Anda di halaman 1dari 124

INTRODUKSI KURSUS ACLS

Ribuan jantung berhenti berdenyut setiap hari, namun banyak diantaranya terjadi
terlalu dini, jantung mereka terlalu bagus untuk berhenti berdenyut. Upaya resusitasi
jantung dapat memulihkan denyut jantung dan sirkulasi darah yang terhenti, sehingga
otak terhindar dari kerusakan yang permanen.

Usaha-usaha yang dilakukan dalam resusitasi jantung paru (Cardio Pulmonary


Resuscitation/CPR) meliputi tindakan BLS (Basic Life Support) dan ACLS
(Advanced Cardiac Life support ).

ACLS merupakan upaya tindak lanjut dalam resusitasi jantung paru (RJP) yang
bertujuan untuk mengembalikan sirkulasi spontan pasien yang telah mengalami henti
jantung, melalui penanganan dengan obat-obatan, tata laksana jalan napas dan terapi
listrik. Tenaga medis rumah sakit tidak hanya mampu melakukan BLS akan tetapi
harus mampu melakukan tindakan ACLS.

Pelatihan ACLS Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh darah Harapan Kita
mengajarkan cara melaksanakan tindakan ACLS yang benar melalui kuliah dan
latihan/simulasi penanganan pasien dengan henti napas dan henti jantung pada
manikin dan metoda yang diajarkan mengacu pada standar American Heart
Association. Pelatihan ini dibimbing oleh tim pelatih ACLS yang telah mendapat
pelatihan sebagai instruktur ACLS di Seattle ( USA )

Pelatihan ACLS di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta
diadakan sejak tahun 1996 dan diperuntukkan bagi tenaga medis, baik dokter maupun
perawat.

TUJUAN UMUM
Setelah mengikuti pelatihan ACLS selama 4 hari peserta mampu melakukan evaluasi
dan penatalaksanaan henti napas dengan atau tanpa henti jantung dan penanganan 10
menit pertama dari henti jantung akibat Fibrilasi Ventrikel pada orang dewasa

1
TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti pelatihan ACLS selama 4 hari peserta mampu :
1. Melakukan tindakan survai primer yang meliputi pengetahuan dan
keterampilan;
1.1. Pendekatan dini
- Mengenal adanya kegawatan
- Mengaktifkan sistem penanggulangan kegawatan
- Memulai bantuan hidup dasar (BHD) satu penolong
1.2. Melakukan BHD satu atau dua penolong
1.3. Melakukan Defibrilasi
2. Melakukan tindakan survai sekunder yang meliputi pengetahuan dan
keterampilan
2.1. Penatalakasanaan jalan napas
- Penggunaan pipa oro/nasopharingeal
- Melakukan intubasi
2.2. Pemberian oksigen dengan sungkup muka dan bagging
2.3. Melakukan penanganan kelainan irama jantung sesuai algoritme yang
meliputi ; algoritme universal, algoritme Fibrilasi Ventrikel/ Takhikardi
Ventrikel tanpa nadi, algoritme Asistol, algoritme PEA, algoritme
Bradikardia, algoritme Takhikardia, algoritme Syok/hipotensi dan
algoritme Infark miokard akut
2.4. Penggunaan terapi listrik
- Defibrilasi
- Kardioversi
- Pacu jantung transkutan
3. Melakukan penatalaksaaan paska resusitasi

2
ELEKTROKARDIOGRAFI

PENDAHULUAN
Elektrokardiografi adalah ilmu yang mempelajari aktifitas listrik jantung.
Sedangkan Elektrokardiogram ( EKG ) adalah suatu grafik yang menggambarkan
rekaman listrik jantung. Kegiatan listrik jantung dalam tubuh dapat dicatat dan
direkam melalui elektroda elektroda yang dipasang pada permukaan tubuh. EKG
sangat berguna dalam membantu menegakkan diagnosa beberapa penyakit jantung,
akan tetapi klinis pasien tetap merupakan pegangan yang penting dalam menegakkan
diagnosa, sebab sering kelainan EKG ditemukan pada orang normal atau sebaliknya
gambaran EKG normal didapatkan pada orang yang menderita kelainan jantung. Oleh
sebab itu dalam ACLS selalu ditekankan adanya istilah " Don't treat the monitor but
treat the patient "

EKG sangat berguna dalam menentukan kelainan seperti berikut; Gangguan irama
jantung (Disritmia), Hipertrofi Atrium & Ventrikel, Iskemia/Infark otot jantung,
Perikarditis, efek beberapa obat-obatan terutama digitalis dan antiaritmia, kelainan
elektrolit yang juga dapat menyebabkan kelainan EKG serta untuk menilai fungsi
pacu jantung.

Buku ini dibuat sebagai bahan materi kursus Advanced Cardiac Life Support, oleh
sebab itu buku ini tidak membahas EKG secara keseluruhan, buku ini hanya akan
membahas mengenai aritmia jantung dengan tujuan agar peserta kursus ACLS dapat
dengan cepat mengenali gambaran aritmia dan selanjutnya dapat memberikan
pengobatan sesuai dengan algoritmenya.

Sebelum sampai dengan interpretasi EKG, berikut akan dibahas dulu mengenai:

1. SANDAPAN EKG
A. Sandapan bipolar
B. Sandapan Unipolar

2. KERTAS EKG

3. KURVA EKG
A. Gelombang P
B. Gelombang QRS
C. Gelombang T
D. Gelombang U
E. Interval PR
F. Segmen ST

4. Cara menilai EKG strip

3
SANDAPAN EKG
Untuk memperoleh rekaman EKG, dipasang elektroda elektroda di kulit pada tempat
tempat tertentu. Lokasi penempatan elektroda ini penting, karena penempatan yang
salah akan menghasilkan pencatatan yang berbeda.

Terdapat 2 jenis sandapan ( “ Lead “) pada EKG.


1. Sandapan bipolar
2. Sandapan unipolar

Sandapan bipolar
Dinamakan sandapan bipolar karena sandapan ini hanya merekam perbedaan
potensial dari 2 elektroda, sandapan ini ditandai dengan angka romawi I, II dan III.
 Sandapan I :
Merekam beda potensial antara tangan kanan
dengan tangan kiri (LA),dimana tangan kanan bermuatan (-) dan tangan kiri
bermuatan (+).
 Sandapan II:
Merekam beda potensial antara tangan kanan (RA)dengan kaki kiri (F), dimana
tangan kanan bermuatan (-) dan kaki kiri bermuatan (+).
 Sadapan III:
Merekam beda potensial antara tangan kiri (LA), dengan kaki kiri (LF), dimana
tangan kiri bermuatan (- ) dan kaki kiri bermuatan (+).

Ketiga sandapan ini dapat digambarkan sebagai sebuah segitiga sama sisi (segi tiga
EINTHOVEN )

SANDAPAN UNIPOLAR
Sandapan unipolar ini terdiri dari 2, yaitu
sandapan unipolar ekstremitas dan unipolar prekordial.

Sandapan unipolar ekstremitas


Merekam besar potensial listrik pada satu ekstremitas, elektroda eksplorasi diletakkan
pada ekstremitas yang akan diukur. Gabungan elektroda elektroda pada ekstremitas
lain membentuk elektroda indiferen ( potensial 0 ).
 Sandapan aVR :
Merekam potensial listrik pada tangan kanan (RA), dimana tangan kanan
bermuatan (+), tangan kiri dan kaki kiri membentuk elektroda indiferen.
 Sandapan aVL:
Merekam potensial listrik pada tangan kiri (LA), dimana tangan kiri bermuatan
(+), tangan kanan dan kaki kiri membentuk elektroda indiferen.
 Sandapan aVF:
Merekam potensial listrik pada kaki kiri (LF), dimana kaki kiri bermuatan (+),
tangan kanan dan tangan kiri membentuk elektroda indiferen.

Sandapan unipolar prekordial


Merekam besar potensial listrik jantung dengan bantuan elektroda eksplorasi yang
ditempatkandi beberapa tempat pada dinding dada. Elektroda indiferen diperoleh
dengan menggabungkan ketiga elektroda ekstremitas.

4
Sandapan V1 : Ruang interkostal IV
garis sternal kanan
Sandapan V2 : Ruang interkostal IV
garis sternal kiri
Sandapan V3 : Pertengahan antara V2
dan V4
Sandapan V4 : Ruang interkostal V
garis midklavikula kiri
Sandapan V5 : Sejajar V4 garis aksila
depan
Sandapan V6 : Sejajar V4 garis aksila
tengah

Gambar 1.
Sandapan EKG
Umumnya perekaman EKG lengkap dibuat 12 sandapan (lead), akan tetapi pada
keadaan tertentu perekaman dibuat sampai V7, V8, V9 atau V3R, V4R.

KERTAS EKG
Kertas EKG merupakan kertas grafik yang terdiri dari garis horizontal dan vertical
dengan jarak 1 mm. Garis yang lebih tebal terdapat pada setiap 5 mm. Garis
horizontal menggambarkan waktu dimana 1 mm = 0,04 detik; 5mm = 0,20 detik.

5
Garis vertikal menggambarkan voltase dimana 1 mm = 0,1 milivolt;10 mm = 1
milivolt.

Pada praktek sehari hari perekaman dibuat dengan kecepatan 25 mm/detik. Kalibrasi
yang biasa dilakukan adalah 1 milivolt yang menghasilkan defleksi setinggi 10 mm.
Pada keadaan tertentu kalibrasi dapat diperbesar yang akan menghasilkan defleksi 20
mm atau diperkecil yang akan menghasilkan defleksi setinggi 5 mm. Hal ini harus
dicatat pada pada kertas hasil rekaman, sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang
salah bagi yang membacanya.

Gambar 2
Kertas EKG

Gambar 2
Kertas EKG
KURVA EKG
Kurva EKG menggambarkan proses listrik yang terjadi pada Atrium dan Ventrikel
Proses listrik ini terdiri dari :
1. Depolarisasi Atrium
2. Repolarisasi Atrium
3. Depolarisasi Ventrikel
4. Repolarisasi Ventrikel

Sesuai dengan proses listrik jantung, setiap hantaran pada EKG normal
memperlihatkan 3 proses listrik yaitu ; depolarisasi Atrium, depolarisasi Ventrikel dan

6
repolarisasi Ventrikel. Repolarisasi Atrium umumnya tidak terlihat pada EKG karena
disamping intensitasnya kecil juga repolarisasi Atrium waktunya bersamaan dengan
depolarisasi Ventrikel yang mempunyai intensitas yang jauh lebih besar.

Kurva EKG normal terdiri dari gelombang P, Q, R, S dan T serta kadang kadang
terlihat gelombang U. Selain itu juga ada beberapa interval dan segmen EKG

Gelombang P
Merupakan gambaran proses depolarisasi Atrium
Nilai normal : - Lebar  0,12 detik
- Tinggi  0,3 milivolt
- Selalu ( + ) di Lead II
- Selalu ( - ) di Lead aVR

Gelombang QRS
Merupakan gambaran proses depolarisasi Ventrikel
Nilai normal : - Lebar 0,06 – 0,12 detik
- Tinggi tergantung
sandapan ( lead )

Gelombang QRS terdiri dari gelombang Q, R dan S


Gelombang Q adalah defleksi negatif pertama pada gelombang QRS.
Nilai normal gelombang Q adalah :
- Lebar  0,04 detik
- Dalamnya  1/3 tinggi R
Gelombang Q abnormal disebut gelombang Q pathologis.

Gelombang R adalah defleksi positif pertama pada gelombang QRS. Umumnya


gelombang QRS positif di L I, LII, V5 dan V6. Di lead aVR, V1 dan V2 biasanya
hanya kecil atau tidak ada samasekali.

Gelombang S adalah defleksi negatif setelah gelombang R.


Di lead aVR, V1 dan V2, gelombang S terlihat lebih dalam, di lead V4, V5 dan V6
makin berkurang dalamnya.

Gelombang T
Merupakan gambaran proses repolarisasi Ventrikel. Umumnya gelombang T positif,
di hampir semua lead kecuali di aVR

Gelombang U
Adalah defleksi positif setelah gelombang T dan sebelum gelombang P berikutnya.
Penyebab timbulnya gelombang U masih belum diketahui, namun diduga timbul
akibat repolarisasi lambat sistem konduksi Interventrikuler.

Interval PR
Interval PR diukur dari permulaan gelombang P sampai permulaan gelombang QRS.
Nilai normal berkisar antara 0,12 – 0,20 detik. Ini merupakan waktu yang dibutuhkan
untuk depolarisasi Atrium dan jalannya impuls melalui berkas His sampai permulaan
depolarisasi Ventrikel.

7
Segmen ST
Segmen ST diukur dari akhir gelombang QRS sampai permulaan gelombang T.
segmen ini normalnya isoelektris, tetapi pada lead prekordial dapat bervariasi dari -
0,5 sampai +2mm. Segmen ST yang naik diatas garis isoelektris disebut ST elevasi
dan yang turun dibawah garis isoelektris disebut ST depresi.

Gambar 3
EKG 1 beat

CARA MENGINTERPRETASIKAN EKG STRIP


1. Tentukan iramanya teratur atau tidak, dengan cara melihat jarak antara QRS satu
dengan QRS yang lain jaraknya sama atau tidak.
2. Tentukan frekuesi jantung ( Heart rate)

Menghitung frekuensi jantung ( HR ) melalui gambaran EKG dapat dilakukan dengan


3 cara :

a. 300

Jumlah kotak besar antara R – R’

b. 1500

Jumlah kotak kecil antara R – R’

8
c. Ambil EKG strip sepanjang 6 detik, hitung jumlah gelombang QRS dalam 6
detik tsb kemudian dikalikan dengan 10 atau ambil dalam 12 detik dan kalikan
dengan 5.

3. Tentukan gelombang P normal atau tidak, juga lihat apakah setiap gelombang P
selalu diikuti gelombang QRS ? ( P : QRS ) ?

4. Tentukan interval PR normal atau tidak ?

5. Tentukan gelombang QRS normal atau tidak ?

Irama EKG yang normal impuls (sumber listrik) nya berasal dari Nodus SA, maka
iramanya disebut dengan irama Sinus (Sinus Rhythm ).

Kriteria Irama Sinus normal adalah :


- Irama : Teratur
- Frekuensi jantung ( HR) : 60 – 100 kali/menit
- Gelombang P : Normal, setiap gelombang P selalu diikuti gel QRS, T
- Interval PR : Normal (0,12 - 0,20 detik)
- Gelombang QRS : Normal ( 0,06 - 0,12) detik

Irama yang tidak mempunyai kriteria tersebut di atas disebut ARITMIA atau
DISRITMIA.

Aritmia terdiri dari aritmia yang disebabkan oleh terganggunya pembentukan impuls
atau aritmia dapat terjadi juga dikarenakan oleh gangguan penghantaran impuls.

Beberapa contoh gambaran aritmia yang disebabkan oleh terganggunya


pembentukan impuls.

TAKHIKARDI SINUS ( ST )
Kriteria :
- Irama : Teratur
- Frekuensi :  100 – 150 X/menit
- Gelombang P : Normal, setiap gel P selalu diikuti gel QRS, T
- Interval PR : Normal
- Gelombang QRS : Normal

BRADIKARDI SINUS ( SB )
Kriteria :
- Irama : Teratur
- Frekuensi ( HR ) :  60 X/menit
- Gelombang P : Normal, setiap gel P selalu diikuti gel QRS
- Interval PR : Normal
- Gelombang QRS : Normal

9
ARITMIA SINUS
Kriteria :
- Irama : Tidak teratur
- Frekuensi ( HR ) : Biasanya antara 60 – 100 kali/menit
- Gelombang P : Normal, setiap gel P selalu diikuti gel QRS,T
- Interval PR : Normal
- Gelombang QRS : Normal

SINUS ARREST
Kriteri :
- Terdapat episode hilangnya satu atau lebih gelombang P,QRS dan T
- Irama : Teratur, kecuali pada yang hilang
- Frekuensi ( HR ) : Biasanya  60 kali/menit
- Gelombang P : Normal, setiap gel P selalu diikuti gel QRS
- Interval PR : Normal
- Gelombang QRS : Normal
Hilangnya gel P,QRS, T tidak menyebabkan kelipatan jarak antara R – R’

Beberapa contoh gambaran EKG

Irama Sinus Normal

Bradikardi Sinus

Takikardi Sinus

Aritmia Sinus

10
Sinus Arrest

EKSTRASISTOL ATRIAL
( AES/PAB/PAC )
Kriteria:
Ekstrasistol selalu mengikuti irama dasar
- Irama : Tidak teratur, karena ada gelombang yang timbul lebih dini
- Frekuensi (HR ) : Tergantung irama dasarnya
- Gelombang P : Bentuknya berbeda dari gel P irama dasar
- Interval PR : Biasanya normal, bisa juga memendek
- Gelombang QRS : Normal

TAKHIKARDI SUPRAVENTRIKEL
( SVT )
Kriteria :
- Irama : Teratur
- Frekuensi ( HR ) : 150 – 250 kali/menit
- Gelombang P : Sukar karena bersatu dengan gel T.
Kadang gelombang P terlihatkecil
- Interval PR : Tidak dapat dihitung atau memendek
- Gelombang QRS : Normal

Ekstrasistol Atrial

Takikardi Supra Ventrikel

11
FLUTTER ATRIAL ( AFL )
Kriteria :
- Irama : Biasanya teratur bisa juga tidak
- Frekuensi ( HR ) : Bervariasi
- Gelombang P : Bentuknya seperti gigi gergaji, dimana gelombang P timbulnya
teratur dan dapat dihitung, P:QRS = 2:1, 3:1 atau 4 :1
- Interval PR : Tidak dapat dihitung
- Gelombang QRS : Normal

FIBRILASI ATRIAL ( AF )
Kriteria :
- Irama : Tidak teratur
- Frekuensi ( HR ) : Bervariasi
- Gelombang P : Tidak dapat diidentifikasikan
- Interval PR : Tidak dapat dihitung
- Gelombang QRS : Normal

Flutter Atrial

Fibrilasi Atrial

IRAMA JUNCTIONAL ( JR )
Kriteria :
- Irama : Teratur
- Frekuensi ( HR ) : 40 – 60 X/menit
- Gelombang P : Terbalik didepan di belakang atau menghilang
- Interval PR : Kurang dari 0,12 detik atau tidak ada
- Gelombang QRS : Normal

12
EKSTRASISTOL JUNCTIONAL ( JES )
Kriteria :
- Irama : Tidak teratur, karena ada gelombang yang timbul lebih dini
- Frekuensi ( HR ) : Tergantung irama dasarnya
- Gelombang P : Tidak normal, sesuai dengan letak asal impuls
- Interval PR : Memendek atau tidak ada
- Gelombang QRS : Normal

TAKHIKARDI JUNCTIONAL ( JT )
Kriteria :
- Irama : Teratur
- Frekuensi ( HR ) :  100 X/menit
- Gelombang P : Terbalik di depan, belakang atau menghilang
- Interval PR :  0,12 detik atau tidak ada
- Gelombang QRS : Normal

IRAMA IDIOVENTRIKULER ( IVR )


Kriteria :
- Irama : Teratur
- Frekuensi ( HR ) : 20 – 40 X/menit
- Gelombang P : Tidak terlihat
- Interval PR : Tidak ada
- Gelombang QRS :  0,12 detik

Irama Junctional

Ekstrasistol Junctioanal

Takikardi Junctional

13
Irama Idioventrikuler

EKSTRASISTOL VENTRIKEL
( VES/PVB/PVC )
Kriteria :
- Irama : Tidak teratur, karena ada gelombang yang timbul dini
- Frekuensi ( HR ) : Tergantung irama dasarnya
- Gelombang P : Tidak ada,
- Interval PR : Tidak ada
- Gelombang QRS :  0,12 detik

Lima ( 5 ) bentuk Ekstrasistol Ventrikel yang berbahaya :


1. Ekstrasistol Ventrikel  6 kali/menit
2. Ekstrasistol Ventrikel bigemini
3. Ekstrasistol Ventrikel Multifocal
4. Ekstrasistol Ventrikel Consecutif
5. Ekstrasistol Ventrikel R on T

TAKHIKARDI VENTRIKEL ( VT )
Kriteria :
- Irama : Teratur
- Frekuensi ( HR ) :  100 X/menit
- Gelombang P : Tidak terlihat
- Interval PR : Tidak ada
- Gelombang QRS :  0,12 detik

FIBRILASI VENTRIKEL ( VF )
Kriteria :
- Irama : Tidak teratur
- Frekuensi ( HR ) : Tidak dapat dihitung
- Gelombang P : Tidak ada
- Interval PR : Tidak ada
- Gelombang QRS : Tidak dapat dihitung, bergelombang & tidak teratur
2 macam VF
1. Fibrilasi Ventrikel kasar (Coarse)
2. Fibrilasi Ventrikel halus (Fine)

Beberapa contoh gambaran aritmia yang disebabkan oleh terganggunya penghantaran


impuls.

14
BLOK SINOATRIAL ( SA BLOK )
Kriteria :
- Terdapat episode hilangnya satu atau lebih gelombang P, QRS,T
- Irama : Teratur, kecuali pada yang hilang
- Frekuensi : Biasanya  60 X/menit
- Gelombang P : Normal, Setiap gel P selalu diikuti gel QRS
- Interval PR : Normal
- Gelombang QRS : Normal

BLOK ATRIOVENTRIKULER DERAJAT 1


Kriteria :
- Irama : Teratur
- Frekuensi ( HR ) : Biasanya antara 60– 100 kali/ menit
- Gelombang P : Normal, setiap gel P selalu diikuti gel QRS
- Interval PR : Memanjang  0,20 detik
- Gelombang QRS : Normal

TIPE MOBITZ 1 (WENCHEBACH)


Kriteria :
- Irama : Tidak teratur
- Frekuensi : 60 – 100 kali/ menit atau < 60
- Gelombang P : Normal, tetapi ada satu gel P yang tidak diikuti gel QRS
dalam satu siklus
- Interval PR : Makin lama makin panjang sampai ada gel P yang tidak
diikuti gel QRS, kemudian siklus berulang
- Gelombang QRS : Normal

BLOK ATRIOVENTRIKULER DERAJAT 2 TIPE MOBITZ 2


Kriteria :
- Irama : Tidak teratur
- Frekuensi ( HR ) : Biasanya  60 kali/menit
- Gelombang P : Normal, ada satu atau lebih gel P yang tidak diikuti gel QRS
- Interval PR : Normal/ memanjang secara konstan kemudian ada blok
- Gelombang QRS : Normal

BLOK ATRIOVENTRIKULER DERAJAT 3 ( TAVB )


Kriteria:
- Irama : Teratur
- Frekuensi ( HR ) :  60 X/menit
- Gelombang P : Normal, akan tetapi gel P & gel QRS berdiri sendiri,
sehingga gel P kadang – kadang diikuti, kadang tidak
- Interval PR : Berubah ubah/tidak ada
- Gelombang QRS : Normal/  0,12 detik

15
Ekstrasistol Ventrikel

Ekstrasistol Ventrikel Bigemini

EkstrasistoVentrikel Multifokal

Ekstrasistol Ventrikel Consecutif

Ekstrasistol Ventrikel R on T

Takikardi Ventrikel

16
Fibrilasi Ventrikel

Sinus Blok

AV blok derajat I

AV blok derajat II tipe 1

AV blok derajat II tipe 2

AV blok derajat III

17
BANTUAN HIDUP DASAR
(BHD)

INDIKASI
1. Henti napas
Henti napas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara pernapasan
dari korban/pasien.

Henti napas merupakan kasus yang harus dilakukan tindakan Bantuan Hidup
Dasar. Henti napas dapat terjadi pada keadaan :

 Tenggelam
 Stroke
 Obstruksi jalan napas
 Epiglotitis
 Overdosis obat-obatan
 Tersengat listrik
 Infark miokard
 Tersambar petir
 Koma akibat berbagai macam kasus
Pada awal henti napas oksigen masih dapat masuk kedalam darah untuk beberapa
menit dan jantung masih dapat mensirkulasikan darah ke otak dan organ vital
lainnya, jika pada keadaan ini diberikan bantuan napas akan sangat bermanfaat agar
korban dapat tetap hidup dan mencegah henti jantung.

2. Henti jantung
Pada saat terjadi henti jantung, secara langsung akan terjadi henti sirkulasi. Henti
sirkulasi ini akan dengan cepat menyebabkan otak dan organ vital kekurangan
oksigen. Pernapasan yang terganggu (tersengal-sengal) merupakan tanda awal akan
terjadinya henti jantung.

Bantuan hidup dasar merupakan bagian dari pengelolaan gawat darurat medik yang
bertujuan :

1. Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi.


2. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari korban yang
mengalami henti jantung atau henti napas melalui Resusitasi Jantung Paru (RJP).

Resusitasi Jantung Paru terdiri dari 2 tahap, yaitu:

 Survei Primer (Primary Survey), yang dapat dilakukan oleh setiap orang
 Survei Sekunder (Secondary Survey), yang hanya dapat dilakukan oleh tenaga
medis dan paramedis terlatih dan merupakan lan-jutan dari survei primer.

18
SURVEI PRIMER
Dalam survei primer difokuskan pada bantuan napas dan bantuan sirkulasi serta
defibrilasi. Untuk dapat mengingat dengan mudah tindakan survei primer dirumuskan
dengan abjad A, B, C, dan D, yaitu :
A airway (jalan napas)
B breathing (bantuan napas)
C circulation (bantuan sirkulasi)
D defibrilation (terapi listrik)

Sebelum melakukan tahapan A (airway), harus terlebih dahulu dilakukan prosedur


awal pada korban/pasien, yaitu :
1. Memastikan keamanan lingkungan bagi penolong
2. Memastikan kesadaran dari korban/pasien.
Untuk memastikan korban dalam keadaan sadar atau tidak penolong harus
melakukan upaya agar dapat memastikan kesadaran korban/pasien, dapat dengan
cara menyentuh atau menggoyangkan bahu korban/pasien dengan lembut dan
mantap untuk mencegah pergerakan yang berlebihan, sambil memanggil namanya
atau " Pak !!! / Bu !!! / Mas !!! / Mbak !!!.
3. Meminta pertolongan.
Jika ternyata korban/pasien tidak memberikan respon terhadap panggilan, segera
minta bantuan dengan cara berteriak "Tolong !!!" untuk mengaktifkan sistem
pelayanan medis yang lebih lanjut.
4. Memperbaiki posisi korban/pasien.
Untuk melakukan tindakan BHD yang efektif, korban/pasien harus dalam posisi
terlentang dan berada pada permukaan yang rata dan keras. Jika korban ditemukan
dalam posisi miring atau tengkurap, ubahlah posisi korban ke posisi terlentang.
Ingat ! penolong harus membalikkan korban sebagai satu kesatuan antara kepala,
leher dan bahu digerakkan secara bersama-sama. Jika posisi sudah terlentang,
korban harus dipertahankan pada posisi horisontal dengan alas tidur yang keras
dan kedua tangan diletakkan di samping tubuh.
5. Mengatur posisi penolong.
Segera berlutut sejajar dengan bahu korban agar saat memberikan bantuan napas
dan sirkulasi, penolong tidak perlu mengubah posisi atau menggerakkan lutut.

Gambar 1.
Cek kesadaran dan Aktifkan Sistem Emergensi

19
A (AIRWAY) Jalan Napas.
Setelah selesai melakukan prosedur dasar, kemudian dilanjutkan dengan melakukan
tindakan :
1. Pemeriksaan jalan napas.
Tindakan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya sumbatan jalan napas oleh
benda asing. Jika terdapat sumbatan harus dibersihkan dahulu, kalau sumbatan
berupa cairan dapat dibersihkan dengan jari telunjuk atau jari tengah yang dilapisi
dengan sepotong kain, sedangkan sumbatan oleh benda keras dapat dikorek dengan
meng-gunakan jari telunjuk yang dibengkokkan. Mulut dapat dibuka dengan tehnik
Cross Finger, dimana ibu jari diletakkan berlawanan dengan jari telunjuk pada
mulut korban.

Gambar 2.
Buka mulut dan finger sweep

2. Membuka jalan napas.


Setelah jalan napas dipastikan bebas dari sumbatan benda asing, biasa pada korban
tidak sadar tonus otot-otot menghilang, maka lidah dan epiglotis akan menutup
farink dan larink, inilah salah satu penyebab sumbatan jalan napas. Pembebasan
jalan napas oleh lidah dapat dilakukan dengan cara Tengadah kepala topang dagu
(Head tild-chin lift) dan Manuver Pendorongan Mandibula. Teknik membuka jalan
napas yang direkomendasikan untuk orang awam dan petugas kesehatan adalah
tengadah kepala topang dagu, namun demikian petugas kesehatan harus dapat
melakukan manuver lainnya.

Gambar 3.
Pembebasan Jalan Napas

20
B (BREATHING) Bantuan napas
Terdiri dari 2 tahap :
1. Memastikan korban/pasien tidak bernapas.
Dengan cara melihat pergerakan naik turunnya dada, mendengar bunyi napas dan
merasakan hembusan napas korban/pasien. Untuk itu penolong harus mendekatkan
telinga di atas mulut dan hidung korban /pasien, sambil tetap mempertahankan
jalan napas tetap terbuka. Prosedur ini dilakukan tidak boleh melebihi 10 detik.

Gambar 4.
Cek Pernapasan
2. Memberikan bantuan napas.
Jika korban/pasien tidak bernapas, bantuan napas dapat dilakukan melalui mulut ke
mulut, mulut ke hidung atau mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada
tenggorokan) dengan cara memberikan hembusan napas sebanyak 2 kali
hembusan, waktu yang dibutuhkan untuk tiap kali hembusan adalah 1,5-2 detik dan
volume udara yang dihembuskan adalah 700-1000 ml (10 ml/kg) atau sampai dada
korban/pasien terlihat mengembang. Penolong harus menarik napas dalam pada
saat akan menghembuskan napas agar tercapai volume udara yang cukup.
Konsentrasi oksigen yang dapat diberikan hanya 16-17%. Penolong juga harus
memperhatikan respon dari korban/pasien setelah diberikan bantuan napas.

Cara memberikan bantuan pernapasan :


 Mulut ke mulut
Bantuan pernapasan dengan menggunakan cara ini merupakan cara yang cepat dan
efektif untuk memberikan udara ke paru-paru korban/pasien. Pada saat dilakukan
hembusan napas dari mulut ke mulut, penolong harus mengambil napas dalam
terlebih dahulu dan mulut penolong harus dapat menutup seluruhnya mulut korban
dengan baik agar tidak terjadi kebocoran saat menghembuskan napas dan juga
penolong harus menutup lubang hidung korban/pasien dengan ibu jari dan jari
telunjuk untuk mencegah udara keluar kembali dari hidung. Volume udara yang
diberikan pada kebanyakkan orang dewasa adalah 700-1000 ml (10 ml/kg).
Volume udara yang berlebihan dan laju inpirasi yang terlalu cepat dapat
menyebabkan udara memasuki lambung, sehingga terjadi distensi lambung.

21
Gambar 5.
Pemberian napas dari mulut ke mulut

 Mulut ke hidung
Teknik ini direkomendasikan jika usaha ventilasi dari mulut korban tidak me-
mungkinkan, misalnya pada Trismus atau dimana mulut korban mengalami luka
yang berat, dan sebaliknya jika melalui mulut ke hidung, penolong harus menutup
mulut korban/pasien.

Gambar 6.
Pernapasan dari mulut ke hidung
 Mulut ke Stoma
Pasien yang mengalami laringotomi mempunyai lubang (stoma) yang
menghubungkan trakhea langsung ke kulit. Bila pasien mengalami kesulitan
pernapasan maka harus dilakukan ventilasi dari mulut ke stoma.

Gambar 7.
Pernapasan dari mulut ke stoma

22
C (CIRCULATION) Bantuan sirkulasi
Terdiri dari 2 tahapan :
1. Memastikan ada tidaknya denyut jantung korban/pasien.
Ada tidaknya denyut jantung korban/pasien dapat ditentukan dengan meraba arteri
karotis didaerah leher korban/pasien, dengan dua atau tiga jari tangan (jari telunjuk
dan tengah) penolong dapat meraba pertengahan leher sehingga teraba trakhea,
kemudian kedua jari digeser ke bagian sisi kanan atau kiri kira-kira 1-2 cm, raba
dengan lembut selama 5-10 detik.

Gambar 8.
Pemeriksaan denyut nadi

Jika teraba denyutan nadi, penolong harus kembali memeriksa pernapasan korban
dengan melakukan manuver tengadah kepala topang dagu untuk menilai
pernapasan korban/pasien. Jika tidak bernapas lakukan bantuan pernapasan, dan
jika bernapas pertahankan jalan napas.

2. Memberikan bantuan sirkulasi.


Jika telah dipastikan tidak ada denyut jantung, selanjutnya dapat diberikan bantuan
sirkulasi atau yang disebut dengan kompresi jantung luar, dilakukkan dengan
teknik sebagai berikut :
 Dengan jari telunjuk dan jari tengah penolong menelusuri tulang iga kanan
atau kiri sehingga bertemu dengan tulang dada (sternum).
 Dari pertemuan tulang iga (tulang sternum) diukur kurang lebih 2 atau 3 jari
ke atas. Daerah tersebut merupakan tempat untuk meletakan tangan penolong
dalam memberikan bantuan sirkulasi.
 Letakkan kedua tangan pada posisi tadi dengan cara menumpuk satu telapak
tangan di atas telapak tangan yang lainnya, hindari jari-jari tangan menyentuh
dinding dada korban/pasien, jari-jari tangan dapat diluruskan atau menyilang.
 Dengan posisi badan tegak lurus, penolong menekan dinding dada korban
dengan tenaga dari berat badannya secara teratur sebanyak 15 kali dengan
kedalam penekanan berkisar antara 1,5-2 inci (3,8-5 cm).
 Tekanan pada dada harus dilepaskan keseluruhannya dan dada dibiarkan me-
ngembang kembali ke posisi semula setiap kali melakukan kompresi dada.
Selang waktu yang dipergunakan untuk melepaskan kompresi harus sama
dengan pada saat melakukan kompresi. ( 50 % Duty Cycle )

23
 Tangan tidak boleh lepas dari permukaan dada dan atau merubah posisi
tangan pada saat melepaskan kompresi.
 Rasio bantuan sirkulasi dan pemberian napas adalah 15 : 2, dilakukan baik
oleh 1 atau 2 penolong jika korban/pasien tidak terintubasi dan kecepatan
kompresi adalah 100 kali permenit (dilakukan 4 siklus permenit), untuk
kemudian dinilai apakah perlu dilakukan siklus berikutnya atau tidak.

Gambar 9.
Posisi tangan pada kompresi dada

Dari tindakan kompresi yang benar hanya akan mencapai tekanan sistolik 60-80
mmHg, dan diastolik yang sangat rendah, sedangkan curah jantung (cardiac output)
hanya 25% dari curah jantung normal. Selang waktu mulai dari menemukan pasien
dan dilakukan prosedur dasar sampai dilakukannya tindakan bantuan sirkulasi
(kompresi dada) tidak boleh melebihi 30 detik.

Gambar 10.
Posisi penolong pada kompresi dada

24
D (DEFIBRILATION)
Defibrilation atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan istilah defibrilasi
adalah suatu terapi dengan memberikan energi listrik. Hal ini dilakukan jika penyebab
henti jantung (cardiac arrest) adalah kelainan irama jantung yang disebut dengan
Fibrilasi Ventrikel. Dimasa sekarang ini sudah tersedia alat untuk defibrilasi
(defibrilator) yang dapat digunakan oleh orang awam yang disebut Automatic
External Defi-brilation, dimana alat tersebut dapat mengetahui korban henti jantung
ini harus dilakukan defibrilasi atau tidak, jika perlu dilakukan defibrilasi alat tersebut
dapat memberikan tanda kepada penolong untuk melakukan defibrilasi atau
melanjutkan bantuan napas dan bantuan sirkulasi saja.

Gambar 11
Tindakan defibrilasi dengan AED

MELAKUKAN BHD 1 DAN 2 PENOLONG


Orang awam hanya mempelajari cara melakukan BHD 1 penolong. Teknik BHD yang
dilakukan oleh 2 penolong menyebabkan kebingungan koordinasi. BHD 1 penolong
pada orang awam lebih efektif mempertahankan sirkulasi dan ventilasi yang adekuat,
tetapi konsekuensinya akan menyebabkan penolong cepat lelah.
BHD 1 penolong dapat mengikuti urutan sebagai berikut :
1. Penilaian korban
Tentukan kesadaran korban/pasien (sentuh dan goyangkan korban dengan lembut
dan mantap), jika tidak sadar, maka
2. Minta pertolongan serta aktifkan sistem emergensi.
3. Jalan napas (AIRWAY)
 Posisikan korban/pasien
 Buka jalan napas dengan manuver tengadah kepala-topang dagu.
4. Pernapasan (BREATHING)
Nilai pernapasan untuk melihat ada tidaknya pernapasan dan adekuat atau tidak
pernapasan korban/pasien.
 Jika korban/pasien dewasa tidak sadar dengan napas spontan, serta tidak ada
trauma leher (trauma tulang belakang) posisikan korban pada posisi mantap
(Recovery position), dengan tetap menjaga jalan napas tetap terbuka.
 Jika korban/pasien dewasa tidak sadar dan tidak bernapas, lakukkan bantuan
napas. Di Amerika serikat dan dinegara lainnya dilakukan bantuan napas awal
sebanyak 2 kali, sedangkan di Eropa, Australia, New Zealand diberikan 5
kali. Jika pemberian napas awal terdapat kesulitan, dapat dicoba dengan

25
membetulkan posisi kepala korban/ pasien, atau ternyata tidak bisa juga maka
dilakukan :
­ Untuk orang awam dapat dilanjutkan dengan kompresi dada sebanyak 15
kali dan 2 kali ventilasi, setiap kali membuka jalan napas untuk
menghembuskan napas, sambil mencari benda yang menyumbat di jalan
napas, jika terlihat usahakan dikeluarkan.
­ Untuk petugas kesehatan yang terlatih dilakukan manajemen obstruksi
jalan napas oleh benda asing.
­ Pastikan dada pasien mengembang pada saat diberikan bantuan
pernapasan.
­ Setelah memberikan napas 12 kali (1 menit), nilai kembali tanda-tanda
adanya sirkulasi dengan meraba arteri karotis, bila nadi ada cek napas,
jika tidak bernapas lanjutkan kembali bantuan napas

5. Sirkulasi (CIRCULATION)
Periksa tanda-tanda adanya sirkulasi setelah memberikan 2 kali bantuan
pernapasan dengan cara melihat ada tidaknya pernapasan spontan, batuk atau
pergerakan. Untuk petugas kesehatan terlatih hendaknya memeriksa denyut nadi
pada arteri Karotis.
 Jika ada tanda-tanda sirkulasi, dan ada denyut nadi tidak dilakukan kompresi
dada, hanya menilai pernapasan korban/pasien (ada atau tidak ada
pernapasan)
 Jika tidak ada tanda-tanda sirkulasi, denyut nadi tidak ada lakukan kompresi
dada :
­ Letakkan telapak tangan pada posisi yang benar
­ Lakukan kompresi dada sebanyak 15 kali dengan kecepatan 100 kali
permenit
­ Buka jalan napas dan berikan 2 kali bantuan pernapasan.
­ Letakkan kembali telapak tangan pada posisi yang tepat dan mulai
kembali kompresi 15 kali dengan kecepatan 100 kali permenit.
­ Lakukan 4 siklus secara lengkap (15 kompresi dan 2 kali bantuan
pernapasan)
6. Penilaian Ulang
Sesudah 4 siklus ventilasi dan kompresi kemudian korban dievaluasi kembali,
 Jika tidak ada nadi dilakukan kembali kompresi dan bantuan napas dengan
rasio 15 : 2.
 Jika ada napas dan denyut nadi teraba letakkan korban pada posisi mantap.
 Jika tidak ada napas tetapi nadi teraba, berikan bantuan napas sebanyak 10-12
kali permenit dan monitor nadi setiap saat.
 Jika sudah terdapat pernapasan spontan dan adekuat serta nadi teraba, jaga
agar jalan napas tetap terbuka kemudian korban/pasien ditidurkan pada posisi
sisi mantap.

Gambar 12.
Posisi Sisi Mantap (Recovery Position)

26
PENATALAKSANAAN OBSTRUKSI JALAN NAPAS OLEH BENDA ASING

Pengertian obstruksi jalan napas oleh benda asing :


Obstruksi jalan napas oleh benda asing pada orang dewasa sering terjadi pada saat
makan, daging merupakan penyebab utama obstruksi jalan napas meskipun demikian
berbagai macam bentuk makanan yang lain berpotensi menyumbat jalan napas pada
anak-anak dan orang dewasa

Benda asing tersebut dapat menyebabkan obstruksi jalan napas sebagian (parsial) atau
komplit (total). Pada obstruksi jalan napas partial korban mungkin masih mampu
melakukan pernapasan, namun kualitas pernapasan dapat baik atau buruk. Pada
korban dengan pernapasan yang masih baik, korban biasanya masih dapat melakukan
tindakan batuk dengan kuat, usahakan agar korban tetap bisa melakukan batuk dengan
kuat sampai benda asing tersebut dapat keluar. Bila sumbatan jalan napas partial
menetap, maka aktifkan sistem pelayanan medik darurat. Obstruksi jalan napas partial
dengan pernapasan yang buruk harus diperlakukan sebagai Obstruksi jalan napas
komplit.
Obstruksi jalan komplit (total), korban biasanya tidak dapat berbicara, bernapas, atau
batuk. Biasanya korban memegang lehernya diantara ibu jari dan jari lainya. Saturasi
oksigen akan dengan cepat menurun dan otak akan mengalami kekurangan oksigen
sehingga menyebabkan kehilangan kesadaran, dan kematian akan cepat terjadi jika
tidak diambil tindakan segera.

Penatalaksanaan obstruksi jalan napas oleh benda asing :


1. Manuver Heimlich
Untuk mengatasi obstruksi jalan napas oleh benda asing dapat dilakukan manuver
Heimlich (hentakan subdiafragma-abdomen). Suatu hentakan yang menyebabkan
peningkatan tekanan pada diafragma sehingga memaksa udara yang ada didalam
paru-paru untuk keluar dengan cepat sehingga diharapkan dapat mendorong atau
mengeluarkan benda asing yang menyumbat jalan napas. Setiap hentakan harus
diberikan dengan tujuan menghilangkan obstruksi, mungkin dibutuhkan
pengulangan hentakan 6-10 kali untuk membersihkan jalan napas.
Pertimbangan penting dalam melakukan manuver Heimlich adalah kemungkinan
kerusakan pada organ-organ besar.

Gambar 13
Manuver Heimlich

27
Manuver Heimlich pada korban sadar dengan posisi berdiri atau duduk
Penolong harus berdiri di belakang korban, melingkari pinggang korban dengan
kedua lengan, kemudian kepalkan satu tangan dan letakkan sisi jempol tangan
kepalan pada perut korban, sedikit diatas pusar dan dibawah ujung tulang
sternum. Pegang erat kepalan tangan dengan tangan lainnya. Tekan kepalan ke
perut dengan hentakan yang cepat kearah atas. Setiap hentakan harus terpisah dan
dengan gerakan yang jelas.

Manuver Heimlich pada korban yang tergeletak (tidak sadar) :


Korban harus diletakkan pada posisi terlentang dengan muka keatas. Penolong
berlutut disisi paha korban. Letakkan salah satu tangan pada perut korban di garis
tengah sedikit di atas pusat dan jauh dibawah ujung tulang sternum, tangan kedua
diletakkan diatas tangan pertama. Penolong menekan kearah perut dengan
hentakan yang cepat kearah atas. Manuver ini dapat dilakukan pada korban sadar
jika penolongnya terlampau pendek untuk memeluk pinggang korban.

Gambar 14
Manuver Heimlich pada orang tidak sadar

Manuver Heimlich pada yang dilakukan sendiri :


Pengobatan diri sendiri terhadap obstruksi jalan napas :
Kepalkan sebuah tangan, letakkan sisi ibu jari pada perut diatas pusat dan
dibawah tulang sternum, genggam kepalan itu dengan kuat dan berikan tekanan
ke atas kearah diafragma dengan gerakan cepat, jika tidak berhasil dapat
dilakukan tindakan dengan menekan perut pada tepi meja atau belakang kursi.

28
2. Penyapuan jari
Manuver ini hanya dilakukan atau digunakan pada korban tidak sadar, dengan
muka menghadap keatas buka mulut korban dengan memegang lidah dan rahang
diantara ibu jari dan jari-jarinya, kemudian mengangkat rahang bawah. Tindakan
ini akan menjauhkan lidah dari kerongkongan serta menjauhkan benda asing yang
mungkin menyangkut ditempat tersebut. Masukkan jari telunjuk tangan lain
menelusuri bagian dalam pipi, jauh kedalam kerongkongan dibagian dasar lidah,
kemudian lakukan gerakan mengait untuk melepaskan benda asing serta
menggerakkan benda asing tersebut ke dalam mulut sehingga memudahkan untuk
diambil. Hati-hati agar tidak mendorong benda asing lebih jauh kedalam jalan
napas.

Gambar 15
Sapuan Jari

29
DEFIBRILASI DAN KARDIOVERSI

Defibrilasi dan kardioversi dilakukan dengan menggunakan defibrilator


Defibrilator adalah alat yang dapat digunakan untuk :
 Pemantauan gambaran irama jantung.
 Defibrilasi
 Kardioversi
 Pacu jantung transkutan (TCP)

Pemantauan gambaran irama jantung


Untuk memantau gambaran irama jantung dapat menggunakan paddle atau
menggunakan elektroda. Syarat pemantauan, dinding dada harus terbuka/letak
elektroda tidak mengganggu tempat untuk meletak paddle jika terapi listrik
diperlukan dan gelombang-gelombang EKG harus jelas sehingga mudah dibedakan
antara gelombang P, QRS, dan T. Umumnya lead II memberikan gambaran irama
jantung yang lebih jelas.

Defibrilasi
Adalah suatu tindakan pengobatan menggunakan aliran listrik secara asinkron.
Tindakan ini dilakukan pada pasien dengan fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel
tanpa nadi. Energi yang diperlukan 200, 200-300, 360 Joule (150, 150, 150 Joule
defibrilator bifasik). Peralatan yang diperlukan untuk tindakan defibrilasi meliputi
defibrilator, jeli atau electrode pads dan troli emergensi.

Prosedur defibrilasi :
 Hidupkan defibrilasi
 Pilih energi yang diperlukan
 Pilih paddles (atau lead I, II, III) melalui tombol lead select
 Oleskan jeli pada paddle
 Letakan paddle pada apeks dan sternum sesuai petunjuk pada paddle
 Nilai kembali irama pada monitor apakah masih VF/VT tanpa nadi
 Tekan tombol pengisi energi (charge) pada paddle apeks atau pada unit
defibrilator.
 Setelah energi yang diharapkan tercapai, berikan aba-aba dengan suara yang jelas
agar tidak ada orang lain yang masih menyentuh pasien, tempat tidur maupun
peralatan lain.
 Beri tekanan kurang lebih 10-12 kg pada kedua paddle
 Nilai kembali irama pada monitor, apabila tetap VF/VT tanpa nadi tekan tombol
discharge pada kedua padlle
 Nilai kembali irama pada monitor apabila masih VF/VT tanpa nadi isi kembali
defibrilator. Apabila gambaran EKG pada monitor meragukan periksa nadi dan
sensor/elektroda EKG
 Apabila gambaran masihg tetap VF/VT tanpa nadi ulangi tahapan diatas dengan
energi 200 – 300 Joule dan kemudian 360 Joule jika gambaran EKG tidak berubah
 Apabila setelah tindakan defibrilasi terakhir (360 Joule) irama masih VF/VT tanpa
nadi lakukan tahapan ACLS berikutnya

30
Kardioversi
Adalah suatu tindakan pengobatan menggunakan aliran listrik secara sinkron.
Tindakan ini dilakukan pada pasien dengan Takikardi supraventrikel, takikardi
ventrikel nadi teraba. Energi yang diperlukan 100,200.300 dan 360 Joule. (beberapa
penelitian melakukan kardioversi berhasil dengan energi awal 50 Joule pada SVT dan
Flutter atrial). Peralatan yang diperlukan untuk tindakan kardioversi meliputi
defibrilator yang mempunyai modul sinkron, jeli, elektroda EKG, obat-obat
sedasi/analgesi serta troli emergensi.

Prosedur Kardioversi
Prosedur tindakan kardioversi sama dengan prosedur tindakan defibrilasi, hanya yang
membedakannya dalam hal :
 Siapkan alat-alat resusitasi
 Bila pasien masih sadar berikan sedasi dengan atau tanpa analgesi
 Pilih modul sinkron
 Pilih energi awal 50 joule untuk takikardi supraventrikel atau 100 joule untuk
takikardi ventrikel dan meningkat sesuai dengan respon pasien sampai maksimal
360 joule.
 Paddle tidak boleh segera diangkat setelah melepaskan muatan agar modul
sinkronisasi tidak terganggu

Pacu jantung transkutan (TCP)


Pacu jantung transkutan biasa disebut juga dengan External Pacing/Non Invasive
Pacing/Transchest Pacing/External Transthoracal Pacing.
Alat ini bersifat sementara sampai Pacu jantung transvenous tersedia atau penyebab
bradikardi teratasi. Indikasi pemasangan alat ini untuk pasien dengan badikardi yang
tidak respon dengan obat-obatan atau dapat dicoba pasien asistol. Peralatan yang
diperlukan untuk tindakan ini yaitu defibrilator yang mempunyai modul untuk pacu
jantung transkutan, adhesive pads, obat sedasi/analgesi.

Prosedur
 Elektroda atau adhesive pads ditempel pada dinding dada pada posisi standar atau
postero anterior.
 Tentukan modul pacu jantung yang akan dipakai : demand atau fixed rate
 Tentukan rate atau frekuensi yang dibutuhkan
 Tentukan output yang diperlukan (30-200 mV)
 Berikan analgesi/sedasi
 Tekan tombol start

Gambar Defibrilator

31
Defibrilasi dengan menggunakan AED ( Automatic External Defibrilator )
AED adalah defibrilator yang menggunakan sistem komputer yang dapat menganalisa
irama jantung, mengisis tingkat energi defibrilasi yang sesuai dan dapat memberikan
petunjuk pada penolong dengan menggunakan perintah perintah secara lisan untuk
mengarahkan tindakan. AED dapat memberikan petunjuk visual yang baik untuk
peletakan elektroda, elektroda itu sendiri diberi kode dengan warna warna dan gambar
ilustrasi cara pemasangannya. Petunjuk visual yang timbul berupa cahaya lampu
merah, kuning atau berkedip, lisan (suara yang dikeluarkan AED), dan instruksi
tertulis dari AED untuk menganalisa irama dan kemudian memberikan energi kepada
pasien. Jika defibrilasi tidak berhasil, lanjutkan survei ABCD sekunder (algoritme
VF/VT tanpa nadi) jika alat, obat-obatan dan tenaga tersedia.

Gambar pasien dengan AED

32
PENATALAKSANAAN JALAN NAPAS
Mengenali adanya sumbatan jalan napas.
Penyebab utama jalan napas pada pasien tidak sadar adalah hilangnya tonus otot
tenggorokan sehingga pangkal lidah jatuh menyumbat farink dan epiglotis menutup
larink. Bila pasien masih bernapas sumbatan partial menyebabkan bunyi napas saat
inspirasi bertambah (stridor), sianosis (tanda lanjut) dan retraksi otot napas tambahan.
Tanda ini akan hilang pada pasien yang tidak bernapas.

Tahap dasar membuka jalan napas tanpa alat


Tengadahkan kepala pasien disertai dengan mengangkat rahang bawah ke depan. Bila
ada dugaan cedera pada leher lakukan pengangkatan rahang bawah ke depan disertai
dengan membuka rahang bawah (jaw thrust), jangan lakukan ekstensi kepala. Apabila
pasien masih bernapas spontan, untuk menjaga jalan napas tetap terbuka posisikan
kepala pada kedudukan yang tepat. Pada keadaan yang meragukan untuk
mempertahankan jalan napas pasanglah oral/nasal airway.

Gambar 1
Sumbatan oleh lidah dan epiglotis dan
Tengadah kepala topang dagu

Gambar 2
Jaw Thrust

33
Tahap dasar membuka jalan napas dengan alat
Apabila manipulasi posisi kepala tidak dapat membebaskan jalan napas akibat
sumbatan oleh pangkal lidah atau epiglotis maka lakukan pemasangan alat bantu jalan
napas oral/nasal. Sumbatan oleh benda asing diatasi dengan perasat Heimlich atau
laringoskopi disertai dengan pengisapan atau menjepit dan menarik keluar benda
asing yang terlihat.

Alat bantu jalan napas orofaring (oropharyngeal airway)


Alat bantu jalan napas orofaring menahan pangkal lidah dari dinding belakang faring.
Alat ini berguna pada pasien yang masih bernapas spontan atau saat dilakukan
ventilasi dengan sungkup dan bagging dimana tanpa disadari penolong menekan dagu
ke bawah sehingga jalan napas tersumbat. Alat ini juga membantu saat dilakukan
pengisapan lendir dan mencegah pasien mengigit pipa endotrakheal (ETT).

Cara pemasangan
 Bersihkan mulut dan faring dari segala kotoran
 Masukan alat dengan ujung mengarah ke chefalad
 Saat didorong masuk mendekati dinding belakang faring alat diputar 180 0
 Ukuran alat dan penempatan yang tepat menghasilkan bunyi napas yang nyaring
pada auskultasi paru saat dilakukan ventilasi
 Pertahankan posisi kepala yang tepat setelah alat terpasang

Bahaya
 Cara pemasangan yang tidak tepat dapat mendorong lidah ke belakang atau
apabila ukuran terlampau panjang epiglotis akan tertekan menutup rimaglotis
sehingga jalan napas tersumbat
 Hindarkan terjepitnya lidah dan bibir antara gigi dan alat
 Jangan gunakan alat ini pada pasien dimana refleks faring masih ada karena dapat
menyebabkan muntah dan spasme laring

Alat bantu napas nasofaring ( nasopharyngeal airway )


Alat ini berbentuk pipa polos terbuat dari karet atau plastik. Biasanya digunakan pada
pasien yang menolak menggunakan alat bantu jalan napas orofaring atau apabila
secara tehnis tidak mungkin memasang alat bantu jalan napas orofaring (misalnya
trismus, rahang mengatup kuat dan cedera berat daerah mulut).

Cara pemasangan
 Pilih alat dengan ukurang yang tepat, lumasi dan masukkan menyusuri bagian
tengah dan dasar rongga hidung hingga mencapai daerah belakang lidah.
 Apabila ada tahanan dengan dorongan ringan alat diputar sedikit.

Bahaya
 Alat yang terlalu panjang dapat masuk oesophagus dengan segala akibatnya.
 Alat ini dapat merangsang muntah dan spasme laring
 Dapat menyebabkan perdarahan akibat kerusakan mukosa akibat pemasangan,
oleh sebab itu alat penghisap harus selalu siap saat pemasangan.

Ingat !!
 Selalu periksa apakah napas spontan timbul setelah pemasangan alat ini.
 Apabila tidak ada napas spontan lakukan napas buatan dengan alat bantu napas
yang memadai.

34
 Bila tidak ada alat bantu napas yang memadai lakukkan pernapasan dari mulut ke
mulut

Gambar 3
Alat bantu napas orofaring, nasofaringeal dan penempatannya

Pernapasan buatan
Pernapasan mulut ke mulut dan mulut ke hidung
Cara ini merupakan tehnik dasar bantuan napas. Upayakan memakai pelindung
(barrier) antara mulut penolong dengan pasien berupa lembar plastik/silikon
berlubang ditengah atau memakai sungkup, sungkup khusus ini dikenal dengan nama
Pocket facemask. Keterbatasan cara ini adalah konsentrasi oksigen ekspirasi penolong
rendah (16-17%).

Pernapasan mulut ke sungkup muka (pocket facemask)


Memegang sungkup dengan tepat memerlukan latihan dan konsentrasi, akan tetapi
alat ini merupakan alat bantu efektif untuk napas buatan. Sungkup muka ini memiliki
beberapa ukuran, bening untuk memudahkan melihat adanya regurgitasi dan memiliki
lubang masuk untuk oksigen tambahan. Keuntungan dari penggunaan sungkup muka
ini adalah mencegah kontak langsung dengan pasien dan dapat memberikan oksigen
tambahan

Cara melakukan
Bila memungkinkan lakukan dengan dua penolong, posisi dan urutan tindakan sama
seperti tanpa menggunakan sungkup, kecuali pada tehnik ini digunakan sungkup
sebagai pelindung, jadi diperlukan keterampilan memegang sungkup. Dengan dua
penolong seorang melakukan kompresi dada dan yang lain melakukan napas buatan.
Bila tersedia berikan oksigen tambahan dengan aliran 10 liter/menit (FiO2 =50%) dan
15 liter/menit (FiO2=80%). Bila tidak ada penolakan pasang alat bantu jalan napas
orofaring. Tengadahkan kepala dan pasang sungkup pada mulut dan hidung pasien
dengan cara ibu jari dan telunjuk kedua tangan menekan sungkup sedangkan tiga jari
kedua tangan menarik mandibula sambil tetap mempertahankan kepala dalam posisi
tengadah, sehingga tidak terjadi kebocoran. Berikan tiupan melalui lubang sungkup
sambil memperhatikan gerakan dada, tiup dengan lambat dan mantap dengan lama
inspirasi 1-2 detik. Pada pasien dengan henti jantung dengan jalan napas belum
terlindungi lakukan 2 ventilasi setiap 15 kompresi dada. Apabila jalan napas

35
terlindungi (misalnya sudah terpasang ETT, Laringeal Mask Airway atau Combitube)
lakukan kompresi 100 kali/menit dengan ventilasi dilakukan tanpa menghentikan
kompresi (asinkron) tiap 5 detik (kecepatan 12 kali/menit). Apabila ada penolong
ketiga lakukan tekanan pada krikoid untuk mencegah distensi lambung dan
regurgitasi.

Bantuan napas dengan menggunakan bagging, sungkup dan alat bantu jalan napas
lainnya.
Bagging telah lama digunakan sebagai alat bantu napas utama dikombinasikan dengan
alat bantu jalan napas lainnya misalnya sungkup muka, ETT, LMA, dan Combitube.
Penggunaan bagging memungkinkan pemberian oksigen tambahan. Beberapa hal
yang harus diperhatikan saat menggunakan bagging :
 Volume tidal berkisar antara 10-15 ml/kg BB
 Bagging dewasa umum mempunyai volume 1600 ml.
 Bila memungkinkan bagging dilakukan oleh dua penolong untuk mencegah
kebocoran, seorang penolong mempertahankan sungkup dan kepala pasien, dan
yang lainnya melakukan pemijatan bagging.
 Masalah kebocoran dan kesulitan mencapai volume tidal yang cukup tidak akan
terjadi jika dipasang ETT, LMA, atau Combitube.

Gambar 4
Sungkup Muka (pocket facemask)

Gambar 5
Tehnik Bagging dan Penekanan Krikoid (Sellick maneuver)

Tahap lanjut membuka jalan napas

Pemasangan pipa endotrakeal ( ETT )


Pemasangan pipa endotrakeal menjamin terpeliharanya jalan napas dan sebaiknya
dilakukan sesegera mungkin oleh penolong yang terlatih.

36
Keuntungan :
 Terpeliharanya jalan napas
 Dapat memberikan oksigen dengan konsentrasi tinggi
 Menjamin tercapainya volume tidal yang diinginkan
 Mencegah terjadinya aspirasi
 Mempermudah penghisapan lendir di trakea
 Merupakan jalur masuk beberapa obat obat resusitasi
Karena kesalahan letak pipa endotrakeal dapat menyebabkan kematian maka
tindakana ini sebaiknya dilakukan oleh penolong yang terlatih

Indikasi pemasangan :
 Henti jantung
 Pasien sadar yang tidak mampu bernapas dengan baik (edema paru, Guillan-Bare
syndrom, sumbatan jalan napas)
 Perlindungan jalan napas tidak memadai (koma, arefleksi)
 Penolong tidak mampu memberi bantuan napas dengan cara konvensional

Persiapan alat untuk pemasangan pipa endotrakeal (ETT)


 Laringoskop, lengkap dengan handle dan bladenya
 Pipa endotrakeal (ETT) dengan ukuran :
o Perempuan : No 7,0 : 7,5 : 8,0
o Laki laki : No 8,0 : 8,5
o Keadaan emergensi : No 7,5
 Stilet (mandrin)
 Forsep margil
 Jeli
 Spuit 20 atau 10 cc
 Stetoskop
 Bantal
 Plester dan gunting
 Alat penghisap lendir (Suction aparatus)

Tekhnik pemasangan
 Cek alat alat yang diperlukan dan pilih ETT sesuai ukuran
 Lakukan hiperventilasi minimal 30 detik sambil dilakukan sellick manuever
 Beri pelumas pada ujung ETTsampai daerah cuff
 Letakkan bantal setinggi  10 cm di oksiput dan pertahankan kepala tetap
ekstensi
 Bila perlu lakukan penghisapan lendir pada mulut dan faring
 Buka mulut dengan cara cross finger dan tangan kiri memegang laringoskop
 Masukan bilah laringoskop menelusuri mulut sebelah kanan, sisihkan lidah ke
kiri. Masukan bilah sampai sampai mencapai dasar lidah, perhatikan agar lidah
atau bibir tidak terjepit diantara bilah dan gigi pasien
 Angkat laringoskop ke atas dan ke depan dengan kemiringan 30 – 400, jangan
sampai menggunakan gigi sebagai titik tumpu
 Bila pita suara sudah terlihat, masukan ETT sambil memperhatikan bagian
proksimal dari cuff ETT melewati pita suara  1 – 2 cm atau pada orang dewasa
kedalaman ETT  19 – 23 cm
 Waktu untuk intubasi tidak boleh lebih dari 30 detik

37
 Lakukan ventilasi dengan menggunakan bagging dan lakukan auskultasi pertama
pada lambung kemudian pada paru kanan dan kiri sambil memperhatikan
pengembangan dada
 Bila terdengar suara gargling pada lambung dan dada tidak mengembang,
lepaskan ETT dan lakukan hiperventilasi ulang selama 30 detik kemudian
lakukan intubasi kembali
 Kembangkan balon cuff dengan menggunakan spuit 20 atau 10 cc dengan volume
secukupnya sampai tidak terdengar lagi suara kebocoran di mulut pasien saat
dilakukan ventilasi
 Lakukan fiksasi ETT dengan plester agar tidak terdorong atau tercabut
 Pasang orofaring untuk mencegah pasien menggigit ETT jika mulai sadar
 Lakukan ventilasi terus dengan oksigen 100 % (aliran 10 – 12 liter/menit)

Gambar 6
Pipa endotrakheal dan letaknya dalam trakhea

Gambar 7
Letak Laringoskop selama intubasi dan jenis blade

38
Penekanan krikoid (Sellick Manuever)

Perasat ini dikerjakan saat intubasi untuk mencegah distensi lambung, regurgitasi isi
lambung dan membantu dalam proses intubasi. Perasat ini dipertahankan sampai
balon ETT sudah dikembangkan.

Cara melakukan Sellick manuever :


 Cara puncak tulang tiroid (Adam’s Apple)
 Geser jari sedikit kekaudal sepanjang garis median sampai menemukan lekukkan
kecil (membran krikotiroid)
 Geser lagi jari sedikit kebawah sepanjang garis median hingga ditemukan tonjolan
kecil tulang (kartilago krikoid)
 Tekan tonjolan ini diantara ibu jari dan telunjuk ke arah dorsokranial. Gerakan ini
akan menyebabkan oesophagus terjepit diantara bagian belakang kartilago krikoid
dengan tulang belakang dan lubang trakhea/rimaglotis akan terdorong kearah
dorsal sehingga lebih mudah terlihat.

Memastikan letak ETT dengan menggunakan alat


Berbagai alat mekanik atau elektronis dapat digunakan untuk tujuan ini misalnya
detektor end tidal CO2 (kwantitatif dan kwalitatif).

Melakukan bantuan napas dengan ETT selama RJP.


Volume tidal napas berkisar antara 10-15 ml/kg BB, secara klinis keadaan dapat
diketahui dengan pengamatan dada. Dengan volume 10 ml/kg BB dada akan tampak
mulai mengembang dan dengan 15 ml/kg BB dada akan mengembang lebih besar lagi
(naik antara 4-6 cm). Bila tidak diberikan oksigen tambahan dan pada pasien gemuk
berikan volume yang lebih besar sedangkan bila diberikan oksigen tambahan atau
pada pasien kurus berikan volume yang lebih kecil. Kecepatan pemberian napas
berkisar antara 10-12 kali/menit atau satu kali setiap 5-6 detik dengan lama inspirasi
sekitar 2 detik. Pada keadaan ini tidak ada lagi perbandingan antara kompresi dan
ventilasi. Kecepatan kompresi berkisar 100 kali/menit, sedangkan ventilasi diberikan
setiap 5 detik (tidak perlu seirama dengan kompresi).

Komplikasi pemasangan ETT


 ETT masuk kedalam oesophagus, yang dapat menyebabkan hipoksia.
 Luka pada bibir dan lidah akibat terjepit antara laringoskop dengan gigi.
 Gigi patah.
 Laserasi pada faring dan trakhea akibat stilet (mandrin) dan ujung ETT.
 Kerusakan pita suara.
 Perforasi pada faring dan oesophagus.
 Muntah dan aspirasi.
 Pelepasan adrenalin dan noradrenalin akibat rangsangan intubasi sehingga terjadi
hipertensi, takikardi dan aritmia.
 ETT masuk ke salah satu bronkus. Umumnya masuk ke bronkus kanan, untuk
mengatasinya tarik ETT 1-2 cm sambil dilakukan inspeksi gerakan dada dan
auskultasi bilateral.

39
Penanganan jalan napas pada pasien trauma
Gerakan kepala dan leher yang berlebihan pada pasien cedera leher dapat
menyebabkan cedera yang lebih hebat. Pasien trauma muka, multiple dan kepala
harus dianggap disertai dengan cedera leher.

Langkah penanganan pada pasien atau tersangka cedera leher.


 Jangan tengadahkan kepala, hanya angkat rahang dan buka mulut pasien
 Pertahankan kepala pada posisi netral selama manipulasi jalan napas.
 Pasien fraktus basis dan tulang muka lakukan pemasangan ETT dalam keadaan
tulang belakang distabilisasi.
 Bila tidak dapat dilakukan intubasi lakukan krikotiroidtomi atau trakheostomi.
 Bila diputuskan untuk dilakukan intubasi melalui hidung (blind nasal intubation)
maka harus dilakukan oleh penolong yang berpengalaman.
 Bila pasien melawan dapat diberikan obat pelemas otot dan penenang (hal ini
diluar cakupan ACLS).

Tehnik tambahan untuk penanganan jalan napas invasif dan ventelasi


Ada dua alat bantu jalan napas yang termasuk kelas IIb yaitu :
 Laryngeal Mask airway (LMA)
 Esophageal Tracheal Combitube

Laryngeal Mask airway (LMA)


LMA berupa sebuah pipa dengan ujung distal yang menyerupai sungkup dengan tepi
yang mempunyai balon sekelilingnya. Pada terpasang bagian sungkup ini harus
berada didaerah hipofaring sehingga saat balon dikembangkan maka bagian terbuka
dari sungkup akan menghadap kearah lubang trakhea membentuk bagian dari jalan
napas.

Beberapa kelebihan LMA sebagai alat bantu jalan napas adalah :


 Dapat dipasang tanpa laringoskopi.
 atau leher sehingga menguntungkan pada pasien dengan cedera leher atau pada
pasien yang sulit dilakukan visualisasi lubang trakhea.
 Karena LMA tidak perlu masuk kedalam trakhea maka resiko kesalahan intubasi
dengan segala akibatnya tidak ditemukan pada LMA.

Kekurangan LMA adalah tidak dapat melindungi kemungkinan aspirasi sebaik ETT.

Gambar 8
Laringeal Mask Airway

40
Combitube
Alat ini merupakan gabungan ETT dengan obturator oesophageal. Pada alat ini
terdapat 2 daerah berlubang, satu lubang di distal dan beberapa lubang ditengah,
lubang lubang ini dihubungkan melalui 2 saluran yang terpisah dengan 2 lubang di
proksimal yang merupakan interface untuk alat bantu napas. Selain itu terdapat 2
buah balon, satu proksimal dari lubang distal dan satu proksimal dari deretan lubang
di tengah. Ventilasi melalui trakhea dapat dilakukan melalui lubang distal (ETT) dan
tengah (obtutator). Alat ini dimasukan tanpa laringoskopi, dari penelitian dengan cara
memasukan seperti ini 80 % kemungkinana masuk ke eosophagus. Setelah alat ini
masuk kedua balon dikembangkan dan dilakukan pemompaan, mula mula pada
obturator seraya dilakukan inspeksi dan auskultasi apabila ternyata dari pengamatan
ini tidak tampak adanya ventilasi paru pemompaan dipindahkan pada ETT dan
lakukan kembali pemeriksaan klinis. Kinerja ventilasi, oksigenasi dan perlindungan
terhadap aspirasi alat ini sepadan dengan ETT dengan keunggulan lebih mudah
dipasang dibanding ETT.

Gambar 9
Combitube
Krikotiroidektomi
Tindakanan ini dilakukan untuk membuka jalan napas sementara dengan cepat,
apabila cara lain sulit dilakukan. Pada tehnik ini membran krikotiroid disayat kecil
vertikal, dilebarkan dan dimasukan ETT.

Trakheostomi
Tekhnik ini bukan pilihan pada keadaan darurat (life saving). Tindakan ini sebaiknya
dilakukan di kamar bedah oleh seorang yang ahli. Ada dua jenis yang biasa dipakai :
 Penghisap faring yang kaku, pada alat ini diperlukan tekanan negatif yang rendah
sekali.
 Penghisap trakheobronkhial yang lentur, alat ini mempunyai syarat :
o Ujung harus tumpul dan sebaiknya memiliki lubang di ujung dan di
samping
o Lebih panjang dari ETT
o Licin
o Steril dan sekali pakai

41
Cara melakukan penghisapan lendir:
 Lakukan hiperventilasi dengan FiO2 100 % selama 15 – 30 detik
 Gunakan kateter trakheobronkhial dengan diameter tidak lebih dari ⅓ diameter
dalam ETT
 Lama penghisapan tidak lebih dari 10 detik
 Bila setelah penghisapan selama 10 detik ternyata masih belum bersih maka dapat
dilakukan pengisapan kembali, diantara pengisapan harus diselingi dengan
ventilasi seperti diatas.
 Setelah selesai pengisapan lakukan hiperventilasi dengan FiO2 100 % selama 15 –
30 detik

42
RJP
PUTUSKAN INTUBASI
(A SEKUNDER)

RJP dan
PERSIAPAN ALAT

CEK : ALAT  SIAP

RJP dan
HIPERVENTILASI SELLICK MANUVER
( 02 100% dgn RR tinggi)

30 detik

RJP berhenti
POSISI KEPALA
(GANJAL KEPALA + EKSTENSI)
LARINGOSKOP
INTUBASI

30 detik
GAGAL
BERHASIL BAGGING 1 KALI
AUSKULTASI PADA EPIGASTRIUM

• GURGLING (+) GURGLING (-)


• EKSTUBASI
AUSKULTASI pada DADA KANAN dan
KIRI, DADA ATAS dan BAWAH

Bila terlalu dalam, ETT ditarik


dan diauskultasi utk memastikan
CATATAN :
• Kompresi dada 100
X/mnt RJP lanjutkan BALON SELLICK
• Ventilasi 1 kali/5 detik DIKEMBANGKAN, MANUVER
• Ventilasi asinkron FIKSASI, PASANG MAYO DILEPASKAN

43
TERAPI OKSIGEN

Terapi oksigen adalah memberikan aliran gas lebih dari 20 % pada tekanan 1 atmosfir
sehingga konsentrasi oksigen meningkat dalam darah

Tujuan :
 Mempertahan oksigen jaringan yang adekuat
 Menurunkan kerja napas
 Menurunkan kerja jantung

Indikasi :
 Penurunan PaO2
 Keadaan lain seperti; gagal napas akut, syok, keracunan CO

Pemberian oksigen selalu tepat untuk pasien dengan gangguan sirkulasi atau napas
akut dengan ketentuan sebagai berikut:
 Tanpa gangguan napas oksigen diberikan 2 liter/menit melalui kanul binasal.
 Dengan gangguan napas sedang oksigen diberikan 5-6 liter/menit melalui kanul
binasal.
 Dengan gangguan napas berat, gagal jantung, henti jantung, gunakan sistem yang
dapat memberikan oksigen 100 %.
 Pada pasien dimana rangsang napas tergantung pada keadaan hipoksia (mis.
Asma) berikan oksigen kurang dari 50% dan awasi ketat.
 Atur kadar oksigen berdasarkan kadar gas darah (PaO2) atau saturasi (SaO2)
 Dalam keadaan darurat gunakan alat bantu napas yang lebih canggih (mis.
bagging), lakukan intubasi dan berikan oksigen 100%.

Persiapan alat :
1. Sumber oksigen (tabung atau sumber oksigen sentral)
2. Tabung pelembab (humidifier).
3. Pengukur aliran oksigen (flow meter)
4. Alat pemberian oksigen (tergantung metoda yang dipakai)

Metoda pemberian oksigen :


 Sistem aliran rendah
o Aliran rendah konsentrasi rendah (Low flow low concentration)
 Kateter nasal
 Kanul binasal
o Aliran rendah konsentrasi tinggi (Low flow high concentration)
 Sungkup muka sederhana
 Sungkup muka dengan kantong Rebreathing
 Sungkup muka dengan kantong Non Rebrething
 Sistem aliran tinggi
o Aliran tinggi konsentrasi rendah (High flow low concentration)
 Sungkup venturi
o Aliran tinggi konsentrasi tinggi (High flow high concentration)
 Head box
 Sungkup CPAP (continous positive airway pressure)

44
Kanul binasal

Paling sering digunakan untuk pemberian oksigen, memberikan FiO2 24-44% dengan
aliran 1-6 liter/menit. Merupakan alat dengan aliran rendah dan konsentrasi rendah (
low flow low concentration ), kadar yang dihasilkan tergantung pada besarnya aliran
dan volume tidal napas pasien. Kadar oksigen bertambah 4 % untuk setiap tambahan
1 liter/menit oksigen, misalnya aliran 1 liter/menit = 24 %, 2 liter/menit = 28 % dan
seterusnya dengan maksimal 6 liter/menit.

Keuntungan :
 Pemberian oksigen stabil dengan volume tidal dan laju napas teratur
 Baik diberikan dalam jangka waktu lama
 Pasien dapat bergerak bebas, makan, minum dan bicara
 Efisien dan nyaman untuk pasien

Kerugian :
 Dapat menyebabkan iritasi pada hidung, bagian belakang telinga tempat tali
binasal
 FiO2 akan berkurang apabila pasien bernapas dengan mulut

Sungkup muka sederhana

Aliran yang diberikan 6-10 liter/menit dengan konsentrasi oksigen mencapai 60%.
Merupakan sistem aliran rendah dengan hidung, nasofaring dan orofaring sebagai
penyimpan anatomik.

Sungkup muka dengan kantong rebreathing

Aliran yang diberikan 6-10 liter/menit dengan konsentrasi oksigen mencapai 80%.
Udara inspirasi sebagian bercampur dengan udara ekspirasi sepertiga bagian volume
ekshalasi masuk ke kantong, dua pertiga bagian bagian volume ekshalasi melewati
lubang-lubang pada bagian samping.

Sungkup muka dengan kantong nonrebreathing

Aliran yang diberikan 8-12 liter/menit dengan konsentrasi oksigen mencapai 100%.
Udara inspirasi tidak bercampur dengan udara ekspirasi dan tidak dipengaruhi oleh
udara luar.

Kerugian pada penggunaan sungkup


 Mengikat (sungkup harus terus melekat pada pipi/wajah pasien untuk mencegah
kebocoran.
 Lembab
 Pasien tidak dapat makan, minum atau berbicara.
 Dapat terjadi aspirasi jika pasien muntah, terutama pada pasien tidak sadar atau
anak

45
Sungkup Venturi

Memberikan aliran yang bervariasi dengan konsentrasi oksigen berkisar 24-50%.


Dipakai dengan pasien dengan tipe ventilasi yang tidak teratur. Alat ini digunakan
pada pasien dengan hiperkarbi yang disertai dengan hipoksemi sedang sampai berat.

Kanul binasal

Tabung Pelembab

Tabung Oksigen

Sungkup rebreathing

Sungkup nonrebreathing

Sungkup Venturi

46
ALGORITME UMUM
 Korban tidak sadar
 Kemungkinan henti
jantung
 Kaji respon
pasien/korban

Tidak respon

Mulai melakukan survey ABCD Primer


 Aktifkan Sistem Emergensi
 Cari Defibrilator (jika memungkinkan)
 A ~ Cek napas (buka jalan napas, lihat, dengar dan
rasakan)
Tidak bernapas
B~ Beri napas 2 kali
C~ Cek nadi, jika tidak teraba 
C~ Mulai kompresi dada
D~ Pasang monitor/Defibrilator jika ada

 Lanjutkan RJP
 Kaji Irama

VF/VT tanpa nadi Irama lain


Defibrilasi 3 kali jika VF/VT (-) menetap Asistol/PEA

Survey ABCD Sekunder


 Airway : Pasang alat bantu napas (OA, NA/ETT)
 Breathing : Pastikan dan yakinkan alat bantu jalan
napas adekuat, ventilasi dan oksigenasi
 Circulation : Pasang infus beri obat-obat adrenergik,
RJP 1 pertimbangkan anti artimia, buffer, pacu jantung
Irama Lain (Asistol/PEA) RJP 3
menit
*Adrenalin 1 mg IV ulang setiap 3-5 menit menit
VF/VT tanpa nadi
*Vassopressin 40 UI IV dosis tunggal, hanya 1 kali, atau
*Adrenalin 1 mg IV diulang tiap 3-5 menit (jika tidak respon,
setelah dosis tunggal Vassopressin, dapat diberikan
adrenalin 1 mg IV dan dapat diulang 3-5 menit)
 Differential Diagnosis : cari dan obati penyebab
terjadinya henti jantung

47
Penatalaksanaan Algoritme Umum
Algoritme ini merupakan dasar dari semua tindakan penanganan pada algoritme lain
seperti pada penanganan fibrilasi ventrikel, PEA, Asistol dan lain lain
ABCD survey primer dan sekunder sangat berhubungan erat dengan algoritme ini.
Langkah langkah dalam ABCD primer maupun sekunder bagi sebagian orang
mungkin mudah untuk dimengerti tetapi sebagian lagi mungkin sulit untuk
dimengerti. Pada pronsipnya langkah langkah ini harus dikuasai oleh setiap penolong.

Tata laksana pada algoritme universal adalah sebagai berikut :

 ABCD Primer

Langkah yang pertama kali harus dilakukan pada semua keadaan gawat darurat
adalah memeriksa kesadaran pasien kemudian jika pasien tidak sadar segera
mengaktifkan sistem emergensi atau meminta bantuan. Akan tetapi jika pasien
sadar, pemeriksaaan terhadap tanda tanda vital harus segera dilakukan dan pasien
ditangani sesuai dengan masalahg yang dihadapinya.

Langkah selanjutnya jika kondisi pasien tidak sadar adlah membuka jalan napas
kemudian memeriksa pernapasan dan jika tidak bernapas segera berikan bantuan
napas sebanyak 2 kali. Jika pasien bernapas pertahankan jalan napas dan atur
posisi pasien jika tidak ada trauma

Langkah berikutnya adalah menentukan apakah pasien mengalami henti jantung,


dengan cara memeriksa nadi karotis, jika nadi tidak teraba segera lakukan
kompresi jantung luar atau lakukan tindakan bantuan hidup dasar (BHD)

Kemungkinan lain yang dapat terjadi adalah pasien hanya mengalami henti napas
(jantung masih berdenyut), maka tindakan yang harus dilakukan adalah
memberikan napas buatan 12 – 15 kali/menit.

Pada pasien yang telah dilakukan resusitasi jika diketahui terdapat fibrilasi
ventrikel atau takikardi ventrikel tanpa nadi maka segera lakukan defibrilasi.
Untuk penjelasan penanganan VF/VT tanpa nadi lihat algoritme VF/VT tanpa
nadi

 ABCD Sekunder

Jika tidak terdapat VF/VT tanpa nadi maka tindakan berikutnya yaitu melakukan
pemasangan pipa endotrakheal (Airway), memastikan letak ETT (Airway),
memeriksa pengembangan dada dan ventilasi yang adekuat (Breathing),
memastikan irama EKG (Circulation), dan mencari faktor penyebab (Differential
Diagnosis). Memastikan gambaran EKG menjadi prioritas daripada menentukan
penyebab, hal ini mudah di mengerti karena dalam keadaan darurat sangat sulit
bagi penolong untuk mengetahui penyebabnya, akan tetapi mencari faktor
penyebab harus tetap dipikirkan, sementara tindakan yang lebih prioritas
dikerjakan. Penolong harus tetap menangani pasien secara menyeluruh tidak
hanya memperhatikan gambaran EKG pada monitor.

48
Gambaran lurus pada monitor mempunyai beberapa kemungkinan seperti
elektroda lepas, kabel EKG tidak terhubung dengan monitor, aliran listrik
terputus, signal terlalu rendah, VF yang halus sekali atau benar-benar asistol.
Langkah yang harus dikerjakan pada keadaan ini adalah memperbaiki elektroda,
memastikan gambaran di sandapan lain, atau pemantauan dilakukan dengan
menggunakan paddle defibrilator maka atur aksis paddle pada posisi 90 derajat.
Jika gambaran benar asistol penanganannya sesuai dengan algoritme asistol.

Apabila pada monitor terlihat gambaran aktifitas listrik jantung maka segera
lakukan pemeriksaan nadi karotis jika tidak teraba keadaan ini termasuk kedalam
PEA (Pulseless Electrical Activity). Untuk penangannya lihat algoritme PEA.

Prinsip penanganan henti jantung berdasarkan algoritme :


 Pertama, obati pasien bukan monitor.
 Algoritme henti jantung selalu mengutamakan BHD (bantuan hidup dasar)
 Lakukan tindakan tang bervariasi sesuai dengan kondisi pasien
 Pengertian mengenai klasifikasi obat-obatan harus dikuasai
 Membebaskan jalan napas, memberikan ventilasi dan oksigenasi yang
adekuat, kompresi jantung luar dan defibrilasi lebih penting daripada
pemberian obat-obatan
 Beberapa obat-obatan seperti adrenalin, sulfas atropin, lidokain dapat
diberikan melalui ETT dengan dosis 2-2,5 kali dosis intra vena.
 Pemberian obat-obatan melalui intra vena harus diberikan secara bolus pada
keadaan henti jantung, jika tidak ada kontra indikasi
 Bolus cairan 20-30 cc harus diberikan setelah pemberian obat-obatan,
kemudian dilanjutkan dengan mengangkat ekstremitas tempat terpasangnya
infus. Tujuan dari tindakan ini adalah untuk mempercepat obat-obatan tersebut
mencapai pusat sirkulasi.
 Terakhir, obati pasien bukan monitor.

49
ALGORITME VF/VT TANPA NADI
SURVEY ABCD PRIMER
Fokus : RJP dan defibrilasi
* Cek kesadaran
* Aktifkan sistem
* Panggil untuk defibrilator

A~ AIRWAY : Buka jalan napas


B~ BREATHING : Berikan ventilasi tekanan positif
C~ CIRCULATION : Lakukan kompresi dada
D~ DEFIBRILATION : Kaji dan lakukan defibrilasi untuk VF/VT tanpa nadi
3 kali jika perlu (200, 200-300. 360 joule)

VF/VT menetap/berulang

Irama Jantung setelah 3 kali shock

SURVEY ABCD SEKUNDER


Fokus : Pengkajian dan pengobatan lebih lanjut
A~AIRWAY : Pasang alat untuk membebaskan jalan napas segera
B~BREATHING : Yakinkan alat terpasang dengan baik
B~BREATHING : Fiksasi alat tersebut
B~BREATHING : Menilai ventilasi  adekuat
C~CIRCULATION : Pasang infus
C~CIRCULATION : Kaji irama  monitor
C~CIRCULATION : Beri obat sesuai dengan irama yang ada
D~DIFFERENTIAL DIAGNOSIS : Cari penyebab dan obati sesuai penyebab

Epineprin 1 mg IV, ulang tiap 3-5 menit, atau


Vassopressin 40 UI, dosis tunggal, satu kali

Lakukan defibrilasi 1 kali 360 joule dalam waktu 30-60 detik setelah obat

Pertimbangkan Antiaritmia
Amiodaron (IIb), Lidokain (Indeterminate)
Magnesium Sulfat (IIb), jika ada riwayat Hipomagnesemia
Prokainamide (IIb untuk VF/VT tanpa nadi menetap)
Pertimbangkan pemberian Bikarbonat Natrikus

Lakukan defibrilasi 1 kali 360 joule dalam waktu 30-60 detik setelah obat

50
Penatalaksanaan VF/VT tanpa nadi
Menyakinkan bahwa gambar yang terdapat pada monitor sesuai dengan kondisi
pasien dengan cara memeriksa jalan napas, pernapasan dan sirkulasi (A,B,C). Jika
ternyata sesuai dengan kondisi klinis pasien maka segera lakukan defibrilasi jika
defibrilator tersedia, tetapi apabila defibrilator tidak tersedia segera lakukan RJP
sampai defibrilator tersebut siap digunakan.

Defibrilasi dilakukan tiga kali secara berurutan pada VF yang menetap. Adapun
tujuan defibrilasi adalah mebuat jantung menjadi asistol sesaat tetapi memberikan
kesempatan kepada jantung untuk berdepolarisasi dan mengaktifkan pacu jantung
alami yang berada di dalam jantung.

Penelitian telah membuktikan bahwa tindakan defibrilasi dini memberikan hasil yang
lebih baik daripada menunda defibrilasi untuk pemberian obat-obatan. Penolong tidak
perlu melakukan RJP pada saat mengisi ulang energi dan memeriksa ulang irama
jantung kecuali jika terjadi kerusakan pada defibrilator. Pada saat melakukan
defibrilasi tiga kali berturut turut, memeriksa nadi tidak perlu dilakukan jika
gambaran irama jantung masih VF/VT tanpa nadi. Jika tindakan defibrilasi pertama
tidak berhasil maka segera lakukan pengisisan energi selanjutnya dan defibrilasi
kedua harus segera dilakukan. Perhatikan irama pada monitor untuk mengetahui
VF/VT tanpa nadi yang menentap. Jika pada monitor tidak tampak irama VF/VT
maka defibrilasi tidak dilanjutkan dan segera lakukan pengecekan nadi.

Setelah defibrilasi dilakukan tiga kali dan ternyata gambaran irama jantung masih
tetap menunjukan VF/VT tanpa nadi maka tindakan selanjutnya yang harus dilakukan
adalah melanjutkan RJP, intubasi dan pemasangan jalur intra vena. Pada algoritme
diperlihatkan tindakan dilakukan secara berurutan akan tetapi pada prakteknya
penolong harus tetap memutuskan tindakan mana yang harus diprioritaskan
berdasarkan prioritas masalah.

Obat obat yang diberikan pada VF/VT tnpa nadi adlah sebagai berikut :

Adrenalin/Efineprin
Adrenalin 1 mg secara bolus melalui intra vena dan pemberian dapat diulang tiap 3 –
5 menit dengandosis 1 mg. Efek adrenalin pada henti jantung adalah merangsang
reseptor adrenergik yang menghasilkan vasokonstriksi pembuluh darah perifer dan
menyebabkan perbedaan tekanan antara perifer dengan sentral sehingga hasil yang
diharapkan adalah meningkatnya aliran ke pembuluh darah koroner dan serebral.
Setelah 30 – 60 detik dari setiap pemberian obat pada VF/VT tanpa nadi maka harus
dilakukan defibrilasi satu kali dengan energi 360 Joule.

Vasopressin
Vassopressin merupakan pilihan lain dari adrenalin, diberikan sebagai dosisi tunggal
40 unit. Apabila pemberian vasopressin tidak berhasil setelah 5 – 10 menit maka
dapat diberikan adrenalin.

51
Obat obat antiaritmia :

Amiodaron
Amiodaron merupakan anti aritmia pilihan pertama pada VF/VT tanpa nadi. Dosis
pertama adalah 300 mg diencerkan menjadi 20 – 30 cc dengan cairan NaCl 0,9 % atau
dekstrose, diberikan secara bolus melalui intra vena. Dosis ulangan adalah 150 mg
diberikan setelah 3 – 5 meniT. Dosis maksimal adalah 2,2 gram dalam 24 jam.

Lidokain
Lidokain merupakan obat pilihan kedua setelah amiodaron. Lidokain diberikan pada
VF/VT tanpa nadi setelah adrenalin dan defibrilasi tidak berhasil mengatasi VF/VT
tanpa nadi. Dosis lidokain pada VF/VT tanpa nadi adalah 1,0 – 1,5 mg/kgBB secara
bolus melalui intra vena. Pemberian dapat diulang setiap 3 – 5 menit dengan dosis 0,5
– 0,75 mg/kgBB sampai dosis maksimal 3 mg/kgBB. Lidokain pada keadaan henti
jantung hanya diberikan melalui intra vena.

Prokainamid
Anti aritmia lain yang dapat diberikan pada VF/VT tanpa nadi yang berulang-ulang
atau menetap dengan dosis 50 mg/menit sampai dosis maksimal 17 mg/kg BB.

Magnesium Sulfat
Magnesium sulfat adalah anti aritmia yang diberikan pada pasien infark miokard
untuk mencegah terjadinya VF/VT tanpa nadi. Pada VF/VT tanpa nadi magnesium
sulfat diberikan jika diketahui adanya riwayat kekurangan magnesium atau terlihat
adanya gambaran torsade de pointes dengan dosis 1– 2 gram diencerkan dalam 10 cc
dekstrose.

Sodium Bikarbonat
Pemberian Sodium bikarbonat masih menjadi bahan perdebatan di antara pakar-pakar
dibidang kedokteran. Sebagain pakar merekomendasikan pemberian sodium
bikarbonat pada keadaan henti jantung, tetapi sebagain lagi menghindarinya. Pada
prinsipnya pemberian sodium bikarbonat harus berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan yang jelas, seperti penjelasan berikut ini :
 Sodium bikarbonat dengan dosis 1 mEq/kg BB menjadi klas I apabila pasien
diketahui mempunyai riwayat hiperkalemia. Hal ini adalah salah satu contoh dari
pengertian D – differential diagnosis pada ABCD sekunder. Jika pasien
mengalami henti jantung disebabkan oleh hiperkalemi maka sodium bikarbonat
dapat segera diberikan.
 Sodium bikarbonat menjadi klas II a pada keadaan :
­ Pasien yang diduga mengalami asidosis metabolik yang disebabkan
kehilangan sodium bikarbonat melalui saluran pencernaan dan ginjal.
­ Untuk membuat alkalis pada pasien dengan kelebihan trisiklik dan obat-obat
anti depresi seperti phenobarbital.
 Sodium bikarbonat termasuk klas II b pada :
­ Pada pasien yang mengalami henti jantung lama dan sudah terintubasi.
­ Pada henti jantung lama dan berhasil kembali kepada sirkulasi spontan.
 Sodium bikarbonat termasuk klas III artinya tidak boleh diberikan jika pasien
mengalami hypoxiclactic acidosis.

Jika VF/VT tanpa nadi sudah dapat diatasi dan pasien kembali pada sirkulasi spontan
maka anti anti aritmia harus terus diberikan dosis pemeliharaan untuk mencegah
terjadinya VF/VT tanda nadi berulang. Apabila VF/VT tanpa nadi dapat diatasi hanya

52
dengan tindakan defibrilasi dan pasien berhasil kembali pada sirkulasi spontan, maka
anti aritmia dapat diberikan secara bolus dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan.

Algoritme VF/VT tanpa nadi untuk pasien dewasa sangat penting untuk dipelajari
karena umumnya henti jantung pada orang dewasa disebabkan oleh VF/VT tanda nadi
dan sebagian besar dapat diselamatkan jika diberikan bantuan secara cepat dan benar.
Penatalaksanaan VF/VT tanpa nadi sangat sederhana yaitu defibrilasi, pertahankan
jalan napas dan berikan bantuan napas. Obat-obatan diberikan sebagai jembatan untuk
melakukan defibrilasi.

53
ALGORITME PEA
Pulseless Electrical Activity
( PEA = Irama di monitor ( + ), nadi tidak teraba )

SURVEY ABCD PRIMER


Fokus : RJP & defibrilasi
• Cek kesadaran
• Aktifkan sistem emergensi
• Panggil untuk defibrilator

A~ AIRWAY : Buka jalan napas


B~ BREATHING : Berikan ventilasi tekanan positip
C~ CIRCULATION : Lakukan kompresi dada
D~DEFIBRILATION : Kaji & lakukan defibrilasi untuk VF/VT tanpa
nadi 3 kali jika perlu ( 200, 200 – 300, 360 joule )

SURVEY ABCD SEKUNDER


Fokus : Pengkajian dan pengobatan lebih lanjut
A~AIRWAY : Pasang alat untuk membebaskan jalan napas segera
B~BREATHING : Yakinkan alat terpasang dengan baik
B~BREATHING : Fiksasi alat tersebut
B~BREATHING : Menilai ventilasi  adekuat
C~CIRCULATION : Pasang infus
C~CIRCULATION : Kaji irama  monitor
C~CIRCULATION : Beri obat sesuai dengan irama yang ada
D~DIFFERENTIAL DIAGNOSIS : Cari penyebab dan obati sesuai penyebab

Cek kembali penyebab yang umum menyebabkan PEA


* Hipovolemia * Obat ( Overdosis )
* Hipoksia * Tamponade
* Asidosis * Tension pneumothoraks
* Hiper/hipokalemia * Trombosis, koroner ( SKA )
* Hipotermia * Trombosis, pulmonal ( Emboli )

Epineprin 1 mg IV bolus
Ulang 3 – 5 menit

Atropin 1 mg IV ( jika HR < 60 kali/menit)


Ulang 3 – 5 menit sampai dosis maksimal 0,04 mg/kgBB

54
Penatalaksanaan PEA
PEA adalah suatu keadaan yang menunjukkan adanya gambaran irama jantung pada
monitor akan tetapi nadi tidak teraba. Hal ini menunjukkan bahwa terdapatnya
depolarisasi listrik pada otot jantung akan tetapi tidak diikuti oleh pemendekkan otot
miokardium sehingga jantung tidak berkontraksi untuk memompakan darah keseluruh
tubuh

Dalam hal ini gangguan irama yang timbul dapat berupa aritmia dengan gelombang
QRS lebar atau sempit. Pada prinsipnya gambaran irama jantung tampak pada
monitor tetapi nadi pasien tidak teraba, keadaan inilah yang disebut dengan PEA
kecuali VF dan VT.

Prinsip penanganan PEA adalah segera lakukan RJP, berikan bantuan ventilasi dan
sirkulasi serta segera atasi penyebab terjadinya PEA.

Adapun penyebab terjadinya PEA antara lain : hipovolemia, hipoksia, tamponade


jantung, tension pneumotorak, hipothermia, emboli paru-paru yang luas, kelebihan
obat-obatan, hiper/hipokalemi, asidosis, dan trombosis (koroner dan pulmonal).

Hipovolemia adalah salah satu contoh penyebab PEA yang paling sering ditemukan.
Penanganan terhadap penyebab dan tindakan yang tepat dapat mengembalikan pasien
pada sirkulasi spontan.

Obat-obatan yang dapat diberikan pada PEA adalah adrenalin, sulfas atropin (jika
frekuensi irama kurang dari 60 kali/menit) dan sodium bikarbonat. Tatacara
pemberian obat-obatan sama dengan pada penanganan VF/VT tanpa nadi.

55
Penyebab PEA

PENYEBAB PETUNJUK TINDAKAN


Riwayat penyakit, tekanan vena
Hipovolemia Pemberian cairan
jugularis rendah
Sianosis, analisa gas darah dan
Hipoksia masalah yang terjadi pada jalan Pemberian ventilasi
napas
Riwayat (trauma, gagal ginjal,
dan kelainan toraks), nadi tidak
Tamponade jantung teraba pada saat RJP, distensi Perikardiosintesa
vena, takikardia, tekanan nadi
rendah
Riwayat (asma, COPD,
ventilator, trauma) nadi tidak
Tension pneumotoraks Dekompresi jarum
teraba pada saat RJP, distensi
vena, dan deviasi trakhea
Riwayat penyakit, nadi tidak
Embolektomi dan
Emboli paru yang luas teraba pada saat RJP, distensi
trombolitik
vena jugularis
Periksa darah dan urin,
Kelebihan dosis obat Bradikardi, lemas, didapatkan
intubasi, bilas lambung
seperti trisiklik, digoxin, botol obat yang kosong, pupil
dan pemberian obat
beta blocker, dll dan neurogi
antinya
Pemberian kalsium klorida
Riwayat gagal ginjal, diabetes,
yang dikombinasikan
penggunaan dialisa dan
Hiperkalemia dengan insulin, glukosa,
pemberian obat-obatan yang
sodium bikarbonat dan
menyebabkan hiperkalemia
dialisa
Riwayat asidosis yang berhasil Pemberian sodium
Asidosis dengan pemberian bikarbonat bikarbonat dan
dan adanya gagal ginjal. hiperventilasi
Infark miokard akut yang
luas

56
ALGORITME ASISTOL

SURVEY ABCD PRIMER


Fokus : RJP & defibrilasi
• Cek kesadaran
• Aktifkan sistem emergensi
• Panggil untuk defibrilator

A~ AIRWAY : Buka jalan napas


B~ BREATHING : Berikan ventilasi tekanan positip
C~ CIRCULATION : Lakukan kompresi dada
D~DEFIBRILATION : Kaji & lakukan defibrilasi untuk VF/VT tanpa nadi
3 kali jika perlu ( 200, 200 – 300, 360 joule )

SURVEY ABCD SEKUNDER


Fokus : Pengkajian dan pengobatan lebih lanjut
A~AIRWAY : Pasang alat untuk membebaskan jalan napas segera
B~BREATHING : Yakinkan alat terpasang dengan baik
B~BREATHING : Fiksasi alat tersebut
B~BREATHING : Menilai ventilasi  adekuat
C~CIRCULATION : Pasang infus
C~CIRCULATION : Kaji irama  monitor
C~CIRCULATION : Beri obat sesuai dengan irama yang ada
D~DIFFERENTIAL DIAGNOSIS : Cari penyebab dan obati sesuai penyebab

Pacu jantung Transkutan (TCP)


Jika ada segera pasang

Epineprin 1 mg IV bolus
Ulang 3 – 5 menit

Atropin 1 mg IV
Ulang 3 – 5 menit sampai dosis maksimal 0,04 mg/kg BB

Asistol yang menetap pertimbangkan untuk menghentikan RJP

57
Penatalaksanaan asistol
Kunci keberhasilan penanganan asistol terletak pada bagaimana penolong
menentukan secara cepat dan agresif untuk mengatasi faktor penyebab terjadinya
asistol.

Penatalaksanaan asistol meliputi RJP, intubasi, adrenalin dan atropin. Pada dasarnya
penanganan asistol hampir sama dengan penanganan PEA. Perbedaanya pada
pemberian atropin yang diberikan secara rutin pada asistol jika pemberian adrenalin
tidak berhasil, sedangkan pada PEA atropin hanya diberikan jika frekuensi irama
kurang dari 60 kali/menit.

Memeriksa gambaran irama jantung di lebih dari satu sandapan harus dilakukan untuk
meyakinkan bahwa gambaran memang betul asistol. Hal ini dilakukan untuk
membedakan asistol dengan fibrilasi ventrikel yang halus atau sebab-sebab lain.

Pemasangan pacu jantung transkutan ada kemungkinan dapat berhasil jika


pemasangannya dilakukan sedini mungkin.

Asistol mengambarkan bahwa aktivitas listrik sudah tidak ada. Usaha resusitasi dapat
diakhiri jika pasien sudah mendapatkan penanganan yang tepat seperti intubasi,
pemasangan jalur intravena dan pemberian obat-obatan sudah mencapai maksimal.

58
ALGORITME BRADIKARDI

BRADIKARDI
• Denyut Jantung < 60 x/mnt
• Relatif Bradikardi

SURVEY ABCD PRIMER


• Nilai ABC
• Amankan jalan napas sebelum intubasi
• Pastikan monitor dan defibrilator telah siap pakai

SURVEY ABCD SEKUNDER


• Amankan jalan napas (intubasi diperlukan ?)
• Oksigen-IV line-monitor-cairan
• Tanda vital-oksimeter-monitor tekanan darah
• Pasang EKG 12 lead
• Pasang portable X-Ray, jika perlu
• Perhatikan riwayat penyakit
• Perhatikan penatalaksanaanya
• Pikirkan penyebabnya (Diff. Diagnosis)

Ada tanda dan gejala serius ?

Tidak Ya
AV Blok derajat II tipe 2, atau Urutan intervensi :
AV Blok derajat III Atropin 0,5-1 mg bolus
TCP, jika memungkinkan
Dopamin 5-20 g/kg BB/mnt
Adrenalin 2-10 g/mnt

Tidak Ya

• Siapkan Pacu Jantung


Transvenous
Observasi • Jika gejala memburuk pasang
TCP sampai Pacu Jantung
Transvenous terpasang

59
Penatalaksanaan bradikardi
Bradikardia adalah jika frekuensi nadi kurang dari 60 kali/menit. Bradikardi relatif
adalah frekuensi nadi sekitar 65 kali/menit disertai dengan hemodinamik yang tidak
stabil.

Prinsip penanganan bradikardi adalah menentukan apakah bradikardi tersebut serius


atau tidak. Bradikardi yang serius adalah bradikardi yang disertai dengan gejala
seperti sakit dada, sesak napas, penurunan kesadaran, hipotensi, dan gagal jantung.

Bradikardi serius
 Penanganan harus sesuai dengan kondisi pasien. Pada algoritme bradikardi
digambarkan bahwa tindakan dan pengobatan yang dilakukan secara berurutan,
pada prakteknya tindakan tersebut dilaksanakan harus sesuai dengan kondisi
pasien. Adapun tindakan yang berurutan tersebut adalah pemasanganan pacu
jantung transkutan, pemasangan jalur intra vena, pemberian atropin dan titrasi
adrenalin.
 Dosis atropin yang diberikan adalah 0,5-1 mg dan dapat diulang 3-5 menit sampai
total dosis atropin 0,04 mg/kg BB.
 Dopamin dengan dosis 2–20 g/kg BB/menit diberikan pada pasien dengan
bradikardi yang sangat serius. Dopamin dapat meningkatkan tekanan darah
dengan cepat.
 Adrenalin diberikan dengan cara titrasi 2-10 g/menit diberikan pada bradikardi
yang serius apabila dopamin tidak tersedia.
 Hal yang harus diperhatikan pada bradikardi dengan gejala yang serius adalah
kemungkinan gejala yang timbul bukan disebabkan oleh bradikardi tersebut
mungkin didisebabkan oleh penyakit lain misalnya infark miokard atau
hipovolemik.

Bradikardi tidak serius


 Bradikardi yang tidak disertai dengan gejala yang tidak serius harus diobservasi.
Dua irama yang berbahaya yaitu AV blok derajat II dan AV blok derajat III (AV
blok total). Kedua aritmia ini biasanya berhubungan dengan infark miokard
bagian anteroseptal.
 Apabila kedau aritmia ini tidak ditemukan atau ditemukan tetapi tidak
menimbulkan gejala dan tanda yang serius, maka pasien hanya diobservasi dan
tidak memerlukan terapi.
 Tindakan pada bradikardi dengan AV blok derajat II atau III adalah sebagai
berikut :
­ Memasang pacu jantung transkutan sementara menunggu pemasangan pacu
jantung transvenous.

60
ALGORITME TAKIKARDI
Evaluasi pasien
 Apakah pasien stabil atau tidak stabil ?
 Adakah keluhan/gejala serius ?
 Apakah keluhan/gejala disebabkan oleh takikardi
?

STABIL :Tak ada keluhan/gejala serius TAK STABIL : Ada keluhan/gejala serius
 Penilaian awal mengidentifikasi 1dari 4 jenis  Pastikan keluhan/gejala oleh karena Takikardia
takikardi  Keluhan/gejala serius jarang pada HR < 150/men

1. Atrial fibrilasi 2. Takikardi dg. 3. Takikardi dg.QRS lebar 4. VT monomorfik


Atrial flutter QRS sempit stabil : tipe tak diketahui dan/ polimorfik stabil

Fokus evaluasi 4 kondisi : Tegakkan dx spesifik : Tegakkan dx spesifik :


- Tak stabil ? - EKG 12 lead - EKG 12 lead
- Fungsi jantung kurang ? - Info klinis - Lead esofageal
- Adakah WPW ? - Manuver Vagal - Info klinis
- Lamanya </> 48 jam ? - Adenosin

Fokus terapi tgt. klinis:


Hasil diagnosis :
- Bila tak stabil tx segera
- Kontrol kecepatan nadi - Ectopic atrial takikardi
- Konversi ke irama sinus - Multifokal atrial takikardi
- Berikan antikoagulan - Paroksismal Supraventrikuler
Takikardi (PSVT)

Terapi : Terapi : SVT


Atrial - Dipastikan Taki dg.QRS Dipasti- Terapi VT
Lihat Th mono/poli
Fibrilasi SVT lebar tipe tak kan VT
takikardi dg. morfik sta-
Atrial Flutter jelas stabil
QRS sempit bil (lihat
Lihat tabel
algoritme)

fungsi jantung normal EF <40%, tanda


CHF
- DC kardioversi/ - DC kardioversi/
- Prokainamid/ - Amiodaron
- Amiodaron

61
Penatalaksanaan Takikardi
Prinsip penatalaksanaan takikardi adalah menentukkan apakah takikadi tersebut stabil
atau tidak. Selain itu sebelim melakukan tindakan sesuai dengan algoritme perlu
diketahui dan diatasi terlebih dahulu faktor yang menyebabkan timbulnya takikardi.

Takikardi tidak stabil


Takikardi yang tidak stabil adalah takikardi yang disertai dengan hipotensi, tanda dan
gejala gagal jantung, penurunan kesadaran, atau sakit dada. Tindakan yang harus
dilakukan pada keadaan ini adalah :
 Kardioversi dilakukan jika frekuensi nadi 150 kali/menit atau lebih. Energi
dimulai 50 joule untuk SVT dan 100 joule untuk VT. Energi maksimal adalah 360
joule.
 Jika kardioversi belum dapat dilakukan, obat-obatan dapat diberikan sesuai
dengan algoritme takikardi.

Takikardi Stabil
Fibrilasi Atrium dan Flutter atrium
Kedua gangguan irama ini jika tidak disertai gejala yang serius tidak memerlukan
pengobatan obsevasi adalah tindakan yang paling tepat akan tetapi harus
dipertimbangkan faktor penyebab dari kedua aritmia tersebut. Faktor penyebab
fibrilasi/flutter atrium adalah infark miokard akut, hipoksia, emboli paru, gangguan
keseimbangan elektrolit dan kelebihan obat-obatan seperti quinidin dan digoxin.

Perlu diperhatikan khusus pada fibrilasi/flutter atrium dengan respon ventrikel yang
cepat walaupun tidak disertai gangguan hemodinamik. Prioritas utama pada kondisi
seperti ini adalah menurunkan frekuensi nadi bukan merubah irama menjadi irama
sinus. Kardioversi dilakukan apabila obat-obatan gagal mengatasi aritmia tersebut.
Obat yang direkomendasikan adalah amiodaron, beta blocker, verapamil, digoxin dan
antikoagulan.

PSVT (paroksismal supraventrikular takikardi)


Pada PSVT yang stabil tindakan yang dilakukan adalah sebagai berikut :
 Manuver vagal
Tindakan Manuver vagal meningkatkan tonus parasimpatik dan memperlambat
konduksi ke AV node sehingga frekuensi jantung akan menurun. Terdapat
beberapa cara tindakan manuver vagal yaitu peminjatan pada arteri karotis
(carotid massage), batuk, mengedan, merangsang gag reflek. Tindakan manuver
vagal harus dilakukan dengan hati-hati dan sebelumnya dilakukan pemantauan
irama jantung, pemasang jalur intra vena dan persiapan sulfas atropin. Komplikasi
yang dapat terjadi akibat tindakan ini adalah emboli serebral, stroke, sinus arrest,
asistol dan blok AV. Jika vagal manuver dilakukan dengan cara pemijatan arteri
karotis (carotid massage) yakinkan tidak ada karotid bruit yang merupakan
kontraindikasi untuk tindakan ini dan tidak boleh dilakukan lebih dari 10 detik,
dilakukan secara bergantian pada arteri karotis kiri dan kanan.
 Obat-obatan
Adenosin adalah obat yang mempunyai efek yang kuat dalam merubah PSVT
menjadi irama sinus pada kondisi yang stabil. Dosis awal adenosin yang diberikan
adalah 6 mg secara bolus melalui intra vena dan diberikan dengan cepat (1-3
detik) kemudian diikuti dengan 20 cc cairan pembilas. Pemberian dapat diulang
setelah 1-2 menit dengan dosis 12 mg. PSVT yang tidak dapat diatasi dengan
adenosin dapat dipertimbangkan untuk pemberian verapamil, digoxin, beta
blocker.

62
Ventrikel Takikardi
 Monomorfik
Pengobatan pada monomorfik VT yaitu :
­ Amiodaron 150 mg bolus melalui intra vena diberikan selama 10 menit. Bila
tidak berhasil dilanjutkan dengan pemberian amiodaron dosis pemeliharaan
360 mg/6 jam pertama kemudian 540 mg/18 jam berikutnya. Dosis
maksimual kumulatif adalah 2,2 gr/24 jam termasuk yang diberikan pada saat
tindakan resusitasi.
­ Lidokain merupakan obat pilihan lain selain amiodaron atau jika amiodaron
tidak tersedia. Dosis lidokain adalah 0,5-0,75 mg/kg BB diberikan bolus intra
vena, dapat diulang 5-10 menit sampai dosis maksimal 3 mg/kg BB, dosis
pemeliharaan adalah 1-4 mg/menit.
­ Kardioversi adalah tindakan berikutnya jika obat-obatan gagal mengatasi
takikardi ventrikel. Energi awal yaitu 100 joule.

 Polimorfik
Jika terdapat perpanjangan QT interval tindakan yang harus dilakukan adalah
mengoreksi kelainan elektrolit. Obat pilihan adalah magnesium sulfat. Kardioversi
merupakan tindakan berikutnya jika obat-obatan gagal mengatasi takikardi
ventrikel.

63
SVT

 Manuver vagal
 Adenosin

EF normal  Amiodaron
  Blocker
 Ca Antagonis
Takikardi Junctional

EF < 40%, CHF


Amiodaron

Prioritas
Ca Antagonis
EF normal
 Blocker
Digoxin
Kardioversi
Pertimbangkan Amiodaron, Sotalol
PSVT

EF < 40%, CHF Digoxin


Amiodaron
Diltiazem

Ca Antagonis
EF normal  Blocker
Amiodaron

Multifokal Atrial
Tachycardia

EF < 40%, CHF Amiodaron


Diltiazem

64
Ventrikel Takikardi

VT Monomorfik VT polimorfik
Ggn fungsi jantung ? QT interval memanjang ?

EF n EF 

• Prokainamide QT interval normal : QT interval memanjang :


• Satolol • Cek elektrolit
• -bloker
• Amiodaron • Magnesium sulfat
• Lidokain
• Lidokain • Isoproterenol
• Amiodaron
• Prokainamide • Phenytoin
• Sotalol • Lidokain

Ggn
fungsi
jantung

Amiodaron
150 mg IV selama 10 menit
Lidokain
0,5-0,75 mg/kg IV bolus
Kemudian
KARDIOVERSI

65
Algoritme Takikardi Tak Stabil: Kardioversi Listrik

Takikardia
Dengan keluhan dan gejala serius
berhubungan dengan takikardi

Bila laju ventrikel > 150x/menit, siapkan


kardioversi segera. Dapat diberikan obat
berdasarkan aritmi spesifik. Kardioversi
cepat umumnya tak diperlukan bila laju
ventrikel < 150x/menit

Siapkan di sisi tempat tidur


- Pantau saturasi Oksigen
- Alat penghisap lendir
- Persiapan akses IV
- Peralatan intubasi

Bila memungkinkan berikan premedikasi

Kardioversi sinkronisasi
- Ventrikuler Takikardi
- Paroksismal SVT 100, 200, 300,
- Atrial Fibrilasi 360 J dosis
- Atrial Flutter

66
Takikardi dengan QRS >

Supraventrikular Takikardi Tipe yang tidak diketahui Ventrikuler Takikardi

Terapi sesuai VT
Terapi sesuai SVT

EF n EF 

Kardioversi
Prokainamide Kardioversi
Amiodaron 150 mg Amiodaron 150 mg

67
TABEL PENANGANAN FIBRILASI/FLUTTER ATRIAL

Atrial fibrilasi/ Kontrol Nadi Konversi irama


flutter dengan :
 Jantung normal
Fungsi jantung Gangguan
 Jantung baik fungsi jantung Lamanya < 48 jam Lamanya > 48 jam
terganggu EF < 40 % atau atau tak diketahui
 WPW gagal jantung
kongestif

Fungsi Jantung Catatan 1: Bila Pertimbangkan: DC Hindari Kardioversi


normal AF > 48 jam hati - kardioversi yang bukan emer-
hati menggunakan gensi, kecuali anti-
obat yg mengkon- Gunakan hanya satu koagulan atau per-
- dari obat-obatan sbb
versi ke irama hatian terhadap clot
sinus, bila pasien (lihat cat. 2dibawah) dilakukan
tak menggunakan  Amiodaron (IIa)
antikoagulan (ke- Catatan : Konversi AF
 Ibutilide (IIa) ke irama sinus normal
mungkinan emboli)  Flecainamide dengan obat/ shock
Gunakan satu dari (IIa) dapat menyebabkan
obat sbb:  Propafenone (IIa) embolisasi trombus di
 Procainamide(IIa) atrial, kecuali pasien
- Ca blocker (I) diberi antikoagulan
-  blocker (I)
Gunakan obat anti-
aritmi dg. hati-hati bila
AF > 48 jam.
atau
Tunda kardioversi, be-
ri antikoagulan 3 mgg
 Kardioversi,kmd.
antikoagulan 4 mgg
lagi.
atau
Kardioversi dini
Mulai heparin IVbolus
TEE singkinkan clot
kemudian
Kardioversi dalam 24
jam
Antikoagulan 4 mgg
lagi

Gangguan fungsi jan- Catatan 1: Bila Pertimbangkan : Hindari Kardioversi


tung (EF < 40% atau AF > 48 jam hati - yang bukan emergen-
gagal jantung) - hati menggunakan  DC kardioversi si, kecuali antikoagu-
obat yg mengkon- atau lan atau kehati-hatian
versi ke irama  Amiodaron (IIb) terhadap clot dilaku-
sinus, bila pasien kan
tak menggunakan
antikoagulan (ke- Antikoagulan seperti
mungkinan emboli) dicantumkan diatas di-
ikuti oleh
Gunakan salah 1:
DC kardioversi
 Digoxin (IIb)
 Diltiazem
(IIb)
 Amiodaron
(IIb)

68
Atrial fibrilasi/ Kontrol Nadi Konversi irama
flutter dengan :
 Jantung normal
Fungsi jantung Gangguan fung-
 Jantung baik si jantung EF < Lamanya < 48 jam Lamanya > 48 jam
terganggu 40 % atau gagal atau tak diketahui
 WPW jantung konges-
tif

WPW Catatan 1: Bila AF Catatan 1: Bila DC kardioversi atau Hindari Kardioversi


> 48 jam hati - hati AF > 48 jam hati - yang bukan emergen-
menggunakan obat hati menggunakan Antiaritmik primer si, kecuali antikoagu-
yg mengkon-versi ke obat yg mengkon- Gunakan salah 1 sbb: lan atau kehati-hatian
irama sinus, bila pa- versi ke irama terhadap clot dilaku-
sien tak mengguna- sinus, bila pasien  Amiodaron (IIb) kan
kan antikoagulan (ke- tak menggunakan  Flecainamide (IIb)
 Propafenone (IIb) Antikoagulan seperti
mungkinan emboli antikoagulan (ke-
mungkinan emboli  Procainamide(IIb) dicantumkan diatas
DC kardioversi di-ikuti oleh
 Sotalol (IIb)
Atau DC kardioversi
Antiaritmi primer atau DC kardioversi
Gunakan salah 1: Amiodaron(IIb)
Klas III (dapat berba
 Amiodaron (IIb) haya):
 Flecainamide  Adenosin
(IIb)
 Blocker
 Propafenone
 Ca antagonis
(IIb)
 Digoxin
 Procainamide
(IIb)
 Sotalol (IIb)
Gangguan fungsi
jantung (EF < 40%
Klas III (dapat berba
atau gagal jantung
haya):
kongestif)
 Adenosin
DC kardioversi atau
 Blocker
 Ca antagonis Amiodaron (IIb)
 Digoxin

69
PENATALAKSANAAN PASKA RESUSITASI
JANTUNG PARU
Perawatan paska resusitasi dilakukan segera setelah pasien kembali pada sirkulasi
spontan sampai pasien dipindahkan ke unit perawatan intensif. Perawatan yang efektif
pada periode ini akan memberikan hasil yang memuaskan terutama untuk perbaikan
pada fungsi serebral.

Tindakan yang harus segera dilakukan :


1. Melakukan pengkajian berdasarkan ABCD sekunder
2. Airway (jalan napas)
 Mempertahankan jalan napas.
 Memastikan letak ETT dengan pemeriksaan fisik (auskultasi paru kanan-kiri,
lambung) pemantauan end tidal CO2, dan rontgen foto torak.
3. Breathing (bantuan napas)
 Memberikan oksigen
 Memberikan tekanan positif seperti bantuan ventilasi dengan bagging atau
ventilasi mekanik
 Periksa perkembangan dada
 Periksa saturasi oksigen (pulse oksimetri) dan analisa gas darah (AGD)
 Pada pasien yang bernapas spontan tetapi membutuhkan ventilasi mekanik,
maka harus diberikan obat pelemas otot dan sedasi.
 Periksa kemungkinan terjadinya komplikasi seperti pneumotoraks, patah
tulang iga dan letak ETT yang salah.
4. Circulation (sirkulasi)
 Periksa tanda-tanda vital pasien
 Berikan cairan NaCl atau dekstrosa dapat diberikan apabila pasien mempunyai
riwayat hipoglikemia
 Pemantauan EKG dan tekanan darah
 Pemantauan produksi urine
 Jika pada saat henti jantung dengan irama VF pasien belum mendapat anti
aritmia maka obat anti aritmia dapat diberikan secara bolus kemudian
dilanjutkan dengan pemberian dosis pemeliharaan.
 Apabila anti aritmia sudah diberikan pada saat resusitasi maka pemberian anti
aritmia tersebut dilanjutkan dengan dosis pemeliharan.
5. Diagnosis Banding
Penyebab henti jantung dapat diketahui dengan cara melakukan :
 Pemeriksaan rontgen foto toraks
 Anamnesis ulang
 Pemeriksaan fisik
 Perekaman EKG 12 lead
 Pemeriksaan elektrolit darah.
6. Tindakan lain
 Memasang nasogastric tube (NGT)
 Memasang kateter urine
 Mengatasi secara cepat gangguan keseimbangan elektrolit.

70
STRUKTUR DAN FUNGSI
SISTEM KARDIOVASKULER
PENDAHULUAN
Jantung terletak di dalam rongga mediastinum dari rongga dada (toraks), diantara
kedua paru. Selaput yang membungkus jantung disebut perikardium, yang terdiri atas
2 lapisan :
 Perikardium Fibrosa, yaitu lapisan luar yang melekat pada tulang dada, diafragma
dan pleura.
 Perikardium Serosa, yaitu lapisan dalam dari perikardium, terdiri dari dua lapisan
yaitu :
o Lapisan Parietalis, yaitu lapisan yang melekat pada Perikardium Fibrosa.
o Lapisan Viseralis, yaitu lapisan yang melekat pada jantung yang juga disebut
Epikardium.

Diantara kedua lapisan tersebut terdapat rongga yang disebut dengan Rongga
Perikardium yang berisi sedikit cairan pelumas yang berfungsi mengurangi gesekan
yang timbul akibat gerak jantung saat memompa, cairan ini disebut cairan
pericardium

STRUKTUR JANTUNG
Dinding jantung terdiri dari 3 lapisan, yakni :
1. Lapisan luar disebut epikardium atau pericardium viseralis.
2. Lapisan tengah merupakan lapisan berotot, disebut miokardium
3. Lapisan dalam disebut endokardium

Ruang ruang jantung


Jantung terdiri atas 4 ruang, yaitu 2 ruang yang berdinding tipis disebut atrium
(serambi), dan 2 ruang yang berdinding tebal disebut ventrikel (bilik).
1. Atrium
a. Atrium kanan berfungsi sebagai penarnpung (reservoir) darah yang rendah
oksigen dari seluruh tubuh. Darah tersebut mengalir melalui vena kava
superior, vena kava inferior, serta sinus koronarius yang berasal dari jantung
sendiri. Kemudian darah dipompakan ke ventrikel kanan dan selanjutnya ke
paru.
b. Atrium kiri menerima darah yang kaya oksigen dari kedua paru melalul 4
buah vena pulmonalis. Kemudian darah
c. rnengalir ke ventrikel kiri, dan selanjutnya ke seluruh tubuh melalui aorta

Kedua atrium tersebut dipisahkan oleh sekat, yang disebut septum inter atrium

2. Ventrikel
Permukaan dalarn, ventrikel memperlihatkan alur-alur otot yang disebut
trabekula. Beberapa alur tampak menonjol, yang disebut muskulus papilaris.
Ujung muskulus papilaris dihubungkan dengan tepi daun katup
atrioventrikuler oleh serat-serat yang disebut korda tendine.
a. Ventrikel kanan menerima darah dari atrium kanan dan dipompakan ke paru-
paru melalui arteri pulmonalis

71
b. Ventrikel kiri menerima darah dari atrium kiri dan dipompakan ke seluruh
tubuh melalui aorta
Kedua ventrikel ini dipisahkan oleh sekat yang disebut septum interventrikel

Katup-katup jantung

1. Katup atrioventrikuler
Oleh karena letaknya antara atrium dan ventrikel, maka disebut katup
atrioventrikuler. Katup yang terletak diantara atrium kanan dan ventrikel kanan
mempunyai tiga buah daun katup, disebut katup tricuspid. Sedangkan katup yang
letaknya diantara. atrium kiri dan ventrikel kiri mempunyai dua buah daun katup,
disebut katup mitral. Katup atrioventrikuler memungkinkan darah mengalir dari
masing-masing atrium ke ventrikel pada fase diastole ventrikel, dan mencegah
aliran balik pada saat sistol ventrikel (kontraksi)

2. Katup semilunar
Katup pulmonal terletak pada arteri pulmonalis, memisahkan pernbuluh ini dari
ventrikel kanan
Katup aorta terletak antara ventrikel kiri dan aorta

Kedua katup semilunar ini mempunyai bentuk yang sama, terdiri dari tiga daun
katup yang simetris disertai penonjolan menyerupai corong yang dikaitkan dengan
sebuah cincin serabut. Adanya katup semilunar memungkinkan darah mengalir
dari masing-masing ventrikel ke arteri pulmonalis atau aorta selarna sistol
ventrikel, dan mencegah aliran balik waktu diastole ventrikel.

Pernbukaan katup terjadi pada waktu masing-masing ventrikel berkontraksi,


dimana tekanan ventrikel lebih tinggi daripada tekanan di dalam pembuluh
pembuluh arteri.

Di sebelah atas daun katup aorta terdapat tiga penonjolan dinding aorta, yang
disebut Sinus Valsava. Muara arteri koronaria terletak pada tonjolan tonjolan ini.
Sinus-sinus tersebut berfungsi melindungi muara koroner dari penyumbatan oleh
daun katup pada waktu aorta terbuka

Arteri koroner
Arteri koroner adalah cabang pertama dari sirkulasi sistemik. Sirkulasi koroner terdiri
dari : arteri koroner kanan dan arteri koroner kiri.

Arteri koroner kiri (Left Main Coronary Artery – LMCA) mempunyai 2 cabang
besar, yaitu : ramus desenden anterior (Left Anterior Descendence - LAD) dan ramus
sirkumpleks (Left Circumplex - LCx). Arteri ini melingkari jantung dalam dua lekuk
anatomis eksternal, yaitu : sulkus atrioventrikuler yang melingkari jantung diantara
atrium dan ventrikel, dan sulkus interventrikuler yang memisahkan kedua ventrikel.
Perternuan kedua lekuk ini dibagian permukaan posterior jantung merupakan suatu
bagian yang kritis dipandang dari sudut anatomis. Tempat ini dikenal dengan sebutan
kruks jantung, dan merupakan salah satu bagian terpenting dari jantung. Nodus atrio
ventrikuler (Atrio Ventricular Node - AVN) berlokasi pada titik pertemuan ini, dan
pembuluh darah yang melewati kruks tersebut merupakan pembuluh yang memasok

72
nutrisi untuk AVN. Arteri koronaria kiri bercabang segera sesudah meninggalkan
pangkalnya di aorta.
Ramus sirkumpleks berjalan disisi kiri jantung di sulkus atrioventrikuler kiri.
Perjalanan secara berkeliling ini sesuai dengan sebutan dan fungsinya sebagai pem-
buluh darah sirkumpleks.
Demikian juga dengan sebutan Ramus desendens anterior, yang menyatakan jalan
anatomis dari cabang arteri tersebut.
Arteri tersebut terdapat disebelah depan kiri dan turun ke bagian bawah permukaan
jantung melalui sulkus interventrikular sebelah depan, kemudian melintasi apeks
jantung berbalik arah dan terus mengarah keatas sepanjang permukaan bawah dari
sulkus interventrikuler untuk bersatu di bagian distal dengan cabang arteri koroner
kanan. Jalur-jalur anatomis ini mengliasilkan suatu hubungan antara arteri koroner
dan penyediaan nutrisi ototiantung.

Istilah dominasi kanan dan dominasi kiri sebenarnya menggambarkan apakah arteri
koroner kanan atau kiri yang melewati kruks tersebut.

Arteri koroner kanan (Right Coronary Artery - RCA) berjalan ke sisi kanan jantung,
pada sulkus atrioventrikuler kanan. Pada dasarnya arteri koronaria kanan memberi
makan pada atrium kanan, ventrikel kanan dan dinding sebelah dalam dari ventrikel
kiri.

Meskipun nodus SA (Sino Atrial Node) letaknya di atrium kanan, tetapi hanya 55%
kebutuhan nutrisinya dipasok oleh arteri koronaria kanan, sedang 42% lainnya
dipasok oleh cabang arteri sirkumpleks kiri.

Nutrisi untuk nodus AV (Atrio ventrikular Node) dipasok oleh arteri yang melintasi
kruks, yakni 90% dari arteri koroner kanan dan 10% dari arteri sirkumpleks.

Vena Jantung
Distribusi vena koroner sesungguhnya paralel dengan distribusi arteri koroner.
Sistem vena jantung mempunyai tiga bagian yaitu :
1. Vena Tabesian, merupakan sistim terkecil yang menyalurkan sebagian darah dari
miokardium atrium kanan dan ventrikel kanan.
2. Vena Kardiaka anterior, mempunyai fungsi yang cukup berarti, mengosongkan
sebagian besar isi vena ventrikel langsung ke atrium kanan.
3. Sinus Koronarius dan cabangnya, merupakan sistim vena yang paling besar dan
paling penting, berfungsi menyalurkan pengembalian darah vena miokard ke
dalam atrium kanan melalui ostium sinus koronarius yang bermuara di samping
vena kava inferior.

73
Gambar 1.
Struktur jantung dilihat dari luar
depan

Gambar 2.
Struktur dalam jantung dilihat dari
depan

74
FUNGSI SISTEM KARDIOVASKULER

ARTERI

1. Arteri
Berfungsi untuk transportasi darah dengan tekanan yang tinggi ke jaringan-
jaringan. Karena itu sistim arteri mempunyai dinding yang kuat dan darah
mengalir dengan cepat menuju jaringan. Dinding aorta dan arteri relatif
mengandung banyak jaringan elastis. Dinding tersebut teregang pada waktu sistole
dan mengadakan rekoil pada saat diastole.
2. Arteriol
Adalah cabang-cabang paling ujung dari sistem arteri, berfungsi sebagai katup
pengontrol untuk mengatur aliran darah ke kapiler. Arteriol juga mempunyai
dinding yang kuat. Arteriol mampu berkonstriksi/menyempit secara komplit atau
dilatasi/melebar sampai beberapa kali ukuran normal, sehingga dapat mengatur
aliran darah ke kapiler.
Dinding arteriol mengandung sedikit jaringan elastis dan lebih banyak otot polos.
Otot polos ini dipersarafi oleh serabut saraf kolinergik yang fungsinya
vasodilatasi. Arteriol merupakan penentu utama resistensi/tahanan aliran darah,
perubahan kecil pada diameternya menyebabkan perubaban yang besar terhadap
resistensi perifer.
3. Kapiler
Berfungsi sebagai tempat pertukaran, cairan dan nutrisi antara darah dengan ruang
interstitial. Untuk peran ini kapiler dilengkapi dengan dinding yang sangat tipis
dan permeabel terhadap substansi-substansi bermolekul halus.

VENA DAN VENUL

1. Vena
Berfungsi sebagai jalur transportasi darah dari jaringan kembali ke jantung.
Karena tekanan dalamn sistern vena rendah (0-5 mmHg), maka dinding vena tipis
namun berotot dan ini memungkinkan vena berkontraksi sehingga mempunyai
kernwnpuan untuk menyimpan atau menwnpung darah sesuai kebutuhan tubuh.
2. Venul
Dinding venul hanya sedikit lebih tebal daripada dinding kapiler. Venul berfungsi
menampung darah dari kapiler dan secara bertahap bergabung ke dalam vena yang
lebih besar.

75
Gambar 3.
Sistem Sirkulasi

Lingkaran sirkulasi dapat dibagi atas dua bagian besar yaitu Sirkulasi sistemik dan
Sirkulasi pulmonal.

Sirkulasi Sistemik:
1. Mengalirkan darah ke berbagai organ.
2. Memenuhi kebutuhan organ yang berbeda.
3. Memerlukan tekanan permulaan yang besar.
4. Banyak mengalami tahanan.
5. Kolom hidrostatik panjang.

Sirkulasi Pulmonal :
1. Hanya mengalirkan darah ke paru-paru
2. Hanya berfungsi untuk paru-paru
3. Mempunyai tekanan permulaan yang rendah
4. Hanya sedikit mengalami tahanan
5. Kolom hidrostatiknya pendek

Sirkulasi Koroner :
Efisiensi jantung sebagai pompa tergantung dari nutrisi dan oksigenasi yang cukup
pada otot jantung. Sirkulasi koroner meliputi seluruh pemukaan jantung dan

76
membawa oksigen untuk miokardium melalui cabang-cabang intramiokardial yang
kecil-kecil. Aliran darah koroner meningkat pada :
1. Aktifitas
2. Denyut jantung
3. Rangsangan sistern syaraf simpatis

SISTEM KONDUKSI / HANTARAN


Di dalam. otot jantung terdapat jaringan khusus yang mengbantarkan aliran listrik.
Jaringan tersebut mempunyai sifat-sifat yang khusus, yaitu :
1. Otomatisasi, kemampuan untuk menimbulkan impuls secara spontan.
2. Irama, kemampuan membentuk impuls yang teratur.
3. Daya konduksi, kemampuan untuk menyalurkan impuls.
4. Daya rangsang, kemampuan untuk beraksi terhadap rangsang.

Berdasarkan sifat-sifat tersebut diatas, maka secara spontan dan teratur jantung akan
menghasilkan impuls-impuls yang disalurkan melalui sistem hantaran untuk
merangsang otot jantung dan bisa menimbulkan kontraksi otot. Perjalanan impuls
dimulai dari nodus SA ke nodus AV, sampai ke serabut Purkinje.

1. Nodus SA (SA node)


Nodus SA terletak pada pertemuaan antara Vena Kava Superior dengan atrium
kanan. Sel-sel dalam nodus SA secara otomatis dan teratur mengeluarkan impuls
dengan frekuensi 60-100 kali permenit.
2. Nodus AV (AV node)
Terletak diatas sinus koronarius pada dinding posterior atrium kanan. Sel-sel
dalam nodus AV mengeluarkan impuls lebih rendah dari nodus SA, yaitu 40-60
kali permenit.
3. Serabut Purkinje
Serabut purkinje mampu rnengeluarkan impuls dengan frekuensi 20-40 kali
permenit.

ELEKTROFISIOLOGI OTOT JANTUNG


Sel otot jantung dalam keadaan istirahat permukaan luarya bermuatan positif dan
bagian dalamnya bermuatan negatif. Perbedaan potensial muatan melalui membran
sel ini kirakira -90 mvolt.

Ada tiga ion yang mempunyai peran penting dalam elektrofisiologi sel, yaitu kalium,
natrium, dan kalsium. Rangsangan listrik dapat secara tiba-tiba menyebabkan
masuknya ion natrium dengan cepat dari cairan luar sel kedalam, sehingga
menyebabkan muatan dalam sel menjadi lebih positif dibandingkan muatan luar sel.

Proses terjadinya perubahan rnuatan akibat rangsangan dinamakan


DEPOLARISASI. Setelah depolarisasi terjadi pengembalian muatan keadaan
semula, proses ini dinamakan REPOLARISASI. Seluruh proses tersebut disebut
AKSI POTENSIAL.

SIKLUS JANTUNG
Pada waktu aktifitas depolarisasi menjalar keseluruh ventrikel, ventrikel berkontraksi
dan tekanan didalamnya meningkat. Pada waktu tekanan didalam ventrikel melebihi

77
tekanan atrium, katup mitral dan trikuspid menutup dan terdengar sebagai bunyi
jantung pertarna. Fase kontraksi ventrikel yang berlangsung sebelum katup-katup
semilunar terbuka disebut Fase Kontraksi Isovolumetrik. Disebut demikian karena
tekanan didalam ventrikel meningkat tanpa ada darah yang keluar, sampai tekanan
didalam ventnikel melebihi tekanan aorta atau arteri pulmonalis, disaat mana katup-
katup semilunar terbuka dan darah keluar dari ventrikel. Ejeksi darah dari ventrikel
(terutama ventrikel kiri) berlangsung sangat cepat pada permulaan, sehingga kadang-
kadang menimbulkan suara yang merupakan komponen akhir dari bunyi jantung satu.
Fase ini disebut Fase Ejeksi Cepat.

Sesudah darah keluar dari ventrikel maka tekanan didalam ventrikel akan menurun,
pada saat tekanan ventrikel menurun lebih rendah dari tekanan aorta atau arteri
pulmonalis, maka katup-katup semilunar akan menutup dan terdengarlah bunyi
jantung kedua.

Selama katup mitral dan trikuspid tertutup, darah dari vena pulmonalis dan vena kava
tetap mengisi kedua atrium yang menyebabkan peningkatan tekanan di atrium.
Sementara itu tekanan di kedua ventrikel terus menurun sehingga menjadi lebih
rendah dari tekanan atrium, dan katup mitral serta trikuspid akan terbuka.

Setelah katup mitral dan katup trikuspid terbuka maka darah akan mengalir dari kedua
atrium ke kedua ventrikel, mula-mula secara cepat (fase pengisian cepat), dan makin
lama makin lambat sampai berhenti, yakni sewaktu tekanan di atriurn dan ventrikel
sarna.

Sebelum saat akhir diastole ventrikel (diastole ventrikel dimulai sesudah penutupan
katup semilunar), aktifitas listrik yang menimbulkan gelombang P pada EKG
menyebabkan atrium berkontraksi, dan sisa darah didalam atrium akan masuk
kedalam ventrikel. Kemudian mulailah kontraksi ventrikel lagi. Terbukanya katup ini
tidak menimbulkan suara kecuali bila ada kelainan katub (opening snap pada stenosis
mitral). Fase diantara penutupan katup sermilunar dan pembukaan katup
mitral/trikuspid dinamakan fase relaksasi isovolumetrik ventrikel.

FAKTOR-FAKTOR PENENTU KERJA JANTUNG


Fungsi jantung dipengaruhi oleh 4 faktor utama yang saling terkait dalam menentukan
isi sekuncup (Stroke volume) dan curah jantung (Cardiac Output), yaitu
1. Beban awal (preload)
2. Kontrakfilitas
3. Beban akhir (afterload)
4. Frekuensi jantung

Curah jantung merupakan faktor utama yang perlu diperhitungkan dalam sirkulasi,
karena curah jantung mempunyai peranan penting dalam transportasi darah yang
memasok berbagai nutrisi

Curah jantung adalah jumlah darah yang dipompakan oleh ventrikel dalam satu menit
Nilai normal pada orang dewasa berkisar
5 liter/menit

78
Curah jantung (CO)
= stroke volume X frekuensi Jantung
= 70 CC X 70 kali permenit
= 4900 CC/menit  ± 5 liter/menit

Akan tetapi besar curah jantung yang nilai normalnya tergantung dari kebutuhan
jaringan perifer akan oksigen dan nutrisi

Karena curah jantung : yang dibutuhkan juga tergantung pada besarnya ukuran tubuh,
maka diperlukan suatu indikator fungsi jantung yang lebih akurat yaitu indeks jantung
(cardiac index). Indeks jantung didapat dengan membagi curah jantung dengan luas
permukaan tubuh, besarnya kira kira 2,8-4,2 liter/menit pada orang dewasa.
Pengaturan curah jantung tergantung dari dua variabel yaitu frekuensi jantung dan
volume sekuncup.

Gambar 4.
Siklus Jantung

79
ERA REPERFUSI
Sindroma Koroner Akut (SKA)
Rekomendasi Acuan Utama
Perawatan Pra Rumah Sakit.
 Melaksanakan program diagnostik EKG 12 sandapan di luar RS  rekomendasi
klas I
 Memberikan terapi fibrinolitik di luar RS, bila transportasi ke RS memerlukan
waktu > 60 menit  rekomendasi klas IIa.
 Bila memungkinkan, pasien dengan risiko kematian tinggi atau disfungsi
ventrikel kiri yang berat disertai tanda syok, kongesti paru, nadi > 100/menit,
tekanan darah sistolik < 100 mmHg, segera dirujuk ke pusat yang mampu
melakukan kateterisasi jantung dan revaskularisasi cepat (Intervensi Koroner
Perkutan atau Bedah Pintas Koroner). Untuk pasien usia < 75 tahun 
rekomendasi klas I

Terapi reperfusi
 Terapi fibrinolitik yang dini merupakan perawatan standar untuk infark miokard
dengan elevasi segmen ST akut  rekomendasi klas I untuk pasien usia < 75
tahun, dan klas IIa untuk usia > 75 tahun.
 Intervensi Koroner Perkutan (angioplasti/stent) merupakan rekomendasi klas I
untuk pasien SKA dengan syok usia < 75 tahun.
 Bila terapi fibrinolitik merupakan kontra-indikasi dan reperfusi diperkirakan
bermanfaat, maka pasien harus segera dirujuk untuk intervensi  rekomendasi
klas IIa.
 Heparin saat ini direkomendasikan untuk pasien yang mendapat obat
fibrinolitik
 selektif (tissue plasminogen activator - tPA, reteplase – rPA)  rekomendasi klas
IIa.
 Dosis Heparin yang diberikan pada terapi fibrinolitik diturunkan untuk
mengurangi kemungkinan pendarahan intraserebral namun masih mempunyai
efek mencegah reoklusi. Dosisnya : 60 U/kgBB bolus, di-ikuti infus 12
U/KgBB/jam (maksimum 4000 U bolus dan 1000 U/jam perinfus untuk pasien
BB > 70 kg). Activated Partial Tromboplastin Time (APTT) dipertahankan 50 –
70 detik selama 48 jam.

Terapi baru untuk Angina Tak Stabil (Unstable Angina Pectoris–UAP) / Infark
Miokard Akut (IMA) Non-Q.
 Inhibitor Glycoprotein (GP) IIb/IIIa direkomendasikan untuk pasien dengan IMA
tanpa elevasi segmen ST atau UAP berisiko tinggi  rekomendasi klas IIa
 Inhibitor GP IIb/IIIa mempunyai manfaat tambahan pada terapi konvensional
yang menggunakan unfractionated heparin (UFH) dan Aspirin  rekomendasi
klas IIa

80
 Low Molecular Weight Heparin (LMWH) merupakan alternatif menggantikan
UFH untuk terapi IMA non Q dan UAP.
 Pasien dengan Troponin – positif berisiko untuk mengalami MACE (major
advance cardiac event – SKA), sehingga perlu segera diberikan terapi agresif.
Pendahuluan
Infark Miokard Akut (IMA) dan Unstable Angina Pectoris (UAP) sekarang dikenali
sebagai bagian dari spektrum klinis disebut SKA, yang terjadi akibat ruptur atau
pengikisan plak ateromatous.
Termasuk dalam SKA adalah : UAP, IMA non Q, dan IMA + Q. Gambaran EKG pada
SKA meliputi : elevasi segmen ST, depresi segmen ST (termasuk IMA non Q dan
UAP), dan perubahan segmen ST atau gelombang T yang non spesifik/ tak bermakna
diagnostik
Sebagian besar pasien dengan elevasi segmen ST akan mengalami IMA + Q.
Hanya sebagian kecil pasien dengan angina saat istirahat tanpa elevasi ST akan
mengalami IMA + Q, mereka biasanya akan berlanjut dengan IMA non Q atau UAP.
Cukup bermakna pasien yang semula didiagnosis sebagai angina ternyata tak
mengidap penyakit koroner iskemik.
Kematian mendadak dapat menyertai SKA, dan sebenarnya SKA merupakan
penyebab paling sering kematian mendadak pada sebagian besar pasien dewasa.
Sasaran utama terapi SKA adalah :
 Mengurangi nekrosis miokard pada pasien yang mengalami infark
 Mencegah MACE (kematian, IMA non fatal, dan kebutuhan untuk revaskularisa-
si segera)
 Defibrilasi segera bila terjadi VF

Patofisiologi
Untuk memahami prinsip tatalaksana SKA dibutuhkan pengetahuan terjadinya
thrombus dan patobiologi plak koroner. Patien SKA mengalami berbagai tingkat
oklusi arteri koroner. Yang khas adalah SKA disebabkan oleh ruptur plak berlapis
lipid berkapsul tipis. Sebagian besar plak ini sebelum mengalami ruptur secara
hemodinamik tak bermakna. Namun, proses peradangan terjadi pada area subendotel,
melemahkan plak sehingga terjadi ruptur. Kecepatan aliran darah dan turbulensi yang
ditimbulkannya, serta anatomi pembuluh darah dapat ikut berperan terhadap ruptur
plak. Erosi superfisial plak terjadi pada sekitar 25% pasien yang juga mengalami
peningkatan petanda sistemik peradangan. Derajat dan lamanya oklusi, serta ada
tidaknya pembuluh kolateral, menentukan jenis infark yang terjadi.
Setelah ruptur atau erosi plak terjadi, selapis trombosit/platelet menutupi permukaan
area itu (adhesi platelet). Trombosit lainnya akan terkumpul disitu (agregasi platelet),
dan mengalami aktifasi. Fibrinogen menyelimuti trombosit, terbentuk trombin yang
mengaktifasi sistem koagulasi. Trombus yang mengakibatkan oklusi sebagian
menimbulkan keluhan iskemia yang berkepanjangan atau terjadi saat istirahat. Pada
tahapan ini trombus kaya akan trombosit, maka terapi dengan obat antiplatelet (aspirin
dan penghambat reseptor GP-IIb/IIIa) paling efektif. Terapi fibrinolitik pada tahap ini
tidak efektif bahkan justru mengakselerasi oklusi, karena dapat terjadi pelepasan

81
trombin yang diliputi clot yang mengaktifasi platelet lebih lanjut. Oklusi oleh
thrombus yang terjadi intermiten dapat mengakibatkan nekrosis miosit arteri dibagian
distal, sehingga terjadi IMA non-Q. Bila clot membesar, mikroemboli yang berasal
dari trombus dapat lepas dan menyumbat mikro-vaskuler koroner, menyebabkan
elevasi troponin jantung. Disfungsi mikrovaskuker sekarang dipahami sebagai
penentu tambahan disfungsi miokard pada pasien dengan SKA dan mereka yang
ditangani dengan intervensi koroner perku-tan. Pasien dengan trombus seperti ini
sangat berisiko untuk mengalami infark miokard. Proses ini diketahui sebagai
kerusakan ringan miokard. Mekanisme lain untuk terjadinya iskemia miokard dan
nekrosis minimal adalah oklusi dinamik yang intermiten dan spasme di area trombus.
Bila trombus mengoklusi pembuluh koroner untuk jangka lama, terjadilah IMA + Q.
Clot yang terbentuk kaya trombin dan fibrin. Pada pasien ini, fibrinolisis atau
intervensi koroner perkutan yang dilakukan dini dapat mencegah infark luas.
IMA + Q didiagnosis dengan timbulnya gelom-bang Q abnormal pada pemeriksaan
serial (atau hilangnya gelombang R pada infark anterior dan adanya gelombang R
abnormal di lead V1 pada infark posterior). IMA + Q cenderung luas dan
berhubungan dengan trombosis koroner komplit dan berlangsung lebih lama. Clot
yang terbentuk kaya trombin dan fibrin, sehingga fibrinolitik atau intervensi Koroner
perkutan bermanfaat.
Infark non Q terjadi pada keadaan dimana terjadi peningkatan yang abnormal dari
petanda serum jantung, tetapi pada EKG hanya deviasi segmen ST atau abnormalitas
gelombang T yang tampak. Pada IMA non-Q mortalitas dan komplikasi rumah sakit
lebih rendah, tetapi meningkatkan insiden kejadian kardiak lainnya seperti iskemia,
infark, reinfark dan kematian.
Deviasi segmen ST, baik elevasi maupun depresi merupakan prediktor lemah apakah
IMA yang terjadi + Q atau non Q, tetapi bermanfaat untuk stratifikasi risiko pada
pasien dengan IMA non Q yang terjadi pertama kali.
Penggunaan terapi fibrinolitik cenderung mening-katkan proporsi IMA non Q, karena
pengobatan ini mengubah lesi yang mengakibatkan perfusi miokard terhenti, menjadi
sedikitnya perfusi sebagian.

Terapi trombolitik merupakan kontra indikasi pada infark miokard yang


disertai ST-depresi, dan angina tidak stabil.
Pada kedua tipe IMA, seperti juga halnya pada UAP, lesi koroner yang mendasarinya
seringkali tidak menyumbat arteri koroner secara total. Hal ini membuktikan bahwa
determinan primer penyebab timbulnya SKA lebih merupakan sumbatan trombus
yang akut, bukan penyempitan koroner yang sudah lama ada. Spasme koroner sebagai
penyebab primer jarang terjadi, walaupun beragam derajat vasokonstriksi koroner
dapat menyertai kejadian infark. Perkecualian bagi pengguna obat-obatan kokain,
spasme koroner baik disertai plak atau tidak, dapat merupakan penyebab terjadinya
infark. Emboli koroner dan keterlibatan koroner pada pasien yang menderita
vaskulitis sistemik juga jarang. Akhirnya, henti jantung mendadak dapat menjadi
penyulit pada SKA, seringkali disebabkan oleh aritmia ventrikular, walaupun bisa
karena asistol, bradiaritmia dan komplikasi mekanik lainnya.

82
ENZIM JANTUNG TAK MENINGKAT ENZIM JANTUNG MENINGKAT

Angina stabil Angina tidak stabil Mulai Non-Q infark Mulai Q infark

PENUMBRA
ISKEMIA

IMA Non-Q IMA +Q

PERJALANAN TANPA TERAPI


PERJALANAN DENGAN TERAPI
PENUMBRA adalah area diantara iskemia dan injury, dimana perfusi sangat menurun dan tidak mencukupi
kebutuhan miokard untuk berfungsi, tetapi miokard masih hidup. PENUMBRA mampu hidup untuk beberapa jam
setelah oklusi. PENUMBRA akan mati (infark) bila tidak dilakukan reperfusi dengan fibrinolitik atau PTCA.

GEJALA KLINIS
Aktifitas fisik sebagai Pencetus ?
Kebanyakan episode SKA terjadi pada saat istirahat atau aktivitas sehari-hari yang
ringan. Aktifitas fisik atau stress mental yang berat dijumpai pada 10%-15% pasien.
Olah raga teratur merupakan tindakan pencegahan yang baik dan mengurangi insiden
kejadian SKA atau kematian mendadak yang dipicu oleh aktifitas fisik. Aktivitas fisik
saat bekerja merupakan jenis latihan fisik untuk pencegahan yang paling aman.
Kurangnya aktivitas merupakan salah satu faktor resiko terjadinya infark miokard.

Variasi Sikardian
Variasi irama sikardian pada SKA saat ini sudah dipelajari dengan baik. Pola diurnal
terjadi pada infark miokard akut, episode iskemik, kematian mendadak dan stroke.
Puncak pertama terjadi pada pukul 6 pagi sampai siang hari, terutama 2-3 jam setelah
bangun pagi. Puncak kedua terjadi menjelang malam hari, seringkali pada mereka
yang bekerja. Kejadian paling sering pada Senin pagi, dan variasi berdasarkan musim
telah pula diketahui. Penyebab variasi sikardian ini belum difahami sepenuhnya.
Sepertinya, variasi tersebut merupakan suatu interaksi antara faktor pencetus internal
dan eksternal yang mengakibatkan ketidakstabilan plak, trombosis dan iskemia. Pada
pagi hari terjadi peningkatan aktivitas simpatik, pelepasan katekolamin, reaktivitas
platelet, dan perubahan ratio antara inhibitor plasminogen (PAI) dan plasminogen,
yang kesemuanya ini dapat menyebabkan plak ruptur. Aspirin dan beta-bloker dapat
menurunkan insiden infark dan aritmia ventrikular pada pagi hari. Terapi fibrinolitik
tampaknya bekerja lebih baik pada malam hari.
Asumsi bahwa posisi tegak dan perubahan neurohumoral pada saat berdiri tampaknya
merupakan faktor yang bermakna dalam variasi sikardian pada SKA. Aktivitas
simpatik dan katekolamin turut terlibat. Pasien diabetes melitus yang bergantung

83
insulin tidak memiliki variasi diurnal, mungkin akibat gangguan respon
neurohumoral. Penyakit koroner dan respon endotel yang abnormal tampaknya
merupakan prasyarat terjadinya variasi sirkadian tersebut.

Pola Nyeri Dada


Nyeri dada terjadi pada 70 - 80% pasien SKA, didahului oleh nyeri dada prodromal
pada lebih dari 50% pasien. SKA dapat tampil dengan presentasi klinik yang
bermacam-macam, sehingga seringkali menyulitkan diagnosis.
Nyeri kardiak yang disebabkan oleh penyakit arteri koroner iskemik memiliki tiga
komponen nyeri yang terpisah, yaitu komponen:
 viseral - bersifat tumpul dan sulit terlokalisasi.
 somatik - lebih tajam dan memiliki distribusi dermatomal.
 psikologis - bersifat subyektif berupa perasaan akan datangya ajal, kesedihan yang
mendalam dan ketakutan yang tidak spesifik (sebuah perasaan yang dinamakan
angor animi)
Gejala klinik tersebut sangat individual karena adanya perbedaan transmisi saraf dan
persepsi otak terhadap rasa nyeri pada tiap individu. Suatu mediator kimia,
kemungkinan besar adenosine, mengaktivasi reseptor nyeri yang melintasi perifer,
spinal dan melalui jalur talamokortikal sebelum gejala subjektif angina terjadi. Variasi
tersebut yang dapat menyebabkan terjadinya presentasi klinik yang berbeda-beda,
mulai ‘classic angina’ sampai ‘silent ischemia’.
Presentasi klinis untuk menyebutkan nyeri dada:
 Angina klasik
Rasa tidak enak di daerah substernal, nyeri yang sifatnya tumpul, biasanya seperti
ditekan atau diperas, menjalar ke lengan kiri atau leher, dapat disertai kesulitan
bernapas, berdebar-debar, keringat, mual atau muntah.
 Angina Equivalent
Tidak ada nyeri atau rasa tidak enak di dada yang khas, namun pasien
menunjukkan gejala kegagalan ventrikel mendadak/dekompensasi (sesak napas),
atau aritmia ventrikular (palpitasi, presinkop, sinkop)
 Neri dada Atypical
Rasa tidak nyaman atau nyeri yang terlokalisir di daerah prekordial, tetapi
memiliki gambaran nyeri muskuloskeletal, posisional atau pleuritik.

84
MASALAH KOMUNITAS DAN PELAYANAN KEDARURATAN MEDIS
(EMS)

Masalah Keterlambatan Pasien


Penyelamatan miokard bergantung pada waktu, pertolongan yang paling bermanfaat
adalah pada jam-jam pertama, karenanya naluri kedaruratan sangat penting.
Keterlambatan baik karena faktor pasien maupun EMS akan memperpanjang waktu
terapi reperfusi, sehingga mengurangi efektifitas terapi fibrinolitik dan meningkatkan
kematian.
Kelambatan penanganan SKA terjadi pada 3 periode, yaitu : pengenalan keluhan SKA
oleh pasien, transportasi di luar rumah sakit dan selama evaluasi di RS. Kelambatan di
RS terjadi pada 4 periode (4d), yaitu: door  data (EKG)  decision drug (sejak
masuk UGD, dibuat EKG, diputuskan perlu terapi fibrinolitik, sampai obat diberikan).
Dokter harus mengajarkan pasiennya tentang tanda-tanda serangan jantung,
pemberian preparat nitrogliserin dan aspirin, serta cara mengaktifkan sistem
kedaruratan medis atau upaya mencapai rumah sakit dengan pelayanan kedaruratan
jantung 24 jam.
Pentingnya Defibrilasi dini
Pasien yang meninggal karena IMA 50% terjadi dini, sebagian besar akibat irama
Ventricular Fibrillation (VF). Resiko terbesar terjadinya VF adalah 4 jam pertama. VF
yang terjadi pada fase akut infark miokard disebut primary VF, ini terjadi pada 4 -
18% pasien IMA. Bila pasien sudah tiba di RS, maka angka kejadian VF berkisar 5%,
dan cenderung turun karena adanya upaya reperfusi. Terapi fibrinolitik menurunkan
kejadian VF terutama 3 jam pertama. Terjadinya VF tidak meramalkan adanya
reperfusi.
Karena VF terjadi terutama sebelum pasien masuk rumah sakit, maka Pelayanan
kedaruratan seyogyanya menyediakan defibrillator dan tenaga yang terlatih
menggunakannya. Automated External Defibrikator (AED) telah digunakan secara
aman dan efektif oleh penolong yang hanya mendapatkan pelatihan minimal.
Idealnya, setiap anggota sistem kedaruratan medis mampu melakukan Bantuan Hidup
Dasar dan defibrilasi. Setiap ambulans untuk pasien jantung harus dilengkapi
defibrillator.
Setelah pasien memasuki unit gawat darurat dan unit perawatan kritis, risiko kematian
mendadak akibat aritmia yang fatal menurun. Hal ini disebabkan oleh upaya reperfusi,
dan pemberian -blocker. Kematian pada periode ini umumnya disebabkan oleh :
VF/VT, disfungsi ventrikel kiri dengan kegagalan jantung dan syok kardiogenik,
reoklusi dengan perluasan infark, atau komplikasi mekanik akibat ruptur jantung dan
kerusakan struktur. Jadi seyogyanya upaya perawatan ditujukan untuk mengurangi
luas infark, mengobati aritmia, dan mempertahankan fungsi LV.

Pemberian obat Fibrinolitik di luar rumah sakit.


Karena potensi penyelamatan miokard paling besar pada infark akut dini, beberapa
peneliti mempertimbangkan pemberian fibrinolitik sebelum masuk rumah sakit/pre
Hospital. Pemberian fibrinolitik di rumah oleh personel medis yang terlatih terbukti
menurunkan angka kematian. ACC/AHA merekomendasikan agar sistem kedaruratan
sebelum masuk rumah sakit difokuskan untuk diagnosis dini dan upaya segera

85
membawa pasien ke rumah sakit; pemberian fibrinolitik dikerjakan hanya bila ada
Dokter yang terlatih dan masa perjalanan pasien dari rumah ke rumah sakit > 60 menit
(klas IIa).

Elektrokardiografi di luar RS
EKG 12-lead yang dapat ditransmisi ke RS akan mempercepat diagnosis dan waktu
pemberian obat fibrinolitik. Waktu door to needle (mulai masuk ruang gawat darurat
sampai terapi fibrinolitik diberikan) yang dianjurkan ACC/AHA: < 30 menit.
Pembuatan EKG 12 sandapan perlu dilakukan pada sistem kegawatan jantung, baik di
perkotaan maupun di daerah (klas I).

Syok kardiogenik dan triase fasilitas di luar RS


Bila memungkinkan, segera rujuk pasien usia < 75 tahun dengan risiko tinggi terjadi
kematian atau disfungsi ventrikel kiri yang parah disertai tanda syok, kongesti paru,
nadi > 100/menit dan tekanan darah sistolik < 100 mmHg ke senter yang mempunyai
fasilitas intervensi koroner perkutan atau bedah pintas koroner (klas I).

TRIASE AWAL DAN TATALAKSANA


DI RUANG GAWAT DARURAT

Penilaian Awal
Dari anamnesis yang cepat dan terfokus, petugas gawat darurat dapat menentukan
apakah pasien berisiko tinggi mengalami nyeri dada iskemik, dan apakah ada kontra
indikasi relatif/absolut terhadap penggunaan obat fibrinolitik.
Tatalaksana di ruang gawat darurat dapat digambarkan dalam algoritme yang
prinsipnya meliputi:
 Riwayat Penyakit, termasuk IMA atau tidak, eksklusi fibrinolitik
 Tanda vital & pemeriksaan fisik yang terfokus
 EKG 12 lead; EKG serial bila diperlukan
 Chest X-ray (sebaiknya posisi tegak)
 Pemantauan EKG

Tatalaksana Awal (Ingat "MONA")


 Morphine 2-4 mg tiap 5-10 menit sebagai anagetik. Morfin juga mempunyai efek
venodilatasi, karena itu jangan diberikan pada pasien dengan hipovolemik.
 Oksigen 4 Liter/menit; teruskan bila saturasi oksigen arteri < 90%. Bila hipoksi
berlanjut dan terdapat kelelahan otot pernafasan, lakukan intubasi dini, pasang
ventilator dengan FiO2 tinggi. Bila tanpa penyulit O2 bisa dihentikan setelah 2-3 jam
pemberian.
 Nitrogliserin sublingual atau IV; sebagai test untuk Prinzmetal Angina, spasme
reversible. Nitrogliserin mempunyai efek anti iskemik dan anti hipertensif. Jangan
diberikan bila tekanan darah sistolik < 90 mmHg, bradikardia (< 50/ menit) atau
takikardia. Hati-hati pada infark inferior dengan dugaan infark ventrikel kanan.

86
Nitrate sangat bermanfaat pada : iskemia berulang, hipertensi, gagal jantung
kongestif, IMA anterior yang luas. Hindari penggunaan nitrate long-acting pada fase
akut.
 Aspirin 160-325 mg (dikunyah dan ditelan). Aspirin akan menghambat produksi
Tromboxan A2, sehingga mengurangi kejadian reoklusi koroner pasca fibrinolitik.
Kontraindikasi relatif pada tukak lambung dan asthma.

Penanganan Khusus
 Terapi reperfusi, dengan sasaran:
- Fibrinolitik : door-to-needle < 30 menit
- Primary PTCA: door-to-dilatation <60 menit
 Terapi Conjunctive (kombinasi dengan obat fibrinolitik)
- Aspirin
- Heparin (khususnya dengan TPA)
 Terapi Tambahan
­ Blockade Adrenoreseptor Beta (  blocker ) bila memungkinkan
­ Nitrogliserin iv (efek anti iskemik dan anti hipertensif)
­ ACE Inhibitor (khususnya pada IMA anterior yang luas, gagal jantung tanpa
hipotensi - TD sistolik > 100 mmHg, Infark Miokard sebelumnya).

Stratifikasi risiko dengan EKG 12 lead


Gunakan EKG 12 lead untuk membagi pasien atas 3 kelompok triase:
1. Elevasi segmen ST
2. Depresi segmen ST
3. EKG non diagnostik/normal
Hanya kelompok 1 yang memerlukan terapi fibrinolitik, sedang lainnya tidak. Evolusi
elevasi segmen ST merupakan indikator kuat terjadinya reperfusi.

Stratifikasi risiko dan variabel klinik


Bila dikombinasikan dengan variabel klinik, EKG mampu menentukan triase pasien
kedalam kelompok terapi dan risiko.
Pasien nyeri dada yang sugestif iskemia : probabilitas Penyakit Jantung Koroner
bermakna, berdasarkan klinis & EKG.

87
RESIKO TINGGI PJK RESIKO SEDANG PJK RESIKO RENDAH PJK
( > 1 salah satu dibawah ini) : (Tak ada gambaran risiko (Tak ada gambaran risiko
tinggi + salah satu tinggi/sedang + salah satu
dibawah ini) : dibawah ini ) :
 Infark /episode aritmia yang  Angina klinis pasti  Kemungkinan angina
meng-ancam sebelumnya  Usia muda
 Diketahui PJK (+)
 Angina klinis pasti  Kemungkinan angina  Satu faktor risiko, bukan DM
 Usia lebih tua

 Perubahan ST dinamik dengan  Kemungkinan angina  Inversi gelombang T < 1 mm


nyeri dada  DM
 Tiga faktor risiko lainnya

 Perubahan gelombang T yang  Depresi ST < 1 mm  EKG normal


mencolok di sandapan anterior  Inversi T > 1 mm (sandapan
dengan gel. R dominan)

Pasien nyeri dada yang sugestif iskemia : Risiko jangka pendek meninggal
mendadak berdasarkan klinis & EKG.

RISIKOTINGGI meninggal RISIKO SEDANG meninggal RISIKO RENDAH meninggal


atau infark fatal. atau infark fatal. atau infark fatal.
( > 1 salah satu dibawah ini) : (Tak ada gambaran risiko tinggi (Tak ada gambaran risiko tinggi/
+ salah satu dibawah ini): sedang+ salah satu dibawah ini) :
 Nyeri dada berkepanjangan  Nyeri dada berkepanjangan  Angina - frekuensi, beratnya
( > 20 menit) tak hilang (>20 menit) tapi hilang pada dan lamanya bertambah
dengan istirahat saat evaluasi
 Angina saat istirahat berakhir
 Edema paru  Angina timbul pada aktifitas
> 20 menit atau hilang dengan
 S3 atau ronkhi yang lebih ringan
Nitrogliserin

 Hipotensi dengan angina  Usia > 65 tahun  Angina terjadi 2 minggu -2


bulan
 Perubahan T dinamik
 Angina saat istirahat +  EKG normal atau tak berubah
 Gel. Q dg. deviasi ST > 1 mm
Perubahan ST dinamik
> 1 mm
 Troponin T / I meningkat

Jadi pasien yang risikonya paling tinggi untuk PJK adalah pasien dengan nyeri dada
disertai perubahan ST dan T. Dan yang berisiko paling tinggi untuk mengalami
kematian adalah pasien dengan gejala baru atau perburukan disfungsi LV. Pasien
semacam ini harus dirawat di Coronary Care Unit, dan mendapat terapi sesuai
algoritme.

ERA MODERN TERAPI REPERFUSI


Kematian pada IMA disebabkan oleh Ventrikel Fibrilasi/Takhikardi (VF/VT),
gangguan fungsi ventrikel kiri dengan gagal jantung dan syok kardiogenik, reoklusi

88
dengan akibat perluasan infark, atau komplikasi mekanik (ruptur dan kerusakan
struktur jantung).
Oleh karenanya upaya penanganan ditujukan untuk mengurangi ukuran infark,
mengatasi aritmia, dan mempertahankan fungsi ventrikel kiri. Mungkin diperlukan
suport hemodinamik untuk mempertahankan perfusi koroner dan patensi arteri yang
berhubungan dengan infark.
Pemberian Aspirin dengan Streptokinase pada AMI terbukti menurunkan angka
kematian sampai 42%, sebagian terbesar terjadi 4 jam pertama. Oleh karenanya
direkomendasikan agar pasien dengan infark disertai ST elevasi yang terjadi dalam
tempo 6 jam harus diberi terapi fibrinolitik, tetapi belakangan kategori waktu
diperpanjang karena manfaatnya masih terlihat.

Risiko dan manfaat terapi fibrinolitik


Keengganan menggunakan bahan fibrinolitik berhubungan dengan risiko pendarahan
dan pendarahan intrakranial. Kombinasi TPA dengan Heparin mempunyai risiko
pendarahan otak lebih besar daripada Streptokinase dengan Aspirin. Pada infark
inferior dan usia >75 tahun manfaat terapi fibrinolitik lebih rendah.
Faktor risiko perdarahan intraserebral:
 Usia tua (>65 tahun)
 Berat badan kurang ( < 70 kg)
 Hipertensi ( T > 180/110 mmHg)
 Pemakai antikoagulan

Terapi fibrinolitik tidak dianjurkan bila nyeri dada sudah berlangsung > 12 jam.
Tetapi bila pasien semacam ini mengalami infark yang luas dan nyeri dada masih
berlangsung terus, terapi fibrinolitik dapat diberikan (klas IIb).

Peran terapi fibrinolitik pada nyeri dada ber-kepanjangan atau depresi ST


Terapi fibrinolitik merupakan kontraindikasi atau bahkan berbahaya pada nyeri dada
berkepanjang-an (> 24 jam), meskipun disertai ST elevasi. Namun demikian pasien
IMA luas dengan nyeri berkepanjangan > 12jam dan < 24 jam dapat diberikan terapi
fibrinolitik. Dewasa ini terapi fibrinolitik tidak dianjurkan pada pasien dengan depresi
ST dan nyeri dada iskemik saat istirahat (unstable angina, non Q infark).

Regimen terapi.
Alteplase (TPA) lebih bermanfaat pada infark luas, resiko perdarahan otak kecil dan
datang dini. Sedangkan Streptokinase pada infark yang tidak terlalu luas, resiko
perdarahan otak besar, dan datang lebih lambat.

Kontra Indikasi Absolut terapi Trombolitik.


 Riwayat Stroke Hemoragik sebelumnya kapanpun; stroke lain atau kejadian
serebrovaskuler dalam 1 tahun terakhir
 Diketahuinya neoplasma intrakranial
 Perdarahan internal akut (kecuali mensis)

89
 Dugaan Aortic Dissection

Kontraindikasi Relatif terapi fibrinolitik


 Hipertensi berat yang tak terkontrol saat datang (TD >180/110)
 Kelainan patologis intraserebral lainnya
 Penggunaan antikoagulant (INR >2-3)
 Trauma saat itu (2-4 minggu), termasuk trauma kepala
 CPR lama (> 10 menit) dan traumatik
 Pembedahan besar (< 3 minggu sebelumnya)
 Tusukan vascular noncompressible
 Perdarahan internal saat itu (2-4 minggu)
 Untuk Streptokinase/streptase lain; riwayat penggunaan sebelumnya (khususnya 2
tahun terakhir); Reaksi alergi sebelumnya terhadap streptokinase
 Kehamilan
 Tukak lambung aktif
 Hipertensi kronik yang berat

ALGORITMA NYERI DADA (lihat bagan)


1. Nyeri Dada : Nyeri yang menjurus iskemia
Simptom infark yang paling umum adalah rasa tidak enak di dada retrosternal
Tanda peringatan bagi serangan jantung adalah :
 Rasa ditekan, rasa penuh, seperti diperas atau nyeri di bagian tengah dada
beberapa menit (biasanya lebih dari 15 menit)
 Nyeri yang menjalar ke bahu, lengan, leher, rahang atau nyeri di belakang atau
di antara sendi bahu
 Nyeri dada dengan sakit kepala, pingsan, berkeringat, mual atau kesulitan
menarik nafas.
 Rasa gelisah, anxiety atau seperti mau mati.
 Perlu diingat kemungkinan lain mirip IMA yang juga berpotensi membawa
kematian:
 Diseksi aorta
 Perikarditis akut
 Miokarditis akut
 Pneumotoraks spontan
 Emboli paru

90
2. Penilaian Awal ( < 10 menit)
Protokol ruang gawat darurat harus mencakup penilaian dan mulainya perlakuan
awal umum. Anggota team harus memiliki peran dalam :
 Pengukuran tanda vital termasuk saturasi O2
 Memasang monitor jantung
 Memulai satu atau dua IV infus line
 EKG 12 lead (<10 menit)
 Pengambilan darah untuk periksa: enzim jantung, elektrolit, dan fungsi
koagulasi.
 Foto toraks portable biasanya diperlukan segera atau dalam waktu dekat
3. Penanganan Umum Segera
Segera berikan MONA :
 Oksigen 4 liter/menit, menggunakan kanul nasal
 Nitrogliserin sub lingual atau IV (bila TD > 90 mmHg)
 Morphin Sulfat IV 1-3 mg diulang tiap 5 menit, pada pasien yang tidak hilang
nyeri dengan nitrogliserin. Sebagai alternatif adalah Meperidine. Morphine
juga mempunyai efek venodilatasi, sehingga bermanfaat untuk mengurangi
preload pada pasien dengan edema paru.
 Aspirin oral, penggunaan rutin aspirin 160-325 mg sangat direkomendasikan
termasuk yang menerima terapi fibrinolitik
4. Sistem Pelayanan di Emergency
Kepada masyarakat diajarkan pengenalan dini serangan jantung, sehingga dapat
cepat menghubungi personel kegawatan medis. Kepada petugas gawat darurat
ditekankan perlunya penanganan cepat sehingga dalam waktu < 30 menit sejak
pasien tiba terapi trombolitik dapat dimulai.
5. Mengkaji ECG awal 12-sandapan
Pasien dengan dugaan IMA dan iskemia harus segera diperiksan ECG 12
sandapan, serta dibaca oleh dokter yang bertanggung jawab dalam waktu <10
menit sejak tiba di UGD.
Kemudian digolongkan atas 3 kelompok :
1. Elevasi segmen ST
2. Depressi segmen ST & inversi gelombang T
3. ECG non-diagnostik
6. ST elevasi atau new LBBB atau diduga new LBBB
Klinisi harus mencari elevasi ST yang > 0,1 mV (1 mm pada ECG yang
dikalibrasi 10 mm/1mV) pada dua atau lebih sandapan yang secara anatomis
berhubungan. Ini merupakan indikasi klas I terapi trombolitik, bila usia pasien <
75 tahun dan waktu sejak mulainya nyeri dada < 12 jam.

91
Elevasi segmen ST harus diukur dengan tepat:
 Ukur 0.04 detik (1 mm) setelah titik J
 Titik J adalah posisi perubahan sudut antara kompleks QRS dan gelombang
ST
 Garis dasar yang dipakai adalah garis yang menghubungkan awal gel. P dan T
Tentukan lokasi infark dalam hubungannya dengan anatomi koroner. Pada infark
inferior hendaknya dibuat EKG di prekordial kanan untuk melihat kemungkinan
infark di ventrikel kanan. Pada kondisi ini Nitrogliserin, morfin dan diuretik
sebaiknya tak diberikan.
Pengecualian terhadap aturan "elevasi ST".
 Infark posterior LV ditandai oleh ST depresi V1 - V4
 T tinggi-hiperakut, yang sering terlihat pada infark akut tanpa elevasi ST

7. Pertimbangkan terapi tambahan


Klinisi harus mempertimbangkan pemberian terapi adjunctive berikut :
 Beta blocker
 Nitrogliserin IV
 Heparin IV
 ACE inhibitor
-Adrenergic Blocking Agent (blocker)
Obat ini meningkatkan penyelamatan miokard dan mengurangi ukuran iskemik
penumbra atau area kelabu, dengan cara mengurangi konsumsi oksigen dan
kebutuhan miokard yang iskemik. Dengan obat ini kejadian VF dapat diturunkan,
demikian halnya mortalitas dan morbiditas.
Direkomendasikan untuk pasien dengan elevasi ST, tak ada kontraindikasi 
blocker, dan bila diterapi dalam 12 jam pasca infark.
Kontraindikasi relatif:
 Disfungsi LV berat & edema paru
 Nadi < 60/menit
 Tekanan darah sistolik < 100 mmHg
 Tanda hipoperfusi perifer
 Blok AV derajat 2 atau 3
 Penyakit Paru Obstruktif Menahun berat
 Riwayat asma
 Penyakit pembuluh darah perifer yang berat
 Diabetes melitus yang bergantung insulin

92
Nitrogliserin.
Nitrogliserin digunakan dengan tujuan vasodilatasi arteri koroner, disamping itu
juga efek vasodilatasi pembuluh darah perifer dan venous.
Direkomendasikan pada:
Pasien IMA 24-48 jam pasca onset yang disertai komplikasi:
 Gagal jantung kongestif
 Infark antrior yang luas
 Iskemia yang persisten
 Hipertensi
Nitrogliserin IV hendaknya diberikan awal pada pasien tersebut diatas, tetapi
jangan sampai menghambat strategi reperfusi.
Untuk pasien IMA tanpa hipotensi, bradikardia atau takhikardia, pemberian
nitrogliserin IV dapat diterima tetapi manfaatnya masih belum pasti.
Perhatian:
 Hindari hipotensi sistemik karena akan memperburuk iskemia dan perfusi
miokard.
 Batasi penurunan tekanan darah sistolik sampai 110 mmHg bila tekanan darah
pasien normal, dan jangan turun > 25% pada pasien tekanan darah tinggi;
jangan sampai tekanan darah sistolik < 100 mmHg.
 Gunakan keluhan nyeri dada sebagai petunjuk untuk titrasi Nitrogliserin
 Jangan gunakan Nitrogliserin sebagai pengganti analgetik narkotik untuk
menghilangkan nyeri dada, pasien biasanya memerlukan keduanya.
 Jangan diberikan pada infark ventrikel kanan.

Heparin IV
Direkomendasikan untuk:
 Pasien yang diberi TPA dan Retavase
 Pasien yang strategi reperfusinya menggunakan PTCA atau CABG
Perhatian:
 Kontraindikasi seperti pada terapi fibrinolitik
 Perdarahan aktif
 Baru mengalami perdarahan otak, intra-spinal, operasi mata
 Hipertensi berat
 Gangguan pembekuan darah
 Perdarahan gastrointestinal
Sensitivitas terhadap Heparin menurun bila diberikan bersama nitrogliserin IV.
Diperlukan dosis lebih besar untuk mendapatkan efek antikoagulasi. Resiko
perdarahan meningkat bila nitrogliserin dihentikan sedangkan heparin diteruskan.

93
ACE inhibitor
Direkomendasikan pada:
 Pasien IMA disertai ST elevasi pada 2 atau lebih sandapan anterior prekordial
 Pasien AMI dengan EF < 40%
 Pasien AMI dengan tanda gagal jantung akibat disfungsi sistolik
Perhatian:
Umumnya ACE inhibitor diberikan pada 24 jam pertama, setelah terapi
trombolitik selesai dan tekanan darah stabil.

8. Waktu sejak timbulnya gejala

Onset timbulnya gejala didefinisikan sebagai permulaan dari rasa tidak enak yang
kontinu, menetap yang membuat pasien memutuskan untuk datang ke ruang
emergency atau mencari pertolongan lainnya. Semakin awal terapi dimulai,
semakin baik hasilnya. Keuntungan terbesar terhadap survival dan fungsi LV
terjadi bila terapi diberikan dalam 3 jam pertama. Survival yang signifikan terjadi
hingga 12 jam sejak timbulnya gejala.

9. Pemilihan strategi reperfusi


Terapi Fibrinolitik merupakan intervensi klas I bila:
 Keluhan klinis sesuai dengan nyeri tipe iskemik
 ST elevasi > 1 mm pada sedikitnya 2 sandapan yang berdekatan
 Tidak ada kontraindikasi
 Pasien berumur < 75 tahun
Bila usia pasien > 75 tahun, resiko pemberian terapi fibrinolitik meningkat, tetapi
risiko AMI yang tak diberi pengobatan juga naik. Pasien seperti ini tetap diberikan
terapi fibrinolitik.
Waktu infark > 12 jam, tetapi bila nyeri terus berlangsung dan ada elevasi ST,
maka terapi fibrinolitik dapat diberikan.

10. Pilihan Terapi Fibrinolitik (bila tidak ada kontra indikasi )


 Tissue Plasminogen Activator (tPA) : Alteplase
- Diberikan pada AMI yang luas, datang dini dan kemungkinan komplikasi
penda-rahan kecil.
- Diberikan dengan dosis bertahap (15 mg bolus IV, kemudian 0.75 mg/kg -
jangan melebihi 50 mg diberikan dalam tempo 30 menit, selanjutnya 0.50
mg/kg - jangan melebihi 35 mg diberikan dalam tempo 60 menit).
 Streptokinase
- Diberikan pada pasien IMA yang kemungkinan komplikasi perdarahan otak
tinggi, datang lambat dan infarknya tak luas.
- Dosisnya: 1.5 juta unit diberikan dalam waktu 1 jam

94
 Reteplase
Segi keuntungannya: diberikan dalam 2 dosis bolus, masing-masing 10 unit IV
dengan lama pemberian 2 menit, berjarak antara 30 menit.
 Heparin
Pasien IMA perlu diberikan Heparin (waktu pemberian 30 menit) dan Aspirin.

11. Ada tanda syok kardiogenik (pasien terpilih untuk PTCA primer) atau ada
kontra-indikasi terapi fibrinolitik
PTCA primer diindikasikan bila :
 Elevasi segmen ST atau baru/diperkirakan BBB baru.
 Kurang dari 12 jam sejak onset
 Terjadi syok kardiogenik atau ada kontra-indikasi terapi fibrinolitik

12. Primary PTCA terpilih.


Sasaran : Door-to-dilatation interval atau saat tiba di laboratorium kateterisasi 90
+ 30 menit.
Beberapa hal yang harus dipenuhi sebelum PTCA dini dipertimbangkan sebagai
alternatif yang equivalen terhadap terapi fibrinolitik, yaitu :
 Door time (waktu tiba UGD sampai di lab. Kateterisasi) < 60 menit dan
Dilatation time (waktu tiba di UGD sampai dilatasi dimulai) bisa < 90 menit.
 Mempunyai fasilitas bedah jantung
 Operator harus terlatih dalam prosedur tersebut ( telah melakukan lebih dari 75
kali PTCA pertahun)
 Pusat PTCA harus mempunyai volume tinggi (melakukan lebih dari 200
prosedur PTCA per tahun)
 Operator PTCA dan senternya sendiri harus dioperasikan dalam Corridor of
outcome tertentu, yang ditentukan oleh keberhasilan yang tinggi dan
komplikasi yang rendah.
Rekomendasi angioplasti untuk pasien dengan ST elevasi yang :
 Keluhan & gejala mengarah ke AMI luas dan timbulnya < 12 jam, mempunyai
kontraindikasi terapi fibrinolitik (klas I)
 Pasien kemungkinan stuttering infark, disertai perubahan EKG tapi tak jelas
indi-kasinya untuk terapi fibrinolitik (klas II a)
 Pasien AMI dengan syok kardiogenik atau kegagalan fungsi ventrikel kiri
terjadi < 18 jam (klas II a)
 Pasien dengan riwayat CABG dengan kemungkinan sumbatan pada graft vena
 Pasien dengan dugaan AMI di rumah sakit yang dilengkapi PTCA cepat
 Pasien AMI dengan terapi fibrinolitik yang gagal mengalami reperfusi atau
nyeri dada berlanjut.

95
13. Depresi ST atau inversi gelombang T : EKG sangat menunjang iskemia
Pasien sindrom koroner akut hanya dengan depresi ST atau gekombang T
terbalik tidak ada manfaatnya bahkan berbahaya bila diberikan terapi fibrinolitik.
Pasien seperti ini kebanyakan perlu dirawat di CCU terlepas dari normal atau
tidaknya nilai penanda enzym serum. Selanjutnya segera dicek apakah termasuk
kategori resiko tinggi atau tidak.
Injury baru di posterior ? Depresi segmen ST yang dalam pada V1-V4 dapat
menunjukkan adanya oklusi arteri circumflex yang menimbulkan kerusakan pada
bagian belakang ventrikel kiri. Terapi fibrinolitik harus dipertimbangkan untuk
pasien-pasien seperti ini, khususnya bila nyeri dada iskemik berlangsung terus
menerus dan tidak berkurang.

14. Pertimbangkan Terapi Adjunctive pada Depresi ST / inversi gelombang T: EKG


sangat menunjang iskemia
Untuk kelompok ini terapi tambahan sama dengan yang sebelumnya pada
kelompok dengan ST elevasi, tetapi terdapat perbedaan dalam indikasinya. Pada
jam-jam pertama penatalaksanannya pasien kelompok ini kadang-kadang sulit
untuk digolongkan termasuk IMA (penanda serum positif) atau angina tak stabil
(penanda serum negatif), atau apakah pasien dengan penanda serum positif akan
membentuk gelombang Q atau Non Q.
 Heparin IV, direkomendasikan bila : tidak ada kontraindikasi, pasien nyeri
dada dengan depresi segmen ST akut atau inversi T, dengan asumsi adanya
angina tidak stabil.
 Nitrogliserin IV, direkomendasikan bila :
- Nyeri tidak terkontrol dengan nitrogliserin SL > 3 tablet, 3 dosis spray,
atau pasta nitrogliserin
- Nyeri berkurang setelah pemberian awal
- Tekanan darah meningkat setelah pemberian Beta Blocker.
- Bila ada tanda-tanda munculnya gagal jantung kongestif
Kontraindikasi relatif :
- Hipotensi (TD sistolik < 90 mmHg)
- Perubahan ECG inferior (dugan RV infark)

 Beta blocker, direkomendasikan pada:


- Pasien dengan nyeri iskemik berulang atau kontinu
- Pasien dengan takiaritmia, seperti AF rapid response
 Calcium channel Blocker (bila beta blocker tidak adekuat atau tidak
response), direkomendasikan pada:
- Hanya digunakan setelah β-blocker, Nitrogliserin dan analgesik pada
iskemia berlanjut, menekan nadi pasien atrial fibrilasi. Hindari pada pasien
dengan gagal jantung, fungsi LV yang buruk, atau AV block. Gunakan
bila -blocker kontraindikasi.

96
- Diltiazem dapat diberikan rutin pada pasien AMI tanpa gagal jantung, tapi
gunakan setelah 24 jam.
Kontraindikasi :
- Jangan digunakan sebagai terapi rutin pada IMA
- Jangan gunakan Diltiazem atau verapamil pada pasien IMA bila terdapat
disfungsi LV atau gagal jantung kongestif

15. Pengkajian Status Klinis


Pada keadaan ini klinisi dihadapkan pada pasien dengan depresi ST atau T
terbalik atau pasien dengan ST elevasi lebih dari 12 jam. Pengambilan keputusan
kritis pada saat ini adalah menggolongkan pasien pada resiko tinggi atau resiko
rendah, yang akan menentukan penatalaksanaan selanjutnya.

16. Pasien Resiko Tinggi


Pasien yang dipertimbangkan sebagai resiko tinggi (ECG abnormal) memerlukan
katete-risasi jantung, yaitu bila pasien :
 Mengalami nyeri dada berulang walaupun dengan pemberian morfin,
Nitrogliserin, β-blocker (indikasi klas I menurut AHA)
 Menunjukkan gejala-gejala depresi fungsi LV, shock dan kongesti paru
(Klas I)
 Mengalami rasa tidak nyaman iskemik persisten, tidak berkurang dan terus
menerus walaupun dengan pemberian morfin, nitrogliserin dan β-blocker
(Klas II)
 Menampakkan perubahan ECG berupa depresi ST pada banyak sandapan,
diduga iskemia jantung yang luas. (Klas II a)
 Mempunyai riwayat dua atau lebih faktor resiko PJK termasuk IMA
sebelumnya, angioplasti / CABG sebelumnya. (Klas II a)
17. Pelaksanaan Kateterisasi Jantung
Tujuannya adalah untuk identifikasi pasien dengan resiko tinggi yang memiliki
lesi arteri koroner yang dapat ditatalaksana secara efektif dengan balloon
angioplasti atau penempatan stent atau keduanya.
Bila angioplasti gagal, pasien menjadi calon potensial untuk CABG. Di samping
itu, banyak dari pasien resiko tinggi ini mem-punyai stenosis di arteri koroner left
main, atau penyakit multivessel berat yang dapat ditangani dengan CABG darurat
atau segera.

18. Revaskularisasi
Berupa PTCA dan CABG. PTCA dapat dengan segera menghilangkan nyeri serta
memperbaiki fungsi jantung di meja kateterisasi. Indikasi CABG pada pasien
yang secara anatomis dapat dilakukan tindakan bedah :
 Gagal angioplasti dengan nyeri yang menetap (Klas I)
 Hemodinamik tidak stabil (Klas I)

97
 Refrakter terhadap terapi medis dan pasien bukan calon untuk untuk Intervensi
kateter (Klas I)
 Shock Kardiogenik (Klas II a)
 Gagal PTCA dengan suatu area kecil pada miokard yang beresiko (Klas II b)

19. Stabil secara Klinis (Depresi segmen ST atau Inversi gelombang T)


Pasien dengan nyeri dada iskemia dan depresi segmen ST atau inversi gelombang
T, jangan dianggap stabil secara klinis, hingga bebas nyeri dan secara nyata
asimptomatik. Morfin, Nitrogliserin IV dan β-blocker IV mungkin tetap
diperlukan.

20. Dirawat di CCU/Monitor Bed


 Mulai terapi tambahan sesuai indikasi
 Cek penanda serum/enzim serial
 Periksa EKG serial
 Pertimbangkan pemeriksaan imaging (radionuklir atau Echocardiografi 2D)

21. EKG Non-diagnostik : Tidak ada perubahan segmen ST atau gelombang T


Bila pasien dengan nyeri dada memiliki peru-bahan EKG yang nondiagnostik,
bukan lagi prioritas untuk terapi fibrinolitik. MONA tetap perlu diberikan.

22. Memenuhi kriteria untuk Unstable atau Angina new onset .


Angina Stabil, yaitu sindrom klinis yang biasanya ditandai dengan rasa tak
nyaman di dada atau lengan bagian dalam, sulit dilokalisir yang terjadi berulang
dihubungkan dengan aktivitas fisik atau stress emosional dan hilang dengan
istirahat atau nitrat sublingual.
Angina tidak stabil, merupakan perubahan pola yang biasanya terjadi pada
angina stabil.
Ada 3 tiga presentasi klinis paling umum :
 Rest Angina, Angina yang terjadi saat istirahat dan biasanya terjadi > 20 menit
 New-onset Angina, nyeri dada yang timbul pada aktivitas fisik sehingga
mengakibatkan keterbatasan aktivitas fisik; tejadi saat berjalan satu sampai dua
block dan mendaki tangga 1 tingkat pada kecepatan normal; gejala muncul
dalam 2 minggu terakhir.
 Increasing angina, angina yang makin sering, makin lama durasinya, ambang
aktifitas yang makin menurun, berdasarkan pembagian menjadi klas-klas :
- Klas I : Aktifitas fisik biasa tidak menimbulkan keluhan, nyeri timbul bila
aktifitas berat, cepat dan terus menerus
- Klas II : Keterbatasan ringan untuk aktifitas biasa, nyeri timbul bila (1) ber-
jalan atau naik tangga dengan cepat, jalan mendaki, naik tangga setelah
makan, atau saat dingin/angin atau (2) berjalan lebih dari 2 blok, lebih dari
satu tingkat.

98
- Klas III: Aktifitas fisik sangat terbatas untuk aktifitas biasa, berjalan 1-2 blok
timbul nyeri
- Klas IV: Tidak dapat melakukan aktifas fisik karena timbul rasa tidak nyaman.

23. Pertimbangkan :
 Perawatan di CCU / Intermediate care ?
 Perawatan di unit observasi nyeri dada ?
 Terus dievaluasi di ruang emergensi ?
 Dapat dipindahkan dari ruang emergensi ?
Hal yang perlu diperhatikan:
 EKG yang normal tidak menyingkirkan IMA; perlu dibuat EKG serial untuk
melihat perubahannya.
 Sebagian besar pasien (80-85%) tidak berkembang menjadi AMI
 Enzim jantung baru terlihat kenaikannya 2-4 jam sesudah terjadi kerusakan
miokard, perlu diperiksa 8-12 jam kemudian bila enzim tak naik.
 Radionuklid dan ekokardiografi 2 dimensi dapat melihat penurunan gerakan
miokard segera setelah IMA, lebih dini daripada EKG dan enzim.
 Exercise stress test pada kelompok ini dapat dikerjakan untuk menentukan
apakah pasien bisa pulang (bila EKG non-diagnostik dan nyeri hilang).

24. Ada bukti iskemia atau infark dalam 8 hingga 12 jam ?


Pengambilan keputusan lebih bergatung pada informasi obyektif yang nyata.
Tampak adanya beberapa perubahan dalam praktek, yaitu:
 Perawatan di Coronary Care Unit ber-kurang: lebih sedikit pasien yang
langsung dirawat di CCU karena diagnosis IMA dapat ditegakkan dalam waktu
8-12 jam.
 Lebih sedikit pasien yang segera dipulang-kan dari ruang gawat darurat, karena
diperlukan masa observasi 8 - 12 jam.
 Masa perawatan gawat darurat bertambah karena waktu obeservasi tersebut
diatas
 Diperlukan penatalaksanaan yang lebih kompleks di gawat darurat, yang
seringkali berhubungan dengan evaluasi rawat jalan
 Ruang intermediat atau perawatan jangka pendek (<24 jam) lebih banyak
diperlukan, tetapi pasien ditangani dengan lebih teliti.

25. Dapat dipulangkan


 Perencanaan follow up selanjutnya.
Pasien dengan nyeri dada tipe iskemia dan EKG nondiagnostik atau tanpa
perubahan EKG/peningkatan enzim jantung, setelah dimonitor 8-12 jam dapat
dipulangkan dengan pesan segera kembali bila nyeri timbul lagi, dan diberikan
instruksi tertulis yang jelas untuk evaluasi follow up selanjutnya.

99
LOKASI INFARK: MENGGUNAKAN EKG 12 SANDAPAN UNTUK
MENENTUKAN ISKEMIA, INJURY DAN INFARK.

Iskemia, injury dan infark sering disebut ketiga "I" dari kejadian koroner. Bila terjadi
penurunan aliran darah ke arteri koroner beberapa detik, terjadilah iskemia. Bila
oklusi berlangsung 20-40 menit, terjadilah injury. Bila berlangsung 1-2 jam, terjadilah
infark. Pada hampir semua oklusi total proses infark lengkap dalam waktu 6 jam.

Iskemia.
Iskemia terjadi akibat ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen pada
suatu area miokard. Biasanya ditandai dengan nyeri/rasa tak enak di dada. Iskemia
dapat segera diatasi dengan mengurangi kebutuhan oksigen (istirahat, pemberian 
blocker yang menurunkan laju jantung) atau dengan menambah suplai oksigen/aliran
koroner (vasodilatasi dengan nitrogliserin).
Perubahan EKG:
ST depresi dan perubahan gelombang T. ST depresi dianggap bermakna bila > 1 mm
dibawah garis dasar PT di titik J. Titik J didefinisikan sebagai akhir kompleks QRS
dan permulaan segmen ST.
Bentuk segmen ST :
- up-sloping (seringkali tak spesifik)
- horizontal (lebih spesifik untuk iskemia)
- down-sloping (paling terpercaya untuk iskemia)
Perubahan gelombang T pada iskemia kurang begitu spesifik, bisa terbalik (relatif
terhadap sumbu QRS), atau tinggi, lancip dan simetri. Gelombang T raksasa,
hiperakut kadang-kadang merupakan satu-satunya perubahan EKG yang terlihat pada
AMI. Pada kondisi yang tepat tanda ini dapat digunakan sebagai indikasi trombolitik.
Kondisi lain yang dapat mengakibatkan depresi ST dan perubahan gelombang T
adalah: digoxin, hipertrofi ventrikel kiri, repolarisasi dini, LBBB dan pre-eksitasi.

Injury
Injury terjadi bila periode iskemia berlangsung lama, dengan akibat terjadinya
kerusakan sel-sel miokard. Untuk terjadi injury diperlukan waktu oklusi 20-40 menit.
Miokard yang mengalami injury ini tidak akan berfungsi baik, terjadi gangguan
kontraktilitas dan konduksi impuls listrik. Nyeri dada biasanya parah, tetapi enzim
jantung belum meningkat.
Penyelamatan miokard dapat dilakukan dengan intervensi reperfusi (fibrinolitik,
PTCA primer).
Perubahan EKG:
Perubahan EKG pada injury adalah elevasi segmen ST > 1 mm = 0.1mV/1.0 mm
diatas garis dasar PT pada titik 0.04 detik (1 mm) melewati titik J.

100
Infark
Infark merupakan kondisi dimana sel miokard yang mengalami injury mati dan
nekrosis. Dari injury ke infark diperlukan waktu beberapa menit sampai beberapa jam.
Pada keadaan ini integritas sel dinding hilang, sehingga komponen intraseluler
(creatinin phosphokinase/CPK, troponin dan mioglobin) bocor masuk sirkulasi darah,
dan dapat diukur kadarnya.
Perubahan EKG:
Tanda yang paling khas adalah adanya gelom-bang Q patologis (lebarnya > 1 mm
atau 0.04 detik) dan tingginya > 25% tinggi gelombang R pada lead yang sama.
Gelombang Q tidak menggambarkan waktu terjadinya infark, namun bila disertai
perubahan gelombang T dan segmen T makan gelombang Q dapat mengindikasikan
infark yang baru terjadi (akut).

HUBUNGAN GAMBAR EKG DAN ANATOMI JANTUNG.


Arteri Koroner.
Arteri koroner kiri mensuplai darah ke septum interventrikuler, bundle branch, dan
seluruh ventrikel kiri melalui cabang-cabang Left Anterior Descending (LAD) dan Left
Circumflex (LCx). Pangkal arteri koroner kiri sebelum bercabang menjadi LAD
disebut Left Main Coronary Artery, oklusi pada arteri ini mempunyai angka kematian
tinggi karena miokard yang rusak luas.
Arteri koroner kanan mensuplai darah ke nodus AV ventrikel kanan, bagian posterior
dan inferior ventrikel kiri. Namun demikian mungkin saja terjadi variasi antara kedua
arteri koroner kanan & kiri.

Anatomi Koroner dan EKG 12 sandapan.


 Sandapan V1 dan V2 menghadap septal area ventrikel kiri
 Sandapan V3 dan V4 menghadap dinding anterior ventrikel kiri
 Sandapan V5 dan V6 (ditambah I dan avL) menghadap dinding lateral ventrikel
kiri
 Sandapan II, III dan avF menghadap dinding inferior ventrikel kiri
Tak ada sandapan EKG yang berhadapan dengan dinding posterior LV. Namun V1-
V4 merupakan sandapan resiprokal dinding posterior, sehingga merupakan bayangan
kaca perubahan EKG yang ada pada sandapan itu.
Demikian halnya ventrikel kanan, tak ada san-dapan EKG yang berhadapan dengan
area ini, tetapi V4R dapat digunakan untuk melihat perubahan segmen ST.
Oklusi arteri koroner: Lokalisasi iskemia, injury, infark area anatomi dengan
EKG 12 sandapan
Konsep dasar:
 EKG yang normal bukan berarti tak terjadi IMA, khususnya pada oklusi koroner
yang baru saja terjadi atau ada gangguan sirkulasi.
 Semakin tinggi elevasi ST dan semakin banyak sandapan yang terkena, semakin
luas infark dan semakin buruk kondisi miokard.
 EKG ulangan perlu dibuat untuk menyingkirkan EKG yang perubahannya tak
bermakna

101
 Oklusi arteri koroner yang semakin proksimal akan mengakibatkan perubahan EKG
pada banyak sandapan. Misalnya injury anteroseptal, sandapan yang abnormal di
V1-4.
 Agar disebut bermakna, maka perubahan EKG haruslah menyangkut 2 atau lebih
sandapan yang anatomis bersambungan. Misalnya perubahan EKG pada sandapan I
dan III kurang bermakna bila dibanding II dan III.
 Variasi bisa saja terjadi, karena adanya variasi anatomi, kolateral.
Perubahan pada sandapan V1-V2.
V1 dan V2 menghadap septum jantung, cabang septal LAD memberi aliran ke area
ini. Pada septum terdapat His bundle dan bundle branch. Oklusi pada area tersebut
akan menimbulkan infranodal BBB (AV blok derajat II dan III), dan juga LBBB
(lebih sering) maupun RBBB.
Perubahan pada sandapan V3-4.
V3 dan V4 menghadap dinding anterior ventrikel kiri, cabang diagonal LAD
mensuplai daerah ini. Karena area ini sangat penting bagi fungsi pompa ventrikel kiri,
oklusi ini dapat berakibat disfungsi ventrikel kiri yang parah, termasuk gagal jantung
bahkan syok kardiogenik. Karena bundle branch berjalan disini, maka bisa timbul
BBB. Infark di area ini sangat bermanfaat bila diberi fibrinolitik.

Perubahan pada sandapan V5-V6.


V5 dan V6 menghadap area lateral ventrikel kiri seperti halnya I dan aVL, area ini
diperdarahi oleh LCx. Disfungsi miokard yang ditimbulkannya tidak luas sehingga
angka kematiannya juga kecil. Tetapi kadang-kadang LCx mensuplai AV node,
sehingga oklusi menimbulkan blok AV.

Perubahan pada sandapan II, III, aVF.


Ketiga sandapan ini menghadap area inferior ventrikel kiri, 90% kasus area ini
disuplai oleh cabang arteri koroner kanan (cabang posterior descending) Mortalitas
infark di daerah ini lebih kecil daripada anteroseptal/anterolateral. 30-40% kasus
infark inferior disertai infark ventrikel kanan, yang mungkin terlewatkan.

EKG berubah Arteri stenosis Area kerusakan Penyulit

V1 - V2 LCA: LAD-cabang septal Septum, His bundle, bundle Infranodal dan BBB
anteroseptal / anterolateral. 30-40% kasus infark inferior disertai infark ventrikel kanan,
branch
yang mungkin terlewatkan.
V3 - V4 LCA: LAD-cabang Anterior wall LV Disfungsi LV, GJK, BBB, blok
diagonal AV komplet, PVC

V5 - V6 + I, avL LCA: cabang LCX Lateral atas LV Disfungsi LV, blok AV nodal

II, III, avF RCA: posterior Inferior & posterior LV Hipotensi, sensitif thd. Morfin
descending dan NiTtroglise-rin

V4R (II, III, avF) RCA: cabang proksimal RV, inferior/posterior LV Hipotensi, blok supranodal &AV
nodal, AF/AFF, PAC,reaksi obat

V1 - V4 (depresi LCA: LCX atau RCA: LV dinding posterior LV disfungsi


dalam) posterior descending.

102
Perubahan pada sandapan V4R (seringkali dikenali akibat perubahan di san-
dapan II, III, aVF).
Infark RV sangat bahaya, karena hanya bisa diduga bila ada infark ventrikel kiri.
Perubahan di V4R sangat sensitif. Infark di lokasi ini sering mengakibatkan hipotensi.
Obat-obatan yang menurunkan aliran darah balik (morfin dan nitrogliserin) dapat
mengakibatkan hipotensi yang berat.
Disamping itu oklusi di proksimal arteri koroner kanan mensuplai SA node dan AV
node. Kerusakan di area ini berakibat blok supranodal dan AV nodal. Bradikardia
yang simptomatik memerlukan pacemaker temporer yang dipasang transkutan atau
transvenous, disamping obat-obatan. Oklusi proksimal arteri koroner kanan
merupakan penyebab tersering fibrilasi/flutter atrial pada AMI.

Perubahan pada sandapan V1-V4 (khususnya ST depresi, bukan elevasi).


Depresi segmen ST yang dalam di sandapan V1-V4 merupakan pertanda oklusi arteri
circumflex kiri, dan merupakan gambaran infark/injury baru di area posterior. Tetapi
kadang-kadang pertanda ini terlihat pada infark arteri koroner kanan

103
NYERI DADA ISKEMIK (ANGINA
PEKTORIS)

NILAI SEGERA (<10 menit) TERAPI UMUM SEGERA


 N,T (dinamap-otomatis)  Oksigen 4 L/men
 Saturasi O2  Aspirin 160 - 325 mg
 Pasang IV line  Nitroglyserin SL/ spray
 EKG 12 lead  Morfin iv
 Anamnesa & pem.fisik cepat
(bila nyeri tak hilang dengan
(fokuskan pada Ix & KIx. Trombolitik)
 Lab: CK, CKmb, elektrolit, Koagulasi
Nitrogliserin)
 Foto toraks ( <30 menit)

NILAI EKG 12 SANDAPAN PERTAMA

 Elevasi ST atau LBBB baru/  Depresi ST / gel. terbalik : dugaan  EKG tak khas : tak ada
 diduga baru : dugaan kuat injury  kuat iskemia  perubahan ST/T
 ST elevasi akibat AMI  Resiko tinggi UAP/non ST elevasi IMA  Resiko UAP sedang/ rendah

Mulai Terapi : Mulai terapi :  Memenuhi kriteria


 blocker iv  Heparin (UFH/LMWH)  Unstable/ angina baru ?
 Nitroglyc iv  Aspirin 160 – 325 mg qd ya atau
 Heparin iv  Glikoprot. IIb/IIIa reseptor inhib.  Troponin positif
 ACE inhibitor  Nitrogliserin iv
 blocker

> 12 jam Klinis tidak


Waktu sejak keluhan mulai Tentukan status klinis stabil
<12 jam

Pilih reperfusi :  Bila syok kardiogenik Pasien resiko tinggi :  Rawat di Emg + monitor
 KIx fibrinolitik PCI  Angina menetap  Enzim serial
 Angiografi
 merupakan pilihan  Iskemia berulang (+Troponin)
 PCI (angioplasti
 (klas I)  Fungsi LV kurang  Ulang EKG/ monitor ST
+ stent)
 Bila PCI (-)  gunakan  Perubahan EKG luas  2DE/radio- nuklid
 backup u/ CABG
 fibrinolitik (bila tak  IMA, PCI, CABG
 ada KIx) sebelumnya

Pilih Fibrinolitik bila: PCI primer bila : Coroner angio: tidak ya Bukti iskemia/
 Front door alteplase  Dapat dilakukan Sesuai untuk infark ?
 Streptokinase  90 + 30 menit se- Revaskularisasi ?
 APSAC  jak tiba Rawat CCU:
 Reteplase  Operator Ahli tidak
 Teruskan tx
 Tenecteplase  Volum aktifitas > ya  tambahan
 Sasaran: dari  Bedah jantung  Enzim seri
kejadian s/ obat
siap  EKG serial Dipulangkan
diberikan <30’
Revaskularisasi  2DE/nuklir untuk follow up
PCI/CABG

PROTOKOL UNTUK NYERI DADA AKUT

104
Depresi segmen ST, perubahan dinamik gelombang T :
Infark - Non Q – Untable Angina
Rekomendasi tatalaksana dan terapi

Secara umum terapi pasien dengan : Antitrombin (Heparin) +


antiplatelet (Aspirin)
Antitrombin (Heparin) dan
Antiplatelet (Aspirin)
Kriteria risiko tinggi :
 Depresi ST > 1 mm
 Nyeri dada
berkepanjangan; iskemia
berulang
Modifikasi pengobatan ini bila pasien
 Kelainan EKG difus atau
termasuk risiko tinggi luas
 Depresi fungsi LV
 Gagal jantung kongestif
 Pelepasan petanda
serum: troponin (+) atau
CKMB (+)

Pasien yang memenuhi kriteria risiko tinggi akan


mendapat manfaat bila diberikan :
Aspirin dan
Antitrombin (Heparin) +
Inhibitor GP IIb/IIIa dan Antiplatelet (Aspirin) +
Inhibitor Glikoprotein
unfractionated heparin atau
IIb/IIIa
Low molecular weight Heparin
(manfaat dan keamanan kombinasi dengan inhibitor GP IIb/IIIa
masih dalam penelitian)

Semua pasien tanpa kontra-


indikasi harus mendapatkan
 - Blockers

Pasien yang menderita angina berulang Nitrates


juga harus mendapat

Sebagai obat ketiga yang dipakai


pada angina refrakter atau pasien Calcium channel
dengan kontra-indikasi pemakaian  blokers blockers

105
TATALAKSANA SINDROMA KORONER AKUT (SKA)

NILAI EKG AWAL

 EKG 12 sandapan sangat penting untuk triase SKA di unit Emergensi.


 Dalam 10 menit golongkan pasien dalam salah satu dari ketiga

Elevasi segmen Depresi segmen ST/ inversi gel.T EKG nondiagnostik/


ST/LBBB baru yg. dinamik: kuat dugaan iskemia normal

 Depresi segmen ST 0.5 –


 Elevasi ST > 1 mm pada 2 • Depresi ST > 1 mm
1 mm
atau lebih sandapan yang • Inversi gel T tinggi simetris
 Inversi gel T atau datar
berhubungan pada beberapa sandapan
 sandapan dgn gel R
 LBBB baru/diduga baru prekordial
dominan
(BBB menyulitkan analisis • Perubahan dinamik ST-T di-
segmen ST) sertai nyeri dada  EKG normal

• >90% dg. Nyeri dada Subgrup beresiko tinggi Grup heterogen : penilaian
iskemik + elevasi segemen dengan kematian meningkat: cepat diperlukan dg.
ST akan menjadi gel. Q baru •
• Keluhan menetap, iskemi EKG serial
atau enzim postif u/ IMA
berulang
• Pemantauan segmen ST
• Pasien dg. gel.T hiperakut
• Kelainan EKG difus dan
akan bermanfaat bila diag- • Tanda serum jantung
merata
nosis IMA pasti. EKG serial • Penilaian resiko lainnya
mungkin bermanfaat • Gagal jantung kongestif yang bermanfaat:
• Pasien dg. Depresi ST pd. • Troponin /CK-MB positif • Radionulid perfusi
Sandapan prekordial awal • Stress ekokardiografi
yang mengalami infark
posterior bermanfaat bila
IMA diagnosis pasti

• Terapi antitrombin dg
 Aspirin
heparin
• Terapi reperfusi • Terapi antiplatelet dg  Terapi lain yang sesuai
aspirin
• Aspirin  Pasien dg. serum petanda
• Heparin (bila menggunakan
• Inhibitor glikoprotein
yang positif, perubahan
IIb/IIIa
bahan lisis spesifik fibrin EKG, atau studi fungsi:
•  Blocker
•  blocker atasi sebagai beresiko
• Nitrate atas indikasi
• Nitrate tinggi

106
Stroke

PENDAHULUAN

 Definisi
Stroke adalah gangguan peredaran darah otak yang mendadak dan menimbulkan
defisit neurologis.
 Penyebab kematian tertinggi nomor 3.
Jutaan orang mengalami stroke (baru dan berulang) dan hampir ¼ meninggal.
Angka kejadian di Eropa menurun, tetapi di Rusia cenderung meningkat
Umur harapan hidup meningkat  upaya preventif
 Belum ada terapi spesifik yang benar-benar diyakini dapat menghambat
perjalanan penyakit atau perluasan stroke
Era reperfusi dengan trombolitik dapat ditentukan diagnosis dengan tepat dan
cepat

ANATOMI PEMBULUH DARAH OTAK

1. SISTIM KAROTIS (Sirkulasi anterior)


2. SISTIM VERTEBRO BASILER (Sirkulasi posterior)

Klasifikasi
1. Iskemi - hampir 85 %
- trombosis atau emboli
2. Hemoragik - ruptur arteri serebral
 perdarahan subarahnoid
 perdarahan intraserebral

Faktor risiko
Dapat Tidak dapat
dimodifikasi dimodifikasi
Hipertensi Usia
Rokok Gender
DM Ras
Penyakit Jantung Herediter
Hiperkoagulasi Prior stroke
Hemokonsentrasi
Bruit pada a.
karotis

107
PENATALAKSANAAN STROKE AKUT :

Keypoint dengan 7 D, antara lain :


1. Detection
2. Dispatch provider BHD,responder EMS
3. Delivery
4. Door
5. Data
6. Decision
7. Drugs

DETECTION
Pengenalan penderita stroke, waktu dan onsetnya : penderita, keluarga, orang lain
Kesulitan :
 kurangnya pengetahuan/edukasi
 kejadian sering saat tidur

DISPATCH
Aktivasi EMS
Respon dari EMS  instruksi

DELIVERY
Penanganan sebelum ke RS termasuk:
 identifikasi cepat
 menjaga fungsi vital
 transportasi

Identifikasi cepat :
Dengan The Cincinati Prehospital Stroke Scale

Facial Droop (pasien harus menunjukkan gigi atau tersenyum


Normal : wajah simetri pada pergerakan
Abnormal : gerakan pada satu sisi tertinggal dari sisi lainnya

Arm Drift (pasien menutup mata dan mengangkat kedua lengan)


Nomal : simetri, juga pada pronasi dan genggaman
Abnormal : salah satu lengan terjatuh atau terdapat akan bergerak

Speech (pasien mengatakan kalimat yang membutuhkan artikulasi yang jelas, di USA
“you can’t teach an old dogs new tricks”
Normal : artikulasi baik
Abnormal : pelo, kata yang diucapkan tidak sesuai, tidak dapat berbicara

Pemeliharaan fungsi vital Airway dan Ventilasi


Masalah utama adalah obstruksi jalan nafas
Ventilasi tidak adekuat  hipoksia dan hiperkarbia akan membuat kardiorespirasi
tidak stabil.
Komplikasi lain adalah aspirasi

108
Pemeriksaan tanda vital
Kelainan kardiovaskuler : gangguan irama, hipo/hipertensi

Penatalaksanaan umum
Kejang, hipoglikemi  pemasangan iv line

DOOR
Dimulai saat pasien tiba di ruang emergensi
NINDS merekomendasikan evaluasi penderita untuk kandidat terapi dengan
trombolitik sbb :

Time target

Door to doctor 10 minutes


Door to CT
completion 25 minutes
Door to CT read 45 minutes
Door to treatment 60 minutes
Access to
neurological expertise 15 minutes
Access to
neurolosurgical
expertise 2 hours
Admitted to monitored
bed 3 hours

DATA
Evaluasi dan penanganan di emergensi
ABC dinilai ulang dan sering dievaluasi
Pemeriksaan neurologi dilakukan sesegera mungkin yang mencakup
6 elemen antara lain :

1. Skrining stroke atau skala stroke


2. Waktu dan onset timbulnya gejala
3. Tingkat kesadaran
4. Jenis stroke
5. Lokasi stroke
6. Derajat stroke

Ad.1.
Dengan The Cincinati Prehospital Stroke Scale atau dengan Los Angeles Prehospital
Stroke Screen.

Ad.2.
Waktu mulai timbul gejala Harus dicatat, diperlukan untuk membagi waktu

109
Ad.3.
Tingkat kesadaran
Menggunakan Glascow Coma Scale, seperti tabel di bawah,

Nilai

Eye opening
 Spontaneous 4
 In response to
speech 3
 In response to
pain 2
 None 1
Best verbal response
 Oriented
conversation 5
 Confused
conversation 4
 Inappropriate
words 3
 Incomprehensive 2
words
 None 1
Best motor response
 Obeys 6
 Localizes 5
 Withdraws 4
 Abnormal
flexions 3
 Abnormal
extension 2
 None 1

Ad.4.
Jenis stroke
Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik stroke iskemi dan perdarahan hampir sama.
Beda dengan menggunakan score : Guys Hospital Score, Siriraj Score, Gajah Mada
Score, Djunaeidi Score.

Sakit Penurunan Defisit


kepala kesadaran fokal Grade Status Neurologis
Infark ++ + +++ 1 Asimtomatik
2 Sakit kepala hebat, kaku kuduk,
Perdarahan 3 defisit (-)
Intraserebral +++ +++ +++ 4 Drowsy, defisit (+)
5 Stupor, hemiparesis sedang-berat
Koma dalam, desebrasi
Perdarahan
subarahnoid +++ ++ +

Diagnosis pasti adalah dengan CT Scan tanpa kontras

110
Ad.5. Lokasi stroke
Pada stroke iskemi atau pasien dengan kesadaran baik dapat dibedakan .

Sirkulasi Sirkulasi
Anterior Posterior

Paralisis Vertigo
unilateral Gangguan
Gangguan penglihatan
sensorik Diplopia
Gangguan Paralisis
berbahasa Gangguan
Gangguan sensorik
penglihatan Disartria
Kebutaan pada Ataksia
satu mata

Ad.6. Derajat stroke


Menggunakan nilai (skore) :
 The National Institutes of Health Stroke Scale (NHISS)

1. Tingkat kesadaran
2. Fungsi penglihatan
3. Fungsi motorik long-term outcome
4. Sensasi dan neglect
5. Fungsi serebelum

 The Scandinavian Stroke Scale


Prediksi progresivitas

 The Hunt and Hess Scale


Perdarahan subarahnoid.
Prognosis, komplikasi dan waktu untuk tindakan

Beberapa kelainan neurologi non vaskular dapat menyerupai stroke.

DD/
Stroke hemoragik
Stroke Iskemi
Trauma kepala/servikal
Meningitis/ensefalitis
Hipertensi ensefalopati
Massa intrakranial : tumor, EDH, SDH
Tood’s paralisis
Gangguan metabolik : hiperglikemi,hipoglikemi, pasca henti jantung, intoksikasi, ggn
endokrin, uremia
Gangguan psikatri
Syok dan hipoperfusi SSP

111
DECISION
Terapi khusus

Penatalaksanaan umum
 IVFD : normal saline atau RL 50 cc/jam hindari D5W dan cairan berlebihan
 Oksigen : pulseoximetry rutin bila saturasi < 90 %, stroke berat
 Gula darah : cepat, Hipoglikemi  bolus dektrosa 40-50 %
Hiperglikemia  insulin (sliding scale)
 Suhu tinggi  asetaminofen
 Gizi buruk atau alkoholik  tiamin 100 mg
 Cegah aspirasi dengan pasang nasogastric tube
 Pasang monitor jantung

Penatalaksanaan hipertensi
 Masih kontroversi,
 Penurunan TD cepat akan mengurangi tekanan perfusi serebral TD meningkat
memperberat o/k edema serebri bertambah
 Konsensus : Iskemia, MABP 140-150 mm Hg, Hemoragik, krisis/berat 
moderate (20%) Organ target : Ensefalopati CHF, CRF  segera
 Obat: Nitropruside Labetolol, Nitrogliserin
 Monitor 15 ‘(2 jam),30 ‘(6 jam), 1 jam( 6 jam)
 Fibrinolitik : TD < 185/110 mmHg

Pengobatan
Bukan kandidat
1. D > 140 mmHg 1. Na Nitropruside 0,5 ug/kg/menit
2. S > 220 mmHg, D121-140, atau 2. 10-20 mg Labetalol, bolus 1-2 ‘
MABP > 130 ulang setiap 20 ‘, maks 150 mg
3. S< 220, d < 120, MABP < 130 mm tergantung organ target
Hg

Kandidat fibrinolitik 10-20 mg Labetalol, 1-2 inc


S>185 , D > 110 mm Hg nitropaste
Dalam perawatan
1. Na Nitropruside 10 mg
1. D >. 140 mmH
2. Labetalol, bolus 1-2 ‘ ulang atau
2. S > 230, D 121-140
drip 2-8 mg/menit
3. Nitropruside 10 mg Labetalol
3. S 180-230, D 105-120

112
Penatalaksanaan kejang
Dianjurkan untuk mengatasi kejang, tidak untuk profilaksis
Obat :
 Diazepam 5-10 mg iv 2 menit
 Lorazepam 1-4 mg iv 2-10 menit
Obat diatas dapat diulang
 Lanjutan : Fenitoin, Fosfenitoin,Fenobarbital

Penanganan TIK meningkat

Tujuan :
 Menurunkan TIK
 Memelihara CPP , cegah perburukan
 Mencegah herniasi

1. Menurunkan PC02 dengan intubasi dan hiperventilasi


PaCO2 30-35 mmHg, (<25mmHg  deteorisasi cepat)
2. Hiperosmolar
Manitol bolus 0,25–0,5 gr/kg dalam 20 menit, ulang tiap 6 jam maks 2 gr/kg/hari
Lain : Furosemide, hipertonic saline, asetazolamid
3. Barbiturat : Dosis tinggi (Tiopental 1-5 mg/kg), hati-hati
4. Dekompresi

DRUGS

ISKEMI
Fibrinolitik (trombolitik)
Waktu : dalam 3 jam
Obat : tPA, streptokinase, urokinase, ancrod, prourokinase
Komplikasi : Perdarahan intraserebral

Tissue Plasminogen Activator (tPA)


 Intravena : 3 jam setelah onset (Klas I) 3-6 jam (Klas Indeterminan)
Dosis 0,9 mg/kg, 10 % bolus 1‘, sisa dalam 1 jam
 Intra arterial dalam 3-6 jam, oklusi a. serebri media (Klas IIB)
 Kontra indikasi
Perdarahan intraserebral
Dicurigai perdarahan subarahnoid
Bedah intrakranial/intraspinal, trauma kapitis, riwayat stroke
Riwayat perdarahan intrakranial
Hipertensi tidak dapat dikontrol
Kejang pada saat onset
Perdarahan internal
Neoplasma intrakranial, AVM atau aneurisma
Masalah pada faktor koagulasi
 Antikoagulan oraL : INR > 1,7 atau PT > 15 ‘
 Heparin, dan meningkatnya APTT
 Trombosit < 100.000/mm3

113
Terap Antikoagulan
 Heparin
Klas IIb
Tujuan : cegah emboli berulang
Preparat :
­ heparin
­ low molecular weight heparin :
 Enaxoparine
 Nadroparine
Komplikasi : perdarahan
 Antitrombotik
Mengurangi risiko stroke /TIA berulang
Preparat :
Aspirin, Ticlopidine, Clopidogrel, GP II/III a antagonis Warfarin, Dipiridamol
Diberikan setelah beberapa hari

 Neuroprotektif
Pentoksifilin
CDP-choline
Piracetam
Penghambat kalsium kanal
Lain-lain masih dalam penelitian

PERDARAHAN SUBARAHNOID
Nimodipine : oral 4 X 60 mg 0,35mg/kg drip
Hati-hati hiponatremia dan water loss (SIADH)
Arteriografi emergensi  clipping /coiling pada arteri sakular
Tempat tenang, kadang perlu sedatif

PERDARAHAN INTRASEREBRAL
Penyebab kematian : kompresi atau distorsi struktur dalam dan herniasi
Kematian  lokasi dan volume perdarahan
Penanganan optimal untuk
 Cegah perdarahan seterusnya
 Kurangi TIK
 Pemasangan shunt

114
OBAT-OBAT dan KARDIOVERSI

Terapi Indikasi atau Kontraindikasi Dosis Dewasa

ACE inhibitors Indikasi : Pendekatan : Pengobatan ACE


(Angiotensin- ACE inhibitor mengurangi angka inhibitor harus dimulai dengan
Converting Enzyme kematian dan pemperbaiki fungsi pemberian dosis oral yang rendah dan
Inhibitors) ventrikel kiri pada pasien paska infark dinaikan terus menerus sampai
miokard akut. Mencegah terjadinya mencapai dosis penuh dalam 24 – 48
kerusakan ventrikel kiri, jam.
memperlambat terjadinya gagal
jantung , dan menurunkan angka Enalapril
kematian mendadak serta mencegah Oral : Mulai dengan 2,5 mg sampai
terjadinya infark berulang. Manfaat dengan 20 mg 2 kali sehari
Enalapril paling besar pada pasien berikut : IV : Mulai 1,25 mg/5 menit kemudian
Diduga MI dan pasien dengan ST 1,25 mg/6jam
segment elevasi di lebih dari dua lead
Captopril dengan infark anterior Captopril
Tekanan darah tinggi Oral : Mulai dengan 6,25 mg dosis
Gagal jantung klinis tanpa hipotensi tunggal dinaikan menjadi 25 atau 50
Lisinopril dengan yang tidak respon terhadap mg 3 kali sehari sesuai dengan respon
digitalis dan diuretik pasien
Ramipril Tanda klinis AMI dengan disfungsi
LV Lisinopril, Dosis AMI
Ejeksi Fraksi < 40 % 5 mg dalam 24 jam setelah gejala
kemudian dilanjutkan dengan 5 mg 24
Kewaspadaan/Kontraindikasi jam kemudian
Kontraindikasi pada kehamilan 10 mg 48 jam kemudian
Kontraindikasi pada angioedema 10 mg perhari selama 6 minggu
Hipersensitif terhadap ACE inhibitor
Kurangi dosis pada gagal ginjal ( Ramipril
kreatinin > 3 mg%). Jangan digunakan Dimulai dengan 2,5 mg dosis tunggal
pada stenosis art. renalis bilateral peroral sampai 5 mg 2 kali perhari
Hindarkan hipotensi dengan mencegah sesuai respon pasien
hipovolemik
Biasanya tidak di unit gawat darurat
akan tetapi harus dalam 24 jam setelah
terapi fibrinolitik dan tekanan darah
stabil

Adenosin Indikasi : Pemberian IV cepat


Obat utama pada takikardi dengan Posisi pasien semi fowler
QRS sempit. Efektif untuk Dosis awal 6 mg/1 – 3 detik didorong
menghentikan PSVT akibat reentry di dengan 20 cc NaCl 0,9 %, dan angkat
AV / Sinus node ekstremitas
Tidak mengkonversi atrial fibrilasi, Ulangi 12 mg 1– 2 menit kemudian
atrial flutter atau Ventrikel takikardi Dosis ketiga 12 mg 1-2 menit
kemudian
Kewaspadaan
Efek samping sementara : Teknik penyuntikan
Wajah kemerahan, nyeri dada/sesak, Rekam EKG strip selama pemberian.
kadang kadang bradikardi/asistol Obat dimasukan ke dalam satu spuit

115
singkat,Ventrikel ekstrasistol. dan cairan pendorong dalam spuit
Kurang efektif bila pasien lainnya
menggunakan teophilin, hindarkan Kedua spuit disambung dengan Infus
pada pemakai dipiridamol. melalui three way stopcock
Dapat memperburuk keadaan Dorong obat secara cepat (1– 3 detik)
misalnya hipotensi pada pasien Diikuti dengan pemberian cairan
dengan ventrikel takikardi pendorong secara cepat
Bila SVT diatasi kadang timbul sinus
bradikardi atau VES.
Kontraindikasi :
Takikardi akibat keracunan obat

Amiodaron Indikasi Henti jantung


150 mg/3 ml Digunakan pada berbagai takiaritmi 300 mg IV bolus. Berikutnya 150 mg
atrial dan ventrikel dan pada takiaritmi setelah 3 – 5 menit kemudian. Dosisi
atrial dengan fungsi ventrikel kiri maksimal 2,2 gram/24 jam
rendah dimana digoxin tidak efektif

Direkomendasi untuk : Takikardi dengan QRS lebar


Penanganan VF/VT tanpa nadi yang (stabil)
tidak respon terhadap defibrilasi Dosisi maksimal 2,2 gram/24 jam
Penanganan VT polimorphik atau sebagai berikut :
takikardi dengan QRS komplek kebar Infus cepat : 150 mg dalam 10 menit,
yang tidak jelas jenisnya diulang dengan dosis yang sama bila
Penangan VT stabil pada kegagalan diperlukan
kardioversi ( terutama pada kegagalan Infus lambat : 360 mg dalam 6 jam
fungsi venrikel kiri ) Infus pemeliharaan : 540 mg IV
Membantu untuk kardioversi pada selama 18 jam ( 0,5 mg/menit )
SVT/PSVT
Diterima untuk mengakhiri takikardi Kewaspadaan :
atrial multifokal atau ekstrasistol Dapat menyebabkan vasodilatasi dan
dimana fungsi ventrikel kiri masih hipotensi.
baik Dosis lebih dari 2,2 gram/24 jam
Dapat digunakan untuk sering menyebabkan hipotensi.
mengendalikan denyut nadi pada Memperpanjang interval QT, hindari
fibrilasi/flutter atrial bila terapi lain sinergisme dengan obat lain
tidak berhasil Waktu paruh sangat panjang (40 hari )

Kewaspadaan
Dapat menyebabkan vasodilatasi dan
hipotensi, inotropik negatif,
memperpanjang QT interval. Hati hati
pada pasien dengan gagal ginjal.
Waktu paruh sangat panjang (40 hari)

116
Atropin sulfat Indikasi : Asistol atau PEA:
Obat utama pada sinus bradikardi 1 mg IV bolus
Dapat diberikan yang simptomatis (kelas I) Ulangi tiap 3–5 menit sampai dosis
melalui ETT Mungkin bermanfaat pada AV blok maksimal 0,03–0,04 mg/KgBB
nodal (kelas II a) atau ventrikuler
asistol. Tidak efektif pada mobitz tipe Bradikardi :
II (kelas II b) 0,5–1 mg IV bolus setiap 3–5 menit
Obat kedua (setelah epine- sampai dosis maksimal 0,04
prin/Vasopresin ) pada asistol atau mg/KgBB
PEA bradikardi (kelas II b) Interval lebih pendek (3 menit) dan
dosis lebih tinggi 0,04 mg/KgBB bila
Kewaspadaan : gejala klinis serius
Hati hati pada iskemia jantung dan
hipoksia Pemberian per ETT :
Hindari pada hipotermi dengan 2 –3 mg diencerkan dalam 10 cc NaCl
bradikardi 0,9 %
Tidak efektif pada mobitz tipe II dan
blok derajat III dengan QRS lebar

Kalsium Klorida Indikasi : Pemberian IV lambat :


100 mg/ml per ampul Hiperkalemia 8–6 mg/KgBB pada hiperkalemia dan
10 cc Hipokalsemia overdosis obat penghambat kalsium
Antidot pada obat penghambat Diulangi sesuai dengan respon pasien
kalsium dan beta bloker 2–4 mg/KgBB untuk persiapan
Sebagai persiapan sebelum pemberian pemberian obat penghambat kalsium
penghambat kalsium

Kewaspadaan :
Jangan digunakan secara rutin pada
henti jantung
Jangan dicampur dengan Natrium
bikarbonat

117
Kardioversi Indikasi : Teknik :
Modul yang Semua takikardi (> 150 dpm ) yang Lihat algoritme kardioversi
dipergunakan adalah disertai gejala dan keluhan serius Diperlukan premedikasi
modul sinkron Dapat diberikan obat obatan sesuai Pasang pada modul sinkron pada
sehingga energi dengan aritminya setiap tindakan
dilepas segera setelah Perhatikan adanya tanda pada setiap
gelombang R Kewaspadaan : gelombang R
Pada keadaan kritis (gambaran VF/VT Yakinkan tidak ada anggota tim yang
tanpa nadi) langsung lakukan masih ada kontak dengan pasien
defibrilasi Energi yang diperlukan adalah 100 J,
Kardioversi segera umumnya tidak 200 J
dilakukan jika denyut nadi < 150 dpm
Modul sikron harus selalu disiapkan
kembali setelah setiap kardioversi
Siapkan defibrilasi jika EKG berubah
menjadi VF
Kardioversi dilakukan pada pasien
yang disambung dengan monitor
Kontraindikasi:
Takikardi akibat keracunan/overdosis
obat

Dobutamin Indikasi : Infus IV :


Infus IV Gangguan pompa jantung Dosis berkisar antar 2–20
Larutkan 250 mg (gagal jantung kongesti, kongesti µg/KgBB/menit
Dobutamin dalam 250 paru) dengan tekanan darah sistolik Dititrasi agar denyut jantung tidak
cc D5W atau NaCl 0,9 70–100 mmHg yang tidak disertai lebih dari 10 % nilai dasar
% tanda tanda syok Sebaiknya hemodinamik dipantau
selama pemberian
Kewaspadaan :
Hindari bila tekanan sistolik < 100
mmHg yang disertai tanda tanda syok
Dapat menimbulkan takiaritmi,
tekanan darah tidak stabil, sakit
kepala, mual

Kontaindikasi :
Bila syok disebabkan oleh obat/racun
Jangan dicampur dengan natrium
bikarbonat

118
Dopamin Indikasi : Infus kontinyu sesuai dengan
Infus IV Obat kedua untuk bradikardi respon :
400–800 mg/250 cc simptomatik (setelah atropin ) Dosis rendah 1–5 µg/KgBB/menit
NaCl 0,9 %, RL, D5W Digunakan pada hipotensi ( tekanan Dosis sedang (dosis jantung )
darah sistolik antar 70–100 mmHg ) 5-10µg/KgBB/menit
dengan tanda dan gejala syok Dosis tinggi (dosis vasopresor)
10–20 µg/KgBB/menit
Kewaspadaan :
Preload harus cukup
Hati hati pada syok kardiogenik
dengan gagal jantung kongesti
Dapat menyebabkan takiaritmia,
vasokonstriksi
Turunkan perlahan lahan
Jangan dicapur dengan Natrium
bikarbonat

Epineprin Indikasi : Henti jantung :


Catatan :  Henti jantung : Dosis IV : 1 mg setiap 3 – 5 menit
Sediaan 1: 1000 dan VF/VT tanpa nadi, asistol, PEA didorong dengan cairan 20 cc NaCl
1: 10.000  Bradikardi simptomatis : 0,9 %
Setelah atropin, dopamin dan pacu
jantung transkutan Dosis tinggi :
 Hipotensi berat Sampai 0,2 mg/KgBB dapat diberikan
Anapilaksis, reaksi alergi berat : beri bila dosis 1 mg gagal
cairan, kortikosteroid, antihistamin Infus kontinyu 30 mg dalam 250 cc
NaCl 0,9 % atau D5W diteteskan 100
Kewaspadaan : cc/jam dan disesuaikan dengan respon
Naiknya tekanan darah dan denyut pasien
nadi meningkatkan kebutuhan oksigen
Dosis tinggi tidak memperbaiki Jalur ETT
keberhasilan atau perubahan nerologis 2– 2,5 mg dilaritkan dalam 10 cc
dan dapat menimbulkan gangguan NaCl 0,9 %
fungsi jantung
Dosis tinggi mungkin diperlukan pada Bradikardi dan hipotensi berat :
penanganan syok akibat racun/obat 2–10 5 µg/menit

Isoproterenol : Indikasi : Infus :


Infus : Campurkan 1 Dapat digunakan sebagai pemacu 2 – 10 m5 µg/menit disesuaikan
mg dalam 250 cc jantung sementara pada bradikardi dengan denyut jantung
NaCl 0,9 %, RL, atau simptomatis Pada torsade de pointes dititrasi
D5W Torsade de ponites yang menetap yang sampai kenaikan denyut jantung dapat
tidak respon terhadap MgSO4 menekan VT
Mengendalikan bradikardi pada pasien
transplantasi jantung
Keracunan Beta bloker

119
Kewaspadaan :
Jangan digunakan pada henti jantung
Meningkatkan kebutuhan oksigen
jantung
Jangan diberikan bersama epineprin,
karena dapat menyebabkan VF/VT
Jangan diberikan pada pasien syok
akibat racun/obat, kecuali keracunan
β-bloker
Dosis tinggi termasuk kelas II kecuali
pada keracuanan β-bloker

Lidokain Indikasi : Henti jantung akibat VF/VT


Catatan : Henti jantung akibat VF/VT Dosis awal 1–1,5 mg/KgBB diulangi
Dapat diberikan VT stabil, takikardi dengan QRS lebar 5–10 menit kemudian dengan dosisi
melalui ETT jenis tidak jelas, PSVT dengan QRS 0,5– 0,75 mg sampai total 3 mg/KgBB
lebar (indeterminate) Dosis tunggal 1,5 mg/KgBB dapat
diberikan pada henti jantung
Kewaspadaan : Pemberian perETT 2 – 4 mg/KgBB
Tidak dianjurkan sebagai propilaksis Aritmia dengan sirkulasi spontan
pada AMI VT stabil, takikardi dengan QRS lebar
Bila ada gangguan hati atau gagal jenis tidak jelas, ekstrasistol yang jelas
ventrikel kiri, turunkan dosis : 1-1,5 mg/KgBB diulang 5 – 10 menit
pemeliharaan nya dengan dosis 0,5 – 0,75 mg/KgBB
Hentikan bila ada tanda tanda sampai total 3 mg/KgBB
keracunan Infus pemeliharaan : 1– 4 mg/menit

Magnesium sulfat Indikasi Henti jantung (akibat hipomag-


Henti jantung dengan torsade de nesemia atau torsade de pointes)
pointes atau hipomagnesemia 1– 2 gram diencerkan dalam 10 cc
VF berulang (setelah lidokain ) D5W
Torsade de pointes dengan nadi
Aritmia ventrikel yang mengancam Torsade de pointes dengan nadi :
jiwa akibat keracunan digitalis 1– 2 gram/50 – 100 D5W dalam 5 –60
Tidak dianjurkan sebagai pencegahan menit diikuti dengan 0,5 – 1 gram/jam
pada pasien AMI IV ( dititrasi untuk mengontrol torsade
de pointes )

Kewaspadaan : Infark miokard akut ( jika ada


Kadang kadang terjadi hipotensi indikasi) :
Hati-hati pada gagal ginjal Dosis 1 – 2 gram dicampur dalam 50 –
100 cc D5W diberikan dalam 5 – 60
menit
Diikuti dengan 0,5 – 1 gram/jam IV
dalam 24 jam

120
Natrium Bikarbonat Indikasi : Infus IV
Kelas I jika diketahui hiperkalemia 1 mEq/KgBB IV bolus lambat 5-10
Kelas II a Jika diketahui asidosis atau menit
kelebihan obat antidepresan trisiklik Diulangi dengan dosis 0,5 mEq/KgBB
Kelas II b Jika resusitasi telah lama setiap 10 menit
dengan ventilasi yang efektif Jika memungkinkan gunakan analisa
Kelas III asidosis hiperkarbia gas darah sebagai petunjuk terapi

Kewaspadaan :
Ventilasi dan RJP lebih penting,
karena bikarbonat bukan merupakan
buffer utama pada henti jantung
Tidak direkomendasikan untuk
penggunaan nrutin pada henti jantung

Pacu jantung Indikasi : Teknik


transkutan ( TCP ) Kelas I untuk bradikardi dengan Letakkan elektroda pacu jantung
hemodinamik tidak stabil sesuai dengan petunjuk pemakaian
Pada AMI menjadi kelas I pada Nyalakan alat
keadaan : Atur kebutuhan frekwensi 80 dpm
Gangguan Sinus node simptomatik Atur output (mA), sesuai keadaan :
AV blok derajat II tipe 2 Bradikardi : naikan milli amper dari
AV blok derajat 3 minimum sampai didapat respon.
RBBB/LBBB baru atau bifasikular Kemudian tambahkan 2 mA untuk
blok batas aman
Kelas II a untuk bradikardi dengan Asistol : Mulai dengan output tinggi,
ventrikuler escape simptomatik jika respon tururnkan perlahan lahan
Kelas II a untuk overdrive pacing sampai respon menghilang (treshold).
pasda takikardi yang tidak respon Kemudian tambahkan 2 mA untuk
dengan obat atau kardiopversi batas aman
Kelas II b untuk henti jantung dengan
bradi asistolik

Kewaspadaan :
Merupakan kontraindikasi pada
hipotermia berat atau henti jantung
bradiasiatol yang lama
Pada pasien yang sadar perlu
diberikan analgetik

121
Vasopresin Indikasi Dosis :
Dapat digunakan sebagai alternatif IV, Intra osteos ( IO ), dan ETT
pengobatan selain epineprin pada 40 unit IV bolus cepat 1 kali
pengobatan VF yang tidak respon pemberian
dengan defibrilasi (kelas II b)
Dapat dipergunakan untuk
memperbaiki hemodinamik pada syok
yang disebabkan oleh dilatasi
pembuluh darah (misalnya syok
septik)

Kewaspadaan/ kontraindikasi :
Merupakan vasokonstriktor perifer
yang potensial. Meningkatkan tahanan
resisten perifer yang dapat
menyebabkan iskemia dan angina
Tidak direkomendasikan untuk pasien
dengan penyakit jantung koroner

Verapamil Indikasi : Pemberian IV


Obat alternatif (sesudah adenosin) 2,5–5 mg IV bolus selama 2 menit
untuk PSVT dengan tekanan darah Dosis kedua : 5–10 mg, jika
normal dan fungsi ventrikel kiri baik diperlukan dalam 15–30 menit. Dosis
Dapat mengontrol respon ventyrikel maksimal 20 mg
pada fibrilasi/flutter atrial atau Alternatif : 5 mg bolus setiap 15
takikardi atrial multifokal menit sampai total dosis 30 mg
Pada orang tua : berikan obat perlahan
Kewaspadaan : lahan (> 3 menit)
Berikan hanya pada pasien dengan
PSVT atau aritmia yang diketahui
berasal dari supra ventrikuler. Jangan
mempergunakan penghambat kalsium
untuk takikardi dengan QRS lebar
jenis tidak jelas
Dapat menyebabkan kontraktilitas
miokard menurun dan dapat
menyebabkan CHF pada pasien
dengan gangguan fungsi ventrikel kiri
Pemberian obat secara IV bersamaan
dengan pemberian β-bloker dapat
menyebabkan hipotensi berat

122
KLASIFIKASI INTERVENSI TERAPI

Kelas I • Intervensi bermanfaat bila


Pasti bermanfaat & indikasi klinis sesuai
efektif • Resiko < manfaat

Kelas II • Intervensi diterima tapi


Telah diterima manfaatnya belum pasti atau
masih kontroversi

Kelas II a • Intervensi yang lebih banyak


Kemungkinan besar bukti menyatakan
bermanfaat dan efektif bermanfaat/berguna
• Dugaan kuat manfaat > resiko

Kelas II b • Intervensi yang belum cukup


Diduga bermanfaat & bukti bermanfaat, tetapi
efektif diduga ada manfaat/efektif
dan tidak berbahaya

Kelas Indeterminate • Tidak berbahaya, bermanfaat belum


Sedang dalam dapat dibuktikan
penelitian • Intervensi yang tidak cukup untuk
menentukan kelasnya

Kelas III • Intervensi yang tidak didukung


Tidak data ilmiah, bahkan mungkin
berguna/berbahaya berbahaya
• Resiko > manfaat

123
DAFTAR PUSTAKA

1. Aehlet B, ACLS Quick Review Study Guide, Mosby-Year Book, Inc. St. louis,
1994
2. Chou T. C, Electrocardigraphy in Clinical Practise, 4th , W.B Saunders
Company, Philadelphia, 1999
3. Commins R. O et all (ed), Advanced Cardiac Life Support, American Heart
Association, Dallas, 1997-1999
4. Commins R. O et all (ed), Guidelines 2000 for Cardiopulmonary Resucitation
and Emergency Cardiovascular Care, International Conssensus on Science,
Amarican Heart Association, Dallas, 2000
5. Commins R. O et all (ed), ACLS Provider Manual, American Heart Association,
Dallas, 2001
6. Hanzinki M. F et all (editor), 2000 Handbook of Emergency Cardiovascular
Care of Healthcare Provider, American Heart Association, Dallas 2000
7. Halloway N. M, Nursing the Critical Ill Adult, 4th, Addison-Wesley Nursing
California, 1989
8. Huff J, Doembach D.P, White R. D, EGG Workout Exercise in Arrythmia
Interpretation, Second ed, J.B. Lippincott Company, Philadephia, 1993
9. Kersen L.D, Comprehensive Respiratory Nursing, Harcout Brace Jovanovich,
Inc. Philadelphia, 1989
10. Mustafa I, Surianata S, Resusitasi Jantung Paru, Rumah Sakit Jantung Harapan
Kita, Jakarta, 1996
11. Tortora G. J and Grabowski S. R, Principles of Anatomy and Physiology, Jhon
Wiley & Son Inc, New York, 2000

124

Anda mungkin juga menyukai