Anda di halaman 1dari 24

library.uns.ac.

id 15
digilib.uns.ac.id

BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Kajian Pustaka
1. Berpikir dan Proses Berpikir
Berpikir berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) adalah
menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu. Di
sisi lain, Radford (2009) menyatakan bahwa “...thinking is a pure mental
activity, something immaterial, independent of the body, occuring in the head”.
Berpikir adalah suatu aktivitas mental yang alami, sesuatu yang tidak berwujud,
kebebasan dari tubuh, terjadi di dalam kepala. Oleh karena itu, berpikir tidak
terlihat oleh indera manusia.
Costa (dalam Zaleha Izhab Hassoubah, 2008) mengungkapkan bahwa
berpikir adalah suatu proses kognitif, suatu tindakan mental untuk memperoleh
pengetahuan. Menurut Sobur (2010) berpikir adalah suatu kegiatan mental yang
melibatkan kerja otak untuk memahami sesuatu yang dialami atau mencari jalan
keluar dari persoalan yang sedang dihadapi.
Berdasarkan uraian pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
berpikir adalah suatu proses kognitif yang meliputi kegiatan metal atau proses
bekerjanya akal budi manusia untuk memahami sesuatu yang dialami atau
mencari jalan keluar dari permasalahan yang sedang dihadapi, sehingga
memperoleh pengetahuan.
Setelah menemukan cara untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi
melalui aktivitas mental yang dialami, kegiatan selanjutnya yang dilakukan oleh
seseorang tersebut yakni tampak adanya keterlibatan aktif untuk mengungkap-
kan pikirannya melaui proses berpikir yang telah dilalui. Proses berpikir menurut
Marpaung (dalam Siswono, 2002) merupakan suatu proses yang dimulai dari
penemuan informasi (dari luar atau dalam diri siswa), pengolahan, penyimpanan
dan memanggil kembali informasi itu dari ingatan siswa. Di sisi lain, Sobur
(2010) menyatakan bahwa dalam proses berpikir termuat kegiatan memastikan,
commit mengevaluasi,
merancang, menghitung, mengukur, to user membandingkan, meng-

15
library.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id

golongkan, memilah-milah atau membedakan, menghubungkan, menafsirkan,


melihat kemungkinan-kemungkinan yang ada, menganalisis, sintesis, menalar
atau menarik kesimpulan dari premis yang ada, menimbang, dan memutuskan.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, proses berpikir dalam penelitian
ini adalah suatu proses yang terjadi di dalam pikiran siswa pada saat siswa
dihadapkan pada suatu pengetahuan baru atau permasalahan yang sedang terjadi
dan mencari jalan keluar dari permasalahan tersebut yang melalui tahap
menerima, mengolah dan menyimpan informasi serta memanggil kembali
informasi dari ingatan saat dibutuhkan dalam memecahkan masalah, sehingga
proses berpikir siswa dapat dilihat melalui hasil pekerjaan atau ungkapan
verbalnya.

2. Proses Berpikir Asimilasi dan Akomodasi


Proses belajar dan proses berpikir siswa menurut Piaget (dalam Mustafa
& Thobroni, 2011) harus disesuaikan dengan tahapan perkembangan kognitif
yang dilalui siswa. Tahap perkembangan berpikir individu melalui empat
tahapan, yaitu tahap sensorimotorik (usia 0 sampai 2 tahun), praoperasional (usia
2 sampai 7 tahun), operasional kongkrit (usia 7 sampai 11 tahun), dan opera-
sional formal (usia 12 tahun hingga dewasa).
Menurut Piaget (dalam Sobur, 2010), proses berpikir pada anak-anak
sama sekali tidak seperti cara berpikir orang dewasa. Pikiran anak-anak tampak-
nya diatur berlainan dengan orang yang lebih dewasa. Anak-anak terlihat
memecahkan persoalan pada tingkatan yang sama sekali berbeda. Perbedaaan
anak yang lebih kecil dan yang lebih besar tidak terlalu berkaitan dengan
persoalan bahwa anak yang lebih besar mempunyai pengetahuan yang lebih
banyak, melainkan karena pengetahuan mereka yang berbeda jenisnya.
Lebih lanjut Piaget (dalam Sobur, 2010), menyatakan bahwa ketika anak-
anak berusaha membangun pemahaman mengenal dunia, otak berkembang
membentuk skema (schema). Skema menurut Santrock (2009) adalah suatu
tindakan atau representasi mental yang mengatur pengetahuan seseorang. Skema
commit
berhubungan dengan pola tingkah lakuto seseorang
user yang merupakan akumulasi
library.uns.ac.id 17
digilib.uns.ac.id

dari tingkah laku yang sederhana sampai yang kompleks. Teori Piaget mengenal
adanya skema perilaku (aktivitas fisik) yang merupakan ciri dari masa bayi dan
skema mental (aktivitas kognitif) yang berkembang pada masa kanak-kanak.
Skema perilaku dari masa bayi ini disusun melalui tindakan sederhana yang bisa
dilakukan terhadap objek-objek, seperti melihat, menggenggam, dan lain
sebagainya. Orang dewasa mempunyai skema yang terdiri dari strategi dan
rencana untuk menyelesaikan suatu masalah.
Piaget memberikan konsep asimilasi dan akomodasi untuk menjelaskan
bagaimana anak-anak menggunakan dan menyesuaikan skema mereka.
Asimilasi (assimilation) menurut Ormrod (2008) merupakan proses merespons
terhadap suatu objek atau peristiwa sesuai dengan skema yang telah dimiliki.
Suatu informasi (pengetahuan) baru dikenalkan kepada seseorang dan
pengetahuan itu akan diadaptasi sehingga terbentuklah pengetahuan baru.
Senada dengan hal tersebut, Piaget (dalam Irpan, 2009) menegaskan bahwa
“Assimilation refers to the ability to explain events based on available cognitive
contructions or current schemas. Assimilation is the process of taking in new
information and fitting it in to prior knowledge about objects or the world”.
Kalimat tersebut menunjukkan bahwa asimilasi menunjukkan kemampuan
untuk menjelaskan kejadian berdasarkan skema yang sudah dimiliki. Karena itu
dalam asimilasi, agar stimulus dapat dintegrasikan maka stimulus yang masuk
harus sesuai dengan skema yang sudah dimiliki. Dengan demikian secara
teoritis, asimilasi tidak menghasilkan perubahan skemata, tetapi asimilasi
mempengaruhi pertumbuhan skemata.
Akomodasi (accomodation) merupakan proses merespon suatu peristiwa
baru dengan memodifikasi skema yang telah ada sehingga sesuai dengan objek
atau peristiwa baru, atau membentuk skema yang sama sekali baru yang sesuai
dengan objek atau peristiwa yang dialami. Jika siswa mendapat informasi baru
dan informasi tersebut agak berbeda atau sama sekali tidak cocok dengan skema
yang telah ada maka akan dibentuk skema baru yang cocok dengan informasi
itu. Sebaliknya, jika informasi baru itu hanya kurang sesuai dengan skema yang
telah ada maka skema yang lama commit to user
tersebut akan dimodifikasi sehingga cocok
library.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id

dengan informasi baru itu. Senada dengan hal tersebut, Piaget (dalam Irpan,
2009) menegaskan bahwa “Accomodation refers to the ability to change the
cognitive contruction of schemas to make meaning of surroundings or the
natural world. Accomodation means being able to adjust to new experiences by
revising the old plan to fit the new”. Dapat dikatakan bahwa akomodasi
merupakan proses pengintegrasian stimulus baru melalui pembentukan skema
baru untuk menyelesaikan dengan stimulus yang diterima. Akomodasi terjadi
ketika belum ada struktur yang sesuai, sehingga perlu mengubah struktur lama
atau membentuk struktur baru agar sesuai dengan stimulus yang diterima.
Proses ini juga sering disebut restrukturisasi.
Pada penelitian ini, digunakan indikator-indikator proses berpikir
asimilasi dan akomodasi yang diadaptasi dari peneliti terdahulu yaitu Widyastuti
(2014). Adapun indikator proses berpikir asimilasi dan akomodasi dalam
mengkonstruksi pengetahuan yang digunakan peneliti disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Indikator Proses Berpikir Asimilasi Dan Akomodasi

Langkah- Indikator
Langkah
langkah Polya Asimilasi Akomodasi
1 Memahami Siswa langsung dapat Siswa memerlukan
masalah memberikan informasi suatu proses (seperti
mengenai apa yang membaca berulang-
diketahui dan apa yang ulang masalah yang
ditanyakan dari soal. ada, atau lain se-
bagainya) untuk bisa
menuliskan apa yang
diketahui dan di-
tanyakan dari soal.
2 Menyusun Siswa dapat langsung Siswa memodifikasi
rencana menyebutkan dan pengetahuan yang
penyelesaian menyusun dengan sudah diperolehnya
masalah benar langkah dan dengan cara mencari
metode apa yang akan alternatif pemecahan
digunakan untuk masalah dengan
menyelesaikan soal caranya sendiri.
dengan lancar.
3 Menyelesaikan Siswa dapat langsung Siswa menyelesaikan
masalah sesuai menyelesaikan masa- soal tidak sesuai
commit to user
perencanaan lah yang ada pada soal dengan perencanaan
library.uns.ac.id 19
digilib.uns.ac.id

Langkah- Indikator
Langkah
langkah Polya Asimilasi Akomodasi
dengan lancar sesuai yang telah dibuat
dengan perencanaan atau siswa ragu-ragu
yang telah dibuat dalam menyelesai-
sebelumnya. kan masalah yang
ada pada soal.
4 Memeriksa Siswa meyakini ke- Siswa mampu mem-
kembali hasil benaran jawaban yang buat pemecahan
yang telah telah diperoleh sesuai masalah yang baru
diperoleh dengan cara yang telah dengan metode lain
diajarkan. untuk memeriksa
jawabannya, atau
siswa melakukan
suatu proses (seperti
membuat tabel,
membaca berulang-
ulang masalah yang
ada, atau lain
sebagainya) untuk
bisa menemukan cara
agar dapat memerik-
sa kembali hasil yang
diperoleh.

3. Pemecahan Masalah
Untuk mendapatkan hasil optimal dalam pemecahan masalah diper-
lukan langkah-langkah atau prosedur pemecahan yang terorganisir dengan baik.
Salah satu bentuk pengorganisasian pemecahan masalah matematika yang
dikemukakan oleh Polya (1973: 5-19) terdiri dari: (1) memahami masalah
(understanding the problem); (2) menyusun rencana; (devising a plan) (3)
melaksanakan rencana penyelesaian (carrying out the plan); dan (4) memeriksa
kembali (looking back). Keempat langkah tersebut dijelaskan sebagai berikut.
a. Memahami Masalah
Memahami masalah merupakan langkah penting dalam menye-
lesaikan suatu masalah. Tanpa memahami masalah dengan baik, sese-
orang tidak akan dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Pada
tahap ini pernyataan yang ada pada soal harus dapat dipahami dengan
commit to user
benar. Memahami masalah dapat dilakukan dengan cara membaca soal
library.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id

secara berulang-ulang atau membaca soal secara perlahan agar maksud


dari soal dapat dipahami, sehingga soal tersebut dapat diselesaikan.
Pada kegiatan memahami masalah, siswa ada baiknya mampu
menyatakan bagian-bagian utama dari suatu masalah, data apa yang
tersedia, dan syarat apa saja yang diperlukan dalam menyelesaikan
masalah tersebut. Hal tersebut sesuai pernyataan Polya (1973: 6) yang
menjelaskan bahwa:
“The verbal statement of the problem must be understand. The
teacher can check this, up to a certain extent; he ask the student
to repeat the statement, and the student should be able to state the
problem fluently. The student should also be able to point out the
principal parts of the problem, the unknown, the data condition.
Hence, the teacher can seldom afford to miss the question: What
is the unknown? What are the data? What is the condition?”.
b. Menyusun Rencana Penyelesaian
Pada tahap menyusun rencana penyelesaian, siswa harus
mengetahui langkah-langkah yang penting serta menunjang agar per-
masalahan yang ada dapat dicari jalan keluarnya. Pada langkah ini diper-
lukan kemampuan untuk melihat hubungan antara data serta kondisi apa
yang ada atau tersedia dengan data yang tidak diketahui. Jika hubungan
tidak ditemukan, maka hal tersebut dapat dicari dengan alat bantu yang
lain. Pada langkah ini siswa diharapkan dapat membuat model matematika
yang selanjutnya dapat diselesaikan menggunakan aturan matematika.
c. Melaksanakan Rencana Penyelesaian
Rencana penyelesaian yang telah dibuat sebelumnya kemudian
dilihat dan dilaksanakan secara cermat. Setiap langkah-langkah pada
proses yang dilakukan harus benar-benar teliti dan harus dapat dibuktikan
kebenarannya. Siswa diharuskan menggunakan keterampilan mate-
matikanya pada tahap ini.
d. Memeriksa Kembali
Pada langkah ini diusahakan langkah memeriksa kembali proses
dan hasil untuk memastikan apakah penyelesaian tersebut sesuai dengan
commit
yang diinginkan dalam soal atautotidak.
user Jika hasil tersebut belum sesuai
library.uns.ac.id 21
digilib.uns.ac.id

dengan yang diminta dalam soal, maka perlu dilakukan pemeriksaan


kembali atas setiap langkah yang telah dilakukan untuk mendapatkan hasil
yang sesuai dengan soal yang diberikan, menafsirkan hasil sesuai masalah
dalam soal, serta melihat kemungkinan lain yang dapat dilakukan untuk
menyelesaikan soal tersebut. Tahap ini mengharuskan siswa untuk dapat
memprediksi strategi yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan yang
akan ditemui.
Adapun indikator interferensi dalam mengkonstruksi pengetahuan
dengan langkah Polya yang akan digunakan peneliti disajikan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Indikator Pemecahan Masalah Matematika

Langkah Pemecahan Masalah Indikator


1 Memahami masalah 1. Siswa dapat menentukan hal yang
diketahui dari soal.
2. Siswa dapat menentukan hal yang
ditanyakan dari soal.
2 Menyusun rencana 1. Siswa dapat menentukan syarat lain
penyelesaian masalah yang tidak diketahui pada soal
seperti rumus atau informasi
lainnya jika memang ada.
2. Siswa dapat menggunakan semua
informasi yang ada pada soal.
3. Siswa dapat membuat rencana atau
langkah-langkah penyelesaian dari
soal yang diberikan.
3 Menyelesaikan 1. Siswa dapat menyelesaikan soal
masalah sesuai yang ada sesuai dengan langkah-
perencanaan langkah yang telah dibuat sejak
awal.
2. Siswa dapat menjawab soal dengan
tepat.
4 Memeriksa kembali 1. Siswa dapat memeriksa kembali
hasil yang telah jawaban yang telah diperoleh
diperoleh dengan menggunakan cara atau
langkah yang benar.
2. Siswa dapat meyakini kebenaran
dari jawaban yang telah dibuat.

commit to user
library.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id

4. Interferensi Berpikir
Interferensi merupakan salah satu mekanisme yang menyebabkan
manusia melupakan sesuatu. Hal ini didukung oleh Wade & Tavris (2007) yang
mengungkapkan bahwa para psikolog mengajukan lima mekanisme yang
menyebabkan seseorang melupakan sesuatu, yakni kemunduran (decay),
terhapusnya memori lama karena memori baru, interferensi, kelupaan akibat
ketiadaan informasi pengingat (cue-dependent forgetting), dan amnesia
psikologis yang disebabkan oleh represi terhadap suatu memori tertentu. Cubelli
(2010) menjelaskan berdasarkan pendapat Roediger, et al bahwa lupa merupa-
kan hilangnya informasi dalam mengambil informasi dalam waktu tertentu.
Anderson (dalam Raharjanti, 2016) menyatakan bahwa ketika
seseorang lupa, itu bukan karena kerusakan memori, tetapi karena struktur
ingatan seseorang yang selalu berubah dan keterbatasan dasar dalam
kemampuan seseorang untuk membedakan jejak yang sama. McGeoch (dalam
Roediger et al, 2010) mengungkapkan bahwa faktor paling penting dalam lupa
sebenarnya adalah interferensi. Interferensi dapat timbul dari apapun dari
informasi yang diingat. Konteks informasi dapat mempengaruhi banyak
interferensi (Annis et al, 2013).
Interferensi merupakan penyebab lupa yang dikarenakan adanya
informasi yang mirip dengan informasi sebelumnya. Wade & Travis yang
diterjemahkan oleh Mursalin et al (2007) menjelaskan berikut ini.
Teori interferensi menyatakan penyebab terjadinya kehilangan ingatan
adalah interferensi yang terjadi di antara objek-objek dari suatu
informasi yang memiliki kemiripan, baik pada proses penyimpanan
maupun pada proses pemanggilan kembali. Informasi tersebut
sesungguhnya sudah masuk dan menetap dalam memori, namun
memori mengalami kesulitan untuk membeda-kan informasi tersebut
dengan informasi-informasi lainnya. Interferensi seperti ini terjadi pada
memori jangka pendek dan memori jangka panjang, namun pada
umumnya interferensi terjadi apabila kita harus mengingat kembali
fakta-fakta yang terisolasi, seperti nama, alamat, nomor identifikasi
personal, kode area, dan hal lainnya yang mirip dengan hal-hal ini.

Interferensi mengacu pada lemahnya kemampuan untuk mengingat


commit to user
suatu objek saat objek tersebut mirip dengan objek lain yang tersimpan dalam
library.uns.ac.id 23
digilib.uns.ac.id

ingatan. Anderson (dalam Raharjanti, 2016) mengemukakan bahwa asumsi


dasar interferensi yang mereka sebut dengan asumsi kompetisi, yaitu ketika
isyarat terkait dengan lebih dari satu item dalam memori, item tersebut
diasumsikan bersaing dengan target untuk akses ke kesadaran. Lupa merupakan
hasil dari memori salah yang diakses oleh isyarat tertentu. Adapun kejadian
interferensi berpikir diilustrasikan melalui pemrosesan informasi sebagai
berikut.

Long-Term
Retrieval/ Memory
Short- Recontruction
Sensory 1. Declarative
Memory Term
Memory knowledge
Encoding/ 2. Prosedural
Elaboration knowledge

Retrieval

Gambar 2.1 Interferensi Berpikir Berdasarkan Model Pemrosesan Informasi


The Modal Model (Adaptasi dari Bruning et al, 1990)

Berdasarkan penjelasan sebelumnya pada point ke-4 mengenai ingatan


dapat disimpulkan bahwa ingatan merupakan informasi yang disimpan dalam
otak. Proses informasi masuk ke dalam otak ditunjukkan oleh teori The Modal
Model dan teori pemrosesan informasi. Selain itu, Sternberg & Sternberg (2012)
juga menjelaskan bahwa ingatan juga mengacu pada tiga proses yaitu encoding,
storage, dan retrieval.
Pada penelitian ini, kejadian interferensi berpikir berlangsung pada dua
keadaan. Dua keadaan tersebut yaitu lupa dan beranggapan lupanya dikarenakan
commitkemiripan
ingatan yang dipanggil mempunyai to user dengan ingatan lain. Dimana
library.uns.ac.id 24
digilib.uns.ac.id

karena ada konsep yang saling berkaitan sehingga terjadi interferensi pada saat
memperoleh informasi yang disimpan pada short-term memory sehingga
mengakibatkan informasi yang mengalami interferensi tersebut tersimpan pada
long-term memory. Lupa menandakan bahwa ketika awal ingatan disimpan pada
long-term memory masih diingat. Seiring berjalannya waktu memori tersebut
mengalami gangguan pada penyimpanan (storage). Gangguan (interferensi)
dapat dilihat ketika memori tersebut diuji pada saat retrieval atau memanggil
kembali informasi. Pada saat retrieval, terjadi kompetisi antara ingatan yang
dipanggil dengan ingatan lain. Dua atau lebih memori yang berkompetisi terjadi
dikarenakan adanya kemiripan antara memori yang dipanggil dengan memori
yang lain. Gangguan seperti ini yang disebut dengan interferensi berpikir.
Interferensi berpikir juga dijelaskan oleh Subanji (2015) yang menyata-
kan bahwa interferensi berpikir dalam memecahkan masalah terjadi ketika siswa
memiliki konstruksi dua konsep atau lebih yang berlainan yang mana kedua
konsep atau lebih tersebut saling terkait. Hal tersebut dapat ditunjukkan pada
Gambar 2.2 di bawah ini. Apabila konstruksi konstruksi konsep A dan
konstruksi konsep B keduanya masih samar-samar, maka akan terjadi
interferensi yang saling menghambat (bagian C).

A = Konstruksi konsep pertama


B = Konstruksi konsep kedua
A
C C = Interferensi berpikir
B

Gambar 2.2 Interferensi Berpikir


commit to user
library.uns.ac.id 25
digilib.uns.ac.id

Keberhasilan proses dari isyarat ke memori target bergantung pada


banyak faktor. Menurut Anderson (dalam Raharjanti, 2016) menyatakan bahwa
salah satu faktor penyebabnya adalah banyaknya isyarat yang digunakan dan
kekuatan dari asosiasi yang menghubungkan isyarat untuk item memori. Dalam
keadaan normal, mengambil item target diperkirakan terjadi ketika isyarat yang
tersedia pada saat recall sesuai dengan target yang mengidentifikasi secara unik
dalam memori (Gambar 2.3 A). Namun, ketika isyarat terkait dengan lebih dari
satu item dalam memori, item tersebut diasumsikan sebagai pesaing target untuk
akses penyelesaian (Gambar 2.3 B).

A B
Retrieval Cue Retrieval Cue

Target Memory Target Competitor

Gambar 2.3 Retrieval Cue, Target, and Competitor

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa interferensi


berpikir merupakan gangguan berpikir yang dialami oleh seseorang karena
adanya dua konstruksi konsep atau lebih yang berlainan dimana kedua konsep
tersebut saling terkait.
Apabila dikatagorikan berdasarkan jenis interferensi berpikir, inter-
ferensi berpikir ada dua macam yaitu interferensi berpikir proaktif dan
interferensi berpikir retroaktif. Rodieger, et al (Raharjanti, 2016) pada bukunya
membahas pernyataan Mc Geoch bahwa lupa berasal dari hasil kesalahan
memori mengakses informasi dibedakan menjadi dua bentuk yaitu dikarenakan
adanya interferensi proaktif dancommit to user
interferensi retroaktif.
library.uns.ac.id 26
digilib.uns.ac.id

Interferensi berpikir proaktif merupakan informasi lama menginter-


ferensi kemampuan mengingat informasi baru (Wade & Tavris, 2007). Senada
dengan hal tersebut, Anderson (dalam Raharjanti, 2016) menyatakan bahwa
interferensi berpikir proaktif didefinisikan sebagai lupa yang timbul sebagai
akibat dari pembelajaran yang sebelumnya, sedangkan interferensi berpikir
retroaktif merupakan informasi baru menginterferensi kemampuan mengingat
informasi lama (Wade & Tavris, 2007). Lebih lanjut, Anderson (dalam
Raharjanti, 2016) menyatakan bahwa interferensi berpikir retroaktif didefinisi-
kan sebagai lupa yang timbul sebagai akibat dari pembelajaran baru.

5. Interferensi Berpikir Berdasarkan Kerangka Asimilasi dan Akomodasi


Proses terjadinya interferensi berpikir dalam penelitian ini didasarkan
pada proses asimilasi dan akomodasi dari Piaget. Menurut Piaget, struktur
kognitif merupakan skemata, yaitu kumpulan dari skema-skema. Seorang
individu dapat mengingat, memahami, dan memberikan respon terhadap stimu-
lus karena bekerjanya skemata ini. Skemata berkembang sebagai hasil dari
interaksi individu dengan lingkungannya. Oleh karena itu, seseorang yang lebih
dewasa memiliki struktur kognitif yang lebih lengkap dibanding ketika masih
kecil. Skemata akan membentuk suatu pola penalaran tertentu dalam pikiran.
Semakin baik kualitas skemata, maka semakin baik pola penalaran seseorang.
Ketika mendapat stimulus baru, maka akan terjadi proses adaptasi
skemata. Menurut Piaget (dalam Irpan, 2009) menegaskan bahwa “Assimilation
refers to the ability to explain events based on available cognitive contructions
or current schemas. Assimilation is the process of taking in new information and
fitting it in to prior knowledge about objects or the world”. Asimilasi menunjuk-
kan kemampuan untuk menjelaskan kejadian berdasarkan skema yang sudah
dimiliki. Karena itu dalam asimilasi, agar stimulus dapat dintegrasikan maka
stimulus yang masuk harus sesuai dengan skema yang sudah dimiliki. Dengan
demikian secara teoritis, asimilasi tidak menghasilkan perubahan skemata, tetapi
asimilasi mempengaruhi pertumbuhan skemata.
commit to user
library.uns.ac.id 27
digilib.uns.ac.id

Akomodasi (accomodation) merupakan proses merespon suatu


peristiwa baru dengan memodifikasi skema yang telah ada sehingga sesuai
dengan objek atau peristiwa baru, atau membentuk skema yang sama sekali baru
yang sesuai dengan objek atau peristiwa yang dialami. Jika siswa mendapat
informasi baru dan informasi tersebut agak berbeda atau sama sekali tidak cocok
dengan skema yang telah ada maka akan dibentuk skema baru yang cocok
dengan informasi itu. Sebaliknya, jika informasi baru itu hanya kurang sesuai
dengan skema yang telah ada maka skema yang lama tersebut akan dimodifikasi
sehingga cocok dengan informasi baru itu.
Senada dengan hal tersebut, Piaget (dalam Irpan, 2009) menegaskan
bahwa “Accomodation refers to the ability to change the cognitive contruction
of schemas to make meaning of surroundings or the natural world.
Accomodation means being able to adjust to new experiences by revising the old
plan to fit the new”. Akomodasi merupakan proses pengintegrasian stimulus
baru melalui pembentukan skema baru untuk menyelesaikan dengan stimulus
yang diterima. Akomodasi terjadi ketika belum ada struktur yang sesuai,
sehingga perlu mengubah struktur lama atau membentuk struktur baru agar
sesuai dengan stimulus yang diterima. Proses ini juga sering disebut
restrukturisasi.
Pada penelitian ini dilakukan pengamatan pada proses berpikir
asimilasi dan akomodasi. Dimana asimilasi merupakan suatu proses merespon
peristiwa atau pengetahuan baru sesuai dengan skema yang telah dimilikinya.
Akomodasi merupakan suatu proses merespon peristiwa atau pengetahuan baru
dengan cara memodifikasi skema yang telah ada dipikirannya atau dengan cara
membentuk skema dan rancangan yang sama sekali baru sehingga sesuai dengan
pengetahuan baru tersebut.
Pada proses asimilasi, seseorang akan mengintegrasi-kan
(menginterpretasikan) rangsangan dengan skema yang ada dan dengan
akomodasi ia mengubah skema yang ada atau membentuk skema baru agar
menjadi cocok dengan rangsangan yang dihadapi, dan akhirnya tercapai kondisi
commit tointernal
equilibrium. Dalam hal ini, mekanisme user yang mengatur proses asimilasi
library.uns.ac.id 28
digilib.uns.ac.id

dan akomodasi disebut equilibration. Proses berpikir tersebut digambarkan oleh


Saler & Edgington (dalam Irpan, 2009) sebagai berikut:

Learning takes place through disequilibrium

Assimilation Accomodation

Schema are developed

Equlibrium

Gambar 2.4 Proses Belajar

Berdasarkan Gambar 2.4 di atas, pada saat seseorang belajar, maka akan
terjadi disequilibrasi yang memunculkan proses asimilasi dan akomodasi.
Dengan proses tersebut, skema akan berkembang melalui proses penggabungan,
pengubahan, atau pembentukan skema baru sampai terjadi kondisi equilibrium.
Proses yang terjadi mulai dari disequilibrasi, asimilasi, dan akomodasi sampai
equilibrasi merupakan proses adaptasi seseorang terhadap lingkungannya (atau
masalah). Proses ini akan terus berlangsung, ketika seseorang belajar atau
menerima stimulus baru yang menyebabkan proses berpikir seseorang semakin
kompleks.
Lebih lanjut Piaget (dalam Irpan, 2009) menjelaskan bahwa perkem-
bangan kognitif seseorang memiliki tiga unsur: isi, fungsi, dan struktur. Isi
merupakan apa yang diketahui oleh seseorang. Fungsi menunjukkan sifat dari
aktivitas intelektual, yaitu asimilasi dan akomodasi yang tetap dan terus menerus
sepanjang perkembangan kognitif, sedangkan struktur merupakan peng-
organisasian skemata. Perkembangan struktur kognitif hanya bisa berjalan bila
commit to userrangsangan dari lingkungannya.
anak itu mengasimilasi dan mengakomodasi
library.uns.ac.id 29
digilib.uns.ac.id

Setelah seseorang berpikir akan menimbulkan suatu struktur berpikir


yang panjang. Dimana dalam struktur berpikir tersebut didasarkan pada kerang-
ka asimilasi dan akomodasi. Dalam proses pemecahan masalah, ketika struktur
masalah yang dihadapi oleh seseorang jauh lebih kompleks dibanding struktur
berpikirnya, maka akan sulit berlangsung asimilasi dan akomodasi. Proses
asimilasi belum ada skema yang sesuai dengan masalah yang dihadapi, sehingga
disini dapat terjadi yang dinamakan dengan interferensi berpikir (gangguan
berpikir).
Interferensi berpikir terjadi ketika dalam mengkonstruksi masalah
siswa dihadapkan dengan dua konsep yang saling terkait. Setelah diberi umpan
balik berupa pertanyaan kepada siswa maka siswa akan membentuk struktur
berpikir yang baru dengan proses akomodasi. Proses akomodasi akan terjadi
pengubahan skema lama atau pembentukan skema baru. Akan tetapi, saat proses
akomodasi tersebut dimungkinkan siswa masih mengalami kesulitan, karena
belum cukup memiliki skema yang dapat digunakan untuk membentuk skema
baru. Hal ini berarti akan terjadi proses menguraikan atau memotong masalah
kebagian-bagiannya, sehingga pada proses tersebut juga dimungkinkan dapat
terjadinya interferensi berpikir.
Dengan demikian, bagian-bagian dari masalah tersebut dapat
diasimilasi atau diakomodasi kembali. Selanjutnya, berlangsung restrukturisasi
dan pada akhirnya dapat dilakukan akomodasi secara keseluruh-an. Proses
pemecahan struktur masalah yang kompleks ke bagian-bagiannya ini disebut
proses analitik. Adapun proses analitik dapat diilustrasikan oleh Subanji (dalam
Irpan, 2009) seperti Gambar 2.5 berikut.

commit to user
library.uns.ac.id 30
digilib.uns.ac.id

(a) Struktur masalah yang diberikan (b) Skema yang dimiliki

(c) Pemecahan struktur Pembentukan


masalah substruktur baru

(d) Integrasi struktur


perbagian

Pengubahan struktur lengkap

Akomodasi

(e) Integrasi struktur lengkap

Gambar 2.5 Struktur Pemecahan Masalah

Berdasarkan Gambar 2.5 diperoleh informasi bahwa, ketika masalah


yang kompleks (seperti Gambar 2.5 (a)) diberikan kepada siswa, sementara
skema (struktur yang dimiliki siswa (Gambar 2.5 (b)) masih jauh lebih sederhana
dibandingkan struktur masalahnya, maka akan sulit terjadi proses asimilasi dan
akomodasi. Hal ini juga dapat menjadi pemicu seseorang untuk mengalami
interferensi berpikir. Oleh karena itu diperlukan penyederhanaan (penguraian/

commit
pemotongan) masalah (Gambar to user
2.5 (c)), sehingga struktur yang dimiliki oleh
library.uns.ac.id 31
digilib.uns.ac.id

siswa bisa terhubung dengan struktur masalah yang diberikan. Selanjutnya


terjadi proses asimilasi dan akomodasi bagian perbagian (Gambar 2.5 (d)) dan
membentuk substruktur baru yang sudah ada kaitannya dengan masalah yang
diberikan. Proses berikut adalah akomodasi menyeluruh, sehingga dalam hal ini
terjadi integrasi substruktur-substruktur sampai terbentuk struktur baru (Gambar
2.5 (e)) dan terjadilah kondisi equilibrium, sehingga dengan terselesaikannya
masalah tersebut, maka siswa sudah melakukan adaptasi terhadap masalah yang
dihadapi.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dijabarkan bentuk pertanyaan
yang dapat menunjukkan adanya interferensi berpikir yang terjadi pada siswa
dalam mengkonstruksi pengetahuan yang dimilikinya adalah sebagai berikut:
a. Mengapa kedua soal dikerjakan dengan cara yang sama?
b. Kemiripan apa yang ada pada kedua soal tersebut?
c. Apakah ada perbedaan antara kedua soal tersebut?
d. Apa perbedaan dari kedua soal tersebut?
Butir pertanyaan dari a-d dapat diajukan pada langkah menyusun
rencana penyelesaian untuk pertanyaan akomodasi, jika siswa dapat
menyebutkan dengan benar langkah dan metode apa yang akan digunakan untuk
menyelesaikan soal maka pertanyaan akan dilanjutkan pada pertanyaan
asimilasi, tetapi jika peserta didik dapat menyebutkan langkah untuk
menyelesaikan masalah dengan proses yang cukup panjang maka pertanyaan
akan dilanjutkan pada pertanyaan akomodasi, sehingga saat pertanyaan
akomodasi dapat diajukan pertanyaan butir a-d untuk menunjukkan terjadinya
interferensi berpikir yang dialami siswa (dapat dilihat pada Lampiran 10).

6. Kecemasan Belajar Matematika (Math Anxiety)


Kecemasan belajar matematika (math anxiety) sering dialami oleh
siswa baik saat belajar di dalam kelas ataupun di luar kelas. Hal ini berakibat
terhadap kurangnya penguasaan materi sehingga nilainya pun kurang baik.
Menurut Tobias (dalam Joseph dan Gonzales, 2011) math anxiety didefinisikan
sebagai perasaan tegang dan commit
gelisahtoyang
user mengganggu dalam pemecahan
library.uns.ac.id 32
digilib.uns.ac.id

masalah dan akademik. Math anxiety dapat menyebabkan lupa akan sesuatu hal
dan kehilangan percaya diri. Menurut Stuart (dalam Irfan, 2013) math anxiety
muncul dari kurang percaya diri saat menghadapi matematika. Lebih lanjut,
Maxima (2012) mengungkapkan bahwa Math anxiety adalah keadaan psikologis
yang timbul saat siswa mengalami kehilangan harga diri dan perasaan tegang
dalam menghadapi situasi matematika. Richardson & Suinn (dalam Aschraft &
Moore, 2009) menyebutkan bahwa:
“Math anxiety is a person’s negative reaction to situations involving
numbers, math, and mathematics calculations, a feeling of tension and anxiety
that interferes with the manipulation of numbers and the solving of mathematical
problems in a wide variety of ordinary life and academic situations”. Artinya,
math anxiety adalah reaksi negatif dari seseorang terhadap situasi yang melibat-
kan angka, matematika, perhitungan matematika, perasaan tegang dan cemas
yang dapat mengganggu dalam manipulasi angka dan memecahkan masalah
matematika dalam kehidupan sehari-hari dan situasi akademik.
Lang (dalam Krinzinger, 2009) menyatakan bahwa math anxiety adalah
seperti phobia yang mempengaruhi seseorang pada tiga tingkatan, yaitu:
a. Reaksi psikologis sebagai gelaja munculnya math anxiety,
b. Efek kognitif dari math anxiety, dan
c. Menghindari pengolahan dan perhitungan tentang angka.
Menurut Ashcraft dan Moore (2009), math anxiety didefinisikan
sebagai perasaan tegang, ketidakberdayaan, disorganisasi mental, dan takut bila
diperlukan untuk memanipulasi angka dan memecahkan masalah matematika.
Dregen dan Aiken (dalam Hellum, 2010) mendefiniskan bahwa math anxiety
dapat timbul karena adanya sindrom yang diakibatkan oleh respon emosional
dari pelajaran matematika. Thangata (2007) mengungkapkan bahwa math
anxiety adalah suatu kondisi yang menghambat kemampuan siswa untuk
mencapai potensi pengalaman belajar dan penilaian matematika di kelas, atau
keduanya yang merupakan respon emosional dan objek dari rasa takut.

commit to user
library.uns.ac.id 33
digilib.uns.ac.id

Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa math


anxiety adalah keadaan psikologis yang timbul ketika seseorang mengalami
ketegangan, kehilangan percaya diri, dan kehilangan harga diri saat menghadapi
situasi matematika.
Pada penelitian ini, digunakan indikator-indikator math anxiety yang
akan digunakan peneliti dalam penelitiannya yang merupakan adopsi dari angket
math anxiety yang sudah dilakukan oleh peneliti terdahulu yaitu Suharyadi
(2003). Tetapi ada beberapa tambahan indikator guna untuk menggali lebih
dalam lagi mengenai math anxiety sehingga dapat diperoleh kisi-kisi instrumen
angket math anxiety yang disajikan pada Tabel 2.3 sebagai berikut:

Tabel 2.3 Kisi-kisi Instrumen Angket Math Anxiety

Nomor Item
Aspek Indikator Jumlah
Positif Negatif
1. Kognitif a. Kemampuan diri 15, 25 19, 23 4
(Berpikir) b. Kepercayaan diri 11 18 2
c. Sulit konsentrasi 8, 16 22, 26 4
d. Takut gagal 7 1 2
2. Afektif a. Gugup 6 9 2
(Sikap) b. Kurang senang 4, 20 14, 24 4
c. Gelisah 13 12 2
3. Fisiologis a. Berkeringat dingin 2 21 2
(Reaksi b. Jantung berdebar 5 17 2
kondisi fisik) c. Sakit Kepala 10 3 2
Jumlah 13 12 26

Kecemasan dalam matematika dapat disebabkan oleh pengalaman


buruk masa lalu yang berkaitan dengan pelajaran matematika. Kecemasan dalam
aktivitas matematika berperan pada kegagalan matematika. Seseorang yang
memiliki kecemasan matematika tinggi mungkin saja tidak mampu untuk
menyelesaikan masalah matematika.
Elliot (dalam Irfan, 2013) mengungkapkan bahwa terdapat tiga tipe
orang yang merasa cemas terhadap matematika, yaitu:

commit to user
library.uns.ac.id 34
digilib.uns.ac.id

a. Orang yang hapal matematika tetapi mereka tidak bisa mengaplikasikan


konsep yang diperoleh.
b. Orang yang menghindari matematika.
c. Orang yang merasa tidak kompeten dalam bidang studi matematika.

Lebih lanjut Wigfield dan Meece (dalam Irfan, 2013) menyatakan


bahwa kecemasan matematika memiliki dua komponen, yaitu:
a. Math anxious, yaitu orang yang memiliki reaksi emosional negatif terhadap
matematika bahkan khawatir dan tidak menyukainya.
b. Orang yang benar-benar tidak mampu pada aktivitas matematika yang
berturut-turut.
Reaksi-reaksi kecemasan dalam aktivitas matematika mungkin
berperan pada kegagalan matematika. Reaksi tersebut biasanya ditunjukkan
dengan penghindaran terhadap aktivitas matematika. Seseorang yang memiliki
kecemasan tinggi mungkin saja tidak mampu untuk menyelesaikan
permasalahan matematika.

B. Kajian Penelitian yang Relevan


Penelitian ini relevan dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya. Beberapa penelitian yang relevan dan terkait dengan penelitian ini
adalah sebagai berikut.
Penelitian yang dilakukan oleh Sukoriyanto, et al (2013) menyimpulkan
bahwa interferensi berpikir siswa dalam menyelesaikan permutasi terjadi karena
adanya konsepsi yang saling mengganggu. Seorang siswa mengalami interferensi
global ketika menyelesaikan permasalahan permutasi mengalami pertukaran
pemahaman yang berkaitan dengan dua konsep antara permutasi dan kombinasi,
yaitu siswa melihat masalah permutasi sebagai kombinasi dan sebaliknya.
Persamaannya dengan penelitian ini adalah pertukaran dua konsep yang saling
terkait diindikasi dapat menimbulkan interferensi berpikir siswa, sedangkan
perbedaannya adalah penelitian ini tidak mengkarakteristikkan jenis interferensi
commit to user
siswa berdasarkan berpikir pseudo.
library.uns.ac.id 35
digilib.uns.ac.id

Hasil penelitian Meliyana Raharjanti (2016) menunjukkan bahwa terdapat


interferensi berpikir yang dialami siswa pada materi perbandingan senilai dan
berbalik nilai. Persamaannya dengan penelitian ini adalah melihat adanya
interferensi berpikir yang dialami oleh siswa, sedangkan perbedaannya adalah
penelitian ini terletak pada pemilihan materi yang akan digunakan untuk penelitian,
dan perbedaan lainnya adalah penelitian ini ingin mengetahui indikasi adanya
interferensi proaktif dan interferensi retroaktif yang dialami oleh siswa.
Penelitian Mark H. Ashcraft & Kelly S. Ridley (2005) menghasilkan
simpulan bahwa math anxiety dapat disebabkan karena pengaruh budaya, sosial
(keluarga, guru, teman), sikap, motivasi, dan masih banyak faktor lain yang belum
diketahui. Pada penelitian ini juga menyebutkan bahwa sikap guru akan berdampak
kepada avoidance mathematics situations dan poor mathematics performance
sehingga menyebabkan math anxiety. Persamaannya dengan penelitian ini adalah
poor mathematics performance siswa dapat menyebabkan math anxiety pada siswa,
sehingga proses berpikir dalam pemecahan masalah akan terganggu, sedangkan
perbedaannya adalah penelitian ini tidak mengkaji penyebab adanya math anxiety
pada siswa.
Muhammad Irfan (2013) menghasilkan simpulan bahwa proses berpikir
siswa dalam memecahkan masalah digolongkan berdasarkan tingkat math anxiety
dan gender sehingga siswa laki-laki dan perempuan memiliki preferensi yang
berbeda dalam penggunaan strategi pemecahan masalah. Persamaannya dengan
penelitian ini adalah tingkat math anxiety dapat mempengaruhi proses berpikir
siswa sehingga akan poor mathematics performance, akibatnya siswa kesulitan
dalam pemecahan masalah, sedangkan perbedaannya yaitu pada penelitian ini tidak
membahas tentang gender yang dapat mempengaruhi tingkat math anxiety pada
siswa.
Subanji & Supratman (2015) menghasilkan simpulan bahwa proses
terjadinya kesalahan penalaran pseudo-covariational dalam membangun fungsi
grafik dinamika didasari pada kerangka kerja asimilasi dan akomodasi.
Berdasarkan penelitian tersebut pertimbangan untuk penelitian ini adalah karena
commitdan
penggunaan kerangka kerja asimilasi to user
akomodasi dapat membantu peneliti
library.uns.ac.id 36
digilib.uns.ac.id

untuk melihat kejadian interferensi berpikir yang dialami oleh siswa. Persamaannya
dengan penelitian ini adalah pada penelitian ini didasarkan pada kerangka asimilasi
dan akomodasi dapat mempengaruhi proses berpikir siswa untuk melihat seperti
apa kejadian interferensi berpikir yang terjadi, sedangkan perbedaannya adalah
pada penelitian ini tidak membahas tentang penalaran pseudo-covariational.
Samsul Irpan (2009) menghasilkan simpulan bahwa proses terjadinya
kesalahan dalam penalaran proporsional didasarkan pada kerangka asimilasi dan
akomodasi yang menyesuaikan dengan struktur masalah siswa. Persamaannya
dengan penelitian ini adalah pada penelitian ini didasarkan pada kerangka asimilasi
dan akomodasi dapat mempengaruhi proses berpikir siswa, sedangkan
perbedaannya yaitu, pada penelitian ini tidak membahas tentang penalaran
proporsional.

C. Kerangka Berpikir
Pada saat siswa dihadapkan pada suatu permasalahan, pada dasarnya
mereka tidak hanya sekedar memecahkan masalah tersebut, tetapi belajar sesuatu
yang baru dan kemungkinan menemukan penemuan yang baru. Melihat pentingnya
pemecahan masalah dalam kehidupan, faktor inilah yang mendasari mengapa
pemecahan masalah menjadi sentral dalam pembelajaran matematika.
Belum optimalnya pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika
dan penekanan pembelajaran pada prosedur, mengakibatkan terjadinya kesalahan
dalam konstruksi pemecahan masalah matematika. Kesalahan konstruksi
pemecahan masalah terjadi dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah adanya
interferensi berpikir.
Subanji (2015) mengungkapkan bahwa interferensi berpikir dalam
memecahkan masalah terjadi ketika siswa memiliki konstruksi dua konsep atau
lebih yang berlainan dimana kedua konsep atau lebih tersebut saling terkait.
Interferensi berpikir terjadi karena dalam proses pembelajaran, konsep-konsep
matematika yang diajarkan kepada siswa secara terpisah, diikuti dengan contoh-
contoh terpisah, dan masalah-masalah yang diberikan juga terpisah.
commit to user
library.uns.ac.id 37
digilib.uns.ac.id

Konstruksi pemecahan masalah sangat tergantung dari konstruksi konsep


matematika yang dialami. Konstruksi konsep yang baik pada siswa akan membantu
mempermudah proses konstruksi pemecahan masalah. Konstruksi pemecahan
masalah dapat ditelusuri menggunakan kerangka kerja asimilasi dan akomodasi dari
Piaget. Menurut Piaget (dalam Irpan, 2009) mengungkapkan bahwa ketika
seseorang berinteraksi dengan lingkungan, maka akan terjadi proses adaptasi. Pada
saat beradaptasi, seseorang mengalami dua proses kognitif, yaitu asimilasi dan
akomodasi. Proses asimilasi merupakan proses pengintegrasian stimulus baru ke
dalam skema yang sudah terbentuk, sedangkan akomodasi merupakan proses
pengintegrasian stimulus baru melalui pembentukan skema baru untuk
menyesuaikan dengan stimulus yang diterima.
Pada penelitian ini, interferensi berpikir yang dimaksudkan adalah ketika
siswa dihadapkan pada soal cerita tentang barisan dan deret aritmatika. Sebelumnya
siswa sudah mempunyai pemahaman mengenai konsep barisan dan deret
aritmatika, sehingga saat dihadapkan soal tentang barisan dan deret aritmatika,
siswa mengasosiasikan soal dengan konsep yang sebelumnya dimiliki untuk
menyelesaikan soal. Begitu juga ketika siswa dihadapkan soal cerita tentang barisan
dan deret geometri. Dengan kata lain, materi lama (barisan dan deret aritmatika)
mempengaruhi materi yang baru (barisan dan deret geometri), sedangkan materi
yang baru (barisan dan deret geometri) mempengaruhi materi yang lama (barisan
dan deret aritmatika). Berdasarkan hal tersebut diindikasi siswa mengalami
interferensi berpikir.
Di samping adanya interferensi berpikir yang dialami oleh siswa, ada
kemungkinan juga bahwa proses berpikir siswa dalam pemecahan masalah
matematika dipengaruhi oleh tingkat kecemasan belajar matematika (math anxiety).
Math anxiety dapat dipengaruhi oleh gangguan berpikir siswa tersebut sehingga
akan menimbulkan poor mathematics performance, akibatnya siswa mengalami
kesulitan dalam memecahkan masalah.
Berdasarkan uraian di atas, dalam konteks pembelajaran matematika yang
diikuti oleh siswa dengan karakteristik berpikir yang berbeda-beda memungkinkan
adanya variasi aktivitas pemecahancommit to usersehingga proses berpikir masing-
masalah
library.uns.ac.id 38
digilib.uns.ac.id

masing siswa pun berbeda. Lebih lanjut, siswa yang memiliki math anxiety tinggi
dimungkinkan memiliki interferensi berpikir dalam mengkonstruksi pengetahuan
berdasarkan kerangka asimilasi dan akomodasi yang belum lengkap dibandingkan
dengan siswa yang memiliki math anxiety sedang maupun rendah. Hal ini
dikarenakan siswa yang memiliki math anxiety tinggi memiliki kecemasan yang
tinggi terhadap dirinya sendiri sehingga dapat menimbulkan interferensi berpikir
saat menghadapi soal yang diberikan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian
terkait proses interferensi berpikir siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan
berdasarkan kerangka asimilasi dan akomodasi ditinjau dari math anxiety.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai