Anda di halaman 1dari 20

MELAWAN PERUBAHAN;

ADAPTASI MASYARAKAT LOR BRANTAS PADA PERKEMBANGAN KOTA

A. Latar belakang
Kota Batu merupakan kota yang dinamis di Jawa Timur. Sejak zaman
Majapahit, wilayah ini memberikan kontribusi atas perkembangan kota.
Terlebih, setelah berdiri sebagai kota otonom tahun pada 2001, kota ini
melesat menjadi kota yang memiliki pendapat daerah cukup besar.
Bahkan pertumbuhan ekonomi Kota Batu di atas pertumbuhan ekonomi
nasional. Salah satu faktor penting yakni kota ini mampu menggali
potensi-potensi local yang telah dikembangkan jauh sebelum menjadi
kota otonom. Hal inilah yang penulis nyatakan sebagai perubahan-
perubahan penting di Kota Batu.
Perubahan-perubahan sosial di Kota Batu tidak lepas dari prestasi-
prestasi masyarakat Lor Brantas seperti pengembangbiakan pertanian
yang akhirnya melahirkan ikon Kota Batu sebagai kota apel. Apel adalah
produk sebagai hasil bumi yang ditekuni masyarakat yang telah
membawa kepada kesejahteraan masyarakat. Prestasi tersebut
sesungguhnya berdampak pada kebanggaan komunitas tertentu.
Kebanggaan dengan daerahnya didorong kedekatan mereka dengan desa
dan potensi-potensi didalamnya, seperti: sumber daya alam yang
terangkum dalam tiga kata yakni tirto, giri dan wono.
Secara istilah Lor Brantas menunjuk pada pembagian wilayah besar
yang dipisahkan oleh sungai Brantas. Bagi warga kota ini, sungai tidak
hanya berfungsi ekologis tetapi juga fungsi sosial, salah satunya sebagai
penanda. Rata-rata masyarakat Jawa bisa membuat penanda dari
lingkungan yang terdekat dengan mereka, tidak terkecuali berdasar
sumber daya seperti sungai. Di Yogyakarta misalnya, Sungai Progo
memiliki fungsi penting untuk kehidupan sehari-hari mereka, akhirnya
masyarakat membagi wilayah menjadi kulon dan wetan Progo. Akhirnya
Lor Brantas tidak sekedar penanda wilayah, tetapi menjadi “pembeda”
mata pencaharian dan kultur kelompok masyarakat tertentu.
Studi ini tidak melihat dari sisi penggunaan istilah oleh masyarakat
sebagai taken front granted atau sangat populer di lisan masyarakat Kota
Batu, tetapi melihatnya dari sisi perubahan sosial yang terjadi pada
komunitas ini. Pertimbangan peneliti Lor Brantas menjadi kelompok
penentu perubahan-perubahan penting di Kota Batu.
Berangkat dari pemaparan di atas, akhirnya penulis bertujuan
mengelaborasi apa sesungguhnya lor brantas ini dengan dua
pertimbangan, yaitu:
a) Penelusuran istilah ini sangat penting sebagai kontribusi atas deskripsi
sejarah Kota Batu dimana karakter asli masyarakat Batu sesungguhnya
masyarakat Lor Brantas dengan rata-rata matapencaharian sebagai
petani. Mereka ada petani yang kreatif dalam melakukan
pengembangbiakan bibit. Dari Lor Brantas muncul tokoh-tokoh desa
dalam bidang pertanian yang menunjukkan prestasi sampai level
nasional.
b) Peran penting lor Brantas dalam berkontribusi perubahan sosial di
Kota Batu. Dua aksi protes dan gerakan penting yakni penolakan
penjualan air kepada Pemerintah Kota Malang tahun 2004 dan
penolakan pembangungan hotel di desa Bulukerto yang terletak di
1
sekitar mata air pada 2011-2015. Keduanya merupakan gerakan massif
pasca terbentuknya Pemerintahan Kota Batu. Mengingat pengaruh
besar dari gerakan yang diinisiasi oleh Masyarakat Lor Brantas, maka
menganalisa perubahan-perubahan sosial pada masyarakat Lor
brantas sama halnya dengan mendeskripsikan masyarakat Kota Batu
sendiri.
Keingintahuan berikutnya yakni pesatnya perkembangan Kota
Batu terutama ketika dikembangkan menjadi KWB.
Tema ini menarik karena selama ini belum ada studi komunitas di
Kota Batu yang menjelaskan teritorial berdasarkan sungai. Studi-studi
yang ada lebih kepada penyebutan istilah Lor atau Kidul Brantas
dengan tidak dikaitkan dinamika masyarakat.
Selain itu, studi tentang komunitas masyarakat menjadi kebutuhan
sangat penting mengingat keteraturan sosial yang berulang-ulang akan
menjadi pelajaran penting untuk memahami sebuah wilayah.

B. Pertanyaan penelitian:
Penelitian ini akan menggali perubahan-perubahan sosial pada
masyarakat Lor Brantas, Kota Batu oleh karena itu pertanyaan penelitian
yakni:
a) Apa saja perubahan-perubahan di Kota Batu?
b) Bagaimana gerak masyarakat lor brantas dalam menanggapi
perubahan-perubahan Kota?
c) Pada konteks adaptasi atas perubahan apa hakekat masyarakat lor
brantas itu?

C. Tujuan dan Manfaat


a) Tujuan
1. Menjelaskan kondisi statik dan dinamik masyarakat Lor
Brantas.Kondisi statis yakni menjelaskan sesuatu yang melekat
sedangkan kondisi dinamis yakni sesuatu yang berubah-ubah yang
disebabkan oleh perubahan sosial, baik yang terencana maupun
yang tidak terencana.
2. Kondisi statis di Kota Batu yakni karakter geografis yang biasa
disingkat wana, arga dan giri. Sementara itu, kondisi dinamis yaitu
bentuk masyarakat yang berubah-ubah.

b) Manfaat
1. Bahan-bahan referensi tentang sejarah desa di Lor Brantas,
utamanya dari perspektif perubahan sosial.
2. Mengevaluasi dampak positif atau negatif dari perubahan sosial
dari pertanian maupun bekerjanya pariwisata.
3. Untuk dasar pengambilan kebijakan terkait pengembangan
wilayah.

D. Batasan Konsep
a) Masyarakat Jawa
Di Kota Batu dikenal wilayah Lor dan Kidul Brantas. Hanya sungai
yang menjadi penanda tetapi pada perkembangannya menunjukkan
2
hal yang kontras berbeda.Masyarakat lor brantas merupakan salah
satu dari masyarakat Jawa, sementara itu masyarakat Jawa
menunjukkan masyarakat yang lahir di Pulau Jawa dengan karakter
budaya Jawa yang masih kuat, seperti: gotong royong, mempercayai
mistik dan mengedepankan keharmonisan dari pada konflik.
Rata-rata agama yang dianut masyarakat Jawa adalah Islam yang
berkategori sinkretik Islam-Jawa yakni kultur agama Islam dengan
menggabungkan budaya Jawa. Ia bukan Islam murni, tetapi Islam
yang mengakomodasi budaya lokal. Berangkat dari dasar budaya ini,
di Jawa Timur terbagi dalam dua bentuk masyarakat yakni budaya
arek dan budaya tapal kuda. Budaya arek menunjukkan karakter yang
identik dengan mataraman dimana adat istiadat masih kuat,
sedangkan budaya tapal kuda identik kekuatan kultur Islam NU.
Warga masyarakat Batu dikategorikan dengan kultur arek.

b) Perubahan Sosial Ekonomi


Perubahan yang disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi
menyeluruh dimana menyangkut cara hidup dan mata pencaharian
dan pendapatan masyarakat. Level perubahan bisa saja pada wilayah
mikro, meso dan makro. Kedua perubahan ini terbentuk seiring
menggeliatnya Kota. Dua faktor penggerak perubahan sosial yang
sangat besar yakni budidaya pertanian dan pariwisata.

E. Hipotesis
a) Kemungkinan besar wilayah Lor Brantas dihuni penduduk asli Kota
Batu yang rata-rata bermatapencaharian sebagai petani. Adanya
perkembangan masyarakat tidak menutup kemungkinan kedatangan
dari penduduk bukan asli.
b) Pekerjaan petani dipilih karena kualitas tanah yang subur yang
menjadi salah satu ciri daerah ini, dimana melahirkan petani-petani
berkreativitas tinggi.
c) Pekerjaan pertanian ini mengakibatkan tingkat kesejahteraan Lor
Brantas tinggi terbukti sejak Orde Lama, kesejahteraan masyarakat
Lor Brantas lebih maju dibanding kawasan Kidul Brantas.
d) Pertanian dan pariwisata menjadi penggerak perubahan-perubahan
masyarakat Lor Brantas.
e) Adaptasi pada perubahan mengacu pada karakter petani-petani Jawa
yang cenderung konvensional dan ambigu.

F. Metode Penelitian
a) Jenis Penelitian
Pendekatan etnografi digunakan untuk menggambarkan aktor-
aktor yang tinggal di sekitar sumber daya alam dimana mereka
berinteraksi dengan lingkungan dan mampu menilai (niteni) peristiwa-
peristiwa bencana. Untuk itu pengertian etnografi seperti dinyatakan
Brewer sebagai berikut,
Ethnography is the study of people in naturally occurring settings or
“fields” by means of methods which capture their social meaning and
ordinary activities, involving the researcher participating directly in
3
the setting. if not also the activities, in order to collect data in a
systematic manner but without meaning being imposed on the
externally (Brewer, John D, 2000: 10).
Etnografi dimaksudkan untuk menemukan pengetahuan yang
tersembunyi dalam suatu komunitas/budaya tertentu. Creswell
menyatakan bahwa etnografi memiliki fokus pada kelompok yang
memiliki kebudayaan yang sama. Kebudayaan yang dimaksudkan
yaitu sikap, pengetahuan, nilai-nilai dan kepercayaan yang
mempengaruhi perilaku dari suatu kelompok orang tertentu.
Etnografer berupaya menjelajahi pengalaman dengan
memahami: apa yang dilakukan, dikatakan dan dipercayai orang,
sehingga menyediakan suatu deskripsi rinci yang kaya tentang situasi,
menangkap kompleksitas penuh dari nuansa dalam interaksi, praktik-
praktik budaya dan kepercayaan dalam suatu kelompok (Emzir, 2010,
18-19). Selain itu, etnografi mendiskripsikan dan menafsirkan pola
yang sama dari perilaku, keyakinan, bahasa dari suatu kelompok
berkebudayaan sama (Creswell, 2014: 125-130).
Kelebihan etnografi yakni mampu menjelaskan fenomena
perubahan lingkungan dari perspektif aktor yang dikaitkan dengan
setting budaya dan komunitas mereka.

b) Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini meliputi tiga desa yakni Desa Bumiaji, Desa
Sidomulyo dan Desa Bulukerto. Berdasarkan informasi dan pengetahuan
masyarakat, ketiga desa tersebut masuk dalam wilayah Lor Brantas. Secara
administratif, Desa Bumiaji dan Desa Bulukerto berada pada wilayah
Kecamatan Bumiaji, sedangkan Desa Sidomulyo berada di Kecamatan Batu.
Sekalipun berbeda batasan administratif, tetapi karakter kultural menjadi
dasar dari penentuan wilayah ini karena itu bercorakkan masyarakat lor
brantas.

c) Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan peneliti 2008-2018, terutama ketika
menyelesaikan penelitian yang berjudul Co-management Air Minum Desa.
Setelah penelitian selesai, tidak serta merta meninggalkan Lor Brantas Kota
Batu, peneliti melakukan penelitian dan pengabdian susulan yang
melibatkan subyek penelitian. Penelitian dan pengabdian monumental
yakni menginisiasi gerakan konservasi lingkungan yang diawali tahun 2011.
Kali ini tidak hanya di Desa Bumiaji tetapi juga di dua desa lain, yakni Desa
Bulukerto dan Desa Sidomulyo. Sambil sebagai konsultan warga, peneliti
melakukan penelitian tentang gerakan lingkungan. Dari tahun 2008 sampai
2018, peneliti memiliki ketertarikan dengan tiga desa tersebut, tidak hanya
terfokus pada tujuan pendampingan, tetapi lebih meneliti kondisi special
komunitas.
Wawancara mendalam adalah instrumen utama dimana peneliti dengan
berusaha menangkap persepsi dan pandangan aktor dalam menyikapi
perubahan-perubahan sosial terkait persoalan umum suatu masyarakat.
Namun sebagian besar dilakukan dengan diskusi. Kesempatan ini terbuka
luas bagi penulis mengingat penulis berhasil mengakrabi actor-aktor.
Sambil wawancara peneliti melakukan observasi partisipatoris dan non
partisipatoris. Observasi partisipatoris menunjuk kehadiran sebagai peneliti
4
yang tidak diketahui identitas penelitiannya, sedangkan non partisipatoris
menunjuk kehadiran sengaja peneliti. Keduanya baik dilakukan baik secara
terencana maupun tidak terencana. Misalnya, ketika peneliti
bersilaturahmi dengan salah satu subyek peneliti menyaksikan kehidupan
sehari-sehari subyek yang terkait dengan rutinitas sehari-hari.
Untuk melengkapi data-data di atas peneliti melakukan studi dokumen.
Dokumen yang diteliti meliputi monografi desa dan dokumen-dokumen
pribadi dari subyek penelitian. Bukan kebetulan jika subyek penelitian
adalah orang yang rajin mendokumentasikan peristiwa-peristiwa
kehidupan mereka.Selain itu penulis mengamati desa-desa di Kota Batu
melalui pemantauan media massa. Bahkan, beberapa teman gerakan
memberikan dokumen-dokumen yang memantau perkembangan.
Sebagai fieldworker, catatan lapang merupakan sesuatu yang dilakukan.

d) Teknik Analisa Data


Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
interactive model of analysis (HB. Sutopo: 37, 1988). Dimana tahapan
analisis, meliputi : pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan
penggambaran kesimpulan. Peneliti akan memperlakukan tahapan-
tahapan tersebut sebagai aliran siklus.

Pengumpulan Data

Reduksi Data Penyajian Data

Penggambaran Kesimpulan

c. Teknik Pengambilan Sampel


Subyek penelitian ini yaitu masyarakat lokal yang mengerti
perubahan-perubahan social di komunitas, maka sampel yang dipilih
yakni mereka yang aktif pada kegiatan-kegiatan komunitas.
Pertimbangan penulis karena pada level lokal mengerti apa terjadi pada
wilayah desa tersebut. Oleh karena itu dipilihlah aktor-aktor sebagai
berikut.
1. Pemimpin formal dan pemimpin informal
Pemimpin formal yakni aktivis-aktivis pemerintah desa yang bekerja
pada kelembagaan Pemerintahan Desa. Dalam konsep otoritas Max
Weber, mereka bekerja dengan legitimasi legal rasional.
2. Aktivis komunitas
Aktivis-aktivis komunitas baik dari organisasi yang permanen maupun
yang tidak permanen. Organisasi yang permanen yakni pengurus
lembaga-lembaga di bawah pemerintah desa, sedangkan organisasi
tidak permanen meliputi kepanitiaan-kepanitiaan.
3. Petani
Petani yang masih menekuni bidang pertanian baik apel maupun
komoditas-komoditas pertanian yang lain.
5
4. Aktivis Pariwisata Desa
Aktivis pariwisata desa yakni mereka yang terlibat pada aktivitas-
aktivitas wisata, baik aktivitas wisata berbasis capital besar maupun
pariwisata komunitas atau wisata desa.
Adapun teknik pengambilan sampel pada penelitian ini yakni
purposive sampling dimana sampel dipilih berdasarkan kriteria-kriteria
penelitian ini, yakni mereka yang terlibat, mengalami dan memahami
perubahan sosial baik sebagai proses maupun sebagai hasil.

6
PEMBAHASAN

A. Memahami Lor Brantas


a. Lor Brantas sebagai Masyarakat Jawa
Peran sungai Brantas sangat besar untuk menopang keberadaan
desa-desa yang dilewatinya. Keberadaan sungai ini dimanfaatkan ,
masyarakat untuk pengairan sawah, selain itu sungai memasok air
yang menyebabkan tanah-tanah di Kota Batu subur. Menariknya,
sungai brantas memiliki sungai-sungai kecil seperti sungai lanang
yang melewati Desa Pandanrejo. Begitu besarnya fungsi sungai
brantas maka aliran sungai ini dimanfaatkan sebagai penanda
wilayah. Oleh karena itu interaksi intim terbentuk antara masyarakat
dengan sungai. Kemungkinan besar kecerdasan masyarakat Jawa
dalam menghubungkan antara lingkungan dengan manusia.
Di Kota Batu sungai ini memisahkan wilayah lor dengan kidul.Lor
menunjuk arah utara dari posisi sungai. Penandaan ini masih dipakai
masyarakat, sekalipun telah ada batas-batas administratif yang
mengatur desa-desa. Dalam cakupan teritorial desa-desa yang rata-
rata terletak di Kecamatan Bumiaji termasuk kawasan lor brantas,
sedangkan desa/kelurahan yang terletak baik di kecamatan Batu
maupun kecamatan Junrejo termasuk kawasan kidul brantas.1
Pada perkembangannya, lor dan kidul brantas menjadi pembeda
kultur yang memisahkan dua kategori masyarakat Kota Batu. Kultur
Lor Brantas identik dengan kerja penduduk asli yang menekuni
pertanian yang didukung dengan kultur kesukuan yang kuat.
Penduduk asli lebih berperan dari pada pendatang, sekalipun tetap
ada pendatang tetapi budaya dominan membuat perilaku
menyesuaikan.
Karakteristik menonjol yakni diferensiasi pekerjaan. Mengingat
tidak semua lahan di kidul brantas subur untuk bertani, mereka tidak
menekuni sektor agraris. Dilihat dari asal penduduk, rata-rata warga
adalah pendatang yang tidak memiliki kedekatan dengan wilayahnya.
Sedangkan kultur kidul bantas menunjukkan sebaliknya.
Mengapa karakter tidak sama? Kemungkinan besar perubahan
sosial yang tidak sama antarwilayah menghasilkan kultur tidak sama.
Wilayah Kidul Brantas adalah pusat kota yang ditandai dengan pusat
keramaian, pusat pemerintahan, pasar, dan lain-lain. Sementara itu,
lor brantas merupakan wilayah pinggiran kota Batu yang terdiri dari
desa-desa penghasil pertanian yang menjadi pemasok untuk
kebutuhan orang kota.
Pada perkembangan Kota Batu, kota mendominasi
perkembangan desa dimana akhirnya kidul Brantas terkesan
diistimewakan dalam perkembangan Kota Batu. Sebagai akibatnya,
kecemburuan orang lor brantas ke kidul brantas kadang-kadang
terlihat.

1
Sesungguhnya penjelasan ini tidak berlaku mutlak karena Desa Sidomulyo bukan berada di
batas administrative Kecamatan Bumiaji, melainkan Kota Batu.
7
b. Desa-Desa Lor Brantas; Kasus pada Desa Bumiaji, Desa Bulukerto
dan Desa Sidomulyo2
Bagian ini akan menggambarkan kondisi masing-masing desa
sampel. Sub bab ini penting ditulis agar pembaca memiliki gambaran
singkat atas wilayah lor brantas tersebut, terutama sebelum
perubahan-perubahan sosial muncul.
Institusi-institusi sosial yang berkembang dalam masyarakat
petani untuk mendukung pemenuhan kebutuhan mereka, seperti
institusi keluarga, institusi ekonomi, institusi politik dan institusi
pendidikan. Institusi-institusi tersebut bervariasi, sekalipun banyak
aktivitas dikaitkan dengan hal-hal mistik, tetapi bagian-bagian
tertentu masih melembagakan sifat rasional.
Institusi-institusi penting di atas dipengaruhi nilai-nilai Islam dan
Jawa. Pengaruh ketiganya ditambah dengan aliran kepercayaan yang
juga masih dianut warga masyarakat. Akibatnya pada praktik sosial
keseharian mereka perpaduan menandai Islam-Jawa.
Perkembangan ini pasti memiliki variasi pada tingkat desa.
1. Desa Bumiaji
Tahun 1990, Desa Bumiaji dikenal sebagai sentra tanaman
apel, setidak-tidaknya tanaman apel pernah tersebar pada empat
dusun, yakni Dusun Tlogorejo, Dusun Binangun, Dusun Beru dan
Dusun Banaran. Semua wilayah dusun tersebut cocok untuk
bertanam apel. Budidaya apel ini menopang kesejahteraan warga,
tetapi cuaca yang tidak mendukung dan lahan tidak produktif,
sekarang apel tidak tumbuh lagi. Sisa-sisa kejayaan apel masih
terlihat dari patung-patung apel yang masih tegak berdiri
sekalipun sudah lapuk.
Petani-petani kreatif lahir didorong berkembangnya ilmu
bertani yang ditekuni penduduk selama bertahun-tahun. Dari
budaya petani berkembang institusi-institusi sosial yang
mempercayai wilayah sebagai mistik/non mistik.
Perubahan-perubahan dalam aspek non material sangat
dipengaruhi Islam dan Jawa yang telah menjadi agama dan
sekaligus budaya bertahun-tahun. Akibatnya terjadi perpaduan-
perpaduan budaya dalam keseharian mereka yang ditunjukkan
dalam kehidupan sehari-hari. Seperti ungkapan bahwa Islam di
Batu yaitu Islam Jawa yang “beneh”.
Institusi sosial masih kuat di Dusun Tlogorejo dimana masih
menunjukkan karakter masyarakat pedesaan, seperti kekerabatan
dan ketetanggaan yang masih menjadi institusi lokal yang penting.
Sekalipun tergabung dalam ikatan desa yang sama tetapi
dusun-dusun memiliki karakter tidak sama. Hubungan antardusun
bisa dikatakan ambigu, pada satu sisi harmonis yang ditandai
dengan jarangnya konflik antarmereka, namun demikian tidak bisa
terintegrasi. Misalnya, adanya organisasi komunitas (HIPPAM)

2
Ketiga desa dipilih karena representasi kultur Lor Brantas.

8
hanya beranggotakan tiga dusun saja (Beru,Banaran dan
Binangun), sementara itu Dusun Tlogorejo memiliki pengelolaan
sumber air tersendiri. Tidak adanya ketergantungan pada HIPPAM
Desa menjadi penyebab utama. Mereka memanfaatkan sumber
air di dusun mereka, berbeda dengan tiga dusun yang
memanfaatkan sumber air Gemulo.
Selain itu, egoisme antar dusun menjadi penyebab utama
Misalnya, kreativitas warga didasarkan pada kesatuan dusun,
bukan desa. Seperti, karang taruna berkembang pada ikatan
dusun, bukan desa.
Kecemburuan pernah terjadi antar Dusun Tlogorejo dengan
dusun-dusun lain sebagai akibat pembangunan yang tidak merata.
Salah satu sebabnya karena posisi dusun ini yang terpisah dengan
dusun-dusun lain, salah satu sebabnya karena terletak dipinggiran
Desa Bumiaji.
Kepala Desa Bumiaji waktu itu juga kurang memberi perhatian
pada dusun ini. Ketika warga Dusun Tlogorejo minta listrik masuk
dusun, kepala desa tidak memberikan tanggapan serius. Kalimat
yang diucapak kepala desa terkesan meremehkan kalau warga
Dusun Tlogorejo tidak mampu, maka warga meminta bantuan ke
desa lain, ternyata upaya ini mendapat tanggapan positif,
akhirnya, lewat bantuan warga Desa Giripurno listrik masuk ke
dusun ini.3
Selain fenomena dusun Tlogorejo yang penulis gambarkan
tadi, salah satu ciri khas dusun ini yaitu di Dusun Banaran terdapat
makam mbah Batu yang dikeramatkan oleh rata-rata warga Kota
Batu. Makam mbah Batu dimaknai sebagai pusat kekuatan warga
Batu karena ia penyebar agama Islam di kota ini.
Prestasi yang ditorehkan desa ini yakni standar terbaik se-
Kota Batu bagi organisasi pengelola air berbasis komunitas yakni
HIPPAM. Ia bukan sekedar organisasi tetapi telah menjadi institusi
sosial yang mengikat warga selama bertahun-tahun. Kuatnya
lembaga ini ditandai dengan kuatnya hubungan sosial terlembaga.
Tidak heran, ketika ada perubahan-perubahan lingkungan
memancing sensitivitas warga. Desa ini salah satu penopang
gerakan konservasi 2011-2015
Ketokohan komunitas sangat kuat yang ditunjukkan dengan
karakter: kaya, mengayomi dan bisa mrantasi. Tidak heran jika
terdapat relasi kuat antara warga dengan pemimpin formal dan
informal
Tokoh-tokoh masyarakat sangat kreatif. Ada kesadaran
budidaya pertanian organik yang dipelopori Imam Ghazali. Ia
mengembangkan budi daya Jambu Kristal dan tanaman kale yang
sanggup dijual ke supermarket-supermaket besar di Kota Malang
dan Kota Batu. Ketokohan Imam Ghozali sudah terlihat jauh
sebelum Kota Batu mencanangkan pertanian organik.
Bisa dikatakan bahwa desa ini sedang mencari karakter local
yang bisa menopang pengembangan wisata berbasis komunitas.
Dari pengembangan budaya, di desa ini terdapat komunitas

3
Wawancara Suhariyono, 12 Oktober 2018
9
seniman yang berkumpul di Omah Budaya Slamet (Dusun Beru)
yakni rumah yang digunakan untuk menggali budaya asli Kota
Batu. dimana berkumpulnya komunitas seniman se-Kota Batu.
Sementara Dusun Tlogorejo bermaksud mengembangkan
wisata dusun budaya. Rencana ini sudah dicanangkan baik oleh
Pemerintah Kecamatan Bumiaji dan Pemerintah Desa Bumiaji.
Kondisi lapang menjelaskan bahwa kepala dusun tidak mengerti
apa yang disebut dengan wisata budaya tersebut dan bagaimana
benar-benar merealisasikan “mimpi” ini.

2. Desa Bulukerto
Desa Bulukerto terdiri dari dusun-dusun yakni Dusun Gintung,
Dusun Gemulo, Dusun Kliran, Dusun Cangar, Dusun Buludendeng
dan Dusun Rekesan. Karakter dusun-dusun tidak sama, Dusun
Gintung dengan Dusun Gemulo lebih bercorak kota karena berada
tidak jauh dari jalan provinsi. Sementara itu, Dusun Cangar, Dusun
Kliran dan Dusun Rekesan memiliki kesamaan karakter.
Secara georgrafis, Desa Bulukerto berdampingan dengan Desa
Bumiaji dan Desa Sidomulyo dimana karakter lingkungan fisik
ketiganya tidak jauh berbeda, namun seperti desa-desa lain,
dinamika sosial desa-desa ini tidak sama.
Tradisi Islam Jawa berkembang di desa ini, seperti: punden-
punden sebagai sentra aktivitas kegiatan desa dan tradisi-tradisi
yang masih disakralkan dan dilembagakan, seperti gumbretan
(tradisi menghormati binatang-binatang ternak) masih terlembaga
dengan baik di Dusun Rekesan.
Perbedaan antara satu dusun dengan dusun lain. Mata
pencaharian penduduk bervariasi. Di Dusun Kliran, petani menjual
bunga-bunga hias, sedangkan di Dusun Cangar rata-rata menekuni
pekerjaan sebagai peternak kelinci. Sementara itu, di Dusun Kliran
rata-rata petani menekuni pekerjaan di tegalan yang rata-rata
milik mereka.
Secara struktural tidak sama antara satu dusun satu dengan
dusun lain. Masih ada stereotip negatif antardusun dengan dusun
yang disebabkan salah satunya oleh karakter-karakter yang tidak
sama.
Ada sumber yang menyatakan bahwa penjahat-penjahat
berkumpul di dusun ini. Kecenderungan ini yang menguatkan
bahwa warga Dusun Cangar merupakan kelompok yang “tidak
mudah” ditaklukan oleh maneuver politik dari pemerintah.
Keunikan desa ini yaitu keberadaan mata air gemulo dimana
termasuk lima besar di Kota Batu. Sekalipun demikian, tidak
semua dusun bisa memanfaatkan keberadaan sumber air ini.
Hanya Dusun Cangar yang memanfaatkan untuk memenuhi
kebutuhan domestik, sementara dusun-dusun lain mengambil air
dari desa-desa lain. Sebagai akibatnya, pemenuhan air minum
yang beragam.
Desa Bulukerto ditandai dengan gerak politik yang sangat
dinamis. Dinamika desa ini terjadi ketika pada pemberontakan
G30S/PKI dimana tokoh-tokoh yang terlibat adalah tokoh desa.

10
Dimana satu elit menyandera elit lain dikarenakan kepentingan
tidak sama.
Dinamika politik yang lain yakni penurunan kepala desa
karena pejabat desa tersebut kurang pandai berinteraksi dengan
warga. Peristiwa ini dipelopori oleh warga Dusun Kliran.
Keberadaan Sumber Gemulo ternyata merupakan icon
penarik Desa Bulukerto. Beberapa kali muncul rencana
pemanfaatan kawasan ini, tetapi ditolak warga. Untuk kasus
pertama warga desa kompak, sedangkan untuk reaksi
pembangunan hotel tidak ada keseragaman. Konflik warga dengan
Pemerintah Kota Batu yang ditandai dengan konflik internal
pemerintah desa karena relasi internal desa tidak kohesif.

3. Desa Sidomulyo
Berbeda dengan Desa Bumiaji dan Desa Bulukerto, Desa
Sidomulyo memiliki dua keunikan yakni dilintasi Sungai Brantas
dan Jalan Raya Provinsi yang menghubungkan Kota Batu dengan
Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
Pengaruh keduanya sangat besar seperti sungai membuat
tanah-tanah di desa ini subur ditanami apapun. Pemenuhan
kebutuhan mandi dilakukan dengan memanfaatkan aliran sungai
yang melintas desa ini. Masyarakat memanfaatkan air untuk
kepentingan membangun jading-jeding umum.
Sedangkan keberadaan jalan provinsi membuat desa ini hidup
dikarenakan memunculkan keramaian. Tidak heran jika
disepanjang jalan terdapat pertokoan yang menyebabkan desa ini
ramai.
Desa Sidomulyo dibentuk dari tiga dusun, yakni Tonggolari,
Sukorembug dan Dusun Tinjumoyo. Untuk wilayah Tonggolari,
pemukiman padat gang-gang sudah menunjukkan ciri-ciri
perkotaan. Sementara itu di Dusun Sukorembug masih kental
dengan suasana pedesaan. Sama dengan keduanya, karakter
tinjumoyo menyerupai gang-gang kota.
Karakter ketiganya bisa dikatakan tidak sama. Dusun
Tinjumoyo dan Tonggolari bisa kompak sedangkan Sukorembug
memisahkan diri.
Kesamaan ketiganya yaitu rata-rata warga bermata
pencaharian sebagai petani dengan budidaya bunga hias. Bunga
hias adalah satu kesekian dari perubahan-perubahan cara
bercocok tanam, seperti: padi yang berubah menjadi sayur,
kemudian sayur-sayuran berubah menjadi apel dan akhirnya
warga masyarakat menekuni bunga.
Bisa dikatakan bahwa kesejahteraan masyarakat ditopang
oleh bisnis bunga baik yang mengundang wisatawan datang ke
daerah tersebut maupun melakukan ekspor bunga. Desa
Sidomulyo dinyatakan sebagai sentra bunga tidak hanya level Jawa
Timur, tetapi sudah sedunia.
Desa ini tidak pernah sepi karena diramaikan oleh kesenian
bantengan yang dipelopori oleh anak-anak muda. Sifat kegiatan
ini untuk membangun solidaritas sosial. Mereka tidak mengejar
11
kepentingan profit, seperti hari-hari tertentu menggelar pentas di
tengah kampung.
Partisipasi dikalangan anak muda melalui kesenian Bantengan
merupakan ciri desa ini yang ditandai dengan. Dengan dipandu
Mas Sugik dan Zaenal, kegiatan anak-anak muda ini berjalan
secara berkelanjutan. Dengan berbasis kerelawanan, kelompok
kesenian bantengan pentas rutin baik di desa ini maupun di desa-
desa luar Kota Batu yang mengundang mereka.
Begitu kuatnya hubungan antara masyarakat dengan sumber
daya alam melahirkan sensitivitas jika ada perubahan lingkungan
secara tiba-tiba. Pemanfaatan sumber air PDAM tanpa
persetujuan masyarakat misalnya, memicu konflik antara
masyarakat dengan pemerintah. Pemerintah mengelola sumber
daya alam, sedangkan masyarakat mengkuatir perubahan-
perubahan yang terjadi atas lingkungan mereka.
Rencana pipanisasi4 Pemerintah Kota Batu tahun 2004 di
kawasan sumber gemulo memicu penolakan warga mengingat dua
dusun memanfaatkan sumber air ini. Sekalipun tidak murni
dilakukan oleh warga desa ini-bergagungnya desa Bulukerto dan
Desa Bumiaji tidak bisa dikesampingkan, tetapi tokoh-tokoh Desa
Sidomulyo menjadi pendorong utama.
Egalitarianisme tampak dalam hubungan warga dengan
pemerintah desa. Karakter ini ditandai dengan hubungan yang
sejajar dan bersifat saling menentukan antara pemimpin dengan
warga. Jika perangkat desa dipandang tidak cocok oleh warga,
maka diturunkan. Kasus yang pernah terjadi, sekretaris desa
diturunkan karena warga desa karena warga tidak menyetujui
perilaku petinggi ini.
Selain dinamika dan konflik desa, satu yang tidak boleh
dikesampingkan yakni prestasi desa ini yaitu sebagai standard
administrasi pengelolaan desa yang dipercaya oleh BPMD
Indonesia. Menurut Basuki, salah satu anggota BPD Desa
Sidomulyo, salah satu penyebabnya karena tata administrasi yang
bisa dijadikan sebagai rujukan desa-desa lain se-Indonesia.

4. Persamaan, Perbedaan dan Hubungan Tiga Desa


Persamaan ketiga desa ini karena sebagai desa jawa dengan
lembaga-lembaga sosial yang bervariasi, seperti slametan dan
gotong royong.
Salah satu faktor yang menimbulkan kesamaan karena jarak
rekasi desa yang bertetanggaan yang akhirnya berkontribusi pada
komunikasi antarwarga ketiganya. Tidak heran hubungan-
hubungan kekerabatan mewarnai hubungan warga tiga desa. Satu
dengan yang lain membangun keluarga besar.
Kemudian ketiganya disatukan kepentingan penggunaan air
baik air pertanian maupun air minum. Untuk air pertanian
digunakan secara bergilir sementara itu air minum telah dicukupi
dari sumber gemulo. Untuk pemenuhan air pertanian mereka
memanfaatkan air dari anakan sungai Brantas yang masuk ke

4
penjualan air Gemulo untuk Kota Malang
12
desa-desa mereka. Oleh karena itu, ketika ada rencana pipanisasi
dan pembangunan yang mengancam keberadaan mata air
Gemulo, ketiganya kompak melakukan penolakan. Aktor-aktor
muncul dari tiga desa ini.
Kultur Islam kental di Dusun Banaran, Desa Bumiaji. Dusun ini
memiliki nuansa religius sementara sementara itu, warga
masyarakat Desa Bulukerto terkesan perpaduan Jawa dan Islam.
Panggilan sebagai “abah” atau kaji kerap disematkan kepada
tokoh-tokoh masyarakat dari desa ini, tetapi tidak selamanya
simbol-simbol Islam yang muncul, justru tradisi Jawa yang
berkembang pesat.
Perbedaan antara ketiganya yakni budaya dominan yang tidak
sama antara satu dusun dengan dusun lain. Dari sisi kuantitas
jumlah dusun di Desa Bumiaji dengan Desa Sidomulyo sama, yakni
3 dusun, sedangkan Desa Bulukerto memiliki 6 dusun dengan
keragaman karakter yang sangat tinggi.
Hubungan antarketiganya karena adanya kekerabatan sebagai
tetangga desa. Mereka mengembangkan hubungan saling
mengunjungi dan membangun ikatan pernikahan. Sementara itu,
pada dusun-dusun yang memanfaatkan sumber gemulo,
hubungan mereka diikat oleh pemanfaatan mata air tersebut.
Kesamaan kepentungan ini membuat mereka terkoordinasi secara
informal.

B. PENGGERAK PERUBAHAN
1. Pertanian sebagai Penopang Kehidupan Masyarakat
Dilihat dari mata pencaharian karakter utama masyarakat lor
brantas yaitu pertanian dan perkebunan. Pertanian meliputi
persawahan, sayur mayor dan buah-buahan. Mata pencaharian ini
ditekuni karena kemungkinan didukung tanah yang subur, keberadaan
gunung-gunung berapi dan pasokan air yang berlimpah. Abu vulkanik
yang dibawa gunung meletus menyebabkan tanah-tanah di Kota Batu
subur.
Sementara itu, pasokan air karena dukungan dari sungai brantas
yang mengaliri sebagian besar kota/kabupaten di Jawa Timur.
Arboretum yang berkedudukan di Desa Sumber Brantas merupakan
hulu dari sungai ini.
Kota Batu tidak pernah mengalami kekurangan air sekalipun
pada musim kemarau, tetapi yang terjadi berulang-ulang yaitu
ketidakmerataan. Misalnya, daerah yang berdekatan sumber air
memperoleh air melimpah, sementara itu daerah yang jauh dari mata
air menderita kekeringan.
Kemunculan pertanian di Lor Brantas itu kapan?
Perjalanan petani memasuki lintasan sejarah sejak zaman purba,
kolonial dan bahkan era otonomi daerah.Dengan modal lahan, petani
selalu membudidayakan hasil pertanian. Namun demikian, kapitalisasi
produk pertanian tetap tidak terelakkan sejak zaman Penjajahan
Hindia Belanda. Pada saat itu lahan-lahan penting di kawasan Sumber
Brantas dikembangkan untuk budidaya tanaman-tanaman ekspor.
Secara historis, karakter pertanian di Kota Batu bervariasi; ada
pertanian sawah, perkebunan ekspor dan buah-buahan. Pertanian
13
memiliki karakter yang berubah-ubah dari waktu ke waktu dari sawah,
sayur dan buah-buahan.
Desa Sidomulyo misalnya, awalnya masyarakat menekuni
pertanian padi. Kemudian berganti sayur-sayuran, kemudian berubah
lagi menjadi petani apel, akhirnya mereka membudidayakan petani
bunga.
Demikian juga, corak pertanian di Desa Bumiaji dan Desa
Bulukerto di tahun 1990-an, masyarakat mengandalkan apel sebagai
komoditas mata pencaharian utama, tetapi ketika apel tidak tumbuh
lagi, mereka menekuni buah-buahan lain.Para petani di Desa Bulukerto
menekuni bunga, jeruk dan jambu, sementara itu petani di Desa
Sidomulyo menekuni bunga sampai sekarang. Beberapa petani di Desa
Bumiaji menekuni jambu kristal.
Sekalipun banyak penurunan dari prestasi pertanian ini sampai
berdirinya pemerintahan Kota Batu, pertanian tetap sebagai
primadona. Setidak-tidaknya aparat pemerintah masih mengakui
bahwa karakter asli Kota Batu adalah kota pertanian. Industrialisasi
pariwisata berkembang pesat tetapi merevitalisasi pertanian dilakukan
dengan menggabungkan pariwisata dengan pertanian.

2. Pariwisata sebagai Penggerak Perubahan Sosial Masyarakat


Petani
Pariwisata sudah menjadi karakter melekat warga Batu
bertahun-tahun karena kota ini memiliki potensi-potensi alam, seperti
gunung, sungai dan hutan. Oleh karena itu, masyarakat terbiasa
memanfaatkan untuk tujuan wisata. Jejak-jejak pariwisata terlihat
sejak zaman revolusi kemerdekaan. Contoh paling nyata yakni
pemandian air panas, selecta yang telah dikembangkan sejak zaman
Kolonialisme Belanda. Tempat wisata ini disukai oleh Presiden I RI
sehingga bisa dikatakan bahwa peristiwa lahir dan besarnya bangsa ini
tidak lepas dari momen-momen penting di tempat wisata ini.
Kemudian, ketika ER, walikota kedua, memimpin Kota Batu,
pengembangan pariwisata digenjot dengan memberikan izin lokasi-
lokasi wisata buatan. Ia menggandeng Jatim Park Group (JPG) untuk
membuka titik-titik wisata buatan, akhirnya kapitalisasi dilakukan
besar-besaran. Untuk pengembangan wisata ini Walikota berpikiran
pragmatis. Langkah-langkah yang ditempuh yakni kemudahan izin,
menggaransi pengembalian modal dan mempermudah akses
transportasi di lokasi wisata.
Pelaku pembangunan diserahkan kepada satu investor yakni
Jatim Park Group (JPG) dan desa Oro-Oro Ombo menjadi sasaran
pembangunan kawasan wisata, maka berdirilah titik-titik wisata seperti
Museum Angkot, Eco-Green Park, BNS. Dari wilayah ini berkembang
wisata buatan lain, seperti: Predator Fun Park yang disusul dengan
Jatim Park 3. Jatim Park 3 berlokasi di Desa Beji dan Desa Junrejo yang
merupakan wilayah padat lalu lintas. Tampaknya, tidak ramainya
Predator Fun Park membuat pihak JPG memilih lokasi yang dekat
keramaian. Pertimbangan JPG yakni mengais keuntungan sebanyak-
banyaknya.
Pengembangan wisata yang tidak dikendalikan ini dengan
kunjungan wisata Kota Batu yang selalu meningkat, terlebih pada akhir
14
pekan membawa konsekuensi pesatnya perkembangan wilayah kidul
Brantas. Sebagai akibatnya, lor brantas kurang diperhatikan. Kurang
bisa dipastikan apakah ini kesengajaan dari para perencana kota
ataukah tidak.
Dampak industri pariwisata menghasilkan perubahan-perubahan
tata ruang yang tidak direncanakan, seperti lahan yang sebenarnya
untuk lahan resapan air diubah menjadi bangunan/infrastruktur. Salah
satu sebabnya karena kepala daerah berkewenangan penuh dalam
memberikan izin investasi.
Kritik-kritik dialamatkan dari praktik wisata ini, seperti
“keuntungan” ceruk wisata yang tidak dinikmati masyarakat Kota Batu
secara merata, maka pemerintah menggalakkan wisata berbasis
komunitas sebagai “counter” atas kritik ini. Kemungkinan besar wisata
menjadi berkah bagi para pengambil kebijakan, tetapi sesungguhnya
tidak bagi masyarakat petani yang rata-rata tinggal di kawasan lor
brantas wisata dipersepsi sebagai kemacetan.
Sebagai bagian skema besar pariwisata, akhirnya pemerintah
mendorong munculnya titik-titik wisata di desa-desa.5 Berbeda
karakter dengan wisata artifisial yang dimotori oleh investor, desa
wisata memiliki keragaman berbasis potensi dan khas lokal desa,
seperti Desa Bulukerto diplot menjadi desa kelinci, Desa Pandanrejo
diplot sebagai sentra strawberry, …. tersebut.
Dibandingkan wisata buatan, belum bisa dilihat dampak
signifikan bagi masyarakat sekitar. Keberlanjutan ekonomi belum
dipikirkan pemerintah, seperti tidak ada pendampingan. Tidak heran
ketika peneliti bertanya ke warga yang terjadi ada ketidakpahaman
atas arah desa wisata.

C. MELAWAN PERUBAHAN; CARA ADAPTASI TIGA DESA


Bagian ini akan menjelaskan cara adaptasi pada perubahan-
perubahan yang terjadi di Lor Brantas Kota Batu dengan mengambil
tiga desa sebagai kasus.

Desa Bumiaji
Pada 2000an, masyarakat merasakan perubahan pertanian yang
ditandai kemerosotan produksi apel. Hal ini disebabkan apel tidak
tumbuh bagus lagi di desa ini disebabkan oleh merosotnya kualitas
tanah dan cuaca tidak mendukung. Dengan demikian, era kejayaan
apel sudah lewat. Menanggapi kondisi ini, petani tidak tinggal diam,
mereka melakukan beragam adaptasi seperti tetap bertanam apel
atau banting stir ke komoditas lain atau tidak meninggalkan bertanam
apel tetapi digabungkan dengan komoditas lain.
Chamim misalnya, mengembangkan jeruk dan masih menekuni
apel. Berbeda dengan Chamim, Hadi menekuni apel tetapi
menanamnya ke Pujon, suatu daerah luar Kota Batu dimana untuk
menempuhnya memerlukan waktu 1 jam. Sedangkan Supaat
mengganti komoditas dari apel ke jeruk dengan melengkapi dengan

5
Ketegasan ini Nampak ketika Batu dipimpin oleh Dewanti Rumpoko.
15
ternak ayam.Tetap memilih apel jelas akan membutuhkan modal yang
besar dikarenakan harga pupuk yang tidak disubsidi lagi.
Perubahan pariwisata mendatangkan perubahan-perubahan
lingkungan, seperti: pemnanfaatan ruang-ruang untuk titik wisata,
karena pemerintah Kota Batu mengundang investor sebanyak-
banyaknya. Sebagai akibatnya, terjadi kenaikan harga tanah.
Beberapa warga menyambut baik kenaikan harga ini, tetapi yang
dikuatirkan lahan pertanian yang semakin sempit. Wahyudi
menyatakan kegelisahannya jika sewaktu-waktu petani melepaskan
tanah mereka karena tergiur oleh bujuk rayu pembeli tanah yang
rata-rata orang luar desa. Dalam kondisi yang terjepit di antara
kondisi pertanian yang tidak baik, para petani pasti melepaskan
tanah-tanah mereka, jika kondisi seperti ini maka akan semakin sulit
mencari petani di desa ini, padahal Kota Batu adalah Kota Pertanian.
Pariwisata di desa ini ditandai dengan pembangunan infrastruktur
besar-besaran pendukung wisata seperti bangunan hotel dan
penginapan-pengingapan yang sering melanggar regulasi. Sekalipun
sudah diatur dalam regulasi tentang tempat manakah yang
diperbolehkan dan dilarang untuk pembangunan infrastruktur tetapi
aturan ini tidak sepenuhnya ditaati. Sebagai dampak, pembangunan
diperbolehkan di lokasi manapun, termasuk perizinan di dekat mata
air. Konsekuensinya, resiko-resiko jika terjadi kerusakan mata air,
maka baik tokoh pemimpin formal maupun informal desa melakukan
penolakan. Konflik meruncing antara pemerintah Kota Batu dengan
warga Desa Bumiaji.
Penolakan ini bukanlah didorong oleh kekuatan ideologis
lingkungan, tetapi lebih pada ekspresi kegelisahan atas ekspansi
pariwisata yang membabi buta, maka bisa disimpulkan tidak berjalan
lama. Pada kesempatan berikutnya konflik dan penentangan ini tidak
dilanjutkan dikarenakan actor-aktor berfikir realistis. Sekalipun
gerakan penolakan masih berjalan, baik tokoh gerakan maupun
kepala desa menarik diri dari gerakan. Akibat dari tekanan-tekanan
tokoh-tokoh gerakan absent. Semangat kepala desa menentang
gerakan berbuah menjadi kerja sama dengan walikota karena berfikir
realistis, padahal sebelum menjadi kepala desa ia adalah tokoh
pejuang.
Menariknya, pariwisata di Kota Batu tidak semuanya berbasis
kapital, pemerintah juga menggalakkan pariwisata berbasis
komunitas. Disinilah, desa-desa dengan kekhasannya dikembangkan
menjadi sentra wisata. Sama dengan rata-rata desa lain di lor brantas,
kebijakan pengembangan wisata berbasis komunitas disambut baik.
Tokoh-tokoh desa menjual desanya sebagai alternatif kunjungan
tamu-tamu yang akan belajar tentang semua potensi desa tersebut.
Imam Ghozali dengan Rakhmad Hardiyanto adalah tokoh
masyarakat yang pandai memanfaatkan potensi wisata berbasis
komunitas ini. Dengan mengolah lahan pertanian milik keluarga, ayah
dan menantu ini mengembangkan pertanian organik baik untuk
sayuran maupun buahan. Komoditas andalan yakni budi daya Jambu
Kristal dan sayur-sayuran sehat seperti Kale.
Di desa ini dikenal Amazing Bumiaji yang mewadahi potensi-
potensi dusun untuk dipromosikan.
16
Desa Bulukerto
Sama dengan Desa Bumiaji, Desa Bulukerto adalah desa produsen
apel dimana melahirkan juragan-juragan kaya. Juragan ini menanami
apel-apel mereka di puthuk gedhe, sebuah lahan luas di Dusun
Rekesan. Berkat partisipasi dari juragan-juragan ini desa ini bisa
dikatakan sangat dinamis. Sama dengan di Bumiaji, kini apel tidak
tumbuh baik di desa ini, era kejayaan apel lewat, apel tidak lagi
sebagai primadona. Akhirnya, beragam differensiasi pekerjaan
muncul, seperti pekebun, petani dan peternak.
Namun tidak semua petani meninggalkan apel, petani dari Dusun
Cangar, Harjito tetap mempertahankan apel sebagai pekerjaan sehari-
hari. Ia mengakui bahwa mengelola apel membutuhkan biaya tidak
murah, namun setelah semua dihitung, ia siap mengeluarkan
pembiayaan yang lebih tinggi.
Bagi rata-rata petani yang berfikir realistis, perubahan komoditas
pertanian merupakan cara adaptasi melawan perubahan kondisi
pertanian. Agus yang sebelumnya menanam dan menjual apel kini
ganti apel dengan Jambu. Selain menjadikan jambu sebagai
pemasukan, ia juga beternak kelinci. Strategi sama dilakukan oleh
Anto yang kini menekuni sayur-sayuran.
Sementara itu, pariwisata menandai pembangunan infrastruktur
yang masuk ke desa ini. Salah satunya pembangunan hotel yang
berlokasi tidak jauh dari sumber gemulo. Masyarakat gelisah karena
akan mengganggu pasokan air, maka satu dusun yang menggunakan
sumber air untuk kebutuhan domestik menentang. Gerakan ini cukup
berkelanjutan dilihat dari semangat dan durasi yang dialokasikan.
Aksi-aksi yang dilakukan sangat bervariasi mengingat warga berhasil
beraliansi dengan desa lain dan kekuatan supra desa seperti LSM dan
akademisi.
Adanya aliansi ini membuat keberhasilan aksi-aksi penolakan
utamanya berbasis budaya local. Kegiatan seperti Festival Mata Air
dan Festival Suroan dikemas sedemikian rupa dengan mengundang
massa dalam jumlah yang sangat besar. Bahkan sampai tulisan ini
dibuat kerjasama antara komunitas dengan LSM masih dibangun.
Sementara itu, dusun-dusun lain tidak memberikan dukungan.
Ada yang menyatakan dusun-dusun lain tidak berkepentingan atas
sumber air, maka mereka cuek atau tidak memperhatikan. Hemat
penulis karena karakter mobilisasi ditentukan oleh ketokohan pada
komunitas tertentu sementara gerakan dimotori oleh Dusun Cangar,
aktor-aktor dari dusun yang lain tidak tersentuh. Bahkan tokoh-tokoh
dusun di luar Cangar, khususnya Gintung dan Keliran yang mengerti
tentang politik lokal memandangnya lain. Pembangunan hotel dilihat
secara pragmatis demi mendatangkan keuntungan ekonomi bagi
masyarakat sekitar. Klaim mereka yakni pembangunan akan
mendatangkan pekerjaan bagi pemuda-pemuda yang menganggur.
Tampaknya, kelompok-kelompok pragmatis ini berhasil dipengaruhi
baik oleh pemerintah desa maupun pemilik hotel.
Konsistensi pragmatis ini terus sampai gerakan penyelamatan
mata air berhenti, seperti pemerintah melobi Dusun Glintung untuk
menyelenggarakan festival desa. Bagi tokoh-tokoh gerakan di Dusun
17
Cangar, kegiatan festival ini bukan sekedar hiburan desa, tetapi
sebagai kounter aksi melawan gerakan komunitas.
Terkait wisata komunitas, Kota Batu mencanangkan Desa
Bulukerto sebagai sentra kelinci. Langkah pemerintah sudah didahului
dengan membangun patung kelinci di pintu masuk desa yang
diharapkan muncul sebagi icon desa, beberapa warga yang kritis pada
pemerintah kota menertawakan cara pemerintah ini.
Terlebih kehadiran pemerintah berbarengan dengan gerakan
penolakan pembangunan hotel, maka warga terbelah. Warga yang
dekat dengan pemerintah mendukung, sementara yang tidak
mendukung pemerintah menolak program ini.

Desa Sidomulyo
Perubahan-perubahan pertanian ditunjukkan dengan menekuni
bunga. Kemungkinan besar bisa dikatakan bahwa warga Desa
Sidomulyo menyadari bahwa merubah dengan komoditas bunga hias
adalah langkah agar terbebaskan dari kemerosotan pertanian.
Siapakah pihak yang pandai membaca situasi ini adalah agenda
peneliti yang membutuhkan penggalian data.
Sekalipun berpindah komoditas, ketergantungan pada air sangat
tinggi. Air tersebut tidak hanya digunakan untuk pemenuhan
kebutuhan domestik, jauh lebih penting untuk menyirami bunga-
bunga mereka. Karena itu, masyarakat memastikan bahwa tidak ada
perubahan dalam pasokan air. Mereka menuntut pemerintah untuk
menjalankan pengelolaan air yang menguntungkan masyarakat,
maka ketika ada keputusan pemerintah yang mengurangi debit air
akan selalu ditentang.
Terlebih jika ada perubahan ini berdampak pada air yang
menopang kehidupan sehari-hari, masyarakat akan protes. Misalnya,
melihat kebutuhan petani akan air tinggi maka salah satu kepala
dinas pemerintah menganjurkan agar merubah komoditas. Sontak
saja masyarakat menentangnya.
Pada tahun 2004, pemerintah Kota Batu berencana menjual air
sumber Gemulo ke PDAM Kota Malang. Saat itu kedua pemerintah
daerah sudah bersepakat, tetapi masyarakat melakukan
penentangan. Mereka memprotes kebijakan ini sampai akhirnya,
kebijakan pemerintah bisa digagalkan.
Kasus serupa terjadi tahun 2011, dimana warga menolak
pembangunan hotel yang rentan merusak mata air. Mereka
menguatirkan pembangunan hotel yang berada tidak jauh dari
sumber air yang berlokasi di Desa Bulukerto. Secara kebetulan baik
Dusun Tinjumoyo dan Tonggolari mengambil air dari sumber ini,
akhirnya mereka melakukan protes. Tidak hanya kelompok petani
yang menginisiasi gerakan ini, namun juga memperoleh dukungan
warga, mengingat gerakan ini mengatasnamakan masyarakat dan
desa. Kepala desa memegang peran penting mengingat gerakan 2004
dikomandani Suharto yang kini menjadi kepala desa. Selain turun
dalam negosiasi dengan walikota, kepala desa siap menjadi saksi
perkara di persidangan di PN Malang. Tampak jika kepala desa
dengan walikota bermusuhan.

18
Namun demikian, aktor-aktor gerakan yang rata-rata aktivis
pemerintahan desa tidak bisa menutup mata atas keberadaan
pemerintah Kota. Pada satu sisi mereka bermusuhan dengan kepala
daerah tetapi pada sisi lain ingin mengambil keuntungan dari
kebijakan pemerintah ini. Kasus paling nyata yakni pembangunan rest
area yang dijadikan sebagai pasar wisata. Dalam regulasi undang-
undang desa, perubahan ini akan menguntungkan pemerintah Kota
namun keputusan ini tidak disadari yang akhirnya diselesaikan
dengan voting.
Perkembangan pesat pariwisata di wilayah Lor Brantas lebih
dimaknai sebagai ramainya sebuah wilayah yang tidak terlalu
berdampak kepada mereka. Persepsi tentang kemacetan yang
menjadi milik sebagian besar penduduk. Hal ini karena Sidomulyo
dilewati Jalan Provinsi dimana membuat mudah menerima wawasan
ini.
Sama dengan desa-desa lain, wisata adalah dua sisi yang tidak
sama. Satu sisi tidak menguntungkan tetapi sisi lain bisa diambil
keuntungan oleh warga. Wisata yang diambil keuntungan yakni
berbasis komunitas karena sentra bunga dan membuka jasa petik
apel. Selain itu, datangnya wisatawan bisa ditangkap dengan
pemanfaatan rest area yang bisa dimanfaatkan untuk mengambil
keuntungan dari wisata untuk meningkatkan potensi ekonomi
masyarakat desa.
Adaptasi dilakukan berdasarkan mata pencaharian yang diperkuat
dengan budaya.

D. Diskusi dan Hasil


Karakter utama Lor Brantas yakni pertanian dan dukungan
sumber daya alam. Hubungan keduanya kait mengait. Dengan
sumber daya tersebut, masyarakat menikmati kehidupan bersahaja,
tetapi mereka harus menjawab perubahan-perubahan yang didorong
industri wisata yang memberikan pengaruh wisata baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Dari sampel tiga desa ada kesamaan dimana perkembangan
pariwisata melahirkan kegelisahan atas perubahan lingkungan.
Kondisi ini diperparah dengan produksi pertanian yang mulai
merosot.
Sementara cara beradaptasi dengan pertanian dan pariwisata
sama. Penolakan wisata besar jika sudah menyentuh kehidupan
subsisten mereka, sama dengan yang dinyatakan oleh James C Scott
perlawanan mereka tidak terang-terangan. Satu kali terlihat tegas,
tetapi pada kesempatan lain, terkesan sangat lunak dan penuh
kompromi. Bisa dikatakan masih terlihat ambigu antara menolak atau
menerima wisata itu. Penolakan dilakukan dengan protes yang tidak
awet. Ketika pemerintah kota menawarkan bantuan tertentu, aktor-
aktor pemerintah desa yang sebelumnya keras menentang kebijakan
pemerintahan kota menerima bantuan dengan tangan terbuka.
Sepanjang perubahan itu bisa ditolerir maka masyarakat akan
menerima saja seperti wisata komunitas, namun jika wisata besar
menghasilkan dampak negative, maka masyarakat akan melakukan
19
perlawanan. Hal ini membenarkan karakter Masyarakat Jawa yang
mengedepankan keharmonisan, tetapi akan melawan jika sudah
menyentuh subsistensi.
Disinilah kita akhirnya menemukan kesimpulan masyarakat Lor
Brantas memiliki modal kelenturan atau elastisitas untuk
menghadapi perubahan sosial. Mereka tidak meletakkan pada titik
ekstrim apakah harus menerima atau melakukan penolakan.
Kemarahan adalah sesaat yang selanjutnya diinisiasi kerja sama-kerja
sama.
 Bagaimana temuan-temuan dihubungkan dengan teori-teori
yang sebelumnya ada?
 Rekomendasi untuk penelitian selanjutanya…

E. Penutup
a) Kesimpulan
Perubahan sosial masuk dalam masyarakat yang sehari-hari menekuni
petani yang merupakan ciri khas lor brantas. Perubahan sosial
ditanggapi masyarakat dengan perubahan pola bercocok tanam. Selain
itu, untuk perubahan sosial yang disengaja dan mengganggu tertib
sosial, maka masyarakat akan melakukan penentangan. Namun,
penentangan ini bersifat sesaat, kemungkinan besar dipengaruhi
budaya petani subsisten yang mendahulukan “selamat” (safety).
b) Rekomendasi
Perubahan sosial bisa menghasilkan sesuatu yang positif dan negative
dan sesuatu yang dikehendaki dan yang tidak dikehendaki. Oleh
karena itu, pemerintah dan warga diharapkan bisa menangkap
peluang-peluang dari hadirnya perubahan sosial ini.

20

Anda mungkin juga menyukai