Anda di halaman 1dari 27

Maret Dyah Brillianty

240210170001
Kelompok 6A
IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Praktikum kali ini mengenai teknologi pembuatan pati dan tepung. Sampel
yang digunakan adalah pisang, ubi jalar, kacang hijau, jagung, ubi kayu, dan beras.
Sampel tersebut dibuat menjadi tepung dan pati. Praktikum ini bertujuan untuk
mengetahui proses pembuatan pati dan tepung dari berbagai bahan pangan, serta
untuk mengetahui karakteristik pati dan tepung.

4.1. Pati
Serealia merupakan biji-bijian yang dihasilkan oleh famili rerumputan yang
kaya akan karbohidrat, sehingga dapat dijadikan sebagai makanan pokok. Contoh
serealia adalah padi, gandum, barley, dan lain-lain (Nurnafitrisni, 2010). Pati
merupakan karbohidrat kompleks yang berwujud putih, tawar, dan tidak larut dalam
air. Pati merupakan bagian utama tumbuhan hasil dari proses penyimpanan glukosa
berlebih dalam jangka panjang. Pati merupakan sumber utamalain, yaitu jagung,
kentang, tapioka, sagu, gandum, dan lain-lain (Kurniawati, 2006).
Pati umumnya mengandung 15-30% amilosa, 70-85% amilopektin dan 5-
10% material antara. Sifat-sifat pati ditentukkan oleh sumber pati tersebut. Faktor
yang mempengaruhi sifat pati tersebut, diantaranya adalah gelatinisasi (Pudjiastuti,
2013). Pati memiliki sifat memantulkan cahaya sehingga saat dilihat dengan
menggunakan mikroskop membentuk bidang warna biru dan kuning. Sifat
memantulkan cahaya iniakan menghilang saat granula mulai pecah (Richana dan
Suarni, 2007). Tahapan pembuatan pati yaitu proses pembersihan dalam air,
pemisahan, penggilingan, penyaringan, pengendapan I, pengadukan, pencucian,
pengendapan II, dan pengeringan pati (Maflahah, 2010).

Tabel 1. Karakteristik Granul Pati


Diameter
Sumber
Kisaran (µm) Rata-rata (µm)
Jagung 3-26 15
Kentang 5-100 33
Ubi 3-24 15
Tapioka 4-35 20
Gandum 2-35 15
Beras 3-8 5
Sagu 5-65 30
(Sumber : Swinkles (1985) dalam Kurniawati (2006))
Maret Dyah Brillianty
240210170001
Kelompok 6A

Tabel 2. Sumber dan Bentuk Granula Beberapa Pati


Pati Sumber Bentuk
Jagung Sereal Bulat (round), polygonal
Kentang Umbi Oval, bulat (spherical)
Ubi Akar Poligonal
Tapioka Akar Oval, truncated
Gandum Sereal Bulat, lenticular
Beras Sereal Poligonal, angular
Sagu Batang Oval, truncated
(Sumber : Beynum dan Roels (1985) dalam Kurniawati (2006))

Langkah yang dilakukan untuk membuat pati adalah sampel dikupas dan
dipotong, serta dicuci. Pengupasan dilaukan karena beberapa bahan baku
mempunyai kulit yang keras dan tidak dapat dikonsumsi. Pemotongan setelah
dikupas bertujuan agar proses penghancuran dapat lebih efesien atau lebih mudah.
Pencucian dimaksudkan agar diperoleh produk yang bersih atau memenuhi syarat
higienis. Pencucian dengan air bersih yang mengalir dapat menghilangkan kotoran-
kotoran yang masih melekat ataupun tercampur pada bahan baku. Kemudian,
dilakukan pengancuran dengan menggunakan blender dengan rasio antara bahan
dengan air yaitu 1:4. Lalu, sampel diperas dan cairannya ditampung ke dalam
wadah. Setelah sampel diperas, ampas yang tersisa ditimbang terlebih dahulu
kemudian diberi air lagi dengan rasio ampas dan air yaitu 1:1 dan diperas kembali
serta ditampung ke dalam wadah yang sama, perlakuan ini dilakukan dua kali.
Pengecilan ukuran sampel bertujuan untuk memperbesar probabilitas
larutnya zat pati dalam air dan memperkecil kemungkinan teroklusinya zat pati
dalam sampel. Sampel diperas dan disaring dengan menggunakan kain saring.
Pemerasan berfungsi untuk memisahkan granula pati dari selulosa atau kandungan
lain yang tidak diharapkan. Penggunaan kain saring sebagai bahan untuk menyaring
ampas umbi singkong disebabkan kain saring tidak mudah robek dibandingkan
dengan kertas saring, serta kain saring memiliki ukuran pori yang lebih besar
dibandingkan dengan kertas saring. Jika menggunakan kertas saring yang memiliki
ukuran pori lebih kecil dari kain saring, maka pati akan ikut tersaring pada kertas
saring, karena ukuran partikel pati lebih besar dari ukuran pori kertas saring.
Kemudian, cairan sampel didiamkan selama 24 jam hingga pati mengendap di dasar
Maret Dyah Brillianty
240210170001
Kelompok 6A
wadah. Pengendapan ini bertujuan untuk memisahkan pati murni dari bagian lain
seperti ampas dan unsur-unsur lainnya. Pada pengendapan ini akan terdapat butiran
pati termasuk protein, lemak, dan komponen lain yang stabil dan kompleks. Jadi
akan sulit memisahkan butiran pati dengan komponen lainnya, bahkan akan timbul
senyawa yang dapat menimbulkan bau yang khas. Senyawa alkohol dan asam
organik merupakan komponen yang mempunyai bau khas. Butiran pati yang akan
diperoleh berukuran sekitar 4-24 mikron (1 mikron sama dengan 0,001 mm). Sifat
kekentalan cairan sampel tidak jauh berbeda dengan air biasa. Butiran pati yang
berbentuk bulat dan mempunyai berat jenis 1,5 dan butiran ini harus cepat
diendapkan. Kecepatan endapan sangat ditentukan oleh besarnya butiran pati,
keasaman air rendaman, kandungan protein yang ikut, ditambah zat koloidal lain.
Setelah pati mengendap, dilakukan pembuangan air hingga yang tersisa
hanya pati. Kemudian, dilakukan pencucian dengan cara pati yang mengendap
ditambahkan sedikit air dan didiamkan kembali hingga mengendap, serta dilakukan
pembuangan air kembali. Pencucian kembali dilakukan untuk memastikan pasti
murni telah benar-benar bersih. Setelah itu, pati disimpan ke dalam loyang dan
dikeringkan ke dalam oven dengan suhu 50°C selama 24 jam. Menurut Muarif
(2013), penghilangan air dalam suatu bahan dengan cara pengeringan mempunyai
satuan operasi yang berbeda dengan dehidrasi. Dehidrasi akan menurunkan
aktivitas air yang terkandung dalam bahan dengan cara mengeluarkan atau
menghilangkan air dalam jumlah lebih banyak, sehingga umur simpan bahan
pangan menjadi lebih panjang atau lebih lama. Lalu dilakukan penggilingan.
Setelah cukup halus, pati diayak dan disimpan kedalam PP dan silikia gel.
Pengayakan dilakukan untuk memperoleh butiran tepung yang lebih halus.
Pengemasan menggunakan PP dan silika gel berguna untuk mencegah pati
menyerap air dari udara karena dapat menyebabkan penggumpalan granula pati.
Hasil pengamatan dalam proses pembuatan pati dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 3. Hasil Pengamatan Pati


Kel. Sampel Rendemen Warna Aroma Tekstur Gambar

Tidak
1 Pisang 1,04% Krem Halus++
berbau
Maret Dyah Brillianty
240210170001
Kelompok 6A
Kel. Sampel Rendemen Warna Aroma Tekstur Gambar

Tidak Halus
2 Beras 15,68% Putih
berbau +++

Tidak
3 Jagung 0.84% Putih Halus ++
berbau

Kacang Tidak
4 6,48% Putih Halus ++
Hijau berbau

Khas
Ubi Putih
5 11,12% sing- Halus++
Kayu cerah
kong

Ubi Putih Tidak


6 4,87 % Halus ++
Jalar cerah berbau

Tidak
7 Pisang 0,56% Krem Halus++
berbau

Tidak
8 Beras 7.2% Putih Halus
Berbau

Tidak
9 Jagung 1.04% Putih Halus ++
Ada

Kacang Putih Tidak


10 0.72% Halus++
Hijau Kusam berbau

Ubi Putih Tidak


11 13,60% Halus ++
Kayu cerah berbau

Ubi Tidak
12 6,32% Putih Halus ++
Jalar berbau

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2019)

4.1.1. Pati Ubi Jalar


Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) merupakan tanaman yang termasuk ke dalam
jenis tanaman palawija, termasuk tanaman tropis dan dapat tumbuh dengan baik di
daerah sub tropis. Ubi jalar dibagi dalam dua golongan, yaitu ubi jalar yang berumbi
Maret Dyah Brillianty
240210170001
Kelompok 6A
keras karena banyak mengandung pati dan ubi jalar yang berumbi lunak karena
banyak mengandung air. Warna daging umbinya, ada yang berwarna putih, merah,
kekuningan, kuning, merah, krem, jingga dan lain-lain (Koswara, 2009).
Karbohidrat merupakan kandungan utama dari ubi jalar.Selain itu, ubi jalar juga
mengandung vitamin, mineral, fitokimia (antioksidan) dan serat (pektin, selulosa,
hemiselulosa). Kadar pati di dalam ubi jalar ubi jalar segar sekitar 20% (Santosa et
al, 1997). Kandungan pati yang terdapat didalam pati ubi jalar berkisar antara 88.1
sampai 99.8% dan kandungan amilosa sekitar 8.5 sampai 37.4% (Takeda and others
1986; Tian and others 1991; Madhusudhan and others 1992; Collado and Corke
1997; Garcia and Walter 1998; Oduro and others 2000).
Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa sampel ubi jalar pada
kelompok 6 menghasilkan pati dengan rendemen 4,87%, berwarna putih cerah,
tidak beraroma, bertekstur sangat halus, sedangkan sampel ubi jalar pada kelompok
12 menghasilkan pati dengan rendemen 6,32%, berwarna putih, tidak beraroma,
dan bertekstur sangat halus. Nilai persentase rendemen pati ubi jalar dari kelompok
6 dan kelompok 12 lebih rendah daripada hasil penelitian Sutamihardja (2016) yaitu
ubi jalar menghasilkan rendemen pati sebesar 28,82%. Hal tersebut disebabkan
perbedaan varietas ubi jalar yang digunakan untuk pembuatan pati, penelitian
tersebut menggunakan ubi jalar putih, sedangkan pati yang diamati terbuat dari ubi
jalar kuning. Ubi jalar putih merupakan varietas ubi keras dan memiliki kadar air
yang rendah dibandingkan dengan ubi jalar kuning sehingga menghasilkan
rendemen yang lebih rendah. Pati ubi jalar tidak beraroma karena bahan baku ubi
jalar tidak mempunyai aroma yang sangat kuat seperti pisang dan juga proses
pengeringan menguapkan seluruh senyawa penghasil aroma khas ubi jalar. Warna
putih pada pati ubi jalar tidak putih dengan maksimal, hal tersebut karena ubi jalar
yang digunakan merupakan ubi jalar kuning sehingga mempengaruhi warna akhir
Tekstur halus pada pati ubi jalar menunjukkan bahwa granula pati ubi jalar kecil.
Menurut Moorthy (2004), pati ubi jalar berbentuk bulat sampai oval, dengan
diameter 3 – 40 μm dengan kandungan amilosa sekitar 15 – 25%. Menurut Zhang
and Oates (1999), ukuran kedalaman granula diantara 2.1 sampai 30.7 μm dan
ukuran titik tengahnya dimulai dari 9.2 sampai 11.3 μm. Pati ubi jalar memiliki sifat
lain diantara pati kentang dan pati jagung atau pati tapioka. Granula pati ubi jalar
Maret Dyah Brillianty
240210170001
Kelompok 6A
berdiameter 2-25 µm. Granula pati ubi jalar berbentuk polygonal dengan
kandungan amilosa dan amilopektin berturut-turut adalah 20% dan 80% (Swinkels,
1985 dalam Beynum dan Roels, 1985). Pati ubi jalar memiliki derajat
pembengkakan 20-27 ml/g, kelarutan 15-35%, dan gelatinisasi dalam rentang suhu
75-88oC (Balagopalan, 2010).

4.1.2. Pati Ubi Kayu


Ubi kayu merupakan sumber daya alam lokal Indonesia yang juga dikenal
dengan nama ketela pohon atau singkong. Ubi kayu memiliki nama botani Manihot
esculenta Crantz tetapi lebih dikenal dengan nama Manihot utilissima. Tanaman ini
termasuk ke dalam kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, subdivisi
Angiospermae, kelas Dicotyledonae, famili Euphorbiaceae, genus Manihot, dan
spesies esculenta Crantz dengan berbagai varietas (Rukmana, 1997). Tapioka
dihasilkan dari akar tanaman ubi kayu (Manihot utilissima). Kandungan pati ubi
kayu ini dipengaruhi oleh umur tanaman, varietas, keadaan tanah, dan iklim tempat
penanaman ubi kayu. Menurut Swinkels (1985), akar tanaman ubi kayu
mengandung sekitar 15%-30% pati dan 50%-70% air. Pembuatan tapioka perlu
dilakukan pencucian terlebih dahulu. Menurut Direktorat Pengolahan Pangan Hasil
Pertanian (2005), tujuan pencucian yaitu untuk menghilangkan kotoran yang
menempel di permukaan umbi singkong serta mengurangi kandungan HCN. Hal
tersebut dilakukan karena kandungan HCN yang tinggi pada singkong.
Berdasarkan hasil pengamatan, dapat diketahui bahwa sampel ubi kayu pada
kelompok 5 menghasilkan pati dengan rendemen 11,12%, berwarna putih cerah,
beraroma khas singkong, bertekstur sangat halus, sedangkan sampel ubi kayu pada
kelompok 11 menghasilkan pati dengan rendemen 13,60%, berwarna putih cerah,
tidak beraroma, dan bertekstur sangat halus. Nilai persentase rendemen pati ubi
kayu dari kelompok 5 dan kelompok 11 lebih lebih rendah dari pendapat Koswara
(2009) yang mengatakan bahwa dalam pembuatan tapioka, kapasitas dari setiap
industri skala rumah tangga biasanya sekitar 2 ton singkong segar per hari yang
dapat menghasilkan rendemen 15–25 % dengan kadar air 18 %. Hal tersebut dapat
disebabkan oleh kurang maksimalnya proses pemerasan singkong yang telah
digiling sehingga banyak pati yang terbuang bersama ampas. Menurut Badan
Standarisasi Nasional (1992), standar mutu tepung tapioka berdasarkan SNI No.
Maret Dyah Brillianty
240210170001
Kelompok 6A
01-2973-1992, ditentukan oleh kadar air (maksimal 15%); kadar serat dan kotoran
(maksimal 0,6%); derajat keputihan (minimal 92 % untuk Mutu II dan minimal
94,5% untuk Mutu I) dan kekentalan (3–4 Engler untuk Mutu I dan 2,5–3 Engler
untuk Mutu II). Berdasarkan mutu tersebut, warna tapioka yang diamati memiliki
mutu yang baik karena menghasilkan warna yang sangat putih. Tapioka tidak
beraroma karena proses pengeringan yang cukup lama membuat senyawa
pembentuk aroma singkong menguap. Tekstur yang sangat halus pada tapioka yang
diamati menunjukkan bahwa butiran-butiran pati tapioka sangat kecil. Menurut
Whistler et al., (1984), granula tapioka berwarna putih dengan ukuran diameter
bervariasi. Rentang granula terkecil bervariasi dari 5-15 μm, untuk granula
berukuran sedang antara 15-25 μm, sedangkan granula terbesar ukurannya
bervariasi dari 25-35 μm. Menurut Balagopalan et al. (1988), beberapa karakteristik
tapioka di antaranya adalah sebagai berikut.
 Bila proses pembuatannya tepat, tapioka berwarna putih. Berkurangnya
tingkat keputihan akan mempengaruhi kualitas dan harga.
 pH normal tapioka adalah 6,3 sampai 6,5. Standar pH tapioka bervariasi.
The Indian Standard Institution (ISI) mengizinkan kisaran pH antara 4,7-7
untuk pati yang digunakan untuk pangan, sedangkan Tapioca Institute lebih
ketat dengan menetapkan standar sebesar 4,5-6,5.
 Ukuran granula tapioka adalah 5-40 μm. Suhu gelatinisasi tapioka berkisar
antara 58,5°C sampai 70°C.
 Tapioka tidak beraroma sehingga dapat digunakan untuk berbagai
keperluan, diantaranya kosmetik dan makanan.
 Tapioka tidak berasa. Tidak adanya rasa dan after taste (seperti pada jagung)
membuat tapioka cocok digunakan pada produk seperti pudding dan pie
 Saat dimasak, tapioka akan menjadi pasta yang jernih sehingga cocok untuk
dikombinasikan dengan berbagai pewarna.
 Perbandingan kadar amilopekin dan amilosa pada tapioka sekitar 80:20
menyebabkan tapioka memiliki titik viskositas yang tinggi yang sangat
berguna untuk berbagai aplikasi.
Salah satu yang penting pula dalam menentukan mutu tapioka adalah
kehalusan tepung. Tapioka yang bermutu baik tidak menggumpal dan memiliki
Maret Dyah Brillianty
240210170001
Kelompok 6A
kehalusan baik. Salah satu institusi yang mensyaratkan kehalusan tapioka adalah
The Tapioca Institute of America (TIA) yang membagi mutu menjadi tiga kelas
berdasarkan kehalusan yaitu mutu A (99% lolos ayakan 140 mesh), mutu B (99%
lolos ayakan 80 mesh), dan mutu C (95% lolos ayakan 60 mesh) (Radley, 1976).

4.1.3. Pati Beras


Beras tergolong dalam serealia atau biji-bijian dari family rumput-rumputan
(gramine) dan merupakan bahan pangan nabati yang dikonsumsi sebagai sumber
karbohidrat (Muchtadi, 2013). Struktur biji padi terdiri atas kulit biji yang disebut
sekam, sedangkan butir biji dan embrio dinamakan butir beras. Lapisan terluar
disebut pericarp kemudian tegmen, lapisan aleuron dan bagian dalam adalah
endosperm. Butiran beras pecah kulit (brown rice) tersusun atas pericarp 1-2%,
aleurone + testa 4-6%, embrio 2-3%, dan endosperm 89-94%. Sekam mempunyai
berat 18-28% dari berat butir gabah pada tingkat kadar air 13% berat basah
(Muchtadi dkk, 2013).
Berdasarkan hasil pengamatan, dapat diketahui bahwa sampel beras pada
kelompok 2 menghasilkan pati dengan rendemen 15,68%, berwarna putih, tidak
beraroma, bertekstur sangat halus, sedangkan sampel beras pada kelompok 8
menghasilkan pati dengan rendemen 7,20%, berwarna putih, tidak beraroma, dan
bertekstur sangat halus. Nilai persentase rendemen pati beras dari kelompok 2 dan
kelompok 8 lebih rendah daripada hasil penelitian Faridah et al. (2014) yang
menghasilkan rendemen pati beras sebesar 15.69%. Hal tersebut menunjukkan
bahwa proses pembuatan pati terutama pada proses pemerasan dilakukan dengan
kurang maksimal sehingga menghasilkan rendemen yang rendah. Menurut
Winarno (1986), banyak kandungan pati pada tanaman tergantung pada asal pati
tersebut, misalnya pati yang berasal dari biji beras mengandung pati 50-60%.
Warna pati yang diamati cukup putih karena beras yang digunakan merupakan
beras putih. Aroma khas beras tidak menguap seluruhnya oleh proses pengeringan
sehingga hasil akhir pati tetap terdapat aroma khas beras.
Menurut Noel (2002) beras memiliki kandungan pati yang tinggi dan
tersusun atas amilosa dan amilopektin. Kadar amilosa beras biasa (beras putih) pada
umumnya sekitar 20%. Granula pati beras memiliki ukuran yang kecil (3-8 μm),
berbentuk poligonal dan cenderung terjadi agregasi atau bergumpal-gumpal
Maret Dyah Brillianty
240210170001
Kelompok 6A
membentuk kelompok-kelompok. Ukuran granula beras lebih kecil dibandingkan
dengan ukuran granula pati lainnya. Tetapi jarak granula pati beras lebih rapat
dibandingkan dengan granula pati ketan. Hal tersebut yang menyebabkan pati
bertekstur halus dan licin. Pati beras memiliki serbuk sangat halus dan putih. Pati
beras praktis tidak larut dalam air dingin dan dalam etanol dan bila diamati dengan
mikroskopik tampak butir bersegi banyak ukuran 2µm-5µm, tunggal atau
majemuk, bentuk bulat telur ukuran 10µm-20µm. Pada pati beras hilus di tengah
tidak terlihat jelas dan tidak ada lamela konsentris. Pati beras bila diamati dibawah
cahaya terpolarisasi, tampak bentuk silang berwarna hitam, memotong pada hilus.

4.1.4. Pati Pisang


Pisang dapat digunakan sebagai alternatif pangan pokok karena
mengandung karbohidrat yang tinggi, sehingga dapat menggantikan sebagian
konsumsi beras dan terigu (Prabawati dkk., 2008). Pada dasarnya semua varietas
pisang dapat diolah menjadi pati. Namun, tidak semua varietas pisang
menghasilkan pati dengan mutu yang baik. Buah pisang kepok menghasilkan pati
yang bermutu baik dengan warna lebih putih jika dibandingkan dengan pati dari
pisang ambon dan pisang siem yang menghasilkan pati bewarna coklat kehitaman
(Satuhu dan Supriyadi, 1999; Prabawati, dkk 2008). Jenis pati yang demikian tidak
menarik walaupun aroma pisangnya lebih kuat dibandingkan pati yang terbuat dari
pisang kepok (Satuhu dan Supriyadi, 1999). Menurut Stratton (1950), mengatakan
bahwa proporsi amilosa 20,5 % dan amilopektin 79,5 % pada buah pisang segar.
Berdasarkan hasil pengamatan, dapat diketahui bahwa sampel pisang pada
kelompok 1 menghasilkan pati dengan rendemen 1,04%, berwarna krem, tidak
beraroma, bertekstur sangat halus, sedangkan sampel pisang pada kelompok 7
menghasilkan pati dengan rendemen 0,56%, berwarna putih, tidak beraroma, dan
bertekstur sangat halus. Nilai persentase rendemen pati pisang dari kelompok 1 dan
kelompok 7 sangat kecil dan terdapat perbedaan yang signifikan dengan rendemen
pati pisang yang dihasilkan pada penelitian Deni (2015), pisang menghasilkan
rendemen pati sebesar 16,5%. Granula pati pisang yang diamati sangat halus.
Menurut González-Soto et al. (2006), hasil skaning elekron memperlihatkan
granula pati pisang berukuran sangat besar (20-50 µm). Menurut Bello, et al.,
(2005), hasil pembacaan dengan teknik spektroskopi infrared menunjukkan bahwa
Maret Dyah Brillianty
240210170001
Kelompok 6A
pati pisang mempunyai komponen kristalin lebih besar dari pada daerah amorphs.
Warna coklat pada pati disebabkan oleh reaksi pencoklatan yaitu tejadi reaksi antara
gula pereduksi dengan asam amino pada buah pisang. Pati pisang tidak beraroma
karena senyawa volatil pada pisang telah menguap pada saat pengeringan.

4.1.5. Pati Jagung


Jagung (Zea mays L.) termasuk tanaman berumah satu (Monoecioes) dan
tergolongdalam famili rumput-rumputan (Gramineae). Tanaman ini berasal dari
daratan Amerika dan menyebar ke daerah sub-tropis dan tropis termasuk Indonesia.
Pati memegang peranan penting,lebih dari 80 persen tanaman pangan terdiri dari
biji-bijian atau umbiumbian dan tanaman sumber pati lainnya (Greenwood dan
Munro, 1979). Sifat pati jagung berbeda dengan tepung jagung yang komposisinya
masih lengkap. Pati jagung atau yang dikenal dengan nama dagang maizena
merupakan produk utama dari industri penggilingan jagung dengan teknik basah
(wet mill) (Greenwood, 1975). Pati jagung berbeda dengan tepung jagung yang
kandungan bahan kimianya masih lengkap. Perbedaan yang signifikan terutama
pada kandungan protein, lemak, dan kadar abu. Umumnya pati mengandung 12 –
30% amilosa, 75 – 80% amilopektin dan 5 – 10% material antara. Struktur dan jenis
material antara tiap sumber pati berbeda tergantung sifat-sifat botani sumber pati
tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa pati biji-bijian mengandung bahan
antara yang lebih besar dibandingkan pati batang dan pati umbi (Greenwood, 1975).
Berdasarkan hasil pengamatan, dapat diketahui bahwa sampel jagung pada
kelompok 3 menghasilkan pati dengan rendemen 0,84%, berwarna putih, tidak
beraroma, bertekstur sangat halus, sedangkan sampel jagung pada kelompok 9
menghasilkan pati dengan rendemen 1,04%, berwarna putih, tidak beraroma, dan
bertekstur sangat halus. Nilai persentase rendemen pati jagung dari kelompok 3 dan
kelompok 9 sangat kecil dan terdapat perbedaan yang signifikan dengan rendemen
pati jagung yang dihasilkan pada penelitian Maflahah (2010) bahwa jagung
menghasilkan rendemen pati sebesar 19,33%. Hal tersebut menunjukkan bahwa
proses pembuatan pati terutama pada proses pemerasan dilakukan dengan kurang
maksimal sehingga menghasilkan rendemen yang rendah, selain itu dapat
disebabkan oleh perbedaan jenis jagung yang digunakan saat praktikum. Jagung
memiliki banyak jenis sehingga kandungan pati di dalamnya pun akan berbeda.
Maret Dyah Brillianty
240210170001
Kelompok 6A
4.1.6. Pati Kacang Hijau
Beberapa penelitian melaporkan bahwa kacang hijau (Vigna radiata L.)
merupakan sumber amilosa yang sangat potensial. Selama pengolahan, amilosa
dapat mengalami gelatinisasi dan retrogradasi sehingga menghasilkan RS-3 atau
Pati tersusun oleh polimer rantai lurus amilosa dan polimer bercabang amilopektin.
Umumnya pati mengandung 20-30% amilosa dan 70-80% amilopektin, tetapi pada
varietas tertentu mengandung pati beramilopektin tingi (Stipanuk, 2000). Pati
kacang hijau dapat diisolasi dengan cara kering maupun cara basah, namun isolasi
cara basah lebih banyak dikerjakan (Hoover dkk., 1997). Pada isolasi pati cara
basah, perlu modifkasi tertentu misalnya dengan penyosohan untuk merusak
sebagian kulit biji dan lembaga sehingga tidak terjadi perkecambahan selama
perendaman pada suhu kamar. Kajian sifat-sifat pati kacang hijau dari berbagai
negara sudah cukup banyak dilakukan. Sifat-sifat pati kacang hijau meliputi sifat
fsika-kimia (kadar amilosa, swelling power, solubilitas, turbiditas, afnitas Iod/ blue
value, amylose leaching, dan water holding capacity), sifat thermal (sifat
gelatinisasi dan sifat retrogradasi), sifat pasta (pasting properties), dan sifat tekstur
gel pati, sifat digestibilitas, sifat granula pati (bentuk dan ukuran granula).
Berdasarkan hasil pengamatan, dapat diketahui bahwa sampel kacang hijau
pada kelompok 4 menghasilkan pati dengan rendemen 6,48%, berwarna putih, tidak
beraroma, bertekstur sangat halus, sedangkan sampel kacang hijau pada kelompok
10 menghasilkan pati dengan rendemen 0,72%, berwarna putih kusam, tidak
beraroma, dan bertekstur sangat halus. Nilai persentase rendemen pati kacang hijau
dari kelompok 4 dan kelompok 10 sangat kecil dan terdapat perbedaan yang
signifikan dengan rendemen pati kacang hijau yang dihasilkan pada penelitian
Triwitono, dkk (2016) bahwa kacang hijau menghasilkan rendemen pati sebesar
36,76%. Hal tersebut menunjukkan bahwa proses pembuatan pati terutama pada
proses pemerasan dilakukan dengan kurang maksimal sehingga menghasilkan
rendemen yang rendah, Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap hasil rendemen
tersebut antara lain metode ekstraksi, frekuensi deproteinasi, tingkat kebersihan
penghilangan kulit, dan teknik pemisahan residu dari endapan pati. Selain itu
kemungkinan juga disebabkan oleh perbedaan varietas, iklim, unsur hara tanah
serta daerah asal tumbuhnya (Asaoka dkk., 1985; Morrison dan Azudin, 1987).
Maret Dyah Brillianty
240210170001
Kelompok 6A
4.2. Tepung
Penepungan adalah suatu metode pengolahan yang menghasilkan
produksetengah jadi yang bertujuan untuk memudahkan aplikasinya sebagai
bahanpangan dengan mentransformasi bahan dengan ukuran lebih besar
menjadiproduk tepung (ukuran lebih kecil) yang memiliki ukuran kehalusan
tertentu. Tepung mempunyai beberapa keunggulan, antara lain lebih mudah
dalampenyimpanan, umur simpan lebih lama, penggunaanya lebih luas,
lebihmudah difortifikasi, dan lebih mudah bercampur dengan bahan lain(komposit)
(Marta, 2011). Tujuan penepungan menurut Hardy (2013) adalah untuk
memperpanjang umur simpan bahan pangan, lebih mengawetkan bahan pangan,
serta memudahkan fortifikasi. Tepung merupakan hasilekstraksi dari proses
penggilingan yang menghasilkan partikel padat berbentuk butiran halus bahkan
sangat halus tergantung pada pemakaiannya.Tahapan pembuatan tepung yaitu
penggilingan, penjemuran, penggilingan dengan mesh yang lebih besar,
pengeringan, dan pengayakan. (Muhandri dkk, 2012).
Langkah pembuatan teung yaitu pertama, sampel disortasi. Tujuan sortasi
pada sampel yaitu agar ukuran sampel yang digunakan lebih seragam dan
kualitasnya lebih bagus, serta serta menghindari adanya benda asing yang terdapat
pada bahan baku. Kemudian dilakukan penimbangan sampel. Setelah itu sampel
dikupas dan dicuci. Pengupasan merupakan pra proses pada suatu bahan pangan
yang bertujuan untuk memisahkan kulit dari bahan. Proses pengupasan dapat dibagi
menjadi dua cara yaitu pengupasan dengan cara mekanis (menggunakan pisau) atau
cara khemis (menggunakan bahan kimia). Pencucian dimaksudkan agar diperoleh
produk yang bersih atau memenuhi syarat higienis. Pencucian dengan air bersih
yang mengalir dapat menghilangkan kotoran-kotoran yang masih melekat ataupun
tercampur pada bahan baku. Kemudian dilakukan pengecilan ukuran sampel
dengan cara dipotong tipis-tipis. Bahan pangan yang akan dikeringkan sebelumnya
harus diiris-iris untuk mempercepat proses pengeringan. Hal tersebut perlu
dilakukan untuk memperluas permukaan bahan pangan. Semakin banyak
permukaan yang dapat berhungan dengan media pemanas menyebabkan uap air
dapat keluar lebih banyak. Selain itu, dengan lapisan-lapisan bahan yang dapat
mengurangi jarak yang ditempuh sampai ke pusat bahan pangan (Simamora, 2014).
Maret Dyah Brillianty
240210170001
Kelompok 6A
Setelah ukuran sampel dikecilkan, kemudian dilakukan perendaman dalam
larutan Na-bisulfit yang konsentrasinya 0,2% selama 15 menit. Penggunaan
natrium tersebut sesuai dengan batas maksimum dari BPOM yaitu dalam makanan
maksimum hanya boleh mengandung 0,2- 1 g/kg makanan. Tujuan dari proses
perendaman ini adalah untuk mengendalikan reaksi pencoklatan baik enzimatis
maupun non-enzimatis. Hal ini dikarenakan natrium metabisulfit akan berinteraksi
dengan gugus karbonil sehingga mengikat melanoidin yang merupakan senyawa
penyebab terjadinya pencoklatan (Syarief & Irawati, 1988). Winarno (2002) juga
menambahkan bahwa perendaman dengan larutan garam akan mencegah
pencoklatan karena Na akan berikatan dengan gugus fenol (-OH) sehingga tidak
terbentuk senyawa kuinon yang menyebabkan pencoklatan. Menurut Braverman
(1963), pemanasan akan menyebabkan asam amino bereaksi dengan gula pereduksi
sehingga membentuk melanoidin yang berwarna coklat dan akan berpengaruh
tehadap hasil akhir tepung. Salah satu cara untuk mencegah terjadinya pencoklatan
tersebut yaitu perendaman dalam larutan Na-bisulfit (NaHSO3).
Setelah dilakukan perendaman selama 15 menit, sampel kemudian ditata
dalam loyang untuk dikeringkan. Pengeringan adalah salah satu proses pengolahan
yang sering digunakan untuk meningkatkan stabilitas makanan karena dapat
mengurangi aktivitas air sehingga aktivitas mikrobiologi dalam makanan berkurang
dan memperpanjang umur simpan (Mayor dan Sereno, 2004). Pengeringan
dilakukan dengan 2 cara yaitu pertama menggunakan oven cabinet pada suhu 60°C
selama 16-18 jam dan yang kedua dijemur dibawah sinar matahari selama 2 hari.
Suhu pengeringan pada oven yang digunakan yaitu sebesar 60°C karena menurut
penelitian Choirunisa, R.F., (2014), suhu pengeringan terbaik yaitu 60°C karena
akan diperoleh tepung dengan kadar air paling rendah dan kadar abu yang paling
tinggi apabila dibandingkan dengan suhu 40°C dan 50°C. Pada proses pengeringan
tersebut, digunakan oven cabinet karena suhu dan kondisi sanitasinya dapat
dikontrol (Winarno dkk, 1980). Selain itu, bentuk oven cabinet yaitu terdapat rak-
rak didalamnya, sehingga kapasitas pengeringannya dapat lebih banyak
dibandngkan oven biasa. Pengeringan pada oven cabinet yaitu menggunakan udara
panas. Hal ini akan menyebabkan pindah panas terhadap bahan akan lebih merata
dan bahan akan lebih cepat kering dengan merata.
Maret Dyah Brillianty
240210170001
Kelompok 6A
Setelah semua sampel kering, dilakukan penggilingan menggunakan
grinder. Kemudian dilakukan pengayakan dengan ukuran 80 mesh untuk
selanjutnya dikemas menggunakan plastik PP + silica gel. Polipropilen (PP)
termasuk jenis plastik olefin dan merupakan polimer dari propilen. Jenis plastik ini
dikembangkan sejak tahun 1950 dengan berbagai nama dagang, seperti : bexphane,
dynafilm, luparen, escon, olefane, pro fax. Film plastik propilen dihasilkan dari
polimerasi propilen. Film ini lebih kaku, terang, dan kuat dibandingkan polietilen,
stabil pada suhu tinggi, memiliki ketahanan yang baik terhadap lemak,
permeabilitas uap air rendah, permeabilitas gas sedang serta memiliki titik lebur
tinggi sehingga sulit untuk direkat dengan panas (Latifah, 2010). Tujuan
ditambahkan silica gel yaitu untuk menjaga kadar air dalam tepung itu sendiri.
Silica Gel merupakan produk penyerap kelembapan udara yang sangat cocok untuk
diaplikasikan untuk menjaga kualitas produk dalam kemasan tertutup. Silica Gel
bekerja efektif tanpa mengubah produk bentuk zatnya. Silica gel apabila disentuh
tetap kering walaupun dia sudah bereaksi menyerap kelembapan udara. Walaupun
namanya gel tapi tetap tergolong dalam silika padat (Mareta dan Shofia, 2012).
Berikut ini merupakan hasil pengamatan tepung dari berbagai bahan pangan:

Tabel 4. Hasil Pengamatan Tepung


Rende- Rende- Rende- Rendemen
Kel Sampel Warna Aroma Tekstur
men 1 men 2 men 3 Total
Putih Sedikit
1 Pisang 53,83% 52,01% 96,54% Halus 27,03%
Coklat apek
Khas
2 Beras 100% 93,27% 46,58% Putih Halus 43,45%
beras
35,41
3 Jagung 57,55% 13,89% Kuning Jagung Halus 2,83%
%
Kacang Putih Kacang
4 115% 41,33% 95,37% Halus 45,4%
Hijau hijau hijau
Ubi Putih Tepungsi
5 54,26% 37,96% 98,07% Halus 20,2%
Kayu kuning ngkong
Kuning
6 Ubi Jalar 94,2% 19,32% 52,74% Tengik Halus 9,6%
gading
Krem
7 Pisang 54,63% 44,15% 99,34% Pisang Halus 24%
keruh
8 Beras 100% 99,2% 19,76% Putih Beras Halus 19,6%
9 Jagung 95% 8,84% 80,95% Kuning Asam Halus 6,8%
Kacang Hijau
10 100% 50% - Tengik Lengket -
Hijau Coklat
11 Ubi Kayu 65% 33,85% 91,82% Kuning Ubi kayu Halus 20,2%
Kuning
12 Ubi Jalar 82,15% 30,54% 75% Khas ubi Halus 18,8%
gading
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2019)
Maret Dyah Brillianty
240210170001
Kelompok 6A
4.2.1. Tepung Ubi Jalar
Berdasarkan hasil pengamatan, dapat diketahui bahwa sampel ubi jalar pada
kelompok 6 menghasilkan tepung dengan rendemen total 9,60%, berwarna kuning
gading, beraroma tengik, bertekstur halus, sedangkan sampel ubi jalar pada
kelompok 12 menghasilkan tepung dengan rendemen total 18,8%, berwarna kuning
gading, beraroma khas ubi, dan bertekstur halus. Nilai persentase rendemen total
tepung ubi jalar dari kelompok 6 dan kelompok 12 lebih kecil dari penelitian
Muhandri, Tjahja. dkk (2015) yang menyatakan bahwa rendemen tepung ubi jalar
yaitu sebesar 21,99%. Perbedaan hasil ini dikarenakan perbedaan varietas ubi jalar
yang dihasilkan. Pada praktikum, ubi jalar yang digunakan yaitu ubi jalar kuning,
sedangkan pada literatur, ubi jalar yang digunakan yaitu ubi jalar putih. Kadar air
tepung ubi jalar berbagai varietas menurut penelitian Susanti, Irma, dkk (2012),
4,40-7,03%. Karena belum ada standar mutu tepung ubi jalar, maka standar
mutunya mengacu pada tepung singkong dengan nilai kadar air maksimal 12% (SNI
01-2997-1996). Warna tepung ubi jalar yang diasilkan yaitu kuning gading karena
bahan baku yang digunakan yaitu ubi jalar kuning. Selain itu ubi jalar yang
berwarna kuning juga mengandung betakaroten yang cukup tinggi. Aroma tepung
ubi jalar yaitu khas ubi jalar karena pada proses pengeringan yang dilakukan tidak
menyebabkan hilangnya aroma pada tepung ubi jalar. Selain itu tekstur ubi jalar
yang halus menunjukkan tidak adanya benda asing yang terkandung dalam tepung.
Kualitas atau mutu tepung ubi jalar yang dihasilkan tergantung dari jenis ubi
jalar yang digunakan. Ubi jalar yang sesuai untuk pembuatan tepung adalah ubi
yang memiliki kadar bahan kering dan pati tinggi, serta kadar airnya relative
rendah. Semakin tinggi kadar bahan kering maka semakin tinggi pula rendemen
tepung yang dihasilkan. Besarnya kadar bahan kering ubi jalar tergantung pada
jenis, lingkungan dan umur tanamnya (Antarlina, 1999).

4.2.2. Tepung Ubi Kayu


Menurut SNI 01-2997-1996, definisi tepung singkong adalah tepung yang
dibuat dari ubi kayu (singkong) melalui penepungan dengan mengindahkan
ketentuan-ketentuan keamanan pangan. Berdasarkan hasil pengamatan, dapat
diketahui bahwa sampel ubi kayu pada kelompok 5 menghasilkan tepung dengan
rendemen total 20,20%, berwarna putih kuning, beraroma tepung singkong,
Maret Dyah Brillianty
240210170001
Kelompok 6A
bertekstur halus, sedangkan sampel ubi kayu pada kelompok 11 menghasilkan
tepung dengan rendemen total 20,20%, berwarna kuning, beraroma khas ubi kayu,
dan bertekstur halus. Nilai persentase rendemen total tepung ubi jalar dari
kelompok 5 dan kelompok 11 lebih rendah dibandingkan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Widowati (2009) yaitu rendemen tepung ubi kayu atau disebut
tepung kasava sekitar 30%. Hal tersebut karena kandungan kadar air singkong yang
digunakan pada praktikum lebih tinggi atau tingkat kematangannya lebih
tinggi.warna tepung yang sangat putih disebabkan oleh umbi singkong yang
digunakan berwarna putih. Aroma khas singkong tidak hilang selama pengeringan
sehingga pada produk tepung terdapat aroma khas singkong. Tektur yang halus
didapatkan dari proses pengayakan dan granula tepung singkong yang kecil. Hal
tersebut telah sesuai SNI. Berdasarkan SNI 01-2997-1996, kadar air maksimal
tepung singkong yaitu 12%, warna putih, aroma khas singkong, serta tidak boleh
ada serangga atau benda-benda asing, sehingga teksturnya sangat halus.
Tepung ubi kayu mempunyai beberapa keunggulan jika dibandingkan
dengan tepung gaplek dan tepung tapioka. Tepung ubi kayu mempunyai kadar HCN
yang lebih rendah dari tepung gaplek, serta lebih tahan terhadap serangan hama
selama penyimpanan. Proses pengolahan tepung ubi kayu menggunakan teknologi
yang relatif sederhana dibandingkan proses pengolahan tepung tapioka sehingga
dapat dibuat dengan mudah dan cepat, serta tidak membutuhkan banyak air dan
tempat pengolahan yang luas (Febriyanti, 1990). Tepung yang berasal dari umbi-
umbian khususnya ubi kayu umumnya memiliki kandungan pati yang tinggi,
karenanya cocok untuk mengatasi kebutuhan kalori di dalam makanan. Tetapi
umumnya memiliki kandungan protein yang rendah (Muharam, 1992). Hal yang
perlu diperhatikan dalam pembuatan tepung kasava adanya komponen toksik.
Komponen toksik yang terdapat pada umbi ubi kayu adalah asam sianida (HCN).
HCN di dalam ubi kayu tidak terdapat secara bebas melainkan terikat dalam
bentuk senyawa yang disebut linamarin atau glukosida aseton sianohidrin Winarno
(1992). Senyawa ini baru bersifat toksik bila telah terurai. Linamarin oleh enzim
linamerase yang secara alami terdapat dalam ubi kayu dapat terurai dan melepaskan
HCN. Komponen yang menentukan mutu tepung singkong adalah kadar air, kadar
pati, HCN, kotoran, kadar serat kasar dan kadar abu serta faktor-faktor penampakan
Maret Dyah Brillianty
240210170001
Kelompok 6A
(kebersihan, kapang dan benda-benda asing). Menurut Purwadaria (1989), tepung
singkong mempunyai kadar lemak sebesar 0,3 – 0,9%, protein 0,5– 1,0% dan
kandungan serat yang lebih tinggi yaitu 3% dibandingkan tapioka 0,6%. Tepung
singkong dapat ditujukan sebagai substitusi atau suplemen tepung terigu dalam
pembuatan roti dan kue yang sampai saat ini masih di impor. Tepung singkong
digunakan untuk pembuatan roti, biscuit, macaroni, kerupuk, mie dan lain-lain.

4.2.3. Tepung Beras


Berdasarkan hasil pengamatan, dapat diketahui bahwa sampel beras pada
kelompok 2 menghasilkan tepung dengan rendemen total 43,45%, berwarna putih,
beraroma khas beras, bertekstur halus, sedangkan sampel beras pada kelompok 8
menghasilkan tepung dengan rendemen total 19,60%, berwarna putih, beraroma
khas beras, dan bertekstur halus. Nilai persentase rendemen total tepung beras dari
kelompok 2 dan kelompok 8 lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian
Galung, Firman S (2017), yang menyatakan bahwa rendemen tepung beras yaitu
sebesar 40,43%. Hal tersebut menunjukkan bahwa proses pembuatan tepung
dilakukan dengan baik dan efektif sehingga menghasilkan rendemen yang lebih
besar. Berdasarkan SNI 3549-2009, syarat mutu tepung beras yaitu kadar air
maksimal 13%, warna tepung putih khas tepung beras, memiliki bau (aroma) yang
normal, serta berbentuk serbuk halus. Hal ini menunjukkan bahwa tepung beras
yang dihasilkan dari praktikum memiliki kualitas yang baik karena sesuai dengan
SNI dan memiliki rendeman yang cukup besar.

4.2.4. Tepung Pisang


Berdasarkan hasil pengamatan, dapat diketahui bahwa sampel pisang pada
kelompok 1 menghasilkan tepung dengan rendemen total 27,03%, berwarna putih
kecoklatan, beraroma sedikit apek, bertekstur halus, sedangkan sampel pisang pada
kelompok 7 menghasilkan tepung dengan rendemen total 24,00%, berwarna krem
keruh, beraroma khas pisang dan bertekstur halus. Nilai persentase rendemen total
tepung pisang dari kelompok 1 dan kelompok 7 lebih besar dibaandingkan dengan
hasil penelitian Kadir, S (2005), yaitu rendemen tepung pisang berbagai varietas
berkisar antara 15,97 – 21,45%. Hal tersebut disebabkan pisang yang digunakan
belum terlalu matang sehingga memiliki pati yang tinggi dan kadar air yang rendah.
Maret Dyah Brillianty
240210170001
Kelompok 6A
Menurut Widowati (2002), tingkat kematangan dan kadar air pisang akan
berpengaruh terhadap rendemen pisang yang dihasilkan. Pada penelitian ini pisang
yang digunakan adalah yang belum matang sempurna dengan kulit yang masih
kehijauan. Pisang yang belum matang memiliki kandungan pati yang tinggi dan
kadar air yang lebih rendah. Hal tersebut membuat rendemen tepung pisang yang
dihasilkan akan semakin banyak.
Tinggi rendahnya rendemen tepung pisang berhubungan erat dengan berat
daging buah dan kandungan patinya. Daging buah pisang merupakan bahan baku
tepung pisang, oleh karenanya semakin berat daging buah maka semakin tinggi
rendemen yang dihasilkan. Selain faktor tersebut, pati adalah salah satu komponen
utama karbohidrat penyusun tepung pisang, sehingga semakin tinggi kadar pati
maka rendemen tepung pisang yang dihasilkan juga semakin tinggi. Rendemen
tepung pisang hasil praktikum lebih besar dibandingkan dengan literatur. Faktor
yang berpengaruh terhadap perbedaan rendemen tepung pisang yang dihasilkan
dari praktikum dengan literatur yaitu karena perbedaan jenis pisang yang digunakan
sehingga daging buah, kandungan pati, dan kadar airnya akan berbeda.
Proses pembuatan tepung pisang ini, digunakan pisang yang belum terlalu
matang. Pada umumnya kadar air pada pisang yang telah matang sekitar 70%, akan
tetapi pada praktikum ini, pisang yang digunakan belum terlalu matang atau sekitar
¾ matang sehingga kadar airnya lebih rendah (Putri, 2012). Kadar air tepung pisang
menurut SNI 01-3841-1995 tentang tepung pisang yang menyatakan bahwa kadar
air dalam tepung pisang maksimal adalah 12%. Tepung pisang yang dihasilkan
pada praktikum ini yaitu putih sedikit kecoklatan. Hasil praktikum ini sesuai dengan
Murtiningsih dan Muhajir (1990) bahwa warna tepung pisang nangka adalah putih
cokelat. Aroma tepung pisang yang dihasilkan yaitu sedikit khas pisang dan tekstur
sangat halus. Hal ini sesuai dengan Musita, et al. (2009), bahwa tepung pisang yang
baik memiliki aroma khas pisang dan tidak ada benda asing yang terkandung.

4.2.5. Tepung Jagung


Berdasarkan hasil pengamatan, dapat diketahui bahwa sampel jagung pada
kelompok 3 menghasilkan tepung dengan rendemen total 27,03%, berwarna
kuning, beraroma khas jagung, bertekstur halus, sedangkan sampel jagung pada
kelompok 9 menghasilkan tepung dengan rendemen total 6,80%, berwarna kuning,
Maret Dyah Brillianty
240210170001
Kelompok 6A
beraroma jagung asam dan bertekstur halus. Nilai persentase rendemen total tepung
jagung dari kelompok 3 dan kelompok 9 lebih rendah dibandingkan hasil penelitian
Koswara (2009) yang menyatakan bahwa rendemen tepung jagung sebesar 54,4%
Tepung jagung yang dihasilkan berwarna kuning. Hal ini disebabkan adanya
karoten pada biji jagung. Kandungan karoten total pada jagung sekitar 641
mg/100g. Tepung jagung memiliki kandungan lemak yang lebih rendah
dibandingkan dengan tepung terigu, tetapi memiliki kandungan serat yang lebih
tinggi. Rendahnya lemak pada tepung jagung dapat membuat tepung jagung
menjadi lebih awet karena tidak mudah tengik akibat oksidasi lemak. Namun
tingginya serat pada jagung menyebabkan tepung jagung memiliki tekstur yang
lebih kasar dibandingkan dengan tepung terigu. Untuk memperoleh tepung sehalus
terigu maka dibutuhkan pengayakan dengan mesh yang lebih besar.

4.2.6. Tepung Kacang Hijau


Berdasarkan hasil pengamatan, dapat diketahui bahwa sampel kacang hijau
pada kelompok 4 menghasilkan tepung dengan rendemen total 45,4%, berwarna
putih kehijauan, beraroma khas kacang hijau, bertekstur halus, sedangkan sampel
kacang hijau pada kelompok 10 menghasilkan tepung dengan rendemen total 0%,
berwarna hijau kecoklatan, beraroma tengik, dan bertekstur lengket. Nilai
persentase rendemen total tepung kacang hijau dari kelompok 4 dan kelompok 10
lebih rendah dibandingkan penelitian Nurhadijah, dkk (2010) yang menyatakan
bahwa rendemen tepung kacang hijau berkisar antara 78,45% - 91,27%. Hal
tersebut menunjukkan bahwa proses pembuatan tepung dilakukan dengan kurang
maksimal sehingga menghasilkan rendemen yang rendah, selain itu dapat
disebabkan oleh perbedaan jenis kacang hijau yang digunakan saat praktikum.
Kacang hijau memiliki banyak jenis sehingga rendemen yang akan dihasilkannaya
pun akan berbeda. Perlakuan pengupasan kacang hijau akan berpengaruh dan
menghasilkan tepung dengan derajat putih lebih tinggi dibanding tanpa
pengupasan. Disamping kulit yang menyebabkan warna lebih gelap, menurut
Winarno (1997), karena pada proses pengolahan, perlakuan panas menyebabkan
protein terdenaturasi dan melepaskan pigmen klorofilnya, klorofil bebas sangat
peka terhadap panas. Pada perendaman, hidrogen dalam air menyebabkan
terjadinya substitusi magnesium dan membentuk feofitin yang berwarna coklat.
Maret Dyah Brillianty
240210170001
Kelompok 6A
Perbedaan pati dan tepung terletak pada proses pembuatannya. Untuk
mendapatkan tepung diperlukan suatu proses yang terdiri dari pemotongan,
pencucian, pengeringan, penggilingan dan pengayakan, sedangkan untuk
mendapatka pati bahan pangan harus melalui suatu rangkaian proses yang cukup
panjang, dimana ada proses pengendapan yang membutuhkan waktu satu malam
serta proses pencucian pati yang membutuhkan waktu lama supaya pati yang
dihasilkan bersih. Kedua, perbedaan pati dan tepung yaitu sifat dalam adonannya.
Tepung lebih mudah tercampur dalam air dingin dibanding pati. Saat terkena air
panas atau dimasak dengan air sampai mendidih, pati akan membentuk gel yang
kental dan bening, dimana peristiwa ini disebut dengan gelatinisasi, karena sifatnya
yang dapat mengental setelah pemasakan, pati dapat digunakan sebagai bahan
pengental untuk beberapa produk makanan. Perbedaan yang terakhir yaitu tekstur
dan warnanya. Pati biasanya memiliki warna yang lebih putih dan tekstur yang lebih
halus dibandingkan dengan tepung. Saat kita menggosoknya diantara dua jari, pati
akan terasa lebih kesat sedangkat tepung akan terasa lebih lembut.
Maret Dyah Brillianty
240210170001
Kelompok 6A
V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Kesimpulan pada praktikum kali ini adalah sebagai berikut:
1. Ubi jalar menghasilkan pati dengan rendemen 4,87% dan 6,32 berwarna
putih cerah, tidak beraroma, bertekstur sangat halus. Ubi kayu
menghasilkan pati dengan rendemen 11,12% dan 13,60% berwarna putih
cerah, beraroma khas singkong, bertekstur sangat halus. Beras
menghasilkan pati dengan rendemen 15,68% dan 7,20% berwarna putih,
tidak beraroma, bertekstur sangat halus.
2. Pisang menghasilkan pati dengan rendemen 1,04% dan 0,56% berwarna
krem, tidak beraroma, bertekstur sangat halus. Jagung menghasilkan pati
dengan rendemen 0,84% dan 1,04% berwarna putih, tidak beraroma,
bertekstur sangat halus. Kacang hijau menghasilkan pati dengan rendemen
6,48% dan 0,72% berwarna putih, tidak beraroma, bertekstur sangat halus.
3. Ubi jalar menghasilkan tepung dengan rendemen total 9,6% dan 18,8%
berwarna kuning gading, beraroma tengik, bertekstur halus. Ubi kayu
menghasilkan tepung dengan rendemen total 20,2% berwarna putih kuning,
beraroma tepung sinking, bertekstur halus. Beras menghasilkan tepung
dengan rendemen total 43,45% dan 19,6% berwarna putih, beraroma khas
beras, bertekstur halus.
4. Pisang menghasilkan tepung dengan rendemen total 27,03% dan 24,%
berwarna putih kecoklatan, beraroma sedikit apek, bertekstur halus. Jagung
menghasilkan tepung dengan rendemen 2,83% dan 6,8% berwarna kuning,
beraroma khas jagung, bertekstur halus. Kacang hijau menghasilkan tepung
dengan rendemen 45,4% berwarna putih kehijauan, beraroma khas kacang
hijau, bertekstur halus.

5.2. Saran
Sebaiknya hasil pengamatan diarahkan untuk dikumpulkan dekat dengan
pelaksanaan praktikum. agar saat mendekati hari dikumpulkan laporan sudah rapi
dan terorganisir dengan baik. Selain itu, alat penunjang praktikum sebaiknya lebih
diperbanyak lagi sehingga waktu yang digunakan lebih efektif.
Maret Dyah Brillianty
240210170001
Kelompok 6A
DAFTAR PUSTAKA

Asaoka, M., Okuno, K. dan Fuwa, H. (1985). Effect ofenvironmental temperature


at the milky state onamylose content and fne structure of waxy and nonwaxy
endosperm starches of rice (Oryza sativa L.). Agricultural and Biological
Chemistry 49: 373-376.

Badan Standarisasi Nasional (BSN). 1992. Standar Mutu Tepung Tapioka. SNI No.
01-2973-1992. 3 hlm.

Balagopalan, Padmaja CG, Nanda SK, Moorthy SN. 1988. Cassava in Food, Feed,
and Industry. Boca Raton Florida : CRC Pr.

Bello-Pérez, L.A. A. De Francisco, E. Agama-Acevedo, F. Gutierrez-Meraz, F.


J.L. García-Suarez. 2005. Morphological and Molecular Studies of Banana
Starch. SAGE Publications, DOI: 10: 1177

Beynum, G.M.A.V., and J.A. Roels. 1985.Starch Conversion Technology. Marcel


Dekker. New York.

Braverman, J.B.S. 1963. Introduction to the Biochemistry of Food. Elsevier


Publishing CO.,Amsterdam.

Choirunisa, R.F., , Bambang Susilo dan Wahyunanto Agung Nugroho. 2014.


Pengaruh Perendaman Natrium Bisulfit (NaHSO3) dan Suhu Pengeringan
terhadap Kualitas Pati Umbi Ganyong (Canna Edulis Ker). Jurnal Bioproses
Komoditas Tropis Vol. 2 No. 2, Agustus 2014. Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Brawijaya, Malang.

Deni, Anggraeni, et. al. 2015. Isolasi dan Uji Sifat Fisikokimia Pati Pisang Kepok.
Jurnal Farmasi. Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau.

Direktorat Pengolahan Pangan Hasil Pertanian. 2005. Pengembangan Usaha


Pengolahan Tepung Tapioka. Departemen Pertanian, Jakarta.

Faridah, D.N., Dedi Fardiaz., Nuri Andarwulan., Titi Candra. 2014. Karakteristik
Sifat Fisikokimia Pari Garut. Agritech, Vol. 34, No. 1.

Febriyanti, T. 1990. Studi Karakteristik Fisik, Kimia, dan Fungsional Beberapa


Varietas Tepung Singkong. Skripsi. IPB. Bogor.

Flores-Huicochea1 and L.A.BelloPérez. 2006. Resistant Starch Production from


Non-conventional Starch Sources by Extrusion. J. Food Sci. Tech. Int SAGE
Publications 12 (1): 5–11

Galung, F.S,. 2017. Karakterisasi dan Pengaruh Berbagai Perlakuan terhadap


Produksi Tepung Beras Merah (Oryza Nivara) Instan. Volume 5 No. 2 Juni
Maret Dyah Brillianty
240210170001
Kelompok 6A
González-Soto, R.A., L.Sánchez-Hernández,J. Solorza-Feria, C. Núñez-Santiago,

Greenwood C, and Muir D.D. 1975. The Structure of Starch. Molucular Structure
and Function of Food Carbohydrate. Birch, G.G. and. L.F. Green
.
Greenwood, C.T. dan D.N. Munro. 1979 . Carbohydrates. Di dalam R.J.
Priestley,ed. Effects of Heat on Foodstufs. Applied Seience Publ. Ltd.,
London

Hoover, R., Li, Y.X., Hynes, G. dan Senanayake, N. (1997) Physicochemical


characterization of mung bean starch. Food Hydrocolloids 11: 401-408.

Koswara, Sutrisno. 2009. Ubi jalar dan hasil olahannya (teori dan prakteknya).
eBookPangan.com. [13 November 2018]

Kurniawati, R.D. 2006. Penentuan Desain Proses dan Formulasi Optimal


Pembuatan Mie Jagung Basah Berbahan Dasar Pati Jagung dan Corn Gluten
Meal (CGM). (Skripsi). IPB. Bogor. 46-76.

Latifah, I. 2010. Pendugaan Umur Simpan Keripik Wortel dalam Kemasan


Polypropylene. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.

Maflahah, Iffan. 2010. Analisis Proses Pembuatan Pati Jagung (Maizena) Berbasis
Neraca Massa. Dalam Jurnal Embryo Vol 7. No 1.

Mareta, D.T. dan Sofia N. A. 2011. Pengemasan Produk Sayuran dengan Bahan
Kemas Plastik pada Penyimpanan Suhu Ruang dan Suhu Dingin. Jurnal Ilmu-
ilmu Pertanian, 7 (1) : 26-40.

Mayor L. & A.M. Sereno. 2004. Modelling Shrinkage During Convective Drying
of Food Material: a review. Journal of Food Engineering 61 (2004) 373–386.

Moorthy, S.N., and C. Balagopalan. 2010. Physicochemical Properties of


Enzymatically Separated Starch from Sweet Potato. www.moorthy.co.in.
(Diakses 13 November 2018)

Morrison, W.R. dan Azudin, M.N. (1987). Variation in theamylose and lipid
contents and some physical properties of rice starches. Journal of Cereal
Science 5: 35-37

Muarif. 2013. Rancang Bangun Alat Pengering. Politeknik Negeri Sriwijaya


Palembang.

Muchtadi, T.R dan Sugiyono. 2013. Prinsip Proses Dan Teknologi Pangan.
Alfabeta : Bandung.
Maret Dyah Brillianty
240210170001
Kelompok 6A
Muhandri, Tjahja. 2015. Pendirian Unit Pengolahan Pati dan Tepung Ubi Jalar di
Bogor, Jawa Barat (Establishment of Sweet Potato Starch and Flour
Processing in Bogor, West Java). Prosiding Seminar Hasil-Hasil PPM IPB
2015. Vol. I : 246–262. ISBN : 978-602-8853-27-9 Fakultas Teknologi
Pertanian, IPB. Bogor.

Muharam, S., 1992. Studi Karakteristik Fisiko Kimia dan Fungsional Tepung
Singkong (Manihot esculenta crantz) dengan Modifikasi Pengukusan,
Penyangraian, dan Penambahan GMS, serta Aplikasinya dalam Pembuatan
Roti tawar. Skripsi. IPB-Press, Bogor.

Murtiningsih dan I. Muhajir. 1990. Pengaruh Cara Pengeringan Terhadap Mutu


Tepung Beberapa Varietas Pisang. Penel. Horti 5 (3): 92-97.

Musita, Nanti. (2009). Kajian Kandungan Dan Karakteristik Pati Resisten Dari
Berbagai Varietas Pisang. Jurnal Teknologi Industri dan Hasil
Pertanian,14(1).

Nurhidajah, Waysima, Nur Wulandari. 2010. Kajian Teknologi Pembuatan Tepung


Kacang Hijau Instan dan Sifat Fisik. Fakultas Teknologi Pertanian IPB,
Bogor.

Prabawati, S., Suyanti dan Setyabudi, D. A. (2008). Teknologi Pascapanen dan


Teknik Pengolahan Buah Pisang. Penyunting: Wisnu Broto. Balai
BesarPenerbitan dan Pengembangan Pertanian.

Pudjiastuti, Wiwik. 2013. Pengaruh Laju Transmisi Uap air Polymer


BlendPolibutilen Suksimat (PBS) dan Linear Low Density
Polyethylense(LLDPE) Terhadap Umur Simpan Sup Krim Instan Rasi.
UniversitasPadjadjaran : Bandung

Radley JA. 1976. Starch Production Technology. London: Applied Science

Richana N. dan Suarni. 2007. Teknologi Pengolahan Jagung. In Sumarno et al.


Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan
PengembanganPertanian. P: 386-409.

Rukmana, Rahmat. 1997. Ubi Kayu, Budidaya dan Pascapanen. Kanisius.


Yogyakarta.

Santosa, B.A., Narta dan S. Widowati. 1997. Studi Karakteristik Pati Ubi Jalar.
Prosiding Seminar Nasional. PATPI, 16-17 Juli, Denpasar, Bali.

Santosa, B.A.S., Sudaryono dan Widowati, S. 2005. Evaluasi Teknologi Tepung


Instan dari Jagung Brondong dan Mutunya. Jurnal Pascapanen 2 (2).
Maret Dyah Brillianty
240210170001
Kelompok 6A
Satuhu, S. dan Supriyadi, A. (1999). Pisang, Budi Daya Pengolahan dan Prospek
Pasar. Jakarta: Swadaya.

Standar Nasional Indonesia. 1995. SNI 01-3841-1995. Syarat Mutu Tepung Pisang.
Badan Standardisasi Nasional. Jakarta

Standar Nasional Indonesia. 2006. SNI 01-3752-2006 Tepung Terigu sebagai


Bahan Makanan. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.

Standari Nasional Indonesia. 1996. SNI 01-2997-1996. Syarat Mutu Tepung


Singkong. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta

Stipanuk, M.H. (2000). Biochemical and Physiological Aspect of Human Nutrition.


W.B. Saunders Companny, Toronto.

Stratton dan Von Loesecke. 1950. Banenas. Interscience Publisher Inc. NewYork.

Susanti, Irma., Eddy Sapto Haartanto, dan Ning Ima Arie W. 2012. Studi
Kandungan Oligosakarida Berbagai Jenis Ubi Jalar dan Aplikasinya sebagai
Minuman Fungsional. . Journal of Agro-Based Industry. Vol 29 No. 2,
Desember 2012, pp 23-33. Balai Besar Industri Agro. Bogor

Swinkels JJM. 1985. Sources of starch, its chemistry and physics. Di dalam : Starch
Conversion Technology. Van Beynum GMA, Roels A, editor. New York :
Marcel Dekker.

Syahraeni Kadir. 2005. Karakterisasi Tepung Empat Varietas Pisang Di Lembah


Palu. Jurnal Agrisains 6 (1) : 1 - 6, April 2005. ISSN : 1412-3657. Fakultas
Petanian Unviersitas Tadulako. Palu.

Syarief; R. dan Irawati, 1988. Pengetahuan Bahan untuk Industri Pertanian.


Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta.

Triwitono Priyanto, Marsono Yustinus, Murdiati Agne, Wiseso Djagal Marseno.


2017. Isolasi dan Karakteristik Sifat Pati Kacang Hijau (Vigna radiata L.)
Beberapa Varietas Lokal Indonesia. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Widowati, S. 2009. Tepung Aneka Umbi. Balai Besar Penelitian dan


Pengembangan Pascapanen Pertanian. Jakarta

Winarno, F. G dan Srikandi Fardias. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT


Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Winarno, F.G. 1986. Enzim Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta. 155 halaman.

Zhang, T and Oates, C.G. 1999. Relationship between _-amylase degradation and
physicochemical properties of sweet potato starches. Food Chemistry (65)
Maret Dyah Brillianty
240210170001
Kelompok 6A
LAMPIRAN

 Contoh Perhitungan Rendemen Tepung Ubi Jalar 6A:


942 𝑔𝑟𝑎𝑚
𝑥100 = 94,20% (Rendemen 1)
1000 𝑔𝑟𝑎𝑚
182 𝑔𝑟𝑎𝑚
𝑥100 = 19,32% (Rendemen 2)
942 𝑔𝑟𝑎𝑚
96 𝑔𝑟𝑎𝑚
𝑥100 = 52,74% (Rendemen 3)
182 𝑔𝑟𝑎𝑚
96 𝑔𝑟𝑎𝑚
𝑥100 = 9,60% (Rendemen Total)
1000 𝑔𝑟𝑎𝑚

 Contoh Perhitungan Rendemen Pati Ubi Jalar 6A:


122 𝑔𝑟𝑎𝑚
𝑥100 = 4,30% (Rendemen Pati)
2500 𝑔𝑟𝑎𝑚

Gambar 1. Pati Ubi Jalar Gambar 2. Penimbangan Ubi Jalar


(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2019) (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2019)

Gambar 3. Penggilingan Pati dg Air Gambar 4. Proses Pemerasan Pati


(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2019) (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2019)
Maret Dyah Brillianty
240210170001
Kelompok 6A

Gambar 5. Ampas Pemerasan Pati Gambar 6. Pati Hasil Pencucian


(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2019) (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2019)

Gambar 7. Pengecilan Ukuran Pati Gambar 8. Penimbangan Ubi Kering


(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2019) (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2019)

Gambar 9. Proses Pengendapan Pati Gambar 10. Proses Pengayakan


(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2019) (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2019)

Anda mungkin juga menyukai