Tujuan : Untuk mendapatkan metode isolasi, kultur dan fusi protoplas antara padi liar (Oryza
officinalis) dan padi budidaya jenis (Oryza sativa)
Pada tabel 1 dapat diketahui bahwa metode isolasi dan purifikasi protoplas padi varietas
IR64 dan padi liar (O. Officinalis) masing-masing bersumber dari jaringan daun dan kalus.
Berdasarkan konsentrasi enzim selulase yang dapat diketahui bahwa protoplas dari jenis O.
Sativa memiliki tingkat keberhasilan dan densitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan O.
Officinalis. Pada pemakaian komposisi selulose 2% pada sumber protoplas dari daun maupun
kalus dari jenis padi IR64 tidak menunjukkan perbedaan cukup nyata terhadap densitas
protoplas yang dihasilkan. Penggunaan selulase 1% dari sumber protoplas daun padi liar tidak
menghasilkan protoplas, sedangkan penggunaan selulase 2% hanya menghasilkan densitas
sangat rendah. Penggunaan konsentrasi selulase 3% hanya dicoba pada sumber protoplas kalus
yang menunjukkan pada konsentrasi selulase 3% protoplas mengalami proses plasmolisis
sehingga sel-sel nya pecah.
Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa dari beberapa perlakuan yang dicobakan pada
protoplas padi liar dan IR64 dapat bertahan hidup sampai hari ketujuh pada media dasar MS
dengan penambahan sukrosa 1% + manitol 5 M + 2,4-D 0,5 mg/l + kinetin 0,3 mg/l dalam
bentuk fisik cair. Protoplas yang ditanam pada media dasar MS + manitol 0,4 mM + BA 2 mg/l
+ zeatin 0,1-1 mg/l + agarose 0,8 g/l (semi padat) atau 2 g/l (padat) menunjukkan bahwa kedua
jenis protoplas masih utuh sampai hari ke – 3, akan tetapi setelah itu pecah sedikit demi sedikit
hingga pada hari ke-7 semua protoplas pecah. Hal ini diduga karena belum cocoknya komposisi
media dengan protoplas sehingga terjadi plasmolisis. Protoplas yang ditanam pada media dasar
MS dan N6 yang ditambah dengan glukosa 0,3% dan sukrosa 4% dengan kondisi fisik padat
dan cair menunjukkan bahwa setelah dilakukan pengamatan selama satu minggu belum
memberikan respon pertumbuhan protoplas yang dikulturkan, baik IR64 dan padi liar sehingg
belum memberikan hasil yang optimal. Penanaman protoplas yang dilakukan pada media dasar
MS dalam bentuk cair dengan penambahan sukrosa 1% dan manitol 5 M yang ditambah dengan
2,4-D 0,5 mg/l dan kinetin 0,3 mg/l dan AgNO3 3 mg/l . dapat menyebabkan pembelahan sel
terjadi hanya pada varietas IR64 yang ditanam pada media yang mengandung AgNO 3 dengan
intensitas yang rendah. Penambahan AgNO3 dapat menghambat senyawa etilen sehingga dapat
meningkatkan jumlah koloni yang terbentuk dari kultur protoplas.
Nama : Almira Livia
NIM : 23020220130101
Pendahuluan
Hasil amplifikasi PCR dengan primer rbcL dan ORF106 pada DNA tetua fusi
sebagai cetakan (template) menunjukkan bahwa selain fragmen berukuran 3,2 kb yang
dihasilkan oleh primer spesifik tersebut, juga terdapat fragmen berukuran 1,2 kb.
Fragmen dengan ukuran sekitar 3,2 kb muncul pada semua sampel yang dianalisis dan
menunjukkan bahwa tidak terdapat variasi antara setiap tetua fusi, hal ini berarti pula
bahwa bagian tertentu dari DNA kloroplas yang dijadikan target dapat teramplifikasi
secara benar. Sedangkan fragmen dengan ukuran sekitar 1,2 kb hanya muncul pada
sampel BF-15, S.phureja, Aminca, Cardinal, Nicola, tetapi tidak muncul pada S.
stenotomum.
Hasil analisis RAPD genom kloroplas pada tetua fusi dan hasil hibridisasi
somatiknya, menunjukkan bahwa pola segregasi genom kloroplas pada tanaman
kentang hasil hibridisasi somatik bersifat acak, dimana dari 10 tanaman hibrida somatik
antara BF-15 dan S. phureja terdapat dua nomor individu yang identik dengan genom
kloroplas BF-15 dan delapan nomor individu yang identik dengan genom kloroplas S.
phureja. Demikian pula terjadi pada hibridisasi somatik antara BF-15 dan S.
stenotomum, sebagian tanaman hasil hibridisasi somatiknya mengikuti tipe kloroplas
tetua BF-15 dan sebagian lainnya mengikuti tipe kloroplas tetua S. Stenotomum.
Berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada tanaman kentang
hasil hibridisasi somatik, hanya satu tipe genom kloroplas tetua yang bartahan dan yang
lainnya akan mengalami kejadian sorting out. Selain itu, diketahui pula bahwa genom
kloroplas tanaman kentang hasil hibridisasi somatik tidak mengalami rekombinasi dan
rearrangement, karena pola pita DNA kloroplas tanaman hasi hibridisasi somatiknya
semuanya identik dengan pola pita DNA kloroplas tetuanya.
Kesimpulan
Amplifikasi genom kloroplas pada semua tetua fusi menggunakan primer rbcL
dan ORF106 dengan PCR menghasilkan fragmen DNA berukuran 3,2 kb.Analisis
RFLP pada fragmen 3,2 kb menggunakan enzim restriksi RsaI dan HhaI pada semua
sampel tetua fusi yang digunakan menghasilkan pola pita yang bersifat monomorfik.
Metode analisis RFLP pada fragmen DNA berukuran 3,2 kb hasil amplifikasi PCR
menggunakan primer rbcL dan ORF106 dari genom kloroplas, tidak dapat digunakan
untuk identifikasi pola segregasi genom kloroplas tanaman hasil hibridisasi somatik
antara BF-15 dan S. stenotomu.
Nama : Donna Nabiela K
NIM : 23020220140131
Pendahuluan
Nilam Aceh (Pogostemon cablin Benth.) merupakan jenis nilam yang banyak
dibudidayakan untuk tujuan produksi minyak. Nilam Jawa (P. heyneanus Benth.) merupakan
nilam jenis lain yang dibudidayakan dalam skala terbatas, kadar minyak < 2%, kualitas rendah,
toleran terhadap nematoda, dan dapat berbunga. teknik in vitro melalui fusi protoplas dilakukan
untuk menggabungkan sifat unggul yang dimiliki nilam Aceh. hibrida somatik hasil fusi
protoplas antara nilam Jawa dengan nilam Aceh secara genetik memiliki kekerabatan yang
lebih dekat dengan nilam Aceh yang memiliki kandungan dan kualitas minyak atsiri yang
tinggi. Genotipe hasil fusi protoplas atau hibrida somatik yang diharapkan selain memiliki
kandungan dan kualitas minyak atsiri yang tinggi juga tahan terhadap nematoda.
` Analisis korelasi antara karakter kuantitatif dengan produksi terna kering menunjukkan
adanya korelasi fenotipik dan genotipik nyata. Korelasi positif nyata ditunjukkan oleh korelasi
antara produksi terna kering dengan tinggi tanaman, jumlah cabang primer, panjang cabang
sekunder, panjang dan lebar daun, panjang tangkai daun serta produksi terna basah. Hal ini
berarti bahwa semakin tinggi karakter-karakter di atas maka produksi terna kering akan
semakin meningkat. Nilai korelasi fenotipik yang lebih tinggi daripada genotipik terjadi karena
faktor lingkungan dan interaksi genetik x lingkungan mendukung ekspresi gen-gen dalam
pleitropisme (satu gen mengendalikan beberapa karakter) dan linkage (dua atau lebih gen
terletak pada kromosom yang sama dan cenderung diturunkan secara bersama). Korelasi
genotipik nyata yang tidak diikuti oleh korelasi fenotipiknya terjadi antara karakter jumlah
cabang primer dengan jumlah daun cabang primer dan korelasi antara jumlah daun per
cabangprimer dengan panjang daun. Hal tersebut disebabkan faktor lingkungan tidak dapat
mendukung ekspresi gen-gen pengendali dari karakter-karakter tersebut. Sebaliknya
terlihat adanya pasangan karakter yang memiliki koefisien korelasi fenotipik nyata tetapi
koefisien korelasi genotipiknya tidak nyata, korelasi yang terjadi tersebut semata-mata
karena pengaruh lingkungan. Korelasi yang terjadi akibat pengaruh lingkungan dijumpai
pada pasangan antara jumlah cabang primer dengan panjang dan lebar daun; panjang
cabang primer dengan jumlah cabang sekunder, jumlah daun cabang primer, panjang dan
lebar daun, panjang tangkai daun, produksi terna basah dan kering; serta jumlah cabang
sekunder dengan panjang cabang sekunder, jumlah daun cabang primer, lebar daun dan
panjang tangkai daun.
Nama : Muhammad Ariq Nurfalih
Nim : 23020220140123
Studi Karakter Morfologi Daun dan Identifikasi Ploidi Tanaman F1 Jeruk Hasil Fusi Protoplas Jeruk Siam
Madu dengan Mandarin Satsuma
Berdasarkan gambar 1. Diatas diketahui pengamatan kuantitatif daun, parameter yang diamat berupa
panjang daun dan lebar daun. Panjang daun pada asesi berkisar 3,03 cm – 6,53 cm, sedangkan yang
terpanjang ialah FS 56 dengan panjang 6,53 cm. Untuk lebar daun berkisar 1,6 cm – 3, 48 cm. Sedangkan
untuk Siam Madu memiliki panjang 7 cm dan lebar 3,5 cm. Satsuma Mandarin memiliki panjang 9,2 cm
dan lebar daun 4,3 cm. Pada tanaman fusan, memiliki nilai yang lebih rendah dari tetuanya (Satsuma
Mandarin). Secara umum hasil karakter daun tanaman fusan memiliki ukuran panjang dan lebar yang
beragam.
Untuk memperoleh jumlah biji yang sedikit pada jeruk Siam Madu, dibutuhkan teknologi
pemindahan sifat tanpa biji (seedless) dari Mandarin Satsuma dengan fusi protoplas. Fusi protoplas
merupakan penggabungan dua atau lebih protoplas yang bersentuhan dan melekat satu sama lain. Dari fusi
protoplas tersebut, nantinya dapat diketahui tie ploidi dan karakter-karakter daun tanaman hasil fusi.
Tanaman hasil fusi protoplas menimbulkan manipulasi ploidi yaitu allopoliploid. Karakterisasi pada jeruk
dilakukan pada tanaman yang telah berumur tiga tahun. Pada hasil pengamatan, terdapat kelompok yang
memiliki karakter daun kombinasi kedua tetuanya dan dapat diketahui bahwa FS14 dan FS69 memiliki
ploidi tetraploid dan FS31 termasuk diploid.
Nama : Anggit Setya Nugraha
Nim : 23020220140081
Tabel 7. Persentase protoplas terung yang membentuk dinding dan membelah pada satu minggu setelah penaburan
pada berbagai kondisi lingkungan kultur dan jenis media.
Karakterisasi ketahanan hibrida somatik terhadap penyakit layu bakteri dilakukan di Kebun
Percobaan Pacet (1.000 m dpl) dan Kebun Percobaan Cibadak (1.200 m dpl). Tanaman umur 1
bulan sejak aklimatisasi diinokulasi dengan cara disiram suspensi bakteri R. solanacearum T926 di
sekitar akar tanam- an yang telah dilukai. Selanjutnya tanam- an diinkubasi selama 2 hari lalu
dipindah- kan ke lapangan. Tanaman yang bertahan di lapangan dikarakterisasi pertumbuhan dan
produksinya. Karakterisasi genetisdan molekuler meliputi jumlah kromosom, markah spesifik spesies
dan isoenzim.
Hasil uji ketahanan menunjukkan bahwa hibrida somatik tahan terhadap infeksi R.
solanacearum, bahkan beberapa di antaranya lebih tahan dari kerabat liarnya. Hal ini terjadi karena
hibrida somatik umumnya lebih vigor daripada terung maupun kerabat liarnya, namun potensi
hasilnya lebih rendah dariterung. Ukuran dan bentuk buah hibrida berada antara terung budi daya
dan kerabat liarnya serta rasanya pahit. Hibrida hasil fusi antara terung dan tako- kak tidak
menghasilkan buah karena bunga selalu gugur sebelum mekar. Hal ini diduga karena adanya
ketidaksesuaiansehingga fusi asimetris dirintis untuk diterapkan.
Judul : Isolasi Dan Kultur Protoplas Mesofil Daun Dari Beberapa
Genotip Ubi Kayu (Manihot esculenta crantz)
Nama Jurnal : BIOPROPAL INDUSTRI
Volume dan Halaman : Vol. 10, No. 1, 1-13
Tahun 2019
Penulis : Hani Fitriani, Nurhamidar Rahman, Siti Kurniawati, Pramesti
Dwi Aryaningrum dan N. Sri Hartati
Reviewer : Fathan Oktano Indra Putra
Tanggal Reviewer : 26 November 2021
1. Tujuan
Pada jurnal penelitian dilakukan bertujuan untuk mendapatkan protoplas dari mesofil
daun tiga jenis ubi kayu yaitu Gajah, Mentega 2 dan Ubi Kuning koleksi in vitro dengan
perlakuan komposisi enzim selulase, maserozim dan pektoliase serta media kultur protoplas.
2. Pendahuluan
Bibit ubi kayu dengat sifat unggul dapat diperoleh melalui teknik fusi protoplas.
Teknik fusi protoplas merupakan salah satu metode yang digunakan pada perakitan tanaman
untuk mendapatkan sifat unggul yang diinginkan. Metode fusi protoplas atau hibridisasi
somatik merupakan salah satu metode yang dapat mengatasi permasalahan dalam pemuliaan
tanaman dengan sifat unggul yang disandi oleh banyak gen. Teknik ini diperlukan dalam
pemuliaan tanaman untuk menyeleksi dan merakit varietas hibrida secara lebih cepat.
Isolasi protoplas adalah teknik untuk menghasilkan protoplas yang utuh dan viable
dari jaringan tanaman hidup dengan cara menghilangkan dinding selnya. Teknik ini
merupakan tahap awal dari beberapa tahapan dalam melakukan fusi protoplas atau hibridisasi
somatik untuk merakit bibit unggul. Faktor penentu keberhasilan dalam prosedur isolasi
protoplas tanaman adalah proses penghilangan atau pelisisan dinding sel dan mendapatkan
protoplas yang utuh. Dinding sel yang masih muda biasanya tersusun dari zat pektin dan
selulosa, sehingga untuk melisiskan zat penyusun dinding sel tersebut diperlukan zat yang
dapat menghancurkan atau melarutkannya. Penghilangan dinding sel dapat dilakukan secara
mekanis maupun enzimatis. Beberapa jenis enzim yang biasa digunakan adalah selulase R-
10, pektoliase Y-23, hemiselulose dan maserozim.
3. Hasil dan Pembahasan
Material tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah kultur ubi kayu genotip
Mentega 2, Gajah dan Ubi Kuning yang merupakan koleksi Pusat Penelitian Bioteknologi
LIPI. Larutan enzim yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari empat variasi, yaitu
kombinasi dari enzim selulase, maserozim dan pektoliase. Keempat kombinasi larutan enzim
tersebut disterilisasi dengan filter syringe (Millipore) berukuran 0,22 μM.
Berdasarkan Tabel 1, Protoplas telah berhasil diisolasi dari jaringan mesofil daun ubi
kayu genotip Gajah dan Ubi Kuning menggunakan campuran larutan enzim pada perlakuan
LE3, sedangkan perlakuan lainnya (LE1, LE2 dan LE4) sebagian besar belum mampu
menghasilkan protoplas utuh (viable). Protoplas ubi kayu genotip Mentega 2 pada keempat
perlakuan inkubasi larutan enzim banyak mengalami plasmolisis dan hanya sebagian kecil
protoplas utuh yang berhasil diisolasi sehingga kerapatan protoplas tidak terhitung karena
protoplas tidak terdeteksi di hemositometer. Perlakuan LE3 dengan komposisi 2% selulase,
1% maserozim dan 0,1% pektoliase dapat digunakan untuk melisiskan dinding sel mesofil
daun ubi kayu dari genotip Gajah dan Ubi Kuning meskipun pada sebagian kecil masih
terdapat protoplas yang mengalami plasmolisis sedangkan mesofil Mentega 2 memerlukan
komposisi larutan enzim yang lain untuk melisiskan mesofil daunnya.
4. Kesimpulan
Protoplas utuh dari mesofil ubi kayu genotip Mentega 2, Ubi Kuning dan Gajah telah
diisolasi menggunakan larutan enzim dengan komposisi 2% selulase, 1% maserozim dan
0,1% pektoliase menghasilkan protoplas berkisar antara 0,197-0,6 x 106 protoplas/mL.
Protoplas dapat tumbuh membentuk mikrokalus pada media semipadat MS mengandung 2
μM CuSO4, 2 mg/L BAP, 1 mg/L IAA, 2% sukrosa dan pemadat 1% Phytagel. Mikrokalus
selanjutnya dapat berkembang menjadi kalus pada delapan media perlakuan yang terdiri dari
empat media padat dan empat media cair yaitu media Gresshoff and Doy (GD); MS dan GD
masing-masing dengan konsentrasi setengah; MS dengan penambahan 2,4-D (0,1 dan 0,5
mg/L) dan BAP 2 mg/L. Kedelapan media pertumbuhan kalus dapat membuat mikrokalus
tumbuh dan berkembang secara kuantitas dan ukuran menjadi nodul-nodul menyerupai kalus.
Mikrokalus tumbuh lebih cepat pada media padat dibandingkan pada media cair.
Kesimpulan
Berdasarkan makalah yang telah dibuat dapat disimpulkan bahwa hibridisasi somatik
merupakan teknik persilangan untuk menghasilkan hibrida melalui fusi sel serta dapat
menjadi alternatif dalam mengatasi keterbatasan pada persilangan seksual. Hibridisasi
somatik berperan dalam membuka peluang untuk menciptakan hibrid tanaman yang tidak
mungkin diperoleh melalui persilangan biasa dan dapat digunakan sebagai teknologi
alternatif sebagai pengganti perlakuan kolkisin untuk mendapatkan tanaman tetraploid.
Hibridisasi somatik memiliki manfaat apabila diterapkan untuk mengatasi masalah
inkompatibilitas seksual, namun yang menjadi hambatannya yaitu sulitnya meregenerasikan
produk fusi dan seringkali tanaman yang dihasilkan memiliki tingkat fertilitas yang rendah.
Jurnal AgroBiogen 3(2):60-65
pengatur tumbuh, dan kondisi inkubasi (Bradsaw dan (1) isolasi dan kultur protoplas dan (2) studi fusi
Mackey 1994). protoplas antara padi liar dengan budi daya.
Pada tanaman padi telah dilaporkan keberhasilan
Sumber Protoplas
regenerasi protoplas menjadi tanaman lengkap
(Abdullah et al. 1986). Regenerasi tanaman hasil fusi Sumber protoplas yang digunakan adalah kalus
protoplas inter-spesies antara padi budi daya subspe- embriogenik atau batang muda hasil perkecambahan
sies Japonica dan beberapa species padi liar telah secara in vitro dari padi varietas IR64 dan O. officinalis
dilaporkan oleh Yan et al. (2004) dan Takamure et al. No. 105365. Untuk mendapatkan kalus yang akan digu-
(1992). nakan sebagai sumber protoplas, embrio dari benih
Sebelum dilakukan fusi maka teknik isolasi proto- (yang telah diberi perlakuan pengeringan pada suhu
plas harus dikuasai terlebih dahulu. Protoplas adalah 50oC selama dua hari) diisolasi dan ditanam pada me-
sel telanjang tanpa dinding yang hanya dilindungi oleh dia induksi kalus, yaitu MS + 0,4 mg/l BAP + 2 mg/l
membran plasma. Isolasi protoplas pertama kali dila- 2,4-dichlorophenoxyacetic acid + 3 g/l casein hydro-
kukan oleh Klercher pada tahun 1892. Protoplas dapat lysate + 2% sukrosa. Sedangkan untuk mendapatkan
diisolasi dari hampir semua bagian tanaman, seperti sumber protoplas yang berasal dari jaringan muda, be-
akar, daun, nodul akar, koleoptil, kultur kalus dan nih dikecambahkan pada media MS tanpa penambah-
daun in vitro (Husni et al. 2003). Isolasi protoplas pada an zat pengatur tumbuh.
umumnya dilakukan secara enzimatis. Jenis dan kon-
Isolasi dan Purifikasi Protoplas
sentrasi enzim sangat bervariasi seperti selulase R-10,
pektiolase Y-23, pektinase, maserosim, dan Sebanyak +1-2 g kalus friable dan jaringan daun
hemiselulosa (Purwito 1999). muda yang telah diiris-iris (+1 mm) masing-masing di-
Fusi protoplas dapat dilakukan secara kimiawi masukkan dalam cawan petri diameter 6 cm. Ke da-
dan fisik. Secara kimiawi, umumnya digunakan poli- lam cawan petri tersebut dimasukkan larutan enzim
etilen glikol (PEG) yang pertama kali dilaporkan oleh digesti. Untuk mendapatkan protoplas yang viabel de-
Kao dan Michayluk (1975). PEG berfungsi sebagai ngan densitas tinggi (105-106/ml) dilakukan beberapa
bulking agent, yaitu sebagai jembatan antar protoplas perlakuan. Perlakuan pertama dilakukan terhadap
yang mirip fungsinya dengan plasmodesmata. Terjadi- komposisi larutan enzim yang digunakan, yaitu selula-
nya fusi semakin besar pada saat proses penghilangan se 1, 2, dan 3% ditambah pektiolase 0,1%, maserozime
PEG, yaitu pada saat pencucian. Dalam hal ini, keber- 0,5% (w/v), driselase 0,5% (w/v), MES 5 mmol, dan
hasilan fusi sangat dipengaruhi oleh konsentrasi PEG manitol 13% yang dilarutkan dalam larutan CPW pada
yang digunakan, masa inkubasi dalam larutan PEG, pH 5,6 (Yan et al. 2004). Inkubasi dilakukan selama 3
dan jumlah kerapatan protoplas yang akan difusikan. jam dalam keadaan gelap pada suhu ruang sambil
Keuntungan fusi protoplas dengan PEG antara lain da- digojok pada kecepatan 50 rpm. Setelah masa inkuba-
pat dilakukan dengan peralatan sederhana. Secara si dilakukan penyaringan dengan saringan nilon dia-
fisik, fusi dilakukan dengan menggunakan aliran listrik meter 60 μm. Hasil penyaringan dimasukkan ke dalam
pada alat yang dilengkapi dengan generator AC dan tabung sentrifus dan disentrifugasi pada kecepatan
DC. Generator AC berfungsi untuk membuat protoplas 1500 rpm selama 10 menit pada suhu 22oC sampai ter-
berjajar membentuk rantai lurus, selanjutnya pulsa DC bentuk pelet protoplas. Supernatan dibuang sehingga
pada tegangan tertentu dapat menginduksi terjadinya hanya tinggal pelet saja. Pencucian dari sisa enzim
fusi karena pulsa DC dapat membuat celah yang dapat dilakukan dengan meresuspensi pelet dengan larutan
balik sehingga protoplas dapat berfusi (Zimmerman CPW + manitol 13%. Larutan suspensi protoplas ke-
dan Scheurich 1981). mudian disentrifugasi seperti tersebut di atas. Pencuci-
an dilakukan sebanyak dua kali. Untuk mendapatkan
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan protoplas yang murni dilakukan pengapungan proto-
metode isolasi, kultur dan fusi protoplas antara padi plas menggunakan larutan sukrosa 21% atau 25% se-
liar (Oryza officinalis) dan padi budi daya (O. sativa hingga protoplas yang utuh dan viabel akan terapung
var. IR64). di permukaan sedangkan protoplas yang rusak dan
debris akan mengendap dalam larutan sukrosa. Proto-
BAHAN DAN METODE plas murni dipisahkan secara hati-hati dengan meng-
Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Ja- gunakan pipet pasteur, kemudian dilakukan pencuci-
ringan Kelompok Peneliti Biologi Sel dan Jaringan, BB- an dengan larutan pencuci CPW + manitol 13%.
Biogen. Kegiatan ini mencakup dua kegiatan, yaitu Pengamatan dilakukan secara mikroskopis
menggunakan mikroskop inverted (Olympus) terha-
62 JURNAL A GROB IOGEN VOL. 3 NO. 2
dap jumlah protoplas yang dihasilkan dari masing- dari padi liar lebih sukar dan memerlukan waktu (1-2
masing perlakuan yang dicobakan. Jumlah protoplas minggu) yang lebih lama dibandingkan padi budi
dihitung menggunakan haemocytometer. daya. Kalus yang terbentuk bervariasi, baik struktur
maupun warnanya. Warna coklat dan kehitaman se-
Kultur Protoplas ring mendominasi penampakan kalus yang terbentuk.
Hasil isolasi dari padi liar O. officinalis dan padi Tahap awal pembentukan kalus dari embrio padi IR64
budi daya O. sativa (IR64) dikulturkan pada beberapa diperlukan waktu 6 minggu sedangkan untuk padi liar
komposisi media. Sebanyak 0,2 ml larutan suspensi hingga 8 minggu sampai kalus tersebut dapat disubkul-
protoplas dengan densitas 1 x 106 per ml dikulturkan tur pada media dengan komposisi yang sama. Setelah
pada 2 ml media dalam cawan petri ukuran diameter itu, subkultur kalus dengan warna dan tekstur yang
3 cm. Media yang dicoba untuk kultur protoplas baik dapat dilakukan setiap 2 minggu. Kalus yang di-
adalah: gunakan untuk diisolasi protoplasnya adalah kalus
embrionik yang berwarna putih atau putih kekuningan
1. MS + manitol 0,4 mM + BA 2 mg/l + zeatin 0,1-1,0
(Gambar 1a dan 1b). Yan et al. (2004) menyatakan
mg/l + agarose 0,8 g/l
bahwa kalus padi yang terbentuk pada tahap awal
2. MS + manitol 0,4 mM + BA 2 mg/l + zeatin 0,1-1,0
induksi tidak selalu menunjukkan kalus yang embrio-
mg/l + agarose 2 g/l
nik. Setelah melalui beberapa kali subkultur, kalus
3. MS + glukosa 0,3% + sukrosa 4% akan tampak membentuk cluster bulatan-bulatan kecil
4. MS + glukosa 0,3% + sukrosa 4% + agar 2 g/l yang bersifat friable. Proses subkultur kalus harus di-
5. N6 + glukosa 0,3% + sukrosa 4% lakukan paling lama setiap 3-4 minggu, karena kalus
6. N6 + glukosa 0,3% + sukrosa 4% + agar 2 g/l yang terlalu lama disimpan akan menurunkan sifat
7. MS + sukrosa 1% + manitol 5 M + 2,4-D 0,5 mg/l + embrionik dan akan berwarna coklat yang kemudian
kinetin 0,3 mg/l akhirnya akan mati.
8. MS + sukrosa 1% + manitol 5 M + 2,4-D 0,5 mg/l + Benih padi yang dikecambahkan secara in vitro
kinetin 0,3 mg/l + AgNO3 3 mg/l mulai tumbuh pada umur 1-2 minggu. Permasalahan
Mikrokalus yang telah terbentuk kemudian dipin- yang sering timbul dari perkecambahan adalah tingkat
dah ke dalam media dasar MS + 2,4-D 0,5 mg/l + BA 2 kontaminasi yang cukup tinggi. Daun yang berasal dari
mg/l + zeatin 0,1 mg/l untuk menginduksi pembentuk- planlet/bibit yang terlalu tua akan sulit untuk diisolasi
an kalus. Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuh- protoplasnya (Gambar 1c dan 1d).
an protoplas membentuk agregat sel atau mikrokalus
secara visual. Isolasi dan Purifikasi Protoplas
Hasil pengamatan dan penghitungan densitas
HASIL DAN PEMBAHASAN protoplas setelah perendaman dalam beberapa kom-
posisi enzim selama 4 jam dapat dilihat pada Tabel 1.
Sumber Protoplas Tabel 1 menunjukkan bahwa penggunaan komposisi
Kalus mulai terinduksi dari embrio padi setelah enzim yang sama terdapat variasi densitas protoplas
berumur 2-4 minggu setelah tanam. Pada tahap awal yang dihasilkan, baik dilihat dari jenis tanaman padi
tidak semua embrio memberikan respon yang sama maupun sumber protoplas yang digunakan. Pemakai-
dalam membentuk kalus. Embrio padi liar mempunyai an komposisi selulase 2% pada sumber protoplas dari
respon yang lebih rendah dibandingkan dengan em- daun maupun kalus dari jenis IR64 tidak menunjukkan
brio padi budi daya. Umumnya pembentukan kalus perbedaan yang nyata terhadap densitas protoplas
a b c d
Tabel 1. Kerapatan (densitas) protoplas padi IR64 dan O. officinalis dari jaringan daun dan kalus
pada beberapa komposisi enzim.
Komposisi enzim
Jenis padi Sumber protoplas
A B C
IR64 (O. sativa) Daun 1,12 x 104 1,19 x 106 -
Kalus 2,83 x 105 1,24 x 106 Pecah
Liar (O. officinalis) Daun 0 Sedikit -
Kalus 9,87 x 104 1,6 x 105 Pecah
A = selulase 1% RS (w/v), pektoliase 0,1% (w/v), maserozime 0,5% (w/v), driselase 0,5% (w/v);
B = selulase 2% RS (w/v), pektoliase 0,1% (w/v), maserozime 0,5% (w/v), driselase 0,5% (w/v);
C = selulase 3% RS (w/v), pektoliase 0,1% (w/v), maserozime 0,5% (w/v), driselase 0,5% (w/v).
yang dihasilkan. Penggunaan sumber protoplas yang proses plasmolisis sehingga sel-selnya pecah (over
berasal dari kalus menunjukkan hasil yang lebih baik digestion).
dibandingkan dengan sumber yang berasal dari jaring- Proses purifikasi dengan metode pengapungan
an daun. Hal ini ditunjukkan dengan densitas proto- menggunakan larutan sukrosa 25% menunjukkan hasil
plas yang lebih tinggi. Menurut Kim et al. (2005) dalam yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan
mengisolasi protoplas Alstroemeria, penggunaan kalus sukrosa 21%. Hal ini dapat dilihat dari lapisan proto-
embrionik yang friable sebagai sumber protoplas hasil- plas murni yang terpisah setelah proses sentrifugasi.
nya lebih efektif dibandingkan dengan yang berasal Lapisan protoplas yang terbentuk pada larutan sukrosa
dari jaringan daun atau kalus yang kompak. Sel-sel da- 25% lebih tegas dibandingkan dengan sukrosa 21%
lam jaringan daun mempunyai kandungan pektin yang (Gambar 2). Hasil pengamatan visual protoplas murni
lebih tinggi dibandingkan dari sel-sel dari kalus di bawah mikroskop dapat dilihat pada Gambar 3.
(Babaoglu 2000). Ukuran protoplas yang bersumber dari kalus O.
Keberhasilan isolasi protoplas terutama tergan- officinalis umumnya relatif lebih kecil dibandingkan
tung pada kondisi jaringan dan kombinasi enzim yang dengan protoplas IR64 yang bersumber dari jaringan
digunakan. Tidak ada metode baku dalam isolasi dan daun muda.
kultur protoplas karena setiap individu sel atau jaring-
an yang akan digunakan sebagai sumber protoplas ke- Kultur Protoplas
mungkinan akan memerlukan kondisi yang khusus. Hasil pengamatan terhadap perkembangan pro-
Sebagai contoh kultur suspensi sel merupakan sumber toplas dalam media kultur protoplas yang dicoba da-
yang paling mudah untuk diisolasi protoplasnya, demi- pat dilihat pada Tabel 2. Protoplas yang ditanam pada
kian juga sel-sel dari jaringan mesofil lebih banyak di- media dasar MS + manitol 0,4 mM + BA 2 mg/l +
gunakan dibandingkan sel-sel dari jaringan lain dalam zeatin 0,1-1 mg/l + agarose 0,8 g/l (semi padat) atau 2
tanaman (Gleddie 1995). g/l (padat) menunjukkan bahwa kedua jenis protoplas
Dari konsentrasi enzim selulase yang dicoba masih utuh sampai hari ke-3, tetapi setelah itu pecah
terlihat bahwa protoplas dari jenis O. sativa lebih tinggi sedikit demi sedikit pada hari berikutnya hingga pada
tingkat keberhasilan dan densitasnya dibandingkan hari ke-7 semua protoplas pecah. Keadaan ini diduga
dengan O. officinalis. Bahkan penggunaan selulase 1% oleh belum cocoknya komposisi media yang diguna-
pada sumber protoplas dari daun padi liar tidak meng- kan dan tekanan osmotik antara media dengan proto-
hasilkan protoplas, sedangkan penggunaan selulase plas sehingga terjadi plasmolisis. Pada percobaan lain
2% hanya menghasilkan protoplas dengan densitas menggunakan komposisi media dasar MS dan N6 di-
yang sangat rendah. Mori et al. (1986) menggunakan tambah glukosa 0,3% dan sukrosa 4% dengan kodisi
komposisi enzim driselase 1%, selulase RS 2%, selula- fisik padat dan cair. Hasil yang diperoleh dari percoba-
se R-10 2%, maserozime 2%, hemiselulosa 1%, dan an ini setelah pengamatan umur satu minggu menun-
pektoliase 0,1% untuk mengisolasi protoplas dari ka- jukkan bahwa semua perlakuan yang diberikan masih
lus empat spesies padi yang hasilnya menunjukkan belum memberikan respon terhadap pertumbuhan
bahwa keberhasilan protoplas padi budi daya untuk protoplas yang dikulturkan, baik untuk protoplas IR64
diisolasi lebih tinggi dibandingkan dengan padi liar. maupun padi liar. Percobaan lingkungan tumbuh yang
Mengingat keterbatasan sumber protoplas dari ja- cocok seperti konsentrasi osmotikum, yaitu glukosa
ringan daun maka percobaan penggunaan konsentrasi 0,3% dan sukrosa 4% masih belum memberikan hasil
selulase 3% hanya dicoba pada sumber protoplas dari yang baik. Protoplas masih pecah dan terkontaminasi.
kalus. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada Selanjutnya, penanaman protoplas dilakukan pada
konsentrasi selulase 3% protoplas cepat mengalami media dasar MS dan N6 dalam bentuk cair dengan
64 JURNAL A GROB IOGEN VOL. 3 NO. 2
a b
a b
Gambar 3. Protoplas padi IR64 (a) dan O. officinalis (b) setelah proses pemurnian (Perbesaran 100x).
Tabel 2. Kondisi protoplas setelah ditanam selam a 3-7 hari pada delapan komposisi m edia dengan tiga kondisi fisik yang berbeda.
MS + m anitol 0,4 m M + BA 2 mg/l + zeatin 0,1 mg/l + Semi padat Protoplas utuh sampai dengan hari ke-3, setelah itu pecah sedikit demi
agarose 0,8 g/l sedikit, hingga hari ke-7 protoplas pecah semua.
MS + m anitol 0,4 m M + BA 2 mg/l + zeatin 0,1 mg/l + Padat Protoplas utuh sampai dengan hari ke-3, setelah itu pecah sedikit demi
agarose 2 g/l sedikit, hingga hari ke-7 protoplas pecah semua.
MS + glukosa 0,3% + sukrosa 4% Cair Protoplas bertahan sampai hari ke-7
MS + glukosa 0,3% + sukrosa 4% + agar 2 g/l Padat Protoplas bertahan sampai hari ke-7
N6 + glukosa 0,3% + sukrosa 4% Cair Protoplas bertahan sampai hari ke-7
N6 + glukosa 0,3% + sukrosa 4% + agar 2 g/l Padat Protoplas bertahan sampai hari ke-7
MS + sukrosa 1% + manitol 5 M + 2,4-D 0,5 mg/l + Cair Protoplas bertahan sampai hari ke-7
kinetin 0,3 mg/l
MS + sukrosa 1% + manitol 5 M + 2,4-D 0,5 mg/l + Cair Protoplas O. officinalis bertahan sampai hari ke-7. Protoplas IR64 mem-
kinetin 0,3 mg/l + AgNO 3 3 mg/l berikan respon pembelahan sel dan m embentuk agregat sel dengan
intensitas yang rendah.
penambahan sukrosa 1% dan manitol 0,5 M diperkaya tanam pada media yang mengandung AgNO 3 dengan
dengan 2,4-D 0,5 mg/l dan kinetin 0,3 mg/l atau kinetin intensitas yang masih rendah (Gambar 4). Pemindah-
0,3 mg/l dan AgNO3 3 mg/l. Percobaan ini dilakukan an agregat sel yang terbentuk pada media induksi ka-
dengan mengadopsi metode yang dilakukan oleh Ishii lus MS + 2,4-D 0,5 mg/l + BA 2 mg/l + zeatin 0,1 mg/l
(1988) dalam mempelajari viabilitas sel-sel pada kultur tidak memperoleh respon pembentukan kalus karena
suspensi sel yang berasal dari protoplas padi. Menurut sel-sel umumnya pecah dan sebagian mengalami kon-
Ishii (1988) penambahan AgNO3, berfungsi sebagai taminasi.
penghamhat senyawa etilen, dapat meningkatkan
jumlah koloni yang terbentuk dari kultur protoplas. Ha- KESIMPULAN
sil pengamatan menunjukkan bahwa sampai minggu
pertama setelah penanaman, baik protoplas padi liar Dari hasil penelitian ini telah diketahui metode
maupun IR64 dapat bertahan hidup (tidak pecah) pa- isolasi dan pemurnian atau purifikasi protoplas padi
da semua media yang dicoba. Pembentukan dinding budi daya var. IR64 dan padi liar (O. officinalis), yang
sel diperkirakan terjadi pada hari ketiga setelah pena- masing-masing bersumber dari jaringan daun muda
naman. Tetapi setelah minggu pertama, respon pem- dan kalus embrionik friable. Dari beberapa perlakuan
belahan sel terjadi hanya pada varietas IR64 yang di- yang dicobakan protoplas padi liar dan IR64 dapat
2007 SUKMADJAJA ET AL.: Teknik Isolasi dan Kultur Protoplas Tanaman Padi 65
a b c
Gambar 4. Pembelahan sel asal protoplas dan pembentukan agregat sel IR64 pada media cair MS + kinetin 0,3 mg/l +
AgNO 3 3 mg/l + sukrosa 1% + m anitol 0,5 M.
bertahan hidup sampai hari ketujuh pada media dasar potato breeding programme: A review of progress and
MS dan N6 dengan penambahan 2,4-D 0,5 mg/l + problems. Euphytica 85:451-455.
kinetin 0,3 mg/l + sukrosa 1% + manitol 0,5 M. Respon Mollers, C.S. Zhang, and G. Wenzil. 1992. The influence of
pembelahan sel hingga menjadi agregat sel hanya ter- silver thiosulfate on potato protoplast culture. Plant
jadi pada kultivar IR64 yang ditanam pada media yang Breed.. 108:12-18.
mengandung AgNO3 3 mg/l. Mori, K.I., N. Oka, T. Kinoshita. 1986. Isolation of protoplast
from Oryza sativa L., and its wild relatives. In Oka, H.I.
and G.S. Khush (Eds.). Rice Genetics Newsletter.
DAFTAR PUSTAKA
Vol. 3. National Institute of Genetics, Misima, Japan.
Abdullah, R., E.C. Cocking, and A. Thompsom. 1986.
Purwito, A. 1999. Fusi protoplas intra dan interspesies pada
Efficient plant regeneration from rice protoplast through
tanaman kentang. Disertasi Program Pascasarjana.
somatic embryogenesis. Bio/Technology 4:1087-1090.
Institut Pertanian Bogor.
Babaoglu, M. 2000. Protoplast isolation in Lupin (Lupinus
Ramulu, K.S., P. Dijkhuis, E. Rutgers, J. Blaas, F.A.
mutabilis Sweet): Determination of optimum explant
Krens, W.H.J. Verbeeh, C.M. Colijn. Hoonymans,
sources and isolation conditions. Turk J. Bot. 24:177-
and H.A. Verhoeven. 1996. Intergenetic transfer of a
185.
partial genome and direct production of monosom e
Bradsaw, J.E. and G.R. Mackey. 1994. Breeding strategies addition plants by microprotoplast fusion. Theor. Appli.
of clonally propagated potatoes. In Bradsaw, J.E. and Genet. 92:316-325.
G.R. Mackey (Eds.). Potato Genetic. CAB International
Takamure, I., H. Fujii, A. Kotani, K. Mori, and T.
Cambridge. 467-498 p.
Kinoshita. 1992. RFLP analysis of rice somatic hybrids
Gleddie, S.C. 1995. Protoplast isolation and culture. In between oryza sativa cv. ‘kitaake’ and wild species (O.
Gamborg, O.L. and G.C. Phillips (Eds.). Plant Cell, punctata, O. minuta, and O. rufipogon). Plant Genome I
Tissue and Organ Culture Fundamental Methods. Conference. November. San Dirgo, CA.
Springer. p. 167-180.
Takeba, I., G. Labib, and G. Melchers. 1971. Regeneration
Husni A., I. Mariska, G.A. Wattimena, dan A. Purwito. of wheat plants from isolated mesophyll protoplast of
2003. Keragaan genetik tanaman terung hasil kultur tobacco. Natur Wissenschaften 58:318-320.
protoplas. Jurnal Bioteknologi Pertanian 8(2):52-59.
Wattimena, G.A. 1999. Application of biotechnology on
Ishii, S. 1988. Factor influencing protoplast viability of horticultural crops production. Proceeding Seminar on
suspension-cultured rice cells during isolation process. Biotechnology: Application of Biotechnology on
Plant Physiol. 88:26-29. Horticultural Production. Bogor Agricultural University -
DFID British Council. Bogor, April 14, 1999.
Kao, K.N. and M.R. Michayluk. 1975. Nutrition
requirements for growth of Vicia hajastana cell and Yan, C-q, K-x, Qian, G-p Xue, Z-c Wu, Y-l Chen, Q-s Qiu,
protoplast at a very low population density in liquid X-q Zhang, and P Wu. 2004. Production of bacterial
media. Planta 125:105-110. blight resistant lines from somatic hybridization between
Oryza sativa L. and Oryza meyeriana L.J. Zhejiang
Kim, J., J. Bergervoet, C. Raemakers, E. Jacobsen, and Univ. SCI 5(10):1199-1205.
R. Visser. 2005. Isolation of protoplasts, and culture
and regeneration into plants in Alstroemeria. In Vitro Zimmerman, U. and P. Scheurich. 1981. High Frequency
Cell. and Develop. Biol. Plant. 41(4):505-510. fusion of plant protoplast by electric field. Planta 151:26-
32.
Millam, S., L.A. Payne, and G.R. Mackay. 1995. The
integration of protoplast fusion, derived material into a
Sudirman Numba : Analisis Pola Segregasi DNA Genom Kloroplas Hasil Hibridasi Somatik Tanaman
Kentang Menggunakan Teknik RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA)
Sudirman Numba*
*)Study Program of Agrotechnology, Agriculture Faculty, UMI Makassar
ABSTRACT
Segregation pattern of the chloroplast genome in somatic hybridization potato between S. tuberosum cv.
BF-15 and the wild species of S. stenotomum was identified through RFLP analysis in 3.2 kb fragment
produced from PCR amplification for specific regions of DNA chloroplast. PCR amplification was
performed by using rbcL primer and ORF106, i.e. specific primer located on konsenrvatiive sequence
which flanking 3.2 kb fragment region of DNA chloroplast. PCR amplification product used two primers,
in conformity with the target region on DNA chloroplast, where generated fragments or DNA bands with
a size of about 3.2 kb. The 3.2 kb fragment produced from amplification was cut by using two kinds of
restriction enzymes HhaI and RSAI. Restriction Enzym treatment with HhaI resulted in four bands each
measuring; those were 2.0 kb, 1.2 kb, 0.8 kb and 0.4 kb. While the treatments by using RSAI restriction
enzymes, also resulted in four bands each measuring, those were 1.6 kb, 0.7 kb, 0.3 kb and 0.2 kb. Band
pattern that produced from restriction enzyme showed that monomorphic nature or not polymorphic at all
elder fusion plant, so this method can not be used to identify the patterns of chloroplast genome
segregation in plant which is produced by somatic hybridization.
Keywords: DNA chloroplast, rbcL (ribulose 1.5-bisphosphate carboxylase gene), Open reading frame 106
(ORF106), PCR, RFLP, S.tuberosum, S. stenoton
tahap 1 untuk denaturasi dengan menit, lalu dibilas dengan aquades. Gel
pemanasan 94C selama 1 menit, tahap 2 kemudian diamati dengan menggunakan
untuk pelekatan primer pada suhu 55C UV transilluminator, dan pola pita
selama 1 menit dan tahap 3 untuk (profil) DNA hasil amplifikasi diamati
digunakan program thermal delay yaitu pemotongan yang menunjukkan pola pita
yang polimorfik antara dua tetua yang
inkubasi pada suhu 72C selama 5 menit,
difusikan yaitu BF-15 dan S. stenotomum,
kemudian diikuti pendinginan (4C).
selanjutnya digunakan untuk menguji pola
pita DNA kloroplas terhadap semua
2. Pemotongan Fragmen DNA 3,2 kb
dengan Enzim Restriksi tanaman hasil fusi dari kedua tetua
tersebut. Pola segregasi DNA kloroplas
Sebanyak 10 l aliquots hasil
pada tanaman hasil hibridisasi somatik
amplifikasi PCR dari DNA tetua dan hasil
ditentukan dengan membandingkan pola
hibridisasi somatik antara BF-15 dan S.
pita DNA atau tipe kloroplas kedua
stenotomum selanjutnya dipotong dengan
tetuanya.
masing-masing enzim restriksi (HhaI, dan
RsaI). Fragmen DNA hasil pemotongan
HASIL DAN PEMBAHASAN
enzim restriksi tersebut selanjutnya
1. Ekstraksi DNA Total Genom
ditambahkan dengan 3 L buffer loading
Tanaman dan Analisis PC
(mengandung bromo fenol blue dan
Hasil amplifikasi PCR dengan
sukrosa), kemudian dimigrasikan pada
primer rbcL dan ORF106 pada DNA tetua
elektroforesis gel agarosa (1,8 %) dengan
fusi sebagai cetakan (template) menunjuk-
tegangan 45 volt selama 2 jam. Gel hasil
kan bahwa selain fragmen berukuran 3,2
elektroforesis selanjutnya direndam pada
kb yang dihasilkan oleh primer spesifik
larutan etidium bromida selama lima
tersebut, juga terdapat fragmen berukuran
1,2 kb. Fragmen dengan ukuran sekitar 1,2 kb hanya muncul pada sampel BF-15,
3,2 kb muncul pada semua sampel yang S.phureja, Aminca, Cardinal, Nicola,
dianalisis dan menunjukkan bahwa tidak tetapi tidak muncul pada S. stenotomum.
terdapat variasi antara setiap tetua fusi, Data mengenai hasil amplifikasi PCR
hal ini berarti pula bahwa bagian tertentu menggunakan primer rbcL dan ORF106
dari DNA kloroplas yang dijadikan target pada tetua fusi dan beberapa hibrida
dapat teramplifikasi secara benar. somatik disajikan pada Gambar 1.
Sedangkan fragmen dengan ukuran sekitar
M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
3,2 kb
1,2 kb
Gambar 1. Profil DNA Hasil ampilfikasi PCR dengan Menggunakan Primer rbcL dan ORF 106.1-
kb ladder (M), BF-15 (1), S.stenotonum (2), S.phureja (3), Aminca (4), Cardinal (5),
Nicola (6), SpV-10 (7), BFP-56 (8), A.5A (9), Amcar.33 (10), BF-15.P10 (11).
enzim restriksi RsaI juga menghasilkan lain, ternyata dapat menunjukkan variasi
empat fragmen dengan ukuran masing- pada daerah amplifikasi yaitu AluI, AseI,
masing 0,2 kb., 0,3 kb, 0,7 kb dan 1,6 kb. BamHI, HinfI, MspI, ScrFI, StyI, TaqI,
Data hasil pemotongan fragmen DNA 3,2 dan XbaI. Kemungkinan lain dari hasil
kb dan 1,2 kb menggunakan enzim yang monomorfik tersebut disebabkan
restriksi HhaI dan RsaI disajikan pada karena memang tidak ada variasi pada
Gambar 2. daerah yang teramplifikasi.
Gambar 2 menunjukkan bahwa pola Pada waktu yang hampir bersamaan,
pita hasil pemotongan dari kedua enzim studi tentang pola segregasi kloroplas
restriksi yang digunakan (RsaI dan HhaI) pada tanaman hasil hibridisasi somatik
pada semua sampel masih bersifat antara BF-15 dan S. phureja serta BF-15
monomorfik, sehingga metode analisis dan S. stenotomum, juga dilakukan oleh
RFLP dari fragmen 3,2 kb tersebut tidak Sihachackr et.al. (2000). Pendekatan
dapat digunakan untuk identifikasi pola yang digunakan adalah dengan
segregasi genom kloroplas pada tanaman melakukan analisis RAPD pada genom
hasil hibridisasi somatik antara BF-15 dan kloroplas. Analisis RAPD dilakukan
S. stenotomum. Dengan demikian masih dengan cara mengisolasi organel kloroplas
harus dicari enzim lain yang dan memisahkannya dengan organel
memungkinkan memberikan hasil mitokondria dan inti sebelum kegiatan
pemotongan yang bersifat polimorfik. ekstraksi DNA kloroplas, sehingga
Hasil penelitian sebelumnya pada diperoleh total DNA kloroplas yang
Solanum melongena (Isshiki et al., 1998) murni tanpa terkontaminasi dengan DNA
menggunakan beberapa enzim restriksi mitokondria dan inti.
M 1 2 3 4 5 M 1 2 3 M 4 5 6
(B)
1,6 kb
2,0
kb 0,7 kb
1,2
kb 0,3 kb
0,8
0,2 kb
kb
(B)
(A)
Gambar 2. Profil DNA Hasil ampilfikasi PCR yang dipotong dengan enzim restriksi HhaI (A),
RsaI dan HhaI (B). 1-kb ladder (M), BF-15 (1), S. stenotonum (2), S. phureja (3),
Aminca (4), Cardinal (5), Nicola (6), 1-kb ladder (M), BF-15 (1), S. phureja (2), D.25
A (3) dengan RsaI, 100 bp ladder (M), B-15 (4), S.phureja (5), D.25 A (6) dengan
HhaI
BUDI MARTONO
ABSTRAK Plant height, length of primary branches, number and length of secondary
branches, length and width of leaves, leaf petioles length, fresh and dry
leaves production showed high heritability values. Meanwhile, the
Fusi protoplas merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan characters of number of primary and secondary branches, number of
untuk meningkatkan keragaman genetik pada tanaman nilam. Pendugaan leaves on primary branches and thick of leaves showed moderate to low
parameter genetik nilam hasil fusi protoplas nilam Jawa (Girilaya) dengan heritability values. Most characters observed showed wide genetic
nilam Aceh (Sidikalang dan TT 75) adalah penting dalam program variability and high heritability, except for number of primary branches,
pemuliaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman genetik, number of leaves on primary branches, and thick of leaf. Phenotypic and
heritabilitas, korelasi fenotipik dan genotipik beberapa karakter kuantitatif genotypic correlations between plant height, number of primary branches,
hibrida somatik nilam hasil fusi protoplas. Penelitian dilakukan di KP. length of secondary branches, length and width of leaves, leaf petiole
Cimanggu Balittro dari bulan Juli-Desember 2004. Rancangan percobaan length and fresh leaves production with dry leaves production were
yang digunakan adalah rancangan acak kelompok dengan 33 genotipe positive and significant.
yang terdiri dari 3 tetua dan 30 klon hibrida somatik sebagai perlakuan dan
diulang dua kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah cabang Key words: Pogostemon sp., protoplast fussion, genetic parameters
primer, jumlah daun per cabang primer dan tebal daun mempunyai
keragaman genetik yang sempit, sedangkan tinggi tanaman, panjang
cabang primer, jumlah dan panjang cabang sekunder, panjang dan lebar
daun, panjang tangkai daun, produksi terna basah dan kering keragaman PENDAHULUAN
genetiknya luas. Heritabilitas tinggi tanaman, panjang cabang primer,
panjang cabang sekunder, panjang dan lebar daun, panjang tangkai daun,
produksi terna basah dan kering bernilai tinggi. Sedangkan karakter jumlah Nilam Aceh (Pogostemon cablin Benth.) merupakan
cabang primer, jumlah cabang sekunder, jumlah daun per cabang primer
dan tebal daun bernilai heritabilitas rendah sampai sedang. Sebagian besar
jenis nilam yang banyak dibudidayakan untuk tujuan
karakter yang diamati memiliki keragaman genetik luas dan heritabilitas produksi minyak. Jenis ini mempunyai kadar minyak tinggi
tinggi, kecuali jumlah cabang primer, jumlah daun per cabang primer dan yaitu 2,5%, kualitas minyak memenuhi standar mutu
tebal daun. Korelasi fenotipik dan genotipik positif dan nyata terhadap perdagangan yang dicirikan dengan kadar patchouli alkohol
produksi terna kering ditunjukkan oleh karakter tinggi tanaman, jumlah
cabang primer, panjang cabang sekunder, panjang dan lebar daun, panjang
yang tinggi, rentan terhadap nematoda, dan tidak berbunga
tangkai daun serta produksi terna basah. (NURYANI dan HADIPOENTYANTI, 1994). Nilam Jawa (P.
heyneanus Benth.) merupakan nilam jenis lain yang
Kata kunci: Pogostemon sp., fusi protoplas, parameter genetik dibudidayakan dalam skala terbatas, kadar minyak 2%,
ABSTRACT
kualitas rendah, toleran terhadap nematoda, dan dapat
berbunga. Untuk perbaikan sifat genetik nilam, terutama
Genetic variability, heritability, and correlation among quantitative meningkatkan sifat ketahanan nilam terhadap nematoda,
characters of patchouli (Pogostemon sp.) derived from protoplast kedua jenis nilam tersebut dapat disilangkan tetapi
fussion
persilangan secara konvensional tidak dapat dilakukan.
Protoplast fussion is one of the alternatives for increasing genetic Sehubungan dengan itu, teknik in vitro melalui fusi
variability of patchouli. Study to estimate genetic parameters of somatic protoplas dilakukan untuk menggabungkan sifat unggul
hybrids of Pogostemon heyneaneus (cv. Girilaya) x P. cablin (cv. yang dimiliki nilam Aceh (kadar dan kualitas minyak
Sidikalang and TT 75) is important in breeding program. Study on genetic
tinggi) dengan sifat tahan terhadap nematoda pada nilam
variability, heritability, phenotypic and genetic correlation for some
quantitative characters of somatic hybrids of patchouli derived from Jawa (NURYANI et al., 2001a dan 2001b). NURYANI et al.
protoplast fussion was conducted in Cimanggu Experimental Garden from (2001b) melaporkan bahwa hibrida somatik hasil fusi
July to December 2004. The experiment was arranged in a randomized protoplas antara nilam Jawa dengan nilam Aceh secara
complete block design with two replications using 33 genotypes consisting
of three parents and 30 somatic hybrids as treatments. Results of this
genetik memiliki kekerabatan yang lebih dekat dengan
experiment showed that number of primary branches, number of leaves on nilam Aceh yang memiliki kandungan dan kualitas minyak
primary branches, and thickness of leaves indicated narrow genetic atsiri yang tinggi.
variability, while plant height, length of primary branches, number and Usaha perbaikan genetik tanaman nilam
length of secondary branches, length and width of leaves, leaf petiole
length, fresh and dry leaves production indicated wide genetic variability.
memerlukan adanya plasma nutfah dengan keragaman
9
JURNAL LITTRI VOL. 15 NO. 1, MARET 2009 : 9 - 15
genetik yang luas. BHOJWANI dan RAZDAN (1996) menyata- nomor terdiri dari 3 tetua yaitu nilam Jawa (Girilaya) dan
kan bahwa variasi rekombinan karakter genetik di dalam nilam Aceh (Sidikalang dan TT75). TT75 merupakan
tanaman hasil fusi akan sangat beragam dalam frequensi somaklon yang dihasilkan dari induksi keragaman nilam
yang berbeda. Keragaman hibrida somatik dapat merupakan Aceh melalui radiasi kalus yang menghasilkan penampilan
hasil dari satu atau ketiga mekanisme berikut (1) baru nilam Aceh yang berbunga setelah mengalami
keragaman genetik akibat sub kultur kalus yang dilakukan subkultur berulang (NURYANI et al., 2002) dan 30 genotipe
terus menerus yang mengakibatkan suatu variasi nilam hasil fusi protoplas antara nilam Jawa dan nilam
somaklonal, (2) ketidak-stabilan dari kombinasi inti sel Aceh, yaitu 2 IV 1-0.6, 2 IV 2-0.1, 2 IV 3-0.7, 2 IV 4-0.1, 2
yang mengakibatkan hilangnya ekspresi gen atau hilangnya IV 5-0.1, 2 IV 6-0.8, 2 IV 8-0.2, 9 II 2-0.7, 9 II 3-0.1, 9 II
bagian dari informasi genetik, (3) adanya segregasi dari 4-0.1, 9 II 7-0.2, 9 II 8-1.2, 9 II 10-0.1, 9 II 10-0.2, 9 II
sitoplasma atau inti setelah fusi sehingga menghasilkan 16-0.1, 9 II 20-0.4, 9 II 21-0.2, 9 II 33, 9 II 34-0.1, 9 IV
suatu kombinasi yang unik antara informasi genetik pada 1-0.8, 9 IV 2-0.2, 9 IV 3-0.1, 9 IV 4-0.5, 9 IV 5-0.4, 9 IV 6-
sitoplasma dan inti. 0.1, 9 IV 9-0.1, 9 IV 13-0.1, 9 IV 14-0.1, 9 IV 16-0.9, dan 9
Genotipe hasil fusi protoplas atau hibrida somatik IV 19-0.1.
yang diharapkan selain memiliki kandungan dan kualitas Penelitian disusun dengan rancangan acak kelompok
minyak atsiri yang tinggi juga tahan terhadap nematoda. (RAK), ulangan dua kali, jumlah tanaman per petak 10
Informasi lain yang juga penting diperhatikan dalam tanaman, dan jarak tanam 1 m x 1 m. Nilam ditanam dalam
pengembangan varietas baru adalah perilaku pewarisan polybag (50 cm x 50 cm) yang berisi tanah dan pupuk
berbagai karakter agronomis tanaman hasil fusi protoplas kandang (perbandingan 2:1), jenis tanah yang dipergunakan
tersebut. Informasi ini sangat diperlukan untuk menetapkan adalah Latosol dari Bogor.
apakah karakter-karakter yang diamati tersebut dapat Pengamatan dilakukan sebelum panen pada umur 5
dijadikan sebagai kriteria seleksi dalam memilih genotipe- bulan. Karakter kuantitatif yang diamati meliputi tinggi
genotipe baru yang diinginkan. Beberapa parameter genetik
tanaman (cm), jumlah cabang primer, panjang cabang
yang dapat digunakan sebagai pertimbangan agar seleksi
primer (cm), jumlah cabang sekunder, panjang cabang
efektif dan efisien adalah keragaman genetik, heritabilitas,
sekunder (cm), jumlah daun per cabang primer, panjang
korelasi dan pengaruh dari karakter-karakter yang erat
hubungannya dengan hasil (BOROJEVIC, 1990). Adanya dan lebar daun (cm), tebal daun (mm), panjang tangkai
keragaman genetik, yang berarti terdapat perbedaan nilai daun (cm), produksi terna basah dan kering (g).
antar individu genotipe dalam populasi merupakan syarat Model linier aditif yang digunakan untuk
keberhasilan seleksi terhadap karakter yang diinginkan. menganalisis data hasil pengamatan dari setiap karakter
FEHR (1987) menyebutkan bahwa heritabilitas adalah salah adalah sebagai berikut (MATTJIK dan SUMERTAJAYA, 2002):
satu alat ukur dalam sistem seleksi yang efisien yang dapat Yij i j ij
menggambarkan efektivitas seleksi genotipe berdasarkan dimana:
penampilan fenotipenya. Sedangkan korelasi antar karakter Yij = Nilai pengamatan suatu karakter pada genotipe
fenotipe diperlukan dalam seleksi tanaman, untuk menge- ke-i dan ulangan ke-j
tahui karakter yang dapat dijadikan petunjuk seleksi = Nilai tengah umum
terhadap produktivitas yang tinggi (SUHARSONO et al., i = Pengaruh aditif dari genotipe ke-i
2006; WIRNAS et al., 2006). j = Pengaruh aditif ulangan ke-j
Sampai saat ini belum diketahui seberapa besar ij = Pengaruh galat percobaan dari genotipe ke-i
keragaman genetik, heritabilitas, korelasi genetik dan pada ulangan ke-j.
fenotipik hibrida somatik nilam antara nilam Jawa dengan
nilam Aceh. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian Berdasarkan model linier tersebut maka dapat
yang bertujuan untuk mengetahui keragaman genetik, disusun daftar analisis ragam (Tabel 1). Pendugaan
heritabilitas, korelasi fenotipik dan genotipik beberapa komponen ragam genetik dan ragam fenotipik berdasarkan
karakter komponen produksi terna kering guna menunjang Tabel 1 adalah sebagai berikut:
program perakitan genotipe dengan produksi minyak yang
tinggi. Ragam genetik
2 KT genotipe KT galat
g Ulangan r
Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Nilai keragaman genetik suatu karakter ditentukan
berdasarkan ragam genetik 2 dan standar deviasi ragam
Cimanggu Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
(Balittro), ketinggian tempat 240 m di atas permukaan laut g
g
genetik 2 menurut rumus sebagai berikut:
2 KT 2 KT32
(dpl), bertipe curah hujan A dari bulan Juli sampai
2
2
Desember 2004. Bahan tanaman yang digunakan adalah 33 r g 1 gr g r 3
g 2
10
Tabel 1. Analisis ragam dan harapan kuadrat tengah dari RAK untuk suatu genetik beberapa karakter kuantitatif nilam hasil fusi
karakter
Table1. Analysis of variance and expected mean squares of RBD protoplas. Nilai koefisien keragaman genetik (KKG)
experiment for a character berkisar antara 0,001 sampai 197,51%. Nilai KKG tertinggi
Sumber keragaman Derajat bebas Kuadrat tengah Nilai harapan sebesar 197,51% terdapat pada karakter produksi terna
Source of variance df MS kudrat tengah basah dan nilai terendah sebesar 0,001% terdapat pada
EMS karakter tebal daun. Berdasarkan klasifikasi dari PINARIA et
Ulangan r-1 KT1 2 g 2 al. (1995) terlihat bahwa semua karakter yang diamati
e r
mempunyai keragaman genetik luas kecuali jumlah cabang
Genotipe g-1 KT2 2 r 2 primer, jumlah daun per cabang primer dan tebal daun.
e g
Karakter tersebut merupakan karakter vegetatif yang
cenderung dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Karakter
Galat (r-1)(g-1) KT3 e
2
dengan ragam sempit tersebut bersifat kuantitatif yang
dikendalikan oleh banyak gen (poligen). Sifat kuantitatif
yang dikendalikan oleh banyak gen diartikan sebagai hasil
akhir dari suatu proses pertumbuhan yang berkaitan dengan
(ANDERSON dan BANCROFT, 1952) dalam DARADJAT (1987). sifat morfologi dan fisiologi. Untuk lebih meningkatkan
Apabila: 2 g keragaman genetiknya luas, sedang-
2
kan jika g 2 22 : keragaman genetiknya sempit keragaman genetik pada nilam maka perlu dilakukan fusi
g g 2 protoplas dengan menggunakan populasi lain yang
(PINARIA et al., 1995). 2 mempunyai hubungan genetik berbeda dengan populasi
2
dugaan heritabilitas h dalam arti luas
Nilai 2 adalah yang diuji.
h
2 g
x100 % . Kriteria dugaan heritabilitas (h ) menurut
2
h2 50, dan rendah jika h2 20. cabang primer, jumlah cabang sekunder, panjang cabang
Koefisien korelasi fenotipik (rp(xy)) dan koefisien sekunder, panjang dan lebar daun, panjang tangkai daun,
korelasi genotipik (rg(xy)) antara sembarang karakter ke-x produksi terna basah dan kering yang diuji pada populasi
dan y diduga dengan rumus : ini efektif, seleksi tidak efektif jika dilakukan terhadap
jumlah cabang primer, jumlah daun per cabang primer dan
kov p xy tebal daun. Keragaman genetik yang luas menunjukkan
r p xy
2
p.x
2
p .. y
adanya pengaruh genetik yang lebih dominan daripada
pengaruh lingkungan. Luasnya keragaman genetik dari
r kov g xy karakter tinggi tanaman, panjang cabang primer, jumlah
g xy 2 2 cabang sekunder, panjang cabang sekunder, panjang dan
g.x g .y
dimana: lebar daun, panjang tangkai daun, produksi terna basah dan
kov.p(xy) = kovarians fenotipik antara x dan y kering dalam populasi ini karena populasi yang dievaluasi
kov.g(xy) = kovarians genetik antara x dan y terdiri dari genotipe-genotipe yang berbeda, yaitu hasil fusi
2p . x = ragam fenotipik x dan p.y = ragam fenotipik y
2
protoplas antara nilam Jawa (Girilaya) dengan nilam Aceh
= ragam genetik x dan g.y = ragam genetik y.
2 (Sidikalang dan TT75) yang berbeda susunan genetiknya.
2
g .x
WENZEL (1980) menyatakan bahwa populasi dari tanaman
Untuk uji signifikansi koefisien korelasi fenotipik yang diregenerasikan dari fusi protoplas mengandung
dan genotipik antara dua karakter digunakan uji t. keragaman yang lebih tinggi dibandingkan keragaman dari
populasi tanaman yang dihasilkan dari hibridisasi seksual.
Keragaman diamati pada bagian yang berbeda dari karakter
HASIL DAN PEMBAHASAN fenotipik seperti tinggi tanaman, bentuk daun, ukuran daun,
ukuran tangkai daun, panjang daun, warna bunga, dan
Keragaman Genetik viabilitas serbuk sari (DUDITS et al., 1991; GURI dan SINK,
1988; NYMAN dan WAARA, 1997; SIHACHAKR et al., 1989).
Seleksi merupakan dasar dari seluruh perbaikan
tanaman untuk mendapatkan varietas unggul baru. Dalam
Heritabilitas
perakitan varietas unggul, keragaman genetik memegang
peranan yang sangat penting karena semakin tinggi
keragaman genetik semakin tinggi pula peluang untuk Nilai dugaan heritabilitas suatu karakter perlu
mendapatkan sumber gen bagi karakter yang akan diketahui untuk menduga kemajuan dari suatu seleksi,
diperbaiki. Tabel 2 menyajikan nilai koefisien keragaman apakah karakter tersebut banyak dipengaruhi oleh faktor
11
JURNAL LITTRI VOL. 15 NO. 1, MARET 2009 : 9 - 15
Tabel 2. Koefisien keragaman genetik (KKG), ragam genetik 2 g dan
standar deviasi ragam genetik beberapa karakter kuantitatif
nilam hasil fusi prot oplas dan tetuag nya
77,12%, 60,00%, 68,45%, 92,55%, dan 91,18%. Nilai
heritabilitas tinggi untuk karakter tersebut yang diikuti
Table 2. Coefficient of genetic variability (CGV), genetic variance 2 g keragaman genetik luas menunjukkan bahwa karakter
and standard deviation of genetic 2 variance 2 of some tersebut penampilannya lebih ditentukan oleh faktor genetik
quantitative characters of patchouli derived fromg protoplast
fussion and the parents sehingga seleksi pada populasi ini akan efisien dan efektif
Karakter KKG
g2 2 2 2 Kriteria karena akan memberikan harapan kemajuan genetik yang
Character g Criterion
g besar. Dengan demikian sesuai dengan pendapat FEHR
Tinggi tanaman 1,61 106,45 9,59 19,18 luas
Plant height
(1987), seleksi terhadap karakter tersebut dapat dimulai
Jumlah cabang primer 0,06 0,14 0,1 0,20 sempit pada generasi awal karena karakter tersebut akan mudah
Number of primer branch diwariskan. Sedangkan KOJIMA dan KELLEHER (1963)
Panjang cabang primer 0,93 40,49 14,58 29,16 luas
Length of primer branch mengemukakan jika suatu populasi memiliki nilai
Jumlah cabang sekunder 0,43 10,22 4,55 9,10 luas heritabilitas tinggi untuk suatu karakter maka seleksi massa
Number of secondary
branch
akan lebih efisien dalam memperbaiki karakter tersebut.
Panjang cabang sekunder 0,79 21,35 6,63 13,26 luas
Length of secondary
branch Korelasi Fenotipik dan Genotipik
Jumlah daun per cabang 3,46 652,47 353,66 707,32 sempit
primer
Number of leaf/primer
branch
Pada tanaman nilam, produksi terna kering
Panjang daun 0,25 1,96 0,55 1,10 luas merupakan salah satu karakter yang menentukan produksi
Leaf length minyak. Pewarisan karakter tersebut merupakan sesuatu
Lebar daun 0,09 0,60 0,2 0,40 luas
Leaf width yang kompleks dan dapat melibatkan sejumlah karakter
Tebal daun 0,001 0,00 0,00 0,00 sempit lain, oleh karena itu pada seleksi yang ditujukan untuk
Leaf thickness perbaikan produksi terna kering perlu mempertimbangkan
Panjang tangkai daun 0,06 0,22 0,07 0,14 luas
Leaf petiole length
karakter-karakter lain.
2 , 2 ,
Produksi terna basah 197,51 166.431,21 41.417,52 82.835,04 luas
Fresh leaves
Produksi production
terna kering 28,16 4.553,13 1.142,25 2.284,50 luas Tabel 3. Ragam genetik ragam lingkungan ragam fenotip
hasilp fusi
environment variance 2 , phenotypic
Table3. Genetic protoplas da2n ,tetuanya
variance
variance 2 and he ritability h 2 of some
g e
e charac-
p
quantitativ
genetik atau lingkungan karena heritabilitas dalam arti luas ters of patch ouli derived from protoplast fussion and the parents
Karakter Kriteria
merupakan proporsi ragam genetik terhadap ragam
g
2
e
Character 2 2 Criterion
fenotipiknya. Dalam hal ini, ragam genetik merupakan P h2
ragam genetik total yang mencakup ragam dominan Tinggi tanaman 106,45 37,99 144,44 73,70 Tinggi
12
Korelasi fenotipik dan genotipik antar karakter Karakter-karakter jumlah cabang primer, jumlah
arahnya sama, kecuali pasangan antara jumlah cabang cabang sekunder, jumlah daun per cabang primer dan tebal
primer dengan jumlah cabang sekunder, panjang cabang daun mempunyai nilai heritabilitas rendah sampai sedang.
primer dengan panjang tangkai daun dan jumlah cabang Sementara itu, tinggi tanaman, panjang cabang primer,
sekunder dengan panjang daun, hal ini berarti bahwa seleksi panjang cabang sekunder, panjang dan lebar daun, panjang
untuk satu karakter sekaligus dapat memperbaiki karakter tangkai daun, produksi terna basah dan kering mempunyai
lain. nilai heritabilitas tinggi.
Analisis korelasi antara karakter kuantitatif dengan Keragaman genetik luas dan heritabilitas tinggi
produksi terna kering menunjukkan adanya korelasi ditunjukkan oleh sebagian besar karakter yang diamati,
fenotipik dan genotipik nyata (Tabel 4). Korelasi positif kecuali jumlah cabang primer, jumlah daun per cabang
nyata ditunjukkan oleh korelasi antara produksi terna kering primer dan tebal daun menunjukkan keragaman genetik
dengan tinggi tanaman, jumlah cabang primer, panjang sempit dengan heritabilitas rendah sampai sedang.
cabang sekunder, panjang dan lebar daun, panjang tangkai Korelasi fenotipik dan genotipik searah dan nyata
daun serta produksi terna basah. Hal ini berarti bahwa terdapat antara produksi terna kering dengan tinggi
semakin tinggi karakter-karakter di atas maka produksi tanaman, jumlah cabang primer, panjang cabang sekunder,
terna kering akan semakin meningkat. panjang dan lebar daun, panjang tangkai daun serta
Pada umumnya korelasi fenotipik lebih tinggi produksi terna basah.
daripada korelasi genotipik, kecuali korelasi antara
produksi terna kering dengan jumlah cabang primer di
mana korelasi fenotipiknya lebih rendah. Nilai korelasi UCAPAN TERIMA KASIH
fenotipik yang lebih tinggi daripada genotipik terjadi karena
faktor lingkungan dan interaksi genetik x lingkungan Ucapan terima kasih disampaikan kepada Ir. Yang
mendukung ekspresi gen-gen dalam pleitropisme (satu gen Nuryani, atas bantuan dan sarannya sehingga penulisan ini
mengendalikan beberapa karakter) dan linkage (dua atau dapat terlaksana.
lebih gen terletak pada kromosom yang sama dan
cenderung diturunkan secara bersama).
Korelasi genotipik nyata yang tidak diikuti oleh DAFTAR PUSTAKA
korelasi fenotipiknya terjadi antara karakter jumlah cabang
primer dengan jumlah daun cabang primer dan korelasi
antara jumlah daun per cabang primer dengan panjang BOROJEVIC, S. 1990. Principles and Methods of Plant
daun. Hal tersebut disebabkan faktor lingkungan tidak Breeding. Elsevier Sci. Pub. Co. Inc., New York.
dapat mendukung ekspresi gen-gen pengendali dari 368p.
karakter-karakter tersebut. Sebaliknya terlihat adanya BHOJWANI and RAZDAN. 1996. Plant tissue culture: Theory
pasangan karakter yang memiliki koefisien korelasi feno- and Practice. A Revised Edition. Elsevier Pub. Co.,
tipik nyata tetapi koefisien korelasi genotipiknya tidak London. 373-405.
nyata, korelasi yang terjadi tersebut semata-mata karena DARADJAT, A.A. 1987. Variabilitas dan Adaptasi Genotip
pengaruh lingkungan. Korelasi yang terjadi akibat pengaruh Terigu (Triticum aestivum L.) pada Beberapa
lingkungan dijumpai pada pasangan antara jumlah cabang Lingkungan Tumbuh di Indonesia. Disertasi.
primer dengan panjang dan lebar daun; panjang cabang Universitas Padjadjaran, Bandung. 98p.
primer dengan jumlah cabang sekunder, jumlah daun DUDITS, D., G. HADLACZKY, E. LEVI, O. FEJER, Z. HAYDU, and
cabang primer, panjang dan lebar daun, panjang tangkai G. LAZAR. 1991. Somatic hybridization of Daucus
daun, produksi terna basah dan kering; serta jumlah cabang carota and D. Capilifolius by protoplast fusion.
sekunder dengan panjang cabang sekunder, jumlah daun Theor. Appl. Genet. 51: 127-132.
cabang primer, lebar daun dan panjang tangkai daun. FEHR, W.R. 1987. Principle of Cultivar Development.
Theory and Technique. Vol. I. MacMillan Pub. Co.,
New York. 536 p.
KESIMPULAN GURI, A. and K.C. SINK. 1988. Interspecific somatic hybrid
plants between eggplant (Solanum melongena) and
Solanum torvum. Theor. Appl. Genet. 76: 490-496.
Jumlah cabang primer, jumlah daun per cabang KOJIMA, K. and T. KELLEHER. 1963. Selection studies of
primer dan tebal daun mempunyai keragaman genetik yang quantitative traits with laboratory animals. In:
sempit, sedangkan tinggi tanaman, panjang cabang primer, Hanson, W.D. and H.F. Robinson. Statistical
jumlah dan panjang cabang sekunder, panjang dan lebar Genetics and Plant Breeding. NAS-NRC,
daun, panjang tangkai daun, produksi terna basah dan Washington D.C. pp. 395-422.
kering keragaman genetiknya luas.
13
JURNAL LITTRI VOL. 15 NO. 1, MARET 2009 : 9 - 15
Tabel 4. Korelasi fenotipik (atas) dan korelasi genotipik (bawah) antar karakter pada tanaman nilam hasil fusi protoplas dan tetuanya
Table 4 Phenotypic (upper) and genotypic (lower) correlations among characters of patchouli derived from protoplast fussion and the parents
No. Karakter Tinggi Jumlah Panjang Jumlah Panjang Jumlah Panjang Lebar Tebal Panjang Produksi Produksi
tanaman cabang cabang cabang cabang daun daun daun daun tangkai terna terna
No Character Plant primer primer sekunder sekunder cabang Leaf Leaf Leaf daun basah kering
height Number Length of Number of Length of primer length width thickness Leaf Fresh Dry
of primary primary secondary secondary Number petiole leaves leaves
branch branch branch branch of leaf length production production
primary
branch
1. Tinggi tanaman P 1,00 0,72** 0,95** 0,88** 0,92** 0,90** 0,96** 0,93** 0,00 1,00** 0,95** 0,94**
Plant height G 1,00 0,70** 0,92** 0,62** 0,84** 0,72** 0,59** 0,68** 0,00 0,73** 0,63** 0,66**
2. Jumlah cabang primer P 1,00 0,74** -0,02 0,72** 0,19 0,36* 0,52** 0,00 0,62** 0,90** 0,81**
Number of primer branch G 1,00 0,63** 0,10 0,76** 0,80* 0,17 0,08 0,01 1,00** 0,95** 0,89**
3. Panjang cabang primer P 1,00 0,93** 0,21 0,95** 0,93** 0,94** 0,00 0,87** 0,92** 0,90**
Length of primer branch G 1,00 0,11 0,15 0,08 0,08 0,13 0,00 -0,01 0,02 0,02
4. Jumlah cabang sekunder P 1,00 0,93** 0,87** 0,29 0,48** 0,00 0,68* 0,05 0,05
Number of secondary branch G 1,00 0,03 0,32 -0,02 0,03 0,00 0,00 0,04 0,04
5. Panjang cabang sekunder P 1,00 0,80** 0,92** 0,91** 0,00 0,87** 0,87** 0,90**
Length of secondary branch G 1,00 0,67** 0,57** 0,74** 0,00 0,72** 0,49** 0,51**
6. Jumlah daun per cabang primer P 1,00 0,29 0,38* 0,00 0,41* 0,31 0,35
Number of leaf / primer branch G 1,00 0,44* 0,51** 0,00 0,41* 0,27 0,29
7. Panjang daun P 1,00 0,95** 0,00 0,91** 0,92** 0,93**
Leaf length G 1,00 0,93** 0,00 0,64** 0,55** 0,67**
8. Lebar daun P 1,00 0,00 0,97** 0,67** 0,86**
Leaf width G 1,00 0,00 0,73** 0,41* 0,54**
9. Tebal daun P 1,00 0,00 0,00 0,00
Leaf thickness G 1,00 0,00 0,00 0,00
10. Panjang tangkai daun P 1,00 0,76** 0,81**
Leaf petiole length G 1,00 0,47** 0,50**
11. Produksi terna basah P 1,00 0,97**
Fresh leaves production G 1,00 0,96**
12. Produksi terna kering P 1,00
Dry leaves production G 1,00
16
MARQUEZ-ORTIZ, J.J., J.F.S. LAMB, L.D. JOHNSON, D.K. BARNES, PINARIA, S., A. BAIHAKI, R. SETIAMIHARDJA, dan A.A.
and R.E. STUCKER. 1999. Heritability of crown traits DARADJAT. 1995. Variabilitas genetik dan herita-
in alfalfa. Crops Sci. 39: 38-43. bilitas karakter-karakter biomassa 53 genotipe
MATTJIK, A.A. dan M. SUMERTAJAYA. 2002. Perancangan kedelai. Zuriat 6 (2): 88-92.
Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab Jilid I. ROY, D. 2000. Plant Breeding. Analysis and Exploitation of
IPB Press. 282p. Variation. Narosa Publishing House. New Delhi.
NURYANI, Y. dan E. HADIPOENTYANTI. 1994. Koleksi, 701p.
konservasi, karakterisasi dan evaluasi plasma nutfah SIHACHAKR, D., R. HAICOUR, M.H. CHAPUT, E. BARIENTOS, G.
tanaman atsiri. Review Hasil dan Program Penelitian DUCREUX, and L. ROSSIGNOL. 1989. Somatic hybrid
Plasma Nutfah Pertanian. Badan Litbang Pert. 209- plants produced by electrofusion between Solanum
219. melongena L. and Solanum torvum Sw. Theor. Appl.
NURYANI, Y., I. MARISKA, C. SYUKUR, A. HUSNI, dan S.
Genet. 77: 1-6.
UTAMI. 2001a. Peningkatan keragaman genetik
STANSFIELD, W.D. 1991. Teori dan Soal-Soal Genetika
nilam (Pogostemon sp.) melalui fusi protoplas.
(Terjemahan M. Apandi dan L.T. Hardy). Penerbit
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional XV
dan Kongres IX Perhimpunan Biokimia dan Biologi Erlangga, Jakarta. 417p.
Molekuler Indonesia, tanggal 4-5 Juli 2001, Cisarua, SUHARSONO, M. JUSUF, dan A.P. PASERANG. 2006. Analisis
19
PERBAIKAN SIFAT GENOTIPE MELALUI FUSI
PROTOPLAS PADA TANAMAN LADA,
NILAM, DAN TERUNG
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian,
]alan Tentara Pelajar No.3A Bogor 16111
ABSTRAK
Fusi protoplas dapat digunakan untuk mengatasi masalah dalam persilangan secara seksual, terutama inkompatibilitas
dan sterilitas pada turunan F1. Masalah ini umumnya muncul pada persilangan antargenotipe berkerabat jauh,
seperti pada tanaman lada, nilam, dan terung untuk memperoleh tanaman yang tahan terhadap penyakit yang
disebabkan oleh Phytophthora capsici pada lada, Ralstonia solanacearum pada terung, dan nematoda Pratylenchus
brachyurus pada nilam. Sifat ketahanan terhadap penyakit tersebut terdapat pada kerabat liarnya, tetapi persilangan
secara seksual sering menghadapi hambatan genetik. Hibridisasi juga tidak dapat dilakukan pada tanaman nilam
karena tanaman tersebut tidak berbunga. Isolasi protoplas dengan menggunakan kombinasi selulase 2% + macerozim
0,50% (untuk lada) dan selulase 0,50% + pektinase 0,50% (untuk terung dan nilam) menghasilkan protoplas
dengan densitas yang tinggi. Fusi protoplas dapat dilakukan dengan menggunakan PEG 6000 konsentrasi 30%
selama 2025 menit untuk menyatukan dua protoplas tanaman budi daya dan kerabat liarnya dalam upaya
membentuk hibrida somatik. Mikrokalus lada belum dapat diregenerasikan menjadi tunas adventif, sedangkan
untuk nilam telah diperoleh beberapa nomor hibrida somatik dengan kadar fenol dan lignin yang tinggi seperti
kerabat liarnya. Pada terung, telah diperoleh beberapa hibrida somatik yang tahan terhadap penyakit layu R.
solanacearum. Kultur anther dari tanaman hasil fusi dapat diperoleh tanaman dihaploid yang selanjutnya disilang
balik dengan tetua hibridanya. Hasil silang balik (back cross 2) mempunyai struktur dan warna buah yang sama
dengan terung budi daya.
Kata kunci: Fusi protoplas, Piper nigrum, Pogostemon cablin, Solanum melongena
ABSTRACT
Genetic improvement through protoplast fusion on black pepper, patchouli, and eggplant
Protoplast fusion was conducted to overcome genetic barrier arised in sexual crossing and sterility of F1 hybrid.
This generally occurred in interspecific and intergeneric hybridization, such as black pepper (Piper nigrum),
patchouli (Pogostemon cablin), and eggplant (Solanum melongena spp.). On those crops, the main problem is
disease infection, caused by Phytophthora capsici in pepper, Ralstonia solanacearum in eggplant, and nematodes
in patchouli. The resistance genes against those diseases were existed in wild species of the respective crops, so that
producing a resistant variety through conventional breeding is almost imposible. Hybridization is also not applicable
for patchouli because the plant does not produce flower. The protoplast could be isolated with a combination of
cellulase 2% + macerozyme 0.50% (for black pepper) and cellulase 0.50% + pectinase 0.50% (for eggplant and
patchouli) which produce high density of protoplast. Protoplast fusion may be conducted by the application of
PEG 6000 at a concentration of 30% for 2025 minutes. By this treatment, the protoplast from cultivated crop
could be fused into their wild species. Microcallus of pepper could not be regenerated, therefore somatic hybrids
failed to be produced. Meanwhile somatic hybrids of patchouli were produced with high lignin and phenol content,
same as wild species. In eggplant, different hybrids were produced and some of which were resistant to R. solanacearum.
Anther culture of the hybrids produced dihaploid plant. The haploid plant was back crossed to their parent and the
back cross (BC2) had fruit structure and color similar to cultivated eggplant.
Tabel 7. Persentase protoplas terung yang membentuk dinding dan membelah pada satu minggu setelah penaburan
pada berbagai kondisi lingkungan kultur dan jenis media.
DAFTAR PUSTAKA
Ammirato, P.V., D.A. Evans, W.R. Sharp, and budi daya. Prosiding Seminar Perhimpunan wilt resistance of eggplant through protoplast
Y. Yamada. 1983. Handbook of Plant Cell Bioteknologi Pertanian Indonesia, Surabaya, fusion. Jurnal Penelitian dan Pengembangan
Culture. MacMillan Publ. Co., New York and 1214 Maret 1997. Pertanian 20(1): 2531.
London. Husni, A., G.A. Wattimena, I. Mariska, dan A. Millam, S., L.A. Payne, and G.R. Mackay. 1995.
Dalmaso, A., P. Castajonom-Sereno, and P. Ahad. Purwito. 2003. Keragaman genetik tanaman The integration of protoplast fusion-derived
1992. Tolerance and resistance of plants to terung hasil regenerasi protoplas. Jurnal material into a potato breeding programme:
nematodes, knowledge needs and prospect. Bioteknologi Pertanian 8(2): 5259. a review of progress and problem. Euphytica
Seminar Nematologica 38: 466472. 85: 451455.
Kasim, R. 1997. Ketahanan tujuh spesies lada
Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. terhadap penyakit Phytophthora. Pem- Nuryani, Y., I. Mariska, A. Husni, dan C. Syukur.
2004. Statistik Perkebunan Indonesia 2000 beritaan Penelitian Tanaman Rempah dan 1999. Fusi protoplas nilam Jawa dan nilam
2003: Nilam. Direktorat Jenderal Bina Obat (39): 3438. Aceh. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian
Produksi Perkebunan, Jakarta. 23 hlm. Bioteknologi Pertanian, Jakarta 31 Agustus
Mariska, I., R. Purnamaningsih, Hobir, K. Mulya,
1 September 1999. Perhimpunan Bio-
Husni, A., I. Mariska, dan S. Rahayu. 1997. A. Husni, S. Rahayu, M. Kosmiatin, and D.
teknologi Pertanian.
Hibridisasi somatik lada liar dengan lada Sihachakr. 2002. Improvement of bacterial
ABSTRAK. Bibit ubi kayu unggul sangat dibutuhkan oleh petani atau penggiat ubi
kayu dan dapat diperoleh melalui teknik fusi protoplas. Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan protoplas dari mesofil daun tiga jenis ubi kayu yaitu Gajah, Mentega 2
dan Ubi Kuning koleksi in vitro dengan perlakuan komposisi enzim selulase, maserozim
dan pektoliase serta media kultur protoplas. Isolasi protoplas dilakukan dengan
menginkubasi daun ubi kayu in vitro dari genotip Mentega 2, Ubi Kuning dan Gajah
pada media cair yang terdiri dari beberapa campuran enzim. Protoplas berhasil
diperoleh dari ketiga genotip ubi kayu setelah inkubasi pra-plasmolisis sel pada larutan
campuran enzim perlakuan LE3 yaitu 0,4 M manitol, 2% selulase, 1% maserozim dan
0,1% pektoliase selama 18 jam. Protoplas berhasil membentuk mikrokalus pada media
semi padat Murashige & Skoog (MS) dengan penambahan vitamin Kao & Michayluk
(KM) dan bahan organik KM serta diperkaya dengan 2 µM CuSO4, 2 mg/L BAP, 1
mg/L IAA, 2% sukrosa dengan variasi agar Phytagel 0,5% (M1) dan 1% (M2).
Pembentukan kalus dari mikrokalus terjadi pada semua media perlakuan. Secara
keseluruhan, perlakuan terbaik ditunjukkan pada media P4, yaitu media MS yang
mengandung 1,0 mg/L 2,4-D dan 2 mg/L BAP, dimana kalus yang diperoleh berukuran
lebih besar dibanding media lainnya.
Kata kunci: mikrokalus, protoplas, selulase, ubi kayu
1
BIOPROPAL INDUSTRI Vol.10 No.1, Juni 2019 : 1-13
2
Isolasi dan Kultur Protoplas Mesofil…… (H. Fitriani, dkk.)
Gambar 1. Tanaman kultur in vitro ubi kayu sebagai sumber eksplan untuk isolasi protoplas; A. Ubi
Kuning, B. Mentega 2 dan C. Gajah
3
BIOPROPAL INDUSTRI Vol.10 No.1, Juni 2019 : 1-13
4
Isolasi dan Kultur Protoplas Mesofil…… (H. Fitriani, dkk.)
5
BIOPROPAL INDUSTRI Vol.10 No.1, Juni 2019: 1-13
larutan sukrosa dan Mannitol setelah yang diuji yaitu Mentega 2, Gajah dan Ubi
disentrifugasi pada ketiga genotip ubi kayu Kuning.
Tabel 2. Kerapatan (densitas) protoplas asal jaringan mesofil daun ubi kayu genotip Gajah dan Ubi
Kuning pada empat perlakuan komposisi enzim
Komposisi enzim
Jenis ubi kayu
LE1 LE2 LE3 LE4
Gajah 0 0 6
0,6 x 10 protoplas/mL 0
Ubi Kuning 0 0 0,197 x 106 protoplas/mL 0
Mentega 2 0 0 0 0
Ket.: LE1 = selulase 2% RS (w/v), pektoliase 0% (w/v), maserozim 2% (w/v);
LE2 = selulase 2% RS (w/v), pektoliase 0,1% (w/v), maserozim 2% (w/v);
LE3 = selulase 2% RS (w/v), pektoliase 0,1% (w/v), maserozim 1% (w/v);
LE4 = selulase 2% RS (w/v), pektoliase 1% (w/v), maserozim 0.2% (w/v).
A B
C D
Gambar 2. Protoplas dari mesofil daun ubi kayu genotip Gajah (A) dan Ubi Kuning (B) sebelum
proses pemurnian dan genotip; Gajah (C) dan Ubi Kuning (D) setelah proses pemurnian
(Perbesaran 40x)
6
Isolasi dan Kultur Protoplas Mesofil…… (H. Fitriani, dkk.)
A B
C D
Gambar 3. Agregasi koloni protoplas pada media semi solid M2 umur 4 minggu setelah tanam
(MST) (A-B) dan pertambahan ukuran mikrokalus ubi kayu genotip Ubi Kuning hingga
18 minggu setelah tanam (MST) (C-D) (perbesaran 20x)
7
BIOPROPAL INDUSTRI Vol.10 No.1, Juni 2019 : 1-13
Protoplas dari mesofil daun ubi kayu pemadat Phytagel 1% mampu membentuk
Mentega 2 tidak berkembang, koloni protoplas menjadi bentuk
kemungkinan dikarenakan viabilitas mikrokalus yang kompak padat berwarna
protoplas rendah atau mengalami lisis putih seperti kapas (Tabel 3; Gambar 3C).
selama masa inkubasi pada media kultur. Mikrokalus semakin menunjukkan
Masa inkubasi yang lama dapat pertumbuhan yang baik hingga 18 MST
menyebabkan terjadinya kerusakan pada dan mengalami penambahan ukuran
membran protoplas. Ling et al. (2009) (Gambar 3D).
menyatakan bahwa waktu inkubasi Waktu pertumbuhan dan
merupakan faktor yang menentukan perkembangan mikrokalus pada dua
keberhasilan isolasi protoplas. Viabilitas genotip ubi kayu yang diuji menunjukkan
protoplas mengalami penurunan seiring perbedaan. Respon genotip sangat
dengan semakin lamanya waktu inkubasi. berpengaruh terhadap media tumbuh yang
Hasil yang sama pada isolasi protoplas dari digunakan. Mikrokalus genotip Gajah
Lotus corniculatus untuk perlakuan waktu berkembang menjadi kalus berwarna
inkubasi 8 jam menunjukkan penurunan kuning dan membentuk nodul-nodul pada
protoplas viable dibanding waktu inkubasi media kultur semipadat (Gambar 4A).
6 jam (Raiker et al., 2008). Mikrokalus dari protoplas ubi kayu genotip
Berdasarkan Hendaryono & Gajah mengalami perkembangan mulai
Wijayani (1994), medium pertumbuhan dari bentuk seperti selaput putih hingga
protoplas yang mengandung BH3 tanpa adanya bentuk yang menyerupai nodul-
adanya penambahan ZPT menyebabkan nodul berwarna kuning bening pada 8 HST
protoplas tidak tumbuh sama sekali. (hari setelah tanam) dan jumlah nodul-
Pengaruh ZPT terutama akusin terhadap nodul ini semakin bertambah pada 10
pertumbuhan protoplas menunjukkan minggu setelah tanam (MST). Nodul kalus
adanya indikasi tekanan osmotik, hanya mengalami proliferasi yang semakin
meningkatkan sintesa protein, bertambah namun tidak mengalami
meningkatkan permeabilitas sel terhadap perkembangan bentuk yang mengarah ke
air dan melunakkan dinding sel yang organogenesis tunas hingga 12 MST
diikuti dengan menurunnya tekanan pada (Gambar 4B). Pengamatan pertumbuhan
dinding sel sehingga air dapat masuk ke mikrokalus yang semakin membesar pada
dalam sel dan meningkatkan volume sel. genotip Gajah hanya dapat dilakukan
Mikro koloni protoplas Ubi Kuning hingga 20 MST (Gambar 4C). Pada 28
dan Gajah berubah bentuk menjadi MST, kalus dari genotip Gajah yang
mikrokalus pada media kultur semi padat dihasilkan mengalami kontaminasi bakteri.
perlakuan M2 pada hari ke-4 (Ubi Kuning) Semakin lama periode subkultur,
dan minggu ke-6 (Gajah). Media semi akumulasi nutrisi pada eksplan menjadi
padat perlakuan M2 yaitu media MS yang tinggi sehingga bakteri tumbuh dengan
mengandung 2 µM CuSO4, 2 mg/L BAP, 1 lebih cepat.
mg/L NAA dan larutan 0,4 M BH3 serta
Tabel 3. Kondisi protoplas ubi kayu genotip Gajah dan Ubi Kuning 18 minggu setelah tanam (MST)
pada media perlakuan semi padat
Perlakuan
Genotip M1 M2
Gajah Tidak berkembang Utuh dan membentuk mikrokalus yang berwarna putih
seperti kapas
Ubi Kuning Tidak berkembang Utuh dan membentuk mikrokalus yang berwarna putih
seperti kapas
Ket.: M1 = Media MS + 2 µM CuSO4 + 2 mg/L BAP +1 mg/L NAA + 0,4 M BH3 + 0,5% Phytagel
M2 = Media MS + 2 µM CuSO4 + 2 mg/L BAP +1 mg/L NAA + 0,4 M BH3 + 1% Phytagel
8
Isolasi dan Kultur Protoplas Mesofil…… (H. Fitriani, dkk.)
A B C
D E F
Gambar 4. Perkembangan protoplas asal mesofil daun menjadi mikrokalus ubi kayu genotip Gajah
umur 20 minggu setelah tanam (MST) (A-C); dan genotip Ubi Kuning umur 4 hingga 6
minggu setelah tanam (MST) (D-E) pada media semipadat MS + 2 µM CuSO4 + 2 mg/L
BAP + 1 mg/L NAA + 0,4 M BH3 + 1% Phytagel (perbesaran 8x)
9
BIOPROPAL INDUSTRI Vol.10 No.1, Juni 2019: 1-13
Bentuk dan ukuran kalus antar media perlakuan padat P1, P2, P3 dan P4 terlihat
A B C D
Media padat
A B C D
Media cair
Gambar 5. Bentuk kalus asal protoplas ubi kayu genotip Ubi Kuning umur 4 minggu setelah tanam
(MST) di media perlakuan padat (atas) dan media cair (bawah); Gresshoff & Doy (GD)
(A), 1/2MS + 1/2GD + L-tyrosine (B), MS + 2,4-D 0,5 mg/L + BAP 2 mg/L (C), dan MS
+ 2,4-D 1,0 mg/L + BA 2 mg/L (D)
Tabel 4. Bentuk mikrokalus genotip Ubi Kuning pada 8 minggu setelah tanam (MST) di media
perlakuan induksi kalus
No. Perlakuan Komposisi media Kondisi protoplas
Media Padat
1. P1 Gresshoff & Doy (GD) Nodul menyerupai kalus
2. P2 1/2MS + 1/2GD + L-tyrosine Nodul menyerupai kalus
3. P3 MS + 2,4-D 0,5 mg/L + BA 2 mg/L Nodul menyerupai kalus
4. P4 MS + 2,4-D 0,1 mg/L + BAP 2 Nodul membentuk kalus
mg/L
Media Cair
5. C1 Gresshoff & Doy (GD) Kontaminasi
6. C2 1/2MS + 1/2GD + L-tyrosine Nodul menyerupai kalus dengan ukuran
lebih kecil
7. C3 MS + 2,4-D 0,5 mg/L + BAP 2 Kontaminasi
mg/L
8. C4 MS + 2,4-D 0,1 mg/L + BAP 2 Nodul menyerupai kalus dengan ukuran
mg/L lebih kecil
sama pada 4 MST dengan 8 MST. Kalus (Martin dkk., 2015). Selain itu, koloni
yang terbentuk pada media perlakuan P4 mikrokalus ubi kayu yang dihasilkan dapat
tampak pertambahan diameter kalus jika berkembang lebih lanjut menyerupai kalus
dibandingkan dengan media perlakuan fase nodular berwarna putih susu. Ubi
padat lainnya seperti P1, P2 dan P3 kayu merupakan salah satu tanaman yang
(Gambar 6A-D). Kalus pada media sulit dalam hal kultur protoplas dan
perlakuan P4 menyerupai bentuk nodular regenerasinya. Berdasarkan Wu et al.
kalus embriogenik pada tahapan somatic (2017), saat ini hanya ada dua laporan
embryogenesis. Kalus yang berkembang mengenai kultur protoplas dan
pada media cair C1 dan C3 mengalami regenerasinya yang telah dipublikasikan.
kontaminasi bakteri (Gambar tidak Shahin & Shepard (1980) melaporkan hasil
ditampilkan). penelitiannya tentang regenerasi tunas
Protoplas hasil isolasi pada hasil isolasi protoplas asal mesofil daun
penelitian ini dapat berkembang menjadi ubi kayu. Sofiari et al.(1998)
mikro kalus seperti halnya isolasi protoplas mempublikasikan tentang regenerasi tunas
dari jenis tanaman umbi lainnya yaitu talas hasil isolasi protoplas asal friabe
10
Isolasi dan Kultur Protoplas Mesofil…… (H. Fitriani, dkk.)
Media padat
A B C D
Media cair
B D
Gambar 6. Bentuk kalus asal protoplas ubi kayu genotip Ubi Kuning pada 8 minggu setelah tanam
(MST) di media perlakuan Gresshoff & Doy (GD) (A), 1/2MS + 1/2GD + L-tyrosine (B),
MS + 2,4-D 0,5 mg/L + BAP 2 mg/L (C), dan MS + 2,4-D 1,0 mg/L + BAP 2 mg/L (D)
11
BIOPROPAL INDUSTRI Vol.10 No.1, Juni 2019: 1-13
12
Isolasi dan Kultur Protoplas Mesofil…… (H. Fitriani, dkk.)
Riyadi, I. (2010). Isolasi Protoplas secara Tan, M.L.M., Boerrigter, H.S. & Kool, A.J.
Enzimatis pada Tanaman Kecipir. (1987). A rapid procedure for plant
Buletin Plasma Nutfah, 16(1), 57-63. regeneration from protoplasts isolated
from suspension cultures and leaf
Shahin, E.A. & Shepard, J.F. (1980). Cassava
mesophyll cells of wild Solanum species
Mesophyll Protoplasts: Isolation,
and Lycopersicon pennellii. Plant
Proliferation, and Shoot Formation.
Science, 49(1), 63-72.
Plant Science Letters, 17, 459-465. doi:
10.1016/0304-4211(80) 90133-9. Tee, C.S., Lee, P.S., Kiong, A.L.P. &
Mahmood, M. (2010). Optimisation of
Sinta, M.M., Riyadi, I. & Sumaryono. 2014.
protoplasts isolation protocols using in
Identifikasi dan pencegahan
vitro leaves of Dendrobium crumenatum
kontaminasi pada kultur cair sistem
(pigeon orchid). African Journal of
perendaman sesaat. Menara
Agricultural Research, 5(19), 2685-
Perkebunan. 82(2), 64-69.
2693.
Sofiari, E., Raemakers, C.J.J.M., Bergervoet,
Tomar, U.K. & Dantu, P.K. (2010). Protoplast
J.E.M., Jacobsen, E. & Visser, R.G.F.
Culture and Somatic Hybridization. In:
(1998). Plant regeneration from
Tripathi. G. (ed) Cellular and
protoplasts isolated from
Biochemical Science. (pp. 876-891).
friableembroygenic callus of cassava.
New Delhi: I.K. International House Pvt
Plant Cell Reports, 18, 159-165.
Ltd.
Sukmadjaja, D., Sunarlim, N., Lestari, E.G.,
Utami, E.S.W. & Hariyanto, S. (2015).
Roostika, I. & Suhartini, T.
Optimasi Isolasi Protoplas Mesofil
(2007).Teknik Isolasi dan Kultur
Daun Anggrek Paraphalaenopsis
Protoplas Tanaman Padi. Jurnal
laycockii. AGROTROP, 5(1), 21–29.
AgroBiogen, 3(2), 60-65.
Wu, J.Z., Liu, Q., Geng, X.S., Li, K.M., Luo,
Suryowinoto, M. (1989). Fusi protoplas. PAU
L.J. & Liu, J.P. (2017). Highly efficient
Bioteknologi. Yogyakarta: Universitas
mesophyl protoplast isolation and PEG-
Gadjah Mada.
mediated transient gene expression for
Suryowinoto, M. (1996). Prospek kultur rapid and large-scale gene
jaringan dalam perkembangan characterization in cassava (Manihot
pertanian modern. Yogyakarta: esculenta Crantz). BMC biotechnology,
Universitas Gadjah Mada. 17(1), 29.
13
141
Lailil Fitra Annisa, et.al.,: Studi Karakter Morfologi Dau dan Identifikasi Ploidi Tanaman...
Lailil Fitra Annisa, et.al.,: Studi Karakter Morfologi Dau dan Identifikasi Ploidi Tanaman...
sayap, tepi daun dan bentuk anak tulang kekerabatan tanaman fusan dengan
daun. Pengamatan karakter kuantitatif ialah parentalnya. Selanjutnya karakter yang telah
panjang daun, lebar daun. Hasil analisa data di clusterkan tersebut dianalisa dengan
kualitatatif menggunakan sistem skoring menggunakan program Numerical
dalam bentuk biner dan hasilnya berupa Taxonomy and Multivariate Analysis System
dendogram yang dibuat dengan software (NTSYS 2.1). Hasil dari clustering tersebut
NTSYS 2.1. Hasil analisa flowcitometry ditampilkan dalam bentuk dendogram.
berupa histogram yang menunjukkan Dendogram untuk 46 tanaman fusan
adanya perubahan sel atau tingkat ploidi. dengan karakter daun dilihat pada gambar
2.
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis
dendogram, pengamatan karakter daun
Karakter Kuantitatif Daun Jeruk Hasil tidak memiliki banyak variasi. Pada
Fusi Protoplas dendogram karakter daun (gambar 2) terdiri
Pada gambar 1 pengamatan dari 2 cluster. Cluster tersebut terdiri dari
kuantitatif daun, parameter yang diamati cluster A dan B.Anggota cluster dapat di
ialah panjang dan lebar daun. Panjang daun lihat pada tabel 1. Cluster A memiliki jarak
pada asesi berkisar antara 3.03cm - koefisien kemiripan 0,75. Sedangkan cluster
6.53cm. sedangkan yang terpanjang ialah B memiliki jarak koefisien kemiripan 0,74.
FS 56 (6.53 cm). Untuk lebar daun berkisar Pada dendogram karakter daun terdiri dari 2
antara nilai 1.6cm – 3.48cm. Sedangkan cluster. Cluster tersebut terdiri dari cluster A
untuk Siam Madu memiliki panjang 7 cm dan B. Cluster A memiliki jarak koefisien
dan lebar 3.5 cm. sedangkan untuk kemiripan 0.75. Sedangkan cluster B
Satsuma Mandarin memiliki 9.2 cm dan memiliki jarak koefisien kemiripan 0.74.
lebar daun 4.3 cm. Pada tanaman fusan, Pada umumnya karakter daun tanaman
memiliki nilai yang lebih rendah dari fusan lebih mirip seperti Siam Madu.
tetuanya (Satsuma Mandarin). Secara Pada hasil pengamatan karakter
umum hasil karakter daun tanaman fusan morfologi daun, dapat digolongkan dalam
memiliki ukuran panjang dan lebar yang kelompok yang identik dengan Siam Madu
beragam. dan kombinasi antara Siam Madu dengan
Satsuma Mandarin. Karakter tersebut tersaji
Analisis Karakter Kualitatif Daun Jeruk dalam tabel
Hasil Fusi Protoplas Menurut Husni (2010), kebanyakan
Pengamatan karakter kualitatif varietas jeruk Siam memiliki bentuk dan
menggunakan dendogram dengan system ukuran daun yangbisa di bedakan dari jenis
Clustering. Hal ini bertujuan untuk jeruk lainnya.
mempermudah melihat hubungan
Lailil Fitra Annisa, et.al.,: Studi Karakter Morfologi Dau dan Identifikasi Ploidi Tanaman...
Bentuk daunnya oval dan berukuran sedikit yaitu menghasilkan hibrid atau kombinasi
lebih besar dari jeruk keprok Garut. Ukuran dua genom lengkap, menghasilkan
daunnya sekitar 7.5 cm x 3.9 cm dan asymmetric hybrid atau partial hybrid
memiliki sayap daun kecil yang berukuran sebagian inti dari salah satu tetua
0.8 x 0.2 cm. Ujung daunnya agak terbelah, bergabung, dan menghasilkan sibrid. Oleh
sedangkan bagian pangkalnya meruncing. karena itu, variasi rekombinan sifat genetik
Urat daunnya menyebar sekitar 0,1 cm dari di dalam tanaman hasil fusi akan sangat
tepi daun. beragam dalam frekuensi yang berbeda.
Pada pengamatan, ditemui kombinasi Menurut Cheng et al., (2003) fusi protoplas
antara Siam Madu dengan Satsuma memungkinkan penggabungan ciri-ciri
Mandarin (tabel 2). Kombinasi tersebut sitoplasma pada tanaman yang telah
dapat diakibatkan dari sifat tanaman hasil diketahui bahwa kloroplas dan mitikondria
fusi protoplas yang beragam. Menurut diwariskan secara maternal pada hibridisasi
Mariska dkk, (2006) hasil dari fusi protoplas seksual.
secara umum terdiri dari 3 kemungkinan
Lailil Fitra Annisa, et.al.,: Studi Karakter Morfologi Dau dan Identifikasi Ploidi Tanaman...
Lailil Fitra Annisa, et.al.,: Studi Karakter Morfologi Dau dan Identifikasi Ploidi Tanaman...
a b
. .
c d
. .
Lailil Fitra Annisa, et.al.,: Studi Karakter Morfologi Dau dan Identifikasi Ploidi Tanaman...