Anda di halaman 1dari 6

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Laporan ini akan membahas hasil praktikum pengeringan yang telah


dilaksanakan pada tanggal 30 Maret 2011.
Pengeringan merupakan salah satu cara pengawetan pangan yang paling
tua. Cara ini merupakan suatu proses yang ditiru dari alam dengan
memperbaiki pelaksanaannya pada bagian-bagian tertentu. Pengeringan
merupakan suatu metode pengawetan pangan yang paling luas digunakan
(Desrosier, N. W, 1959).
Pengeringan pangan merupakan penerapan panas dalam kondisi terkendali
untuk mengeluarkan sebagian besar air dari dalam bahan pangan melalui
proses evaporasi dan sublimasi. Tujuan dari pengeringan adalah untuk
menurunkan

kadar

air

dari

bahan

pangan

agar

kerusakan

oleh

mikroorganisme dan enzim menurun sehingga umur simpan dari bahan


pangan tersebut menjadi lebih lama (Tjahjadi, C., dkk., 2011).
Pengawetan makanan dengan menurunkan kadar air (lebih penting lagi,
aktivitas air atau aw) telah dilakukan sejak beribu-ribu tahun yang lalu.
Secara tradisional. Makanan dikeringkan dengan sinar matahari tetapi
sekarang beberapa makanan didehidrasi di bawah kondisi pengeringan yang
terkendali

dengan

menggunakan

aneka

ragam

metoda

pengeringan.

Walaupun demikian pengeringan dengan sinar matahari tetap sebagai suatu


cara pengolahan yang sangat penting di negara-negara yang sedang
berkembang (Buckle, K. A., 1985).
Bila

kadar

air

dalam

bahan

hasil

pertanian

cukup

rendah

maka

mikroorganisme tidak dapat tumbuh padanya dan reaksi-reaksi kimia juga


tidak dapat berlangsung di dalamnya.
Pengeringan pada bahan hasil pertanian bertujuan untuk :
1.

Pengawetan makanan

2.

Mengurangi berat dan volume.

3.

Menekan biaya pengangkutan dan penyimpanan karena berat dan


volume produk berkurang.

4.

Menghasilkan produk yang siap saji atau cepat saji antara lain produkproduk instan.

Keuntungan utama dari pengeringan dibandingkan dengan metode lain


adalah:
1.

Bobot pangan menjadi ringan, kadar air dalam makanan umumny


sekitar 60%-90%. Hampir semua air dalam makanan dapat dike;uarkan
dengan dehidrasi dan yang tersisa adalah padatan kering dengan kadar
air yang rendah.

2.

Pemapatan volume.

3.

Awet atau stabil pada penyimpanan pada suhu kamar, walaupun tetap
ada batas umur simpan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan pengeringan antara lain :


1.

Sifat fisik dan sifat kimia dari produk (bentuk, ukuran, komposisi, dan
kadar air).

2.

Pengaturan geometris produk sehubungan dengan permukaan alat


atau media perantara pemindah panas.

3.

Sifat-sifat fisik dari lingkungan alat pengering.

4.

Karakteristik alat pengering.

Praktikum kali ini akan dilakukan pengeringan terhadap cabe dan jahe.
Setiap kelompok menimbang 50 g cabe. Setelah itu cabe di sortasi, yang
hujai dan busuk dipisahkan, kemudian buang tangkai cabe. Ada empat
perlakuan terhadap cabe sebelum pengeringan, yaitu tanpa perlakuan,
blansing 1,5 menit dengan rebus dan kukus, blansing 3 menit dengan rebus
dan kukus, dan blansing 5 menit dengan rebus dan kukus. Setelah di
blansing timbang beratnya. Perlakukan pendahuluan ini diperlukan untuk
mempertinggi

kualitas

hasil

kering

dalam

arti

penampakan

dan

ketahanannya.
Cabe tanpa perlakuan diatur di atas tampah yang telah beri label. Jemur di
tempat yang panas. Balikkan cabe setiap hari 3-4 kali. Jemur sampai kering
dan hitung rendemennya. Amati sifat inderawi cabe dan bandingkan dengan
cabe dengan perlakuan blansing.

Cabe perlakuan blansing, di blansing sesuai waktu yang telah di tentukan.


Sebelum melakukan blansing, siapkan air es di dalam baskom. Kemudian
didihkan air di dalam pancistainless steel. Bungkus cabe dengan kain saring
dan masukkan kedalam panci. Lama blansing dihitung sejak air mendidih
kembali. Angkat cabe dan rendam cabe di dalam air es. Lama perendaman
sama seperti lama blansing. Tiriskan cabe lalu timbang beratnya. Amati sifat
inderawi cabe meliputi warna, kilap, tekstur, bentuk dan lain-lain. Atur
sebagian cabe pada tampah lalu jemur di tempat yang panas sampai kering.
Timbang

setiap

hari

berat

cabe

tersebut.

Hitung

susut

bobot

dan

rendemennya. Hasil pengamatan pengeringan cabe dapat dilihat pada Tabel


1, Tabel 2, Tabel 3, Tabel 4.1 dan Tabel 4.2.
Pengeringan jahe dilakukan tiga perlakuan, yaitu tanpa perlakuan sebagai
control, ditusuk-tusuk dengan kawat/garpu, dan dikupas. Jahe di sortasi
terlebih dahulu dengan memisahkan jahe utuh dan rusak. Jahe ditimbang
sebanyak 200 g. cuci sampai bersih dan tiriskan, lalu timbang lagi. Lakukan
pengirisan 1 cm. ambil irisan dengan diameter yang seragam. Tempatkan
bahan pada nampan dan timbang beratnya. Masukkan kedalam oven dengan
suhu 570C selama 2 jam. Lakukan penimbangan setiap interval 30 menit.
Penimbangan dilakukan secepat mungkin. Lakukan pencatatan berat jahe
untuk setiap perlakukan. Buat kurva pengeringan dan lakukan pengamatan
pada jahe dan setelah dikeringkan terhadap warna, aroma, tekstur dan sifat
lainnya dan hitung rendemen. Hasil pengamatan pengeringan jahe dapat
dilihat pada Tabel 5, Tabel 6, dan Tabel 7.
Berdasarkan hasil pengamatan pengeringan cabe selama satu minggu, berat
cabe menurun drastis. Cabe yang di jemur dibawah sinar matahari
mengalami desorpsi, yaitu kehilangan air karena pengeringan. Suhu di
lingkungan lebih tinggi daripada suhu pada cabe, sehingga cabe mengalami
desorpsi.
Hasil terbaik yang didapatkan adalah sampel cabe yang sebelumnya
dilakukan blansing selama 5 menit. Hal ini disebabkan karena selama proses

blansing enzim-enzim dinonaktifkan dan sebagian mikroorganisme telah


mati.
Kendala yang dihadapi dalam proses pengeringan cabe menggunakan sinar
matahari

ini

adalah

cuaca

yang

berubah-ubah.

Karena

pada

saat

penjemuran, cuaca mendung dapat mengganggu proses pengeringan,


sehingga kualitas cabe kering yang dihasilkan kurang baik. Berdasarkan hasil
pengamatan pada Tabel 3, susut bobot dari hari ke hari juga berbeda-beda,
karena suhu selalu berubah-ubah setiap harinya.
Rendemen untuk setiap cabe yang juga berbeda-beda. Pada Tabel 1
rendemennya sebesar 43,33%. Pada Tabel 2 rendemennya sebesar 23,77%.
Pada Tabel 3 rendemennya sebesar 41,3%. Pada Tabel 4.1 rendemennya
sebesar 10,42%. Hal ini disebabkan penjemuran tidak dilakukan di tempat
yang sama. Sehingga rendemennya tidak sama untuk masing-masing
perlakuan. Suhu suatu tempat berbeda dengan tempat yang lain. Suhu yang
tinggi pada suatu tempat dapat mempercepat proses pengeringan dan hasil
yang diperoleh juga semakin baik. Tetapi jika suhu pengeringan terlalu tinggi
akan menyebabkan case hardening. Case-hardening adalah gejala penciutan
bahan pangan disertai pemampatan permukaan bahan yang menghambat
pergerakan air dari dalam ke permukaan bajan sehingga pengeringan tidak
seimbang (Tjahjadi, C., 2011).
Pengeringan dengan penjemuran ini sangat tergantung dengan kondisi
lingkungan

seperti

suhu,

kelembaban,

dan

kecepatan

aliran

udara.

Penjemuran juga rentan kontaminasi seperti debu atau kotoran-kotoran yang


tidak terlihat. Selain itu penjemuran juga rentan serangan hama seperti
burung. Contohnya pada saat menjemur cabe perlakuan blansing 3 menit,
terdapat satu buah cabe yang dimakan burung. Hal ini menunjukkan bahwa
pengeringan dengan sinar matahari kurang efektif.
Pengeringan cabe dengan menggunakan sinar matahari juga menyebabkan
rusaknya pigmen cabe. Yang semula berwarna oranye menjadi merah hitam.
Hal ini disebabkan pigmen sangat mudah mengalami kerusakan akibat
oksidasi.

Pengeringan pangan di bawah sinar matahari juga menyebabkan sel


mikroorganisme rusak. Karena mikroorganisme memerlukan air untuk dapat
tumbuh dan berkembang biak. Air yang terdapat dalam sel mikroorganisme
dikeluarkan
pergerakan

melalui
air

proses

melalui

osmosis.
membran

Osmosis

adalah

semi-permeabel,

berkonsentrasi tinggi ke larutan yang berkonsentrasi

suatu

proses

dari

larutan

rendah. Saat air

dihilangkan dari bahan pangan melalui pengeringan, maka konsentrasi zat


terlarut dalam bahan pangan menjadi lebih pekat. Dengan demikian air yang
terdapat dalam sel mikroorganisme (larutan berkonsentrasi rendah) berdifusi
kelarutan

berkonsentrasi

lebih

tinggi

disekitarnya

dan

akibatnya

sel

mikroorganisme itu rsak. Enzim yang berasal dari bahan pangan dan
mikroorganisme kontaminan juga tidak dapat aktif karena tidak tersedia
cukup air untuk melanjutkan substrat untuk reaksi-reaksi kimia dan biokimia
(Tjahjadi, C., dkk., 2011).
Berdasarkan hasil pengamatan pengeringan jahe, didapatkan hasil bahwa
setelah dilakukan pengeringan selam 2 jam dalam oven, jahe mengalami
penurunan berat karena air yang terkandung dalam jahe mengalami
penguapan. Jahe yang sebelumnya tidak diberi perlakuan mengalami
penurunan berat sebesar 5,93 gram. Jahe yang sebelumnya dikupas
mengalami penurunan berat sebesar 4,76 gram. Dan jahe yang ditusuktusuk dengan garpu mengalami penurunan berat sebesar 4,55 gram.
Dapat disimpulkan bahwa kecepatan pengeringan jahe dipengaruhi oleh luas
permukaan bahan. Jahe yang dikupas lebih cepat mengalami proses
pengeringan dibandingkan jahe yang tidak dikupas karena air pada jahe
yang dikupas akan lebih mudah menguap.
VI.

KESIMPULAN

Kesimpulan dari praktikum pengeringan kali ini adalah sebagai berikut:

Pengeringan adalah salah satu cara pengawetan bahan pangan melalui


penguapan sebagian air sampai kadar air mencapai kadar air tertentu
dimana mikroorganisme tidak dapat tumbuh.

Pengeringan bahan hasil pertanian dapat dilakukan secara alamiah


dengan jalan menjemur dan dengan jalan dehidrasi yang menggunakan
berbagai alat pengering.

Bila kadar air dalam bahan hasil pertanian cukup rendah maka
mikroorganisme tidak dapat tumbuh padanya dan reaksi-reaksi kimia juga
tidak dapat berlangsung di dalamnya.

Setiap metode pengeringan memiliki keuntungan dan kerugian.

Pengeringan dengan penjemuran sangat tergantung dengan kondisi


lingkungan seperti suhu atau cuaca, kelembaban, dan kecepatan aliran
udara.

Jahe yang dikupas

lebih

cepat

mengalami proses

pengeringan

dibandingkan jahe yang tidak dikupas karena air pada jahe yang dikupas
akan lebih mudah menguap.
DAFTAR PUSTAKA
Buckle, K. A., dkk. 1985. Ilmu Pangan. Penerjemah : Hari Purnomo dan
Afiono. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta.
Desrosier, N. W. 1969. Teknologi Pengawetan Pangan. Penerjemah: Muchji
Mulijohardjo. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta.
Tjahjadi, C. dan Marta, H. 2011. Pengantar Teknologi Pangan. Universitas
Padjadjaran, Jatinangor.
Tjahjadi, C., dkk. 2011. Bahan Pangan dan Dasar-dasar Pengolahan.
Universitas Padjadjaran, Jatinangor.

Anda mungkin juga menyukai