Anda di halaman 1dari 23

BAB IX.

PEWARISAN SITOPLASMIK

Sebegitu jauh pembicaraan kita tentang


pewarisan sifat pada eukariotik selalu dikaitkan dengan
gen-gen yang terletak didalam kromosom/nukleus.
Kenyataanya gen-gen kromosomonal ini memang
memegang peranan utama dalam sebagian besar
pewarisan sifat genetik. Meskipun demikian, sesekali
pernah pula dilaporkan bahwa ada sejumlah sifat
genetik pada eukariotik yang pewarisanya diatur unsur-
unsur luar nukleus. Pewarisan ekstranukleus, atau
dikenal pula sebagai pewarisan sitoplasmik, ini tidak
mengikuti pola mendel.
Pewarisan sitoplasmik diatur oleh materi
genetik yang terdapat dalam organel-organel separti
mitokondria, kloroplas (pad tumbuhan), dan beberapa
komponen sitoplasmik lainya. Begitu juga virus dan
partikel mirip bakteri dapat bertindak sebagai pembawa
sifat herediter sitoplasmik. Pada Bab IX ini akan
dibahas berbagai contoh kasus yang termasuk dalam
pewarisan sifat sitoplasmik. Di bagian akhir
dibicarakan pula suatu fenomena lain yang masih ada
sangkut pautnya dengan pewarisan sitoplasmik.

Kriteria Pewarisan Sitoplasmik


Sebenarnya tidak ada kriteria yang dapat
berlaku universal untuk membedakan pewarisan
sitoplasmik dengan pewarisan gen-gen kromosomal.

111
Namun, setidak-tidaknya lima hal di bawah ini dapat
digunakan untuk keperluan tersebut.
1. Perbedaan hasil perkawinan resiprok merupakan
penyimpangan dari pola Mendel. Sebagai
contoh, hasil persilangan antara betina A dan
jantan B tidak sama dengan hasil persilangan
antara betina B dengan jantan A. Jika dalam hal
ini pengaruh rangkai kelamin dikesampingkan,
maka perbedaan hasil perkawinan resiprok
tersebut menunjukkan bahwa salah satu tetua
(biasanya betina) memberikan pengaruh lebih
besar daripada pengaruh tetua lainnya dalam
pewarisan suatu sifat tertentu.
2. Sel kelamin betina biasanya membawa
sitoplasma dan organel sitoplasmik dalam
jumlah lebih besar daripada sel kelamin jantan.
Organel dan simbion di dalam sitoplasma
dimungkinkan untuk diisolasi dan dianalisis
untuk mendukung pembuktian tentang adanya
transmisi maternal dalam pewarisan sifat. Jika
materi sitoplasmik terbukti berkaitan dengan
pewarisan sifat tertentu, maka dapat dipastika
bahawa pewarisan sifat tersebut merupakan
pewarisan sitoplasmik.
3. Gen-gen kromosomal menempati loki tertentu
dengan jarak satu sama lain yang tertentupula
sehingga dapat membentuk kelompok
berangkai. Oleh karena itu jika ada suatu materi

112
penentu sifat tidak dapat dipetakan ke dalam
kelompok-kelompok berangkai yang ada, sangat
dimungkinkan bahwa materi genetik tersebut
terdapat di dalam sitoplasma.
4. Tidak adanya nisbah segregasi Mendel
menunjukkan bahwa pewarisan sifat tidak diatur
oleh gen-gen kromosomal tetapi oleh materi
sitoplasmik.
5. Substitusi nukleus dapat memperjelas pengaruh
relatif nukleus dan sitoplasma. Jika pewarisan
suatu sifat berlangsung tanpa adanya pewarisan
gen0gen kromosomal, maka pewarisan tersebut
terjadi karena pengaruh materi sitoplasmik.

Organel Sitoplasmik Pembawa Materi Genetik


Di dalam sitoplasma antara lain terdapat
organel-organel seperti mitokondria dan kloroplas.,
yang memiliki molekul DNA dan dapat melakukan
replikasi subseluler sendiri. Oleh karena itu, kedua
organel ini sering kali disebut sebagai organel otonom.
Beberapa hasil penelitian memberikan petunjuk bahwa
mitokondria dan kloroplas pada awalnya masing-
masing merupakan bakteri dan alga yang hidup bebas.
Dalam kurun waktu yang sangat panjang mereka
kemudian membangun simbiosis turun-temurun dengan
sel inang eukariotnya dan akhirnya berkembang
menjadi organel yang menetap di dalam sel.

113
Mitokondria yang dijumpai pada semua jenis
organisme eukariot, diduga membawa hingga lebih
kurang 50 gen di dalam molekul DNA nya. Gen-gen ini
diantaranya bertanggung jawab atas struktur
mitokondria itu sendiri dan juga pengaturan berbagai
bentuk metabolisme energi. Enzim-enzim untuk
keperluan respirasi sel dan produksi energi terdapat di
dalam mitokondria. Begitu juga bahan makanan akan
dioksidasi di dalam organel ini untuk menghasilkan
senyawa adenosin triphosphat (ATP), yang merupakan
bahan bakar bagi berbagai reaksi biokimia.
Sementara itu, kloroplas sebagai organel
fotosintetik pada tumbuhan dan beberapa
mikroorganise membawa sejumlah materi genetik yang
diperluka bagi struktur dan fungsinya dalam
melaksanakan proses fotosintesis. Klorofil beserta
kelengkapan untuk sintesisnya telah dirakit ketika
kloroplas masih dalam bentuk alga yang hidup bebas.
Pada alga hijau plastida diduga membawa mekanisme
genetik lainnya. Misalnya mekanisme ketahanan
terhadap antibiotik streptomisin pada Chlamydomonas.
Mutan Mitokondria
Pada suatu penelitian menggunakan khamir
Saccharomyces cerevisae B. Ephrusi menemukan
sejumlah koloni sangat kecil yang kadang-kadang
terlihat ketika sel ditumbuhkan dalam medium padat.
Koloni-koloni ini dinamakan mutan petit (mutan
petite). Hasil pengamatan mikroskopis menunjukkan

114
bahwa sel-sel pada koloni tersebut berukuran normal.
Namun hasil studi fisiologi menunjukkan bahwa sel-sel
tersebut mengalami pertumbuhan yang sangat lambat
karena adanya kelainan dalam metabolisme senyawa
karbon.mutan petit melakukan metabolisme karbon
bukan dengan respirasi menggunakan oksigen,
melainkan melalui fermentasi glukosa secara anaerob
yang jelas jauh kurang efisien dibandingkan dengan
respirasi aerob.
Analisis genetik terhadap hasil persilangan
antara mutan petit dan tipe liarnya memperlihatkan
adanya tiga tipe mutan petit seperti dapat dilihat pada
gambar dibawah ini.
Tipe pertama memperlihatkan segregasi Mendel
seperti biasanya sehingga dinamakan petit
segregasional. Persilangan dengan tipe liarnya
menghasilkan zigot diploid yang normal. Jika zigot ini
mengalami pembelahan meiosis, akan diperoleh empat
askospora haploid dengan nisbah fenotipe 2 normal : 2
petit. Hal ini menunjukkan bahwa petit segregasional
ditimbulkan oleh mutasi di dalam nukleus. Selain itu,
oleh karena zigot diploid mempunyai fenotipe normal,
maka dapat dipastikan bahwa alel yang mengatur mutan
petit merupakan alel resesif.
Tipe kedua, yang disebut petit netral, berbeda
dengan tipe pertama jika dilihat dari keempat askospora
hasil pembelahan meiosis zigot diploid. Keempat
askospora ini semuanya normal. Hasil yang sama akan

115
diperoleh apabila zigot diploid disilang balik dengan
tetua petitnya.
Jadi, fenotipe keturunan hanya ditentukan oleh
tetua normalnya. Dengan perkataan lain, pewarisa
sifatnya merupakan pewarisan uniparental.
Berlangsungnya pewarisan uniparental tersebut
disebabkan oleh hilangnya sebagian besar atau seluruh
materi genetik di dalam mitokondria yang menyandi
sintesis enzim respirasi oksidatif pada kebanyakan petit
netral. Ketika sel petit netral bertemu dengan sel tipe
liar akan menjadi sumber materi genetik mitokondria
bagi spora-spora hasil persilangan petit dengan tipe liar
sehingga semuanya akan mempunyai fenotipe normal.

Gambar 14 Pewarian mutasi petit pada persilangan dengan tipe


liarnya (lingkaran kecil menggambarkan sel petit; nukleus bergaris
mendatar membawa alel untuk pembentukan petit)

116
Tipe ketiga disebut tipe petit supresif, yang
hingga kini belum dapat dijelaskan dengan baik. Pada
persilangannya dengan tipe liar dihasilkan zigot diploid
dengan fenotipe petit. Selanjutnya, hasil meiosis zigot
petit ini adalah empat askospora yang semuanya
mempunyai fenotipe petit. Dengan demikian, seperti
halnya pada tipe petit netral, pewarisan uniparental juga
terjadi pada tipe petit supresif. Bedanyan pada tipe petit
supresif alel penyebab petit bertindak sebagai
penghambat (supresor) dominan terhadap aktivitas
mitokondria tipe liar. Petit supresif juga mengalami
kerusakan pada materi genetik mitokondrianya tetapi
kerusakannya tidak separah pada petit netral.
Selain pada khamir S. cerevisae kasus mutasi
mitokondria juga dijumpai pada jamur Neurospora,
yang pewarisannya berlangsung unparentla melalui
tetua betia (pewarisan maternal) meskipun sebenarnya
pada jamurini belum ada perbedaan jenis kelamin yang
nyata. Mutan mitokondria pada neurospora yang
diwariskan melalui tetua betina tersebut dinamakan
mutan poky (poky mutant). Persilangan antara betina
poki dan jantan tipe liar menghasilkan keturunan yang
semuanya poki. Sebaliknya, persilangan antara betina
tipe liar dan jantan tipe poki menghasilkan keturunan
yang semuanya normal.
Mutan poki menyerupai mutan petit pad
S.cerevisae dalam hal pertumbuhan yang almbat dan
kerusakan fungsi mitokondrianya. Secara biokimia

117
kelainan ini berupa gangguan pada sistem sintesis
protein mitokondria yang diatur oleh materi genetik di
dalam mitokondria. Akibatnya, sel kehilangan
kemampuan untuk membentuk protein yang diperlukan
dalam metabolisme oksidatif. Seperti halnya mutan
petit, mutan poki juga memperoleh energi untuk
pertumbuhannya melalui jalur fermentasi anaerob yang
sangat tidak efisien.

Materi Genetik di dalam Kloroplas


Carl Correns pada tahun 1908 melihat adanya
perbedaan hasil persilangan resiprok pada pewarisan
warna bagian vegetatif tanaman, khususnya daun, pada
beberapa tanaman tertentu seperti bunga pukul empat
(Mirabilis jalapa). Dia mengamati bahwa pewarisan
warna tersebut semata-mata ditentukan oleh tetua
betina dan berkaitan dengan ada tidaknya kloroplas di
dalam sitoplasma.
Suatu tanaman bunga pukul empat dapat
memiliki bagian vegetatif yang berbeda-beda
warnanya, yaitu hijau, putih, dan belang-belang hijau-
putih (variegated). Sel-sel pada bagian yang berwarna
hijau mempunyai kloroplas ynag mengandung klorofil,
sedang sel-sel pada bagian yang berwarna putih tidak
mempunyai kloroplas tetapi berisi plastida yang tidak
berwarna. Sementara itu, bagian yang belang-belang
terdiri atas sel-sel, baik dengan maupun tanpa
kloroplas. Ketiga macam bagian tanaman tersebut dapat

118
menghasilkan bunga, baik sebagai sumber polen (tetua
jantan) maupun sebagai pembawa putik (tetua betina),
sehingga dimungkinkan adanya sembilan kombinasi
persilangan, yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 8.1.

Tabel 2. Hasil persilangan pada tanaman bunga pukul empat


Fenotipe cabang Fenotipe cabang Fenotipe
yang membawa yang membawa keturunan
bunga sebagai bunga sebagai
tetua betina tetua jantan
Putih Putih Putih
Putih Hijau Putih
Putih Belang-belang Putih
Hijau Putih Hijau
Hijau Hijau Hijau
Hijau Belang-belang Hijau
Belang-belang Putih Belang-
belang, hijau
atau putih
Belang-belang Hijau Belang-
belang, hijau
atau putih
Belang-belang Belang-belang Belang-
belang, hijau
atau putih
Jelas dapat disimpulkan bahwa dari tabel diatas bahwa
fenotipe keturunan akan selalu sama dengan fenotipe
tetua betina atau terjadi pewarisan maternal. Hal ini
karena seperti telah dikatakan diatas bahwa warna hijau
bergantung kepada ada tidaknya kloroplas, sementara
polen hanya sedikit sekali atau bahkan sama sekali

119
tidak memiliki kloroplas. Dengan demikian, kontribusi
kloroplas kepada zigot dapat diapstikan hanya berasal
dari sel kelamin betina.
Penelitian tentang pewarisan sitoplasmik telah
dilakukan pula pada alga uniseluler Chlamydomonas
reinhardii, yakni mengenai pewarisan sifat ketahanan
terhadap antibiotik. Sel alga ini memiliki sebuah
kloroplas yang besar ukurannya dan di dalamnya
terdapat sejumlah materi genetik.
Ada dua macam sel pada Chalmydomonas bila
dilihat dari tipe kawinnya, yakni mt + dan mt -. Kedua
macam sel haploid ini dapat bergabung membentuk
zigot diploid, yang selanjutnyaakan mengalami
meiosisuntuk menghasilkan tetradyang terdiri atas
empat buah sel haploid. Oleh karena kedua sel tipe
kawintersebut ukurannya sama besar, maka kontribusi
sitoplasma kepada zigot yang terbentuk akan sama
banyaknya. Sel-sel haploid di dalam tetrad dapat
ditumbuhkan pada medium selektif padat dan
membentuk koloni yang menunjukkan genotipenya.

120
Gambar 15. Model pewarisan maternal pada tanaman bunga
pukul empat

Persilangan resiprok antara tipe liar (rentan


antibiotik) dan mutan-mutan yang tahan antibiotik
memberikan hasil yang berbeda-beda. Sebagai contoh,
persilangan antara tipe liar dan mutan yang tahan
terhadap streptomisin menghasilkan keturunan yang
sifat ketahanannya terhadap streptomisin bergantung
pada tetua mt+. Secara skema persilangan tersebut dapat
digambarkan seperti pada Gambar .
Keturunan hasil persilangan antara kedua tipe
kawin selalu mempunyai genotipe seperti salah satu
tetuanya. Persilangan mt+ str+ dengan mt- str-
menghasilkan keturunan yang semuanya tahn terhadap
streptomisin (str +) sementara persilangan mt+ str-
dengan mt- str+ menghasilkan keturunan yang semuanya
rentan streptomisin (str -). Jadi, pewarisan sifat
ketahanan terhadap streptomisin berlangsung

121
uniparental atau bergantung kepada genotipe salah satu
tetuanya, dalam hal ini mt+. Dengan perkataan lain,
pewarisan alel str mengikuti pola pewarisan
uniparental. Meskipun demikian, alel yang menentukan
tipe kawin itu sendiri (alel mt) tampak bersegregasi
mengikuti pola Mendel, yakni menghasikan keturunan
dengan nisbah 1 : 1, yang menunjukkan bahwa alel
tersebut terletak di dalam krmosom nukleus.
Berbagai penelitian mengenai ketahanan
terhadap antibiotik selain streptomisin telah dilakukan
pula pada Chlamydomonas, dan semuanya
memperlihatkan terjadinya pewarisan uniparental.
Analisis biokimia membuktikan bahwa sifat ketahanan
terhadap antibiotik berhubungan dengan kloroplas.
Seperti telah kita ketahui bahwa sel haploid
Chlamydomonas hanya mempunyai sebuah kloroplas.
Jika kloroplas ini berasal dari penggabungan kloroplas
kedua sel maka tidak meungkin terjadi pewarisan
uniparental.
Dengan demikian, kloroplas dapat dipastikan
berasal dari salah satu tipe kawin saja. Hal ini didukung
oleh penelitian menggunakan penanda fisik untuk
membedakan kloroplas dari kedua tipe kawin yang
telah menunjukkan bahwa setelah terjadi
penggabungan, kloroplas dari mt – akan hilang oleh
suatu sebab yang hingga kini belum diketahui. Jadi,
kloroplas yang diwariskan hanya berasal dari tetua mt
+. Oleh karena pewarisan sifat ketahanan terhadap

122
antibiotik selalu ditentukan oleh tetua mt +, yang
berarti sejalan dengan pola pewarisan kloroplas, maka
jelas dibawa oleh kloroplas.
Dengan perkataan lain, pewarisan sifat
ketahanan terhadap antibiotik pada Chlamydomonas
merupakan pewarisan ekstrakromosomal atau
pewarisan sitoplasmik.

Gambar 16. Diagram pewarisan sifat ketahanan terhadap


terhadap streptomisin pada Chlamydomonas
(mt = tipe kawin; str+ = tahan streptomisin; str = rentan
streptomisin)

Simbion Sitoplasmik pada Paramaecium


Paramaecium diketahui merupakan protozoa
uniseluler yang reproduksinya berlangsung baik secara
seksual maupun aseksual. Reproduksi seksual ditandai
dengan peristiwa konjugasi dan perpindahan materi

123
genetik dari satu sel ke sel yang lain, sedangkan fase
aseksual atau sering disebut autogami. Terjadi melalui
pembelahan sel yang menghasilkan sel-sel dengan sifat-
sifat genetik yang sama. Secara skema tahap-tahap
reproduksi pada Paramaecium dapat dilihat pada
gambar berikut.

Gambar 17. Daur reproduksi pada Paramaecium

a) Fase seksual (1 = meiosis kedua mikronuklei


menjadi delapan mikronuklei; 2= degenerasi
tujuh mikronuklei dan makronukleus, satu
makronukleus yang tersisa mengalami mitosis
menjadi dua mikronuklei; 3 = pertukaran
mikronuklei antar sel dan fusi menjadi satu
makronukleus diploid; 4 = dua kali mitosis

124
menjadi empat mikronuklei diploid; 5 = fusi dua
mikronuklei menjadi makronukleus; 6 =
pemisahan sel menjadi dua ekskonjugan
diploid)
b) Fase aseksual (1= meiosis kedua mikronuklei
diikuti degenerasi tujuh mikronuklei; 2 =
mikronukleus yang tersisa mengalami mitosis; 3
= fusi hasil mitosis ; 4 = dua kali mitosis; 5 =
dua mikronuklei menjadi dua makronuklei; 6 =
mitosis mikronuklei diikuti sitokinesis)
Paramaecium memiliki dua macam nukleus,
yakni makronukleus vegetatif dan makronukleus yang
mengalami pembelahan meiosis untuk menghasilkan
gamet-gamet haploid. Pada fase seksual kedua
mikronuklei masing-masing sel mengalami meiosis
sehingga dihasilkan delapan mikronuklei haploid, yang
tujuh diantaranya akan mengalami degenerasi. Satu
mikronukleus yang tersisa mengalami mitosis menjadi
dua mikronuklei yang juga haploid. Selanjutnya,
membran sel di tempat kedua sel berlekatan akan rusak
sehingga terjadi pertukaran salah satu mikronuklei antar
sel, yang diikuti dengan fusi kedua mikronuklei
menjadi satu mikronukleus diploid. Mulai tahap ini
kedua sel (ekskonjugan) secara genetik menjadi sama.
Fase aseksual juga diawali dengan meiosis
mikronuklei menjadi delapan mikronuklei haploid,
yang tujuh diantaranya mengalami degenerasi. Satu
mikronukleus yang tersisa mengalami mitosis menjadi

125
dua mikronuklei haploid. Kedua mikronuklei ini
bergabung membentuk satu mikronukleus diploid, yang
kemudian mengalami dua kali mitosis menjadi empat
mikronuklei diploid.
Dua diantara mikronuklei ini berkembang
menjadi makronuklei. Kedua mikronuklei yang tersisa
mengalami mitosis menjadi empat mikronuklei diploid.
Setelah terjadi sitokinesis (pemisahan sel) diperoleh
dua buah sel masing-masing dengan dua mikronuklei
dan satu makronukleus yang semuanya diploid. Hal
yang perlu untuk diketahui pada fase aseksual ini
adalah bahwa meskipun sel yang mengalami autogami
pada awalnya heterozigot, sel-sel yang dihasilkan
semuanya akan menjadi homozigot karena sel awal
heterozigot tersebut terlebih dahulu mengalami meiosis
menjadi sel haploid. Dengan demikian, peristiwa
autogami pada hakekatnya sangat menyerupai
pembuahan sendiri, khususnya dalam hal peningkatan
homozigositas. Dari hasil autogami dapat dipelajari
bahwa pewarisa suatu sifat daitur oleh gen-gen
kromosomal ataukah sitoplasmik.
Pada strain tertentu Paramaecium aurelia
ditemukan adanya fenomena ‘pembunuh (killer) yang
berkaitan dengan keberadaan sejumlah partikel yang
disebut sebagai kappa di dalam sitoplasmanya.
Keberadaan kappa bergantung kepada gen kromosomal
dominan K. Beberapa peneliti seperti T.M. Sonneborn,
mengamati bahwa sel P. aurelia yang mengandung

126
partikel-partikel kappa akan menghasilkan senyawa
beracun yang dapat mematikan strain-strain protozoa
lainnya yang ada di sekitarnya. Senyawa beracun ini
selanjutnya disebut sebagai paramesin, sedangkan
partikel-partikel kappa ternyata merupakan bakteri
simbion yang kemudian dikenal dengan nama
Caedobacter taeniospiralis, yang artinya bakteri
pembunuh berbentuk pita spiral.
Apabila strain pembunuh melakukan konjugasi
dengan strain bukan pembunuh (pada suatu kondisi
yang memungkinkan strain bukan pembunuh untuk
bertahan hidup), maka ada dua kemungkinan yang
dapat terjadi. Pertama, kedua sel tidak bertukar materi
sitoplasmik tetapi hanya bertukar materi mikronukei
sehingga diperoleh dua kelompok sel, yakni sel
pembunuh dan sel bukan pembunuh yang kedua-
duanya bergenotipe Kk. Jika masing-masing sel ini
melakukan autogami, maka akan diperoleh sel
pembunuh (KK) dan sel bukan pembunuh (kk) yang
berasal dari sel pembunuh (Kk) serta sel bukan
pembunuh (baik KK maupun kk) yang berasal dari sel
bukan pembunuh (Kk). Jadi, genotipe KK dapat
menghasilkan fenotipe bukan pembunuh jika di dalam
sitoplasma tidak terdapat partikel kappa. Sebaliknya sel
pembunuh (Kk) melalui autogami dapat menghasilkan
sel bukan pembunuh (kk) karena partikel kappa tidak
akan mampu bertahan di dalam sitoplasma tanpa
adanya gen K. Dengan demikian, dari hasil tersebut

127
tampak jelas bahwa sifat pembunuh atau bukan
pembunuh ditentukan oleh ada tidaknya partikel kappa
di dalam sitoplasma walaupun partikel itu sendiri
keberadaannya bergantung kepada gen K di dalam
nukleus.
Kemungkinan kedua terjadi pertukaran materi
sitoplasmik diantara kedua sel sehingga hanya
diperoleh satu kelompok sel, yakni sel pembunuh yang
bergenotipe Kk. Jika sel-sel ini melakukan autogami,
maka akan diperoleh sel pembunuh (KK) dan sel bukan
pembunuh (kk) dengan nisbah 1:1.

Sterilitas Jantan pada Jagung


Di bidang pertanian ada satu contoh fenomena
pewarisan sitoplasmik yang sangat penting, yaitu
sterilitas jantan sitoplasmik pada jagung. Tanaman
jagung dikatakan steril atau mandul jantan sitoplasmik
apabila tidak mampu menghasilkan polen yang aktif
dalam jumlah normal sementara proses reproduksi dan
fertilitas betinanya normal. Sterilitas jantan sitoplasmik
tidak diatur oleh gen-gen kromosomal tetapi diwariskan
melalui sitoplasma gamet betina dari generasi ke
generasi. Jenis sterilitas ini telah banyak digunakan
dalam produksi biji jagung hibrida.
Pola pewarisan sterilitas jantan pertama kali
dipelajari oleh M. Rhoades melalui percobaan
persilangan pada jagung, yang secara skema dapat
dilihat pada gambar berikut. Individu mandul jantan

128
sebagai tetua betina disilangkan dengan individu
normal sebagai tetua jantan. Keturunannya, yang
mandul jantan, disilang balik selama beberapa generasi
dengan tetua yang normal. Ternyata setelah sekian
generasi diperoleh individu yang semua atau hampir
semua gen kromosomalnya berasal dari tetua normal
tapi individu ini mandul jantan. Sementara itu, individu
mandul jantan sebenarnya masih dapat menghasilkan
polen aktif meskipun jumlahnya sangat sedikit. Dengan
polen yang sangat sedikit ini dapat dilakukan
persilangan resiprok antara individu mandul jantan
sebagai tetua jantan dan individu normal sebagai teua
betina, yang ternyata menghasilkan keturunan normal.
Dari kedua persilangan tersebut dapat disimpulkan
bahwa sifat sterilitas jantan dibawa oleh tetua betina di
dalam sitoplasma gametnya.
Dewasa ini telah dikenal berbagai macam
penyebab sterilitas jantan sitoplasmik. Sebagai contoh,
ada sterilitas jantan sitoplasmik yang hanya terjadi jika
di dalam nukleus tidak terdapat gen dominan tertentu,
katakanlah R. Artinya, dengan adanya gen R akan
terjadi pemulihan dari steril menjadi fertil/normal.
Sebaliknya, pemunculan sterilitas jantan sitoplasmik
jenis lain dapat terjadi karena adanya gen dominan lain
di dalam nukleus, katakanlah S.

129
Gambar 18. Persilangan antara pembunuh dan bukan
pembunuh pada Paramaecium
a) Tidak terjadi pertukaran materi sitoplasmik
b) Terjadi pertukaran materi sitoplasmik
pbn = pembunuh; b-pbn = bukan pembunuh

130
Gambar 19 . Diagram pewarisan sterilitas jantan pada jagung

Pengaruh Maternal pada Arah Kumparan


Cangkang Siput
Arah kumparan pada cangkang siput Limnaea
peregra dapat dibedakan menjadi dua, yakni ke kanan
(dekstral) dan ke kiri (sinistral). Sifat ini diwariskan

131
dengan pola yang menyerupai pewarisan maternal atau
pewarisan unipaental melalui tetua betina, yang berarti
diatur oleh materi genetik dalam sitoplasma. Akan
tetapi, dari fenotipe generasi F3 ternyata diketahui
bahwa pewarisan sifat tersebut diatur oleh gen
kromosomal yang segregasinya mengikuti hukum
Mendel. Fenomena semacam ini dikenal dengan istilah
pengaruh maternal (maternal effect).
Pengaruh maternal terjadi karena zigot dan
embrio berkembang di lingkungan tetua betina. Begitu
juga embrio yang baru saja keluar dari tubuh tetua
betina akan memperoleh nutrisi dan sitoplasma dari sel
telur tetua betina. Oleh karena itu, penampilan fenotipe
individu yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh
kondisi tetua betina.
Persilangan antara tetua betina siput dekstral
dan jantan sinistral menghasilkan keturunan F1 yang
semuanya dekstral. Sementara itu, persilangan
resiproknya menghasilkan keturunan F1 yang semuanya
sinistral. Hasil ini merupakan ciri khas pewarisan
sitoplasmik. Namun, hasil perkawinan sendiri diantara
individu-individu F1, baik sesama dekstral maupun
sesama sinistral menghasilkan generasi F2 yang
semuanya dekstral, yang berarti tidak konsisten dengan
pola pewarisan sitoplasmik. Ketidakkonsistenan ini
baru dapat dijelaskan dengan hasil persilangan pada
generasi F3.

132
Pada generasi F3 diperoleh nisbah fenotipe 3
dekstral : 1 sinistral, yang menunjukkan adanya
segregasi Mendel. Dekstral (d) dominan terhadap
sinistral (s) sehingga genotipe dd dan ds akan
menghasilkan fenotipe dekstral sementara ss adalah
sinistral. Jadi, dalam hal arah kumparan cangkang pada
siput fenotipe individu jelas ditentukan oleh
genotipenya sendiri, tidak oleh fenotipe tetua betinanya
seperti pada pewarisan sitoplasmik. Inilah yang
membedakan pengaruh maternal dengan pewarisan
maternal.

Gambar 20. Diagram pewarisan arah kumparan cangkang


siput Limnaea peregra

133

Anda mungkin juga menyukai