Anda di halaman 1dari 53

Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum

Pemeriksaan jasmani umum bertujuan untuk mengidentifikasi kondisi umum pasien.


Pemeriksaan ini ditekankan pada pemeriksaan tanda-tanda kehidupan (vital sign),
keadaan sakit, dan kondisi gizi. Ekspresi wajah, postur tubuh pasien, aktivitas motorik
pada saat berjalan dan dalam posisi berbaring, termasuk cara berpakaian dan higiene
perorangan (personal),serta bau napas turut pula diamati (diobservasi) dan diperiksa.

KESADARAN

Tingkat kesadaran pasien biasanya dapat dibagi menjadi:

a. Kompos mentis

pasien sadar penuh dan dapat menjawab pertanyaan tentang dirinya dan
lingkungannya.

b. Apatis

Pasien bersikap tidak peduli, acuh tak acuh dan segan berhubungan dengan orang dan
lingkungannya.

c.Somnolen

Pasien mengantuk dan cenderung untuk tertidur, masih dapat dibangunkan dengan
rangsangan dan mampu memberikan jawaban secara verbal namun mudah tertidur
kembali.

d. Delirium

Pasien gelisah, kebingungan, dapat diikuti dengan disorientasi, gangguan memori dan
agitasi.

e. Sopor/stupor

Kesadaran pasien hilang, hanya berbaring dengan mata tertutup, tidak menunjukkan
reaksi bila dibangunkan kecuali dengan rangsang nyeri.

f. Koma

Kesadaran pasien hilang, tidak memberikan reaksi walaupun dengan semua rangsangan
dari luar termasuk rangsang nyeri. Pada koma yang dalam, semua refleks tidak
didapatkan.
Penilaian tingkat kesadaran juga dapat menggunakan skala koma Glasgow
(Glosgow Coma Scole/GCS) yaitu dengan memerhatikan respons pasien terhadap
rangsangan yang diberikan dan menilai respons tersebut dengan skor tertentu (Tabel
2.1).

Respons yang diperhatikan adalah respons membuka mata, respons motorik


(gerakan), dan respons verbal (bicara). Biasanya disingkat dengan menggunakan istilah
bahasa lnggris yaitu EMV (E=Eye, M=Motor responses, V=Verbol responses). (Tabel
2.1)

KEADAAN UMUM

Penilaian ini melihat seberapa berat kondisi sakit pasien, apakah pasien secara umum
terlihat baik, sakit ringan, sakit sedang atau sakit berat.

TAKSIRAN USIA

Taksiran usia kronologi pasien terkadang tidak sesuai dengan kenyataan.Sebagai


contoh adalah pasien dengan kelainan pada raut wajah dan warna rambut, atau pasien
dworfism.
BENTUK TUBUH

Pada pemeriksaan bentuk tubuh dapat ditemukan kelainan seperti perawakan tubuh
yang pendek atau tinggi. Perawakan tubuh agak sulit ditentukan pada saat pasien dalam
posisi berbaring. Perhatikan adanya deformitas atau amputasi pada ekstremitas.Bentuk
tubuh yang abnormal dapat dijumpai misalnya pada kondisl kelainan tulang belakang
seperti kifosis, lordosis dan skoliosis, kelainan akromegali, dan sindrom Marfan.

Kifosis merupakan kelainan tulang belakang di mana tulang belakang melengkung ke


arah belakang. Kelainan ini dapat ditemukan pada tuberkulosis tulang belakang,
osteoporosis.

Lordosis merupakan kelainan tulang belakang di mana tulang belakang melengkung


ke arah depan. Lordosis dapat ditemukan pada infeksi dan tumor tulang belakang,
tuberkulosis tulang panggul.

Skoliosis merupakan kelainan tulang belakang di mana tulang belakang melengkung


ke arah lateral. Kondisi ini dapat ditemukan pada poliomyelitis.

Akromegali merupakan kelainan akibat sekresi hormon pertumbuhan yang berlebihan


dikarenakan hiperfungsi kelenjar pituitari/hipofisis anterior setelah tertutupnya epifisis.
Pada akromegali, kepala tampak lebih besan rahang bawah serta hidung juga membesar
dan menonjol.Sekresi hormon pertumbuhan yang berlebihan akibat hiperfungsi
kelenjar pituitari anterior inijuga dapat mengakibatkan kondisi gigantisme. Namun
pada gigantisme, sekresi hormon pertumbuhan yang berlebihan tersebut terjadi
sebelum epifisis menutup sehingga mengakibatkan bentuk tubuh yang tinggi besar.

Pada sindrom Marfan dapat ditemukan perawakan yang tinggi, kifosis torakalis,
pektus excavatum, arachnodaktili, ekstremitas yang panjang, dan regurgitasi aorta.

HABITUS

a. Astenikus

Pasien memiliki bentuk tubuh yang tinggi, kurus, dada rata atau cekung.

b. Atletikus

Pasien memiliki bentuk tubuh seperti olahragawan, dada penuh, perut rata, lengkung
tulang belakang dalam batas normal.

c. Piknikus

Pasien memiliki bentuk tubuh yang cenderung bulat, tubuh penuh dengan penimbunan
jaringan lemak subkutan.

CARA BERJALAN, CARA BERBARING, DAN MOBILITAS

Penilaian cara berjalan dan mobilitas sudah dilakukan pada saat pasien masuk ke
dalam ruang pemeriksaan. Cara berjalan dapat memberikan petunjuk beberapa
penyakit tulang, sendi ataupun saraf. Pasien dengan hemiplegia akan berjalan dengan
cara antalgik di mana kaki yang lumpuh diangkat dalam gerakan setengah lingkaran
saat pasien ber.;alan, sedangkan lengan yang lurnpuh umumnya dalam keadaan sedikit
fleksi dan kaku dibandingkan dengan lengan yang sehat.

Pada pasien Parkinson didapatkan postur tubuh yang cenderung fleksi dengan
langkah berlalan yang kecil-kecil, pasien juga mengalami kesulitan dalam mengangkat
kaki dari lantai.

Pasien dengan sikap berbaring aktif masih dapat mengubah posisi tubuh saat
berbaring tanpa kesulitan, sedangkan pada pasien yang mengalami kesulitan atau
lemah saat mengubah posisi tubuh dikatakan memiliki sikap berbaring yang pasif.

Mobilitas pasien juga dilihat selain dari cara berjalan dan sikap berbaring, juga
bagaimana cara pasien mengubah posisinya baik dari tidur, duduk, berdiri dan berjalan
maupun sebaliknya. Pasien dengan nyeri lutut biasanya akan bertumpu pada sesuatu
saat berubah posisi ke berdiri atau saat berjalan. Pasien Parkinson umumnya akan
mengalami kesulitan saat akan memulai berjalan, namun saat sudah berjalan maka
pasien terlihat berjalan dengan cepat dan sulit berhenti.

KEADAAN GIZI

Keadaan gizi pasien seperti kurang gizi, normal dan obesitas dapat dinilai langsung
pada saat inspeksi umum.

Secara obyektif hal ini dinilai dengan mengukur indeks massa tubuh (lMT) berdasarkan
berat badan (BB) dan tinggi badan (TB), yaitu dengan rumus IMT = BB (kg)/B2 (m2) .

Terdapat perbedaan ras dalam klasifikasi IMT pasien terkait dengan risiko medis.

Berdasarkan lMT, menurut kriteria Asia Pasifik, pasien diklasifikasikan

menjadi:

BB kurang : < 18,5

BB normal : 18,5 - 22,9

BB lebih :> 23,0

dengan risiko : 23,0 - 24,9

obesitas I : 23,0 - 24,9

obesitas ll : >30

Kaheksia adalah kondisi pasien dengan berat badan yang sangat kurang. Pada
kondisi tersebut ditemukan adanya penurunan massa lemak (fat mass) dan massa bukan
lemak ffotfree mass). Pada kaheksia didapatkan kehilangan berat badan, atrofi otot, dan
kelemahan.Kondisi initerkait dengan keganasan, infeksi kronik, ataupun penyakit
kronik lain seperti AIDS danpenyakit paru obstruksi kronik.

ASPEK KEJ IWAAN/STATUS M ENTAL


Penilaian aspek kejiwaan/status mental pasien meliputi penilaian tingkat kesadarannya
seperti yang sudah dijelaskan di awal, penampilan pasien, tingkah laku, mood/afek,
orientasi, kemampuan pasien untuk memerhatikan, mengingat, mengerti dan berbicara
atau berbahasa.

Selain itu pedu dieksplorasi proses pikir (logika, koheren, relevansi pikiran pasien) dan
isi pikir (termasukinsight/kesadaran, adakah kelainan pada tingkah laku pasien
danjudgment) pasien. Apakah ada kemungkinan pemikiran pasien yang tidak biasa,
adanya preokupasi, kepercayaan atau persepsi pasien yang ditemukan saat
pembicaraan.

TANDA VITAL

Setelah anamnesis selesai dilakukan, pemeriksaan tanda vital segera dilakukan.

PEMERIKSAAN PERNAPASAN

Pemeriksaan napas meliputi frekuensi, sifat, dan irama pernapasan. Perhatikan pula
adakah bantuan otot-otot pernapasan

1. Frekuensi pernapasan

Frekuensi pernapasan dewasa normar adalah 14 sampai 20 kari per menit.

 Bradipnea adalah frekuensi pernapasan kurang dari 14 kali per menit.


 Takipnea adalah frekuensi pernapasan lebih dari 20 kali per menit. 2. Sifat
pernapasan

Sifat pernapasan dibagi menjadi:

- Torakal, misalnya pada pasien dengan tumor dalam perut

- Abdominal, misalnya pada pasien ppOK

- Kombinasi(terbanyak)

Bila sifat pernapasan yang lebih dominan adalah torakal, maka disebut
torako-abdominal. Sebaliknya, bila sifat pernapasan yang lebih dominan adalah
abdominal, maka disebut abdominotorakal. Pernapasan torako-abdominal umumnya
lebih dominan pada perempuan sehat, sedangkan pernapasan abdomino_torakal
umumnya lebih dominan pada laki-laki sehat.

3. lrama pernapasan

lrama pernapasan yang normar tampak regurar dengan fase inspirasi dan ekspirasi
yang bergantian teratur.

Beberapa irama pernapasan yang lain yaitu:

 Takipnea adalah irama pernapasan yang cepat dengan amplitudo rendah.


Takipnea dapat ditemukan pada penyakit paru restriktif nyeri dada preural dan
peningkatan diafragma.
 Hiperpnea (hiperventilasi) adalah irama pernapasan yang cepat dengan
amplitudo tinggi. Penyebab hiperpnea antara lain adalah cemas, latihan jasmani,
asidosis metabolik dan kerusakan batang otak.
 Pernapasan Kussmaul adalah pernapasan yang ditemukan pada kondisi
asidosis metabolik di mana iramanya bisa cepat, normal atau lambat.
 Pernapasan Cheyne Stokes adalah irama pernapasan di mana terdapat periode
apnea (gerakan pernapasan berhenti) kemudian disusul periode hiperpnea
(amplitudo pernapasan mura-mura kecil kemudian cepat membesar dan
kemudian mengecil kembali). periode ini timbul secara bergantian. lrama
pernapasan ini dapat ditemukan pada beberapa kondisi seperti kerusakan otak,
gagaljantung, dan uremia.
 Pernapasan Biot (pernapasan ataxic) adalah irama pernapasan yang tidak
teratur baik kecepatan dan amplitudonya. lrama pernapasan ini dapat ditemukan
pada kondisi kerusakan otak dan depresi pernapasan.

PEMERIKSAAN NADI

Pulsasi arteri radialis biasanya dapat dirasakan maksimal di medial radius di dekat
pergelangan tangan menggunakan 2 atau 3 jari tengah pemeriksa. Pemeriksaan nadi
arteri radialis dengan palpasi dilakukan pada arteri radialis kanan dan kiri.

Pemeriksaan arteri juga dilakukan pada arteri perifer lain, yaitu arteri femoralis di
fosa inguinalis, arteri poplitea di fosa poplitea, arteri tibialis posterior di posterior
maleolus medialis, dan arteri dorsalis pedis.

Yang harus diperhatikan pada saat pemeriksaan nadi adalah:

1. Frekuensi denyut nadi

Frekuensi denyut nadi diperiksa dalam satu menit. Pemeriksaan nadi sebaiknya
dilakukan setelah pasien istirahat 5 - 10 menit.

1. Takikardia (pulsus frequent) adalah frekuensi nadi lebih dari 100 kali per
menit. Frekuensi nadi yang cepat dapat ditemukan pada kondisi demam, saat
latihan jasmani, atau nyeri.
2. Bradikardia (pulsus rasus) adalah frekuensi nadi kurang dari 60 kali per menit.
Bradikardia dapat ditemukan pada kondisi kelainan pada hantaran rangsang
jantung atau hipertoni parasimpatis.
3. Bradikardia relatif adalah kondisi di mana kenaikan suhu tidak sesuai dengan
kenaikan denyut nadi Hal ini dapat ditemukan pada demam tifoid.

2. lrama denyut nadi

lrama denyut nadi dapat ditemukan teratur (regular) atau tidak teratur (iregular).
Bila ditemukan irama yang tidak teratuI periksa denyut jantung dengan stetoskop
secara bersamaan. Selain itu perlu diperhatikan lebih lanjut apakah irama yang iregular
ini konsisten dengan irama respirasi.Irama nadi yang iregular ini menunjukkan
beberapa kemungkinan, antara lain:

Sinus aritmia

Adalah keadaan normal di mana denyut nadi meningkat pada saat inspirasi dan
menurun pada saat ekspirasl.

Ekstrasistolik

Adalah keadaan di mana terdapat denyut nadi yang datang lebih cepat (prematur)
kemudian disusul dengan istirahat yang lebih panjang. Denyut prematur terkadang
tidak teraba pada arteri radialis, sehingga denyut nadi seolah-olah terhenti sesaat.

Fibrilasi atrial

Adalah keadaan di mana denyut nadi sama sekali tidak teratur (tidak ada irama
dasar). Pada keadaan ini, denyut jantung harus diperiksa dengan stetoskop
bersamaan dengan denyut nadi, untuk memeriksa adanya pulsus defisit, di mana
frekuensi denyutjantung akan lebih tinggi dibandingkan denyut nadi.

Blokatrioventrikular

Adalah keadaan di mana tidak semua rangsang dari nodus SA (sino- aurikular)
diteruskan ke ventrikel sehingga pada saat itu ventrikel tidak berkontraksi.
Biasanya terdapat bradikardia pada keadaan ini.

3. Besarnya pengisian nadi

Pulsus parvus adalah nadi dengan isi kecil. Pulvus parvus dapat ditemukan pada
kondisi penurunan isi sekuncup ventrikel kiri dan peningkatan resistensi vaskular
perifer. Pulsus magnus (altus) adalah nadi dengan isi besar.
Pemeriksaan besar pengisian nadi harus memerhatikan juga apakah sama dengan
denyut nadi yang berikutnya. Pengisian nadi yang tetap sama dengan denyut nadi yang
berikutnya disebut ekual, sedangkan pengisian nadi yang tidak sama dengan denyut
nadi berikutnya disebut tidak ekual. Adanya perbedaan isi antara denyut nadi kanan dan
kiri ditemukan pada aneurisma arkus aorta atau pada koarktasio aorta.

4. Kualitas nadi

Kualitas nadi tergantung pada tekanan nadi. Tekanan nadi adalah selisih antara
tekanan sistolik dan tekanan diastolik. Pulsus celer (abrupt puLse) timbul bila tekanan
nadi cukup besar di mana pengisiandan pengosongan denyut nadi teraba mendadak.
Kondisi sebaliknya adalah pulsus tardus lploteou pulse) yang timbul bila tekanan nadi
itu kecil. Pada pulsus tardus, puncak sistolik tertinggal. Kondisi ini dapat ditemukan
pada stenosis katup aorta.

5. Tegangan nadi

Tegangan nadi tergantung pada kondisi arteri radialis dan tekanan darah arteri
radialis. Penebalan dan sklerosis arteri radialis membuat arteri teraba lebih keras dan
kaku. Tekanan darah yang tinggi terkadang membuat arteri radialis teraba lebih
tegang.Pada pemeriksaan nadi, beberapa keadaan lain yang dapat ditemukan:

 Pulsus paradoksus adalah keadaan denyut nadi yang melemah atau hilang
pada saat inspirasi dan mengeras kembali pada saat ekspirasi atau penurunan
tekanan darah sistolik lebih dari 10 mmHg pada saat inspirasi.
 Pulsus porodoksus mechonicus adalah kondisi yang ditemukan bila denyut
naditetap lemah dari awal sampai akhir inspirasi dan baru normal kembali pada
awal ekspirasi. Dalam keadaan normal, terkadang pada saat inspirasi denyut
nadi menjadi sedikit lemah (disebabkan darah sebagian terisap ke dalam rongga
dada) dan kembali keras pada akhir inspirasi Qtulsus paradoksus dynomicus).
Pulsus paradoksus dapat ditemukan pada kondisi tamponade jantung dan
obstruksi vena cava superior.
 Pulsus alternans adalah keadaan di mana terdapat perubahan denyut nadi
regular silih berganti antara denyut nadi kuat dan denyut nadi yang lemah.
Denyut nadi yang lemah disebabkan kontraksi miokard yang memburuk dan
sampai pada arteri radialis lebih kecil dibandingkan dengan denyut nadi yang
kuat. Pulsus alternans antara lain ditemukan pada gagal jantung dan takikardia
paroksismal.
 Pulsus bigeminus adalah keadaan di mana terjadi dua denyut nadi
berturut-turut, kemudian disusul oleh pouseyang lebih lama (nadi yang
mendua). Keadaan ini terjadi pada intoksikasi digitalis.
 Dicrotic pulse adalah keadaan di mana segera setelah teraba puncak pulsasi
arteri radialis, teraba lagi puncak pulsasi berikutnya. Kondisi ini dapat
ditemukan pada penyakit-penyakit yang disertai demam, terutama pada demam
tifoid.

Tekanan Darah

Pengukuran tekanan darah dilakukan saat pasien berbaring atau duduk.


Pengukuran tekanan darah sebaiknya dilakukan pada posisi yang berbeda untuk
mendeteksi adanya hipotensi ortostatik. Hipotensi ortostatik (hipotensi postural) adalah
penurunan tekanan darah sistolik 20 mmHg atau lebih atau penurunan tekanan darah
diastolik 10 mmHg atau lebih pada perubahan posisi dari berbaring ke duduk atau dari
duduk ke posisi berdiri.

Pada pemeriksaan tekanan darah, selain teknik pengukuran yang benari hal penting lain
yang harus diketahui adalah lebar manset yang tepat.

Pemilihan lebar manset dapat memengaruhi tekanan darah. Lebar manset saat
mengembang selebar 40%lingkar lengan atas (sekitar 12-14 cm pada orang dewasa).
Panjang manset saat mengembang sepanjang g0% lingkar lengan atas (harus cukup
panjang untuk dapat melingkari lengan).

Pemakaian cuff yang terlalu kecil akan mendapatkan tekanan darah yang lebih
besar dari seharusnya, sebaliknya pemakaian cuff yang terlalu lebar akan mendapatkan
tekanan darah lebih rendah dari seharusnya. Bila lengan terlalu tinggi maka nilai TD
akan lebih rendah 5 mmHg dari seharusnya, sedangkan bila posisi lengan terlalu rendah
maka pembacaan TD akan lebih tinggi 5 mmHg dari seharusnya. Tekanan darah pada
tungkai biasanya bisa mencapai > 20 mmHg lebih tinggi dari pada lengan. pencatatan
tekanan darah tidak menggunakan koma (,), namun nilaiyang didapatkan dibulatkan ke
atas mendekati kelipatan 2 mmHg terdekat.

Pasien sebaiknya menghindari merokok atau minum minuman yang mengandung


kafein sekitar 30 menit sebelum pengukuran. pasien juga diminta untuk istirahat
minimal 5 menit sebelum pemeriksaan. pasien dapat berbaring atau duduk dengan
santai.

Pengukuran tekanan darah dilakukan pada kedua lengan, setidaknya sekali. Perbedaan
yang masih dianggap normal adalah tidak lebih dari 10 mmHg. Perbedaan yang masih
dianggap normal adalah tidak lebih dari 10 mmHg. Jika ditemukan hipertensi, harus
diukur juga tekanan darah pada semua ekstremitas.
Tekanan darah pada tungkai bawah diukur dengan manset di bagian distal tungkai
atas dengan stetoskop di arteri poplitea. perabaan arteri femoralis atau arteri dorsalis
pedis biasanya dilakukan terlebih dahulu untukkemungkinan adanya koarktasio aorta
atau tekanan/obstruksi aorta (juga arteri iliaka, arteri femoralis) oleh aneurisma, tumor;
dan trombus. Perhatikan besar pulsasi dan bandingkan pulsasi kiri dan kanan.

Suhu

Suhu tubuh normal yang diukur melalui mulut/oral berkisar antara 36,6 - 37,2°C.
Suhu rektal lebih tinggi dibandingkan suhu oral, sedangkan suhu aksila dan suhu
membran timpani lebih rendah dibandingkan dengan suhu oral.

Hiperpireksia adalah suhu tubuh yang tinggi di atas 41,1°C. Hiperpireksia dapat
disebabkan oleh beberapa hal, antara lain heot sfroke, hipertermia maligna (kelainan
genetik di mana hiperpireksia timbul sebagai respons terhadap obat anestesi [seperti
halotan] atau relaksan otot Imisalnya suksametoniuml) dan kelainan pada hipotalamus.

Hipotermia adalah suhu tubuh yang rendah di bawah 35°C. Penyebab hipotermia
antara lain hipotiroidisme dan pajanan yang lama terhadap suhu dingin.

Perlu dieksplorasi pula tanda vital kelima yaitu:

Nyeri

Nyeri ditanyakan kepada pasien dengan kesadaran kompos mentis. Pemeriksaan


ini bersifat subyektif karena melibatkan persepsi pasien mengenai sensasi tak nyaman.
Rasa nyeri yang diderita pasien harus ditanyakan intensitasnya, lokasi, penjalaran,
spontan atau dibangkitkan oleh tekanan (nyeri tekan), berhubungan dengan posisi
tubuh tertentu, saat terjadinya nyeri (pada saat/waktu tertentu ataukah sepanjang hari),
lamanya nyeri berlangsung, dan apakah hilang dengan tindakan tertentu.

lntensitas nyeri dapat dikuantifikasi dengan visual onolog scole (VAS) berskala
dari satu sampai dengan sepuluh. Skala nol berarti tidak ada nyeri, skala satu berarti
nyeri ringan sekali sampai dengan skala sepuluh yang berarti nyeri dengan intensitas
tertinggi (Gambar 2.1)
PEMERIKSAAN SPESIFIK (Kepala & Abdomen)

KEPALA

Pemeriksaan kepala dimulai dengan melakukan inspeksi dan palpasi pada seluruh
area kepala (Tabel 3.1). Saat inspeksi dilakukan penilaian terhadap bentuk wajah,
kesimetrisannya, dan warna. Pada pasien miksedema, wajah biasanya membengkak
(tidak melekuk ke dalam pada tekanan jari pemeriksa), bibir dan lidah tampak menebal
dengan kesadaran yang somnolen (Gambar 3.1).

Pada pasien lepra, terdapat infiltrasi jaringan subkutan pada dahi, dagu, dan pipi
dengan hidung yang melebar tapi pesek. Keadaaan ini mirip muka seekor singa, karena
itu disebut pula sebagai facies leonine (Gambar 3.2). Selain itu pada pasien dengan
paresis N.VII biasa ditemukan asimetri bentuk wajah.
Ekspresi wajah juga penting untuk dinilai karena dapat menunjukkan watak dan
emosi, serta rasa nyeri pasien pasien. Pasien tirotoksikosis sering tampak seperti orang
ketakutan akibat eksoftalmus dan gerakan bola mata yang cepat.

Setelah melakukan inspeksi, dilanjutkan dengan palpasi pada wajah. Hal ini
dilakukan terutama untuk menilai apakah terdapat nyeri tekan sinus frontalis dan sinus
maksilaris (Gambar 3.6). Gejala ini salah satunya dapat ditemukan pada pasien sinusitis.
Pemeriksaan sinus frontalis dilakukan dengan cara menekan sinus frontalis ke arah
mediosuperior dengan tenaga optimal dan simetris (besar tekanan sama antara sinus
frontalis kiri dankanan). Palpasi dinilai bermakna apabila kedua sinus frontalis tersebut
memiliki reaksi yang berbeda. Sinus frontalis yang lebih sakit menandakan adanya
gangguan. Hindari menekan foramen supraorbitalis karena terdapat nervus
supraorbitalis yang juga menimbulkan rasa sakit pada penekanan. Pemeriksaan sinus
maksilaris dilakukan dengan prosedur dan penilaian yang sama seperti palpasi region
sinus frontalis. Hindari menekan foramen infraorbitalis karena terdapat nervus
infraorbitalis.
RAMBUT

Pada pemeriksaan rambut, dirakukan peniraian berupa inspeksi terhadap warna


rambut, kelebatan, dan distribusinya. Setelah itu dinilai apakah rambut mudah dicabut
atau tidak. Adanya rambut rontok di seruruh kurit kepara ataupun setempat (alopesia
areata ) dapat dijumpai pada pasien dengan infeksi berat (demam tifoid) atau penyakit
endokrin (diabetes meritus, miksedema), seperti diperlihatkan pada gambar 3.7.

MATA

Pemeriksaan mata biasanya dengan inspeksi, palpasi, dan juga dengan bantuan
alat-alat seperti pen-right, funduskopi dan peta sneilius chart (Gambar 3.8).1
Pertama-tama dilakukan inspeksi pada aris mata dan dinirai kelebatannya. Hilangnya
sepertiga raterar aris mata kadang-kadang dliumpai pada miksedema. setelah itu
lakukan penilaian apakah terdapat eksoftalmus atau enoftalmus. Eksoftalmus adalah
keadaan di mana bola mata menonjol keluar akibat fisura palpebra yang merebar
ditandai dengan terrihatnya kornea yang tampak seluruh-nya dan dikeriringi skrera.
Har ini dapat dyumpai pada pasien tirotoksikosis, thrombosis sinus kavernosus
(Gambar 3.9 tal).Sebaliknya enoftalmus adalah keadaan di mana bola mata tertarik ke
dalam, misalnya pada keadaan dehidrasi, sindrom Horner.

Keadaan lain yang juga dapat dinilai seperti adanya strabismus (juling) di mana
kedudukan bola mata abnormal cenderung ke medial atau ke lateral, dan deviasi
conjugee. Deviasi conjugee adalah keadaan bola mata yang keduanya selalu melihat ke
satu jurusan dan tidak dapat dilirikkan ke arah yang lain, secara pasif ataupun dengan
kemauan sendiri. Nistagmus adalah gerakan bola mata yang berjalan secara ritmis,
mula-mula dengan lambat bergerak ke satu arah, kemudian dengan cepat kembali ke
arah posisi semula, dihubungkan dengan gangguan vestibular.
Penampang bola mata dan arah pemeriksaan otot penggerak bola mata dapat diliat pada
gambar 3.1 1.

Pemeriksaan tekanan bola mata juga dapat membantu penilaian terhadap penyakit
pasien. Tekanan bola mata yang meningkat dapat ditemukan pada pasien glaukoma
sedangkan tekanan yang menurun dapat ditemukan pada keadaan dehidrasi .
Pemeriksaan tekanan bola mata menggunakan alattonometer Schiotz (Gambar 3.10).
Pemeriksaan gerakan bola mata perlu dilakukan untuk menilai apakah terdapat
gangguan pada otot-otot penggerak bola mata. Pemeriksaan dilakukan dengan cara
pasien duduk tegap, pemeriksa memegang pulpen sebagai objek fiksasi sejajar mata
dengan jarak 25 cm, kemudian menggerakkan pulpen ke beberapa arah. Mata pasien
mengikuti gerakan objek tanpa menggerakkan kepala.2 Pemeriksaan terhadap
bagian-bagian mata seperti:

a. Palpebra

Pada pemeriksaan terhadap palpebra, dinilai apakah terdapat ptosis atau


lagoftalmus (Gambar 3.12 (a) dan (u)). Ptosis merupakan keadaan di mana kelopak
mata tampakjatuh dan fissure polpebroe menyempit. Halini terjadi karena kelumpuhan
m.revator parpebrae yang dipersarafi oreh N.lll. sedangkan lagoftarmus adarah keadaan
di mana keropak mata sulit menutup akibat adanya kelumpuhan N.Vil. Hal lain yang
dapat dinirai adalah ditemukannya edema palpebra, yaitu keadaan di mana kelopak
mata membengkak, kadang mata hampir menutup.1,3 Edema palpebra didapatkan pada
penyakit ginjar, perdarahan akibat trauma, atau tanda- tanda radang yang menunjukkan
adanya brefaritis. Ditemukannya bercak kekuningan pada kulit kelopak mata
(xanterasma) dihubungkan dengan peninggian kadar lemak dalam darah (Gambar 3.12
1cy dan 1a1).
B. Konjungtiva

Untuk pemeriksaan konjungtiva terutama perlu dinilai apakah tampak pucat. Hal
ini dapat ditemukan pada pasien yang mengalami anemia. Adanya peradangan ditandai
dengan konjungtiva hiperemis produksi air mata yang meningkat, atau adanya sekret
mukopurulen. Pemeriksaan dilakukan dengan cara meletakkan ibu jari di palpebra
inferior kemudian melakukan gerakan menarik ke arah inferior. Temuan lain yang
dapat dinilai seperti adanya pterigium pinguekula, flikten , dan bercak Bitot.
Pinguekula dalah bercak putih kekuningan, terdiri atas jaringan ikat, berjalan pada
kedua sisi kornea, akibat hiperlipidemia. Bercak bitot adalah bercak segitiga pada
kedua sisi kornea warna pucat keabu-abuan, berisi epitel yang kasar dan kering.
Didapatkan pada avitaminosis A. Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular
di konjungtiva, flikten adalah tonjolan kecil yang diakibatkan oleh reaksi alergi
(Gambar 3.13)
c. Sklera

Pada pemeriksaan sklera, dilakukan dengan membuka mata pasien dengan tangan
lalu dinilai apakah terdapat tanda-tanda ikterik atau tidak. Tanda-tanda ikterik bila
sklera pasien terlihat kekuningan, tampak pada penyakit hati seperti hepatitis. Hal ini
dapat ditemukan terutama pada pasien yang mengalami gangguan metabolisme
bilirubin (Gambar 3.14).

d. Kornea

Untuk pemeriksaan kornea dinilai apakah terdapat abnormalitas seperti


tanda-tanda peradangan, ulkus, atau kekeruhan. Pada ulkus kornea, terdapat
perselubungan seperti awan disertai tanda-tanda radang. Pasien biasanya mengeluh
silau (fotofobia) bila melihat cahaya terang. Pada pasien dengan avitaminosis A dapat
ditemukan xeroftalmia di mana kornea menjadi kering sehingga terkesan lunak.
Sedangkan pada pasien berusia tua dapat ditemukan arkus senilis yaitu garis lengkung
putih keabu-abuan yang melingkari kornea.

e. Pupil

Pemeriksaan pupil dilakukan untuk menilai bentuk dan ukurannya. Apabila kedua
pupil memiliki bentuk dan ukuran sama besar, maka disebut isokor. Pupil yang
mengecil (miosis) atau terkadang amat kecil (pinpoint) dapat dijumpai misalnya pada
keadaan intoksikasi morfin. Sebaliknya pupil yang mengalami dilatasi (midriasis)
misalnya ditemukan pada kerusakan N.lll. Pupil anisokor ditemukan pada Horner's
syndrome

Refleks pupil terhadap cahaya diperiksa dengan meminta pasien melihat obyek
yang jauh, kemudian diberi rangsangan cahaya' Pemeriksaan refleks cahaya langsung
dengan cara memberi rangsangan cahaya pada mata dan menilai refleks pupil pada
mata yang diperiksa. Pemeriksaan cahaya tidak langsung dengan cara memberi
rangsangan cahaya pada mata dan menilai refleks pupil pada mata yang tidak diperiksa
(mata sebelahnya). Pada pemeriksaan ini perlu dinilai refleks cahaya langsung pada
mata yang diperiksa dan refleks cahaya tidak langsung pada mata sebelahnya. Hal ini
dapat membantu untuk menentukan apakah terdapat paresis pada N.ll dan N.lll. 1

f. Lensa

Pada pemeriksaan lensa dilihat bagian tengah lensa dan dinilai apakah terdapat
tanda-tanda kekeruhan atau tidak. Hal ini dapat dr.,lumpai pada pasien usia lanjut
akibat katarak, diabetes melitus.
Pemeriksaan mata lainnya yang memerlukan alat bantu seperti:

a. Funduskopi

b. Pemeriksaan visus

c. Tes lshihara

Pemeriksaan Lapang Pandang

Pada pemeriksaan ini dinilai apakah pasien mengalami penyempitan lapang


pandang (hemianopsia) atau tidak. pemeriksaan lapang pandang dilakukan dengan
menutup salah satu mata dengan tangan, dan mata yang terbuka memperhatikan tangan
pemeriksa. pasien kemudian menebak jari yang ditunjukkan pemeriksa di keempat
kuadran. Keadaan yang mengganggu lapang pandang adalah hemianopia (setengah
lapang pandang menyempit), bitemporal hemianopia (setengah lapang pandang
menyempit pada kedua mata).
TELINGA

Pemeriksaan telinga dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi dan menggunakan


bantuan alat (Tabel 3.3). Pada inspeksi, pertama-tama dinilai bentuk dan ukuran daun
telinga. Setelah itu ditentukan apakah terdapat tanda-tanda radang, atau tofi. Tofi
merupakan benjolan keras, soliter ataupun multipel yang berasal dari timbunan
Na-biurat pada rawan telinga. Hal ini dapat dijumpai pada pasien Gout. pada palpasi,
dinilai apakah terdapat nyeri tekan pada prosesus mastoideus yang merupakan tanda
terjadinya mastoiditis.l,2Anatomi telinga luar dapat dilihat pada gambar 3.19.

pemeriksaan dilanjutkan dengan menilai liang telinga apakah terdapat sekret, serumen,
atau deskuamasi. Selain itu juga dinilai keutuhan selaput/ gendang telinga.
Pemeriksaan ini memerlukan alat yang dinamakan otoskop untuk membantu pemeriksa
agar dapat melihat bagian lebih dalam darl liang telinga. Jika tidak ada otoskop, dapat
digunakan penlight, namun hanya sampai melihat liang telinga, tidak dapat menilai
gendang telinga (Gambar 3.20)'?

Untuk uji pendengaran dilakukan dengan berbicara keras dan berbisik, dengan
garpu penala, detak arloji, atau audiometer'Normalnya detak jam masih terdengar baik
pada jarak kira-kira L2,5-37,5 cm. Apabila terdapat keluhan gangguan pendengaran
(tuli) pada pasien, perlu dibedakan apakah hal tersebut akibat adanya gangguan
hantaran atau akibat gangguan saraf. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan
garpu tala (uji penala) dengan frekuensi 512 Hz atau 1024 Hz.1

1. Tes Rinne

Tes ini bertujuan untuk mengetahui adanya ketulian akibat gangguan saraf atau
gangguan hantaran suara tulang dengan membandingkan hantaran suara melalui tulang
(Gambar 3.21).

Prosedur: Setelah garpu penala dibunyikan secara ringan, tempatkan alat tersebut
di prosesus mastoideus sampai pasien tidak dapat lagi mendengar suaranya. Kemudian
dengan cepat pindahkan garpu penala tersebut dekat dengan liang telinga pasien.
Pastikan apakah pasien masih dapat mendengarnya atau tidak.2

Dalam keadaan normal dan ketulian akibat gangguan saraf, bunyi melalui udara
terdengar lebih lama dibandingkan melalui tulang (Gambar 3.22).

2. Tes Weber

Tes ini bertujuan untuk mengetahui adanya ketulian akibat gangguan saraf atau
gangguan hantaran tulang dengan prinsip hantaran suara yang ditimbulkan tepat di
tengah-tengah dahi atau ubun kepala akan disalurkan sama kuatnya ke kedua telinga
(lateralisasi) (Gambar 3.23).

Prosedur: Setelah garpu penala dibunyikan secara ringan, tempatkan alat tersebut
pada puncak kepala atau tengah-tengah dahi pasien. Tanyakan apakah pasien dapat
mendengar pada kedua sisi telinganya.
Dalam keadaan normal, suara akan terdengar sama kuat di kedua telinga. Pada ketulian
karena gangguan konduksi, suara akan di-'lateralisasi'-kan (terdengar) di telinga yang
tuli saja. Pada ketulian karena gangguan saraf, suara akan terdengar di telinga yang
sehat.2 Secara garis besar pemeriksaan telinga dapat dilihat pada tabel 3.3

HIDUNG
Pemeriksaan hidung dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi dan menggunakan
bantuan alat. Pertama-tama perlu dinilai bentuk hidung apakah normal atau tidak. Pada
pasien kusta dapat terjadisaddle nose akibat kerusakan tulang hidung. Setelah itu
dilakukan palpasi untuk menilai adanya nyeri tekan atau krepitasi pada tulang
hidung.Untuk pemeriksaan rongga hidung dilakukan dengan menggunakan bantuan
alat (Tabel 3.4.) berupa spekulum hidung untuk menilai pakah terdapat sekret,
perdarahan, penyumbatan, ataupun deviasi septum (Gambar 3.24'1.r,2

MULUT

Pemeriksaan rongga mulut dimulai dengan menilai higienitas oral serta bau napas
pasien. Gambar 3.26 menjelaskan anatomi rongga mulut.Terdapat beberapa macam bau
pernapasan yang mengindikasikan adanya penyakit tertentu seperti bau napas aseton
pada pasien diabetes melitus ketoasidosis atau kelaparan, bau napas amoniak pada
pasien koma uremikum, bau napas gangren pada pasien abses paru, serta foetor hepatik
pada pasien koma hepatik.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara inspeksi dan menggunakan bantuan alat
(spatula lidah), minta pasien untuk mengucapkan "ah" sehingga dapat melihat
orofaring. Lakukan pemeriksaan secara sistematis (Tabel 3.5).1

TENGGOROKAN

Pada pemeriksaan tenggorokan dilakukan inspeksi dengan menggunakan bantuan


alat spatula lidah untuk menilai keadaan faring apakah hiperemis atau tidak, posisi
uvula ditengah atau tidak, letak tonsil, serta apakah terdapat detritus atau tidak (Gambar
3.28).1'3

ABDOMEN

Pemeriksaan fisis abdomen merupakan bagian pemeriksaan fisis keseluruhan,


yang dalam prakteknya merupakan lanjutan pemeriksaan fisis umum, yang meliputi
pemeriksaan fisis kepala, leher, toraks (dada), abdomen, dilanjutkan dengan
pemeriksaan fisis genitalia dan perineum (bila ada indikasi), dan terakhir pemeriksaan
ekstremitas.
TEKNIK PEM ERIKSAAN ABDOMEN

Pemeriksaan ini dikerjakan dalam 4 tahap, yaitu inspeksi, palpasi, perkusi, dan
auskultasi. Keempat tahap tersebut sama pentingnya untuk dilakukan dengan sekama,
meskipun informasi paling banyakdidapatdengan palpasi dan perkusi.

INSPEKSI

Inspeksi abdomen adalah mengamati abdomen, baik itu abdomen bagian depan
maupun bagian belakang (pinggang). Inspeksi dilakukan dengan penerangan yang
cukup. Informasi yang perlu didapatkan adalah:

Apakah simetris abdomen terlihat ? Bagaimana bentuk atau kontur abdomen?


Bagaimana ukuran abdomen?

Apakah terdapat kondisi khusus dinding abdomen, antara lain:

- Kelainan kulit

- Kelainan vena

- Kelainan umbilikus

- Striae alba

- Bekas operasi: apendiktomi, kolesistektomi, laparatomi, sectio

sesarea, nefrektomi. Pergerakan dinding abdomen


Simetris

Dalam situasi normal dinding perut terlihat simetris dalam posisi terlentang.
Adanya tumol abses, atau pelebaran setempat lumen usus membuat bentuk perut tidak
simetris. Pergerakan dinding perut akibat peristaltik dalam keadaan normal atau
fisiologis tidak terlihat. Bila terlihat adanya gerakan peristaltik usus dapat dipastikan
adanya hiperperistaltik dan dilatasi sebagai akibat obstruksi lumen usus baik oleh tumor,
perlengketan, strangulasi maupun hiperperistaltik sementara akibat skibala.

Bentuk dan Ukuran

Bentuk dan ukuran abdomen dalam keadaan normal pun bervariasi tergantung atas
habitus, jaringan lemak subkutan atau intraabdomen dan akibat kondisi otot dinding
abdomen. Abdomen seorang atlet dengan berat badan ideal akan terlihat rata atau flat,
kencang, simetris, terlihat kontur otot rektus abdominalis dengan sangat jelas.Pada
keadaan starvasi bentuk dinding abdomen cekung dan tipis, disebut bentuk skopoid.
Dalam situasi ini bisa terlihat gerakan peristaltik usus. Abdomen yang membuncit
dalam keadaan normal dapat terjadi pada pasien yang gemuk, sedangkan situasi
patologis yang menyebabkan abdomen membuncit adalah ileus paralitik, obstruksi
usus, meteorismus, asites, kistoma ovarii, dan atau karena prosesgraviditas.
Tonjolan yang bersifat setempat dapat diartikan sebagai kelainan organ yang di
bawahnya, misalnya tonjolan yang simetris pada regio suprapubis dapat terjadi karena
retensi urin pada hipertrofi prostat pada laki-laki tua atau kehamilan muda pada wanita.
Sedangkan pembesaran uterus juga mengakibatkan penonjolan pada daerah tersebut.

Kelainan Kulit

Perlu diperhatikan sikatriks akibat ulserasi pada kulit, atau akibat operasi atau luka
tusuk. Bekas operasi: apendiktomi, kolesistektomi,laparatomi, sectio sesoreo,
nefrektomi atau herniotomi. Pada tempat insisi operasi sering terdapat hernia insisialis.
Kadang-kadang hernia insisialis begitu besar dan menonjol sampai terlihat peristaltik
usus.

Adanya garis-garis putih sering disebut strioe olbo yang dapat terjadi setelah
kehamilan atau pada pasien yang mulanya gemuk atau bekas asites, dan terdapat juga
pada sindrom Cushing. Pulsasi arteri pada dinding perut terlihat pada pasien aneurisma
aorta atau kadang-kadang pada pasien yang kurus, dan dapat terlihat pulsasi pada
epigastrium pada pasien insufisiensi katup trikuspidalis.

Pelebaran Vena
Pelebaran vena terjadi pada hipertensi portal. Pelebaran di sekitar umbilikus
disebut kaput medusae yang terdapat pada sindrom Banfi.

Pelebaran vena akibat obstruksi vena kava inferior terlihat sebagai pelebaran vena
dari daerah inguinal ke umbilikus, pada obstruksi vena kava superior terjadi pelebaran
di leher dan lengan kanan. Pada keadaan normal, aliran vena dinding perut di atas
umbilikus ke kranial sedang di bawah umbilikus alirannya ke distal. Pada umumnya
mudah sekali menentukan arah aliran vena dinding perut di atas umbilikus ke kranial,
seperti diperlihatkan pada gambar 6.7.

PALPASI

Palpasi dinding perut sangat penting untuk menentukan ada tidaknya kelainan
dalam rongga abdomen. Perlu ditekankan di sini bahwa palpasi merupakan lanjutan
dari anamnesis dan inspeksi. Perlu sekali diperhatikan apakah pasien ada keluhan nyeri
atau rasa tidak enak pada daerah abdomen.

Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebelum melaksanakan palpasi:

1. Beritahu pasien bahwa dokter akan meraba dan menekan dinding perut.

2. Minta pasien memberitahukan apabila terdapat rasa nyeri akibat penekanan tersebut.
Bila mungkin tanyakan seperti apa nyerinya apakah ringan, sedang, atau berat/nyeri
sekali. Deskripsikan juga seperti apa nyerinya, apakah nyeri seperti dicubit,
ditusukjarum, atau nyeri seperti kena pukul,

3. Perhatikan mimik pasien selama palpasi dilakukan serta perhatikan reaksi dinding
abdomen. Pada pasien yang sensitif (geli) akan timbul ketegangan pada dinding
abdomen dengan mimik pasien menahan tawa,

4. Bila hal ini terjadi palpasi dilakukan dengan halus dan pelan, serta pasien
memperhatikan/memandang ke langit-langit, hindarkan pasien melihat perutnya
sendiri pada waktu dilakukan palpasi, Bila perlu kaki ditekuk sedikit sejak awal
PalPasi,

5. Palpasi dilakukan secara sistematis dan sedapat mungkin seluruh dinding perut
terpalpasi. Sering terjadi daerah tengah dilupakan pada palpasi sehingga aneurisma
atau tumor di daerah tersebut tidak terdeteksi,

6. lngatlah akan lokasi nyeri yang dikeluhkan oleh pasien, sehingga kita akan lebih
hati-hati dalam melakukan palpasi,

7. Palpasi dilakukan dalam 2 tahap yaitu palpasi permukaan (superfisial) dan palpasi
dalam (deep polpotion),

8. Palpasi dapat dilakukan dengan satu tangan, dapat pula dua tangan (bimanuol)
terutama pada pasien gemuk,

9. Biasakanlah palpasi yang seksama meskipun tidak ada keluhan yang bersangkutan
dengan penyakit traktus gastrointestinal,

10 Pasien dala m posisi s up ine fielenta n g denga n ba nta I secu ku pnya, kecua I i bila
pasien sesak napas. Pemeriksa berdiri pada sebelah kanan pasien, kecuali pada dokter
yang kidal (left hondefi.

Palpasi Superfisial

Posisi tangan menempel pada dinding perut. Umumnya penekanan dilakukan oleh
ruas terakhir dan ruas tengah jari-jari, bukan dengan ujung jari. Sistematika palpasi
dilakukan seperti terlihat pada gambar dengan catatan hati-hati pada daerah nyeri yang
dikeluhkan oleh pasien.

Palpasi superfisial tersebut bisa juga disebut palpasi awal untuk orientasi sekaligus
memperkenalkan prosedur palpasi pada pasien. Perhatikan data yang didapat dengan
palpasi superfisial tersebut.
Palpasi Dalam

Palpasi dalam (deep polpotion) dipakai untuk identifikasi kelainan/rasa nyeri yang
tidak didapatkan pada palpasi superfisial dan untuk lebih menegaskan kelainan yang
didapat pada palpasi superfisial dan yang terpenting adalah untuk palpasi organ secara
spesifik misalnya palpasi hati, limpa, ginjal. Palpasi dalam juga penting pada pasien
yang gemuk atau pasien dengan otot dinding yang tebal.

PERKUSI

Perkusi abdomen dilakukan dengan cara tak langsung, sama seperti pada perkusi di
rongga toraks tetapi dengan penekanan yang lebih ringan dan ketokan yang lebih
perlahan.

Perkusi abdomen mempunyai beberapa tujuan:

1. Untuk konfirmasi pembesaran hati dan limpa,

2. Untuk menentukan ada tidaknya nyeri ketok,

3. Untuk diagnosis adanya cairan atau massa padat.

Perkusi abdomen sangat membantu dalam menentukan apakah rongga abdomen


berisi lebih banyak cairan atau udara. Dalam keadaan normal suara perkusi abdomen
adalah timpani, kecuali di daerah hati suara perkusinya adalah pekak. Daerah pekak
hati yang hilang sama sekali dan bunyi timpani yang bertambah di seluruh abdomen
harus dipikirkan kemungkinan adanya udara bebas di dalam rongga perut, misalnya
pada perforasi usus.
Dalam keadaan adanya cairan bebas di dalam rongga abdomen, perkusi di atas
dinding perut mungkin timpani dan di sampingnya pekak. Dengan memiringkan pasien
ke satu sisi, suara pekak ini akan berpindah-pindah (shiffting duLLnes). Pemeriksaan
shiffting dullnes sangat patognonomis dan lebih dapat dipercaya dari pada memeriksa
adanya gelombang cairan. Suatu keadaan yang disebut fenomena papan catur
(chessboord phenomen) di mana pada perkusi dinding perut ditemukan bunyi timpani
dan redup yang berpindah-pindah, sering ditemukan pada pasien peritonitis
tuberkulosa.

AUSKULTASI

Urutan pemeriksaan fisis yang lazim adalah inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi, namun pada pemeriksaan fisis abdomen auskultasi sebaiknya dilakukan
lebih dahulu setelah atau bersamaan dengan inspeksi. Hal ini untuk mencegah palpasi
yang berlebihan sehingga memengaruhi hasil auskultasi usus.

Auskultasi abdomen bertujuan untuk mendengarkan:

1. Suara peristaltik

2. Suara pembuluh darah

Suara Peristaltik

Dalam keadaan normal, suara usus akan didengar setiap 10 detik, bahkan suara
peristaltik usus kadang-kadang dapat didengar walaupun tanpa menggunakan stetoskop,
biasanya setelah makan atau dalam keadaan lapar. Jika terdapat obstruksi usus, suara
peristaltik usus akan meningkat (metollic sound) ,lebih lagi pada saat timbul rasa sakit
yang bersifat kolik. Peningkatan suara usus ini disebut borborigmi. Pada keadaan
kelumpuhan usus (paralisis) misalnya pada pasien pasca operasi atau pada keadaan
peritonitis umum, suara ini sangat melemah dan jarang bahkan kadang-kadang
menghilang. Keadaan inijuga bisa terjadi pada obstruksi usus tahap lanjut di mana usus
sangat melebar dan atoni. Dalam keadaan ini kadang-kadang terdengar suara peristaltik
dengan nada yang tinggi.

Suara Pembuluh Darah

Suara sistolik atau diastolik atau murmur mungkin dapat didengar pada auskultasi
abdomen. Bruit sistolik dapat didengar pada aneurisma aorta atau pada pembesaran hati
karena hepatoma. Bising vena (venous hum) yang kadang-kadang disertai dengan
terabanya getaran (thritl), dapat didengar di antara umbilikus dan epigastrium. Pada
keadaan fistula arteriovenosa intra-abdominal kadang-kadang dapat didengar suara
murmur

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang adalah pemeriksaan lanjutan setelah pemeriksaan fisik


pada penderita. Spesimen yang diperoleh dari pasien akan mengalami berbagai macam
pemeriksaan mikroskopik, biokimia, mikrobiologi, maupun imunofluoresensi. Suatu
diagnosis yang tepat juga akan dapat menghasilkan perawatan yang tepat. Untuk itu
dilakukan pemeriksaan penunjang agar diagnosis dapat ditentukan denagan yakin,
sehingga tidak ada keraguan dalam memberikan perawatan.

Jenis – jenis pemeriksaan penunjang :

1. Pemeriksaan laboratorium
2. USG
3. Rontgen
4. Pap Smear
5. Endoskopi
6. Colonoskopi
7. CT Scan
8. Mamografi
9. Elektroensefalogi (EEG)
10. Elektrokardiografi (EKG)
1. Hemaglobin
Hemoglobin adalah metalprotein pengangkut oksigen yang mengandung besi
dalam sel merah dalam darah mamalia dan hewan lainnya. Molekul hemoglobin
terdiri dari globin, apoprotein dan empat gugus heme, suatu molekul organik dengan
satu atom besi. Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi. Memiliki afinitas
(daya gabung) terhadap oksigen dan dengan oksigen itu membentuk oxihemoglobin di
dalam sel darah merah. Dengan melalui fungsi ini maka oksigen dibawa dari paru-paru
ke jaringan-jaringan.

Metode Pemeriksaan Kadar Hemoglobin (Hb)

Diantara metode yang paling sering digunakan di laboratorium dan yang paling
sederhana adalah metode sahli, dan yang lebih canggih adalah
metodecyanmethemoglobin.

Pada metode Sahli, hemoglobin dihidrolisi dengan HCl menjadi


globinferroheme. Ferroheme oleh oksigen yang ada di udara dioksidasi menjadi
ferrihemeyang akan segera bereaksi dengan ion Cl membentuk ferrihemechlorid yang
jugadisebut hematin atau hemin yang berwarna cokelat. Warna yang terbentuk
inidibandingkan dengan warna standar (hanya dengan mata telanjang).
Untukmemudahkan perbandingan, warna standar dibuat konstan, yang diubah adalah
warnahemin yang terbentuk. Perubahan warna hemin dibuat dengan cara
pengenceransedemikian rupa sehingga warnanya sama dengan warna standar. Karena
yangmembandingkan adalah dengan mata telanjang, maka subjektivitas sangat
berpengaruh. Di samping faktor mata, faktor lain, misalnya ketajaman, penyinarandan
sebagainya dapat mempengaruhi hasil pembacaan. Meskipun demikian
untukpemeriksaan di daerah yang belum mempunyai peralatan canggih atau
pemeriksaandi lapangan, metode sahli ini masih memadai dan bila pemeriksaannya
telat terlatihhasilnya dapat diandalkan.

Metode yang lebih canggih adalah metode cyanmethemoglobin. Pada


metodeini hemoglobin dioksidasi oleh kalium ferrosianida menjadi methemoglobin
yangkemudian bereaksi dengan ion sianida membentuk sian-methemoglobin
yangberwarna merah. Intensitas warna dibaca dengan fotometer dan dibandingkan
denganstandar. Karena yang membandingkan alat elektronik, maka hasilnya lebih
objektif.Namun, fotometer saat ini masih cukup mahal, sehingga belum semua
laboratoriummemilikinya.
2. Hitung Jumlah Leukosit
Sel darah putih (Leukosit) merupakan bagian penting dari system
pertahanan tubuh yang fungsinya untuk melawan mikroorganisme penyebab
infeksi, sel tumor, dan zat-zat asing yang berbahaya.Terdapat beberapa jenis
leukosit yaitu Basofil, Eosinofil, Neutrofil Segmen, Neutrofil Batang, Limfosit
dan Monosit.
METODE

1. Pra-analitik
a. PersiapanAlat dan Bahan
Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah spoit 3 cc,
kapas alcohol, pipet leukosit, kamar hitung Improved Neubauer, deck
glass, objek glass, pipet tetes, mikroskop, bak pewarnaan sedangkan
bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Larutan EDTA
10%, larutan turk, larutan giemsa, methanol absolut, minyak imersi,
dan aquades.

b. Persiapan Sampel (Pengambilan Darah Vena)


Dilakukan desinfeksi pada bagian yang akan ditusuk dengan kapas
alkohol 70%,Memasang ikatan pembendung pada lengan atas dan
pasien diminta untuk mengepal dan membuka tangannya berkali-kali.
Menegangkan kulit di atas vena dengan jari-jari tangan kiri supaya
vena tidak bergerak. Menusuk kulit dengan jarum dan semprit dengan
tangan kanan sampai ujung jarum masuk dalam lumen vena.
Melepaskan pembendung dan perlahan-lahan menarik pengisap
semprit sampai didapatkan 1 ml darah. Menaruh kapas diatas jarum,
Lalu mencabut semprit dan jarum. Meminta kepada pasien supaya
tempat tusukan ditekan selama beberapa menit dengan kapas tadi.
Mengangkat jarum dari semprit dan darah dialirkan kedalam tabung
yang berisi 10 µl EDTA 10%.

2. Analitik
a. Hitung Jumlah Leukosit Metode Manual
1) Pengisian pipet thomaleukosit
Diisap darah sampai garistanda 0,5 tepat, dihapus kelebihan darah
yang melekat pada ujung pipet. Dimasukkan ujung pipet didalam
larutan turk sambil menahan darah pada garis tanda tadi. Pipet
dipegang dengan sudut 450 dan larutan turk diisap perlahan-lahan
sampai garis tanda 11. Mengangkat pipet dari cairan, ditutup ujung
pipet dengan ujung jari lalu melepaskan karet pengisap. Mengocok
pipet selama 1530 detik.

2) Pengisian kamar hitung Improved Neubauer


Meletakkan kamar hitung yang bersih benar dengan kaca
penutupnya terpasang mendatar di atas meja. Dikocok pipet yang diisi
tadi selama 3 menit terus menerus. Dibuang semua cairan yang ada di
dalam batang kapiler pipet (3 atau 4 tetes) dan segera disentuhkan
ujung pipet itu dengan sudut 300 pada permukaan kamar hitung
dengan menyinggung pinggir kaca penutup. Dibiarkan kamar hitung
terisi cairan perlahan-lahan dengan daya kapilaritasnya sendiri.
Dibiarkan kamar hitung 2 atau 3 menit supaya leukosit-leukosit dapat
mengendap.

3) Menghitung jumlah sel


Memakai lensa objektif kecil, yaitu dengan pembesaran 10X,
lensa kondensor diturunkan dan diafragma dikecilkan. Kamar hitung
dengan bidang bergarisnya diletakkan di bawah objektif dan fokus
mikroskop diarahkan kepada garis-garis bagi itu. Dengan sendirinya
leukositleukosit jelas terlihat. Dihitung semua leukosit yang terdapat
dala keempat bidang besar pada sudut-sudut seluruh permukaan yang
dibagi.
Menghitung dimulai dari sudut kiri atas, terus ke kanan,
kemudian turun ke bawah dan dari kanan ke kiri, lalu turun lagi ke
bawah dan dimulai lagi dari kiri ke kanan. Cara seperti ini dilakukan
pada keempat bidang besar.
4) Perhitungan

Pengenceran dalam pipet yaitu 20 kali. Jumlah semua sel yang


dihitung dalam keempat bidang itu dibagi 4 menunjukkan jumlah
leukosit dalam 0,1 µl. Angka itu dikalikan dengan 10 (untuk tinggi) dan
20 (untuk pengenceran) untuk mendapat jumlah leukosit dalam 1 µl
darah. Atau Jumlah sel yang dihitung X 50 = jumlah leukosit per µl
darah.
b. Pemeriksaan Jenis Leukosit Metode Manual

1) Pembuatan Apusan Darah Tipis


Disiapkan dua buah kaca objek. Darah diteteskan sedikit pada
salah satu ujung kaca objek. Kemudian dibuat apusan dan
dikeringkan.

2) Pewarnaan Sediaan Apus Menggunakan Larutan Giemsa


Sediaan apus diletakkan di atas bak pewarnaan dengan
lapisan darah menghadap keatas. Lalu difiksasi dengan methanol
absolute 2 – 3 menit. Selanjutnya Sediaan apus digenangi dengan
zat warna giemsa dengan pengenceran 1 : 9. Didiamkan selama 30
menit. Lalu dibilas dengan air mengalir.Sediaan apus diletakkan
dalam rak dengan posisi tegak dan dibiarkan mengering.

3) Pemeriksaan Sediaan Apus


Pemeriksaan ini dilakukan pada bagian sediaan yang cukup
tipis dengan penyebaran leukosit yang merata, pemeriksaan
dimulai dari pinggir atas sediaan dan berpindah ke arah pinggir
bawah dengan menggunakan micromanipulator mikroskop.
Setelah mencapai bagian pinggir bawah sediaan, digeser lapangan
pandang kearah kanan, kemudian kearah pinggir atas lagi dan
seterusnya sampai seratus sel leukosit terhitung menurut jenisnya.
Jenis leukosit yang dijumpai dicatat pada tabel.

Analisis data

Hasil penelitian dianalisis secara deskriptif dan data disajikan dalam


bentuk tabel dan narasi kemudian dipresentasikan seberapa banyak sampel
yang mengalami kelainan jumlah dan jenis leukosit.

Rumus = 𝑡/𝑛 x 100% .

Keterangan : t = nilai yang meningkat/normal/menurun, n = jumlah sampel

Nilai Normal :

Jumlah Leukosit 4.000-11.000 mm3, Basofil 0-1%, Eosinofil 1-3%, Neutrofil


Batang 2-6%, Neutrofil segmen 50-70%, Limfosit 20-40% , Monosit 2-8%.
3. Trombosit
Trombosit adalah elemen terkecil dalam pembuluh darah. Trombosit
berperan penting dalam mengontrol peredaran. Fungsi utama trombosit
adalah pembentuk sumbatan mekanis selama respon haemostatis normal
terhadap luka vascular. Jumlah trombosit dalam keadaan normal adalah
150.000 – 450.000 mm3

CARA PEMERIKSAAN

Pemeriksaan jumlah trombosit dapat dilakukan dengan menggunakan


cara langsung dan cara tidak langsung. Cara langsung yaitu dengan
menggunakan larutan rees ecker dan cara tidak langsung menggunakan apusan
darah tepi.

a. Larutan rees ecker


Berisi aquadest, natrium sitrat, BCB, dan formaldehide.
Kelebihan :
Trombosit yang diperiksa terwarnai oleh larutan BCB yang berwarna biru
sehingga terlihat lebih jelas yang memudahkan dalam proses perhitungan.
Kekurangan :
Eritrosit tidak dilisiskan, sehingga trombosit tertutup oleh eritrosit yang
menyebabkan trombosit sulit dihitung.

b. Sediaan ApusanDarahTepi (SADT)


Diwarnai dengan larutan giemsa
Kelebihan :
Dapat melihat langsung keadaan sel trombosit yang rusak dan yang
beragregasi, biayanya murah.
Kekurangan :
Tergantung dari keterampilan seseorang dari pembuatan apusan darah tepi,
hasil pemeriksaan yang sangat subjektif, cara membaca dalam lapang
pandang, distribusi sel yang idak merata.

4. Laju Endap Darah


Laju endap darah adalah kecepatan penggumpalan sel darah merah
di dalam plasma darah. Nilai dari laju endap darah dinyatakan dalam satuan
mm/jam.
Prosedur Tes Laju Endap Darah
Tes laju endap darah bisa dilakukan secara otomatis dan manual. Meskipun
tes LED secara otomatis lebih efisien tetapi masih banyak rumah sakit atau
klinik yang lebih memilih untuk melakukan tes LED secara manual.

Metode pemeriksaan LED secara manual yang sangat sering digunakan


adalah metode Westergren. Hal ini dikarenakan prosedurnya memerlukan
teknik sederhana dan ekonomis. Selain itu, hasil yang didapat cukup akurat.

Anda bisa melihat prosedur tes laju endap darah dengan menggunakan
metode Westergren di bawah ini:

a) Ambil sampel darah secukupnya dari tubuh pasien


b) Campur sampel darah dengan menggunakan antikoagulan (Na sitrat 3,8%)
c) Masukkan sampel darah di dalam tabung westergren
d) Simpan tabung-tabung kaca tersebut pada rak tabung agar tetap tegak
e) Diamkan dalam suhu kamar selama 1 atau 2 jam

Nilai Laju Endap Darah


Nilai laju endap darah yang didapatkan tergantung pada metode yang
digunakan. Pada metode Westergren, nilai laju endap darah normal pada
wanita adalah 0 — 15 mm/jam dan 0 — 10 mm/jam pada pria.
Apabila hasil tes LED menunjukkan nilai yang lebih tinggi dari nilai
laju endapan normal maka itu artinya pasien tersebut memiliki nilai laju
endap darah tinggi. Nilai laju endap darah tinggi menunjukkan adanya
inflamasi atau penyakit akut tertentu di dalam tubuh seorang pasien.
Peningkatan LED bisa terjadi pada beberapa kondisi seperti peradangan
pada tubuh, infeksi (TBC, Tifus, Infeksi kulit atau tulang), kehamilan, usia
tua, penyakit autoimun, anemia, radang sendi, dan kanker.

5. Tes Widal
Uji Widal adalah suatu pemeriksaan laboratorium guna mendeteksi ada
atau tidaknya antibodi penderita tersangka terhadap antigen Salmonella
typhi yaitu antibodi terhadap antigen O (dari tubuh kuman), antigen H
(flagel kuman), dan antigen Vi (kapsul kuman). Dari ketiga antibodi, hanya
antibodi terhadap antigen H dan O yang mempunyai nilai diagnostik demam
tifoid.
Metode
a. Penentuan Kualitatif
1. Memipet 20 µl serum diletakkan diatas obyek glas.
2. Menambahkan satu tetes antigen pada masing-masing serum tadi, aduk
dengan stik pengaduk.
3. Mencampur dengan menggoyang-goyangkan secara melingkar selama 1
menit. 4. Mengamati hasil reaksi yang terjadi dengan menggunakan
mikroskop.
5. Hasil positif apabila terjadi aglutinasi sebelum 1 menit.
b. Penentuan Semi kuantitatif
1. Memipet masing-masing 0,08 ml; 0,04 ml; 0.02 ml; 0,01 ml; dan 0,005
ml serum yang tidak diencerkan pada kaca benda.
2. Menambahkan masing-masing serum dengan 1 tetes suspensi antigen,
lalu aduk selama 1 menit dan amati hasilnya.
3. Menentukan hasil akhir titernya.

Titer antibodi ekuivalen dengan pengenceran :

Interpretasi Hasil

Hasil pemeriksaan test widal dianggap positif mempunyai arti klinis sebagai
berikut
a. Titer antigen O sampai 1/80 pada awal penyakit berarti suspek demam tifoid,
kecuali pasien yang telah mendapat vaksinasi.
b. Titer antigen O diatas 1/160 berarti indikasi kuat terhadap demam tifoid.
c. Titer antigen H sampai 1/40 berarti suspek terhadap demam tifoid kecuali
pada pasien yang divaksinasi jauh lebih tinggi.
d. Titer antigen H diatas 1/80 memberi indikasi adanya demam tifoid.

6. Tes Tubex
Uji tubex merupakan uji aglutinasi kompetitif semi kuantitatif
kolometrik yang. pada intinya mendeteksi adanya antibodi anti-S typhi O9
pada serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9
yang terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan
lipopolisakarida.

Metode
Menggunakan 3 komponen meliputi:
1) tabung berbentuk V
2) reagen A
3) reagen B.

Tabung berbentuk V untuk meningkatkan sensitivitas, reagen A yang


mengandung partikel magnetik yang diselubungi antigen S.typhi O9, reagen
B yang mengandung partikel lateks berwarna biru yang diselubungi
antibodi monoklonal spesifik untuk antigen O9.

Adapun langkah – langkah uji tubex yang dilakukan adalah sebagai


berikut:
1. Masukkan 45µl antigen-coated magnetik partikel (Brown reagent) pada
reaction container yang disediakan (satu set yang terdiri dari enam
tabung berbentuk V).
2. Kemudian masukkan 45µl serum sampel (serum harus jernih), serta
campurkan keduanya dengan menggunakan pipette tip.
3. Campuran tersebut diinkubasikan selama 2 menit selanjutnya
tambahkan 90µl antibodi-coated indikator partikel (Blue reagent).
4. Tutup tempat reaksi tersebut dengan menggunakan strip, lalu ubah
posisi tabung dari vertikal menjadi horisontal dengan sudut 900. Setelah
itu goyang-goyangkan tabung ke depan dan ke belakang selama 2menit.
Perlakuan ini bertujuan untuk memperluas bidang reaksi.
5. Pada akhir proses reaksi ini tabung berbentuk V ini diletakkan di atas
magnet stand lalu diamkan selama 5 menit untuk membiarkan terjadi
proses pemisahan (pengendapan). Pembacaan skor hasil dari reaksi ini
dilakukan dengan cara mencocokkan warna yang terbentuk pada akhir
reaksi dengan skor yang tertera pada color scale.

Konsep pemeriksaan ini adalah jika serum tidak mengandung antibodi terhadap
O9, reagen B ini bereaksi dengan reagen A. Ketika diletakkan pada daerah
mengandung medan magnet (magnet rak), komponen magnet yang dikandung
reagen A akan tertarik pada magnet rak, dengan membawa serta pewarna yang
dikandung oleh reagen B sehingga terlihat warna merah pada tabung yang
sesungguhnya merupakan gambaran serum yang lisis. Sebaliknya, jika serum
mengandung antibodi terhadap O9, antibodi pasien akan berikatan dengan
reagen A menyebabkan reagen B tidak tertarik pada magnet rak sehingga
memberikan warna biru pada larutan.

Demam

1. Pengertian demam
Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal sehari –hari
yang berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu di hipotalamus (Dinarello &
Gelfand, 2005). Suhu tubuh normal berkisar antara 36,5 - 37,2°C. Derajat suhu yang
dapat dikatakan demam adalah rectal temperature ≥38,0°C atau oral temperature
≥37,5°C atau axillary temperature ≥37,2°C (Kaneshiro & Zieve, 2010).Istilah lain yang
berhubungan dengan demam adalah hiperpireksia. Hiperpireksia adalah suatu keadaan
demam dengan suhu >41,5°C yang dapat terjadi pada pasien dengan infeksi yang
parah tetapi paling sering terjadi pada pasien dengan perdarahan sistem saraf pusat
(Dinarello & Gelfand, 2005).
2. Etiologi demam
Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non infeksi.
Demam akibat infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, ataupun
parasit. Infeksi bakteri yang pada umumnya menimbulkan demam pada anak-anak
antara lain pneumonia, bronkitis, appendisitis, tuberculosis, bakteremia, sepsis, dan
lain-lain (Graneto, 2010). Infeksi virus yang pada umumnya menimbulkan demam
antara lain viral pneumonia, influenza, demam berdarah dengue, demam chikungunya,
dan virus-virus umum seperti H1N1 (Davis, 2011). Infeksi jamur yang pada umumnya
menimbulkan demam antara lain coccidioides imitis, criptococcosis, dan lain-lain
(Davis,2011). Infeksi parasit yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain
malaria, toksoplasmosis, dan helmintiasis (Jenson & Baltimore, 2007).
Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain
faktor lingkungan (suhu lingkungan yang eksternal yang terlalu tinggi, keadaan tumbuh
gigi, dll), penyakit autoimun (arthritis, systemic lupus
erythematosus, vaskulitis, dll), keganasan (Penyakit Hodgkin, Limfoma non-hodgkin,
leukemia, dll), dan pemakaian obat-obatan (antibiotik, difenilhid
antoin, dan antihistamin) (Kaneshiro & Zieve, 2010). Selain itu anak-
anak juga dapat mengalami demam sebagai akibat efek samping dari pemberian
imunisasi selama ±1-10 hari (Graneto, 2010). Hal lain yang juga berperan sebagai
faktor non infeksi penyebab demam adalah gangguan sistem saraf pusat seperti
perdarahan otak, status epileptikus, koma, cedera hipotalamus, atau gangguan lainnya
(Nelwan, 2009).
Adapun kisaran nilai normal suhu tubuh adalah:

a. Suhu oral, antara 35,5° – 37,5° C

b. Suhu aksila, antara 34,7° – 37,3° C

c. Suhu rektal, antara 36,6° – 37,9° C

d. Suhu infrared tympanic, antara 35,7° – 37,5° C

3. Tipe- tipe demam


Jenis demam Penjelasan
Demam Septik Pada demam ini, suhu badan berangsur naik ke tingkat
yang tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke
tingkat di atas normal pada pagi hari.

Demam hektik Pada demam ini, suhu badan berangsur naik ke tingkat
yang tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke
tingkat yang normal pada pagi hari.

Demam remiten Pada demam ini, suhu badan dapat turun setiap hari tetapi
tidak pernah mencapai suhu normal

Demam intermiten Pada demam ini, suhu badan turun ke tingkat yang
normal selama beberapa jam dalam satu hari.
Demam kontinyu Pada demam ini, terdapat variasi suhu sepa njang hari
yang tidak berbeda lebih dari satu derajat.
Demam Siklik Pada demam ini, kenaikan suhu badan selama beberapa
hari yang diikuti oleh periode bebas demam untuk
beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenatikan suhu
seperti semula.

4. Mekanisme demam
Demam terjadi karena adanya suatu zat yang dikenal dengan nama
pirogen. Pirogen adalah zat yang dapat menyebabkan demam. Pirogen terbagi
dua yaitu pirogen eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar tubuh pasien.
Contoh dari pirogen eksogen adalah produk mikroorganisme seperti toksin atau
mikroorganisme seutuhnya. Salah satu pirogen eksogen klasik adalah
endotoksin lipopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri gram negatif. Jenis
lain dari pirogen adalah pirogen endogen yang merupakan pirogen yang berasal
dari dalam tubuh pasien. Contoh dari pirogen endogen antara lain IL-1, IL-6,
TNF-α, dan IFN. Sumber dari pirogen endogen ini pada umumnya adalah
monosit, neutrofil, dan limfosit walaupun sel lain juga dapat mengeluarkan
pirogen endogen jika terstimulasi (Dinarello& Gelfand, 2005).
Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah put ih
(monosit, limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin,
mediator inflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel darah putih tersebut akan
mengeluarkan zat kimia yang dikenal dengan pirogen endogen (IL-1, IL-6,
TNF- α, dan IFN). Pirogen eksogen dan pirogen endogen akan merangsang
endotelium hipotalamus untuk membentuk prostaglandin (Dinarello & Gelfand,
2005). Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan meningkatkan patokan
termostat di pusat termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus akan menganggap
suhu sekarang lebih rendah dari suhu patokan yang baru sehingga ini memicu
mekanisme-mekanisme untuk meningkatkan panas antara lain menggigil,
vasokonstriksi kulit dan mekanisme volunter seperti memakai selimut.
Sehingga akan terjadi peningkatan produksi panas dan penurunan pengurangan
panas yang pada akhirnya akan menyebabkan suhu tubuh naik ke patokan yang
baru tersebut (Sherwood, 2001).
Demam memiliki tiga fase yaitu: fase kedinginan, fase demam, dan fase
kemerahan. Fase pertama yaitu fase kedinginan merupakan fase peningkatan
suhu tubuh yang ditandai dengan vasokonstriksi pembuluh darah dan
peningkatan aktivitas otot yang berusaha untuk memproduksi panas sehingga
tubuh akan merasa kedinginan dan menggigil. Fase kedua yaitu fase demam
merupakan fase keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas di
titik patokan suhu yang sudah meningkat. Fase ketiga yaitu fase kemerahan
merupakan fase penurunan suhu yang ditandai dengan vasodilatasi pembuluh
darah dan berkeringat yang berusaha untuk menghilangkan panas sehingga
tubuh akan berwarna kemerahan (Dalal& Zhuko vsky, 2006).

DEMAM TIPHOID

Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhi namun dapat pula disebabkan oleh S. paratyphi A, S. paratyphi B
(Schottmuelleri), S. paratyphi C (Hirscheldii). Penularan demam tifoid melalui fecal
dan oral yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi (Widoyono, 2011). Penularan demam tifoid selain didapatkan dari
menelan makanan atau minuman yang terkontaminasi dapat juga dengan kontak
langsung jari tangan yang terkontaminasi tinja, urin, secret saluran nafas atau dengan
pus penderita yang terinfeksi (Dian, 2007).

Pathogenesis Demam tiphoid

Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia


melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh
asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak. Bila
respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan menembus
sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah
bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di
dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia
pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh
terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan
kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke
dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan
disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik, seperti demam, malaise,
mialgia, sakit kepala dan sakit perut (Sudoyo A.W., 2010).
Imunitas humoral pada demam tifoid berperan dalam menegakkan diagnosis
berdasarkan kenaikan titer antibodi terhadap antigen kuman S.typhi. Imunitas seluler
berperan dalam penyembuhan penyakit, berdasarkan sifat kuman yang hidup
intraselluler. Adanya rangsangan antigen kuman akan memicu respon imunitas
humoral melalui sel limfosit B, kemudian berdiderensiasi menjadi sel plasma yang
akan mensintesis immunoglobulin (Ig). Yang terbentuk pertama kali pada infeksi
primer adalah antibodi O (IgM) yang cepat menghilang, kemudian disusul antibodi
flagela H (IgG). IgM akan muncul 48 jam setelah terpapar antigen, namun ada pustaka
lain yang menyatakan bahwa IgM akan muncul pada hari ke 3-4 demam (Marleni,
2012; Rustandi 2010).

Gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :


1. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris
remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh
berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan
meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus
berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh
berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
2. Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-
pecah (ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan
tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan
keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri
pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula
normal bahkan dapat terjadi diare.
3. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu
apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah (Sudoyo, A.
W., 2010).

a. Mengapa demam berangsur-angsur tinggi terutama pada sore dan malam hari?
1, 2
b. Mengapa demam tidak disertai menggigil dan berkeringat? 1,2
c. Bagaimana hubungan tempat tinggal Nn. A dengan keluhan? 2
d. Apa saja tipe-tipe demam? 1
Apa jenis demam pada skenario dan bagaimana mekanismenya? 1,2

a. Mengapa demam tidak turun meskipun sudah diberi obat penurun panas? 1,2
Demamnya tidak turun walaupun diksih obat karena dia hanya minum obat
antipiretik bukan antibiotik , sehingga walaupun dia sudah minum obat
bakterinya blm mati dan tetep ada di darah
b. Bagaimana mekanisme bibir kering dan pecah-pecah? 2
bibir kering dan pecah-pecah : dikarenakan oleh demam yang terlalu lama dan
tidak pernah turun --> air dalam tubuh berkurang --> bibir kering dan
pecah-pecah
c. Bagaimana mekanisme mual dan tidak napsu makan? 2
d. Bagaimana mekanisme konstipasi? 2
e. Bagaimana korelasi antara keluhan utama dengan keluhan tambahan?
f. Mengapa Nn. A tidak mengeluh batuk, mimisan, gusi berdarah, bintik merah
dikulit, sakit tenggorokan, nyeri buang air kecil? 2
karena keluhan keluhan tersebut merupakan gejala dari malaria
a. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik? (jelaskan mekanisme kalau
tidak normal) 3
b. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan penunjang? (jelaskan mekanisme
kalau tidak normal) 4
c. Bagaimana respon imun tubuh terhadap Salmonella typhi? (mekanisme dan
akhir masa sehat) 5
d. Bagaimana mekanisme tremor pada lidah, berselaput putih kekuningan, kotor
ditengah, tepi, dan ujung merah? 3
e. Bagaimana cara pemeriksaan widal? 4
II. Penentuan Kualitatif
1. Memipet 20 µl serum diletakkan diatas obyek glas.
2. Menambahkan satu tetes antigen pada masing-masing serum tadi, aduk
dengan stik pengaduk.
3. Mencampur dengan menggoyang-goyangkan secara melingkar selama 1
menit. 4. Mengamati hasil reaksi yang terjadi dengan menggunakan
mikroskop.
5. Hasil positif apabila terjadi aglutinasi sebelum 1 menit.
III. Penentuan Semi kuantitatif
1. Memipet masing-masing 0,08 ml; 0,04 ml; 0.02 ml; 0,01 ml; dan 0,005
ml serum yang tidak diencerkan pada kaca benda.
2. Menambahkan masing-masing serum dengan 1 tetes suspensi antigen,
lalu aduk selama 1 menit dan amati hasilnya.
3. Menentukan hasil akhir titernya.

a. Bagaimana cara pemeriksaan tubex? 4

Adapun langkah – langkah uji tubex yang dilakukan adalah sebagai


berikut:
1. Masukkan 45µl antigen-coated magnetik partikel (Brown reagent) pada
reaction container yang disediakan (satu set yang terdiri dari enam
tabung berbentuk V).
2. Kemudian masukkan 45µl serum sampel (serum harus jernih), serta
campurkan keduanya dengan menggunakan pipette tip.
3. Campuran tersebut diinkubasikan selama 2 menit selanjutnya
tambahkan 90µl antibodi-coated indikator partikel (Blue reagent).
4. Tutup tempat reaksi tersebut dengan menggunakan strip, lalu ubah
posisi tabung dari vertikal menjadi horisontal dengan sudut 900. Setelah
itu goyang-goyangkan tabung ke depan dan ke belakang selama 2menit.
Perlakuan ini bertujuan untuk memperluas bidang reaksi.
5. Pada akhir proses reaksi ini tabung berbentuk V ini diletakkan di atas
magnet stand lalu diamkan selama 5 menit untuk membiarkan terjadi
proses pemisahan (pengendapan). Pembacaan skor hasil dari reaksi ini
dilakukan dengan cara mencocokkan warna yang terbentuk pada akhir
reaksi dengan skor yang tertera pada color scale.

b. Dimana letak kuadran kanan bawah dan apa saja organ yang terletak pada regio
tersebut? 3

c. Bagaimana mekanisme abdomen terasa datar, lemas dan nyeri khususnya pada
regio kuadran kanan bawah? 3

d. Bagaimana pemeriksaan fisik abdomen?


Pemeriksaan fisis abdomen merupakan bagian pemeriksaan fisis keseluruhan,
yang dalam prakteknya merupakan lanjutan pemeriksaan fisis umum, yang meliputi
pemeriksaan fisis kepala, leher, toraks (dada), abdomen, dilanjutkan dengan
pemeriksaan fisis genitalia dan perineum (bila ada indikasi), dan terakhir pemeriksaan
ekstremitas.

Pemeriksaan ini dikerjakan dalam 4 tahap, yaitu inspeksi, palpasi, perkusi, dan
auskultasi.

INSPEKSI
Inspeksi abdomen adalah mengamati abdomen, baik itu abdomen bagian depan
maupun bagian belakang (pinggang).

Apakah terdapat kondisi khusus dinding abdomen, antara lain:

- Kelainan kulit- Kelainan vena- Kelainan umbilicus- Striae alba- Bekas operasi:
apendiktomi, kolesistektomi, laparatomi, sectiosesarea, nefrektomi. Pergerakan
dinding abdomen

Simetris

Dalam situasi normal dinding perut terlihat simetris dalam posisi terlentang.
Adanya tumol abses, atau pelebaran setempat lumen usus membuat bentuk perut tidak
simetris.

Bentuk dan Ukuran

Bentuk dan ukuran abdomen dalam keadaan normal pun bervariasi tergantung atas
habitus, jaringan lemak subkutan atau intraabdomen dan akibat kondisi otot dinding
abdomen..

Kelainan Kulit

Perlu diperhatikan sikatriks akibat ulserasi pada kulit, atau akibat operasi atau luka
tusuk. Bekas operasi: apendiktomi, kolesistektomi,laparatomi, sectio sesoreo,
nefrektomi atau herniotomi. Pada tempat insisi operasi sering terdapat hernia insisialis.
Kadang-kadang hernia insisialis begitu besar dan menonjol sampai terlihat peristaltik
usus.

Pelebaran Vena

Pelebaran vena terjadi pada hipertensi portal. Pelebaran di sekitar umbilikus


disebut kaput medusae yang terdapat pada sindrom Banfi.

PALPASI

Palpasi dinding perut sangat penting untuk menentukan ada tidaknya kelainan
dalam rongga abdomen. Perlu ditekankan di sini bahwa palpasi merupakan lanjutan
dari anamnesis dan inspeksi. Perlu sekali diperhatikan apakah pasien ada keluhan nyeri
atau rasa tidak enak pada daerah abdomen.
Palpasi Superfisial

Posisi tangan menempel pada dinding perut. Umumnya penekanan dilakukan oleh
ruas terakhir dan ruas tengah jari-jari, bukan dengan ujung jari. Sistematika palpasi
dilakukan seperti terlihat pada gambar dengan catatan hati-hati pada daerah nyeri yang
dikeluhkan oleh pasien.

Palpasi superfisial tersebut bisa juga disebut palpasi awal untuk orientasi sekaligus
memperkenalkan prosedur palpasi pada pasien. Perhatikan data yang didapat dengan
palpasi superfisial tersebut.

Palpasi Dalam

Palpasi dalam (deep polpotion) dipakai untuk identifikasi kelainan/rasa nyeri yang
tidak didapatkan pada palpasi superfisial dan untuk lebih menegaskan kelainan yang
didapat pada palpasi superfisial dan yang terpenting adalah untuk palpasi organ secara
spesifik misalnya palpasi hati, limpa, ginjal. Palpasi dalam juga penting pada pasien
yang gemuk atau pasien dengan otot dinding yang tebal.

PERKUSI
Perkusi abdomen dilakukan dengan cara tak langsung, sama seperti pada perkusi di
rongga toraks tetapi dengan penekanan yang lebih ringan dan ketokan yang lebih
perlahan.

Perkusi abdomen mempunyai beberapa tujuan:

1. Untuk konfirmasi pembesaran hati dan limpa,

2. Untuk menentukan ada tidaknya nyeri ketok,

3. Untuk diagnosis adanya cairan atau massa padat.

Perkusi abdomen sangat membantu dalam menentukan apakah rongga abdomen


berisi lebih banyak cairan atau udara.

AUSKULTASI

Urutan pemeriksaan fisis yang lazim adalah inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi, namun pada pemeriksaan fisis abdomen auskultasi sebaiknya dilakukan
lebih dahulu setelah atau bersamaan dengan inspeksi. Hal ini untuk mencegah palpasi
yang berlebihan sehingga memengaruhi hasil auskultasi usus.

Auskultasi abdomen bertujuan untuk mendengarkan:

1. Suara peristaltik

2. Suara pembuluh darah

e. Bagaimana pemeriksaan fisik kepala? 3


Bagaimana kompensasi frekuensi nadi terhadap kenaikan suhu tubuh?
(hubungan dengan skenario) 3

DAFTAR PUSTAKA

Bates B, Bickley LS, Hoekelman RA. A guide to physical examination and history
taking. Edisi keenam. Philadelphia: JB Lippincott; 1995.h. 331-60.
Burton NL, Birdi K. Clinical Skills for OSCEs 2nd Ed. United Kingdom: lnforma
Healthcare; 2006.

Dorman I O'Neill P Core Clinical Skills for OSCEs in Medicine. 2md Ed. USA:
Churchill Livingstone. Elsevier; 2006.

Ford MJ, Hennessey l, Japp A. lntroduction to Clinical examination. Edinburg: Elsevier


2005. h. 97-116.

Gonzales TS. Physical Examination of The Head and Neck. Hawaii: Tripler Army
Medical Center.

Lumley JSP Bouloux PMG. Clinical examination of the patient. Edisi pertama. London:
Butterworsh; 1 994.h. 1 1 0-39.

Markum HMS. Penuntun Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis. Jakarta: Pusat Penerbit
llmu Penyakit Dalam FKUI;2005.

Supartondo, Sulaiman A, Abdurrachman N, Hadiarto, Hendarwanto. Perut. Dalam:


Sukaton U, editor. Petunjuk tentang riwayat penyakit dan pemeriksaan jasmani.
Jakarta: Bagian llmu Penyakit Dalam FKUI; 1986.h. 55-53.

Macleod J, Munro JF, Campbell lW; Macleod's Clinical Examination. Churchill


Livingstone, 2000

Anda mungkin juga menyukai