Anda di halaman 1dari 12

DISTRIBUSI ABERASI KROMOSOM SEKS DAN FENOTIPE

GENITAL PADA PASIEN SEX CHROMOSOME DISORDERS OF SEX


DEVELOPMENT DI CEBIOR FK UNDIP 2013 – 2018

JURNAL PENELITIAN
KARYA TULIS ILMIAH

Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar


Sarjana Kedokteran

ADE WIRAHMAN
22010115130189

Program Pendidikan SARJANA KEDOKTERAN


Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro
Tahun 2019
LEMBAR PENGESAHAN JURNAL KARYA TULIS ILMIAH

DISTRIBUSI KARIOTIPE DAN FENOTIPE GENITAL PADA PASIEN SEX


CHROMOSOME DISORDERS OF SEX DEVELOPMENT DI CEBIOR FK UNDIP
2013– 2018
Disusun oleh:

ADE WIRAHMAN
22010115130189

Telah disetujui
Semarang, 3 Juli 2019

Pembimbing 1 Pembimbing 2

dr. RR. Mahayu Dewi Ariani M.Si Med Prof. dr. Sultana MH Faradz, Ph.D
NIP. 198104212008122002 NIP. 195202021979012001

Ketua Penguji

dr. Eka Chandra Herlina, M. Sc., Sp.OG


NIP. 196301271990012001

Mengetahui
Ketua Program Studi Kedokteran

Dr. dr. Neni Susilaningsih, M.Si


NIP. 196301281989022001
DISTRIBUSI KARIOTIPE DAN FENOTIPE GENITAL PADA PASIEN SEX
CHROMOSOME DISORDERS OF SEX DEVELOPMENT DI CEBIOR FK UNDIP
2013 – 2018

Ade Wirahman1, RR. Mahayu Dewi Ariani2, Sultana MH. Faradz3


1
Mahasiswa S-1 Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
2
Bagian Biologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
3
Centre For Biomedical Research (CEBIOR) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

ABSTRAK
Latar Belakang : Disorders of Sex Development (DSD) merupakan kumpulan kondisi langka yang
umumnya bercirikan adanya abnormalitas pada kromosom, gonad, ataupun fenotipe yang umumnya
menandakan gangguan perkembangan seksual. DSD dibagi menjadi 3 kategori besar yaitu, sex
chromosome DSD; 46, XY DSD; 46, XX DSD.

Tujuan : Mengetahui distribusi kariotipe dan gambaran fenotipe pada pasien DSD di Laboratorium
CEBIOR FK UNDIP dalam periode 2013 - 2018

Metode : Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan rancangan belah lintang. Sampel
adalah catatan medik pasien DSD di CEBIOR FK Undip periode Januari 2013 – Juni 2018.

Hasil : Didapatkan 42 pasien terdiagnosis DSD pada periode Januari 2013 – Juni 2018 yang
memenuhi kriteria inklusi. Mayoritas pasien dengan usia di atas 15 tahun sebanyak 19 (45,24%)
pasien dan dengan kelainan kromosom bersifat mosaik sebanyak 30 (71,42%) pasien. 34 (80,95%)
pasien memiliki scrotum bifida. 17 (40,48%) pasien memiliki posisi OUE di perineal. Sebanyak 24
(57,14%) pasien memiliki panjang penis kurang dari kelompok usia.

Simpulan : Mayoritas pasien Sex Chromosome DSD didiagnosis ketika sudah dewasa atau setelah
pubertas, memiliki kelainan kromosom mosaik, memiliki rerata phallus yang lebih pendek dari usia
kelompoknya, memiliki posisi OUE pada perineal, tidak memiliki atau tidak terdapat data volume
testis, dan memiliki EMS Total sebanyak 1.

Kata Kunci : Disorders of Sex Development, distribusi kariotipe, fenotipe genitalia, CEBIOR FK
Undip
KARYOTYPE AND GENITAL PHENOTYPE DISTRIBUTION AMONGST
PATIENTS WITH SEX CHROMOSOME DISORDERS OF SEX DEVELOPMENT IN
CEBIOR FMDU IN 2013-2018

Ade Wirahman1, RR. Mahayu Dewi Ariani2, Sultana MH. Faradz3


1
Mahasiswa S-1 Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
2
Bagian Biologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
3
Centre For Biomedical Research (CEBIOR) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

ABSTRACT
Background : Disorders of Sex Development (DSD) are a group of rare conditions that usually
present with abnormality in the chromosome, gonads, and/or the genitals that signifies a disorder in
the normal sexual development. DSD itself is categorized into 3 big groups, which are the sex
chromosome DSD, 46, XY DSD, and 46, XX DSD.

Aim : To determine the karyotipe and genitalia phenotype distribution of DSD patients in CEBIOR
FMDU within the January 2013 – June 2018 period.

Method : A descriptive, cross-sectional study. Datas were collected from medical records of DSD
patients in CEBIOR FMDU, within the period of January 2013 – June 2018.

Results : During the study period, there were 42 patients diagnosed with DSD satisfied the inclusion.
Patients aged above 15 years-old and with chromosomal mosaicism were the most prevalent with 19
(45,24%) patients and 30 (71,42%) patients respectively. Bifid scrotum was the most prevalent with
34 (80,95%) patients. The most prevalent OUE position is perineal with 17 (40,48%) patients. 24
(57,14%) patients had penis length less than the average of their age group length.

Conclusion : The majority of Sex Chromosome DSD patients are diagnosed during post-puberty or
adulthood, had a mosaic chromosomal disorders, had phallus length shorter than the average of their
age group length, had OUE in the perineal position, missing or unavailable testical volume
information, and with an EMS Total of 1.

Keywords : Disorders of Sex Development, karyotipe distribution, genital phenotype, CEBIOR


FMDU
PENDAHULUAN

Disorders of Sex Development (DSD) merupakan kumpulan kondisi langka yang umumnya
bercirikan adanya abnormalitas pada kromosom, gonad, ataupun fenotipe yang umumnya
menandakan gangguan perkembangan seksual. Kondisi-kondisi tersebut umumnya disertai
presentasi genitalia yang atipikal pada saat neonatus atau keterlambatan pubertas pada saat
remaja.(1)
DSD dibagi menjadi 3 kategori besar yaitu, sex chromosome DSD; 46, XY DSD; 46, XX
DSD.(2) Diagnosis kategori tersebut dapat diklasifikasi menjadi lebih spesifik melalui
pemeriksaan hormonal, imaging, pemeriksaan molekular dan histopatologi. Pemeriksaan fisik
disertai riwayat pemeriksaan antenatal dan riwayat keluarga serta pemeriksaan mendalam
struktur genitalia diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Kriteria yang cenderung
mengarahkan diagnosis menuju DSD adalah (1) ambiguitas genitalia, (2) genitalia wanita
yang jelas namun terdapat perbesaran klitoris, fusi labialis posterior, atau terdapat massa di
inguinal atau di labia, (3) genitalia pria yang jelas. Namun terdapat testis yang tidak turun,
micropenis, hipospadia perineal yang terisolasi, atau hipospadia ringan dengan testis yang
tidak turun, (4) riwayat keluarga dengan DSD (misal CAIS), dan (5) terdapat
ketidakcocokkan antara penampilan genitalia dengan hasil kariotipe prenatal.(2)
Data mengenai prevalensi DSD di Indonesia sendiri sejauh ini masih terbatas. Data rekam
medis yang didapat dari Center for Biomedical Research (CEBIOR) selama periode 2004 –
2015 menunjukkan sebanyak 617 pasien DSD selama rentang waktu tersebut. (3) Pasien
dengan DSD tidak mendapat evaluasi diagnostik yang memadai dan pilihan untuk
penanganan secara medis dan bedah umumnya terbatas. Protokol penanganan yang
terstandardisasi untuk pasien DSD belum tersedia. Hal tersebut menyebabkan penanganan
pada pasien – pasien DSD terbatas dan tergantung pada kemampuan dan pengalaman klinisi
dan peralatan di fasilitas kesehatan yang ada.(3)
Melihat ulasan di atas, maka penulis tertarik untuk melihat pola kelainan kromosom dan
fenotipe pada pasien-pasien dengan DSD di laboratorium CEBIOR selama periode 2013
hingga Juni 2018 sehingga nantinya dapat diharapkan menjadi dasar untuk dikembangkannya
diagnosis dini untuk meningkatkan kualitas konseling genetik, pelayanan medis, serta
membantu pengambilan keputusan untuk para orang tua pasien DSD.
METODE
Desain penelitian yang akan digunakan adalah penelitian bersifat cross sectional. Metode ini
bertujuan untuk mengetahui prevalensi aberasi kromosom dan prevalensi fenotipe genital
serta distribusi penderita Sex Chromosome Disorders of Sexual Development yang terdapat di
Pusat Penelitian Biomedik CEBIOR Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang
dalam periode Januari 2013 – Juni 2018.
Populasi target dalam penelitian ini adalah semua pasien yang mengalami Sex Chromosome
Disorders of Sexual Development. Populasi terjangkau adalah pasien penderita Sex
Chromosome Disorders of Sexual Development yang dilakukan analisis kromosom dan
pemeriksaan fenotipe di Pusat Penelitian Biomedik CEBIOR Fakultas Kedokteran
Universitas Dipoengoro, Semarang pada periode Januari 2013 – Juni 2018. Sampel dipilih
secara consecutive sampling yang memenuhi kriteria inklusi, yaitu pasien dengan Sex
Chromosome Disorders of Sexual Development dan pasien yang diperiksa (mendapat analisis
kromosom dan pemeriksaan fenotipe/fisik) di Laboratorium CEBIOR Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro. Tidak termasuk ke dalam subjek penelitian apabila pasien dengan
Sex Chromosome DSD yang tidak memeriksakan diri ke Laboratorium CEBIOR FK UNDIP.
Data yang terkumpul akan diproses dan diolah dengan menggunakan program SPSS for
Windows. Data disajikan dalam bentuk tabel dan diagram serta dilakukan analisis cara
deskriptif untuk mengetahui distribusi hasil analisis kromosom, fenotipe dan penderita Sex
Chromosome DSD di Semarang. Data output dan hasil analisis akan dibahas pada artikel
berdasarkan referensi dari jurnal dan sumber lainnya.

HASIL PENELITIAN

Tabel 6. Distribusi Jumlah Pasien DSD berdasarkan Tahun


Tahun Jumlah chromosomal DSD/ DSD
Total
2013 2 /58
2014 19/38
2015 11/34
2016 2/47
2017 5/35
2018 3/23

Tabel 7. Distribusi berdasarkan diagnosis


Diagnosis Jumlah
Gonadal Dysgenesis 26 (61,9%)
Unknown Male Undermasculinization 5 (11,9%)
PAIS 4 (9,52%)
Turner’s Syndrome 4 (9,52%)
CAH 1 (2,4%)
Klinefelter’s Syndrome 1 (2,4%)
Mayer-Rokitansky-Küster-Hauser (MRKH) 1 (2,4%)
Syndrome

Tabel 8. Distribusi Kelainan Kromosom


Jenis Kelainan Kromosom Jumlah
Mosaik 30 (71,42%)
Trisomi 4 (9,52%)
Monosomi 3 (7,14%)
Struktural 5 (11,9%)

Tabel 9. Distribusi Fusi Skrotum


Jenis Fusi Skrotum Jumlah
Tidak 34 (80,95%)
Scrotum Bifida 3 (7,14%)
Ya 5 (11,9%)

Berdasarkan data dari rekam medis yang tercatat di CEBIOR, ukuran penis (jika ada)
memiliki rentang dari 1 cm hingga 7 cm, terdapat 13 pasien dengan klitoris normal, dan 1
pasien dengan kondisi phallus yang tidak dapat dinilai atau datanya tidak ada.
Pasien pasien Sex Chromosome DSD pada sampel ini menunjukkan EMS total yag berkisar
dari 1 hingga 9. Rerata pasien memiliki EMS total sebanyak 3.

DISKUSI

Jumlah pasien Sex Chromosome DSD yang memenuhi kriteria inklusi adalah 42 pasien.
Penelitian ini mengambil sampel pasien tersebut dari Januari 2013 hingga Juni 2013. Tahun
2013 memiliki jumlah pasien yang memenuhi kriteria paling sedikit, yaitu 2 pasien,
sedangkan tahun 2014 merupakan tahun yang paling banyak menyumbang jumlah pasien
pada sampel ini yaitu 19 pasien.
Pasien Sex Chromosome DSD berdasarkan usia pada penelitian ini ditermukan sebanyak 19
pasien (45,24%) pada usia lebih dari 15 tahun, 14 pasien (33,33%) pada rentang usia 5-15
tahun, 4 pasien (9,52%) pada rentang usia 1-5 tahun, dan 7 pasien (16,67%) pada usia < 1
tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran orang tua pada pasien DSD kurang mumpuni
atau bisa juga disebabkan oleh sulitnya mendeteksi DSD secara dini dikarenakan tidak
adanya protokol terstandardisasi.(3) Hal tersebut dibuktikan dengan mayoritas pasien pada
sampel ini berusia di atas 15 tahun, yang merupakan tahap pasien sudah memasuki pubertas
atau sudah menjadi dewasa.
Berdasarkan kariotipenya, terdapat 3 pasien dengan kariotipe 45, X. TS dengan 45, X
kariotipe telah diamati pada 1-2% dari konsepsi manusia, 10% dari keguguran pada
kehamilan di trimester pertama, dan 1% dari kelahiran mati. (4) Lebih dari 99% dari 45, janin
X berakhir dengan aborsi, umumnya pada minggu ke 28 kehamilan, yang
menunjukkan bahwa agar dapat bertahan hidup, mayoritas individu 45, X harus memiliki
mosaikisme cell line yang berbeda.(5,6) Etiologi meliputi kesalahan pada pra dan pasca
konsepsi, meiotic non-disjunction dan anaphase lag.
Kemudian terdapat 10 pasien dengan kariotipe 45, X / 46, XY beserta kariotipenya memiliki
fenotipe testis yang bervariasi. Dari 10 pasien tersebut, 5 pasien tidak memiliki atau tidak
terdapat testis yang bisa dinilai secara fisik, 2 memiliki testis yang dapat diukur, 2 hanya
memiliki testis di kanan, dan 1 hanya memiliki testis di kiri. Namun, karena penelitian ini
hanya mengandandalkan data rekam medis yang bersifat sekunder, keakuratan dari
interpretasi peneliti terhadap data tersebut tidak dapat dijadikan acuan untuk menggambarkan
fenotipe pada kariotipe ini. Hal ini disebabkan karena kariotipe ini memiliki fenotipe
genitalia yang bervariasi dari satu pasien ke pasien lainnya. (7,8) Hal ini sejalan dengan
penelitian Ocal dkk. Hal ini dapat dilihat khususnya pada mosaik 45,X / 46, XY. Pasien-
pasien dengan kariotipe ini memiliki diferensiasi genital yang bervariasi dari fenotipe yang
mirip dengan Turner’s Syndrome, streak gonad bilateral, testis disgenesis bilateral hingga
testis yang tampak normal. Hal tersebut disebabkan oleh komposisi seluler yang bersifat
mosaik pada gonad dalam perkembangan gonad pada embrio.(9) Pasien dengan kariotipe ini
juga memiliki potensi untuk memiliki germ-cell tumor khususnya gonadoblastoma. Di
sumber terbaru, frekuensi munculnya germ-cell tumor pasien dengan kariotipe ini adalah
15%.(4,10)
Pasien dengan 46, XX / 46, XY beserta variasinya pada sampel ini memiliki kondisi
testis yang beragam. Pasien-pasien dengan kariotipe ini masuk ke dalam kategori chimerism
(jika dari zigot berbeda) atau mosaikisme (jika dari zigot yang sama). Mosaik dapat
dibedakan dari chimerisme dengan analisis genetik dalam keadaan tertentu. Pada seorang
individu dengan mosaik, analisa menunjukkan beberapa sel memiliki komplemen kromosom
jantan (XY) dan beberapa sel memiliki komplemen kromosom wanita (XX).(11) Chimerism
dapat terjadi baik selama fertilisasi in-vitro atau selama kehamilan secara alami, ketika dua
zigot tidak identik berkembang menjadi janin tunggal pada tahap awal perkembangan.
Chimerism juga terjadi selama transfusi intrauterin, transplantasi sumsum tulang alogenik dan
pertukaran sel darah, melalui plasenta, antara kembar yang tidak identik dalam rahim. (12)
Hasilnya chimera mungkin memiliki sel yang memiliki set berbeda kromosom.
Dalam kasus ini, dua pasien memiliki testis utuh di skrotum, dua memiliki testis di sisi
kiri(masing-masing terdapat di skrotum dan inguinal), dua tidak memiliki testis, dan hanya
satu yang memiliki testis di kanan (inguinal).
Pada pasien dengan kariotipe 45, X / 46, XX (sebanyak 4 pasien) dan pasien dengan 45, X
tidak terdapat testis yang dapat diukur. Hal tersebut menunjukkan pasien-pasien dengan
kromosom tersebut memiliki fenotipe genital wanita. Perlu dilakukan pemeriksaan fisik lebih
lanjut untuk menilai perkembangan seksual sekunder. Pasien-pasien dengan kariotipe ini
termasuk dalam kategori Turner’s Syndrome dengan mosaik dan merupakan jenis kariotipe
yang paling umum (15%). Pasien-pasien ini umumnya memiliki fenotipe yang normal (bukan
fenotipe Turner’s Syndrome pada umumnya). Menstruasi spontan juga pada sekitar 20%
penderita kariotipe ini.(4)
Pasien-pasien dengan trisomi 47, XXY beserta variasinya yang mosaik, terdapat perbedaan
fenotipe. Pada trisomi murni, 4 pasien dengan kondisi ini memiliki testis yang volumenya
bervariasi dari < 1 ml hingga 5 ml dan mayoritas memiliki testis di skrotum, kecuali satu
pasien yang testis kirinya terdapat di inguinal. Pada trisomi mosaik di sampel ini, 46, XX /
47, XXY merupakan jenis mosaik yang jarang ditemui. Secara fenotipe, pasien dengan
kromosom tersebut memiliki fenotipe yang bervariasi dari mirip dengan Klinfelter’s
Syndrome murni hingga fenotipe seperti wanita biasa. Dalam sampel ini, pasien memiliki
fenotipe kelamin wanita biasa. Hal ini berlawanan dengan temuan Mohd Nor dkk yang
melaporkan bahwa pasien mereka memiliki fenotipe kelamin pria, walaupun pasien mereka
memiliki persentase 46, XX sebanyak 88%.(13) Pasien pada sampel ini memiliki 46, XX
sebanyak 96%.
Ada juga pasien pada kelompok ini dengan kariotipe 47, XXY / 46, XY. Pasien ini memiliki
fenotipe genital eksternal pria, walaupun memiliki mikropenis dan volume testis yang kurang
dari kelompok usianya. Pasien-pasien dengan kondisi mosaik ini memiliki potensi untuk
spermatogenesis, tidak seperti pasien dengan 47, XXY murni yang memiliki azoospermia
atau memiliki oligospermi yang parah. Hal tersebut dapat dijelaskan oleh keberadaan
kromosom Y sebagai penginduksi dominan dari fenotip pria tampaknya yang cukup besar.
Fenotipe kelamin eksternal dan fenotip gonad sangat dipengaruhi oleh persentase dan
distribusi sel-sel yang mengandung kromosom Y dalam gonad, sedangkan sel-sel leukosit
perifer yang mengandung kromosom Y dalam darah tidak terlalu berpengaruh dalam hal
tersebut.(14) Jika kromosom sel yang dominan dalam gonad mengandung kromosom Y,
fenotipnya adalah pria. Efek ini didasarkan pada ekspresi gen SRY di atas tingkat ambang
kritis dalam membantu berkembangnya urogenital ridge. Observasi tersebut menunjukkan
DSD kromosomal berpengaruh terhadap perkembangan gonad yang normal.
Dari temuan di atas, dapat diketahui bahwa presentasi fenotipe pasien sex chromosome DSD
memiliki banyak variasi dari segi klinis dan sitogenetik.
Peneliti mendapatkan data dari rekam medis yang terdapat di CEBIOR FK Undip. Karena
data yang digunakan adalah data sekunder, peneliti mendapatkan keterbatasan dalam
melakukan penelitian dan pengolahan data. Keterbatasan tersebut di antara lain adalah adanya
kemungkinan kesalahan peneliti dalam mencatat gambaran fenotipe genitalia pasien, kurang
lengkapnya data yang terdapat di rekam medis khususnya pasien yang hanya dirujuk ke
CEBIOR dari laboratorium lain. Di data yang digunakan peneliti juga tidak dapat dibedakan
apakah keadaan testis yang dapat diukur merupakan testis yang berkembang normal atau
dalam bentuk streak gonad. Hal tersebut penting untuk menentukan apakah pasien memiliki
klasifikasi dari kondisi Gonadal Dysgenesis (parsial, utuh, atau mixed).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
 Mayoritas pasien Sex Chromosome DSD (45,24%) didiagnosis ketika sudah dewasa
atau setelah pubertas
 Mayoritas pasien Sex Chromosome DSD (80,95%) memiliki kelainan kromosom
mosaik
 Mayoritas pasien Sex Chromosome DSD pada sampel ini (57,14%) memiliki rerata
phallus yang lebih pendek dari usia kelompoknya
 Mayoritas pasien Sex Chromosome DSD pada sampel ini (40,48%) memiliki posisi
OUE pada perineal
 Mayoritas pasien Sex Chromosome DSD pada sampel ini (66,67%) tidak memiliki
atau tidak terdapat data volume testis

Saran
 Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan pemeriksaan hormonal
 Perlu dilakukan pemeriksaan histologis pada jaringan gonad untuk menentukan jenis
gonad
 Diperlukan pemeriksaan kariotipe dengan metode FISH untuk mendalami lebih lanjut
kariotipe yang ada
 Perlu dilakukan penelitian sejenis dengan jumlah sampel yang lebih banyak sehingga
didapat data yang lebih akurat dan tidak bias dalam menggambarkan realita DSD di
Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kyriakou A, Lucas-Herald AK, Mcgowan R, Tobias ES, Ahmed SF. Disorders of sex
development: advances in genetic diagnosis and challenges in management
Introduction to the management issues in disorders of sex development (DSD). Adv
Genomics Genet [Internet]. 2015;5:165–77. Available from:
http://www.dovepress.com/permissions.php
2. Hughes IA, Houk C, Ahmed SF, Lee PA. Consensus statement on management of
intersex disorders. J Pediatr Urol. 2006;2(3):148–62.
3. Listyasari NA, Santosa A, Juniarto AZ, Faradz SM. JOURNAL OF BIOMEDICINE
AND TRANSLATIONAL RESEARCH Multidisciplinary Management of Disorders
of Sex Development in Indonesia, A Prototype for Developing Country. J Biomed
Transl Res JBiomedTransl Res ISSN J Biomed Transl Res. 2015;01(01):2503–2178.
4. Sendromu T. Turner Syndrome and Its Variants. 2017;4(4):171–5.
5. Hook EB, Warburton D. The distribution of chromosomal genotypes associated with
Turner’s syndrome: livebirth prevalence rates and evidence for diminished fetal
mortality and severity in genotypes associated with structural X abnormalities or
mosaicism. Hum Genet. 1983;64(1):24–7.
6. Held KR, Kerber S, Kaminsky E, Singh S, Goetz P, Seemanova E, et al. Mosaicism in
45,X Turner syndrome: does survival in early pregnancy depend on the presence of
two sex chromosomes? Hum Genet. 1992;88(3):288–94.
7. Ramos C, Bello MC, Jimenez A, Sanchez A, Herrera JL, Diaz FJ. Cytogenetic and
clinical findings in ten. 1984;336–40.
8. Simpson JL. Disorders of the Gonads, Genital Tract, and Genitalia [Internet]. Emery
and Rimoin’s Principles and Practice of Medical Genetics. Elsevier Ltd; 2013. 1–45 p.
Available from: http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-12-383834-6.00092-6
9. Öcal G, Berberoǧlu M, Şiklar Z, Ruhi HI, Tükün A, Çamtosun E, et al. The clinical
and genetic heterogeneity of mixed gonadal dysgenesis: Does “disorders of sexual
development (DSD)” classification based on new Chicago consensus cover all sex
chromosome DSD? Eur J Pediatr. 2012;171(10):1497–502.
10. Cools M, Drop SLS, Wolffenbuttel KP, Oosterhuis JW, Looijenga LHJ. Germ cell
tumors in the intersex gonad: Old paths, new directions, moving frontiers. Endocrine
Reviews. 2006.
11. Khan M, Moniruzzaman M, Mohsin F, Chowdhury AK. A 46, XX / 46, XY mosaicism
or chimerism diagnosed by Karyotyping. Bangladesh Crit Care J. 2018;6(2):111–3.
12. Van Dijk BA, Boomsma DI, De Man AJM. Blood group chimerism in human multiple
births is not rare. Am J Med Genet. 1996;61(3):264–8.
13. Mohd Nor NS, Jalaludin MY. A rare 47 XXY/46 XX mosaicism with clinical features
of Klinefelter syndrome. Int J Pediatr Endocrinol [Internet]. 2016;2016(1):3–6.
Available from: http://dx.doi.org/10.1186/s13633-016-0029-3
14. Velissariou V, Christopoulou S, Karadimas C, Pihos I, Kanaka-Gantenbein C,
Kapranos N, et al. Rare XXY/XX mosaicism in a phenotypic male with Klinefelter
syndrome: case report. Eur J Med Genet. 2006;49(4):331–7.

Anda mungkin juga menyukai