Anda di halaman 1dari 170

Menjadi Pelajar Berkemajuan

© Fida ‘Afif, dkk., 2013


––––––––––––––––––––––––––––––––––––––
Hak cipta dilindungi undang-undang
All rights reserved
––––––––––––––––––––––––––––––––––––––
Cetakan Pertama, Juli 2013
––––––––––––––––––––––––––––––––––––––
Editor
Azaki Khoirudin
Proofreader
Fathur Rochman
Lay Out & Design Cover
IlmiPublisher.com
––––––––––––––––––––––––––––––––––––––
Diterbitkan oleh
PP IPM
Gedoeng Moehammadijah
Jl. KHA. Dahlan 103 Yogyakarta
sekretariat@ipm.or.id
www.ipm.or.id
––––––––––––––––––––––––––––––––––––––
xix+148 hlm; 13x20 cm
ISBN: 978-602-17779-4-7
Pengantar

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, akhirnya buah karya


baru Ikatan Pelajar Muhammadiyah di usianya yang ke-52
ini telah terbit. Setelah setengah abad lebih Ikatan Pelajar
Muhammadiyah berkarya untuk negeri ini, dan memer-
oleh berbagai prestasinya, tiada hentinya IPM terus
memaksimalkan dan mengembangkan prestasi-prestasinya.
Buku Menjadi Pelajar Berkemajuan ini hadir di tengah-
tengah pembaca sekalian tentunya berkat limpahan
rahmat dari Allah Swt.

Buku ini hadir atas kegelisahan dari pelajar


Muhammadiyah akan kondisi bangsa Indonesia saat ini.
Maha karya berupa gagasan “menjadi pelajar berkema-
juan” merupakan wujud bahwa Ikatan Pelajar
Muhammadiyah terus bergerak dan ikut aktif memberikan
baktinya untuk Indonesia. Gagasan besar tersebut selain
sebagai reorientasi gerakan pelajar juga memacu pelajar
Indonesia agar memasang posisi kuda-kuda yang kuat
untuk menggapai masa depan bangsa Indonesia, karena di
tangan pelajarlah nasib bangsa ini kelak akan ditentukan.

Pelajar itu, ya belajar. Pelajar itu, ya menuntut ilmu.


Berarti, kegiatan seperti membaca, menulis, riset, dan
apapun kegiatan belajar itu baik di ranah akademik
maupun nonakademik sudah menjadi agenda utama
pelajar. Maka dari itu, sebagai sebuah sajian kajian tentang
dunia pelajar kontemporer, sekiranya buku ini menjadi
referensi dan dibaca oleh pelajar-pelajar Indonesia agar
tidak kehilangan arah kemana seharusnya pelajar itu
melangkah.

Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah


sangat bangga atas terbitnya buku ini. Maka, rasa syukur
kepada Allah Swt, ucapan terima kasih kepada para
penulis, personalia pimpinan, dan semua pihak yang turut
perperan aktif dalam rangka menerbitkan buku ini.

Selamat Milad ke-52 untuk Ikatan Pelajar


Muhammadiyah. Selalu jaya dan siap menjadi penerus
bangsa.

Yogyakarta, 5 Juli 2013


Fida ‘Afif
Daftar Isi

Pengantar ................................................................ i
Daftar Isi ................................................................. iii

Prolog
REAKTUALISASI ISLAM BERKEMAJUAN:
Agenda Strategis Gerakan Keilmuan di Era
Kontemporer
Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah ................................... v

Meluruskan Kiblat Pelajar Indonesia


Fida ‘Afif ........................................................................ 1
Memaknai Cita-Cita Pergerakan
Achmad Rosyidi ............................................................ 7
Sekolah: Poros Gerakan Pelajar Berkemajuan
Lesti Kaslati Siregar ....................................................... 15
Road Map Gerakan Keilmuan IPM
Hery Wawan .................................................................. 20
Pelajar Berilmu, Manifestasi Manusia Rabbaniyah
Aman Nurrahman Kahfi ............................................... 31
Perkaderan Berbasis Seni dan Olahraga
Hamdan Nugroho ......................................................... 39
Pelajar Berkemajuan: Pelajar Melek Teknologi dan
Informasi
Daeng Muhammad Feisal ............................................. 47
Budaya Menulis untuk Pelajar Berkemajuan
Lufki Laila Nur Hidayati ............................................... 55
Gerakan Ilmu, untuk Visi Kemanusiaan Kader
Azaki Khoirudin ............................................................ 66
Sekilas Lalu Tentang Pelajar
Dinil Abrar Sulthani ..................................................... 83
Kesadaran Sejarah, untuk Pelajar Berkemajuan dan
Berperadaban
Muhammad Hanif ........................................................ 94
Pelajar Indonesia adalah Buruh Bangsa
Mustiawan ..................................................................... 99
Ber-IPM Perlu Perencanaan
Dinil Abrar Sulthani ..................................................... 107
IPM dan Suara Hati Pelajar (Catatan Hati Pelajar)
Labib Ulinnuha ............................................................. 116
Pelajar Setara, Pelajar Berdaulat,
Pelajar Bermartabat
Imam Ahmad Amin A.R. ............................................. 124

Epilog
MENJADI PELAJAR BERKEMAJUAN:
Refleksi Milad 52 Tahun IPM................................. 141
Prolog

––Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah

“Islam berkemajuan menyemaikan benih-benih kebenaran,


kebaikan, kedamaian, keadilan, kemaslahatan, kemakmuran, dan
keutamaan hidup secara dinamis bagi seluruh umat manusia, Islam
yang menjunjung tinggi kemuliaan manusia baik laki-laki maupun
perempuan tanpa diskriminasi. Islam yang menggelorakan misi
antiperang, antiterorisme, antikekerasan, antipenindasan, anti-
keterbelakangan, dan anti terhadap segala bentuk pengrusakan di
muka bumi, seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kejahatan
kemanusiaan, eksploitasi alam, serta berbagai kemunkaran yang
menghancurkan kehidupan. Islam yang secara positif melahirkan
keutamaan yang memayungi kemajemukan suku, bangsa, ras,
golongan dan kebudayaan umat manusia di muka bumi.”

Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua,


Muktamar ke-46 2010
Istilah “Islam yang Berkemajoean” yang digunakan
oleh Muhammadiyah di awal abad ke 20 (1912) memang
terasa lebih nyaman digunakan dari pada istilah Islam
“modern”. Istilah “modern” yang dilekatkan kepada
Muhammadiyah sebagai timbangan dari Islam “tradisi-
onal” tidak terasa nyaman digunakan, karena dalam
perjalanan waktu apa yang disebut para pengamat dan
peneliti sebagai Islam “tradisional” mengandung elemen-
elemen pikiran keagamaan modern, dan apa yang dikate-
gorikan sebagai Islam “modern”, ternyata mengandung
elemen-elemen pikiran keagamaan tradisional. Dugaan
saya, klasifikasi atau kategorisasi “modern” dan “tradisi-
onal” tersebut berasal dari para pengamat, analis, peneliti
gerakan sosial-keagamaan dan sosial ke-Islaman, tapi
bukan dari kalangan pendiri Persyarikatan sendiri.

Akan menarik dan mungkin akan lebih tajam, jika


istilah “Islam Berkemajoean” awal abad ke 20 disandingkan
dengan istilah “Islam Progressive” (Islam yang Maju atau
Islam Berkemajuan) yang digunakan oleh para ahli studi
keislaman pada akhir abad ke 20, dan lebih-lebih lagi pada
abad ke-21. Pengetahuan keduanya akan berguna untuk
diketahui oleh para pimpinan Persyarikatan Muhammad-
iyah pada setiap jenjangnya dan juga para pimpinan
organisasi Islam yang lain di tanah air. Petikan manifesto
atau Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua di
atas, secara lamat-lamat menginformasikan makna Islam
Progressive yang dirumuskan beberapa pemikir Muslim
kontemporer.

Respons Intelektual Muslim Terhadap Perubahan Sosial


Kontemporer

Tidak ada yang dapat menyangkal jika dikatakan


bahwa dalam 150 sampai 200 tahun terakhir, sejarah umat
manusia mengalami perubahan yang luar biasa. Perubahan
yang dahsyat dalam perkembangan ilmu pengetahuan,
tatanan sosial-politik dan sosial-ekonomi, demografi,
hukum, tata kota, lingkungan hidup dan begitu seterus-
nya. Perubah-an dahsyat tersebut, menurut Abdullah
Saeed, antara lain terkait dengan globalisasi, migrasi
penduduk, kemajuan sains dan teknologi, eksplorasi ruang
angkasa, penemuan-penemu-an arkeologis, evolusi dan
genetika, pendidikan umum dan tingkat literasi.

Di atas itu semua adalah bertambahnya pemaham-


an dan kesadaran tentang pentingnya harkat dan martabat
manusia (human dignity), perjumpaan yang lebih dekat
antarumat beragama (greater inter-faith interaction), muncul-
nya konsep negara-bangsa yang berdampak pada keseta-
raan dan perlakuan yang sama kepada semua warga negara
(equal citizenship), belum lagi kesetaraan gender dan begitu
seterus-nya. Perubahan sosial yang dahsyat tersebut
berdampak luar biasa dan mengubah pola berpikir dan
pandangan keagamaan (religious worldview) baik di ling-
kungan umat Islam maupun umat beragama yang lain.
Perubahan dimaksud tidak mesti bermakna positif, tetapi
juga negatif. Kerusakan ekologi, climate change, dehuman-
isasi, tindak kekerasan (violence) atas nama negara, agama,
etnis, dan begitu seterusnya.

Dalam khazanah pemikiran keagamaan Islam,


khususnya dalam pendekatan Usul al Fiqih, dikenal istilah
al-Tsawabit (hal-hal yang diyakini atau dianggap “tetap”,
tidak berubah) wa al-Mutaghayyirat (hal-hal yang diyakini
atau dianggap “berubah-ubah”, tidak tetap). Belakangan di
ling-kungan khazanah keilmuan antropologi (agama),
khususnya dalam lingkup kajian penomenologi, dikembang-
kan analisis pola pikir yang biasa disebut General Pattern
dan Particular Pattern. Seringkali kedua atau ketiga alat
analisis entitas berpikir dalam dua tradisi khazanah
keilmuan yang berbeda ini, yakni usul al Fiqih (wilayah
agama; wilayah akidah dan ibadah) dan Falsafah
(philosophy) (wilayah sains, sosial dan budaya). Belum lagi
di tambah Antropologi, masih jauh dari upaya ke arah
perkembangan menuju ke dialog dan integrasi.

Namun, pertanyaan yang sulit dijawab adalah bagai-


mana kedua atau ketiga alat logika berpikir dalam berbagai
disiplin keilmuan tersebut, berikut sistem epistemologi
yang menyertainya dioperasionalisasikan di lapangan
ketika umat Islam menghadapi perubahan sosial di era
globalisasi yang begitu dahsyat. Apa yang masih harus
dianggap dan diyakini sebagai yang “tetap” dan apa yang
tidak bisa tidak harus “berubah”? Apakah yang dianggap
dan dipercayai sebagai qat’iy (yang pasti atau tetap) dalam
fiqh dan usul al-fiqh sama dengan apa yang dianggap al-tsabit
(yang tetap) dalam budaya dan ilmu pengetahuan? Begitu
juga dalam hal yang dianggap, diyakini sebagai bersifat
dzanniy? Apakah dalam gerak perubahan tidak ada lagi
menyisakan hal-hal yang tetap?

Dalam praktiknya, tidak mudah mengoperasionali-


sasikannya di lapangan pendidikan, dakwah, komunikasi,
hukum dan begitu seterusnya, karena masing-masing
orang dan kelompok telah terkurung dalam
preunderstanding yang telah dimiliki, membudaya,
mendarah-mendaging dan dalam batas-batas tertentu
bahkan membelenggu. Oleh karenanya, jika persoalan
cara berpikir ini tidak dijelaskan dengan baik, meskipun
tidak memuaskan seluruhnya, akan muncul banyak
keraguan dan benturan di sana-sini. Mengikuti bahasa
populer digunakan dalam dunia maya: saling membid’ah-
kan, murtad-memurtadkan dan bahkan saling kafir-
mengkafirkan, baik pada tingkat person-person atau
individu-individu, lebih-lebih pada tingkat sosial dan
kelompok- kelompok.
Reaktualisasi Islam Berkemajuan di Tengah Arus
Globalisasi

Mengangkat tema “Reaktualisasi Islam Berkemaju-


an” dalam satu keutuhan pembahasan mempersyaratkan
adanya kesediaan para pencetus, pemilik, pendukung dan
penggemarnya untuk mempertemukan dan mendialogkan
antara kedua model entitas berpikir yang sulit di atas.
Tidak bisa membicarakan yang satu dan meninggalkan
yang lain. Tidak bisa hanya membahas yang tetap-tetap
saja (form; general pattern; al-tsawabit; qat’iyyat), tanpa
sekaligus melibatkan pembicaraan tentang yang berubah
(matter; particular pattern; al-mutahawwil; dzanniyyat).
Kecuali, kalau topik pembahasan diubah menjadi hanya
membicarakan salah satu diantara kedua tema tersebut.
Membicarakan (epistemologi) Islam secara parsial, yakni
hanya dalam tradisi Fiqh dan Usul al- Fiqh pada wilayah
Qath’iy dengan menepikan wilayah Dzanny atau hanya
membahas Islam (Berkemajuan) saja, yakni Islam yang
sedang berhadapan dengan isu-isu baru atau al-
Mutaghayyirat, dengan mengetepikan wilayah Al-T sawabit).

Di sini sulitnya mengangkat tema pembahasan di


atas, karena para pelaku atau aktor di lapangan, dengan
kebening-an dan kejernihan hati, dipersyaratkan untuk
bersedia men-dialogkan, mendekatkan dan mempertemu-
kan antara keduanya secara adil, proporsional dan bijak.
Perlu ada kesediaan dan mentalitas untuk saling ‘take’ and
‘give’, saling mendekat, dialog, konsensus, kompromi dan
negosiasi. Tidak boleh ada pemaksaan kehendak atas
nama apapun. Tidak boleh ada pula ada perasaan
ditinggal. Oleh karenanya, kebutuhan yang tidak dapat
ditinggalkan adalah mempersentuhkan, mempertemukan
dan mendialogkan antara kedua entitas pola pikir
tersebut, yaitu antara struktur bangunan dasar yang melan-
dasi cara berpikir dan pengalaman umat manusia secara
umum (universal) dan struktur bangunan dasar cara
berpikir keagamaan Islam secara khusus (particular).

Dalam bingkai payung besar perspektif seperti itu,


dalam tulisan ini, saya akan membawa peta percaturan
dunia epistemologi Islam dalam menghadapi dunia global
lewat prisma model berpikir dua pemikir Muslim
kontemporer. Yaitu, Abdullah Saeed dari Australia, Jasser
Auda dari London. Pertama, adalah karena mereka hidup
di tengah-tengah era kontemporer, di tengah-tengah arus
deras era perubahan sosial yang mengglobal seperti saat
sekarang ini. Sebutlah era Berkemajuan, menggunakan
terma dokumen persyarikatan yang dikutip diatas. Kedua,
mereka datang dari berbagai belahan dunia dan benua
yang berbeda, yaitu Australia dan Eropa, namun keduanya
menguasai khazanah intelektual Islam klasik-tengah-
modern-posmodern dan mempunyai basis pendidikan
Islam di Timur Tengah (Saudi Arabia dan Mesir).

Ketiga, mereka sengaja dipilih untuk mewakili suara


‘intelektual’ minoritas Muslim yang hidup di dunia baru,
di wilayah mayoritas non-Muslim. Dunia baru tempat
mereka tinggal dan hidup sehari- hari bekerja, berpikir,
melakukan penelitian, berkontemplasi, berkomunitas,
bergaul, berinter-aksi, berperilaku, bertindak, mengambil
keputusan. Mereka hidup di tempat yang sama sekali
berbeda dari tempat mayoritas Muslim dimanapun mereka
berada. Apa arti Berkemajuan bagi mereka? Kedua-duanya
mengalami sendiri bagaimana mereka harus berpikir,
mencari penghidupan, berijtihad, berinteraksi dengan
negara dan warga setempat, bertindak dan berperilaku
dalam dunia global, tanpa harus menunggu petunjuk dan
fatwa-fatwa keagamaan dari dunia mayoritas Muslim.

Keempat, kedua pemikir, penulis, dan peneliti


tersebut dalam kadar yang berbeda-beda, mereka
mempunyai kemampuan untuk mendialogkan dan
mempertautkan antara paradigma Ulum al-Din, al-Fikr al-
Islamiy dan Dirasat Islamiyyah kontemporer dengan baik.
Yakni, Ulum al Din (Kalam, Fiqh, Tafsir, Ulum Al-Qur’an,
Hadits) yang telah didialogkan, dipertemukan dengan
sungguh-sungguh dengan Dirasat Islamiyyah yang meng-
gunakan metode sains modern, social sciences dan
humanities kontemporer sebagai pisau analisis-nya dan
cara berpikir keagamaannya.

Dengan kata lain, Islam yang Berkemajuan adalah


“Islam yang berada ditengah-tengah arus putaran
Globalisasi dalam Praxis, globalisasi dan perubahan sosial
dalam praktik hidup seharihari, dan bukannya globalisasi
dalam Theory, globalisasi yang masih dalam tarap teori,
belum masuk dalam wilayah praktik. Yaitu dunia global
seperti yang benar-benar dialami dan dirasakan sendiri
oleh para pelakunya di lapangan, yang sehari-hari memang
tinggal dan hidup di negara- negara sumber dari globalisasi
itu sendiri, baik dari segi transportasi, komunikasi,
ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, budaya dan begitu
seterusnya. Bukan globalisasi yang diteoritisasikan dan
dibayangkan oleh para intelektual Muslim yang tinggal
dan hidup di negara-negara berpendu-duk mayoritas
Muslim, dan tidak atau belum merasakan bagaimana
tinggal dan hidup sehari-hari di negara-negara non-
Muslim, pencetus, dan penggerak roda globalisasi.”

Lewat lensa pandang seperti itu, ada hal lain yang


hendak ditegaskan pula di sini bahwa manusia Muslim
yang hidup saat sekarang ini di mana pun mereka berada
adalah warga dunia (global citizenship), untuk tidak menga-
takan hanya terbatas sebagai warga lokal (local citizenship).
Sudah barang tentu, dalam perjumpaaan antara local dan
global citizenship ini ada pergumulan dan pergulatan
identitas yang tidak mudah, ada dinamika dan dialektika
antara keduanya, antara being a true Muslim dan being a
member of global citizenship sekaligus, yang berujung pada
pencarian sintesis baru yang dapat memayungi dan
menjadi jangkar spiritual bagi mereka yang hidup dalam
dunia baru dan dalam arus pusaran perubahan sosial yang
global sifatnya.
Menjadi Pelajar (Muslim) Berkemajuan

Sebelum mengetahui, karakteristik pelajar (Muslim)


yang berkemajuan, akan saya sandingkan Islam berkemaju-
an dengan Islam Progressif. Islam progressif adalah
merupakan upaya untuk mengaktifkan kembali dimensi
progressifitas Islam yang dalam kurun waktu yang cukup
lama mati suri ditindas oleh dominasi teks yang dibaca
secara literal ,tanpa pemahaman kontekstual. Dominasi
teks ini oleh Mohammad Abid al-Jabiry disebut sebagai
dominasi epistemologi atau nalar Bayani dalam pemikiran
Islam. Metode berpikir yang digunakan oleh Muslim
Progressif inilah yang disebutnya dengan istilah progressif-
ijtihadi.

Karakteristik pemikiran Muslim progressif-ijtihadis,


dijelaskan oleh Saeed dalam bukunya Islamic Thought
adalah sebagai berikut: (1) mereka mengadopsi pandangan
bahwa beberapa bidang hukum Islam tradisional
memerlukan perubahan dan reformasi substansial dalam
rangka menye-suaikan dengan kebutuhan masyarakat
Muslim saat ini; (2) mereka cenderung mendukung
perlunya fresh ijtihad dan metodologi baru dalam ijtihad
untuk menjawab permasalahan-permasalahan kontem-
porer; (3) beberapa diantara mereka juga mengkombinasi-
kan kesarjanaan Islam tradisional dengan pemikiran dan
pendidikan Barat modern; (4) mereka secara teguh
berkeyakinan bahwa perubahan sosial, baik pada ranah
intelektual, moral, hukum, ekonomi atau teknologi, harus
direfleksikan dalam hukum Islam; (5) mereka tidak
mengikutkan dirinya pada dogmatism atau madzhab
hukum dan teologi tertentu dalam pendekatan kajiannya;
dan (6) mereka meletakkan titik tekan pemikirannya pada
keadilan sosial, keadilan gender, HAM, dan relasi yang
harmonis antara Muslim dan non-Muslim.

Sekilas tampak jelas bahwa corak pemikiran yang


berkemajuan, menggunakan nash-nash Al-Qur’an menjadi
titik sentral berangkatnya, tetapi metode penafsirannya
telah didialogkan, dikawinkan dan diintegrasikan dengan
peng-gunaan epistemologi baru, yang melibatkan social
sciences dan humanities kontemporer dan filsafat kritis
(Critical Philosophy). Pertanyaannya sekarang adalah,
bagaimana reaktualisasinya dalam praktik pendidikan di
lingkungan Muhammadiyah? Jika kriteria, prasyarat
keilmuan dan langkah-langkah metodologis yang diguna-
kan oleh Islam Progressive atau Islam yang Maju, yang
dirumuskan oleh Abdullah Saeed tersebut dipersanding-
kan dan didialogkan dengan konsep Islam yang
Berkemajuan menurut Pernyataan Pikiran
Muhammadiyah Abad Kedua, maka kita akan lebih
mudah untuk melakukan benchmarking atau perbandingan
antara keduanya.
Islam yang Berkemajuan Sebagai Paradigma Menafsir
Zaman

Hal-hal yang masih perlu diolah, didiskusikan, dan


dicari titik temu antara konsep Islam Progressive dan Islam
yang Berkemajuan Muhammadiyah adalah sebagai
berikut: Adalah tugas para pakar di lingkungan
Muhammadiyah, baik di lingkungan Pimpinan Pusat,
Wilayah, Daerah dengan berbagai Majelis, Badan, Ortom,
terutama Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) untuk
membuat check list sejauh mana kriteria Islam yang
Berkemajuan yang termaktub dalam Pernyataan Pikiran
Muhammadiyah Abad Kedua, produk Muktamar ke-46
(2010) tersebut parallel, sehaluan, berbeda atau berse-
berangan dengan apa yang disebut-sebut sebagai Islam
Progressif dalam dunia akademik kajian ke-Islaman
kontemporer.

Dalam dunia pergerakan keagamaan, sosial, terma-


suk kepelajaran seperti IPM, tidak ada memang yang dapat
dika-takan sama seratus persen, atau berbeda seratus
persen, mi’ah min mi’ah, antara yang satu komunitas dan
lainnya. Tetapi barometer dan kompas petunjuk arah
adalah perlu. Apalagi, jika tidak salah, dokumen
pernyataan atau statement organ-isasi hanyalah dokumen
umum, sebagai petunjuk umum anggotan dan basis
masanya, tetapi belum memerinci bagaimana pendekatan
(approach) dan metode (method), apalagi sampai ke
theoretical framework, atau paradigma yang diguna-kan
untuk membaca dan menafsirkan fenomena sosial jika
ingin diaplikasikan dalam mengubah untuk melakukan
rekayasa sosial menggunakan Al-Qur’an dengan pema-
haman yang berkemajuan dan progresif sebagai paradigma
untuk menafsir zaman.

“Reaktualisasi Islam Berkemajuan” di lapangan


perlu dibarengi dan diikuti cara kerja keilmuan studi ke-
Islaman yang sistimatis, tekun dan berkesinambungan agar
dalam penerapannya di lapangan tidak salah arah. Tanpa
upaya seperti itu, dokumen sejarah yang sangat penting
dalam perguliran Muhammadiyah memasuki abad kedua
dikhawa-tirkan akan berbelok arah, mengambil jalan
sendiri dalam penerapannya, menyalip dalam tikungan
kepentingan para aktor dan aplikator di lapangan. Karena
dalam realitas di lapangan setidaknya memang tidak
menutup kemungkinan aplikator di lapangan malah
mengambil jalan lain, untuk tidak menyebutnya terbalik
arah, tidak seperti yang diharap-kan dalam Pernyataan
Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua yang ‘disepakati’
oleh muktamirin dan Pimpinan Pusat Persyarikatan serta
masuk dalam dokumen resmi Muktamar ke 46 di
Yogyakarta.

Yang perlu dicermati adalah kenyataan bahwa


Persyarikatan Muhammadiyah sudah “gemuk”, baik dari
segi amal usaha maupun pengurusnya, khususnya di
bidang pendi-dikan, dari Bustanul Atfal sampai perguruan
tinggi, layanan kesehatan dan lain-lainnya. Akan sangat
mudah ‘lemak’ menempel di badan, lembaga dan amal
usaha yang telah terlanjur gemuk. Tahu-tahu, dalam
praktik, aplikasi dan reaktualisasinya di lapangan ditemui
kejanggalan dan keanehan-keanehan dalam ber-
Muhammadiyah, dengan cara menyelipkan ‘ideologi’ lain
yang tidak sejalan dengan penyataan di atas. Akibatnya,
sebagian aktivis Muhammadiyah tidak lagi dapat
menyandang predikat “Berkemajuan”, karena istilah
“berkemajoean” memang dulunya pada tahun 1912 sangat
asing (bada’a ghariban) dan istilah itu sekarang pun
kembali menjadi terasa asing (ya’udu ghariban) pada awal
abad ke 21 ini, karena Muhammadiyah tidak hidup dalam
ruang kosong. Semoga dalam buku “Menjadi Pelajar
Berkemajuan” karya Ikatan Pelajar Muhammadiyah ini,
menjadi pembuka “jalan lurus” Muhammadiyah dalam
usaha mereaktualisasikan Islam yang berkemajuan di
tengah arus globalisasi.

Yogyakarta, 4 Juli 2013


Islam yang Berkemajuan adalah “Islam yang berada di
tengah-tengah arus putaran Globalisasi dalam Praxis,
globalisasi dan perubahan sosial dalam praktik hidup
sehari-hari, dan bukannya globalisasi dalam Theory,
globalisasi yang masih dalam tarap teori, belum masuk
dalam wilayah praktik. Yaitu dunia global seperti yang
benar-benar dialami dan dirasakan sendiri oleh para
pelakunya di lapangan, yang sehari-hari memang tinggal
dan hidup di negara- negara sumber dari globalisasi itu
sendiri, baik dari segi transportasi, komunikasi, ekonomi,
ilmu pengetahuan, teknologi, budaya dan begitu
seterusnya. Bukan globalisasi yang diteoritisasikan dan
dibayangkan oleh para intelektual Muslim yang tinggal
dan hidup di negara-negara berpenduduk mayoritas
Muslim, dan tidak atau belum merasakan bagaimana
tinggal dan hidup sehari-hari di negara-negara non-
Muslim, pencetus dan penggerak roda globalisasi.”
Meluruskan Kiblat
Pelajar Indonesia

––Fida ‘Afif1

“Pada abad pertama, Muhammadiyah telah meluruskan kiblat


umat Islam dalam shalat. Pada abad kedua, (Muhammadiyah)
harus bertekad untuk meluruskan kiblat bangsa. Yaitu meluruskan
penyimpangan terhadap cita-cita nasional yang diletakkan
the founding fathers.”

Prof. Din Syamsudin, M.A.


Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

1
Ketua Umum PP IPM Periode 2012-2014, Mahasiswa Sastra Arab
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Jika kita mengenal ungkapan umum bahwasanya
pelajar adalah tiang negara (baik pelajarnya, baik pula
negaranya), maka potensi pelajar sangat didambakan oleh
suatu negara. Tinggal potensi pelajar hari ini akan
membanggakan bangsa dan negara, atau justru sebaliknya.
Jumlah pelajar Indonesia yang lebih dari 58 juta itulah
potensi harapan Indonesia.

Melihat kondisi pelajar yang beraneka ragam


dengan bebagai macam karakter, harusnya menjadi
catatan tersendiri. Dari pelajar yang berprestasi hingga
pelajar yang belum memiliki arah hidup pada dasarnya
mereka berusia remaja. Artinya potensi pelajar dalam
menentukan arah hidupnya ke depan berada dalam masa
transisi yang tidak luput dari kerentanan.

Di mana pelajar itu tinggal, dengan siapa, bergaul


dengan siapa, bagaimana kondisi lingkungannya, serta
bagaimana kondisi pendidikan hingga ekonominya sangat
berpengaruh pada karakter yang terbentuk dalam diri
pelajar itu sendiri. Memang banyak pelajar Indonesia yang
memiliki segudang prestasi, tapi tidak sedikit pula yang
terjerumus dalam lembah yang lain. Kenakalan pelajar
misalnya, dapat berdampak buruk dalam kehidupan
pelajar tersebut.

Kehidupan para pelajar dimulai dari mengenal


dunia baru di luar lingkungan keluarga, yaitu sekolah.
Sekolah itulah yang menjadikan seorang anak-anak atau
remaja memiliki gelar pelajar, dalam arti yang sederhana
pelajar berarti orang yang belajar.

Bagaimana seorang pelajar itu belajar, menjadi titik


awal gerbang pengetahuan maupun pemikiran yang masuk
ke dalam wahana pembelajaran pelajar itu. Guru, teman-
teman, buku-buku yang dibaca, maupun lingkungan
sangat erat dalam membentuk karakter pelajar. Pelajar
yang memiliki tekat kuat belajar serta memiliki cita-cita
dan berkomitmen menggapai cita-cita tersebut, merupakan
harapan dari orang tua agar berproses menuju prestasi.

Dari permasalahan pelajar yang ada di tanah air ini,


seperti: tawuran, seks bebas, narkoba, kekerasan, dan lain
sebagainya merupakan salah satu wujud dari aktualisasi
dalam pencarian jati dirinya dalam fase usia remaja. Inilah
yang perlu diadvokasi atau didampingi agar dalam fase
remaja ini, para pelajar dapat sadar, kritis, dan terbuka
akan peran penting yang sedang mereka jalani.

Wujud penanaman nilai maupun norma bukanlah


tanggungjawab guru di sekolah saja. Orang tua, lingkung-
an, mapun aktivis pelajar juga memiliki peran yang sama
dalam membentuk karakter pelajar Indonesia.

Maka dari itu, waktu luang dari pelajar di sela-sela


jam sekolah maupun di luar jam sekolah mesti terisi
dengan kegiatan-kegiatan yang positif. Sehingga tidak ada
pelajar yang gemar dengan jam kosong, membolos, atau
melakukan tindakan-tindakan negatif yang mengarah pada
kenakalan pelajar.

Memaksimalkan Potensi Pelajar

Kaum pelajar sampai saat ini sebagian besar masih


termarginalkan. Belum ada kepercayaan penuh bagi
pelajar itu sendiri dalam mengambil langkah-langkah yang
akan mereka jalani. Orang tua, guru, maupun elemen
masyarakat beranggapan bahwa kaum pelajar tidak
memiliki peran yang berarti selain mesti belajar, menimba
ilmu, serta melakukan aktivitas-aktivitas dalam hal
kegiatan pelajar.

Komunitas pelajar yang ada di sekitar kita, seperti:


komunitas menulis, olah raga, sains, fotografi, komunitas
berbasis hobi, bahkan komunitas di dunia maya, serta
komunitas-komunitas yang lain adalah wujud dari
aksistensi pelajar itu sendiri agar mereka merasa
“dianggap” ada di dunia ini, minimal dalam komunitas-
nya. Potensi pelajar yang demikianlah yang patut
mendapatkan pengakuan dan penghargaan. Dan pemerin-
tah idealnya wajib memfasilitasi keberadaan mereka dalam
komunitas-komunitas tersebut.

Di lain sisi, pelajar juga dituntut sadar akan


perannya di saat masa-masa mereka menyandang gelar
pelajar. Orientasi yang utama bagi pelajar, mereka mesti
peka, kritis, dan kreatif dengan kondisi dan peran mereka
sehingga tidak disorientasi akan perannya yang lebih besar
di masa yang akan datang.

Potensi yang ada dalam pelajar-pelajar itu baiknya


tidak hanya dimaksimalkan oleh kaum pelajar saja, tetapi
semua pihak bertanggung jawab untuk turut ambil bagian
mendampingi segala potensi yang ada dalam pelajar,
karena pelajar adalah aset sumber daya manusia yang jauh
lebih besar potensinya bagi bangsa ke depan.

Reorientasi Gerakan Pelajar

Dunia hari ini tentu jauh berbeda dengan dunia di


masa lalu. Begitupun dunia pelajar. Teknologi canggih,
informasi yang cepat, serta pergaulan global menjadikan
konteks keduniaan yang baru berada di tengah-tengah
kita. Dunia tersebut yang juga dihadapai kaum pelajar hari
ini.

Meluruskan arah kiblat dunia pelajar, tidak akan


mudah dan berhasil tanpa dimulai dari langkah-langkah
strategis menuju gerakan pelajar yang bermartabat dan
berkarakter. Nilai yang dijunjung oleh bangsa kita,
idealnya tertanam jauh di sanubari setiap jiwa pelajar; sifat
jujur, nasionalisme, patriotisme, berakhlak mulia, dan
berbagai nilai yang ada di bangsa kita. Nilai-nilai inilah
yang menjadi pondasi awal yang harus dimiliki setiap
pelajar dalam menjalankan segala aktivitasnya. Dengan
demikian, apapun gerakan pelajar yang diusung akan tetap
memegang teguh nilai dan norma yang ada.

Selain itu, pelajar sebagai basis kaum berilmu


harusnya memiliki gagasan, karya, serta aktualisasi
keilmuan. Budaya membaca, menulis, penelitian, survey,
maupun budaya keintelektualan yang lain benar-benar
diusung dan dibudayakan. Harapan besar bangsa ini dari
pelajar Indonesia adalah bisa menawarkan gagasan,
mengeluarkan keterpurukan bangsa dan menempatkan
bangsa ini setara dengan bangsa-bangsa yang memiliki
peradaban tinggi.

Melihat keterpurukan bangsa kita, peran pelajar


sangat dieluh-eluhkan. Munculnya kaum terpelajar baru
untuk menawarkan solusi dan mengangkat bangsa ini dari
sakit yang sedang dilanda menjadi harapan baru. Sudah
saatnya arah berpikir kaum pelajar lurus ke depan dan
tidak hanya sekedar menatap kondisi bangsa di hari esok.
Akan tetapi, jauh dari itu memberikan baktinya untuk
negeri ini dengan kegiatan-kegiatan nyata sesuai levelnya-
lah yang segera diagendakan oleh pelajar-pelajar Indonesia.
Bangkit terus pelajar Indonesia, dan persiapkan diri setiap
pelajar menjadi pemimpin amanah bagi bangsa.
Memaknai
Cita-Cita Pergerakan

––Achmad Rosyidi2

“Melangkah ke depan dalam perjalanan bangsa, umat Islam


haruslah menjadi jama’ah yang membentuk konvoi. Berjalan
bersama dan maju bersama. Jika ada sebagian yang berjalan
terlalu cepat, atau sebagian lain terlalu lamban, maka konvoi
itu akan berantakan. Maka, sangat penting bagi umat Islam
untuk saling mendorong supaya maju bersama, dan tidak ada
yang tertinggal dan menjadi beban sejarah.”

Prof. Dr. Syafiq A. Mughni, M.A.

2
Ketua PP IPM bidang Organisasi periode 2012-2014, Sarjana Hukum
Islam, Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya
Cita-cita, sesuatu yang tidak nyata dan tempatnya
sangat jauh. Jauh karena tidak ada yang tahu kapan bisa
bertemu. Cita-cita selalu indah karena ia adalah gambaran
masa datang yang diinginkan setiap orang, indah bagi satu
orang, sang pembawa cita-cita, belum tentu indah pula
bagi yang lain.

Cita-cita bukan hanya untuk dimiliki, ia ingin kita


kejar, bagaimanapun caranya harus tertangkap. Pertaruhan
bukan hanya dalam gengsi tetapi hidup itu sendiri.
Manusia yang tidak sampai pada cita-citanya akan tiba
pada dua pilihan: berhasil dengan cita-cita lain, atau larut
dalam penyesalan yang berkepanjangan. Kemungkinan
kedua ini bisa saja berujung maut, tentu bila cadangan
iman sudah kalah wibawa dengan beratnya beban hidup.
Iman itu mundur dengan sendirinya bila mencapai taraf
klimaks manusia tidak lagi merasa ada yang pantas
diperjuangkan. Tidak ada yang pantas diambil selain
mengakhiri hidup yang sudah tidak ada gunanya.

Sedikit kita berefleksi kedalam tubuh Ikatan yang


kita cintai ini, apa cita-cita IPM itu? Atau apa yang
diperjuangkan? Mungkin kita atau sebagian dari kita
belum bisa memahami tujuan ber-IPM. Ada yang ber-IPM
mungkin karena ada orang yang disukainya disana, atau
ada kepentingan jangka pendek – misalnya mau jadi dosen
di Universitas Muhammadiyah atau ingin beasiswa kuliah,
atau ingin jadi pegawai di Amal Usaha Muhammadiyah,
atau ada yang dipaksa gurunya masuk IPM, supaya tidak
dapat nilai bagus untuk mata pelajaran Al-Islam Ke-
Muhammadiyahan-nya, atau macam-macamlah. Baik,
memang pada titik tertentu adakalanya terpaksa, lalu
dalam keterpaksaan itu, ia mencari hakekat. Lalu ia
menemukannya. Tidak jadi persoalan, jika seperti ini
kasusnya.

Jadi ber-IPM pun harus memiliki cita-cita, yang


mampu mendorong kita bergerak melaksanakan dakwah
dan pencerahan di masyarakat. Tanpa ada cita-cita, kita
akan stagnan. Atau karena merasa cita-cita sudah tergapai,
sehingga kita tidak lagi memiliki motivasi, boleh jadi
karena kita abai dalam memberikan makna terhadap cita-
cita Ikatan yaitu: terbentuknya pelajar Muslim yang berilmu,
berahlaq mulia dan terampil dalam rangka menegakkan dan
menjunjung tinggi nilai-nilai Islam sehingga terwujud
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Momentum transformasi IPM, harus menjadi


pelatuk bagi revitalisasi cita-cita itu. Kader IPM harus
memaknai dan menafsirkan cita-citanya. Bermimpilah.
Seperti ketika anak-anak itu ditanya mengenai cita-citanya.

Bila kita melihat pada kenyataan hidup kita selalu


diiring dengan adanya suatu perubahan, perubahan ini
merupakan salah satu proses alami yang akan dialami oleh
semua elemen kehidupan termasuk didalamnya manusia.
Cita-cita manusia sendiri hidup dengan penuh perubahan,
dahulu kala kehidupan manusia identik dengan zaman
prasejarah dimana semuanya penuh dengan sangkaan-
sangkaan yang penuh di kepala kita. bagaimana kehidupan
manusia dulu pada zaman purba. mulai dari zaman
paleolitikum, mesolitukum bahkan sampai megalitikum yang
penuh dengan pergerakan-peregakan yang mengiringi
setiap zaman.

Begitu juga kehidupan manusia pada zaman sejarah


mulai ditemukan suatu tulisan dan bahasa selalu menga-
lami perubahan dan pergerakan. Pergerakan yang paling
dirasakan oleh kehidupan manusia adalah ditemukannya
mesin uap oleh seorang ilmuan dari Inggris bernama
James Watt, selain itu pergerakan di penjara Bastille di
Perancis dan masih banyak lagi suatu pergerakan yang
merubah kehidupan manusia.

Bila kita lihat bahwa IPM sebagai pergerakan adalah


langkah awal dari sebuah perjuangan misi kenabian yang
akan menuju suatu keadaan yang lebih baik. Gerakan IPM
merupakan suatu arti usaha terus menerus untuk pindah
atau merubah sesuatu dari tempat ke tempat dan dari
masa ke masa yang lain yang berulang-ulang. Artinya
pergerakan IPM akan memberikan suatu perubahan ketika
dilakukan dalam suatu kegiatan yang continue bukan
kegiatan yang dilakukan sekali dalam seumur hidup.

Dari OKP Terbaik, Menuju Gerakan Terbaik

Bila kita kembali membuka memori kita bagaimana


seorang ilmuwan melakukan pergerakan dalam bidang
ilmu dan pengetahuan dilakukan dalam waktu yang begitu
lama mulai dari suatu penelitian yang menghabiskan
waktu berhari-hari dan bahkan sampai bertahun-tahun.
Para ilmuawan melakukan suatu pergerakan untuk
masyarkat luas dengan penuh kesabaran dan keihlasan
sehingga hasil yang dilakukan begitu memuaskan dan
sangat bermanfaat bagi manusia. kita lihat bagaimana
suatu ilmuan melakukan pergerakan agar manusia bisa
terbang keangkasa seperti burung butuh waktu bertahun-
tahun bahkan puluhan tahun untuk menemukan hasil
yang maksimal bahkan tidak sedikit pengorbanan yang
mereka berikan.

Akan tetapi pergerakan IPM saat ini adalah


sangatlah bertentangan dengan kehidupan masa lalu, saat
ini pergerakan IPM seakan-akan hanya dilakukan ketika
memberikan suatu manfaat bagi internal, bahkan saat ini
pergerakan IPM yang dilakukan hanya sebatas pergerakan
yang insidental dan hanya dilakukan sesaat saja. Sehingga
hasil yang dirasakan kurang maksimal dan bahkan
hasilnya tidak ada, yang ada hanyalah seremonial semata.

Pergerakan IPM bisa dirasakan oleh masyarakat


banyak adalah bila pergerakan tersebut dilakukan dengan
penuh hati-hati, terarah, penuh semangat dan bahkan
dilakukan dengan cara continue. Pergerakan dilakukan
tidak hanya dengan menggunakan kekuatan fisik, politik,
tetapi harus juga dengan menggunakan pengorbanan, baik
itu harta benda, fisik dan bahkan nyawa pun harus
dikorbankan. kita lihat bagaimana suatu pahlawan
melakukan pergerakan kemerdekaan untuk membebaskan
suatu penjajah dari tanah Indonesia ini dengan penuh
keyakinan, penuh pengorbanan bahkan sampai nyawapun
rela dikorbankan. itu merupakan suatu contoh pergerakan
yang begitu mahal dan begitu berharga untuk melakukan
perubahan-perubahan dalam kehidupan.

Kini, IPM sudah menjadi Organisasi Kepemudaan


(OKP) terbaik, kini saatnya menjadi pergerakan terbaik.
Begitu juga dengan pergerakan-pergerakan yang dilakukan
oleh pelajar lain haruslah continue tidak hanya sebatas
waktu saja, melainkan harus terus dan terus menerus
untuk mencapai hasil yang diingkan dan dilakukan
dengan penuh keyakinan, kerjasama dan bahkan dengan
penuh pengorbanan. Itulah makna dari suatu cita-cita
pergerakan. Sebuah gerakan pelajar masa kini harus
memiliki kesadaran untuk memilih ideologinya sendiri
agar dapat memperjelas makna dan tujuan perjuangan
dari eksistensinya.

Ali Syariati (1995: 157) mengatakan bahwa ideologi


selalu dihubungkan dengan pelajar dan keduanya saling
memerlukan. Ideologi menuntut bahwa gerakan pelajar
haruslah memihak. Oleh karena itu, IPM dituntut untuk
memiliki pemahaman yang mendalam mengenai ideologi
yang dapat membantu mengembangkan suatu pola
pemikiran khas Muhammadiyah, yakni ideologi Islam
berkemajuan.
Kini IPM berada dalam tantangan perjuangan yang
luar biasa kompleks. Di lingkungan sendiri berhadapan
dengan masalah dan agenda Muhammadiyah yang tidak
ringan, ketika gerakan Islam berkemajuan terbesar ini
memasuki abad kedua pasca Muktamar Satu Abad
Muhammadiyah di Yogyakarta tahun 2010 yang lalu, IPM
dituntut untuk menjadi bagian dari gerakan dakwah dan
tajdid Muhammadiyah. Seiring dengan perubahan sosial
yang menyertai masyarakat yang melahirkannya, tengah
dihadapkan pada berbagai masalah yang tidak ringan
seperti ancaman tawuran, narkoba, dan virus-virus lainnya
yang dapat merusak potensi dan martabat pelajar selaku
pewaris peradaban bangsa. Pada posisi demikian
menantang untuk menjadi kekuatan pencerah (problem
solver).

Menjadi Aksentuator Gerakan

Di samping filosofi kelahiran IPM yang memiliki


makna kelahiran yang syarat dengan gerakan ide, atau visi
kemajuan. Kelahiran IPM memiliki dua nilai strategis.
Pertama, IPM sebagai aksentuator gerakan dakwah amar
makruf nahi munkar Muhammadiyah di kalangan pelajar
(bermuatan pada membangun kekuatan pelajar meng-
hadapi tantangan eksternal). Kedua, IPM sebagai lembaga
kaderisasi Muhammadiyah yang dapat membawakan misi
Muhammadiyah di masa yang akan datang. (Tanfidz
Mutamar XVII IPM: 18). Jelas sekali peran dan fungsi IPM
yakni sebagai aksentuator gerakan Muhammadiyah. Hal
ini memiliki peran aksiologis bagi Muhammadiyah.
Sebagai aksentuator gerakan Muhammadiyah, IPM bertang-
gung jawab mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-
benarnya. IPM memiliki tugas sebagai penggerak, penekan
atau pemukul bunyi irama dakwah dan tajdid
Muhammadiyah, artinya ketika gerakan Muhammadiyah
kurang terdengar di telinga masyarakat, maka tugas IPM
ialah membantu Muhammadiyah supaya terdengar untuk
umat, bangsa, dan kemanusiaan.

Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya sebagai-


mana menjadi proyeksi dari visi ideal Muhammadiyah.
Kini Muhammadiyah yang tengah memasuki abad kedua
di tengah dinamika kehidupan modern dan pasca-modern
yang kompleks dan sarat perubahan itu, tentu dituntut
untuk mampu menjadi pengemban misi dakwah dan
tajdid sehingga gerakan Muhammadiyah ini mampu
mewujudkan tatanan peradaban utama sebagaimana yang
dicita-citakannya.
Sekolah: Poros Gerakan
Pelajar Berkemajuan

––Lesti Kaslati Siregar3

“Kita semua harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan


saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang.
Karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru.
Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru,
maka “kemajuan” sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan
dari kamus umat manusia.”

Rumah Kaca, Pramoedya Ananta Toer

3
Ketua PP IPM bidang Perkaderan periode 2012-2014, Mahasiswi
Pascasarjana Bahasa Inggris UHAMKA
Sejarah perjalanan bangsa Indonesia telah mencatat
banyak kisah. Salah satunya sejarah tentang perjuangan
seluruh elemen bangsa ini dalam menegakan hak merde-
ka, hak berbangsa, dan hak berkemajuan. Sebuah perju-
angan yang tidak ringan, perjuangan untuk merdeka dari
penjajahan, perjuangan untuk berdiri sebagai bangsa, dan
perjuangan untuk maju, yang lebih baik dan lebih
bermartabat. Perjuangan yang keras dan panjang tersebut,
telah dilakukan dengan berbagai macam jalan, baik
perjuangan dengan jalan perang senjata, perang intelek-
tual, maupun perang diplomasi.

Kaum pelajar pada masa perjuangan tersebut


memberikan angina segar dalam perjalanan perjuangan
kala itu, rata-rata kaum pelajar ini merupakan kaum muda
Indonesia yang mendapatkan kesempatan untuk belajar di
sekolah-sekolah yang didirikan di Indonesia oleh negara-
negara penjajah maupun sekolah-sekolah di negara-negara
lain pada masa itu.

Kemajuan berpikir yang mereka dapat kandari hasil


bersekolah, menjadi titik tolak dalam memulai gerakan.
Gerakan intelektual yang diantaranya dengan propaganda
isu, penerbitan media cetak, kelompok-kelompok diskusi,
hingga mendirikan sekolah bagi kaum jelata. Hal itu juga
yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan, kemajuan
berpikirnya yang didapat dari sekolahnya, mendorongnya
untuk melakukan gerakan sosial.
Sisi lain sekolah menjadi laboratorium sosial,
dimana sekolah digunakan untuk melihat dan mengamati
sebuah gejala dan fenomena sosial yang terjadi.
Komponen-komponen sosial di dalamnya bias diamati
secara jelas adanya gejala sosial yang mungkin ditimbul-
kan. Fenomena pelajar, gejala sosial dan segala dunianya
dapat diamati melalui sekolah, maka tidak lain sekolah
menjadi poros dari gerakan pelajar.

Berkemajuan dari Sekolah

“Semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin


menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal
batas.” (Bumi Manusia, h. 138) ―Pramoedya Ananta
Toer. IPM yang saat ini mencoba mengusung Gerakan
Pelajar Berkemajuan (GPB), sesungguhnya adalah sebuah
keniscayaan, sudah menjadi keharusan ketika IPM
memang bergerak di ranah pelajar, di ranah-ranah kaum
terpelajar (intelektual) untuk menjadi roda gerakan
berkemajuan. Maka IPM tidak bisa tidak, harus memulai
gerakan pelajar berkemajuan melalui poros sekolah,
kembali merespon gejala-gejala sosial yang terjadi dengan
pelajar dan dunianya di sekolah-sekolah.

Mengapa Gerakan Pelajar Berkemajuan harus


berporos dari sekolah? Hal ini dikarenakan, sekolah tidak
hanya sebagai laboratorium sosial yang mengamati
fenomena gejala sosial, sekolah juga harus menjadi sebuah
lembaga sosial yang memiliki manfaat tidak hanya bagi
kelompok sosial yang ada di dalam sekolah tersebut, tetapi
juga bagi kelompok sosial di luar sekolah yang ada di
sekitarnya.

Sekolah memiliki fungsisosial, sekolah menjadi


wahana sosialisasi dan transmisi nilai, budaya, pola, ide
sosial yang ada di masyarakat melalui sebuah proses yang
disebut dengan belajar. Akan tetapi sekolah tidak hanya
berfungsi sebagai sosialisasi dan transmisi nilai, budaya
dan ide saja, akan tetapi sekolah harus menjadi transfor-
masi nilai, budaya, dan ide. Artinya sekolah mampu
melakukan perubahan yang maju sesuai dengan perkem-
bangan zaman yang ada, agar kehidupan masyarakat tidak
asing dan tertinggal.

Ikatan Pelajar Muhammadiyah harus mampu


memanfaatkan peran dan fungsi sekolah ini sebagai poros
gerakan pelajar berkemajuan-nya. Secara institusi, IPM
harus memerankan sekolah sebagai mitra dalam gerakan-
nya, mensinergikan ide dalam melakukan gerakan
perubahan, gerakan berkemajuan, melahirkan pelajar-
pelajar yang tidak hanya berilmu secara individu, namun
memiliki karakter (akhlak mulia) serta membawa manfaat
sosial. Secara individu, Kader-kader IPM (pelajar) harus
berperan sebagai subyek perubahan, melakukan transmisi
ide dan budaya bagi pelajar sekolah, dan transformasi
sosial bagi komponen di luar sekolah.
Gerakan-gerakan Keislaman, Keilmuan, dan
Advokasi yang dilakukan IPM, sudah menjadi modal yang
cukup bagi Gerakan Pelajar Berkemajuan yang saat ini
dijalani oleh IPM. Tetapi akan menjadi jauh lebih tajam,
jika gerakan-gerakan tersebut mampu disenergikan secara
baik dengan sekolah. Sekolah sebagai labotarorium sosial,
IPM sebagai gerakan sosial masyarakat dan pelajar, sebagai
kaum intelektual agen perubahan, merupakan komposisi
yang sempurna dalam Gerakan Pelajar Berkemajuan.
Salam perubahan untuk pelajar Indonesia!
Road Map
Gerakan Keilmuan IPM

––Hery Wawan4

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis,


ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Pramoedya Ananta Toer

4
Ketua PP IPM bidang Pengkajian Ilmu Pengetahuan (PIP) periode
2012-2014
Gerakan ilmu. Istilah ini kembali populer setelah
Buya Syafi’i Maarif melontarkannya dalam Pengajian
Ramadhan PP Muhammadiyah tahun 2009/1430 Hijriyah
di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Buya Syafi’i
berpesan agar Muhammadiyah perlu mendeklarasikan diri
sebagai sebuah gerakan ilmu dan gagasan peradaban untuk
membentuk masyarakat Islam. Dengan kesediaan
Muhammadiyah tampil sebagai gerakan ilmu, diharapkan
muncul kelompok yang dapat diandalkan sebagai rujukan
dalam memahami masalah besar yang menyangkut
pemahaman agama, ilmu pengetahuan sosial dan alam,
kemanusiaan, kebudayaan, dan peradaban.

Buya Syafi’i mengatakan dengan jumlah umat Islam


pada 2009 sebanyak 1,82 miliar orang yang tersebar di 183
negara, dari sisi kuantitas memang tidak ada yang perlu
dirisaukan. Namun, jumlah besar tersebut dinilai masih
minus kualitas yang tidak mempunyai banyak makna
strategis secara global. Buya Syafi’i menyatakan bahwa
umat Islam masih belum berdaya dalam untuk mengawal
gerak peradaban karena persyaratan untuk itu belum
dimiliki. Umat Islam masih kurang ilmu dan wawasannya
terbatas.

Oleh karena itu, lanjut Buya, saat kita takut kepada


gesekan dan benturan pemikiran, sebenarnya itu adalah
pertanda dari keruntuhan dan pembusukan kreativitas
intelektual. Jika itu terjadi, berarti kita sedang menggali
kuburan kemerdekaan berpikir yang sangat diperlukan
dalam upaya kemajuan.

Belajar dari Sejarah

Kondisi umat Islam hari ini sangat kontras dengan


sejarah puncak peradaban yang pernah dicapai umat Islam
adalah ketika pada masa kekhalifahan Harun al-Rasyid
(786-809) dan putranya al-Makmun (813-833). Dalam
ulasan Tafsir5, Sekretaris PW Muhammadiyah Jawa
Tengah, kunci pencapaian masa keemasan itu diraih
dengan menguasai ilmu pengetahuan. Khalifah Harun al-
Rasyid dan al-Makmun adalah dua pemimpin yang sangat
gandrung ilmu pengetahuan. Dengan kekuasaan yang
dimilikinya mereka gunakan untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan. Dunia kedokteran, filsafat, arsitektur,
astronomi, dan seni berkembang dengan sangat pesat.

Tafsir melanjutkan bahwa kejayaan itu diraih salah


satunya melalui sebuah lembaga Bait al-Hikmah yang tidak
hanya berfungsi sebagai pusat penerjemahan buku-buku
asing, khususnya Yunani, tetapi juga sebagai pusat
pengembangan ilmu pengetahuan yang setara dengan
lembaga perguruan tinggi. Kehebatan inilah yang telah

5
Tafsir “Muhammadiyah sebagai Gerakan Ilmu”, Mungkinkah?
http://maarifinstitute.org/id /berita/berita-
media/79/muhammadiyah-sebagai-gerakan-ilmu-mung-kinkah-
tanggapan-atas-tulisan-buya-syafii-maarif. (Diakses pada tanggal 02
Juli 2013 Pukul 00:08)
membawa Baghdad sebagai pusat kekuasaan Abbasiyah
menjadi ’kota yang tiada bandingnya di seluruh dunia’
kala itu. Lembaran sejarah dunia abad ke-9 ini
menampilkan dua nama besar dalam percaturan dunia,
Harun al-Rasyid di Timur dan Charlemagne di Barat. Dari
dua nama itu, Harun al-Rasyid jelas lebih berkuasa dan
menampilkan budaya yang lebih tinggi.

Kegemilangan peradaban yang diraih pada masa ini


dilatarbelakangi, sambung tafsir, disebabkan oleh
beberapa faktor. Pertama, keterbukaan menerima ilmu
pengetahuan dari manapun datangnya tanpa melihat latar
belakang nara sumber pengetahuan. Sadar bahwa
Abbasiyah yang Arab belum memiliki pengetahuan yang
memadai untuk membangun peradaban, dengan lapang
dada belajar ke negeri “kafir” Yunani yang Kristen.
Bahkan juga dari India yang Hindu dan Persia yang
Majusi. Kedua, penerjemahan buku asing yang dapat
dipakai untuk mendukung pembangunan peradaban. Di
sini, penguasaan bahasa sebagai sumber pengetahuan
menjadi sangat mutlak dikuasai.

Ketiga, profesionalitas adalah jauh lebih penting


daripada hubungan emosional kelompok. Hal dapat
dilihat bagaimana megaproyek penerjemahan buku-buku
asing pada masa Abbasiyah ini banyak meminta tenaga
profesional non-Muslim mengingat belum atau memang
tidak ada kalangan internal Abbasiyah yang mampu
melakukannya. Salah satu nama penerjemah pada waktu
itu adalah seorang Suriah Kristen yang bernama Yuhanna
ibn Masawayh (w. 857) yang banyak menterjemahkan
manuskrip kedokteran untuk Harun al-Rasyid. Tokoh
terpenting dan sering disebut sebagai ’Ketua Para
Penerjemah’ adalah Hunayn ibn Ishaq (809-873), seorang
penganut Kristen Nestor dari Hirah yang dalam
melaksanakan tugasnya dibantu oleh anaknya yang
bernama Ishaq. Hunayn ibn Ishaq menterjemahkan karya-
karya Yunani ke dalam bahasa Suriah, kemudian anaknya-
lah yang menterjemahkan dari bahasa Suriah ke Bahasa
Arab. Al-ma’mun membayar Hunayn dengan emas sebesar
buku yang diterjemahkannya.

IPM Sebagai Gerakan Ilmu

Sebenarnya istilah ini bukan terma baru di Ikatan


Pelajar Muhammadiyah (IPM), dalam istilah Paradigma
Gerakan IPM––Hasil Muktamar 2000––ditegaskan bahwa
IPM (saat itu masih IRM) adalah gerakan yang memiliki
“visi keilmuan”. Visi tersebut dijelaskan sebagai berikut:6

“Visi keilmuan IRM didasari pada pandangan


mendasar Ikatan Remaja Muhammadiyah terhadap
Ilmu Pengetahuan. Pandangan tersebut berakar
pada keyakinan bahwa pada hakikatnya sumber
ilmu di dunia ini adalah Allah Swt. Konsekuensinya

6
Pimpinan Pusat IRM, Tanfidz Muktamar IRM Tahun 2000, (Jakarta:
PP IRM, 2000).
adalah perkembangan ilmu pengetahuan harus
berawal dan mendapat kontrol dari sikap pasrah
dan tunduk kepada Allah Swt.”

Visi di atas lalu diterjemahkan kedalam Misi


“Membangun Tradisi Keilmuan”. Dalam Dasar-dasar
Gerakan IPM tersebut dijelaskan bahwa IPM membawa
misi keilmuannya kepada tatanan kehidupan yang
manusiawi dan beradab serta jauh dari tatanan kehidupan
yang sekularistik, hedonistik dan mekanistik (merupakan
implikasi serius dari perkembangan IPTEK sekarang ini).
Remaja muslim sebagai objek dan subjek dalam gerakan
IPM dalam mengembangkan potensi keilmuannya harus
selalu berorientasi kepada kemaslahatan masyarakat,
bangsa dan negara. Dan potensi keilmuan remaja dapat
dikembangkan dalam komunitas yang memiliki tradisi
keilmuan.

Dalam membangun tradisi keilmuan tersebut, IPM


berangkat dari asumsi dan prinsip antara lain:

1. Ilmu pengetahuan harus dikuasai untuk mendapatkan


kedudukan sebagai manusia terhormat dan berkualitas
dihadapan Allah Swt.
2. Semangat menggali khazanah keilmuan harus
dibarengi dengan eksplorasi spritualitas, sehingga
tidak melahirkan karakter manusia berilmu yang
sekular.
3. Dengan ilmu pengetahuan perspektif remaja tentang
realitas sosial menyatu dengan perspektifnya tentang
Tuhan/agama.

Gambaran visi dan misi keilmuan IPM di atas


senada dengan ulasan Buya Syafii Ma’arif tentang The
Unity of Knowledge.7 Dalam konsep ini, apa yang dikenal
dengan konsep pendidikan sekuler dan konsep pendi-
dikan agama, telah kehilangan relevansinya. Seluruh
cabang ilmu pengetahuan dalam konsep ini bertujuan
membawa manusia mendekati Allah, sebagai sumber
tertinggi dari segala-galanya.

Jika seluruh kegiatan ilmu pengetahuan adalah


untuk mencari dan mendekati Allah dengan membaca
tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan-Nya, lanjut Syafi’i
Maarif, maka atribut-atribut serba-Islam yang ditempelkan
kepada berbagai ilmu pengetahuan tidak diperlukan lagi,
seperti kedokteran Islam, psikologi Islam, dan sebagainya.
Jika kita masih juga mau berbicara tentang Islamisasi,
maka yang perlu diislamisasi adalah pusat kesadaran
manusia yang terdapat di otak dan hati. Seyogyanya
demikian pulalah IPM memandang tradisi keilmuan, tidak
terjebak pada sekat ilmu agama atau ilmu sekuler. Ilmu
Islam atau Ilmu Barat.

7
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dalam Bingkai Kemanusiaan dan
Keindonesiaan, (Bandung: Mizan 2009), hlm. 220.
Kita tidak boleh sekadar
menyerukan pentingnya
membaca, namun tidak
Road Map Gerakan Keilmuan IPM
menyediakan wahana
Menurut saya, setidaknya ada seperti buku atau akses
beberapa langkah untuk memperkuat internet. Minimal setiap
gerakan ilmu di IPM. Pertama, jenjang Pimpinan
menyediakan wadah
“revitalisasi perkaderan”. Artinya,
berupa taman baca.
fasilitator yang akan mengelola
Disamping itu, IPM juga
perkaderan IPM harus memiliki harus proaktif mendesak
kompetensi dan kualifikasi keilmuan. pemerintah atau
Bahkan, jika diperlukan, diadakan pimpinan persyarikatan
“refreshing fasilitator secara massif”. agar mau menyediakan
Konten refreshingnya diarahkan pada fasilitas perpustakaan
atau taman baca ini.
penguatan kapasitas intelektual para
Potensi internal
fasilitator ini. Tak kalah pentingnya,
persyarikatan
tentu saja adalah meninjau kembali sebenarnya luar biasa
Sistem Perkaderan IPM (SPI). jika dapat dimobilisasi
Apakah SPI ini telah menghantarkan mendukung gerakan ini.
kader-kader IPM memiliki etos
keilmuan? Atau menumbuhkan
kader-kader yang hanya berorientasi
kepemimpinan dan keorganisa-sian semata? Revitalisasi
etos kelimuan pada ranah kaderisasi ini menjadi penting,
sebab saat ini, inilah ruang tarbiyah yang paling massif di
seluruh jenjang pimpinan IPM se-nusantara.

Kedua, mengembangkan tradisi mem-baca. Kita


tidak boleh sekadar menyerukan pentingnya membaca,
namun tidak menyediakan wahana seperti buku atau akses
internet. Minimal setiap jenjang pimpinan menyediakan
wadah berupa taman baca. Disamping itu, IPM juga harus
proaktif mendesak pemerintah atau pimpinan
persyarikatan agar mau menyediakan fasilitas perpus-
takaan atau taman baca ini. Potensi internal persyarikatan
sebenarnya luar biasa jika dapat dimobilisasi mendukung
gerakan ini. Bisa kita bayangkan, kalau di setiap amal
usaha Muhammadiyah tersedia “Taman Bacaan
Masyarakat”. Berapa banyak sekolah dan masjid yang kita
miliki? Muhammadiyah akan menjadi lokomotif gerakan
ilmu bagi bangsa ini.

Ketiga, membangun tradisi menulis. Demikian pula


halnya dengan tradisi menulis. Kita tak boleh berhenti
sekadar pada tataran slogan, “Mari Menulis!” Tapi, IPM
harus menyediakan wadah bagi para pelajar untuk
menempa kemampuan menulisnya, ruang seperti
Kelompok Ilmiah Pelajar (KIP), komunitas sastra, dan
semacamnya perlu digencarkan kembali. Tak lupa, ruang
untuk menulis pun perlu dipikirkan, misalnya menerbit-
kan majalah, jurnal, atau buletin. Demikian pula
menyediakan ruang-ruang virtual, seperti web atau blog di
setiap jenjang pimpinan.

Keempat, mengembangkan tradisi diskusi ilmiah.


Wahana seperti seminar, simposium, bedah buku,
ataupun diskusi terbuka perlu diintensifkan. Melalui
ruang inilah kita mempercakapkan hasil bacaan, melalui
wadah inilah kita mempertanggungjawabkan tulisan.
Bahkan kalau perlu, dibuatkan regulasi agar dalam setiap
ceremonial organisasi, aktivitas semacam ini selalu
menyertainya. Tradisi ini harus ditopang oleh dua tradisi
sebelumnya, yaitu tradisi membaca dan menulis, jika tidak
maka tradisi ini akan menjadi ring debat kusir, tidak
bernuansa ilmiah. “Tong kosong nyaring bunyinya”, kata
pepatah.

Kelima, penguasaan teknologi informasi. Teknologi


informasi, khususnya internet, dengan jumlah pengguna
yang semakin besar di Indonesia bisa menjadi satu
alternatif teknologi pendukung pergerakan IPM. Gerakan
kita di era dunia datar harus lebih cerdas, lebih efektif,
sehingga energi dan biaya yang kita miliki tidak mubadzir
dan bisa dialokasikan untuk berbagai kegiatan lain yang
lebih bermanfaat. Kemampuan teknologi informasi adalah
kemampuan tak terelakkan bagi kader-kader IPM.

Keenam, strategi yang tak kalah pentingnya adalah


penguasaan bahasa asing. Idealnya, minimal kemampuan
Bahasa Arab dan Bahasa Inggris, dimiliki oleh kader IPM.
Pimpinan di setiap jenjang seyogyanya memfasilitasi
kursus untuk meningkatkan kapasitas penguasaan bahasa
asing ini. Kemampuan ini diperlukan agar kader-kader
IPM memiliki akses untuk menyelami khazanah kelilmuan
klasik maupun kontemporer.

Tulisan ini tidak menawarkan gagasan baru. Tulisan


ini hanya mengumpulkan mozaik-mozaik yang terserak
dalam dokumen-dokumen organisasi yang telah sering kita
kumandangkan, namun belum menjadi tradisi yang hidup
dalam gerakan kita. Pertanyaan yang sampai saat ini masih
menggelisahkan, kalau memang benar kita adalah
“Gerakan Pelajar” Berkemajuan, tradisi keunggulan apa
yang kita tawarkan kepada pelajar Indonesia? Mari kita
menjawabnya dengan bukti!
Pelajar Berilmu, Manifestasi
Manusia Rabbaniyah

––Aman Nurrahman Kahfi8

Pertama-tama, kita beriman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.


Iman itu melahirkan tata nilai berdasarkan Katuhanan Yang
Maha Esa (Rabbaniyah), yaitu tata nilai yang dijiwai oleh
kesadaran bahwa hidup ini berasal dari Tuhan dan menuju kepada
Tuhan (innaa lillaah wa innaa ilayhi raaji’un, sesungguhnya kita
berasal dari Tuhan dan kita akan kembali kepada-Nya).
Maka, Tuhan adalah “sangkan paran” (asal dan tujuan)
“hurip” (hidup), “dumadi” (bahkan seluruh makhluk).

Nurcholish Madjid

8
Ketua PP IPM bidang Kajian Dakwah Islam (KDI) periode 2012-2014
Manusia diciptakan oleh Allah dengan konstruksi
fisik dan psikis (mental) yang sempurna, yang dengannya
memungkinkan untuk menjadi makhluk yang bertang-
gung jawab (khalifah) di dunia ini (QS. 2:30) atau
sebaliknya, akan menjadi perusak (QS. 30:42). Manusia
juga dibekali akal yang berfungsi untuk merenungkan dan
memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah secara objektif
setelah melalui proses melihat, mendengar, dan lain-lain.

Akal juga yang memungkinkan manusia untuk


menganalisis dan memahami antara benar dan salah atau
baik dan buruk, sehingga dengan fungsi akal Allah pun
membebankan kewajiban-kewajiban syariat kepada
manusia. Orang yang belum baligh, tidak waras, pingsan,
atau tidur, bagi mereka tidak dibebankan hukum taklifi.
Apabila manusia menggunakan akalnya dengan optimal,
maka derajat manusia melebihi malaikat karena ketaatan-
nya melalui proses kesadaran (QS. 2:33). Sebaliknya, Allah
Swt mengumpamakan manusia akan sama halnya dengan
binatang atau lebih buruk dari itu kala dominasi nafsunya
mengalahkan akal (QS. 7:179).

Modal fisik, psikis, dan akal telah Allah berikan


kepada manusia untuk menjadi pemimpin (khalifah) di
bumi ini dengan tidak mengurangi tugas wajib bagi semua
makhluk-Nya yaitu beribadah. Manusia tidak mungkin
menjadi khalifah ketika pandangannya sempit dan pengua-
saannya terbatas. Hanya manusia yang menggunakan
potensi akalnya untuk berpikirlah yang akan menguasai
segala.

Dalam beribadah, Allah menggariskan agar apa


yang kita lakukan sebagai wujud dari implementasi
penghambaan kita pada Allah harus dibarengi dengan
kesadaran dan mengetahui dasar hukum pelaksanaannya.
Orang yang menjalankan amalan tanpa disertai dengan
ilmu, maka dia termasuk muqallid (the real follower), sedang-
kan bentuk ibadahnya ini termasuk golongan yang paling
bawah.

Pandangan Islam Tentang Ilmu

Islam satu-satunya agama samawi yang sesuai


dengan fitrah manusia (QS. 30:30). Maka semua yang ada
di dalam ajaran Islam ini pasti sejalan dengan fitrah
manusia. Termasuk ilmu yang menjadi bagian dalam
perkembangan Islam. Banyak ayat di dalam Al-Qur’an
yang berakhiran dengan kalimat Allah untuk mengajak
manusia berpikir dan mengedepankan logika dalam
mengambil pelajaran (ibrah).

Proses berpikirnya manusia pasti didasarkan pada


akal yang logis dan saintifik, sehingga dari proses berpikir
itulah muncul pengetahuan yang mungkin menjadi
penemuan baru. Al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah
1450-an tahun lalu mengilami banyak ilmu yang baru
tersibak di abad pembaruan ini. Proses kejadian manusia
(QS. 23:14), perhitungan tahun (QS. 9:36), proses
terbentuknya hujan (QS. 24:43), dan masih banyak lagi.
Ini adalah tanda modernitas Al-Qur’an yang semakin
digali, semakin banyak ilmu pengetahuan yang kita
dapatkan (QS. 31:27), karena teks Al-Qur’an universal
yang sesuai di manapun dan kapanpun (ash-shahihu fiy kulli
makan wa fiy kulli zaman).

Semua orang yang beriman kepada Allah dengan


dibekali ilmu sudah dijamin oleh Allah mendapatkan
kedudukan yang tinggi (QS. 58:11). Sebagaimana
Rasulullah Saw juga memberikan isyarat kepada kita
apabila kita ingin sukses dunia dan akhirat, maka jalan
satu-satunya adalah dengan ilmu, bukan dengan harta atau
tahta. Hal ini dibuktikan dengan majunya peradaban
Islam sampai ke negara-negara Asia, Eropa, dan Afrika.
Corak Islam terasa pada semua aspek kehidupan, baik
perdagangan, pengobatan, arsitektur, serta berbagai
keilmuan yang lainnya.

Penjajahan Itu Bernama Modernisme

Pada saat banyak orang Islam hanya menyelesaikan


ritual agama dan mengesampingkan ilmu, peradaban
Islam mengalami kondisi stagnan (status quo) dan
kejumudan. Pada saat yang sama, Barat banyak belajar
tentang ilmu pengetahuan yang dimiliki Islam, sehingga
akhirnya keadaan terbalik. Islam diusir dan dibumihangus-
kan dari Eropa. Dalam perkembangannya, ilmu (sains)
dalam peradaban Barat menjadi dominan dan mengalah-
kan otoritas gereja (agama). Dinamika yang terjadi adalah
karena agama Kristen tidak bisa menjawab pertanyaan-
pertanyaan saintis dan filosof berkaitan dengan logika
agama.

Kita tahu, ajaran dalam Kristen satu dengan yang


lainnya tidak sinkron. Akhirnya terbangunlah nalar Barat
yang berkembang dengan meninggalkan otoritas Tuhan
(Kristen). Akal (logika) yang kehilangan dimensi humanis
dan dimensi ketuhanan dan telah berubah menjadi
dimensi individual yang berujung pada hegemoni,
dominasi, dan penindasan. Akal bukan lagi menjadi
motivasi untuk pengembangan sains tetapi sains dijadikan
alat untuk menguasai subjek lain di luar dirinya. Inilah
kondisi Barat memasuki Era Renaissance, Barat Modern di
abad ke-16.

Jurgen Habermas menjelaskan bahwa modern


adalah istilah yang digunakan untuk menyebut suatu era
baru (new age) yang berfungsi untuk membedakan dengan
masa lalu (the ancient), sedangkan Bertrand Russel
mengungkapkan ada dua hal penting yang menandai
sejarah modern, yakni runtuhnya otoritas gereja dan
menguatnya otoritas sains.

Akal atau rasio menjadi basis epistemologi yang


digunakan oleh Barat, sehingga tidak sedikit ilmu
pengetahuan mereka tidak ditopang dengan prinsip
humanisme atau ketuhanan. Mereka membedakan antara
sains dan agama. Akhirnya samai saat ini, Barat
berkembang pesat meninggalkan peradaban Islam.

Dalam perkembangan yang cepat, Barat menjelma


menjadi kekuatan yang mampu mendominasi di semua
pelosok dunia dengan menggaungkan semangat pencerah-
an (aufklarung). Namun, jauh dari apa yang kita harapkan,
ternyata secara tidak sadar kita menjadi robot-robot yang
menghamba pada arus modernisme Barat yang sejatinya
untuk kepentingan mereka. Semua aspek epistemologis,
onttologis dan aksiologis dipengaruhi oleh Barat.

Tidak sedikit, pelajar dan mahasiswa yang ikut-


ikutan selalu update mengganti barang yang dikenakannya
hanya karena menyesuaikan dengan peralihan model.
Banyak orang yang bekerja, sebagai guru, PNS, pejabat
pemerintah, karyawan swasta hanya mampu memenuhi
tuntutan lapangan kerja yang tidak lain hanyalah sebagai
manusia berotak administrasi total. Atau sebutan
Immanuel Kant adalah manusia yang berrasio perkakas.
Semua hanya mengejar kesenangan pragmatis. Ini semua
karena nalar modernisme yang berawal dari paradigma
ilmu positivistik, dan rasionalitas instrumental.

Manifestasi Manusia Rabbaniyah

Kekuatan pelajar sebagai orang yang belajar atau


sedang dalam proses pembelajaran (formal) terletak pada
kesadarannya untuk mencari ilmu yang sebanyak-
banyaknya. Kesadaran akan kebutuhan dirinya terhadap
ilmu tidak hanya sebatas pada pengguguran kewajiban
atau meninggikan status sosial di masyarakat, akan tetapi
kebutuhan untuk melakukan transformasi sosial ke arah
yang lebih baik.

Allah Swt menegaskan di dalam QS. Al-Hujurat: 11,


“Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman dan berilmu
diantara kalian beberapa derajat”. Orang-orang yang beriman
sebagai dasar pengakuan terhadap eksistensi Tuhan,
bahwa Allah Swt sebagai supreme being yang kita kenal
dalam konsep tauhid. Keilmuan adalah alat untuk
mengetahui eksistensi Allah Swt dengan akal dan
pengetahuan. Maka semakin tinggi ilmu seseorang maka
semakin kuatlah keimanan dia terhadap eksistensi Allah.

Murtadha Muthahari menjelaskan bahwa pandang-


an dunia tauhid adalah alam semesta ini bersifat unipolar
dan uniaxial. Kerangka teologi yang ada dalam Islam tidak
hanya selesai pada keyakinan (iman) saja, melainkan juga
bagaimana keimanan itu berimplikasi pada munculnya
kesadaran yang ada dalam dirinya untuk melakukan
perubahan dalam lingkungannya. Maka, tidak akan
mungkin seseorang yang dalam dan kuat imannya kepada
Allah Swt hanya beribadah saja dan mencari keuntungan
dunia untuk dirinya sendiri dengan mengabaikan kondisi
lingkungan sekitarnya. Yang ada adalah sebaliknya, the
more someone believe in Allah, the more someone for others.
Ketika keimanan dan keilmuan berpadu menjadi
satu, tidak lagi ada paradigma kosong. Dengan demikian
pelajar kita bukan lagi menjadi pelajar yang ikut-ikutan
hanya karena kepuasan sesaat. Akan tetapi pelajar yang
mempunyai prinsip hidup dan visioner.

Pelajar dalam semboyan yang


diperkenalkan oleh IPM adalah tiang
negara. Tiang adalah pilar penyangga yang
berfungsi menjaga eksistensi, kekuatan dan
penghidupan. Lalu IPM melanjutkan istilah
itu “apabila kuat dan kokoh pelajarnya
maka kuat pula negaranya, apabila lemah
dan rapuh pelajarnya maka lemah pula
negaranya.”
Perkaderan Berbasis
Seni dan Olahraga

––Hamdan Nugroho9

Dalam menjalankan tugas yang diemban di manapun dan dalam


suasana apapun, setiap kader dan sumber daya insani
Muhammadiyah hendaknya mempunyai cara berpikir, keahlian,
dan keikhlasan.

Dr. Syamsul Hidayat M.Ag.,


Tafsir Dakwah Muhammadiyah

9
Ketua PP IPM bidang Apresisasi Seni Budaya dan Olahraga (ASBO)
periode 2012-2014
Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) harus mempu-
nyai konsep dan aksi yang jelas, terencana, dan sistematis
dalam menyiapkan dan mengembangkan satu sistem yang
menjamin keberlangsungan transformasi dan regenerasi
kader. Ada banyak teori perkaderan yang kesemuanya
merupakan proses, cara, perbuatan mendidik atau
membentuk seseorang menjadi kader. Dalam proses
pembinaan kader itulah ada dua cara yang harus
dilakukan dan ditekuni.

Pertama pelatihan. Tidaklah disebut pelatihan bila


hanya pemberian teori atau informasi. Memberikan ketela-
danan dan melibatkan (mengikutsertakan atau menugas-
kan) adalah bagian dari pelatihan. Kasus Hasan dan
Hussein berdakwah amaliyah ketika melihat seorang kakek
tua salah dalam berwudlu adalah contoh bentuk pelatih-
an.

Kedua supervisi. Kader-kader yang sudah diberi


pengarahan dan diikutsertakan dalam pelatihan (berupa
pembiasaan dan penugasan) kemudian diikuti perkem-
bangannya lewat pemantauan dan evaluasi. Ada pelatihan
khusus, yaitu Taruna Melati yang dikelola melalui jenjang
struktural yang sudah menerapkan konsep monitoring,
tetapi selama ini masih belum menjadi dasar analisis kader
untuk pengembangan selanjutnya.

Supervisi akan sangat bermanfaat untuk tercapainya


pembentukan kader yang berkualitas tinggi. Memasuki era
globalisasi, kader-kader kita harus dibiasakan dengan
dinamika kelompok agar mereka lebih dewasa dalam
menyikapi berbagai qadhaya (tidak over reaktif = kaget-
kagetan, ora gumunan). Menjadi tugas para tim fasilitator-
pendampinglah untuk memantau sepak terjang mereka,
menegur, meluruskan dan memberi penilaian (kritik,
masukan juga penghargaan) atas aktivitas sehari-hari
mereka.

Dalam proses kaderisasi itu merupakan upaya


untuk menumbuhkan kesadaran berorganisasi, mengakui
bahwa IPM sebagai organisasi adalah merupakan wadah
dan alat perjuangan semata untuk mengamalkan dan
memperjuangan tegaknya nilai-nilai ajaran Islam, dan
bukan merupakan tujuan dari perjuangan itu sendiri. Lalu
menumbuhkan keahlian atau berkemampuan sebagai
subyek dakwah, yang memiliki wawasan luas, menguasai
teknologi informasi sebagai media dan bagian dari strategi
dakwah. Hingga akhirnya terbentuk kader IPM yang
memiliki ruh (spirit) serta mempunyai integritas dan
kompetensi untuk berperan di Ikatan, dalam kehidupan
pelajar dan dinamika bangsa serta konteks global. Namun,
memiliki benteng kokoh, dan skill.

Pengembangan Seni untuk Pencitraan

Di dalam IPM saat ini belumlah memiliki ruh jelas


tentang konsep seni yang akan diusung, atau setidaknya
ada yang menjadi isu massal pelajar Muhammadiyah se-
Indonesia yang itu bersifat sederhana namun bisa booming.
Untuk itu sepertinya perlu pengkajian dan pengembangan
konsep seni budaya menurut visi misi IPM untuk mengha-
silkan langkah-langkah strategis pengembangan dakwah
seni yang lebih diterima.

Perlu ditekankan, keberadaan seni di lingkungan


Muhammadiyah bukanlah suatu hal yang kosong tetapi,
kurang sentuhan manajemen dan promosi. Hal ini
mengakibatkan keberadaannya lebih sering ditelan waktu
daripada ditelan pasar seni. Banyak sekali potensi yang
dimiliki, namun hal itu belumlah milik IPM karena IPM
belum mampu memberikan apa-apa di sana. Wajar saja
kemudian para pelaku seni di lingkungan Muhammadiyah
tidak kenal dan mengenalkan IPM padahal mereka sudah
terkenal.

Untuk itu, sangat dibutuhkan optimalisasi kegiatan


yang bertujuan untuk mengapresiasikan kreatifitas para
kader dalam bidang seni dan budaya sehingga terwujud
kader kreatif. IPM di tingkatan daerah dan wilayah
tidaklah harus mengembangkan seni pada taraf mikro,
sudah luar biasa jika sudah bisa mengkoordinasikan
potensi dalam daerah masing-masing. Jadi, dari potensi
yang tersebar itu kemudian IPM daerah bersama dengan
ranting setempat memberikan kontribusi aktif dalam
pengelolaan dan pengembangannya. Akhirnya, akan
muncul grup teater besar menghasilkan Rendra
Muhammadiyah, komunitas pelukis handal melahirkan
Affandi yang Muhammadiyah, satrawan Chairil Anwar
Muhammadiyah, dan tak lupa Andrea Hirata muda dari
amal usaha Muhammadiyah yang terbatas pula?!

Pengembangan Olahraga sebagai Penguatan Emosional

Ada satu hal lagi yang juga menyedot perhatian,


minat, dan bakat pelajar Muhammadiyah: olah raga.
Padahal, potensi yang kita miliki sangatlah banyak dengan
kemampuan yang kadang mencapai profesional. Kita
tidaklah terlalu berharap sampai seberapa profesional
pelajar kita. Namun, kita cukup memaksimalkan pengem-
bangan olah raga ini sebagai wahana pengenalan IPM dan
proses interaksi pimpinan dengan anggota saja, itu suda
syukur.

Walau tidak boleh dikesampingkan, pengoptimalan


kegiatan yang diarahkan pada penyaluran dan pembinaan
minat dan bakat remaja di bidang olah raga haruslah
diprioritaskan. Remaja sebagai masa peralihan tentunya
membutuhkan pilihan yang tak cukup hanya tiga untuk
menentukan sampai seberapa tepatkah minat yang
dimiliki dengan apa yang ditekuni. Makanya itu,
pemberian wadah minat inilah yang bisa menampung
segala rupa minat kader yang tentunya tidak semuanya
memiliki pengetahuan dan kemampuan tentang mengem-
bangkan IPM. Sekali lagi, itu tidak masalah. Yang penting
para peminat bakat-bakat tertentu ini mengenal labih
dekat IPM melalui pencitraan generasi pelajar cinta seni
dan olah raga.
Yang paling disukai dari peminat olah raga sampai
olahragawan adalah kompetisi yang di dalamnya ada
bentuk apresiasi terhadap prestasi-prestasi. Karena selain
termotivasi untuk lebih mengembangkan kemampuan,
peningkatan kualitas mental bertanding, tentunya
apresiasi juga sangat penting bagi penumbuhan minat
pelajar yang aktif dalam bidang olh raga.

Tak ayal lagi, even olah raga harus ada dalam setiap
level! Dari ranting sampai pusat, karena perlombaan
seperti ini juga mengenal penjenjangan sehingga akan
muncul the real choosen people dari pelajar Muhammadiyah
di Indonesia ini. Pelaksanaan evennya pun haruslah
periodik, misalnya setiap tahun sekali, dimulai dari
ranting hingga pusat secara berurutan dan berjenjang
tentunya. Sehingga pencitraan yang dilakukan lebih massif
dan pembinannya pun lebih tertata karena adanya
kontinyuitas program baik itu dari ranting sampai pusat
dan dilaksanakan setiap tahun.

Nah, aktifitas seni dan olahraga merupakan aktifitas


”luar ruangan” yang penuh dengan tawa dan canda dalam
pelaksanaannya, menjadikan pelakunya sehat dan segar
baik badan maupun pikirannya. Tak perlulah mengernyit-
kan dahi hanya untuk mengingat-ingat rumus nada lagu,
tak perlu hafalan semalam untuk pertandingan final futsal
beok pagi, dan yang pasti hemat biaya namun sangat
menguntungkan.
Perlu diingat dan ditekankan, aktifitas-aktifitas
kaderisasi banyak sekali di ruangan. Misalnya Taruna
Melati miliknya perkaderan, penelitian maupun jurnalistik
miliknya PIP, apalagi kajian miliknya bidang KDI. Hal ini
cukup menjadikan momok paling menybalkan dan
penolak minat paling efektif bagi para penikmat pemula
IPM. Apalagi saat ini Taruna Melati lebih bayak dijadikan
sebagai gerbang welcome, padalah seharusnya Taruna
Melati menjadi gerbang ”selamat berjuang”. Kegiatan
”dalam ruangan” ini ya wajar jika kekurangan peserta.
Makanya, untuk meningkatkan minat dan julah peserta
sebaiknya IPM lebih mendekatkan terlebih dahulu
aktifitas ”luar ruangan” untuk memikt labih anyak dan
lebih baik.

Mungkin sekali ikut aktifitas seni maupun olah


raga, biasanya muncul keinginan mencoba lagi kemudian
lama-lama kenal dekat dengan IPM baik secara struktural
maupun personalia pimpinan IPM. Sehingga akan lebih
mudah mengajak mengikuti aktifitas-aktifitas ”ruangan”
yang notebene menjemukan. Kondisi ini menunjukkan
perbedaan, dimana kondisi pertama lebih menitik
beratkan pada ideologisasi kemudian pemberian keahlian
berorganisasi khususnya dalam bidang seni dan olah raga,
sedangkan posisi satunya lagi lebih mengedepankan
tingkat kebernyaman dalam beraktifitas berorganisasi
dengan meningkatkan ikatan emosional dengan aktifitas-
aktifitas seni dan olah raga, sehingga memunculnya rasa
[Perlu diingat dan ditekankan, cinta IPM, siap menerima ilmu
aktifitas-aktifitas kaderisasi dan pengalaman dari IPM serta
banyak sekali di ruangan. siap mengajarkan apa-apa yang
Misalnya Taruna Melati
didapat di IPM.
miliknya perkaderan,
penelitian maupun jurnalistik Hal inilah yang sering
miliknya PIP, apalagi Kajian IPM lupakan, lebih sering
miliknya bidang KDI. Hal ini ideologisasi tanpa memaslahat-
cukup menjadikan momok
kan keberadaannya dengan
paling menybalkan dan
penolak minat paling efektif menampung aktifitas dakwah
bagi para penikmat pemula dari minat dan bakat yang
IPM. Apalagi saat ini Taruna sebegitu luasnya, yaitu seni dan
Melati lebih bayak dijadikan olahraga.
sebagai gerbang welcome,
padalah seharusnya Taruna
Melati menjadi gerbang
”selamat berjuang”.]
Pelajar Berkemajuan:
Pelajar Melek Teknologi
dan Informasi

––Daeng Muhammad Feisal10

Peristiwa “Future Shock” (Kejutan Masa Depan) memberikan


informasi pada kita akan adanya akselerasi (percepatan) perubahan
social dan tehnologi yang semakin sulit dihadapi baik oleh individu
maupun organisasi. Kita harus kreatif dan proaktif menyesuaikan
diri tidak hanya kepada perubahan-perubahan,
tetapi juga terhadap akselerasi tersebut.

Alvin Tofler

10
Ketua PP IPM bidang Hubungan Luar Negeri dan Antar-Lembaga
(HUBLA) periode 2012-2014
Pada awal tulisan ini, saya akan mengutarakan
beberapa poin ‘kajian’ yang akan akan saya bahas pada
tulisan ini. Yang pertama adalah terkait Rekonstruksi
Gerakan IPM yang sampai saat ini ada 2 paradigma, yaitu
3T dan GPK (Gerakan Pelajar Kreatif) ditambah arah
strategi gerakan yaitu GPK (Gerakan Pelajar Kreatif) dan
Gerakan Pelajar Berkemajuan. Lalu poin kedua adalah
terkait tema esai, yaitu Membumikan Gerakan Ilmu untuk
Pelajar Berkemajuan, akan saya bahas secara lateral. Lalu
poin terakhir saya akan meramunya menjadi rangkaian
‘racikan’ yang saya sebut sebagai ‘embrio solutif’ Gerakan
IPM di masa yang akan datang, yaitu penjabaran dari
judul esai ini sendiri, “Pelajar Berkemajuan; Pelajar yang
Melek Teknologi dan Informasi”.

Seluruh aspek kehidupan mengalami akselerasi


(percepatan) dan kompresi (pemadatan); Zaman ini bisa
disebut saman serba-berkecukupan dan zaman serba-
berkelebihan. Meminjam istilah Yasraf Amir Piliang, Guru
Besar FSRD ITB yang menaruh perhatan pada Cultural
Studies dan Posmodernisme, dunia ini adalah dunia yang
dilipat, dalam artan saat ini kita mengalami perubahan
yang drastis, anggap saja terhitung semenjak sejarah
dimulai (zaman nirleka/pra-sejarah berakhir setelah
ditemukannya tulisan), bahkan sekalipun kita hitung
semenjak zaman revolusi industri atau zaman revolusi
Indonesia sekalipun.
Ambil contoh dalam aspek transportasi, perjalanan
dari tanah air menuju tanah suci (Arab Saudi) sekarang
bisa ditempuh hanya dalam hitungan jam menggunakan
pesawat terbang, zaman nenek-buyut kita dulu membutuh-
kan perjalanan rata-rata 1 bulan perjalanan laut meng-
gunakan kapal. Atau kita ambil contoh, dulu kita
membutuhkan waktu yang sangat lama ketka berkores-
pondensi antarpimpinan organisasi (termasuk di IPM),
mengirim surat menggunakan perangko paling cepat 3
hari kalau dalam satu kota, kalau sekarang? Kita bisa
berkorespondensi menggunakan fasilitas surel (surat
elektronik/e-mail), hitungan detk sudah terkirim walau
berbeda benua sekalipun.

Pada paragraf di atas saya mengemukakan fakta


yang telah kita alami (selaku manusia dan selaku anggota
IPM) bahwa zaman ini sudah sangat maju, dikarenakan
teknologi berkembang pesat. Adanya moda transportasi
massal yang makin sini makin cepat waktu tempuhnya,
penggunaan telepon (tele, jauh) dan handphone yang
meniadakan jarak dalam menyampaikan informasi secara
real time, juga dengan keberadaannya internet dengan
berbagai lini-topiknya sepertinya surel, instant messaging dan
media sosial. Idealnya IPM sekarang tdak hanya sebagai
konsumen dari dari produk teknologi-peradaban zaman
sekarang, tapi harus ‘menguasai’-nya. Gerakan Ikatan
Pelajar Muhammadiyah?
Jika kita membuka kembali lembaran sejarah
Ikatan Pelajar Muhammadiyah, kita acap kali mengernyit-
kan dahi ketka mendengar dan membaca istlah-istilah
aneh tentang gerakan IPM, bukan karena bobotnya saja
yang dirasa sangat ‘berat’, bahkan jika ditinjau dari aspek
sejarah IPM, wajarlah IPM memiliki paradigma gerakan,
falsafah gerakan dan arah strategi gerakan yang
(senantasa) mengalami perubahan-penyempurnaan dari
masa ke masa. Bahasa kerennya, IPM mengalami proses
rekonstruksi gerakan yang berkepanjangan, sehingga ada
muncul kategorisasi masa IPM, yang, katanya sekarang
(tahun 2013––IPM periode Muktamar 18 Palembang)
dikategorikan “Masa Anomali” (masa yang tdak jelas;
aneh) oleh Masmulyadi, alumni PP IPM periode 2008-
2010.

Kita tahu bahwa di IPM ada istilah paradigma


gerakan, falsafah gerakan , dan arah strategi gerakan
(dan sebagainya), yang pada masa-masa tertentu muncul
istilah keren seperti 3T (Tertib Ibadah, Tertib Belajar dan
Tertib Organisasi), GKT (Gerakan Krits Transformatf)
dan GPK (Gerakan Pelajar Kreatif) dan sampai sekarang
muncul wacana Gerakan Pelajar Berkemajuan. Saya ingin
mengistilahkan beberapa istilah di atas sebagai “Bahasa(n)
Tinggi IPM” agar mempermudah penyebutan. Bukan
dalam arti saya tidak paham, tapi istilah-istilah tersebut
memang terasa tinggi––melangit, toh basis massa terbesar
IPM adalah pelajar SMP-SMA yang notabene tidak semua
paham dan mau paham terkait defnisi, alur, dan penjabar-
an tentang bahasa tinggi IPM itu.

Saya menarik kesimpulan bahwa kenapa bahasa


tinggi IPM ini terus mengalami rekonstruksi dari masa ke
masa, karena para penggagas, para pemikirnya tidak (atau
belum) ber-role-play sebagai pelajar dan remaja, mereka
malah secara sporadis memaksakan pengetahuan (yang
terkontaminasi oleh gaya ayahanda-Muhammadiyah dan
dunia ke-mahasiswa-annya) serta pengalaman mereka
sebagai orang yang berumur. Dan rekonstruksi gerakan
keniscayaan, karena waktu dan zaman pun berubah.

Membumikan Gerakan Ilmu untuk Pelajar


Berkemajuan

Berangkat dari tema besar Muktamar IPM ke-18 di


Palembang, saya (sedikit) setuju terkait diksinya.
Menggunakan istilah ‘membumikan’ lalu ‘gerakan ilmu’
dan ‘pelajar berkemajuan’. Ada 3 frase yang menjadi poin
of interest bagi saya pribadi. Membumikan, berarti
menyederhanakan-membuat mudah segala hal yang
berkaitan dengan gerakan IPM kita. Bisa juga berarti
mengedepankan take easy dan take acton (langsung
aplikasi/melaksanakan) dibanding berlarut-larut dalam
tataran ide dan konsep. Gerakan ilmu, frase yang ini
sudah tidak asing bagi anggota dan pimpinan di IPM.
Ilmu merupakan hal fundamental yang mendasari
berdirinya IPM, hal ini dibuktikan oleh semboyan IPM Al-
Qur’an surat Al-Qalam ayat 1 dan logo IPM yang memiliki
makna filosof pengejawantahan ilmu.

Lalu ada frase bawahan (kata) ‘gerakan’ yang


memiliki kesan dan makna setelah membumikan
(menyederhanakan-mengaplikasikan) kita harus senanti-
asa bergerak-berproses-tidak diam dalam artian konsisten-
istqamah dalam ber-IPM.

Penggunaan diksi ‘Pelajar Berkemajuan’ menurut


saya terkesan latah, dan menyadur istilah yang digunakan
pada buku Muhammadiyah Progresif: Manifesto Pemikiran
Kaum Muda yang ditulis oleh JIMM (Jaringan Intelektual
Muda Muhammadiyah) pada tahun 2007 silam. Berkema-
juan, menurut saya merupakan penyederhanaan bahasa
dari progresif. Sebenarnya tdak masalah jika orientasinya
benar ke arah kemajuan-lebih baik, yaitu dengan memberi-
kan penekanan pada pengembangan ilmu pengetahuan,
diskursus keadilan, keterbukaan, sikap toleransi, dan
pelajar yang berintegritas. Dan semoga tidak dimaksudkan
progresif dalam artian berpikir dan bertindak secara liberal
tanpa arahan.

Secara lateral sebenarnya bisa kita bangun satu


konsepsi bahwa istilah berkemajuan itu mewakili sifat
kreatif pada GPK, sifat Krits dan Tranformatif (berubah-
membuat perubah-an) pada GKT dan mengakomodasi
sifat tertb di ibadah, belajar, organisasi pada 3T. Sehingga
terciptalah silogisme gerakan yang premi-preminya terdiri
dari bahasa tinggi IPM sebelumnya.

Pelajar yang Melek Teknologi dan Informasi

Tema ini, saya buat tidak semata-mata karena


sekarang (tahun 2013) sedang happening-trending yang
namanya arus informasi yang ditandai perkembangan
pesat internet. Bermunculan berbagai macam gadget,
ratusan sosial media (seperti facebook, twitter) dan aplikasi
mobile yang makin memudahkan kehidupan manusia.
Tapi, saya berangkat dari maksud dan tujuan IPM itu
sendiri. Pelajar yang Melek Teknologi dan Informasi
berarti menandakan berakhlak-mulia (melek-sadar),
terampil (teknis, teknologi, menyelesaikan/membantu
pekerjaan manusia) dan berilmu (memiliki dan menguasai
informasi).

Sehingga sebenarnya Pelajar yang Melek Teknologi


dan Informasi itu sangat koheren dengan terwujudnya
pelajar (Muslim) yang berakhlak mulia, berilmu dan
terampil.

Pada bagian akhir ini saya menawarkan solusi/


alternatif dan rangkuman dari rangkaian tulisan esai ini di
atas, yang semoga menjadi ‘embrio solutf’ bagi gerakan
IPM kita. Saya menyebutnya sebagai ‘embrio’ karena ini
masih ada di tataran konsep/ideal di benak dan pikiran
saya. Sehingga belum tentu bisa terlahir menjadi produk
dan aksi nyata yang diadopsi oleh semua kalangan anggota
dan pimpinan IPM di seluruh lapisan.

Pelajar yang Melek Teknologi dan Informasi


berarti menandakan berakhlak-mulia (melek-
sadar), terampil (teknis, teknologi ,
menyelesaikan/membantu pekerjaan manusia)
dan berilmu (memiliki dan menguasai informasi).
Sehingga sebenarnya Pelajar yang Melek
Teknologi dan Informasi itu sangat koheren
dengan terwujudnya Pelajar (Muslim) yang
berakhlak mulia, berilmu dan terampil.
Budaya Menulis untuk
Pelajar Berkemajuan

––Lufki Laila Nur Hidayati11

“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena


dan lautan menjadi tinta, ditambahkannya tujuh lautan lagi
setelah keringnya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan)
kalimat-kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa,
Mahabijaksana.”

QS. Luqman: 27

11
Bendahara I PP IPM, periode 2012-2014
Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) sebagai salah
satu Organisasi Kepemudaan (OKP) terbaik di nusantara
dan terbaik se-ASEAN ini telah lahir pada 18 Juli 1961 M.
Yang jika dihitung dalam hitungan kasar saja, umur IPM
saat ini adalah 52 tahun. Lebih dari setengah abad
organisasi yang merupakan sebuah pergerakan pelajar ini
melewati masa-masa perjuangannya.

IPM yang bertujuan untuk “terbentuknya pelajar


Muslim yang berakhlak mulia, berilmu, dan terampil
dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi nilai-
nilai ajaran Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya” ini telah memiliki konsep perkaderan
dari masa ke masa yang di dalamnya ada model-model
gerakan yang disusun guna menyelaraskan gerak
perjuangan IPM. Melihat realita dari konsep atau model
gerakan yang dihasilkan sebelumnya, IPM telah bisa
dikatakan setengah berhasil mencetak kader kreatif,
dengan landasan GPK-nya, mencetak kader yang kritis dan
transformatif dengan GKT-nya, dan mencetak kadernya
yang tertib dalam hal ibadah,tertib belajar dan tertib
berorganisasi, dengan 3T-nya. Namun, apakah semua itu
telah dapat menjawab pertanyaan: Apakah tujuan IPM
telah terwujud?

Jika jawabannya belum, hal ini sangat dimaklumi


karena proses pencapaian tujuan tidak akan begitu saja
mudah untuk diraih. Namun sedikit mengambil evaluasi
proses yang telah dilakukan oleh IPM yaitu gerakan Iqra’
(Membaca). Gerakan iqra’ yang telah dimassifkan sejak
dulu ternyata belum bisa menjadi gerakan pembaharuan
(tajdid) di dalam gerakan IPM. Goal yang dicapai adalah
bagaimana kader-kader IPM banyak membaca dan
melakukan perubahan, baik dalam dirinya, masyarakat
sekitar, maupun sistem yang lebih luas dari itu. Belum ada
langkah gerakan secara selaras dan massif yang diarahkan
IPM untuk menjadi seorang pelajar yang berkemajuan.

Dalam essai ini, akan ditawarkan sebuah konsep


sederhana untuk mencoba member masukan terhadap
gerak perjuangan IPM yaitu dengan budaya menulis.
Mengapa budaya menulis? Karena hemat penulis, menulis
adalah satu langkah lebih maju dari budaya membaca. Jika
goal yang kita inginkan adalah suatu bentuk karya nyata
(tulisan), maka proses sebelumnya pasti akan terlalui
secara otomatis.

IPM sebagai organisasi yang telah tersebar diseluruh


nusantara. IPM merupakan organisasi pelopor pelajar
kritis yang mencoba melakukan penyadaran, pemberdaya-
an terhadap kader, dan melakukan pembelaan atas
ketidakadilan di kalangan pelajar. Potensi yang besar ini
dirasa kurang digunakan secara maksimal. Selaras dengan
tema Muktamar Muhammadiyah yaitu Muhammadiyah
ingin membangun peradaban baru. Di zaman modern
pada ini peradaban modern, artinya manusia yang ada
adalah manusia yang cerdas, maju dan berbudaya. Dimana
setiap manusia mampu berpartisipasi dalam semua
kegiatan kebudayaan, adat istiadat, seni, kebiasaan,
perilaku yang ada sehingga dengan peradaban modern,
manusia dapat memakmurkan dirinya, kehidupannya dan
negaranya. Peradaban berkembang atau maju apabila
sistem pemerintahan, sistem ekonomi dan ilmu
pengetahuan dan teknologinya maju dan berkembang.
Dan dalam peradaban modern ini sangat menjungjung
tinggi budaya berpikir dan menulis.

Zaman dan peradaban memang modern, namun


belum di Negara kita ini, peradaban kita masih terbilang
kuno. Penerapan atau pelaksanaan yang ada masih kuno
atau tidak hidup layaknya manusia modern. Sudah
dijelaskan di atas bahwa peradaban sangat menjunjung
tinggi budaya berfikir dan menulis, sedangkan kita cukup
jauh dari realita itu. Manusia Indonesia banyak yang
hanya mengandalkan tenaga atau ototnya, jarang yang
mengedepankan pikirannya yang jernih seperti apabila ada
masalah sedikit saja langsung berkelahi, saling memukul
layaknya hokum rimba, yang paling kuat yang menang dan
berkuasa. Seharusnya manusia sadar akan perannya dalam
membentuk negara dan peradaban, bahwa peran mereka
sangat penting untuk mendukung sebuah peradaban yang
maju. Hal ini juga masih banyak terjadi pada kader IPM.

Menulis belum menjadi budaya, kesukaan, dan


hobi bersama. Banyak manusia yang menganggap menulis
adalah sebuah momok besar yang menakutkan dan
merupakan kegiatan yang sia-sia atau menulis adalah
kegiatan iseng-iseng saja. Mereka tidak mengetahui bahwa
menulis adalah kegiatan yang sangat mempengaruhi
jalannya peradaban.

Menulis bisa menghasilkan sebuah buku yang dapat


dipelajari generasi ke generasi berikutnya untuk menjadi
sebuah pelajaran berharga bagi generasi penerus agar tidak
jatuh ke lubang yang sama, yang telah dialami oleh
generasi sebelumnya. Dan dengan mengembangkan
budaya menulislah kita bisa menghela pemikiran-
pemikiran negatif, lewat tulisanlah kita bisa melihat
keadaan dunia, menciptakan karya-karya brilian, dan
berinovasi yang akan menciptakan sebuah peradaban
modern yang telah didambakan oleh semua manusia. Kita
harus menciptakan tulisan-tulisan yang menakjubkan agar
peradaban modern dapat cepat tercapai.

Ketika seseorang menulis, maka produk yang


dihasilkan adalah tulisan. Tulisan, setidaknya mempunyai
dua manfaat, yaitu: (1) dapat mengubah seseorang dan
masyarakat, dan (2) sifatnya abadi sehingga dapat
diwariskan kepada generasi berikutnya.

Pertama, tulisan dapat mengubah seseorang dan


masyarakat. Berbagai karya tulis para ulama adalah salah
satu bukti konkritnya. Karya-karya tulis mereka secara
tidak langsung telah mengantarkan umat Islam pada
kejayaannya. Dengan kata lain, karya tulis mereka mampu
mengubah dan menggerakkan masyarakat kepada kehi-
dupan yang lebih baik. Seorang perawi hadits misalnya, ia
adalah penulis yang sangat berjasa. Kegigihannya dalam
mencari sanad dari sahabat yang paling terakhir mendapat
hadits tersebut hingga langsung dari Nabi Muhammad
Saw.

Tokoh-tokoh lainnya dalam hal tulis menulis yang


dapat mengubah tatanan sosial misalnya: R.A. Kartini apa
yang ia perbuat sehingga hari kelahirannya diperingati
sebagai hari nasional, beliau merupakan satu-satunya
penulis perempuan pertama saat itu dengan karyanya
“Habis Gelap Terbitlah Terang”. Yang berbeda beliau
dengan wanita lain pada saat itu adalah seorang Kartini
menulis dan tulisannya itu dibaca oleh kalangan tertentu
kemudian dapat merubah paradigma masyarakat saat itu.

Karl Marx dan Adolf Hitler, melalui tulisannya


mereka mengubah sebagian dunia dan menimbulkan satu
polemik yang mengguncangkan dunia (Komunis dan
Naziisme). Satu lagi tokoh dari Prancis, seorang novelis
terkenal bermana Emile Zoula, dia menulis dan mengirim-
kan tulisannya kemudian dimuat di halaman utama surat
kabar saat itu atas tindak protesnya kepada pengadilan
yang telah member keputusan yang sewenang-wenang
kepada Kapten Alferd Dreyfus dengan tuduhan pengin-
taian.

Dengan tulisan dari Emile ini ternyata menghasil-


kan polimik di kalangan penulis di masa itu. Ada yang
pro-Dreyfus dan ada yang anti-Dreyfus. Sehingga dengan
peristiwa inilah dikenalnya kata “Intelektual”. Dan disim-
pulkan bahwa kaum intelektual adalah mereka yang sadar
secara realitas kemudian melakukan tindakan kritis-nyata.

Sebagai kaum intelektual kita memiliki peran


sebagai pewaris nabi yaitu memiliki ilmu kemudian
menebarkan kebaian menggunakan ilmu yang telah kita
miliki.Nabi bersabda, “Ulama adalah pewaris para Nabi”.
Dari sabda Nabi ini secara tidak langsung mengingatkan
bahwa kita (sebagai ulama; ilmuwan/cendekiawan) harus
meneruskan tradisi para Nabi, yaitu membawa misi
kebaikan kepada dunia ini. Hal itu bisa dilakukan salah
satunya adalah melalui tulis menulis (ad-dakwah bil qalam).

Di sisi lain, karya tulis (tulisan) mampu mengubah


penulisnya sendiri. Beberapa penelitian dan pengalaman
orang-orang telah membuktikannya, bahwa menulis benar-
benar memberikan efek sugesti yang baik bagi diri kita,
dari berbagai sisi, misalnya kesehatan dan melejitkan
potensi.

Kedua, tulisan mempunyai sifat yang abadi dan


dapat diwariskan kepada generasi berikutnya. Bukti
konkrit dalam hal ini adalah Al-Qur’an. Bisa kita
bayangkan bagaimana jadinya jika Al-Qur’an tidak ditulis,
dengan jarak yang yang terbentang begitu jauh baik ruang
dan waktu, apakah bisa sampai kepada kita saat ini?

Begitu juga dengan karya-karya tulis para ulama


terdahulu, jika saja mereka tidak menulis dapatkah
mereka mewariskan sesuatu yang abadi kepada generasi
mereka berikutnya, yaitu kita? Pun dengan tokoh-tokoh
Indonesia, mereka tetap dikenang lantaran terrekam
dalam buku-buku sejarah, apalagi mereka yang menulis
karya tulis (baik fiksi, non-fiksi, maupun memoar/diary).

Mengapa moyang kita dan para pendahulu kita


menuliskan sesuatu antara lain pasti adalah untuk menga-
barkan apa yang terjadi, apa yang mereka alami, dan apa
yang mereka ingini pada jamannya. Dengan membaca apa
yang telah mereka tulis kita mengetahui tutur cerita dari
jaman yang bahkan tak terbayangkan oleh khayalan kita
yang paling tinggi sekalipun.

Dengan tulisan maka sesuatu pada sekali waktu bisa


terbaca pada waktu yang lain. Seperti perkembangan
proses peradaban dapat diukur melalui tulisan dari mulai
pesan yang disampaikan melalui tulisan gambar, tulisan
rumus, tulisan potongan, tulisan bunyi, hingga alphabetis.
Hal ini merupakan gambaran dari perkembangan dari
setiap peradaban manusia. Peradaban dapat diukur pula
dengan tulisan-tulisan yang ada pada jamannya.

Menulis untuk meninggalkan jejak peradaban yang


akan diwariskan bagi anak-cucu kita. Anak cucu kita dapat
mengetahui semua perjuangan nenek moyangnya yang
patut di hormati dan di ikuti dari segi positifnya. Maka
tongkat estafet pun akan terus berlanjut, sehingga
peradaban pun akan semakin berkembang dan tak akan
berhenti pada satu generasi saja. Menulis juga bermanfaat
untuk melintasi zaman dan mengenali zamannya sendiri.
Melintasi zaman moyang yang begitu jauh dan dapat
mengenali zamannya sendiri yang telah ditulisakan.

Oleh karena itu, kita harus budayakan menulis.


Dalam membudayakan menulis, kita perlu berlatih
berinteraksi dengan ide dan harus terlatih menggali dan
menggagas ide. Budaya menulis harus dipupuk terus
menerus agar menjadi sebuah tradisi. Sebab, tradisi pada
hakikatnya lahir karena dikerjakan secara konsisten dan
mengalami proses panjang. Budaya menulis tidak akan
terlaksana dengan baik tanpa adanya semangat dari
kitanya sendiri dan tidak adanya konsisten untuk menulis
setiap saat.

Maka dari itu setetes tinta pena yang jatuh pada


sebuah kertas maupun batu akan memberi dampak yang
luar biasa bagi sebuah peradaban. Setetes pena itu akan
memberikan pencerahan pembelajaran bagi peradaban
baru yang lebih baik. Dikatakan juga oleh seseorang bahwa
“Sebuah pedang yang paling tajam hanya mampu untuk
memenggal berapa ratus kepala, namun setetes tinta
mampu mengubah segala yang ada” begitupun setetes
pena dapat mengubah peradaban.

Setetes tinta yang terjatuh dari pena memiliki


kekuatan yang sangat unik, dia diam tapi menghentakkan
pikiran dan menggerakkan perubahan, hingga opini bisa
tergulingkan di tengah masayarakat. Efek kekuatan setetes
tinta sangat terasa hingga berabad abad lamanya. Maka
tidak salah jika setetes tinta akan menjadi setitik
perubahan dalam sebuah peradaban. Setetes tinta bisa
menggerakan sejuta manusia untuk berpikir. Apalagi bila
banyak tetesan tinta jatuh dari pena maka bukan hanya
sebuah perubahan peradaban tetapi berbagai perubahan
peradaban muncul dengan cepat dan dengan baik sesuai
yang di inginkan.

Dengan penjelasan manfaat menulis di atas, maka


tak menjadi soal bahwa IPM akan lebih menjadi gerakan
yang kritis transformatif dengan tulisan-tulisan yang
dihasilkan oleh para kader IPM. Jika Muhammadiyah
dalam tema Muktamar kemarin adalah “Gerak Melintasi
Zaman, Dakwah dan Tajdid Menuju Peradaban Utama”,
maka IPM sebagai ortom dengan budaya menulisnya siap
menjadi pelopor dalam membangun peradaban utama
seperti yang diinginkan.
Setetes tinta pena yang jatuh pada sebuah kertas
maupun batu akan memberi dampak yang luar
biasa bagi sebuah peradaban. Setetes pena itu
akan memberikan pencerahan pembelajaran
bagi peradaban baru yang lebih baik.
Dikatakan juga oleh seseorang bahwa “sebuah
pedang yang paling tajam hanya mampu untuk
memenggal berapa ratus kepala, namun setetes
tinta mampu mengubah segala yang ada,”
begitupun setetes pena dapat mengubah
peradaban.
Setetes tinta yang terjatuh dari pena memiliki
kekuatan yg sangat unik, dia diam tapi
menghentakkan fikiran dan menggerakkan
perubahan, hingga opini bisa tergulingkan
di tengah masyarakat.
Gerakan Ilmu, untuk
Visi Kemanusiaan Kader

––Azaki Khoirudin12

“Menjaga dan memelihara Muhammadiyah bukan-lah suatu


perkara yang mudah. Karena itu aku senantiasa berdo’a setiap saat
hingga saat-saat terahir aku akan menghadap kepada Illahi Rabbi.
Aku juga berdo’a berkat dan keridlaan serta limpahan rahmat
karunia Illahi agar Muhammadiyah tetap maju dan bisa
memberikan manfaat bagi seluruh umat manusia
sepanjang sejarah dari zaman ke zaman.”

K.H. Ahmad Dahlan

12
Sekretaris PP IPM bidang Perkaderan periode 2012-2014,
Mahasntri Shabran Program Pendidikan Kader Ulama’
PP Muhammadiyah
Muhammadiyah itu untuk semua. Muhammadiyah
dalam melintasi zaman dari abad kesatu ke abad kedua
menegaskan pandangan tentang wawasan kebangsaan dan
kemanusiaan universal sebagai komitmen yang menyatu
dalam gerakannya. Bahwa, bangsa Indonesia dan dunia
kemanusiaan universal merupakan ranah sosio-historis
bagi Muhammadiyah dalam menyebarkan misi dakwah
dan tajdid. Misi dakwah dan tajdid dalam konteks
kebangsaan dan kemanusiaan merupakan aktualisasi dari
fungsi kerisalahan dan kerahmatan Islam untuk pencerah-
an peradaban.13

Dalam menghadapi perkembangan kemanusiaan


universal Muhammadiyah mengembangkan wawasan
keislaman yang bersifat kosmopilitan. Kosmopolitanisme
merupakan kesadaran tentang kesatuan masyarakat
seluruh dunia dan umat manusia yang melampaui sekat-
sekat etnik, golongan, kebangsaan, dan agama yang secara
moral mengimplikasikan adanya rasa solidaritas kemanusi-
aan universal dan rasa tanggungjawab universal kepada
sesama manusia tanpa memandang perbedaan dan pemi-
sahan jarak yang bersifat primordial dan konvensional.14
Hal ini senada dengan Kalamullah“Sesungguhnya (apa yang
disebutkan) dalam (surat) ini, benar-benar menjadi peringatan
bagi kaum yang menyembah (Allah). Dan tiadalah Kami

13
Tanfidz. Muhammadiyah Satu Abad, h.17
14
Ibid, h.18
mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam” (QS. al-Anbiya: 106-107).

Muhammadiyah memandang bahwa bangsa


Indonesia saat ini tengah berada dalam suasana transisi
yang penuh pertaruhan. Bahwa keberhasilan atau
kegagalan dalam menyelesaikan krisis multiwajah akan
menentukan nasib perjalanan bangsa ke depan. Masalah
korupsi, kerusakan moral dan spiritual, pragmatisme
perilaku politik, kemiskinan, pengangguran, konflik sosial,
separatisme, kerusakan lingkungan, dan masalah-masalah
nasional lainnya jika tidak mampu diselesaikan secara
sungguh-sungguh, sistematik, dan fundamental akan
semakin memperparah krisis nasional. Muhamadiyah
menjadikan Islam sebagai acuan moral individu dan
public harus diberi posisi utama dalam pergaulan antar
manusia, baik lokal, nasional, dan global.

Khusus untuk menghadapi tantangan global yang


semakin dasyat, menurut Buya Syafi’i Islam Indonesia
perlu melahirkan pasukan inti (kader) kelas satu. Kader ini
di samping memahami warisan pemikiran klasik Islam
dengan baik, kedua kakinya juga berdiri mantap di dunia
modern dengan segala hiruk-pikuknya. Kader yang hanya
kenal khasanah klasik, tetapi buta dengan situasi kekinian,
akan sangat sulit diajak berbicara berbicara perkembangan
peradaban atau kebiadaban kontemporer umat manusia.15
Syarat menjadi kader pasukan inti para pemikir hanya
satu, yaitu tidak terkontaminasi politik kekuasaan yang
sangat menguras energy dan menghabiskan waktu merebut
jabatan.

Namun, dalam kenyataan, tidak banyak politisi di


muka bumi yang benar-benar dipandu oleh idealisme
untuk memperjuangkan kepentingan public. Perlu adanya
pembagian tugas yang baik antara kader intelektual dan
kader politisi. Politisi memerlukan kaum intelektual untuk
diajak berunding tentang masalah akurat masyarakat,
bangsa, dan negara. Karena itu, kader kemanusiaan
memerlukan kerja intelektual dengan penuh kesabaran,
ketekunan, kecerdasan, pengabdian, dan waktu untuk
Indonesia. Kader intelektual tidak boleh miskin, karena
berpikir serius memerlukan biaya. Bangsa ini sungguh
memerlukan barisan barisan kader pamikir yang handal
untuk menjaga kelangsungan hari depan.

Visi Kemanusiaan Kader

Berbicara mengenai kader, (Perancis: cadre) atau les


cadres (Latin: quadrum), maksudnya adalah anggota inti
yang menjadi bagian terpilih, berarti pula sebagai jantung
suatu organisasi. Kader berarti pula pasukan inti Jadi, jelas

15
Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan: Sebuah refleksi Sejarah. Bandung: Mizan, 2009, h. 197-
198
bahwa orang-orang yang berkualitas itulah yang terpilih
yang dapat disebut sebagai kader. Tujuan perkaderan
Muhammadiyah dalam Sistem Perkaderan Muhammad-
iyah (SPM) dirumuskan yakni “Terbentuknya kader
Muhammadiyah yang memiliki ruh (spirit) serta mempunyai
integritas dan kompetensi untuk berperan di Persyarikatan,
dalam kehidupan umat dan dinamika bangsa serta konteks
global.16

Dari rumusan tersebut terdapat kata kunci arah


tujuan perkaderan Muhammadiyah, yakni membentuk,
“kader peryarikatan, kader umat, dan kader bangsa”. Sebuah
rumusan tersebut merupakan hasil pemikiran manusia
pasti terikat ruang dan waktu. Situasi dan tantangan masa
lampau pasti berbeda dengan situasi dan tantangan saat
ini, seperti halnya pemikiran tentang konsep kader
persyarikatan, umat, dan bangsa. Pemikiran ini adalah
terdahulu yang bukan untuk diberhalakan, tetapi untuk
dikritik, sehingga kita yang datang belakangan harus
punya tekad untuk lebih baik dari pendahulu kita. Tanpa
kebaranian berpikir semacam ini, Muhammadiyah dan
umat islam akan sulit bangkit dari buritan peradaban yang
menyesakkan nafas, menuju peradaban utama yang dicita-
citakan oleh Muhammadiyah menuju kebudayaan utama.

Kebudayaan sebuah bangsa akan jatuh menjadi


“kerakap di atas batu, hidup segan mati tak mau”, jika
kader inti pemikirnya tidak mampu menjawab beraneka
16
Sistem Perkaderan Muhammadiyah. 2007. Edisi 2, h. 43-50
ragam tantangan yang silih berganti. Kebudayaan hanyalah
mungkin bergerak maju, jika selalu dikawal oleh kekuatan
pelajar yang intelek-kreatif.

Menurut Buya Syafi’i Ma’arif,17 dengan pemikiran-


nya bahwa di kalangan Muhammadiyah sering terdengar
slogan bahwa kader yang hendak dibentuk adalah kader
peryarikatan, kader umat, dan kader bangsa. Urutan ini
harus dibalik secara radikal menjadi, “kader kemanusiaan,
keder bangsa, kader ummat, dan kader persyarikatan.
Kader kemanusiaan harus menjadi perioritas. Mengapa
harus dibalik? Posisi kemanusiaan ditempatkan sebagai
yang pertama dengan beberapa pertimbangan, yaitu:

Pertama, misi Islam adalah “rahmat bagi alam


semesta”, dengan menjadikan kemanusiaan sebagai pintu
masuk pertama, pasukan intelektual akan didorong untuk
berpikir mondial, artinya seluruh umat manusia, siapapun
mereka, pada hakikatnya ialah bersahabat dalam bingkai
kemanusiaan. Gerak roda peradaban harus mengarah
kepada terciptanya sebuah persaudaraan universal umat
manusia.

Kedua, posisi kader kemanusiaan, kita turunkan


setapak menjadi kader bangsa, karena kita hidup dalam
teritorial Negara-bangsa Indonesia. Pelajar Muslim dan
ummat secara keseluruhan tidak boleh mengurung diri
dalam lingkungan keumatan dalam makna terbatas.

17
Ahmad Syafii Maarif , Islam dalam Bingkai Kemanusiaan, h.199
Namun konsep keumatan ditempatkan dalam bingkai
kemanusiaan universal. Perumahan kebangsaan adalah
pelabuhan awal umat Islam untuk tampil sebagai gerda
depan membela dan merawat kepnetingan bangsa bersama
umat lain.

Ketiga, kebaragamam sosio-kultural dengan ciri khas


masing-masing adalah pertanda bahwa Allah Maha
Pencipta, anti-keseragaman, sebab keseragama akan
membuat manusia miskin wawasan dan kaku pergaulan.
Keimanan kepada Allah tidak menghalani untuk
meluaskan radius pergaulan (lita’arofu), saling menyapa
dan bertukar peradaban. Oleh karena itu, biarkan masing-
masing umat untuk mencetak kader-kadernya untuk
kepentingan berbeda, namun dibawah tenda kebangsaan
dan di atasnya terrbentang tenda kemanusiaan.

Keempat, Muhammadiyah membutuhkan kader


persyariikatan untuk melangsungkan gerakan dan misinya
secara kreatif. Yakni kader Muhammadiyah wajib memi-
liki wawasan dan jangkuan pemikiran yang melampaui
radius kemuhammadiyahan. Itu semua adalah bagian yang
menyatu dengan tiga ranah pergaulan, “kemanusiaan,
kebangsaan, dan keummatan”. Semua ini memerlukan
mindset dan sikap mental secara berani dan radikal.

Titik tekan Perjuangan kemanusiaan dikatakan


mendesak dalam menghadapi era globalisasi zaman
modern kali ini. Yaitu, zaman yang menyaksikan proses
semakin menyatunya peradaban seluruh umat manusia
berkat kemajuan pengetahuan dan tehnologi, menjadi
peradaban global. Kiyai Dahlan kerap berkata: “Manusia
semua mati, kacuali para ulama (kaum terpelajar yang selalu
memikirkan kondisi sekitar dan takut kepada Allah). Dan para
ulama itu semuanya bingung (takut disiksa kalau nanti masuk
neraka), kecuali orang yang beramal (kemanusiaan). Tetapi
orang telah beramal (masih takut), kecuali orang berramal
dengan niat ihlas karana Allah Swt.18 Dalam pesan ini dapat
dipetik bahwa gerakan amal kemanusiaan harus dibimbing
atau dilandasi dengan pondasi ketuhanan yang kokoh.
Dalam bahasa Kuntowijoyo, “Humanisme-Teosentris”19,
dan Amien Rais menyebutnya dengan istilah “Tauhid-
Sosial”.

Pemahaman ini penting bahwa Manusia harus


menyatupadukan “keimanan” dalam pandangan hidup
dengan “kemanusaan” dalam kehidupan. Sebagai mana
dalam pemikiran Nurcholis Madjid,20 buah atau hasil dari
ibadah itu bukan untuk Tuhan, tetapi untuk kemanu-
siaan. Karena itu, iman kepada Allah Swt membawa akibat
emansipasi kemanusiaan pribadi sendiri, juga membawa
akibat pola hidup saling menghormati sesama manusia.
Jika tuhan memuliyaan manusia, maka apalagi manusia

18
Hadjid, Pelajaran KHA Dahlan: 7 Falsafah dan 17 Ayat Pokok Ayat
al-Qur‟an, Malang, LPI PPM, 2008, h. 97
19
Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan
Etika, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006, h.
20
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah
Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan,
Jakarta: Paramadina, 2000, h. 101-102
sendiri harus memuliakan sesamanya. Dengan cara
berbuat baik (amal shaleh) kepada sesama dengan rasa
kemanusiaan dan harus berlandaskan keimanan. Dampak
paling nyata dari emansipasi kemanusiaan karena iman
kepada Allah s.w.t ialah terwujudnya pola hubungan antar
manusia dengan semangat egalitarian, dan mondial
(persamaan dan persaudaraan).

Sebagaimana pandangan Syaria’ti tentang tauhid


adalah kesatuan antara Allah, alam, dan manusia. Ia
mengatakan “Jadi, tauhid tidak terbagi-bagi atas dunia kini
dan akhirat nanti, atas yang alamiah dengan supra-alamiah,
atas substansi dan arti, atas jiwa dan raga. Jasi kita memandang
seluruh eksistensi sebagai suatu bentuk tunggal, suatu oaganisme
tunggal, yang hidup memiliki kesadaran cipta rasa dan karsa”
tauhid harus ditafsirkan sebagai kesatuan antara alam
dengan meta-alam, antara manusia dengan alam, antara
manusia dengan manusia, atara Allah, manusia dan dunia.
Kesemuanya terpadu dalam totalitas ajaran tauhid.21 Inilah
bentuk penafsiran tauhid yang memiliki fungsi rahmatan
lil alamin atau kemanusiaan universal.

Transformasi Gerakan Ideologis menuju Gerakan Ilmu

Tema gerakan ilmu, telah disinggung oleh Din


Syamsuddin dalam sambutannya pada Rapat Kerja

21
Eko Supriadi, Sosialisme Islam Pemikiran Ali Syari’ati, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, h.165.
Nasional (Rakernas), 29-31 Maret 2013. IPM, menurut-
nya, perlu segera mendeklarasikan sebuah gerakan ilmu
dan gagasan peradaban. Gerakan itu, adalah gerakan
pencerahan (tanwir, enlightment) atau pencerdasan, sebagai
manifestasi agen pencerahan. Hakikat dan esensi gerakan
Muhammadiyah adalah gerakan pencerahan (al-harakah at-
tanwiriyah) yang sangat dekat dengan ilmu dan upaya
pencerdasan. Salah satu sumbangsih Muhammadiyah
terhadap bangsa adalah selain Muhammadiyah menghi-
langkan ‘tujuh kata’ pada sila pertama pancasila,
Muhammadiyah juga memiliki sumbangsih pada rumusan
falsafah bangsa Indonesia pada kalimat ‘mencerdaskan
kehidupan bangsa’.

Dengan kesediaan IPM tampil sebagai gerakan


ilmu, diharapkan muncul kelompok yang dapat diandal-
kan sebagai rujukan dalam memahami masalah besar, yang
menyangkut pemahaman agama, ilmu pengetahuan,
kemanusiaan, kebudayaan, dan peradaban di masa yang
akan datang. Sebagaimana Buya Syafi’i mengingatkan, kini
zaman sedang bergulir dan berubah dengan cepat karena
ditopang perkembangan teknologi informasi. Semua itu
tak dapat dielakkan. Menurutnya, dalam melintasi zaman
tersebut, diperlukan sebuah fondasi ilmu yang kokoh dan
iman yang tulus. Dengan begitu, IPM bersama
Muhammadiyah bisa membangun sebuah tonggak sejarah
yang bergerak lebih jauh secara strategis dalam memasuki
abad selanjutnya.
Meminjam pendapat Buya Syafi’i, “umat Islam
masih belum berdaya ntuk mengawal gerak peradaban
karena persyaratan untuk itu belum dimiliki, umat Islam
masih kurang ilmu dan wawasannya terbatas,” Begitu juga,
IPM tidak sekedar menjadi pelopor, pelangsung, penyem-
purna AUM, tatapi lebih dari sekedar itu, yakni menjadi
pengawal gerakan pencerahan (tajdid, tanwir) atau gerakan
ilmu menuju peradaban utama (masyarakat utama).
Dengan demikian, IPM tak sekedar menjadi ‘laskar
pelangi’ maupun ‘laskar matahari’, namun menjadi ‘laskar
zaman’ dengan gerakan Ilmu. Karena, hanya dengan
gerakan ilmu lah peradaban unggul (utama) akan
terwujud.

Gerakan Pelajar Berkemajuan

Ikhtiar gerakan IPM mewujudkan pelajar yang kritis


dan progresif harus dilakukan dengan dengan memahami
dan mengamalkan Islam yang berkemajuan. Islam berke-
majuan memiliki tiga paradigma, yaitu membebaskan,
memberdayakan, dan memajukan kehidupan umat
manusia. Pertama, membebaskan manusia dari belenggu
yang tidak manusiawi, dari thoghut (segala yang tidak
memanusiakan dan menjauhkan manusia dari fitrah
kemanusiaan). Kedua, memberdayakan potensi manusia,
sehingga mambantu menjadi manusia unggul. Ketiga,
memajukan kehidupan manusia, dengan ilmu, menjadi
manusia yang berkemajuan dan berperadaban unggul.
Pasca IPM menjadi organisasi terbaik Nasional dan
ASEAN, sudah seharusnya IPM berikhtiar bagaimana
menuju gerakan terbaik (khairu ‘ummah). “faidza faraghta
fanshab, wa ilaa rabbika farghab”.

Dalam hal ini, dapat dilihat pada muktamar ke


XVIII di Palembang 2013 ini, dihasilkan falsafah dan
paradigma gerakan IPM baru yang benar-benar menjadi
ciri khas gerakan pelajar dalam naungan Muhammadiyah,
yaitu “Gerakan Pelajar Berkemajuan” (GPB). Hakikat
pergerakan GPB ialah sebagai gerakan ilmu atau gerakan
dakwah pencerahan/pencerdasan kehidupan pelajar
dengan membawa misi Islam yang berkemajuan. Islam
yang berkemajuan ialah Islam yang membebaskan,
memberdayakan, dan memajukan kehidupan manusia.
Atas dasar itu, paradigma GPB menemukan 3P, yaitu
pencerdasan, pemberdayaan, dan pembebasan. Konsep
GPB sebagai gerakan ilmu harus segera dibumikan di
kalangan pelajar.

Dari IPM untuk Semua

Jika baru-baru ini Muhammadiyah melaunching


buku “Dari Muhammadiyah untuk Indonesia”, maka visi
kader IPM melebihi dan melampaui dari itu. IPM tidak
hanya memiliki visi kebangsaan dan keindonesiaan.
Tetapi, IPM memiliki visi kader kemanusiaan. Selama ini
IPM terlalu lama bergelut diinternal, visi IPM hanya
menjadi kader ideologis yang orientasinya hanya menjadi
pelopor, pelangsung, dan penyempurna Amal Usaha
Muhammadiyah (AUM). Maka tidak jarang, terjadi
perebutan AUM di seluru bidang dan tingkatan. Kini IPM
harus menjadi kader ilmu, ideologi IPM harus menjadikan
Islam sebagai ilmu. Muhammadiyah untuk semua.

Empati kemanusiaan dan pemihakan profetik


kenabian merupakan misi suci terpenting dari gerakan
IPM. Dengan membuka ruang bagi kesediaan untuk
mengakui kebaikan bagi kehidupan manusia walaupun
dilakukan oleh orang yang berbeda keyakinan.22 Etos
kemanusiaan tampak pada pendiri Muhammadiyah, KHA
dahlan yang mudah belajar dari pemeluk agama lain.
Sehingga muncul rumah sakit, sekolah, panti asuhan
yatim piatu, rumah miskin, dan kepanduan. gagasan ini
dapat dikaji dalam “Kesatuan Hidup Manusia”23

Jejak kemanusiaan tersebut telah melintasi batas-


batas keagamaan dan kebangsaan yang terus bergulir
dalam peradaban global. Batas lokalitas, ethnis, dan
kebangsaan, semakin cair, seluruh manusia berkomunikasi
dan bertukar informasi. Hal semacam ini harus mencip-
takan ruang empati kemanusiaan dengan menjadikan
agama Islam pemberi solusi untuk kesejahteraan umat
manusia di bumi.

22
A. Munir Mulkhan. Pesan & Kisah Kiai Ahmad Dahlan dalam
Hikmah Muhammadiyah, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2010,
h. 47
23
A. Munir Mulkhan. Op, Cit. 2010, h. 43
Mewujudkan kader dengan visi kemanusiaan
universal harus dilakukan dengan dialog kreatif antar
organisasi, baik seiman maupun lintas iman. Pengalaman
mereka akan memperkaya persepsi kita tentang kema-
nusiaan dan kecintaan terhadap bangsa ini. Mereka adalah
sahabat kita dalam bingkai keindonesiaan dan bingkai
kemanusiaan yang adil dan beradab. Gesekan-gesekan
kecil ditingkat akar rumput harus segera diselesaikan.
Seperti dalam rumusan “Langkah 12 Muhammadiyah”
langkah ke-12, yaitu “mempersambung gerakan luar” atas
dasar tolong menolong. Kemudian dalam “Kepribadian
Muhammadiyah” terdapat 10 Sifat Muhammadiyah” poin
dan ke-9 “membantu pemerintah serta bekerjasama dengan
golongan lain dalam memelihara dan membangun Negara untuk
mencapai masyarakat yang adil dan makmur yang diridlai Allah
Swt”.

Cikal bakal kader penerus dan gerakan dakwah


harus mengumandangkan kepada dunia bahwa Islam
adalah agama perdamaian. Menjadi kader elite, namun
tidak elitis, dan berjiwa kemanusiaan universal. Bukan
kader perebut amal usaha, perebut jabatan politik, namun
kader yang muflih dan muslih dimana saja dalam bingkai
kemanusiaan yang dilandasi keimanan yang kokoh kepada
Allah. Bukankah “Muhammadiyah itu Untuk Semua”?
Sebagaimana pesan KH Ahmad Dahlan “Menjaga dan
memelihara Muhammadiyah bukanlah suatu perkara yang
mudah. Karena itu aku senantiasa berdo’a setiap saat hingga
saat-saat terahir aku akan menghadap kepada Illahi Rabbi. Aku
juga berdo’a berkat dan keridlaan serta limpahan rahmat
karunia Illahi agar Muhammadiyah tetap maju dan bisa
memberikan manfaat bagi seluruh ummat manusia sepanjang
sejarah sepanjang sejarah dari zaman ke zaman.”

Secara jelas rumusan “Kepribadian IPM”, IPM


adalah lembaga kaderisasi yang salah satu fungsinya adalah
melakukan proses penyiapan kader-kader untuk terlibat dalam
aktifitas kemanusiaan dan kemasyarakatan yang lebih luas dari
lingkup IPM.24 Tetapi dalam penjelasan orientasinya masih
sempit, hanya terbatas pada fungsi kader persyarikatan,
umat, dan bangsa. Seharusnya, fungsi kemanusiaan
tersebut harus diletakkan pada posisi yang pertama atau
memayungi ketiga-tiganya. Sehingga IPM dapat menjadi
gerakan pelajar yang orientasinya untuk perjuangan hak-
hak kemanusiaan pelajar Indonesia yang plural dan
majemuk di Indonesia. Menjadi gerakan pelajar elite
(terpilih, terbaik), namun tidak elitis, dan berjiwa
kemanusiaan universal. Bukan kader perebut amal usaha,
perebut jabatan politik, namun kader yang bisa muflih dan
muslih dimana saja dalam bingkai kemanusiaan yang
dilandasi keimanan yang kokoh kepada Allah.

Masa depan negara kesatuan republik Indonesia


tercinta ini tentunya sangat bergantung kepada kemam-
puan pemimpin dan rakyatnya. Disinilah pentingnya
kader Muhammadiyah melihat umat Islam sebagai
24
PP IPM, Tanfidz Muktamar XVII IPM, Yogyakarta, 2010, h. 28-29
penghuni terbanyak di Indonesia jangan lagi hidup dalam
kabanggaan semu. Dalam wawasan dan alam pikiran kader
harus tampil sebagai kader kemanusiaan, kader bangsa,
kader, umat, baru kemudian sebagai kader organisasi
peryarikatan Muhammadiyah. Sebagai kader, harus
mampu mengawinkan antara iman dan ilmu sebagai syarat
mewujudkan peradaban yang unggul. Khususnya
Indonesia harus menjadi contoh sebuah Islam yang damai,
terbuka, dan moderat.

Keamanan masa depan Indonesia juga tidak dapat


dilepaskan dari umat Islam sebagai golongan mayoritas,
“jikapun banyak, tidak akan melanda, jikapun besar,
justru untuk memayungi”. Doktrin ini penting dimiliki
oleh kader berwawasan kemanusiaan. Indonesia dengan
semboyan bhinneka tunggal ika adalah sebuah bangsa multi-
etnis, multi-iman, multi-eksprasi kultural dan politik. Ini
harus dikelola dengan baik, cerdas, dan jujur oleh kader
kemanusiaan sehingga akan mampu menjadi Negara yang
dasyat. Dan inilah masa depan Indonesia yang harus kita
bela dan perjuangkan dengan sungguh-sungguh, sabar,
dan lapang dada.25

Dampak positif sebagai bentuk emansipasi harkat


dan martabat kemanusiaan karena iman kepada Allah
adalah terwujudnya pola hubungan antar manusia dalam
semangat egalitarianism. Karena setiap pribadi manusia

25
Ahmad Syafii Maarif , Op. Cit., h. 245
adalah berharga bagi Tuhan yang bertanggungjawab
langsung secara pribadi kepada-N

Pribadi yang berjiwa kader bervisi kemanusiaan


harus dipupuk sejak dini, melihat kondisi bangsa
dan umat yang membutuhkan pemimpin-
pemimpin yang adil. Namun yang perlu digaris
bawahi adalah bahwa rasa kemanusiaan
harus berlandaskan rasa keimanan.
Kader kemanusiaan sejati hanya terwujud jika
dilandasi dan dibimbing rasa keimanan.
Sekilas Lalu
Tentang Pelajar

––Dinil Abrar Sulthani26

Organisasi adalah kesatuan sosial yang dikoordinasikan secara


sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang
bekerja atas dasar yang relatif terus-menerus untuk mencapai suatu
tujuan bersama atau sekelompok tujuan.

Stephen P. Robbins

26
Sekretaris PP IPM Kajian dan Dakwah Islam (KDI) periode 2012-
2014
Di dalam era globalisasi ini semua serbaada, semua
serbamodern, informasi dengan mudah didapatkan, apa
yang terjadi di pelosok dunia dalam hitungan detik telah
bisa diketahui informasi tersebut dengan mudah. Sungguh
majunya era globalisasi ini belum sepenuhnya terasa bagi
masyarakat terkhusus Pelajar yang berada dipelosok
pedalaman kampung, yang jauh dari media informasi
seperti radio, televisi dan juga internet. Bagi pelajar yang
berada dipelosok kampung tersebut, bisa sekolah saja
sudah bersyukur apatah lagi bisa mendapatkan fasilitas
yang begitu “mewah” dalam pandangannya. Bagi pelajar
yang berdomisili di Ibukota atau pedesaan yang telah
maju, media informasi itu sudah hal yang wajar dirasakan,
tetapi tidak untuk mereka yang belum pernah mengenal-
nya.

Ada dampak yang ditimbulkan dari media infor-


masi tersebut, ada yang berdampak positif dan ada pula
yang berdampak negatif. Media informasi seperti internet,
tak ubahnya seperti pisau, pisau dapat difungsikan sebagai
alat bantu masak-memasak didapur, mengupas buah, atau
yang lain, tetapi pisau juga bisa dipakai untuk hal yang
tidak baik, menakut-nakuti, membunuh atau yang lain.
Jadi jelas kiranya media informasi tergantung dari
memfungsikannya dengan tepat, kalau digunakan kepada
yang baik maka baik pula hasilnya begitu pula sebaliknya.
Terlebih yaitu user yang menjalankan itu semua, yang
selalu bersinggungan dengan media tersebut, sehingga
tidak sedikit pula banyak pelajar sekarang yang terjerumus
menjadi korban bahkan pelaku dari akibat salah memak-
nai dan memfungsikan media informasi pada tepat fungsi-
nya.

Di samping, budaya style sebut saja gaya berpakaian


dan gaya hidup konsumtif, pelajar terlena mengikuti tren
yang dianggap modern, kalau dulu mengikut gaya kebarat-
baratan dan sekarang beranjak ke gaya Korean, esok entah
gaya apa lagi yang harus diikuti masyarakat Indonesia
khususnya Pelajar. Boleh-boleh saja ikut bergaya namun
hendaklah mempertimbangkan norma-norma dimana kita
berdomisili dan norma-norma agama, terlebih Pelajar yang
tergabung dalam Ikatan Pelajar Muhammadiyah baik yang
berada dalam susunan struktural maupun lembaga pendi-
dikan Muhammadiyah hendakanya harus bisa menjadi
contoh dan teladan bagi pelajar lain.

Dua contoh di atas merupakan secuil bagian tan-


tangan yang harus dihadapi masyarakat khususnya pelajar,
maka bagi Pelajar hendakalah membenahi diri, memper-
banyak ilmu dan menyiapkan bekal dalam menjawab dan
bersikap dikala menghadapi tantangan ujian keimanan.
Pelajar mendapat posisi yang sangat dipentingkan karena
pelajar adalah orang yang sedang mencari ilmu, yang mana
mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap individu.

Sebelum melangkah lebih jauh ada baiknya,


terlebih dahulu mengetahui apa sebenarnya pengertian
dari pelajar ini; pelajar adalah anggota masyarakat yang
berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses
pembelajaran dalam jalur pendidikan baik pendidikan
formal maupun pendidikan nonformal, pada jenjang dan
jenis pendidikan tertentu. Pelajar juga adalah bagian dari
masyarakat yang berusaha mencari ilmu pengetahuan guna
dikembangkan bagi dirinya sendiri, keluarga dan masyara-
kat sekitar. Jadi jelaslah, bahwa pelajar adalah proses yang
sangat rentan karena sedang mengalami proses transisi
mencari jati diri yang mencoba bertarung dalam lembaga
pendidikan. Tentu mengingat tantangan era globalisasi
dewasa kini, tidak tepat kiranya membiarkan mereka
berjuang sendirian mendapatkan apa yang mereka cari
dengan mengeskplor dirinya. Maka di sini perlu beberapa
tambahan peran penting yaitu orang tua, kelurga dan
teman sebaya serta organisasi.

Orang tua memiliki peran besar bagi pelajar, yaitu


dalam konteks si anak, anak adalah umpama 2 jati diri
yang bergabung jadi satu, dengan maksud seorang anak
adalah memiliki pembawaan dan simbol dari ayah dan
ibu, maka yang terlebih dahulu bertanggung jawab atas
lalainya seorang anak adalah orang tuanya. Apakah orang
tuanya mengajarinya ataukah tidak! Dan orang tua pulalah
yang membentuk karakter anak yang mulai dari lahir
sampai akil baliq, maka sangat rentan sekali dikala kedua
orang tua berbeda persepsi sehingga menimbulkan
perceraian maka akan mengakibatkan gangguan pertum-
buhan psikis seorang anak dalam tumbuh besar menjalani
menemukan potensi dirinya. Orang tua adalah teldan
utama bagi anak dalam kehidupan ini, pada diri orang
tualah para anak-anak meniru apa yang dilakukan dan
diperbuat oleh orang tuanya.

“Puisi yang paling indah adalah keluarga” munkin


nyanyian ini tepat betapa pentingnya keharmonisan
sebuah keluarga, keluarga merupakan bentuk pemerin-
tahan kecil yang terdiri dari ketua yaitu ayah, sekretaris
dan bendahara dirangkap jabatan oleh ibu serta anggota-
anggota yaitu anak-anak. Dalam bentuk pemerintahan
kecil ini harus berjalan sesuai dengan kesepakatan
bersama, Ketua menjalankan tugas dan tanggung jawabnya
dengan baik, sekretaris dan bendahara mengatur dan
menejemen pemerintahan tersebut, para anggotanya
mendapatkan bimbingan dan teladan dari pimpinannya.

Maka output dari keluarga seperti inilah boleh


penulis katakan bisa lahir Pemimpin-pemimpin bangsa
atau dalam skup kecilnya pelajar yang membawa kemajuan
yaitu dengan nama pelajar berkemajuan. Di keluargalah
lembaga pendidikan no.1 di dunia, karena dapat menyiap-
kan kader yang memiliki bekal mengarungi lautan cinta
dunia dan mengumpulkan harta sebagai bekal di akhirat
kelak. Dari keluarga yang baik akan menghasilkan anak-
anak yang baik. Namun tidak tertutup kemungkinan,
banyak juga Pemimpin bangsa, orang sukses yang beranjak
dari keluarga yang broken home, mukin di sinilah letak
bijaksananya Allah menentukan takdir setiap hamba-
hamba-Nya. Tugas manusia hanya berbuat dan berdo’a
serta finishing nya kembali kepada Allah Swt.

Teman sebaya, jargon ini sangat menjadi kutipan


faforit yang selalu didengungkan dalam organisasi Ikatan
Pelajar Muhammadiyah yang lebih dikenal dengan Peduli
Teman Sebaya. Yup, tepat kiranya. Pelajar tidak selamanya
selalu berbahagia dan tersenyum terkadang mereka
mengalami gundah gulana yang sering orang bilang
sekarang galau. Tentu para pelajar mencari solusi
bagaimana bisa keluar dari masalah yang tengah
dihadapinya sebut saja masalah; berbeda pendapat dengan
teman, bertengkar dengan teman, putus pacaran,
mendapat nilai buruk, tidak lulus ujian nasional, kena
marah orang tua, dan lain sebagainya. Terkadang ada
pelajar yang memilih jalan pintas dengan mengikuti gaya
teman-teman yang salah, merokok, minum-minuman
keras, berganja, bahkan ada yang rela mengakhiri
hidupnya karena tidak sanggup lagi menanggung masalah
yang diderita, Astaghfirullah, Nauzubillahiminzalik.

Pada posisi seperti inilah disamping orang tua maka


Teman sebaya harus peduli dengan temannya yang sedang
mengalami masalah, mendengar curahan hatinya, mem-
bantu memotifasi dan memberikan solusi yang terbaik.
Ada sebuah kisah menarik yang harus kita coba simak.
Bagian Penting Tubuhmu

Ibuku selalu bertanya kepadaku, apa bagian


tubuhmu yang paling penting. Bertahun-tahun, aku selalu
menebak dengan menebak dengan jawaban yang aku
anggap benar. Ketika aku beranjak besar, aku berpikir
suara adalah yang paling penting bagi kita sebagai
manusia, jadi aku jawab, “Telinga, bu.” Tapi, ternyata itu
bukan jawabannya.

“Bukan itu, Nak. Banyak orang yang tuli. Tapi teruslah


memikirkannya dan aku menanyakannya lagi nanti.”

Beberpa tahun kemudian, aku mencoba menjawab,


sebelum Ibu bertanya padaku lagi. Sejak jawaban pertama,
kini aku yakin jawaban kali ini pasti benar. Jadi, kali ini
aku memberitahukannya. “Bu, penglihatan sangat penting
bagi semua orang, jadi pastilah mata kita.”

Dia memandangku dan berkata, “Kamu belajar


dengan cepat, tapi jawabanmu masih salah karena banyak
orang yang buta.”

Gagal lagi, aku meneruskan usahaku mencari


jawaban baru dan dari tahun ke tahun, Ibu terus bertanya
kepadaku beberapa kali dan jawaban dia selalu, “Bukan.
Tapi, kamu makin pandai dari tahun ke tahun, Anakku.”

Akhirnya tahun lalu, kakekku meninggal. Semua


keluarga sedih. Semua menangis. Bahkan, ayahku mena-
ngis. Aku sangat ingat itu karena itulah saat kedua kalinya
aku melihatnya menangis. Ibuku memandangku ketika
tiba giliranku untuk mengucapkan selamat tinggal pada
kakek.

Ibu bertnya padaku, “Apakah kamu sudah tahu apa


bagian tubuh yang paling penting, sayang?”

Aku terkejut ketika ibu bertanya pada saat seperti


ini. Aku sering berpikir, ini hanyalah permainan antara
ibu dan aku.

Ibu melihat kebingungan di wajahku dan


memberitahuku, “Pertanyaan ini penting. Ini akan
menunjukkan padamu apakah kamu sudah benar-benar
“hidup”. Untuk semua bagian tubuh yang kamu beritahu
padaku dulu, aku selalu berkata kamu salah dan aku telah
memberitahukan kamu kenapa. Tapi, hari ini adalah hari
dimana kamu harus mendapatkan pelajaran yang sangat
penting.”

Dia memandangku dengan wajah keibuan. Aku


melihat matanya penuh dengan air. Dia berkata.
“Sayangku, bagian tubuh yang paling penting adalah bahumu.”

Aku bertanya, “Apakah karena fungsinya untuk


menahan kepala?”

Ibu menjawab, “Bukan, tapi karena bahu dapat


menahan kepala seorang teman atau orang yang kamu sayangi
ketika mereka menangis. Kadang-kadang dalam hidup ini,
semua orang perlu bahu untuk menangis. Aku cuma berharap,
kamu punya cukup kasih sayang dan teman-teman agar kamu
selalu punya bahu untuk menangis kapanpun kamu
membutuhkannya.”

Akhirnya, aku tahu, bagian tubuh yang paling


penting adalah tidak menjadi orang yang mementingkan
diri sendiri. Tapi, simpati terhadap penderitaan yang
dialami oleh orang lain. Orang akan melupakan apa yang
kamu katakan. Orang akan melupakan apa yang kamu
lakukan. Tapi orang TIDAK akan pernah lupa bagaimana
kamu membuat mereka berarti.

Jadi dari kisah diatas sangat menginspirasi kita


untuk peduli sesama teman sebaya. Yaitu sesama Pelajar.
Pelajar yang selalu bergaul dan bercengkerama haruslah
bisa saling memberikan manfaat, saling menasehati pada
kebenaran dan saling menasehati pada kesabaran.

Organisasi adalah sebuah wadah untuk menam-


pung potensi-potensi dari pelajar untuk dibantu, dibim-
bing guna dikembangkan dan dioptimalkan sehingga
menjadi keahlian priabadi yang mampu menjadi ciri khas
dan bekal bersaing di era globalisasi ini. Stephen P.
Robbins menyatakan bahwa organisasi adalah kesatuan
sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah
batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas
dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai suatu
tujuan bersama atau sekelompok tujuan.27 Berorganisasi
adalah ikut aktif dan berpartisipasi dalam menjalankan
kegiatan administrasi organisasi, dengan mengikuti aturan
(baca: AD/ART) dan komitmen bersama serta agenda aksi
guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara
bersama.

Ikatan Pelajar Muhammadiyah merupakan


oraganisasi besar tempat berkumpulnya seluruh pelajar
baik yang telah mengikuti Pelatihan Kader Taruna Melati
maupun pelajar yang berstatus sebagai siswa yang berse-
kolah di lembaga pendidikan Muhammadiyah. Hendak-
nya bagi seluruh anggota dan kader IPM mulai beranjak
memulai wacana baru melakukan gebrakan pembaharuan
dan pencerahan di ruang lingkup sekolah, apa saja yang
penting kreatif dan baik tentu itu merupakan apresiasi
besar bagi yang telah menorehkannya. Demi mewujudkan
pelajar Ikatan Pelajar Muhammadiyah yang baik, sering
menamakan menjadi pelajar yang kritis, pelajar kreatif dan
sekarang diupayakan menjadi pelajar yang berkemajuan.

Untuk menyongsong mencapai predikat pelajar


yang berkemajuan, banyak hal yang harus dilakukan
seperti halnya, penggagas utama, Azaki Khorudin menilik
dari sudut gerakan ilmu yang menjadi landasan berpijak
mewujudkan pelajar berkemajuan tersebut. Bolehlah
penulis menambahkan langkah yang harus ditempuh yaitu

27
Stephen P.Robbins. Teori Organisasi Struktur, Desain, dan Aplikasi,
(Jakarta: Arcan: 1994), hlm.4
pelajar harus memaknai agama adalah perbuatan, maka
hidup perlu berbuat. Memperdalam ilmu sangatlah
penting, dan setelah medapat ilmu tersebut paling penting
untuk diamalkan dengan sungguh-sungguh. Karena hidup
adalah membawa bekal untuk hidup yang kekal, maka
bekal yang paling ampuh adalah perbuatan (sebut: amal
shalih).

Dan sebagai pelajar yang berkemajuan sudah


saatnya memiliki ilmu yang mumpuni dan amalan yang
mendalam demi berlangsungnya leader-leader pencerahan
bagi Muhammadiyah, bangsa, dan dunia. Maka tataran
konsep gerakan ilmu harus dijewantahkan lebih mendasar
dalam hal pengamalan yang lebih mendalam. Itulah
sekelumit kajian pelajar berkemajuan perspektif Islam.
Kesadaran Sejarah,
untuk Pelajar Berkemajuan
dan Berperadaban

––Muhammad Hanif28

Wat verschijne, Wat verdwijne


‘T hangt niet aan een los geval
In het verleden ligt het heden
In het nu wat lonen zal

De Genestest

28
Anggota PP IPM bidang Pengkajian Ilmu Pengetahuan (PIP) 2012-
2014, Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam UIN Bandung.
Sejarah merupakan ilmu pengetahuan yang memba-
has kepada peristiwa masa lampau yang benar-benar
terjadi pada manusia sebagai aktor utamanya yang
meliputi ruang dan waktu. Menurut Yusuf Al-Qaradhawi
mengatakan bahwa sejarah adalah memori umat. Apabila
ada seseorang yang ingin menghapus memori tersebut
maka umat tersebut akan melupakan kegemilangan, dan
harus memulai lagi dari nol seperti umat yang tidak
memiliki sejarah. Namun, apabila mereka tidak bisa
menghapusnya, mereka berusaha untuk merusak serta
mendistorsinya dengan informasi-informasi yang salah,
terbalik, dan palsu.29 Selaras dengan pendapat Yusuf,
George Santayana, filsuf besar dari Spanyol mengatakan,
“Mereka yang tidak mengenal masa lalunya, dikutuk
untuk mengulanginya”.30

Pada dasarnya masa lalu mempunyai tiga fungsi,


yaitu (a) untuk melestarikan identitas kelompok dan
memperkuat daya tahan kelompok bagi kelangsungan
hidup. (b) Untuk mengambil pelajaran dan teladan dari
peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu. Dan (c)
sejarah dapat berfungsi sebagai sarana pemahaman
mengenai makna hidup dan mati atau mengetai tempat
manusia diatas muka bumi ini.

29
Al-Qaradhawi, Yusuf. 2005. Distorsi Sejarah Islam. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar
30
Dienaputra, Reiza D. 2012. Sunda: Sejarah, Budaya, dan Politik.
Bandung: Sastra Unpad Press
Kendati sejarah pada hakikatnya tidak dapat
diubah, namun pelbagai tafsiran dapat diberikan yang
akhirnya memberikan warna yang berbeda dalam
melukiskan sejarah. Dengan demikian kita perlu dapat
membedakan antara objektivitas kenyataan dan
subjektivitas interpretasi untuk bisa mengurangi kesalah-
pahaman sejarah.

Sejarah bukanlah hanya sebatas pembelajaran masa


lalu belaka, dan juga bukan hanya sebatas mengingat masa
lalu tanpa merencanakan masa depannya. Kita tidak hanya
menganggap bahwa masa lalu adalah masa yang hanya
dinikmati saja, masa yang hanya diperingati tiap tahunnya,
dan masa merindukan kedigjayaan sebuah bangsa saja
melainkan ada sebuah pemikiran untuk merencanakan
masa depan dari masa lalunya, atau yang lebih dikenal
dengan planning of history. Dalam kitab suci umat Islam, Al-
Qur’an, disebutkan bahwa sejarah merupakan landasan
untuk merencanakan masa depan, wal tandzur nafsun maa
qaddamat lighad (QS. Al Hasyr: 18).

Sebagai umat Islam, kita tidak bisa menutup mata,


telinga dan hati kita atas perintah Allah Swt yang
memerintahkan hambanya untuk melihat hari esok
dengan tidak lupa melihat masa lalunya. Mengutip sajak
dari salah seorang penyair yang terkemuka, De Genestest,
yang menyebutkan bahwa apa yang datang dan apa yang
hilang, pada hakikatnya tidak terlepas satu dari yang
lainnya (Yusuf Muhammad, 1963: 9). Dari sajak ini, dapat
diambil simpulan bahwa pada dasarnya masa lalu adalah
untuk dilihat pada masa kini sebagai perencanaan masa
depan.

Bangsa yang besar dan maju adalah bangsa yang


berani melihat masa lalunya. Presiden pertama Republik
Indonesia, Soekarno, telah mencontohkan bahwa kita
harus berdamai dengan masa lalu. Karena masa lalu
bukanlah seekor makhluk yang hanya dihapalkan bahwa
dia memiliki ekor, belalai, kuping, kumis, gading, dan
taring, yang apabila digambarkan menjadi makhluk yang
begitu menakutkan, sehingga tidak ada satupun orang
yang berani memeluk makhluk ini, mendekatinya saja
sudah enggan. Tapi, sejarah adalah makhluk yang begitu
indah dan elok dipandang yang setiap orang sangatlah
menginginkan menyentuh dan memeluk makhluk ini.

Kesadaran Sejarah, Karakter Pelajar Berkemajuan

Pada kesempatan ini, penulis hanya mencoba meng-


ingatkan kembali atas kesadaran sejarah pada aktivis
gerakan Ikatan pelajar Muhammadiyah (IPM) dewasa ini.
Sering kita jumpai perkataan yang begitu menyakitkan,
yang lalu biarlah berlalu, memang hal ini tidak sepenuhnya
salah namun alangkah lebih eloknya jika IPM bisa melihat
masa lalu untuk membantu menatap masa depan. Penulis
berharap agar pelajar Indonesia umumnya, dan pelajar
Muhammadiyah pada khususnya untuk tidak menjadi
generasi “MATA MERAH”, mari kita melupakan sejarah,
tapi tetaplah kita menjadi generasi yang selalu memakai
“JAS MERAH”, jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Karena walaupun kita semua mempelajari sejarah, namun
hanya sedikit dari kita untuk belajar dari sejarah.

Mengetahui dan memahami sejarah bagi pemuda


Islam sangatlah penting. Bukankah kita sudah mengetahui
bersama pernyataan yang sudah sering didengar, “jika
ingin menghancurkan sebuah bangsa maka hancurkan
dulu ingatan masa lalunya”. Sudah banyak bangsa yang
mengalami kehancuran karena tidak bisa melihat sejarah-
nya. Bahkan akhir-akhir ini negara yang berpenduduk
mayoritas muslim (Timur Tengah) sedang mengalami
diambang kehancuran, sesama saudara saling bertikai.
Salah satu faktornya adalah kesadaran sejarah yang
dimilikinya sudah mulai berkurang.

Dengan spirit gerakan al-Qalam, Nuun Walqalami


Wamaa Yasthuruun harus dipahami sebagai perintah
imperatif tentang “kesadaran sejarah”, yaitu bagaimana
IPM mampu menuliskan sejarah dan mewarnai peradaban
Sebelum terlambat, IPM sebagai organisasi pelajar dengan
di muka bumi.Pelajar Berkemajuan”, tentunya tidak ingin hal ini
“Gerakan
terjadi terhadap bangsa kita, bangsa yang berdiri atas
lembaran- lembaran sejarah yang gemilang. Oleh karena itu,
tugas IPM sekarang ialah untuk menyusun lembaran-lembaran
yang berserakan ini untuk menjadi sebuah buku yang enak
dibaca dan diceritakan kembali kepada generasi selanjutnya.
Pelajar Indonesia adalah
Buruh Bangsa

––Mustiawan31

“Entrepenuer bukan sekedar diajarkan, tetapi harus ada kegiatan


yang konkret di sekolah-sekolah sebagai bentuk penanaman jiwa
entrepenuer di kalangan pelajar.”

Carl J. Schramm

31
Bendahara II PP IPM periode 2012-2014
Pelajar merupakan salah satu komponen yang
paling terpenting dalam sebuah negara karena pelajar saat
ini menentukan masa depan bangsa yang akan datang.
Pelajar merupakan bagian dari masyarakat yang memiliki
tingkat produktivitas dan kreatifitas yang cukup tinggi.
Namun, sayangnya kurang dimanfaatkan dengan baik, hal
tersebut karena masih banyaknya dari segelintir pelajar
melakukan ataupun terlibat tindak kejahatan seperti
pemalakan, narkoba, tawuran, sampai sex bebas yang
“dikalim” sebagai bentuk aktulaisasi pelajar modern masa
kini.

Kreativitas Pelajar dan Kepopuleran Semu

Pelajar saat ini masih terlalu asik dengan


eksperimen-eksperimen kreatifitasnya yang berkiblat pada
sebuah “kepopuleran semu” hingga melupakan sisi ekono-
mis dibalik kreatifitasnya. Kreatifitas-kreatifitas pribadi
yang dimiliki pelajar harusnya menjadi sebuah pijakan
untuk menjadi pelajar yang mandiri sehingga memacu
pelajar untuk mengeksplor diri di dunia bisnis menjadi
entrepenuer muda dan tidak hanya berkiblat pada sebuah
popularitas semata.

Membentuk jiwa entrepreneur pada siswa memang


bukan pekerjaan mudah. Menurut CEO Kauffman
Foudation dari Amerika Serikat Carl J. Schramm berkata
entrepenuer bukan sekedar diajarkan tetapi harus ada
kegiatan yang konkret di sekolah-sekolah sebagai bentuk
penanaman jiwa entrepenuer dikalangan pelajar.

Menjawab tantangan zaman tersebut sistem pendi-


dikan nasional membentuk SMK dengan dalih sebagai
bekal berbagai keahlian khusus tetapi belum sepenuhnya
fokus kepada penanaman nilai entrepreneur secara praktis
di setiap sekolah. Realitas ini terbukti banyaknya SMK
yang diharapkan dapat melahirkan entrepenuer mudah
membelot dari ranah yang seharusnya. Sekolah hanya
menyediakan jaringan untuk lulusan yang siap bekerja,
mirisnya lulusan SMK hanya menjadi sebuah buruh dalam
sebuah pabrik.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Karena selama proses


pendidikan proses penanaman nilai-nilai entrepreneurship
sangat kurang, sebatas penguasaan materi dikarenakan
kurangnya kegiatan konkret dilapangan. Dogma-dogma
yang ditanamkan di SMK hanya berkisar pada bagaimana
siswa bisa mendapatkan kerja bukan menghasilkan lapang-
an pekerjaan atau usaha baru setelah lulus.

Lingkungan kita menjadi salah satu penghambatnya


bangkitnya jiwa entrepenuer. Iklan provider tree “3” adalah
cerminan bagaimana mimpi anak-anak bangsa, yang
merupakan hasil dogma-dogma yang ditamankan ling-
kungan disekitarnya. Kita kerap bangga melihat saudara-
saudara kita atau bahkan diri kita sendiri bekerja di
perusahaan multinasional ketibang kita berjualan goring-
an di pinggir jalan atau kita terbiasa dengan mendapatkan
rupiah dengan cara yang hanya bermodalkan proposal dan
nama besar sebuah organisasi atau perseorangan. Keter-
gantungan pada zona nyaman inilah tanpa kita sadari,
secara halus sedang mematikan jiwa entrepreneur. Tak
jarang, banyak orang yang mematikan jiwa wirausaha
dalam dirinya. Alasannya klise dan kurang tepat yakni
tidak berbakat menjadi wirausaha atau takut gagal.

Amerika Serikat atau yang akrab dikenal Negeri


Paman Sam ini secara fakta merupakan salah satu negara
adidaya di dunia. Bila kita berkaca pada Amerika Serikat
mereka memiliki tidak kurang 37 juta orang entrepreneur,
pengusaha. Jumlah ini bila dibandingkan dengan jumlah
penduduk yang mencapai 309 juta jiwa mencapai tingkat
12%, Malaysia yang telah memiliki pengusaha sebesar 3%,
Singapura 7%, China 10%, cukup jauh di atas level
minimal capaian negara maju, 2%. Sementara suatu
negara akan memiliki pondasi perekonomian yang kuat
dan akan memenuhi persyaratan awal untuk menjadi
negara maju, jika memiliki jumlah pengusaha sebanyak
minimal 2% dari jumlah penduduknya.

Bagaimana Amerika Serikat dapat memiliki sekian


banyak pengusaha dan entrepreneur? Fakta mengatakan
bahwa hampir 50% dari pengusaha tersebut mengalami
kegagalan pada langkah awal mereka. Namun, mereka
pantang menyerah dan senantiasa mencoba lagi. Mental
inilah mungkin yang membedakan semangat
entrepreneurship dalam masyarakat negara berkembang
seperti Indonesia dengan masyarakat negara maju seperti
Amerika Serikat.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS),


jumlah pengangguran sarjana atau lulusan universitas
pada Februari 2013 mencapai 360 ribu orang, atau 5,04%
dari total pengangguran yang mencapai 7,17 juta orang ini
dikarenakan salah satu bukti bahwa bahwa Bangsa
Indonesia masih kurang memiliki aktor-aktor entrepeneur
yang mewarnai blantika bisnis Indonesia. Aktor-aktor
entrepenuer ini nanti memiliki peran untuk menggerakan
generator kemandirian bangsa pada sektor ekonomi dan
memiliki kontribusi mengikis angka pengangguran.

Entrepeneur Sebagai Generator Kemandirian Bangsa

Kemandirian bangsa Indonesia hingga dewasa ini


sangat paradoks dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Hal ini mengingat Indonesia tidak saja terjerumus dan
kemudian terjerat dalam skenario ekonomi “kapitalis yang
monopolistik”, melainkan telah sangat pandai ikut
“bermain”. Sebagai contoh adalah berkuasanya korporasi
asing seperti Caltex, Freeport, Newmont, dan lain-lain.
untuk mengeksploitasi sumberdaya alam Indonesia.
Berkuasanya korporasi-korporasi asing di Indonesia yang
dalam banyak kasus justru menimbulkan ketergantungan,
kemiskinan dan kehancuran masyarakat lokal yang
menjadi bagian integral dari masyarakat nasional (bangsa
Indonesia), jelas merupakan fakta bahwa kita sebagai
bangsa tidak lagi cukup kuat memiliki kemandirian. Ini
adalah fakta aktual yang harus kita hadapi dan sikapi
secara kritis sebagai anak bangsa khusus pelajar Indonesia.

Sebagaimana kita ketahui Freeport adalah korporasi


milik Amerika Serikat yang telah mengangkangi tambang
emas terbesar dunia di Papua dengan cadangan terukur
lebih dari 3.046 juta ton emas, 31 juta ton tembaga, dan
10 ribu ton perak. Selama 30 tahun lebih dan belum lama
diperpanjang lagi Freeport telah mengeksploitasi kekayaan
itu dengan pendapatan sekitar 1.5 miliar $ AS/tahun.
Sebagai kompensasinya Freeport hanya memberi bagi hasil
(profit sharing) pada Indonesia 10-13 % dari pendapat
bersih di luar pajak.

Oleh karena itu kita dapat menyaksikan apa yang


terjadi di Papua, 60 % rakyat Papua tidak memiliki akses
pendidikan, 35,5 % tidak memiliki akses fasilitas
kesehatan, dan lebih dari 70 % hidup tanpa air bersih.
Data HDI (Human Development Index) 2004 menunjukkan,
Papua menempati urutan ke-212 (terutama mereka yang
tinggal di daerah Mimika, Paniai, dan Puncak Jaya) dari
300 lebih kabupaten yang ada di Indonesia. Belum lagi
kerusakan ekologi yang sangat parah yang tidak mungkin
dapat diperbaiki dalam beberapa generasi.
Meluruskan Kiblat Ekonomi Bangsa

Soekarno, dalam salah satu ucapanya berkata “We


Are Cooli Nations And Cooli Among Nations”. Kita akan
menjadi bangsa kuli dan kuli diantara bangsa-bangsa.
Sungguh ini kata-kata yang sangat pedas. Entah apa yang
sedang ada di benak Bung Karno waktu itu. Apakah ini
berkaitan dengan sikap mental beberapa orang di
seklilingnya waktu itu. Apakah ini berhubungan dengan
pandangan jauh kedepan mengenai kondisi bangsanya
sendiri di masa yang akan datang.

Kekulian ini akibat jerat kemiskinan yang berkepan-


jangan di dalam negrinya sendiri. Akibat menjual tenaga
terlalu murah dengan maksud menarik investor asing
menjadikan kemiskinan semakin akrab dan melilit kuat
kehidupan rakyat.

Inilah realitas yang terjadi dikalangan rakyat jelata


dengan kehidupan ekonomi yang serba kekurangan alias
melarat dan miskin, hal ditandai dengan banyaknya
mereka yang bekerja menjadi buruh yang di bayar dengan
harga murah. Tenaganya di hargai dengan rupiah yang
hanya pas-pasan untuk hidup anak dan istrinya. Tidak
pernah tersisa uang di setiap ahkhir bulanya. Menjadi
buruh di Negeri sendiri, miskin dengan kekayaan negeri,
dan memandang penuh bangga investor asing menikmati
kekayaan bangsa.
Inilah sebuah pilihan, mau jadi buruh di negeri
sendiri, atau akan tampil menjadi aktor di belantikan
bisnis Indonesia. Berpacu dengan investor-investor asing
untuk menguasai Indonesia dari sektor ekomoni.
Meluruskan kiblat ekonomi bangsa untuk membangun
kemandirian bangsa demi mewujudkan cita-cita kemede-
kaan yang sebenarnya, yaitu bangsa yang merdeka,
berdaulat, adil, dan makmur.
Ber-IPM Perlu Perencanaan

––Dinil Abrar Sulthani

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah


dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertaqwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.”

QS. Al-Hasyr: 18
“Lain lalang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”
kalau boleh saya tambahkan, “lain zaman lain tantangan”.
Munkin inilah kata yang tepat menggambarkan pergerak-
an dan perjuangan Ikatan Pelajar Muhammadiyah dewasa
kini yang menghadapi tantangan-tantangan yang tentu
berbeda dengan tantangan yang dihadapi kepemimpinan
yang lalu. Untuk menghadapi tantangan tersebut tentulah
IPM harus memiliki perencanaan matang yang disusun
secara bersama guna mencapai tujuan yang ditargetkan.
Perencanaan ini tentu harus dilakukan di semua jenjang
kepemimpinan mulai dari ranting hingga pusat, menyusun
agenda program kerja yang akan dilaksanakan dengan
mempertimbangkan program yang paling prioritas dan
efisiensi sesuai periode kepemimpinan.

Perencanaan merupakan suatu proses yang memba-


has goal atau tujuan organisasi, menyusun strategi secara
menyeluruh untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan
secara bersama, dan mengembangkan rencana dengan
mengintegrasikan dan saling mengkoordinasikan dengan
kegiatan yang akan dilaksanakan. Maksud dari perencana-
an adalah guna memberikan arah, mengurangi dampak
perubahan yang signifikan, memperkecil resiko, dan
menentukan standar yang akan menjadi barometer dalam
evaluasi.

Ada sebuah ungkapan yang menarik untuk kita


renungkan “kegagalan merencanakan sama halnya meren-
canakan kegagalan”, setidaknya ungkapan ini layak bagi
kader dan anggota IPM untuk merenungkan ungkapan
itu, agar mencapai tujuan yang dicita-citakan atau menuju
kepemimpinan yang eksis dan baik haruslah meren-
canakan segala sesuatunya dengan penuh pertimbangan
yang matang. Tentu dalam perencanaan haruslah
didiskusikan dan dirumuskan secara bersama, memilih
perencanaan yang ideal untuk dilakukan. Setidaknya ada 3
(hal) perencanaan yang ideal yang harus menjadi
pertimbangan bagi terlaksananya kepemimpinan yang
baik.

Perencanaan Partisipatif

Perencanaan partisipatif adalah keikutsertaan


anggota organisasi dalam proses perencanaan pengemang-
an organisasi, mulai dari melakukan analisis tantangan
zaman dan program kerja, berpikir cara mengatasi
tantangan dan menjalankan program kerja, memiliki rasa
percaya diri untuk mengatasi setiap masalah yang akan
dihadapi dan siap menerima dan bertanggung jawab
dengan agenda yang telah dilaksanakan, mengambil
keputusan secara kolektif dan koligeal tentang rencana
dan alternatif rencana mengenai pemecahan masalah apa
yang akan terjadi dalam organisasi kemudian hari.
Partisipasi menurut Mikkelsen biasanya digunakan
di masyarakat dalam berbagai makna umum, diantara-
nya:32

1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat


dalam suatu proyek (pembangunan), tetapi tanpa
mereka ikut terlibat dalam proses pengambilan
keputusan.
2. Partisipasi adalah proses membuat masyarakat menjadi
lebih peka dalam rangka menerima dan merespons
berbagai proyek pembangunan.
3. Partisipasi adalah suatu proses aktif, yang bermakna
bahwa orang ataupun kelompok yang sedang ditanya-
kan mengambil inisiatif dan mempunyai otonomi
untuk melakukan hal itu.
4. Partisipasi adalah proses menjembatani dialog antara
komunitas lokal dan pihak penyelenggara proyek
dalam rangka persiapan, pengimplenetasian, peman-
tauan dan pengevaluasian staf agar dapat memperoleh
informasi tentang konteks sosial maupun dampak
sosial proyek terhadap masyarakat.
5. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat secara
sukarela dalam perubahan yang ditentukan sendiri
oleh masyarakat.

32
Mikkelsen, Britha. (2005) Methods for Development Work and
Research, hal 53-54
6. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam upaya
pembangunan lingkungan, kehidupan dan diri mereka
sendiri.

Dari keterangan Mikkelsen dapat diterjemahkan ke


konteks pengamalan dalam batang tubuh Ikatan Pelajar
Muhammadiyah; Dengan perencanaan partisipatif hen-
daknya para kader dan anggota IPM; Pertama, memberikan
kontribusi dengan sukarela untuk kemajuan organisasai
seperti memberikan kontribusi pemikiran baik lisan
maupun tulisan, tenaga, meluangkan waktu dan
mengeluarkan anggaran demi terlaksananya dan keber-
langsungan periode kepemimpinan. Kedua, menciptakan
suasana harmonis yang menimbulkan kepekaan, mene-
rima masukan baik saran maupun kritikan yang dapat
membangun kesadaran dan arah kebijakan yang akan
dilakukan. Ketiga, memiliki keaktifan dalam berorganisasi
dan mampu melahirkan inisiatif yang tinggi guna
mengeluarkan ide-ide kreatif untuk menampilkan potensi-
potensi yang dimiliki masing-masing anggota, Keempat,
menciptakan suasana proses komunikasi yang baik dan
memfasilitasi proses dialog yang intens antara sesama
pimpinan, sesama lembaga baik kepada Pimpinan
Muhammadiyah dan Ortom ditingkat kepemimpinan.
Perencanaan Berkesinambungan

Masa bakti periode Ikatan Pelajar Muhammadiyah


terhitung singkat yaitu 2 tahun dibanding organisasi
pelajar tingkat nasional lainnya. Dalam waktu 2 tahun
bagi Ikatan Pelajar Muhammadiyah terkhusus pimpinan
di tingkat pusat sampai cabang, karena di pimpinan
ranting 1 tahun, maka perencanaan harus diupayakan
disusun dengan sistematik dan tujuan yang jelas. Disini
dapat pula disebutkan bagi Ikatan Pelajar Muhammadiyah
membuat rencana jangka pendek dan rencana jangka
panjang.

Menurut saya, dalam menentukan rencana jangka


pendek, yaitu menyusun komitmen kepemimpinan,
menentukan agenda aksi yang prioritas selama 1 periode
(2 tahun), menentukan tujuan yang jelas dan spektakuler
yang lebih superior dari kepemimpinan sebelumnya.
Namun terkadang, tidak sedikit pula Pimpinan di
organisasi kebanggaan ini lupa menentukan rencana atau
sudah menentukan rencana selama 1 periode tetapi tidak
dilaksanakan dengan maksimal, alasan yang selalu muncul
adalah karena banyaknya tantangan baik dari internal
maupun eksternal, atau kekurangan biaya dalam
pelaksanaan kegiatan. Tiap periode ke periode hampir bisa
dikategorikan permasalahan itulah yang sering muncul,
apakah tidak ada usaha mencari solusi dari permasalahan
yang sama? ,bak umpama “setiap melalui suatu jalan tanpa
sengaja masuk lobang, tetapi anehnya kita tetap melaui
jalan itu walaupun masuk lobang yang sama berkali-kali,
apakah tidak ada jalan yang lain?”

Menentukan rencana jangka panjang, yaitu menen-


tukan agenda aksi berorientasi tetap dilaksanakan selama
3–5 tahun lebih yang dilaksanakan secara kesinambungan.
Memang kembali lagi, sering teringat sebuah beberapa
ungkapan beberapa orang musyawirin muktamar: “kan
periode kepemimpinan kita singkat, dan juga setiap selesai
kepemimpinan tentu berbeda tantangan kepemimpinan
selanjutnya maka program juga harus berganti menyesuai-
kan perkembangan masa dan dunia global pelajar.”

Memang benar, sekali lagi benar ungkapan tersebut,


dengan Kepemimpinan yang singkat, bukankah setiap
jenjang kepemimpinan menyesuaikan program kerja yang
prioritas selama 1 periode dengan menganalisa program
apa yang sangat dibutuhkan pelajar sesuai daerah
pimpinan masing-masing, disamping itu apakah Ikatan
Pelajar Muhammadiyah tidak mampu menyusun program
jangka panjang, saya rasa itu perlu kajian!! Coba lihatlah
di dunia pendidikan sering ada anekdot “setiap ganti
menteri ganti pula kurikulum” , belum selesai kurikulum
tersosialisasi ke bawah sudah muncul lagi kurikulum baru.

Sebahagian guru dan pakar pendidikan menolak


hal seperti ini karena merugikan siswa dan guru harus
mengulang kaji dan memakai teknik baru. Hendaknya
kurikulum itu tersosialisasi dulu kebawah, apa yang
kurang segera diperbaiki atau diupdate guna melihat
efektifitas disusunnya sebuah kurikulum.

Begitu juga hendaknya, IPM membentuk suatu


program jangka panjang yang bisa tersosialisai selama lebih
dari 2 tahun, walaupun kepemimpinan berganti (baca:
seperti pimpinan pusat) program jangka panjang itu tetap
berlanjut sepanjang tahun, tinggal tugas kepemimpinan
berikutnya untuk selalu meng-update program tersebut
agar sesuai dengan kebutuhan pelajar. Contoh yang telah
terlaksana seperti Penerbitan majalah Kuntum. Nah,
untuk di setiap jenjang Kepemimpinan agar lebih
berinisiatif membuat agenda yang bisa dilaksanakan secara
terus-menerus dan berkesinambungan dari setiap masa ke
masa kepemimpinan. Jadi jelaslah kiranya, sangat penting
perencanaan berkesinambungan bagi Ikatan Pelajar
Muhammadiyah agar tetap eksis memberikan manfaat bagi
pelajar, Muhammadiyah dan Tanah air.

Perencanaan Holistik

Perencanaan holistik adalah perencanaan yang


mengandung secara menyeluruh dan detail dalam
pencapain gol yang telah dirumuskan secara bersama.
Menurut Renee E. Cabourne mendefinisikan dalam
artikelnya “Holistic planning is the term used to describe the
ultimate meshing of the two planning practices”.33 Dari

33
http://www.cabourneandassoc.com/news/ holistic_planning.html
pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
perencanaan adalah menyusun langkah-langkah strategi
mulai dari awal sampai akhir dalam mencapai tujuan yang
telah ditetapkan.

Jadi, Ikatan Pelajar Muhammadiyah haruslah mem-


punyai perencanaan yang memiliki langkah-langkah
strategis dalam menjawab kebutuhan pelajar dewasa kini.
Dan hendaklah setiap Pimpinan di Struktural memahami
apa dan kemana arah dari perencanaan secara menyeluruh
dalam kepemimpinan yang menjadi amanah tanggung
jawab organsasi. Boleh lah saya simpulkan, dari 3
perencanaan ini memang belum lengkaplah dalam
menjawab tantangan dalam ber-IPM, minimal mengurangi
stagnanisasi organisasi di level jenjang kepemimpinan.
Setelah mengetahaui bahwa pentingnya Perencanaan
dalam berorganisasi, maka selanjutnya adalah mulai
mengamalkannya; mulai sekarang, mulai saat membaca
tulisan ini.
IPM dan Suara Hati Pelajar
(Catatan Hati Pelajar)

––Labib Ulinnuha34

“...perhatikan sungguh-sungguh ide-ide yang datang dari rakyat,


yang masih terpenggal dan belum sistematis, dan coba perhatikan
lagi ide-ide tersebut, pelajari bersama rakyat sehingga menjadi
ide-ide yang lebih sistematis, kemudian menyatulah dengan rakyat,
ajak dan jelaskan ide-ide yang datang dari mereka itu,
sehingga rakyat benar-benar paham bahwa ide-ide itu
adalah milik mereka, terjemahkan ide-ide tersebut menjadi aksi,
dan uji kebenaran ide-ide tadi melalui aksi.”

Mao Tsetung

34
Ketua Lembaga Pengembangan Sumber Daya Insani (LaPSI) PP IPM
periode 2012-2014
Pelajar adalah sosok “dewa” yang tergambar di
setiap kerangka dan dinding-dinding mimpi “orang
dewasa”, yang dipersiapkan untuk menjadi “mentari”,
memberikan sinar perubahan dari keadaan sekarang dan
menjadikannya lebih baik dimasa yang akan datang.
Bukan sebuah kesalahan memang, dan itu menjadi sebuah
hal yang wajar, saat generasi sekarang (orang-orang tua)
telah rapuh dimakan usia, dan mengecil diterpa waktu,
pelajar (generasi muda) merupakan sosok yang ideal untuk
diproyeksikan menjadi generasi penerus atau agen of
change. Terpandang menjadi sebuah kodrat yang melekat
dalam diri pelajar untuk mampu menjadi sosok generasi
penerus.

Segala macam agenda disusun untuk membentuk


dan menciptakan generasi penerus yang berkompeten,
yang handal dan mampu berdaya saing tinggi, sehingga
mimpi-mimpi orang terdahulu untuk melihat keadaan
lebih baik dari sekarang tercipta dan tercapai lewat pelajar
(generasi muda), entah seperti apa kompetensi pelajarnya,
setiap orang pasti akan beranggapan bahwa dia (pelajar/
generasi muda) adalah orang yang tepat untuk menerus-
kan estafet pembangunan dalam konteks menjadikan
keadaan lebih baik (makmur).

Tapi mimpi-mimpi dan harapan generasi tua dalam


diri pelajar (generasi muda), seakan hangus terbakar oleh
realita yang ada, bagaimana tidak hal yang terjadi dalam
dunia nyata tidak berjalan sesuai harapan mereka, sosok
pelajar (generasi muda) ternyata belum mampu untuk
menjadi figure penerus perjuangan mereka. Budaya
tawuran, mabuk-mabukan, dan segala aktifitas negatif lain
yang melekat dalam kenyataan kehidupan pelajar
sekarang, dipandang oleh sebagian masyarakat menjadi
sebuah aib yang patut diberhanguskan. Karena
kompetensi semacam itu bukan kompetensi ideal untuk
generasi muda (pelajar) mempu menciptakaan peradaban
menjadi lebih baik, dalam pandangan generasi tua.

IPM dan Pendampingan Pelajar

Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), merupakan


salah satu dari beribu organisasi yang secara khusus
menjadi tempat pelajar (generasi muda) bercokol. Tidak
berlebihan pula mungkin bila IPM sebagai organisasi
otonom di lingkungan organisasi terbesar kedua di
Indonesia, Muhammadiyah, para kadernya diproyeksikan
untuk meneruskan perjuangan dan cita-cita persyarikatan.

Namun apakah keadaan kader IPM saat ini sudah


memiliki kompetensi yang dianggap mumpuni oleh para
orang tua (generasi sekarang), untuk melanjutkan estafet
kepemimpinan di masa yang akan datang, ataukah proyek
besar juga sedang disiapkan untuk menciptakan para
kader di lingkungan IPM untuk mampu dan menjadi
generasi penerus yang memiliki daya saing tinggi, ataukah
sama saja, bahwa hal-hal negatif, yang luput dalam
kompetensi generasi muda yang handal ada dalam tubuh
IPM, sehingga perlu diadakan semacam agenda strategis
untuk memberhanguskan hal-hal tersebut dari tubuh
generasi muda (pelajar).

Banyak pertanyaan yang kemudian patut kita


munculkan, terkait keadaan generasi muda (pelajar)
sekarang yang dikatakan ambruladul dan tidak bisa
menjadi generasi penerus yang ideal, apakah sebenarnya
yang menjadi penyebab terjadinya hal semacam itu?
Bagaimanakah seharusnya kita menyiapkan generasi tadi?

Mungkin sesekali kita perlu melakukan pendekatan


terhadap mereka (pelajar) dan kemudian memberikan
ruang yang sedikit bebas, dengan memberdayakan potensi
mereka, sehingga tidak ada anggapan bahwa hal-hal negatif
yang terjadi dalam diri pelajar bukan merupakan sebuah
kegagalan generasi penurus bangsa. Bukankah kita terlahir
berbeda, dan memiliki kemampuan yang berbeda pula?
Mendampingi dan mengarahkan mereka (pelajar) seperti-
nya menjadi sebuah langkah yang strategis, ketimbang
memaksakan mereka untuk menjadi sesuatu yang kita
inginkan.

Tugas IPM-lah untuk menjadi hal semacam itu,


untuk menjadi pengayom pelajar (generasi muda), seperti
apapun mereka, kita harus mampu memahami dan
mengarahkan mereka, budaya saling menyalahkan harus
segera diakhiri sampai sini, bila mimpi menciptakan
generasi muda yang handal ingin tetap dilanjutkan.
Mungkin Ini Cara Kami Berkreasi

Permasalahan mungkin muncul saat sosok pelajar


(generasi muda) yang diharapkan tidak nampak pada
sebagian besar pelajar yang ada, terlebih perilaku negatif
yang sering mereka lakukan menambah argumentatif
permasalahan itu muncul. Sosok ideal pelajar yang cerdas,
berdaya saing tinggi, berilmu dan segudang kompetensi
positif lain adalah indikator yang kemudian menjadi titik
tolak penilaiannya.

IPM yang memiliki basis masa pelajar, sangat tepat


menjadi ruang mediasi permasalahan ini. Yaitu keadaan
dimana terjadi kesenjangan antara generasi muda yang
ideal, dan generasi muda yang awut-awutan, permasalahan
inti terfokus pada generasi muda yang awut-awutan dimana
mereka tidak memiliki tempat untuk menunjukan eksis-
tensi mereka, karena secara akademik dan pandangan
wawasan memiliki perbedaan dengan generasi muda yang
ideal (cerdas, berprestasi, dll).

Hal negatif dalam pandangan kita dan sebagian


besar masyarakat atas apa yang dilakukan generasi muda
yang awut-awutan tadi, semakin menyudutkan dan mem-
batasi ruang gerak mereka, karena mereka dipandang
sebagai generasi yang gagal dan bukan menjadi kandidat
sebagai generasi penerus bangsa, bahkan keberadaan
mereka harus diberhanguskan karena akan menjadi aib.
Akan tetapi penanganan semacam ini tidak lagi menjadi
solusi yang ideal, malah akan semakin memperkeruh
suasana.

IPM dewasa ini harus mampu menjadi oraganisasi


yang memfasilitasi permasalahan ini, mencari akar dari
permasalahan yang ada dan kemudian memberikan solusi
yang strategis mengakhri sengketa yang ada. Pengembang-
an potensi berdasarkan kemampuan masing-masing yang
kemudian diarahkan kedalam hal yang kreatif merupakan
pekerjaan rumah besar kita semua.

Coba bayangkan seandainya, mereka (pelajar) yang


suka coret-coret di dinding (mural) tidak dipandang
sebagai sosok hama yang perlu dibasmi, apakh tidak bisa
secara cerdas kita memanfaatkan poyensi mereka, dengan
memberikan fasilitas tempat berkreasi sesuai dengan yang
mereka inginkan, kemudian kita suarakan mimpi-mimpi
gerakan kemajuan lewat tulisan dinding-dinding mereka.

Coba sejenak renungkan, seandainya mereka


(pelajar) yang suka membolos, kita dengar alasan mereka
mengambil tindakan itu, apakah benar karena mereka
malas, mereka bodoh?ataukah sistem pendidikan yang
mengekang mereka, tidak memberikan ruang berkreasi
terhadap potensi berbeda yang mereka miliki. Dan masih
banyak lagi hal-hal yang perlu kita renungkan tentang
steorotipe kita terhadap mereka, yang berujung kepada
penggolongan dan pengelompokan terhadap pelajar.
IPM, Peran Humanis untuk Pelajar

IPM yang telah menginjak tahun ke 52-nya,


diharapkan mampu menyusun kegiatan yang menaungi
mereka semua, minimal menjadi tempat untuk membuat
mereka merasa mempunyai rumah, bukan malah menjadi
organisasi eksklusif yang secara tidak langsung mencipta-
kan sekat, karena IPM hanya menampung kader-kader
yang handal, tangguh, berwawasan. Harapannya IPM
mampu menjadi organisasi yang inklusif, menerima semua
dengan keadaan apapun, dan mengakhiri budaya penin-
dasan akibat penggolongan potensi ini.

Rasa kesensitifan mulai harus ditingkatkan, menja-


murnya komunitas-komunitas yang unik dikalangan
pelajar, yang dalam pandangan masyarakat merupakan
sebuah kelompok negatif, genk, dll, bisa menjadi ruang
IPM menyuarakan ideologi gerakannya. Mendampingi
mereka, memberikan ruang berekspresi, dan memberikan
fasilitas bisa menjadi alat komunikasi yang humanis
ketimbang memberhanguskan mereka.

Contoh real yang bisa dilakukan adalah, bila dalam


suatu wilayah (PD,PW) ada pelajar yang suka membolos
misalnya, kita bisa membimbing mereka dengan mem-
berikan tugas, menuliskan apa saja yang dia lakukan saat
membolos, dan hal-hal lain yang mereka lakukan saat
membolos, dari situ kita bisa melihat aktifitas mereka, bisa
sedikit demi sedikit memberikan muatan pengembangan
kepada mereka, menjadi tugas utama guru memang bila
kita berbicara tentang memberikan sangsi dilingkungan
sekolah, tapi setidaknya kita bersama baik guru, siswa, dll
bisa mendorong mereka (para pembolos) dengan sesekali
menyampaikan ide semacam ini kepada mereka.

Contoh lain misalnya, pelajar yang suka mencoret-


coret tembok, menuangkan ekspresi didinding-dinding
kota, kita bisa saja mendampingi mereka, memberikan
masukan tentang tulisan-tulisan yang harus meraka
gambaskan dalam dinding. Tidak sulit bukan bila sesekali
kita menyediakan ruang secara khusus untuk mereka
membuat itu, dan kemudian kita arahkan untuk
menuliskan sesuatu (misal kaligrafi, poster gerakan
membaca, dll).

Banyak cara lain lagi kiranya yang bisa kita ambil


dan lakukan, asalkan tidak mengandung budaya kekerasan
dan saling menyalahkan, IPM harus segera menjadi palu
yang menghancurkan sekat dikalangan pelajar, melihat
mereka semua sebagai sebuah aset besar yang tidak harus
digiring menuju sebuah kompetensi, namun mengarahkan
sesuai dengan kompetensinya. Tugas IPM adalah tugas
kita semua.
Pelajar Setara,
Pelajar Berdaulat,
Pelajar Bermartabat

––Imam Ahmad Amin A.R.35

Bangsa yang bermartabat (prestigeous nation)


menandai tingkat keberadaban suatu bangsa (civilized nation)
yang tergambar dalam sikap dan perilaku sebagai individu
dan masyarakat yang beragama dan berbudaya.

Prof. Dr. Fashbir Noor Sidin

35
Ketua PP IPM bidang Ipmawati periode 2012-2014
Perjalanan panjang perjuangan bangsa Indonesia
telah mencatat jasa para pendahulu negeri ini yang
berjuang demi kemerdekaan negara Republik Indonesia,
dan diantara mereka yang telah berjuang merebut
kemerdekaan itu ialah pelajar putra maupun pelajar putri,
semua bergerak serentak menghentakkan kaki dan menga-
yunkan senjata dan pemikiran untuk satu kata: merdeka.
Merdeka dari penjajahan, merdeka dari kebodohan,
merdeka dari kemiskinan, merdeka dari penindasan dan
kekerasan. Alhasil kita hari ini telah merasakan nikmatnya
merdeka dari penjajahan, lalu bagaimana dengan nasib
yang bernama kebodohan,kemiskinan, penindasan dan
kekerasan?

Tentu jika kita sadari hal tersebut sungguhlah tidak


akan mampu kita merdeka kan dengan cara instan apalagi
dengan permainan sulap. Butuh kerja keras dan kerja
cerdas dari semua pihak yang merasa terpanggil jiwanya
untuk mewujudkan kemerdekaan yang seutuhnya, terlebih
lagi peran pelajar dan kaum muda negeri ini harus lebih
peka, kritis dan peduli terhadap persoalan bangsa hari ini
melalui ide, gagasan dan aksi nyata, tentunya hal tersebut
tidak akan terwujud jika kita hanya melakukannya sendiri
dan sembunyi melainkan melalui semangat kedaulatan
dan gotong royong, kemerdekaan sesungguhnya akan bisa
kita raih dan dapat dinikmati seluruh elemen bangsa ini.

Membicarakan persoalan yang di derita bangsa ini


memang tidak akan ada habisnya, mulai dari pendidikan,
kemiskinan, pengangguran, kekerasan, konflik antar
kelompok masyarakat hingga hingar bingar pertikaian
politik yang sungguh sangat disayangkan lagi-lagi yang
menjadi korban adalah rakyat indonesia, ironi memang di
negara yang katanya “besar” dan “kaya” dengan ribuan
“orang pintar” , jutaan kaum”pelajar” dan punya banyak
“budaya” lho.

Menjadi pelajar yang dapat memberikan solusi atau


bahkan menjadi tabib terhadap penderitaan bangsa ini
tentu sangat di nanti-nanti oleh masyarakat luas, tapi lagi-
lagi ironi kembali menusuk jantung kita, membuka mata
kita menjadi terbelalak ketika kita melihat, telinga kita
mendengar secara langsung maupun media bahwa ada
banyak kejadian yang menyiutkan dahi dan membuat kita
pesimis terhadap pelajar di negeri yang kita cintai ini,
mulai dari tawuran pelajar antar sekolah, genk motor
pelajar sekolah, pelecehan seksual, perkosaan hingga
kekerasan terhadap pacar,dan masih banyak persoalan
pelajar yang lai tentunya. Terlepas dari itu semua masih
ada pula berita yang disodorkan kepada kita tentang
sistem pendidikan yang dipenuhi carut marut serta
korupsi yang masih mewabah di lingkungan pendidikan
negeri ini.

Persoalan-persoalan yang hinggap dan menghinggap


di kalangan pelajar kita hari ini, penulis menilai tidak
terlepas dari sistem pendidikan dan budaya yang mulai
bergeser dalam masyarakat yang terus berubah, salah satu
contoh tawuran pelajar antar sekolah, jika kita telisik pada
masa yang lampau, kekerasan berupa tawuran ini hanya
dilakukan oleh sekelompok elite separatis yang memiliki
kepentingan politis itupun bukan menjadikan kekerasan
massal ini menjadi “hobi” seperti yang dilakukan
kelompok pelajar saat ini.

Contoh kekerasan yang lain marak terjadi bela-


kangan ini adalah kekerasan terhadap pacar,pasangan
bahkan terhadap teman sebaya-nya, kekerasan ini bisa
bentuknya kekerasan fisik berupa memukul, menendang,
menampar, mencengkeram dengan keras tubuh pasangan,
serta tindakan fisik lainnya; kekerasan psikologis berupa
mengancam, menghina, mempermalukan, mengejek-ejek,
dll; kekerasan ekonomi seperti memeras,memaksa untuk
membayarkan atau memenuhi kebutuhan ekonomi
pasangan atau teman; kekerasan stalking seperti
mengikuti, mengintip, dan aktivitas lain yang mengganggu
privasi dan membatasi kehidupan sehari-hari teman atau
pasangannya; hingga kekerasan seksual berupa memaksa
pasangan/teman untuk melakukan perilaku seksual
seperti juga meraba, mencium, memeluk, serta mengan-
cam melakukan hubungan seksual lainnya.

Fakta menunjukkan hasil penilitian pada 120


pelajar perempuan di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengan
2011 menemukan bahwa 31% pernah dipukul oleh
pasangan, 18% mendapat hinaan dan kata-kata kasar dan
26% di paksa untuk membayar kebutuhan ekonomi
pasangannya. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Rifka
Annisa menemukan sebanyak 385 kasus KDP (kekerasan
terhadap pacar) dari 1683 kasus kekerasan yang ditangani
sejak tahun 1994-2011. Selain itu, selama bulan januari
hingga juni 2011 PKBI Yogyakarta juga menemukan 27
kasus kekerasan dalam pacaran yang 15% diantaranya
kekerasan fisik, 57% kekerasan psikologis, 8% kekerasan
ekonomi dan 20% kekerasan seksual.

Jika kita melongok melihat data di atas yang


mungkin masih sebagai fenomena gunung es saja karena
masih banyak kasus-kasus yang tidak dilaporkan dibanyak
daerah, mungkin bisa karena malu atau juga karena
budaya yang tidak mendukung untuk melaporkan kasus-
kasus tersebut diatas baik yang dialami diri sendiri
maupun kasus yang kita lihat dan dengar disekitar kita.

Pencegahan maupun penanganan kasus kekerasan


terhadap pelajar maupun anak muda sangatlah penting,
karena biasanya korban kekerasan dalam rumah tangga
juga mengalami kekerasan disaat remaja/muda. Sehingga
sejak dini informasi terhadap pencegahan dan penangan-
an kekerasan maupun pengetahuan tentang hidup dengan
adil dan setara perlu diberikan, sehingga dapat lebih
menghargai orang lain yang berbeda.

Belum lagi kita membicarakan persoalan yang


begitu kompleks dan itu menjadi tanggung jawab kaum
pelajar di kemudian hari nantinya, untuk itu pelajar dan
kaum muda hari ini harus mampu memulai hidup dengan
adil dan setara, hal ini sejalan dengan perintah agama
Islam yang hadir sebagai agama yang Rahmatan lil ‘Alamin,
diantara bukti bahwa Allah menciptakan lak-laki dan
perempuan dengan setara bahwa Allah Swt telah
menciptakan manusia yaitu laki-laki dan perempuan
dalam bentuk yang terbaik dengan kedudukanyang paling
terhormat. Manusia juga diciptakan mulia dengan
memiliki akal, perasaan dan menerima petunjuk.

Oleh karena itu, Al-Qur’an tidak mengenal pembe-


daan antara lelaki dan perempuan karena dihadapan Allah
SWT, lelaki dan perempuan mempunyai derajat dan
kedudukan yang sama, dan yang membedakan antara
lelaki dan perempuan hanya-lah dari segi biologisnya.
Adapun dalil-dalil dalam Al-quran yang mengatur tentang
kesetaraan gender adalah:

Hakikat Penciptaan Laki-laki dan Perempuan

Surat Ar-rum ayat 21, surat An-nisa ayat 1, surat


Hujurat ayat 13 yang pada intinya berisi bahwa Allah
SWT telah menciptakan manusia berpasang-pasangan
yaitu lelaki dan perempuan, supaya mereka hidup tenang
dan tentram, agar saling mencintai dan menyayangi serta
kasih mengasihi, agar lahir dan menyebar banyak laki-laki
dan perempuan serta agar mereka saling mengenal. Ayat -
ayat di atas menunjukkan adanya hubungan yang saling
timbal balik antara lelaki dan perempuan, dan tidak ada
satupun yang mengindikasikan adanya superioritas satu
jenis atas jenis lainnya.

Kedudukan Antara Perempuan dan Laki-Laki

Surat Ali Imran ayat 195, surat An-nisa ayat 124,


surat An-nahl ayat 97, surat Ataubah ayat 71-72, surat Al-
ahzab ayat 35. Ayat-ayat tersebut memuat bahwa Allah Swt
secara khusus menunjuk baik kepada perempuan maupun
lelaki untuk menegakkan nilai-nilai islam dengan beriman,
bertaqwa dan beramal. Allah Swt juga memberikan peran
dan tanggung jawab yang sama antara lelaki dan perem-
puan dalam menjalankan kehidupan spiritualnya. Dan
Allah pun memberikan sanksi yang sama terhadap
perempuan dan lelaki untuk semua kesalahan yang
dilakukannya.

Jadi pada intinya kedudukan dan derajat antara


lelaki dan perempuan dimata Allah Swt adalah sama, dan
yang membuatnya tidak sama hanyalah keimanan dan
ketaqwaannya.

Selain itu, Al-Qur’an juga memberikan prinsip-


prinsip kesetaran antara perempuan dan laki, menurut
Prof. Dr. Nasaruddin Umar dalam “Jurnal Pemikiran
Islam tentang Pemberdayaan Perempuan” (2000) ada
beberapa hal yang menunjukkan bahwa prinsip-prinsip
kesetaraan gender ada di dalam Al-Qur’an, yakni:
Pertama, perempuan dan laki-laki sama-sama
sebagai hamba. Menurut QS. Al-Zariyat: 56 Dalam
kapasitas sebagai hamba tidak ada perbedaan antara laki-
laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan
peluang yangsama untuk menjadi hamba ideal. Hamba
ideal dalam Al-Qur’an biasa diistilahkan sebagai orang-
orang yang bertaqwa (mutaqqun), dan untuk mencapai
derajat mutaqqun ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis
kelamin, suku bangsa ataukelompok etnis tertentu,
sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Hujurat: 13.

Kedua, perempuan dan laki-laki sebagai khalifah


di bumi. Kapasitas manusia sebagai khalifah di muka
bumi (khalifah fi al’ard) ditegaskan dalam QS. Al-An’am:
165, dan dalam QS. Al-Baqarah: 30. Dalam kedua ayat
tersebut, kata “khalifah” tidak menunjuk pada salah satu
jenis kelamin tertentu, artinya, baik perempuan maupun
laki-laki mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah,
yang akan mempertanggungjawabkan tugas-tugas kekhali-
fahannya di bumi.

Ketiga, perempuan dan laki-laki menerima perjan-


jian awal dengan tuhan. Perempuan dan laki-laki sama-
sama mengemban amanah dan menerima perjanjian awal
dengan Tuhan, seperti dalam QS. Al-A’raf: 172, yakni
ikrar akan keberadaan Tuhan yang disaksikan oleh para
malaikat. Sejak awal sejarah manusia dalam Islam tidak
dikenal adanya diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan
perempuan sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang
sama. Al-Qur’an juga menegaskan bahwa Allah memulia-
kan seluruh anak cucu Adam tanpa pembedaan jenis
kelamin (QS. Al-Isra’: 70).

Keempat, Adam dan Hawa Terlibat secara Aktif


Dalam Drama Kosmis. Semua ayat yang menceritakan
tentang drama kosmis, yakni cerita tentang keadaan Adam
dan Hawa di surga sampai keluar ke bumi, selalu mene-
kankan keterlibatan keduanya secara aktif, dengan
penggunaan kata ganti untuk dua orang (huma), yakni
kata ganti untuk Adam dan Hawa, yang terlihat dalam
beberapa kasus berikut: 1) Keduanya diciptakan di surga
dan memanfaatkan fasilitas surga (QS. Al-Baqarah: 35); 2)
Keduanya mendapat kualitas godaan yang sama dari setan
(QS. Al-A’raf: 20; 3) Sama-sama memohon ampun dan
sama-sama diampuni Tuhan (QS. Al-A’raf: 23); 4). Setelah
di bumi keduanya mengembangkan keturunan dan saling
melengkapi dan saling membutuhkan (QS. Al-Baqarah:
187.

Kelima, perempuan dan laki-laki sama-sama


berpotensi meraih prestasi. Peluang untuk meraih prestasi
maksimum tidak ada pembedaan antara perempuan dan
laki-laki ditegaskan secara khusus dalam 3 (tiga) ayat,
yakni: QS. Ali Imran: 195; QS. An-Nisa: 124; QS. An-
Nahl: 97. Ketiganya mengisyaratkan konsep kesetaraan
gender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa
prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun
karier profesional, tidak mesti di dominasi oleh satu jenis
kelamin saja.

Jika Islam sudah sedemikian gamblang menjelaskan,


dalam kitab suci pun jelas tertera maknanya, maka selan-
jutnya sungguh sangat disayangkan jika umat Islam hari
ini masih terhanyut dalam tradisi yang tidak memihak
kepada salah satu identitas makhluk yang sama di
ciptakatan oleh Allah Swt, ini menjadi “PR” bagi pelajar
maupun kaum muda yang katanya berfikir maju dan
memiliki visi “reformis”.

Indonesia yang hadir sebagai bangsa yang berdaulat


dan kaya akan budaya sampai dengan sumberdaya tentu
memiliki peran penting dalam menentukan tradisi dan
aktifitas setiap individu didalamnya, sebagai Negara,
Indonesia telah menandatangani Konvensi CEDAW pada
tahun 1979, dan kemudian baru pada tahun 1984
meratifikasinya dan mengadopsinya menjadi hukum
nasional melalui UU No.7 tahun 1984 dengan
mereservasi Pasal 29 ayat (1)33. Salah satu alasan mengapa
pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi CEDAW
adalah bahwa ketentuan dalam Konvensi CEDAW tidak
bertentangan dengan Pancasila, UUD’45, dan peraturan
perundang-undangan RI (Mukadimah UU No.7 tahun
1984).

Tindakan ini dilakukan pemerintah sebagai


perwujudan dari tanggung jawab negara dalam usaha
penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan
Hak Asasi Perempuan, sesuai dengan amanat Undang-
Undang Dasar 1945 dan UU No 39 tahun 1999 tentang
HAM.

Apa itu CEDAW? CEDAW merupakan singkatan


dari Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women yang berarti Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan. Konvensi ini dibuat dan diatur oleh PBB
untuk kemudian disepakati oleh negara-negara dalam
naungan PBB dan di ratifikasi dalam peraturan maupun
undangan-undang yang berlaku disetiap negara. Adapun
isi dari konvensi ini secara substantif berisikan bahwa: 1).
CEDAW merupakan satu-satunya Konvensi yang secara
khusus/spesifik dibuat untuk mempromosikan dan
melindungi hak asasi perempuan secara menyeluruh di
bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya baik di
ruang publik maupun di ruang privat; 2). CEDAW
menetapkan prinsip-prinsip dan ketentuan untuk
menghapus kesenjangan, subordinasi, dan tindakan
diskriminasi berdasarkan jenis kelamin yang merugikan
perempuan dalam hukum, keluarga, dan masyarakat; 3).
CEDAW tidak hanya menyentuh pelaku negara (state
actor) tetapi juga non negara (non state actor/private actor)
termasuk individu dan pihak swasta.

Jika konvensi ini dipahami dan dipraktekkan dalam


kehidupan para pelajar maupun kaum muda di keseharian
dalam pergaulan baik itu di lingkungan sekolah, kerja,
bermain hingga di lingkungan rumah (keluarga), maka
sudah bisa kita prediksi dan pastikan bahwa Bangsa ini ke
depan akan memiliki pemimpin-pemimpin yang kuat, adil,
tangguh dan bermartabat yang siap mengantarkan
Indonesia ini menjadi negara berdaulat.

Negara Bermartabat dan Berdaulat dimulai dari Pelajar

Menurut Prof. Sofyan Effendi, bangsa yang


bermartabat adalah bangsa yang memiliki kebebasan
menentukan sikap dan tindakannya (self determination),
memiliki kesadaran sosial tentang pemerataan (equity),
dan kesamaan (equality), keduanya dalam totalita atau
keutuhannya.

Sedangkan menurut Prof. Dr. Fashbir Noor Sidin,


bangsa yang bermartabat (prestigeous nation) menandai
tingkat keberadaban suatu bangsa (civilized nation) yang
tergambar dalam sikap dan perilaku sebagai individu dan
masyarakat yang beragama dan berbudaya. Bangsa yang
beragama ditunjukkan oleh pengamalan ajaran agama
sebagai umat yang bertaqwa dan beramal shaleh serta
berakhlak mulia. Bangsa yang berbudaya tergambar dari
karakter sebagai insan yang berbudi luhur, toleran, peduli,
gotong royong, dinamis, disiplin dan patriotis.

Bangsa yang beragama dan berbudaya sesuai dengan


nilai-nilai luhur Pancasila yang diawali dari nilai
ketuhanan seterusnya nilai kebudayaan dan diakhiri
dengan nilai keadilan sosial. Nilai ketuhanan sebagai
landasan utama bagi pembentukan insan yang berakhlak
mulia sedangkan nilai kebudayaan menjadikan insan yang
berbudi luhur dan nilai keadilan sosial membentuk
masyarakat dengan kesadaran bersama sebagai bangsa yang
senasib dan sepenanggungan.

Upaya untuk menjadikan manusia Indonesia


seutuhnya dilakukan melalui proses pendidikan dan
pengajaran tentang karakter bangsa yang beradab sejak
dari institusi keluarga dan sekolah serta komunitas sampai
kepada institusi negara. Keempat pilar bagi pengembangan
karakter bangsa secara komprehensif dan terintegrasi serta
berkelanjutan dalam setiap langkah dan strategi serta
program kerja untuk mewujudkan bangsa yang bermar-
tabat.

Keyakinan (believe) sebagai bangsa yang terlahir suci


harus dimulai dari pengajaran dan percontohan dari
orangtua kepada anggota keluarga di rumah dan proses
pendidikan yang menyangkut aspek afektif dan kognitif
serta psikomotorik dari guru sebagai orangtua asuh.
Seterusnya keteladanan dari tokoh masyarakat dan
kenegarawan para pemimpin sebagai panutan bagi warga
negara dalam rangka mewujudkan visi pembangunan
bangsa yang bermartabat seperti tercantum dalam RPJP RI
tahun 2006-2025.

Kenyataan menunjukkan bahwa proses pembentuk-


an karakter bangsa yang bermartabat belum sepenuhnya
berhasil sebagai akibat lemahnya pemahaman dan
pengamalan agama oleh orangtua dan anggota keluarga
termasuk mekanisme kontrol dari masyarakat secara
melembaga. Proses pembelajaran di sekolah sangat
bertumpu kepada kapasitas guru dan sistem pendidikan
yang lebih menekankan aspek kognitif sebaliknya lemah
dalam afektif dan psikomotorik sehingga belum terbangun
kesadaran bersama tentang toleransi, kepedulian,
kegotongroyongan, kedisiplinan dan patriotisme. Ary
Ginanjar Agustian, tokoh ESQ the Way 165 menyatakan
bahwa Pancasila sebagai dasar bagi pembentukan
Wawasan Kebangsaan lebih pada wacana dalam dimensi
intelektual namun kurang menyentuh dimensi emosional
dan spiritual.

Pendapat serupa juga dinyatakan oleh tokoh


motivasi seperti Mario Teguh dan pakar perubahan seperti
Prof. Dr. Rhenald Khasali yang menekankan proses
pembentukan karakter harus dimulai dari rumah tangga
seterusnya di sekolah. Mekanisme kontrol oleh masyarakat
selain wujud kesadaran dan kepeulian harus berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang mengatur dan
mengendalikan serta menindak dan menghukum sebagai
proses pembelajaran yang tidak pernah berhenti sepanjang
hayat.

Pendidikan yang memberdayakan dalam kerangka


pembentukan wawasan kebangsaan sebagai bangsa yang
senasib dan setujuan serta seperuntungan dalam suka dan
duka dapat dikembangkan dengan menempatkan peserta
didik sebagai subjek sekaligus objek dalam laboratorium
sosial di masyarakat. Proses pembentukan jatidiri bangsa
melalui pendidikan berlangsung di sekolah dan luar
sekolah sehingga perlu pengembangan kurikulum dengan
materi dan metodologi pembelajaran yang berorientasi
penguatan kapasitas kepemudaan sebagai generasi pemba-
haru yang cenderung kepada perubahan berkesinam-
bungan. Tiga nilai dasar dalam ketahanan nasional
memberi tekanan kepada pembentukan identitas dan
integritas serta kapabalitas bagi perwujudan cita-cita
nasional dalam mencapai tujuan nasional sebagai
pengejawantahan tentang hakikat kemerdekaan dan
perdamaian abadi.

Karakter bangsa sebagai bagian pokok dari wawasan


kebangsaan dibentuk melalui proses pembelajaran secara
inklusif dan berkelanjutan dimulai dari institusi keluarga
dan sekolah sampai kepada komunitas dan masyarakat.
Proses tersebut melibatkan keseluruhan warga negara
dengan falsafah saling asah, saling asih, saling asuh
sehingga terbangun suatu kesadaran tentang hakikat
berbangsa dan bernegara. Konsepsi tentang pembelajaran
sepanjang hayat (life long education) adalah dasar bagi
pembentukan karakter bangsa karena nilai-nilai luhur
tersebut harus wujud sepanjang hayat sebab menjadi
identitas atau jatidiri bangsa.
Konsekuensi dari kesadaran tersebut maka peratur-
an dan perundangan-undangan harus disertai penegakan
hukum melalui lembaga peradilan yang bebas dari
berbagai intervensi. Selain itu dukungan masyarakat untuk
membentuk rasa bangga sebagai bangsa yang bermartabat
sebaliknya rasa malu sebagai bangsa yang kurang beradab
dalam rangka mewujudkan bangsa yang sejahtera dalam
negeri yang makmur.

Proses pembelajaran tersebut melibatkan kanak-


kanak dan remaja serta pemuda dalam usia sekolah antara
5-30 tahun melalui proses pencerahan (enlightment) tentang
hakikat hidup dan kehidupan. Pencerahan itu menyang-
kut hak dan kewajiban sebagai individu dan anggota
masyarakat serta tanggungjawabnya sebagai warga negara.
Proses pencerahan diupayakan melalui pengajaran tentang
konsep dan teori serta metodologi seterusnya praktik sosial
untuk mengaplikasikannya melalui pola keterlibatkan
(involvement) dalam berbagai kegiatan sosial dan kemasya-
rakatan. Mekanisme tentang keterlibatan ini menjadikan
setiap individu akan dihargai karena diakui keberadaan
dan karyanya dalam rangka pemberdayaan (empowerment).

Pembangunan sosial yang memberdayakan dalam


konsepsi gotong royong melibatkan peran sosial dan
fungsi ekonomi yaitu individu memberi sumbangan
berupa tenaga, uang, material, makanan dan pemikiran
sesuai kemampuannya dalam membangun lingkungan
kehidupan yang lebih baik.
Pembelajaran dengan metode interaktif untuk
mengembangkan kapasitas sekaligus kepedulian sosial
dapat diselenggarakan di luar kelas dengan media
masyarakat bertujuan meningkatkan pemahaman tentang
hakikat kebersamaan.

Upaya untuk menegakkan bangsa yang bermartabat


atau membangun bangsa bermartabat adalah tugas pokok
pemerintah dan pemimpin tapi perlu diingat bahwa
kewajiban menjaganya terletak pada setiap warga negara,
semua komponen masyarakat harus terlibat dan mengam-
bil peran masing masing.

Pelajar memiliki peran penting dalam upaya untuk


menjaga martabat dan kedaulatan Bangsa ini dalam
bidang keadilan dan kesetaraan dalam pergaulan sehari-
hari kepada teman sebaya, tidak melakukan diskriminasi,
tidak melakukan kekerasan terhadap teman/pacar, tidak
tawuran, dan mulai dengan memulai dari diri sendiri dan
rekan sebaya karna dengan tercipta kesadatan bersama
untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender,
masyarakat akan sadar, pemerintah akan sadar, bangsa ini
pun akan bangkit. Dimulai dari pelajar untuk negeriku
Indonesia yang adil, setara, bermartabat, dan berdaulat.
Epilog

Kesyukuran dan Refleksi 52 Tahun IPM

Rentang panjang perjalanan Ikatan Pelajar


Muhammadiyah (IPM) selama ini berada di tengah liku-
liku kehidupan kebangsaan dan keumatan yang menga-
lami proses deviasi-deviasi dari arus utamanya, untuk
membangun kehidupan kebangsaan yang damai, adil, dan
sejahtera. Eksistensi IPM pun, mengalami dinamika yang
hampir serupa. Tentu tidak bisa dinafikkan, bahwa perja-
lanan IPM telah memberikan warna bagi entitas-entitas
yang lain. Paling tidak IPM telah memberikan warna bagi
dirinya, sehingga menampilkan sosok yang tampil membe-
rikan warna dinamis-progresif dalam melakukan perubah-
an cara pandang (word-view), prilaku, ideologi gerakan dan
lain-lain, yang telah memberikan artikulasi-reflektif-
transformatif bagi pengembangan IPM.

Di usianya yang sudah 52 tahun sejak kelahiran 18


Juli 1961, bukanlah waktu yang cukup untuk menunjuk-
kan sebuah eksistensi yang established. Namun juga, bukan
waktu yang singkat untuk mengukir sejarah pergerakan
yang dinamis mengikuti arus besar perubahan yang
memang cepat dan serba uncertainty ini. Lantas di usia
sedemikian itu, apa yang sudah diperbuat IPM? Apa pula
yang hendak dilakukan (what next)? Tentu jawabannya
dikembalikan kepada pasukan inti IPM. Lantas, siapa stake
holder itu? Jawabannya adalah kita semua, yang senantiasa
harus bercermin dari realitas yang ada, untuk meyakini
bahwa diri kita bukan entitas yang paling eksistensial,
bahkan mungkin kalau mau jujur kita mungkin masih
tertinggal dari yang lain.

Kita tidak mesti khawatir, justru kita bisa optimis


bahwa IPM telah menjadi OKP terbaik tingkat nasional,
bahkan ASEAN. Paling tidak, IPM telah melahirkan
kader-kader excellent, clean, yang tidak terkontaminasi oleh
arus pembusukan moral bangsa, tetapi kita harus yakin
untuk menjadi organisasi pergerakan keilmuan dan
moralitas. Walaupun, ada warna lain IPM yang menampil-
kan dirinya dalam wujud organisasi “kanak-kanak”, ia
lebih sering menampilkan kehidupan organisasi yang tidak
sehat, penuh dengan konflik internal, kegiatan yang ritual-
seremonial, sehingga menjadi tidak jelas apa yang
dipersoalkan bahkan diperjuangkan. Oleh karena itu, yang
muncul kemudian adalah sikap-sikap arogansi-primitif dan
tidak mencerminkan sebagai kader IPM.

Tentu itu semua memerlukan evaluasi secara


kontinyu, bahkan kalau perlu melakukan kajian ulang
secara cerdas terhadap teks-teks suci yang kita miliki, demi
kesinambungan dalam membangun spirit gerakan IPM,
sehingga tidak lapuk terkena hujan dan tidak lekang
terkena panas. Peran strategis kader-kader IPM dalam
mengambil alih posisi, atau bahkan harus merebut peran
intelektual disemua sektor lapisan society (masyarakat)
sehingga bangunan civil society akan empowering terhadap
dominasi dan hegemonik state, atau entitas-entitas yang
menghegemonik lainnya. Oleh karena itu tidak bisa
ditolak bangun dasarnya adalah lahirnya kader-kader
intelektual strategik, yang tidak malu-malu menampilkan
keanggunan moralitas (akhlakul karimah), maka dibutuh-
kan instrumen-instrumen untuk mendukung kearah
terciptanya kader-kader tersebut, paling tidak yang paling
sederhana tetapi urgen adalah lingkaran-lingkaran diskusi
(membangun lingkar inti), membangun aliansi strategik
dengan kelompok-kelompok yang lainnya.

Evaluasi ini harus kita lakukan sebagai usaha


korektif atas program-program yang sudah, lebih dari itu
harus berani memunculkan pilihan-pilihan baru sesuai
dengan perkembangan dan kebutuhan zamannya. Dari
dialektika yang ada, memunculkan satu temuan
bahwasanya IPM sudah kehilangan ruhul gerakannya.
Oleh karena itu, tugas kita untuk menemukan ruh
gerakan itu. Sehingga, IPM tidak gamang lagi menghadapi
tantangan dan persaingan yang menghadap dihadapannya.
Tetapi yang terpenting, adalah keberanian untuk
memunculkan wacana pilihan ideologi gerakan, seperti
mengelaborasi konsep Rancang Bangunnya PP IPM: Visi
2012-2014, yaitu kritis-progresif.

Revitalisasi ideologi keilmuan atau ideologi pence-


rahan kader IPM menjadi keniscayaan yang tidak bisa
ditolak. Format dan sistem pergerakan diarahklan pada
pembentukan elit pencerah bangsa, moral-spiritualis dan
memiliki kompetensi profesional dengan sensitifitas sosial
yang tangguh. Hal ini harus diwujudkan dengan berbagai
perubahan mendasar atas sistem dan format yang ada
selama ini. Demikianlah, IPM telah menemukan semangat
yang hilang selama ini. Masa renaissance IPM telah datang.
Sudah saatnya IPM menjadi bagian terpenting dalam
usaha “reaktualisasi Islam yang berkemajuan” dalam
konteks pergerakan pelajar. Gerakan ilmu tidak boleh
ditunda, karena misi Muhammadiyah adalah peradaban
yang wajib dengan ilmu.
Islam Berkemajuan Sebagai Paradigma

Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) adalah ortom


Muhammadiyah, merupakan gerakan Islam, dakwah amar
makruf nahi munkar di kalangan pelajar, berakidah Islam
dan bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. (AD IPM:
Pasal 3). Ketika berbicara IPM secara ideologis, filosofis,
dan paradigmatik, tentu tidak bisa lepas Muhammadiyah.
Maksud dan tujuan Muhammadiyah harus dijadikan
sebagai rujukan bagi IPM ketika bergerak, setiap kader
IPM harus benar-benar meresapi ideologi gerakan
Muhammadiyah, yaitu pandangan Islam berkemajuan.

Islam yang berkemajuan memancarkan pencerahan


bagi kehidupan. Islam yang berkemajuan dan melahirkan
pencerahan secara teologis merupakan refleksi dari nilai-
nilai transendensi, liberasi, emansipasi, dan humanisasi
(Qs. Ali Imran ayat 104 dan 110) yang menjadi inspirasi
kelahiran Muhammadiyah. Sebagai sayap gerakan
Muhammadiyah, gerakan IPM sudah seharusnya ber-
komitmen untuk terus mengembangkan pandangan dan
misi Islam yang berkemajuan sebagaimana spirit awal
kelahiran Muhammadiyah tahun 1912. Pandangan Islam
yang berkemajuan yang diperkenalkan oleh K.H. Ahmad
Dahlan melahirkan ideologi kemajuan, yang dikenal luas
sebagai ideologi yang muaranya melahirkan pencerahan
bagi kehidupan. Pencerahan (tanwir) sebagai wujud dari
Islam yang berkemajuan adalah jalan Islam yang
membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidup-
an dari segala bentuk keterbelakangan, ketertindasan,
kejumudan, dan ketidakadilan hidup umat manusia.

Dengan pandangan Islam yang berkemajuan dan


menyebarluaskan pencerahan, maka gerakan IPM tidak
hanya berhasil melakukan peneguhan dan pengayaan
makna tentang ajaran akidah, ibadah, dan akhlak pelajar
muslim, tetapi sekaligus melakukan pencerdasan dengan
ilmu dalam bidang mu’amalat dunyawiyah yang membawa
perkembangan hidup sepanjang kemauan ajaran Islam.
Pencerdasan IPM sebagai manifestasi tajdidyang mengan-
dung makna pemurnian (purifikasi) dan pengembangan
(dinamisasi), yang seluruhnya berpangkal dari gerakan
kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah (al-ruju’ ila al-
Quran wa al-Sunnah) untuk menghadapi perkembangan
zaman.

Menjadi Pelajar Berkemajuan

Karakter Islam berkemajuan untuk pencerahan


peradaban mampu memberikan kekuatan yang dinamis
dalam menghadapkan pelajar Islam dengan perkembangan
zaman. Dalam penghadapan Islam atas realitas zaman,
IPM harus mengembangkan gerakan ilmu, gerakan
pencerahan, dan gerakan pemberuan sebagai alat
kemajuan, sehingga Islam benar-benar menjadi agama bagi
kehidupan yang bersifat kontekstual tanpa kehilangan
pijakannya yang autentik pada sumber ajaran. Gerakan
ilmu telah dipelopori oleh Kiyai Haji Ahmad Dahlan
dalam bingkai yang kokoh sebagaimana disebut sebagai
“akal pikiran yang yang suci”, sedangkan dalam Matan
Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah
(MKCHM) disebut “akal pikiran yang sesuai dengan jiwa
ajaran Islam”.

Menurut Kang Mukti, ada lima pondasi utama


Islam berkemajuan, yang dapat dijadikan karakter untuk
“menjadi pelajar Muhammadiyah” yaitu: Pertama,
Memiliki Tauhid yang Murni. Tauhid yaitu doktrin
sentral dalam Islam. Misi IPM adalah tiada Tuhan yang
berhak disembah kecuali hanya Allah swt. Islam puritan
yang selalu mengajak kepada aqidah yang murni, bersih,
lurus, dari berhala (klasik atau modern) yang merusak.

Kedua, Memahami Al-Qur’an dan Sunnah Secara


Mendalam. Bagi IPM, beragama Islam harus berdasarkan
pada Al-Qur’an dan al-Sunnah al-Maqbullah. Tidak
bersifat taqlid (ikut-ikutan) trend, budaya pop, dan lain-
lain, tanpa pengetahuan tentangnya. Dalam beribadah dan
ber-muamalah wajib menjadikan Al-Qur’an dan sunnah
sebagai titik pijak.

Ketiga, Melembagakan Amal Shalih yang


Fungsional dan Solutif. Iman tidak sempurna tanpa amal
shalih. Bagi IPM, amal shalih tidak semata-mata berupa
ibadah mahdhah. Amal shalih adalah karya-karya kreatif
dan bermanfaat, merefleksikan kerahmatan Islam dan
kasih sayang Allah. Hidup untuk masyarakat dan semesta
alam.

Keempat, Berorientasi Kekinian dan Masa Depan.


Pelajar Muhammadiyah tidak terjebak pada romantisme
kejayaan masa lalu. Dalam melakukan program, berpikir
dan bertindak baik secara individu maupun kolektif harus
menjadikan masa lalu sebagai titik pijak untuk begerak
kekinian dan merancang masa depan.

Kelima, Bersikap Toleran, Moderat, dan Suka


Bekerja Sama. Pelajar Muhammadiyah tidak boleh
bersikap elitis dan ekslusif. Fanatisme Islam, golongan ber-
IPM secara berlebihan dan over-reaktif tidak dibenarkan.
Kader IPM tidak boleh menjadikan perbedaan masalah-
masalah sepele, (khilafiah), teknis, dan ecek-ecek sebagai
sumber konflik. Namun, pelajar, Muhammadiyah (kader,
anggota) IPM harus memiliki sikap yang toleran
(menghargai dan memahami perbedaan), moderat
(sederhana, adil, dan bijaksana), serta suka bekarja sama.

Wallahu a’lam.

Yogyakarta, 18 Juli 2013


Editor
Azaki Khoirudin

Anda mungkin juga menyukai