Keadaan umum
KESADARAN
a. Kompos mentis
pasien sadar penuh dan dapat menjawab pertanyaan tentang dirinya dan
lingkungannya.
b. Apatis
Pasien bersikap tidak peduli, acuh tak acuh dan segan berhubungan dengan orang dan
lingkungannya.
c.Somnolen
Pasien mengantuk dan cenderung untuk tertidur, masih dapat dibangunkan dengan
rangsangan dan mampu memberikan jawaban secara verbal namun mudah tertidur
kembali.
d. Delirium
Pasien gelisah, kebingungan, dapat diikuti dengan disorientasi, gangguan memori dan
agitasi.
e. Sopor/stupor
Kesadaran pasien hilang, hanya berbaring dengan mata tertutup, tidak menunjukkan
reaksi bila dibangunkan kecuali dengan rangsang nyeri.
f. Koma
Kesadaran pasien hilang, tidak memberikan reaksi walaupun dengan semua rangsangan
dari luar termasuk rangsang nyeri. Pada koma yang dalam, semua refleks tidak
didapatkan.
Penilaian tingkat kesadaran juga dapat menggunakan skala koma Glasgow
(Glosgow Coma Scole/GCS) yaitu dengan memerhatikan respons pasien terhadap
rangsangan yang diberikan dan menilai respons tersebut dengan skor tertentu (Tabel
2.1).
KEADAAN UMUM
Penilaian ini melihat seberapa berat kondisi sakit pasien, apakah pasien secara umum
terlihat baik, sakit ringan, sakit sedang atau sakit berat.
TAKSIRAN USIA
Pada pemeriksaan bentuk tubuh dapat ditemukan kelainan seperti perawakan tubuh
yang pendek atau tinggi. Perawakan tubuh agak sulit ditentukan pada saat pasien dalam
posisi berbaring. Perhatikan adanya deformitas atau amputasi pada ekstremitas.Bentuk
tubuh yang abnormal dapat dijumpai misalnya pada kondisl kelainan tulang belakang
seperti kifosis, lordosis dan skoliosis, kelainan akromegali, dan sindrom Marfan.
Pada sindrom Marfan dapat ditemukan perawakan yang tinggi, kifosis torakalis,
pektus excavatum, arachnodaktili, ekstremitas yang panjang, dan regurgitasi aorta.
HABITUS
a. Astenikus
Pasien memiliki bentuk tubuh yang tinggi, kurus, dada rata atau cekung.
b. Atletikus
Pasien memiliki bentuk tubuh seperti olahragawan, dada penuh, perut rata, lengkung
tulang belakang dalam batas normal.
c. Piknikus
Pasien memiliki bentuk tubuh yang cenderung bulat, tubuh penuh dengan penimbunan
jaringan lemak subkutan.
Penilaian cara berjalan dan mobilitas sudah dilakukan pada saat pasien masuk ke
dalam ruang pemeriksaan. Cara berjalan dapat memberikan petunjuk beberapa
penyakit tulang, sendi ataupun saraf. Pasien dengan hemiplegia akan berjalan dengan
cara antalgik di mana kaki yang lumpuh diangkat dalam gerakan setengah lingkaran
saat pasien ber.;alan, sedangkan lengan yang lurnpuh umumnya dalam keadaan sedikit
fleksi dan kaku dibandingkan dengan lengan yang sehat.
Pada pasien Parkinson didapatkan postur tubuh yang cenderung fleksi dengan
langkah berlalan yang kecil-kecil, pasien juga mengalami kesulitan dalam mengangkat
kaki dari lantai.
Pasien dengan sikap berbaring aktif masih dapat mengubah posisi tubuh saat
berbaring tanpa kesulitan, sedangkan pada pasien yang mengalami kesulitan atau
lemah saat mengubah posisi tubuh dikatakan memiliki sikap berbaring yang pasif.
Mobilitas pasien juga dilihat selain dari cara berjalan dan sikap berbaring, juga
bagaimana cara pasien mengubah posisinya baik dari tidur, duduk, berdiri dan berjalan
maupun sebaliknya. Pasien dengan nyeri lutut biasanya akan bertumpu pada sesuatu
saat berubah posisi ke berdiri atau saat berjalan. Pasien Parkinson umumnya akan
mengalami kesulitan saat akan memulai berjalan, namun saat sudah berjalan maka
pasien terlihat berjalan dengan cepat dan sulit berhenti.
KEADAAN GIZI
Keadaan gizi pasien seperti kurang gizi, normal dan obesitas dapat dinilai langsung
pada saat inspeksi umum.
Secara obyektif hal ini dinilai dengan mengukur indeks massa tubuh (lMT) berdasarkan
berat badan (BB) dan tinggi badan (TB), yaitu dengan rumus IMT = BB (kg)/B2 (m2) .
Terdapat perbedaan ras dalam klasifikasi IMT pasien terkait dengan risiko medis.
menjadi:
obesitas ll : >30
Kaheksia adalah kondisi pasien dengan berat badan yang sangat kurang. Pada
kondisi tersebut ditemukan adanya penurunan massa lemak (fat mass) dan massa bukan
lemak ffotfree mass). Pada kaheksia didapatkan kehilangan berat badan, atrofi otot, dan
kelemahan.Kondisi initerkait dengan keganasan, infeksi kronik, ataupun penyakit
kronik lain seperti AIDS danpenyakit paru obstruksi kronik.
Selain itu pedu dieksplorasi proses pikir (logika, koheren, relevansi pikiran pasien) dan
isi pikir (termasukinsight/kesadaran, adakah kelainan pada tingkah laku pasien
danjudgment) pasien. Apakah ada kemungkinan pemikiran pasien yang tidak biasa,
adanya preokupasi, kepercayaan atau persepsi pasien yang ditemukan saat
pembicaraan.
TANDA VITAL
PEMERIKSAAN PERNAPASAN
Pemeriksaan napas meliputi frekuensi, sifat, dan irama pernapasan. Perhatikan pula
adakah bantuan otot-otot pernapasan
1. Frekuensi pernapasan
- Kombinasi(terbanyak)
Bila sifat pernapasan yang lebih dominan adalah torakal, maka disebut
torako-abdominal. Sebaliknya, bila sifat pernapasan yang lebih dominan adalah
abdominal, maka disebut abdominotorakal. Pernapasan torako-abdominal umumnya
lebih dominan pada perempuan sehat, sedangkan pernapasan abdomino_torakal
umumnya lebih dominan pada laki-laki sehat.
3. lrama pernapasan
lrama pernapasan yang normar tampak regurar dengan fase inspirasi dan ekspirasi
yang bergantian teratur.
PEMERIKSAAN NADI
Pulsasi arteri radialis biasanya dapat dirasakan maksimal di medial radius di dekat
pergelangan tangan menggunakan 2 atau 3 jari tengah pemeriksa. Pemeriksaan nadi
arteri radialis dengan palpasi dilakukan pada arteri radialis kanan dan kiri.
Pemeriksaan arteri juga dilakukan pada arteri perifer lain, yaitu arteri femoralis di
fosa inguinalis, arteri poplitea di fosa poplitea, arteri tibialis posterior di posterior
maleolus medialis, dan arteri dorsalis pedis.
Frekuensi denyut nadi diperiksa dalam satu menit. Pemeriksaan nadi sebaiknya
dilakukan setelah pasien istirahat 5 - 10 menit.
1. Takikardia (pulsus frequent) adalah frekuensi nadi lebih dari 100 kali per
menit. Frekuensi nadi yang cepat dapat ditemukan pada kondisi demam, saat
latihan jasmani, atau nyeri.
2. Bradikardia (pulsus rasus) adalah frekuensi nadi kurang dari 60 kali per menit.
Bradikardia dapat ditemukan pada kondisi kelainan pada hantaran rangsang
jantung atau hipertoni parasimpatis.
3. Bradikardia relatif adalah kondisi di mana kenaikan suhu tidak sesuai dengan
kenaikan denyut nadi Hal ini dapat ditemukan pada demam tifoid.
lrama denyut nadi dapat ditemukan teratur (regular) atau tidak teratur (iregular).
Bila ditemukan irama yang tidak teratuI periksa denyut jantung dengan stetoskop
secara bersamaan. Selain itu perlu diperhatikan lebih lanjut apakah irama yang iregular
ini konsisten dengan irama respirasi.Irama nadi yang iregular ini menunjukkan
beberapa kemungkinan, antara lain:
Sinus aritmia
Adalah keadaan normal di mana denyut nadi meningkat pada saat inspirasi dan
menurun pada saat ekspirasl.
Ekstrasistolik
Adalah keadaan di mana terdapat denyut nadi yang datang lebih cepat (prematur)
kemudian disusul dengan istirahat yang lebih panjang. Denyut prematur terkadang
tidak teraba pada arteri radialis, sehingga denyut nadi seolah-olah terhenti sesaat.
Fibrilasi atrial
Adalah keadaan di mana denyut nadi sama sekali tidak teratur (tidak ada irama
dasar). Pada keadaan ini, denyut jantung harus diperiksa dengan stetoskop
bersamaan dengan denyut nadi, untuk memeriksa adanya pulsus defisit, di mana
frekuensi denyutjantung akan lebih tinggi dibandingkan denyut nadi.
Blokatrioventrikular
Adalah keadaan di mana tidak semua rangsang dari nodus SA (sino- aurikular)
diteruskan ke ventrikel sehingga pada saat itu ventrikel tidak berkontraksi.
Biasanya terdapat bradikardia pada keadaan ini.
Pulsus parvus adalah nadi dengan isi kecil. Pulvus parvus dapat ditemukan pada
kondisi penurunan isi sekuncup ventrikel kiri dan peningkatan resistensi vaskular
perifer. Pulsus magnus (altus) adalah nadi dengan isi besar.
Pemeriksaan besar pengisian nadi harus memerhatikan juga apakah sama dengan
denyut nadi yang berikutnya. Pengisian nadi yang tetap sama dengan denyut nadi yang
berikutnya disebut ekual, sedangkan pengisian nadi yang tidak sama dengan denyut
nadi berikutnya disebut tidak ekual. Adanya perbedaan isi antara denyut nadi kanan dan
kiri ditemukan pada aneurisma arkus aorta atau pada koarktasio aorta.
4. Kualitas nadi
Kualitas nadi tergantung pada tekanan nadi. Tekanan nadi adalah selisih antara
tekanan sistolik dan tekanan diastolik. Pulsus celer (abrupt puLse) timbul bila tekanan
nadi cukup besar di mana pengisiandan pengosongan denyut nadi teraba mendadak.
Kondisi sebaliknya adalah pulsus tardus lploteou pulse) yang timbul bila tekanan nadi
itu kecil. Pada pulsus tardus, puncak sistolik tertinggal. Kondisi ini dapat ditemukan
pada stenosis katup aorta.
5. Tegangan nadi
Tegangan nadi tergantung pada kondisi arteri radialis dan tekanan darah arteri
radialis. Penebalan dan sklerosis arteri radialis membuat arteri teraba lebih keras dan
kaku. Tekanan darah yang tinggi terkadang membuat arteri radialis teraba lebih
tegang.Pada pemeriksaan nadi, beberapa keadaan lain yang dapat ditemukan:
Pulsus paradoksus adalah keadaan denyut nadi yang melemah atau hilang
pada saat inspirasi dan mengeras kembali pada saat ekspirasi atau penurunan
tekanan darah sistolik lebih dari 10 mmHg pada saat inspirasi.
Pulsus porodoksus mechonicus adalah kondisi yang ditemukan bila denyut
naditetap lemah dari awal sampai akhir inspirasi dan baru normal kembali pada
awal ekspirasi. Dalam keadaan normal, terkadang pada saat inspirasi denyut
nadi menjadi sedikit lemah (disebabkan darah sebagian terisap ke dalam rongga
dada) dan kembali keras pada akhir inspirasi Qtulsus paradoksus dynomicus).
Pulsus paradoksus dapat ditemukan pada kondisi tamponade jantung dan
obstruksi vena cava superior.
Pulsus alternans adalah keadaan di mana terdapat perubahan denyut nadi
regular silih berganti antara denyut nadi kuat dan denyut nadi yang lemah.
Denyut nadi yang lemah disebabkan kontraksi miokard yang memburuk dan
sampai pada arteri radialis lebih kecil dibandingkan dengan denyut nadi yang
kuat. Pulsus alternans antara lain ditemukan pada gagal jantung dan takikardia
paroksismal.
Pulsus bigeminus adalah keadaan di mana terjadi dua denyut nadi
berturut-turut, kemudian disusul oleh pouseyang lebih lama (nadi yang
mendua). Keadaan ini terjadi pada intoksikasi digitalis.
Dicrotic pulse adalah keadaan di mana segera setelah teraba puncak pulsasi
arteri radialis, teraba lagi puncak pulsasi berikutnya. Kondisi ini dapat
ditemukan pada penyakit-penyakit yang disertai demam, terutama pada demam
tifoid.
Tekanan Darah
Pada pemeriksaan tekanan darah, selain teknik pengukuran yang benari hal penting lain
yang harus diketahui adalah lebar manset yang tepat.
Pemilihan lebar manset dapat memengaruhi tekanan darah. Lebar manset saat
mengembang selebar 40%lingkar lengan atas (sekitar 12-14 cm pada orang dewasa).
Panjang manset saat mengembang sepanjang g0% lingkar lengan atas (harus cukup
panjang untuk dapat melingkari lengan).
Pemakaian cuff yang terlalu kecil akan mendapatkan tekanan darah yang lebih
besar dari seharusnya, sebaliknya pemakaian cuff yang terlalu lebar akan mendapatkan
tekanan darah lebih rendah dari seharusnya. Bila lengan terlalu tinggi maka nilai TD
akan lebih rendah 5 mmHg dari seharusnya, sedangkan bila posisi lengan terlalu rendah
maka pembacaan TD akan lebih tinggi 5 mmHg dari seharusnya. Tekanan darah pada
tungkai biasanya bisa mencapai > 20 mmHg lebih tinggi dari pada lengan. pencatatan
tekanan darah tidak menggunakan koma (,), namun nilaiyang didapatkan dibulatkan ke
atas mendekati kelipatan 2 mmHg terdekat.
Pengukuran tekanan darah dilakukan pada kedua lengan, setidaknya sekali. Perbedaan
yang masih dianggap normal adalah tidak lebih dari 10 mmHg. Perbedaan yang masih
dianggap normal adalah tidak lebih dari 10 mmHg. Jika ditemukan hipertensi, harus
diukur juga tekanan darah pada semua ekstremitas.
Tekanan darah pada tungkai bawah diukur dengan manset di bagian distal tungkai
atas dengan stetoskop di arteri poplitea. perabaan arteri femoralis atau arteri dorsalis
pedis biasanya dilakukan terlebih dahulu untukkemungkinan adanya koarktasio aorta
atau tekanan/obstruksi aorta (juga arteri iliaka, arteri femoralis) oleh aneurisma, tumor;
dan trombus. Perhatikan besar pulsasi dan bandingkan pulsasi kiri dan kanan.
Suhu
Suhu tubuh normal yang diukur melalui mulut/oral berkisar antara 36,6 - 37,2°C.
Suhu rektal lebih tinggi dibandingkan suhu oral, sedangkan suhu aksila dan suhu
membran timpani lebih rendah dibandingkan dengan suhu oral.
Hiperpireksia adalah suhu tubuh yang tinggi di atas 41,1°C. Hiperpireksia dapat
disebabkan oleh beberapa hal, antara lain heot sfroke, hipertermia maligna (kelainan
genetik di mana hiperpireksia timbul sebagai respons terhadap obat anestesi [seperti
halotan] atau relaksan otot Imisalnya suksametoniuml) dan kelainan pada hipotalamus.
Hipotermia adalah suhu tubuh yang rendah di bawah 35°C. Penyebab hipotermia
antara lain hipotiroidisme dan pajanan yang lama terhadap suhu dingin.
Nyeri
lntensitas nyeri dapat dikuantifikasi dengan visual onolog scole (VAS) berskala
dari satu sampai dengan sepuluh. Skala nol berarti tidak ada nyeri, skala satu berarti
nyeri ringan sekali sampai dengan skala sepuluh yang berarti nyeri dengan intensitas
tertinggi (Gambar 2.1)
PEMERIKSAAN SPESIFIK (Kepala & Abdomen)
KEPALA
Pemeriksaan kepala dimulai dengan melakukan inspeksi dan palpasi pada seluruh
area kepala (Tabel 3.1). Saat inspeksi dilakukan penilaian terhadap bentuk wajah,
kesimetrisannya, dan warna. Pada pasien miksedema, wajah biasanya membengkak
(tidak melekuk ke dalam pada tekanan jari pemeriksa), bibir dan lidah tampak menebal
dengan kesadaran yang somnolen (Gambar 3.1).
Pada pasien lepra, terdapat infiltrasi jaringan subkutan pada dahi, dagu, dan pipi
dengan hidung yang melebar tapi pesek. Keadaaan ini mirip muka seekor singa, karena
itu disebut pula sebagai facies leonine (Gambar 3.2). Selain itu pada pasien dengan
paresis N.VII biasa ditemukan asimetri bentuk wajah.
Ekspresi wajah juga penting untuk dinilai karena dapat menunjukkan watak dan
emosi, serta rasa nyeri pasien pasien. Pasien tirotoksikosis sering tampak seperti orang
ketakutan akibat eksoftalmus dan gerakan bola mata yang cepat.
Setelah melakukan inspeksi, dilanjutkan dengan palpasi pada wajah. Hal ini
dilakukan terutama untuk menilai apakah terdapat nyeri tekan sinus frontalis dan sinus
maksilaris (Gambar 3.6). Gejala ini salah satunya dapat ditemukan pada pasien sinusitis.
Pemeriksaan sinus frontalis dilakukan dengan cara menekan sinus frontalis ke arah
mediosuperior dengan tenaga optimal dan simetris (besar tekanan sama antara sinus
frontalis kiri dankanan). Palpasi dinilai bermakna apabila kedua sinus frontalis tersebut
memiliki reaksi yang berbeda. Sinus frontalis yang lebih sakit menandakan adanya
gangguan. Hindari menekan foramen supraorbitalis karena terdapat nervus
supraorbitalis yang juga menimbulkan rasa sakit pada penekanan. Pemeriksaan sinus
maksilaris dilakukan dengan prosedur dan penilaian yang sama seperti palpasi region
sinus frontalis. Hindari menekan foramen infraorbitalis karena terdapat nervus
infraorbitalis.
RAMBUT
MATA
Pemeriksaan mata biasanya dengan inspeksi, palpasi, dan juga dengan bantuan
alat-alat seperti pen-right, funduskopi dan peta sneilius chart (Gambar 3.8).1
Pertama-tama dilakukan inspeksi pada aris mata dan dinirai kelebatannya. Hilangnya
sepertiga raterar aris mata kadang-kadang dliumpai pada miksedema. setelah itu
lakukan penilaian apakah terdapat eksoftalmus atau enoftalmus. Eksoftalmus adalah
keadaan di mana bola mata menonjol keluar akibat fisura palpebra yang merebar
ditandai dengan terrihatnya kornea yang tampak seluruh-nya dan dikeriringi skrera.
Har ini dapat dyumpai pada pasien tirotoksikosis, thrombosis sinus kavernosus
(Gambar 3.9 tal).Sebaliknya enoftalmus adalah keadaan di mana bola mata tertarik ke
dalam, misalnya pada keadaan dehidrasi, sindrom Horner.
Keadaan lain yang juga dapat dinilai seperti adanya strabismus (juling) di mana
kedudukan bola mata abnormal cenderung ke medial atau ke lateral, dan deviasi
conjugee. Deviasi conjugee adalah keadaan bola mata yang keduanya selalu melihat ke
satu jurusan dan tidak dapat dilirikkan ke arah yang lain, secara pasif ataupun dengan
kemauan sendiri. Nistagmus adalah gerakan bola mata yang berjalan secara ritmis,
mula-mula dengan lambat bergerak ke satu arah, kemudian dengan cepat kembali ke
arah posisi semula, dihubungkan dengan gangguan vestibular.
Penampang bola mata dan arah pemeriksaan otot penggerak bola mata dapat diliat pada
gambar 3.1 1.
Pemeriksaan tekanan bola mata juga dapat membantu penilaian terhadap penyakit
pasien. Tekanan bola mata yang meningkat dapat ditemukan pada pasien glaukoma
sedangkan tekanan yang menurun dapat ditemukan pada keadaan dehidrasi .
Pemeriksaan tekanan bola mata menggunakan alattonometer Schiotz (Gambar 3.10).
Pemeriksaan gerakan bola mata perlu dilakukan untuk menilai apakah terdapat
gangguan pada otot-otot penggerak bola mata. Pemeriksaan dilakukan dengan cara
pasien duduk tegap, pemeriksa memegang pulpen sebagai objek fiksasi sejajar mata
dengan jarak 25 cm, kemudian menggerakkan pulpen ke beberapa arah. Mata pasien
mengikuti gerakan objek tanpa menggerakkan kepala.2 Pemeriksaan terhadap
bagian-bagian mata seperti:
a. Palpebra
Untuk pemeriksaan konjungtiva terutama perlu dinilai apakah tampak pucat. Hal
ini dapat ditemukan pada pasien yang mengalami anemia. Adanya peradangan ditandai
dengan konjungtiva hiperemis produksi air mata yang meningkat, atau adanya sekret
mukopurulen. Pemeriksaan dilakukan dengan cara meletakkan ibu jari di palpebra
inferior kemudian melakukan gerakan menarik ke arah inferior. Temuan lain yang
dapat dinilai seperti adanya pterigium pinguekula, flikten , dan bercak Bitot.
Pinguekula dalah bercak putih kekuningan, terdiri atas jaringan ikat, berjalan pada
kedua sisi kornea, akibat hiperlipidemia. Bercak bitot adalah bercak segitiga pada
kedua sisi kornea warna pucat keabu-abuan, berisi epitel yang kasar dan kering.
Didapatkan pada avitaminosis A. Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular
di konjungtiva, flikten adalah tonjolan kecil yang diakibatkan oleh reaksi alergi
(Gambar 3.13)
c. Sklera
Pada pemeriksaan sklera, dilakukan dengan membuka mata pasien dengan tangan
lalu dinilai apakah terdapat tanda-tanda ikterik atau tidak. Tanda-tanda ikterik bila
sklera pasien terlihat kekuningan, tampak pada penyakit hati seperti hepatitis. Hal ini
dapat ditemukan terutama pada pasien yang mengalami gangguan metabolisme
bilirubin (Gambar 3.14).
d. Kornea
e. Pupil
Pemeriksaan pupil dilakukan untuk menilai bentuk dan ukurannya. Apabila kedua
pupil memiliki bentuk dan ukuran sama besar, maka disebut isokor. Pupil yang
mengecil (miosis) atau terkadang amat kecil (pinpoint) dapat dijumpai misalnya pada
keadaan intoksikasi morfin. Sebaliknya pupil yang mengalami dilatasi (midriasis)
misalnya ditemukan pada kerusakan N.lll. Pupil anisokor ditemukan pada Horner's
syndrome
Refleks pupil terhadap cahaya diperiksa dengan meminta pasien melihat obyek
yang jauh, kemudian diberi rangsangan cahaya' Pemeriksaan refleks cahaya langsung
dengan cara memberi rangsangan cahaya pada mata dan menilai refleks pupil pada
mata yang diperiksa. Pemeriksaan cahaya tidak langsung dengan cara memberi
rangsangan cahaya pada mata dan menilai refleks pupil pada mata yang tidak diperiksa
(mata sebelahnya). Pada pemeriksaan ini perlu dinilai refleks cahaya langsung pada
mata yang diperiksa dan refleks cahaya tidak langsung pada mata sebelahnya. Hal ini
dapat membantu untuk menentukan apakah terdapat paresis pada N.ll dan N.lll. 1
f. Lensa
Pada pemeriksaan lensa dilihat bagian tengah lensa dan dinilai apakah terdapat
tanda-tanda kekeruhan atau tidak. Hal ini dapat dr.,lumpai pada pasien usia lanjut
akibat katarak, diabetes melitus.
Pemeriksaan mata lainnya yang memerlukan alat bantu seperti:
a. Funduskopi
b. Pemeriksaan visus
c. Tes lshihara
pemeriksaan dilanjutkan dengan menilai liang telinga apakah terdapat sekret, serumen,
atau deskuamasi. Selain itu juga dinilai keutuhan selaput/ gendang telinga.
Pemeriksaan ini memerlukan alat yang dinamakan otoskop untuk membantu pemeriksa
agar dapat melihat bagian lebih dalam darl liang telinga. Jika tidak ada otoskop, dapat
digunakan penlight, namun hanya sampai melihat liang telinga, tidak dapat menilai
gendang telinga (Gambar 3.20)'?
Untuk uji pendengaran dilakukan dengan berbicara keras dan berbisik, dengan
garpu penala, detak arloji, atau audiometer'Normalnya detak jam masih terdengar baik
pada jarak kira-kira L2,5-37,5 cm. Apabila terdapat keluhan gangguan pendengaran
(tuli) pada pasien, perlu dibedakan apakah hal tersebut akibat adanya gangguan
hantaran atau akibat gangguan saraf. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan
garpu tala (uji penala) dengan frekuensi 512 Hz atau 1024 Hz.1
1. Tes Rinne
Tes ini bertujuan untuk mengetahui adanya ketulian akibat gangguan saraf atau
gangguan hantaran suara tulang dengan membandingkan hantaran suara melalui tulang
(Gambar 3.21).
Prosedur: Setelah garpu penala dibunyikan secara ringan, tempatkan alat tersebut
di prosesus mastoideus sampai pasien tidak dapat lagi mendengar suaranya. Kemudian
dengan cepat pindahkan garpu penala tersebut dekat dengan liang telinga pasien.
Pastikan apakah pasien masih dapat mendengarnya atau tidak.2
Dalam keadaan normal dan ketulian akibat gangguan saraf, bunyi melalui udara
terdengar lebih lama dibandingkan melalui tulang (Gambar 3.22).
2. Tes Weber
Tes ini bertujuan untuk mengetahui adanya ketulian akibat gangguan saraf atau
gangguan hantaran tulang dengan prinsip hantaran suara yang ditimbulkan tepat di
tengah-tengah dahi atau ubun kepala akan disalurkan sama kuatnya ke kedua telinga
(lateralisasi) (Gambar 3.23).
Prosedur: Setelah garpu penala dibunyikan secara ringan, tempatkan alat tersebut
pada puncak kepala atau tengah-tengah dahi pasien. Tanyakan apakah pasien dapat
mendengar pada kedua sisi telinganya.
Dalam keadaan normal, suara akan terdengar sama kuat di kedua telinga. Pada ketulian
karena gangguan konduksi, suara akan di-'lateralisasi'-kan (terdengar) di telinga yang
tuli saja. Pada ketulian karena gangguan saraf, suara akan terdengar di telinga yang
sehat.2 Secara garis besar pemeriksaan telinga dapat dilihat pada tabel 3.3
HIDUNG
Pemeriksaan hidung dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi dan menggunakan
bantuan alat. Pertama-tama perlu dinilai bentuk hidung apakah normal atau tidak. Pada
pasien kusta dapat terjadisaddle nose akibat kerusakan tulang hidung. Setelah itu
dilakukan palpasi untuk menilai adanya nyeri tekan atau krepitasi pada tulang
hidung.Untuk pemeriksaan rongga hidung dilakukan dengan menggunakan bantuan
alat (Tabel 3.4.) berupa spekulum hidung untuk menilai pakah terdapat sekret,
perdarahan, penyumbatan, ataupun deviasi septum (Gambar 3.24'1.r,2
MULUT
Pemeriksaan rongga mulut dimulai dengan menilai higienitas oral serta bau napas
pasien. Gambar 3.26 menjelaskan anatomi rongga mulut.Terdapat beberapa macam bau
pernapasan yang mengindikasikan adanya penyakit tertentu seperti bau napas aseton
pada pasien diabetes melitus ketoasidosis atau kelaparan, bau napas amoniak pada
pasien koma uremikum, bau napas gangren pada pasien abses paru, serta foetor hepatik
pada pasien koma hepatik.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara inspeksi dan menggunakan bantuan alat
(spatula lidah), minta pasien untuk mengucapkan "ah" sehingga dapat melihat
orofaring. Lakukan pemeriksaan secara sistematis (Tabel 3.5).1
TENGGOROKAN
ABDOMEN
Pemeriksaan ini dikerjakan dalam 4 tahap, yaitu inspeksi, palpasi, perkusi, dan
auskultasi. Keempat tahap tersebut sama pentingnya untuk dilakukan dengan sekama,
meskipun informasi paling banyakdidapatdengan palpasi dan perkusi.
INSPEKSI
Inspeksi abdomen adalah mengamati abdomen, baik itu abdomen bagian depan
maupun bagian belakang (pinggang). Inspeksi dilakukan dengan penerangan yang
cukup. Informasi yang perlu didapatkan adalah:
- Kelainan kulit
- Kelainan vena
- Kelainan umbilikus
- Striae alba
Dalam situasi normal dinding perut terlihat simetris dalam posisi terlentang.
Adanya tumol abses, atau pelebaran setempat lumen usus membuat bentuk perut tidak
simetris. Pergerakan dinding perut akibat peristaltik dalam keadaan normal atau
fisiologis tidak terlihat. Bila terlihat adanya gerakan peristaltik usus dapat dipastikan
adanya hiperperistaltik dan dilatasi sebagai akibat obstruksi lumen usus baik oleh tumor,
perlengketan, strangulasi maupun hiperperistaltik sementara akibat skibala.
Bentuk dan ukuran abdomen dalam keadaan normal pun bervariasi tergantung atas
habitus, jaringan lemak subkutan atau intraabdomen dan akibat kondisi otot dinding
abdomen. Abdomen seorang atlet dengan berat badan ideal akan terlihat rata atau flat,
kencang, simetris, terlihat kontur otot rektus abdominalis dengan sangat jelas.Pada
keadaan starvasi bentuk dinding abdomen cekung dan tipis, disebut bentuk skopoid.
Dalam situasi ini bisa terlihat gerakan peristaltik usus. Abdomen yang membuncit
dalam keadaan normal dapat terjadi pada pasien yang gemuk, sedangkan situasi
patologis yang menyebabkan abdomen membuncit adalah ileus paralitik, obstruksi
usus, meteorismus, asites, kistoma ovarii, dan atau karena prosesgraviditas.
Tonjolan yang bersifat setempat dapat diartikan sebagai kelainan organ yang di
bawahnya, misalnya tonjolan yang simetris pada regio suprapubis dapat terjadi karena
retensi urin pada hipertrofi prostat pada laki-laki tua atau kehamilan muda pada wanita.
Sedangkan pembesaran uterus juga mengakibatkan penonjolan pada daerah tersebut.
Kelainan Kulit
Perlu diperhatikan sikatriks akibat ulserasi pada kulit, atau akibat operasi atau luka
tusuk. Bekas operasi: apendiktomi, kolesistektomi,laparatomi, sectio sesoreo,
nefrektomi atau herniotomi. Pada tempat insisi operasi sering terdapat hernia insisialis.
Kadang-kadang hernia insisialis begitu besar dan menonjol sampai terlihat peristaltik
usus.
Adanya garis-garis putih sering disebut strioe olbo yang dapat terjadi setelah
kehamilan atau pada pasien yang mulanya gemuk atau bekas asites, dan terdapat juga
pada sindrom Cushing. Pulsasi arteri pada dinding perut terlihat pada pasien aneurisma
aorta atau kadang-kadang pada pasien yang kurus, dan dapat terlihat pulsasi pada
epigastrium pada pasien insufisiensi katup trikuspidalis.
Pelebaran Vena
Pelebaran vena terjadi pada hipertensi portal. Pelebaran di sekitar umbilikus
disebut kaput medusae yang terdapat pada sindrom Banfi.
Pelebaran vena akibat obstruksi vena kava inferior terlihat sebagai pelebaran vena
dari daerah inguinal ke umbilikus, pada obstruksi vena kava superior terjadi pelebaran
di leher dan lengan kanan. Pada keadaan normal, aliran vena dinding perut di atas
umbilikus ke kranial sedang di bawah umbilikus alirannya ke distal. Pada umumnya
mudah sekali menentukan arah aliran vena dinding perut di atas umbilikus ke kranial,
seperti diperlihatkan pada gambar 6.7.
PALPASI
Palpasi dinding perut sangat penting untuk menentukan ada tidaknya kelainan
dalam rongga abdomen. Perlu ditekankan di sini bahwa palpasi merupakan lanjutan
dari anamnesis dan inspeksi. Perlu sekali diperhatikan apakah pasien ada keluhan nyeri
atau rasa tidak enak pada daerah abdomen.
1. Beritahu pasien bahwa dokter akan meraba dan menekan dinding perut.
2. Minta pasien memberitahukan apabila terdapat rasa nyeri akibat penekanan tersebut.
Bila mungkin tanyakan seperti apa nyerinya apakah ringan, sedang, atau berat/nyeri
sekali. Deskripsikan juga seperti apa nyerinya, apakah nyeri seperti dicubit,
ditusukjarum, atau nyeri seperti kena pukul,
3. Perhatikan mimik pasien selama palpasi dilakukan serta perhatikan reaksi dinding
abdomen. Pada pasien yang sensitif (geli) akan timbul ketegangan pada dinding
abdomen dengan mimik pasien menahan tawa,
4. Bila hal ini terjadi palpasi dilakukan dengan halus dan pelan, serta pasien
memperhatikan/memandang ke langit-langit, hindarkan pasien melihat perutnya
sendiri pada waktu dilakukan palpasi, Bila perlu kaki ditekuk sedikit sejak awal
PalPasi,
5. Palpasi dilakukan secara sistematis dan sedapat mungkin seluruh dinding perut
terpalpasi. Sering terjadi daerah tengah dilupakan pada palpasi sehingga aneurisma
atau tumor di daerah tersebut tidak terdeteksi,
6. lngatlah akan lokasi nyeri yang dikeluhkan oleh pasien, sehingga kita akan lebih
hati-hati dalam melakukan palpasi,
7. Palpasi dilakukan dalam 2 tahap yaitu palpasi permukaan (superfisial) dan palpasi
dalam (deep polpotion),
8. Palpasi dapat dilakukan dengan satu tangan, dapat pula dua tangan (bimanuol)
terutama pada pasien gemuk,
9. Biasakanlah palpasi yang seksama meskipun tidak ada keluhan yang bersangkutan
dengan penyakit traktus gastrointestinal,
10 Pasien dala m posisi s up ine fielenta n g denga n ba nta I secu ku pnya, kecua I i bila
pasien sesak napas. Pemeriksa berdiri pada sebelah kanan pasien, kecuali pada dokter
yang kidal (left hondefi.
Palpasi Superfisial
Posisi tangan menempel pada dinding perut. Umumnya penekanan dilakukan oleh
ruas terakhir dan ruas tengah jari-jari, bukan dengan ujung jari. Sistematika palpasi
dilakukan seperti terlihat pada gambar dengan catatan hati-hati pada daerah nyeri yang
dikeluhkan oleh pasien.
Palpasi superfisial tersebut bisa juga disebut palpasi awal untuk orientasi sekaligus
memperkenalkan prosedur palpasi pada pasien. Perhatikan data yang didapat dengan
palpasi superfisial tersebut.
Palpasi Dalam
Palpasi dalam (deep polpotion) dipakai untuk identifikasi kelainan/rasa nyeri yang
tidak didapatkan pada palpasi superfisial dan untuk lebih menegaskan kelainan yang
didapat pada palpasi superfisial dan yang terpenting adalah untuk palpasi organ secara
spesifik misalnya palpasi hati, limpa, ginjal. Palpasi dalam juga penting pada pasien
yang gemuk atau pasien dengan otot dinding yang tebal.
PERKUSI
Perkusi abdomen dilakukan dengan cara tak langsung, sama seperti pada perkusi di
rongga toraks tetapi dengan penekanan yang lebih ringan dan ketokan yang lebih
perlahan.
AUSKULTASI
Urutan pemeriksaan fisis yang lazim adalah inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi, namun pada pemeriksaan fisis abdomen auskultasi sebaiknya dilakukan
lebih dahulu setelah atau bersamaan dengan inspeksi. Hal ini untuk mencegah palpasi
yang berlebihan sehingga memengaruhi hasil auskultasi usus.
1. Suara peristaltik
Suara Peristaltik
Dalam keadaan normal, suara usus akan didengar setiap 10 detik, bahkan suara
peristaltik usus kadang-kadang dapat didengar walaupun tanpa menggunakan stetoskop,
biasanya setelah makan atau dalam keadaan lapar. Jika terdapat obstruksi usus, suara
peristaltik usus akan meningkat (metollic sound) ,lebih lagi pada saat timbul rasa sakit
yang bersifat kolik. Peningkatan suara usus ini disebut borborigmi. Pada keadaan
kelumpuhan usus (paralisis) misalnya pada pasien pasca operasi atau pada keadaan
peritonitis umum, suara ini sangat melemah dan jarang bahkan kadang-kadang
menghilang. Keadaan inijuga bisa terjadi pada obstruksi usus tahap lanjut di mana usus
sangat melebar dan atoni. Dalam keadaan ini kadang-kadang terdengar suara peristaltik
dengan nada yang tinggi.
Suara sistolik atau diastolik atau murmur mungkin dapat didengar pada auskultasi
abdomen. Bruit sistolik dapat didengar pada aneurisma aorta atau pada pembesaran hati
karena hepatoma. Bising vena (venous hum) yang kadang-kadang disertai dengan
terabanya getaran (thritl), dapat didengar di antara umbilikus dan epigastrium. Pada
keadaan fistula arteriovenosa intra-abdominal kadang-kadang dapat didengar suara
murmur
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
2. USG
3. Rontgen
4. Pap Smear
5. Endoskopi
6. Colonoskopi
7. CT Scan
8. Mamografi
9. Elektroensefalogi (EEG)
10. Elektrokardiografi (EKG)
1. Hemaglobin
Hemoglobin adalah metalprotein pengangkut oksigen yang mengandung besi
dalam sel merah dalam darah mamalia dan hewan lainnya. Molekul hemoglobin
terdiri dari globin, apoprotein dan empat gugus heme, suatu molekul organik dengan
satu atom besi. Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi. Memiliki afinitas
(daya gabung) terhadap oksigen dan dengan oksigen itu membentuk oxihemoglobin di
dalam sel darah merah. Dengan melalui fungsi ini maka oksigen dibawa dari paru-paru
ke jaringan-jaringan.
Diantara metode yang paling sering digunakan di laboratorium dan yang paling
sederhana adalah metode sahli, dan yang lebih canggih adalah
metodecyanmethemoglobin.
1. Pra-analitik
a. PersiapanAlat dan Bahan
Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah spoit 3 cc,
kapas alcohol, pipet leukosit, kamar hitung Improved Neubauer, deck
glass, objek glass, pipet tetes, mikroskop, bak pewarnaan sedangkan
bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Larutan EDTA
10%, larutan turk, larutan giemsa, methanol absolut, minyak imersi,
dan aquades.
2. Analitik
a. Hitung Jumlah Leukosit Metode Manual
1) Pengisian pipet thomaleukosit
Diisap darah sampai garistanda 0,5 tepat, dihapus kelebihan darah
yang melekat pada ujung pipet. Dimasukkan ujung pipet didalam
larutan turk sambil menahan darah pada garis tanda tadi. Pipet
dipegang dengan sudut 450 dan larutan turk diisap perlahan-lahan
sampai garis tanda 11. Mengangkat pipet dari cairan, ditutup ujung
pipet dengan ujung jari lalu melepaskan karet pengisap. Mengocok
pipet selama 1530 detik.
Analisis data
Nilai Normal :
CARA PEMERIKSAAN
Anda bisa melihat prosedur tes laju endap darah dengan menggunakan
metode Westergren di bawah ini:
5. Tes Widal
Uji Widal adalah suatu pemeriksaan laboratorium guna mendeteksi ada
atau tidaknya antibodi penderita tersangka terhadap antigen Salmonella
typhi yaitu antibodi terhadap antigen O (dari tubuh kuman), antigen H
(flagel kuman), dan antigen Vi (kapsul kuman). Dari ketiga antibodi, hanya
antibodi terhadap antigen H dan O yang mempunyai nilai diagnostik demam
tifoid.
Metode
a. Penentuan Kualitatif
1. Memipet 20 µl serum diletakkan diatas obyek glas.
2. Menambahkan satu tetes antigen pada masing-masing serum tadi, aduk
dengan stik pengaduk.
3. Mencampur dengan menggoyang-goyangkan secara melingkar selama 1
menit. 4. Mengamati hasil reaksi yang terjadi dengan menggunakan
mikroskop.
5. Hasil positif apabila terjadi aglutinasi sebelum 1 menit.
b. Penentuan Semi kuantitatif
1. Memipet masing-masing 0,08 ml; 0,04 ml; 0.02 ml; 0,01 ml; dan 0,005
ml serum yang tidak diencerkan pada kaca benda.
2. Menambahkan masing-masing serum dengan 1 tetes suspensi antigen,
lalu aduk selama 1 menit dan amati hasilnya.
3. Menentukan hasil akhir titernya.
Interpretasi Hasil
Hasil pemeriksaan test widal dianggap positif mempunyai arti klinis sebagai
berikut
a. Titer antigen O sampai 1/80 pada awal penyakit berarti suspek demam tifoid,
kecuali pasien yang telah mendapat vaksinasi.
b. Titer antigen O diatas 1/160 berarti indikasi kuat terhadap demam tifoid.
c. Titer antigen H sampai 1/40 berarti suspek terhadap demam tifoid kecuali
pada pasien yang divaksinasi jauh lebih tinggi.
d. Titer antigen H diatas 1/80 memberi indikasi adanya demam tifoid.
6. Tes Tubex
Uji tubex merupakan uji aglutinasi kompetitif semi kuantitatif
kolometrik yang. pada intinya mendeteksi adanya antibodi anti-S typhi O9
pada serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9
yang terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan
lipopolisakarida.
Metode
Menggunakan 3 komponen meliputi:
1) tabung berbentuk V
2) reagen A
3) reagen B.
Konsep pemeriksaan ini adalah jika serum tidak mengandung antibodi terhadap
O9, reagen B ini bereaksi dengan reagen A. Ketika diletakkan pada daerah
mengandung medan magnet (magnet rak), komponen magnet yang dikandung
reagen A akan tertarik pada magnet rak, dengan membawa serta pewarna yang
dikandung oleh reagen B sehingga terlihat warna merah pada tabung yang
sesungguhnya merupakan gambaran serum yang lisis. Sebaliknya, jika serum
mengandung antibodi terhadap O9, antibodi pasien akan berikatan dengan
reagen A menyebabkan reagen B tidak tertarik pada magnet rak sehingga
memberikan warna biru pada larutan.
Demam
1. Pengertian demam
Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal sehari –hari
yang berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu di hipotalamus (Dinarello &
Gelfand, 2005). Suhu tubuh normal berkisar antara 36,5 - 37,2°C. Derajat suhu yang
dapat dikatakan demam adalah rectal temperature ≥38,0°C atau oral temperature
≥37,5°C atau axillary temperature ≥37,2°C (Kaneshiro & Zieve, 2010).Istilah lain yang
berhubungan dengan demam adalah hiperpireksia. Hiperpireksia adalah suatu keadaan
demam dengan suhu >41,5°C yang dapat terjadi pada pasien dengan infeksi yang
parah tetapi paling sering terjadi pada pasien dengan perdarahan sistem saraf pusat
(Dinarello & Gelfand, 2005).
2. Etiologi demam
Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non infeksi.
Demam akibat infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, ataupun
parasit. Infeksi bakteri yang pada umumnya menimbulkan demam pada anak-anak
antara lain pneumonia, bronkitis, appendisitis, tuberculosis, bakteremia, sepsis, dan
lain-lain (Graneto, 2010). Infeksi virus yang pada umumnya menimbulkan demam
antara lain viral pneumonia, influenza, demam berdarah dengue, demam chikungunya,
dan virus-virus umum seperti H1N1 (Davis, 2011). Infeksi jamur yang pada umumnya
menimbulkan demam antara lain coccidioides imitis, criptococcosis, dan lain-lain
(Davis,2011). Infeksi parasit yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain
malaria, toksoplasmosis, dan helmintiasis (Jenson & Baltimore, 2007).
Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain
faktor lingkungan (suhu lingkungan yang eksternal yang terlalu tinggi, keadaan tumbuh
gigi, dll), penyakit autoimun (arthritis, systemic lupus
erythematosus, vaskulitis, dll), keganasan (Penyakit Hodgkin, Limfoma non-hodgkin,
leukemia, dll), dan pemakaian obat-obatan (antibiotik, difenilhid
antoin, dan antihistamin) (Kaneshiro & Zieve, 2010). Selain itu anak-
anak juga dapat mengalami demam sebagai akibat efek samping dari pemberian
imunisasi selama ±1-10 hari (Graneto, 2010). Hal lain yang juga berperan sebagai
faktor non infeksi penyebab demam adalah gangguan sistem saraf pusat seperti
perdarahan otak, status epileptikus, koma, cedera hipotalamus, atau gangguan lainnya
(Nelwan, 2009).
Adapun kisaran nilai normal suhu tubuh adalah:
Demam hektik Pada demam ini, suhu badan berangsur naik ke tingkat
yang tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke
tingkat yang normal pada pagi hari.
Demam remiten Pada demam ini, suhu badan dapat turun setiap hari tetapi
tidak pernah mencapai suhu normal
Demam intermiten Pada demam ini, suhu badan turun ke tingkat yang
normal selama beberapa jam dalam satu hari.
Demam kontinyu Pada demam ini, terdapat variasi suhu sepa njang hari
yang tidak berbeda lebih dari satu derajat.
Demam Siklik Pada demam ini, kenaikan suhu badan selama beberapa
hari yang diikuti oleh periode bebas demam untuk
beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenatikan suhu
seperti semula.
4. Mekanisme demam
Demam terjadi karena adanya suatu zat yang dikenal dengan nama
pirogen. Pirogen adalah zat yang dapat menyebabkan demam. Pirogen terbagi
dua yaitu pirogen eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar tubuh pasien.
Contoh dari pirogen eksogen adalah produk mikroorganisme seperti toksin atau
mikroorganisme seutuhnya. Salah satu pirogen eksogen klasik adalah
endotoksin lipopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri gram negatif. Jenis
lain dari pirogen adalah pirogen endogen yang merupakan pirogen yang berasal
dari dalam tubuh pasien. Contoh dari pirogen endogen antara lain IL-1, IL-6,
TNF-α, dan IFN. Sumber dari pirogen endogen ini pada umumnya adalah
monosit, neutrofil, dan limfosit walaupun sel lain juga dapat mengeluarkan
pirogen endogen jika terstimulasi (Dinarello& Gelfand, 2005).
Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah put ih
(monosit, limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin,
mediator inflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel darah putih tersebut akan
mengeluarkan zat kimia yang dikenal dengan pirogen endogen (IL-1, IL-6,
TNF- α, dan IFN). Pirogen eksogen dan pirogen endogen akan merangsang
endotelium hipotalamus untuk membentuk prostaglandin (Dinarello & Gelfand,
2005). Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan meningkatkan patokan
termostat di pusat termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus akan menganggap
suhu sekarang lebih rendah dari suhu patokan yang baru sehingga ini memicu
mekanisme-mekanisme untuk meningkatkan panas antara lain menggigil,
vasokonstriksi kulit dan mekanisme volunter seperti memakai selimut.
Sehingga akan terjadi peningkatan produksi panas dan penurunan pengurangan
panas yang pada akhirnya akan menyebabkan suhu tubuh naik ke patokan yang
baru tersebut (Sherwood, 2001).
Demam memiliki tiga fase yaitu: fase kedinginan, fase demam, dan fase
kemerahan. Fase pertama yaitu fase kedinginan merupakan fase peningkatan
suhu tubuh yang ditandai dengan vasokonstriksi pembuluh darah dan
peningkatan aktivitas otot yang berusaha untuk memproduksi panas sehingga
tubuh akan merasa kedinginan dan menggigil. Fase kedua yaitu fase demam
merupakan fase keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas di
titik patokan suhu yang sudah meningkat. Fase ketiga yaitu fase kemerahan
merupakan fase penurunan suhu yang ditandai dengan vasodilatasi pembuluh
darah dan berkeringat yang berusaha untuk menghilangkan panas sehingga
tubuh akan berwarna kemerahan (Dalal& Zhuko vsky, 2006).
DEMAM TIPHOID
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhi namun dapat pula disebabkan oleh S. paratyphi A, S. paratyphi B
(Schottmuelleri), S. paratyphi C (Hirscheldii). Penularan demam tifoid melalui fecal
dan oral yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi (Widoyono, 2011). Penularan demam tifoid selain didapatkan dari
menelan makanan atau minuman yang terkontaminasi dapat juga dengan kontak
langsung jari tangan yang terkontaminasi tinja, urin, secret saluran nafas atau dengan
pus penderita yang terinfeksi (Dian, 2007).
a. Mengapa demam berangsur-angsur tinggi terutama pada sore dan malam hari?
1, 2
b. Mengapa demam tidak disertai menggigil dan berkeringat? 1,2
c. Bagaimana hubungan tempat tinggal Nn. A dengan keluhan? 2
d. Apa saja tipe-tipe demam? 1
Apa jenis demam pada skenario dan bagaimana mekanismenya? 1,2
a. Mengapa demam tidak turun meskipun sudah diberi obat penurun panas? 1,2
Demamnya tidak turun walaupun diksih obat karena dia hanya minum obat
antipiretik bukan antibiotik , sehingga walaupun dia sudah minum obat
bakterinya blm mati dan tetep ada di darah
b. Bagaimana mekanisme bibir kering dan pecah-pecah? 2
bibir kering dan pecah-pecah : dikarenakan oleh demam yang terlalu lama dan
tidak pernah turun --> air dalam tubuh berkurang --> bibir kering dan
pecah-pecah
c. Bagaimana mekanisme mual dan tidak napsu makan? 2
d. Bagaimana mekanisme konstipasi? 2
e. Bagaimana korelasi antara keluhan utama dengan keluhan tambahan?
f. Mengapa Nn. A tidak mengeluh batuk, mimisan, gusi berdarah, bintik merah
dikulit, sakit tenggorokan, nyeri buang air kecil? 2
karena keluhan keluhan tersebut merupakan gejala dari malaria
a. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik? (jelaskan mekanisme kalau
tidak normal) 3
b. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan penunjang? (jelaskan mekanisme
kalau tidak normal) 4
c. Bagaimana respon imun tubuh terhadap Salmonella typhi? (mekanisme dan
akhir masa sehat) 5
d. Bagaimana mekanisme tremor pada lidah, berselaput putih kekuningan, kotor
ditengah, tepi, dan ujung merah? 3
e. Bagaimana cara pemeriksaan widal? 4
II. Penentuan Kualitatif
1. Memipet 20 µl serum diletakkan diatas obyek glas.
2. Menambahkan satu tetes antigen pada masing-masing serum tadi, aduk
dengan stik pengaduk.
3. Mencampur dengan menggoyang-goyangkan secara melingkar selama 1
menit. 4. Mengamati hasil reaksi yang terjadi dengan menggunakan
mikroskop.
5. Hasil positif apabila terjadi aglutinasi sebelum 1 menit.
III. Penentuan Semi kuantitatif
1. Memipet masing-masing 0,08 ml; 0,04 ml; 0.02 ml; 0,01 ml; dan 0,005
ml serum yang tidak diencerkan pada kaca benda.
2. Menambahkan masing-masing serum dengan 1 tetes suspensi antigen,
lalu aduk selama 1 menit dan amati hasilnya.
3. Menentukan hasil akhir titernya.
b. Dimana letak kuadran kanan bawah dan apa saja organ yang terletak pada regio
tersebut? 3
c. Bagaimana mekanisme abdomen terasa datar, lemas dan nyeri khususnya pada
regio kuadran kanan bawah? 3
Pemeriksaan ini dikerjakan dalam 4 tahap, yaitu inspeksi, palpasi, perkusi, dan
auskultasi.
INSPEKSI
Inspeksi abdomen adalah mengamati abdomen, baik itu abdomen bagian depan
maupun bagian belakang (pinggang).
- Kelainan kulit- Kelainan vena- Kelainan umbilicus- Striae alba- Bekas operasi:
apendiktomi, kolesistektomi, laparatomi, sectiosesarea, nefrektomi. Pergerakan
dinding abdomen
Simetris
Dalam situasi normal dinding perut terlihat simetris dalam posisi terlentang.
Adanya tumol abses, atau pelebaran setempat lumen usus membuat bentuk perut tidak
simetris.
Bentuk dan ukuran abdomen dalam keadaan normal pun bervariasi tergantung atas
habitus, jaringan lemak subkutan atau intraabdomen dan akibat kondisi otot dinding
abdomen..
Kelainan Kulit
Perlu diperhatikan sikatriks akibat ulserasi pada kulit, atau akibat operasi atau luka
tusuk. Bekas operasi: apendiktomi, kolesistektomi,laparatomi, sectio sesoreo,
nefrektomi atau herniotomi. Pada tempat insisi operasi sering terdapat hernia insisialis.
Kadang-kadang hernia insisialis begitu besar dan menonjol sampai terlihat peristaltik
usus.
Pelebaran Vena
PALPASI
Palpasi dinding perut sangat penting untuk menentukan ada tidaknya kelainan
dalam rongga abdomen. Perlu ditekankan di sini bahwa palpasi merupakan lanjutan
dari anamnesis dan inspeksi. Perlu sekali diperhatikan apakah pasien ada keluhan nyeri
atau rasa tidak enak pada daerah abdomen.
Palpasi Superfisial
Posisi tangan menempel pada dinding perut. Umumnya penekanan dilakukan oleh
ruas terakhir dan ruas tengah jari-jari, bukan dengan ujung jari. Sistematika palpasi
dilakukan seperti terlihat pada gambar dengan catatan hati-hati pada daerah nyeri yang
dikeluhkan oleh pasien.
Palpasi superfisial tersebut bisa juga disebut palpasi awal untuk orientasi sekaligus
memperkenalkan prosedur palpasi pada pasien. Perhatikan data yang didapat dengan
palpasi superfisial tersebut.
Palpasi Dalam
Palpasi dalam (deep polpotion) dipakai untuk identifikasi kelainan/rasa nyeri yang
tidak didapatkan pada palpasi superfisial dan untuk lebih menegaskan kelainan yang
didapat pada palpasi superfisial dan yang terpenting adalah untuk palpasi organ secara
spesifik misalnya palpasi hati, limpa, ginjal. Palpasi dalam juga penting pada pasien
yang gemuk atau pasien dengan otot dinding yang tebal.
PERKUSI
Perkusi abdomen dilakukan dengan cara tak langsung, sama seperti pada perkusi di
rongga toraks tetapi dengan penekanan yang lebih ringan dan ketokan yang lebih
perlahan.
AUSKULTASI
Urutan pemeriksaan fisis yang lazim adalah inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi, namun pada pemeriksaan fisis abdomen auskultasi sebaiknya dilakukan
lebih dahulu setelah atau bersamaan dengan inspeksi. Hal ini untuk mencegah palpasi
yang berlebihan sehingga memengaruhi hasil auskultasi usus.
1. Suara peristaltik
DAFTAR PUSTAKA
Bates B, Bickley LS, Hoekelman RA. A guide to physical examination and history
taking. Edisi keenam. Philadelphia: JB Lippincott; 1995.h. 331-60.
Burton NL, Birdi K. Clinical Skills for OSCEs 2nd Ed. United Kingdom: lnforma
Healthcare; 2006.
Dorman I O'Neill P Core Clinical Skills for OSCEs in Medicine. 2md Ed. USA:
Churchill Livingstone. Elsevier; 2006.
Gonzales TS. Physical Examination of The Head and Neck. Hawaii: Tripler Army
Medical Center.
Lumley JSP Bouloux PMG. Clinical examination of the patient. Edisi pertama. London:
Butterworsh; 1 994.h. 1 1 0-39.
Markum HMS. Penuntun Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis. Jakarta: Pusat Penerbit
llmu Penyakit Dalam FKUI;2005.