Anda di halaman 1dari 10

Pengantar Ekonomi

Kebijakan Fiksal
Dosen Pengampu : Wulan Purnama Sari, SE., MM

Di Susun Oleh:

1. Dela Angraeni 191320042

2. Intan Luthfia Syahrani 191320010

3.Nida Nurrahmah 191320029

4. Nurlisa 191320043

5. Rani Septi Awiliyah Sawitri 191320041


6. Rara wiraswita 191320038
BAB I

PENDAHULUAN

Kebijakan fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi
perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran
pemerintah. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada
ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan
industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan
daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.

Dalam literatur klasik, terdapat beberapa perbedaan pandangan mengenai kebijakan fiskal,
terutama menurut teori Keynes dan tiori klasik tradisional (Nopirin, 2000). Pada prinsipnya
Keynes berpendapat bahwa kebijakan fiskal lebih besar pengaruhnya terhadap output daripada
kebijakan moneter. Hal ini didasarkan atas pendapatnya bahwa, pertama elastisitas permintaan
uang terhadap tingkat bunga kecil sekali (extrim-nya nol) sehingga kurva IS tegak.

Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter satu sama lain saling berpengaruh dalam kegiatan
perekonomian. Masing–masing variabel kebijakan tersebut, kebijakan fiskal dipengaruhi oleh
dua variabel utama, yaitu pajak (tax) dan pengeluaran pemerintah (goverment expenditure).
Sedangkan variabel utama dalam kebijakan moneter, yaitu GDP, inflasi, kurs, dan suku bunga.
Berbicara tentang kebijakan fiskal dan kebijakan moneter berkaitan erat dengan kegiatan
perekonomian empat sektor, dimana sektor – sektor tersebut diantaranya sektor rumah tangga,
sektor perusahaan, sektor pemerintah dan sektor dunia internasional/luar negeri. Ke-empat
sektor ini memiliki hubungan interaksi masing – masing dalam menciptakan pendapatan dan
pengeluaran.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengaruh Pajak terhadap Pendapatan Konsumsi

Pemerintah menjalankan kebijakan fiskal jika ia menggunakan kekuasaannya untuk


mempengarui pengeluaran total baik secara langsung - dengan mengubah belanja barang dan
jasanya - maupun tidak langsung – dengan mengubah pendapatan diposabel anggota
masyarakat melalui pelabuhan tingkat perpajakan atau tunjangan (transfer outlays). Walaupun
pengaruh fiskal dari pemerintah-pemerintah pusat dan daerah sangat besar, kedua jenis
pemerintah daerah ini tidak dapat menjalankan kebijakan fisal yang sistematis karena mereka
tidak dapat mengalami defisit yang tanpa batas. Mereka harus berusaha mengatasinya atau
mereka akan kehilangan kredibilitas. Selama resesi ekonomi, penerimaan negara menurun dan
tunjangan penganggutan serta pengeluaran untuk berbagai program lainnya meningkat
sehingga terjadi defisit. Nilai defisit biasanya dikendalikan dengan menaikkan pajak dan
mengurangi pengeluaran.

Pengeluaran pemerintah dan kebijakan perpajakan mempunyai tiga dampak utama dalam
makro ekonomi yaitu dampak pengeluaran (expenditure impact), dampak financial (financial
expenditure), dan dampak penawaran (supply expenditure). Misalakan pemerintah merancang
program pembangunan jalan raya, kenaikan pengeluaran secara langsung meningkatkan
kegiatan ekonomi. Jika pemerintah membiayai defisit yang terjadi dengan menjual obligasi
kepada sektor swasta, kekayaan sektor swasta akan naik, dan dampak financial ini akan
meninmbulkan dampak pengeluaran. Selanjutnya jalan baru tersebut akan menambah
infrastruktur perekonomian dan menaikkan potensi produksi, berarti akan menambah
penawaran.

Serupa dengan hal tersebut, suatu pemotongan pajak secara langsung akan meningkatkan
pendapatan disposabel (pendapatan setelah kena pajak) dan konsumsi sektor swasta. Hal itu
pun akan memberikan dampak finansial karena kenaikan defisit yang terjadi harus dibiayai.
Akhirnya pemotongan pajak tersebut akan merangsang orang untuk bekerja lebih giat dank
arena itu ia juga memberikan dampak dari sisi penawaran.

Er = C + Ir + G

Ahli statistik pendapatan nasional kini mempunyai kerangka kerja sebagai berikut :

Sektor Pengeluaran Pendapatan

Rumah Tangga C (konsumsi) Yd (Pendapatan disposabel)

Perusahaan Ir (realisasi investasi bersih) O


Pemerintah G (belanja barang dan jasa pemerintah) T (seluruh pajak dikurangi pengeluaran
tunjangan oleh pemerintah)

Sama dengan Er (realisasi pengeluaran nasional) Y (pendapatan nasional riil)

Dari kerangka kerja di atas jelas bahwa sektor pemerintah sekarang termasuk dalam perkiraan.
Pada sisi pengeluaran kita tambahkan belanja barang dan jasa pemerintah. Dalam kaitannya
dengan pembahasan sekarang, tunjangan harus kita anggap sebagai pajak negeatif, tunjangan
kita masukkan di sisi kanan pada neraca karena iya berlaku seperti pajak dalam membedakan
pendapatan nasional dengan pendapat disposabel. Tunjangn tidak merupakan pengeluaran
terhadap barang dan jasa, tetapi seperti pajak, iya mempengaruhi pendapatan disposabel dan
mempengaruhi pengeluaran untuk konsumsi .

Secara metematik, pendapatan disposabel adalah hasil pengurangan antara total pendapatan
dengan pajak:

Yd = Y – T

dimana :

Yd : Pendapatan setelah kena pajak

Y : Pendapatan sebelum kena pajak

T : Taxes (pajak)

Pajak memberikan dampak yang besar terhadap jumlah pendapatan. Semakin tinggi nilai pajak
yang diberlakukan, maka akan mengurangi jumlah pendapatan bersih. Dan sebaliknya jika nilai
pajak yang berlaku semakin menurun, maka jumlah pendapatan bersih akan meningkat.
Realisasi pengeluaran agregat sekarang sama dengan

Y=C +S+T

dan karena pendapatan disposabel dapat dikonsumsi dan ditabung, sisi pendapatan dari sisi
kanan perkiraan tersebut dapat dipecah menjadi :

Defenisi akuntansi mengharuskan Er = Y sehingga dengan menyamakan kedua sisi perkiraan


kita peroleh :

Ȼ + Ir + G = Ȼ + S + T

Ir + G = S + T

Bagian sebelah kiri dari persamaan di atas komponen-komponen non konsumsi dari
pengeluaran direncanakan, dan sering disebut “suntikan”. S + T di sisi kanan adalah bagian Y
yang tidak dikonsumsi. Dan umumnya disebut “bocoran” karena S dan T adalah pendapatan
yang tidak dibelanjakan. Keseimbangan mengharuskan suntikan (injection) sama dengan
bocoran (leakages); jika tidak, aka nada perbedaan antara pengeluaran direncanakan dnegan
pendapatan, dan hal ini akan menimbulkan pendapatan yang berubah.

G–T=S–I

Atau dalam bentuk ini sisi kiri menunjukkan defisit anggaran pemerintah yang harus sama
dengan selisih antara tabungan swasta dan investasi yang diinginkan yang dewasa ini sering
disebut “surplus sektor swasta” karena ia setara dengan selisih antara penghasilan disposabel
sektor swasta dan pengeluaran swasta.

2. Pengaruh Pajak terhadap Keseimbangan Ekonomi

Karena kebijakan fiskal bertujuan mengarahkan perekonomian ke kondisi yang lebih baik, maka
dampaknya terhadap keseimbangan ekonomi harus dipahami. Salah satu cara paling mudah
melihatnya adalah dengan melihat pengaruh pajak terhadap output keseimbangan

Pajak Anggaran

Dilihat dengan perbandingan nilai penerimaan (T) dan pengeluaran (G), politik anggaran dapat
dibedakan menjadi:

• Anggaran tidak berimbang,dan

• Anggaran berimbang.

Hasil yang dicapai dari kebijakan fiskal merupakan interaksi (resultan) dari dampak pajak dan
pengeluaran pemerintah terhadap output keseimbangan. Pengaruh perubahan pengeluaran
pemerintah terhadap perubahan pendapatan keseimbangan seperti yang dibahas sebelumnya
adalah :

∆Y = ∆G

Sedangkan pengaruh pajak terhadap pendapatan adalah:

∆Y = - b ∆T

a. Anggaran Defisit (Deficit Budget)

Anggaran tidak berimbang dapat dibedakan lagi menjadi anggaran defisit (deficit budget) dan
anggaran surplus (surplus budget). Anggaran defisit adalah anggaran yang memng
direncanakan untuk defisit, sebab pengeluaran pemerintah direncanakan lebih besar dari
penerimaan pemerintah (T<G atau G>T). Politik anggaran defisit, bisanya ditempuh bila
pemerintah ingin menstimulir pertumbuhan ekonomi. Hal ini umumnya dilakukan bila
perekonomian berada dalam kondisi resesi.

Dengan asumsi kondisi awal anggaran pemerintah adalah anggaran berimbang (G = T), bila
pemerintah menempuh anggaran defisit, maka ∆G > ∆T, dimana ∆G > 0 dan ∆T > 0 . karena
∆G > 0 dan ∆G > ∆T, maka jika pemerintah menempuh politik anggaran defisit, pemerintah
dianggap memilih kebijakan fiskal ekspensif.

∆Y karena ∆G = ∆G

∆Y karena ∆T = - b ∆ T

Sehingga total pengaruhnya (karena ∆G dan ∆T) adalah :

Y = ∆G + - b ∆T

= ∆G - b∆T

Atau

∆Y = ∆G – b ∆T

b. Anggaran Surplus (Surplus Budget)

Kebalika dari anggaran defisit, dalam anggaran surplus pemerintah merencanakan penerimaan
lebih besar dari pengeluaran (T>G atau G<T). Atau dapat Juga dikatakan pemerintah
menempuh politik anggaran surplus, dimana ∆G < ∆T, dimana ∆G dan ∆T >0

c. Anggaran Berimbang (Balance Budget)

Pemeirntah dikatakan menempuh politik anggaran berimbang bila pengeluaran direncanakan


sama dengan penerimaan ( G=T atau T=G)

∆Y karena ∆G = ∆G

∆Y karena ∆T = - b ∆T
3. Politik Anggaran

Proses politik anggaran negara secara transparan melalui prosedur yang relatif panjang
menjadi piranti strategis yang menjadi acuan dalam pelaksanaan kebijakan fiskal. Sehingga,
fungsi kebijakan fiskal dalam penerapan RAPBN 2009 sangat bergantung pada pemahaman
kolegial akan makna penting perencanaan, pelaksanaan yang efektif, dan akuntabilitas
pertanggungjawaban keuangan negara.

Hal itu disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dalam sidang paripurna dengan
agenda jawaban pemerintah terhadap pemandangan umum fraksi-fraksi DPR tentang Nota
Keuangan dan RAPBN 2009, Selasa (26/8), di Jakarta. "Peranan strategis lain dari kebijakan
fiskal merupakan konsekuensi logis dari peningkatan tranparansi, demokratisasi, dan
keterlibatan seluruh elemen masyarakat terkait kebijakan anggaran negara," tutur Sri Mulyani.

Dikatakan, pemerintah merancang pendapatan negara dan hibah dalam RAPBN 2009
mencapai Rp 1.022,6 triliun atau naik Rp 127,6 triliun (sekitar 14,3%) dari sasarannya dalam
APBN-P 2008.

Untuk belanja negara, direncanakan Rp 1.122,2 triliun atau naik 13,4% (setara Rp 132,7 triliun)
dari pagu APBN-P 2008. Artinya, defisit anggaran pada 2009 diperkirakan mencapai Rp 99,6
triliun atau sekitar 1,9% dari PDB.

4. Efektivitas Kebijakan Fiskal

Sebagaimana diyakini pemerintah, dampak berarti dari krisis keuangan global akan kian terasa
hingga medio 2009, setelah itu pertumbuhan ekonomi Indonesia secara perlahan akan pulih
secara bertahap.

Krisis keuangan global menjadi ancaman besar bagi upaya menciptakan pembangunan
ekonomi yang berkarakter 3P (pro-growth, pro-job, dan pro-poor). Pemerintah menargetkan
pertumbuhan ekonomi pada 2009 dapat mencapai 5% atau sedikit lebih rendah dibandingkan
dengan tahun 2008 yang diperkirakan mencapai 6,2%. Optimisme pemerintah memangkas laju
pertumbuhan ekonomi yang relatif moderat di tahun 2009 didasarkan atas dua alasan.

Pertama, adanya ruang gerak ekspansi fiskal yang besar sebagai dampak dari sisa anggaran di
tahun 2008 yang mencapai Rp52,3 triliun. Kedua, pesta demokrasi (pemilihan anggota legislatif
dan presiden) yang diprediksi akan mampu mendorong permintaan dari berbagai sektor.
Disadari atau tidak,optimisme di tahun 2009 juga terlahir dari turunnya ekspektasi inflasi yang
menjadi semacam blessing in disguise.

Sebagaimana diketahui, krisis global akan menurunkan permintaan dunia untuk segala produk
dan hal ini dapat menjadi berita baik untuk meredam inflasi domestik yang berasal dari imported
inflation seperti turunnya harga minyak dunia, minyak sawit, dll.Turunnya laju inflasi tidak hanya
baik bagi tanda (signaling) turunnya suku bunga, tapi juga bagi penduduk miskin ataupun
mereka yang berada di batas garis kemiskinan.
a. Stimulus Fiskal

Pemerintah juga telah menetapkan empat strategi kebijakan untuk memperlunak dampak krisis
global, yaitu memperkuat ketahanan sektor keuangan, melakukan konsolidasi fiskal,
memberikan stimulus fiskal untuk mendorong pertumbuhan sektor riil, dan mempercepat
pembangunan infrastruktur.

Dengan pertimbangan bahwa stimulus fiskal merupakan “obat merah”, fokus kebijakan haruslah
pada sisi meminimalkan dampak krisis global terhadap naiknya angka kemiskinan dan
pengangguran. Pemerintah telah berencana memberikan pajak pertambahan nilai ditanggung
pemerintah terhadap 17 industri dengan nilai Rp9 triliun lebih, tarif impor ditanggung Rp2,4
triliun, belanja modal untuk infrastruktur yang mencapai paling tidak Rp72 triliun, dan Rp4,9
triliun digunakan untuk biaya pembebasan lahan.

Dengan demikian, total biaya yang dikeluarkan sebagai respons dari krisis sebesar Rp88,3
triliun. Bagian tersulit dalam menjalankan stimulus fiskal adalah menjamin efektivitas kebijakan,
termasuk dalam hal ini kalkulasi akan kelompok mana yang mendapat keuntungan dan
kerugian (benefit and cost).

Dalam situasi krisis, stimulus fiskal seyogianya dapat memperkecil ketimpangan dan
kesenjangan pendapatan. Demikian pula penetapan sektor prioritas menjadi agenda yang perlu
dipikirkan secara matang.Namun,hal ini jelas tidak mudah karena pengambil kebijakan
cenderung mengambil sikap akomodatif bagi semua sektor karena lebih minim risiko, terutama
dari aspek ekonomi politik.

b. Pengangguran

Sebagaimana diketahui menurut data BPS, hingga semester kedua tahun 2008, angka
pengangguran terbuka masih menunjukkan penurunan seiring dengan penciptaan lapangan
kerja baru sebesar 2,62 juta orang antara Agustus 2007 dan Agustus 2008.

Hal ini mengindikasikan bahwa krisis global belum berdampak negatif terhadap serapan tenaga
kerja paling tidak hingga medio 2008. Namun, angka setengah pengangguran menunjukkan
peningkatan hingga 2 juta orang dalam dua tahun terakhir ini. Hal ini menandakan bahwa risiko
naiknya angka pengangguran masih akan besar. Paling tidak ada tiga alasan yang mendorong
hal ini terjadi.

Pertama, turunnya pertumbuhan ekonomi menandakan adanya penurunan kapasitas produksi


nasional dan hal ini pasti akan menambah angka pengangguran. Kedua, tingginya angka
pemutusan hubungan kerja akan memaksa intensitas pencarian pekerjaan semakin besar,
termasuk dalam hal ini pengangguran yang berada di kelompok pengangguran sukarela.
Ketiga, pengangguran juga akan berasal dari kelompok pencari kerja baru yang sebelumnya
masuk kategori bukan angkatan kerja.
Sebagaimana diketahui, dalam dua tahun terakhir ini, sektor yang paling banyak menyerap
tenaga kerja adalah perdagangan dengan tingkat penciptaan kesempatan kerja mencapai 2 juta
orang, disusul jasa kemasyarakatan sebesar 1,74 juta.Pada sisi lain, sektor yang merupakan
kantong pengaman, yaitu sektor pertanian, hanya mampu menciptakan kesempatan kerja baru
sebanyak 190.000 orang. Dengan demikian fenomena pengangguran terbesar akan dialami
sektor jasa yang paling banyak menyerap tenaga kerja dibandingkan dengan sektor pertanian
dan industri.

c. Kemiskinan

Terlepas dari banyaknya kelemahan dari sisi pengukuran angka kemiskinan, terutama dari sisi
pengukuran garis kemiskinan, data BPS menunjukkan persentase penduduk miskin pada 2008
merupakan angka terkecil sejak krisis ekonomi 1997/1998.Namun, pengukuran garis
kemiskinan berdasarkan angka USD1 dan USD2, memperlihatkan lonjakan angka kemiskinan
yang sangat besar.

Hal ini menandakan bahwa angka kemiskinan di Indonesia sangat sensitif terhadap garis
kemiskinan yang menjadi basis. Demikian pula fenomena kemiskinan di Indonesia bercirikan
tingginya kelompok masyarakat yang rentan menjadi miskin. Pada sisi lain, masalah kemiskinan
nonpendapatan (non-income poverty) lebih serius dibandingkan dengan kemiskinan
pendapatan (income poverty).

Melihat kenyataan tersebut, pengendalian tingkat harga dan peningkatan akses masyarakat
terhadap infrastruktur dasar,khususnya pendidikan dan kesehatan, menjadi obat mujarab untuk
lebih melindungi kelompok miskin dan rawan miskin.

Pada akhirnya efektivitas stimulus kebijakan fiskal akan sangat tergantung pada tiga elemen,
yaitu penekanan lonjakan pengangguran di sektor jasa, pemberian bantuan langsung bagi
kelompok miskin,dan perbaikan infrastruktur dasar.
BAB III

PENUTUP

Kebijakan fiskal berfungsi untuk mengatur perokonomian Indonesia terutama dibidang, yaitu
pajak (tax) dan pengeluaran pemerintah (goverment expenditure). Efektifitas kebijakan ini
berguna untuk mengatur dan mengendalikan GDP, inflasi, kurs, dan suku bunga. Pengaturan
fiskal secara tepat adalah suatu hal yang sangat sulit karena memerlukan peramalan yang
sangat akurat dan kesediaan bertindak cepat berdasarkan ramalan tersebut. Banyak kebijakan
fiskal yang berjalan secara otomatis dan membantu menstabilkan perekonomian. Ketika
perekonomian mengalami kelesuan, penerimaan dari semua pajak akan menurun pula secara
otomatis sedangkan pengeluaran untuk tunjangan pengangguran, kesejahteraan dank upon
untuik pangan akan meningkat. Konsekuensinya adalah menurunnnya pendapatan sisa pajak
dan pasca pajak, namun tidak sebanyak dalam keadaan sebaliknya, dan hal ini akan meredam
efek penurunan konsumsi dan belanja investasi perusahaan dalam suatu perekonomian,
dengan cara tersebut efek pengangguran dapat diperkecil dan resesi bisa diperingan.

DAFTAR PUSTAKA

Dernburg, Thomas F. dan Karyaman Muschtar. 1994. ”Makro-Ekonomi: Konsep, Teori, dan
Kebijakan”. Jakarta. Erlangga.

Sukirno, Sadono. 2010. Ekonomi Makro, Jakarta: Rajawali Pers

Tambunan, Dr. Tulus T.H. 2001. ”Perekonomian Indonesia. Jakarta. Ghalia Indonesia

Anda mungkin juga menyukai