Anda di halaman 1dari 15

UBAHAN CERPEN MENJADI NASKAH DRAMA

“Adik Yang Tergila Gila Pada Mesin Cucinya”


Karya Ilustrasi Suara Merdeka
Oleh
Kelompok
Anne Marie Heidija
Feby Auliya Machmud

TUGAS LAPORAN UJIAN PRAKTIK PELAJARAN BAHASA INDONESIA,


KELAS IX.C TAHUN AJARAN 2018-2019

MARET, 2019
I. ANALISIS CERPEN
1.1Tema
Adik yang terobsesi dengan mesin cuci yang ia beli.

1.2Tabel
No. Tokoh Karakter Pemeran
1 Kakak Cuek, sedikit peduli, suka tidak Feby Auliya
menghargai apa yang dilakukan Macmud
adiknya
2 Adik Lugu, rajin, suka mencuci, suka Anne Marie
kebersihan Heidija

1.3Alur
Fragmen Peristiwa Latar
Suasana Tempat Waktu
Perkenalan “Akan kutunjukkan Riang
sesuatu,”(katanya
sambil menyeret
tangan ku menuju Di depan
ruang dapur). kamar
“Lihatlah!” mandi, di Sore hari
(serunya riang). sebelah
pintu
Pemunculan aku melihat benda Terkejut
Masalah terkutuk itu. Sebuah
mesin cuci dengan
penutup di bagian
atas. Persis ibu-ibu
gemuk yang
mendekam karena
kekenyangan.

Konflik ”Tentu saja harum.


Aku tadi sudah
mencucinya bersih,
dengan mesin cuci.
Buah-buahan,
sayur, semua ini
kucuci dengan Terkejut & Di depan Pagi Hari
mesin cuci, tinggal Heran meja
pencet tombol on, makan
kasih sabun aroma
jeruk, dan
semuanya jadi
cling, jadi bersih,
jadi wangi.”
Puncak Suatu siang, ketika
Masalah(Klimaks) aku pulang agak
cepat, lagi-lagi aku
menemukan ia
terduduk di sisi Di depan
mesin cuci Terkejut kamar Siang
tercintanya. Ia mandi, di Hari
sedang tergugu di sebelah
depan pintu
pecahan mangkuk,
gelas, dan piring,
sambil membalut
jarinya yang
mengeluarkan
darah
Peleraian(Solusi) ”Otakmu itu yang Di Kamar
perlu dicuci, Tidur Malam
pikiranmu itu kotor, Kesal Hari
gara-gara mesin
cuci itu.”
Penyelesaian ”Syukur, akhirnya Di depan
kau bangun juga. kamar
Apa kau bisa Terkejut mandi, di Pagi Hari
membantuku sebelah
memencet tombol pintu
on?”

II. DIALOG
2.1Naskah Drama Ubahan
(Adaptasi Dari Cerpen “Adik Yang Tergila-gila Pada Mesin Cucinya”
Karya Ilustrasi Suara Merdeka)

***
Adik : “Akan kutunjukkan sesuatu,” (katanya sambil menyeret tangan ku
menuju ruang dapur). “Lihatlah!” (serunya riang).

Di depan kamar mandi, di sebelah pintu, aku melihat benda terkutuk itu.
Sebuah mesin cuci dengan penutup di bagian atas. Persis ibu-ibu gemuk
yang mendekam karena kekenyangan.

Kakak : “Mesin cuci? Kamu beli mesin cuci? Untuk apa?”

Adik : “Mesin cuci tentu saja untuk mencuci, kamu pikir untuk apa?
Untuk menanak nasi?” (jawabnya dengan sigap, sambil mengelus-elus
mesin cuci itu seperti mengelus-elus binatang piaraan yang setia).

Kakak : “Tapi untuk apa kamu beli mesin cuci? Di rumah ini cuma ada
kamu dan aku, berdua saja, pakaian kotor bisa dikucek sambil mandi, tak
harus beli mesin cuci.”

Adik : “Tapi aku sudah terlanjur membelinya”

Kakak : “Apa benda itu tidak bisa dikembalikan.”


Adik : “Tulisan di toko tadi bilang barang yang sudah dibeli tak bisa
dikembalikan.”

Kakak : “Seharusnya kamu bilang dulu padaku.”

Adik : “Semalam aku sudah bilang, tapi sepertinya kamu sudah tidur. Ya,
mungkin kamu sudah tidur, jadi tak mendengar apa yang aku katakana.”

Kakak : “Pandai saja kamu berdalih. Terserah kamu sajalah. Lagi pula
sudah terlanjur dibeli.”

Adik : “sebab itu, jangan marah-marah. Aku yakin mesin ini akan
berguna. Aku butuh mesin cuci ini, ada banyak barang yang harus
kucuci.”

Kakak : “Contoh?”

Adik : “Seprai, sarung bantal, taplak meja, boneka, kain lap, karpet,
pengesat kaki, banyak.”

Kakak : “Apa kamu juga berniat mencuci sofa di mesin cuci?”

Adik : “Kalau bisa mengapa tidak,” (balasnya sambil terkikik seperti


menertawakan dirinya sendiri. Dan itu membuatku berpikir bahwa
mungkin perempuan itu, adikku, ia sudah mulai gila.)

***
Malam harinya, kami tidur bersisian ranjang, setelah lampu diredupkan
perempuan itu menggumam,

Adik : “Senang sekali bisa memiliki mesin cuci, semuanya bisa dicuci,
semuanya bisa bersih, semuanya akan bersih. Kalau bersih kan enak
dilihat mata, tak menyebabkan penyakit. Oh mesin cuci, beruntung sekali
aku…” (sambil menyikut lengan kakak), “Tuh kan, sudah merem lagi.”
Aku memejamkan mata meski belum mengantuk dan tak menjawabnya.
Aku merasa cemas perempuan itu mulai gila. Benar-benar gila. Gila
dalam istilah yang sesungguhnya.

***
Pagi hari, ketika tiba waktu sarapan. Di depan meja makan, sambil
menyiapkan menu-menu, perempuan itu tersenyum lebar sambil berkata,

Adik : ”Bagaimana nasinya, harum kan?”

Aku tak menjawab, karena dengan tangkas ia menjawab pertanyaannya


sendiri,
Adik : ”Tentu saja harum. Aku tadi sudah mencucinya bersih, dengan
mesin cuci. Buah-buahan, sayur, semua ini kucuci dengan mesin cuci,
tinggal pencet tombol on, kasih sabun aroma jeruk, dan semuanya jadi
cling, jadi bersih, jadi wangi.”

Aku menggerutkan alis, menatap perempuan itu dengan cemas. Aku


yakin ia sedang bercanda.

Adik : ”Jangan menatapku begitu, kalau kau pikir aku bercanda anggap
saja aku memang bercanda. Sudah, habiskan saja sarapannya dan
berangkat kuliah…aku juga akan berangkat ke sekolah, setelah pulang
aku akan mencuci apa-apa yang harus kucuci, dan itu banyak sekali…”

***
Sore hari, sepulang kuliah, seperti biasa, ketika sampai di ruang tamu
aku selalu mengucapkan, ”Aku pulang,” ucap kakak.

Tapi kali ini taka da sahutan. Biasanya, begitu mendengar pintu


berdenyit perempuan itu langsung menyambut dan membantuku
membawakan tas atau buku-buku ku. Tapi, semenjak ia membeli mesin
cuci sialan itu, begitu aku pulang, aku selalu menemukan ia sedang sibuk
di depan mesin cucinya.

Kakak : ”Aku pulaaang,” (seruku lagi setengah berteriak).


Adik : ”Oh, kamu sudah pulang,” (katanya) “Suara mesin cucinya
memang sedikit berisik, jadi aku tak bisa mendengarmu.”

Kakak : ”Apa sepanjang hari kamu hanya berdiri di depan mesin cuci
itu?” (aku menyindir)

Adik : ”Mencuci itu lebih berbudi ketimbang menonton gosip murahan di


tivi.”

Entah bagaimana ceritanya, selalu ada saja barang-barang yang ia cuci,


seperti yang ia katakana, seprai, sarung bantal, taplak meja, boneka,
kain lap, karpet, pengesat kaki, dan apa saja, bahkan, mungkin sesuatu
yang sudah ia cuci hari lalu akan ia cuci lagi esok harinya. Sejak ia
memiliki mesin cuci itu ia memang berubah jadi sedikit aneh. Tepatnya
ia mengalami konversi dari waras menjadi sedikit kurang waras. Dan
seterusnya.

***
Suatu siang, ketika aku pulang agak cepat, lagi-lagi aku menemukan ia
terduduk di sisi mesin cuci tercintanya. Ia sedang tergugu di depan
pecahan mangkuk, gelas, dan piring, sambil membalut jarinya yang
mengeluarkan darah.

Kakak : ”Kenapa dengan jarimu?” (aku bergegas menghampirinya


karena cemas).

Adik : ”Tergores pecahan piring,” (ujarnya).

Kakak : “Ya Tuhan, apa barusan terjadi gempa, sampai-sampai piring,


gelas, mangkuk, semua hancur berantakan begitu,” (aku menatap barang
pecah belah itu dengan tatapan bingung).

Adik : ”Ini salahku, aku hanya mencoba mencuci perabotan itu


menggunakan mesin cuci, tapi malah hancur.” (Ia menatapku minta
maaf)
Kakak : ”Ya Than, apa kepalamu habis terbentur tembok atau apa? Ini
mesin cuci untuk mencuci pakaian, untuk kain-kain, bukan untuk
perkakas seperti itu. Kau benar-benar sudah gila, ya?” (aku mendengus
geram).

Perempuan itu terdiam, menatapku sekilas lalu menunduk, membuatku


sedikit menyesal karena sudah mengumpatnya. Aku mengambil obat luka
antiseptic dan membantu merapikan balutan lukanya lantas
menyingkirkan barang pecah belah itu dari hadapannya.

Kakak : ”Aku mulai berpikir, lama kelamaan, kau akan benar-benar


mencuci sofa itu di mesin cuci. Lalu mencuci tivi, laptop, handphone,
kipas angin, dan entah apa lagi.”

Adik : ”Sofa mana muat, kipas angina juga tidak muat,” (ia menjawab
dengan santai), “tivi, laptop, handphone mungkin bisa tapi aku tak akan
melakukannya.”

Kakak : ”Oh. Bagus kalau begitu,” (sambarku).

***
Malam harinya, ketika kami berangkat tidur sperti biasanya, ketika
lampu sudah diredupkan, perempuan itu menggumam lagi,

Adik : ”Aku memikirkan kira-kira benda apa, ya, yang masih kotor dan
belum dicuci. Aku benar-benar ingin mencuci sesuatu.”

Aku sebenarnya sudah terpejam, tapi karena tidak tahan mendengar


ocehannya, aku pun menjawab,

Kakak : ”Otakmu itu yang perlu dicuci, pikiranmu itu kotor, gara-gara
mesin cuci itu.”

Ia menyikut lenganku cukup keras lalu berpaling, ”Kau tidak pernah


menghargai apa-apa yang sudah kulakukan untuk rumah ini,” (kata adik
sambil berbisik).
Aku merasa tak harus menanggapinya. Malam itu kami tidur bertatapan
punggung.

***
Esok paginya, adikku bangun lebih awal seperti biasanya. Aku bangun
menyusul. Tapi, begitu menghampiri meja makan, aku tak melihat
apapun. Aku pun menyusup ke ruang dapur, dan nyaris terjengkang
karena kaget. Di sebelah pintu kamar mandi, aku melihat perempuan itu
sedang berendam dalam cairan penuh busa di lubang mesin cuci yang
tutupnya masih terbuka karena tertahan oleh kepalanya.
Sambil tersenyum menatapku, ia bilang,

Adik : ”Syukur, akhirnya kau bangun juga. Apa kau bisa membantuku
memencet tombol on?”

2.2 Lampiran Cerpen

“Akan kutunjukkan sesuatu,” katanya sambil menyeret tanganku menuju


ruang dapur.

“Lihatlah!” serunya riang.

Di depan kamar mandi, di sebelah pintu, aku melihat benda terkutuk itu.
Sebuah mesin cuci dengan penutup di bagian atas. Persis ibu-ibu gemuk
yang mendekam karena kekenyangan.

Aku pun bertanya. “Mesin cuci? Kamu beli mesin cuci? Untuk apa?”

“Mesin cuci tentu saja untuk mencuci, kamu pikir untuk apa? Untuk
menanak nasi?” dengan sigap ia menjawab, sambil mengelus-elus mesin
cuci itu seperti mengelus-elus binatang piaraan yang setia.
“Tapi untuk apa kau beli mesin cuci? Di rumah ini cuma ada kamu dan
aku, berdua saja, pakaian kotor bisa dikucek sambil mandi, tak harus beli
mesin cuci.”

“Tapi aku sudah terlanjur membelinya.”

“Apa benda itu tak bisa dikembalikan.”

“Tulisan di toko tadi bilang barang yang sudah dibeli tak bisa
dikembalikan.”

“Seharusnya kamu bilang dulu padaku.”

“Semalam aku sudah bilang, tapi sepertinya kamu sudah tidur. Ya,
mungkin kamu sudah tidur, jadi tak mendengar apa yang kukatakan.”

“Pandai sekali kamu berdalih. Terserah kamu sajalah. Lagi pula sudah
terlanjur dibeli.”

“Sebab itu, jangan marah-marah. Aku yakin mesin ini akan berguna. Aku
butuh mesin ini, ada banyak barang yang harus kucuci.”

“Contoh?”

“Seprai, sarung bantal, taplak meja, boneka, kain lap, karpet, pengesat
kaki, banyak.”

“Apa kamu juga berniat mencuci sofa di mesin cuci?”


“Kalau bisa mengapa tidak,” balasnya. Ia terkikik seperti menertawakan
dirinya sendiri. Dan itu membuatku berpikir bahwa mungkin perempuan
itu, istriku, ia sudah mulai gila.

Malam harinya, kami tidur bersisian di ranjang, setelah lampu


diredupkan perempuan itu menggumam, “senang sekali bisa memiliki
mesin cuci, semuanya bisa dicuci, semuanya bisa bersih, semuanya akan
bersih. Kalau bersih kan enak dilihat mata, tak meyebabkan penyakit. Oh
mesin cuci, beruntung sekali aku…”

Aku memejamkan mata meski belum mengantuk, perempuan itu


menyikut lenganku sambil menggumam lagi, “Tuh kan, sudah merem
lagi.”

Aku tak menjawab. Aku hanya merasa cemas perempuan itu mulai gila.
Benar-benar gila. Gila dalam istilah yang sesungguhnya.

Pagi hari, ketika tiba waktu sarapan. Di depan meja makan, sambil
menyiapkan menu-menu, perempuan itu tersenyum lebar sambil berkata,
“Bagaimana nasinya, harum kan?”

Aku tak menjawab, karena dengan tangkas ia menjawab pertanyaannya


sendiri, “Tentu saja harum. Aku tadi sudah mencucinya bersih, dengan
mesin cuci. Buah-buahan, sayur, semua ini kucuci dengan mesin cuci,
tinggal pencet tombol on, kasih sabun aroma jeruk, dan semuanya jadi
cling, jadi bersih, jadi wangi.”

Aku mengerutkan alis, menatap perempuan itu dengan cemas. Aku yakin
ia sedang bercanda.
“Jangan menatapku begitu, kalau kau pikir aku bercanda anggap saja aku
memang bercanda. Sudah, habiskan saja sarapannya dan berangkat
kerja… aku juga akan bekerja di rumah, mencuci apa-apa yang harus
kucuci, dan itu banyak sekali…”

Sore hari, sepulang kerja, seperti biasa, ketika sampai di ruang tamu aku
selalu mengucapkan, “aku pulang,” tapi kali ini tak ada sahutan.
Biasanya, begitu mendengar pintu berderit perempuan itu langsung
menyambut dan membantuku membawakan tas atau melepaskan dasi.
Tapi, semenjak ia membeli mesin cuci sialan itu, begitu aku pulang, aku
selalu menemukan ia sedang sibuk di depan mesin cucinya.

“Aku pulaaang,” seruku lagi setengah berteriak.

“Oh, kamu sudah pulang,” katanya, “suara mesin cucinya memang


sedikit berisik, jadi aku tak bisa mendengarmu.”

“Apa sepanjang hari kamu hanya berdiri di depan mesin cuci itu?” aku
menyindir.

“Mencuci sesuatu itu lebih berbudi ketimbang menonton gosip murahan


di tivi.”

Entah bagaimana ceritanya, selalu ada saja barang-barang yang ia cuci,


seperti yang ia katakan, seprai, sarung bantal, taplak meja, boneka, kain
lap, karpet, pengesat kaki, dan apa saja. bahkan, mungkin sesuatu yang
sudah ia cuci hari lalu akan ia cuci lagi esok harinya. Sejak ia memiliki
mesin cuci itu ia memang berubah jadi sedikit aneh. Tepatnya ia
mengalami konversi dari waras menjadi setengah waras. Dan sebentar
lagi, dari setengah waras menjadi sedikit kurang waras. Dan seterusnya.
Suatu siang, ketika aku pulang agak cepat, lagi-lagi aku menemukan ia
terduduk di sisi mensin cuci tercintanya. Ia sedang tergugu di depan
pecahan mangkuk, gelas, dan piring, sambil membalut jarinya yang
mengeluarkan darah.

“Kenapa dengan jarimu?” aku bergegas menghampirinya karena cemas.

“Tergores pecahan piring,” ujarnya.

“Ya Tuhan, apa barusan terjadi gempa, sampai-sampai piring, gelas,


mangkuk, semua hancur berantakan begitu,” aku menatap barang pecah
belah itu dengan tatapan bingung.

Ia menatapku minta maaf, “Ini salahku, aku hanya mencoba mencuci


perabotan itu menggunakan mesin cuci, tapi malah hancur.”

Aku mendengus geram, “Ya Tuhan, apa kepalamu habis terbentur


tembok atau apa? Ini mesin cuci untuk pakaian, untuk kain-kain, bukan
untuk untuk perkakas seperti itu. Kau benar-benar sudah gila, ya?”

Perempuan itu terdiam, menatapku sekilas lalu menunduk, membuatku


sedikit menyesal karena sudah mengumpatnya. Aku mengambil obat luka
antiseptic dan membantu merapikan balutan lukanya lantas
menyingkirkan barang pecah belah itu dari hadapannya.

“Aku mulai berpikir, lama kelamaan, kau akan benar-benar mencuci sofa
itu di mesin cuci. Lalu mencuci tivi, laptop, handphone, kipas angin, dan
entah apa lagi.”
“Sofa mana muat, kipas angin juga tidak muat,” ia menjawab dengan
santai, “tivi, laptop, handphone mungkin bisa tapi aku takkan
melakukannya.”

“Oh. Bagus kalau begitu,” sambarku.

Malam harinya, ketika kami berangkat tidur seperti biasanya, ketika


lampu sudah diredupkan, perempuan itu menggumam lagi, “aku
memikirkan kira-kira benda apa, ya, yang masih kotor dan belum dicuci.
Aku benar-benar ingin mencuci sesuatu.”

Aku sebenarnya sudah terpejam, tapi karena tidak tahan mendengar


ocehannya, aku pun menjawab, “otakmu itu yang perlu dicuci, pikiranmu
itu kotor, gara-gara mesin cuci itu.”

Ia menyikut lenganku cukup keras lalu berpaling. “Kau tidak pernah


menghargai apa-apa yang sudah kulakukan untuk rumah ini,” bisiknya.
Aku merasa tak harus menanggapinya. Malam itu kami tidur bertatapan
punggung.

Esok paginya, istriku bangun lebih awal seperti biasanya. Aku bangun
menyusul. Tapi, begitu menghampiri meja makan, aku tak melihat
apapun. Aku pun menyusup ke ruang dapur, dan nyaris terjengkang
karena kaget. Di sebelah pintu kamar mandi, aku melihat perempuan itu
sedang berendam dalam cairan penuh busa di lubang mesin cuci yang
tutupnya masih terbuka karena tertahan oleh kepalanya.

Sambil tersenyum menatapku, ia bilang, “Syukur, akhirnya kau bangun


juga. Apa kau bisa membantuku memencet tombol on?”
III. PENILAIAN
3.1Peserta Bermain Drama
Kelompok :
Kelas : IX-C
Judul : Adik Yang Tergila Gila Pada Mesin Cucinya
Karya : Suara Merdeka

No Nama Siswa Peran Unsur Penilaian


Suara Akting & Asesoris Kekompakan Jumlah Nilai
Ekspresi Skor
1 Anne Marie Adik
Heidija
2 Feby Auliya Kakak
Machmud

Anda mungkin juga menyukai