Anda di halaman 1dari 11

Maria Veronika Halawa: Budaya Adu Zatua di Nias Sumatera Utara

BUDAYA ADU ZATUA DI NIAS SUMATERA UTARA

Maria Veronika Halawa


Program Pascasarjana
Institut Seni Indonesia Surakarta
Jl. Ki Hadjar Dewantara No. 19 Kentingan, Jebres, Surakarta, 57126

Aton Rustandi
ISI Surakarta

ABSTRAK

Penelitian ini membahas mengenai bagaimana transformasi budaya adu zatua yang terjadi di Nias. Adu zatua
pada awalnya adalah benda ritual kepercayaan suku Nias yang bersifat sakral. Memasuki tahun 2000-an
muncul reproduksi adu zatua yang menjadi benda sekuler dan bersifat profan. Budaya tradisi di Nias perlahan
mulai berubah dan berkembang menjadi budaya global. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan transformasi
budaya pada adu zatua, bentuk dan juga nilai yang diterapkan. Transformasi adu zatua menghasilkan benda
pariwisata di Nias. Kuatnya pariwisata budaya ini menjadikan produksi adu zatua bersifat komersil dan komoditas
benda budaya.
Kata kunci: Transformasi, Adu zatua, Pariwisata.

ABSTRACT

This study discusses how cultural transformation adu zatua is taking place in Nias. Adu zatua was originally a
ritual object of the Nias tribe that was sacred. Entering the 2000s came the emergence of substance repro-
duction which became secular and profane. Cultural traditions in Nias slowly began to change and develop into
a global culture. This study aims to find cultural transformations of adu zatua, form and also the values
applied. The transformation of zatua produces tourism objects in Nias. The strength of this cultural tourism
makes the production of adu zatua, a commercial and cultural commodity.
Keywords: Transformation, Adu zatua, Tourism.

A. Pengantar Memasuki awal tahun 2000-an terjadi


reproduksi bentuk baru adu zatua. Penciptaan adu
Adu zatua merupakan objek produk hasil karya zatua pada masa sekarang ini lebih ditujukan untuk
masyarakat Nias pada zaman megalitik. Adu zatua pemenuhan pariwisata budaya yang terjadi di Nias.
adalah patung leluhur atau patung orang tua dalam Nilai pada adu zatua adalah nilai profan yang bersifat
istilah masyarakat setempat. Praktik pembuatan adu sekuler. Fungsi adu zatua yang ada dalam pasar
zatua menjadi budaya tradisi karena bagian dari sistem wisatawa adalah sebagai cinderamata atau souvenirs
kepercayaan atau religi mereka. Religi atau Nias. Masyarakat Nias pada saat ini telah menjadikan
kepercayaan akan adu zatua terus berkembang citra visual adu zatua sebagai konsep produk kerajinan
seriring berubahnya zaman. Bentuk dan nilai adu zatua yang layak untuk diperjualbelikan sebagai objek benda
mengalami perkembangan sebab akibat terjadinya budaya dari Nias.
transformasi budaya di Nias. Gagasan penciptaan Fenomena yang terjadi di Nias ini menjadi
serta pembuatan berubah menjadi global sebab menjadi benturan dalam dokumentasi visual budaya
masuknya agama baru serta penjajahan. Akhir abad Nias. Budaya Nias tidak memiliki catatan tertulis,
ke 19 adu zatua tidak lagi diproduksi, sehingga terjadi sehingga dikhawatirkan terjadinya proses peniruan
kelangkaan. Oleh karenanya peninggalan artefak kuno visual pada objek budaya tersebut. Hal ini menjadi
tersebut menjadi incaran kolektor asing. Penjualan pertanyaan, bagaimana proses hadirnya budaya adu
illegal pada adu zatua kuno tidak dapat dihindari. zatua di tengah masyarakat Nias, dan bagaimana
Sempat vakum beberapa puluh tahun, adu zatua transformasi budaya di Nias menjadi adu zatua
muncul dalam reproduksi baru. Hal ini disebabkan sebagai objek budaya. Tujuan penelitian ini adalah
budaya tradisi Nias berkembang menjadi globalisasi untuk menemukan proses kebudayaan adu zatua di
budaya modern. dalam masyarakat Nias, baik fungsi dan perannya

Volume 15 Nomor 2, Desember 2017 191


Jurnal Seni Budaya

dalam sistem religi. Serta mendeskripsikan tujuan dari mite tersebut sama, yaitu suku Nias
bagaimana proses transformasi budaya dan komoditas berasal dari manusia keturunan langit dan hidup
adu zatua dalam pariwisata di Nias. Manfaat dari berkembang di tanö niha – tanah Nias.
penelitian ini sebagai bentuk apresiasi budaya Nias, Mite yang berkembang ini menjadi ciri khas
dan dokumentasi proses transformasi budaya asal usul suku Nias dan menjadi sejarah pedoman
tersebut. Metode yang digunakan adalah kualitatif dalam budaya tradisional mereka. Mitologi yang
interpretatif, dengan pendekatan transformasi budaya. paling dikenal dan menjadi tradisi lisan masyarakat
Nias adalah Manusia langit. Raja dari para leluhur
B. ADU ZATUA DALAM BUDAYA NIAS yang pertama atau paling tinggi di antara keturunan
leluhur menetap di Teteholi Ana’a. Teteholi Ana’a
Budaya Nias memiliki sejarah dan tradisi merupakan sebutan untuk istilah Surga atau tempat
peninggalan dari zaman Megalitik. Kebudayaan kuno di atas langit, bagi kepercayaan masyarakat Nias saat
suku Nias ini meninggalkan berbagai macam benda itu (Giawa wawancara 10 April 2016). Setiap keturunan
budaya atau artefak-artefak, yang disebut Adu zatua. memiliki versi cerita yang berbeda-beda terhadap
Patung peninggalan di Nias dan sangat terkenal pada mitologi Teteholi Ana’a ini. “Namun salah satunya
zaman dahulu, “ialah patung untuk mengenang orang memiliki persamaan, yaitu bahwa leluhurnya
tua yang telah meninggal dunia, dan disebut: patung diturunkan dari langit” (Wiradnyana, 2010: 166).
orang tua atau dengan nama Nias adu zatua. Tradisi Keturunan manusia langit yang berdiam di Nias ini
adu zatua merupakan bagian dari keyakinan serta menjadi pedoman pimpinan mereka. Leluhur-leluhur
praktik sosial dalam budaya Nias. Perlakuan yang yang telah ditunjuk oleh dewa menjadi petunjuk dalam
diterapkan suku Nias pada adu zatua menjadikan kehidupan bermasyarakat. Terutama bagi mereka yang
benda tersebut bersifat sakral dan keramat. Peran memiliki keturunan bangsawan, harta kekayaan,
masyarakat sangat dipertimbangkan dalam kekuatan supranatural, dan lain sebagainya.
menentukan posisi adu zatua. Perubahan-perubahan Keyakinan terhadap leluhur menjadi kuat dan
sosial membawa adu zatua Nias semakin berkembang berkembang, sampai pada kematian mereka dan
dan mengalami transformasi budaya – nilai, bentuk, rohnya. Sehingga kepercayaan terhadap leluhur –
dan fungsi. orang tua sangat bernilai di mata mereka.
Perpindahan budaya tradisi ke dalam budaya Nenek moyang atau leluhur adalah yang pal-
global mempengaruhi pedoman hidup, kepercayaan, ing dihormati terkhusus setelah kematiannya (Ama
serta pola pikir masyarakat setempat. Budaya tradisi Elsa, wawancara 5 Mei 2016). Agama bagi suku Nias
Nias perlahan mulai mengalami perkembangan menuju merupakan cara mereka melakukan pemujaan
masyarakat modern. Hal tersebut berdampak pada terhadap nenek moyang atau leluhur. Orang tua yang
sistem religi masyarakat Nias yang ikut mengalami telah meninggal memiliki peranan penting setelah
perubahan. Pergantian sistem religi ini berdampak kematiannya dan dapat memberikan kontribusi bagi
pada proses peribadatan yang tidak lagi menggunakan keluarga yang ditinggalkannya (Giawa, wawancara 6
adu zatua sebagai media komunikasi. Transformasi April 2016). Tradisi Nias selain mempercayai roh
adu zatua dijelaskan dari berbagai sudut pandang leluhur, masyarakat juga mengenal dewa-dewi yang
salah satunya adalah nilai. Nilai guna adu zatua berperan dalam mengatur alam. Ritual persembahan
berubah menjadi nilai tukar, dengan kata lain telah juga dilakukan kepada dewa-dewa, akan tetapi tidak
bersifat komersial atau benda komoditas. sesering ritual persembahan kepada roh leluhur. Cara
atau tindakan melakukan persembahan terhadap hal-
1. Religi Adu Zatua hal yang tidak berwujud, ini merupakan agama asli
Nias secara umum lebih dikenal dengan Indonesia yaitu animisme. Eksistensi sistem
sistem kepercayaan animisme. Dasar dari kepercayaan animisme atau pemujaan roh leluhur ini
kepercayaan animisme adalah “menunjukkan menjadi dasar pondasi agama suku Nias. Upacara
kepercayaan akan roh-roh halus yang berdiri lepas ritual yang dilakukan memiliki tahapan demi tahapan
dari manusia dan yang campur dalam urusan insani” yang menjadi budaya tradisi yang terus berlanjut.
(Subagya, 1981: 76). Pandangan hidup suku Nias pada Kepercayaan ini semakin berkembang dengan adanya
saat itu berpedoman pada mite-mite yang berkembang media atau alat pemujaan dalam setiap upacara
di tiap-tiap keluarga. Beberapa di antaranya menjadi persembahan. Keyakinan mereka terhadap kekuatan
berbeda-beda, sehingga hasil cerita yang didapat dari alam menjadi inspirasi untuk mewujudkan visualisasi
tiap-tiap keluarga dan wilayah menjadi lain. Tetapi media persembahan tersebut. Batu-batu besar

192 Volume 15 Nomor 2, Desember 2017


Maria Veronika Halawa: Budaya Adu Zatua di Nias Sumatera Utara

menjadi salah satu pilihan utama karena kondisi alam pembuatan berdasarkan keyakinan mereka adalah
di Nias juga memiliki bebatuan alam yang cukup sebagai tempat tinggal jiwa atau roh orang tua. Patung
banyak. Ketersediaan bahan alam tersebut membuat merupakan jejak material yang dapat ditemukan
“pendirian tugu atau monumen batu megalitih biasanya sebagai artefak budaya tradisi di Indonesia. Material
dilakukan pada bermacam-macam kesempatahn patung tradisi lebih banyak menggunakan batu dan
dalam hidup religi suku itu” (Hadiwijono, 1985: 92). kayu, karena lebih mudah didapatkan. Patung-patung
Batu-batu besar tersebut mengalami perubahan bentuk tradisi memiliki bentuk yang beragam, sebab hanya
seriring dengan perubahan pola pikir dan kondisi sosial diciptakan sekali dengan peralatan seadanya.
yang terjadi di Nias. Pembuatan patung-patung tradisi ini lebih diutamakan
Batu-batu besar itu mulanya hanya sebuah sebagai bentuk penghormatan terhadap roh baik itu
bongkahan besar saja untuk dianggap sebagai media dewa, leluhur, dan orang tua yang telah meninggal.
upacara. Kemudian dipahat menyerupai sebuah tugu Secara tidak langsung patung-patung tradisi menjadi
yang tinggi menjulang. Penempatan tugu ini biasanya sebuah budaya yang memiliki nilai artistik yang syarat
diletakkan di depan gerbang desa, sebagai penolak dengan makna.
bala dan roh-roh jahat. Penghormatan mereka terhadap Seni patung sudah dikenal sejak zaman
roh nenek moyang menjadi suatu kekuatan yang suci prasejarah sebagai sarana upacara ritual kepercayaan
untuk dapat melindungi dari pengaruh jahat. suku-suku. Khususnya masyarakat suku Nias
Penghormatan kepada roh-roh yang tidak terlihat mempercayai roh-roh leluhur dan mewujudkan bentuk
disertai dengan media berupa batu-batu besar, sistem visual tersebut ke dalam media batu dan kayu.
ini dapat dikatakan dualisme kepercayaan yaitu Perpindahan wujud roh-roh leluhur ini melalui beberapa
animisme dan dinamisme. proses, baik itu pemilihan bahan, upacara ritual
Sistem kepercayaan ini berjalan dengan baik persembahan, serta upacara ritual penghormatan –
dalam kehidupan bermasyarakat di suku Nias. Batu- biasanya berupa pesta jasa atau makan besar. Bentuk-
batu besar yang telah dipahat itu kembali mengalami bentuk patung yang dijadikan media roh ini memiliki
perubahan bentuk. Masyarakat meyakini bahwa untuk rupa berbeda, biasanya disesuaikan dengan figur roh
melindungi mereka dari roh-roh yang tidak berwujud, yang dimaksudkan – semasa hidup.
maka mereka menggunakan rupa wajah orang tua atau Seni patung bersumber pada pembentukan
leluhur pendahulunya – terutama bentuk visual raja figur masyarakat pendukungnya. Figur-figur patung
dan orang yang memiliki kesaktian semasa hidup. tersebut berkaitan erat dengan masyarakat primitif
Bentuk wajah nenek moyang tersebut diusahakan magis dan religious ritual. Penciptaan seni patung
semirip aslinya dan properti tubuh patung sesuai tradisi lebih mengarah pada nilai magis atau sakral
dengan strata ekonomi dan sosialnya. Kondisi sosial (Feldman, 1991: 418). Masyarakat Nias menciptakan
yang dimaksud adalah kemampuan orang yang hendak patung-patung tradisi yaitu adu zatua memiliki bentuk
dibentuk memiliki dukungan atau pemimpin dari dan figur dari masyarakat Nias sendiri. Karakter yang
beberapa golongan masyarakat, setidaknya dalam mereka bentuk dalam setiap penciptaan, memiliki
keluarga besarnya. Sedangkan kondisi ekonomi diukur perubahan baik itu dari media dan alat mengukirnya.
berdasarkan kepemilikannya berdasarkan beberapa Ukiran-ukiran patung bergantung pada media dan alat,
harta benda dan budak, serta melakukan beberapa sehingga perubahan figur pada adu zatua semakin
pesta adat. Penciptaan media visual ini menjadi seni berwujud pada rupa manusia pada umumnya. Adu
patung Nias yang dinamakan Adu Zatua. Patung zatua merupakan patung yang merupakan simbol
leluhur ini dianggap patung roh karena diyakini tempat petanda roh bagi masyarakat Nias. Penciptaan adu
tinggal roh nenek moyang yang telah meninggal. zatua lebih cenderung bagi mereka yang memiliki
Fungsi patung ini pada umumnya untuk melindungi kemampuan secara finansial atau setidaknya memiliki
keluarga yang ditinggalkan, terutama apabila leluhur gelar bangsawan dan raja adat. Selebihnya syarat yang
tersebut memiliki ilmu gaib atau kekuatan sakral diajukan adalah yang memiliki kemampuan
(Giawa, wawancara 6 April 2016). supranatural. Menurut peraturannya seperti yang
Istilah adu dalam bahasa Nias adalah patung, dituturkan oleh Giawa, pembuatan adu zatua harus
sedangkan zatua adalah orang tua atau dituakan, bagi mereka yang merupakan keturunan raja adat dan
maka adu zatua sering diartikan sebagai patung bangsawan. Tidak ada hukum yang menentukan tidak
orang tua – leluhur. Suku Nias menjadikan patung dibuatnya patung tersebut dalam keluarga. Akan tetapi
orang tua ini – adu zatua, sebagai bentuk pengganti lingkungan dan konteks sosial sangat berpengaruh
orang tua yang telah meninggal dunia. Tujuan dari dalam menentukan kehormatan bagi keluarga dan

Volume 15 Nomor 2, Desember 2017 193


Jurnal Seni Budaya

keturunan selanjutnya. Pada umumnya patung ini membantu, melindungi, menjaga dari hal-hal atau
dibuatkan sepasang laki-laki dan perempuan, mengusir roh-roh jahat yang mengganggu. Roh yang
tergantung dari kondisi ekonomi keluarga tersebut. tidak kasat mata atau tidak terlihat wujudnya tersebut
Namun, figur yang utama dibentuk ialah berupa figur tentu akan sulit untuk diketahui keberadannya. Suku
raja atau ayah (wawancara 10 April 2016). Nias kala itu berusaha membentuk sebuah media yang
Pembuatan adu zatua selain untuk dapat menjadi alat komunikasi bagi mereka untuk
memperingatkan kondisi bagaimana semasa hidup menyampaikan penghormatan dan keinginan yang
kakek dan nenek mereka, tujuan lain dari secara mereka perlukan. Media tersebut digunakan sebagai
sederhana adalah untuk memperlihatkan rupa atau perantara di antara dua dunia. Media tersebut
wajah leluhur agar tidak dilupakan. Alasan berikutnya digunakan dalam melaksanakan upacara ritual dan
adalah mendokumentasikan wajah-wajah orang tua, dinamakan adu zatua. Media yang berupa patung-
agar diingat selalu oleh keturunannya (Ndruru, patung ini mewakili roh tetua atau leluhur, menjadi
wawancara 22 April 2016). Pada umumnya kepala rumah dan figur yang mereka puja.
negeri, kaum bangsawan atau raja adat yang telah Penciptaan adu zatua dalam suku Nias pada
dianggap sebagai orang tua seluruh masyarakat Desa umumnya menggunakan material batu, akan tetapi
dapat diukirkan Adu zatua. Pada dasarnya penciptaan batu ini bertransformasi ke dalam material kayu.
adu zatua ini dimulai dari kondisi suku Nias pada saat Gagasan dasar penciptaan adu zatua merupakan
itu yang percaya akan adanya kekuatan jahat dan roh- pemenuhan untuk menghormati orang-orang yang
roh yang dapat melindungi atau mengganggu. Bagian memiliki kekuasaan, kekuatan, dan sosok seorang
fase hidup dalam suku Nias tersebut masuk dalam pemimpin baik bagi seluruh suku Nias maupun dalam
tahapan mistis, “Yang dimaksud dengan tahap mistis pihak keluarga.
ialah sikap manusia yang merasakan dirinya
terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib a. Gagasan Penciptaan
disekitarnya,...” (Peursen, 1988: 18). Karena kondisi Setiap penciptaan dalam benda budaya
tahapan ini, mereka sepakat membuat sebuah bentuk tentunya memiliki ide serta gagasan. Benda budaya
benda berupa batu-batu besar sebagai tempat atau Nias berupa adu zatua berproses baik secara materilal
rumah roh. maupun non-material. Beberapa dari masyarakat suku
Upacara-upacara serta ritual yang diadakan Nias mengatakan bahwa gagasan utama penciptaan
oleh penduduk suku Nias saat itu tidak lain sebagai adu zatua, untuk memenuhi ruang sakral dan objek
acara untuk meminta perlindungan terhadap dewa dan suci dalam pelaksanaan ibadah mereka. Dalam
roh-roh yang hidup berdampingan dengan dunia upacara ritual sakral itu, mereka menyampaikan
manusia. Mite yang berkembang menjadi sekarang permohonan, perlindungan, serta kekuatan untuk
ini mitos secara turun-temurun, menunjukkan bertahan hidup dari musuh-musuh mereka. Antonius
keyakinan mereka terhadap dewa dan roh adalah Asaeli Giawa, atau dikenal dengan sebutan kakek
benar. Kehidupan sosial yang terus berlangsung dan Giawa, adalah salah satu tokoh masyarakat suku Nias
menjadi budaya ini terus dilaksanakan dengan adat yang masih berperan dalam memahami, menyimpan,
dan bersifat tradisi. Keyakinan ini berkembang menjadi dan mengikuti perkembangan budaya Nias. Kakek
agama yang dianggap agama kuno asli suku Nias pada Giawa mendapatkan gelar balagu yang merupakan
zaman megalitik. Alasan-alasan tersebut menjadi gelar tertinggi dalam adat Nias. Perolehan gelar ini
bagian penting munculnya praktik penciptaan adu tidak serta merta didapatkan begitu saja, selain
zatua. Agama kuno Nias inilah yang menjadi salah memiliki pemahaman yang baik mengenai adat serta
satu faktor penciptaan hadirnya adu zatua dalam suku budaya Nias, Giawa dikenal sebagai pembuat patung
Nias. orang tua serta leluhurnya. Pembuatan patung adu
zatua tersebut menggunakan media semen dan batu.
2. Praktik Penciptaan dan Penggunaan Adu Situasi dan kondisi fenomena adu zatua pada
Zatua masa lampau didukung oleh kepercayaan yang
Kehidupan di dua dunia yang berbeda menjadi agama asli di Nias, sambungnya kemudian
merupakan salah satu bagian dari keyakinan agama suku Nias menjadikan sosok leluhur atau orang tua
suku Nias. Hidup berdampingan dengan roh membuat menjadi tuhan mereka. Figur orang tua merupakan
segala aktivitas mereka perlu memiliki sandaran dan pedoman hidup yang harus diikuti oleh keturunan
kekuatan untuk berpedoman. Hal ini diperlukan agar selanjutnya, sebagai penandanya dibuat media kayu
bila suatu saat roh-roh mereka yang meninggal dapat dengan rupa leluhur atau orang tua yang sudah

194 Volume 15 Nomor 2, Desember 2017


Maria Veronika Halawa: Budaya Adu Zatua di Nias Sumatera Utara

meninggal. Permulaan hadirnya media pemujaan Sampai saat ini Giawa tetap menyakini
leluhur ini berawal dari keyakinan masyarakat Nias bahwa adu zatua merupakan budaya tradisi yang
akan adanya roh. “Suku Nias sangat percaya roh mengingatkan agama suku Nias. Meskipun banyak
orang tua atau leluhur mengawasi setiap tindakan dan reproduksi adu zatua yang sekarang banyak
perilaku masyarakat atau anggota keluarga yang dijual, baginya tidak menjadi masalah selagi
ditinggalkan”. Keyakinan tersebut berujung hadirnya masyarakat suku Nias masih memahami dan mengerti
adu zatua agar petandanya roh orang tua yang tidak kebudayaan asli mereka pada zaman dahulu.
kelihatan menjadi nyata dengan melihat patung itu. Sehingga eksistensi sejarah Nias tetap dapat
Adu zatua pada masa sebelum masuknya dilestarikan sampai saat ini. Ia tidak menyangkal
penjajah Belanda, berada dalam posisi tinggi sebagai bahwa perubahan bentuk yang terjadi merupakan
tuhan bagi suku Nias, baik seluruh masyarakat penyimpangan dari aslinya. Nilai agama dan adat
ataupun kerabatnya. “Adu zatua sangat sakral dan tentunya hilang dan reproduksi baru, yang tersisa
dikeramatkan oleh orang Nias, mereka selalu hanya nilai jual dan nilai fungsi hias. Persamaan
menundukkan kepala saat melintas di depan patung, visual yang dihasilkan baginya merupakan penurunan
yang berada di depan rumah. Saat anak-anak berbuat nilai sejarah, akan tetapi hal itu disesuaikan dengan
tidak baik atau menyimpang dari adat, maka orang kondisi. Sebagai pengamat dan pemerhati budaya
tua akan mengingatkan mereka bahwa leluhur atau Nias, Giawa menunjukkan bahwa benar budaya Nias
kakek-nenek sedang mengawasinya”. Kondisi ini berawal dari kepercayaan roh nenek moyang sampai
selalu diterapkan bagi mereka yang tidak saat ini kehadirannya masih terasa. Akan tetapi
memperdulikan keberadaan adu zatua. “‘Awas, nanti sebagai penganut ajaran agama katolik yang melarang
marah adu zatua atau itu akibat melanggar tradisi tidak patung-patung selain yang ditentukan doktrin, maka
taat pada adu zatua’, kata-kata itu sering diucapkan Ia tidak memperkenankan hadirnya bentuk adu zatua
pada masa dulu oleh orang Nias untuk menegur atau patung lainnya di rumah. Adu zatua baginya
anaknya atau orang lain yang berbuat salah”. adalah sejarah budaya Nias yang patut diketahui oleh
Giawa berpendapat adu zatua akan menjadi masyarakat luar bahwa Nias punya nilai tradisi seni
sakral saat patung ini selalu disembah dan dihormati. yang khas.
Pemberian sesaji yang wajib berupa makanan dan Senda’aro Ndruru juga bagian dari salah satu
minuman kesukaan roh tersebut semasa hidupnya. masyarakat suku Nias yang memahami praktik
Jika tidak lagi disembah maka roh itu akan penciptaan adu zatua. Beliau merupakan keturunan
meninggalkan rumah mereka [patung] dan pergi. pemahat adu zatua selain sebagai pemahat mereka
Menurutnya berkat dan perlindungan yang tidak kasat juga memiliki bakat melukis. Kemampuan kesenirupan
mata akan hilang dan kutuk atau bencana akan tersebut diperoleh secara otodidak, termasuk dalam
melanda desa dan keluarga. Penciptaan adu zatua keahlian memahat patung. Orang tuanya bahkan dulu
bagi Giawa adalah awal berdirinya kepercayaan Nias mendapatkan kepercayaan dari masyarakat untuk
kuno. Dengan hadirnya adu zatua menjadi bagian dari membuat patung adu zatua. Kemampuan mengukirnya
kehidupan suku Nias pada saat itu. Munculnya adu mulai terlihat sejak sekolah dasar, dan mulai menekuni
zatua merupakan bentuk penghormatan kepada ukiran adu zatua.
masing-masing leluhur bagi tiap desa dan keluarga. Praktik penciptaan awal adu zatua menurut
Ia menambahkan pembuatan adu zatua tidak dapat pandangan Ndruru, hampir sama dengan pendapat
sembarang, harus orang-orang yang memiliki peran Giawa. Tujuan hadirnya adu zatua adalah sebagai
penting dalam masyarakat dan keluarga. Biasanya bentuk visual akan keberadaan leluhur atau orang tua
yang paling berpengaruh adalah kepala negeri – yang telah meninggal, sebab jiwanya tinggal di patung
sekarang kepala desa, raja adat – melakukan pesta tersebut. Komunikasi tetap terjalin selagi
dan memberi makan orang banyak, keluarga persembahan dan penghormatan pada patung tetap
bangsawan, dan orang-orang yang memiliki ilmu berjalan sebagaimana mestinya. Cara yang diterapkan
supranatural. Pemilihan kayu tidak bisa sembarangan, hampir sama dengan pandangan Giawa, hanya disini
dilakukan doa dan persembahan agar bahan yang Ndruru berperan sebagai pengukir yang menerima
digunakan dapat diterima oleh roh yang akan menjadi pesanan adu zatua dari golongan dan kerabat.
tempat baginya. Setelah upacara pemilihan kayu, Pembuatan dan kepemilikan adu zatua baginya
maka akan diserahkan ke pengukir setelah beberapa tidaklah sembarangan, hanya orang-orang terpandang
hari diupacarakan kembali setelahnya diadakan pesta dan berpengaruh yang biasanya membuat adu zatua.
dan dibuat persembahan. Pesta dalam upacara yang dibuat selama proses

Volume 15 Nomor 2, Desember 2017 195


Jurnal Seni Budaya

penciptaan adu zatua membutuhkan biaya dan tenaga akan memilih untuk mereproduksi adu zatua untuk
yang cukup besar. dijadikan sebagai mata pencaharian. Karena sifat adu
Proses pemahatan adu zatua pun tidak zatua sekarang sebagai fungsi hiasan, maka hal
langsung siap sehari seperti yang sekarang dibuat oleh penyimpangan dalam struktur adu zatua baru dapat
pengrajin. Perlu diadakan doa dan persembahan agar diterima. Ritual yang hilang pada nilai adu zatua
pengukir dapat membuat rupa wajah patung hampir merupakan proses perubahan zaman, meskipun
sama persis dengan tokoh yang telah meninggal. budaya Nias perlahan berubah baginya sejarah Nias
Keterangan visual yang didapat dari keturunan atau harus tetap dipertahankan. “Adu zatua milik
kerabatnya serta bantuan doa dan persembahan dari masyarakat suku Nias, dan orang luar harus
ere (orang pintar, pemuka masyarakat dalam mengetahui itu”, Ndruru menambahkan eksistensi
kepercayaan orang Nias (Lase, 2011: 100), menjadi dalam fenomena adu zatua yang terjadi pada zaman
ide-ide bagi pengukir untuk membuat adu zatua. sekarang tidak menghilangkan sejarah atau asal-usul
Setelah pihak yang bersangkutan merasa cocok, maka lahirnya patung-patung leluhur tersebut. Saat ini Ndruru
selanjutnya adalah upacara ritual – pemanggilan roh, tidak melaksanakan adat dan tradisi adu zatua yang
serta pesta penghormatan. dahulu, Ia masih tetap menghormati adu zatua sebagai
Masyarakat suku Nias pada zaman dahulu budaya dan tradisi leluhur yang tidak boleh dilupakan.
membuat pesanan adu zatua ke pengukir-pengukir Tafaheazaro Bu’ulölö merupakan pemahat adu
Nias yang memang ahli. Pekerjaan ini diteruskan zatua yang masih aktif sampai saat ini, meskipun
kembali oleh keturunannya, bagi Ndruru mengukir patung hasil dari ciptaannya tidak lagi berfungsi
adalah salah satu pekerjaan yang sangat dihormati di sebagai produk ritual keagamaan. Hasil-hasil
Nias saat itu. Selesai memahat patung hasil pesanan reproduksi adu zatua digunakan sebagai hasil karya
maka nilai tukarnya berupa daging babi dan beberapa dan diperjual-belikan. Bukan hanya sebagai penggiat
sajian pesta yang akan disertakan dalam pesta ritual reproduksi adu zatua, akan tetapi beliau juga pemerhati
pemanggilan roh leluhur. Tidak ada sistem jual-beli budaya dan mendokumentasikan sejarah budaya Nias.
patung, para pengrajin diwajibkan tidak mengukir Baginya adu zatua adalah sejarah latar belakang
patung leluhur yang lain dengan bentuk yang serupa. lahirnya budaya Nias. Dengan hadirnya adu zatua
Ndruru mengatakan “Adu zatua pada saat itu berbeda- sekarang dapat membantu masyarakat luar atau
beda bentuk dan posisinya, inilah yang membuat wisatawan untuk mengenal budaya Nias. Meskipun
patung-patung leluhur itu bermacam-macam model. hal tersebut tidak menjamin mereka dapat
Tidak seperti sekarang yang hampir rata-rata mengapresiasi dengan mudah pada hasil karya seni
mempunyai bentuk rupa dan model yang sama”. Nias ini. Bu’ulölö telah menjadi seni ukir secara turun-
Memiliki kemampuan mengukir secara turun temurun, kemampuannya tersebut terlihat sejak masih
temurun, Ndruru dipercaya membuat reproduksi adu sekolah dasar dan berlanjut sampai sekarang.
zatua yang yang sebagian hampir rusak di Museum Menurutnya duplikat adu zatua adalah hal yang salah
Nias. Beberapa di antaranya diperbaiki dan ada juga dan melanggar prinsip dasar penciptaan awal. Sebab
harus direproduksi. Meskipun beberapa pendatang adu zatua adalah sosok atau figur masing-masing
memintanya untuk membuat patung adu zatua secara leluhur atau orang tua.
komersil, akan tetapi Ia menolak. Nilai patung Nias Bu’ulölö mengatakan praktik dasar penciptaan
sekarang baginya sudah benar-benar hilang dari tradisi, adu zatua sangat sakral dan mengandung magi,
tetapi bagi sebagian dari mereka tetap karena proses pemilihan bahan harus melalui tahap
mereproduksinya dengan memanfaatkan sejarah Nias. upacara dan doa yang dipimpin oleh ere. Setelah ere
Pemicu dari reproduksi adu zatua ini menurutnya mendapat petunjuk dari roh yang bersangkutan, maka
adalah dampak dari peminat kolektor benda sejarah bahan dan teknik yang digunakan akan mengikuti
dan seni dari luar atau wisatawan asing. Duplikasi adu kemauan dari roh. Komunikasi dari dua alam yang
zatua banyak beredar tetapi kolektor tersebut memilih berbeda ini sangat wajar dan menjadi hakikat dasar
membei adu zatua berdasarkan usia patung tersebut. hadirnya adu zatua ditengah masyarakat Nias. Bahan
Selebihnya wisatawan lokal lebih menyukai miniatur yang digunakan dalam membentuk adu zatua adalah
adu zatua karena mudah dibawa dan harga sedikit dari kayu yang kuat dan keras, tidak dihinggapi semut
lebih terjangkau. dan tidak bersentuhan dengan pohon lain, dalam
Tanggapan Ndruru terhadap penjualan adu masyarakat suku Nias kayu itu disebut ma’usö adu.
zatua sekarang ini adalah hal yang wajar. Baginya Bentuk dan ukuran patung disesuaikan dengan
masyarakat suku Nias yang memiliki kemampuan ukir ketersedian bahan yang diperoleh. “Adu zatua diukir

196 Volume 15 Nomor 2, Desember 2017


Maria Veronika Halawa: Budaya Adu Zatua di Nias Sumatera Utara

setelah ada petunjuk dari ere yang mengarahkan atau membuat kerajian dari bahan alam seperti kerang
menuntut pengukir untuk membentuknya” tambahnya pasir yang tidak terpakai. “patung-patung yang aku
kemudian “Adu zatua menjadi sakral setelah dilakukan pahat bukan menyerupai adu zatua tetapi patung-
proses upacara dan diberi persembahan, roh akan patung Nias yang lain, kayu yang didapat semakin
tetap tinggal selama terus disembah-sembah”. sulit. Dan jika terus dipaksakan adu zatua akan hilang
Reproduksi patung yang terjadi di Nias makna sejarahnya sebab mudah didapatkan dan dibeli.
baginya hal tersebut wajar karena masyarakat menilai Bahan yang digunakan terbilang mudah rusak atau
minat dari wisatawan akan budaya Nias semakin hancur karena dibuat dari kayu lembek dan gampang
meningkat. Nilai sejarah menjadi nilai jual yang dimakan rayap”. Tambahnya adu zatua sekarang
menguntungkan selain wisata alam yang ada di Nias. diharapkan tidak menghilangkan nilai sejarah asli
Adu zatua dibentuk menjadi hiasan yang dapat dibeli masyarakat suku Nias, meskipun sebagian besar
sebagai souvenir khas Nias. Contoh salah satunya ditujukan untuk menjadi benda komersil.
daerah berbatu di desa Bawamataluo menjadikan
masyarakat sulit untuk bercocok tanam, hal ini b. Peran Adu Zatua dalam Masyarakat
menjadi alasan tumbuhnya perkembangan reproduksi Adu zatua mendapatkan posisi tertinggi pada
adu zatua yang begitu pesat di daerah tersebut. masa megalitik dan sebelum masuknya agama baru
Pembentukan adu zatua yang komersilkan di pulau Nias. Posisi tersebut diperoleh karena adu
berdasar pada minat dan ketertarikan dari wisatawan zatua adalah bagian dari agama asli Nias dan juga
yang datang. Pandangannya hal inilah yang bagian dari adat budaya setempat. Sebagai pemilik
menjadikan munculnya jenis-jenis fungsi hias adu budaya dan penggagas tradisi adu zatua masyarakat
zatua yang berbeda. Pada saat Bu’ulölö menjadi menempatkan perannya sebagai pengganti orang tua
pengukir adu zatua, Ia tetap berpedoman pada petunjuk atau leluhur yang telah meninggal. Adu Zatua juga
dari ere dan bentuk-bentuk visual yang diarahkan oleh dianggap seolah-olah hidup karena mereka percaya,
kerabat yang memesan ukiran patung itu. Setelah bahwa patung itu memiliki jiwa dari bentuk fisik orang
ukiran selesai patung akan diupacarakan dan yang ditujukan. Suku Nias mempercayai patung
disembah agar roh leluhur atau orang tua mau tinggal leluhur ini memiliki kekuatan dan pengaruh yang besar
di dalamnya. bagi mereka yang masih hidup di dunia nyata.
Bu’ulölö termasuk dalam pengukir yang cukup Mengabaikan patung leluhur sama halnya
bijak dalam memahat, ia tidak menggunakan teknik mengabaikan keberadaan mereka yang telah
duplikasi. Saat adat dan tradisi adu zatua hilang dan bertranformasi dalam bentuk patung. Sebagian dari
berganti menjadi benda komersial, adu zatua menjadi mereka yang mengacuhkan akan mendapatkan
benda yang paling dicari oleh wisatawan asing. Ia kutukan atau pengaruh negatif. Tindak-tanduk mereka
menambahkan wisatawan tersebut mencari adu zatua akan selalu diawasi oleh roh leluhur melalui patung
sakral, karena sudah budaya Nias kuno ini sudah tersebut.
ditinggalkan, nilai sejarah dan usia dari benda budaya Sakralisasi adu zatua dapat terjaga,
Nias ini menjadi nilai yang tinggi bagi mereka. Teknik tergantung dengan kondisi masyarakat suku Nias.
ukiran Bu’ulölö menjadi khas karena kemampuannya Pada saat sebelum masuknya penjajah di Nias,
dalam mengimajinasikan rupa-rupa bentuk yang sakralisasi adu zatua tetap bertahan karena budaya
berbeda pada patung pahatannya. Sekarang patung- sosial mengenai kepercayaan tetap terlaksana.
patung hasil pahatannya telah dibeli oleh kolektor asing Mereka percaya bahwa adu zatua yang telah dibentuk
dan menjadi koleksi museum di beberapa daerah dan memiliki jiwa atau roh nenek moyang mereka. Dengan
negara Eropa. adanya adu zatua ini akan membentuk karakter dan
Kemampuan mengukir yang dimiliki oleh pedoman hidup masyarakat Nias pada masa itu.
Bu’ulölö tidak lantas membuatnya untuk berlomba- Kehadiran adu zatua cukup membuat sosial
lomba membuat adu zatua komersil. Sebab masyarakat di Nias antar sesama kondusif. Hal ini
menurutnya semakin sering reproduksi adu zatua akan berubah saat berhadapan dengan desa-desa
maka, nilainya akan semakin hilang meskipun ada yang berlainan, karena mereka juga memiliki adu zatua
nilai sejarah yang mendukungnya. Keberadaan adu atau pedoman leluhur masing-masing. Salah satunya
zatua akan menjadi hal biasa dan sulit untuk mendapat peran adu zatua sebagai petunjuk adalah adu zatua
apresiasi karena mudah untuk didapatkan. Oleh sebab yang terletak di desa Tögizita. Masyarakat suku Nias
itu, Bu’ulölö sekarang mengurangi aktivitas mengukir di desa tersebut mulai mengabaikan adu zatua yang
adu zatua atau patung-patung leluhur. Ia lebih berfokus merupakan tokoh sentral di desanya. Persembahan

Volume 15 Nomor 2, Desember 2017 197


Jurnal Seni Budaya

dan penghormatan mulai berkurang, pada saat sebelum Tradisi diambil dari kata tradisional merupakan
Belanda menyerang desa tersebut, Adu zatua istilah zaman pada masa lampau sebelum tersentuh
memberikan tanda dengan retaknya bagian badan dengan pengaruh budaya luar daerah dan kemajuan
patung dan mengingatkan akan kewaspadan dari teknologi. Pemahaman tradisional sendiri adalah
musuh. Penanda tersebut diabaikan oleh masyarakat sekelompok masyarakat yang memiliki praktek hidup
suku setempat dan Belanda dengan leluasa berdasarkan pengalaman sejarah dan lingkungan
menguasai desa. Sesaat setelah berakhirnya dalam konteks lokal. Komunitas masyarakat ini
peperangan, adu zatua itu mengeluarkan air mata, dan menginterpretasikan makna dari interaksi mereka dan
bagi tokoh adat setempat itu merupakan pertanda roh dirumuskan menjadi bahasa, simbol-simbol, praktek
leluhur telah pergi dari patung tersebut (Ndruru, penggunaan sumber daya, spiritualitas, religus, serta
wawancara 22 April 2016). memiliki tingkat sistem kekerabatan tinggi ( Liliweri,
Sampai saat ini adu zatua berperan sebagai 2014: 222 ).
bentuk alternatif mata pencaharian oleh masyarakat Budaya tradisi di Nias bertahan cukup lama
suku Nias, terutama di desa Bawamataluo yang dibandingkan dengan bagian wilayah Nusantara
kondisi alamnya berbatu, sehingga kemungkinan lainnya. Hal tersebut didukung letak wilayah Nias
mencari pekerjaan lain tergolong sulit. Dukungan akan merupakan kepulauan, sehingga cukup sulit budaya
alternatif reproduksi penjualan adu zatua ini karena luar mempengaruhi masyarakat suku Nias. Meskipun
hadirnya wisatawan asing maupun lokal yang terbilang sulit, namun berangsur-angsur perubahan
berkunjung di Nias. Situasi tersebut menjadi hal yang tidak bisa ditolak. Proses sistem kepercayaan yang
bermanfaat bagi mereka yang bekerja sebagai menjadi dasar utama budaya tradisi di Nias, mulai
pemahat atau pengrajin dari Nias. goyah dan tergantikan dengan agama pendatang.
Memudarnya sistem kepercayaan kuno Nias yang
3. Transformasi Budaya juga merupakan agama asli mereka, otomatis merubah
Wujud kebudayaan memiliki banyak ragam pola pikir dan tingkat religius terhadap adu zatua yang
seperti halnya ragam individu pada wilayah tertentu. selama ini disembah dan dituhankan. Budaya tradisi
Sifat budaya tidak statis melainkan sangat dinamis. dari zaman tradisional hilang, digantikan ke zaman
Perubahan suatu budaya pada umumnya diistilahkan modernisasi dengan budaya globalisasi. Budaya Adu
dalam transformasi budaya. Transformasi sendiri zatua yang bersifat tradisi menjadi budaya global,
dalam KBBI berarti perubahan rupa – bentuk, sifat, dampaknya nilai, fungsi, bentuk pada adu zatua
fungsi dan sebagainya. Transformasi dalam sebuah berganti menjadi impersonal dan umum.
kebudayaan merupakan perubahan dari perkembangan
pola pikir, status sosial, serta lingkungan suatu b. Transformasi Adu Zatua
kelompok masyarakat. Transformasi tidak secara Fenomena pergeseran bentuk dan rupa objek
langsung akan tetapi terjadi secara bertahap, sehingga budaya didukung oleh ketersediaan bahan dan alat,
sering kali masyarakat tidak menyadari kehidupan hal tersebut menjadi salah satu alasan bergesernya
sosial budaya mereka mulai berubah. Pengaruh- bentuk adu zatua. Proses transformasi mempengaruhi
pengaruh dari budaya luar serta masuknya penerapan pergeseran nilai, yang berlangsung pada penggunaan
teknologi dalam masyarakat tradisional, menjadi dasar adu zatua. Tetapi semua itu melalui proses bertahap
pijakan mereka untuk menyesuaikan dan menikmati yang mengalami penolakan juga penerimaan secara
bantuan tersebut. bersamaan (Sachari, 2005: 83). Perubahan bentuk
atau transformasi adu zatua di Nias bergantung dari
a. Budaya Tradisi Menuju Globalisasi material yang digunakan. Perubahan material yang
Globalisasi merupakan istilah untuk digunakan berdampak pada alat yang diterapkan,
pemerataan budaya yang bersifat individu atau sehingga bentuk yang dihasilkan tentunya akan
personal menjadi umum dan sama. Kehadiran sifat berbeda. Semakin lama bentuk-bentuk yang dihasilkan
global ini didominasi oleh pengaruh budaya modern. mulai menyerupai f igur manusia tiruannya.
“Globalisasi bukan hanya melahirkan Perpindahan wujud tersebut merupakan proses
perubahan-perubahan baru dalam perilaku dan gaya transformasi yang digambarkan secara visual.
hidup masyarakat, tetapi juga melahirkan perubahan Penggunaan media batu adalah bahan yang
struktur sosial masyarakat dan memengaruhi dinamika mudah ditemukan dalam kondisi alam di Nias. Batu-
kondisi perekonomian di berbagai level: dari tingkat batu besar merupakan bahan yang mudah didapatkan,
global hingga lokal” (Suyanto, 2013: 92). selain itu nilai fisik yang ada pada batu tersebut

198 Volume 15 Nomor 2, Desember 2017


Maria Veronika Halawa: Budaya Adu Zatua di Nias Sumatera Utara

dirasakan akan sama kuatnya dengan kekuatan dari 1.2. Proses Pergeseran Bentuk Adu Zatua
patung yang diciptakan. Tradisi pembuatan patung Bentuk-bentuk pahatan patung leluhur atau
lebih mengarah pada tempat tinggal atau simbol leluhur orang tua dalam masyarakat Nias pada dasarnya
masyarakat setempat. Pada gambar di atas, adalah bentuk seorang pemimpin dan pelindung
masyarakat Nias menggunakan batu besar yang sebuah desa atau kelompok masyarakat. Tiap-tiap
dipahat menjulang. Bentuk batu pada saat itu sebagai desa memiliki pelindung dari pemimpin-pemimpin
lambang kebesaran dan tugu peringatan bagi mereka. Bentuk yang dihadirkan berupa sebuah tugu
masyarakat setempat. Lempengan batu yang berada dari batu besar, pahatan yang digoreskan masih sangat
di tengah-tengah difungsikan sebagai singasana oleh sederhana, sehingga bentuk yang dihadirkan tidak
bangsawan atau raja selanjutnya. Empat buah batu beraturan, tinggi menjulang keatas. Bentuk batu besar
yang menyangga lempengan batu tersebut berisi tersebut merupakan “sebuah monolith (satu batu)
tulang belulang orang yang difungsikan sebagai seperti menhir yang didirikan tegak, yang disebut
pelayan atau penjaga. Di tengah-tengah tugu jantan” (Hadiwijono, 1985: 93). Bentuk dasar yang
peringatan dan dudukan batu itu ditanam tulang-tulang sederhana didasarkan pada ketersediaan alat yang
dari raja atau bangsawan yang diagungkan. mendukungnya. Semakin lama bentuk pahatan untuk
patung leluhur ini semakin memiliki rupa atau wajah
1.1Figur Manusia dari yang direpresentasikan. Perubahan raut wajah
Batasan dan pengertian figur disini adalah yang dihasilkan semakin lama semakin mendekati figur
berasal dari bahasa Inggris yang berarti “bentuk badan” dan karakter masyarakat suku Nias pada umumnya.
atau sosok yang mengarah pada sesuatu. Secara tidak Manifestasi yang diterapkan pada media batu ini, terus
langsung masyarakat Nias pada saat itu berkembang. Pahatan mahkota lebih disempurnakan,
mentransformasikan figur-figur leluhur atau orang tua atribut perhiasan juga tidak lumput dari perhatian
mereka ke dalam benda mati yang dianggap seolah- seniman kala itu. Sekali lagi perkembangan tahapan
olah hidup oleh roh di dalamnya. Sosok figur yang ukir ini masih dikarenakan kelebihan alat pahat atau
mereka ciptakan pada dasarnya adalah simbol dari ukir yang digunakan.
bangsawan atau raja adat atau kepala negeri. Bagian- Perubahan bentuk secara bertahap dalam
bagian tubuh yang ditemukan dari beberapa patung pembuatan adu zatua selain kemudahan alat yang
leluhur secara tidak langsung menonjolkan lambang digunakan, juga didukung oleh materi yang didapatkan.
raja dan kebangsawanan patung tersebut. Materi bahan batu yang selama ini digunakan oleh
Penciptaan patung ini dilebih didominasi oleh masyarakat suku Nias, dirasa masih kurang praktis.
kaum bangsawan. Pada umumnya hanya kaum Oleh sebab itu digunakan materi kayu yang lebih
bangsawan dan keluarga yang memiliki kekayaan mudah dipindahkan ke dalam rumah, dan hal ini bagi
lebih, sebab harus mengadakan pesta adat, upacara masyarakat Nias lebih sakral dari pada patung yang
ritual dan syarat lainnya (Nduru, wawancara 22 April terbuat dari batu. Sebab lebih sering dijumpai di dalam
2016). Sosok atau figur leluhur yang dianggap lebih rumah dan karena posisi letak adu zatua berada di
kuat, penguasa, dan memiliki kedudukan dimata ruang tamu atau bagian depan rumah. Selain itu bagi
masyarakat adalah salah satu cara menunjukkan siapa saja yang berkunjung, mereka akan merasa
kemampuan keluarga besar mereka. Sehingga segan akan kehadiran leluhur pemimpin di rumah
nantinya diharapkan generasi penerus mereka dapat tersebut (Giawa, wawancara 10 April 2016).
mencontoh dan mengikuti jejak dan mendapatkan Perkembangan pemahatan adu zatua dengan
kehormatan dalam keluarga selanjutnya. Ikon dari figur menggunakan media kayu semakin mendekati bentuk
yang dibentuk dari representasi pemimpin ini adalah yang sebenarnya. Citra yang dimanifestasikan dalam
upaya agar menjadi inspirasi, peringatan, atau lambang patung kayu, dibentuk sedemikian rupa bagi pemahat
kekuasaan dan kehormatan bagi masyarakat Nias agar mirip dengan orang yang telah meninggal.
pada umumnya. Figur yang diwakilkan pada bentuk Disinilah kemampuan pemahat diuji dan diperlihatkan,
adu zatua secara tidak langsung menandakan karenanya meskipun raut wajah yang dihasilkan secara
kebudayaan dan ciri khas masyarakat Nias itu sendiri. umum kaku, namun ciri yang ditimbulkan berbeda-
beda.

Volume 15 Nomor 2, Desember 2017 199


Jurnal Seni Budaya

menghasilkan adu zatua sebagai media kini mulai


hilang arti dan maknanya. “Setelah kedatangan
misionaris, pelan tapi pasti, masyarakat Nias
meninggalkan keyakinan tradisional, ditandai dengan
iconoclasm /pengerusakan patung (Danandjaya, 2010:
40.”. Pada saat proses pengerusakan patung tersebut
dilakukan dengan berbagai cara antara lain
dihanyutkan di sungai, dibakar, dan dihancurkan,
setelah selesai mereka bersama-sama melakukan
pertobatan massal mengakui satu Tuhan atau
monoteisme (Ama Elsa, wawancara 5 Mei 2016).
Mulai tahun antara 1970-1980an muncul
kondisi dimana pencarian patung leluhur Nias mulai
diminati. Kekhasan serta keunikan patung leluhur Nias
pada adu zatua mulai diperjual-belikan. Alasan
timbulnya minat masyarakat asing, disebabkan hasil
karya seni kuno Nias ini tidak lagi diproduksi dan
otomatis bernilai tinggi sebab kelangkaannya dan sifat
tradisinya. Sekalipun hal tersebut illegal akan tetapi
tuntutan ekonomi dan keyakinan yang berubah,
membuat adu zatua mudah berpindah tangan.
Penjualan illegal benda-benda kuno Nias salah
satunya adu zatua tidak dapat dipantau secara
keseluruhan sebab, beberapa masyarakat berpendapat
Gambar 1. Proses tahapan pergeseran bentuk bahwa mereka lebih berhak terhadap benda kuno
visual adu zatua tersebut. Pemerintah daerah budayawan setempat
(Foto Maria, Halawa, auction.catawiki.com, 2016) cukup sulit memantau untuk membuat warisan budaya
Nias ini terjaga (Ibu Erbon, wawancara 4 April 2016.).
Proses pergeseran bentuk adu zatua tidak Proses terjadinya penjualan tersebut tampak pada
lain dipengaruhi perkembangan budaya yang berjalan museum nasional luar negeri yang memiliki koleksi
dinamis. Transformasi budaya di Nias membuat pola adu zatua, salah satunya Belanda dan Perancis.
pikir masyarakat suku setempat mengalami
perubahan, sehingga hasil-hasil kebudayaan juga b. Pariwisata Budaya
bergeser atau berkembang sesuai dengan kondisi Pengembangan pariwisata di Indonesia pada
sosial lingkungan kebudayaan masyarakat. Tampak dasarnya menggunakan konsep pariwisata budaya,
dari tahapan gambar di atas menunjukkan teknik dimana fokus pengembangannya ada pada seni dan
pembuatan adu zatua berubah menjadi lebih figuratif, budaya daerah. Aset pariwisata yang lebih ditonjolkan
dengan keahlian dan kemampuan mengukir yang di Nias adalah wisata alam, sebab pantai serta pulau
semakin meningkat. kecil masih belum terkontaminasi oleh kerusakan
alam atau manusia. Untuk menunjang potensi
4. Komoditas Adu Zatua Dalam Budaya Nias kehadiran pengunjung lebih banyak, sebagian dari
mereka menciptakan berbagai macam pembangunan
a. Penjualan Illegal dan pembuatan, mulai dari bentuk bangunan (rumah
Proses perubahan budaya tradisi Nias adat), cenderamata (souvenir), dan bahan-bahan
memiliki dampak positif dan negatif. Pada posisi promosi lainnya.
positifnya cara pikir masyarakat tampak berpikir lebih Produk-produk wisata akan menjadi objek
terbuka. Sisi negatifnya adalah berkurangnya tatanan yang sejalan dengan kehadiran wisata alam, termasuk
sistem kekerabatan dan sosialisasi masyarakat yang di Nias. Adu zatua menjadi produk wisata yang
biasanya disatukan oleh upacara ritual. Secara umum dikemas menjadi benda kerajinan tangan, beberapa
perpindahan sistem kepercayaan menjadi resiko pengunjung tertarik terhadap sejarah Nias yang
hilangnya keyakinan dan nilai pada benda ritual yang memiliki budaya Megalitik tersebut. Selain karna
dulu dijadikan media upacara. Agama Nias yang kehadiran batu-batu besar dalam pariwisata Nias,

200 Volume 15 Nomor 2, Desember 2017


Maria Veronika Halawa: Budaya Adu Zatua di Nias Sumatera Utara

galerinya juga menawarkan produk hasil budaya untuk pengaruh-pengaruh budaya luar baik itu dalam kategori
dijual. Komoditas hasil kebudayaan Nias sebelumnya positif maupun negatif. Sebab adu zatua dibentuk oleh
pernah terjadi, pembelian oleh kolektor dan wisatawan nilai spiritual masyarakat Nias, dan saat kepercayaan
asing ini menyebabkan berkurangnya kepemilikan tersebut memudar, maka masyarakat juga berhak
artefak asli budaya Nias. Memasuki tahun 2000-an, untuk membentuk nilai baru pada objek tersebut.
pemerintah Nias mulai memperhatikan wilayah objek Adu zatua kini telah menjadi barang komoditas
pariwisata di Nias sebagai bentuk peningkatan budaya yang siap dijual dalam pasar pariwisata di Nias. Agama
dan pendapatan daerah. Potensi budaya Nias berupa baru dan pendatang yang membawa pengaruh ke dalam
cerita sejarah banyak meninggalkan jejak material wilayah Nias telah menjadikan sistem sosial
berupa patung-patung batu – adu zatua. Kehadiran masyarakat berubah. Penciptaan adu zatua sekarang
wisatawan baik lokal maupun asing, membuat ini menjadi fenomena pariwisata budaya yang berfungsi
beberapa masyarakat mulai memanfaatkan hasil sebagai cenderamata atau souvenir Nias bagi mereka
peninggalan artefak tersebut untuk dijadikan yang berkunjung dan menikmati pariwisata di Nias.
cenderamata khas Nias.
Reproduksi adu zatua kembali menjadi KEPUSTAKAAN
fenomena hasil kebudayaan Nias, tetapi dalam tujuan
atau konteks yang berbeda. Jika sebelumnya Fieldman, Edmund Burke, 1991. Seni Sebagai Ujud
fenomena adu zatua bertujuan sebagai media dan Gagasan Bagian II-II. Terj. SP. Gustami.
komunikasi roh-roh leluhur dan dalam konteks sistem Yogyakarta: ISI.
kepercayaan, maka fenomena yang terjadi sekarang Hadiwijono, Harun, 1985. Religi Suku Murba Di Indo-
ini sebagai benda komoditas. Komersialisasi nesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
reproduksi adu zatua pada masa sekarang tidak
terlepas dari peran pariwisata kebudayaan di Nias. Lase, Apolonius, 2011. Kamus Li Niha: Nias – Indo-
Objek-objek pariwisata selalu menawarkan souvenirs nesia. Jakarta: Kompas.
adu zatua. Kegiatan pariwisata sebagian besar akan
mempengaruhi pola pikir masyarakat setempat. Hal Liliweri, Alo, 2014. Pengantar Studi Kebudayaan.
Bandung: Nusa Media.
yang perlu dihindari adalah semakin majunya
perkembangan teknologi, pembangunan dan Partanto, Pius A dan Dahlan, 2001. Kamus Ilmiah
pariwisata daerah dikhawatirkan dapat menghilangkan Populer. Surabaya: Arkola.
identitas asli budaya setempat. Merosotnya produk
hasil seni budaya di daerah pariwisata terjadi akibat Peursen, C. A. Van, 1988. Strategi Kebudayaan.
komersialisasi benda itu sendiri (Yoeti, dkk, 2016: Yogyakarta: Kanisius.
136). Secara tidak langsung komoditas reproduksi adu
Sachari, Agus, 2005. Pengantar Metodologi Penelitian:
zatua merupakan bagian dari pemerosotan seni
Budaya Rupa. Jakarta: Erlangga.
budaya di Nias.
Subagya, Rachmat, 1981. Agama Asli Indonesia.
C. Kesimpulan
Jakarta: Sinar Harapan & Yayasan Cipta
Budaya adu zatua merupakan adat serta Loka Caraka.
tradisi masyarakat Nias yang berawal dari sistem
Suyanto, Bagong, 2013. Sosiologi Ekonomi:
religinya. Kepercayaan tersebut menjadi sebuah
Kapitalisme dan Konsumsi di Era
agama kuno yang mengalami perubahan sejak
Masyarakat Post-Modernisme. Jakarta:
masuknya agama baru dan juga akibat pengaruh
Kencana Prenadamedia Group.
globalisasi budaya. Adu zatua perlahan mulai
bertransformasi baik dari segi budaya dan berpengaruh Wiradnyana, Ketut, 2010. Legitimasi Kekuasaan Pada
pada bentuk dan nilainya. Budaya rupa adu zatua Kebudayaan Nias. Jakarta: Yayasan
menjadi artefak kuno yang membawa citra visual ke Pustakan Obor Indonesia.
dalam reproduksi adu zatua baru. Reproduksi tersebut
memiliki sifat berbeda sebab ditujukan untuk menjadi Yoeti, dkk, 2016. Pariwisata Budaya: Masalah dan
bagian pariwisata budaya. Keberadaan adu zatua yang solusinya. Jakarta: Balai Pustaka.
dahulu bernilai sakral dan keramat, kini menjadi bernilai
Zebua, Victor, 2010. Jejak Cerita Rakyat Nias.
dari profan. Perubahan bentuk, produksi, dan makna
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
nilai tersebut mengalami proses panjang yang disertai

Volume 15 Nomor 2, Desember 2017 201

Anda mungkin juga menyukai