Masyarakat, tutur dia, membutuhkan kepastian hukum supaya ada kebenaran, ada
keadilan, dan persamaan hak, termasuk dalam hal berlalu lintas.
Harusnya, imbuh dia, Dishub DKI memahami aturan yang berlaku. Khususnya soal
penyidik yang diatur dalam pasal 6 KUHAP, yang dianggapnya paling mendasar.
Dalam pasal itu diatur tentang penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia
dan Penyidik Pengawai Negeri Sipil (PPNS).
“Nah, yang dimaksud PPNS itu siapa? Kalau Dishub, tidak semua anggota Dishub
masuk PPNS. Karena PPNS harus punya kualifikasi penyidikan dan dilatih dulu.
Dalam UU Kepolisian yang berhak melatih polisi,” tuturnya.
Soal kewenangan penyidik ini, imbuh dia, sudah diatur dalam ayat 1 pasal 7
KUHAP, bahwa wewenang penyidik itu salah satunya menolong korban, menerima
pengaduan, penangkapan dan sebagainya.
Dalam UU 14/1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Umum sebagaimana yang
dijabarkan dalam pasal 4 dan 8 Peraturan Pemerintah (PP) 42/1993 dibeberkan
kewenangan PPNS (Dishub).
Sementara kewenangan polisi diatur dalam pasal 3 dan 7 PP yang sama, yaitu
pemeriksaan terhadap Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), BPKB, SIM, Surat
Tanda Coba Kendaraan, meminta keterangan kepada pengemudi, dan menghentikan
kendaraan bermotor.
“Jadi kalau Dishub menghentikan kendaraan tidak boleh itu. Kalau pun boleh,
itu diatur dalam pasal 18 UU yang sama dan harus dilakukan bersama-sama
polisi,” tutur Djoko.
Sayangnya, kata Djoko, Dishub selalu memakai ketentuan dalam ayat 1 pasal 53
UU 14/1992. Ayat itu menyebutkan, selain pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia, pejabat PNS tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas
dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan, lalu lintas dan angkutan jalan,
diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam UU 8/1981
tentang KUHAP untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang lalu lintas
dan angkutan jalan.
Padahal dalam penjelasan ayat 1 pasal 53, penyidikan pelanggaran terhadap
persyaratan teknis dan laik jalan memerlukan keahlian, sehingga perlu ada
petugas khusus untuk melakukan penyidikan selain petugas.
“Mengacu pada KUHAP seakan-akan tugasnya sama dengan polisi seperti yang
tertuang pada pasal 6 ayat 1 a. Padahal dalam pasal dimaksud tugasnya tidak
sama dengan kewenangan polisi,” tegas dia.
b. Memilik Akte Pendirian Perusahaan bagi pemohon yang berbentuk Badan Usaha, Akte
Pendirian Koperasi bagi pemohon yang berbentuk koperasi dan tanda jati diri bagi pemohon
perorangan;
b. Memiliki atau menguasai kendaraan bermotor yang laik jalan yang dibuktikan dengan Surat
Tanda Nomor Kendaraan bermotor dan buku uji atau fotocopinya.
d. Memiliki atau bekerjasama dengan pihak lain yang mampu menyediakan fasilitas
pemeliharaan kendaraan bermotor sehingga dapat merawat kendaraannya untuk tetap
dalam kondisi laik jalan;
2. Pemeriksaan berkas;
3. Pemeriksaan Lokasi/Lapangan;
4. Penetapan Biaya/Retribusi;
5. Proses SK/Izin;
7. Penyerahan SK/Izin.
D. Retribusi
1. Tarif Retribusi Izin Usaha angkutan adalah sebagai berikut :
a. Retribusi Izin Usaha Angkutan yang baru :
1) Mobil Bus Umum Rp. 100.000,- / unit
b. Mobil Bus Umum dengan kapasitas tempat duduk 9 s/d 25 Rp. 75.000,- / unit / tahun (tujuh
puluh lima ribu per unit per tahun).
c. Mobil Bus Umum dengan kapasitas tempat duduk 26 keatas Rp. 100.000,- / unit / tahun
(seratus ribu per unit per tahun).
4. Tarif retribusi Izin Operasi Angkutan dengan becak bermotor yang berlaku dalam jangka waktu 5
(lima) tahun per 1 (satu) unit kendaraan adalah sebesar Rp. 25.000,- / unit / tahun (dua puluh
lima ribu rupiah per unit per tahun)
E. Waktu Penyelesaian
Waktu penyelesaian izin paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah berkas diterima dengan
lengkap.
F. Masa Berlaku Izin
Masa berlaku izin adalah selama 5 (lima) tahun.