Steven Johnson Syndrome

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 26

Laporan Kasus

Steven-Johnson Syndrome

Oleh :
Nama : Muhammad Nauval
NIM : H1A 007 042

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN ILMU PENYAKIT ANAK
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2012
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Steven-Johnson Syndrome (SJS) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi
mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium
serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu,
eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-
okular, dermatostomatitis, dan lain-lain.(Adithan,2006).
Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) bersama Steven-Johnson Syndrome (SJS)
merupakan reaksi mukokutaneus membahayakan dengan karakteristik nekrosis ekstensif dan
pelepasan epidermis. TEN dan SJS adalah gangguan langka dengan angka insidensi 1 – 6 kasus
per 1 juta orang per tahun (Valeyrie-Alanore, 2008). Insidensi TEN dilaporkan adalah 0,4 – 1,2
kejadian tiap 1 juta orang/tahun, dengan kasus tersering terjadi pada usia > 40 tahun (Wolff,
2008).
Kesamaan gambaran klinis, histopatologis, etiologi akibat obat, dan mekanisme,
membuat SJS dan TEN dikelompokkan menjadi satu kelompok penyakit epidermal necrolysis.
Karakteristik epidermal necrolysis (EN) adalah apoptosis keratinosit dan pengelupasan
epidermis sehingga area dermis terpapar lingkungan luar, serupa dengan luka bakar. TEN dan
SJS dibedakan berdasarkan luas perlukaan tubuh yang terlibat. Karakteristik SJS adalah
pengelupasan kulit kurang dari 10% total body surface area (TBSA), sedangkan lebih dari 30%
TBSA terlibat pada TEN (Widgerow, 2011). Nekrolisis yang melibatkan 10% - 30% TBSA
didefinisikan sebagai SJS-TEN overlaping (Harr, 2010). Etiologi dan patofisiologi EN belum
diketahui secara jelas, namun faktor genetik yang berpengaruh terhadap hipersensitivitas
terhadap obat merupakan faktor yang paling banyak diteliti (Harr, 2010).

ETIOLOGI

Golongan obat yang dapat penyebabkan EN, terbagi menurut resikonya dan tersaji dalam
tabel berikut:
Gambar 1. Tabel Resiko Epidermal Necrolysis pada Berbagai Obat
Sumber: Valeyrie-Allanore, L & Roujeau, Jean Claude. 2008. Epidermal Necrolysis (Stevens-Johnson
Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis) dalam: Fizpatrick’s Dermatology in General Medicine. The
McGraw-Hill Companies. p. 350.

PATOFISIOLOGI

SJS merupakan kelainan hipersensitivitas yang dimediasi kompleks imun yang


disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus dan keganasan. Akhir-akhir ini kokain dimasukkan
dalam daftar obat yang dapat menyebabkan SJS. Sampai dengan setengah dari total kasus, tidak
ada etiologi spesifik yang telah diidentifikasi.
SJS sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe II (sitolitik) menurut
Coomb dan Gel. Gejala klinis atau gejala reaksi bergantung kepada sel sasaran (target cell).
Sasaran utama SJS dan NET ialah pada kulit berupa destruksi keratinosit. Pada alergi obat akan
terjadi aktivitas sel T, termasuk CD4 dan CD8, IL-5 meningkat, juga sitokin-sitokin lain. CD4
terutama terdapat di dermis, CD8 di epidermis. Keratinosit epidermis mengekspresikan ICAM-
1, ICAM-2 dan MHC-II. Sel langerhans tidak ada atau sedikit. TNF alfa meningkat di
epidermis. Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi
(Carroll, 2001) :
1. Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan
2. Stres hormonal diikuti peningkatan resisitensi terhadap insulin, hiperglikemia dan
glukosuriat
3. Kegagalan termoregulasi
4. Kegagalan fungsi imun
5. Infeksi
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan yang dapat
berupa didahului panas tinggi, dan nyeri kontinyu. Erupsi timbul mendadak, gejala bermula
di mukosa mulut berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul mukosa mata, genitalia
sehingga terbentuk trias (stomatitis, konjunctivitis, dan uretritis). Gejala prodormal tidak
spesifik, dapat berlangsung hingga 2 minggu. Keadaan ini dapat menyembuh dalam 3-4
minggu tanpa sisa, beberapa penderita mengalami kerusakan mata permanen. Kelainan pada
selaput lendir, mulut dan bibir selalu ditemukan. Dapat meluas ke faring sehingga pada kasus
yang berat penderita tak dapat makan dan minum. Pada bibir sering dijumpai krusta hemoragik
(Ilyas, 2004).
Walaupun tidak sepenuhnya relevan dengan praktek keadaan gawat darurat,
penelitian terhadap patofisiologi SJS/NET dapat memberikan kesempatan pemeriksaan untuk
membantu diagnosis selain untuk membantu pasien yang memiliki resiko.
Terdapat juga bukti kuat mengenai predisposisi genetik pada reaksi kutaneus berat dari
efek samping obat seperti SJS. FDA dan Health Canada menyarankan screening terhadap
antigen leukosit manusia, HLA-B*1502, pada pasien etnis Asia Tenggara sebelum memulai
terapi dengan karbamazepin. Antigen lainnya, HLA-B*5801, memberikan reaksi yang
berhubungan dengan allopurinol.. Screening sebelum terapi belum tersedia.

Manifestasi Klinis
SJS dan TEN biasanya mulai dengan gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa
demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang
sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Kemudian pasien
mengalami ruam datar berwarna merah pada muka dan batang tubuh, sering kali kemudian
meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak rata. Daerah ruam membesar dan meluas,
sering membentuk lepuh pada tengahnya. Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah dilepas bila
digosok. Secara khas, proses penyakit dimulai dengan infeksi nonspesifik saluran napas atas.
Lesi mukokutaneus berkembang cepat. Kelompok lesi yang berkembang akan bertahan
dari 2-4 minggu. Lesi tersebut bersifat nonpruritik. Riwayat demam atau perburukan lokal
harus dipikirkan ke arah superinfeksi, demam dilaporkan terjadi sampai 85% dari seluruh
kasus.
Gejala pada membran mukosa oral dapat cukup berat sehingga pasien tidak dapat
makan dan minum. Pasien dengan gejala genitourinari dapat memberi keluhan disuria. Riwayat
penyakit SJS atau eritema multiforme dapat ditemukan. Rekurensi dapat terjadi apabila agen
yang menyebabkan tidak tereliminasi atau pasien mengalami pajanan kembali.
Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan sentuhan halus.
Pada banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang. Daerah kulit yang
terpengaruh sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan panas-dingin dan demam. Pada
beberapa orang, kuku dan rambut rontok (Adithan, 2006).
Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan sama-sama
berbahaya. Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat merembes dari daerah
kulit yang rusak. Daerah tersebut sangat rentan terhadap infeksi, yang menjadi penyebab
kematian utama akibat TEN.
Mengenal gejala awal SJS dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik untuk
mengurangi efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang yang mengalaminya.
Gejala awal termasuk (Mansjoer, 2002) :
a) Ruam
b) Lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin
c) Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh
tubuh.
d) Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna merah.
Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada membran
mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra.
Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama.
e) Bengkak di kelopak mata, atau mata merah.
f) Pada mata terjadi: konjungtivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam
kelopak mata dan bola mata), konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis,
iridosiklitis, simblefaron, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat
terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa
okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial
pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan
kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial
pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.

Epidermal Necrolysis merupakan suatu kelompok penyakit yang terdiri atas Stevens-
Johnson Syndrome, dan Toxic Epidermal Necrolysis. Penyakit dalam kelompok EN dibedakan
berdasarkan luas area tubuh yang terlibat. Suatu EN disebut sebagai SJS bila luas permukaan
tubuh yang terkena <10%, disebut sebagai TEN bila luas permukaan tubuh yang terkena >30%,
dan disebut SJS-TEN overlap pada keadaan luas permukaan tubuh yang terlibat antara 10 –
30%. Perkiraan luas permukaan tubuh yang terlibat diilustrasikan pada gambar berikut:
Gambar 2. Diagnosis Penyakit dalam Kelompok Epidermal Necrolysis berdasarkan luas
permukaan tubuh yang terlibat.
Sumber: Harr Thomas & French Lars E. 2010. ‘Toxic Epidermal Necrolysis and Stevens-Johnson
Syndrome’ Orphanet Journal of Rare Disease 5:39, p. 3.

Luas permukaan tubuh yang terlibat pada pasien dapat dihitung menggunakan rumus
perhitungan luas luka bakar. Pada orang dewasa terdapat beberapa cara untuk menghitung luas
permukaan tubuh yang terlibat dalam luka bakar. Role of 9 merupakan cara yang paling sering
digunakan, dengan tambahan ‘age-adjusted burn chart/diagram’ untuk perhitungan luas
permukaan tubuh dengan lebih detail. Cara-cara menghitung luas permukaan tubuh dalam
penanganan luka bakar tersaji dalam tiga gambar berikut ini:
Gambar 3. Diagram ‘role of 9’
Sumber: Irwin Richard S., & Rippe James M. 2008. Burn Management, dalam: Irwin and
Rippe’s Intensive Care Medicine, 6th Edition. Lippincott Williams and Wilkins. p. – (e-book).

Gambar 4. Berkow Chart for The Estimation of Burn Size


Sumber: Irwin Richard S., & Rippe James M. 2008. Burn Management, dalam: Irwin and
Rippe’s Intensive Care Medicine, 6th Edition. Lippincott Williams and Wilkins. p. – (e-book).
Gambar 5. Aged Adjusted Burn Diagram.
Sumber: Fritz, David A. 2008. Burn and Smoke Inhalation, dalam: Current Diagnosis and Treatment
Emergency Medicine, 6th Edition. Lange Medical Book – Mcgraw-Hill Companies. p. – (e-book).

Luas area tubuh yang terlibat pada EN bukan hanya dihitung berdasarkan luas denuded area,
yaitu dermis yang terkelupas, namun juga luas denudable area yang ditandai dengan Nikolsky
sign (+).

TATALAKSANA

Terapi pada pasien TEN/SJS terbagi menjadi terapi simtomatis atau suportif dan terapi
spesifik. Terapi suportif bertujuan menjaga keseimbangan hemodinamik dan mencegah
komplikasi berbahaya. Nekrosis dan pengelupasan epidermis menyebabkan hilangnya cairan
tubuh secara signifikan. Wolff et al (2007) menyarankan terapi cairan pada TEN sesuai dengan
terapi cairan pada luka bakar derajat tiga, sedangkan Valeyrie-Allanore et al (2008)
menyebutkan bahwa akibat tidak adanya edema interstisial pada TEN seperti yang terjadi pada
luka bakar, maka terapi cairan yang dibutuhkan biasanya lebih sedikit dari terapi cairan yang
dibutuhkan pasien luka bakar dengan derajat yang sama.
Tujuan untuk mencapai keseimbangan hemodinamik dicapai dengan mengatur jumlah
cairan yang diberikan kepada pasien untuk menghasilkan jumlah urine normal (di atas 1
ml/kgBB/jam pada penderita luka bakar). Perhitungan untuk menentukan jumlah cairan yang
diperlukan pada penderita luka bakar dapat dihitung dengan rumus Evans atau Baxter
Evans : 1. Luas luka (%) x BB (kg) = ml NaCl/24jam
2. Luas luka (%) x BB (kg) = ml plasma/24jam
3. 2000 ml Glukosa 5%/24jam
Separuh jumlah cairan 1+2+3 diberukan dalam 8 jam pertama, sisanya 16 jam
berikutnya. Pada hari kedua diberikan jumlah cairan setengah dari jumlah awal,
dan pada hari ke tiga diberikan setengah dari jumlah hari kedua. Bila pada hari
ketiga pasien sudah bisa minum dengan baik dan diuresis memuaskan, infus dapat
dikurangi bahkan dihentikan.
Baxter : Luas luka (%) x BB (kg) x 4 ml
Separuh jumlah cairan ini diberikan pada 8 jam pertama, sisanya diberikan dalam
16 jam berikutnya. Pada hari pertama diberikan RL sebagai pengganti cairan
sekaligus elektrolit. Hari kedua diberikan setengah jumlah cairan pada hari
pertama.
Terapi cairan disebut berhasil bila diuresis pada penderita sekurang-kurangnya 1 ml/kgBB/jam.
Bila penderita sudah mampu minum dan peristaltis baik, maka minum dapat diberikan dengan
aturan sebanyak 25 ml/kgBB/hari sampai diuresis sekurang-kurangnya mencapai 30 ml/jam.
Sesuai pernyataan Valeyrie-Allanore et al (2008) bahwa terapi cairan pada TEN/SJS tidak
sebanyak terapi cairan pada luka bakar dengan derajat yang sama akibat tidak terbentuknya
edema interstisial, maka jumlah cairan maintenance yang digunakan kurang dari angka di atas.
Hanya perlu dipertahankan urine output sebesar 1000 sampai 1500 ml/24 jam.
Penggunaan kortikosteroid sistemik masih kontroversial tetapi mungkin berguna jika
diberikan dalam dosis tinggi pada fase awal penyakit. Morbiditas dan mortalitas dapat
meningkat berhubungan dengan penggunaan kortikosteroid. Imunoglobulin IV telah
dijabarkan sebagai terapi dan profilaksis.
Pada umumnya penderita SJS datang dengan keadaan umum berat sehingga terapi
yang diberikan biasanya adalah :
 Terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.
 Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi
kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.
 Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian
selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih
kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak
bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan,
namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan
nyawa.
 Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat
dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12
tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan
dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis,
1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.
 Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.
 Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.
 Lesi mulut diberi kenalog in orabase.
 Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi,
berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya
klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.
 Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0,5 mg/kg BB pada hari 1, 2,
3, 4, dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS
dalam proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS (Adithan, 2006).
Sedangkan terapi sindrom Steven Johnson pada mata dapat diberikan dengan :
 Pemberian obat tetes mata baik antibiotik, kortikosteroid maupun yang bersifat
garam fisiologis setiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan
terjadinya kekeringan pada bola mata.
 Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah terjadinya
perlekatan konjungtiva.

PROGNOSIS
Kematian pasien ini merupakan gabungan dari beberapa faktor. Sejak awal, pasien telah
datang dengan prognosis mortalitas buruk, dengan SCORTEN skor 4 atau mortalitas yang
diperkirakan akan terjadi sebesar 62,2% (tidak termasuk pemeriksaan bikarbonat yang
seharusnya juga digunakan untuk menentukan prognosis). Indikator dan perkiraan mortalitas
disajukan dalam gambar berikut:
Gambar 6. SCORTEN scoring system
Sumber: Abood Gerard J., Nickoloff Brian J., Gamelli Richard L. 2008. ‘Treatment Strategies in Toxic
Epidermal Necrolysis Syndrome: Where Are We At?’ Journal of Burn Care and Research Volume 29,
Number1, January/February 2008, American Burn Association. p.272.

Gambar 7. Perkiraan mortalitas berdasarkan skor total SCORTEN


Sumber: Abood Gerard J., Nickoloff Brian J., Gamelli Richard L. 2008. ‘Treatment Strategies in Toxic
Epidermal Necrolysis Syndrome: Where Are We At?’ Journal of Burn Care and Research Volume 29,
Number1, January/February 2008, American Burn Association. p.272.
KOMPLIKASI
Steven Johnson Syndrome sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai berikut:
 Oftalmologi – ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan
 Gastroenterologi - Esophageal strictures
 Genitourinaria – nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis
vagina
 Pulmonari – pneumonia
 Kutaneus – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit
sekunder
 Infeksi sitemik, sepsis
 Kehilangan cairan tubuh, shock.
Komplikasi awal yang mengenai mata dapat timbul dalam hitungan jam sampai hari, dengan
ditandai timbulnya konjungtivitis yang bersamaan pada kedua mata. Akibat adanya perlukaan
di konjungtiva dapat menyebabkan pseudomembran atau konjungtivitis membranosa, yang
dapat mengakibatkan sikatrik konjungtivitis. Pada komplilasi yang lebih lanjut dapat
menimbulkan perlukaan pada palpebra yang mendorong terjadinya ektropion, entropion,
trikriasis dan lagoftalmus. Penyembuhan konjungtiva meninggalkan perlukaan yang dapat
berakibat simblefaron dan ankyloblefaron. Defisiensi air mata sering menyebabkan masalah
dan hal tersebut sebagai tanda menuju ke fase komplikasi yang terakhir. Yang mana komplikasi
tersebut beralih dari komplikasi pada konjungtiva ke komplikasi pada kornea dengan kelainan
pada permukaan bola mata. Fase terakhir pada komplikasi kornea meningkat dari hanya berupa
pemaparan kornea sampai terjadinya keratitis epitelial pungtata, defek epitelial yang rekuren,
hingga timbulnya pembuluh darah baru (neovaskularisasi pada kornea) yang dapat berujung
pada kebutaan. Akhirnya bila daya tahan tubuh penderita menurun ditambah dengan adanya
kelainan akibat komplikasi-komplikasi di atas akan menimbulkan komplikasi yang lebih serius
seperti peradangan pada kornea dan sklera. Peradangan atau infeksi yang tak terkontrol akan
mengakibatkan terjadinya perforasi kornea, endoftalmitis dan panoftalmitis yang pada
akhirnya harus dilakukan eviserasi dan enukleasi bola mata.
LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien

 Nama : An. A.S.


 No. RM : 053773
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Umur : 13 tahun
 Alamat : Kr. Taliwang, Mataram
 Suku : Sasak
 Bangsa : Indonesia
 Agama : Islam
 Pendidikan terakhir : SD
 Pekerjaan : Pelajar
 Tgl MRS : 29-08-2012
 Tgl Pemeriksaan : 31-08-2012
Ibu Ayah
Nama Ny D Tn A
Umur 28 tahun 29 tahun
Pendidikan / berapa tahun SD SMP
Pekerjaan - Tukang

2. Anamnesis
a) Keluhan Utama: kulit seluruh tubuh menghitam dan terkelupas.

b) Riwayat Penyakit Sekarang: pasien datang ke UGD RSU NTB pada tanggal 29
Agustus 2012 dengan keluhan kulit seluruh tubuh menghitam dan terkelupas sejak 2
hari SMRS. Awalnya timbul bintik-bintik merah berisi cairan pada bibir dan hampir
seluruh wajah. Kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Ukuran bintik-bintik awalnya
seperti titik kemudian membesar dengan cepat. Tidak disertai rasa gatal, nyeri, dan rasa
terbakar. Selain timbul gelembung-gelembung di kulit, pasien juga merasa sariawan
yang diderita bertambah parah dan tidak sembuh, sangat nyeri dan berdarah bila mulut
diregangkan, sampai pasien mulai sulit membuka mulut atau makan, namun masih bisa
minum dengan bantuan sedotan.

Sebelumnya pasien mengalami demam selama 5 hari SMRS. Demam dirasakan terus
menerus hingga menggigil. dan diberikan obat/jamu Merk “Shoe Shie Tan” yang dibeli
di warung 1 hari sebelum muncul bintik-bintik merah. Keesokan hari timbul bercak-
bercak merah yang tidak meninggi dan tidak gatal pada kulit tubuh. Pasien menyangkal
pernah mengalami kejang, nyeri kepala, maupun batuk pilek saat demam.
Pasien juga mengeluhkan perutnya terasa mual, dan panas. Riwayat muntah disangkal
pasien. Rasa mual dirasakan sejak mengalami sariawan pada bibirnya.
BAK pasien normal berwarna kuning, jernih frekuaensi 3x/hari terakhir BAK 3 jam
SMRS. BAB pasien normal, frekuensi 2x/hari konsistensi lunak, warna kecoklatan,
tidak terdapat darah, tidak terdapat BAB kehitaman.
c) Riwayat Penyakit Dahulu: pasien tidak pernah mengalami penyakit seperti ini
sebelumnya. Riwayat sakit Asma (-), Penyakit Jantung (-), darah tinggi (-).
d) Riwayat Penyakit Keluarga: riwayat keluarga dengan alergi obat/makanan/cuaca (-)
Riwayat keluarga dengan penyakit serupa disangkal.
e) Riwayat Alergi: Riwayat alergi makanan (-), obat (-), debu/cuaca (-)
f) Riwayat Penggunaan Obat: pasien minum jamu/obat merk “Shoe Shie Tan”
sebelumnya. Setelah muncul gejala kulit, pasien di bawa ke PKM kemudian diberikan
obat Amoxicillin, salep Bacitracin-Polymixin B, salep Hydrokortison, CTM dan
Vitamin B kompleks.
g) Riwayat Kehamilan dan Persalinan : Riwayat sakit selama ibu pasien hamil (-)
ANC rutin di posyandu. Pasien anak kedua dari dua bersaudara, lahir spontan ditolong
bidan, lahir langsung menangis, berat badan lahir 3000 gram. Riwayat kuning / biru
setelah lahir (-).
h) Riwayat Nutrisi: Pasien diberikan ASI eksklusif sampai umur 6 bulan, setelah itu
diberi bubur serta diselingi dengan ASI sampai umur 2 tahun. Pasien mulai diberikan
nasi sejak umur 7 bulan.
i) Riwayat Imunisasi: pasien telah di Imunisasi sesuai jadwal posyandu.
j) Riwayat Sosial Ekonomi: Pasien tinggal bersama orangtuanya dalam satu rumah.
lantai semen, atap genteng, memiliki jamban, dapur di dalam rumah, memasak dengan
kompor. Pasien tinggal di daerah perkampungan yang jarak antar rumah saling
berdekatan, namun ventilasi ruangan cukup. Pasien sering makan snack anak-anak yang
dijual diwarung-warung. Pasien tidak pernah mengalami alergi terhadap makanan
ataupun minuman.

Pemeriksaan Fisik
 Kesadaran: Compos Mentis
o Keadaan umum : sedang
o Kesadaran : compos mentis
o Gizi : kurang
o Tekanan Darah : 110/60 mmHg
o Nadi : 80 kali per menit, reguler, isi dan tegangan cukup
o Pernafasan : 24 kali per menit,abdominothoracal
o Suhu : 37o C
o Berat Badan : 26 kg
o Tinggi Badan : 141 cm
o Lingkar kepala : 44 cm
 Status Gizi
Z Score :
TB/BB: -1 SD (gizi normal)
BB/U : (-1) - (-2) SD
TB/U : -2 SD

Status General

 Status Generalis
Kepala:
• Bentuk : bulat lonjong, Ukuran: Normocephali, Kelainan yang ada: (-), Ubun-
ubun besar : tertutup.
• Mata : An -/-, ikt -/-, RP +/+, Isokor, Edema palpebra -/-
• Mulut : Bibir sianosis (-), krusta (+), ulkus (+)
• hidung : Napas cuping hidung (-), rhinorhea (-)
• Leher : Kaku kuduk (-)
Thorax :
• Inspeksi : Retraksi(-), pergerakan dinding dada simetris, deformitas(-).
• Palpasi : Fremitus vokal N (simetris kanan-kiri).
• Perkusi : Pulmo: sonor pada seluruh lapang paru.
• Auskultasi : Pulmo : ves +/+, rh -/-, wh -/-
Cor : S1S2, tunggal, reguler, murmur (-), gal (-)
Abdomen :
Inspeksi :
- Bentuk : distensi (-)
- Umbilicus : masuk merata
- Permukaan Kulit : sikatrik (-), pucat (-), sianosis (-), vena kolateral (-), caput
meducae (-), papula (-), petekie (-), purpura (-), ekimosis (-)
Auskultasi :
- Bising usus (+) normal
- Metallic sound (-)
- Bising aorta (-)
Palpasi :
- Turgor : normal
- Tonus : normal
- Nyeri tekan : (-)
- Hepar/Lien/Ginjal: tidak teraba
Perkusi :
- Timpani (+), Redup beralih (-)
- Nyeri ketok CVA: -/-
Extremitas :
Ekstremitas atas :
- Akral hangat : +/+
- Deformitas : -/-
- Sendi : dalam batas normal
- Edema: -/-
- Sianosis : -/-
- Clubbing finger: -/-
- Infus terpasang
Ekstremitas bawah:
- Akral hangat : +/+
- Deformitas : -/-
- Sendi : dalam batas normal
- Edema : -/-
- Gangren : -/-
- Sianosis : -/-
- Clubbing finger: -/-

Pemeriksaan Genitourinaria :

- Mukosa glans penis: erosi hiperemis membasah di seluruh permukaan glans, nyeri
sentuh (+).

 Status lokalis kulit:


o Terdapat denuded area di bagian belakang tubuh, mulai dari daerah cervical
posterior meluas sampai ke punggung bagian atas. Denuded area membasah dengan
dasar hiperemis, mudah berdarah pada penekanan, dan nyeri sentuh (+).
o Terdapat area epidermolysis pada hampir seluruh permukaan tubuh, Nikolsky Sign
(+) pada permukaan kulit wajah, leher, dada, punggung dan kemaluan.
o Bula (+), vesikel (-)
o Mukosa labium oris superior et inferior: krusta tebal kehitaman, menutupi
seluruh permukaan bibir, darah (-), sangat nyeri sampai sulit membuka
mulut.
 Status Lokalis Mata
OD OS
Visus Naturalis > 3/60 > 3/60
(bedside)
Pin-hole - -

Lapang Pandang
(Tes Konfrontasi) Normal di segala arah Normal di segala arah

Fotofobia (-) (-)

Kedudukan Bola Mata


1. Tes Hirschberg Simetris di kedua mata Simetris di kedua mata

2. Tes Cover-Uncover Strabismus (-) Strabismus (-)

Gerak Bola Mata Normal ke segala arah Normal ke segala arah


Nyeri Saat Pergerakan (-) (-)
Bola Mata
Palpebra Superior
1. Edema (+) (+)
2. Hiperemi (-) (-)
3. Blepharospasme (-) (-)
4. Pseudoptosis (-) (-)

Palpebra Inferior
1. Edema (-) (-)
2. Hiperemi (-) (-)
Lebar Fisura Palpebra ± 6 mm ± 6 mm

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Hasil pemeriksaan Darah Lengkap :
Parameter 29-08-2012 Normal
HGB 13,9 L : 13,0-18,0 g/dL
RBC 5.17 L : 4,5 – 5,5 [10^6/µL]
WBC 6.8 4,0 – 11,0 [10^3/ µL]
HCT 39.9 L : 40-50 [%]
MCV 77.2 82,0 – 92,0 [fL]
MCH 26.9 27,0-31,0 [pg]
MCHC 34.8 32,0-37,0 [g/dL]
PLT 204 150-400 [10^3/ µL]

b. Hasil Pemeriksaan Kimia Klinik :


Parameter 29-08-2012 Normal
GDS 117 < 160 mg/dl
Creatinin 0,8 L : 0,9-1,3 mg/dl
Ureum 47 6-26 mg/dl
SGOT 32 < 40
SGPT 13 <41

DIAGNOSIS
Steven-Johnson Syndrome (SJS)
RENCANA AWAL
 IVFD
o Maintenance 1500 ml/m2 + [(25 + % TBSA burn) x m2 x 24 = 1500 + 1176 = 2676
ml.
 Metylprednisolone IV 125mg/8jam
 Ceftriaxon 2 gr/hari  skin test
 Sucralfate Syrup 3x1 sendok makan
 Ranitidin 4mg/8 jam IV
 Borax gliserin untuk bibir
 Tetes mata:
o Levofloxacin 4x/hari ODS
o Lyteers tiap jam ODS
o Xytrol 6x/hari ODS
 Analgetik bila perlu

Observasi vital sign, produksi urine dan cek DL, Fl, UL.

PROGNOSIS

Bonam
FOLLOW UP
Tanggal Keluhan Diagnosis Terapi
29-08-2012 S: kulit melepuh (+), mual (+), SJS  Infuse RL 20tpm
demam (-)  Ranitidin
O: 40mg/8jam
KU: sedang  Metilprednisolon
Kes: cm 125mg/8jam
Bb: 26 kg  Obs. KU dan VS
TD: 110/60 mmHg
RR: 24x/menit
Nadi: 80x/menit kuat, teratur.
T ax: 37,0 oC
Status generalis:
Kepala: normocehalic
Mata:anem-/-, ikt-/-
Thorax : retraksi dinding dada(-)
, cor: S1S2 tunggal reguler
murmur (-), gallop(-).
Pulmo : vesikuler +/+, ronki -/-,
whezzing-/-
Abdomen: distensi(-) Supel BU
(+) N
Extrimitas :
Akral Hangat :+/+
Lab :
HB : 13,9 g/dl
HCT : 39,9 %
WBC : 6,8
RBC : 5,17
PLT : 204
MCV : 77,2
MCH : 36,9
MCHC : 34,8
30-08-2012 S: kulit melepuh (+), mual (+), SJS  Infuse RL 20tpm
demam (-)  Inj. Ranitidin
O: 40mg/8jam
KU: sedang  Plantacid 3 x 1 cth
Kes: cm  Inj.
Bb: 26 kg Metilprednisolon
TD: 110/60 mmHg 125mg/8jam
RR: 30x/menit  Cefotaxime
1gr/8jam
Nadi: 80x/menit kuat, teratur.
 Eritromicin 3 x
T ax: 36,6 oC
250mg (oral)
Status generalis:
 C. Xytrol 4 x 1 gtt
Kepala: normocehalic ODS
Mata:anem-/-, ikt-/-  Lyteers tiap jam
Thorax : retraksi dinding dada(-) ODS
, cor: S1S2 tunggal reguler  LFX 6 x 1 gtt ODS
murmur (-), gallop(-).  Obs. KU dan VS
Pulmo : vesikuler +/+, ronki -/-,
whezzing-/-
Abdomen: distensi(-) Supel BU
(+) N
Extrimitas :
Akral Hangat :+/+
01-09-2012 S: kulit melepuh (+), mual (-), SJS  Terapi lanjut
demam (-)
O:
KU: sedang
Kes: cm
Bb: 26 kg
TD: 110/60 mmHg
RR: 30x/menit
Nadi: 80x/menit kuat, teratur.
T ax: 36,3 oC
Status generalis:
Kepala: normocehalic
Mata:anem-/-, ikt-/-
Thorax : retraksi dinding dada(-)
, cor: S1S2 tunggal reguler
murmur (-), gallop(-).
Pulmo : vesikuler +/+, ronki -/-,
whezzing-/-
Abdomen: distensi(-) Supel BU
(+) N
Extrimitas :
Akral Hangat :+/+
02-09-2012 S: kulit melepuh (+), mual (-), SJS  Terapi lanjut
demam (-)
O:
KU: sedang
Kes: cm
Bb: 26 kg
TD: 110/60 mmHg
RR: 20x/menit
Nadi: 84x/menit kuat, teratur.
T ax: 37,0 oC
Status generalis:
Kepala: normocehalic
Mata:anem-/-, ikt-/-
Thorax : retraksi dinding dada(-)
, cor: S1S2 tunggal reguler
murmur (-), gallop(-).
Pulmo : vesikuler +/+, ronki -/-,
whezzing-/-
Abdomen: distensi(-) Supel BU
(+) N
Extrimitas :
Akral Hangat :+/+
03-09-2012 S: kulit melepuh (+), mual (+), SJS  MP tappering
demam (-) 125mg/hari
O:  Terapi lain lanjut
KU: sedang
Kes: cm
Bb: 26 kg
TD: 110/70 mmHg
RR: 20x/menit
Nadi: 84x/menit kuat, teratur.
T ax: 37,0 oC
Status generalis:
Kepala: normocehalic
Mata:anem-/-, ikt-/-
Thorax : retraksi dinding dada(-)
, cor: S1S2 tunggal reguler
murmur (-), gallop(-).
Pulmo : vesikuler +/+, ronki -/-,
whezzing-/-
Abdomen: distensi(-) Supel BU
(+) N
Extrimitas :
Akral Hangat :+/+
04-05-2012 S: kulit melepuh (+), mual (+), SJS  MP tappering
demam (-) 125mg/hari
O:  hari ke 2
KU: sedang terapi lain lanjut
Kes: cm
Bb: 26 kg
TD: 110/60 mmHg
RR: 20x/menit
Nadi: 80x/menit kuat, teratur.
T ax: 37,0 oC
Status generalis:
Kepala: normocehalic
Mata:anem-/-, ikt-/-
Thorax : retraksi dinding dada(-)
, cor: S1S2 tunggal reguler
murmur (-), gallop(-).
Pulmo : vesikuler +/+, ronki -/-,
whezzing-/-
Abdomen: distensi(-) Supel BU
(+) N
Extrimitas :
Akral Hangat :+/+
05-09-2012 S: kulit melepuh (+), mual (+), SJS  MP tappering
demam (-) 125mg/hari
O: hari ke 3
KU: sedang  Stop injeksi
Kes: cm cefotaxime
Bb: 26 kg  Stop tetes mata
TD: 110/60 mmHg xytrol, LFX.
RR: 18x/menit
 Terapi lain lanjut
Nadi: 80x/menit kuat, teratur.
T ax: 36,7 oC
Status generalis:
Kepala: normocehalic
Mata:anem-/-, ikt-/-
Thorax : retraksi dinding dada(-)
, cor: S1S2 tunggal reguler
murmur (-), gallop(-).
Pulmo : vesikuler +/+, ronki -/-,
whezzing-/-
Abdomen: distensi(-) Supel BU
(+) N
Extrimitas :
Akral Hangat :+/+
06-09-2012 S: kulit melepuh (+), mual (+), SJS  Boleh mandi
demam (-)  MP tappering hari
O: ke 4
KU: baik  terapi lain lanjut
Kes: cm
Bb: 26 kg
TD: 110/70 mmHg
RR: 20x/menit
Nadi: 80x/menit kuat, teratur.
T ax: 36,6 oC
Status generalis:
Kepala: normocehalic
Mata:anem-/-, ikt-/-
Thorax : retraksi dinding dada(-)
, cor: S1S2 tunggal reguler
murmur (-), gallop(-).
Pulmo : vesikuler +/+, ronki -/-,
whezzing-/-
Abdomen: distensi(-) Supel BU
(+) N
Extrimitas :
Akral Hangat :+/+
07-09-2012 S: kulit melepuh (+), mual (+), SJS  MP tappering hari
demam (-) ke 5
O:  Terapi lain lanjut
KU: sedang
Kes: cm
Bb: 26 kg
TD: 110/70 mmHg
RR: 20x/menit
Nadi: 88x/menit kuat, teratur.
T ax: 37,0 oC
Status generalis:
Kepala: normocehalic
Mata:anem-/-, ikt-/-
Thorax : retraksi dinding dada(-)
, cor: S1S2 tunggal reguler
murmur (-), gallop(-).
Pulmo : vesikuler +/+, ronki -/-,
whezzing-/-
Abdomen: distensi(-) Supel BU
(+) N
Extrimitas :
Akral Hangat :+/+
08-09-2012 S: kulit melepuh (+), mual (+), SJS  Aff infus
demam (-)  Stop MP
O:  BPL:
KU: sedang Azythromicin 3 x
Kes: cm 200mg
Bb: 26 kg ranitidin 2 x 20mg
TD: 110/60 mmHg ryzo 1x1
RR: 22x/menit
Nadi: 88x/menit kuat, teratur.
T ax: 37,0 oC
Status generalis:
Kepala: normocehalic
Mata:anem-/-, ikt-/-
Thorax : retraksi dinding dada(-)
, cor: S1S2 tunggal reguler
murmur (-), gallop(-).
Pulmo : vesikuler +/+, ronki -/-,
whezzing-/-
Abdomen: distensi(-) Supel BU
(+) N
Extrimitas :
Akral Hangat :+/+
DAFTAR PUSTAKA

Abood Gerard J., Nickoloff Brian J., Gamelli Richard L. 2008. ‘Treatment Strategies in Toxic
Epidermal Necrolysis Syndrome: Where Are We At?’ Journal of Burn Care and Research
Volume 29, Number1, January/February 2008, American Burn Association.
Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. Volume 2. Issue 1. Departement of
Pharmacology. JIPMER. India. 2006. Access on: June 3, 2007. Available at:
www.jipmer.edu
Brunicardi, Charles, et al. 2008. Schuatz’s Principles of Surgery, 6th Edition. Mcgraw-Hill
companies.
Fauci, et al. 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17th Edition. The McGraw-Hill
Companies.
Fritz, David A. 2008. Burn and Smoke Inhalation, dalam: Current Diagnosis and Treatment
Emergency Medicine, 6th Edition. Lange Medical Book – Mcgraw-Hill Companies. p. –
(e-book).
Harr Thomas & French Lars E. 2010. ‘Toxic Epidermal Necrolysis and Stevens-Johnson
Syndrome’ Orphanet Journal of Rare Disease 5:39, p. 3.
Ilyas, S. Sindrom Steven Johnson. In Ilmu Penyakit Mata. 3rd edition. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 2004. Hal 135-136.
Irwin Richard S., & Rippe James M. 2008. Burn Management, dalam: Irwin and Rippe’s
Intensive Care Medicine, 6th Edition. Lippincott Williams and Wilkins. p. – (e-book).
Sjamsuhidrajat, R & de Jong, Wim. 2005. Buku ajar Ilmu Bedah, Edisi ke-2. Jakarta: EGC.
Valeyrie-Allanore, L & Roujeau, Jean Claude. 2008. Epidermal Necrolysis (Stevens-Johnson
Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis) dalam: Fizpatrick’s Dermatology in General
Medicine. The McGraw-Hill Companies. p. 350.
Wolff Klause, Johnson Richard Allen, Suurmond Dick. 2007. Fizpatrick’s Color Atlas &
Sinopsis of Clinical Dermatomogy, 5th Edition, e-book. The McGraw-Hill Companies.

Anda mungkin juga menyukai