Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNOLOGI PANGAN HASIL TANAMAN PANGAN DAN


HORTIKULTURA

Disusun Oleh:

INAS AULIA FADHNA (D.111.19.0042)

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS SEMARANG

2021
ACARA 1

“ MENENTUKAN KEMATANGAN PRODUK DAN INDEKS


PANEN”

A. Tujuan
1. Mampu menjelaskan pengertian kematangan pada komoditi hortikultura
2. Mampu menjelaskan indikator tingkat kematangan dan sekaligus indek panenan
komoditi hortikultura
3. Mampu menjelaskan hubungan kematangan dengan kualitas dan kemudian mampu
menyebutkan beberapa komponen kualitas komoditi hortikultura panenan dan
4. Mampu menyebutkan beberapa metode penetapan indek kematangan dan indek
pemanenan untuk beberapa komoditi hortikutura
B. Dasar Teori
A. Pengertian Kematangan
Kebanyakan masyarakat mengartikan matang (mature) dan masak (ripe) dengan
konsep yang sama pada komoditi hortikultura, terlebih-lebih terhadap komoditi buah.
Dalam fisiologi paska panen, matang dan masak adalah istilah yang berbeda untuk
stadia yang berbeda pada masing-masing tingkat perkembangan. Matang
didefinisikan sebagai komoditi yang memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang
lengkap. Khususnya pada buah, oleh US Grade mendefinisikan matang sebagai suatu
tahapan atau stadia yang akan menjamin penyelesaian proses pemasakan. Kebanyakan
ahli teknologi paska panen mendefinisikan matang sebagai suatu stadia pada saat
komoditi mencapai stadia perkembangan cukup setelah panen dan pada saat
penanganan paska panen keadaan kualitasnya masih dapat diterima oleh konsumen.

Faktor-faktor yang menentukan tingkat kematangan suatu komoditi panenan


ditetapkan dan sekaligus dapat mempengaruhi serta menentukan tingkat kualitasnya
adalah :
1. Peraturan
Peraturan ditetapkan bersama oleh sekelompok tani (pihak produsen) ataupun atas
permintaan pasar (pihak konsumen) ataupun ditetapkan oleh instansi yang berwenang.
Indek kematangan yang diperoleh pada cara ini sering kali bersifat Sebagai subyektif
contoh karena nanas luasnya yang mendefinisikan arti untuk kematangan.
Pemakaiaannya pengalengan buah, tingkat kematangan indek 2 hingga 3 merupakan
kondisi yang optimum agar tercapai kualitas buah kalengan yang baik. Pada apel,
penetapan tingkat kematangan menggunakan perhitungan hari sejak pembentukan
pentil buah.
2. Strategi pemasaran
Pasar pada umumnya ditentukan oleh hukum penawaran dan permintaan yang
melibatkan dilakukannya kegiatan pengiriman, apakah lebih awal atau
dikemudiankan. Hal ini pula secara langsung mempengaruhi para produsen untuk
melakukan pemanenan pada tingkat atau indek kematangan yang berbeda, lebih awal
dipanen atau dipanen kemudian. Pada umumnya untuk pemasaran pasar local yang
relatif dekat dengan sumber produksi, komoditi dipanen bila telah mencapai stadia
masak awal. Komoditi pada kondisi ini biasanya telah menunjukkan adanya
perubahan warna yang cukup mencolok. Namun bilamana pasar berlokasi cukup jauh
sehingga membutuhkan transportasi, maka komoditi harus dipanen lebih awal agar
supaya setelah sampai ditujuan komoditi bersangkutan telah masak dan masih dapat
diterima oleh konsumen. Untuk keperluan pengolahan lebih lanjut, kondisi komoditi
masih boleh telah mencapai masak optimal.
3. Sistim pemanenan
Sistim panen menentukan tingkat atau indek kematangan suatu komoditi yang tepat.
Kapan suatu komoditi dipanen dengan menggunakan sistim panenan tertentu sangat
menentukan indek kematangan yang tepat. Hal ini berkaitan erat dengan
terhindarkannya kemungkinan luka fisik pada komoditi panenan akibat diterapkannya
suatu teknik panenan tertentu yang terpilih.

B. Indikator Tingkat Kematangan

Penelitian untuk menentukan tingkat kematangan komoditi hortikultura telah banyak


dilakukan dan telah menghasilkan teknik-teknik penentuan kematangan bagi masing-
masing jenis komoditi. Meskipun demikian,penentuan tentang indek kematangan
yang memuaskan masih sedikit, dan penelitian-penelitian tersebut masih terus
dilakukan untuk mencapai suatu teknik penentuan tingkat kematangan yang benar-
benar dapat
direkomendasikan. Pengertian kematangan sebagai suatu stadia dari perkembangan
komoditi paling tidak memberikan gambaran nilai kualitas yang masih dapat diterima
oleh konsumen, dan memberikan pengertian suatu ukuran nilai kualitas dari komoditi
tersebut. Ukuran tersebut sebagai alat evaluasi ataupun penentu kematangan komoditi
bersangkutan.

B. Hubungan Kematangan dengan Komponen Kualitas

Kualitas diartikan sebagai beberapa hal yang membuat sesuatu bernilai atau unggul.
Kata kualitas digunakan dalam banyak hal dalam kaitannya dengan buah dan sayuran
maupun bunga potong seperti halnya kualitas pasar, kualitas nutrisi, kualitas
pengiriman, kualitas internal, dan kualitas penampilan. Kualitas komoditi hortikultura
segar merupakan kombinasi dari ciri-ciri, sifat dan nilai harga yang mencerminkan
nilai komoditi tersebut, baik untuk bahan makanan (buah dan sayuran) maupun
sebagai bahan kesenangan atau hiburan (tanaman hias dan bunga potong). Petani
produsen harus memperhatikan komoditinya, tetapi bagi mereka kultivar atau varietas
yang bernilai haruslah berdaya hasil tinggi, tahan penyakit, mudah dipanen dan tahan
lama selama pengiriman. Namun, bagi pedagang pengumpul atau distributor pasar,
kualitas penampilan merupakan hal yang terpenting. Mereka juga tertarik pada tingkat
kekerasan dan daya simpan yang panjang. Para konsumen memperhatikan nilai
kualitas suatu buah dan sayuran berdasarkan pada penampilan dan tingkat kekerasan
yang baik, nilai rasa dan gizi. Meskipun para konsumen membeli suatu buah atau
sayuran atas dasar penampilan dan rasa, kepuasan yang menimbulkan keinginan
untuk membeli lagi tergantung pada kualitas yang baik pada bagian yang dapat
dimakan (Edible Quality).

C. Alat dan Bahan


Bahan yang digunakan dalam praktikum ini meliputi buah jambu biji pada 5 tingkat
kematangan. Sedangkan peralatan meliputi colorimeter, texture analyzer atau
penetrometer, refraktometer dan digital pH meter.

D. Cara Kerja
1. Mengambil buah dengan 5 tingkat kematangan yang berbeda sebanyak masing” dua
buah
2. Mengamati secara subyektif (organoleptik) terhadap warna, tekstur dan aroma
3. Mengamati secara juga secara obyektif

E. Hasil Pengamatan
1. Pengamatan secara subjektif
Karakteristik mutu yang diamati secara subjektif meliputi : warna, kekerasan, dan
aroma. Tingkat perubahan karakteristik kekerasan dan aroma tersebut dapat di
rangking dengan skala atau skor 1-5 untuk memudahkan analisis data secara statistik.
Dan untuk warna dijelaskan secara deskripsi sesuai dengan teori diatas. Disamping
dengan rangking, pengamatan juga dilakukan secara deskriptif terhadap perubahan-
perubahan tersebut.
Skor Kekerasan Aroma Warna
1 Sangat keras Sangat tidak beraroma Hijau
2 Keras Tidak beraroma Hijau agak kuning
3 Cukup Cukup beraroma Hijau kekuningan
4 Lunak Beraroma Kuning
5 Sangat lunak Sangat beraroma Kuning kemerahan

2. Pengamatan secara objektif


Pengamata secara objektif dilakukan terhadap warna dengan menggunakan
colorimeter, kekerasan dengan menggunakan texture analyzer atau penetrometer, total
padatan terlarut dengan menggunakan refraktometer, serta keasaman dengan
menggunakan digital pH meter.

Data hasil pengamatan:


Parameter Pengamatan : kekerasan
Unit Variale Pengamatan : skor (1-5)
Jenis Komoditi : Jambu Biji
Cara Pengamatan : Subjektif

Tingkat kematangan Ulangan 1 Ulangan 2 Total Rerata


K1 1 1 2 1
K2 2 2 4 2
K3 3 3 6 3
K4 4 4 8 4
K5 5 5 10 5
Total 15 15 30 15
Rata – rata 3 3 6 3
Ket : K1= Kematangan 1 (muda), K2= Kematangan 2 (agak matang), K3=
Kematangan 3(matang), K4=Kematangan 4 (sangat matang), K5=Kematangan 5 (tua)

Parameter Pengamatan : Warna


Unit Variable Pengamatan : skor (1-5)
Jenis Komoditi : Jambu Biji
Cara Pengamatan : Subjektif
Tingkat kematangan Ulangan 1 Ulangan 2 Total Rerata
K1 1 1 2 1
K2 3 3 6 3
K3 4 4 8 4
K4 2 2 4 2
K5 5 5 10 5
Total 15 15 30 15
Rata-rata 3 3 6 3

Parameter Pengamatan : Aroma


Unit Variable Pengamatan : Diskripsi
Jenis Komoditi : Jambu Biji
Cara Pengamatan : Subjektif
Tingkat kematangan Ulangan 1 Ulangan 2 Total Rerata
K1 1 1 2 1
K2 4 4 8 4
K3 3 3 6 3
K4 2 2 4 2
K5 5 5 10 5
Total 15 15 30 15
Rata-rata 3 3 10 3

Parameter Pengamatan : TPT (Index Brix)


Unit Variable Pengamatan : oBrix untuk TPT
Jenis Komoditi : Jambu Biji
Cara Pengamatan : Objektif
Tingkat kematangan Ulangan 1 Ulangan 2 Total Rerata
K1 11 % 10% 21% 10,5%
K2 10% 9% 19% 9,5%
K3 9,8% 10% 19,8% 9,9%
K4 4% 4,1% 1,1% 4,05%
K5 9,8% 9% 18,8% 9,4%
Total 44,6% 42,1% 86,7% 43,35%
Rata – rata 8,92% 8,42% 17,34% 8,67%

Parameter Pengamatan : Ph ( kertas lakmus)


Unit Variable Pengamatan : tanpa unit untuk pH
Jenis Komoditi : Jambu Biji
Cara Pengamatan : Objektif
Tingkat kekerasan Ulangan 1 Ulangan 2 Total Rerata
K1 4 3 7 3,5
K2 4 4 8 4
K3 4 4 8 4
K4 4 4 8 4
K5 4 4 8 4
Total 20 19 29 19,5
Rata – rata 4 3,8 5,8 3,9

Parameter Pengamatan : TPA (Texture analyzer)


Unit Variable Pengamatan : gf (gram force)
Jenis Komoditi : Jambu Biji
Cara Pengamatan : Objektif
Tingkat kematangan Ulangan 1 Ulangan 2 Total Rerata
K1 754,5 gf 751,5 gf 150,6 gf 753 gf
K2 49 gf 68 gf 117 gf 58,5 gf
K3 65,75 gf 62,75 gf 128,5 gf 64,25 gf
K4 83,5 gf 79,5 gf 163 gf 81,5 gf
K5 24,5 gf 34,25 gf 58,75 gf 29,375 gf
Total 977,25 gf 996 gf 1973,25 gf 986,625 gf
Rata – rata 957,65 gf 199,2 gf 394,65 gf 197,325 gf

F. Pembahasan
Berdasarkan tabel pengamatan, variabel yang diamati meliputi tingkat kekerasan buah,
tingkat warna buah,tingkat aroma buah, tingkat TPT buah,tingkat keasaman buah dan
tingkat tekstur buah. Buah yang diamati yaitu jambu biji. Metode pengamatan untuk
praktikum menggunakan secara subjektif yang meliputi warna, kekerasan dan
aroma,sedangkan untuk pengamatan keasaman, tekstur padatan terlarut menggunkan
pengamatan secara obyektif. Pengamatan warna buah bisa dilakukan dengan cara visual
atau menggunkan alat yaitu colorimeter, pengamatan kekerasan menggunkan alat yaitu
texture anakyzer atau penetrometer, pengamatan padatan terlarut menggunakan
refraktometer serta keasaman menggunakan digital pH meter. Jambu biji termasuk
komoditi yang mudah rusak sehingga tanpa penanganan yang baik hanya dapat disimpan
beberapa hari saja,apabila disimpan dalam suhu kamar.kerusakan yang terjadi pada buah-
buahan diakibatkan terus berlangsung sehingga akan terjadi perubahan-perubahan yang
mengakibatkan penurunan mutu bahan pangan tersebut. Disamping banyak kerusakan
terjadi disebabkan oleh perlakuan mekanis, fisis dan biologis.
Kondisi buah jambu biji ditentukan oleh beberapa parameter , diantaranya adalah
parameter tingkat kematangan yang dilihat dari sisi warna dari buah jambu biji tersebut .
umumnya klasifikasi kematangan buah jambu biji dilakukan dengan cara manual yaitu
rabaan indera manusia dan juga indera pneglihatan manusia (visual). Proses identifikasi
buah-buahan yang dilakukan secara tradisional mengalami banyak kendala, hal ini
disebabkan karena sifat manusia itu sendiri yang mempunyai kelemahan yang akhirnya
menyebabkan kurangnya kualitas dalam penyortiran antara buah matang dan tidak
matang. Pada penentuan tingkat pematangan buah jambu biji merah dapat diklasifikan
sebagai berikut yakni berwarna hijau dengan kriteria keras dan belum matang. Pada
kondisi jambu matang, buah akan berwarna hijau kekuningan dan pada saat buah
berwarna kuning muda buah berkriteria matang penuh sedangkan jika buah telah
berwarna kuning kemerahan maka buah telah lewat matang dan daging buah telah lunak.

G. Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum dan pembahasanyang telah dilakukan maka dapat
disimpulkan bahwa :
1. Tingkat kematangan buah dapat dipengaruhi oleh warna dan kekerasan buah. Tingkat
kekerasan buah yang tinggi mengindikasikan bahwa buah tersebut memiliki
kematangan yang masih rendah. Namun indikator tersebut tidak berlaku pada semua
buah. Pengamatan kematangan berdasarkan warna cukup mudah dilakukan sebab
hanya dilakukan secara visual.
2. Pengamatan tingkat kematangan berdasarkan kadar gula dilakukan dengan mengukur
padatan total terlarut buah.

H. Daftar Pustaka

Mulato, F. Y., 2015, Klasifikasi Kematangan Buah Jambu Biji Merah (Psidium
Guajava) dengan Menggunakan Model Fuzzy. Universitas Negeri Yogyakarta.
Yogyakarta.

Wahyuni, N. T., B. Widya, A. Lestari, 2009. Uji Fisik Buah Jambu Biji Merah Pada Suhu
Kamar yang Diradiasi dengan Sinar Gamma. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
I. Lampiran
ACARA 2

“PENEPUNGAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA”

A. Tujuan
1. Meningkatkan pemahaman kegunaan kerusakan dari bawang putih, pisang, dan cabai
bagi ketahuan pangan
2. Mampu melaksanakan prosedur pengolahan bawang putih, pisang, dan cabai
3. Mampu melakukan analisis gizi dan kerusakan dari olahan bawang putih, pisang, dan
cabai
4. Mampu membuat laporan tertulis secara kritis

B. Dasar Teori
Bawang putih merupakan bumbu dapur yang paling sering digunakan oleh para ibu ketika
memasak. Tidak hanya bermanfaat sebagai penyedap rasa, bawang putih juga memiliki
khasiat untuk kesehatan jika Anda bisa mengolahnya dengan benar. Penelitian terbaru di
Jepang membandingkan khasiat bawang putih segar dengan bawang putih yang sudah
diolah dengan air, alkohol, dan minyak sayur. Zat yang terkandung dalam bawang putih,
yaitu Allicin, diukur dalam berbagai pengolahan bawang putih tersebut.
Allicin adalah unsur aktif dalam bawang putih dan juga yang menimbulkan bau khasnya.
Allicin inilah yang dipercaya memiliki kandungan antibakterial. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa allicin bertugas membantu melawan infeksi dan dapat membantu
mencegah bakteri yang berhubungan dengan keracunan makanan. Penelitian lain
menunjukkan bahwa kandungan bawang putih tersebut dapat membantu melawan
penggumpalan darah dan beberapa jenis kanker.

Namun sayangnya, allicin sangat rapuh dan mudah hilang. Dari penelitian ini,
menunjukkan bahwa tingkat keaktifan allicin sangat tergantung pada pengolahan atau
penyimpanan tertentu. Penelitian menunjukkan bahwa bawang putih segar atau yang
disimpan dalam air pada suhu ruangan lebih baik daripada bawang putih yang diolah
dengan minyak sayur. Jika bawang putih disimpan dalam air, tingkat keaktifan allicin
berkurang hanya sekitar setengahnya setelah kira-kira enam hari, tapi penyimpanan
dengan minyak sayur dapat mengurangi tingkat keaktifan allicin sebanyak setengahnya
hanya dalam jangka waktu beberapa jam saja. Oleh sebab itu, sebaiknya kita lebih
memerhatikan cara penyimpanan dan pengolahan bawang putih agar khasiatnya tetap
terjaga. Bawang putih memang seringkali hadir dalam masakan di rumah. Namun jika
pengolahannya tidak benar, maka ia hanya berfungsi sebagai penyedap rasa dan tidak lagi
sebagai penunjang kesehatan keluarga Anda.

C. Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini meliputi bawang putih/merah dan bahan
pembatu lain untik mengolahan bawang putih/merah(sesuai resep yang ada) Sedangkan
peralatan meliputi peralatan untuk membuat olahan bawang putih/merah.

D. Cara Kerja
1. Pembuatan tepung bawang putih/merah diawali dengan :
a. pengupasan, pencucian, pengirisan, pemblansingan, pengeringan, penghalusan
dan pengayakan dan pengemasan.
b. pengupasan, pencucian, pengeprakan, pengirisan, pemblansingan, pengeringan,
penghalusan dan pengayakan dan pengemasan.
a) Pengupasan adalah proses memisahkan bahan dari luarnya. Biasanya bagian luar
bahan memiliki karakteristik yang berbeda dengan isi bahan. Pengupasan
sebaiknya dilakukan denga menggunakan alat yang terbuat dari stainless steel
untuk menghindari terbawanya ion-ion logam (besi atau tembaga) yang dapat
mempercepat timbulnya reaksi pencoklatan sehingga warnanya menjadi coklat.
b) Pencucian dengan air bersih yang mengalir dimaksudkan untuk menghilangkan
kotoran- kotoran yang masih melekat maupun tercampur pada bahan. Setelah
pekerjaan pengupasan kulit selesai, dilakukan pemotongan bahan. Umumnya
bahan pangan yang akan dikeringkan dipotong-potong atau diiris-iris untuk
mempercepat pengeringan.
c) Proses blansing adalah perlakuan dengan pemberian air panas dengan cara
mencelupkan bahan. Tujuan blansing adalah untuk memudahkan pengisian karena
bahan menjadi lunak dari sebelumnya, mengeluarkan gas dan udara dari dalam
jaringan bahan (buah dan sayuran), membersihkan bahan dan mengurangi jumlah
bakteri, mempertahankan warna dengan menghambat aktivitas enzim yang dapat
menyebabkan perubahan warna. Pemanasan dapat mengakibatkan terjadinya
perombakan karbohidrat kompleks yang terdapat pada buah seperti : pati dan
pektin menjadi gula-gula sederhana dan dapat larut dalam air . Blansing dapat
dilakukan pada suhu 81 – 100 ºC selama 1,5 – 3 menit tergantung dari jenis bahan
dan jumlah bahan yang diblansing.
d) Pengeringan adalah proses mengurangi kadar air suatu bahan pangan dengan
mengeluarkan sebagian kadar air bahan pangan tersebut dengan metode
penguapan dengan energi panas sehingga mikroorganisme yang terdapat pada
bahan pangan tersebut tidak dapat tumbuh lagi. Keuntungan pengeringan adalah
bahan pangan akan lebih awet, volume serta beratnya akan berkurang sehingga
akan menurunkan biaya untuk transportasi bahan pangan tersebut. Setelah
pengeringan dilakukan dengan menggunakan alat pengering, kemudian dilakukan
penggilingan dengan alat dan dilanjutkan dengan pengayakan. Untuk tujuan
penghalusan suatu bahan atau hasil pertanian digunakan alat penggiling. Dalam
hal ini, metode dasar seperti memukul, menggesek, menumbuk dan sebagainya
digunakan secara bersama-sama atau sendiri tergantung pada ukuran yang ingin
dicapai. Batas ukuran yang digunakan dapat dicapai dengan melibatkan
perlengkapan pengayak atau penyortir dalam sistem penggiling. Pengayakan
dimaksudkan untuk menghasilkan campuran butiran dengan ukuran tertentu agar
diperoleh penampilan atau bentuk komersil yang diinginkan. Untuk mendapatkan
hasil yang mutunya bagus, sering digunakan alat penggiling tepung yang
dilengkapi dengan ayakan. Ayakan yang dipakai ukuran lubang 80-100 mesh.

E. Hasil Pengamatan
Data hasil pengamatan:
Bahan Berat awal Berat akhir Rendemen
Bawang putih 430,2 g 148,8 g 34,5 g
Tepung pisang 877 g 247,4 g 28,2 g
Cabai 261,8 g 61,9 g 23,6 g

Perhitungan rendemen
148,8
 Rendemen bawang putih = × 100% = 0,345 × 100% = 34,5%
430,2
247,4
 Rendemen tepung pisang = × 100% = 0,282 × 100% = 28,2%
430,2
61,9
 Rendemen Cabai = 261,8 × 100% = 0,236 × 100% = 23,6%
219,7
 Rendemen Cookies = × 100% = 0,959 × 100% = 95,9%
228,9

F. Pembahasan

Pada tabel hasil pengamatan dapat diketahui bahwa berat awal bawang putih 430,2 g ,
berat akhirnya 148,8 g, dan rendemen 34,5%. Pada pisang berat awal 877 g, berat
akhirnya 247,4 g, dan rendemen 28,2%. Pada cabai berat awal 216,8 g, berat akhirnya
61,9 g, dan rendemen 23,6 %. Pada cookies berat awal 228,9 g, berat akhirnya 219 g, dan
rendemen 95,9 g.
Berat pada masing-masing bahan berkurang disebabkan oleh berkurangnya kadar air pada
masing-masing pahan pada saat peneringan atau pengovenan terjadi. Tujuan dari
pengeringan tersebut yaitu untuk memperpanjang kehidupan rak-produk bio-asal dengan
mengurangi air ke tingkat yang cukup rendah sehinga menghambat pertumbuhan
mikroorganisme, reaksi enzimatik, dan reaksi lainnya yang memperburuk produk
pertanian.
Nilai rendemen yang ideal adalah 100%, sebuah nilai yang tidak mungkin dicapai pada
prakteknya, karena tidak mungkin suatu produk dapat dihilangkan kandungan airnya
sebanyak 100%.

G. Kesimpulan
Dari hasil praktikum diatas dapat disimpukan bahwa berat akhir akan lebih sedikit
daripada berat awalnya, karena sudah berkurangnya kandungan air akibat proses
pengeringan dengan cara dioven.

H. Daftar Pustaka
Wibowo, S., 2001, Budidaya Bawang, Bawang Putih, Bawang Merah,
Bawang Bombay,Penebar Swadaya, Jakarta.
Adiyoga W, Suherman R, Soetiarso T A, Jaya B, Udiarto B K, Rostiani R, Mussadad D.
2004. Profil Komoditas Bawang Putih (Bagian Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian
Partisipatif). Jakarta (ID): Banglibangtan Kementerian Pertanian.
I. Lampiran
ACARA 3
“Pengolahan Hasil Tanaman Pangan dan Hortikultura”

Bab 3.1 Pengolahan Hasil Tanaman Pangan dan Hortikultura Pembuatan Cookies

A. Tujuan
1. Meningkatkan pemahaman kegunaan dari pisang bagi ketahanan pangan
2. Mampu melaksanakan prosedur pengolahan buah pisang dan limbahnya
3. Mampu melakukan analisi nilai gizi dari olahan pisang
4. Mampu membuat laporan tertulis secara kritis

B. Dasar Teori
Cookies merupakan sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan
penambahan bahan lainnya, serta adanya proses pencetakan dan pemanasan. Sebagian
besar cookies yang terdapat di pasaran menggunakan bahan baku tepung terigu.
Tepung yang digunakan pada pembuatan cookies merupakan tepung yang memiliki
kandungan protein yang rendah.
Pembuatan cookies banyak yang menggunakan bahan utama berupa tepung terigu,
namun akhir-akhir ini banyak banyak juga pembuatan cookies dengan tepung non-
terigu untuk jenis cookies bebas gluten. Terdapat empat faktor yang mempengaruhi
kualitas suatu produk pangan, termasuk juga biskuit yaitu penampakan, flavor, tekstur
dan nutrisinya. Karakteristik fisik dan kimia biskuit mempengaruhi kualitas produk
jadi akhirnya. Kualitas fisik biskuit mencakup kekerasan (hardness) dan fraktur
(fracturability) termasuk dalam kajian reologi. Sedangkan karakteristik kimia seperti
proksimat banyak dipengaruhi oleh komposisi biskuit dimana masing-masing bahan
mempengaruhi fungsi dari masing-masing kandungan proksimat yang berkaitan
dengan faktor-faktor karakteristik lainnya.

C. Alat dan Bahan


a. Alat
a) Loyang, berfungsi untuk menampung adonan makanan seperti kukis atau
biskuit untuk kemudian dipanggang.
b) Mixer, berfungsi untuk mengaduk dan mencampurkan adonan.
c) Timbangan digital, digunakan sebagai pengukuran untuk mengukur berat
adonan dan cookies.
d) Mangkuk, digunakan sebagi wadah bahan-bahan untuk cookies.
e) Spatula, digunakan sebagai pengaduk adonan.
f) Oven, digunakan Untuk memanggang adonan cookies.
b. Bahan
a) Margarin 50g
b) Gula Halus 80g
c) 1 Kuning Telur
d) Tepung Terigu 50g
e) Bawang Putih 5g
f) Susu Bubuk 27g

D. Cara Kerja
1. Memasukkan margarin dan gula halus,lalu mixer sampai rata
2. Memasukkan kuning telur, kemudian mixer sampai rata
3. Memasukkan susu bubuk, tepung terigu dan bawang putih sambil diayak
4. Mixer adonan sampai rata,atau dapat dioleni sampai kalis
5. Membagi adonan sama rata, kemudian meletakkan adonan diatas loyang yang
sebelumnya sudah diolesi dengan margarin
6. Mengoven adonan pada suhu 180 oC selama 10 menit,setiap 5 menit dicek apakah
sudah matang atau belum

E. Hasil Pengamatan
Uji organoleptik
No. Parameter Cookies
1 Warna Coklat Kekuningan
2 Rasa Manis
3 Tekstur Renyah
4 Aroma Bawang Putih

Perhitungan Rendemen
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟
Hitungan Rendemen = × 100%
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟
Rendemen cookies = × 100%
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙
219,7
= × 100%
228,9

= 95,9 %

F. Pembahasan
Uji organoleptik atau disebut juga uji sensori merupakan cara untuk pengujian
dengan menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk pengukuran daya
penerimaan terhadap produk. Pengujian organoleptik mempunyai peranan penting
dalam penerapan mutu.
Untuk praktikum penepungan holtikurtura telah dilaksanakan pembuatan cookies
dengan menambahkan hasil tanaman pangan dan hortikultura yaitu bawang putih.
Bawang putih yang digunakan sebagai campuran merupakan bawang putih bubuk
yang sudah dikeringkan dan dihaluskan terlebih dahulu.
Dari uji organoleptik cookies yang telah dilakukan, menghasilkan empat parameter
yaitu : warna, rasa, tekstur, dan aroma. Untuk parameter warna, warna hasil dari
pemanggangan cookies berwarna kuning kecoklatan. Warna tersebut berkaitan
dengan campuran adonan yaitu margarin dan telur serta dipengaruhi oleh proses
pemanggangan. Untuk parameter rasa, rasa dari cookies perpaduan antara bawang
putih memiliki rasa manis lebih dominan serta terdapat campuran rasa dari bawang
putih. Untuk parameter tekstur, tekstur dari cookies tersebut lebih dominan renyah,
hal tersebut dikarenakan adanya proses pemanggangan dan memang cookies termasuk
kedalam golongan biskut yang bertekstur renyah . untuk parameter aroma dari cookies
lebih cenderung beraroma bawang putih dibandingkan aroma margarin, hal tersebut
dapat terjadi dikarenakan bawang putih memiliki aroma yang menyengat.
Untuk berat adonan cookies keseluruhan yaitu 228,9 g sedangkan, untuk berat akhir
cookies setelah dipanggang yaitu 219,7 g dan untuk hasil hitung rendemen total
adalah 95,9 % . berkurangnya berat adonan setelah melewati proses pemanggangan
dikarenakan berkurangnya kadar air pada saat proses pemanggangan . hal tersebut
dapat menyebabkan penyusutan berat adonan.
G. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, dapat ditarik kesimpulan antara lain:
1. Cookies merupakan produk pangan yang banyak digemari oleh masyarakat, tetati
belum tentu masyarakat dapat menerima cookies dengan bahan tambahan bawang
putih.
2. Penambahan bawang putih bubuk pada pembuatan cookies dapat mempengaruhi
kualitas cookies dari segi fisik ataupun kimia.

H. Daftar Pustaka

Sayangbati, F., Nurali, E. J., Mandey, L. M. L., & Lelengboto, M. B. 2013.


Karakteristik fisikokimia biskuit berbahan baku tepung pisang goroho (Musa
acuminate, SP). In Cocos (Vol. 2, No. 1).

Yuwono, Sudarminto S. dan Elok Waziiroh. Teknologi Pengolahan Hasil Perkebunan.


Malang : UB PRESS.

I. Lampiran
Bab 3.2 Pengolahan Hasil Tanaman Pangan dan Hortikultura Pembuatan Dodol

A. Tujuan
1. Meningkatkan pemahaman kegunaan dari pisang bagi ketahanan pangan
2. Mampu melaksanakan prosedur pengolahan buah pisang dan limbahnya
3. Mampu melakukan analisi nilai gizi dari olahan pisang
4. Mampu membuat laporan tertulis secara kritis

B. Dasar Teori
Pisang adalah tanaman buah berupa herba yanag berasal dari kawasan Asia
Tengggara (termasuk indonesia). Tanaman ini kemudian menyebar ke Afrika
(Madagaskar), Amerika Selatan dan Tengah. Di Jawa Barat, pisang disebut
dengan Cau, di Jawa Tengah disebut gedang . Pisang adalah buah yang sangat
bergizi yang merupakan sumber vitamin, mineral dan juga karbohidrat. Pisang
dijadikan buah meja, sale pisang, pure pisang dan tepung pisang. Dan tepung
pisang dapat dibuat beraneka kue: cookies, brownies, serabi,dodol maupun
martabak bandung. Dodol adalah sejenis makanan yang dikategorikan dalam
jenis makanan manis. Untuk membuat dodol yang bermutu tinggi cukup sulit
karena proses pembuatannya yang lama dan membutuhkan keahlian. Bahan-bahan
yang diperlukan untuk membuat dodol terdiri dari santan kelapa, tepung
beras,gula pasir, gula merah dan garam.
Dalam tahap pembuatannya, bahan-bahan dicampur bersama dalam kuali yang
besar dan dimasak dengan api sedang. Dodol yang dimasak tidak boleh dibiarkan
tanpa pengawasan, karena jika dibiarkan begitu saja, maka dodol tersebut akan
hangus pada bagian bawahnya dan akan membentuk kerak. Oleh sebab itu, dalam
proses pembuatannya campuran dodol harus diaduk terus menerus untuk
mendapatkan hasil yang baik. Waktu pemasakan dodol kurang lebih
membutuhkan waktu 4 jam dan jika kurang dari itu, dodol yang dimasak akan
kurang enak untuk dimakan. Setelah 2 jam, pada umumnya campuran dodol
tersebut akan berubah warnanya menjadi cokelat pekat. Pada saat itu juga
campuran dodol tersebut akan mendidih dan mengeluarkan gelembung-
gelembung udara.
Untuk selanjutnya, dodol harus diaduk agar gelembung-gelembung udara yang
terbentuk tidak meluap keluar dari kuali sampai saat dodol tersebut matang dan
siap untuk diangkat. Yang terakhir, dodol tersebut harus didinginkan dalam periuk
yang besar. Untuk mendapatkan hasil yang baik dan rasa yang sedap, dodol harus
berwarna coklat tua, berkilat dan pekat. Setelah itu, dodol tersebut bisa dipotong
dan dimakan. Biasanya dodol dihidangkan kepada para tamu di hari-hari tertentu
seperti hari-hari perayaan besar.

C. Alat dan Bahan


Alat :
a) kompor tujuannya untuk memasak adonan dodol
b) wajan tujuannya untuk wadah adonan saat dimasak diatas kompor
c) spatula bertujuan untuk mengaduk adonan dodol
d) sendok bertujuan untuk mengambil bahan
e) timbangan digital bertujuan untuk menimbang dodol setelah matang
f) baskom bertujuan sebagai wadah dodol ketika sudah matang dan sebagai
wadah adonan
g) kertas roti bertujuan sebagai alas dodol sehingga dodol tidak lengket
Bahan :
a) Tepung pisang 200gram
b) Tepung ketan 50gram,diencerkan dengan sedikit air
c) Gula jawa 200 gram,kukur halus
d) Gula pasir putih 100gram
e) Santan kelapa kental 200ml
f) Margarin 1 sdm

D. Cara Kerja

1. Memanaskan santan
2. Masukan gula pasir dan gula merah
3. Memasak sampai menjadi karamel lalu masukan tepung pisang sedikit demi
seditik agar tidak menggumpal
4. Kemudian masukan tepung ketan yg sudah dilarutkan air 100ml perbandingan
tepung ketan dan air 1:2
5. Mengaduk sampai mengental
6. Menambahkan margarin 1_sdm
7. Mengaduk hingga kalis
8. Jika sudah pindahkan adonan ke loyang kemudian timbang dan amati

E. Hasil Pengamatan
Berikut data hasil pengamatan:
No Parameter Dodol pisang
1 Warna Coklat pekat
2 Rasa Asam manis
3 Tekstur Kenyal
4 Aroma Wangi gula jawa

F. Pembahasan
Dodol adalah sejenis makanan yang dikategorikan dalam jenis makanan manis.
Untuk membuat dodol yang bermutu tinggi cukup sulit karena proses
pembuatannya yang lama dan membutuhkan keahlian.Bahan tambahan yang
digunakan untuk pembuatan dodol adalah tepung ketan yang member sifat kental
sehingga membentuk tekstur dodol yang elastis. Kadar amilopektin yang tinggi
menyebabkan sangat mudah terjadi gelatinasi bila ditambah dengan air dan
memperoleh perlakuan pemanasan. Hal ini terjadi karena adanya pengikatan
hidrogen dan molekul-molekul tepung ketan (gel) yang bersifat kental. Bahan
lainnya adalah gula yang berfungsi untuk memberikan aroma, rasa manis, warna
coklat pada dodol, sebagai pengawet dan membantu pembentukan lapisan keras
dan tekstur pada dodol. Bahan terakhir yang ditambahkan adalah santan kental,
santan kental sangat perlu ditambahkan dalam pembuatan dodol karena
mengandung lemak sehingga dihasilkan dodol yang mempunyai rasa lezat dan
membentuk tekstur kalis.
Berdasarkan hasil praktikum di atas, dodol pisang memiliki sifat
organoleptic yang cukup baik. Warna dodol pisang coklat pekat dan menarik,
rasanya asam manis , tekstur buah pisang yang halus menyebabkan dodol ini juga
bertekstur halus. Ketan menghasilkan dodol yang kenyal dan liat. Dengan
pemasan yang tepat, dodol tidak akan gosong sehingga menghasilkan aroma yang
khas sesuai dengan bahan penyusunnya seperti dodol pisang ini. Aroma pisang
masih sangat terasa selain aroma wanginya gula jawa. Praktikum penepungan
holtikultura pengolahan dodol didapatkan berat adonan dodol keseluruhan 621,9
g.
Seperti pembuatan dodol pada umumnya, pembuatan dodol membutuhkan
pengadukan yang terus menerus untuk menghindari dodol menjadi gosong. Jika
dilakukan dengan tenaga manusia, dibutuhkan tenaga ekstra karena semakin lama
adonan menjadi liat dan kenyal.

G. Kesimpulan

Dodol adalah sejenis makanan yang dikategorikan dalam jenis makanan manis.
Pada praktikum penepungan hortikultura telah dilaksanakan pembuatan dodol
dengan menambahkan hasil tanaman pangan hortikultra berupa pisang. Pisang
sebelumnya sudah melalui proses pengeringan dan penepungan sehingga bahan
yang digunakan yaitu tepung pisang. Dodol pisang yang telah dibuat memiliki
sifat organoleptic yang baik sehingga layak untuk dikonsumsi maupun dipasarkan
meskipun masih banyak yang perlu untuk diperbaiki.

H. Daftar Pustaka

[Wikipedia], 2012. Dodol. http://id.wikipedia.org. (diakses pada tanggal 30 Mei


2012)
Retnowati, Dewi. 2006. Bahan Pembuatan Dodol. http://www.scribd.com.
(diakses pada tanggal 30 Mei 2012)

I. Lampiran
ACARA 4
JURNAL

Pengaruh Perlakuan Pendahuluan Terhadap Sifat Kimia Tepung


Umbi Suweg Yang Dihasilkan

Indriyani, Ika Gusriani, Mursyd


Jurusan Teknologi Pertanian, Universitas Jambi, Indonesia
E-mail: indriyani@unja.ac.id

ABSTRAK

Suweg merupakan salah satu jenis tanaman umbi-umbian yang banyak


menghasilkan karbohidrat. Kandungan karbohidrat yang tinggi pada umbi suweg
memungkinkan umbi suweg bisa digunakan sebagai pengganti tepung
terigu.Permasalahannya adalah dihasilkan tepung umbi suweg yang berwarna
kurang cerah.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh berbagai
macam perlakuan pendahuluan terhadap sifat kimia tepung umbi suweg yang
dihasilkan. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari
5 perlakuan yaitu : P0 : Tanpa perlakuan, P2 : Penambahan asam askorbat 4%, P3 :
Penambahan Natrium Metabisulfit 2500 ppm, P4 : Hot water Blanching suhu 100
selama 5 menit dan P5 : Steam blanching selama 5 menit.. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perlakuan pendahuluan tidak berpengaruh terhadap daya
serap air, daya serap minyak dan kadar asam oksalat tapi berpengaruh nyata
terhadap protein

Kata kunci : Suweg,blanching, steam,tepung

PENDAHULUAN

Suweg (amorphophallus campanulatus) merupakan salah satu tanaman yang


masih tumbuh liar di Indonesia yang belum banyak dibudidayakan. Diawal dan
akhir musim kemarau tanaman ini untuk tumbuh dan bertunas (Kasno, dkk 2009
dalam Umar dan Rini, 2017). Umbi suweg adalah salah satu sumber karbohidrat
yang berpotensi sebagai tepung maupun pati (Richana dan sunarti, 2004). Umbi
suweg memiliki kadar pati sebesar 83,86% dengan rasio kadar amilosa: amilopektin
sebesar 24,1%: 58,95% (Pramesti, dkk., 2015). Komposisi gizi kimia tepung suweg
dalam 100 gram adalah karbohidrat 83,18 gram, protein 7,20 gram, 0,28 gram, 4,60
gram, 4,74 gram (Faridah, 2005).Komposisi lainnya dalam tepung suweg adalah
kalsium oksalat dan asam oksalat. Kalsium oksalat dapat dihilangan dengan
perendaman dalam larutan garam dan diolah menjadi tepung. Asam oksalat pada
umbi suweg segar bernilai 0,01 sampai 0,08% sedangkan tepung suweg berkisar
0.11- 0,21% (Yuzammi dan Handayani, 2019).
Penanganan pasca panen umbi suweg yaitu dengan diolah menjadi tepung
sehingga lebih tahan lama disimpan dibandingkan disimpan dalam bentuk umbi.
Penelitian Faridah (2005) menghasilkan tepung suweg yang memiliki warna krem
disebabkan oleh terjadinya reaksi pencoklatan pada saat pengupasan umbi
sehingga chips yang dihasilkan tidak berwarna cerah. Reaksi pencoklatan dapat
dihambat dengan beberapa proses pengolah yaitu dengan perendaman air atau
blanching, uap panas serta bleaching menggunakan senyawa kimia antara lain
asam askorbat dan natrium metabisulfit.
Menurut Syamsiah (2011), bahwa dalam mengurangi atau meminimalkan
kandungan kalsium oksalat pada umbi tire (suweg) yaitu pengolahan dengan cara
perebusan dapat menurunkan kalsium oksalat sebesar 0,008 % menjadi 0.050 %
dengan kadar kalsium oksalat suweg segar sebesar 0.058 %.
Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan tepung suweg yang berwarna
lebih cerah dengan memberikan perlakuan pada umbi suweg untuk dijadikan
tepung berbagai macam perlakuan pendahuluan.

METODOLOGI PENELITIAN

Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan tepung yaitu umbi suweg dari
desa Sungai Terap, Kumpeh Ulu, Kab. Muaro Jambi, asam askorbat 4%, Natrium
Metabisulfit 2500 ppm, akuades. Bahan yang digunakan untuk analisa tepung
adalah akuades, minyak jagung, katalis campuran, H2SO4 pekat, H2SO4 0,3 N,
indikator campuran, NaOH 40%, dan NaOH 0,3 N.
Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan tepung suweg adalah pisau,
talenan, baskom, oven, loyang, blender, alumunium foil, timbangan digital, ayakan
60 mesh, dan plastik ziplok,. Alat yang digunakan untuk analisa adalah colour
reader, oven, desikator, cawan, pH meter, gelas kimia 25 mL, batang pengaduk,
vortex, sentrifuse, tabung sentrifuse, tisu, labu dekstruksi, labu destilasi, destilator,
pemanas listrik, labu erlenmeyer 250 mL dan 500 mL, biuret, corong, pipet, gelas
ukur, neraca analitik, dan batu didih.

Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilaksanakan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5
perlakuan yaitu kontrol, penambahan asam askorbat 4%, Natrium metabisulfit
2500 ppm, hot water blanching, steam blanching selama 5 menit. Setiap perlakuan
diulang 3 kali sehingga didapat 15 satuan percobaan.

Pembuatan tepung suweg


Proses pembuatan tepung suweg dilakukan dengan cara sortasi umbi suweg yang
akan digunakan, kemudian dibersihkan dari tanah yang ada dipermukaan kulit.
Selanjutnya umbi suweg dikupas menggunakan pisau dan dicuci dengan air bersih.
Setelah itu, ditimbang 800 gram umbi suweg, lalu dipotong menjadi 4 bagian dan
diiris menggunakan slicer dengan ketebalan ±1-2 mm. Pembuatan tepung
dilakukan dengan 5 perlakuan yaitu perendaman asam askorbat 4%, Natrium
metabisulfit 2500 ppm direndam selama 120 menit, hot water blanching, steam
blanching selama 5 menit serta kontrol atau tanpa perlakuan langsung ditiriskan
dan dikeringkan dalam oven pengering dengan suhu 70 0C selama 6- 7 jam
sedangkan untuk yang direndam asam askorbat dan natrium metabisulfit selama
±12 jam.

Parameter yang diamati


Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah Daya serap air, daya serap
minyak (Falade dan Cristoper,2015), Protein (AOAC, 1980) dan Asam oksalat
(Ukpabi dan Edijoh, 1980) .

Analisa Data
Data yang diperoleh dianalisa ragam pada taraf 1%dan 5% apabila berbeda nyata
dilanjutkandengan uji DNMRT pada taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Daya Serap Air

Daya serap air atau kapasitas penyerapan air yaitu merupakan kemampuan tepung
dalam menyerap air dengan cara disentrifuge, serta menentukan jumlah air yang
tersedia untuk proses gelatinisasi pati selama pemasakan (Handiskawati, 2012).
Hasil sidik ragam menunjukkan perlakuan dengan berbagai macam metode tidak
berpengaruh nyata terhadap daya serap air. Berdasarkan diagram, dapat dilihat
bahwa perlakuan dengan perendaman natrium metabisulfit menghasilkan nilai
paling tinggi dengan nilai 2,17. Hal ini disebabkan oleh natrium metabisulfit yang
bersifat merusak dinding sel jaringan bahan sehingga absorpsi air oleh bahan
menjadi lebih tinggi (Rahman dan Perera, 1999). Daya serap tersebut dapat dilihat
pada Gambar 1.
1,20 1,09 1,12
0,99 1,02
P0 = Kontrol

1,00 0,90
Daya Serap Minyak (g/g)

P1 = Asam Askorbat 4%

0,80

P2 = Natrium Metabisulfit

0,60
2500 ppm

P3 = Hot water Blanching


0,40

0,20 P4 = Steam blanching


0,00

Gambar 1 . Grafik rata-rata daya serap air tepung suweg pada berbagai macam
perlakuan
Daya Serap Minyak
Kapasitas penyerapan minyak dipengaruhi kadar protein dan lemak, seperti yang
dinyatakan Aini dkk. (2010) bahwa semakin besar kadar lemak atau protein,
semakin besar kapasitas penyerapan minyak. Hal ini berhubungan dengan
mekanisme kapasitas penyerapan minyak yang disebabkan pemerangkapan
minyak secara fisik dengan gaya kapiler dan peran hidrofobisitas protein. Hal ini
juga sesuai dengan Sirivongpaisal (2008) yang menyatakan bahwa kapasitas
penyerapan minyak pada tepung bambara groundnut lebih besar daripada pati
bambaragroundnut karena kadar protein dan lemak yang lebih tinggi pada tepung,
yang dapat memerangkap lebih banyak minyak. Grafik rata-rata daya serap
minyak tepung suweg pada berbagai macam perlakuan dapat dilihat pada Gambar
2.

1,20 1,12
1,09
0,99 1,02
P0 = Kontrol
1,00
0,90
Daya Serap Minyak (g/g)

P1 = Asam Askorbat 4%
0,80

P2 = Natrium Metabisulfit
0,60
2500 ppm

0,40 P3 = Hot water Blanching

0,20 P4 = Steam blanching

0,00

Gambar 2 . Grafik rata-rata daya serap minyak tepung suweg pada berbagai
macam perlakuan
Penyerapan minyak selain terjadi karena minyak terperangkap secara fisik dalam
protein tetapi juga terdapatnya ikatan non kovalen seperti atraksi hidrofobik,
eletrostastik dan ikatan hidrogen padainteraksi lemak protein (Lawal, 2004).
Protein sangat berpengaruh terhadap kenaikan daya serap minyak. Daya serap
minyak tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.

Protein
Perlakuan blanching steam dan hotwater memperlihatkan kadar protein yang
lebih rendah akibat pada suhu tersebut protein mengalami denaturasi sehingga
protein yang terdeteksi pada tepung suweg menjadi rendah. Hal ini sesuai dengan
Jhon M. (1999) yang menyatakan protein berdenaturasi pada kisaran suhu antara
55-75oC, dengan ditemukan efeknya pada tekstur, kapasitas penyimpanan air
dan penyusutun umur simpan. Grafik rata- rata protein tepung suweg pada
berbagai macam perlakuan pada Gambar 3.
35
31,01
P0 = Kontrol
27,25
30 23,66

21,54 P1 = Asam Askorbat 4%


25 22,42

Kadar Protein (%)


P2 = Natrium Metabisulfit
20

2500 ppm

15
P3 = Hot water Blanching

10
P4 = Steam blanching

Gambar 3 . Grafik rata-rata protein tepung suweg pada berbagai macam


perlakuan
Asam Oksalat
Asam oksalat adalah senyawa kimia yang memiliki nama sistematis asam
etanadionat. Asam oksalat dapat ditemukan dalam bentuk bebas ataupun dalam
bentuk garam. Bentuk yang lebih banyak ditemukan adalah bentuk garam
(Noonan dan Savage, 1999). Hasil sidik ragam menunjukkan perlakuan dengan
berbagai macam metode tidak berpengaruh nyata terhadap Kadar Asam Oksalat.
Metode rebus atau Hot water blanching memberikan nilai terkecil terhadap
penurunan oksalat yaitu sebesar 48.60 mg/100g. Menurut Rosman et al., (1994)
dalam Purwanto (2013) menyatakan bahwa dari 100g umbi suweg
(Amorphophallus campanulatus) mengandung kristal asam oksalat sebanyak 382
mg. Penurunan kadar oksalat karena perebusan terkait dengan kelarutan oksalat
yang meningkat pada suhu tinggi. Perebusan juga menyebabkan kerusakan pada
kulit umbi talas dan memudahkan keluarnya oksalat terlarut dari dalam umbi ke
dalam air perebus (Albihin dan Savage, 2001). Grafik rata- rataasam oksalat tepung
suweg pada berbagai macam perlakuan pada Gambar 4.

250

P0 = Kontrol

201,6
200
Asam Oksalat (mg/100gr)

P1 = Asam Askorbat 4%

150
93,6 93,60 P2 = Natrium Metabisulfit
2500 ppm
48,60 52,2
100
P3 = Hot water Blanching

50 P4 = Steam blanching

0
Gambar 4 . Grafik rata-rata asam oksalat tepung suweg pada berbagai macam
perlakuan
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Perlakuan pendahuluan berpengaruh terhadap protein tepung suweg yang dihasilkan
dan tidak berpengaruh terhadap daya serap air,daya serap minyak dan kadar asam
oksalat.
2. Perlakuan Natrium metabisulfit memberikan hasil yang tertinggi terhadap kadar
protein tepung umbi suweg yang dihasilkan
Disarankan pada pembuatan tepung umbi suweg menggunakan Natrium
Metabisulfit 2500 ppm

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih diucapkan kepada Fakultas Pertanian dan Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Jambi yang telah mendanai penelitian
ini melalui Proyek Penelitian Terapan Unggulan Universitas Tahun 2020

DAFTAR PUSTAKA

Aini, N., Hariyadi, P., Muchtadi, T. R., & Andarwulan, N. (2010). Hubungan antara
waktu fermentasi grits jagung putih dengan sifat gelatinisasi tepung jagung
putih yang dipengaruhi ukuran partikel. Jurnal Teknologi dan Industri
Pertanian, 21(1), 18-24.
Albihin, P, B, E., Savage, G. P. 2001. The Effect of Cooking on the Location and
Concentration of Oxalatein Three Cultivars of New Zealand- grown Oca
(Oxalls Tuberose Mol). Journal of the Science of Food and Agriculture81. 1027-
1033.
Cocoyams (Xanthosoma and Colocasia spp). Technical Paper presented at the 5th
Annual Conferenceof theAgricultural Society of Nigeria, Federal University
of Technology, Owerri, Nigeria, 3-6 Sept.
Falade, K. O., dan Christopher, A. S. (2015). Physical, functional, pasting
danthermal properties of flours dan starches of six Nigerian Rice
cultivars.Food Hydrocoloids, 44, 478-490
Faridah, Didah Nur. 2005. Sifat Fisikokimia Tepung Suweg (Amorphophallus
campanulatus BI) dan Indeks Glikemiknya. Jurnal Teknologi dan Industri
Pangan. Vol. 16. No.3.
Handiskawati. 2012. Artikel Ilmiah Pengaruh Perbandingan Tepung Terigu dengan
Tepung Bonggol Pisang (Musa Paradisiaca) terhadap daya serap Airdan Daya
Terima Brownies. Universitas Muhammadiyah Surakarta: Surakarta.
Jhon, M. 1999. Principles of Food Chemistry Third edition. Department of Food
Science,University of Guelph, Ontario. 366-372.
Jurnal Ilmiah Ilmu Terapan Universitas Jambi P-ISSN: 2580-2240
Volume 4 Nomor 2 Desember 2020 E-ISSN: 2580-2259
Lawal, O. S. 2004. Composition, physicochemical properties and retrogradation
characteristics of native, oxidized, acetylated and acid-thinned new cocoyam
(Xanthosoma sagittifolium) starch. Food Chemistry 87:205- 218.
Noonan,S and Savage,G. P. 1999. Oxalate content of Food and Human Asia Fasific
Journal of Clinical Nutrition.8 (1): 64-67.
Pramesti, H. A, Kusoro, S, dan Edy, C. 2015. Analisis Rasio Kadar Amilosa Atau
Amilopektin dalam Amilum dari beberapa Jenis Umbi. Jurnal Ilmu Kimia
Indonesia. Vol. 4. No. 1.
Purwanto, C.,C., Ishartani, D., dan Rahadian, D. 2013. Kajian Sifat Fisik dan Kimia
Tepung Labu Kuning (Cucurbita maxima) dengan Perlakuan Blanching dan
Perendaman Natrium Metabisulfit. Jurnal Teknosains Pangan. Vol.2. No.2.
Rahman, M.S., dan Perera, C.O. 1999. Heat Pump Dehumidifier Drying of Food.
Trends Atmosphere. International Journak of Food Properties 1(3): 197- 205.
Richana, Nur dan Tuti Chandra Sunarti. 2004. Karakteristik Sifat Fisikokimia
Tepung Umbi dan Tepung Pati dari Umbi Ganyong, Suweg, Ubi Kelapa, dan
Gembili. Jurnal Pascapanen Vol. 1. No.1.
Sirivongpaisal, P. 2008. Structure and Fuctional Properties of Starch and Flour From
Bambarra Groundnut. Songklanakarin Journal of Science and Technology 30
(Suppl.1), 51-56.
Sudarmadji, S, Bambang, H dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa untuk Bahan
Makanan dan Pertanian. Liberty: Yogyakarta.
Syamsiah. 2011. Pengaruh Cara Pengolahan Umbi Tire (Amorphophallus sp.)
terhadap Kadar Kalsium Oksalat. Jurnal Bionature Vol. 12. No.2.
Ukpabi, U. J. & Ejidoh, J. I. 1989. Effect of Deep Oil Frying on the Oxalate Content
and the Degree of Itching of
Umar, Hafidz, A, H dan Rini,U. 2017. Perbedaan Sifat Fisik, Kimia dan Sensori
Tepung Umbi Suweg (Amorphophallus Campanulatus BI) pada Fase Dorman
dan Vegetatif. Jurnal Agrosains. Vol. 5. No.2.
Yuzammi dan Handayani, T. 2019. Analysis of Nutrient and Anti-Nutrient
Compositions of Suweg Cultivated in Java. Research Center for Plant
Conservation and Botanic Gardens – Indonesian Institute of Sciences.

LPPM Universitas Jambi Halaman | 33


Jurnal Ilmiah Ilmu Terapan Universitas Jambi P-ISSN: 2580-2240
Volume 4 Nomor 2 Desember 2020 E-ISSN: 2580-2259
JURNAL

Pengaruh Perlakuan Pendahuluan Terhadap Sifat Kimia Tepung


Umbi Suweg Yang Dihasilkan

Indriyani, Ika Gusriani, Mursyd


Jurusan Teknologi Pertanian, Universitas Jambi, Indonesia
E-mail: indriyani@unja.ac.id

ABSTRAK

Suweg merupakan salah satu jenis tanaman umbi-umbian yang banyak


menghasilkan karbohidrat. Kandungan karbohidrat yang tinggi pada umbi suweg
memungkinkan umbi suweg bisa digunakan sebagai pengganti tepung
terigu.Permasalahannya adalah dihasilkan tepung umbi suweg yang berwarna
kurang cerah.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh berbagai
macam perlakuan pendahuluan terhadap sifat kimia tepung umbi suweg yang
dihasilkan. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari
5 perlakuan yaitu : P0 : Tanpa perlakuan, P2 : Penambahan asam askorbat 4%, P3 :
Penambahan Natrium Metabisulfit 2500 ppm, P4 : Hot water Blanching suhu 100
selama 5 menit dan P5 : Steam blanching selama 5 menit.. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perlakuan pendahuluan tidak berpengaruh terhadap daya
serap air, daya serap minyak dan kadar asam oksalat tapi berpengaruh nyata
terhadap protein

Kata kunci : Suweg,blanching, steam,tepung

PENDAHULUAN

Suweg (amorphophallus campanulatus) merupakan salah satu tanaman yang


masih tumbuh liar di Indonesia yang belum banyak dibudidayakan. Diawal dan
akhir musim kemarau tanaman ini untuk tumbuh dan bertunas (Kasno, dkk 2009
dalam Umar dan Rini, 2017). Umbi suweg adalah salah satu sumber karbohidrat
yang berpotensi sebagai tepung maupun pati (Richana dan sunarti, 2004). Umbi
suweg memiliki kadar pati sebesar 83,86% dengan rasio kadar amilosa: amilopektin
sebesar 24,1%: 58,95% (Pramesti, dkk., 2015). Komposisi gizi kimia tepung suweg
dalam 100 gram adalah karbohidrat 83,18 gram, protein 7,20 gram, 0,28 gram, 4,60
gram, 4,74 gram (Faridah, 2005).Komposisi lainnya dalam tepung suweg adalah
kalsium oksalat dan asam oksalat. Kalsium oksalat dapat dihilangan dengan
perendaman dalam larutan garam dan diolah menjadi tepung. Asam oksalat pada
umbi suweg segar bernilai 0,01 sampai 0,08% sedangkan tepung suweg berkisar
0.11- 0,21% (Yuzammi dan Handayani, 2019).

LPPM Universitas Jambi Halaman | 34


Jurnal Ilmiah Ilmu Terapan Universitas Jambi P-ISSN: 2580-2240
Volume 4 Nomor 2 Desember 2020 E-ISSN: 2580-2259

Penanganan pasca panen umbi suweg yaitu dengan diolah menjadi tepung
sehingga lebih tahan lama disimpan dibandingkan disimpan dalam bentuk umbi.
Penelitian Faridah (2005) menghasilkan tepung suweg yang memiliki warna krem
disebabkan oleh terjadinya reaksi pencoklatan pada saat pengupasan umbi
sehingga chips yang dihasilkan tidak berwarna cerah. Reaksi pencoklatan dapat
dihambat dengan beberapa proses pengolah yaitu dengan perendaman air atau
blanching, uap panas serta bleaching menggunakan senyawa kimia antara lain
asam askorbat dan natrium metabisulfit.
Menurut Syamsiah (2011), bahwa dalam mengurangi atau meminimalkan
kandungan kalsium oksalat pada umbi tire (suweg) yaitu pengolahan dengan cara
perebusan dapat menurunkan kalsium oksalat sebesar 0,008 % menjadi 0.050 %
dengan kadar kalsium oksalat suweg segar sebesar 0.058 %.
Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan tepung suweg yang berwarna
lebih cerah dengan memberikan perlakuan pada umbi suweg untuk dijadikan
tepung berbagai macam perlakuan pendahuluan.

METODOLOGI PENELITIAN

Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan tepung yaitu umbi suweg dari
desa Sungai Terap, Kumpeh Ulu, Kab. Muaro Jambi, asam askorbat 4%, Natrium
Metabisulfit 2500 ppm, akuades. Bahan yang digunakan untuk analisa tepung
adalah akuades, minyak jagung, katalis campuran, H2SO4 pekat, H2SO4 0,3 N,
indikator campuran, NaOH 40%, dan NaOH 0,3 N.
Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan tepung suweg adalah pisau,
talenan, baskom, oven, loyang, blender, alumunium foil, timbangan digital, ayakan
60 mesh, dan plastik ziplok,. Alat yang digunakan untuk analisa adalah colour
reader, oven, desikator, cawan, pH meter, gelas kimia 25 mL, batang pengaduk,
vortex, sentrifuse, tabung sentrifuse, tisu, labu dekstruksi, labu destilasi, destilator,
pemanas listrik, labu erlenmeyer 250 mL dan 500 mL, biuret, corong, pipet, gelas
ukur, neraca analitik, dan batu didih.

Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilaksanakan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5
perlakuan yaitu kontrol, penambahan asam askorbat 4%, Natrium metabisulfit
2500 ppm, hot water blanching, steam blanching selama 5 menit. Setiap perlakuan
diulang 3 kali sehingga didapat 15 satuan percobaan.

Pembuatan tepung suweg


Proses pembuatan tepung suweg dilakukan dengan cara sortasi umbi suweg yang
akan digunakan, kemudian dibersihkan dari tanah yang ada dipermukaan kulit.
Selanjutnya umbi suweg dikupas menggunakan pisau dan dicuci dengan air bersih.
LPPM Universitas Jambi Halaman | 35
Jurnal Ilmiah Ilmu Terapan Universitas Jambi P-ISSN: 2580-2240
Volume 4 Nomor 2 Desember 2020 E-ISSN: 2580-2259

Setelah itu, ditimbang 800 gram umbi suweg, lalu dipotong menjadi 4 bagian dan
diiris menggunakan slicer dengan ketebalan ±1-2 mm. Pembuatan tepung
dilakukan dengan 5 perlakuan yaitu perendaman asam askorbat 4%, Natrium
metabisulfit 2500 ppm direndam selama 120 menit, hot water blanching, steam
blanching selama 5 menit serta kontrol atau tanpa perlakuan langsung ditiriskan
dan dikeringkan dalam oven pengering dengan suhu 70 0C selama 6- 7 jam
sedangkan untuk yang direndam asam askorbat dan natrium metabisulfit selama
±12 jam.

Parameter yang diamati


Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah Daya serap air, daya serap
minyak (Falade dan Cristoper,2015), Protein (AOAC, 1980) dan Asam oksalat
(Ukpabi dan Edijoh, 1980) .

Analisa Data
Data yang diperoleh dianalisa ragam pada taraf 1%dan 5% apabila berbeda nyata
dilanjutkandengan uji DNMRT pada taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Daya Serap Air

Daya serap air atau kapasitas penyerapan air yaitu merupakan kemampuan tepung
dalam menyerap air dengan cara disentrifuge, serta menentukan jumlah air yang
tersedia untuk proses gelatinisasi pati selama pemasakan (Handiskawati, 2012).
Hasil sidik ragam menunjukkan perlakuan dengan berbagai macam metode tidak
berpengaruh nyata terhadap daya serap air. Berdasarkan diagram, dapat dilihat
bahwa perlakuan dengan perendaman natrium metabisulfit menghasilkan nilai
paling tinggi dengan nilai 2,17. Hal ini disebabkan oleh natrium metabisulfit yang
bersifat merusak dinding sel jaringan bahan sehingga absorpsi air oleh bahan
menjadi lebih tinggi (Rahman dan Perera, 1999). Daya serap tersebut dapat dilihat
pada Gambar 1.
1,20 1,09 1,12
0,99 1,02
P0 = Kontrol

1,00 0,90
Daya Serap Minyak (g/g)

P1 = Asam Askorbat 4%

0,80

P2 = Natrium Metabisulfit

0,60
2500 ppm

P3 = Hot water Blanching


0,40

0,20 P4 = Steam blanching

LPPM Universitas Jambi Halaman | 36


Jurnal Ilmiah Ilmu Terapan Universitas Jambi P-ISSN: 2580-2240
Volume 4 Nomor 2 Desember 2020 E-ISSN: 2580-2259

0,00

Gambar 1 . Grafik rata-rata daya serap air tepung suweg pada berbagai macam
perlakuan

LPPM Universitas Jambi Halaman | 37


Jurnal Ilmiah Ilmu Terapan Universitas Jambi P-ISSN: 2580-2240
Volume 4 Nomor 2 Desember 2020 E-ISSN: 2580-2259

Daya Serap Minyak


Kapasitas penyerapan minyak dipengaruhi kadar protein dan lemak, seperti yang
dinyatakan Aini dkk. (2010) bahwa semakin besar kadar lemak atau protein,
semakin besar kapasitas penyerapan minyak. Hal ini berhubungan dengan
mekanisme kapasitas penyerapan minyak yang disebabkan pemerangkapan
minyak secara fisik dengan gaya kapiler dan peran hidrofobisitas protein. Hal ini
juga sesuai dengan Sirivongpaisal (2008) yang menyatakan bahwa kapasitas
penyerapan minyak pada tepung bambara groundnut lebih besar daripada pati
bambaragroundnut karena kadar protein dan lemak yang lebih tinggi pada tepung,
yang dapat memerangkap lebih banyak minyak. Grafik rata-rata daya serap
minyak tepung suweg pada berbagai macam perlakuan dapat dilihat pada Gambar
2.

1,20 1,12
1,09
0,99 1,02
P0 = Kontrol
1,00
0,90
Daya Serap Minyak (g/g)

P1 = Asam Askorbat 4%
0,80

P2 = Natrium Metabisulfit
0,60
2500 ppm

0,40 P3 = Hot water Blanching

0,20 P4 = Steam blanching

0,00

Gambar 2 . Grafik rata-rata daya serap minyak tepung suweg pada berbagai
macam perlakuan
Penyerapan minyak selain terjadi karena minyak terperangkap secara fisik dalam
protein tetapi juga terdapatnya ikatan non kovalen seperti atraksi hidrofobik,
eletrostastik dan ikatan hidrogen padainteraksi lemak protein (Lawal, 2004).
Protein sangat berpengaruh terhadap kenaikan daya serap minyak. Daya serap
minyak tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.

Protein
Perlakuan blanching steam dan hotwater memperlihatkan kadar protein yang
lebih rendah akibat pada suhu tersebut protein mengalami denaturasi sehingga
protein yang terdeteksi pada tepung suweg menjadi rendah. Hal ini sesuai dengan
Jhon M. (1999) yang menyatakan protein berdenaturasi pada kisaran suhu antara
55-75oC, dengan ditemukan efeknya pada tekstur, kapasitas penyimpanan air
dan penyusutun umur simpan. Grafik rata- rata protein tepung suweg pada
berbagai macam perlakuan pada Gambar 3.
LPPM Universitas Jambi Halaman | 38
Jurnal Ilmiah Ilmu Terapan Universitas Jambi P-ISSN: 2580-2240
Volume 4 Nomor 2 Desember 2020 E-ISSN: 2580-2259

35
31,01
P0 = Kontrol
27,25
30 23,66

21,54 P1 = Asam Askorbat 4%


25 22,42

Kadar Protein (%)


P2 = Natrium Metabisulfit
20

2500 ppm

15
P3 = Hot water Blanching

10
P4 = Steam blanching

Gambar 3 . Grafik rata-rata protein tepung suweg pada berbagai macam


perlakuan
Asam Oksalat
Asam oksalat adalah senyawa kimia yang memiliki nama sistematis asam
etanadionat. Asam oksalat dapat ditemukan dalam bentuk bebas ataupun dalam
bentuk garam. Bentuk yang lebih banyak ditemukan adalah bentuk garam
(Noonan dan Savage, 1999). Hasil sidik ragam menunjukkan perlakuan dengan
berbagai macam metode tidak berpengaruh nyata terhadap Kadar Asam Oksalat.
Metode rebus atau Hot water blanching memberikan nilai terkecil terhadap
penurunan oksalat yaitu sebesar 48.60 mg/100g. Menurut Rosman et al., (1994)
dalam Purwanto (2013) menyatakan bahwa dari 100g umbi suweg
(Amorphophallus campanulatus) mengandung kristal asam oksalat sebanyak 382
mg. Penurunan kadar oksalat karena perebusan terkait dengan kelarutan oksalat
yang meningkat pada suhu tinggi. Perebusan juga menyebabkan kerusakan pada
kulit umbi talas dan memudahkan keluarnya oksalat terlarut dari dalam umbi ke
dalam air perebus (Albihin dan Savage, 2001). Grafik rata- rataasam oksalat tepung
suweg pada berbagai macam perlakuan pada Gambar 4.

250

P0 = Kontrol

201,6
200
Asam Oksalat (mg/100gr)

P1 = Asam Askorbat 4%

150
93,6 93,60 P2 = Natrium Metabisulfit
2500 ppm
48,60 52,2
100
P3 = Hot water Blanching

50 P4 = Steam blanching

LPPM Universitas Jambi Halaman | 39


Jurnal Ilmiah Ilmu Terapan Universitas Jambi P-ISSN: 2580-2240
Volume 4 Nomor 2 Desember 2020 E-ISSN: 2580-2259

Gambar 4 . Grafik rata-rata asam oksalat tepung suweg pada berbagai macam
perlakuan

LPPM Universitas Jambi Halaman | 40


Jurnal Ilmiah Ilmu Terapan Universitas Jambi P-ISSN: 2580-2240
Volume 4 Nomor 2 Desember 2020 E-ISSN: 2580-2259

KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Perlakuan pendahuluan berpengaruh terhadap protein tepung suweg yang dihasilkan
dan tidak berpengaruh terhadap daya serap air,daya serap minyak dan kadar asam
oksalat.
2. Perlakuan Natrium metabisulfit memberikan hasil yang tertinggi terhadap kadar
protein tepung umbi suweg yang dihasilkan
Disarankan pada pembuatan tepung umbi suweg menggunakan Natrium
Metabisulfit 2500 ppm

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih diucapkan kepada Fakultas Pertanian dan Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Jambi yang telah mendanai penelitian
ini melalui Proyek Penelitian Terapan Unggulan Universitas Tahun 2020

DAFTAR PUSTAKA

Aini, N., Hariyadi, P., Muchtadi, T. R., & Andarwulan, N. (2010). Hubungan antara
waktu fermentasi grits jagung putih dengan sifat gelatinisasi tepung jagung
putih yang dipengaruhi ukuran partikel. Jurnal Teknologi dan Industri
Pertanian, 21(1), 18-24.
Albihin, P, B, E., Savage, G. P. 2001. The Effect of Cooking on the Location and
Concentration of Oxalatein Three Cultivars of New Zealand- grown Oca
(Oxalls Tuberose Mol). Journal of the Science of Food and Agriculture81. 1027-
1033.
Cocoyams (Xanthosoma and Colocasia spp). Technical Paper presented at the 5th
Annual Conferenceof theAgricultural Society of Nigeria, Federal University
of Technology, Owerri, Nigeria, 3-6 Sept.
Falade, K. O., dan Christopher, A. S. (2015). Physical, functional, pasting
danthermal properties of flours dan starches of six Nigerian Rice
cultivars.Food Hydrocoloids, 44, 478-490
Faridah, Didah Nur. 2005. Sifat Fisikokimia Tepung Suweg (Amorphophallus
campanulatus BI) dan Indeks Glikemiknya. Jurnal Teknologi dan Industri
Pangan. Vol. 16. No.3.
Handiskawati. 2012. Artikel Ilmiah Pengaruh Perbandingan Tepung Terigu dengan
Tepung Bonggol Pisang (Musa Paradisiaca) terhadap daya serap Airdan Daya
Terima Brownies. Universitas Muhammadiyah Surakarta: Surakarta.
Jhon, M. 1999. Principles of Food Chemistry Third edition. Department of Food
Science,University of Guelph, Ontario. 366-372.

LPPM Universitas Jambi Halaman | 41


UNES Journal of Scientech Research Vol. 1 Issue 2, December 2016

Lawal, O. S. 2004. Composition, physicochemical properties and retrogradation


characteristics of native, oxidized, acetylated and acid-thinned new cocoyam
(Xanthosoma sagittifolium) starch. Food Chemistry 87:205- 218.
Noonan,S and Savage,G. P. 1999. Oxalate content of Food and Human Asia Fasific
Journal of Clinical Nutrition.8 (1): 64-67.
Pramesti, H. A, Kusoro, S, dan Edy, C. 2015. Analisis Rasio Kadar Amilosa Atau
Amilopektin dalam Amilum dari beberapa Jenis Umbi. Jurnal Ilmu Kimia
Indonesia. Vol. 4. No. 1.
Purwanto, C.,C., Ishartani, D., dan Rahadian, D. 2013. Kajian Sifat Fisik dan Kimia
Tepung Labu Kuning (Cucurbita maxima) dengan Perlakuan Blanching dan
Perendaman Natrium Metabisulfit. Jurnal Teknosains Pangan. Vol.2. No.2.
Rahman, M.S., dan Perera, C.O. 1999. Heat Pump Dehumidifier Drying of Food.
Trends Atmosphere. International Journak of Food Properties 1(3): 197- 205.
Richana, Nur dan Tuti Chandra Sunarti. 2004. Karakteristik Sifat Fisikokimia
Tepung Umbi dan Tepung Pati dari Umbi Ganyong, Suweg, Ubi Kelapa, dan
Gembili. Jurnal Pascapanen Vol. 1. No.1.
Sirivongpaisal, P. 2008. Structure and Fuctional Properties of Starch and Flour From
Bambarra Groundnut. Songklanakarin Journal of Science and Technology 30
(Suppl.1), 51-56.
Sudarmadji, S, Bambang, H dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa untuk Bahan
Makanan dan Pertanian. Liberty: Yogyakarta.
Syamsiah. 2011. Pengaruh Cara Pengolahan Umbi Tire (Amorphophallus sp.)
terhadap Kadar Kalsium Oksalat. Jurnal Bionature Vol. 12. No.2.
Ukpabi, U. J. & Ejidoh, J. I. 1989. Effect of Deep Oil Frying on the Oxalate Content
and the Degree of Itching of
Umar, Hafidz, A, H dan Rini,U. 2017. Perbedaan Sifat Fisik, Kimia dan Sensori
Tepung Umbi Suweg (Amorphophallus Campanulatus BI) pada Fase Dorman
dan Vegetatif. Jurnal Agrosains. Vol. 5. No.2.
Yuzammi dan Handayani, T. 2019. Analysis of Nutrient and Anti-Nutrient
Compositions of Suweg Cultivated in Java. Research Center for Plant
Conservation and Botanic Gardens – Indonesian Institute of Sciences.

42
ISSN Print : 2528-5556│ISSN Online : 2528-6226

Anda mungkin juga menyukai