantherina 89.07 1.12bcde
P. cornu-cervi 89.89 1.26abc
P. bellina 90.93 1.10bcde
P. amboinensis 91.53 0.94def
P. floresensis 91.73 1.03cdef
P. amabilis “Pelaihari” 91.93 1.23abcd
P. gigantea 92.14 1.34ab
P. lamelligera 92.14 1.35ab
P. cornu-cervi f. Sanguinea 92.76 1.29abc
P. schilleriana 93.04 1.25abc
P. amabilis “Kalimantan” 93.19 1.31abc
P. pulcherrima 93.62 1.52a
P. celebensis 93.72 0.88efg
P. aphrodite 93.84 1.06bcdef
P. amabilis “Jawa Barat” 94.63 1.32abc
a
Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%
(uji lanjut DMRT); bUji F tidak dilakukan untuk parameter kadar air; KK hasil uji F terhadap
parameter ketebalan: 19.00%; KK: koefisien keragaman.
Ketebalan daun Phalaenopsis spesies yang diuji pada penelitian ini juga
beragam. Ketebalan daun terendah diperoleh P. modesta dengan nilai 0.54 mm,
sedangkan ketebalan daun tertinggi dihasilkan oleh P. lamelligera. Walaupun
ketebalan daun antar spesies beragam, namun tekstur dan bentuknya cenderung
sama pada genus ini. Seluruh spesies Phalaenopsis memiliki daun yang sukulen
sebagai tempat penyimpanan makanan karena anggrek ini tidak memiliki organ
penyimpanan lain seperti umbi semu (Christenson 2001).
Berdasarkan hasil perhitungan intensitas serangan penyakit yang disajikan
pada Tabel 6.3, pada 24 JSI intensitas serangan yang terjadi berkisar antara 13- 44%,
pada 48 JSI berkisar antara 13- 67%, dan pada 72 JSI berkisar antara 13- 89%.
Intensitas serangan penyakit yang diperoleh tersebut, kemudian dijadikan dasar
dalam penentuan klasifikasi ketahanan. Pada percobaan ini, kelas ketahanan
Phalaenopsis spesies cenderung berubah dari waktu pengamatan 24 JSI hingga 72
JSI. Hal tersebut diakibatkan oleh adanya beberapa spesies yang intensitas serangan
penyakitnya berubah dari waktu pengamatan satu ke waktu pengamatan lainnya
karena meluasnya diameter serangan penyakit. Sebagai contoh, P. bellina yang
Tabel 6.3 Nilai intensitas serangan penyakit (IP) dan kriteria ketahanan 22
genotipe Phalaenopsis spesies terhadap infeksi D. dadantii
Genotipe IP KK IP KK IP KK
-24 JSI- -48 JSI- -72 JSI-
P. fimbriata 13% T 13% T 13% T
P. javanica 19% T 19% T 20% T
P. corningiana 19% T 19% T 21% AT
P. zebrina 19% T 21% AT 24% AT
P. floresensis 23% AT 24% AT 29% AT
P. viridis 26% AT 26% AT 31% AT
P. tetraspis 21% AT 23% AT 33% AT
P. modesta 22% AT 27% AT 35% AT
P. pulcherrima 26% AT 31% AT 39% AT
P. lamelligera 33% AT 33% AT 41% AR
P. amabilis “Jawa Barat” 35% AT 39% AT 41% AR
P. cornu-cervi 28% AT 41% AR 44% AR
P. amabilis “Kalimantan” 32% AT 38% AT 48% AR
P. gigantea 22% AT 41% AR 54% AR
P. amboinensis 23% AT 48% AR 59% AR
P. cornu-cervi f. Sanguinea 26% AT 52% AR 59% AR
P. bellina 25% AT 29% AT 63% R
P. pantherina 32% AT 54% AR 64% R
P. schilleriana 29% AT 48% AR 67% R
P. amabilis “Pelaihari” 33% AT 68% R 70% R
P. aphrodite 33% AT 56% AR 72% R
P. celebensis 44% AR 67% R 89% SR
JSI: jam setelah inokulasi, T: tahan, AT: agak tahan, AR: agak rentan, R: rentan, SR: sangat
rentan.
59
masuk dalam kelas agak tahan pada 48 JSI kemudian masuk dalam kelas rentan
pada 72 JSI. Perubahan kelas ketahanan tersebut juga terjadi pada penelitian
sebelumnya. Pada penelitian Elina (2016) P. amboinensis yang semula
diklasifikasikan sebagai genotipe tahan pada 24 JSI berubah menjadi agak rentan
pada 48 JSI.
Pada percobaan ini, klasifikasi ketahanan anggrek yang digunakan sebagai
acuan adalah klasifikasi ketahanan yang diperoleh pada 72 JSI. Berbeda dengan
Elina (2016) yang menggunakan klasifikasi ketahanan 24 JSI sebagai acuan,
penggunaan klasifikasi ketahanan 72 JSI pada percobaan ini digunakan karena pada
waktu pengamatan tersebut sudah mencakup seluruh kelas ketahanan mulai dari
tahan dan sangat rentan. Jika hasil percobaan ini dibandingkan dengan penelitian
Elina (2016) yang menyatakan bahwa P. amboinensis termasuk resisten, pada
percobaan ini justru didapatkan bahwa P. amboinensis tergolong agak rentan. Hal
tersebut bisa saja terjadi karena perbedaan kondisi tanaman saat pengambilan
sampel uji, galur bakteri yang digunakan, konsentrasi bakteri yang digunakan, dan
kondisi lingkungan pada masa inkubasi. Perbedaan kadar air sampel uji sebagai
salah satu faktor yang berpengaruh dalam penentuan klasifikasi ketahanan dapat
dibuktikan dengan membandingkan hasil percobaan ini dengan penelitian
sebelumnya. Kadar air P. amboinensis pada penelitian Firgiyanto (2015) sebesar
87.59 % (cenderung tahan), sedangkan pada percobaan ini 91.59 % (cenderung
agak rentan). Oleh karena itu, perbedaan respon ketahanan pada spesies yang sama
bisa saja terjadi akibat perbedaan kadar air daun sampel yang digunakan.
Berdasarkan hasil percobaan ini dapat dilihat bahwa seluruh spesies yang
diklasifikasikan ke dalam kelompok tahan dan agak tahan memiliki kadar air yang
kurang dari 90%, kecuali P. floresensis dan P. pulcherrima. Sebaliknya, spesies
yang diklasifikasikan ke dalam kelompok agak rentan hingga sangat rentan
memiliki kadar air lebih dari 90%, kecuali P. cornu-cervi dan P. pantherina.
Berdasarkan data ketebalan daun, tanaman yang diklasifikasikan ke dalam
kelompok tahan hingga agak tahan memiliki daun yang relatif lebih tipis, kecuali
P. pulcherrima. Sebaliknya, tanaman yang memiliki kriteria agak rentan hingga
sangat rentan memiliki daun yang cenderung lebih tebal, kecuali P. celebensis dan
P. amboinensis. Walaupun ketebalan daun dan kadar air dapat memisahkan
berdasarkan karakter ketahahanan dengan beberapa pengecualian, namun hal ini
belum dapat dijadikan tolok ukur tingkat ketahanan karena ketebalan daun dan
kadar air bisa saja merupakan salah satu bentuk evolusi tanaman dalam menghadapi
tantangan pada kondisi ekologis tempat tumbuhnya (sangat dipengaruhi
lingkungan). Sebagai contoh, P. gigantea dan P. pantherina memiliki daun yang
kasar (tebal) untuk mencegah kekeringan dan relatif toleran terhadap tingkat
pencahayaan yang lebih tinggi dibandingkan spesies Phalaenopsis lainnya
(Christenson 2001). Apabila kondisi lingkungan tumbuh artifisial (lingkungan
budidaya) tidak sesuai dengan kebutuhan tanaman, maka mungkin saja tanaman
cenderung lebih mudah terserang patogen. Pada dasarnya pencegahan penyakit
dapat dilakukan dengan mengendalikan ketersediaan dan kualitas air, pencahayaan,
sirkulasi udara, suhu optimal, dan mencegah tanaman dari kekurangan nutrisi (Wu
et al. 2011). Oleh karena itu, perbedaan hasil uji percobaan ini dengan penelitian
sebelumnya mungkin saja dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dikemukakan oleh
Wu et al. (2011). Sebagai tambahan, Gupta et al. (1999) menyatakan bahwa pada
beberapa kasus, sifat tidak terekspresi karena ketidaktersediaan kondisi lingkungan
60
yang sesuai, khususnya pada gen-gen yang berhubungan dengan cekaman. Pada
percobaan ini, menyiapkan bahan uji pada kondisi yang lingkungan tumbuh sesuai
dengan habitatnya agar mencapai kemampuan optimalnya dalam merespon
cekaman yang diakibatkan oleh patogen sangat sulit untuk dilakukan, mengingat
tanaman uji yang digunakan memiliki syarat tumbuh berbeda-beda.
PAJ(AR)
56
PRO(R*)
18
26 PPL(R*)
25 PAK(AR)
PSC(R*)
1
PFL(AT)
11
PCCR(AR)
PJA(T)
22
PCC(AR)
6
PPU(AT)
37
PG(AR)
1
PAM(AR)
30
PZE(AT)
37
PVD(AT)
2 45
PCO(AT)
PTE(AT)
8
PCE(SR)
14
PFI(T)
PMO(AT)
32
PLA(AR)
21
6 PPA(R*)
PBE(R*)
0 0.1
Simpulan
Daftar Pustaka
Anggrek bulan adalah salah satu jenis anggrek yang pertama kali
dideskripsikan sebagai Epidendrum amabile oleh botanis berkebangsaan Swedia
bernama Carolus Linnaeus pada tahun 1753 (Christenson 2001) dari spesimen yang
dikoleksi oleh Peter Osbeck pada tahun 1752 dari pulau Jawa, yang kemudian pada
tahun 1825 dideskripsikan ke dalam genus baru “Phalaenopsis” oleh Carl Ludwing
Blume (Sanjappa dan Kumar 2003). Semenjak pertama kali dideskripsikan,
Phalaenopsis kini telah berkembang menjadi komoditas tanaman hias penting yang
telah dibudidayakan di banyak negara. Perkembangan itu tentunya tak lepas dari
peran pemuliaan tanaman dan teknologi propagasi yang diaplikasikan pada
tanaman ini.
Pemuliaan tanaman pada Phalaenopsis selama ini diterapkan untuk
meningkatkan karakter ekonomis, seperti ukuran bunga, warna bunga, jumlah
bunga, dan juga karakter ketahanan tanaman terhadap penyakit tertentu. Hal paling
fundamental dalam pengembangan karakter-karakter tersebut adalah seleksi
tanaman dengan karakter yang diinginkan (Jehan dan Lakhanpaul 2006). Hasil
tanaman seleksi kemudian diperbanyak melalui teknik perbanyakan klonal karena
pada dasarnya Phalaenopsis merupakan tanaman tahunan yang menyerbuk silang.
Teknik perbanyakan klonal yang paling sering digunakan pada Phalaenopsis adalah
kultur jaringan (Park et al. 2002; Gow et al. 2008; Gow et al. 2010).
Penelitian ini secara umum terbagi ke dalam 2 kelompok percobaan utama,
yakni evaluasi metode mikropropagasi klonal Phalaenopsis (percobaan 1) dan
evaluasi marka molekuler SNAP untuk seleksi karakter ketahanan Phalaenopsis
terhadap penyakit busuk lunak (percobaan 2, 3, dan 4). Pada kelompok percobaan
pertama, metode induksi dan proliferasi PLBs Phalaenopsis amabilis telah berhasil
dievaluasi. Pada kelompok percobaan kedua, evaluasi marka SNAP juga telah
berhasil dilakukan. Walaupun evaluasi marka telah berhasil dilakukan, namun
marka molekuler yang dihasilkan belum dapat memisahkan genotipe tanaman
berdasarkan tingkat ketahanannya terhadap penyakit busuk lunak yang disebabkan
oleh bakteri Dickeya dadantii.
Percobaan mikropropagasi klonal pada penelitian ini telah berhasil
menginduksi PLBs menggunakan eksplan daun Phalaenopsis amabilis. Pada
percobaan induksi PLBs, penambahan 0.5 g/l PVP media kultur dengan TDZ pada
level 0.5 s.d. 3 mg/l mampu meningkatkan keberhasilan eksplan dalam membentuk
PLBs. Pada tahap proliferasi PLBs PVP juga mampu meningkatkan keberhasilan
dalam menghasilkan PLBs sekunder. Meningkatnya keberhasilan dalam fase
induksi dan proliferasi PLBs pada media dengan penambahan PVP diduga
berkaitan dengan kemampuan PVP dalam mengadsorb metabolit sekunder
(senyawa fenolik) yang pada dasarnya dapat menghambat penyerapan nutrisi.
Walaupun belum ada penelitian yang melaporkan pengaruh penggunaan PVP pada
level dan bahan tanam yang sama, namun setidaknya pada kultur protoplas tanaman
Cyamopsis tetragonoloba (Saxena dan Gill 1986) dan Vitis sp. cv. Vidal blanc
(Reustle dan Natter 1994) PVP dapat menghambat terjadinya browning.
Selain pengaruh komposisi media, pH media juga diuji pada penelitian ini.
Berdasarkan hasil pengujian, media 1 mg/l TDZ+ 0.5 g/l PVP, pH 7 merupakan
perlakuan yang paling optimum dalam menginduksi PLBs dari eksplan daun.
65
karena sangat berkaitan dengan pola pewarisan sifat dari tetua ke zuriatnya melalui
perkawinan. Berdasarkan hasil percobaan ini, hanya terdapat 2 lokus yang
memenuhi nisbah mendel. Hal ini diduga diakibatkan oleh karena jumlah individu
populasi yang diuji terlalu sedikit jumlahnya. Hasil serupa juga ditemui pada
penelitian Handini (2014), yang memperoleh 1 lokus memenuhi nisbah mendel dari
2 lokus yang diujikan. Selain itu, pada percobaan ini juga dilakukan konstruksi
pohon filogenetik menggunakan pendekatan complete linkage hierarchial
clustering untuk membuktikan apakah seluruh lokus pada fragmen gen Pto saling
terpaut. Hasil konstruksi pohon filogenetik menghasilkan 26 kelompok genotipe
zuriat. Hasil tersebut diduga disebabkan oleh fenomena segregasi dalam satu
fragmen gen yang sama.
Evaluasi metode inokulasi dilakukan sebelum pengujian ketahanan penyakit
busuk lunak dilakukan pada berbagai genotipe Phalaenopsis spesies. Pada
percobaan ini, didapatkan 6 galur bakteri yang diduga Dickeya dadantii, satu di
antaranya mampu menimbulkan gejala busuk lunak pada potongan daun
Phalaenopsis amabilis. Inokulum bakteri tanpa pengenceran mampu menimbulkan
diameter gejala paling tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Diameter
gejala busuk lunak pada percobaan ini lebih kecil dibandingkan dengan hasil
penelitian Elina (2016). Hal tersebut diduga disebabkan oleh perbedaan galur
bakteri yang digunakan. Selain pengujian konsentrasi inokulum, pada penelitian
ini juga dilakukan pengujian pengaruh volume inokulum bakteri dalam menginfeksi
potongan daun Phalaenopsis amabilis. Volume inokulum berpengaruh dalam
meningatkan efektifitas serangan penyakit busuk lunak pada percobaan ini.
Penggunaan volume inokulum yang lebih tinggi diduga berperan dalam menjaga
kondisi lingkungan mikro tempat tumbuh bakteri.
Hasil pengujian isolat bakteri terhadap potongan daun dari 22 genotipe
Phalaenopsis spesies telah mengelompokkan genotipe-genotipe uji ke dalam 5
kelas ketahanan. Pada penelitian ini P. javanica dan P. fimbriata diklasifikasikan
sebagai genotipe tahan dan P. celebensis diklasifikasikan sebagai genotipe sangat
rentan. Pada penelitian ini, tanaman yang memiliki daun tipis dan kadar air rendah
cenderung lebih tahan jika dibandingkan dengan tanaman yang memiliki daun tebal
dan kadar air tinggi. Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya (Firgiyanto
2015; Elina 2016) hasil penelitian ini cenderung memiliki hasil yang berbeda.
Perbedaan tersebut terjadi karena skoring terhadap karakter fenotipik hasilnya
mungkin berbeda jika dinilai oleh orang yang berbeda pula (Jehan dan Lakhanpaul
2006).
Hasil pengujian tersebut selanjutnya dibandingkan dengan hasil
pengelompokan pohon filogenetik berdasarkan 18 marka SNAP. Hasil penelitian
ini belum mampu menunjukkan asosiasi antara karakter ketahanan dengan marka
molekuler yang digunakan. Tidak berasosiasinya antara marka dan karakter
ketahanan dalam penelitian ini mungkin terjadi akibat pengaruh-pengaruh lain yang
tidak dapat dikendalikan saat pengujian ketahanan pada masing-masing genotipe
Phalaenopsis spesies, seperti kadar air, preferensi lingkungan tumbuh, kebutuhan
nutrisi, dan faktor lainnya yang dapat memengaruhi performa tanaman pada level
ekspresi. Karena mekanisme pertahanan tanaman dikendalikan oleh regulasi
transkripsi yang kompleks (Jones dan Dangl 2006), maka desain primer SNAP
berbasis gen-gen lain yang terlibat saat terjadi serangan penyakit busuk lunak pada
Phalaenopsis seperti yang telah dijelaskan oleh Fu dan Huang (2011).
8 SIMPULAN UMUM DAN SARAN
Cohn J, Sessa G, Martin GB. 2001. Innate immunity in plants. Current Opinion in
Immunology. 13: 55–62.
Compton ME, Preece JB. 1986. Exudation and explants establishment. Int Assoc
Plant Tissue Cult Newslett. 50:9-18.
Cresswell RJ, Nitsch C. 1975. Organ culture of Eucalyptus grandis. Planta. 125:
87-90.
Darmono DW. 2003. Menghasilkan Anggrek Silangan. Jakarta(ID): Penebar
Swadaya.
Das BK, Jena RC, Samal KC. 2009. Optimation of DNA isolation and PCR protocol
for RAPD analysis of banana/plantain (Musa spp.). Int J Agricul Sci. 1(2): 21-
25.
Deng Z, Gmitter FG. 2003. Cloning and characterization of receptor kinase class
disease resistance gene candidates in Citrus. Theoretical and Applied
Genetics. 108: 53–61.
Devi JB, Borthakur B, Deka PC. 1997. Clonal propagation of Dendrobium
moschatum and Cymbidium aloifolium through shoot tip culture. J Orchid
Soc India. 11: 19–21.
Di Gaspero G, Cipriani G. 2003. Nucleotide binding site/leucine-rich repeats, Pto-
like and receptor-like kinases related to disease resistance in grapevine.
Molecular Genetics and Genomics. 269: 612–623.
Djaafarer R. 2003. Phalaenopsis Spesies. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Doyle JJ, Doyle JL. 1987. A rapid DNA isolation procedure for small quantities of
fresh leaf tissue. Phytochem Bull. 19:11-15.
Edwards K. Goldsmith, MHM. 1980. pH dependent accumulation of indoleacetic
acid by corn coleoptile sections, a system capable of polar transport of auxin.
Planta. 147:457.
Elina J. 2016. Respon ketahanan anggrek Phalaenopsis terhadap penyakit busuk
lunak akibat infeksi Dickeya dadantii dan karakterisasi molekuler dengan
marka SNAP [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Fatimah, Sukma D. 2011. Development of sequence-based microsatellite marker
for Phalaenopsis orchid. HAYATI Journal of Biosciences.18(2):71–76.
Firgiyanto R. 2015. pertumbuhan dan ketahanan terhadap penyakit busuk lunak
pada anggrek Phalaenopsis dengan pemupukan dan asam salisilat [tesis].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Fu S, Huang HJ. 2011. Molecular characterization of the early response of orchid
Phalaenopsis amabilis to Erwinia chrysantemi infection. Di dalam: Chen
WH, Chen HH, editor. Orchid Biotechnology II. Singapura (SG): World Sci.
hlm. 283-308.
Fu SF, Lin CW, Kao TW, Huang DD, Huang HJ. 2011. PaPTP1, a gene encoding
protein tyrosine phosphatase from orchid, Phalaenopsis amabilis, is
regulated during floral development and induced by wounding. Plant Mol
Biol Rep. 29:106–116.
Fu SF, Tsai TM, Chen YR, Liu CP, Haiso LJ, Syue LH, Yeh HH, Huang HJ. 2012.
Characterization of the early response of the orchid, Phalaenopsis amabilis,
to Erwinia chrysanthemi infection using expression profiling. Physiol
Plant. 145(3): 406-25.
70
Fu YM, Chen WH, Tsai WT, Lin YS, Chyou MS, and Chen YH. 1997. Phylogenetic
studies of taxonomy and evolution among wild species of Phalaenopsis by
random amplified DNA markers. Rep Taiwan Sugar Res. Inst. 157: 27–42.
Gamborg OL. 1991. Metode Kultur Jaringan Tanaman. Wetter LR, Constabel F,
editor. Bandung (ID): Penerbit ITB. Terjemahan dari: Plant tissue culture:
methods and applications in agriculture.
Gan S, Amasino RM. 1996. Cytokinins in plant senescence: from spray and pray to
clone and play. Bioessays. 18: 557–565.
George EF, Hall MA, De Klerk GJ. 2008. Plant Propagation by Tissue Culture.
Vol 1: The Background. Ed ke-3. Dordrecht (NL): Springer.
George EF, Sherington PD. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture.
Basingstoke (GB): Exegetics Ltd.
Gogol K, Raju das, Yonzone R. 2012. Diversity and distribution of the genus
Phalaenopsis Blume (Orchidaceae) in Assam, India. Sci Res Rep. 2(3): 260-
264.
Goh CJ, Wong PF. 1990. Micropropagation of the monopodial orchid hybrid
Aranda Deborah using inflorescence explants. Sci Hortic. 44: 315–321.
Gow WP, Chen JT, Chang WC. 2008. Influence of growth regulators on direct
embryo formation from leaf explants of Phalaenopsis orchids. Acta Phsyol
Plant. 30:507-512.
Gow WP, Chen JT, Chang WC. 2010. Enhancement of direct somatic
embryogenesis and plantlet growth from leaf explants of Phalaenopsis by
adjusting period and explants length. Acta Plant Physiol. 32:621-627.
Gray DJ. 2005. Plant Development and Biotechnology. Trigiano RN, Gray DJ,
editor. Boca Raton (US): CRC Press.
Grenier AM, Duport G, Page’s S, Condemine G, Rahbe’ Y. 2006. The
phytopatogen Dickeya dadantii (Erwinia chrysanthemi 3937) is a patogen of
the Pea Aphid. Appl and Enviro Microb. 72(3):1956–1965.
Griesbach, R.J. 2002. Development of Phalaenopsis orchids for the mass-market.
Di dalam: Janick J, Whipkey A, editor. Trends in New Crops and New Uses.
Alexandria (EG): ASHS Press. hlm 458–465.
Gupta PK, Roy JK, Prasad M. 1999. DNA chips, microarrays and genomics. Curr
Sci. 77: 875-884.
Gupta PK, Roy JK, Prasad M. 2001. Single nucleotide polymorphism: A new
paradigm for molecular marker technology and DNA polymorphism
detection with emphasis on their use in plants. Current Sci. 80:524-535.
Gupta PK, Rustgi S, Kulwal PL. 2005. Linkage disequilibrium and association
studies in higher plants: present status and future prospects. Plant Molecular
Biology. 57:461–485.
Haberer G. Kieber JJ. 2002. Cytokinins. New insights into a classic phytohormone.
Plant Physiol.128: 354–362.
Hammerschmidt R. 2007. Introduction: definition and some history. Di dalam:
Walters D, Newton A, Lyon G, editor. Induced Resistance for plant Defence.
A Sustainable Approach to Crop Protection. Singapura (SG): Blackwell
Publshing Ltd. hlm 1-11.
Handayati W, Rahadjo IB, Kartikaningrum S. 2006. Pra-evaluasi ketahanan
anggrek Phalaenopsis terhadap penyakit busuk lunak (Erwinia spp.). Balai
Penelitian Tanaman Hias. Cipanas Segunung. 6 hal.
71
Handini AS. 2014. Analisis keragaman morfologi dan biokimia pada anggrek
Phalaenopsis serta analisis keragaman genetik dengan marka SNAP. [tesis].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Handoyo F. 2010. Orchids of Indonesia. Jakarta (ID): Indonesian Orchid Society.
Hanudin, Rahardjo IP. 2012. Penyakit busuk lunak (pbl) pada anggrek: penyebab
dan upaya pengendaliannya. Prosiding Seminar Nasional Anggrek 2012;
2012 Jun 21; Jakarta Selatan (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hortikultura. Hlm 275- 281.
Haristianita MD. 2017. Gen terkait warna bunga: pemanfaatannya untuk
pengembangan marka molekuler dan analisis genetik warna bunga
Phalaenopsis [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Hartl L, Mon S, Schweiger G. 1998. Identification of a diagonistic molecular
marker for the powdery mildew resistance gene Pm4b based on fluorescently
labelled AFLPs, Di dalam: Slinkard AE, editor, Proc. 9th Int. Wheat Genet.
Symp. Vol. 3. [Waktu pertemuan tidak diketahui]. Univ. Of Saskatchewan,
Saskatoon, Canada (CA):Uinv. Extension Press. hlm 111–113.
Hendaryono PS, Wijayani A. 1994. Teknik Kultur Jaringan: Pengenalan dan
Petunjuk Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif Modern. Yogyakarta
(ID):Kanisius.
Hofmann N, Nelson RL, Korban SS. 2004. Influence of media components and pH
on somatic embryo induction in three genotypes of soybean. Plant Cell,
Tissue and Organ Culture. 77: 157–163.
Huang DD, Law RCS, Mak OT .1991. Effects of tissue cultured Anoectochilus
formosanus Hay. extracts on the arachidonate metabolism. Botanical
Bulletin of Academia Sinica Taipei. 32: 113-120.
Huang YW, Tsai YJ, Cheng TC, Chen JJ, Chen FC. 2014. Physical wounding and
ethylene stimulated embryogenic stem cell proliferation and plantlet
regeneration in protocorm-like bodies of Phalaenopsis orchids. Gen and Mol
Research. 13 (4): 9543-9557.
Hugouvieux-Cotte-Pattat N, Condemine G, Nasser W, and Reverchon S. 1996.
Regulation of pectinolysis in Erwinia chrysanthemi. Annu Rev
Microbiol. 50: 213-257.
Ishii Y, Takamura T, Goi M, Tanaka M. 1998. Callus induction and somatic
embryogenesis of Phalaenopsis. Plant Cell Rep., 17: 446-450.
Iswanto H. 2002. Petunjuk Perawatan Anggrek. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka.
Jehan T, Lakhanpaul S. 2006. Single nucleotide polymorphism (SNP)-methods and
applications in plant genome: a review. Indian Journal of Biotechnology.
5:453-459.
Joko T, Kiswanti D, Hanudin Subandiyah S. Occurence of bacterial soft-rot of
Phalaenopsis orchids in Yogyakarta and West Java, Indonesia. Proceeding
of Internasional Seminar on “Natural Resources, Climate Change, and Food
Security in Developing Countries; 2011 Jun 27-28; Surabaya, Indonesia.
Surabaya (ID): ISNAR. hlm 255-264.
Jones JD, Dangl JL. 2006. The plant immune system. Nature. 444: 323–329.
Kanchanapoom K, Jantaro S, Rakchad D. 2001. Isolation and fusion of protoplasts
from mesophyll cells of Dendrobium Pompadour. Science Asia. 27: 29-34.
Khoddamzadeh AA , Sinniah UR, Kadir MA, Kadzimin SB, Mahmood M,
Sreeramanan S. 2010. Detection of somaclonal variation by random amplified
72
Rianawati S. 2010. Induksi variasi somaklonal dan uji in vitro untuk perbaikan
ketahanan Phalaenopsis terhadap penyakit busuk lunak [disertasi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Ru Z, Lai Y, Xu C, Li L. 2013. Polyphenol oxidase (PPO) in early stage of browning
of Phalaenopsis leaf explants. Journal of Agricultural Science. 5(9): 57-64.
Sakano K. 1990. Proton/phosphate steichiometry in uptake of inorganic phosphate
by cultured cells of Catharanthus roseus (L.) G. Don. Plant Physiol. 93:
479−483.
Samarfard S, Kadir MA, Kadzmin SB, Ravanfar SA, Saud HM. 2013. Genetic
stability of in vitro mmultiplied Phalaenopsis gigantea protocorm-like bodies
as affected by chitosan. Not Bot Horti Agrobo. 41(1):177-183.
Samarfard S, Kadir MA, Kadzmin SB, Saud HM, Ravanfar SA, Danaee M. 2014.
In vitro propagation and detection of somaclonal variation in Phalaenopsis
gigantea as affected by chitosan and thidiazuron combination. Hort Sci. 49
(1): 82-88.
Samson R, Legendre JB, Christen R, Fischer-Le SM, Achouak W, Gardan L. 2005.
Transfer of Pectobacterium chrysanthemi (Burkholder et al. 1953) Brenner
et al. 1973 and Brenneria paradisiaca to the genus Dickeya gen. nov. as
Dickeya chrysanthemi comb. nov. and Dickeya paradisiaca comb. nov. and
delineation of four novel species, Dickeya dadantii sp. nov., Dickeya
dianthicola sp. nov., Dickeya dieffenbachiae sp. nov. and Dickeya zeae sp.
nov. Intl Jrnl of Syst and Evol Micrb. 55: 1415–1427.
Sanjappa M, Kumar CS. 2003. 19TH century Phalaenopsis paintings of Central
National Herbarium (Cal), India. Manilal KS, Kumar CS, editor. Orchid
Memories - A tribute to Gunnar Seidenfaden. Calicut (IN): Mentor Books
dan Indian Association for Angiosperm Taxonomy (IAAT).
Santarem ER, Pelissier B, Finer AJ. 1997. Effect of explant orientation, pH,
solidifying agent and wounding on initiation of soybean somatic embryos. In
Vitro Cell Dev Biol. 33:13-19.
Sarwono B. 2002. Mengenal dan Membuat Anggrek Hibrida. Jakarta (ID): Agro
Media Pustaka.
Saxena PK, Gill R. 1986. Removal of browning and growth enhancement by
polyvinylpolypyrrolidone in protoplast cultures of Cyamopsis tetragonoloba
L. Biol Plant. 28 (4):313-315.
Shete S, Tiwari H, Elston RC. 2000. On Estimating the Heterozygosity and
Polymorphism Information Content Value. Theoretical Population Biology
57:265-271.
Soeryowinoto M. 1976. Prospect Tissue culture di Indonesia. Pekan anggrek
nasional; 1976 1-4 April; Jakarta, Indonesia. Jakarta (ID).
Soeryowinoto SM, Soeryowinoto M. 1977. Perbanyakan Vegetatif pada Anggrek.
Yogyakarta (ID): Kanisius.
Srivastava LM. 2002. Plant Growth and Development Hormones and
Environtment. Hongkong (CN): Academic Press.
Steward FC, Marion OM, Mears K .1958. Growth and organized development of
cultured cells. II. Organization in cultures grown from freely suspended cells.
Am J Bot. 45:705-708.
75
Stewart RJ, Sawyer BJB, Bucheli CS, Robinson SP. 2001. Polyphenol oxidase is
induced by chilling and wounding in pineapple. Australian Journal of Plant
Physiology. 28(3): 181-191.
Sticher L, Mauch-Mani B, Métraux AJ. 1997. Systemic acquired resistance [ulas
balik]. Annual review of phytopathology. 35(1): 235-270.
Subramanium G, Taha RM. 2003. Morphogenesis of Cymbidium atropurpureum in
vitro. Malays J Sci. 22: 1–5.
Sutanto A, Hermanto C, Sukma D, Sudarsono. 2013. Pengembangan marka SNAP
berbasis resistance gene analogue. J Hort. 23(4): 300-309.
Sutanto A. 2014. Karakterisasi molekuler ketahanan beberapa kultivar pisang
(Musa spp.) terhadap penyakit layu panama (Fusarium oxysporum f.sp.
cubense) [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Tait RC. 1999. The application of molecular biology. Curr Issues Mol Biol. 1(1-
2):1-12.
Takahashi CT, Kondo K. 1998. Induction of adventitious shoots, rhizome-derived
protocorm-like bodies and aggregations from rhizome segments of Pogonia.
Lindleyana. 13: 284–291.
Takamiya T, Wongsawad P, Tajima N, Shioda N, Lu JF, Wen CL, Wu JB, Handa
T, Iijima H, Kitanaka S, et al. 2011 Identification of Dendrobium species
used for herbal medicines based on ribosomal DNA internal transcribed
spacer sequence. Biological dan Pharmaceutical Bulletin. 34(5): 779-782.
Tanaka M, Kumura M, Goi M. 1988. Optimal conditions for shoot production from
Phalaenopsis flower-stalk cuttings cultured in vitro. Scientia Horticulturae.
35: 117-126.
Tang CY, Chen WH. 2007. Breeding and development of new varietes in
Phalaenopsis, Di dalam: Chen WH, Chen HH, editor. Orchid Biotechnology.
Singapura (SG): World Sci.
Teixeira da Silva JA. 2013. Orchids: Advances in tissue culture, genetics,
phytochemistry and transgenic biotechnology [ulasan]. Floriculture and
Ornamental Biotechnology. 7(1): 1-52.
Tollrian R, Harvell CD. 1999. The Ecology and Evolution of Inducible Defenses.
Princeton (US): Princeton University Press.
Tsai CC, Chou CH, Wang HV, Ko YZ, Chiang TY, Chiang YC. 2015.
Biogeography of the Phalaenopsis amabilis species complex inferred from
nuclear and plastid DNAs. BMC Plant Biology. 15:202.
Tsai TM, Chen YR, Kao TW, Tsay WS, Wu CP, Huang DD, Chen WH, Chang CC,
Huang HJ. 2007. PaCDPK1, a gene encoding calcium-dependent protein
kinase from orchid, Phalaenopsis amabilis, is induced by cold, wounding,
and pathogen challenge. Plant Cell Rep. 26(10):1899-1908.
Tse AT, Smith RJ, Hackett WP. 1971. Adventitious shoot formation on
Phalaenopsis nodes. American Orchid Society Bulletin. 40: 807-810.
Vallad G, Rivkin M, Vallejos C, McClean P. 2001. Cloning and homology
modelling of a Pto-like protein kinase family of common bean (Phaseolus
vulgaris L.). Theoretical and Applied Genetics. 103:1046–1058.
Vallad GE, Goodman RM. 2004. Systemic acquired resistance and induced
systemic resistance in conventional agriculture [ulas balik]. Crop science.
44(6): 1920-1934.
76
Van Loon LC, Bakker PAHM, Pieterse MJ. 1998. Systemic resistance induced by
rhizosphere bacteria [ulas balik]. Annual review of phytopathology. 36(1):
453-483.
Varshney A, Mahapatra T, Sharma RP. 2004. Molecular mapping and marker
assisted selection of traits for crop improvement. Di dalam: Srivastava
PS, Narula A, Srivastava S, editor. Plant Biotechnology and Molecular
Markers. New Delhi (IN): Anamaye Publisher. hlm 289-330.
Vleeshouwers VGAA, Martens A, van Dooijeweert W, Colon LT, Govers F,
Kamoun S. 2001. Ancient diversification of the Pto kinase family preceded
speciation in Solanum. Molecular Plant–Microbe Interactions. 14: 996–1005.
Wan H, Qian C, Malik AA, Zhao Z, Chen J. 2009. Isolation, phylogeny and
evolutionary analysis of Pto-type disease resistance gene analogues from a
Cucumis hystrix introgression line of cucumber (C. sativus). Funct Plant Biol.
37:513-523.
Wan H, Yuan W, Ruan M, Ye Q, Wang R, Li Z, Zhou G, Yao Z, Yang Y. 2013.
Identification, phylogeny, and expression analysis of Pto-like genes in
pepper. Plant Molec Biol Rep. 31:901-916.
Watimena GA. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Bogor (ID): Pusat Antar
Universitas Institut Pertanian Bogor.
Widyastuti N, Tjokrokusumo D. 2001. Peranan beberapa zat pengatur tumbuh
(ZPT) tanaman pada kultur in vitro. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia.
3:55-63.
Wu PH, Huang DD, Chang DCN. 2011. Mycorrhizal symbiosis enhances
Phalaenopsis orchid’s growth and resistance to Erwinia chrysanthemi.
African Journal of Biotechnology.10(50): 10095-10100.
Xie C, Sun Q, Ni Z, Yang T, Nevo E, Fahima T. 2003. Chromosomal location of a
Triticum dicoccoides derived powdery mildew resistance gene in common
wheat by using microsatellite markers. Theor Appl Genet. 106: 341–345.
Xu CJ, Li L, Li H, Zhang MG. 2005. Preliminary studies on the elements of
browning and the changes in cellular texture of leaf explant browning in
Phalaenopsis. Acta Hort Sinica. 32: 1111-1113.
Xu CJ, Li L. 2006. Changes of total phenol content and the activities of PPO, POD
and PAL during the browning in Phalaenopsis explant in vitro. Acta
Horticulturae Sinica. 33(3):671-674.
Yahraus TS, Chandra S, Legendre L, Low PS. 1995. Evidence for a mechanically
induced oxidative burst. Plant Physiol. 109: 1259-1266.
Yoruk R, Marshall M. 2003. Physicochemical properties and functiom of plant
polyphenol oxidase [ulas balik]. Journal of Food Biochemistry. 27(5): 361-
422.
Yoshimura S, Yoshimura A, Nelson RJ, Mew TW, Iwata N. 1995. Tagging Xa-1,
the bacterial blight resistance gene in rice by using RAPD markers. Breed
Sci. 45: 81–85.
Yu ZH, Mackill DJ, Bonman JM, Tanksley DM. 1991. Tagging genes for balst
resistance in rice via linkage to RFLP markers. Theor Appl Genet. 81: 471–
476.
Yusnita. 2010. Perbanyakan In Vitro Tanaman Anggrek. Bandar Lampung (ID):
Penerbit Universitas Lampung.
77
Zhu YL, Song QJ, Hyten SM, Fickus EW, Young ND, Cregan PB. 2003. Single-
nucleotide polymorphism in soybean. Genetics. 163:1123–1134.
78
LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar primer SNAP berdasarkan sekuen gen Pto Phalaenopsis dan spesifikasinya
No. Ukuran produk
Kode primer Sekuen Primera TM L
lokus (pb)
52 CNPto#52_L_REF_2 CAAGGTCTCAATGAATTGCAC 54.46 21 267
CNPto#52_L_ALT_1 CAGCAAGGTCTCAATGAATTTAAT 55.58 24 270
CNPto#52_L_ALT_1_REVERSE ATCGCGATGAATGATGGC 56.5 18
72 CNPto#72_L_REF_4 CGGAAATTGAATTGCGTTC 55.39 19 297
CNPto#72_L_REF_4_REVERSE CAGCAACCTTTGCCATGA 55.18 18
CNPto#72_L_ALT_4 CGGAAATTGAATTGCGTTT 54.99 19 250
CNPto#72_L_ALT_4_REVERSE TTGACATCGCGATGAATGAT 56.12 20
79 CNPto#79_L_REF_6 AAATTGAATTGCTTTCGAGACTT 55.32 23 250
CNPto#79_L_REF_6_REVERSE GACTTGACATCGCGATGAAT 54.78 20
CNPto#79_L_ALT_1 TGAATTGCTTTCGAGGGTC 54.91 19 253
CNPto#79_L_ALT_1_REVERSE ATTTGCAGACTTGACATCGC 55.04 20
94 CNPto#94_L_REF_5 GCTTCGTCATCGTCAGCTC 55.61 19 250
CNPto#94_L_REF_5_REVERSE ATCCAGAAGGATATTTGCAGACT 54.98 23
CNPto#94_L_ALT_7 GGCTTCGTCATCGTCATCTT 56.41 20 290
CNPto#94_L_ALT_7_REVERSE CGAAAGACCAAAATCAGC 50.26 18
181 CNPto#181_L_REF_5 GGGAACTCTGAAGAGTCAGCTC 55.99 22 251
CNPto#181_L_ALT_5 GGGAACTCTGAAGAGTCAGCTT 55.59 22 251
CNPto#181_L_ALT_5_REVERSE TAACTGCGGTGCTCACGT 54.84 18
220 CNPto#220_L_REF_3 CCTCAACTGGGAGCAGAGG 56.97 19 218
79
80
Lampiran 1 Daftar primer SNAP berdasarkan sekuen gen Pto Phalaenopsis dan spesifikasinya (Lanjutan)
No. Ukuran produk
Kode primer Sekuen Primer TM L
lokus (pb)
CNPto#220_L_ALT_5 CTCAACTGGGAGCAGCGA 57.12 18 217
CNPto#220_L_ALT_5_REVERSE AGCTCCCTTTAACTGCGG 54.28 18
223 CNPto#223_L_REF_1 AACTGGGAGCAGCGGTTC 57.41 18 205
CNPto#223_L_ALT_1 AACTGGGAGCAGCGGATG 58.35 18 205
CNPto#223_L_ALT_1_REVERSE TAACTGCGGTGCTCACGT 54.84 18
229 CNPto#229_L_REF_2 GAGCAGCGGCTCGAGATC 58.33 18 208
CNPto#229_L_ALT_4 GAGCAGCGGCTCGAGATT 57.82 18 208
CNPto#229_L_ALT_4_REVERSE AGCTCCCTTTAACTGCGGT 55.32 19
241 CNPto#241_R_REF_1 TAGTGAAGCCCTCGTCCG 55.93 18 257
CNPto#241_R_ALT_4 GATAGTGAAGCCCTCGTTCC 55.06 20 259
CNPto#241_R_ALT_4_REVERSE GCTGTCAAGCGTGGCAAT 56.93 18
292 CNPto#292_R_REF_6 GCAGACTTGACATCCCGA 53.89 18 260
CNPto#292_R_ALT_7 TGCAGACTTGACATCTCGG 54.22 19 261
CNPto#292_R_ALT_7_REVERSE CACACGGAAATTGAATTGCT 54.9 20
340 CNPto#340_R_REF_1 AGACCAAAATCAGCAACGTTT 55.24 21 260
CNPto#340_R_ALT_4 GACCAAAATCAGCAACGTTC 54.43 20 259
CNPto#340_R_ALT_4_REVERSE CTTATCGGATACTGCGACGA 55.19 20
349 CNPto#349_R_REF_6 TGTCTTCGAAAGACCAAAATCA 56.17 22 262
CNPto#349_R_ALT_7 GTCTTCGAAAGACCAAAGTCG 55.36 21 261
CNPto#349_R_ALT_7_REVERSE ATACTGCGACGAGCGAAA 54.13 18
Lampiran 1 Daftar primer SNAP berdasarkan sekuen gen Pto Phalaenopsis dan spesifikasinya (Lanjutan)
No. Ukuran produk
Kode primer Sekuen Primer TM L
lokus (pb)
380 CNPto#380_R_REF_2 TGCTCACGTGAGTCTGATACAA 55.66 22 293
CNPto#380_R_ALT_2 GTGCTCACGTGAGTCTGATCTAG 55.49 23 294
CNPto#380_R_ALT_2_REVERSE ATACTGCGACGAGCGAAA 54.13 18
424 CNPto#424_R_REF_2 CGGAAGTATTCAGGATCAAGCTAT 56.87 24 291
CNPto#424_R_ALT_3 CGGAAGTATTCAGGATCAAGGTAC 57.05 24 291
CNPto#424_R_ALT_3_REVERSE GAAGGGAACTCTGAAGAGTCATC 54.96 23
37 CNPto#37_L_REF_2 CCGAAATCCCAGCAAGAC 55.19 18 265
CNPto#37_L_ALT_2 CCGAAATCCCAGCAGGGT 59.46 18 265
CNPto#37_L_ALT_2_REVERSE TTGCCTTTGCAGAACCAG 54.43 18
64 CNPto#64_L_REF_3 GAATTTCACACGGAAATCGAG 55.96 21 261
CNPto#64_L_ALT_4 AATTTCACACGGAAATCGAA 54.4 20 260
CNPto#64_L_ALT_4_REVERSE CTTGACGTCGCGGTGAAT 56.76 18
127 CNPto#127_L_REF_1 TACTGCGACGAGCGCAAT 57.72 18 258
CNPto#127_L_ALT_7 GATACTGCGACGAGCGTAAC 54.83 20 260
CNPto#127_L_ALT_7_REVERSE CTTCGAAAGACCGAAATCG 54.69 19
355 CNPto#355_R_REF_6 CCCGTCTTCGAAAGTCCG 57.83 18
CNPto#355_R_REF_6_REVERSE CGTCATCGTCACCTCGTG 55.4 18 293
CNPto#355_R_ALT_7 CCCGTCTTCGAAAGACCA 55.72 18
CNPto#355_R_ALT_7_REVERSE TTCGTCATCGTCACCTCG 54.98 18 295
a
Huruf berwarna menunjukkan bahwa basa nukleotida pada primer berbeda dengan basa nukleotida pada sekuen asli. TM: temperatur melting;
L:panjang sekuen primer.
81
82
82
B1(11)
31a(8)
41a(2)
16a
11a
39a(9)
52a(3)
10a
42a
22a
40a
42aC
SP(12)
3a(6)
30a
36a
18a
55a
51a
61a(4)
58a
1a
34a
38a*
46a(7)
44a(5)
50a(1)
35a
13a*
26a
43a
6a
56a
5a
58a*
35a*
28a*
27a
14a*
8a
17a
0 0.1
Lampiran 3 Gejala busuk lunak 22 genotipe Phalaenopsis spesies pada 72 jam setelah inokulasi
83
84
Lampiran 3 Gejala busuk lunak 22 genotipe Phalaenopsis spesies pada 72 jam setelah inokulasi (Lanjutan)
Lampiran 3 Gejala busuk lunak 22 genotipe Phalaenopsis spesies pada 72 jam setelah inokulasi (Lanjutan)
85
86
Lampiran 3 Gejala busuk lunak 22 genotipe Phalaenopsis spesies pada 72 jam setelah inokulasi (Lanjutan)
Lampiran 3 Gejala busuk lunak 22 genotipe Phalaenopsis spesies pada 72 jam setelah inokulasi (Lanjutan)
87
88
Lampiran 3 Gejala busuk lunak 22 genotipe Phalaenopsis spesies pada 72 jam setelah inokulasi (Lanjutan)
RIWAYAT HIDUP