Anda di halaman 1dari 21

Arie Prastyo

240210170037
Kelompok 8A
IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
Praktikum kali ini dilakukan dengan perlakuan modifikasi fisik pada
sampel tepung dan pati singkong,ubi jalar,pisang serta hhberas. Modifikasi secara
fisik merupakan proses yang melibatkan penggunaan suhu panas, baik suhu
gelatinisasi maupun temperatur di atasnya. Proses ini juga melibatkan penggunaan
air dalam jumlah terbatas atau berlebih, yang menjadi pembatas terjadinya
perubahan pada granula patinya (Putri dan Zubaidah, 2017).
Tujuan dilakukannya modifikasi fisik dari pati alami yaitu untuk
memperbaiki stabilitas pati, terutama saat pemanasan. Modifikasi fisik ini
cenderung lebih aman karena tidak menggunakan bahan kimia serta tidak merusak
granula pati. Penggunaan suhu panas dalam modifikasi fisik dapat memberikan
perubahan fisik pada granula pati tanpa terjadinya gelatinisasi, kerusakan
intergritas granula, serta hilangnya birefringence (Nadiah et al., 2015).
Hydrothermal treatment didefinisikan sebagai bentuk modifikasi pati
secara fisik yang melibatkan kondisi kelembapan serta pemanasan yang dapat
mempengaruhi karakteristik pati tanpa merubah visualisasi granula pati (Putri dan
Zubaidah, 2017). Metode modifikasi secara hydrothermal treatment secara umum
dapat dibedakan antara annealing dan heat-moisture treatment (HMT). Perbedaan
dari annealing dan HMT terletak pada penggunaan suhu dan kadar air dari
tepung/pati selama pemanasan. Annealing secara umum memanaskan granula pati
dengan kandungan air berlebih (di atas 60% b/b), pada temperature di bawah
melting point pati, sedangkan HMT menggunakan air yang terbatas (18, 21, 24,
dan 27%) pada temperatur yang lebih tinggi (Eliasson dan Gudmundsson, 1996,
dalam Adowale et al., 2005).
Microwave heat treatment merupakan pengembangan lebih lanjut dari
metode heat-moistur treatment, di mana sumber energi yang digunakan berasal
dari radiasi gelombang mikro yang memiliki penetrasi panas lebih baik serta
absorpsi selektif. Microwave heating memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan pemanasan secara konvensional, diantaranya, waktu pemanasan
sampel lebih singkat, tempat yang digunakan dapat dimaksimalkan, serta dapat
mempertahankan kualitas nutrisi dari tepung/pati (Summin, 2001).
Arie Prastyo
240210170037
Kelompok 8A
4.1 Metode Annealing
Metode ANN merupakan modifikasi hidrotermal yang menggunakan air
berlebih dengan tujuan untuk mengubah kondisi struktural yang rapat dan
cenderung tetap menjadi lebih elastik dalam mobilitas molekul pati (Putri dan
Zubaidah, 2017). Pada praktikum kali ini, air yang ditambahkan hingga kadar air
tepung mencapai 65% b/b pati. Suspensi pati dimasukkan ke dalam botol jar kaca
dan dipanaskan di dalam waterbath pada suhu 550C selama 12 jam.
Penggunaan suhu 55oC bertujuan untuk mencegah kerusakan struktur
akibat gelatinisasi, di mana suhu gelatinisasi pati beras/singkong ada pada kisaran
65-75oC. Gelatinisasi pada modifikasi annealing rentan terjadi karena penggunaan
air pada annealing cukup tinggi. Adapun energi yang diserap granula selama
pemanasan pada suhu yang lebih rendah dari suhu gelatinisasi berperan dalam
mebuka lipatan heliks ganda amilopektin serta memfasilitasi
pengaturan/pembentukan ikatan-ikatan baru antar molekul (Ratnayake dan
Jackson, 2006).
Suhu pemanasan selain berada di bawah suhu gelatinisasi, harus berada di
atas suhu transisi gelas pati, di mana pati yang bersifat amorf di atas suhu transisi
gelas akan memiliki sifat rubbery yang bersifat fluida (Putri dan Zubaidah, 2017).
Pada fase rubbery mobilitas titik percabangan amilopektin meningkat dan
mengakibatkan interaksi di bagian kristalit (Jacobs dan Delcour, 1998).
Waktu pemanasan sampel yang digunakan yaitu 12 jam. Namun, pada
beberapa literatur durasi pemanasan annealing umumnya 24 jam. Durasi
pemanasan diatur supaya penyusunan kembali ikatan antar molekul dapat tercapai
sehingga terjadi perubahan sifat fungsional dari tepung. Menurut Putri dan
Zubaidah (2017), modifikasi dengan metode annealing membutuhkan waktu yang
spesifik jka diaplikasikan pada suhu tertentu. Menurut penelitian Intarasiri dan
Naivikul (2005), annealing tepung beras selama 24 jam terbukti dapat
menurunkan swelling power, kelarutan, dan sineresis.
Suspensi tepung/pati yang sudah dipanaskan kemudian disentrifugasi
dengan kecepatan 3000 rpm selama 30 menit. Sentrifugasi dilakukan untuk
memisahkan pati/tepung dari pelarut air yang ditambahkan (Adebowale et al,
2005). Prinsip dari sentrifugasi yaitu memisahkan dua komponen berbeda dari
Arie Prastyo
240210170037
Kelompok 8A
campuran suatu suspensi/emulsi berdasarkan perbedaan berat jenis dari
komponen. Gaya sentripetal akan menarik bahan menuju pusat, di mana
komponen dengan berat lebih tinggi akan menempati lingkaran keliling bagian
bawah tabung dan bahan yang lebih ringan akan menempati bagian tengah (Dewi,
2010). Komponen pati memiliki berat jenis yang lebih berat dibandingkan air dan
komponen lain yang larut dalam air, sehingga di akhir sentrifugasi pati akan
mengendap.
Kecepatan 3000 rpm digunakan karena pada kecepatan tersebut pemisahan
partikel tepung dalam bentuk suspensi berlangsung secara optimum. Dewi (2007)
dalam penelitiannya menunjukkan bahwa pemisahan secara sentrifus dengan
kecepatan 10000 rpm selama menit sama hasilnya dengan pemisahan dengan
kecepatan 3000 rpm. Penggunaan waktu 30 menit mengacu pada penelitian
Bohacenko (2006) dan peneliti lainnya dalam pemisahan pati dari pelarutnya
setelah tahapan ekstraksi.
Tepung/pati yang sudah disentrifugasi dikeringkan dalam oven kabinet
pada suhu 50oC selama . Hal ini dilakukan supaya kadar air dari tepung/pati yang
sudah dipisahkan secara sentrifugasi dapat kembali pada kisaran 12%, sehingga
kadar air tepung memenuhi SNI dan tahan dari kerusakan mikroorganisme selama
penyimpanan. Oven kabinet digunakan karena suhu pengeringan dan aliran
udaranya dapat diatur sehingga pengeringan lebih cepat dan merata. (Winarno,
1993). Suhu 50oC digunakan sama halnya dengan pengeringan endapan pati pada
setelah ekstraksi pati, di mana suhu tersebut merupakan titik kritis, di bawah suhu
50oC pengeringan akan sulit dilakukan.
4.2 Metode Heat Moisture Treatment
Metode HMT adalah proses pemanasan pati pada suhu tinggdiatas suhu
gelatinasi) dengan kandungan air terbatas pada waktu yang lama (sampai 16 jam).
Perlakuan kadar air terbatas (<35%), modifikasi HMT dapat menyebabkan adanya
pengaturan kembali molekul amilosa dan amilopektin di dalam granula yang
berimplikasi pada terjadinya perubahan sifat fisik dan kimia pati (Herawati 2009).
Terbatasnya jumlah air pada pati menyebabkan interaksi hidrogen yang terbentuk
antara air dengan molekul amilosa dan amilopektin juga terbatas sehingga tidak
menyebabkan gelatinisasi.
Arie Prastyo
240210170037
Kelompok 8A
Metode MHT pada praktikum kali ini diawali dengan penimbangan
sampel sebanyak 100 gram, kemudian air ditambahkan hingga kadar air tepung
mencapai 30%. Menurut Abraham (1993), kadar air optimum untuk heat
treatment yaitu 18-22%, di mana sampel yang memiliki kadar air di bawah 18%
cenderung mengalami pencoklatan, sedangkan jika kadar air di atas 22% sampel
cenderung akan tergelatinisasi dan membentuk gumpalan lengket selama
pemanasan.
Penggunaan kadar air yang terbatas ini (30%) ini bertujuan untuk
pembentukan ikatan baru yang lebih kompleks antara amilosa dan amilopektin,
sehingga menghasilkan formasi kristalin baru yang memiliki ikatan lebih kuat dan
rapat (Fertriyuna, et al., 2016). Metode ini dapat merusak bentuk granula pati
hingga terbentuk lubang di bagian permukannya. Proses pemanasan dan
keberadaan air mengakibatkan area amorphous mengembang, kemudian menekan
keluar area berkristal granula pati sehingga terjadi kerusakan dan pelelehan area
berkristal serta menghasilkan bentuk granula pati yang lebih stabil terhadap
pemanasan (Putri dan Zubaidah, 2017).
Jumlah air yang ditambahkan dapat diketahui dari rumus kesetimbangan
massa antara kadar air awal dan kadar air akhir. Oleh karena itu, sampel
tepung/pati harus diukur kadar air awalnya. Secara ideal, pengukuran kadar air
bahan dilakukan menggunakan metode gravimetri. Namun pada praktikum kali
ini kadar air tepung diukur menggunakan alat moisture meter yang biasa
digunakan untuk mengukur kadar air biji-bijian. Menurut Fetriyuna (2016), rumus
kesetimbangan massa yang dapat digunakan adalah sebagai berikut.
(100% - KA1) x BP1 = (100% - KA2) x BP2
Keterangan:
KA1 = Kadar air kondisi awal (%bb)
KA2 = Kadar air pati yang diinginkan (%bb)
BP1 = Bobot sampel pada kondisi awal
BP2 = Bobot sampel setelah mencapai KA2
Berikut ini contoh perhitungan penambahan air pada tepung.
KA1 = 14,2%
KA2 = 30%
Arie Prastyo
240210170037
Kelompok 8A
(100%-KA1) x BP1 = (100%-KA2) x BP2
(100% - 14,2%) x 100 g = (100%-30%) x BP2
85,8%
𝑥100 𝑔 = 122,57 𝑔
70%
Berat air yang ditambah = 122,57 g – 100 g = 22,57 g = 22,57 ml
Air yang ditambahkan pada tepung harus tersebar merata. Apabila
penambahan air tidak merata, maka beberapa bagian sampel akan memiliki kadar
air lebih rendah dari kadar air target, di mana hal tersebut dapat menyebabkan
sifat fungsional tepung tidak berubah walaupun perlakuan pemanasan sudah
dilakukan. Upaya yang dapat dilakukan untuk penyeragaman kadar air yaitu
pengadukan sampel pada loyang serta penyimpanan sampel yang dibungkus
alumunium foil pada refrigerator suhu 4-5oC selama 24 jam.
Pada wadah loyang yang ditutupi dengan alumunium foil, terjadi
keseimbangan antara air yang menguap dengan air yang terkondensasi. Pada suhu
rendah, jumlah maksimum uap air yang dapat diikat oleh udara kering akan
menurun (Heldmand dan Singh, 1984) sehingga sebagian uap air dari tepung akan
membentuk butiran air di seluruh permukaan tepung. Butiran air inilah yang akan
membasahi kembali tepung, sehingga air dapat tersebar merata pada tepung.
Adapun menurut Fetriyuna et al (2016), waktu penyimpanan sampel dalam
refrigerator yaitu selama 24 jam. Penyimpanan sampel dalam refrigerator lebih
dari 24 jam berisiko menyebabkan kebusukan pada sampel.
Sampel kemudian dipanaskan pada oven dengan suhu 120oC selama 16
jam. Suhu yang digunakan merupakan suhu di atas gelatinisasi, sedangkan durasi
pemanasan 16 jam bertujuan untuk memaksimalkan perubahan yang terjadi pada
granula pati akibat adanya panas dalam keadaan kadar air terbatas. Menurut
Syamsir et al (2012), penggunaan kombinasi suhu dan waktu pada tiap penelitian
dengan metode HMT memiliki nilai yang berbeda. Namun, rata-rata suhu yang
digunakan yaitu 100-110oC selama 16 jam. Menurut Putri dan Zubaidah (2017),
modifikasi yang dilakukan pada suhu 110oC selama 16 jam dengan kadar air
sebesar 26% dapat menghasilkan pati termodifikasi dengan karakteristik
gelatinisasi tipe C, yaitu pati memiliki kestabilan viskositas selama pengadukan
dan pemanasan.
Arie Prastyo
240210170037
Kelompok 8A
Selama pemanasan, bungkus Alumunium foil tetap menutupi sampel. Hal
ini dilakukan untuk mempertahankan kadar air sampel pada angka 30% selama
pemanasan. Oven yang digunakan merupakan oven digital, di mana udara di
dalam oven berperan sebagai medium pindah panas dan panas mengalir secara
konveksi dari dinding oven.
Setelah pemanasan, sampel diangkat dan dikeringkan di dalam oven
cabinet pada suhu 50oC selama 4 jam. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kadar
air yang terdapat pada pati/tepung sampai kadar air sebesar 12% (Fetrityuna, et
al., 2016). Oven kabinet digunakan dalam pengeringan karena alat ini memiliki
prinsip menjaga suhu di sekitar bahan pada suhu 50oC. Air yang ditambahkan
selama pengaturan kadar air akan tervaporasi kembali akibat pemanasan hingga
diperoleh tepung dengan kadar air sekitar 12%. Selama pemanasan dalam oven
kabinet, alumunium foil dilepas dari permukaan loyang dengan tujuan untuk
memberikan kontak sebesar-besarnya antara udara pengering dengan sampel
basah, sehingga pengeringan dapat dilakukan dengan maksimal.
4.3 Microwave Heating Treatment
Metode perlakuan dan prinsip perlakuan dari MHT pada dasarnya sama
dengan metode HMT. Sampel tepung dan pati diatur kadar airnya hingga 30%,
kemudian diletakkan pada loyang dan ditutup dengan alumunium foil, serta
disimpan dalam refrigerator suhu 4-5oC selama 12 jam untuk menyeragamkan
kadar air sampel.
Hal yang membedakan MHT dari HMT yaitu alat yang digunakan untuk
memanaskan sampel. Pada praktikum kali ini, sampel yang sudah disimpan dalam
refrigerator disimpan dalam kemasan Polypropilen Container sebelum disimpan
dalam microwave. Polypropilen digunakan sebagai kemasan karena tahan pada
penyimpanan suhu microwave yang tinggi, di mana suhu leleh polypropilen ada di
atas 120oC (Muchtadi dan Sugiyono, 2010).
Kemasan PP container kemudian dimasukkan ke dalam microwave yang
diatur pada daya 180 Watt selama 5 menit. Penentuan daya yang digunakan dan
lama pemanasan bergantung pada kadar air dan tipe pati. Penggunaan daya yang
lebih dari 180 W dapat menyebabkan pencoklatan pada sampel pati (Deka dan Sit,
2016). Durasi pemanasan ini lebih singkat jika dibandingkan dengan pemanasan
Arie Prastyo
240210170037
Kelompok 8A
menggunakan oven digital. Penelitian Nadiah et al (2015) menunjukkan pada
microwave daya 1000 W, suhu sampel dapat mencapai 60oC selama pemanasan
20 detik.
Adapun prinsip pindah panas pada microwave yaitu bahan pangan di
dalam oven microwave menerima efek dari gelombang pada permukaan serta
pada bagian dalam bahan tersebut. Penetrasi panas dari gelombang mikro
bergantung pada karakteristik dielektrik loss yang menentukan kemampuan
material untuk menyerap energi mikro dan mengubahnya menjadi panas. Energi
non-ionisasi dari gelombang mikro dapat melakukan penetrasi panas ke dalam
bahan melalui mekanisme friksi molekuler dalam mengubah energi gelombang
elektromagnetik. Absorpsi dari energi gelombang mikro menyebabkan peingkatan
suhu secara keseluruhan, sehingga pemanasan yang dihasilkan lebih cepat
dibandingkan pemanasan konvensional (Nadiah et al, 2015).
Pati/tepung kemudian dikeringkan menggunakan oven kabinet suhu 50 oC
selama 12 jam. Prinsip pengeringan pati modifikasi microwave dengan pati
modifikasi HMT sama, yakni menurunkan kadar air dari pati hingga di bawah
12%, sehingga tahan terhadap kerusakan mikrobiologis selama penyimpanan.
4.4 Perbandingan Karakteristik Rendemen, Warna, dan Kadar Air dari
Tepung/Pati Modifikasi
Pada akhir tahapan dari tiap metode dilakukan pengayakan dan
penggilingan, kemudian dilakukan analisis warna pada sampel yang sudah
dimodifikasi. Pengukuran warna dilakukan menggunakan chromameter dengan
sistem notasi hunter. Sistem notasi warna hunter dicirikan pada 3 parameter
warna, yaitu warna kromatik (hue) yang ditulis dengan notasi a*, intensitas warna
dengan b*, dan kecerahan dengan notasi L*. Nilai L* dari hasil pengukuran ini
dapat digunakan untuk menilai derajat putih dari sampel, di mana derajat putih
merupakan faktor penentu kualitas tepung/pati sebagai bahan baku produk
pangan.
Adapun penjelasan notasi L*, a*, dan b* yaitu sebagai berikut. Nilai L*
berkisar antara 0-100 dan menyatakan parameter kecerahan (lightness), di mana
nilai 0 menunjukkan hitam, sedangkan nilai 100 berarti putih. Notasi a*
menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a 0-100 untuk
Arie Prastyo
240210170037
Kelompok 8A
warna merah dan nilai –a 0 sampai -80 untuk warna hijau. Notasi b* menyatakan
warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b* 0 sampai 70 untuk warna
kuning dan nilai –b* dari 0 sampai -70 untuk biru (Andarwulan, dkk, 2011).
Sampel dihitung pula kadar air akhirnya menggunakan moisture meter
untuk biji-bijian, Berikut ini hasil pengamatan modifikasi fisk dari tepung dan pati
beras serta tepung dan pati singkong.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Modifikasi Fisik Tepung dan Pati Singkong
Karakteristik Kenampakan
Sampel Kadar Air
Rendemen Warna Keterangan
Akhir
Berat akhir
= 0,104 kg -
Pati
Singkong 104 𝑔 𝑥 100 5,53%
HMT 100 𝑔
= 104%
Berat akhir
= 0,961 kg
L* = -
Tepung 96,1 𝑔
𝑥100 a* = -
Singkong 100 𝑔 9,2 %
b* = -
HMT = 96,1%

Berat akhir
= 0,94 kg
Pati 94 𝑔
𝑥100 -
Singkong 100 𝑔 4,90%
MHT = 94%

Berat akhir:
0.090 kg L* = -
a* = -
Tepung
90 𝑔 b* = - 8,3%
Singkong 𝑥100
MHT 100 𝑔
= 90%
Berat akhir :
0,086 kg
Pati
Singkong 86 𝑔 1,49%
-
Annealing 𝑥100
100 𝑔
= 80%
Arie Prastyo
240210170037
Kelompok 8A
Karakteristik Kenampakan
Sampel Kadar Air
Rendemen Warna Keterangan
Akhir
Berat Akhir
0,068 kg
Tepung
L* = 93,37
Singkong 68 𝑔 2,22 %
Annealing 𝑥100 a* = -0,09
100 𝑔 b* = 8,06
= 68%
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2019)
Tabel 2. Hasil Pengamatan Modifikasi Fisik Tepung dan Pati Beras
Karakteristik Kenampakan
Sampel Kadar Keteranga
Rendemen Warna Gambar
Air n
Pati L* : 93,73
Beras 102% 5,12% a* : -,0,09 HMT
b*: 8,06

Tepung L* :93,23
Beras 84% 3,03% a* : 0,35 HMT
b* : 7,1
Pati
Beras 82% 4,82% - MHT

L*:93.36
Tepung
62% 4,11% a*: 0,2 MHT
Beras
b* : 7,01
Pati -
Beras 68% 3,22% - Annaeling

Tepung L* : 95,38
Beras 50% 2,13% a* : 0,19 Annealing
b* : 4,13
Sumber : (Dokumentasi Pribadi, 2019)

Tabel 3. Hasil Pengamatan Modifikasi Fisik Tepung dan Pati Pisang


Karakteristik Kenampakan
Sampel Kadar Keteranga
Rendemen Warna Gambar
Air n
Pati
108% 8,71% - HMT
Pisang
Arie Prastyo
240210170037
Kelompok 8A

Tepung L* :79,29
Pisang 114% 7,34% a* : 3,39 HMT
b* : 13,9
Pati
Pisang 90 % 6,52% - MHT

L*:-
Tepung
96% 3,22% a*: - MHT
Pisang
b* : -
Pati -
Pisang 80% 2,30% - Annaeling

Tepung L* : -
Pisang 74% 1,65% a* : - Annealing
b* : -
Sumber : (Dokumentasi Pribadi, 2019)
Tabel 4. Hasil Pengamatan Modifikasi Fisik Tepung dan Pati Ubi Jalar
Karakteristik Kenampakan
Sampel Kadar Keteranga
Rendemen Warna Gambar
Air n
Pati
L* : 92,34
Ubi
96% 5,93% a* : 0,07 HMT
Jalar
b*: 6,27
Tepung
L* :75,02
Ubi
98% 4,05% a* : 3,67 HMT
Jalar
b* : 22,69
Pati
Ubi
96 % 6,02% - MHT
Jalar

Tepung L*:89,27
Ubi 82% 5,55% a*: 2,34 MHT
Jalar b* : 22,35
Pati -
Ubi
88% 3,22% - Annaeling
Jalar

Tepung
L* : -
Ubi
88% 13,97% a* : - Annealing
Jalar
b* : -

Sumber : (Dokumentasi Pribadi, 2019)


Arie Prastyo
240210170037
Kelompok 8A

4.4.1 Rendemen
Berdasarkan hasil pengamatan, perlakuan modifikasi fisik yang
memberikan nilai rendemen tertinggi dibanding perlakuan lain yaitu metode heat
moisture treatment. Nilai rendemen pada tepung singkong dari perlakuan HMT
memiliki nilai sebesar 96,1%. Sampel tepung singkong MHT memiliki nilai
tertinggi kedua, yaitu 90% dan diikuti dengan perlakuan annealing ,yakni sebesar
68%.Nilai rendemen ini menunjukkan sedikit sekali bahan baku yang hilang
dalam pengolahan, walaupun diduga terjadi ketidaktelitian dalam penggunaan
ayakan bekas perlakuan sebelumnya. Sampel tepung beras perlakuan HMT
memiliki nilai rendemen tertinggi sebesar 84%, sedangkan nilai rendemen
singkong modifikasi MHT yaitu 62%dan annealing sebesar 50%.
Metode modifikasi annealing secara keseluruhan menghasilkan nilai
rendemen yang lebih rendah dibandingkan dengan metode moisture heat
treatment dan Microwave heat tempreature . Berdasarkan tabel diatas , nilai
rendemen tepung pisang dengan proses HMT memiliki rendemen tertinggi yaitu
114%,diikuti dengan proses MHT 96% dan nilai rendemen terendah yakni proses
ANN dengan nilai rendmen sebesar 92%. Adapun nilai rendemen tepung beras
ANN memiliki nilai rendemen 74%, sedangkan nilai rendemen tepung ubi jalar
memiliki nilai rendemen tertinggi dengan proses HMT sebesar yaitu 82%,namun
pada proses ANN nilai rendemen tepung ubi jalar lebih tinggi dibandingkan
metode MHT yakni 88% dan 82%.
Pati yang dilakukan modifikasi annealing, baik itu pati
singkong,pisang,ubi jalar ataupun pati beras memiliki rendemen yang lebih tinggi
jika dibandingkan dengan rendemen tepung singkong,beras,pisang dan ubi jalar
modifikasi annealing. Hal ini disebabkan pada tahapan sentrifugasi, komponen
non-pati dari tepung, seperti protein, dll akan terlarut dalam air dan terpisah dari
tepung/pati setelah sentrifugasi. Komponen non-pati dalam tepung lebih tinggi
dibandingkan dengan pati, sehingga rendemen yang dihasilkan pada tepung akan
lebih rendah pula. Nilai rendemen pati singkong ANN lebih tinggi dibandingkan
Arie Prastyo
240210170037
Kelompok 8A
pati beras juga pati ubi jalar di bandingkan pati pisang pada modifikasi ANN
diduga disebabkan kandungan/kemurnian pati pada pati singkong lebih tinggi.
Nilai rendemen pada semua sampel dengan perlakuan modifikasi HMT
rata- rata memiliki nilai rendemen lebih tinggi dibanding perlakuan modifikasi
fisik lain. Nilai rendemen pada sampel tepung pada proses HMT dari tertinggi
berturut-turut adalah tepung pisang dengan rendemen 114 %,tepung tapioca
sebesar 96,1%,tepung ubi jalar sebesar 98% dan tepung beras sebesar 84%.
Perlakuan HMT pada sampel pati memiliki nilai rendemen tertinggi hingga
terendah adalah pati pisang dengan rendemen sebesar 108% ,diikuti pati singkong
sebesar 104% ,pati beras sebesar 102 % dan pati ubi jalar sebesar 96%.
4.4.2 Warna
Parameter selanjutnya yang diamati yaitu warna. Berdasarkan tabel diatas ,
nilai kecerahan tepung singkong pada perlakuan modifikasi ANN, yaitu dengan
nilai L* = 93,73 Adapun nilai b* sebesar 8,06 menunjukkan tepung singkong
sedikit kuning (krem). Nilai a* dari tepung singkong sangat kecil, berkisar dari
yakni -0,09. Hal ini menunjukkan warna merah ataupun hijau tidak dominan pada
sampel.
Nilai kecerahan tepung beras tertinggi ada pada perlakuan annealing,
yakni dengan nilai L* = 95,38 dan diikuti perlakuan MHT dengan nilai L* =
93,36 dan pada perlakuan HMT dengan L* = 93,23. Tepung beras perlakuan
annealing memiliki nilai b* = 4,13, sedangkan tepung beras MHT memiliki nilai
b*=7.01 dan pada perlakuan HMT nilai b*=7,1. Hal ini menunjukan tepung beras
dengan perlakuan MHT dan HMT cenderung lebih berwarna kuning/krem jika
dibandingkan dengan tepung beras ANN. Pati beras perlakuan HMT memiliki
nilai kecerahan lebih tinggi dari tepung pada proses HMT dan MHT , yakni
L*=93,73, serta b*=8,06. Penurunan nilai L* menunjukkan sampel berkurang
jauh nilai derajat putihnya, serta nilai b* menunjukkan sampel mengalami
pencoklatan yang cukup signifikan.
Pada sampel tepung ubi kayu , nilai L* terbesar ada pada perlakuan MHT
dengan nilai L* = 89,27, dan diikuti dengan HMT, yakni dengan nilai L* = 75,02.
Perlakuan HMT pada tepung ubi jalar menyebabkan kecerahan tepung menurun.
Pada sampel pati ubi jalar, perlakuan HMT menghasilkan produk akhir dengan
Arie Prastyo
240210170037
Kelompok 8A
nilai kecerahan tertinggi, yakni L* = 92,54.Nilai b* tertinggi pada sampel tepung
dengan perlakuan HMT sebesar b*=22,69 dan terendah pada sampel pati ubi jalar
sebesar b*=6,27
Sampel dengan perlakuan HMT memiliki nilai L* di bawah yakni
L*=79,29 dan nilai b* dibawah 14 , menunjukkan sampel dengan perlakuan
HMT mengalami pencoklatan non-enzimatis selama pemanasan. Hal ini sesuai
dengan Widowati et al (2014) yang menyatakan perlakuan HMT dapat
menurunkan tingkat kecerahan produk. Semakin lama waktu pemanasan serta
semakin tinggi suhu pemanasan maka produk pati/tepung semakin rentan
mengalami pencoklatan (Deka dan Sit, 2016). Pemanasan selama modifikasi
mendorong terjadinya reaksi browning yang dipicu oleh adanya interaksi
karbohidrat dan protein pada aw rendah. Reaksi browning menyebabkan pati
termodifikasi menjadi lebih gelap.
Sampel Tepung tapioka belum mencapai standard SNI,menurut SNI
kualitas AAA pada tepung tapioka memiliki derajat putih minimal 94,5.
4.4.3 Kadar Air
Parameter terakhir yang diamati yaitu kadar air. Kadar air sampel Tepung
modifikasi perlakuan ANN memiliki kadar air akhir di bawah 10% pada semua
sampel kecuali sampel tepung ubi jalar dimana kadar air sampel sebesar
13,97%,sedangkan pada tepung beras,pisang dan ubi kayu memiliki kadar air
terendah berturut-turut adalah 2,13%,1,65%,dan 2,22%.Begitu pula dengan pati
baik beras,pisang,ubi kayu dan ubi jalar memiliki kada air terendah pada
perlakuan ANN berturut –turut adalah 3,22%,2,30%,1,49%dan2,33%Hal ini
menunjukkan terjadi penurunan kadar air dari tepung/pati yang belum
dimodifikasi fisik dan setelah tepung dimodifikasi fisik.Dari semua sampel telah
menunjukan standard SNI untuk tepung tapioka SNI 01-3451-1994 kadar air
maksimal tepung tapioka adalah 15%,diikuti pisang 01-7111.2-2005 dimana kadar
air yang dipersyaratkan adalah maksimum 5%,tepung beras menurut BSN (2009)
kadar air maksimal adalah 13% dan tepung ubi jalar menurut SNI (1996) memiliki
kadar air maksimal 15%
Penurunan kadar air pada tepung/pati hasil modifikasi fisik diduga akibat
adanya interaksi molekuler yang kuat dari pembentukan ikatan antara amilosa dan
Arie Prastyo
240210170037
Kelompok 8A
rantai cabang amilopektin dan amilopektin-amilopektin (Gomes et al., 2005).
Pembentukan ikatan tersebut menyebabkan solubility dari tepung menurun karena
peningkatan zona kristalin di dalam pati. Peningkatan zona kristalin ini diduga
mengurangi rasio zona amorphous yang relatif lebih bersifat higroskopis
dibandingkan zona kristalin. Selain itu, lama pengeringan juga dapat
mempengaruhi kadar air sampel. Semakin lama suatu bahan kontak langsung
dengan panas, maka kandungan air juga akan semakin rendah. Pengeringan yang
cukup lama menyebabkan jumlah air yang teruapkan lebih banyak sehingga kadar
air dalam tepung berkurang (Erni, et al., 2018).
Berdasarkan perbandingan rendemen, warna, dan kadar air akhir yang
diamati, metode microwave heat treatment merupakan metode hidrotermal yang
paling baik, ditunjukan dari nilai rendemen yang cukup tinggi dibandingkan
dengan metode hidrotermal lainnya. Adapun untuk warna hasil modifikasi MHT,
tepung/pati yang dihasilkan tidak mengalami pencoklatan dan nilai kecerahannya
ada di bawah nilai kecerahan metode annealing dengan selisih yang kecil. Hal ini
sesuai dengan Deka dan Sit (2016) yang menyatakan modifikasi microwave
menghasilkan rendemen yang lebih tinggi dibanding metode modifikasi fisik
lainnya serta kualitas yang dihasilkan lebih baik dibandingkan dengan metode
konvensional
4.5 Tujuan dan Manfaat Modifikasi Fisik Tepung/Pati
Tujuan modifikasi fisik pati/tepung yaitu untuk mengubah beberapa sifat
pati alami yang tidak diinginkan selama pemanasan (kestabilan viskositas yang
rendah), pendinginan, dll. Modifikasi HMT dilaporarkan meningkatkan
ketahanannya terhadap panas, pelakuan mekanis, dan pH asam (Taggart, 2004),
dengan meningkatkan suhu gelatinisasi dan menurunkan kapasitas pembengkakan
granula. HMT menyebabkan perubahan konformasi molekul pati dan
menghasilkan struktur kristalin yang lebih resisten terhadap proses gelatinisasi
(Jacobs dan Delcouer, 1998). Interaksi amilosa (amorphous) dengan amilopektin
(kristalin) selama HMT mereduksi mobilitas rantai amilopektin sehingga suhu
gelatinisasi meningkat (Hoover dan Vasanthan, 1994).
Pada modifikasi annealing, karakteristik fisikokimia berubah disebabkan
oleh perubahan struktur yang dipicu oleh annealing. Pada zona amorphous,
Arie Prastyo
240210170037
Kelompok 8A
amilosa bebas dapat berikatan dengan rantai amilopektin, serta lipid menjadi lebih
stabil terhadap pemanasan dengan adanya peningkatan zona kristalin. Pada zona
amorphous terbentuk struktur porous pada granula. Perubahan mikrostruktur ini
mengubah karakteristik pati, di antaranya penurunan swelling power viskositas
puncak, peningkatan suhu gelatinisasi, lebih mudah dihidrolisis, dan pembentukan
pati resisten (Yao et al., 2018).

V. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan
Arie Prastyo
240210170037
Kelompok 8A
Kesimpulan yang didapat dari praktikun kali ini yaitu
 Perlakuan modifikasi fisik metode HMT memberikan nilai rendemen
tertinggi dibanding perlakuan lain untuk jenis sampel yang sama. Nilai
rendemen dari perlakuan HMT memiliki nilai di atas 85%.
 Perlakuan modifikasi fisik ANN memberikan nilai rendemen terendah
dibanding perlakuan lain untuk hampir semua sampel baik itu tepung atau
pati.
 Perlakuan modifikasi annealing cocok untuk jenis sampel pati, sedangkan
untuk tepung tidak cocok karena selama sentrifugasi komponen non-pati
akan tercuci dengan air dan didekantasi, sehingga rendemen menjadi
rendah.
 Warna dari modifikasi annealing memberikan nilai kecerahan (L*)
tertinggi untuk sampel pati beras dan pati singkong, sedangkan untuk
sampel tepung pisang perlakuan HMT memberikan nilai kecerahan (L*)
terendah.
 Warna dari produk hasil modifikasi HMT (Heat Moisture Treatment)
cenderung berwarna kecoklatan akibat suhu tinggi dan lamanya
pemanasan yang digunakan.
 Kadar air tepung/pati hasil modifikasi lebih rendah dibandingkan
tepung/pati alami. Peningkatan zona kristalin diduga mempengaruhi
penurunan sifat higroskopis dari pati/tepung modifikasi.
 Modifikasi fisik bertujuan untuk memperbaiki sifat fisik pati alami yang
tidak diinginkan selama pengolahan, seperti mempertahankan kestabilan
viskositas selama pemanasan, peningkatan suhu gelatinisasi, dll.
5.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan dari praktikum kali ini yaitu :
Metode perhitungan kadar air ke depannya dapat dilakukan secara
gravimetri untuk mengetahui kadar air yang lebih akurat. Selain itu, penambahan
air pada tepung/pati dapat dilakukan menggunakan spray untuk dapat
menyeragamkan kandungan air dari tepung.
Arie Prastyo
240210170037
Kelompok 8A

DAFTAR PUSTAKA
Arie Prastyo
240210170037
Kelompok 8A
Abraham, Emilia. 1993. Stabilization of Paste Viscosity of Cassava Starch by
Heat Moisture Treatment. starchktarke 45 ( 1993) Nr. 4. S. 131 – 135

Andarwulan, et al. 2011. Analisis Pangan. Penerbit Dian Rakyat, Jakarta.

Alivia, P. 2005. Pengaruh Varietas dan Metode Pengeringan Terhadap Kualitas


Ubi Jalar.Universitas Muhammadiyah Malang.

BSN. 2009. Tepung Beras (SNI 3549:2009). Jakarta: Badan Standarisasi


Nasional.

Deka, Dhritiman dan Nandan Sit. 2016. Dual modification of taro Starch by
microwave and other heat mosisture treartments. International Journal of
Biological Macromolecul 92 : 416-422

Dewi, Kurnia Harlina. 2007. Ekstraksi secara Maserasi Teripang Pasir Sebagai
Sumber Alami. Jurnal-Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. Edisi Khusus No 2
: 229 -234

Dewi, Kurnia Harlina. 2010. Pengaruh Kecepatan Sentrifugasi Pada Proses


Pemisahan Hasil Ekstrak Teripang Pasur Sebagai Sumber Testosteron
Alami dan Antigen. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia :
Pengembangan Teknologi Kimia untuk Pengolahan Sumber Daya Alam
Indonesia, Yogyakarta.

Eliasson AC, Gudmundson M (1996). Starch: Physicochemical and Functional


Aspects. In: AC Eliasson, Carbohydrates in Foods. Marcel Dekker New
York. pp. 431–504.

Erni, Nurfiani, et al. 2018. Pengaruh Suhu Dan Lama Pengeringan Terhadap Sifat
Kimia dan Organoleptik Tepung Umbi Talas (Colocasia Esculenta). Jurnal
Pendidikan Teknologi Pertanian, Vol. 4 (2018) : 95-105

Fetriyuna, et al. 2016. Pengaruh Lama Modifikasi Heat-Moisture Treatment


(HMT) Terhadap Sifat Fungsional dan Sifat Amilografi Pati Talas Banten
(Xanthosoma undipes K. Koch). Jurnal Penelitian Pangan Volume 1.1,
Agustus 2016

G. Sumnu. 2001. A review on microwave baking of foods. International Journal


of Food Science and Technology, 36, 117-127

Gomes, A. M., da Silva, C. E. M., & Ricardo, N. M. (2005). Effects of annealing


on the physicochemical properties of fermented cassava starch (polvilho
azedo). Carbohydrate Polymers, 60(1), 1-6.

Heldmand dan Singh. 1984. Introduction to Food Engineering. Elsevier,


Burlington.
Arie Prastyo
240210170037
Kelompok 8A
Hoover, R., & Vasanthan, T. (1994). Effect of heat-moisture treatment on the
structure and physicochemical properties of cereal, legume, and tuber
starches. Carbohydrate Research, 252, 33-53.

Intarasiri, M dan Naivikul. 2005. Effect of Annealing on the Physicochemical


Properties of Fermented Rice Flour. The 7th Agro-Industrial Conference,
Banggkok, Thailand.

Jacobs, H., dan Delcour. 1998. Hydrothermal modifications of granular starch


with retention of the granular structure : A Review. J of Agr and Food
Chem 46 : 2895-2905

Muchtadi dan Sugiyono. 2010. Prinsip dan Proses Teknologi Pangan. Penerbit
Alfabeta, Bandung.

Nadiah, et al. 2015. Effect of Microwave Heating on Potato and Tapioca Starches
in Water Suspension. International Journal on Advanced Science
Engineering Information Technology Vol 5 (4) : 265-271

Putri, Widya Dwi Rukmi dan Elok Zubaidah. Pati : Modifikasi dan
Karakterisasinya. University Brawijaya Press, Malang

SNI 01-3451-1994. Syarat Mutu Tepung Tapioka.. Badan Standarisasi Nasional,


Jakarta.

SNI 01-3841-1995. Tepung Pisang. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

Ratnayake WS, Jackson DS. 2006. Gelatinization and solubility of corn starch
during heating in excess water : New Insight. J Agric Food Chem 54 :
3712-3716

Taggart. 2004. Starch as an Ingredient Manufacture and Application, Didalam :


Eliasson. Starch In Food : Structure, Function, And Applications.
Woodhead Publishing Limited. Cambridge.

Winarno, F. G. 1993. Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta: Gramedia.

Widowati, Sri., et al., 2014. Pengaruh Perlakuan Heat Moisture Treatment (HMT)
Terhadap Sifat Fisiko Kimia Dan Fungsional Tepung Beras Dan
Aplikasinya Dalam Pembuatan Bihun Berindeks Glikemik Rendah. Jurnal
Pascapanen 11 (2) : 59-66

Yao, Tianming, et al. 2018. Annealing. Department of Food Science Purdue


University, USA.
Arie Prastyo
240210170037
Kelompok 8A

JAWABAN PERTANYAAN
1. Menurut saudara apa tujuan dilakukannya modifikasi secara fisik
pada tepung dan pati?
Arie Prastyo
240210170037
Kelompok 8A
Modifikasi secara fisik bertujuan untuk mengubah karakteristik
pati alami yang tidak diinginkan selama proses pengolahan, namun tanpa
dilakukan penambahan bahan kimia. Modifikasi secara fisik dilaporkan
dapat meningkatkan pasting temperature, memberikan kestabilan pati
selama pemanasan ditandai dengan viskositasnya yang stabil, dll.
2. Apa fungsi penyeimbangan kadar air pada modifikasi fisik?
Penyeimbangan kadar air bertujuan untuk menghomogenkan kadar
air dari partikel tepung/pati sebelum pemanasan. Hal ini penting dilakukan
karena pada modifikasi fisik, kadar air harus diatur supaya perubahan
fungsional dari tepung dapat terCAPAI. Apabila ada komponen yang
mengandung kadar air di bawah kadar air target, maka sifat fungsional
yang diinginkan sulit tercapai. Sebaliknya, apabila ada bagian tepung yang
mengandung kadar air berlebih, gelatinisasi dapat terjadi yang
menyebabkan sampel menjadi lengket.
3. Apa yang menyebabkan perbedaan warna dari modifikasi yang
dilakukan?
Perbedaan warna dipengaruhi suhu pemanasan, lama pemanasan,
serta kadar air dari sampel. Proses modifikasi yang menggunakan suhu
tinggi, durasi pemanasan lama, serta kadar air sampel rendah rentan
mengalami pencoklatan non-enzimatis. Pencoklatan non-enzimatis terjadi
pada kondisi aktivita air rendah dan penyimpanan panjang akibat reaksi
antara gula dengan asam amino gugus primer. Pencoklatan ini dapat
terjadi pada tepung, mengingat tepung mengandung karbohidrat serta
asam amino sebagai komponen dari protein.

Anda mungkin juga menyukai