id 15
digilib.uns.ac.id
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Kajian Pustaka
1. Berpikir dan Proses Berpikir
Berpikir berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) adalah
menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu. Di
sisi lain, Radford (2009) menyatakan bahwa “...thinking is a pure mental
activity, something immaterial, independent of the body, occuring in the head”.
Berpikir adalah suatu aktivitas mental yang alami, sesuatu yang tidak berwujud,
kebebasan dari tubuh, terjadi di dalam kepala. Oleh karena itu, berpikir tidak
terlihat oleh indera manusia.
Costa (dalam Zaleha Izhab Hassoubah, 2008) mengungkapkan bahwa
berpikir adalah suatu proses kognitif, suatu tindakan mental untuk memperoleh
pengetahuan. Menurut Sobur (2010) berpikir adalah suatu kegiatan mental yang
melibatkan kerja otak untuk memahami sesuatu yang dialami atau mencari jalan
keluar dari persoalan yang sedang dihadapi.
Berdasarkan uraian pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
berpikir adalah suatu proses kognitif yang meliputi kegiatan metal atau proses
bekerjanya akal budi manusia untuk memahami sesuatu yang dialami atau
mencari jalan keluar dari permasalahan yang sedang dihadapi, sehingga
memperoleh pengetahuan.
Setelah menemukan cara untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi
melalui aktivitas mental yang dialami, kegiatan selanjutnya yang dilakukan oleh
seseorang tersebut yakni tampak adanya keterlibatan aktif untuk mengungkap-
kan pikirannya melaui proses berpikir yang telah dilalui. Proses berpikir menurut
Marpaung (dalam Siswono, 2002) merupakan suatu proses yang dimulai dari
penemuan informasi (dari luar atau dalam diri siswa), pengolahan, penyimpanan
dan memanggil kembali informasi itu dari ingatan siswa. Di sisi lain, Sobur
(2010) menyatakan bahwa dalam proses berpikir termuat kegiatan memastikan,
commit mengevaluasi,
merancang, menghitung, mengukur, to user membandingkan, meng-
15
library.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id
dari tingkah laku yang sederhana sampai yang kompleks. Teori Piaget mengenal
adanya skema perilaku (aktivitas fisik) yang merupakan ciri dari masa bayi dan
skema mental (aktivitas kognitif) yang berkembang pada masa kanak-kanak.
Skema perilaku dari masa bayi ini disusun melalui tindakan sederhana yang bisa
dilakukan terhadap objek-objek, seperti melihat, menggenggam, dan lain
sebagainya. Orang dewasa mempunyai skema yang terdiri dari strategi dan
rencana untuk menyelesaikan suatu masalah.
Piaget memberikan konsep asimilasi dan akomodasi untuk menjelaskan
bagaimana anak-anak menggunakan dan menyesuaikan skema mereka.
Asimilasi (assimilation) menurut Ormrod (2008) merupakan proses merespons
terhadap suatu objek atau peristiwa sesuai dengan skema yang telah dimiliki.
Suatu informasi (pengetahuan) baru dikenalkan kepada seseorang dan
pengetahuan itu akan diadaptasi sehingga terbentuklah pengetahuan baru.
Senada dengan hal tersebut, Piaget (dalam Irpan, 2009) menegaskan bahwa
“Assimilation refers to the ability to explain events based on available cognitive
contructions or current schemas. Assimilation is the process of taking in new
information and fitting it in to prior knowledge about objects or the world”.
Kalimat tersebut menunjukkan bahwa asimilasi menunjukkan kemampuan
untuk menjelaskan kejadian berdasarkan skema yang sudah dimiliki. Karena itu
dalam asimilasi, agar stimulus dapat dintegrasikan maka stimulus yang masuk
harus sesuai dengan skema yang sudah dimiliki. Dengan demikian secara
teoritis, asimilasi tidak menghasilkan perubahan skemata, tetapi asimilasi
mempengaruhi pertumbuhan skemata.
Akomodasi (accomodation) merupakan proses merespon suatu peristiwa
baru dengan memodifikasi skema yang telah ada sehingga sesuai dengan objek
atau peristiwa baru, atau membentuk skema yang sama sekali baru yang sesuai
dengan objek atau peristiwa yang dialami. Jika siswa mendapat informasi baru
dan informasi tersebut agak berbeda atau sama sekali tidak cocok dengan skema
yang telah ada maka akan dibentuk skema baru yang cocok dengan informasi
itu. Sebaliknya, jika informasi baru itu hanya kurang sesuai dengan skema yang
telah ada maka skema yang lama commit to user
tersebut akan dimodifikasi sehingga cocok
library.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id
dengan informasi baru itu. Senada dengan hal tersebut, Piaget (dalam Irpan,
2009) menegaskan bahwa “Accomodation refers to the ability to change the
cognitive contruction of schemas to make meaning of surroundings or the
natural world. Accomodation means being able to adjust to new experiences by
revising the old plan to fit the new”. Dapat dikatakan bahwa akomodasi
merupakan proses pengintegrasian stimulus baru melalui pembentukan skema
baru untuk menyelesaikan dengan stimulus yang diterima. Akomodasi terjadi
ketika belum ada struktur yang sesuai, sehingga perlu mengubah struktur lama
atau membentuk struktur baru agar sesuai dengan stimulus yang diterima.
Proses ini juga sering disebut restrukturisasi.
Pada penelitian ini, digunakan indikator-indikator proses berpikir
asimilasi dan akomodasi yang diadaptasi dari peneliti terdahulu yaitu Widyastuti
(2014). Adapun indikator proses berpikir asimilasi dan akomodasi dalam
mengkonstruksi pengetahuan yang digunakan peneliti disajikan pada Tabel 2.1.
Langkah- Indikator
Langkah
langkah Polya Asimilasi Akomodasi
1 Memahami Siswa langsung dapat Siswa memerlukan
masalah memberikan informasi suatu proses (seperti
mengenai apa yang membaca berulang-
diketahui dan apa yang ulang masalah yang
ditanyakan dari soal. ada, atau lain se-
bagainya) untuk bisa
menuliskan apa yang
diketahui dan di-
tanyakan dari soal.
2 Menyusun Siswa dapat langsung Siswa memodifikasi
rencana menyebutkan dan pengetahuan yang
penyelesaian menyusun dengan sudah diperolehnya
masalah benar langkah dan dengan cara mencari
metode apa yang akan alternatif pemecahan
digunakan untuk masalah dengan
menyelesaikan soal caranya sendiri.
dengan lancar.
3 Menyelesaikan Siswa dapat langsung Siswa menyelesaikan
masalah sesuai menyelesaikan masa- soal tidak sesuai
commit to user
perencanaan lah yang ada pada soal dengan perencanaan
library.uns.ac.id 19
digilib.uns.ac.id
Langkah- Indikator
Langkah
langkah Polya Asimilasi Akomodasi
dengan lancar sesuai yang telah dibuat
dengan perencanaan atau siswa ragu-ragu
yang telah dibuat dalam menyelesai-
sebelumnya. kan masalah yang
ada pada soal.
4 Memeriksa Siswa meyakini ke- Siswa mampu mem-
kembali hasil benaran jawaban yang buat pemecahan
yang telah telah diperoleh sesuai masalah yang baru
diperoleh dengan cara yang telah dengan metode lain
diajarkan. untuk memeriksa
jawabannya, atau
siswa melakukan
suatu proses (seperti
membuat tabel,
membaca berulang-
ulang masalah yang
ada, atau lain
sebagainya) untuk
bisa menemukan cara
agar dapat memerik-
sa kembali hasil yang
diperoleh.
3. Pemecahan Masalah
Untuk mendapatkan hasil optimal dalam pemecahan masalah diper-
lukan langkah-langkah atau prosedur pemecahan yang terorganisir dengan baik.
Salah satu bentuk pengorganisasian pemecahan masalah matematika yang
dikemukakan oleh Polya (1973: 5-19) terdiri dari: (1) memahami masalah
(understanding the problem); (2) menyusun rencana; (devising a plan) (3)
melaksanakan rencana penyelesaian (carrying out the plan); dan (4) memeriksa
kembali (looking back). Keempat langkah tersebut dijelaskan sebagai berikut.
a. Memahami Masalah
Memahami masalah merupakan langkah penting dalam menye-
lesaikan suatu masalah. Tanpa memahami masalah dengan baik, sese-
orang tidak akan dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Pada
tahap ini pernyataan yang ada pada soal harus dapat dipahami dengan
commit to user
benar. Memahami masalah dapat dilakukan dengan cara membaca soal
library.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id
commit to user
library.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id
4. Interferensi Berpikir
Interferensi merupakan salah satu mekanisme yang menyebabkan
manusia melupakan sesuatu. Hal ini didukung oleh Wade & Tavris (2007) yang
mengungkapkan bahwa para psikolog mengajukan lima mekanisme yang
menyebabkan seseorang melupakan sesuatu, yakni kemunduran (decay),
terhapusnya memori lama karena memori baru, interferensi, kelupaan akibat
ketiadaan informasi pengingat (cue-dependent forgetting), dan amnesia
psikologis yang disebabkan oleh represi terhadap suatu memori tertentu. Cubelli
(2010) menjelaskan berdasarkan pendapat Roediger, et al bahwa lupa merupa-
kan hilangnya informasi dalam mengambil informasi dalam waktu tertentu.
Anderson (dalam Raharjanti, 2016) menyatakan bahwa ketika
seseorang lupa, itu bukan karena kerusakan memori, tetapi karena struktur
ingatan seseorang yang selalu berubah dan keterbatasan dasar dalam
kemampuan seseorang untuk membedakan jejak yang sama. McGeoch (dalam
Roediger et al, 2010) mengungkapkan bahwa faktor paling penting dalam lupa
sebenarnya adalah interferensi. Interferensi dapat timbul dari apapun dari
informasi yang diingat. Konteks informasi dapat mempengaruhi banyak
interferensi (Annis et al, 2013).
Interferensi merupakan penyebab lupa yang dikarenakan adanya
informasi yang mirip dengan informasi sebelumnya. Wade & Travis yang
diterjemahkan oleh Mursalin et al (2007) menjelaskan berikut ini.
Teori interferensi menyatakan penyebab terjadinya kehilangan ingatan
adalah interferensi yang terjadi di antara objek-objek dari suatu
informasi yang memiliki kemiripan, baik pada proses penyimpanan
maupun pada proses pemanggilan kembali. Informasi tersebut
sesungguhnya sudah masuk dan menetap dalam memori, namun
memori mengalami kesulitan untuk membeda-kan informasi tersebut
dengan informasi-informasi lainnya. Interferensi seperti ini terjadi pada
memori jangka pendek dan memori jangka panjang, namun pada
umumnya interferensi terjadi apabila kita harus mengingat kembali
fakta-fakta yang terisolasi, seperti nama, alamat, nomor identifikasi
personal, kode area, dan hal lainnya yang mirip dengan hal-hal ini.
Long-Term
Retrieval/ Memory
Short- Recontruction
Sensory 1. Declarative
Memory Term
Memory knowledge
Encoding/ 2. Prosedural
Elaboration knowledge
Retrieval
karena ada konsep yang saling berkaitan sehingga terjadi interferensi pada saat
memperoleh informasi yang disimpan pada short-term memory sehingga
mengakibatkan informasi yang mengalami interferensi tersebut tersimpan pada
long-term memory. Lupa menandakan bahwa ketika awal ingatan disimpan pada
long-term memory masih diingat. Seiring berjalannya waktu memori tersebut
mengalami gangguan pada penyimpanan (storage). Gangguan (interferensi)
dapat dilihat ketika memori tersebut diuji pada saat retrieval atau memanggil
kembali informasi. Pada saat retrieval, terjadi kompetisi antara ingatan yang
dipanggil dengan ingatan lain. Dua atau lebih memori yang berkompetisi terjadi
dikarenakan adanya kemiripan antara memori yang dipanggil dengan memori
yang lain. Gangguan seperti ini yang disebut dengan interferensi berpikir.
Interferensi berpikir juga dijelaskan oleh Subanji (2015) yang menyata-
kan bahwa interferensi berpikir dalam memecahkan masalah terjadi ketika siswa
memiliki konstruksi dua konsep atau lebih yang berlainan yang mana kedua
konsep atau lebih tersebut saling terkait. Hal tersebut dapat ditunjukkan pada
Gambar 2.2 di bawah ini. Apabila konstruksi konstruksi konsep A dan
konstruksi konsep B keduanya masih samar-samar, maka akan terjadi
interferensi yang saling menghambat (bagian C).
A B
Retrieval Cue Retrieval Cue
Assimilation Accomodation
Equlibrium
Berdasarkan Gambar 2.4 di atas, pada saat seseorang belajar, maka akan
terjadi disequilibrasi yang memunculkan proses asimilasi dan akomodasi.
Dengan proses tersebut, skema akan berkembang melalui proses penggabungan,
pengubahan, atau pembentukan skema baru sampai terjadi kondisi equilibrium.
Proses yang terjadi mulai dari disequilibrasi, asimilasi, dan akomodasi sampai
equilibrasi merupakan proses adaptasi seseorang terhadap lingkungannya (atau
masalah). Proses ini akan terus berlangsung, ketika seseorang belajar atau
menerima stimulus baru yang menyebabkan proses berpikir seseorang semakin
kompleks.
Lebih lanjut Piaget (dalam Irpan, 2009) menjelaskan bahwa perkem-
bangan kognitif seseorang memiliki tiga unsur: isi, fungsi, dan struktur. Isi
merupakan apa yang diketahui oleh seseorang. Fungsi menunjukkan sifat dari
aktivitas intelektual, yaitu asimilasi dan akomodasi yang tetap dan terus menerus
sepanjang perkembangan kognitif, sedangkan struktur merupakan peng-
organisasian skemata. Perkembangan struktur kognitif hanya bisa berjalan bila
commit to userrangsangan dari lingkungannya.
anak itu mengasimilasi dan mengakomodasi
library.uns.ac.id 29
digilib.uns.ac.id
commit to user
library.uns.ac.id 30
digilib.uns.ac.id
Akomodasi
commit
pemotongan) masalah (Gambar to user
2.5 (c)), sehingga struktur yang dimiliki oleh
library.uns.ac.id 31
digilib.uns.ac.id
masalah dan akademik. Math anxiety dapat menyebabkan lupa akan sesuatu hal
dan kehilangan percaya diri. Menurut Stuart (dalam Irfan, 2013) math anxiety
muncul dari kurang percaya diri saat menghadapi matematika. Lebih lanjut,
Maxima (2012) mengungkapkan bahwa Math anxiety adalah keadaan psikologis
yang timbul saat siswa mengalami kehilangan harga diri dan perasaan tegang
dalam menghadapi situasi matematika. Richardson & Suinn (dalam Aschraft &
Moore, 2009) menyebutkan bahwa:
“Math anxiety is a person’s negative reaction to situations involving
numbers, math, and mathematics calculations, a feeling of tension and anxiety
that interferes with the manipulation of numbers and the solving of mathematical
problems in a wide variety of ordinary life and academic situations”. Artinya,
math anxiety adalah reaksi negatif dari seseorang terhadap situasi yang melibat-
kan angka, matematika, perhitungan matematika, perasaan tegang dan cemas
yang dapat mengganggu dalam manipulasi angka dan memecahkan masalah
matematika dalam kehidupan sehari-hari dan situasi akademik.
Lang (dalam Krinzinger, 2009) menyatakan bahwa math anxiety adalah
seperti phobia yang mempengaruhi seseorang pada tiga tingkatan, yaitu:
a. Reaksi psikologis sebagai gelaja munculnya math anxiety,
b. Efek kognitif dari math anxiety, dan
c. Menghindari pengolahan dan perhitungan tentang angka.
Menurut Ashcraft dan Moore (2009), math anxiety didefinisikan
sebagai perasaan tegang, ketidakberdayaan, disorganisasi mental, dan takut bila
diperlukan untuk memanipulasi angka dan memecahkan masalah matematika.
Dregen dan Aiken (dalam Hellum, 2010) mendefiniskan bahwa math anxiety
dapat timbul karena adanya sindrom yang diakibatkan oleh respon emosional
dari pelajaran matematika. Thangata (2007) mengungkapkan bahwa math
anxiety adalah suatu kondisi yang menghambat kemampuan siswa untuk
mencapai potensi pengalaman belajar dan penilaian matematika di kelas, atau
keduanya yang merupakan respon emosional dan objek dari rasa takut.
commit to user
library.uns.ac.id 33
digilib.uns.ac.id
Nomor Item
Aspek Indikator Jumlah
Positif Negatif
1. Kognitif a. Kemampuan diri 15, 25 19, 23 4
(Berpikir) b. Kepercayaan diri 11 18 2
c. Sulit konsentrasi 8, 16 22, 26 4
d. Takut gagal 7 1 2
2. Afektif a. Gugup 6 9 2
(Sikap) b. Kurang senang 4, 20 14, 24 4
c. Gelisah 13 12 2
3. Fisiologis a. Berkeringat dingin 2 21 2
(Reaksi b. Jantung berdebar 5 17 2
kondisi fisik) c. Sakit Kepala 10 3 2
Jumlah 13 12 26
commit to user
library.uns.ac.id 34
digilib.uns.ac.id
untuk melihat kejadian interferensi berpikir yang dialami oleh siswa. Persamaannya
dengan penelitian ini adalah pada penelitian ini didasarkan pada kerangka asimilasi
dan akomodasi dapat mempengaruhi proses berpikir siswa untuk melihat seperti
apa kejadian interferensi berpikir yang terjadi, sedangkan perbedaannya adalah
pada penelitian ini tidak membahas tentang penalaran pseudo-covariational.
Samsul Irpan (2009) menghasilkan simpulan bahwa proses terjadinya
kesalahan dalam penalaran proporsional didasarkan pada kerangka asimilasi dan
akomodasi yang menyesuaikan dengan struktur masalah siswa. Persamaannya
dengan penelitian ini adalah pada penelitian ini didasarkan pada kerangka asimilasi
dan akomodasi dapat mempengaruhi proses berpikir siswa, sedangkan
perbedaannya yaitu, pada penelitian ini tidak membahas tentang penalaran
proporsional.
C. Kerangka Berpikir
Pada saat siswa dihadapkan pada suatu permasalahan, pada dasarnya
mereka tidak hanya sekedar memecahkan masalah tersebut, tetapi belajar sesuatu
yang baru dan kemungkinan menemukan penemuan yang baru. Melihat pentingnya
pemecahan masalah dalam kehidupan, faktor inilah yang mendasari mengapa
pemecahan masalah menjadi sentral dalam pembelajaran matematika.
Belum optimalnya pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika
dan penekanan pembelajaran pada prosedur, mengakibatkan terjadinya kesalahan
dalam konstruksi pemecahan masalah matematika. Kesalahan konstruksi
pemecahan masalah terjadi dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah adanya
interferensi berpikir.
Subanji (2015) mengungkapkan bahwa interferensi berpikir dalam
memecahkan masalah terjadi ketika siswa memiliki konstruksi dua konsep atau
lebih yang berlainan dimana kedua konsep atau lebih tersebut saling terkait.
Interferensi berpikir terjadi karena dalam proses pembelajaran, konsep-konsep
matematika yang diajarkan kepada siswa secara terpisah, diikuti dengan contoh-
contoh terpisah, dan masalah-masalah yang diberikan juga terpisah.
commit to user
library.uns.ac.id 37
digilib.uns.ac.id
masing siswa pun berbeda. Lebih lanjut, siswa yang memiliki math anxiety tinggi
dimungkinkan memiliki interferensi berpikir dalam mengkonstruksi pengetahuan
berdasarkan kerangka asimilasi dan akomodasi yang belum lengkap dibandingkan
dengan siswa yang memiliki math anxiety sedang maupun rendah. Hal ini
dikarenakan siswa yang memiliki math anxiety tinggi memiliki kecemasan yang
tinggi terhadap dirinya sendiri sehingga dapat menimbulkan interferensi berpikir
saat menghadapi soal yang diberikan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian
terkait proses interferensi berpikir siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan
berdasarkan kerangka asimilasi dan akomodasi ditinjau dari math anxiety.
commit to user