Anda di halaman 1dari 23

Referat

NEKROLISIS EPIDERMAL
TOKSIK DAN
STEVEN JOHNSON SYNDROME
Disusun oleh :
MARTA SIHOMBING
11000018

Pembimbing:
dr. DAME MARIA PANGARIBUAN, Sp.KK

Departemen Penyakit Kulit &


Kelamin
Fakultas Kedokteran HKBP
Nommensen
RSUD Dr. Djasamen Saragih
Pematangsiantar
2015
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
atas berkat dan rahmatnya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah Refarat dengan judul Nekrolisis Epidermal Toksik dan
Steven Johnson Syndrome.
Secara khusus kami ucapkan terima kasih kepada dr.
Dame Maria Pangaribuan, SpKK yang telah bersedia
membimbing, mengarahkan, dan meluangkan waktunya kepada
kami untuk menyempurnakan dalam penyusunan dan perbaikan
makalah ini hingga selesai.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi bekal
ilmu untuk kemajuan pendidikan kedokteran. Demikian
penyusunan makalah ini, makalah ini tidak luput dari
kekurangan, sehingga kami mohon kritik dan saran untuk
perbaikan makalah selanjutnya. Terima kasih.

Siantar, .
Hormat Kami,

( ... )

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................


DAFTAR ISI ..................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................
BAB II PEMBAHASAN....................................................................
2.1. DEFINISI ....................................................................
2.2 EPIDEMIOLOGI ............................................................
2.3 ETIOLOGI ....................................................................
2.4 PATOFISIOLOGI ...........................................................
2.5 MANIFESTASI KLINIS ...................................................
2.6 PENEGAKAN DIAGNOSA .............................................
2.7 DIAGNOSA BANDING ..................................................
2.8 PENATALAKSANAAN ...................................................
...................................................................................
10
2.9 PROGNOSIS ................................................................
...................................................................................
13
BAB III KESIMPULAN ....................................................................
....................................................................................................
15
DAFTAR PUSTAKA
16

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Nekrolisis epidermal toksik ditemukan pertama kali pada
tahun 1956, sebanyak 4 kasus oleh Alana Lyell, penyakit ini
biasanya juga disebut sindrom Lyell. NET ditemukan oleh Alana
Lyell dengan gambaran berupa erupsi yang menyerupai luka
bakar pada kulit akibat terkena cairan panas (scalding).
Kondisi toksik mengacu pada beredarnya zat toksin dalam
peredaran darah, dahulu kondisi ini dipikarkan penyebab gejala-
gejala nekrolisis epidermal toksik. Lyell menggunakan istilah
nekrolisis dengan menggabungkan gejala klinis epidermolisis
dengan gambaran histopatologi nekrosis. Beliau juga
menggambarkan keterlibatan pada membrane mukosa seabagai
bagian dari sindrom , dan ditemukan hanya terjadi sedikit
inflamasi di daerah dermis, sebuah tanda yang kemudian disebut
dermal silence
Nekrolisis epidermal toksik (NET) merupakan reaksi
mukokutan dan episodic yang dapat mengancam jiwa. Keadaan
umum lebih berat dibandingkan dengan Sindrom Steven Johnson
(SSJ), ditandai epidermolisis generalisata dan kelainan pada
selaput lender di orifisium dan mata. Insidennya meningkat
karena penyebab utamanya alergi obat dan hampir semua obat
dapat dibeli bebas.
Penyebab NET belum jelas, tetapi obat-obatan
(sulfonamide dan butazones) dan spesies staphylococcus
merupakan penyebab utama. NET merupakan penyakit kulit yang
umumnya timbul akibat obat-obatan dengan lesi berupa bulla,
dengan penampakan kulit seperti terbakar yang menyeluruh.

1
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. DEFINISI
Sindrom Stevens-Johnson, biasanya disingkatkan sebagai
SJS, adalah reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek
samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa.
Juga ada versi efek samping ini yang lebih buruk, yang disebut
sebagai nekrolisis epidermis toksik (toxik epidermal
necrolysis/TEN).
Nekrolisis epidermal toksik atau Lyell's syndrome adalah
kelainan kulit yang memerlukan penanganan segera yang paling
banyak disebabkan oleh obat-obatan. Meskipun begitu, etiologi
lainnya, termasuk infeksi, keganasan, dan vaksinasi, juga bisa
menyebabkan penyakit ini.
Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) merupakan reaksi
mukokutaneous khas onset akut dan berpotensi mematikan,
yang biasanya terjadi setelah dimulainya pengobatan baru.
Nekrolisis epidermal toksik merupakan varian yang paling
berat dari penyakit bulosa seperti eritema multiforme dan
sindrom Stevens-Johnson. Semua kelainan tersebut memberikan
gambaran lesi kulit yang menyebar luas, dan terutama pada
badan dan wajah yang melibatkan satu atau lebih membran
mukosa.
Pada Stevens-Johnson Syndrome (SJS) epidermal
detachment meliputi kurang dari 10% luas permukaan kulit
tubuh ; transitional SJS-TEN ditentukan dengan epidermal
detachment antara 10 sampai 30 % ; dan TEN detachment lebih
dari 30 %.

2.2 EPIDEMIOLOGI

3
Kejadian di seluruh dunia adalah 0,5 sampai 1,4 kasus per
1 juta penduduk per tahun. Berdasarkan jenis kelamin
didapatkan frekuensi yang sama pada pria dan wanita. NET
dapat mengenai semua kelompok usia tetapi lebih umum pada
orang tua, kemungkinan karena meningkatnya jumlah obat yang
dikonsumsi oleh orang tua.

2.3 ETIOLOGI
Etiologi NET sama dengan Syndrome Steven Johnson.
NET juga dapat terjadi akibat reaksi graft versus host, infeksi
(virus,jamur,bakteri,parasit), dan sepertiga kasus nekrolisis
epidermal toksika disebabkan oleh suatu reaksi terhadap suatu
obat. Hubungan antara intake obat dan onset penyakit ini
merupakan faktor yang sangat penting. SJS dan TEN umumnya
dimulai kurang dari 8 minggu tapi lebih dari 4 hari sejak intake
obat pertama kali. Obat yang paling sering menyebabkan
penyakit ini adalah :

Sumber : Fitzpatricks Dermatology in General Medicine, 2008.

2.4 PATOFISIOLOGI

4
Patogenesisnya sampai saat ini belum jelas walaupun
sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi
kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari
antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan
reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity
reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T
yang spesifik.
Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi
kerusakan kulit sehingga terjadi (Carroll, 2001) :
1. Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan
cairan
2. Stres hormonal diikuti peningkatan resisitensi terhadap
insulin, hiperglikemia dan glukosuriat
3. Kegagalan termoregulasi
4. Kegagalan fungsi imun
5. Infeksi
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan
tambahan yang dapat berupa didahului panas tinggi, dan
nyeri kontinyu. Erupsi timbul mendadak, gejala bermula di
mukosa mulut berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul
mukosa mata, genitalia sehingga terbentuk trias (stomatitis,
konjunctivitis, dan uretritis). Gejala prodormal tidak spesifik,
dapat berlangsung hingga 2 minggu. Keadaan ini dapat
menyembuh dalam 3-4 minggu tanpa sisa, beberapa
penderita mengalami kerusakan mata permanen. Kelainan
pada selaput lendir, mulut dan bibir selalu ditemukan. Dapat
meluas ke faring sehingga pada kasus yang berat penderita
tak dapat makan dan minum. Pada bibir sering dijumpai
krusta hemoragik.

5
2.5 MANIFESTASI KLINIS
SJS dan TEN biasanya mulai dengan gejala prodromal
berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal,
sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang
sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala
tersebut. Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna
merah pada muka dan batang tubuh, sering kali kemudian
meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak rata.
Daerah ruam membesar dan meluas, sering membentuk
lepuh pada tengahnya. Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah
dilepas bila digosok.Pada TEN, bagian kulit yang luas
mengelupas, sering hanya dengan sentuhan halus. Pada banyak
orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang. Daerah
kulit yang terpengaruh sangat nyeri dan pasien merasa sangat
sakit dengan panas-dingin dan demam. Pada beberapa orang,
kuku dan rambut rontok .
Pada SJS dan TEN, pasien mendapat lepuh pada selaput
mukosa yang melapisi mulut, tenggorokan, dubur, kelamin, dan
mata.Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang
gawat dan sama-sama berbahaya. Cairan dan elektrolit dalam
jumlah yang sangat besar dapat merembes dari daerah kulit
yang rusak. Daerah tersebut sangat rentan terhadap infeksi,
yang menjadi penyebab kematian utama akibat TEN.Mengenal
gejala awal SJS dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik
untuk mengurangi efek jangka panjang yang dapat sangat
mempengaruhi orang yang mengalaminya. Gejala awal
termasuk:
Ruam
Lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin

6
Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara
simetris pada hampir seluruh tubuh.
Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan
dan kusta berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam
1-14 hari gejala prodormal, muncul pada membran
mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah
vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan
krusta hemoragis merupakan gambaran utama.
Bengkak di kelopak mata, atau mata merah.
Pada mata terjadi: konjungtivitis (radang selaput yang
melapisi permukaan dalam kelopak mata dan bola mata),
konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis,
iridosiklitis, simblefaron, kelopak mata edema dan sulit
dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea
yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler
merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya
ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik
dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu
yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular
cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan
sampai 31 tahun.Bila kita mengalami dua atau lebih gejala
ini, terutama bila kita baru mulai memakai obat baru,
segera periksa ke dokter.

7
2.6 PENEGAKAN DIAGNOSA
Diagnosa ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai
dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya
dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi
berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa,
demam. Selain itu didukung antara lain :
1. Pemeriksaan laboratorium :
a. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dapat
membantu dokter dalam diagnose selain
pemeriksaan biopsy.
b. Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan
kadar sel darah putih yang normal atau leukositosis
non spesifik, penurunan tajam kadar sel darah putih
dapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bacterial
berat.
c. Imunofluoresensi banyak membantu membedakan
sindrom Steven Johnson dengan panyakit kulit
dengan lepuh subepidermal lainnya.

8
d. Menentukan fungsi ginjal dan mengevaluasi adanya
darah dalam urin.
e. Pemeriksaan elektrolit.
f. Kultur darah, urine, dan luka, diindikasikan ketika
dicurigai terjadi infeksi.
g. Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro
duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi dapat
dilakukan.
2. Imaging studies :
a. Chest radiography untuk mengindikasikan adanya
pneumonitis.
Pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dapat
mendukung ditegakkannya diagnose

2.7 DIAGNOSA BANDING


1. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease).
Pada penyakit ini lesi kulit ditandai dengan krusta yang
mengelupas pada kulit. Biasanya mukosa terkena .
2. Konjungtivitis membranosa, ditandai dengan adanya
massa putih atau kekuningan yang menutupi
konjungtiva palpebra bahkan sampai konjungtiva bulbi
dan bila diangkat timbul perdarahan.

9
Sumber : Hongkong medical diary, 2008.

10
11
2.8 PENATALAKSANAAN
Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti
memakai obat yang dicurigai penyebab reaksi. Dengan tindakan
ini, kita dapat mencegah keburukan. Orang dengan SJS/NET
biasanya dirawat inap. Bila mungkin, pasien NET dirawat dalam
unit rawat luka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat
untuk menghindari infeksi. Pasien SJS biasanya dirawat di ICU.
Perawatan membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkan
spesialis luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan
elektrolit dan makanan cairan dengan kalori tinggi harus diberi
melalui infus untuk mendorong kepulihan. Antibiotik diberikan
bila dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis.
Obat nyeri, misalnya morfin, juga diberikan agar pasien merasa
lebih nyaman
Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk
mengobati SJS/NET. Beberapa dokter berpendapat bahwa
kortikosteroid dosis tinggi dalam beberapa hari pertama memberi
manfaat; yang lain beranggap bahwa obat ini sebaiknya tidak
dipakai. Obat ini menekankan sistem kekebalan tubuh, yang
meningkatkan risiko infeksi gawat, apa lagi pada Odha dengan
sistem kekebalan yang sudah lemah.Pada umumnya penderita
SJS datang dengan keadaan umum berat sehingga terapi yang
diberikan biasanya adalah :
Terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara
parenteral.
Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil
biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan
darah.
Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal
1mg/kg BB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg

12
BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih
kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan
steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan
penyembuhan yang lambat dan efek samping yang
signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid
menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.
Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal.
Feniramin hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan
dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12
tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk
setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun :
2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1
kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian
antibiotik topikal.
Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.
Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi
kulit.
Lesi mulut diberi kenalog in orabase.
Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang
menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal
dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin
intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.
Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0,5
mg/kg BB pada hari 1, 2, 3, 4, dan 6 masuk rumah sakit.
Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam
proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS.
Sedangkan terapi sindrom Steven Johnson pada mata
dapat diberikan dengan :
o Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun
yang bersifat garam fisiologis setiap 2 jam, untuk

13
mencegah timbulnya infeksi sekunder dan terjadinya
kekeringan pada bola mata.
o Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam
hari untuk mencegah terjadinya perlekatan
konjungtiva.
Dan pada nekrolisis epidermal toksik dilakukan terapi
berdasarkan SCORTEN, hanya pasien dengan keterlibatan kulit
yang terbatas dan SCORTEN 0-1 yang tidak perlu penanganan
spesial. Sedangkan yang lain harus ditanganin di unit intensive
atau burn centers. Supportive cares terdiri dari :
mempertahankan kestabilan hemodinamik dan mencegah
komplikasi yang mengancam nyawa.

Sumber : Hongkong medical diary, 2008.

Pengobatan Simptomatik :
- Fluid replacement secepatnya : Tujuan
Mengatur+mempertahankan keseimbangan cairan &
elektrolit.
- Suhu ruangan dipertahankan 28 30 o
C cegah
hipotermi.

14
- Early nutritional support pasang nasogastric tube (NGT),
diet tinggi protein & rendah garam
- Debridement ekstensif dan agresif tidak dianjurkan.
- Konsultasi disiplin ilmu lain : THT, mata, penyakit dlm, gigi
dan mulut, dll. Mata diperiksa oleh ophthalmologist setiap
hari, beri artificial tears, tetes mata antibiotik, dan vitamin
A setiap 2 jam sekali selama fase akut dan cegah
synechiae. Mulut berkumur dengan larutan antiseptik atau
antifungal beberapa kali sehari.
Pengobatan Spesifik :
- Kortikosteroid masih kontroversial, beberapa penelitian
menyatakan penggunaan pada fase akut dapat mencegah
perluasan penyakit, dan penelitian lain menyatakan steroid
tidak menghentikan progresivitas penyakit dan bahkan
berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan efek
samping, terutama sepsis.
- Intravenous Immunoglobulin gunakan high-dose
dikarenakan adanya fas-mediated cells death.
- Cyclosporin A agent immunosupresif kuat;
mekanismenya dengan mengaktivasi Th2 sitokine, inhibisi
CD8+ sitotoksik, dan anti-apoptosis dengan inhibisi Fas-L,
nuclear factor dan TNF-.
- Plasmapheresis/Hemodialysis tujuannya untuk
mengeluarkan medikasi penyebab, metabolitnya, atau
mediator inflamasi (sitokin), tapi tidak direkomendasikan
karena kurangnya bukti dan risiko yang berhubungan
dengan kateter intravaskular.
- Anti-TNF agents anti-TNF monoclonal antibodi telah
berhasil dipakai untuk mengobati beberapa pasien, tapi
pada penggunaan thalidomide dihentikan karena
dilaporkan banyaknya kematian.

2.9 PROGNOSIS

15
SJS dan TEN adalah reaksi yang gawat. Bila tidak diobati
dengan baik, reaksi ini dapat menyebabkan kematian, umumnya
sampai 35 persen orang yang mengalami TEN dan 5-15 persen
orang dengan SJS, walaupun angka ini dapat dikurangi dengan
pengobatan yang baik sebelum gejala menjadi terlalu gawat.
Reaksi ini juga dapat menyebabkan kebutaan total, kerusakan
pada paru, dan beberapa masalah lain yang tidak dapat
disembuhkan.Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik,
dan penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Kematian
berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai
komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai.

Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas.


Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.

Sumber : Fitzpatricks Dermatology in General Medicine, 2008.

16
17
BAB III
KESIMPULAN
1. Sindrom Steven-Johnson (SJS) merupakan suatu kumpulan
gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias
kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta
mata disertai gejala umum berat.
2. Sindroma steven johnson sangat dekat dengan nekrolisis
epidermal toksik. SJS dengan bula lebih dari 30% disebut
NET.
3. Etiologi SJS dan NET pada umumnya sering berkaitan
dengan respon imun terhadap obat, NET juga dapat terjadi
akibat reaksi graft versus host, infeksi
(virus,jamur,bakteri,parasit).
4. Penanganan Sindrom Steven Johnson dan Nekrolisis
Epidermal Toksik dapat dilakukan dengan memberi terapi
cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara
parenteral pada penderita dengan keadaan umum berat.

18
DAFTAR PUSTAKA
1. HHF Ho, 2008. Diagnosis and Management of Stevens-
Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis.
Hongkong Medical Diary : volume 13, number 10.
Diunduh tanggal 6 maret 2012.
http://www.fmshk.org/database/articles/03mb3_4.pdf.
2. Valeyrie and Roujeau, 2008. Epidermal Necrolysis (Stevens-
Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis).
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine, USA : 7th
edition.
3. Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. 3rd edition. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 2002.
4. Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert.
Volume 2. Issue 1. Departement of Pharmacology. JIPMER.
India. 2006. Access on: June 3, 2007. Available at:
www.jipmer.edu
5. Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2004.
6. Siregar, R.S. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati
Penyakit Kulit. 2nd edition. EGC. Jakarta. 2004.
7. Carroll MC, Yueng-Yue KA, Esterly NB. Drug-induced
hypersensitivity syndrome in pediatric patients. Pediatrics
2001;
8. Sharma, V.K. : Proposed IADVL Consensus Guidelines 2006:
Management of Stevens-Johnson Syndrome ( SJS) and Toxic
Epidermal Necrolysis ( TEN). IADVL.2006

19

Anda mungkin juga menyukai