Anda di halaman 1dari 19

A.

SABUN
1. Pengertian Sabun
Pengertian Sabun Sabun adalah garam natrium dan kalium dari asam lemak yang
berasal dari minyak nabati atau lemak hewani. Sabun yang digunakan sebagai pembersih
dapat berwujud padat (keras), lunak dan cair. Dewan Standarisasi Nasional menyatakan
bahwa sabun adalah bahan yang digunakan untuk tujuan mencuci dan mengemulsi, terdiri
dari asam lemak dengan rantai karbon C12-C18 dan sodium atau potassium (Shinta, M.
2016)
Suatu molekul sabun mengandung suatu rantai hidrokarbon panjang plus ion.
Bagian hidrokarbon dari molekul itu bersifat hidrofobik dan larut dalam zatzat non polar.
Sedangkan ujung ion bersifat hidrofilik dan larut dalam air. Karena adanya rantai
hidrokarbon, sebuah molekul sabun secara keseluruhan tidaklah benar-benar larut dalam
air. Namun sabun mudah tersuspensi dalam air karena membentuk misel (micelles),
yakni segerombol (50 - 150) molekul yang rantai hidrokarbonnya mengelompok dengan
ujung- ujung ionnya yang menghadap ke air. (Shinta, M. 2016)
Sabun merupakan hasil dari proses saponifikasi. Saponifikasi adalah proses
penyabunan yang mereaksikan suatu lemak atau gliserida dengan basa. Berdasarkan
bentuknya, sabun dibagi menjadi dua jenis, yaitu sabun bentuk padat dan bentuk cair.
Sabun mandi cair memiliki kelebihan apabila dibandingkan dengan sabun mandi bentuk
lainnya, karena mudah digunakan dan disimpan, tidak mudah rusak dan kotor. Semua
jenis sabun menggunakan bahan dasar yang sama, yaitu minyak atau trigliserida.
Pembuatan sabun mandi cair membutuhkan berbagai macam minyak ataupun lemak
sebagai bahan baku utama. Jenis minyak yang digunakan akan mempengaruhi sifat sabun
itu sendiri baik dalam tingkat jumlah busa dan pengaruh terhadap kulit. Bahan baku
minyak pada pembuatan sabun mandi cair yang digunakan pada penelitian ini adalah
minyak kelapa murni (VCO) dan minyak jarak (Castor Oil). Bahan baku tersebut dipilih
karena memiliki beberapa keunggulan untuk dijadikan sabun mandi cair (Asri
Widyasanti,2017)

2. Sifat Sabun
Sifat-sifat sabun dapat dijelaskan sebagai berikut (Shinta, M. 2016) :
1) Sabun adalah garam alkali dari asam lemak suhu tinggi sehingga akan dihidrolisis
parsial oleh air. Karena itu larutan sabun dalam air bersifat basa.
CH3(CH2)16COONa + H2O → CH3(CH2)16COOH + OH- ... (1)
2) Jika larutan sabun dalam air diaduk, maka akan menghasilkan buih, peristiwa ini
tidak akan terjadi pada air sadah. Dalam hal ini sabun dapat menghasilkan buih
setelah garam-garam Mg atau Ca dalam air mengendap. CH3(CH2)16COONa
+ CaSO4 → Na2SO4 + Ca(CH3(CH2)16COO)2 .. (2)
3) Sabun mempunyai sifat membersihkan. Sifat ini disebabkan proses kimia koloid,
sabun (garam natrium dari asam lemak) digunakan untuk mencuci kotoran yang
bersifat polar maupun nonpolar karena sabun mempunyai gugus polar dan
nonpolar. Molekul sabun mempunyai rantai hidrogen CH3(CH2)16 yang bersifat
hidrofobik (tidak suka air) sedangkan COONa+ bersifat hidrofobik (suka air) dan
larut dalam air. Nonpolar : CH3(CH2)16 (larut dalam minyak, hidrofobik dan
juga memisahkan kotoran nonpolar) Polar : COONa+ (larut dalam air, hidrofobik
dan juga memisahkan kotoran polar)
4) Proses penghilangan kotoran
a. Sabun didalam air menghasilkan busa yang akan menurunkan tegangan
permukaan sehingga kain menjadi bersih dan air meresap lebih cepat ke
permukaan kain.
b. Molekul sabun yang bersifat hidrofobik akan mengelilingi kotoran dan
mengikat molekul kotoran. Proses ini disebut emulsifikasi karena antara
molekul kotoran dan molekul sabun membentuk suatu emulsi.
c. Sedangkan bagian molekul sabun yang bersifat hidrofibik berada didalam air
pada saat pembilasan menarik molekul kotoran keluar dari kain sehingga kain
menjadi bersih.
3. Kegunaan Sabun
Sabun berkemampuan untuk mengemulsi kotoran berminyak sehingga dapat
dibuang dengan pembilasan. Kemampuan ini disebabkan oleh dua sifat sabun (Shinta, M.
2016):
a. Rantai hidrokarbon sebuah molekul sabun bersifat nonpolar sehingga larut dalam
zat non polar, seperti tetesan-tetesan minyak.
b. Ujung anion molekul sabun, yang tertarik dari air, ditolak oleh ujung anion
molekul-molekul sabun yang menyembul dari tetesan minyak lain. Karena tolak
menolak antara tetes sabun-minyak, maka minyak itu tidak dapat saling
bergabung tetapi tersuspensi
B. JAMU

Jamu adalah obat tradisional berbahan alami warisan budaya yang telah diwariskan
secara turun-temurun dari generasi ke generasi untuk kesehatan.Pengertian jamu dalam
Permenkes No. 003/Menkes/Per/I/2010 adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan serian (generik), atau campuran dari bahan
tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan
pengalaman dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat
(Biofarmaka IPB, 2013).

Sebagian besar masyarakat mengkonsumsi jamu karena percaya memberikan manfaat


yang cukup besar terhadap kesehatan baik untuk pencegahan dan pengobatan terhadap suatu
penyakit maupun dalam hal menjaga kebugaran dan kecantikan dan meningkatkan stamina
tubuh. Sampai saat ini keberadaan jamu terus berkembang. Hal ini terlihat pada permintaan
terhadap jamu yang terus mengalami peningkatan (Biofarmaka IPB, 2013).

Badan Pengawasan Obat dan Makanan (2004) mengelompokkan obat herbal menjadi
tiga bentuk sediaan yaitu sediaan jamu, sediaan herbal terstandar dan sediaan fitofarmaka.
Persyaratan ketiga sediaan berbeda yaitu untuk jamu pemakaiannya secara empirik
berdasarkan pengalaman, sediaan herbal tersandar bahan bakunya harus distandarisasi dan
sudah diuji farmakologi secara eksperimen, sedangkan sediaan fitofarmaka sama dengan obat
modern, bahkan harus distandarisasi dan harus melalui uji klinik (Badan POM, 2004).

Dalam pemasarannya jamu disajikan dalam bermacam-macam jenis, diantaranya jamu


gendong, jamu godokan, serbuk seduhan, pil dan cairan. Satu jenis jamu disusun dari berbagai
tanaman obat yang jumlahnya antara 5 sampai 10 macam, bahkan bisa lebih. Jamu tidak
memerlukan pembuktian ilmiah sampai uji klinis, tetapi cukup dengan bukti empiris, jamu
juga harus memenuhi persyaratan keamanan dan standar mutu.
Jamu gendong adalah jamu dalam bentuk cair yang dijual penjajah dalam botol yang
diletakkan dalam keranjang yang digendong di punggung belakang menggunakan kain, dan
jamu ini dijual dari rumah ke rumah. Jamu gendong dikemas dalam botol dalam bentuk cair
yang tidak diawetkan dan diedarkan tanpa penandaan. Hal ini memungkinkan jamu gendong
dapat diproduksi oleh siapa saja yang menghendakinya. Pengolahannya dilakukan dengan
cara merebus seluruh bahan atau dengan mengambil sari yang terkandung dalam bahan baku,
kemudian mencampurkannya dengan air matang. Jamu gendong dibuat dalam skala industri
rumah tangga yang menggunakan peralatan sederhana dan memanfaatkan tenaga manusia
pada pengolahannya. Hal ini memungkinkan kurangnya kebersihan selama proses pembuatan
sehingga diduga dapat menyebabkan tercemarnya jamu gendong yang diproduksi

C. Skiring Fitokimia

Fitokimia merupakan ilmu pengetahuan yang menguraikan aspek kimia suatu tanaman.
Kajian fitokimia meliputi uraian yang mencangkup aneka ragam senyawa organik yang
dibentuk dan disimpan oleh organisme, yaitu struktur kimianya, biosintesisnya, perubahan
serta metabolismenya, penyebarannya secara alamiah dan fungsi biologisnya, isolasi dan
perbandingan komposisi senyawa kimia dari bermacam-macam jenis tanaman (Harborne,
1987; Sirait, 2007). Analisis fitokimia dilakukan untuk menentukan ciri komponen bioaktif
suatu ekstrak kasar yang mempunyai efek racun atau efek farmakologis lain yang bermanfaat
bila diujikan dengan sistem biologi atau bioassay (Ishak, 2018).

Pendekatan fitokimia meliputi analisis kualitatif kandungan kimia dalam tumbuhan atau
bagian tumbuhan (akar, batang, daun, bunga, buah dll). Terutama kandungan metabolit
sekunder yang bioaktif yaitu alkaloida, antrakuinon, flavonoida, glikosida jnatung, saponin
(steroid dan hiterpenoid), tannin (polifenolat), minyak atsiri (terpenoid) iridoid dan
sebagainya. Dengan tujuan pendekatan skring fitokimia dalam untuk mensurvei tumbuhan
untuk mendapatkan kandungan bioaktif atau kandungan yang berguna untuk pengobatan
(Susilowati, Tri, 2015).

Adapun metode yang digunakan atau dipilih untuk melakukan skrining fitokimia harus
memenuhi beberapa persyaratan antara lain :

1. Sederhana
2. Cepat
3. Dapat dilakukan dengan peralatan minimal
4. Selektif terhadap golongan senyawa yang dipelajari
5. Bersifat semi kuantitatif yaitu memiliki batas kepekaan untuk senyawa yang dipelajari.
6. Dapat memberikan keterangan tambahan ada/tidaknya senyawa dari golongan yang
dipelajari.

Pemanfaatan prosedur fitokimia telah mempunyai peranan yang mapan dalam semua
cabang ilmu tumbuhan. Meskipun cara ini penting dalam semua telaah kimia dan biokimia juga
telah dimanfaatkan dalam kajian biologis.

Beberapa komponen kimia yang terdapat pada tanaman yang berkhasiat sebagai obat
diantaranya:

1. Alkaloid
Alkaloid adalah suatu golongan senyawa organik yang terbanyak ditemukan di alam.
Alkaloid mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan sebagai bagian
dari sistem seklik. Alkaloid umumnya tidak berwarna, seringkali bersifat optis aktif, dan
umumnya berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan pada suhu kamar,
misalnya nikotin (Harborne, 2006). Alkaloid dalam bentuk garam mudah larut dalam air.
Sedangkan dalam bentuk bebas atau basanya mudah larut dalam pelarut organik. Karena
sifatnya yang mudah membentuk garam dengan asam klorida atau asam sulfat maka alkaloid
dapat ditarik menggunakan pelarut asam klorida encer atau asam sulfat encer. Kemudian
dibasakan dengan natrium hidroksida atau kalsium laktat (Sirait, 2007).
Gambar 1. Struktur Alkaloid

Beberapa pendapat mengenai kemungkinan perannya dalam tumbuhan sebagai berikut


(khotimah, 2016) :
a. Alkaloid berfungsi sebagai hasil buangan nitrogen seperti urea dan asam urat dalam hewan
(salah satu pendapat yang dikemukan pertama kali, sekarang tidak dianut lagi) (khotimah,
2016).
b. Beberapa alkaloid mungkin bertindak sebagai tandon penyimpanan nitrogen meskipun
banyak alkaloid ditimbun dan tidak mengalami metabolisme lebih lanjut meskipun sangat
kekurangan nitrogen. Suatu cara mengklasifikasi alkaloid adalah didasarkan pada jenis
cincin heterosiklik nitrogen yang terikat. Menurut klasifikasi ini alkaloid dibedakan
menjadi :
 pirolidin
 piperidin
 isoquinolin
 quinolin
 indol
 koniina
 nikotin
 berberina
Uji alkaloid dilakukan dengan cara melarutkan ekstrak uji sebanyak 2 mL diuaplam
dalam cawan porselin hingga dapat residu. Residu kemudian dilarutkan dengan 5 mL HCl 2N.
Larutan yang didapat kemudian dibagi ke dalam 3 tabung reaksi. Tabung pertama
ditambahkan dengan HCl 2N yang berfungsi sebagai blanko. Tabung kedua ditambahkan
perekasi Dreagendroff sebanyak 3 tetes dan tabung ketiga ditambahkan pereaksi Mayer
sebanyak 3 tetes. Terbentuk endapan jingga pada tabung kedua dan endapan putih hingga
kekuningan pada tabung ketiga menunjukkan adanya alkaloid (Khotimah, 2016).

2. Flavonoid
Flavonoid merupakan kelompok fenol dengan sebuah cincin aromatik dan satu atau
lebih gugus hidroksil yang tersebar di alam. Senyawa fenol cenderung larut dalam air karena
paling sering dijumpai bergabung dengan gula (glikosida) dan biasanya terdapat dalam rongga
sel. Kurang lebih dua ribu jenis golongan flavonoid tersebar di alam (Goldberg, 1996).
Flavonoid merupakan kelompok molekul organik yang tersebar di hampir seluruh bagian
tanaman. Hampir semua bagian tanaman yaitu daun, akar, kayu, tepung sari, nektar, bunga,
buah dan biji dapat mengandung flav9onoid (Markham, 1988). Penyebaran jenis flavonoid
terbesar terdapat pada angiospermae (tumbuhan berbiji tertutup). Flavonoid mempunyai
potensi sebagai antioksidan (Nurung, 2016).
Flavonoid merupakan senyawa polifenol sehingga bersifat kimia senyawa fenol yaitu
agak asam dan dapat larut dalam basa, dan karena merupakan senyawa polihidroksi (gugus
hidroksil) maka juga bersifat polar sehingga dapat larut dalan pelarut polar seperti metanol,
etanol, aseton, air, butanol, dimetil sulfoksida, dimetil formamida. Disamping itu dengan
adanya gugus glikosida yang terikat pada gugus flavonoid sehingga cenderung menyebabkan
flavonoid mudah larut dalam air. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu,
biru, dan sebagai zat berwarna kuning yang ditemukan dalam tumbuh-
tumbuhan.Perkembangan pengetahuan menunjukkan bahwa flavonoid termasuk salah satu
kelompok senyawa aromatik yang termasuk polifenol dan mengandung antioksidan (Nurung,
2016).
Flavonoid juga memiliki beberapa sifat seperti hepatoprotektif, antitrombotik,
antiinflamasi, dan antivirus. Sifat antiradikal flavonoid terutama terhadap radikal hidroksil,
anionsuperoksida, radikal peroksil, dan alkoksil. Senyawa flavonoid ini memiliki afinitas
yang sangat kuat terhadap ion Fe (Fe diketahui dapat mengkatalisis beberapa proses yang
menyebabkan terbentuknya radikal bebas). Aktivitas antiperoksidatif flavonoid ditunjukkan
melalui potensinya sebagai pengkelat (Nurung, 2016).
Gambar 2. Struktur Flavonoid

Flavonoid merupakan golongan fenol terbesar yang senyawa yang terdiri dari C6-C3-C6
dan sering ditemukan diberbagai macam tumbuhan dalam bentuk glikosida atau gugusan gula
bersenyawa pada satu atau lebih grup hidroksil fenolik. Flavonoid merupakan golongan
metabolit sekunder yang disintesis dari asam piruvat melalui metabolisme asam amino.
Flavonoid adalah senyawa fenol, sehingga warnanya berubah bila ditambah basa atau
amoniak. Terdapat sekitar 10 jenis flavonoid yaitu antosianin, proantosianidin, flavonol,
flavon, glikoflavon, biflavonil, khalkon, auron, flavanon, dan isoflavon.Pemeriksaan golongan
flavonoid dapat dilakukan dengan uji warna yaitu fitokimia untuk menentukan keberadaan
senyawa golongan flavonoid dan uji adanya senyawa polifenol (Setyowati, Ariani, Ashadi,
Putri, & Mulyani, 2014). Uji keberadaan senyawa flavonoid dari dalam sampel digunakan uji
Wilstatter, uji Bate-Smith, dan uji dengan NaOH 10%. Sedangkan uji adanya senyawa
polifenol dilakukan dengan larutan penambahan FeCl3 adapun uji tersebut secara lengkap
sebagai berikut. Berikut penjelasan beberapa cara yang biasa ditempuh dalam skrining
fitokimia. Pemeriksaan golongan flavonoid dapat dilakukan dengan uji warna yaitu fitokimia
untuk menentukan keberadaan senyawa golongan flavonoid dan uji adanya senyawa
polifenol. Uji keberadaan senyawa flavonoid dari dalam sampel digunakan uji Wilstatter, uji
Bate-Smith, dan uji dengan NaOH 10%. Sedangkan uji adanya senyawa polifenol dilakukan
dengan larutan penambahan FeCl3 adapun uji tersebut secara lengkap sebagai berikut
(Khotimah, 2016) :
a. Uji Wilstatter
Isolat ditambahakan 2-4 tetes HCl pekat dan 2-3 potong kecil logam Mg. Perubahan
warna terjadi diamati dari kuning tua menjadi orange
b. Uji Bate-Smith
Isolat ditambahkan HCl pekat lalu dipanaskan dengan waktu 15 menit di atas penangas
air. Reaksi positif jika memberikan warna merah
c. Uji dengan NaOH 10%
Isolat ditambahkan pereaksi NaOH 10% dan reaksi positif apabila terjadi perubahan
warna yang spesifik
d. Uji Golongan Polifenol
Isolat ditambahkan larutan FeCl3 10% dalam akuades. Reaksi positif jika memberikan
warna hijau, merah, ungu, biru, atau hitam yang kuat
3. Tanin
Tanin adalah kelas utama dari metabolit sekunder yang tersebar luas pada tanaman.
Tanin merupakan polifenol (dengan rasa pahit atau sepat) yang larut dalam air dengan berat
molekul biasanya berkisar 1000-3000. Tanin merupakan zat organik yang sangat kompleks
dan terdiri dari senyawa fenolik. Tanin terdiri dari sekelompok zat-zat kompleks yang
terdapat secara meluas dalam dunia tumbuh-tumbuhan, antara lain terdapat pada bagian kulit
kayu, batang, daun dan buah-buahan (Ishak, 2018).

Gambar 3. Struktur Senyawa Tanin

Tanin merupakan senyawa yang umum terdapat dalam tumbuhan berpembuluh,


memiliki gugus fenol, rasa sepat dan mampu menyamak kulit karena kemampuannya
menyambung-silang protein. Tanin dapat bereaksi dengan protein membentuk kopolimer
kompleks yang tak larut dalam air. Secara kimia, tanin dikelompokkan menjadi dua golongan
yaitu tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis. Tanin terkondensasi secara biosintesis dapat
dianggap terbentuk dengan cara kondensasi katekin tunggal yang membentuk senyawa dimer
dan kemudian oligomer yang lebih tinggi. Tanin terhidrolisis mengandung ikatan ester yang
terhidrolisis jika didihkan dalam asam encer (Harborne, 1987). Tanin diidentifikasi dengan
cara pengendapan menggunakan larutan gelatin 10%, campuran natrium-gelatin, besi (III)
klorida 3% dan timbal (II) asetat 25% (Susanti, 2012).

4. Saponin
Saponin berasal dari bahasa latin sapo yang berarti sabun karena sifatnya menyerupai
sabun. Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat, menimbulkan busa jika dikocok
dengan air. Saponin berpotensi sebagai antimikrobia. Dua jenis saponin yang dikenal yaitu
glikosida triterpenoid alkohol dan glikosida struktur steroid. Aglikonnya disebut sapogenin
yang diperoleh dengan hidrolisis dalam asam atau menggunakan enzim. Berdasarkan struktur
aglikonnya atau sapogenin, saponin dapat dibedakan menjadi dua tipe yaitu tipe steroid dan
triterpenoid. Kedua senyawa tersebut memiliki hubungan glikosidik pada atom C-3 dan
memiliki asal usul biogenetika yang sama lewat asam mevalonat dan satuan – satuan
isoprenoid (Deskripsi, Taksonomi, Wangi, & Lanka, 2009). Saponin larut dalam air
membentuk buih seperti buih sabun, hal ini disebabkan karena saponin mempunyai
amphiphilik. Ikatan glikosida pada saponin cukup stabil, tetapi dapat putus secara kimia oleh
asam kuat dalam air.

Gambar 4. dan 5. Struktur Saponin Steroid


dan Saponin Triterpenoid

Identifikasi saponin dapat dilakukan dengan mengocok ekstrak bersama air hangar di
dalam tabung reaksi dan akan timbul busa yang dapat bertahan lama, setelah penambahan
HCl 2 N busa tidak hilang (Susanti, 2012).

5. Terpenoid dan Steroid


Terpenoid merupakan komponen-komponen tumbuhan yang mempunyai bau dan dapat
diisolasi dari bahan nabati dengan penyulingan yang disebut minyak atsiri. Minyak atsiri yang
berasal dari bunga pada awalnya dikenal dari penentuan struktur secara sederhana, yaitu
dengan perbandingan atom hidrogen dan atom karbon dari senyawa terpenoid yaitu 8:5 dan
dengan perbandingan tersebut dapat dikatakan bahwa senyawa tersebut adalah golongan
terpenoid. Terpen adalah suatu senyawa yang tersusun atas isoprene CH2=C(CH3)-CH=CH2
dan kerangka karbonnya dibangun oleh penyambungan dua atau lebih satuan C5 ini.
Terpenoid terdiri atas beberapa macam senyawa seperti monoterpen dan seskuiterpen yang
mudah menguap, diterpen yang sukar menguap, dan triterpen dan sterol yang tidak menguap.
Secara umum senyawa ini larut dalam lemak dan terdapat dalam sitoplasma sel tumbuhan.
Biasanya senyawa ini diekstraksi dengan menggunakan petroleum eter, eter, atau kloroform.
Steroid merupakan senyawa triterpen yang terdapat dalam bentuk glikosida. Uji triterpenoid
dilakukan dengan cara melarutan uji sebanyak 2 mL diuapkan. Residu yang diperoleh
dilarutkan dalam 0,5 mL kloroform, lalu ditambah dengan 0,5 mL asam asetat anhidrat.
Selanjutnya, campuran ini ditetesi dengan 2 mL asam sulfat pekat melalui dinding tabung
tersebut. Bila terbentuk warna hijau kebiruan menunjukkan adanya sterol. Jika hasil yang
diperoleh berupa cincin kecokelatan atau violet pada perbatasan dua pelarut, menunjukkan
adanya terpenoid (Khotimah, 2016).

Gambar 6. Struktur Terpenoid

Steroid adalah molekul kompleks yang larut di dalam lemak dengan 4 cincin yang
saling bergabung. Steroid yang paling banyak adalah sterol yang merupakan steroid alkohol.
Kolesterol merupakan sterol utama pada jaringan hewan. Kolesterol dan senyawa turunan
esternya, dengan lemaknya yang berantai panjang adalah komponen penting dari plasma
lipoprotein dan dari membran sel sebelah luar. Membran sel tumbuhan mengandung jenis
sterol lain terutama stigmasterol yang berbeda dari kolesterol hanya dalam ikatan ganda di
antara karbon 22 dan 23 (Putranti, 2013).
Steroid memiliki kerangka dasar berupa cincin siklopentana perhidrofenantren, biasanya
senyawa ini terdapat dalam bentuk bebas dan sebagai glikosida sederhana. Steroid banyak
terdapat dalam tumbuhan tingkat tinggi maupun tumbuhan tingkat rendah. Cara untuk
mendeteksi senyawa ini yaitu dengan menggunakan pereaksi Lieberman-Burchard yang
disemprotkan asam sulfat pekat, anhidrida asetat dan kloroform (Utami, 2016).

Gambar 7. Struktur Steroid

Bhat et al. (2009) mengklasifikasikan sterol menjadi beberapa golongan sebagai


berikut:
a. Zoosterol, merupakan sterol yang terdapat pada hewan. Contoh 5α- cholestan-3β-
cholestan-3β-ol.
b. Fitosterol, merupakan sterol yang terdapat pada tumbuhan. Contoh stigmasterol.
c. Mycosterol, merupakan sterol yang ditemukan pada yeast dan fungi. Contoh
mycosterol.
d. Marine sterol, merupakan sterol yang ditemukan pada organisme laut (Putranti,
2013).

6. Kuinon
Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor dasar seperti kromofor
dasar pada benzokuinon, yang terdiri dari 2 gugus karbonil yang berkonjugasi dengan 2 ikatan
rangkap. Kuinon untuk tujuan identifikasi dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu benzokuinon
(kuinon dengan kromofor yang terdiri dari 2 gugus karbonil yang berkonjugasi dengan 2
ikatan rangkap karbon-karbon), naftokuinon, antrakuinon dan kuinon isoprenoid. Tiga
kelompok pertama biasanya terhidroksilasi dan bersifat senyawa fenol serta mungkin secara
in vivo terdapat dalam bentuk gabungan dengan gula sebagai glikosida atau dalam bentuk
kuinon tanpa warna dan terkadang juga dalam bentuk dimer. Dengan demikian diperlukan
hidrolisis asam untuk melepaskan kuinon bebasnya. Senyawa kuinon yang terdapat sebagai
glikosida mungkin larut sedikit dalam air, tetapi umumnya kuinon lebih mudah larut dalam
lemak dan akan terdeteksi dari tumbuhan bersama-sama dengan karotenoid dan klorofil
(Putranti, 2013).

Gambar 8. Struktur senyawa kuinon

7. Polifenol
Fenolik merupakan senyawa kimia yang memilik cincin aromatik berikatan dengan
kelompok hidroksil (-OH). Senyawa fenolik tersebut dapat meredam reaksi berantai radikal
bebas yang terjadi di dalam tubuh (Ishak, 2018). Fenol adalah senyawa yang berasal dari
tumbuhan yang mengandung cincin aromatik dengan satu atau 2 gugus hidroksil. Fenol
cenderung mudah larut dalam air karena berikatan dengan gula sebagai glikosida atau terdapat
dalam vakuola sel (Harborne, 1987). Senyawa fenol biasanya terdapat dalam berbagai jenis
sayuran, buah-buahan dan tanaman. Senyawa fenol diproduksi oleh tanaman melalui jalur
sikimat dan metabolisme fenil propanoid. Beberapa senyawa fenol telah diketahui fungsinya.
Misalnya lignin sebagai pembentuk dinding sel dan antosianin sebagai pigmen. Namun
beberapa lainnya hanya sebatas dugaan sementara. Senyawa fenol diduga mempunyai
aktivitas antioksidan, antitumor, antiviral, dan antibiotik. Semua senyawa fenol merupakan
senyawa aromatik sehingga semua menunjukkan serapan kuat terhadap spektrum UV. Fenol
dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu fenol sederhana dan polifenol. Contoh fenol
sederhana : orsinol, 4-metilresolsinol, 2- metilresolsinol, resolsinol, katekol, hidrokuinon,
pirogalol dan floroglusinol. Contoh polifenol adalah lignin, melanin dan tanin (Putranti,
2013).
Gambar 9. Struktur Fenol

D. Uji Total Fenol

Fenol atau asam karbolat atau benzenol adalah zat kristal tak berwarna yang memiliki
bau khas. Rumus kimianya adalah C6H5OH dan strukturnya memiliki gugus hidroksil (-
OH) yang berikatan dengan cincin fenil. Kata fenol juga merujuk pada beberapa zat yang
memiliki cincin aromatik yang berikatan dengan gugus hidroksil. Fenol memiliki kelarutan
terbatas dalam air, yakni 8,3 gram/100 ml. Fenol memiliki sifat yang cenderung asam,
artinya dapat melepaskan ion H+ dari gugus hidroksilnya. Pengeluaran ion tersebut
menjadikan anion fenoksida C6H5O− yang dapat dilarutkan dalam air.

Fenol merupakan salah satu komponen kimia tumbuhan yang memiliki manfaat sangat
besar bagi tumbuhan maupun bagi manusia. Senyawa fenol memiliki ciri cincin aromatik
dan adanya satu atau dua penyulih hidroksil. Senyawa fenol lebih cenderung larut dalam air,
karena senyawa ini biasanya berikatan dengan gula. Senyawa fenol mencakup beberapa
golongan senyawa bahan alam. Mulai dari flavanoid, phenil propanoid, kuinon phenolik,
lignin, melanin, dan tanin merupakan golongan senyawa fenol.

Dibandingkan dengan alkohol alifatik lainnya, fenol bersifat lebih asam. Hal ini
dibuktikan dengan mereaksikan fenol dengan NaOH, di mana fenol dapat melepaskan H+.
Pada keadaan yang sama, alkohol alifatik lainnya tidak dapat bereaksi seperti itu. Pelepasan
ini diakibatkan pelengkapan orbital antara satu-satunya pasangan oksigen dan sistem
aromatik, yang mendelokalisasi beban negatif melalui cincin tersebut dan menstabilkan
anionnya.

Fenol didapatkan melalui oksidasi sebagian pada benzena atau asam benzoat dengan
proses Raschig. Fenol juga dapat diperoleh sebagai hasil dari oksidasi batu bara. Fenol
merupakan komponen utama pada antiseptik dagang, triklorofenol atau dikenal sebagai TCP
(trichlorophenol). Fenol juga merupakan bagian komposisi beberapa anestitika oral,
misalnya semprotan kloraseptik. Fenol berfungsi dalam pembuatan obat-obatan (bagian dari
produksi aspirin, pembasmi rumput liar, dan lainnya). Fenol yang terkonsentrasi dapat
mengakibatkan pembakaran kimiawi pada kulit yang terbuka. Rumus bangun fenol dapat
dilihat pada gambar 1 di bawah ini:

Gambar 10. Struktur fenol

Fenol merupakan komponen utama pada anstiseptik dagang, triklorofenol atau dikenal
sebagai TCP (trichlorophenol). Fenol juga merupakan bagian komposisi beberapa anestitika
oral, misalnya semprotan kloraseptik. Fenol berfungsi dalam pembuatan obat-obatan (bagian
dari produksi aspirin) pembasmi rumput liar, dan lainnya. Fenol yang terkonsentrasi dapat
mengakibatkan pembakaran kimiawi pada kulit yang terbuka.

E. Pemeriksaan Kandungan Total Fenol


Penetapan kandungan fenolik total dapat dilakukan dengan metode Folin- Ciocalteu atau
HPLC. Pemilihan metode Folin-Ciocalteu karena metode ini sederhana, cepat dan murah
namun memiliki reliabilitas yang tinggi. Reagen Folin-Ciocalteu merupakan oksidator
senyawa fenolik di dalam sampel untuk menghasilkan kompleks warna biru yang diukur
intensitasnya dengan spektrofotometer sinar tampak. Pemilihan standar penetapan fenolik
total disesuaikan dengan jenis senyawa fenolik di dalam sampel namun asam galat merupakan
standar yang direkomendasikan untuk mendapatkan hasil yang reliabel. Asam galat diketahui
memiliki reaktivitas yang cukup tinggi terhadap reagen Folin-Ciocalteu dibandingkan dengan
senyawa fenolik lainnya sehingga dapat digunakan sebagai standar dalam penetapan kadar
fenolik total (Pangestuty, 2016).
Metode Folin-Ciocalteu banyak digunakan untuk mengukur kandungan fenolik total
dalam suatu bahan alam berdasarkan prinsip reaksi oksidasi dan reduksi. Reagen Folin-
Ciocalteu diperoleh dari reaksi natrium tungstat (Na2WO4) dan natrium molibdat
(Na2MoO4) untuk menghasilkan senyawa molibdotungstat (MoW11O40)-4 yang berwarna
kuning. Oksidasi senyawa fenolik yang ada dalam senyawa uji oleh molibdotungstat
menghasilkan kompleks berwarna yang terukur pada panjang gelombang 745-765 nm.
Reduksi elektron senyawa molibdenum atau Mo(VI) menjadi Mo(V) diduga merupakan
mekanisme yang menyebabkan timbulnya warna biru pada larutan yang diukur. Terdapat
beberapa kondisi yang harus diperhatikan dalam menggunakan metode ini untuk memperoleh
data yang reprodusibel, antara lain :
a. Perbandingan volume reagen dan basa yang sesuai
b. Operating time dan suhu pembentukan kompleks warna
c. Pengukuran pada panjang gelombang yang tepat
d. Penggunaan asam galat sebagai standar fenol
Disosiasi suatu senyawa fenolik menghasilkan anion fenolat yang dapat mereduksi
reagen Folin-Ciocalteu, sehingga dapat diyakini bahwa reaksi pada metode ini terjadi melalui
transfer elektron.Terjadinya reaksi ditandai dengan perubahan warna dari kuning menjadi
biru.
Pembentukan ion fenolat terjadi melalui disosiasi proton pada senyawa fenolik, reaksi ini
hanya dapat terjadi secara optimal pada suasana basa. Larutan Na2CO3 7,5% biasa
digunakan dalam reaksi untuk menghasilkan kondisi basa. Selama reaksi berlangsung, gugus
hidroksil pada senyawa fenolik bereaksi dengan reagen membentuk kompleks berwarna biru.
Warna biru yang dihasilkan setara dengan konsentrasi ion fenolat, sehingga makin besar
konsentrasi senyawa fenolik semakin banyak ion fenolat yang terbentuk, demikian pula
dengan warna biru yang dihasilkan semakin pekat (Pangestuty, 2016).

F. Spektrofotometri UV-VIS

Spektrofotometri UV-Vis merupakan salah satu teknik analisis spektroskopi yang


memakai sumber radiasi eleltromagnetik ultraviolet dekat (190-380) dan sinar tampak (380-
780) dengan memakai instrumen spektrofotometer. Spektrofotometri UV-Vis melibatkan
energi elektronik yang cukup besar pada molekul yang dianalisis, sehingga spektrofotometri
UV-Vis lebih banyak dipakai untuk analisis kuantitatif ketimbang kualitatif (Mulja dan
Suharman, 1995: 26). Spektrofotometer terdiri atas spektrometer dan fotometer.
Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan
fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditranmisikan atau yang diabsorpsi.
Spektrofotometer tersusun atas sumber spektrum yang kontinyu, monokromator, sel
pengabsorpsi untuk larutan sampel atau blangko dan suatu alat untuk mengukur pebedaan
absorpsi antara sampel dan blangko ataupun pembanding.
Spektrofotometer UV-Vis dapat melakukan penentuan terhadap sampel yang berupa
larutan, gas, atau uap. Untuk sampel yang berupa larutan perlu diperhatikan pelarut yang
dipakai antara lain:
1. Pelarut yang dipakai tidak mengandung sistem ikatan rangkap terkonjugasi pada struktur
molekulnya dan tidak berwarna.
2. Tidak terjadi interaksi dengan molekul senyawa yang dianalisis.
3. Kemurniannya harus tinggi atau derajat untuk analisis.

Spektrofotometer tersusun dari:


1. Suatu sumber energi cahaya yang berkesinambungan yang meliputi daerah spektrum
yang mana instrumen itu dirancang untuk beroperasi.
2. Monokromator
Yaitu suatu alat untuk memencilkan berkas radiasi dari sumber berkesinambungan
(menghasilkan sumber sinar yang monokromatis). Komponennya adalah suatu sistem
celah dan suatu unsur dispersif. Monokromator juga memencilkan pita sempit panjang
gelombang dari spektrum lebar yang dipancarkan oleh sumber cahaya.
3. Sel absorpsi
Dapat berupa cuvet kaca atau cuvet kaca cara, sedang di daerah UV digunakan sel kuasa.
4. Detektor
Berupa transduser yang mengubah energi cahaya menjadi suatu syarat listrik detektor
diharapkan memiliki kepekaan tinggi dalam daerah spektra yang diamati, respon linier
terhadap gaya radiasi, waktu respon cepat, dapat digandakan dan kestabilan tinggi.
5. Wadah untuk sampel
6. Penggandaan / amplifier dan rangkaian yang berkaitan yang membuat isyarat listrik ini
memadai untuk dibaca.
7. Sistem kaca, dimana pergerakan besarnya isyarat listrik.
Deskripsi, A., Taksonomi, K., Wangi, S., & Lanka, S. (2009). II. TINJAUAN PUSTAKA A.
Deskripsi dan Kedudukan Taksonomi Serai Wangi (Cymbopogon nardus), 8– 33.

Ishak, A. (2018). ANALISIS FITOKIMIA DAN UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN BISKUIT


BIJI LABU KUNING ( Curcubita sp. ) SEBAGAI SNACK SEHAT.

Khotimah, K. (2016). Skrining fitokimia dan identifikasi metabolit sekunder senyawa karpain
pada ekstrak metanol daun Carica pubescens Lense & K. Koch DENGAN LC/MS (Liquid
Chromatograph-tandem Mass Spectrometry).

Nurung, S. H. H. (2016). PENENTUAN KADAR TOTAL FENOLIK, FLAVONOID, DAN


KAROTENOID EKSTRAK ETANOL KECAMBAH KACANG HIJAU (vigna radiata L.)
MENGGUNAKAN SPEKTROFOMETER UV-VIS.

Putranti, R. I. K. A. (2013). SKRINING FITOKIMIA DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN


EKSTRAK RUMPUT LAUT Sargassum duplicatum dan Turbinaria ornata DARI
JEPARA.

Rahman, H. A. (2016). UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN ISOLAT KATEKIN GAMBIR (Uncaria


gambier Roxb.) PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR SPRAGUE
DAWLEY DENGAN DIBERI BEBAN AKTIVITAS FISIK MAKSIMAL.

Susanti, A. T. (2012). PENAPISAN FITOKIMIA DAN UJI PENGHAMBATAN AKTIVITAS


α-GLUKOSIDASE DARI FRAKSI PALING AKTIF EKSTRAK METANOL HERBA
MENIRAN (Phyllanthus niruri.).

Utami, R. N. (2016). UJI EFEKTIVITAS EKSTRAK KULIT PISANG RAJA (Musa paradisiaca
var. Raja) TERHADAP PENURUNAN KADAR GULA DARAH MENCIT JANTAN
(Mus musculuss).

Shinta, M. (2016). TINJAUAN PUSTAKA SABUN.


http://eprints.polsri.ac.id/4060/3/File%203%20%28BAB%20II%29.pdf

Asri Widyasanti, Shayana Junita, Sarifah Nurjanah. (2017). PENGARUH KONSENTRASI


MINYAK KELAPA MURNI (Virgin Coconut Oil) DAN MINYAK JARAK (Castor Oil)
TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA DAN ORGANOLEPTIK SABUN MANDI CAIR.
http://Jurnal.Unsyiah.ac.id/TIPI. JURNAL TEKNOLOGI DAN INDUSTRI PERTANIAN
INDONESIA

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). (2004). Peraturan Teknis Penggunaan Bahan
Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan. Jakarta: Deputi Bidang
Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya

Biofarmaka IPB. (2013). Quality of Herbal Medicine Plants and Traditional Medicine. Diakses
dari http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-news/brcarticle/587-Quality-of-herbal-medicine-plants-
and-traditional-medicine2013

Anda mungkin juga menyukai