MARET, 2019
I. ANALISIS CERPEN
1.1Tema
Adik yang terobsesi dengan mesin cuci yang ia beli.
1.2Tabel
No. Tokoh Karakter Pemeran
1 Kakak Cuek, sedikit peduli, suka tidak Feby Auliya
menghargai apa yang dilakukan Macmud
adiknya
2 Adik Lugu, rajin, suka mencuci, suka Anne Marie
kebersihan Heidija
1.3Alur
Fragmen Peristiwa Latar
Suasana Tempat Waktu
Perkenalan “Akan kutunjukkan Riang
sesuatu,”(katanya
sambil menyeret
tangan ku menuju Di depan
ruang dapur). kamar
“Lihatlah!” mandi, di Sore hari
(serunya riang). sebelah
pintu
Pemunculan aku melihat benda Terkejut
Masalah terkutuk itu. Sebuah
mesin cuci dengan
penutup di bagian
atas. Persis ibu-ibu
gemuk yang
mendekam karena
kekenyangan.
II. DIALOG
2.1Naskah Drama Ubahan
(Adaptasi Dari Cerpen “Adik Yang Tergila-gila Pada Mesin Cucinya”
Karya Ilustrasi Suara Merdeka)
***
Adik : “Akan kutunjukkan sesuatu,” (katanya sambil menyeret tangan ku
menuju ruang dapur). “Lihatlah!” (serunya riang).
Di depan kamar mandi, di sebelah pintu, aku melihat benda terkutuk itu.
Sebuah mesin cuci dengan penutup di bagian atas. Persis ibu-ibu gemuk
yang mendekam karena kekenyangan.
Adik : “Mesin cuci tentu saja untuk mencuci, kamu pikir untuk apa?
Untuk menanak nasi?” (jawabnya dengan sigap, sambil mengelus-elus
mesin cuci itu seperti mengelus-elus binatang piaraan yang setia).
Kakak : “Tapi untuk apa kamu beli mesin cuci? Di rumah ini cuma ada
kamu dan aku, berdua saja, pakaian kotor bisa dikucek sambil mandi, tak
harus beli mesin cuci.”
Adik : “Semalam aku sudah bilang, tapi sepertinya kamu sudah tidur. Ya,
mungkin kamu sudah tidur, jadi tak mendengar apa yang aku katakana.”
Kakak : “Pandai saja kamu berdalih. Terserah kamu sajalah. Lagi pula
sudah terlanjur dibeli.”
Adik : “sebab itu, jangan marah-marah. Aku yakin mesin ini akan
berguna. Aku butuh mesin cuci ini, ada banyak barang yang harus
kucuci.”
Kakak : “Contoh?”
Adik : “Seprai, sarung bantal, taplak meja, boneka, kain lap, karpet,
pengesat kaki, banyak.”
***
Malam harinya, kami tidur bersisian ranjang, setelah lampu diredupkan
perempuan itu menggumam,
Adik : “Senang sekali bisa memiliki mesin cuci, semuanya bisa dicuci,
semuanya bisa bersih, semuanya akan bersih. Kalau bersih kan enak
dilihat mata, tak menyebabkan penyakit. Oh mesin cuci, beruntung sekali
aku…” (sambil menyikut lengan kakak), “Tuh kan, sudah merem lagi.”
Aku memejamkan mata meski belum mengantuk dan tak menjawabnya.
Aku merasa cemas perempuan itu mulai gila. Benar-benar gila. Gila
dalam istilah yang sesungguhnya.
***
Pagi hari, ketika tiba waktu sarapan. Di depan meja makan, sambil
menyiapkan menu-menu, perempuan itu tersenyum lebar sambil berkata,
Adik : ”Jangan menatapku begitu, kalau kau pikir aku bercanda anggap
saja aku memang bercanda. Sudah, habiskan saja sarapannya dan
berangkat kuliah…aku juga akan berangkat ke sekolah, setelah pulang
aku akan mencuci apa-apa yang harus kucuci, dan itu banyak sekali…”
***
Sore hari, sepulang kuliah, seperti biasa, ketika sampai di ruang tamu
aku selalu mengucapkan, ”Aku pulang,” ucap kakak.
Kakak : ”Apa sepanjang hari kamu hanya berdiri di depan mesin cuci
itu?” (aku menyindir)
***
Suatu siang, ketika aku pulang agak cepat, lagi-lagi aku menemukan ia
terduduk di sisi mesin cuci tercintanya. Ia sedang tergugu di depan
pecahan mangkuk, gelas, dan piring, sambil membalut jarinya yang
mengeluarkan darah.
Adik : ”Sofa mana muat, kipas angina juga tidak muat,” (ia menjawab
dengan santai), “tivi, laptop, handphone mungkin bisa tapi aku tak akan
melakukannya.”
***
Malam harinya, ketika kami berangkat tidur sperti biasanya, ketika
lampu sudah diredupkan, perempuan itu menggumam lagi,
Adik : ”Aku memikirkan kira-kira benda apa, ya, yang masih kotor dan
belum dicuci. Aku benar-benar ingin mencuci sesuatu.”
Kakak : ”Otakmu itu yang perlu dicuci, pikiranmu itu kotor, gara-gara
mesin cuci itu.”
***
Esok paginya, adikku bangun lebih awal seperti biasanya. Aku bangun
menyusul. Tapi, begitu menghampiri meja makan, aku tak melihat
apapun. Aku pun menyusup ke ruang dapur, dan nyaris terjengkang
karena kaget. Di sebelah pintu kamar mandi, aku melihat perempuan itu
sedang berendam dalam cairan penuh busa di lubang mesin cuci yang
tutupnya masih terbuka karena tertahan oleh kepalanya.
Sambil tersenyum menatapku, ia bilang,
Adik : ”Syukur, akhirnya kau bangun juga. Apa kau bisa membantuku
memencet tombol on?”
Di depan kamar mandi, di sebelah pintu, aku melihat benda terkutuk itu.
Sebuah mesin cuci dengan penutup di bagian atas. Persis ibu-ibu gemuk
yang mendekam karena kekenyangan.
Aku pun bertanya. “Mesin cuci? Kamu beli mesin cuci? Untuk apa?”
“Mesin cuci tentu saja untuk mencuci, kamu pikir untuk apa? Untuk
menanak nasi?” dengan sigap ia menjawab, sambil mengelus-elus mesin
cuci itu seperti mengelus-elus binatang piaraan yang setia.
“Tapi untuk apa kau beli mesin cuci? Di rumah ini cuma ada kamu dan
aku, berdua saja, pakaian kotor bisa dikucek sambil mandi, tak harus beli
mesin cuci.”
“Tulisan di toko tadi bilang barang yang sudah dibeli tak bisa
dikembalikan.”
“Semalam aku sudah bilang, tapi sepertinya kamu sudah tidur. Ya,
mungkin kamu sudah tidur, jadi tak mendengar apa yang kukatakan.”
“Pandai sekali kamu berdalih. Terserah kamu sajalah. Lagi pula sudah
terlanjur dibeli.”
“Sebab itu, jangan marah-marah. Aku yakin mesin ini akan berguna. Aku
butuh mesin ini, ada banyak barang yang harus kucuci.”
“Contoh?”
“Seprai, sarung bantal, taplak meja, boneka, kain lap, karpet, pengesat
kaki, banyak.”
Aku tak menjawab. Aku hanya merasa cemas perempuan itu mulai gila.
Benar-benar gila. Gila dalam istilah yang sesungguhnya.
Pagi hari, ketika tiba waktu sarapan. Di depan meja makan, sambil
menyiapkan menu-menu, perempuan itu tersenyum lebar sambil berkata,
“Bagaimana nasinya, harum kan?”
Aku mengerutkan alis, menatap perempuan itu dengan cemas. Aku yakin
ia sedang bercanda.
“Jangan menatapku begitu, kalau kau pikir aku bercanda anggap saja aku
memang bercanda. Sudah, habiskan saja sarapannya dan berangkat
kerja… aku juga akan bekerja di rumah, mencuci apa-apa yang harus
kucuci, dan itu banyak sekali…”
Sore hari, sepulang kerja, seperti biasa, ketika sampai di ruang tamu aku
selalu mengucapkan, “aku pulang,” tapi kali ini tak ada sahutan.
Biasanya, begitu mendengar pintu berderit perempuan itu langsung
menyambut dan membantuku membawakan tas atau melepaskan dasi.
Tapi, semenjak ia membeli mesin cuci sialan itu, begitu aku pulang, aku
selalu menemukan ia sedang sibuk di depan mesin cucinya.
“Apa sepanjang hari kamu hanya berdiri di depan mesin cuci itu?” aku
menyindir.
“Aku mulai berpikir, lama kelamaan, kau akan benar-benar mencuci sofa
itu di mesin cuci. Lalu mencuci tivi, laptop, handphone, kipas angin, dan
entah apa lagi.”
“Sofa mana muat, kipas angin juga tidak muat,” ia menjawab dengan
santai, “tivi, laptop, handphone mungkin bisa tapi aku takkan
melakukannya.”
Esok paginya, istriku bangun lebih awal seperti biasanya. Aku bangun
menyusul. Tapi, begitu menghampiri meja makan, aku tak melihat
apapun. Aku pun menyusup ke ruang dapur, dan nyaris terjengkang
karena kaget. Di sebelah pintu kamar mandi, aku melihat perempuan itu
sedang berendam dalam cairan penuh busa di lubang mesin cuci yang
tutupnya masih terbuka karena tertahan oleh kepalanya.