Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kerancuan harus selalu ditangani dalam penelitian yang berkaitan

dengan kausalitas. Ketika ada kerancuan, maka menghasilkan estimasi

yang bias dari efek pajanan pada penyakit. Bias bisa yang negatif akan

menghasilkan underestimation dari efek paparan bahkan dapat

membalikkan arah gaya yang terlihat. Hal Ini merupakan masalah yang

sering ditemukan pada desain penelitian atau analisis dalam statistik

(Grimes and Schulz, 2002).

Dalam epidemiologi, seperti bidang sains lainnya, dimana

bertujuan untuk mencari penyebab penyakit, seperti: paparan yang

mengubah risiko infeksi. Sebagai contoh, dengan "merokok menyebabkan

kanker paru-paru," misalnya mengindikasikan merokok meningkatkan risiko

kanker paru-paru; risiko kanker paru-paru seumur hidup adalah 17% pada

pria perokok versus 1% pada pria non-perokok. Setelah menemukan bahwa

merokok menyebabkan kanker paru-paru, orang-orang didorong untuk

tidak merokok, dan kebijakan publik dibuat. Sedangkan sebab dan akibat

selalu mengakibatkan perubahan dalam risiko, yang sebaliknya tidak selalu

benar. Meningkatkan risiko hasil kesehatan di hadapan paparan tidak selalu

menyiratkan hubungan sebab akibat antara paparan dan hasil. Salah satu

alasan untuk asosiasi non-kausal seperti itu adalah adanya variabel ketiga

yang disebut variabel perancu atau perancu (Villeneuve and Mao, 1994).

1
Perancu / Confounding adalah variabel yang mendistorsi

hubungan antara dua variabel lainnya (paparan dan hasil). Seringkali

paparan adalah apa yang sedang dipelajari sebagai penyebab potensial

masalah, seperti kehilangan gigi pada contoh berikut: penyesuaian statistik

untuk perancu menghasilkan perubahan risiko relatif. Agar variabel menjadi

membingungkan, mereka harus memiliki tiga karakteristik: 1) mereka harus

terkait dengan paparan (sebab atau akibat); 2) itu harus menjadi penyebab,

atau objek pengganti, untuk hasil kesehatan; 3) tidak boleh berada di jalur

sebab akibat antara faktor risiko potensial dan hasil (Kamangar, 2012).

Contoh berikut, penelitian menunjukkan bahwa paritas yang lebih

tinggi (jumlah kehamilan ibu) dikaitkan dengan risiko Down Syndrome yang

lebih tinggi. Misalnya, rata-rata, kehamilan kesepuluh lebih mungkin

menghasilkan anak dengan Down Syndrome daripada kehamilan pertama.

Namun, kita tahu bahwa hubungan ini bukan karena paritas, tetapi karena

usia ibu, karena anak kesepuluh rata-rata dilahirkan oleh ibu yang lebih tua

daripada anak pertama. Faktanya, anak kesepuluh dari seorang ibu yang

berusia 26 tahun saat hamil mungkin memiliki risiko lebih rendah untuk

Down Syndrome daripada anak pertama yang lahir dari seorang ibu yang

berusia 39 tahun. Dalam hal ini, usia (perancu) dikaitkan dengan eksposur

(paritas) dan hasil (Down Syndrome) tetapi tidak datang di antara mereka

(Gambar 1) (Torfs and Christianson, 1999).

2
Gambar 1. Hubungan antara paritas dan Down Syndrome dibangun berdasarkan usia ibu. Dalam
gambar ini, panah dua sisi menunjukkan asosiasi (kausal atau non-kausal), panah satu sisi berarti
hubungan sebab-akibat, dan panah putus-putus menunjukkan hubungan sebab- akibat, dan panah
putus-putus menunjukkan hubungan kausal potensial yang sedang diselidiki.

Perancu dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori: kualitatif

dan kuantitatif. Setelah disesuaikan untuk perancu kualitatif, hubungan

antara eksposur dan hasil sepenuhnya menghilang atau bahkan

membalikkan arah, yang berarti bahwa kualitas atau sifat perubahan

asosiasi (Johnson, 2001).

Memahami perancu sangat penting dalam menentukan

kesimpulan apa yang dapat diambil dari temuan penelitian. Apakah

merokok di dalam ruangan merupakan penyebab eksaserbasi asma atau

apakah faktor ketiga (misalnya, polusi udara) penyebab sebenarnya?

Kegagalan untuk mendeteksi pengganggu dapat menyebabkan kesimpulan

yang salah (Phillips and Smith, 1994). Beberapa masalah harus

dipertimbangkan ketika mengevaluasi pendekatan yang digunakan oleh

peneliti untuk menangani perancu.

B. Tujuan

Makalah ini bertujuan untuk membahas kerancuan dalam studi

epidemiologi.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kriteria untuk Perancu

Dalam situasi tertentu, kriteria pertama, tetapi bukan yang kedua,

untuk faktor perancu terpenuhi dan faktor ketiga (misalnya, polusi udara)

hanya dikaitkan dengan hasil (misalnya, eksaserbasi asma). Ketika

ditambahkan ke model statistik, faktor ketiga adalah variabel tambahan

yang dapat membantu menjelaskan hasil (Blair et al., 2007). Dalam hal ini,

faktor ketiga tidak mengacaukan hubungan antara paparan dan hasil. Jenis

hubungan di antara variabel-variabel ini berbeda dari perancu .

Gambar 2. Representasi grafis hipotetis tentang bagaimana polusi udara


mengacaukan hubungan antara merokok di dalam ruangan dan eksaserbasi asma.
Jalur a dan b (panah berkepala dua) menunjukkan hubungan asosiasi. Jalur c
(panah berkepala tunggal) menunjukkan hubungan sebab akibat.

Contoh: Agar polusi udara mengacaukan hubungan antara

merokok di dalam ruangan (paparan) dan eksaserbasi asma (hasil) pada

anak-anak, kriteria berikut harus dipenuhi:

4
1) Polusi udara merupakan faktor risiko eksaserbasi asma.

2) Polusi udara dikaitkan dengan merokok di dalam ruangan.

3) Polusi udara bukan langkah menengah dalam jalur sebab akibat

antara merokok di dalam ruangan dan eksaserbasi asma.

Jika ketiga kriteria ini terpenuhi, hubungan sebab akibat antara

merokok di dalam ruangan dan eksaserbasi asma tidak ada (Gambar 1).

Merokok di dalam ruangan dan eksaserbasi asma juga terkait (Gilmour et

al., 2006).

B. Perancu Bukanlah Mediasi

Perancu sering dikacaukan dengan mediasi. Baik perancu dan

mediator terkait secara kausal dengan hasilnya. Meskipun kedua perancu

dan mediator terkait dengan eksposur, hubungan tersebut merupakan

penyebab bagi mediator, tetapi tidak untuk perancu (Babyak, 2009). Seperti

yang ditunjukkan pada Gambar 2, panah mengarah dari eksposur ke

mediator, menunjukkan bahwa mediator adalah efek dari variabel eksposur.

Gambar 3. Representasi grafis dari model mediasi.

5
C. Perancu dalam Desain Studi

Dalam menguji efek kausal yang sebenarnya, penting untuk

mencegah, meminimalkan, atau mengukur efek perancu. Salah satu

pendekatan adalah melalui desain studi. Spesifikasi dan pencocokan

adalah strategi untuk menangani perancu dalam desain penelitian.

Spesifikasi (juga disebut pembatasan) melibatkan pembatasan pendaftaran

studi untuk peserta yang memiliki nilai atau tingkat tertentu dari variabel

perancu (Pourhoseingholi, Baghestani and Vahedi, 2012). Sebagai contoh,

jika polusi udara diyakini sebagai faktor perancu, sebuah penelitian dapat

mendaftarkan hanya individu yang tinggal di daerah dengan polusi rendah.

Jika hubungan antara merokok dan eksaserbasi asma diamati, pencemaran

udara tidak dapat menjadi penyebabnya karena ia tetap konstan. Salah satu

kelemahan dari spesifikasi adalah ia mengurangi ukuran sampel dan

heterogenitas sampel, sehingga mengurangi kekuatan statistik dan validitas

eksternal (generalisasi) (Pourhoseingholi, Baghestani and Vahedi, 2012).

Pencocokan adalah strategi desain studi lain untuk mencegah

perancu. Salah satu pendekatan adalah pencocokan tingkat individu,

menggunakan desain studi kasus-kontrol di mana kasus dan kontrol

dicocokkan sehubungan dengan faktor perancu. Dalam contoh kasus,

kasus dan kontrol dapat dicocokkan dengan status paparan polusi. Satu

keuntungan dari pendekatan ini adalah dapat diperluas untuk

memungkinkan pencocokan pada beberapa pembaur potensial yang

berbeda. Salah satu kelemahan utama dari pencocokan adalah bahwa hal

6
itu menghalangi studi tentang efek dari perancu pada hasil (Groenwold et

al., 2013).

D. Perancu setalah studi

Teknik stratifikasi dan multivariat adalah dua strategi analitik untuk

menangani perancu. Stratifikasi melibatkan pengelompokan mata pelajaran

berdasarkan level variabel pembaur yang potensial, kemudian menguji

hubungan keterpaparan dengan hasil di dalam setiap strata (Zatzick and

Galea, 2007). Apakah merokok di dalam ruangan dikaitkan dengan

eksaserbasi asma terlepas dari tingkat polusi udara? Untuk menjawab

pertanyaan ini, perlu dipertimbangkan studi hipotetis berikut tentang

hubungan antara polusi udara, merokok di dalam ruangan, dan eksaserbasi

asma anak-anak. Variabel polusi udara dikategorikan ke dalam dua strata

(polusi udara level rendah dan level tinggi), dan variabel merokok di dalam

ruangan adalah ukuran dikotomis (terpapar asap dalam ruangan dan tidak

terpapar asap dalam ruangan). studi hipotesis mengungkapkan bahwa

prevalensi eksaserbasi asma lebih tinggi untuk anak-anak yang terpapar

merokok di dalam ruangan pada strata polusi udara tingkat tinggi

dibandingkan dengan anak-anak yang terpapar merokok di dalam ruangan

di strata polusi udara tingkat rendah. Dalam contoh ini, kemungkinan

eksaserbasi asma lebih tinggi untuk anak-anak yang terpapar merokok

dalam ruangan dibandingkan dengan mereka yang tidak terpapar merokok

dalam ruangan, terlepas dari tingkat polusi udara (Dekkers et al., 2012).

7
Dalam banyak kasus, seorang peneliti menggunakan stratifikasi

untuk berurusan dengan perancu yang diketahui. Kasus dikelompokkan

berdasarkan variabel pembaur yang diketahui, dan peneliti menguji

hubungan antara paparan dan hasil dalam setiap strata. Salah satu

kelemahan utama dari strategi stratifikasi adalah bahwa mungkin tidak

layak untuk menangani banyak pembaur. Ketika jumlah strata meningkat,

ukuran sampel dalam setiap strata berkurang, mengurangi kekuatan

statistik. Kelemahan lain adalah bahwa stratifikasi mungkin tidak cukup

untuk mengontrol perancu. Sebagai contoh, mendikotomasikan variabel

kontinu untuk membuat dua strata (misalnya, polusi rendah versus polusi

tinggi) dapat mengakibatkan terlalu kasar ukuran untuk mengendalikan

polusi secara memadai sebagai perancu (Elvik, 2002).

Para peneliti umumnya menggunakan teknik statistik multivariabel

untuk menyesuaikan perancu ketika memeriksa hubungan antara variabel

penyebab dan efek. Teknik-teknik seperti regresi logistik multivariabel atau

pemodelan persamaan struktural memungkinkan pemahaman tentang

seberapa banyak variabilitas dalam suatu hasil diperhitungkan oleh

perancu. Teknik statistik multivariabel juga memungkinkan peneliti

mengendalikan lebih banyak faktor daripada stratifikasi. Salah satu

kelemahan potensial adalah bahwa teknik multivariabel mengharuskan

pembaca untuk memahami bagaimana menafsirkan makna odds rasio yang

disesuaikan dan koefisien regresi serta bagaimana signifikansi statistik

ditentukan (Jager et al., 2008).

8
E. Efek Modifikasi dan Kerancuan

Efek Modifikasi juga merupakan variabel ketiga yang

memengaruhi hubungan antara paparan dan hasil. Efek modifikasi adalah

variabel yang memodifikasi kekuatan hubungan antara paparan dan hasil.

Stratifikasi adalah metode untuk mengidentifikasi pengubah efek. Ketika

kita stratifikasi hasil dari asosiasi faktor risiko potensial dan hasil kesehatan

oleh dua tingkat variabel ketiga, jika dua risiko relatif (atau dua odds rasio)

secara statistik berbeda satu sama lain, kita akan menyimpulkan bahwa ada

adalah efek modifikasi (interaksi) (Platt, Schisterman and Cole, 2009).

9
BAB III

KESIMPULAN

Dalam makalah ini dapat disimpulkan bahwa faktor perancu

menimbulkan masalah besar dalam mengidentifikasi penyebab sebenarnya

penyakit. Perancu dapat keliru meningkatkan atau mengurangi besarnya

asosiasi, atau bahkan membalikkan arah asosiasi. Ketika pengganggu

hadir, hubungan nyata memang ada antara paparan dan hasilnya. Namun,

paparan yang dihipotesiskan bukanlah penyebab dari hasilnya. Variabel

ketiga, perancu, adalah penyebab langsung dari hasilnya. Perancu juga

terkait dengan eksposur, meskipun bukan sebagai penyebab eksposur.

Berurusan dengan perancu diperlukan, tetapi tidak cukup, untuk

menunjukkan validitas internal.

10
DAFTAR PUSTAKA

Babyak, M. A. (2009) ‘Understanding confounding and mediation’,


Evidence-based mental health. Royal College of Psychiatrists,
12(3), pp. 68–71.
Blair, A. et al. (2007) ‘Methodological issues regarding confounding and
exposure misclassification in epidemiological studies of
occupational exposures’, American journal of industrial medicine.
Wiley Online Library, 50(3), pp. 199–207.
Dekkers, O. M. et al. (2012) ‘Distinguishing case series from cohort
studies’, Annals of internal medicine. American College of
Physicians, 156(1_Part_1), pp. 37–40.
Elvik, R. (2002) ‘The importance of confounding in observational before-
and-after studies of road safety measures’, Accident Analysis &
Prevention. Elsevier, 34(5), pp. 631–635.
Gilmour, M. I. et al. (2006) ‘How exposure to environmental tobacco
smoke, outdoor air pollutants, and increased pollen burdens
influences the incidence of asthma’, Environmental health
perspectives. National Institute of Environmental Health Sciences,
114(4), pp. 627–633.
Grimes, D. A. and Schulz, K. F. (2002) ‘Bias and causal associations in
observational research’, The lancet. Elsevier, 359(9302), pp. 248–
252.
Groenwold, R. H. H. et al. (2013) ‘Adjustment for continuous confounders:
an example of how to prevent residual confounding’, Cmaj. Can
Med Assoc, 185(5), pp. 401–406.
Jager, K. J. et al. (2008) ‘Confounding: what it is and how to deal with it’,
Kidney international. Elsevier, 73(3), pp. 256–260.
Johnson, B. (2001) ‘Toward a new classification of nonexperimental
quantitative research’, Educational Researcher. Sage Publications
Sage CA: Thousand Oaks, CA, 30(2), pp. 3–13.
Kamangar, F. (2012) ‘Confounding variables in epidemiologic studies:
basics and beyond’, Arch Iran Med, 15(8), pp. 508–516.
Phillips, A. N. and Smith, G. D. (1994) ‘Cigarette smoking as a potential
cause of cervical cancer: has confounding been controlled?’,
International journal of epidemiology. Oxford University Press,
23(1), pp. 42–49.
Platt, R. W., Schisterman, E. F. and Cole, S. R. (2009) ‘Time-modified
confounding’, American journal of epidemiology. Oxford University
Press, 170(6), pp. 687–694.
Pourhoseingholi, M. A., Baghestani, A. R. and Vahedi, M. (2012) ‘How to
control confounding effects by statistical analysis’,
Gastroenterology and Hepatology from bed to bench. Shahid
Beheshti University of Medical Sciences, 5(2), p. 79.
Torfs, C. P. and Christianson, R. E. (1999) ‘Maternal risk factors and major
associated defects in infants with Down syndrome’, Epidemiology.

11
JSTOR, pp. 264–270.
Villeneuve, P. J. and Mao, Y. (1994) ‘Lifetime probability of developing
lung cancer, by smoking status, Canada.’, Canadian journal of
public health= Revue canadienne de sante publique, 85(6), pp.
385–388.
Zatzick, D. F. and Galea, S. (2007) ‘An epidemiologic approach to the
development of early trauma focused intervention’, Journal of
Traumatic Stress: Official Publication of The International Society
for Traumatic Stress Studies. Wiley Online Library, 20(4), pp. 401–
412.

12

Anda mungkin juga menyukai