Anda di halaman 1dari 12

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Modifikasi Tepung dan Pati Secara Fisik


Tepung dan pati merupakan bahan baku yang paling sering digunakan
dalam berbagai industri, baik dari industri pangan, hingga industri non pangan
seperti industri farmasi hingga industri tekstil. Namun, tepung dan pati memiliki
sifat fungsional yang berbeda-beda yang mana dipengaruhi oleh sumber tepung
atau patinya. Terkadang sifat fungsional yang dimiliki pada bahan tersebut
memiliki hasil yang tidak diinginkan, misalnya penggunaan pati sebagai bahan
pengental dalam pembuatan saus. Hal ini dikarenakan pati di dalam air panas dapat
membentuk gel yang bersifat kental (Murtiningrum, et al., 2012). Pati alami
memiliki banyak kelemahan, yaitu dapat menghasilkan suspensi pati dengan
viskositas dan kemampuan membentuk gel yang tidak seragam (konsisten), tidak
tahan pada pemanasan suhu tinggi, tidak tahan pada kondisi asam, tidak tahan
proses mekanis, dan kelarutannya terbatas di dalam air. Hal tersebut menyebabkan
penggunaan pati alami sebagai pengental menjadi tidak sesuai, baik selama proses
maupun penyimpanan (Kusnandar, 2010). Kelemahan lainnya pada tepung dan pati
alami menurut Putri dan Zubaidah (2017) ialah:
1. Tepung dan pati alami menghasilkan suspensi pati dengan viskositas dan
kemampuan membentuk gel yang tidak seragam;
2. Profil gelatinisasi yang tidak seragam sehingga berdampak pada sifat
fungsional yang berbeda-beda;
3. Tepung dan pati alami tidak tahan pada suhu tinggi, sehingga suspensi akan
menurun seiring dengan meningkatnya suhu pemanasan, dan kemudian
mengalami pengentalan ketika didinginkan, di mana hal tersebut berdampak
pada viskositas produk yang tidak seragam;
4. Tepung dan pati alami mudah terhidrolisis pada kondisi asam, sehingga
mengubah karakteristik gelatinisasinya;
5. Tepung dan pati tidak tahan terhadap proses mekanis, seperti pengadukan.
6. Kelarutan pati sangat terbatas di dalam air, sehingga perlu diatur penggunaan
suhu untuk menghasilkan pati yang mudah larut dalam air;
7. Gel pati akan bersineresis seiring dengan terjadinya retrogradasi, terutama pada
kondisi penyimpanan gel dalam kondisi dingin.
Permasalahan lainnya terkadang dijumpai pada kecepatan daya cerna dan
indeks glikemik yang belum sesuai dengan targetnya. Seringkali tepung dan pati
memiliki kecepatan daya cerna yang cepat (dalam hal ini ialah RDS atau Rapidly
Digestible Starch) sehingga berakibat pada meningkatnya profil gula darah yang
buruk bagi penderita diabetes melitus tipe 2 (Brownlee, 2003). Adapun dengan
modifikasi pati dan tepung, mampu memberikan kondisi kecepatan daya cerna pati
yang baik bagi penderita diabetes melitus tipe 2 tersebut (Widowati, et al., 2014).
Dengan melihat kondisi tersebut tentu diperlukan modifikasi pada tepung dan pati
yang ada sehingga didapatkan tepung dan pati yang memiliki karakteristik yang
diinginkan. Modifikasi tepung dan pati yang dapat dilakukan dengan dengan
pendekatan fisik, kimia dan mikrobiologis (Putri dan Zubaidah, 2017). Modifikasi
tepung dan pati secara fisik diartikan sebagai modifikasi yang menghasilkan
perubahan terhadap sifat pada pati yang diakibatkan oleh perlakuan fisik tanpa
adanya perlakuan kimia dari molekul polisakarida pati. Secara umum, perlakuan ini
merusak atau menghasilkan perubahan pada molekul polisakarida pati dengan
granulanya, namun perubahan struktur dapat mengubah sifat dan fungsionalitas dari
pati, termasuk karakteristik pemastaan panas dan gel hingga ketercernaannya.
Modifikasi fisik ini dibagi menjadi 2 jenis, yakni perlakuan termal dan perlakuan
nontermal (BeMiller, 2018).
Perlakuan hidrotermal atau hydrothermal treatment menjadi salah satu
perlakuan yang menggunakan suhu (thermal treatment). Menurut Stute (1992)
perlakuan hidrotermal lebih didefinisikan sebagai bentuk modifikasi pati secara
fisik yang mengkombinasikan kondisi kelembaban serta pemanasan yang dapat
mempengaruhi karakteristik pati tanpa mengubah visualisasi granula pati.
Perlakuan fisik dalam memodifikasi pati cenderung lebih aman, karena tidak
merusak granula pati serta lebih alami dibandingkan dengan perlakuan kimia
(Collado, et al., 2001). Berdasarkan kondisi perlakuannya, perlakuan hidrotermal
dibedakan menjadi dua, yaitu annealing dan heat moisture treatment (HMT).
Perlakuan fisik lainnya ialah perlakuan nontermal yang diterapkan pada microwave
heating treatment atau yang sering disingkat MHT ataupun MWT. Penggunaan
microwave dalam modifikasi tepung dan pati dikarenakan energi yang dihasilkan
berasal dari besaran gelombang elektromagnetik pada frekuensi yang tinggi
sehingga menghasilkan panas dan mampu mengubah karakteristik pada pati dan
tepung (Lewandowicz, Jankowski, dan Fornal, 2000). Miller, Gordon dan Davis
(1991) menyatakan bahwa ada interaksi yang dihasilkan selama proses tersebut, di
mana terjadi interaksi antara pati dengan iradiasi microwave dengan kondisi kadar
air yang tinggi.

2.2. Modifikasi Heat Moisture Treatment


Heat moisture treatment (HMT) merupakan salah satu metode yang dapat
meningkatkan kadar pati resisten pada bahan pangan (Chung, Liu, dan Hoover,
2009). Menurut Jacobs dan Delcour (1998a), HMT didefinisikan sebagai modifikasi
fisik yang dilakukan dengan memanaskan pati dengan kadar air terbatas (kurang
dari 35% air, b/b) pada suhu di atas suhu transisi gelas tetapi masih di bawah suhu
gelatinisasi pati selama waktu tertentu. Proses HMT dapat dilakukan dengan
berbagai macam metode, di antaranya adalah dengan menggunakan oven (Li,
Ward, dan Gao, 2011), retort (Syamsir, 2012), microwave (Pinasthi, 2011), dan
autoklaf (Pukkahuta, et al., 2008).
Perlakuan HMT dapat mengubah karakteristik fisikokimia pati (Ferdiani,
2013). Perubahan tersebut antara lain adalah mengurangi sifat birefringent
(Syamsir, 2012), menurunkan kapasitas pembengkakan (Li, Ward, dan Gao, 2011),
menurunkan kelarutan (Guzzel dan Sayar, 2010) atau meningkatkan kelarutan
(Adebowale, et al., 2009), menyebabkan peningkatan suhu pasting, penurunan
viskositas breakdown (VBD), dan menaikkan/menurunkan viskositas balik (VB)
atau setback viscosity (Herawati, 2011), dapat mengubah struktur kristalin pati
(Gunaratne dan Hoover, 2002), atau bahkan tidak mengubah tipe kristal tersebut
(Collado dan Corke, 1999), penurunan kristalinitas (Vermeylen, Goderis, dan
Delcour, 2006), dan peningkatan atau penurunan daya cerna oleh enzim pencernaan
yang ada di dalam tubuh manusia.
Perlakuan HMT akan memberikan efek perubahan yang berbeda tergantung
pada sumber pati dan kondisi proses yang diterapkan (Olayinka, et al., 2008).
Adapun Putri dan Zubaidah (2017) menguraikan bahwa ada keterkaitan kombinasi
berbagai faktor dalam menghasilkan pati dengan karakteristik yang berbeda-beda,
yakni di antaranya:
1. Kadar air bahan mempengaruhi modifikasi HMT pada pati. Menurut kadar
air yang perlu ditambahkan dalam bahan sebaiknya dilakukan di bawah
35%. Peningkatan kadar air tersebut tidak memberikan pola akhir yang khas
dalam peningkatan suhu gelatinisasi pati, dan juga tidak memberikan pola
yang khas pada viskositas puncak, viskositas pasta panas, breakdown,
viskositas akhir, dan viskositas setback. Formulasi struktur granula
mengembang dan berubah menjadi lebih rapat setelah pengeringan yang
kemudian dapat mempengaruhi viskositas selama pemanasan dan
peningkatan rigiditas granula sebagai akibat dari ketidaksempurnaan proses
gelatinisasi. Peningkatan rigiditas kemudian menyebabkan granula menjadi
lebih resisten terhadap pemanasan dan juga pengadukan, sehingga
viskositasnya pun meningkat.
2. Perbedaan rasio dari amilosa dan amilopektin juga mempengaruhi
sensitivitas terhadap modifikasi pati secara fisik. Perbedaan panjang rantai
serta perbedaan pengaturan amilosa dan amilopektin di dalam granula pati
kemungkinan akan mempengaruhi kemudahan perubahan pati pada saat
dipanaskan dalam air. Studi yang dilakukan oleh Widaningrum dan Purwani
(2006), menunjukkan bahwa pati jagung dengan kandungan amilopektin
lebih tinggi lebih sesitif terhadap perlakuan HMT. Pati jagung dengan
kandungan amilosa rendah (17,69%) mengalami pergeseran profil
gelatinisasi dari tipe A menjadi tipe C. Sementara itu, pati jagung dengan
kandungan amilosa tinggi (46,15%) mengalami pergeseran profil
gelatinisasi dari tipe B menjadi tipe C.
3. Perubahan yang terjadi pada pati yang dimodifikasi HMT disebabkan oleh
adanya interaksi antara amilosa dan amilopektin di dalam granula pati
dengan air. Inhibisi air ke dalam granula pati dimungkinkan oleh adanya
suhu tinggi yang dapat memutuskan ikatan hidrogen antara molekul
amilosa-amilosa, amilosa-amilopektin, maupun amilopektin-amilopektin.
Ikatan hidrogen antara molekul tersebut kemudian digantikan oleh ikatan
hidrogen dengan air. Oleh karena itu, kadar air dan suhu yang diterapkan
selama modifikasi kemungkinan akan saling berinteraksi dalam mem-
pengaruhi karakteristik pati termodifikasi yang dihasilkan. Studi yang
dilakukan dilakukan oleh Vermeylen, Goderis, dan Delcour (2006),
menunjukkan bahwa pati termodifikasi HMT pada kadar air dan suhu yang
lebih tinggi mempunyai suhu gelatinisasi yang lebih tinggi, kisaran suhu
gelatinisasi yang lebih lebar, dan energi entalpi gelatinisasi yang lebih
rendah dibendingkan dengan pati termodifikasi HMT pada kadar air dan
suhu yang lebih rendah. Selain itu, pati termodifikasi pada suhu dan kadar
air yang lebih tinggi mempunyai ukuran lubang (kekosongan) di pusat
granula yang lebih besar dan integritas granula pati termodifikasi pada suhu
130°C telah hilang sebagian.
4. Adanya pengaruh interaksi waktu dan suhu modifikasi HMT terhadap
karakteristik pati termodifikasi. Modifikasi yang dilakukan pada suhu
pemanasan 110°C selama 6 jam dapat menghasilkan pati termodifikasi
dengan karakteristik gelatinisasi tipe C, pati tersebut juga mempunyai
kelarutan yang lebih rendah dan kekuatan gel yang lebih tinggi bila
dibandingkan dengan pati yang dimodifikasi pada waktu dan suhu yang
berbeda. Modifikasi terhadap tepung jagung secara HMT pada berbagai
modifikasi suhu dan waktu yang berbeda menghasilkan tepung jagung
dengan karakteristik gelatinisasi yang berbeda. Tepung jagung
termodifikasi dengan tipe C yaitu tepung yang mempunyai stabilitas panas
dan pengadukan tinggi diperoleh dengan kombinasi suhu 110°C dan waktu
6 jam. Selain itu, tepung tersebut juga mempunyai swelling volume dan
amylose leaching yang lebih rendah bila dibandingkan dengan tepung yang
dimodifikasi pada perlakuan lainnya (Lestari, 2009). Studi yang dilakukan
oleh Ahmad (2009) tidak menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan
stabilitas pati dengan meningkatnya waktu dan suhu modifikasi HMT.
Stabilitas panas pasta pati meningkat dengan meningkatnya waktu
modifikasi dari 12 jam menjadi 16 jam, namun stabilitas panas
Penelitian modifikasi pati dan tepung secara heat-moisture treatment
umumnya dilakukan dengan menggunakan variasi kadar air yang berada pada
rentangan 20-30%, yang kemudian mendapatkan pati dengan karakteristik
fisikokimia terbaik. Pada penelitian yang dilakukan Lewandowicz, et al. (1997),
pati dengan pengaturan kadar air 25-35% memiliki perubahan seperti peningkatan
suhu gelatinisasi, penurunan kelarutan, dan perubahan struktur kristalin. Perubahan
yang terjadi akan lebih besar jika pengaturan kondisi kadar air pada modifikasi
HMT dan suhu yang semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh air yang
mempengaruhi proses perubahan isotermal pada pati. Hoover dan Vasanthan
(1994) menambahkan bahwa penurunan entalpi pada pati termodifikasi HMT
seiring dengan meningkatnya kadar air menunjukkan adanya kerusakan pada
struktur heliks ganda yang dipicu oleh pergerakan rantai heliks ganda, yang mana
meningkat seiring dengan kenaikan kadar air. Modifikasi pati dan tepung secara
heat-moisture treatment menghasilkan pati lambat cerna yang signifikan. Hal
tersebut ditegaskan oleh Shin, et al. (2005) di mana jumlah peningkatan kadar SDS
pada pati ubi jalar ialah sejumlah 15,6%-31,0%. Di samping itu, kadar SDS juga
meningkat pada pati jagung, kacang polong dan lentils yang dimodifikasi secara
HMT (Chung, Liu, dan Hoover, 2009).

2.3. Modifikasi Annealing


Menurut Genkina, Wasserman, dan Yuryev (2004), annealing merupakan
bentuk modifikasi fisik yang melibatkan proses inkubasi pati pada kadar air
berlebih dengan suhu pemanasan di antara suhu transisi gel dan suhu awal
gelatinisasi, yakni sekitar 40-55°C. Pendapat Jacobs dan Delcour (1998b)
menyatakan bahwa perlakuan annealing umumnya dilakukan dengan penambahan
kadar air hingga kondisi lembab (> 60% b/b) atau kondisi intermediate (40-55%
b/b). Umumnya pula suhu yang digunakannya ialah di atas suhu transisi gelasnya
(Tg) namun dibawah suhu gelatinisasinya. Proses annealing mengarah pada
reorganisasi molekul pati dan heliks ganda amilopektin seperti pada strukturnya
sehingga memperoleh struktur konfigurasi yang lebih teratur (Gomes, Silva, dan
Ricardo, 2005). Pada tingkat mobilitas rantai pati dan penyusunan kembali heliks
ganda pada annealing dapat berbeda antara pati dan tepung yang dihasilkan pada
setiap komoditas maupun varietasnya. Adapun kondisi pati dan tepung yang akan
di-annealing dapat dilihat pada Tabel 1.
(ini kosong banyak dind sebelum tabel, coba tambahin apaa gitu wk)
Tabel 1. Kondisi Annealing pada Tepung dan Pati dan Pustakanya
Sumber pati atau Suhu Waktu Kandungan Pustaka
tepung (°C) (jam) air (b/b)*
Pati sukun 45-60 24 1:10 Siswoyo dan Morita,
2010
Pati ubi jalar 50 24 1:4 Martha dan Tensiska,
2017
Pati singkong 50 24-192 1:5 Gomes, et al., 2004
Pati sorgum 50 24 1:3 Adebowale, et al.,
merah 2005
Pati gandum 8-25 0,5-48 1:2-10:19 Yu, et al., 2016
Pati beras 25-50 1,5-7,75 23:177 Tsutsui, et al., 2005
45-55 16 1:3 Dias, et al., 2010
45-55 8-24 1:3 Hormdok dan
Noomhorm, 2007
*b/b= pati atau tepung:air
Perlakuan pemanasan pati dengan metode annealing dapat meningkatkan
stabilitas granula (Hoover dan Vasanthan, 1994), serta dapat meningkatkan suhu
gelatinisasi dan mempersempit kisaran suhu gelatinisasi (Tester dan Debon, 2000).
Di samping itu, Jacobs dan Delcour (1998b) juga menyatakan bahwa modifikasi
annealing mampu meningkatkan jumlah kristalinitas pada pati. Hal inilah yang
kemudian dilakukan oleh industri karena memberikan kemudahan dalam
pengolahan dan kemudahan dalam penyimpanan produk berpati yang mendominasi
pada segi teksturnya, karena annealing tanpa disadari mungkin terjadi selama
pengolahan yang beragam (Krueger, et al., 1987).

2.4. Microwave Heating Treatment (MHT)


Microwave Heating Treatment adalah modifikasi fisik dengan memanaskan
pati pada kondisi semi kering dengan menggunakan microwave yang mampu
meningkatkan tingakt kristalinitas dan pati resisten. Modifikasi pati dengan
menggunakan microwave tidak lazim dilakukan. Namun beberapa penelitian telah
dilakukan untuk membandingkan sifat-sifat pati dalam menggunakan pemanasan
microwave seperti Zylema et al (1985), yang tidak menemukan perbedaan dalam
pembengkakan granula saat dipanaskan menggunakan microwave atau konduksi
pada pemanasan yang sama menilai. Lewandowicz et al. (1997) telah melakukan
studi tentang efek radiasi gelombang mikro pada sifat fisikokimia dan struktur
kentang dan tepung tapioka dan mereka melaporkan itu radiasi gelombang mikro
ditemukan mempengaruhi sifat-sifatnya, struktur dan perilaku kedua pati. Beberapa
penelitian telah melaporkan efek pemanasan microwave pada sifat fisikokimia pati.
Namun, penelitian perbandingan perlakuan kelembaban panas di bawah ini suhu
gelatinisasi menggunakan microwave dan pemanasan konvensional menggunakan
tingkat kelembaban 30% (b / v) pada 50ºC dan 60ºC masih sangat terbatas.
DAFTAR PUSTAKA

Adebowale, K. O., B. I. Olu-Owolabi, O. O. Olayinka, dan O. S. Lawal. 2005.


Effect of Heat Moisture Treatment and Annealing on Physicochemical
Properties of Red Sorghum Starch. African Journal of Biotechnology 4(9),
928-933.

Adebowale, K. O., T. Henle, U. Schwarzenbolz, dan T. Doert. 2009. Modification


and Properties of African Yam Bean Harms Starch I: Heat Moisture
Treatments and Annealing. Food Hydrocolloids 23: 1947-1957.

Ahmad, L. 2009. Modifikasi Fisik Pati Jagung dan Aplikasinya untuk Perbaikan
Kualitas Mi Jagung. Tesis. Program Pascasarjana IPB, Bogor.

BeMiller, J. N. 2018. Physical Modification of Starch. Dalam M. Sjoo, dan L.


Nilsson, ed. Starch in Food. Woodhead Publishing, Duxford.

Brownlee, M. A. 2003. Radical Explanation for Glucose-Induced Beta Cell


Dysfunction. J. Clin. Invest.112: 1788–1790.

Chung, H. J., Q. Liu, dan R. Hoover. 2009. Impact of Annealing and Heat-Moisture
Treatment on Rapidly Digestible, Slowly Digestible, and Resistent Starch
Levels in Native and Gelatinized Corn, Pea and Lentil Starches. J. Carbo.
Polym. 75: 436-444.

Collado L S, Corke H. 2001. Heat Moisture Treatment Effects on Sweetpotato


Starches Differeng in Amylose Content.J Food Chemistry. 65:339- 346

Collado, L. S., dan H. Corke. 1999. Heat-moisture Treatment Effects on


Sweetpotato Starches Differing in Amylose Content. J. Food Chem. 65: 339

Collado, L., Mabesa, S. L., Oates, C. G., dan Corke, H. (2001). Bihon-Type of
Noodles from Heat Moisture Treated Sweet Potato Starch. J. Food Sci. , 66
(4), 604-609.

Dias, A. R., Zavareze, E. R., Spier, F., Castro, L. A., dan Gutkoski, L. C. (2010).
Effects of Annealing on the Physicochemical Properties and Enzymatic
Susceptibility of Rice Starches with Different Amylose Contents. Food
Chemistry , 123, 711–719.

Ferdiani, T. 2013. Karakter Fisikokimia dan Kadar Pati Resisten Tapioka Hasil
Perlakuan Heat Moisture Treatment (HMT) Menggunakan Oven. Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor.

G. Lewandowicz, J. Fornal, and A. Walkowski. 1997. Effect of microwave


radiation on physic-chemical properties and structure of potato and tapioca
starches. Carbohydrate Polymers, 34, 213-220.
Genkina, N. K., L. A. Wasserman, dan V. P. Yuryev. 2004. Annealing of Starches
from Potato Tubers Grown at Different Environmental Temperatures - Effect
of Heating Duration. Carbo. Polym. 56: 367-370.

Gomes, A. M., C. E. Silva, dan N. M. Ricardo. 2005. Effects of Annealing on the


Physicochemical Properties of Fermented Cassava Starch (Polvilho azedo).
Carbohydrate Polym. 60: 1–6.

Gomes, A. M., C. E. Silva, N. M. Ricardo, J. M. Sasaki, dan R. Germani. 2004.


Impact of Annealing on the Physicochemical Properties of Unfermented
Cassava Starch (Polvilho Doce). Starch/Stärke 56: 419–423.

Gunaratne, A., dan R. Hoover. 2002. Effect of Heat-moisture Treatment on the


Structure and Physicochemical Properties of Tuber and Root Starches. Carbo.

Guzzel, D., dan S. Sayar. 2010. Digestion Profiles and Some Physicochemical
Properties of Native and Modifed Barlotti Bean, Chickpea, and White Kidney
Bean Starches. J. Food Res. Int. 43: 2132-2137.

Herawati, D. 2009. Modifikasi Pati Sagu dengan Teknik Heat Moisture Treatment
(HMT) dan Aplikasinya dalam Memperbaiki Kualitas Bihun. [Tesis].
Program Pascasarjana, IPB, Bogor.

Herawati, H. 2011. Potensi Pengembangan Produk Pati Tahan Cerna Sebagai


Pangan Fungsional. J. Litbang Pertanian 30(1): 31-39.

Hoover, R., dan T. Vasanthan. 1994. The Effect of Annealing on the


Pshycochemical Properties of the Wheat, Oat, Potato, and Lentil Starches. J.
Food Chem. 17: 303-325.

Hormdok, R., dan A. Noomhorm. 2007. Hydrothermal Treatments of Rice Starch


for Improvement of Rice Noodle Quality. LWT-Food Science and
Technology , 40: 1723–1731.

Jacobs, H., dan J. A. Delcour. 1998. Hydrothermal Modifications of Granular


Starch, with Retention of the Granular Structure: A Review. J. Agri. Food
Chem. 46 (8): 2895-2905.

Jacobs, H., dan J. A. Delcour. 1998. Hydrothermal Treatments of Rice Starch for
Improvement of Rice Noodle Quality. LWT - Food Sci. and Tech. , 40 (10),
1723-1731.

Krueger, B. R., C. A. Knutson, G. E. Inglett, dan C. E. Walker. 1987. A Differential


Scanning Calorimetry Study on the Effect of Annealing on Gelatinization
Behavior of Corn Starch. J. Food Sci. 52: 715-718.

Kusnandar, F. 2010. Teknologi Modifikasi Pati dan Aplikasinya di Industri Pangan.


Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor.
Lestari, O. A. 2009. Karakterisasi Sifat Fisiko-Kimia dan Evaluasi Nilai Gizi
Biologis Mi Jagung Kering Disubtitusi Tepung Jagung Termodifikasi. Tesis.
Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.

Lewandowicz, G., T. Jankowski, J. Fornal. 2000. Effect of Microwave Radiation


on Physico-Chemical Properties and Structure of Cereal Starches. Carbohydr.

Li, S., R. Ward, dan Q. Gao. 2011. Effect of Heat-Moisture Treatment on the
Formation and Properties of Resistant Starches from Mung Bean Starches.
Food Hydrocol. 25: 1702-1709.

Martha, H., dan Tensiska. 2017. Functional and Amylographic Properties of


Physically-Modified Sweet Potato Starch. 2nd International Conference on
Sustainable Agriculture and Food Security: A Comprehensive Approach.
ICSAFS Conference Proceedings: 689-700.

Miller, L. A., J. Gordon, dan E. A. Davis. 1991. Dielectric and Thermal Transition
Properties of Chemically Modified Starches During Heating. Cereal
Chemistry 68: 441.

Murtiningrum, M. M. Lisangan, dan Y. Edoway. 2012. Pengaruh Preparasi Ubi


Jalar (Ipomea batatas) sebagai Bahan Pengental terhadap Komposisi Kimia
dan Sifat Organoleptik Saus Buah Merah (Pandanus conoideus L). Agrointek

Olayinka, O. O., K. O. Adebowale, dan B. I. Olu-Owolabi. 2008. Effect of Heat-


Moisture Treatment on Physicochemical Properties of White Sorghum
Starch. Food Hydrocol. 22: 225-230.

Pinasthi, P. 2011. Pengaruh Modifikasi Heat-Mositure Treatment (HMT) dengan


Radiasi Microwave Terhadap Karakteristik Fisikokimia dan Fungsional
Tapioka dan Maizena. Skripsi. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian IPB.

Pukkahuta, C., B. Suwannwat, S. Shobsngob, dan S. Varavinit. 2008. Comparative


Study of Pasting and Thermal Transition Characteristics of Osmotic Pressure
and Heat-Moisture Treated Corn Starch. Carbo. Polym. 72: 527-536.

Putri, W. D., dan E. Zubaidah. 2017. Pati: Modifikasi dan Karakterisasinya. UB


Press, Malang.

Sajilata, M. G., R. S. Singhal, dan P. R. Kulkarni. 2006. Resistant starch : a Review.


Compre. Rev. in Food Sci. and Food Safety 5(1): 1-17.

Shin, S. I., Kim H. J., Ha H. J., Lee H. S., dan Moon T. W. 2005. Effect of
Hydrothermal Treatment on Formation and Structural Characteristics. 57: 42.

Siswoyo, T. A., dan N. Morita. 2010. Influence of Annealing on Gelatinization


Properties, Retrogradation and Susceptibility of Breadfruit Starch
(Artocarpus communis). Int. J. Food Prop. 13(3): 553-561.
Stute, R. 1992. Hydrothermal Modifications of Starches - The Difference Between
Annealing and Heat Moisture Treatment. Starch/Starke 44: 205-214.

Syamsir, E. 2012. Mempelajari Fenomena Perubahan Karakteristik Fisikokimia


Tapioka karena Heat-Moisture Treatment dan Model Kinetikanya. Disertasi.
. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.

Tester, R. F., dan S. J. Debon. 2000. Annealing of Starch. Int. J. Biol. Macromol.
27: 1-12.

Tsutsui, K., K. Katsuka, T. Matoba, M. Takemasa, dan K. Nishinari. 2005. Effect


of Annealing Temperature on Gelatinization of Rice Starch Suspension As
Studied by Rheological and Thermal Measurements. J. Agric. Food Chem.
53: 9056-9063.

Vermeylen, R., B. Goderis, dan J. A. Delcour. 2006. An X-ray Study of


Hydrothermally Treated Potato Starch. Carbo. Polym. 64: 364-375.

Widaningrum, dan E. Y. Purwani. 2006. Karakterisasi serta Studi Pengaruh


Perlakuan Panas Annealing dan Heat-Moisture Treatment (HMT) terhadap
Sifat Fisikokimia Pati Jagung. J. Pascapanen 3(2): 109-118.

Widowati, S., H. Herawati, E. S. Mulyani, F. Yuliwardi, dan T. Muhandri. 2014.


Pengaruh Perlakuan Heat Moisture Treatment (HMT) Terhadap Sifat Fisiko
Kimia dan Fungsional Tepung Beras dan Aplikasinya dalam Pembuatan
Bihun Berindeks Glikemik Rendah. J. Pascapanen 11(2): 59-66.

Yu, K., Wang Y., Xu Y., Guo L., dan Du X. F. 2016. Correlation between Wheat
Starch Annealing Conditions and Retrogradation during Storage. Czech J.
Food Sci. ,34(1): 79–86.

Zylema, B.J., Grider, J.A., Gordon, J. & Davis, E.A. (1985). Model wheat starch
systems heated by microwave irradiation and conduction with equalized
heating time. Cereal Chem., 62, 447453.

Anda mungkin juga menyukai