Anda di halaman 1dari 9

Definisi Biskuit

Biskuit merupakan salah satu hidangan yang praktis dan ekonomis, serta menjadi
hidangan favorit di semua kalangan. Aneka ragam rasa ditawarkan oleh biskuit yang dikemas
menggunakan kaleng, kemasan kotak hingga plastik yang menarik. Meskipun praktis, biskut
menjadi pilihan bagi sebagian besar masyarakat, karena mengenyangkan. Selain itu, makanan
ini berbahan dasar terigu dan mengandung lemak, protein, dan bahan tambahan lain yang
dianggap memiliki kandungan gizi yang tinggi. Ada beberapa jenis biskuit yang beredar di
pasaran, yakni biskuit keras yang dibuat dari adonan keras, berbentuk pipih, dan bertekstur
padat. Ada pula biskuit berjenis crackers yang dibuat dari adonan keras, melalui proses
fermentasi atau pemeraman. Sedangkan jenis ketiga adalah cookies, yakni biskuit yang
dibuat dari adonan lunak dan berkadar lemak tinggi.

Proses Pembuatan Biskuit


Perbedaan yang terdapat pada jenis biskuit, tentu berbeda pula pada proses
pembuatannya. Namun secara garis besar, proses pembuatan biskuit terdiri dari
pencampuran, pembentukan dan pemanggangan. Tahap pencampuran bertujuan meratakan
pendistribusian bahan-bahan yang digunakan dan untuk memperoleh adonan dengan
konsistensi yang halus. Bahan-bahan yang sudah tercampur, selanjutnya dicetak sesuai
dengan bentuk dan ukuran yang diinginkan. Adonan yang telah dicetak selanjutnya
dipanggang dengan oven.

Titik Kritis Kehalalan Produk Biskuit


Auditor senior LPPOM MUI, Ir. Hj. Osmena Gunawan mengingatkan, lantaran
bahannya yang cukup beragam dan proses produksinya yang tidak sederhana, konsumen
muslim wajib mencermati biskuit yang beredar di pasaran. Sebab, tidak semua biskuit yang
ditawarkan telah bersertifikat halal MUI. Terlebih lagi produk biskuit impor, kita sebagai
konsumen muslim sebelum mengkonsumsi biskuit harus kita diperhatikan kehalalan dari
produk biskuit tersebut. Salah satu caranya adalah dengan melihat logo halal yang tercantum
dalam kemasan biskuit tersebut. Selain itu, jangan lupa pula mengkritisi bahan baku yang ada
dalam biskuit tersebut, sebab bisa saja bahan tersebut berasal dari bahan yang tidak halal.
Berikut ini beberapa diantara bahan pembuat biskuit, yang dirangkum dari berbagai sumber:
1. Tepung Terigu
Tepung terigu adalah bahan utama dalam pembuatan produk biskuit. Secara garis
besar ada dua jenis tepung gandum yaitu tepung gandum keras (strong flour) dan tepung
gandum lunak (soft flour). Tepung gandum keras biasanya digunakan untuk membuat roti
dan produk-produk yang dibuat dengan melibatkan proses fermentasi serta puff pastry.
Tepung terigu lunak biasanya digunakan untuk membuat biskuit dan kue. Perbedaan utama
tepung terigu keras dan tepung terigu lunak terletak pada kandungan glutennnya, dimana
tepung terigu keras mengandung gluten sekitar 13% sedangkan tepung terigu lunak
kandungan glutennya sekitar 8.3%. Pada pembuatan tepung gandum seringkali ditambahkan
bahan-bahan aditif yang berfungsi untuk meningkatkan sifat-sifat tepung gandum yang
dihasilkan. Salah satu bahan aditif yang dapat ditambahkan pada pembuatan tepung gandum
yaitu L-sistein (biasanya dalam bentuk hidrokloridanya) yang berfungsi sebagai improving
agent (meningkatkan sifat-sifat tepung gandum yang diinginkan). Sistein dapat melembutkan
gluten (protein utama gandum yang berperan dalam pengembangan adonan yang dibuat dari
tepung gandum), dengan demikian adonan tepung gandum menjadi lebih lembut. Disamping
melembutkan, adanya sistein dapat mengakibatkan pengembangan adonan yang lebih besar.
Selain L-sistein ternyata cukup banyak bahan aditif lain yang mungkin digunakan
dalam pengolahan tepung terigu. Penambahan aditif ini disamping untuk memperbaiki sifat-
sifat alami tepung terigu, khususnya sifat-sifat tepung yang sesuai dengan proses
pemanggangan (misalnya memendekkan waktu penanganan dengan input energi rendah),
juga untuk menjaga keseragaman mutu tepung terigu serta sesuai dengan standar yang
berlaku. Penambahan asam askorbat, bromat alkali atau enzim lipoksigenase dari kedele akan
meningkatkan kualitas gluten tepung gandum yang lemah, misalnya pada pembuatan roti.
Dalam hal ini, adonan menjadi lebih kering, resistensi terhadap ekstensi meningkat, lebih
toleran pada pencampuran dan lebih stabil selama fermentasi. Selain itu, volume adonan
selama pemanggangan meningkat dan struktur crumb (bagian dalam roti) menjadi lebih baik.
Penambahan enzim proteinase pada tepung terigu dapat mengakibatkan adonan yang dibuat
menjadi lebih lembut. Penambahan enzim alfa-amilase dalam bentuk tepung malt atau tepung
enzim hasil kerja mikroorganisme dapat meningkatkan kemampuan menghidrolisa pati yang
dikandung dalam tepung terigu, dengan demikian khamir yang tumbuh pada pembuatan
adonan mendapat energi yang cukup sehingga pembentukan karbon dioksida optimal dan
pengembangan adonan menjadi optimal.
L-sistein yang murah yang banyak tersedia di pasaran adalah L-sistein yang dibuat
dari rambut manusia, khususnya yang diproduksi di Cina.  Tentu saja karena berasal dari
bagian tubuh manusia maka L-sistein ini haram sehingga tepung terigu yang menggunakan L-
sistein dari rambut manusia haram hukumnya bagi umat Islam. Walaupun demikian perlu
diketahui bahwa L-sistein selain dari rambut manusia, bisa juga diperoleh dari bulu unggas.
Seperti diketahui rambut dan bulu banyak mengandung L-sistein. L-sistein dari bulu unggas
pun masih dipertanyakan kehalalannya karena bila diperoleh pada waktu hewan masih hidup
maka bisa jadi tidak diperbolehkan, jika diperoleh dari hewan yang sudah mati, mungkin
masih dipertanyakan apakah matinya disembelih secara Islami? Untungnya sekarang sudah
ada L-sistein yang diproduksi secara fermentasi dan boleh digunakan, hanya saja harganya
memang lebih mahal. Jadi, sebetulnya tepung terigu yang ada di pasaran belum tentu haram
walaupun menggunakan L-sistein, tergantung darimana L-sistein berasal. Untungnya hampir
semua tepung terigu yang diproduksi di dalam negeri telah mendapatkan sertifikat halal, hal
ini tentunya sangat menguntungkan konsumen. Akan tetapi, kita masih perlu waspada
terhadap tepung terigu impor yang masih belum mendapatkan sertifikat halal.
Fatwa ulama menyebutkan bahwa L-sistein yang diekstraksi dari rambut manusia
hukumnya haram. Selanjutnya, L-sistein yang diekstraksi dari bulu unggas dan produk
mikrobial lainnya hukumnya syubhat. L-sistein yang diperoleh dari bulu unggas, seperti bulu
bebek (duck feather) dan bulu ayam (chicken feather) hukumnya haram jika diekstraksi dari
bulu unggas yang tidak disembelih secara syar’i. L-sistein yang di-hasilkan dari reaksi
mikrobial juga berstatus haram jika mikrobianya ditumbuhkan pada media yang tidak halal.
Disamping bahan aditif yang ditambahkan kedalam tepung terigu untuk maksud
memperbaiki sifat tepung terigu, ada pula bahan aditif yang ditambahkan kedalam tepung
terigu dengan maksud untuk memperkaya nilai gizinya. Bahan aditif yang biasa ditambahkan
untuk memperkaya nilai gizi tepung terigu yaitu mineral dan vitamin. Dari segi kehalalan,
yang patut diperhatikan adalah penambahan vitamin vitamin yang tidak larut dalam lemak
dan mudah rusak selama penyimpanan diantaranya vitamin A. Agar vitamin A mudah larut
dalam produk pangan berair (aqueous) dan agar tidak mudah rusak selama penyimpanan
maka vitamin A biasanya disalut. Bahan penyalut yang digunakan selain bahan yang halal
seperti berbagai jenis gum juga bahan yang diragukan kehalalannya yaitu gelatin.
2. Telur
Telur mengandung albumen (putih telur) yang berfungsi sebagai pengeras, dan kuning
telur yang berfungsi sebagai pengempuk. Penambahan telur dalam pembuatan biskuit juga
berfungsi menambah cita rasa, dan menambah nilai nutrisi. Pada produk tepung putih telur
sering ditambahkan ragi atau enzim gluko-oksidase untuk mencegah browning.
3. Bahan Pengembang
Bahan pengembang adalah bahan tambahan pangan yang digunakan dalam
pembuatan roti dan kue yang berfungsi untuk mengembangkan adonan supaya adonan
menggelembung, bertambah volumenya, demikian juga pada saat adonan dipanggang dapat
lebih mengembang. Jika bahan pengembang dicampurkan kedalam adonan maka akan
terbentuk gas karbon dioksida, gas inilah yang kemudian terperangkap didalam gluten
(komponen protein yang ada dalam tepung terigu) sehingga adonan menjadi mengembang
karena gas yang dihasilkan semakin lama akan semakin banyak. Bahan pengembang yang
biasa digunakan yang pertama disebut sebagai baking soda, yang disebut pula dengan nama
soda kue, yang isi sebetulnya adalah bahan kimia yang bernama sodium bikarbonat. Bahan
ini dibuat secara sintesis kimia dan tidak ada masalah dari segi kehalalannya.
Bahan pengembang jenis kedua yaitu apa yang disebut sebagai baking powder yang
merupakan campuran antara sodium karbonat (baking soda) dengan asam pengembang
(leavening acid). Komponen yang bisa bertindak sebagai asam pengembang adalah umumnya
garam fosfat, sodium aluminium fosfat, glukono delta lakton dan cream of tartar. Dari semua
bahan-bahan ini yang tidak boleh digunakan adalah cream of tartar. Cream of tartar
sebetulnya adalah garam potasium dari asam tartarat yang diperoleh sebagai hasil samping
(hasil ikutan) industri wine (sejenis minuman keras), itu sebabnya mengapa bahan ini tidak
boleh digunakan oleh umat Islam. Sayangnya, cream of tartar ini banyak digunakan dalam
pembuatan kue, banyak tercantum di resep-resep pembuatan kue, bahkan ada dijual dalam
bentuk murni cream of tartar. Oleh karena itu, hindarilah penggunaan cream of tartar,
gantilah dengan jenis bahan pengembang yang lain jika dalam resep harus menggunakan
cream of tartar karena bahan pengembang lain akan berfungsi sama tetapi halal. Istilah lain
dari bahan pengembang adalah bread improver atau cake improver. Di pasaran sudah ada
bread improver dan cake imrpover yang sudah mendapatkan sertifikat halal dan tentunya
sudah terjamim kehalalannya.
4. Flavor
Flavor menghasilkan aneka rasa dan aroma dari biskuit yang diproduksi. Flavor dapat
dibedakan menjadi 2 macam, yaitu flavor sintetis dan flavor alami. Flavor yang
menggunakan aroma tertentu yang dimirip-miripkan dengan barang haram (babi dan
minuman keras) tidak diijinkan. Bahan penyusun flavor bisa diperoleh dari senyawa sintetik
kimia, tumbuhan maupun hewan. Apabila diekstrak dari hewan atau berbahan dasar asam
amino hewan, maka harus dipastikan bahwa flavor ini berasal dari hewan halal yang
disembelih secara syar’i.
5. Pewarna
Bahan pewarna (colorings) yang biasa dipakai dalam makanan olahan terdiri dari 2
jenis, yaitu pewarna sintetis dan pewarna alami. Pewarna sintesis disukai produsen makanan
karena memiliki tingkat kestabilan warna yang cukup baik serta harga yang relatif murah.
Meskipun tidak mengandung bahan haram, penggunaan yang berlebihan dapat berdampak
tidak baik pada kesehatan manusia yang mengkonsumsinya. Adapun pewarna alami biasanya
bersifat kurang stabil sehingga untuk menghindari kerusakan warna dari pengaruh suhu,
cahaya, serta pengaruh lingkungan lainnya, maka seringkali pada pewarna ini ditambahkan
senyawa pelapis (coating agent) melalui proses mikro-enkapsulasi. Salah satu jenis pelapis
yang sering dipakai adalah gelatin. Dikarenakan seringkali berasal dari hewan, maka harus
dipastikan apakah gelatin yang dipakai berasal dari hewan halal atau hewan yang haram.
Penggunaan pewarna juga membutuhkan adanya bahan pelarut yang digunakan, bahan
pelapisnya hingga bahan pengemulsi. Bahan pelarut dapat menggunakan bahan etanol,
triacetin atau gliserin. Gliserin salah satunya dapat dihasilkan dari proses hidrolisis lemak
hewani. Bahan pelapisnya dapat menggunakan sumber gelatin, umumnya berasal dari gelatin
hewani. Bahan pengemulsi dapat menggunakan turunan asam lemak yang berasal dari
hewani.
6. Shortening
Arti sesungguhnya dari shortening adalah lemak atau campuran yang memiliki sifat
plastisitas tertentu sehingga mampu membuat makanan seperti roti dan kueh menjadi lembut.
Untuk tujuan tersebut maka shortening biasanya merupakan campuran lemak dimana bisa
terdiri dari lemak nabati semua (biasanya yang sudah dijenuhkan), campuran lemak nabati
dengan lemak hewani atau lemak ikan; bisa pula merupakan campuran lemak hewani (lemak
babi, lemak sapi) saja. Oleh karena itu jelas secara umum shortening berstatus syubhat,
kecuali yang sudah diketahui komposisinya dan telah dinyatakan halal oleh yang berwenang.
Disamping itu, shortening yang mengandung lemak babi jelas haram. Untungnya, di
Indonesia sudah banyak shortening yang diproduksi didalam negeri dan sudah mendapatkan
sertifikat halal. Di dunia bakery dan kueh, istilah shortening memiliki arti lemak, minyak dan
berbagai versi olahan minyak dan lemak yang digunakan sebagai ingredien dalam pembuatan
adonan.
Shortening bisa mengandung bahan selain lemak dan minyak, bahan tersebut adalah
perisa (flavourings), pewarna dan emulsifier. Bahan yang sama jika digunakan sebagai
whipped toppings, buttercream icings, fatty coatings atau sejenisnya tidak akan disebut
sebagai shortening. Fungsi shortening pada pembuatan roti dan kue adalah memodifikasi sifat
fisik dan kimia adonan sehingga bisa diolah dengan efisien. Dengan adanya shortening
selama pembuatan adonan dan pemanggangan, adonan menjadi lebih bisa mengembang;
shortening juga mampu melembutkan adonan sehingga roti dan kueh yang dibuat menjadi
lembut. Dalam beberapa hal, adanya lemak membuat produk menjadi lebih enak dimakan
karena memiliki rasa dan aroma yang khas dan enak.
Perlu diketahui bahwa perbedaan istilah lemak dan minyak terletak pada kondisi
bahan pada suhu ruang, jika berbentuk padat pada suhu ruang maka disebut lemak,
sebaliknya minyak pada suhu ruang berbentuk cair. Oleh karena itu yang berasal dari hewan
biasanya disebut lemak (lemak babi, lemak sapi, lemak kambing, dll) karena bentuknya padat
pada suhu ruang, sedangkan dari nabati (tanaman) dan ikan biasanya disebut minyak karena
kebanyakan bentuknya cair pada suhu ruang. Jenis-jenis lemak yang berasal dari hewan yaitu
yang pertama adalah mentega (butter), diperoleh dari susu sapi dan status kehalalannya sudah
dibahas pada edisi Ummi sebelumnya dimana telah dijelaskan ada jenis mentega yang halal,
ada pula jenis mentega yang diragukan kehalalannya, diantaranya adalah mentega yang
berbau wangi tajam seperti roombutter. Yang kedua adalah lemak babi, dalam bahasa Inggris
disebut lard, diperoleh dari babi, statusnya jelas haram. Yang ketiga adalah lemak sapi, dalam
bahasa Inggris disebut tallow, statusnya syubhat bergantung kepada asal sapi dimana lemak
ini diperoleh. Jika sapinya disembelih secara Islami maka lemak yang diperoleh dari sapi
tersebut halal dan sebaliknya. Lemak nabati diperoleh dari minyak nabati yang dijenuhkan,
maksudnya sebagian asam lemaknya yang tadinya tidak jenuh (mengandung ikatan rangkap)
dibuat menjadi jenuh dengan menggunakan proses yang disebut hidrogenisasi. Dari segi
kehalalan, yang berasal dari nabati ini tidak bermasalah, kecuali ada bahan tambahan pangan
yang digunakan seperti emulsifier dan pewarna. Oleh karena itu, tetap saja pilih lemak nabati
yang sudah mendapatkan sertifikat halal, jika tidak kehalalannya tidak terjamin dan akan
merugikan kita sebagai umat muslim yang hendak mengonsumsinya.
Lemak yang digunakan dalam pembuatan bakery dan kueh ada yang diistilahkan
secara spesifik sesuai dengan tujuan penggunaannya, contohnya adalah cake margarine, ini
adalah margarin yang digunakan untuk pembuatan cake walaupun dapat digunakan pula
untuk pembuatan roti misalnya. Ada pula yang disebut dengan pastry margarine, ini adalah
margarin yang digunakan dalam pembuatan produk pastry. Ada pula yang membagi pastry
margarine menjadi dua jenis yaitu yang disebut short pastry margarine dan puff pastry
margarine. Berbagai jenis lemak dapat digunakan dalam pembuatan short pastry margarine
termasuk lemak babi (lard), lemak sapi (diambil oleinnya saja), minyak ikan yang dijenuhkan
dan minyak nabati yang dijenuhkan. Ada pula literatur yang menyebutkan bahwa dalam
pembuatan pastry margarine sering digunakan lemak babi (lard), tentu saja hal ini terjadi di
negara Barat sana karena sumber literaturnya dari Barat.
7. Margarin
Margarin dibuat dengan bahan dasar lemak tumbuhan. Dalam proses pembuatannya,
sering kali ada bahan penstabil (stabilizer), pewarna, maupun penambah rasa (flavor) yang
ditambahkan yang perlu dikritisi kehalalannya. Salah satu bahan pengemulsi yang sering
dipakai adalah lesitin. Apabila menggunakan lesitin kedelai (soy lechitin) maka tentu tidak
masalah. Namun apabila menggunakan lesitin babi, maka tentu akan membuat produk-
produk makanan tersebut menjadi haram.
8. Bakers Yeast Instant (Ragi)
Yeast berfungsi sebagai bahan pengembang (bread improver). Dalam pembuatannya,
adakalanya ditambahkan bahan pengemulsi (emulsifier). Jika emulsifier yang dipakai berasal
dari bahan haram maka yeast ini tentu menjadi tidak halal. Ada juga yeast yang merupakan
hasil samping industri bir yang dikenal dengan nama brewer yeast. Kehalalan jenis yeast ini
tergantung pada proses setelah pemisahan dari bir. Proses tersebut harus melibatkan air yang
dapat “mencuci” warna, bau dan aroma bir sehingga yeast kembali suci. Dalam pembuatan
roti, ragi/yeast dibutuhkan agar adonan bisa mengembang. Ragi/yeast biasanya ditambahkan
setelah tepung terigu ditambah air lalu diaduk-aduk merata, setelah itu selanjutnya adonan
dibiarkan beberapa waktu. Ragi/yeast sendiri sebetulnya mikroorganisme, suatu mahluk
hidup berukuran kecil, biasanya dari jenis Saccharomyces cerevisiae yang digunakan dalam
pembuatan roti ini. Pada kondisi air yang cukup dan adanya makanan bagi ragi/yeast,
khususnya gula, maka yeast akan tumbuh dengan mengubah gula menjadi gas karbondioksida
dan senyawa beraroma. Gas karbondioksida yang terbentuk kemudian ditahan oleh adonan
sehingga mengembang.
Secara komersial ragi/yeast dapat diperoleh dalam 3 bentuk, yaitu compressed yeast
(bentuk cair dengan kandungan yeast yang padat); active dry yeast (ragi bentuk kering, perlu
diaktifkan dulu sebelum digunakan) dan instant active dry yeast (ragi instan, bentuk kering
yang bisa langsung digunakan, tanpa perlu diaktifkan lagi). Di supermarket biasanya yang
tersedia adalah yang instant active dry yeast (ragi instan), bisa langsung digunakan, tinggal
dimasukkan kedalam adonan. Apapun bentuk ragi/yeast yang kita gunakan ternyata isinya
tidak hanya yeast tapi juga sejumlah kecil bahan aditif apakah bahan yang sengaja
ditambahkan untuk tujuan tujuan tertentu dalam pembuatan ragi, atau juga bahan yang
berasal dari media (bahan makanan yeast yang diperlukan pada waktu perbanyakan yeast)
yang tersisa, atau bahan yang sengaja ditambahkan untuk tujuan meningkatkan stabilitasnya
selama penyimpanan seperti tidak menggumpal, bisa juga mengandung bahan pengisi.
Dari segi kehalalan bahan aditif inilah yang perlu dicermati kehalalannya. Pada
pembuatan compressed yeast sering ditambahkan pengemulsi (emulsifier) dimana status
kehalalannya adalah syubhat seperti telah banyak dibahas pada tulisan tulisan sebelumnya.
Bahan aditif yang mungkin ada pada ragi instan yaitu bahan anti gumpal (anticaking agent)
dimana diantara bahan-bahan yang biasa digunakan sebagai anti gumpal ada yang status
kehalalannya syubhat yaitu E542 (edible bone phosphate, berasal dari tulang hewan), E570
(asam stearat) dan E572 (magnesium stearat). Asam stearat dapat berasal dari tanaman atau
dari hewan, magnesium stearat dibuat dengan menggunakan bahan dasar asam stearat. Di
pasaran sudah tersedia ragi instan yang sudah dijamin kehalalannya.
9. Keju
Keju berasal dari susu hewan, bisa berasal dari susu sapi, domba/kambing maupun
unta. Dalam pembuatannya, untuk memperoleh curd/padatan, susu digumpalkan dengan
bantuan enzym dan starter. Apabila enzim yang dipakai berasal dari saluran pencernaan
hewan haram, maka tentu statusnya menjadi haram. Enzim rennet yang dipakai bisa saja
berasal dari hasil fermentasi (microbial rennet) maupun dari lambung hewan, seperti
lambung anak sapi maupun lambung babi. Jika berasal dari fermentasi mikroba (bakteri,
kapang, khamir), maka harus dipastikan bahwa media yang dipakai untuk pertumbuhan
mikroorganismenya bukan media yang diharamkan. Jika berasal dari hewan, maka harus
dipastikan status kehalalan hewannya. Enzim rennet yang diambil dari lambung anak babi
sudah tentu statusnya haram. Hati-hati dengan keju edam, karena masih banyak produsen
keju edam yang menggunakan rennet babi. Sebaliknya, enzim rennet berstatus halal jika
berasal dari hewan halal yang disembelih secara halal. Selain itu, starter yang dipakai dalam
penggumpalan susu berasal dari mikro organisme (umumnya bakteri asam laktat).
10. Cokelat
Coklat banyak digunakan di dalam biskuit baik sebagai topping atau fillingnya.
Dalam proses pembuatannya, kadang dibutuhkan emulsifier. Emulsifier dapat berasal dari
bahan nabati nabati maupun dari produk hewani sehingga bisa saja halal ataupun haram.
Selain itu penggunaan flavor, laktosa ataupun whey juga merupakan hal lumrah dalam coklat.
Laktosa dan whey menjadi bahan kritis karena bisa berasal dari hasil samping produksi keju
yang mungkin menggunakan bahan haram dalam proses pembuatannya.
11. Gula pasir
Gula pasir dibuat dari nira yang dapat berasal dari berbagai bahan seperti tebu, kelapa,
siwalan, lontar, aren, dan sawit. Oleh karena berasal dari tanaman, sudah tentu bahan baku
utama gula pasir tersebut halal. Proses pembuatan gula pasir terdiri dari beberapa tahapan,
mulai dari proses ekstraksi, penjernihan, evaporasi, kristalisasi, hingga pengeringan. Dalam
tahapan-tahapan proses ini bisa jadi bahan haram masuk dan mencemari gula pasir. Sebagai
contoh, apabila melibatkan proses rafinasi (pemurnian), maka karbon aktif yang dipakai
harus dipastikan status kehalalannya. Apabila karbon aktif ini berasal dari hasil tambang atau
dari arang kayu, maka tentu tidak menjadi masalah. Akan tetapi, apabila menggunakan arang
tulang, maka haruslah dipastikan status kehalalan asal hewannya. Arang aktif haram dipakai
jika berasal dari tulang hewan haram/tulang hewan halal yang tidak disembelih secara syar’i.

Penutup
Setelah mengetahui bahan-bahan yang biasa digunakan dalam pembuatan produk
biskuit, nyatalah kedua jenis produk ini rawan kehalalannya, oleh karena itu kita harus ekstra
hati-hati dalam membeli kedua produk ini, harus yang sudah mendapatkan sertifikat halal
atau berasal dari produsen yang kita percaya memproduksi makanan yang halal. Hindarilah
produk bakery dan kue impor yang tidak dijamin kehalalannya. Disamping itu, kita juga
harus hati-hati memilih produk bakery dan kueh hasil industri dalam negeri karena diduga
banyak menggunakan bahan-bahan yang belum jelas kehalalannya, bahan-bahan tersebut
diantaranya adalah ovalet, TBM, SP, roombutter, dll, disamping jenis shortening atau lemak
yang digunakan. Yang paling aman adalah lagi-lagi memilih produk yang sudah
mendapatkan sertifikat halal dari badan yang berwenang di Indonesia (MUI).

Anda mungkin juga menyukai