Anda di halaman 1dari 2

1.

Teknologi Photovoltaik
Salah satu sumber energi terbarukan yang memiliki potensi besar di Indonesia
adalah energi matahari. Indonesia terletak di garis katulistiwa, sehingga Indonesia
memiiki sumber energi matahari yang berlimpah dengan intensitas matahari rata-rata
4,8 𝑘𝑊ℎ⁄𝑚2 [1]. Sayangnya, pemanfaatan energi matahari masih belum optimal.
Terdapat kira-kira 25 juta warga Indonesia yang masih sulit untuk mengakses listrik
untuk keperluan sehari-hari [2]. Hal ini dikarenakan biaya pembangkitan PLTS masih
relatif lebih mahal dibanding dengan biaya pembangkit listrik tenaga konvensional.
Meskipun pemanfaatan PLTS di Indonesia masih kurang maksimal, saat ini PV
sistem sudah cukup sering digunakan pada perumahan atau Solar Home System (SHS),
pompa air, komunikasi, lampu lalulintas, dan lainnya.
Indonesia memiliki target pada tahun 2025 sebanyak 23% dari pasokan energi
utama berasal dari energi terbarukan. Dari target 23% tersebut, diharapkan PLTS dapat
memasok energi sebesar 6,5 GW [3]. Sektor energi matahari di Indonesia saat ini masih
kurang diperhatikan dalam hal kebijakannya. Indonesia masih belum menerapkan
skema RPO atau sukses dalam lelang skala besar. Usaha Indonesia dalam penggunaan
energi terbarukan difokuskan pada energi panas bumi, namun prosesnya lebih lambat
dari rencana karena tantangan dalam akses lahan, persetujuan dari pemerintah, dan
negosiasi dengan PLN [4].
Pada 2013, MEMR mengumumkan adanya lelang untuk 140MW solar PV di
80 lokasi. Namun pada 2014 sidang konstitusional mengatur praktik yang mengijinkan
partner investor asing untuk menjadi tender dengan hanya menggunakan komponen
import tidak konstitusional. Sehingga tender ditutup oleh MEMR. Bahkan sebelum
keputusan pengadilan, beberapa isu menghambat efektifitas dari lelang 2013. Pertama,
investor dibatasi dengan projek 5MW atau dibawah 5MW, yang nilainya terlalu kecil
untuk mencapai skala ekonomi agar dapat mencapai harga yang kompetitif. Kedua,
pengembang internasional hanya dapat berpartisipasi via usaha gabungan dengan
partner Indonesia (Law 25/2007 concerning Capital Investment). Hal ini terus menjadi
masalah untuk seluruh sektor energi listrik Indonesia. Dengan keahlian dalam bidang
tenaga surya domestik yang tipis, persaingan pun terbatas [5].Selain itu, Kurangnya
informasi pada situs developer, kapastas grid yang terbatas, dan hanya diberikan dua
minggu untuk developer mempersiapkan tawarannya menjadi alasan lain gagalnya
lelang pada tahun itu.
Pasar sel surya di Indonesia didominasi dengan import, terutama dari negara
Cina. Produksi sel surya domestik relatif terbatas, dan panel domestik cenderung lebih
mahal dan memiliki kualitas yang lebih rendah dibandingkan dengan panel yang
tersedia di pasar internasional [6]. Indonesia menerapkan retribusi 5% untuk panel
surya import. Hukum mengenai kelistrikan tahun 2009 juga mengharuskan generator
listrik yang mensuplai listrik untuk masyarakat (IUPTL holders) untuk
memprioritaskan kepuasan lokal. Hal ini termasuk masyarakat yang mengeksport listrik
dari PV rooftop ke sambungan PLN. Untuk projek yang dimiliki oleh pemerintah,
berlaku standart 40% persyaratan local content dan sebuah “company benefit value”
(Peraturan Presiden 16/2018) yang berbasis pada investasi perusahaan dan kontribusi
kepada negara. Investor asing dibatasi untuk memiliki hanya 49% dari projek
kelistrikan tegangan tinggi antara 1 sampai 10 MW dan dilarang terlibat untuk projek
skala kecil (< 1 MW) (Peraturan Presiden no.44/2016, appendix III.D no 143,142).
Peraturan mengharuskan pemasangan PLTS harus dikembangkan oleh perusahaan EPC
(Engineering, Procurement, dan Construction) lokal.
Peraturan mengenai solar rooftop terbaru (MEMR 49/2018) telah menetapkan
kerangka yang lebih jelas untuk pengguna on-grid solar PV PLN agar mereka memiliki
biaya tagihan listrik yang lebih seimbang (sebagai “prosumers”). Menurut peraturan,
ukuran dari PV sistem dapat mencapai 100% dari total kapasitas inverter dari koneksi
milik prosumers ke PLN. Namun, nilai per- kWh dari listrik yang dieksport dibatasi
hingga 65% dari tarif PLN yang berlaku [7], Sehingga total metering tidak berbasis 1:1.
Beberapa prosumers tetap harus membayar tagihan “parallel operation”, yaitu tetap
membayar suplai listrik dari PLN.

[1] Rahardjo and Fitriana, “Analisis Potensi Pembangkit Listrik Tenaga Surya Di Indonesia,”
Strateg. Penyediaan List. Nas. Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaat. PLTU Batubara
Skala Kecil, PLTN, dan Energi Terbarukan, P3TKKE, BPPT, Januari, pp. 43–52, 2005.
[2] S. F. Kennedy, “Indonesia’s energy transition and its contradictions: Emerging geographies of
energy and finance,” Energy Res. Soc. Sci., vol. 41, no. June 2017, pp. 230–237, 2018.
[3] Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2017 Tentang Rencana Umum Energi
Nasional.
[4] B. P. Resosudarmo et al., “Australian national university,” pp. 1–12, 2013.
[5] Z. Dobrotkova, K. Surana, and P. Audinet, “The price of solar energy: Comparing competitive
auctions for utility-scale solar PV in developing countries,” Energy Policy, vol. 118, no. June
2017, pp. 133–148, 2018.
[6] Clover, I., 2017. The Weekend Read: Will Duties ADD Doubt to India's Solar Growth? Pv
Magazine. 24 November. https://www.pv-magazine.com/2017/11/24/the-weekend-read-
will-duties-add-doubt-to-indias-solar-growth/.

[7] IRENA, 2017d. Renewable Energy Auctions: Analyzing 2016. Abu Dhabi.

Anda mungkin juga menyukai