Anda di halaman 1dari 12

Karakteristik pada pati pisang hasil modifikasi: A Review

Tsani Adiyanti1*, dan Edy Subroto1


1
Departemen Teknologi Industri Pangan, Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas
Padjadjaran
Email korespondensi: tsani18001@mail.unpad.ac.id

ABSTRAK
Buah pisang merupakan sumber pati yang potensial dan melimpah. Hal ini menyebabkan
banyak peneliti yang meneliti tepung pisang sebagai sumber pati dengan berbagai modifikasi,
diantaranya modifikasi secara fisika, kimia, dan biologi. Modifikasi secara fisika dilakukan
dengan pemanasan metode Heat Moisture Treatment (HMT), Annealing (ANN), Dual
Retrogradation (DR), modifikasi peneringan dengan metode oven dan metode beku, untuk
modifikasi secara kimia bisa dilakukan dengan esterifikasi oktenil suksinat anhidrat (OSA),
dan modifiksi secara biologis dilakukan dengan cara penambahan enzim dalam pati pisang.
Semua perlakuan modifikasi tersebut dalam penelitian ini dibandingkan dengan pati asli dan
dilihat karakteristik pati dari setiap modifikasi. Modifikasi pada pati pisang ini juga
menyebabkan perubahan morfologi granula pati, kandungan amilase, struktur kristal pati, sifat
emulsifier dan juga daya cerna. Perubahan hasil modifikasi tersebut memiliki manfaat yang
lebih bagus dibandingkan dengan pati pisang biasa, serta dapat diaplikasikan lebih luas untuk
berbagai bidang makanan ataupun industri lain.

Kata Kunci: Pati pisang, Modifikasi pati pisang, Karakteristik pati pisang, Daya cerna

ABSTRACK
Banana is a potential source of starch. This causes many researchers to examine banana flour
as a source of starch with various modifications, including modifications in physics,
chemistry, and biology. Physical modification is done by heating the method of Heat Moisture
Treatment (HMT), Annealing (ANN), Dual Retrogradation (DR), drying modification by
oven method and freezing method, for chemical modification can be done by esterification of
octenyl succinic anhydride (OSA), and Biological modification is done by adding enzymes in
banana starch. All the modification treatments in this study were compared with the original
starch and seen the starch characteristics of each modification. This modification in banana
starch also caused changes in the morphology of starch granules, amylase content, starch
crystal structure, emulsifier properties and also increased digestibility. Changes in the
modification have better benefits compared to ordinary banana starch, and can be applied
more broadly to various fields of food or other industries.

Keywords: Banana starch, Banana starch modification, Characteristics of banana starch,


Digestibility
Pendahuluan
Buah Pisang merupakan buah yang banyak di temukan di Indonesia. Buah pisang ini
merupakan sumber pati yang potensial, tetapi memiliki perubahan fisikokimia selama proses
pematangan. Buah ini memiliki umur simpan yang pendek setelah proses panen sampai awal
produksi etilena. Selain itu, dilihat dari sisi industry makanan, aplikasi pati pisang asli tidak
sebagus pati pisang yang dimodifikasi, karena stabilitas panas yang kurang, dan tingkat
retrogradasi selama penyimpanan. Untuk meningkatkan sifat-sifat tersebut, dilakukan
modifikasi baik secara kimia, fisika, atau enzimatik.
Proses modifikasi dilakukan dalam kondisi lingkungan terutama atmosfer dan suhu
untuk memperpanjang waktu simpan (Peroni-Okita et al., 2013) serta modifikasi secara fisik
seperti metode Heat Moisture Treatment (HMT), Annealing (ANN), dan Dual Retrogradation
(DR) (Cahyana et al., 2019) HMT biasanya digunakan untuk makanan dengan kadar air yang
rendah, sedangkan metode ANN digunakan untuk sampel yang memiliki kadar air yang lebih
tinggi dimana dilakukan pengaturan suhu dibawah suhu gelatinisasi tetapi diatas suhu transisi
gelas (Tester & Debon, 2000).
Modifikasi pati pisang ini mempengaruhi beberapa karakteristik dalam pati pisang.
Untuk metode secara fisika bisa merubah bentuk morfologi granula, kristalinitas, viskositas,
dan pada daya cerna. Modifikasi secara fisik ini sudah banyak digunakan beberapa peneliti
(Alimi, Workneh, & Oyeyinka, 2017; Cahyana et al., 2019) karena meupakan metode untuk
modifikasi secara umum, sedangkan metode pengeringan dan modifikasi secara biologi lebih
banyak berpengaruh pada kandungan amilosa dalam pati (Peroni-Okita et al., 2013; Reddy,
Suriya, Vidya, & Haripriya, 2017) . Modifikasi secara kimia sangat berpengaruh terhadap
struktur kimia yang berakibat meningkatnya sifat hidrofobik dari pati dan dimanfaatkan untuk
penstabil emulsifier (Bello-Pérez, Bello-Flores, Del Carmen Nuñez-Santiago, Coronel-
Aguilera, & Alvarez-Ramirez, 2015).
Selain modifikasi fisik, dilakukan juga modifikasi kimia seperti yang dilakukan oleh
(Sweedman, Tizzotti, Schäfer, & Gilbert, 2013) dan modifikasi secara biologis berupa
penambahan enzimatik seperti yang dilakukan oleh (Reddy et al., 2017). Karakteristik
structural granula pati, seperti kristalinitas dan kandungan amilosa diyakini tertama
bertanggung jawab atas kerentanan variable granula pati terhadap degradasi enzimatik (Jiang
et al., 2015)(Jiang et al., 2015). Selain dari perubahan-perubahan tersebut, pati yang
dimodifikasi juga bisa membuat pati resisten. Pati resisten adalah pati sebagai bahan
fungsional yang memiliki indeks glikemik rendah yang sering digunakan dalam berbagai
olahan pangan fungsional dan juga baik dikonsumsi oleh penderita diabetes (Haralampu,
2000).
ISI
Metode
1. Modifikasi secara Fisik (Pemanasan)
a. Heat Moisture Treatment (HMT)
Perlakuan hidrotermal seperti HMT merupakan teknik modifikasi secara fisik. Teknik
Heat Moisture Treatment atau yang disingkat HMT ini dilakukan dengan cara menyesuaikan
kadar air awal tepung dengan kadar yang rendah diikuti dengan pemanasan suhu tinggi. Pada
penelitian yang telah dilakukan, tepung ditambahkan air suling hingga 30%. Setelah tepung
ditambahkan air suling, kemudian tepung dipanaskan pada suhu 100 ºC selama 8 jam
(dibawah suhu gelatinisasi granula) setelah pengkondisian dalam lemari es pada suhu 4-5 ºC
selama 24 jam. (Cahyana et al., 2019)
b. Annealing (ANN)
Proses Annealing (ANN) adalah proses dengan penambahan air suling yang tinggi dengan
suhu rendah. Pada penelitian yang dilakukan oleh (Cahyana et al., 2019) tepung pisang
modifikasi dengan metode ANN dengan penambahan air suling sampai 70% diikuti dengan
pemanasan pada waterbath dengan suhu 55 ºC (Cahyana et al., 2019).
c. Dual Retrogradation (DR)
Proses Dual Retrogradation (DR) dilakukan pada tepung dengan cara penambahan air
yang lebih sedikit daripada metode HMT, kemudian dipanaskan suhu tinggi dengan waktu
pemanasan yang ebih singkat daripada metode HMT. Dalam penelitiannya, perbandingan air
dan tepung adalah (1:5 b/v) kemudian dipanaskan pada suhu 100 ºC selama 30 menit diikuti
dengan penyimpanan pada suhu 4 ºC selama 48 jam (Cahyana et al., 2019).
2. Modifikasi secara Fisk (Pengeringan)
Selain metode pemanasan diatas, modifikasi pada pati pisang juga bisa dilakukan dengan
cara pengeringan seperti yang dilakukan oleh (Pico et al., 2019). Dalam penelitiannya, pisang
segar disimpan dulu pada suhu 4 ºC selama 4 jam sebelum dikupas dan diiris. Suhu tersebut
digunakan untuk meminimalkan efek dari enzim α-amilase dan untuk menghindari reaksi
oksidasi selama proses pemanasan. Setelah proses dasar tersebut, dilakukan pengolahan
dengan dua metode yang berbeda, yaitu metode berbasis pengeringan oven dan metode
pengeringan beku (Pico et al., 2019). Dalam penelitian lain dijelaskan bahwa penyimpanan
dingin sebelum proses pemanasan itu mempengaruhi degradasi pati selama pengolahan pada
suhu yang tinggi (Peroni-Okita et al., 2013)
a. Pengeringan oven,
Pisang diris setebal 3mm kemudian dikeringkan pada suhu 40 ºC selama 24 jam
menggunakan dehydrator makana digital Hamilton Beach 32100 (Pico et al., 2019)
b. Pengeringan beku
Pisang diiris setebal 1cm kemudian di keringkan selama 48 jam menggunakan alat VirTis
freeze dryer (Pico et al., 2019).
3. Modifikasi secara Kimia
Esterifikasi dengan Oktenil Suksinat Anhidrat
Proses esterifikasi dengan oktenil suksinat anhidrat (OSA) akan menghasilkan
biopolymer yang dapat digunakan untuk menstabilkan emulsi dalam berbagai produk. Pati
OSA bisa diperoleh dari reaksi esterifikasi antara gugus hidroksil pati dengan oktenil suksinat
anhidrat (Sweedman et al., 2013)

Gambar 1. Struktur pati yang dimodifikasi dengan OSA

Jalur sintesis yang paling banyak digunakan adalah reaksi dalam media cair dengan
kondisi yang dibuat sedikit basa dengan pati dalam bentuk granulanya. Modifikasi ini pada
dasarnya mengurangi ikatan hydrogen antara rantai-rantai pati dengan pembentukan fungsi-
fungsi alkoksida dengan gugus-gugus OH pati yang akan menyebabkan pembengkakan pada
granula pati dan difusi molekul-molekul OSA dalam granula pati membengkak (Sweedman et
al., 2013).

Gambar 2. Reaksi esterifikasi gugus suksinat (Bhandari & Singhal, 2002)


4. Modifikasi secara biologis
Modifikasi secara biologis ini salah satunya dengan cara penambahan enzim. (Reddy
et al., 2017) pada penelitiannya melakukan modifikasi penambahan enzim pada pati pisang
yaitu enzim pullunase (40 U/g pati kering) kemudian di inkubasi dalam waterbath sambil di
sheeker dengan suhu 60 ºC selama 10 jam. Enzim pullunase adalah enzim yang digunakan
untuk memecah ikatan α-1,6 pada gugus makromolekul karbohidrat seperti pati. Enzim ini
bekerjasama dengan α-amilase untuk menghasilkan proses pemotongan molekul karbohidrat
yang sempurna. Sampel pati ini dipanaskan dalam air selama 10 menit dalam water bath
sebelum hidrolisis enzimatik (Reddy et al., 2017). Penambahan enzim ini dilakukan saat
proses persiapan pati resisten. Penelitian ini digunakan pada dua jenis sampel pati, yaitu
Retrogradasi pati asli terhidrolisis secara enzimatik (REHNS) dengan Retrogradasi pati
gelatinisasi terhidrolisis secara enzimatik (REHGS) (Reddy et al., 2017).
Selain dari beberapa modifikasi tersebut, penambahan pupuk posfat juga ternyata
mempengaruhi karakteristik dari pati pisan yang dihasilkan seperti yang sudah dilakukan
dalamm penelitian yang dilakukan oleh (Mesquita et al., 2018) yang menjelaskan bahwa
Pisang yang dibudidayakan di Kebun percobaan di analisis dulu tanahnya setelah itu
dilakukan pemupukan posfat yang terdiri dari dua metode, yang pertama penambahan pupuk
posfat dilakaukan setengah dosis dalam lubang tanam dan sisanya dilakukan pada 80 hari
setelah tanam. Dalam perlakuan ini, harus selalu diperhatikan proses irigasi, control gulma,
penipisan dan penghapusan daun kering, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit,
eliminasi jantung pisang, penghapusan putik dan pemotongan pseudostem setelah panen
(Mesquita et al., 2018).
Karakteristik
Hasil dari perlakuan modifikasi pati pisang dengan proses pemanasan dilihat
karakteristiknya menggunakan XRD dan difraktogram. Tepung pisang yang diberi perlakuan
Annealing di anaisis dengan menggunakan difraktogram, menunjukan hasil bahwa tepung
tersebut masih mempertahankan struktur kristalinitasnya(Cahyana et al., 2019)
Morfologi Granula Pati
Pada penelitian (Cahyana et al., 2019) dilakukan analisis morfologi granula dengan
mennggunakan SEM perbesaran 1000 x, didapatkan hasil bahwa tepung granula Pisang Asli
memiliki ukuran sekitar 10-40µM. Granula terlihat padat berbentuk oval memanjang. Hasil
tersebut tidak berbeda nyata dengan perlakuan metode Annealing (ANN), tetapi terjadi
perubahan yang signifikan pada perlakuan HMT dan DR. Pada perlakuan HMT diperoleh
bentuk menyerupai amorf dengan struktur kohesif dan tidak terlalu padat, sedangkan hasil
perlakuan DR menunjukan adanya struktur kohesif. Pada perlakuan DR, hasil dari SEM
menunjukan bahwa morfologi dari granula pati hampir sama seperti perlakuan HMT, tetapi
lebih agregat atau menempel. Perubahan morfologi ini dapat menyebabkan perbedaan dalam
kecernaan enzimatik (Cahyana et al., 2019). Selain terjadi perubahan morfologi dari granula,
efek termal jugamenyebabkan kelarutan yang menurun.

Gambar 3. Morfologi granula pati pisang dalam bentuk tepung dilihat dari SEM 1000x. a). NBF, b).
HMT, c). ANN, dan d). DR

Sifat pasta dari tepung pisang dianalisis menggunakan Rapid Visco Analyzer (RVA),
hasil analisis menunjukan bahwa sifat pasta juga berubah dengan adanya proses pemanasan,
perlakuan HMT yang paling berpengaruh dalam perubahan sifat pasta dibandingkan dengan
perlakuan lain. Hal ini terjadi karena pada saat proses pemanasan, rantai dari pati terganggu
dan terhubung kembali, dengan adanya interaksi pada pengolahan HMT yang lebih kuat
daripada perlakuan lain, sehingga dibutuhkan panas yang lebih tinggi untuk mengganggu
struktur pati (Cahyana et al., 2019).
Ketiga metode termal ini juga berpengaruh pada struktur kristal pati, seperti yang
diperlihatkan pada gambar

Gambar 4. Pola difraksi sinar-X tepung pisang


Karakteristik pati yang diperoleh dengan metode pengeringan mempengaruhi profil
fenolik yang ada didalam pati tersebut. Tepung pisang dengan kualitas terbaik dalam hal
kandungan senyawa fenolik didapatkan dengan metode Kombinasi pengeringan beku dan
ekstruksi, hal ini terjadi karena pada pengeringan beku bisa membantu mengawetkan senyawa
metabolit sekunder yaitu epikatekin dan ekstruksi meningkatkan bioaksebilitas flavonol dalam
asam fenolik. Dalam hal serat pangan, metode pengeringan beku juga merupakan alternative
yang lebih baik daripada pengeringan oven konvensional, karena inaktivasi pada enzim α-
amilase endogen efektif, dimana menghasilkan jumlah pati resisten yang lebih tinggi (Pico et
al., 2019).
Dalam proses pengeringan, dilakukan penyimpanan terlebih dulu pada suhu rendah
sebelum dilakukan pengolahan dengan metode kering atau beku. Hal ini dilakukan karen
penyimpanan tesebut mempengaruhi karakteristik dari pati pisang yang dihasilkan yang
berhubungan dengan enzim α-amilase dan β-amilase. Suhu rendah lebih menyukai degradasi
pati melalui jalur α-amilase dibandingkan dengan jalur β-amilase yang mengakibatkan
struktur pada granula pati berbeda. Pada suhu rendah, terdapat banyak granula berbentuk
bulat dan ada lubang di permukaan serta memiliki kandungan amilosa yang lebih tinggi
selama penyimpanan (Peroni-Okita et al., 2013).

.
Gambar 5. Profil aktivitas α-amilase dan β-amilase yang terkait dengan granula pati
beberapa hari setelah panen (Peroni-Okita et al., 2013)
Hasil dari modifikasi biologis dengan penambahan enzim pullunase terbukti
meningkatkan kandungan amilosa dalam pati pisang asli. Selain itu, hasil modifikasi
menunjukan stabilitas termal yang tinggi dan mengurngi viskositas bila dibandingkan dengan
pati asli tanpa modifikasi (Reddy et al., 2017)
Hasil dari modifikasi esterifikasi OSA, menunjukan bahwa pati pisang yang di
modifikasi bisa digunakan sebagai penstabil emulsi karena hasil modifikasi ini 0emberikan
sifat hidrofobik yang meningkat. Selain bisa digunakan sebagai penstabil emulsi, pati pisang
yang telah dimodifikasi ini juga memiliki sifat elastis yang meningkat dibandingkan dengan
pati pisang asli (Bello-Pérez et al., 2015).
Hasil modifikasi dari proses penanaman pisang dengan penambahan pupuk posfat juga
ternyata berpengaruh pada beberapa karakteristik pati yang dihasilkan. Dalam percobaan yang
dilakukan (Mesquita et al., 2018), penambahan pupuk posfat memberikan perubahan
kristalinitas, ukuran granula, amilosa dan pati resisten, serta sifat pasta dan sifat panas
pati(Mesquita et al., 2018).

Manfaat
Daya Cerna
Pati memiliki beberapa karakteristik dalam daya cerna, ada pati yang bisa dicerna
dengan cepat atau Rapid Digestible Starch (RDS), pati yang memiliki daya cerna lambat atau
disebut juga Slowly Digestibe Starch (SDS), ada juga Pati Resisten (RS) dimana pati tersebut
sulit dicerna dalam usus halus (Alimi et al., 2017). Pati pisang termasuk pati yang memiliki
nilai pati resisten yang tinggi, oleh karena itu pati pisang bisa digunakan untuk bahan
makanan serat tinggi. Daya cerna ini dipengaruhi oleh perubahan karakteristik dari struktural
pati pisang. Tetapi daya cerna ini juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti sumber pati,
ukuran granula, tingkat kristalinitas, dan rantai panjang amilopektin (Jiang et al., 2015).
Dalam penelitian yang dilakukan Jiang et al., 2015, membandingkan dua sumber pisang dan
itu mempengaruhi dampak daya cerna bagi tubuh seperti di jelaskan pada tabel 1.
Pati total menunjukan bahwa sebagian besar dari bahan lain seperti serat, pectin, dan
protein dari tepung telah dihpus. Kurva perbedaan pencernaan dalam simulasi usus bisa
dilihat di gambar 5. Pati hampir tidak terhidrolisis setelah pencernaan dalam larutan asam
selama 30 menit, menunjukan bahwa pati utama terurai dalam usus (Jiang et al., 2015).
Tabel 1. Pati total, pati dengan daya cerna cepat, daya cerna lambat, dan pati resisten dalam
dua varietas pisang. Pati Musa coccinea (MCS), Pati Williams Banana (WBS), (Jiang et al.,
2015)
Sampel MCS WBS
Pati Total % 95.77 ± 0.18 96.10 ± 0.74
Pati daya cerna cepat % 7.3053 ± 0.25 8.3249 ± 0.98
Pati daya cerna lambat % 14.7230 ± 0.53 6.4137 ± 0.55
Pati Resisten % 77.9718 ± 0.42 85.2614 ± 0.56

Gambar 6. Daya cerna pati dari pati pisang secara invitro dibandingkan dengan pati gandum
(Jiang et al., 2015)
Dari gambar 6 menjelaskan bahwa waktu daya cerna setiap pati berbeda tergantung sumber
pati yang digunakan.
Pati Resisten
Pati resisten adalah pati yang bermanfaat dan memiliki nutrisi tingi. Pati resisten
adalah pati yang lolos di pencernaan dari usus kecil kemudian di fermentasi oleh mikroflora
dalam usus besar menghasilkan pembentukan asam lemak rantai pendek, terutama asam
butirat. Pati resisten ini juga bisa digunakan sebagai serat pangan. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi pati resisten terhadap pencernaan, sehingga pati resisten dibagi menjadi 4,
yaitu:
 RS1 : Secara fisik tidak dapat diakses oleh pencernaan karena terjebak dalam matriks
yang tidak bisa di cerna
 RS2 : Pati yang tidak tergelatinisasi
 RS3 : Pati retrogradasi
 RS4: pati yang dimodifikasi secara kimia
Dalam hal ini, RS3 adalah pati resisten yang paling menarik untuk terus dikembangkan
penelitiannya karena pati resisten jenis ini stabil terhadap panas sehingga memungkinkan
digunakan dalam berbagai jenis masakan yang di olah secara konvensional (Haralampu,
2000)
Aplikasi
Hasil modifikasi kimia dengan cara esterfikasi OSA pada pati pisang bisa digunakan
untuk produk makanan, kosmetik, dan juga produk kesehatan (Sweedman et al., 2013).
Modifikasi metode pemanasan pada pati pisang juga bermanfaat untuk antidiabet (Reddy et
al., 2017). Penelitian ini dilakukan uji coba pada tikus yang menderita diabet. Granula pati
akan dikonversi yang disebabkan oleh rekristalinitas rantai linier pendek yang dihasilkan
proses pemotongan cabang. Tepung hasil konversi selama proses pemanasan inilah yang
efektif dalam mengatur glukosa dan profil lipid dalam serum tikus serta menunjukan efek
hipoglikemik sehingga bisa digunakan sebagai bahan pangan fungsional dalam
pengembangan produk makanan (Reddy et al., 2017) serta dijadikan pati resisten untuk pati
yang memiliki efek daya cerna lambat (Haralampu, 2000). Dalam daya cerna yang hasilkan
dari pati pisang, pati pisang hasil ekstrusi juga bisa dijadikan bahan untuk membuat roti. Pati
pisang yang digunakan adalah hasil dari manipulasi molekul pati dengan proses ekstrusi
dimana hasil yang diperoleh berhasil membuat kecenderungan amilopektin untuk membentuk
SDS yang digerakan secara struktural (Roman, Gomez, Hamaker, & Martinez, 2019).
KESIMPULAN
Beberapa proses modifikasi dilakukan untuk mendapatkan pati pisang yang lebih baik
dari segi manfaat dan komponennya. Modifikasi dilakukan dengan cara fisika, kimia, dan
biologis. Modifikasi secara fisik dilakukan metode Heat Moisture Treatment (HMT),
Annealing (ANN), dan Dual Retrogradation (DR) serta metode pengeringan oven dan
pengeringan beku. Dalam beberapa penelitian, efek pemanasan berpengaruh terhadap
morfologi granula pati, kristalinitas, dan karakteristik lain. Modifikasi kimia dilakukan
dengan cara esterifikasi dengan oktenil suksinat anhidrat (OSA) akan menghasilkan
biopolimer yang dapat digunakan untuk menstabilkan emulsi dalam berbagai produk.
Modifikasi secara biologis ini salah satunya dengan cara penambahan enzim pullunase yang
akan membetuk pati resisten dan meningkatkan kandungan amilosa yang ada dalam pati
pisang.
Daftar Pustaka
Alimi, B. A., Workneh, T. S., & Oyeyinka, S. A. (2017). Structural, rheological and in-vitro
digestibility properties of composite corn-banana starch custard paste. Lwt, 79, 84–91.
doi:10.1016/j.lwt.2017.01.012
Bello-Pérez, L. A., Bello-Flores, C. A., Del Carmen Nuñez-Santiago, M., Coronel-Aguilera,
C. P., & Alvarez-Ramirez, J. (2015). Effect of the degree of substitution of octenyl
succinic anhydride-banana starch on emulsion stability. Carbohydrate Polymers, 132,
17–24. doi:10.1016/j.carbpol.2015.06.042
Bhandari, P. N., & Singhal, R. S. (2002). Studies on the optimisation of preparation of
succinate derivatives from corn and amaranth starches. Carbohydrate Polymers, 47(3),
277–283. doi:10.1016/S0144-8617(01)00202-8
Cahyana, Y., Wijaya, E., Halimah, T. S., Marta, H., Suryadi, E., & Kurniati, D. (2019). The
effect of different thermal modifications on slowly digestible starch and physicochemical
properties of green banana flour (Musa acuminata colla). Food Chemistry,
274(November 2017), 274–280. doi:10.1016/j.foodchem.2018.09.004
Haralampu, S. G. (2000). Resistant starch - a review of the physical properties and biological
impact of RS 3. Carbohydrate Polymers, 41(3), 285–292. doi:10.1016/S0144-
8617(99)00147-2
Jiang, H., Zhang, Y., Hong, Y., Bi, Y., Gu, Z., Cheng, L., … Li, C. (2015). Digestibility and
changes to structural characteristics of green banana starch during invitro digestion.
Food Hydrocolloids, 49, 192–199. doi:10.1016/j.foodhyd.2015.03.023
Mesquita, C. de B., Garcia, É. L., Bolfarini, A. C. B., Leonel, S., Franco, C. M. L., & Leonel,
M. (2018). Phosphate fertilization changes the characteristics of “Maçã” banana starch.
International Journal of Biological Macromolecules, 112, 1138–1145.
doi:10.1016/j.ijbiomac.2018.02.065
Peroni-Okita, F. H. G., Cardoso, M. B., Agopian, R. G. D., Louro, R. P., Nascimento, J. R.
O., Purgatto, E., … Cordenunsi, B. R. (2013). The cold storage of green bananas affects
the starch degradation during ripening at higher temperature. Carbohydrate Polymers,
96(1), 137–147. doi:10.1016/j.carbpol.2013.03.050
Pico, J., Xu, K., Guo, M., Mohamedshah, Z., Ferruzzi, M. G., & Martinez, M. M. (2019).
Manufacturing the ultimate green banana flour: Impact of drying and extrusion on
phenolic profile and starch bioaccessibility. Food Chemistry, 297(February), 124990.
doi:10.1016/j.foodchem.2019.124990
Reddy, C. K., Suriya, M., Vidya, P. V., & Haripriya, S. (2017). Synthesis and physico-
chemical characterization of modified starches from banana (Musa AAB) and its
biological activities in diabetic rats. International Journal of Biological Macromolecules,
94, 500–507. doi:10.1016/j.ijbiomac.2016.10.050
Roman, L., Gomez, M., Hamaker, B. R., & Martinez, M. M. (2019). Banana starch and
molecular shear fragmentation dramatically increase structurally driven slowly digestible
starch in fully gelatinized bread crumb. Food Chemistry, 274(April 2018), 664–671.
doi:10.1016/j.foodchem.2018.09.023
Sweedman, M. C., Tizzotti, M. J., Schäfer, C., & Gilbert, R. G. (2013). Structure and
physicochemical properties of octenyl succinic anhydride modified starches: A review.
Carbohydrate Polymers, 92(1), 905–920. doi:10.1016/j.carbpol.2012.09.040
Tester, R. F., & Debon, S. J. J. (2000). Annealing of starch - A review. International Journal
of Biological Macromolecules, 27(1), 1–12. doi:10.1016/S0141-8130(99)00121-X

Anda mungkin juga menyukai