Anda di halaman 1dari 11

ANALISIS

TENTANG PRODUK HALAL

Oleh :

NOVIRA SANTI JATMIKO (170111100237)

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA

FAKULTAS HUKUM

2019
Produk Cokelat Silver Queen telah mendapatkan sertifikasi halal dan mendapatkan
penghargaan dalam Halal Award 2018 kategori Susu dari LPPOM MUI. Silver Queen dimiliki
oleh PT. Petra Food yang kerjasama dengan Procter & Gamble yang berkantor pusat di
Singapura. Cokelat merupakan makanan ringan yang digemari dan dikonsumsi oleh kalangan
muda-mudi atau remaja. Apalagi jika disuguhkan dalam keadaan dingin, dimana cokelatnya
tidak leleh dan tidak lengket akan menjadi lebih nikmat. Meski produk ini banyak digemari dan
dikonsumsi, konsumen Muslim juga harus berhati-hati dalam memilih produk cokelat yang akan
dikonsumsi. Sebab, produk yang satu ini memiliki titik kritis kehalalan yang perlu diwaspadai.

A. Bahan dan Proses Produksi Produk

Ada beberapa bahan – bahan atau komposisi dalam produksi cokelat Silver Queen ini,
antara lain:
1. Gula

2. Susu Bubuk

3. Kacang Almond

4. Kakao Massa

5. Lemak Kakao

6. Lemak Nabati

7. Pengemulsi Lesitin Kedelai PGPR

8. Perisa Vanili

9. Antioksidan

Bahan – bahan seperti gula, susu bubuk, lemak nabati, pengemulsi lesitin serta perisa
memiliki titik kritis kehalalan yang perlu diwaspadai setiap konsumen Muslim.

1. Gula. Gula adalah suatu karbohidrat sederhana yang menjadi sumber energi dan
komoditi perdagangan utama. Gula paling banyak diperdagangkan dalam bentuk kristal
sukrosa padat. Hampir seluruh orang sering mengonsumsi berbagai makanan dan
minuman yang mengandung gula pasir, baik untuk memasak, campuran minuman, kue,
roti, dan lain-lain. Tapi, sadarkah kita bahwa dalam proses produksi gula pasir atau
gula tebu tersebut terdapat satu proses yang bertujuan untuk penyaringan supaya gula
pasir itu terlihat putih. Gula tebu yang berwarna coklat juga tidak terlepas dari proses
penyaringan demikian.

Proses pembuatan gula pasir terdiri dari beberapa tahapan, mulai dari proses ekstraksi,
penjernihan, evaporasi, kristalisasi, hingga pengeringan. Dalam tahapan-tahapan proses
ini bisa jadi bahan haram masuk dan mencemari gula pasir. Sebagai contoh, apabila
melibatkan proses rafinasi (pemurnian), maka karbon aktif yang dipakai harus
dipastikan status kehalalannya. Apabila karbon aktif ini berasal dari hasil tambang atau
dari arang kayu, maka tentu tidak menjadi masalah. Akan tetapi, apabila menggunakan
arang tulang, maka haruslah dipastikan status kehalalan asal hewannya. Arang aktif
haram dipakai jika berasal dari tulang hewan haram atau tulang hewan halal yang tidak
disembelih secara syar’i. Selanjutnya, bahan lain yang ditambahkan pada proses
hidrolisis juga harus dicermati. Apabila menggunakan bahan sintetis kimia tentu tidak
masalah. Namun apabila menggunakan produk mikrobial, maka harus dipastikan
bahwa media yang dipakai untuk mengkulturkannya adalah media yang halal.

2. Susu Bubuk. Susu dan produk turunannya seperti whey banyak digunakan dalam
pembuatan produk coklat, bahkan salah satu jenis produk coklat yang favorit adalah
coklat susu. Susu yang digunakan biasanya adalah susu skim yaitu susu yang telah
dipisahkan lemaknya (krimnya) walaupun pada kenyataannya masih mengandung
sedikit lemak. Kehalalan susu skim tidak dipermasalahkan karena dalam pembuatan
susu skim tidak ada penambahan bahan lain, hanya perlakuan fisik terhadap susu segar.
Perlakuan dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut dengan cream separator
untuk memisahkan krim (lemak) dengan bagian lainnya. Bagian lainnya ini kemudian
dikeringkan sehingga diperoleh susu skim.

Jenis susu lainnya yang biasa digunakan adalah apa yang disebut dengan susu
rekombinasi. Susu rekombinasi adalah susu yang dibuat dengan cara mencampurkan
susu skim dengan lemak susu, tidak tertutup kemungkinan susu rekombinasi dibuat
dengan mencampurkan bukan hanya susu skim dan lemak susu tapi juga whey. Status
kehalalan whey adalah syubhat, whey biasanya diperoleh dari proses pembuatan keju
dimana dalam proses tersebut sebagian besar menggunakan enzim dan salah satu jenis
enzim yang digunakan bisa berasal dari babi atau sapi yang tidak disembelih secara
Islami. Whey juga merupakan salah satu bahan yang biasa digunakan dalam pembuatan
produk-produk coklat.

3. Lemak Nabati. Lemak nabati selain cocoa butter sudah lama digunakan dalam
pembuatan coklat dan coklat pelapis (coating). Hal ini disebabkan karena harga lemak
nabati lain lebih murah dari cocoa butter sementara cukup banyak pula lemak nabati
lain yang memiliki komposisi yang mirip dengan cocoa butter, khususnya komposisi
trigliseridanya. Walaupun demikian, diperlukan proses tertentu agar komposisi lemak
nabati tersebut memiliki komposisi yang serupa dengan komposisi cocoa butter.
Lemak nabati yang dibuat sehingga memiliki komposisi yang mirip dengan komposisi
cocoa butter disebut cocoa butter substitute (CBE). CBE memiliki sifat kimia dan
fisik yang mirip dengan cocoa butter. Sumber minyak yang sering digunakan untuk
membuat CBE adalah minyak sawit, lemak illipe (Shorea stenopatra) dan lemak shea
(Butyrospermum parkii).

Jika proses pembuatan CBE melibatkan proses fisik (fraksinasi dengan menggunakan
panas) atau kimia (ekstraksi solven) saja maka produk yang dihasilkan tidak
bermasalah dari segi kehalalannya. Akan tetapi jika melibatkan proses enzimatis
dimana melibatkan enzim maka kehalalannya dipertanyakan. Enzim diperlukan untuk
mempercepat proses reaksi interesterifikasi (pembentukan trigliserida dengan
komposisi asam lemak tertentu yang diinginkan dengan cara mengikatkan asam lemak
yang diinginkan pada trigliserida target dimana asam lemak ini diperoleh melalui
pertukaran asam lemak trigliserida lain). Sebagian enzim yang digunakan untuk
melakukan reaksi ini berasal dari hewan, khususnya babi, sebagian lagi berasal dari
mikroorganisme. Dengan demikian status kehalalan CBE adalah syubhat.

Ada juga yang disebut dengan cocoa butter replacer (CBR), ini adalah lemak nabati
yang memiliki sifat-sifat tertentu, khususnya sifat-sifat fisik, yang mirip dengan sifat-
sifat cocoa butter. CBR ada dua jenis, jenis pertama disebut dengan lauric fat CBR
(sering disebut juga dengan CBS = cocoa butter substitute) dimana bahan dasar untuk
membuatnya adalah minyak inti sawit dan minyak kelapa, keduanya banyak
mengandung asam laurat, itu sebabnya disebut lauric fat. Jenis yang kedua adalah yang
dibuat dari minyak nabati selain minyak inti sawit dan minyak kelapa disebut non-
lauric fat CBR. Contoh minyak yang digunakan dalam pembuatan CBR jenis kedua ini
adalah minyak sawit dan minyak kedele, melalui proses fraksinasi dapat dihasilkan
CBR. Dilihat dari bahan dasar dan cara pembuatannya CBR tidak diragukan
kehalalannya.

Ada juga yang disebut dengan cocoa butter improver (CBI), ini adalah lemak (biasanya
dari tanaman) yang digunakan untuk mengubah sedikit sifat-sifat fisik cocoa butter.
Sebagai contoh, coklat yang dibuat dengan menggunakan cocoa butter yang telah
ditambah CBI tidak mudah meleleh pada suhu kamar karena titik lelehnya menjadi
lebih tinggi dengan adanya penambahan CBI. Kehalalan CBI dilihat dari bahan asalnya
yang nabati (tanaman) tidak bermasalah.

4. Lesitin. Lesitin secara kimia adalah fosfolipida yang berperan sebagai pengemulsi
(emulsifier) yaitu bahan kimia yang mampu membuat campuran air dan minyak
bercampur merata dalam jangka waktu lama. Secara komersial lesitin yang digunakan
dalam pembuatan produk pangan berasal dari kedele. Jika dilihat dari sumber asalnya
maka kehalalan lesitin tidak dipermasalahkan, akan tetapi ternyata jenis lesitin itu tidak
hanya satu, ada berbagai jenis turunan lesitin atau lesitin yang sudah diolah lebih lanjut.
Jenis-jenis turunan lesitin ini dibuat sesuai dengan kebutuhannya dan terutama
ditujukan untuk meningkatkan sifat-sifat lesitin itu sendiri, misalnya, agar
kemampuannya sebagai pengemulsi menjadi lebih baik.

Dalam proses pembuatannya mula-mula lesitin diekstraksi dari kedele dengan


menggunakan pelarut organik lalu setelah terekstrak pelarutnya dihilangkan sehingga
diperoleh apa yang disebut dengan ekstrak kasar lesitin. Di masa lalu lesitin jenis
inilah yang digunakan, akan tetapi seperti telah dijelaskan diatas untuk tujuan
memperbaiki sifatnya maka dibuat turunan-turunan lesitin agar diperoleh sifat lesitin
yang lebih baik. Dalam pembuatan produk turunan lesitin, ada yang melakukan reaksi
kimia terhadap lesitin untuk mengubah struktur kimia lesitin dengan cara sintesis
organik. Selain itu, ada pula yang menggunakan enzim fosfolipase A yang berasal dari
pankreas babi untuk mengubah struktur kimia lesitin, nah jenis inilah yang tidak boleh
digunakan bagi umat Islam karena jelas dalam proses pembuatannya sudah
bersinggungan dengan bahan yang berasal dari babi. Sayangnya, di pasaran tidak
dibedakan mana yang asli lesitin dalam bentuk ekstrak kasar dan mana lesitin yang
sudah dimodifikasi lebih lanjut (turunan lesitin), kesemuanya hanya disebut lesitin,
bahkan sering disebut lesitin soya.

Proses pembuatan turunan lesitin yang lain yaitu dengan cara melakukan ekstraksi
lebih lanjut ekstrak kasar lesitin dengan menggunakan alkohol (etanol) sehingga
diperoleh fraksi lesitin yang larut dalam alkohol. Masalahnya, alkohol yang digunakan
untuk mengekstrak tersebut tidak dihilangkan lebih lanjut, jadi lesitin dalam hal ini
berada didalam alkohol sehingga kadar alkohol turunan lesitin tersebut tinggi. Jenis
lesitin yang inipun harus dihindari untuk digunakan karena kandungan alkoholnya yang
tinggi. Jenis lesitin yang lain adalah lesitin yang telah dicampur dengan bahan
pengemulsi lain untuk tujuan mendapatkan sifat pengemulsi yang lebih baik
dibandingkan dengan jika hanya menggunakan lesitin saja. Secara umum pengemulsi
berstatus syubhat karena sebagian dibuat dari bahan hewani sehingga lesitin yang jenis
inipun harus dihindari jika tidak jelas status kehalalannya. Dengan informasi yang
dipaparkan diatas maka status kehalalan lesitin pada saat ini adalah syubhat karena
ternyata ada jenis turunan lesitin yang haram dan di pasaran semua disebut lesitin saja,
tidak dibedakan mana eksktrak kasar lesitin dan mana turunan lesitin. Tentu saja jika
suatu produk sudah dinyatakan halal maka walaupun produk tersebut mengandung
lesitin maka lesitin yang digunakan adalah lesitin yang halal.

Sebenarnya jenis pengemulsi lain juga bisa dan kadang digunakan dalam pembuatan
produk coklat. Walaupun demikian, seperti telah dijelaskan diatas secara umum status
pengemulsi adalah syubhat jika tidak ada jaminan kehalalan terhadap pengemulsi atau
produk tersebut. Perlu ditegaskan sekali lagi bahwa status itu berlaku bagi pengemulsi
atau produk yang belum mendapatkan sertifikat halal karena secara umum diketahui
ada jenis pengemulsi yang halal dan ada jenis pengemulsi yang haram, di pasaran tidak
jelas yang mana yang halal dan mana yang haram jika tidak ada jaminan kehalalannya
(berupa label halal atau sertifikat halal).
5. Perisa Vanila. Coklat sendiri sebetulnya salah satu jenis perisa (flavor), memberikan
flavor (citarasa) coklat. Akan tetapi flavor coklat saja agaknya tidak cukup, sering
ditambahkan flavor lain. Salah satu yang favorit digunakan adalah flavor vanilin.
Vanilin sendiri secara umum ada 2 jenis, ada vanilin yang buatan (sintetik) yang
merupakan bahan kimia yang bernama etil vanilin, biasanya dalam bentuk padat dan
kehalalannya tidak dipermasalahkan. Jenis kedua adalah vanilin alami yang
sebenarnya adalah ekstrak vanila, dalam bentuk cair, yang jenis ini kehalalannya
diragukan karena biasanya pelarut yang digunakan untuk mengekstrak vanila adalah
campuran alkohol (etanol) dengan air sehingga ekstrak vanila yang diperoleh masih
mengandung alkohol yang relatif tinggi. Ada juga vanilin alami yang diperoleh dengan
cara bioteknologi, akan tetapi yang jenis ini jarang digunakan karena mahal dan
kehalalannya pun tidak bisa dijamin karena dalam proses pembuatannya rawan
digunakannya bahan-bahan haram.

Banyak sekali jenis flavor lain selain flavor vanila yang digunakan dalam pembuatan
produk coklat. Secara umum status kehalalan flavor adalah syubhat. Di pasaran ada
pula flavor coklat sintetik yang biasa digunakan untuk produk-produk coklat yang
murah harganya. Jenis flavor coklat sintetik ini rawan kehalalannya karena dalam
pembuatannya sering melibatkan penambahan asam-asam lemak dimana asam lemak
bisa diperoleh dari nabati (tanaman) atau hewani (termasuk babi).

B. Label – Label Pada Kemasan


1. Simbol daur Ulang
Simbol daur ulang ini memiliki arti 3 langkah siklus daur ulang. Langkah pertama adalah
mengumpulkan bahan-bahan untuk didaur ulang. Langkah ini dilakukan jika bahan-bahan yang
dapat didaur ulang diletakkan dalam tempat sampah khusus. Bahan-bahan yang dikumpulkan
tersebut kemudian dibersihkan dan disortir untuk dijual ke pabrik. Langkah kedua adalah bahan-
bahan yang dapat didaur ulang diproduksi menjadi produk-produk baru untuk dijual, baik secara
eceran maupun komersial. Sedang langkah ketiga adalah langkah yang sebenarnya, yakni
membeli dan menggunakan produk yang dibuat dari bahan-bahan daur ulang.
2. Simbol Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Makanan yang sudah memiliki simbol ini pastinya sudah melewati uji halal yang
dilakukan oleh LPPOM MUI dan menandakan bahwa makanan ini aman untuk dikonsumsi umat
Muslim. Dengan demikian, setiap produk yang ingin mendapat sertifikat halal, harus mengikuti
proses menurut standar yang telah ditetapkan oleh lembaga tersebut. Selanjutnya lembaga ini
memiliki auditor untuk melaksanakan audit halal, dari para ahli di bidang pangan, kimia,
pertanian, biologi, fisika, hingga bidang kedokteran hewan yang dipilih melalui proses seleksi
kompetensi, kualitas dan integritas sebelum mereka ditugaskan. Logo ini menjadi perhatian bagi
umat Muslim untuk memastikan apakah produk kemasan yang digunakannya halal atau nggak.
3. Simbol BPOM

Setiap produk makanan yang aman dan layak di konsumsi di Tanah Air harus melewati
pemeriksaan BPOM terlebih dahulu agar terbukti aman untuk dikonsumsi. Untuk memastikan
kalau produk yang akan kamu santap teruji aman dan melewati standar kelayakan suatu proses
makanan, kamu bisa mengeceknya dari kode dari BPOM yang tertera di kemasan.
C. Analisis

Mengenai keharusan adanya keterangan halal dalam suatu produk, dapat dilihat dalam
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (“UU Produk Halal”).
Yang termasuk “produk” dalam UU Produk Halal adalah barang dan/atau jasa yang terkait
dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa
genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.[2]
Sedangkan yang dimaksud dengan produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai
dengan syariat Islam.
UU Produk Halal telah mengatur secara jelas bahwa produk yang masuk, beredar, dan
diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Jadi memang pada dasarnya, jika
produk yang dijual tersebut adalah halal, maka wajib bersertifikat halal. Ada beberapa kewajiban
bagi pelaku usaha yang mengajukan permohonan sertifikat halal dan setelah memperoleh
sertifikat tersebut. Pelaku usaha yang mengajukan permohonan sertifikat halal wajib:
a. memberikan informasi secara benar, jelas, dan jujur;
b. memisahkan lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan,
pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara produk halal dan tidak
halal;
c. memiliki penyelia halal; dan melaporkan perubahan komposisi bahan kepada Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal (“BPJPH”).
Kemudian, setelah memperoleh sertifikat halal, pelaku usaha wajib:
a. mencantumkan label halal terhadap produk yang telah mendapat sertifikat halal;
b. menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal
c. memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat pengolahan, penyimpanan,
pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara produk halal dan tidak
halal;
d. memperbarui sertifikat halal jika masa berlaku sertifikat halal berakhir; dan
e. melaporkan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH.
Pelaku usaha yang tidak melakukan kewajibannya setelah memperoleh sertifikat halal,
dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif; atau
c. pencabutan sertifikat halal.
Mengenai kewajiban mencantumkan label halal oleh pihak yang telah mendapatkan
sertifikat halal, perlu diketahui bahwa bentuk label halal ini ditetapkan oleh BPJPH dan berlaku
nasional.
Pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat halal wajib mencantumkan label halal pada:
a. kemasan produk;
b. bagian tertentu dari Produk; dan/atau
c. tempat tertentu pada produk.
Pencantuman label halal harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah dihapus,
dilepas, dan dirusak. Perlu diketahui bahwa pelaku usaha yang tidak menjaga kehalalan produk
yang telah memperoleh sertifikat halal dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau
pidana denda paling banyak Rp 2 miliar.
Produk dari Bahan yang Diharamkan
Bagaimana jika pelaku usaha memproduksi produk dari bahan yang diharamkan? Sebelumnya
akan kami sebutkan apa saja yang termasuk bahan yang diharamkan menurut UU Produk Halal,
yaitu:
Bahan yang berasal dari hewan meliputi:
a. bangkai;
b. darah;
c. babi; dan/atau
d. hewan yang disembelih tidak sesuai dengan syariat.
Bahan yang berasal dari tumbuhan pada dasarnya halal, kecuali yang memabukkan
dan/atau membahayakan kesehatan bagi orang yang mengonsumsinya.
Bahan yang berasal dari mikroba dan bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi,
proses biologi, atau proses rekayasa genetik diharamkan jika proses pertumbuhan dan/atau
pembuatannya tercampur, terkandung, dan/atau terkontaminasi dengan bahan yang diharamkan.
Pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan
dikecualikan dari mengajukan permohonan sertifikat halal. Pelaku usaha tersebut wajib
mencantumkan keterangan tidak halal pada produk. Jika pelaku usaha tidak mencantumkan
keterangan tidak halal, dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran lisan;
b. peringatan tertulis; atau
c. denda administratif.
Dalam perkembangannya, telah diundangkan pada tanggal 3 Mei 2019 peraturan
pelaksana dari UU Produk Halal yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
(“PP 31/2019”). Lebih ditegaskan lagi dalam Pasal 2 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) PP 31/2019
bahwa produk yang berasal dari bahan yang diharamkan dikecualikan dari kewajiban
bersertifikat halal dan wajib diberikan keterangan tidak halal serta pelaku usaha wajib
mencantumkan keterangan tidak halal pada produk tersebut. Selain itu, pengawasan jaminan
produk halal juga dilakukan terhadap pencantuman keterangan tidak halal. Pengawasan
pencantuman keterangan tidak halal yang dapat berupa gambar, tanda, dan/atau tulisan dilakukan
terhadap produk. Yang dimaksud dengan "tulisan" adalah pembedaan warna tulisan dalam
komposisi produk.
Ketentuan mengenai gambar, tanda, dan/atau tulisan tersebut harus mencakup
pelindungan dan hak asasi manusia terhadap kelompok rentan, khususnya penyandang
disabilitas, antara lain berupa menjamin pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam
kemudahan mendapatkan informasi kehalalan produk yang disesuaikan dengan kemampuan
penyandang disabilitas yang bersangkutan. Sebagai contoh yaitu tersedianya gambar, tanda,
dan/atau tulisan dalam huruf braille bagi penyandang disabilitas yang mengalami masalah dalam
penglihatan.

Anda mungkin juga menyukai