KEBIJAKAN FISKAL
a. Pajak
Tujuannya adalah untuk memperdalam pemahaman tentang kebijakan
fiskal dan pengaruhnya terhadap keseimbangan perekonomian. Sebab, berbeda
dengan pengeluaran pemerintah (G) yang dapat diasumsikan otonomus, maka pajak
tidaklah demikian; Besarnya pajak yang diterima pemerintah dipengaruhi oleh tingkat
pendapatan, sebaliknya pajak dapat memengaruhi pola laku produksi dan atau
konsumsi.
Secara hukum, pajak dapat didefinisikan sebagai iuran wajib kepada pemerintah
yang bersifat memaksa dan legal (berdasarkan undang-undang), sehingga pemerintah
mempunyai kekuatan hukum (misalnya denda atau kurungan penjara) untuk menindak
wajib pajak yang tidak memenuhi kewajibannya. Walaupun pajak sifatnya memaksa,
pemerintah tidak mempunyai kewajiban untuk membalas jasa secara langsung kepada
para pembayar pajak. Pajak dipungut untuk menjalankan roda pemerintahan.
Secara ekonomi, pajak dapat didefinisikan sebagai pemindahan sumber daya
yang ada di sektor rumah tangga dan perusahaan (dunia usaha) ke sektor pemerintah
melalui mekanisme pemungutan tanpa wajib memberi balas jasa langsung. Jika
pungutan pemerintah sifatnya memberikan balas jasa langsung, maka pungutan
tersebut disebut retribusi.
Dari definisinya, pajak yang nilainya positif akan menyebabkan pendapatan nil
makin rendah atau harga barang makin mahal. Tetapi jika nilainya negatif (subsidi),
pajak akan meningkatkan pendapatan nil atau menyebabkan harga output atau input
menjadi lebih murah.
1) Klasifikasi Pajak
Ada beberapa pengklasifikasian pajak yang umumnya digunakan, yaitu pajak objektif
dan pajak subjektif serta pajak langsung dan pajak tidak langsung.
a) Pajak Objektif
Pajak objektif adalah pajak yang dikenakan berdasarkan aktivitas ekonomi para
wajib pajak. Misalnya, pajak pertambahan nilai (PPN) dikenakan kepada mereka yang
membeli barang dan jasa kena pajak.
b) Pajak Subjektif
Pajak subjektif adalah pajak yang dipungut dengan melihat kemampuan wajib
pajak. Biasanya bila kemampuan wajib pajak makin besar, beban pajaknya makin
besar. Salah satu indikator yang digunakan adalah pendapatan. Bila pendapatan (lebih
tepatnya pendapatan kena pajak) makin besar, beban pajaknya makin besar. Tetapi
bila pendapatan seseorang masih di bawah pendapatan tidak kena pajak (PTKP),
orang tersebut tidak perlu membayar pajak pendapatan atau pajak penghasilan (PPh).
c) Pajak Langsung
Pajak langsung adalah pajak yang beban pajaknya tidak dapat digeser kepada
wajib pajak yang lain (no tax incidence). Jadi pembayar pajak langsung adalah
pembayar pajak terakhir (last tax payer).
d) Pajak Tidak Langsung
Pajak tidak langsung adalah pajak yang beban pajaknya dapat digeser
kepada wajib pajak yang lain (tax incidence).
2) Tarif Pajak
Dua jenis tarif pajak yang paling terkenal adalah pajak nominal dan pajak
persentase.
a) Pajak Nominal
Pajak nominal adalah pajak yang pengenaannya berdasar sejumlah nilai
nominal tertentu. Notasi untuk pajak nominal adalah T (huruf besar).
b) Pajak Persentase
Pada pajak persentase, beban pajaknya ditetapkan berdasarkan persentase
tertentu dari dasar pengenaan pajak. Notasi untuk pajak persentase adalah t (huruf
kecil). Pajak persentase dapat dibedakan menjadi pajak proporsional, progresif dan
regresif.
Pajak proporsional, tarif persentasenya tetap. Misalnya pajak penghasilan
dikatakan proporsional bila berapapun besarnya penghasilan, tarif pajaknya tetap
20%.
Pajak progresif, tarifnya makin tinggi bila dasar pengenaan pajaknya makin
tinggi. Pajak penghasilan dikatakan progresif bila tarifnya makin tinggi pada saat
pendapatan meningkat.
Pajak regresif adalah kebalikan dari pajak progresif; Tarif pajak justru makin rendah
pada saat penghasilan meningkat.
a. Pajak Nominal
Pajak nominal, pertama kali memengaruhi pendapatan disposabel. Jika
pendapatan adalah Y dan pajak nominal adalah T, maka pendapatan disposabel:
Yd = Y-T
Fungsi konsumsi menurut model Keynes adalah:
C = CO + bYd
= Co + b(Y-T)
= Co + bY- bT
= CO-bT+bY
Dari persamaan di atas terlihat bahwa pajak nominal tidak mengubah nilai MPC.
Artinya pajak nominal tidak mengubah sensitivitas konsumsi akibat perubahan
pendapatan. Yang berubah adalah konsumsi otonomus, di mana pajak nominal
menyebabkan konsumsi otonomus menjadi lebih kecil sebesar bT.
Kasus 14.1
Untuk lebih memahami penjelasan di atas, kita gunakan contoh kuantitatif seperti
berikut ini. Misalkan C1 = 100 + O,SYd clan pajak nominal (T) sebesar 25, maka
pengaruhnya adalah sebagai berikut:
C2 = 100 + 0,8 (Y-25)
= 100-20+0,8Y
= 80 + 0,8Y
b. Pajak Proporsional
Jika pajak penghasilan yang dikenakan adalah proporsional (t), maka
pendapatan disposabel menjadi:
Yd = Y - tY = Y(1-t)
Akibatnya fungsi konsumsi berubah menjadi:
C = Co + bYd
= Co + b{Y(1-t)}
= Co + by - btY
= Co + (b-bt)Y
Ternyata pajak proporsional menyebabkan MPC menjadi (b-bt) atau lebih kecil
sebesar bt, sedangkan konsumsi otonomus tetap.
Kasus 14.2
Fungsi konsumsi awal C1 = 100 + 0,8Yd, bila pajak pendapatan sebesar 25%,
maka
Yd = (1-t)Y.
Fungsi konsumsi yang baru menjadi:
C2 = 100 + 0,8(1-0,25)Y
= 100 + 0,8(0,75)Y
= 100 + 0,6Y
Pajak proporsional telah menyebabkan MPC berubah menjadi 0,6 atau lebih
kecil 0,2 dari MPC sebelum ada pajak proporsional. Perubahan MPC tersebut
digambarkan dalam Diagram14.2 berikut ini.
Kasus 14.3
Seperti dengan yang sebelumnya, yaitu lebih baik menggunakan contoh
kuantitatif. Asumsi yang digunakan adalah perekonomian tertutup dan pajak nominal.
Fungsi konsumsi, C = 100 + 0,8Yd dan investasi bersifat otonomus, I = 150. Jika
pengeluaran pemerintah, C = 250, maka kondisi keseimbangan ekonomi adalah:
Y=C+I+G
= 100 + 0,8Yd + 150 + 250
= 500 + 0,8Y 0,2Y
= 500
Y = 2.500
Bila ada pajak penghasilan nominal sebesar 100, maka
Yd = Y 100, sehingga fungsi konsumsi C = 100 + 0,8Y d = 100 + 0,8(Y-100) = 20 + 0,8Y.
Dengan demikian pengeluaran agregat menjadi AE = C + I + G = 20 + 0,6Y + 150 + 250
= 420 + 0,8Y
Output keseimbangan:
Y = AE=C+I+G
= 420 + 0,8Y 0,2Y
= 420
Y = 2.100
Jika ada pajak nominal sebesar T, maka fungsi konsumsi menjadi C = C O + b(Y-
T), sehingga fungsi pengeluaran agregat menjadi AE = AO + bY - bT. Dengan demikian
fungsi keseimbangan menjadi:
Y = AE =Ao – bT + bY
Y(1- b) = AO – bT
A −bT
Y= 0
( 1−b )
sehingga hubungan antara perubahan pajak nominal (OT) dengan perubahan
pendapatan keseimbangan (Y) adalah:
bΔT
ΔY =
(1−b)
Dalam Kasus 14.3 di atas, AT = 100, sehingga:
0 , 8(100 )
ΔY = =−400
(1−0 , 8)
4. Politik Anggaran
Perbandingan nilai penerimaan (T) dan pengeluaran (G), politik anggaran dapat
dibedakan menjadi anggaran tidak berimbang dan anggaran berimbang. Hasil yang
dicapai dari kebijakan fiskal merupakan interaksi (resultan) dari dampak pajak dan
pengeluaran pemerintah terhadap output keseimbangan. Pengaruh perubahan
pengeluaran pemerintah terhadap perubahan pendapatan keseimbangan, seperti yang
telah dibahas sebelumnya,
ΔG
ΔY =
(1−b)
Sedangkan pengaruh pajak terhadap pendapatan adalah :
bΔT
ΔY =−
(1−b )
ΔG
ΔY karena ΔG=
(1−b )
bΔT
ΔY karena ΔT =−
(1−b )
sehingga total pengaruhnya (karena ΔG dan ΔT ) adalah
ΔG b ΔΤ
ΔΥ= +−
(1−b ) (1−b )
ΔG b ΔΤ
= −
(1−b) (1−b)
Karena penyebutnya sama, yaitu (1-b), maka pengaruhnya dapat ditulis sebagai:
ΔG−b ΔΤ
ΔΥ=
(1−b )
W
ΔΥ=
(1−b )
Kasus 14.4
C = 100 + 0,8Yd
I = 150
G = 250 dan T= 250
Kondisi keseimbangan awal:
Y =C+I+G
= 100 + 0,8(Y-250) + 150 + 250 = 500 + 0,8(Y-250)
= 500 + 0,8Y - 200 = 300 - 0,8Y
0,2Y = 300
Y = 1.500
Jika pemerintah menempuh anggaran defisit, di mana AG = 250, sementara T =
150, maka:
G1 = 250 + 250 = 500
Ydl = Y-25U-150 =Y-400
sehingga fungsi konsumsi menjadi:
C1 = 100 + 0,8Yd1
= 100 + 0,8(Y-400)
= 100 + 0,8Y - 320
= -220 + 0,8Y
Y = C + I + G-220 + 0,8Y + 150 + 500
= 430 + 0,8Y
0,2Y = 430
Y = 2.150, atau
Y = 2.150 - 1.500 = 650
Angka 650 adalah Y = T + W/ (1-b) = 150 + 100/(1-0,8) = 150 + 500 = 650.
Kasus 14.5
C = 100 + 0,8Yd
1 = 150
G= 250 dan T= 250
Kondisi keseimbangan awal:
Y =C+I+G
= 100 + 0,8(Y-250) + 150 + 250
= 500 + 0,8(Y-250) = 500 + 0,8Y - 200
= 300 - 0,8Y
0,2Y = 300
Y = 1.500
Jika pemerintah menempuh anggaran surplus, di mana G = 150,
sementara T = 250, maka:
G1 = 250 + 150 = 400
Y dl = Y- 250 - 250 = Y- 500
sehingga fungsi konsumsi menjadi:
C1 = 100 + 0,8Yd1 = 100 + 0,8(Y-500) = 100 + 0,8Y - 400
= -300 + 0,8Y
Kondisi keseimbangan baru:
Y = C+I+G
= - 300 + 0,8Y + 150 + 400 = 250 + 0,8Y
0,2Y = 250
Y = 1.250 atau (Y = 1.250 - 1.500 = -250
Angka -250 adalah Y = T - W(1-b) = 250 - 100/(1-0,8) = 250 - 500 = -250
c. Anggaran Berimbang (Balanced Budget)
Pemerintah dikatakan menempuh politik anggaran berimbang bila pengeluaran
direncanakan akan sama dengan peneriman (G = T dan atau AG = AT). Tidak ada
ketentuan pokok dalam kondisi ekonomi seperti apa politik anggaran berimbang
ditempuh. Namun bila pemerintah memilih politik anggaran berimbang, dua hal utama
yang ingin dicapai adalah peningkatan disiplin dan kepastian anggaran. Karena AG =
AT, maka pengaruh anggaran terhadap keseimbangan ekonomi adalah:
ΔC
ΔΥ karena ΔG=
(1−b )
bΔT
ΔΥ karena ΔT =−
(1−b)
sehingga dapat dikatakan efek multiplier anggaran berimbang adalah sama dengan
satu (balance budget multiplier).
Kasus 14.6
C = 100 + 0,8Yd
I = 150
G = 250 dan T= 250
Kondisi keseimbangan awal:
Y =C+I+G
= 100 + 0,8(Y-250) + 150 + 250 = 500 + 0,8(Y-250)
= 500 + 0,8Y - 200 = 300 - 0,8Y
0,2Y = 300
Y = 1.500
Jika pemerintah menempuh anggaran berimbang, di mana AG = 150. sementara T =
150, maka:
G1 = 250 + 150 = 400
Yd1=Y- 250-150=Y-400
sehingga fungsi konsumsi menjadi:
C1 = 100 + 0,8Yd1 = 100 + 0,8(Y-400) = 100 + 0,8Y-320
= -220 + 0,8Y
Y =C+I+G
= -220 + 0,8Y + 150 + 400 = 330 + 0,8Y
0,2Y = 330
Y = 1.650 atau
Y = 1.650 – 1500 = 150
angka 150 adalah Y = T = G
Apendiks
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah kebijakan fiskal
dalam kontek pembangunan Indonesia. Selama 1969/70-1994/95 (Pembangunan
Jangka Panjang Tahap I, PJP I) pertumbuhan APBN mencapai 23% per tahun, sekitar
empat kali lipat pertumbuhan ekonomi PJP I yang 6,8% per tahun. Hal ini menunjukkan
peranan APBN sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi.
APBN dilaksanakan berdasarkan kepercayaan bahwa sektor ekonomi pemerintah
sangat dibutuhkan untuk pelaksanaan trilogi pembangunan: pertumbuhan,
pemerataan dan stabilisasi. Trilogi pembangunan ini merupakan realisasi dari teori
tentang tiga fungsi fiskal: alokasi barang publik (allocation), distribusi pendapatan
(distribution), dan stabilisasi perekonomian (stabilization).
Fungsi alokasi (allocation) adalah fungsi penyediaan barang publik (public goods
provision) yang diharapkan menghasilkan eksternalitas yang menguntungkan.
Eksternalitas ini akan meningkatkan kegiatan investasi yang amat dibutuhkan guna
mem.acu pertumbuhan ekonomi. Fungsi distribusi pendapatan (income distribution)
adalah fungsi APBN dalam rangka memperbaiki distribusi pendapatan. Instrumen
yang digunakan terutama adalah pajak dan subsidi, yang dapat memengaruhi/
mengarahkan keinginan kerja dan konsumsi masyarakat. Sedangkan fungsi
stabilisasi (stabilization) adalah fungsi APBN yang bersifat antisiklis, seperti yang
dijelaskan dalam pembahasan tentang politik anggaran di muka. Dalam kondisi resesi
sebaiknya pemerintah menempuh politik anggaran defisit (deficit budget) untuk
menstimulans permintaan, sedangkan dalam kondisi ekonomi membaik (recovery)
ditempuh anggaran surplus untuk menekan laju inflasi. Pilihan lain adalah anggaran
berimbang (balance budget), baik pada kondisi resesi maupun pemulihan.
Teori fiskal berlatar belakang perekonomian Barat yang relatif maju dan
berorientasi pasar. Sangat berbeda dengan kondisi Indonesia yang mengalami
kelemahan mendasar, baik di sisi permintaan maupun penawaran. Karena itu,
anggaran negara (APBN) Indonesia berorientasi pembangunan; APBN tidak hanya
sekadar peralatan antisiklis, melainkan juga harus sekaligus sebagai instrumen
pembangunan. Hal itu terlihat dari struktur APBN selama pemerintahan Orba seperti di
bawah ini.
Struktur Dasar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Penerimaan Pengeluaran
A. Penerimaan Dalam Negeri C. Pengeluaran Rutin
1. Penerimaan Migas 1. Belanja Pegawai
2. Penerimaan Pajak 2. Belanja Barang
3. Penerimaan Bukan Pajak 3. Subsidi Daerah Otonom
. 4. Bunga dan Cicilan Utang
5. Lain lain
D. Pengeluaran
B. Penerimaan Pembangunan 1. Pengeluaran Pembangunan
Pembangunan 2. Pembiayaan Rupiah
1. Bantuan Program
2. Bantuan Proyek
Fungsi pembangunan dari APBN dapat dilihat pada sisi penerimaan dan pengeluaran
pembangunan. Penerimaan pembangunan pada prinsipnya adalah bantuan dan atau
utang luar negeri pemerintah (external public debt). Penerimaan pembangunan bukan
merupakan utang luar negeri (ULN) selama diterima dalam bentuk bantuan program,
tetapi jumlahnya kecil sekali dan dalam APBN beberapa tahun terakhir saldo pos
bantuan program sudah nol.
Pengeluaran pembangunan adalah pengeluaran-pengeluaran yang bukan saja
ditujukan untuk meningkatkan kapasitas pemerintah, tetapi juga perekonomian dan
kesejahteraan rakyat. Dana pengeluaran pembangunan mencakup 18 sektor, yang
dapat diringkas menjadi empat jenis pengeluaran pembangunan: 1) Sarana, prasarana
ekonomi: pengeluaran untuk pembangunan jalan raya, pelabuhan, kapasitas listrik,
energi dan lain-lain, 2) Peningkatan sumber daya manusia (SDM): pendidikan,
kesehatan dan peranan wanita, 3) Peningkatan kesejahteraan rakyat: pembangunan
perumahan, pengembangan kehidupan beragama, dan 4) Peningkatan kapasitas
pernerintahan: anggaran pengembangan aparatur pemerintahan.
1. APBN PJP I
APBN dikatakan fungsional dilihat dari besarnya pengeluaran pembangunan
yang harus selalu sama dengan kemampuan pendanaan. Mengingat pengeluaran
pembangunan selalu lebih besar daripada penerimaan pembangunan, harus ada
sumber pengimbangnya. Di sisi pengeluaran pembangunan, pos pengimbangnya
adalah pembiayaan rupiah; Sumber dananya adalah tabungan pemerintah. Selama
PJP I peran tabungan pemerintah sebagai sumber dana pembangunan cukup
signifikan.
Tidak semua ahli setuju bahwa APBN adalah berimbang. Kelompok ini
berpendapat bahwa APBN Indonesia merupakan anggaran defisit, karena adanya
komponen penerimaan pembangunan. Karenanya APBN Indonesia adalah anggaran
berimbang semu (quasy balanced budget).
2. APBN 1994/95-1997/98
Periode 1994/95-1997/98 adalah masa peralihan era Orde Baru (Orba) ke Orde
Reformasi. Selama periode ini total nilai akumulasi APBN adalah Rp 390 triliun; suatu
peningkatan yang luar biasa, sebab nilai APBN empat tahun terakhir pemerintahan Orba
adalah setara 80% APBN 25 tahun pertama. Pertumbuhan APBN periode ini 20% per
tahun, sementara pertumbuhan ekonomi sekitar 6% per tahun. Dengan demikian
sampai akhir pemerintahannya, Orba tetap menggunakan APBN sebagai salah satu
motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi.
Politik anggaran yang ditempuh tetaplah anggaran berimbang, yang oleh beberapa
pengamat ekonomi disebut sebagai anggaran berimbang semu. Sebab selama 1994/
95-1997/98 total penerimaan pembangunan mencapai Rp55 triliun, atau sekitar 15% total
penerimaan APBN (yang dapat dianggap sebagai defisit anggaran).
Selama periode ini struktur penerimaan makin membaik. Pemerintah berhasil
mempertahankan penerimaan nonmigas sebagai sumber utama PDN. Dari sekitar
Rp335 triliun PDN, Rp250 triliun (75%) merupakan penerimaan nonmigas; Sebesar
Rp217 triliun adalah penerimaan pajak, Sumbangsih penerimaan pajak terhadap PDN
mencapai 65%. Yang masih tetap kecil sumbangsihnya adalah penerimaan nonmigas
bukan pajak; Nilainya hanya sekitar Rp33 triliun, atau masih tetap sekitar 10% PDN.
Total pengeluaran mencapai sekitar Rp385 triliun, Rp143 triliun adalah
pengeluaran pembangunan (37%), sedangkan Rp242 triliun (63%) merupakan
pengeluaran rutin. Yang perlu mendapat perhatian adalah komposisi pengeluaran rutin.
Sebesar Rp98 triliun di antaranya merupakan pembayaran bunga dan cicilan utang, atau
sekitar 41% pengeluaran rutin; Jumlah ini jauh lebih besar daripada pengeluaran
belanja pegawai, yang hanya Rp59 triliun (24% pengeluaran rutin). Padahal selama
ini pos pengeluaran rutin terbesar adalah belanja pegawai. Membengkaknya
pengeluaran bunga dan cicilan utang terutama disebabkan makin banyaknya ULN yang
jatuh tempo.
APBN berlaku sebagai pedoman clan program kerja pemerintah untuk waktu
satu tahun. APBN menyangkut kepentingan rakyat banyak. Oleh karena itu perlu
adanya pengawasan untuk menjamin tercapainya sasaran yang telah ditentukan.
Dengan dasar APBN ini pemerintah harus bisa mengambil langkah-langkah yang dapat
memperkuat landasan bagi iklim usaha yang menggairahkan investasi. Guna mencapai
sasaran tersebut, penyusunan APBN dilakukan dengan menitikberatkan pada hal-hal
berikut.
a. Mengendalikan dan menurunkan secara bertahap defisit APBN menuju APBN yang
seimbang.
b. Melanjutkan upaya penurunan jumlah utang publik clan rasionya terhadap PDB, guna
meringankan beban utang pemerinah secara cepat dalam jangka menengah.
c. Meningkatkan penerimaan pajak secara progresif yang adil clan jujur, mengurangi
subsidi, menghemat anggaran belanja negara, serta meningkatkan disiplin anggaran.
d. Memantapkan proses desentralisasi, dengan tetap mengupayakan pemerataan
kemampuan keuangan antardaerah, yang sesuai dengan asas keadilan dan sepadan
dengan besarnya kewenangan yang diserahkan pemerintah pusat kepada daerah.
Ada beberapa kelebihan dari perubahan kebijakan anggaran yang baru tersebut,
yaitu:
a. Perubahan periode APBN dari bulan April-Maret menjadi bulan Januari-Desember
secara administrasi akan memudahkan koordinasi, baik dengan kegiatan ekonomi
domestik maupun internasional. Perubahan ini juga memudahkan para pengamat
ekonomi untuk melihat dampak APBN terhadap kinerja perekonomian, sebab kinerja
perekonomian juga dianalisis pada periode bulan Januari-Desember. Kemudahan
evaluasi akan membantu pemerintah karena mendapat masukan berupa evaluasi/
kritik terhadap APBN setiap akhir tahun.
b. Struktur APBN yang satu lajur memberikan informasi yang lebih transparan tentang
kebijakan anggaran yang ditempuh pemerintah. Misalnya pada RAPBN tahun 2005.
Dengan melihat bagian D (surplus/ defisit anggaran) segera akan diketahui bahwa
kebijakan anggaran yang ditempuh pemerintah adalah anggaran defisit, clan
bagaimana defisit tersebut kemudian dibiayai pada bagian E (pembiayaan).
c. Struktur APBN yang baru menyiratkan bahwa pemerintah makin memperhatikan
aspek demokrasi clan desentralisasi. Pemerintah tampaknya makin rela untuk
memberikan wewenang keuangan kepada pemerintah daerah dengan
memperhatikan kepentingan daerah dan nasional. Hal ini terlihat dari munculnya pos
Dana Perimbangan.