Kerancuan (Epidemiologi)
Kerancuan (Epidemiologi)
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
yang bias dari efek pajanan pada penyakit. Bias bisa yang negatif akan
membalikkan arah gaya yang terlihat. Hal Ini merupakan masalah yang
kanker paru-paru; risiko kanker paru-paru seumur hidup adalah 17% pada
tidak merokok, dan kebijakan publik dibuat. Sedangkan sebab dan akibat
menyiratkan hubungan sebab akibat antara paparan dan hasil. Salah satu
alasan untuk asosiasi non-kausal seperti itu adalah adanya variabel ketiga
yang disebut variabel perancu atau perancu (Villeneuve and Mao, 1994).
1
Perancu / Confounding adalah variabel yang mendistorsi
terkait dengan paparan (sebab atau akibat); 2) itu harus menjadi penyebab,
atau objek pengganti, untuk hasil kesehatan; 3) tidak boleh berada di jalur
sebab akibat antara faktor risiko potensial dan hasil (Kamangar, 2012).
tinggi (jumlah kehamilan ibu) dikaitkan dengan risiko Down Syndrome yang
Namun, kita tahu bahwa hubungan ini bukan karena paritas, tetapi karena
usia ibu, karena anak kesepuluh rata-rata dilahirkan oleh ibu yang lebih tua
daripada anak pertama. Faktanya, anak kesepuluh dari seorang ibu yang
berusia 26 tahun saat hamil mungkin memiliki risiko lebih rendah untuk
Down Syndrome daripada anak pertama yang lahir dari seorang ibu yang
berusia 39 tahun. Dalam hal ini, usia (perancu) dikaitkan dengan eksposur
(paritas) dan hasil (Down Syndrome) tetapi tidak datang di antara mereka
2
Gambar 1. Hubungan antara paritas dan Down Syndrome dibangun berdasarkan usia ibu. Dalam
gambar ini, panah dua sisi menunjukkan asosiasi (kausal atau non-kausal), panah satu sisi berarti
hubungan sebab-akibat, dan panah putus-putus menunjukkan hubungan sebab- akibat, dan panah
putus-putus menunjukkan hubungan kausal potensial yang sedang diselidiki.
B. Tujuan
epidemiologi.
3
BAB II
PEMBAHASAN
untuk faktor perancu terpenuhi dan faktor ketiga (misalnya, polusi udara)
yang dapat membantu menjelaskan hasil (Blair et al., 2007). Dalam hal ini,
faktor ketiga tidak mengacaukan hubungan antara paparan dan hasil. Jenis
4
1) Polusi udara merupakan faktor risiko eksaserbasi asma.
merokok di dalam ruangan dan eksaserbasi asma tidak ada (Gambar 1).
al., 2006).
penyebab bagi mediator, tetapi tidak untuk perancu (Babyak, 2009). Seperti
5
C. Perancu dalam Desain Studi
studi untuk peserta yang memiliki nilai atau tingkat tertentu dari variabel
jika polusi udara diyakini sebagai faktor perancu, sebuah penelitian dapat
udara tidak dapat menjadi penyebabnya karena ia tetap konstan. Salah satu
kasus dan kontrol dapat dicocokkan dengan status paparan polusi. Satu
berbeda. Salah satu kelemahan utama dari pencocokan adalah bahwa hal
6
itu menghalangi studi tentang efek dari perancu pada hasil (Groenwold et
al., 2013).
(polusi udara level rendah dan level tinggi), dan variabel merokok di dalam
ruangan adalah ukuran dikotomis (terpapar asap dalam ruangan dan tidak
dalam ruangan, terlepas dari tingkat polusi udara (Dekkers et al., 2012).
7
Dalam banyak kasus, seorang peneliti menggunakan stratifikasi
hubungan antara paparan dan hasil dalam setiap strata. Salah satu
kontinu untuk membuat dua strata (misalnya, polusi rendah versus polusi
8
E. Efek Modifikasi dan Kerancuan
kita stratifikasi hasil dari asosiasi faktor risiko potensial dan hasil kesehatan
oleh dua tingkat variabel ketiga, jika dua risiko relatif (atau dua odds rasio)
secara statistik berbeda satu sama lain, kita akan menyimpulkan bahwa ada
9
BAB III
KESIMPULAN
hadir, hubungan nyata memang ada antara paparan dan hasilnya. Namun,
10
DAFTAR PUSTAKA
11
JSTOR, pp. 264–270.
Villeneuve, P. J. and Mao, Y. (1994) ‘Lifetime probability of developing
lung cancer, by smoking status, Canada.’, Canadian journal of
public health= Revue canadienne de sante publique, 85(6), pp.
385–388.
Zatzick, D. F. and Galea, S. (2007) ‘An epidemiologic approach to the
development of early trauma focused intervention’, Journal of
Traumatic Stress: Official Publication of The International Society
for Traumatic Stress Studies. Wiley Online Library, 20(4), pp. 401–
412.
12