Anda di halaman 1dari 19

MEKANIKA

DINAMIKA SISTEM PARTIKEL

MAKALAH

Disusun untuk memenui tugas mata kuliah Mekanika

yang dibina oleh Bapak Nasikhudin

Oleh :
Adiyat Makrufi (100321400984)
Charisma P. W. (100321400989)
Ferdiana Ika Wati (100321405240)
Mar’atus Sholihah (100321400895)
Regina Petty Yolanda (100321400893)

Kelompok IV
Kelas C / Offering C

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN FISIKA
Oktober 2011
BAB VI
DINAMIKA SISTEM PARTIKEL

A. SistemPartikel dan Pusat Massa


Pada hakekatnya hukum kekekalan energi mekanikberkaitandengan momentum linear,
momentum angular, dan energi terapan. Beberapa ahli berpendapat dalam sistem terdapat
suatu interaksi antara benda makro dengan mikro.
Jika sebuah sistem berisi sejumlah N partikel, symbol bilangannya 1,2,…n. Massa
partikel adalah 𝑚1 ,𝑚2 ,… 𝑚𝑛 dan letaknya pada jarak 𝑟1,𝑟2 ,…𝑟𝑛 . Untuk beberapa sistem
partikel, pusat massa terletak di R(X,Y,Z). Sehingga didapat hubungan.
(𝑚1 +𝑚2 ,… + 𝑚𝑛 ) R =𝑚1 𝑟1 + 𝑚2 𝑟2 + …+ 𝑚𝑛 𝑟𝑛 atau
∑ 𝑚𝑘 𝑟𝑘 ∑ 𝑚𝑘 𝑟𝑘
∑nk=1 mk 𝑅 = ∑nk=1 mk 𝑟𝑘 oleh karena itu : R= = (1)
∑ 𝑚𝑘 𝑀

r1 m1

mn rn r2 m2

Y
rk

X
mk

mk

Gambar 1. Sistem partikel dengan beberapa massa pada jarak yang berbeda dari titik asal.
Dalam hal ini M = ∑ 𝑚k merupakan jumlah kesulurahan massa dan penjumlahan
∑ 𝑑ari k=1 ke k=N. Berdasarkan komponen maka dapat dituliskan :
1 1 1
X=𝑀 ∑ 𝑚𝑘 𝑥𝑘 , Y = 𝑀 ∑ 𝑚𝑘 𝑦𝑘 , Z = 𝑀 ∑ 𝑚𝑘 𝑧𝑘 (2)

Dari persamaan (1) didapat bahwa pusat massa merupakan pusat rata – rata dari

massa berat. Kecepatan v = 𝑅̇ pada pusat massa dapat diperoleh dengan differensiasi
persamaan (1) terhadap t, oleh karena itu,
1
v = 𝑅̇ = 𝑀 ∑ 𝑚𝑘 𝑟̇ k (3)
Komponen – komponen kecepatanpadapusatmassadapatditulis
1 1 1
𝑣𝑥 = 𝑥̇ = 𝑀 ∑ 𝑚𝑘 𝑥̇ k, 𝑣𝑦 = 𝑦̇ = 𝑀 ∑ 𝑚𝑘 𝑦̇ k, 𝑣𝑧 = 𝑧̇ = 𝑀 ∑ 𝑚𝑘 𝑧̇ k (4)

Percepatan 𝑎 didapat dengan mendifferensialkan lagi yaitu :


1
𝑎 = 𝑅̈ = 𝑀 ∑ 𝑚𝑘 𝑟̈ k (5)

atau, dalam komponen


1 1 1
𝑎𝑥 = 𝑥̈ = 𝑀 ∑ 𝑚𝑘 𝑥̈ k, 𝑎𝑦 = 𝑦̈ = 𝑀 ∑ 𝑚𝑘 𝑦̈ k, 𝑎𝑧 = 𝑧̈ = 𝑀 ∑ 𝑚𝑘 𝑧̈ k (6)

Selanjutnya akan didiskusikan Pemkaian tiga hukum kekekalan yang menjadi dasar yaitu:
(1)Kekekalan momentum linier, (2)Kekekalan momentum sudut, (3) Kekekalan energi. Dan
juga terdapat dua pemecahan pada masalah ini yaitu : (1) Hukum – hukum Newton,
(2)Prinsip kesamaan.

B. Kekekalan Momentum Linier

Sebuah partikel bermassa m dengankecepatan v dan dengan momentum linear̅̅̅̅,


𝑝 hukum
𝑑𝑝̅
II Newton menyatakan : 𝐹̅ = 𝑑𝑡 (7)

Dalam hal ini 𝐹̅ adalah gaya luar yang bekerja pada 𝑚, dan 𝑝̅ = 𝑚 𝑣̅ (8)
Jika m konstan
𝑑𝑝̅ 𝑑 𝑑𝑣̅
𝐹̅ = 𝑑𝑡 = 𝑑𝑡 (𝑚 𝑣̅ ) = 𝑚 𝑑𝑡 = 𝑚𝑎̅ (9)

Selanjutnya, jika 𝐹̅ = 0, 𝑝̅ adalah konstan, ini adalah konservasi dari hukum kekekalan
momentum linear untuk partikel tungggal. Pada sistem N partikel, seperti pada gambar (1),
gerak partikel ke k dari massa 𝑚𝑘 , pada jarak 𝑟𝑘 dari titik asal dan dengan kecepatan 𝑟̇𝑘 ( =
𝑣𝑘 ) dan percepatan 𝑟̈𝑘 . Gaya total 𝐹𝑘 bekerja pada partikel 𝑘𝑡ℎ merupakan penjumlahan dua
gaya :
1. Jumlah gaya eksternal 𝐹𝑘 yang diterapkan pada partikel 𝑘𝑡ℎ .
2. Jumlah gaya internal 𝐹𝑘 pada partikel𝑘𝑡ℎ dengan n – 1 partikel dalam sistem
Jadi persamaan gerak untuk partikel 𝑘𝑡ℎ sesuai dengan hukum Newton adalah :

𝐹𝑘 = 𝐾𝑘𝑙 + 𝐾𝑘𝑖 = 𝑚𝑘 𝑟̈𝑘 , 𝑘 = 1,2,…..n (10)


𝑛
Dalam hal ini 𝐹̅𝑘𝑖 = ∑𝑘=1𝑘≠𝑙 𝐹̅𝑘𝑙
𝑖
(11)
𝐹̅𝑘𝑙
𝑖
adalah gaya partikel ke 𝑘𝑡ℎ pada 𝑙𝑡ℎ partikel, karena vektor alami dari persamaan
(10), dalam hal ini 3n untuk orde ke-2 secara persamaan differensial dapat terpecahkan.
Persamaan (10 )dapat diselesaikan dengan menggunakan pusat koordinat massa.
Momentum untukpartikel𝑘𝑡ℎ diberikanoleh :
𝑝̅𝑘 = 𝑚𝑘 𝑣̅𝑘 = 𝑚𝑘 𝑟̅𝑘 (12)
̅̅̅̅
𝑑𝑝
Persamaan (10) diambil dari : 𝑘
𝐹𝑘 = 𝐹̅𝑘𝑙 + 𝐹̅𝑘𝑖 (13)
𝑑𝑡

Jumlah kedua sisi meliputi semua N partikel,


𝑁
𝑁 𝑁 𝑁 𝑁
𝑑𝑝̅𝑘 𝑑
∑ = ∑ 𝑝̅𝑘 = ∑ 𝐹̅𝑘 = ∑ F̅kl + ∑ 𝐹̅𝑘𝑖
𝑑𝑡 𝑑𝑡
𝑙 𝑙 𝑙 𝑙
𝑘=𝑙

Bilamana 𝑝̅ adalah jumlah momentum linier pada system partikel N partikel dan 𝐹̅ gaya luar
total yang bekerja pada sistem, maka :
𝑁
𝑑𝑝̅ 𝑘 𝑁
𝑃̅ = ∑ = ∑𝑘=𝑙 𝑚𝑘 𝑟̅𝑘̇ , (15)
𝑘=𝑙 𝑑𝑡
𝑁
𝐹̅ = ∑𝑘=𝑙 𝐹̅𝑘𝑙 (16)

Selanjutnya jumlah gaya dalam yang bekerja pada semua system partikel sama
𝑁
dengan nol ∑𝑘=𝑙 𝐹̅𝑘𝑖 = 0 (17)
𝑑𝑝̅
Kombinasi Persamaan (15), (16), dan (17) dengan pers (14) didapatkan : = 𝐹̅ (18)
𝑑𝑡

Teorema Momentum untuk sistem partikel :


“Kekekalan momentum linier : perubahan rata – rata pada momentum liniear adalah
sama dengan gaya terapan luar total. Jadi bila jumlah semua gaya terapan luar sama dengan
nol, maka momentum liniear total 𝑝̅ dari sistem ini adalah konstan “.
𝑝̅ = konstan, jika 𝐹̅ = 0 (19)
Pusat koordinasi massa
𝑁
𝑝̅ = ∑𝑘=𝑙 𝑚𝑘 𝑟̅𝑘̇ = 𝑀𝑅̅̇ (20)

𝑠𝑢𝑏𝑡𝑖𝑡𝑢𝑠𝑖 𝑝𝑒𝑟𝑠 (15) 𝑑𝑖𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡 ∶

𝐹̅ = 𝑀𝑅̅̇ (21)
Sehingga dapat disimpulkan “Pusat massa pada sistem partikel bergerak seperti
halnya partikel tunggal bermassa m bekerja pada gaya tunggal F sama dengan jumlah semua
gaya luar yang bekerja pada sistem”.
Dua buah pendekatan differensial :
1. Hukum II Newton
𝑁
2. Prinsip dari kerja nyatanya, sesuai dengan persamaan (11) : 𝐹̅ = ∑𝑘=𝑙,𝑘±𝑙 𝐹̅𝑘𝑙
𝑖

𝐹̅𝑘𝑙
𝑖
merupakan gaya dorong pada partikel 𝑘𝑡ℎ menuju partikel 𝑙𝑡ℎ . Sesuai dengan hukum III
Newton.
𝐹̅𝑘𝑖 = −𝐹̅𝑘𝑖 (22)
Dengan menggunakan persamaan (11) jumlah semua gaya internal adalah
𝑁
∑𝑘=𝑙 𝐹̅𝑘𝑖 = ∑𝑁 𝑁 ̅𝑖
𝑘=𝑙 ∑𝑙=1,𝑙≠1 𝐹𝑘𝑙 (23)

Pada pembuktian terdahulu, diasumsikan bahwa gaya internal datang secara


berpasangan. Kerja yang dilakukan oleh gaya internal 𝐹̅𝑘𝑖 pada suatu simpangan
sesungguhnya 𝛿 untuk partikel ke 𝑘𝑡ℎ adalah : 𝛿𝑊𝑘 = 𝐹̅𝑘𝑖 . 𝛿𝑟̅ (24)
Kerja total yang dilakukan oleh seluruh gaya internal adalah :
𝑁 𝑁
𝛿𝑊 = ∑𝑁 ̅𝑖 ̅𝑖
𝑘=𝑙 𝛿𝑊𝑘 = ∑𝑘=𝑙(𝐹𝑘 . 𝛿𝑟̅ ) = 𝛿𝑟̅ . [∑𝑘=𝑙 𝐹𝑘 ] (25)

𝛿 r sama untuk semua partikel, jika total kerja yang dilakukan oleh gaya internal sama dengan
𝑁
nol untuk semua perpindahan maka : 𝛿𝑟̅ . [∑𝑘=𝑙 F̅ki ] = 0
𝑁 𝑁
Karena 𝛿 tidak nol maka: ∑𝑘=𝑙 𝐹̅𝑘𝑖 = ∑𝑁 ̅i
𝑘=𝑙. ∑𝑙=𝑙,𝑙≠1 Fk = 0 (26)

C. KEKEKALAN MOMENTUM SUDUT


Momentum sudut dari partikel tunggal didefinisikan pada bentuk perkalian silang yaitu:
𝐿̅ = 𝑟̅ 𝑥 𝑝̅ = 𝑟̅ 𝑥 𝑚𝑣̅ (27)
Pada system partikel N momentum sudut total 𝐿̅ dapat ditulis :
𝐿̅ = ∑𝑁 𝑁
𝑘=𝑙 𝑟̅𝑘 𝑥𝑝̅𝑘 = ∑𝑘=𝑙 𝑟̅𝑘 𝑥𝑚
̅ 𝑘 𝑟̇ = 0 (28)
Turunan persamaan (28) terhadap waktu menghasilkan
𝑑𝐿̅
= ∑𝑁 ̇ ̅ 𝑘 𝑟̅𝑘̇ ) + ∑𝑁
𝑘=𝑙(𝑟̅𝑘 𝑥 𝑚
̇ ̅ 𝑘 𝑟̅𝑘̈ )
𝑘=𝑙(𝑟̅𝑘 𝑥𝑚 (29)
𝑑𝑡

Suku pertama bagian kanan diabaikan karena hasil perkalian silangnya sama dengan nol
(𝑟̇ xm𝑟̇ =0), sedangkan m𝑟̇ , dari persamaan (10) sama dengan gaya total yang bekerja pada
partikel k, diperoleh :
𝑑𝐿̅
= ∑𝑁 ̅𝑒 𝑁 ̅𝑖 𝑁 ̅𝑒 𝑁 𝑁 ̅𝑖
𝑘=𝑙[𝑟̅𝑘 𝑥 (𝐹𝑘 + ∑𝑙=𝑙,𝑙≠𝑘 𝐹𝑘𝑙 )] = ∑𝑘=𝑙 𝑟̅𝑘 𝑥 𝐹𝑘 + ∑𝑘=𝑙 ∑𝑙=𝑙,𝑙≠𝑘 𝑟̅𝑘 𝑥 𝐹𝑘𝑙 (30)
𝑑𝑡
Dalam hal ini 𝐹̅𝑘𝑙 merupakan gaya luar total yang bekerja pada partikel k, dan 𝐹̅𝑘𝑙
𝑖

sebagai gaya dalam yang bekerja pada partikel 𝑘𝑡ℎ menuju𝑙𝑡ℎ . Suku kedua pada ruas kanan
sama dengan nol, dalam hal ini,

(𝑟̅𝑘 𝑥𝐹̅𝑘𝑙
𝑖
) + (𝑟̅𝑙 𝑥𝐹̅𝑘𝑙
𝑖
) (31)

Olehkarena 𝐹̅𝑘𝑙
𝑖
= - 𝐹̅𝑙𝑘
𝑖
, maka persamaan dapat dinyatakan seperti gambar (2)
(𝑟̅𝑘 − 𝑟̅𝑙 ) 𝑥 𝐹̅𝑘𝑙
𝑖
= 𝑟𝑘𝑙 𝑥 𝐹̅𝑘𝑙
𝑖
(32)
Penerapan ini sama dengan nol jika gaya dalam adalah pusat. Karena kedua partikel ini
saling tarik menarik atau tolak menolak sehingga suku bagian kanan persamaan (30)
dihilangkan dan persamaannya menjadi :
𝑑𝐿̅
= ∑𝑁 ̅𝑙
𝑙=𝑙 𝐹𝑘 𝑟̅𝑘 (33)
𝑑𝑡

Jika𝜏̅𝑘 merupakan torka pada partikel 𝑘𝑡ℎ , maka torka totalnya adalah
𝑑𝐿̅ 𝑁 ̅𝑙
= ∑𝑁
𝑙=𝑙 𝜏̅𝑘 = ∑𝑙=𝑙 𝐹𝑘 𝑟̅𝑘 (34)
𝑑𝑡

𝑑𝐿̅
Dan = 𝜏̅𝑘 (35)
𝑑𝑡

Kekekalan momentum sudut, untuk sistem yang tertutup , satu sama lain tidak bekerja gaya
luar, torka total 𝜏̅menjadi nol, dalam hal ini momentum sudutnya konstan dalam besar dan
arah yakni
𝑑𝐿̅
𝜏̅ = 0, 𝑑𝑡 = 0 𝑑𝑎𝑛 𝐿̅ = ∑𝑁
𝑙=𝑙 𝑟̅𝑘 × 𝑚𝑘 𝑣̅𝑘 = 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑡𝑎𝑛𝑡 (36)

D. KEKEKALAN ENERGI
Pada beberapa situasi, gaya total yang bekerja pada partikel dalam sistem adalah suatu
fungsi posisi partikel pada sistem. Gaya 𝐹̅ k pada partikel kth adalah :
𝐹̅ k = 𝐹̅ ke + 𝐹̅ ki = 𝐹̅ k (𝑟̅ 1, 𝑟̅ 2......, 𝑟̅ n) dalam hal ini k=1,2,....,N (37)
Gaya luar 𝐹̅ ke dapat tergantung pada posisi 𝑟̅ k dari partikel k, sedangkan gaya dalam 𝐹̅ ki
tergantung pada posisi relatif dari partikel-partikel relatif lain terhadap partikel k, yakni 𝑟k1
= 𝑟k  𝑟1 dan sebagainya. Jika gaya 𝐹 k1 memenuhi kondisi,
∇ 𝑥 𝐹𝑘 = 𝑐𝑢𝑟𝑙 𝐹𝑘 = 0 (38)
Dan, fungsi potensial : 𝑉 = 𝑉(𝑟1 , 𝑟2 , … , 𝑟𝑛 ) (39)
Sehingga
𝜕𝑉 𝜕𝑉 𝜕𝑉
𝐹𝑘𝑥 = − 𝜕𝑥 , 𝐹𝑘𝑦 = − 𝜕𝑦 , 𝐹𝑘𝑧 = − 𝜕𝑧 , dimana k=1,2,...N (40)
𝑘 𝑘 𝑘
Gerak partikel kth dinyatakan sebagai : 𝑚𝑘 𝑟̈𝑘 = 𝑚𝑘 𝑣̇ 𝑘 = 𝐹𝑘 (41)
Dengan menggunakan persamaan (40) didapat
𝑑𝑣𝑘𝑥 𝜕𝑉 𝑑𝑣𝑘𝑦 𝜕𝑉 𝑑𝑣𝑘𝑧 𝜕𝑉
𝑚𝑘 − = − 𝜕𝑥 , 𝑚𝑘 − = − 𝜕𝑦 , 𝑚𝑘 − = − 𝜕𝑧 , (42)
𝑑𝑡 𝑘 𝑑𝑡 𝑘 𝑑𝑡 𝑘

𝑑𝑥 k 𝑑𝑦k
Mengalikan persamaan pertama dengan 𝑣k1 = , persamaan kedua dengan 𝑣k1 = , dan
𝑑𝑡 𝑑𝑡
𝑑𝑧
persamaan ketiga 𝑣𝑘𝑙 = 𝑑𝑡 k, dan menambahkannya sehingga diperoleh,
𝑑 1 𝜕𝑉 𝑑𝑥𝑘 𝜕𝑉 𝑑𝑦𝑘 𝜕𝑉 𝑑𝑧𝑘
(2 𝑚𝑘 𝑣𝑘2 ) + + + = 0 dengan k = 1, 2, .......N (43a)
𝑑𝑡 𝜕𝑥𝑘 𝑑𝑡 𝜕𝑦𝑘 𝑑𝑡 𝜕𝑧𝑘 𝑑𝑡

Jumlah meliputi semua nilai k, maka


𝑑 1 𝜕𝑉 𝑑𝑥𝑘 𝜕𝑉 𝑑𝑦𝑘 𝜕𝑉 𝑑𝑧𝑘
∑𝑁 2 𝑁
𝑘=𝑙(2 𝑚𝑘 𝑣𝑘 ) + ∑𝑘=𝑙 (𝜕𝑥 + + )=0 (43b)
𝑑𝑡 𝑘 𝑑𝑡 𝜕𝑦𝑘 𝑑𝑡 𝜕𝑧𝑘 𝑑𝑡

Dalam hal ini


1
∑𝑁 2
𝑘=𝑙(2 𝑚𝑘 𝑣𝑘 ) = 𝐾 dengan K= Energi Kinetik (44)

Dan
𝜕𝑉 𝑑𝑥𝑘 𝜕𝑉 𝑑𝑦𝑘 𝜕𝑉 𝑑𝑧𝑘 𝑑𝑉
∑𝑁
𝑘=𝑙( + + )= (45)
𝜕𝑥𝑘 𝑑𝑡 𝜕𝑦𝑘 𝑑𝑡 𝜕𝑧𝑘 𝑑𝑡 𝑑𝑡

Oleh karena itu persamaan (43b) dapat dinyatakan


𝑑
(𝐾 + 𝑉) = 0 atau K + V = E = konstan (46)
𝑑𝑡

Yang merupakan “Hukum Kekekalan Energi”.


Jika gaya luar tidak gayut pada posisi dan potensial Vi gayut pada posisi relatif pasangan
partikel, maka
𝑖 𝑖 𝑖
𝑉𝑘𝑙 = 𝑉𝑘𝑙 (𝑟𝑘𝑙 ) = 𝑉𝑘𝑙 (𝑟2 − 𝑟1 ) (48)
Selama :
𝑘−1 𝑖
𝑉 𝑖 = ∑𝑁
𝑘=𝑙 ∑𝑙−1 𝑉𝑘𝑙 (𝑟𝑘𝑙 ) (49)
Dapat diperoleh bahwa :
𝜕𝑉 𝜕𝑉 𝜕𝑉
𝐹𝑘𝑖 = −𝑖̂ − 𝑗̂ − 𝑘̂ (50)
𝜕𝑥𝑘 𝜕𝑦𝑘 𝜕𝑧𝑘

Sistem ini merupakan gaya pergesaran dalam, seperti gaya pergeseran ini gayut pada
kecepatan relatif dari partikel dan bukan gaya pusat, sehingga hukum kekekalan energi,
persamaan (46) tidak dapat dicapai sebagai sistem.

E. Gerak Sistem dengan Variabel Massa


Roket
Teknologi roket berdasarkan pada prinsip sederhana kekekalan momentum linear.
Sebuah roket terdorong kedepan dengan penyemburan massa yang arahnya terbalik
(kebelakang) dalam bentuk gas sebagai hasil pembakaran bahan bakar.
Gaya dorong roket merupakan reaksi menuju gaya dorong ke belakang dari gas yang
keluar dari tempat pembakaran bahan bakar. Untuk menentukan kecepatan roket pada waktu
meninggalkan bumi seperti ditunjukkan gambar3 dala hal ini t sebagai waktu, massa roket
(m) yang bergerak dengan kecepatan v relaif dengan beberapa system koordinat tertentu
(bumi). Kecepatan gas merupakan u terhadap roket, sedang kecepatan u + v terhadap system
koordinat tertentu. Pada interval waktu antara t dan t+dt, sejumlah pembuangan gas adalah
dm= -dm, sedangkan massa roket adalah m + dm dan kecepatan 𝑣 + 𝑑𝑣.
Momentum system pada saat t yakni ̅𝑝(𝑡) = 𝑚𝑣̅ (51)
Dan momentum system pada saat t+dt adalah
̅̅̅̅)(−𝑑𝑚)(𝑣̅ + 𝑑𝑣
𝑝̅(𝑡 + 𝑑𝑡) = proket (t+dt)+pgas(t+dt)=(m+dm)(𝑣̅ + 𝑑𝑣 ̅̅̅̅ ) (52)
Perubahan momentum selama selang waktu dt adalah:
̅̅
𝑑𝑝̅̅  𝑝̅ (𝑡 + 𝑑𝑡)𝑝̅(𝑡) = 𝑚𝑑𝑣
̅̅̅̅ 𝑢̅𝑑𝑚 (53)
Dalam hal ini dm dv ditiadakan, sedangkan persamaan (53) dapat dinyatakan
sebagai ,
𝑑𝑃̅ ̅̅̅̅
𝑑𝑣 𝑑𝑚
= 𝐹̅ = 𝑚 𝑑𝑡 − 𝑢̅ 𝑑𝑡 (54)
𝑑𝑡

Catatan bahwa 𝑢 adalah kecepatan dari gas yang keluar. Persamaan (54) dapat
̅̅̅̅
𝑑𝑣 𝑑𝑚
ditulis sebagai: 𝑚 = 𝑢̅ + 𝐹̅ (55)
𝑑𝑡 𝑑𝑡

m Dalam hal ini 𝐹 sebagai gaya gravitasi, gaya gesek udara, atau beberapa gaya
𝑑𝑣
luar lainnya, sedangkan 𝑚 𝑑𝑡 sebagai gaya daya dorong mesin roket. Oleh

karena dm/dt bernilai negative, daya dorong berlawanan dengan kecepatan u


dari gas yang dikeluarkan. Gaya 𝐹 0 diperlukan untuk menjaga keadaan
setimbang.
𝑑𝑚
𝐹̅ 0 = −𝑢̅ 𝑑𝑡 (56)
𝑑𝑣̅ 𝑑𝑚
untuk 𝐹 = 0 persamaan (55) sebagai, 𝑚 𝑑𝑡 = 𝑢̅ (57)
𝑑𝑡

perkalian kedua sisi dengan dt/m dan diintegrasikan,


𝑣
̅̅̅ = 𝑢̅ ∫𝑚
∫𝑣 ̅𝑑𝑣
𝑑𝑚
atau 𝑣̅ = 𝑣̅0 − 𝑢̅. ln 𝑚] 𝑚𝑚 , karena m0>m maka,
0 𝑚
0 𝑚 0
𝑚0
𝑣̅ = 𝑣̅0 − 𝑢̅0 𝑙𝑛 (58)
𝑚

Kecepatan akhir 𝑣 tergantung pada dua faktor,


1) Besar nilai 𝑢 , kecepatan dari gas yang dikeluarkan dan
2) Besar nilai m0/m, dalam hal ini m0 merupakan massa awal roket dan bahan bakar,
sedangkan m sebagai massa akhir saat semua bakar telah digunakan. Besar nilai m0/m
digunakan untuk satelit pesawat/ roket. Penambahan nilai m0/m digunakan untuk satelit
dan pesawat luar angkasa meninggalkan bumi.
Untuk posisi roket dekat permukaan bumi , maka gaya gravitasi tak dapat diabaikan
sehingga disubstitusi 𝐹 = 𝑚𝑔̅ dalam persamaan (55) dan didapat:
𝑑𝑣 𝑑𝑚
𝑚 𝑑𝑡 = 𝑢 + 𝑚𝑔 (59)
𝑑𝑡

Dan hasil integrasinya,


𝑣
̅̅̅ = 𝑢̅ ∫𝑚
∫0 ̅𝑑𝑣
1 1
𝑑𝑚 + 𝑔̅ ∫0 𝑑𝑡
𝑚 0 𝑚

𝑚
Hasilnya,𝑣̅ = 𝑣̅0 − 𝑢̅. 𝑙𝑛 ( 𝑚0 ) + 𝑔̅ . 𝑡 (60)

Pada saat t=0 dan besar kecepatan 𝑣0 = 0 dan 𝑢 berlawanan dengan 𝑣, maka persamaan (60)
𝑚
menjadi (bentuk scalar) : 𝑉 = 𝑢. 𝑙𝑛 ( 𝑚0 ) − 𝑔. 𝑡 (61)

Pada keadaan awal, daya dorong roket harus cukup besar untuk mengatasi gaya gravitasi
m0g.

Sabuk Conveyer

Ditinjau sabuk-berjalan untuk menghitung gaya 𝐹, diperlukan sabuk berjalan bergerak


horizontal dengan kecepatan 𝑣 sedangkan massa pasir (barang) yang diberikan pada sabuk
tersebut dm/dt. Missal M sebagai massa sabuk dan m sebagai massa pasir pada sabuk
tersebut. Momentum total pada system,sabuk dan pasir pada sabuk yaitu,
𝑝̅ = (𝑚 + 𝑀)𝑣̅ (62)
Karena M dan 𝑣 konstan, sedangkan m berubah maka
𝑑𝑝̅ 𝑑𝑚
𝐹̅ = 𝑑𝑡 = 𝑣̅ 𝑑𝑡 (63)

Dalam hal ini 𝐹 merupakan gaya yang digunkan pada sabuk-berjalan. Daya yang
disuplai oleh gaya agar sabuk-berjalan dapat melaju v yakni,
𝑑𝑚 1 𝑑 1 𝑑𝑘
𝐷𝑎𝑦𝑎 = 𝑃 = 𝐹. 𝑣 = 𝑣 2 = 2 𝑚𝑣 2 = 2 𝑑𝑡 (2 (𝑚 + 𝑀)𝑣 2 ) = 2 𝑑𝑡 (64)
𝑑𝑡
Dalam hal ini besar daya dua kali laju perubahan energy kinetiknya, dan hokum
kekekalan energy mekanik tidak dapat diterapkan disini. Daya yang lepas digunakan untuk
bekerja berlawanan dengan gaya gesek. Ketika pasir mengenai sabuk-berjalan maka harus
dipercepat dari kelajuan nol sampai kelajuan sabuk-berjalan menempuh jaraj tertentu. Pada
pengamat yang berada pada sabuk, pasir yang jatuh ke bawah harus bergerak horizontal
dengan kelajuan v pada arah berlawanan dengan sabuk. Sabuk-berjalan menggerakkan pasir
bermassa dm dengan gaya horizontal 𝑑𝐹̅𝑓 yakni,

𝑑𝐹̅𝑓 = 𝜇(𝑑𝑚)𝑔̅ (65)

Dalam hal ini µ merupakan koefisien gesekan kinetic antara sabuk dan pasir. Jadi
percepatan pasir adalah 𝑎̅ = 𝐹̅ ⁄𝑚 ,sehingga
𝑑𝐹̅𝑓
𝑎̅ = /𝜇𝑔̅ (66)
𝑑𝑚

Jarak x yang ditempuh oleh pasir yang mengalami perubahan kelajuan dari –v ke 0 yakni,
𝑣2 𝑣2
𝑋 = 2𝑎 = 2𝑚𝑔 (67)

Dan kerja yang dilakukan oleh gaya gesekan adalah


𝑣2 1
𝑑𝑊𝑓 = 𝑑𝐹̅𝑓 . 𝑥̅ = 𝜇(𝑑𝑚)𝑔 2𝑚𝑔 2 (𝑑𝑚)𝑣 2 (68)

Daya yang hilang digunakan oleh gaya gesek yakni,


𝑑𝑊𝑓 1 𝑑𝑚 𝑑 1 1
𝑃𝑚 = =2 𝑣 2 = 𝑑𝑓 (2 𝑚𝑣 2 ) = 2 𝑃 (69)
𝑑𝑡 𝑑𝑡

G. Tumbukan Tak Lenting


Pada tumbukan antar partikel, ada kemungkinan energi kinetik akhir lebih kecil dari
pada energi kinetik awal, maka pada kondisi ini sistem menyerap energi, dan dinamakan
endoergenic atau tumbukan jenis pertama, sedangkan tumbukan yang menghasilkan energi
kinetik akhir lebih besar daripada energi energi kinetik awal, maka sistem melepas energi,
dan dinamakan exoergenic atau tumbukan jenis kedua. Jika energi kinetik awal Ki dan energi
kinetik adalah Kf, maka energi disintegrasi (φ) dapat dinyatakan sebagai : φ = Kf - Ki(96)
jika φ > 0 exoergik, tumbukan tak lenting jenis kedua (97a)
φ<0 endoergik, tumbukan tak lenting jenis pertama (97b)
φ=0 exoergik, tumbukan tak lenting jenis kedua (97c)
Seperti tampak pada gambar 8, tumbukan tak lenting antara dua partikel bermassa m1
yang bergerak dengan kecepatan 𝑣1i terhadap sebuah partikel bermassa m2 yang diam, dan
menghasilkan dua partikel baru dengan massa m3 dan m4 yang bergerak dengan kecepatan 𝑣3f
dan 𝑣4f yang membentuk sudut θ3 dan θ4 terhadap sumbu-x. Sedangkan K1, K2, K3, dan K4
merupakan energi kinetik partikel m1, m2, m3, m4, dan energi disintegrasinya Q. Berdasarkan
hukum kekekalan momentum dan energi kinetik, dapat ditulis
m1 𝑣1i = m3 𝑣3f.cosθ3 + m4 𝑣4f.cosθ4 (98)
0 = m3 𝑣3f.sinθ3 - m4 𝑣4f.sinθ4 (99)
Dan K1 + Q = K3 + K4 (100)

m3 𝑣3f

θ3

m1 m2

𝑣1i θ4

Sebelum tumbukan Setelah tumbukan

𝑣4f

Gambar 8. Tumbukan tak elastis antara dua partikel

Dengan demikian akan diperoleh,


(m4𝑣4f)2 = (m1𝑣1i)2 + (m3𝑣3f)2 – 2m1m3𝑣1i.𝑣3f.cosθ3 (101)
Dan mengkombinasi persamaan (100) dan (101) dan menggunakan relasi energi kinetik K1,
K3, danK4, akan diperoleh energi disintegrasinya Q yakni,

(102)
Ditinjau sebuah objek bermassa m1bergerak dengan kecepatan 𝑣1 menabrak sebuah objek lain
yang diam bermassa m2 , dan kemudian kedua objek menempel setelah tumbukan dan
kecepatannya 𝑣2. Menurut hukum konservasi momentum maka,
𝑚1 𝑣1
𝑣2 = 𝑚1+𝑚2 (103)

Dalam hal ini energi kinetik tidak kekal, sehingga


1 1
Q = Kf – Ki = 2 (m1 + m2) v22 - 2 m1 v12

subtitusikan persamaan (103) untuk didapatkan,


–𝑚2
Q = K1 (104)
𝑚1+𝑚2

Yang bernilai negatip dan tumbukannya bersifat endoergik.


Jadi energi minimumnya (energi ambang) dinyatakan dengan persamaan

(105)
Untuk reaksi endoergic K1 harus menjadi ≥ (K1) ambang.
Hukum kekekalan momentum dan energi yang diperlukan pada tumbukan satu dimensi
antara dua buah objek seperti pada gambar 9, yakni
m1𝑣1i + m2𝑣2i = m1𝑣1f + m2𝑣2f (106)
1 1 1 1
m1𝑣1i 2+ 2m2𝑣2i2 = 2m1𝑣1f2+ 2m2𝑣2f2 (107)
2

Dalam hal ini dihasilkan,


𝑣1i + 𝑣2i = 𝑣2f - 𝑣1f (108a)
Atau (𝑣relatif)f = - (𝑣relatif)i (108b)
(𝑣relatif)f
Koefisien restitusi (e) = - (𝑣relatif)i (109)

Dalam hal ini, e=1 untuk tumbukan lenting dan e=0 untuk tumbukan tak lenting
sempurna, untuk tumbukan tak elastis e berada diantara 0 dan 1.

m1 m2 m1 m2

O 𝑣1i 𝑣2i 𝑣1f 𝑣2f X

𝑣1i - 𝑣2i = -(𝑣 real)i 𝑣1i - 𝑣2i = (𝑣 real)f

Gambar 9. Tumbukan lenting satu dimensi antara dua massa m1 dan m2

H. Sistem Koordinat Pusat Massa Dua Benda


Suatu sistem berisi dua objek bermassa m1 dan m2 pada jarak r1dan r2 dari titik asal O,
seperti gambar 10., 𝐹1𝑒dan 𝐹2𝑒merupakan gaya luar yang bekerja pada m1 dan m2 ,

sedangkan 𝐹 12i adalah gaya dalam yang bekerja antara m1 dan m2 , dan F21isebagai gaya
dalam yang bekerja antara m1 dan m2, sesuai dengan hukum III Newton,
𝐹 12i = - F21i= f (110)
Sedangkan gaya luar total yang bekerja pada suatu sitem
F = 𝐹 1e + 𝐹 2e (111)
Mengikuti hukum II Newton, gerak dua benda dalam sistem lab dapat ditulis sebagai :

(112)

(113)

Koordinat pusat massa 𝑅 dapat dinyatakan dengan persamaan,

(114)
Dan koordinat relatif (r) diberikan oleh
𝑟 = 𝑟1 - 𝑟2 (115)
Sedangkan reverse transformasi diberikan dengan persamaan
𝑚2
𝑟1 = R + 𝑚1+𝑚2 𝑟 (116)

m2

CM

r2

R m1

r1

Gambar 10. Pusat massa dan gerak rektif untuk sistem tetap pada dua partikel

𝑚2
Dan 𝑟2= R - 𝑚1+𝑚2 𝑟 (117)

Penjumlah persamaan (112) dan (113) akan diperoleh,


Dengan menggunakan persamaan (110), (111), dan (114), didapatkan persamaan,
(m1 + m2) 𝑅̈ = F
Atau M𝑅̈ = F (118)
𝑅̈ sebagai percepatan pusat massa sistem M (m1 + m2) karena gaya luar F. Selanjutnya
dengan mengalikan persamaan (112) dengan m2 dan persamaan (113) dengan m1 dan
kemudian menguranginya, didapatkan persamaan :
m1m2 (𝑟1 - 𝑟2) = m2𝐹 1e - m1F2e + m2F12i + m1F21i
dari persamaan (110), didapat

(119)
Untuk khasus khusus,𝐹 1e=F2e = 0 (120)
𝐹1𝑒 𝐹𝑒
Atau -𝑚2 (121)
𝑚1 2

Gaya luar yang bekerja pada objek tersebut proposional dengan massanya, sehingga
persamaan (119) menjadi
m1 m2 (𝑟̈ 1 - 𝑟̈ 2) = (m1 + m2) f (122)
Oleh karena massa reduksi didefinisikan sebagai
𝑚1 𝑚2
µ = 𝑚1+𝑚2 (123)

dan 𝑟 = 𝑟1 - 𝑟2, maka persamaan (122)


µr = f (124)
Merupakan persamaan gerak benda bermassa µ yang diberif gaya iternal f = F21i
sehingga menghasilkan percepatan (r) seperti pada persamaan (118).
Untuk menentukan momentum linier (P), anguler (L), dan total energi kinetik K dalam
koordinat pusat massa (CM) maka ditinjau kembali kecepatan pusat massa yakni,

(125)
Dan kecepatan relatif (v)
v = 𝑟̇ = 𝑟̇ 1 - 𝑟̇ 2 (126)
Sedangkan invers tranformasinya dinyatakan sebagai,

(127)
(128)
Dengan demikian total momentum linier sistem yakni,
P = m1 𝑟̇1 + m2𝑟̇ 2 = M𝑅̇ (129)
Dan total momentum sudut sistem yakni,
L = m1(r1 x 𝑟̇ 1) + m2(r2 x 𝑟̇ 2) (130)
Subtitusi untuk 𝑟̇ 1 dan 𝑟̇ 2 dari persamaan (127) dan (125), didapatkan

L = M (R x 𝑅̇ ) x µ (rx 𝑟̇ 2) (131)
Sedangkan untuk energi kinetiknya diberikan oleh persamaan
1 1
K = 2 m1 r12 + 2 m2 r22 (132)

Dengan mensubtitusikan 𝑟̇ 1 dan 𝑟̇ 2 didapat


1 1
K = 2 M𝑅̇ 2 + 2 µ𝑟̇ 2 (133)
1 1
Atau K = 2 M𝑉 2 + 2 µ𝑣̇ 2

I. Tumbukan dalam Sistem Koordinat Pusat Massa


Sebelumnya telah dibahas tumbukan elastik dan tak elastik antar dua benda dari sudut
pandang pengamat yang diam dalam sistem koordinat laboratorium (SKL). Pada banyak
kasus, akan memudahkan apabila pengamatan dilakukan dalam dalam sistem koordinat yang
bergerak terhadap SKL. Umumnya sistem koordinat yang digunakan adalah sistem koordinat
pusat massa (SKPM), di mana tumbukan diamati oleh pengamat yang ada di pusat massa
yang tentunya ikut bergerak dengan kecepatan yang sama dengan pusat massa.
Misalkan sebuah partikel bermassa m1 di x1 bergerak dengan kecepatan v1i, sementara
sebuah partikel bermassa m2 di x2 diam seperti ditunjukkan gambar 11 pusat massa xc
diberikan oleh
(m1 + m2)xc = m1x1 + m2x2 (135)
Sementara kecepatan pusat massa diperoleh dari differensiasi persamaan 135 yaitu
(m1 + m2)vc = m1x1 + m2x2 (136)
Dimana vc = dxc/dt, untuk situasi seperti yang ditunjukkan gambar 11, x1=v1 dan x2=0,
sehingga kecepatan pusat massa vc terhadap SKL diberikan oleh
𝑚1 𝑣1𝑖 µ
vc= = v1i , dimana µ adalah massa tereduksi. (137)
𝑚1+𝑚2 𝑚
Gambar 11. Kecepatan m1 dan m2 dan pusat massanya dalam sistem koordinat lab (SKL).

m1 CM m2

v1i v2i = 0
Misalkan tumbukan antara m1 dan m2 diamati oleh pengamat yang berada dalam
SKPM yang bergerak dengan kecepatan vc. Kecepatan m1 dan m2 terhadap SKPM adalah
v’1i dan v’2i (tanda aksen menunjukkan bahwa besaran digambarkan dalam SKPM).

m1 CM m2

O x
v’1i = v1i- vc v2i = - vc

CM m2
Gambar 12. Gerak partikel m1 dan m2 pada sistem koordinat pusat massa (SKPM).
Gambar 12 menunjukkan gerak kedua partikel terhadap SKPM. Momentum tiap partikel
sebelum tumbukan dalam SKPM
v1i adalah v2i = 0

Jadi momentum linier total dari sistem dalam SKPM sebelum tumbukan adalah

Bahwa momentum linier total sebelum tumbukan sama dengan nol merupakan salah satu sifat
penting dari SKPM. Hal ini berakibat agar momentum liniear kekal, momentum linier total
setelah tumbukan harus nol juga. Dipandang dari SKPM dua partikel bermassa m1 dan m2
saling mendekat dalam garis lurus dan setelah tumbukan saling menjauh dalam garis lurus
juga dengan kecepatan awal yang sama, seperti ditunjukkan dalam gambar 13(a). Garis yang
menghubungkan kedua partikel yang saling menjauh dapat juga membentuk sudut θc (dalam

Y
m1 v1f
v1 θL X
SKPM). Sebagai perbandingan, gambar 13(b) menunjukkan tumbukan yang diapandang dari
SKL.
(a)

(b) Y m1v’1f = v1i - vc


m1 v’2i m2 X

O v’1i = v1i - vc m2

v’2f = vc

SEBELUM SESUDAH
Gambar 13. Tumbukan antara dua partikel bermassa m1 dan m2 yang dilihatdari (a)
SKPM (b) SKL
Selanjutnya akan dibahas masalah bagaimana cara kembali dari SKPM ke SKL dan
hubungan antara sudut yang dibuat oleh partikel setelah tumbukan dengan arah mula-mula
baik dalam SKL maupun SKPM. Dalam SKPM, kecepatan akhir dan arah partikel setelah
tumbukan ditunjukkan pada gambar 13(a). Untuk menentukan kecepatan akhir partikel dalam
SKL, maka prosedur untuk berubah dari SKL ke SKPM dapat dibalik. Hal ini dapat
dilakukan dengan menambahkan ke kecepatan akhir v’1f = (v1i – vc) dan v’2f = vc, kecepatan
pusat massa vc seperti ditunjukkan oleh gambar 14, dapat ditentukan hubungan θL dan ΦL
dalam SKL dan θLdalam SKPM. Dengan menguraikan ke dalam komponennya, persamaan
(143) dapat dituliskan
v1f cos θL = vc + v’1f cosθC (145)
v1f sin θL = v’1f sinθC (146)

vc

v’1f θL v1f

O θc
X

ϕL
Dengan saling membagi akan diperoleh
v’2f v2f

vc
𝑉 ′ 1𝑓𝑠𝑖𝑛 𝜃𝑐 sin 𝜃𝑐
tan 𝜃L= = 𝑉𝑐 (147)
𝑉𝑐+𝑉′1𝑓 𝐶𝑜𝑠 𝜃𝑐 +cos 𝜃𝑐
𝑉′ 1𝑓

sin 𝜃𝑐
atau tan θL = 𝛾+cos 𝜃𝑐 (148)

𝑉𝑐 𝐾𝑒𝑐𝑒𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛𝑝𝑢𝑠𝑎𝑡𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚𝑆𝐾𝐿
Dimana γ = = (149)
𝑉′1𝑓 𝐾𝑒𝑐𝑒𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛𝑚1 𝑠𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ𝑡𝑢𝑚𝑏𝑢𝑘𝑎𝑛𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚𝑆𝐾𝑃𝑀

Nilai dari vc dan v’1f diberikan oleh persamaan (137) dan (135). Dari persamaan (137)
𝑚1 µ
vc = v1i = v1i (150)
𝑚1+𝑚2 𝑚2

Dimana µ adalah massa tereduksi dan v1i adalah kecepatan relatif awal (= v1i – v2i = v1i – 0
=v1i). Kecepatan relatif akhir, v’1f (= v’1i), dari persamaan (138) sama dengan
𝑚2 µ
v’1f = v1f = v1f (151)
𝑚1+𝑚2 𝑚1

Gabungan tiga persamaan tersebut (dan dengan memperhatikan bahwa kecepatan akhir
sama dengan kecepatan awal dalam SKPM), diperoleh
𝑉𝑐 𝑚1 𝑉1𝑖
γ= = (152)
𝑉′1𝑓 𝑚2 𝑉1𝑓

Untuk tumbukan tak lenting v1i ≠ v1f sehingga persamaan (145) menjadi
sin 𝜃𝑐
tan θL = (153)
𝑚1 𝑣1𝑖 / 𝑚2 𝑣1𝑓+cos 𝜃𝑐

Untuk tumbukan lenting, v1i = v1fsehingga persamaan (153) menjadi


sin 𝜃𝑐
tan θL = (154)
(𝑚1 / 𝑚2)+cos 𝜃𝑐

Ditinjau beberapa kasus khusus dari persamaan (154) untuk tumbukan lenting :
Kasus (a) : Jika m1 = m2, seperti dalam khusus tumbukan antara neutron dan proton,
persamaan (154) dapat dituliskan sebagai
𝜃𝑐 𝜃𝑐
sin 𝜃𝑐 2 sin( )cos( ) 𝜃𝑐
tan θL = = 2
𝜃𝑐
2
= tan (155)
1 +cos 𝜃𝑐 2 𝑐𝑜𝑠2 ( ) 2
2

𝜃𝑐
sehingga θL = (156)
2

Karena dalam SKPM θc dapat memiliki nilai antara 0 dan π, maka θL dapat memiliki
𝜋
nilai maksimum 2 .

Kasus (b) : Jika m2 >m1, persamaan (154) dapat dituliskan sebagai


sin 𝜃𝑐
tan θL ≈ = tan 𝜃c (157)
cos 𝜃𝑐
sehingga θL ≈ θ C (158)
Kasus (c) : Jika m1 >m2, partikel yang menumbuk lebih berat dibandingkan partikel sasaran.
Dalam kasus ini, θL harus sangat kecil, tidak peduli berapa nilai θc.Hal ini bersesuaian dengan
persamaan (90) yang menyatakan bahwa θL tidak dapat lebih besar nilainya dibandingkan
dengan nilai maksimum θmaks.

Anda mungkin juga menyukai