Hal ini sesuai dengan prinsip kerja teori belajar kognitif yang mengatakan bahwa peserta didik
tidak lagi dipandang sebagai obyek dalam pembelajaran, atau orang yang pasif dalam
berinteraksi dengan lingkungan. Tetapi peserta didik adalah makhluk yang berfikir dan aktif
untuk memahami lingkungan (Herpratiwi, 2016). Menurut teori ini, ilmu pengetahuan dibangun
dalam diri seorang anak melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan.
Proses ini tidak berjalan terputus-putus, tetapi melalui proses yang mengalir, sambung
menyambung, dan menyeluruh.
Kognitif memusatkan perhatiannya pada “Otak”. Para ahli berpendapat bagaimana manusia
memproses dan menyimpan informasi sangat penting dalam proses belajar. Sebagaimana
Baharuddin (2010.167) (dalam Nurlina, dkk, 2021) menjelaskan bahwa peristiwa belajar yang
dialami manusia bukan semata masalah respon terhadap stimulus (rangsangan), melainkan
adanya pengukuran dan pengaturan diri yang dikontrol oleh otak. Dalam teori ini, proses
pembelajaran yang dilakukan lebih berfokus pada membantu anak mempelajari cara
memaksimalkan potensi otak mereka. Ini memudahkan anak dalam menghubungkan informasi
baru dengan ide-ide yang ada sehingga memperdalam memori dan kapasitas penyimpanan
mereka.
Intinya dalam teori belajar kognitif, proses pembelajaran lebih menekankan pada aspek
memahami dan penguasaan materi dibandingkan dengan menghafal materi. Teori Belajar
Kognitif juga lebih menekankan pada proses belajar dari pada hasil belajar. Proses belajar yang
dimaksud dalam hal ini yaitu meliputi kegiatan mental yang aktif dalam rangka mencapai,
mengingat, dan menggunakan pengetahuan yang didapat tersebut.
Asumsi yang mendasari teori ini adalah, bahwa setiap anak telah mempunyai pengalaman dan
pengetahuan di dalam dirinya. Pengalaman dan pengetahuan ini tertata dalam bentuk struktur
kognitif. Proses belajar akan berjalan dengan baik bila materi pelajaran yang baru beradaptasi
(bersinambung) secara “klop” dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki oleh anak (Nurlina,
dkk, 2021)
Dalam perkembangan setidaknya ada tiga teori belajar yang bertitik tolak dari teori kognitifisme
ini yaitu: Teori perkembangan Kognitif Bruner, teori kognitif Piaget, dan Teori bermakna
Ausubel.
1) JEAN PIAGET
Piaget mengatakan bahwa perkembangan kognitif anak terdiri atas beberapa tahap. belajar
yang diberikan harus disesuaikan dengan tahap Proses perkembangan kognitif peserta didik
agar hasil yang didapat lebih maksimal.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah : Bahasa dan cara
berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan
menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak. Anak- anak akan belajar lebih baik
apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik (Ibda, 2015).
Piaget membagi proses belajar kedalam tiga tahapan yaitu (Nurlina, dkk, 2021):
1. Asimilasi: merujuk pada peleburan informasi baru kedalam struktur kognitif yang sudah
ada.
2. Akomodasi: Proses penyesuaian antara struktur kognitif ke dalam situasi yang baru.
3. Ekuilibrasi: Proses penyesuaian yang berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi
Warsita (2016) (dalam Nurhadi, 2020) menyebutkan bahwa Piaget berpendapat belajar
merupakan proses penyesuaian, pengembangan dan pengintegrasian pengetahuan baru ke
dalam struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang sebelumnya. Inilah yang disebut dengan
konsep schema/skema (jamak = schemata/schemata). Sehingga hasil belajar/ struktur kognitif
yang baru tersebut akan menjadi dasar untuk kegiatan belajar berikutnya.
Selain memperhatikan tahap belajar anak, Piaget juga memperhatikan tahap perkambangan
kognitif yang terdiri dari 4 tahap (Santrock, :
1. Tahap sensorimotor (anak usia lahir-2 tahun)
2. Tahap preoperational (anak usia 2-6 tahun)
3. Tahap operational konkret (anak usia 6-12 tahun)
4. Tahap operational formal (anak usia 12-18 tahun lebih)
Piaget mengemukakan bahwa proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangan
kognitif yang dilalui siswa. Proses belajar yang dialami seorang anak berbeda pada tahap-tahap
lainnya. Sehingga wajib bagi guru untuk menyediakan metode dan media belajar yang sesuai
dengan tahap perkembangan kognitif dari masing-masing peserta didiknya.
2) JAROME BRUNER
Dasar ide Jerome Bruner ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus
berperanan secara aktif di dalam belajar di kelas. Untuk itu, Bruner memakai cara dengan apa
yang disebutnya "discovery learning", yaitu dimana murid mengorganisasi bahan yang dipelajari
dengan suatu bentuk akhir. Cara belajar yang terbaik menurut Bruner ini adalah dengan
memahami konsep, arti dan hubungan melalui proses intuitif kemudian dapat dihasilkan suatu
kesimpulan (Discovery Learning). Dengan kata lain, belajar dengan menemukan (Nugroho,
2015).
Teori ini menjelaskan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru
memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep,
toeri, definisi, dan sebagainya) melalui contoh-contoh yang yang menggambarkan (mewakili)
aturan yang menjadi sumbernya. Peserta didik dibimbig secara induktif untuk mengetahui
kebenaran umum.
Namun berbeda dengan Piaget yang membahas mengenai tahap belajar dan perkembangan
kognitif, Bruner mengatakan bahwa untuk mengajarkan sesuatu tidak usah menunggu sampai
anak mancapai tahap perkembangan tertentu. Yang penting bahan pelajaran harus ditata
dengan baik maka dapat diberikan pada peserta didik. Dengan kata lain, perkembangan kognitif
seseorang dapat ditingkatkan dengan jalan mengatur bahan yang akan dipelajari dan
menyajikannya sesuai dengan tingkat perkembangannya (Pahliwandari, 2016). Dalam hal ini,
Bruner melihat bahwa perkembangan kognitif seseorang dipengaruhi oleh kebudayaan,
terutama bahasa yang digunakan.
Bruner memperkenalkan konsep perkembangan Kognisi peserta didik dengan tiga bentuk
representasi, yaitu (Herpratiwi, 2016):
Enaktif: aktivitas untuk memahami lingkungan melalui observasi langsung terhadap
realitas yang terjadi
Contoh: dalam mempelajari penjumlahan dua bilangan cacah, pembelajaran akan
terjadi secara optimal jika mula-mula siswa mempelajari hal itu dengan menggunakan
benda-benda konkret (misalnya menggabungkan 3 kelereng dengan 2 kelereng, dan
kemudian menghitung banyaknya kelereng semuanya ini merupakan tahap enaktif)
Ikonik: Siswa mengobservasi realitas tidak secara langsung, tetapi melalui sumber
sekunder, misalnya melalui gambar hidup, grafis, film, gambar statis atau tulisan
Contoh: kegiatan belajar dilanjutkan dengan menggunakan gambar atau diagram yang
mewakili 3 kelereng dan 2 kelereng yang digabungkan tersebut (dan kemudian dihitung
banyaknya kelereng semuanya, dengan menggunakan gambar atau diagram tersebut/
tahap yang kedua ikonik, siswa bisa melakukan penjumlahan itu dengan menggunakan
pembayangan visual (visual imagenary) dari kelereng tersebut
Simbolik: Peserta didik mampu memahami atau membangun pengetahuan melalui
proses bernalar dengan menggunakan simbol bahasa seperti kata-kata atau simbol
lainnya yang bersifat abstrak.
Contoh: Pada tahap berikutnya yaitu tahap simbolis, siswa melakukan penjumlahan
kedua bilangan itu dengan menggunakan lambang-lambang bialngan, yaitu : 3 + 2 = 5.
1. DAVID AUSUBEL
Dalam teorinya, Ausubel menjelaskan sebuah konsep pembelajaran yang disebut sebagai
belajar menerima dan belajar menemukan. Pada “belajar menerima”, siswa hanya menerima
materi yang diberikan oleh guru, sehingga siswa terkadang hanya tinggal menghafal saja apa
pelajaran yang sudah diberikan oleh guru. Inilah yang menurut Ausubel disebut sebagai “belajar
menghafal”
Hal ini berbeda pada konsep “belajar menemukan”, dimana siswa harus menemukan apa yang
dipelajarinya, sehingga siswa tidak menerima materi pelajaran begitu saja. Materi yang telah
diperoleh tersebut dikembangkan lagi oleh siswa sehingga belajarnya menjadi lebih dimengerti.
Dimana dengan kata lain proses pembelajaran menjadi sebuah “belajar bermakna”. Dengan
belajar bermakna informasi (pengetahuan) yang diperoleh mempunyai daya tahan yang lebih
lama. Salah satu cara ialah menjadikan materi baru berhubungan sistematis dengan konsep
yang relevan, yaitu materi baru dikembangkan, dimodifkasi, atau dielaborasi ke dalam memori
siswa.
Di dalam menerapkan teori Ausubel dalam pembelajaran, maka perlu digunakan dua fase, yaitu
fase perencanaan dan fase pelaksanaan.
Dalam Burhanuddin (1996), Ausubel menjelaskan ada tiga kebaikan belajar bermakna, yaitu :
3) ROBERT M. GAGNE
Dalam proses pembelajaran, Gagne mengemukakan sebuah teori yang disebut sebagai teori
pemrosesan informasi. Menurut teori ini belajar dipandang sebagai proses pengolahan
informasi dalam otak manusia. Teori ini merupakan gambaran atau model dari kegiatan di
dalam otak manusia di saat memroses suatu informasi. Menurut Gagne bahwa dalam
pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga
menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar (Rabbani, 2018).
Berikut ini diskripsi proses pengolahan informasi menurut teori pengolahan informasi:
Menurut Robert M. Gagne mengemukakan ada delapan fase proses pembelajaran. Kedelapan
fase itu sebagai berikut (Rehalat, 2014):
1. Motivasi yaitu fase awal memulai pembelajaran dengan adanya dorongan untuk
melakukan suatu tindakan dalam mencapai tujuan tententu (motivasi intrinsik dan
ekstrinsik).
2. Pemahaman, yaitu individu menerima dan memahami Informasi yang diperoleh dari
pembelajaran. Pemahaman didapat melalui perhatian.
3. Pemerolehan, yaitu individu memberikan makna/mempersepsi segala Informasi yang
sampai pada dirinya sehingga terjadi proses penyimpanan dalam memori peserta
didik.
4. Penahanan, yaitu menahan informasi/ hasil belajar agar dapat digunakan untuk jangka
panjang. Hal ini merupakan proses mengingat jangka panjang.
5. Ingatan kembali, yaitu mengeluarkan kembali informasi yang telah disimpan, bila ada
rangsangan
6. Generalisasi, yaitu menggunakan hasil pembelajaran untuk keperluan tertentu.
7. Perlakuan, yaitu perwujudan perubahan perilaku individu sebagai hasil pembelajaran
8. Umpan balik, yaitu individu memperoleh feedback dari perilaku yang telah
dilakukannya.
Berdasarkan teori pemrosesan informasi ini terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh
para guru:
1. Perhatian sangat penting, oleh karena itu selalu upayakan agar siswa anda benar-benar
memperhatikan pelajaran. Meskipun mereka tampak melihat anda, namun belum tentu
pikiran mereka perhatian kepada apa yang anda jelaskan.
2. Sebaiknya lebih mengutamakan belajar dengan memahami dari pada melalui hafalan.
Agar pembelajaran kognitif berjalan efisien, siswa harus punya pemahaman tentang alasan
mempelajari suatu materi sejak awal pembelajaran.
Pembelajaran kognitif bantu proses informasi tersusun secara rapi dan runtut dalam memori
atau ingatan.
Selanjutnya, strategi pembelajaran kognitif yang baik dapat membantu peserta didik untuk
menerapkan informasi atau keterampilan baru dalam berbagai situasi di kehidupannya.
Secara tidak langsung, kemampuan mereka untuk memecahkan masalah akan terus
berkembang.
Referensi:
Herpratiwi. (2016). Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Media Akademi. Diunduh 12
September 2022. · http://repository.lppm.unila.ac.id/8903/
Ibda,Fatimah. (2015). Perkembangan Kognitif: Teori Jean Piaget. INTELEKTUALITA. Vol 3, No 1.
Diakses 13 September 2022. https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/intel/article/view/197
Nugroho, Puspo. 2015. Pandangan Kognitifisme Dan Aplikasinya Dalam Pembelajaran Pendidikan
Agama Islam Anak Usia Dini. ThufuLA: Jurnal Inovasi Pendidikan Islam Anak Usia Dini. Vol. 3 | No. 2.
Diunduh 13 September 2022. https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/thufula/article/view/4734
Nurhadi. (2020). Teori kognitivisme serta aplikasinya dalam pembelajaran. Jurnal Edukasi dan Sains.
Vol 02, No 01. Di unduh 13 September 2022.
https://ejournal.stitpn.ac.id/index.php/edisi/article/download/786/541/
Nurlina; Nurfadilah; dan Bahri, Aliem. (2021). Teori Belajar dan Pembelajaran. Makasar: Lembaga
Perpustakaan dan Penerbitan Universitas Muhammadiyah Makassar). Diunduh 12 September 2022.
https://www.researchgate.net/publication/350835481_TEORI_BELAJAR_DAN_PEMBELAJARAN
Pahliwandari, Rovi. (2016). Penerapan Teori Pembelajaran Kognitif Dalam Pembelajaran Pendidikan
Jasmani Dan Kesehatan. Jurnal Pendidikan Olahraga, Vol. 5, No. 2. Diakses 13 September 2022.
https://journal.ikippgriptk.ac.id/index.php/olahraga/article/view/383
Rehalat, Aminah. (2014). Model Pembelajaran Pemrosesan Informasi. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial.
Vol 23, No 2. Diunduh 14 September 2022.
https://ejournal.upi.edu/index.php/jpis/article/download/1625/pdf