Anda di halaman 1dari 2

PENGAMBILAN KEPUTUSAN UNTUK BUNUH DIRI

Lydia Vania Maimuunissa


11170700000188 / 4E

“Skripsi Ditolak, Seorang Mahasiswa Bunuh Diri”


“Mahasiswi Universitas Ini Akhiri Hidup Karena Cinta”
Judul-Judul diatas sudah sangat familiar terdengar dan bisa kita temukan saat
membaca berita atau sebuah artikel. Bukanlah fenomena yang asing lagi saat ini, namun
bunuh diri tidak seharusnya digambarkan terlalu remeh ataupun terlalu mengerikan
seperti di dalam berita maupun artikel yang sering kita lihat. Baru-baru ini muncul
berita yang akhirnya menjadi viral, tentang seorang mahasiswi dan juga seorang aktivis
anti bunuh diri yang meninggal karena gantung diri. Ia sangat aktif di media sosial
menyuarakan campaign #preventsuicide sehingga orang-orang tidak menyangka Ia
sendiri akan melakukan bunuh diri. Dari kasus ini, bisa kita pahami bahwa bunuh diri
bukan merupakan hal sepele dan penyebabnya pun bisa datang dari faktor-faktor yang
tidak terduga.
Dalam pandangan psikologi kognitif, perilaku bunuh diri bisa ditelaah melalui
cara pengambilan keputusan seseorang. Pengambilan keputusan atau decision-making
adalah proses menentukan atau memilih berbagai kemungkinan di antara situasi-situasi
yang tidak pasti (Suharnan, 2005). Pengambilan keputusan terjadi dalam situasi-situasi
yang membuat seseorang harus memprediksi ke depan, memperkirakan atau membuat
estimasi, atau memilih salah satu diantara dua pilihan atau lebih mengenai frekuensi
kejadian berdasarkan bukti-bukti subjektif yang terbatas. Namun, tidak semua
keputusan dapat diambil dengan pertimbangan yang sistematis seperti teori keputusan
klasik diatas, contohnya bisa kita lihat dari pernyataan oleh adik tingkat Penulis di
kampus yang pernah melakukan percobaan bunuh diri, ia berkata “Aku sudah sering
self-harming, sampai pernah aku kelewatan gores tanganku tanpa sadar, yang di
pikiranku saat itu mungkin kalau aku mati masalahku akan hilang.”, Penulis dengannya
seringkali saling berbagi cerita tentang masalah masing-masing dan juga apa yang kami
pikirkan tentang bunuh diri.
Maka, kita bisa menelaah melalui pendekatan Heuristik. Pendekatan ini sering
dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Suharnan (2005), seseorang hanya
berpatokan pada keyakinan akan keputusan yang telah diambil, sesuai dengan hukum
kedekatan, kemiripan, kecenderungan, atau keadaan yang paling dekat dengan
kenyataan yang diperolehnya, baik berdasarkan pengalaman ataupun informasi dari
orang lain. Biasanya saat seseorang telah membuat patokan, ia cenderung akan memiliki
gerakan yang terbatas yaitu terkurung disekitar patokan yang telah ia buat sendiri.
Walaupun keputusan yang diambil bertentangan dengan bukti penalaran logis,
keputusan akan tetap dipertahankan dan akan menutup mata terhadap bukti-bukti baru
yang berbeda. Pelaku bunuh diri bukannya tidak mengetahui konsekuensi dari
tindakannya tetapi ia cenderung berani mengambil konsekuensi tersebut.
Sebagai mahasiswa, Penulis sendiri pernah mengalami stres dan depresi. Karena
memang persoalan yang dihadapi mahasiwa di kampus itu bukan hanya soal akademik
saja, melainkan hubungan sosial antara mahasiswa yang juga bisa menjadi sangat rumit.
Penulis sempat merasa depresi yang berlangsung beberapa bulan. Pikiran bunuh diri
memang ada terlintas namun tidak direalisasikan. Yang muncul di pikiran saat itu,
“Saya tidak mau hidup lagi dengan masalah ini, tapi jika mati pun saya tetap akan
menghadapi masalah yang lebih berat untuk menebus apa yang saya lakukan jika saya
benar-benar bunuh diri.”, dengan pemikiran seperti itu, Penulis memiliki keyakinan
bahwa Penulis tidak akan pernah melakukan yang namanya bunuh diri karena hidup
menyakitkan, mati pun akan sakit, keduanya sama saja. Penulis juga jadi merasa lelah
secara emosional, tidur seringkali sampai belasan jam, mimpi terasa lebih indah
daripada kenyataan.
Menurut Beck dalam (Nevid, dkk, 2003), Orang yang bunuh diri adalah akibat
sudah merasa putus asa dan tidak bisa berpikir tentang jalan keluar lainnya dari
permasalahan yang dihadapi selain bunuh diri. Ketika seseorang putus asa mereka
cenderung mengambil keputusan yang tidak menguntungkan bagi dirinya sendiri, hal ini
karena saat seseorang mengalami permasalahan yang menjadikannya stress, atau bahkan
sampai depresi, orang tersebut cenderung mengalami distorsi kognitif sehingga tidak
mampu menemukan keputusan lain untuk keluar dari permasalahannya. Selain rasa
putus asa, kemapuan coping dan problem solving juga berpengaruh dalam pengambilan
keputusan, apakah memilih untuk bunuh diri, atau bertahan dan berusaha mencari jalan
keluar dari masalahnya. (Williams dan Pollock, 2001).
Perilaku bunuh diri juga terkait dengan decision framing, yaitu pembingkaian
keputusan berdasarkan persepsi. Menurut (Suharnan, 2005), pembuatan keputusan
dipengaruhi dua bingkai yaitu Penerimaan, yang dinyatakan dalam bentuk perolehan
(gain) sehingga menghasilkan tindakan pertentangan atau penghindaran dari resiko.
Kemudian Penolakan, dinyatakan dalam bentuk kehilangan (lost) sehingga akan
menimbulkan tingkah laku mengambil resiko. Adanya pembingkaian keputusan dengan
pandangan negatif terhadap diri akan membentuk skema kognitif yang disfungsional
(automatic thought), inilah yang mengakibatkan seseorang mengalami distorsi kognitif.
Seseorang yang mengalami distorsi kognitif ditandai dengan penurunan kemampuan
dalam pemecahan masalahm sehingga ketika seseorang berpikir untuk bunuh diri, maka
ia akan menganggap bunuh diri sebagai satu-satunya solusi tanpa ada alternative lain
yang lebih baik untuk mengambil keputusan.
Masalah yang dialami Penulis dan adik tingkat Penulis sampai mendatangkan
pikiran bunuh diri kepada kami. ada yang telah melakukan percobaan bunuh diri, ada
pula dari kami yang hanya ingin namun di sisi lain yakin tidak akan melakukannya.

Anda mungkin juga menyukai