Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PRAKTIKUM

DIAGNOSIS PENYAKIT TANAMAN

DIAGNOSIS PENYAKIT TANAMAN AKIBAT Fusarium Poliferatum

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Ir. Achmadi Priyatmojo, M.Sc.

Asisten Praktikum: Dr. Syafiqa Pramunadipta, S.P.

Disusun Oleh:

Andra Sahab Sukmana


21/484574/PPN/04741

LABORATORIUM TEKNOLOGI PENGENDALIAN


PROGRAM STUDI FITOPATOLOGI
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2022
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jamur patogen tumbuhan menjadi salah satu organisme yang menganggu kegiatan
budidaya komoditas pertanian. Infeksi oleh jamur patogen tumbuhan menyebabkan timbulnya
penyakit yang menurunkan kualitas dan kuantitas produk pertanian. Upaya manajemen
penyakit tumbuhan merupakan hal yang penting dalam memastikan keberhasilan kegiatan
budidaya. Prosesnya dapat dimulai dengan mengidentifikasi jamur penyebab penyakit yang
ditemukan dilapang. Identifikasi berdasarkan kenampakan gejala tentunya belum memberikan
informasi yang sepenuhnya akurat. Tahapan selanjutnya dapat dilakukan dengan mengisolasi
jamur dari tanaman sakit dan melakukan berbagai pengujian yang dibutuhkan, seperti
pengujian identifikasi secara molekuler
Fusarim poliferatum merupakan jamur patogen tumbuhan yang mampu menyebabkan
gejala layu hingga nekrotik pada tanaman budidaya. Fusarium poliferatum hanya reproduksi
secara aseksual. Fungi ini memproduksi dua jenis tipe spora aseksual, yaitu mikrokonodia dan
makrokonodia tanpa adanya klamidospora. Mikrokonodia adalah tipe spora yang paling sering
di produksi oleh fungi ini dibawah setiap kondisi lingkungan, termasuk diproduksi di dalam
jaringan Xilem inang. Fusarium proliferatum pertama kali digambarkan sebagai spesies
Cephacosporium oleh Matsushima dan digambarkan sebagai spesies Fusarium oleh Nirenberg.
Fusarium proliferatum dikenali sebagai spesies oleh Gerlach & Nirenberg dan Nelson dkk.
Sebelum 76 Nirenberg mendeskripsikan spesies, Fusarium proliferatum, sebagian besar isolat
F. proliferatum mungkin telah diidentifikasi sebagai F. Moniliforme sehingga banyak
penelitian tentang F. proliferatum mungkin tidak dapat dipisahkan dari pada F. moniliforme
Metode identifikasi secara molekuler juga dapat dilakukan setelah proses isolasi jamur
patogen tumbuhan. Identifikasi secara molekuler tentunya memberikan informasi yang lebih
akurat terkait spesies jamur yang menyebabkan penyakit tanaman. Hal ini karena identifikasi
molekuler bekerja pada level DNA yang sangat spesifik perbedaannya antar spesies. Salah satu
metode yang dapat dilakukan yakni polymerase chain reaction (PCR). Metode ini bekerja
dengan mengamplifikasi DNA target hingga pada jumlah yang dapat dianalisis. Selanjutnya
hasil PCR dapat divisualisasi dengan gel elektroforesis. Proses ini akan memisahkan DNA hasil
amplifikasi berdasarkan ukurannya dan dapat dibandingkan dengan marker. Kesesuaian ukuran
DNA hasil amplifikasi dengan ukuran DNA spesies jamur target, menjadi tolak ukur dalam
teknik identifikasi ini. Praktikum kali ini akan membahas terkait proses identifikasi jamur
patogen tumbuhan mulai dari isolasi, uji biokimia, dan molekuler.

1.2 Tujuan Praktikum


• Mengetahui Teknik identifikasi jamur Fusarium poliferatum dengan metode
sekuensing
• Mengetahui keragaman Fusarium poliferatum secara genetic dengan metode PCR-
RAPD
• Mengetahui Teknik identifikasi Fusarium poliferatum pada region TEF 1-alpha dengan
metode PCR-RFLP
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fusarium polyferatum

Fusarium sp. adalah salah satu genus dari kingdom Fungi yang kebanyakan dari
anggotanya dikenal sebagai patogen pada tumbuhan. Fusarium adalah genus yang sangat
kompleks. Dasar dari sistem taksonomi modern di Fusarium didasarkan pada Wollenweber dan
Reinkings (1935). Sistem ini didasarkan pada 16 bagian, 65 spesies dan 77 varietas sub-spesifik
(formae speciales). Sejak itu, telah mengalami beberapa perubahan ketika Booth (1971)
mengakui 51 spesies dan varietas, Gerlach dan Nirenberg (1982) diakui 101, dan Nelson et al.
(1983) hanya 30 spesies. Fusarium proliferatum yang merupakan anggota dari Fusarium
fujikuroi species complex (FFSC) (Abbas dkk. 1998).
Fusarium proliferatum merupakan jamur patogen penyebab penyakit busuk pada
beberapa tanaman pertanian. F. proliferatum dilaporkan mempunyai fragmen DNA yang
spesifik. Laporan ini berdasarkan dari hasil studi tentang jumlah set strain yang relative kecil
sehingga penggunaannya belum dalam skala luas. Polimorfisme pada urutan mtDNA untuk F.
proliferatum telah dilaporkan dan polimorfisme ini digunakan untuk menunjukkan bahwa
beberapa strain ganda dapat secara simultan menyerang tanaman inang tunggal. Inang dari F.
proliferatum diantaranya padi, sorgum, pisang dan jeruk (Pinaria, 2020).

2.2 PCR (Polymerase Chain Reaction


, PCR (Polymerase Chain Reaction) adalah suatu metode enzimatis untuk amplifikasi
DNA dengan cara in vitro. Pada proses PCR diperlukan beberapa komponen utama, yaitu DNA
cetakan, Oligonukleotida primer, Deoksiribonukelotida trifosfat (dNTP), Enzim DNA
Polimerase, dan Komponen pendukung lain adalah senyawa buffer. Pada proses PCR
menggunakan menggunakan alat termosiklus. Sebuah mesin yang memiliki kemampuan untuk
memanaskan sekaligus mendinginkan tabung reaksi dan mengatur temperatur untuk tiap
tahapan reaksi. Ada tiga tahapan penting dalam proses PCR yang selalu terulang dalam 30-40
siklus dan berlangsung dengn cepat yaitu denaturasi, anneling, dan pemanjangan untai DNA.
Produk PCR dapat diidentifikasi melalui ukurannya dengan menggunakan elektroforesis gel
agarosa. Teknik PCR dapat dimodifikasi ke dalam beberapa jenis diantaranya: PCR- RFLP,
PCR – RAPD, nested- PCR,QuantitativePCR, RT- PCR dan inverse – PCR. Keunggulan PCR
dikatakan sangat tinggi. Hal ini didasarkan atas spesifitas, efisiensi dan keakuratannya.
2.2.1 RFLP
Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP); metode ini digunakan
untuk membedakan organisme berdasarkan analisis model derifat dari perbedaan DNA.
Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) merupakan metode yang
digunakan untuk membedakan organisme berdasarkan analisis model derivat dari
perbedaan DNA. Pengelompokkan jenis jamur atau seleksi isolat berdasarkan karakter
genetik dapat dilakukan dengan menggunakan metode PCR-ITS RFLP. Proses dapat
dimulai dari proses amplifikasi DNA dari daerah ITS dengan menggunakan mesin PCR
(Polymerase Chain Reaction) dilanjutkan dengan teknik metode RFLP untuk
memotong amplikon ITS rDNA menggunakan enzim restriksi (Diguta dkk, 2011;
Mohammed, 2013). Dalam RFLP, panjangnya fragmen pembatasan dari jenis enzim
restriksi tertentu berbeda antara organisme individu dan spesies yang membantu
identifikasi polimorfisme genetic antar variasi dan intraspesifik (Chaudhary dan
Maurya, 2020).

2.2.2 RAPD
RAPD adalah teknik berbasis PCR yang menggunakna primer acak tunggal
yang digunakan untuk menentukan urutan sekuens. Polimorfisme diamati serta dinilai
sebagai tanda ada tidaknya fragmen yang berkaitan dengan variasi urutan, bertujuan
untuk menyisipkan, mengahapus atau mengganti nukleotida. Teknik RAPD telah
banyak digunakan dengan tujuan identifikasi dengan banyak tanaman (McGregor et al.,
2000). RAPD dalam mempelajari keragaman genetik, hubungan anatar kekerabatan,
dan identifikasi varietas merupakan marka molekular yang lebih cepat dibanding
Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP) dan Restriction Fragment Lenght
Polymorphisme atau (RFLP) (Randriani et al., 2012). RAPD merupakan salah satu
metode yang digunakan pada menyediakan karakteristik fingerprints dan produksi dari
genom kompleks tanpa informasi sekuen sebelumnya. Informasi genetik yang
disediakan dari metode RAPD dalam bentuk pola pita kaakteristik. Jarak pita DNA
informatif pada RAPD sebagian besar antara 300-3000 bp. Metode RAPD sangat
penting dalam bidang pemuliaan tanaman yang mampu menganalisis keragaman
genetik dengan baik dari tumbuhan dan pola hubungan kekerabatan mampu disajikan
dalam proses analisis genetik (Purnomo dan Ferniah, 2018). Variasi genetik berbasis
RAPD dinilai berdasarkan metode PCR melaui amplifikasi DNA genom dengan
berubah-ubahnya urutan nukleotida. Penanda RAPD dapat dideteksi polimorfisme
tingkat tinggi dan mampu menghasilkan penanda genetik dengan kualitass baik (Ashraf
et al., 2014).
2.3 Phylogenetik
Filogenetika adalah salah satu jenis klasifikasi berdasarkan taksonomi terhadap suatu
organisme yang didasarkan pada sejarah evolusi, merekonstruksi perjalanan evolusi suatu taksa
tertentu berdasarkan tingkat kemiripan karakterkarakter yang sudah dikumpulkan dalam suatu
spesies untuk kemudian diklasifikasikan. Karakter-karakter tersebut dapat berupa, dan
seringkali digunakan, dalam bentuk karakter molekuler dimana semakin mirip karakter
molekuler suatu individu terhadap individu yang lain, maka semakin dekat hubungan kedua
individu tersebut. Kedua individu tersebut akan dianggap memiliki keturunan nenek moyang
yang sama sehingga membentuk kelompok individu tersendiri yang disebut kelompok
Monofiletik. Analisis Filogenetika sebenarnya adalah usaha dalam mengetahi proses
perubahan karakter selama perkembangan evolusi dalam waktu tertentu (Hennig, 1966)
BAB 3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat


Praktikum bertempat di Laboratorium Perlindungan Tanaman, Fakultas Pertanian,
Universitas Gadjah Mada. Pelaksanaan praktikum dimulai dari tanggal 24 Maret – 14 April
2022
3.2 Bahan dan Alat
3.2.1 Bahan
• Kit Geneid
• Kertas whatman
• Pasir
• Media PDB
• Isolat Fusarium polyferatum

Asal Isolat Kode Isolat


Sumatra Utara 10
Bali 38
NTT 48
- 7
3.2.2 Alat
• Cawan Petri
• Mortar
• Tabung Erlenmeyer
• Mikropipet
• Tip
• Microcentrifuge tube
• Vortex
• Centrifuge
• PCR machine
• Water bath
• TBE
• Gel agarose
• UV
• Laminar Air Flow
3.3 Ekstraksi DNA Fusarium sp (Sesuai pedoman pada KIT)
• Mengambil isolat jamur pada media PDA untuk di kulturkan pada media cair selama 7
lysis hari
• Memanen koloni miselium yang terbentuk dengan kertas saring whatman
• Menghancurkan isolat dengan alu dan mortar sampai halus dan diberikan pasie kasar
steril agar memudahkan dalam proses ekstraksi
• Masukkan pada ependorf / microtube ukuran 1,5 µL
• Menambahkan 400 µL Buffer GP1 atau Buffer GPX1and 5 µL of RNase A kedalam
microtube berisi sampel kemudian vortex
• Menginkubasi sampel tube selama 10 menit pada suhu 60oC, selama proses inkubasi
balik sampel tube setiap 5 menit.
• Selama menunggu proses inkubasi dianjurkan untuk membuat “pre-heated elution
buffer” untuk digunakan pada proses DNA Elution di akhir. (200 µL per sampel pada
suhu 60oC)
• Setelah 10 menit inkubasi pada water-bath sampel dikeluarkan untuk ditambahkan 100
µL Buffer GP2 dan campurkan dengan vortex untuk kemudian di inkubasi kembali
pada freezer selama 3 menit.
• Menyiapkan 2 ml microtube collection berisi kolom filter, kemudian memindahkan
sampel tube pada mirkotube tersebut
• Memasukkan microtube collection kolom filter pada sentrifuge, untuk dilakukan proses
sentrifugasi selama 1 menit dengan 1.000 x g, kemudian buang kolom filter pada
microtube collection
• Memindahkan supernatant secara hati-hati dari microtube collection 2 ml pada
microsentrifuge tube yang baru yang berukuran 1,5 ml
• Menambahkan 1,5 volume BUFFER GP3 (pastikan isopropanol ditambahkan) lalu
vortex segera selama 5 detik.
• Menyiapkan kolom GD dalam tabung koleksi 2 ml
• Memindahkan 700 mikro campuran (dan endapan yang tersisa) ke kolom GD
DNA • Mensentrifugasi pada 16,000 x 9 selama 2 menit
Binding • Membuang aliran - lalu letakkan kolom GD kembali di tabung collection 2 ml
• Menambahkan campuran yang tersisa ke kolom GD lalu censtrifuge kembali pada
16,000 x g selama 2 menit
• Membuang aliran - lalu letakkan kolom GD kembali di tabung collection 2 ml
• Menambahkan 400 µL Buffer W1 kedalam kolom GD lalu censtrifuge 16,000 x g
selama 30 detik
• Membuang aliran - lalu letakkan kolom GD kembali di tabung collection 2 ml
• Menambahkan 600 µL Buffer wash (telah dicampur etanol) pada kolom GD
Washing • Menstrifugasi pada 16,000 x g selama 30 detik
• Membuang aliran - lalu letakkan kolom GD kembali di tabung collection 2 ml
• Menstrifugasi pada 16,000 x g selama 3 menit untuk mengeringkan matriks kolom
• Memindahkan GD coulmn kering ke microcentrifuge 1,5 ml bersih
• Menambahkan 100 µL “pre-heated elution buffer” ke tengah matriks kolom
DNA
Elution • Meninkubasi suhu ruang selama 3-5 menit untuk memastikan buffer elusi benar-benar
terserap
• Mensentrifugasi pada 16,000 x g selama 30 detik untuk menghindari DNA yang
dimurnikan
3.4 PCR menggunakan metode RFLP
1. Membuat PCR mix sebanyak 10 µL dengan campuran didalamnya yakni Redmix 2x,
primer Forward dan Reverse, ddH2O dan DNA tamplate sampel dengan kode 10, 38,
dan 48.
2. Memasukan sebanyak 5 µL Redmix ke dalam microcentrifuge tube kemudian
ditambahkan primer forward sebanyak 0,5 µL dan primer Reverse sebanyak 5 µL.
3. Menambahkan 3 µL ddH2O, kemudia di pipetting agar semua bahan dapat tercampur.
4. Kemudian memasukan DNA tamplate sampel kode 10, 38 dan 48 pada masing –
masing microcentrifuge tube, dengan takaran 1 µL.
5. Melakukan pipetting kembali untuk memastikan DNA tamplate tercampur dengan
bahan bahan PCR mix lainnya.
6. Mengatur alat PCR dengan ketentuan pre denaturasi pada suhu 94 oC, selama 2 menit,
kemudian denaturasi suhu 94 oC, selama 1 menit, annealing 53 oC selama 1 menit, dan
extension suhu 72 oC selama 2 menit diulang sebanyak 39 siklus, dengan tahapan final
extension suhu 72 oC selama 7 menit dan dilakukan pendinginan pada suhu 15 oC.
7. Melakukan running PCR dengan menggunakan mesin biorad t 100, dengan siklus
sebanyak 40 kali.

3.5 PCR menggunakan metode RAPD


1. Membuat PCR mix sebanyak 15 µL dengan campuran didalamnya berisikan Redmix
2x, primer OPA 3 dan OPA 4. ddH2O dan DNA Fusarium poliferatum.
2. Memasukkan sebanyak 7,5 µL Redmix ke dalam microcentrifuge tube.
3. Kemudian, menambahkan ddH2O sebanyak 5,2 µL, selanjutnya dilakukan pipetting
untuk mencampurkan Redmix dan ddH2O.
4. Menambahkan primer OPA 3 dan OPA 4 sebanyak 0,8 µL.
5. Tahap terakhir yakni menambahkan DNA Fusarium poliferatum kode sampel 10, 38,
48 dan 7 sebanyak 1,5 µL.
6. Mengatur alat PCR dengan ketentuan pre denaturasi pada suhu 95 oC, selama 3 menit,
kemudian denaturasi suhu 95 oC, selama 30 detik, analing 36 oC, dan extension suhu
72 oC selama 1 menit diulang sebanyak 39 siklus, dengan tahapan final extension suhu
72 oC selama 5 menit dan dilakukan pendinginan pada suhu 12 oC.
7. Melakukan running PCR dengan menggunakan mesin biorad t 100, dengan siklus
sebanyak 40 kali.
3.6 Visualisasi DNA Fusarium sp dengan Elektroforesis
3.6.1 Pembuatan media agarose
• Menimbang Agarose 0.2 gr
• Menyiapkan larutan TBE 1x 20 ml
• Masukkan ke botol, ditutup menggunakan alumunium foil dan dikocok
• Melubangi alumunium foil agar terjadi penguapan sebelum di mikrowave
• Masukkan ke microwave selama 5 menit
• Mengangkat dan menuang ke dalam cetakan berbentuk sisir
• Inkubasi sampai terjadi pengerasan pada agar cetakan

3.6.2 Proses Elektroforesis


• Memasukkan cairan TBE
• Memasukkan Agar padat yg td dimasukkan ke tengah cetakan
• Mengambil marker 1 mikron dimasukkan di garis atas agar (sumuran)
• Mengambil Amplikon (sampel yg sudah di PCR) sebanyak masing-masing 2
• mikron
• Menaruh di garis sumuran selanjutnya dan seterusnya berjejer,
• Menghidupkan alatnya elktroforesisi dengan voltasinya100 volt waktunya 25
• menit
• Diangkat, direndam dalam Ethibium bromide (ETBR) selama 15 menit
• Diangkat, dimasukkan ke aquades
• Dimasukkan ke UV transilluminator
BAB 4. Hasil dan Pembahasan
4.1 Hasil
4.1.1. Deteksi dan diagnosis Fusarium poliferatum dengan Teknik PCR
Penggunaan PCR dalam metode deteksi dini suatu penyakit telah banyak digunakan,
selain akurat, proses diagnosis menggunakan PCR juga mampu mempercepat proses deteksi
penyakit tanaman sehingga akan mempercepat pula penanganan pengendalian yang perlu
dilakukan. Pada praktikum ini, sampel telah di isolasi oleh Coast dan ditumbuhkan pada media
potato dextrose untuk dilakukan ekstrkasi menggunakan KIT (sesuai protocol GeneID).

Gambar 1. Hasil amplifikasi PCR pada media agarose (dari kiri ke kanan) (M) Marker, (1)
kode sampel 10, (2) Kode sampel 38, (3) Kode sampel 48, (4) kontrol positif, (5) Kontrol
negative.
Berikut merupakan hasil visualisasi PCR pathogen Fusarium poliferatum
menggunakan Primer universal ITS. Hasil visualisasi DNA merupakan isolate F. poliferatum
sesuai dengan kontrol positif yang diberikan yaitu teramplifikasi dikisaran basa 700 bp.
Fragmen DNA dengan ukuran tersebut sesuai dengan ukuran yang diharapkan dengan primer
tersebut (Gambar 1).

4.1.2 Hasil Amplifikasi PCR Agarose metode RFLP


Hasil PCR-RFLP menggunakan sepasang primer EF1 238 (Forward) dan EF2 239
(Reverse) dengan enzim restriksi TEF alfa 1 menunjukkan perbandingan pola RFLP yang
terlihat jelas. Fusarium Andiyazi pada sumuran 4 berbeda pola nya dengan Fusarium
poliferatum pada sumuran 1-3.
Gambar 2. Hasil amplifikasi PCR-RFLP pada media agarose dari kiri ke kanan (M) Marker,
(1) Sampel kode 10, (2) Sampel kode 38, (3) sampel kode 48, (4) sampel kode 7
Analisis pola pemotongan enzim restriksi menunjukkan tidak adanya perbedaan strain
Fusarium poliferatum. Pola pita hasil pemotongan enzim restriksi F. poliferatum sampel
Sumatra Utara, Bali dan NTT berbeda dengan isolate Fusarium andyazy sebagai kontrol.
Teknik RFLP digunakan untuk mengetahui perbedaan sampel dengan cara melakukan
pemotongan terhadap DNA hasil amplifikasi PCR. Hidayat et al. (1999).

4.1.3 Hasil pohon phylogenik menggunakan MEGA


Gambar 3. Pohon filogenetika yang menggambarkan hubungan kekerabatan Fusarium
poliferatum dengan Fusarium kode yang tersimpan di GenBank menggunakan
Mega 7.0.18.
Analisis filogenetika menggambarkan hubungan kekerabatan urutan nukleotida DNA
Fusarium poliferatum yang diperoleh dan urutan nukleotida Fusarium poliferattum lainnya
yang telah tersimpan di GenBank. Fusarium poliferatum yang menginfeksi padi. memiliki
kekerabatan dengan fusarium poliferatum anggota subgrup dan Fusarium andyazy sebagai
outgrup yang tidak memiliki kekerabatan.

4.1.4 Hasil Amplifikasi PCR Agarose metode RAPD


Hasil amplifikasi PCR-RAPD melalui elektroforesis (Gambar 4) didapatkan hasil
berupa visualisasi pita-pita DNA yang cukup jelas dan tidak smear. Berdasarkan hasil
elektroforesis pita-pita DNA hasil amplifikasi dapat dibedakan dan dikelompokkan menjadi
pita DNA monomorfik dan pita DNA polimorfik. Dengan demikian 2 primer OPA yang
digunakan untuk analisis PCR-RAPD spesifik dengan gen Fusarium poliferatum dan F.
andiazy. Terdapat perbedaan pita DNA antara F. poliferatum dengan F. andyazy yang
menunjukkan tingkat polimorfisme antar spesies.

Gambar 4. Hasil amplifikasi PCR-RAPD pada media agarose dari kiri ke kanan (Primer OPA
3 1-4) (Primer OPA 4 1-4) (M) Marker, (1) Sampel kode 10, (2) Sampel kode 38, (3) sampel
kode 48, (4) sampel kode 7, (1) Sampel kode 10, (2) Sampel kode 38, (3) sampel kode 48, (4)
sampel kode 7
4.1.5 Hasil UPGMA diagnosis
UPGMA mengelompokkan hasil berdasarkan kekerabatan suatu mikroorganisme, pada
hasil praktikum ini semakin terlihat jelas bahwa kode sampel 7 spesies Fusarium andyazy
berbeda kekerabatannya terhadap ke empat kode sampel 10, 38 dan 48 yang mana ketigas
sampel tersebut merupakan spesies Fsuarium poliferatum

Gambar 5. Dendrogram yang dihasilkan dari analisis cluster UPGMA yang menggambarkan
hubungan kekerabatan Fusarium poliferatum dengan Fusarium andyazy
menggunakan

4.2 Pembahasan
Upaya manajemen penyakit tumbuhan merupakan hal yang penting dalam memastikan
keberhasilan kegiatan budidaya. Deteksi dini merupakan upaya dari suatu proses dalam
pengungkapan akan adanya kemungkinan penyakit terjadi serta untuk mengatasi berbagai
permasalahan yang mungkin timbul dan menerapkan pengendalian yang aman, efektif dan
efisien yang dibutuhkan sedini mungkin. Prosesnya dapat dimulai dengan mengidentifikasi
penyebab penyakit yang ditemukan dilapang. Identifikasi berdasarkan kenampakan gejala dan
tanda, monitoring vector dan inang alternatif tentunya belum memberikan informasi yang
sepenuhnya akurat. Tahapan selanjutnya untuk memperjelas hasil dapat dilakukan dengan
mengambil sampel bergejala penyakit kuning tersbut untuk dilakukan berbagai pengujian yang
dibuthkan seperti pengujian serological dan molekuler.
Patogen Fusarium poliferatum yang digunakan pada praktikum diagnosis tanaman ini
berasal dari tiga daerah sampel yaitu Sumatra Utara, Bali dan NTT. Ketiga jamur memiliki
pigmentasi warna ungu yang menjadi penciri utama Fusarium sp pada media buatan. Jamur
yang telah di tumbuhkan pada medium PDB cair berumur 7 hari di saring untuk mendapatkan
koloni murni yang selanjutnya dilakukan ekstraksi DNA menggunkan GeneId yang
pelaksanaannya menggunakan protocol yang telah ada pada KIT tersebut. Proses ekstraksi
harus dijauhkan dari kontaminasi bahan pembawa lain seperti kontaminasi jamur lain serta
jumlah DNA yang memadai, hal ini sesuai dengan pernyataan Mulyatni et al., (2011 dalam
Rakhmana et al., 2015) menyatakan bahwa visualisasi sampel DNA yang terang dan tebal
memiliki konsentrasi dan tingkat kemurnian tinggi. Hasil visualisasi pada agar agarose
menunjukkan DNA Fusarium poliferatum teramplifikasi pada 700 bp, pada panjang tersebut
adalah panjang yang diharapkan untuk mendeteksi spesies Fusarium poliferatum dengan
menggunakan primer universal ITS. Hal ini juga di buktikan dengan adanya kontrol positif
yang menunjukkan hal yang sama yaitu teramplifikasi di 700 bp (Gambar 4.1). Dengan
demikian ketiga sampel yang berasal dari Sumatra Utara, Bali dan NTT merupakan spesien
Fusarium poliferatum. Setelah diketahui spesies pathogen Fusarium poliferatum, DNA
pathogen Fusarium poliferatum yang telah berhasil di isolasi tersebut dijadikan dasar
percobaan pengujian PCR selanjutnya yaitu RAPD dan RFLP.
PCR-RFLP bertujuan untuk menvisualisasi perbedaan pada level DNA yang
berdasarkan pada penggunaan enzim pemotongan (restriction enzyme) yang dapat memotong
DNA pada sekuens nukleotida spesifik (Montaldo dan Herre, 1998). Karena sifat yang spesifik,
maka enzim akan memotong situs yang dikenalinya. Pada metode RFLP praktikum kali ini
menggunakan TEF1-α dengan melihat pemotongan pada enzim tersbut maka akan terlihat
dengan jelas identifikasi hingga tingkat spesie fusarium polifertum. Dengan menggunakan
Teknik identifikasi ini sebagai penciri genetik akan terlihat perbanyakan DNA secara cepat
dengan memakai Polymerase Chain Reaction (PCR) dan polimorfisme fragmennya dilakukan
dengan enzim restriksi, sehingga mampu mengidentifikasi genotipe secara jelas pula. Hasil
sekuensing gen dengan restriksi TEF1-α analisis pola pemotongan enzim restriksi
menunjukkan tidak adanya perbedaan strain Fusarium poliferatum. Pola pita hasil pemotongan
enzim restriksi F. poliferatum sampel Sumatra Utara, Bali dan NTT berbeda dengan isolate
Fusarium andyazy sebagai kontrol. Teknik RFLP digunakan untuk mengetahui perbedaan
sampel dengan cara melakukan pemotongan terhadap DNA hasil amplifikasi PCR. Hidayat et
al. (1999). Untuk lebih meyakinkan perbedaan antar isolate sampel perlu pengujian dengan
analisis sikuen DNA (telah dilakukan oleh coast Dr. syafiqa) sehingga selanjutnya adalah
membandingkan hasil urutan gen TEF1-α dengan gen yang tersimpan di NCBI menggunakan
Teknik BLASTn yang didapatkan cluster bahwa sampel kode 38 asal Bali (F. proliferatum
TEF gene) memiliki hubungan dekat dengan LC17725_IFM52350 (teridentifikasi sebagai F.
proliferatum, Pramunadipta dkk. 2021) dengan similaritas sebesar 93%. Klaster F.
proliferatum AB917017_MAFF410715 dan F. proliferatum MAFF410716 memiliki
similaritas dengan klaster F. proliferatum TEF gene kode sampel 38 dan F. proliferatum
LC17725_IFM52350 sebesar 50%. F. proliferatum TEF gene kode sampel 10 dan F.
proliferatum TEF gene kode sampel 48 juga berada dalam satu klaster dengan 4 isolat
sebelumnya dan menunjukkan similaritas sebesar 100% yang teridentifikasi sebagai F.
proliferatum. Menurut Pramunadipta dkk. 2021, keseluruhan isolat yang disebutkan termasuk
kedalam anggota Fusarium fujikuroi species complex (FFSC). Berdasarkan identifikasi awal
mengenai karakteristik morfologi, Fusarium spp. diklasifikasikan sebagai anggota dari FFSC,
FIESC dan Fusarium spp. tak dikenal. Hasil urutan gen TEF 1-alpha dihasilkan 44 spesies
Fusarium. Dalam penelitian saat ini, F. andiyazi, F. fujikuroi, F. pseudocircinatum, F.
proliferatum, dan F. sacchari termasuk kedalam anggota FFSC (O’Donnell dkk. 2015) yang
diidentifikasi sebagai patogen penyebab penyakit busuk. F. proliferatum menjadi spesies
utama yang diidentifikasi dalam kompleks FFSC ini (13 dari 20 isolat). Dan untuk, F. fujikuroi,
F. pseudocircinatum, dan F. sacchari dinilai sebagai patogen penyebab penyakit busuk batang
yang baru ditemukan (Pramunadipta dkk. 2021).
Pengujian PCR-RAPD bertujuan untuk mendeteksi polimorfisme pada tingkat DNA.
Metode ini dikembangkan oleh Welsh and Mc Clelland (1990) dengan cara mengkombinasikan
teknik PCR menggunakan primer – primer dengan sequens acak untuk keperluan amplifikasi
lokus acak dari genom. Pada praktikum ini PCR-RAPD menggunakan primer OPA 3 dan OPA
4 (f/r). Sekuens oligonukleotida untuk masing-masing primer sebagai berikut OPA3 (5-
AGTCAGCCAC-3) dan OPA4 (5-ATCGGGCTG-3) (Ekowati dkk. 2011). Primer OPA
digunakan untuk melihat polimorfisme pada ketiga isolate kode 10, 38 dan 48 dengan
pembanding isolate kode 7 (Fusarium Andyazy). Hasil yang diperoleh ketiga isolate kode 10,
38 dan 48 yang berasal dari ketiga daerah sampel yang berbeda memiliki similaritas pita band
DNA. Hal ini menunjjuka primer OPA 3 dan OPA 4 dapat digunakan sebagai primer untuk
melihat similaritas isolate. Hal ini sesuai dengan penelitian Maki dkk (2010) yang telah
menggunakan 20 jenis primer dari OPA (OPA1 sampai OPA20) untuk mengetahui adanya
variasi genetik dari isolat tertentu dan hanya primer OPA1-OPA5 menunjukkan polimorfisme
pada isolat yang digunakan. Polimorfisme dari ke empat isolate mampu dibedakan dengan
primer OPA 3 dan OPA 4 yang digunakan untuk membedakan genotopnya. Polimorfisme juga
bisa dilakukan dengan melihat hubungan kekerabatan yang ada antar ketiga isolate Fusarium
poliferatum dengan isolate Fusarium andyazy dengan menggunakan metode klastering
UPGMA untuk mengkonstruksi dendogram. UPGMA mengelompokkan hasil berdasarkan
kekerabatan suatu mikroorganisme, pada hasil praktikum ini semakin terlihat jelas bahwa kode
sampel 7 spesies Fusarium andyazy berbeda kekerabatannya terhadap ke empat kode sampel
10, 38 dan 48 yang mana ketigas sampel tersebut merupakan spesies Fsuarium poliferatum.
Pada pohon filogenetik (Gambar 4.1.4.) diketahui bahwa terdapat dua isolat yang merupakan
outgroup yaitu F. andiyazi kode sampel 7 dan isolat dengan assessed number MN534059_CBS
490.86. Tujuan digunakannya outgroup adalah sebagai pembanding hasil similaritas antar satu
jenis dan pada jenis yang berbeda.
BAB 5. KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan
1. Isolate asal Sumatra Utara, Bali dan Nusa Tenggara Timur merupakan isolate Fusarium
poliferatum yang teramplikfikasi di 700 bp menggunakan primer universal ITS
2. primer OPA 3 dan OPA 4 mampu mengidentifikasi keragaan Fusarium sp. hasil analisis
PCR-RAPD spesifik dengan gen Fusarium poliferatum dan F. andiazy. Terdapat
perbedaan pita DNA antara F. poliferatum dengan F. andyazy yang menunjukkan
tingkat polimorfisme antar spesies.
3. Hasil PCR-RFLP menggunakan sepasang primer EF1 238 (Forward) dan EF2 239
(Reverse) dengan enzim restriksi TEF alfa 1 menunjukkan perbandingan pola RFLP
yang terlihat jelas. Pola pemotongan enzim restriksi menunjukkan tidak adanya
perbedaan strain Fusarium poliferatum. Kecuali pada Fusarium andyazy sebagai
pembeda (kontrol)
4. Pohon pilogenetik terbentuk dengan menunjukkan cluster yang jelas antara F.
poliferatum dengan F. andyzay
DAFTAR PUSTAKA

Abbas HK, Cartwright RD, Shier WT, Abouzied MM, Bird CB, Rice LG et al (1998) Natural
occurrence of fumonisins in rice with Fusarium sheath rot disease. Plant Dis 82:22–
25. https://doi.org/ 10.1094/PDIS.1998.82.1.22.

Adriyansyah, F., Hanum, L., Muharni, M dan Windusari, Y. 2018. Analisis Polimorfisme Padi
Varietas Lokal Sumatera Selatan Berdasarkan Pendekatan PCR-RAPD. Jurnal Lahan
Suboptimal, 7(1): 50-58.

Ashraf, K., Ahmad, A., Chaudhary, A., Mujeeb, M., Ahmad, S., dan M. Amir. 2014. Genetic
Diversity Analysis of Zingiber Officinale Roscoe by RAPD Collected from
Subcontinent of India. Saudi Journal of Biology Science, XXI(2), 159- 165.

Chaudhary, R dan G. Maurya. 2020. Restriction Fragment Length Polumorphism. J. Vonk, T.


K. Shackelford (eds.), Encyclopedia of Animal Cognition and Behavior,
https://doi.org/10.1007/978-3-319-47829-6_175-1.

Ekowati, N., R.S. Kasiamdari, N. Pusposendjojo dan C.J. Soegihardjo. 2011. Variasi Genetik
Berdasarkan Penanda Molekular Random Amplified Polymorphic DNA Pada Jamur
Shiitake (Lentinula edodes). Biota Vol. 16 (2): 178−186. ISSN 0853-8670.

Hidayat, S.H., Rusli, E.S. & Aidawati, N. 1999. Penggunaan primer universal dalam PCR
untuk mendeteksi virus gemini pada cabe. Prosiding Kongres Nasional XV dan
Seminar Ilmiah PFI Purwokerto 16-18 September 1999. Hal 355- 359

Maki, C.S., Teixeira, F.F., Paiva, E. dan Meirelles, L.D.P. 2001. Analyses of genetic variability
in Lentinula edodes through mycelia responses to different abiotic conditions and
RAPD molecular markers. Braz. J. Microbiol., 32 (3): 1−5.

McGregor, C.E., Lambert. C.A., Greyling, M.M., Louw, J.H., dan L, Warnich. 2000. A
Comparative Assesment of DNA Fingerprinting Techniques (RAPD, ISSR, AFLP,
and SSR) in Tetraploid Potato (Solanun tuberosum L.) Germplasm. Euphytica 113 :
135-144. University of Stellenbosch, Republic of South Africa.

Pinaria, A.2020. Jamur Fusarium yang Berasosiasi dengan Penyakit Busuk Batang Vanili di
Indonesia. UNSRAT PRESS. Manado.

Pramunadipta, S., A. Widiastuti, A. Wibowo, H. Suga dan A. Priyatmojo. 2021. Identification


and pathogenicity of Fusarium spp. associated with the sheath rot disease of rice
(Oryza sativa) in Indonesia. Journal of Plant Pathology.
https://doi.org/10.1007/s42161-021-00988-x.

Prasetya, A., Mutaqin, K, H., Sinaga, S, M dan Giyanto. 2017. Identifikasi Molekuler
Fitoplasma yang Berasosiasi dengan Tanaman Kaktus Hias Opuntia sp. Jurnal
Fitopatologi Indonesia, 13(4): 145-152.
Purnomo, E dan R.S, Ferniah. 2018. Polimorfisme Cabai Rawit dan Cabai Gendot dengan
Penanda RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) Menggunakan Primer OPA-
8. Berkala Bioteknologi, Vol.1, No.1.

Rakhmana, S., Saryono & Nugroho, TT. 2015. Ekstraksi DNA dan Amplifikasi ITS rDNA
Isolat Fungi Endofit LBKURCC67 Umbi Tanaman Dahlia (Dahlia variabilis). JOM
FMIPA 2(1): 145-151

Randriani, E., Tresniawati, C., dan Syafaruddin. 2012. Pemanfaatan Teknik Random
Amplified Polymorphic DNA (RAPD) Untuk Pengelompokan Secara Genetik Plasma
Nutfah Jambu Mete (Anacardium occidentale L.). Buletin RISTRI, Vol.3 (1). Balai
Penellitian Tanaman Industri dan Penyegar, Sukabumi.

Rusli, M.H. 2012. Detection, Control and Resistance Expression in Oil Palm (Elaeis guneensis)
Causes by Fusarium oxysporum f.sp. elaeidis. Disertasi . University of Bath: United
Kingdom.
Sari, W., Wiyono, S., Nurmansyah, A., Munif, A dan Poerwanto, R. 2017. Keanekaragaman
dan Patogenesitas Fusarium spp. Asal Beberapa Kultivar Pisang. Jurnal Fitopatologi
Indonesia, 13(6); 216-228.
Sudiono, Hidayat, S. H., Suseno, R dan Sosromarnoso, S. 2004. Penggunaan Teknik PCR dan
RFLP untuk Deteksi dan Analisis Keragaman Virus Gemini pada Tanaman Tomat yang
Berasal dari Berbagai Daerah di Jawa Barat dan Lampung. J. Hama dan Penyakit
Tumbuhan Tropika, 4(2): 89-93.

Anda mungkin juga menyukai