Anda di halaman 1dari 21

PERKEMBANGAN POLITIK MASA DEMOKRASI

LIBERAL
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Sejarah :

Disusun Oleh :

Hanun Zahra

Muhammad Dawwas Hasan Al Bana

Shorim Abdul Matiin Akbari

Vita Rahmatika

Yasmin

Kelas :

XII IPA 1

SMA NEGERI 1 BALEENDAH


Jln.RAA.Wiranatakusumah No. 30 Kec. Baleendah Kab. Bandung

Tahun Ajaran 2019-2020


DEMOKRASI LIBERAL DI INDONESIA 1950-1959

Ketika pemerintahan Republik Indonesia Serikat dibubarkan pada Agustus 1950,


RI kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perubahan bentuk
pemerintahan diikuti pula dengan perubahan undang undang dasarnya dari
Konstitusi RIS ke UUD Sementara 1950. Perubahan ke UUD Sementara ini
membawa Indonesia memasuki masa Demokrasi Liberal. Masa Demokrasi
Liberal di Indonesia memiliki ciri banyaknya partai politik yang saling berebut
pengaruh untuk memegang tampuk kekuasaan. Hal tersebut membawa dampak
terganggunya stabilitas nasional di berbagai bidang kehidupan.

Sistem multi partai di Indonesia diawali dengan maklumat pemerintah tanggal 3


November 1945, setelah mempertimbangkan usulan dari Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat. Pemerintah pada awal pendirian partai-partai politik
menyatakan bahwa pembentukan partai partai politik dan organisasi politik
bertujuan untuk memperkuat perjuangan revolusi, hal ini seperti yang disebutkan
dalam maklumat pemerintah yang garis besarnya dinyatakan bahwa:
1) Untuk menjunjung tinggi asas demokrasi tidak dapat didirikan hanya satu
partai
2) Dianjurkan pembentukan partai-partai politik untuk dapat mengukur kekuatan
perjuangan kita
3) Dengan adanya partai politik dan organisasi politik, memudahkan pemerintah
mudah untuk minta tanggung jawab kepada pemimpin-pemimpin barisan
perjuangan
Pada era itu ada tujuh kabinet yang memegang pemerintahan, sehingga hampir
setiap tahun terjadi pergantian kabinet. Jatuh bangunnya kabinet ini membuat
program-program kabinet tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Kondisi inilah yang menyebabkan stabilitas nasional baik di bidang politik,
ekonomi, sosial maupun keamanan terganggu. Kondisi ini membuat Presiden
Soekarno, dalam salah satu pidatonya mengatakan bahwa “sangat gembira apabila
para pemimpin partai berunding sesamanya dan memutuskan bersama untuk
mengubur partai-partai”. Soekarno bahkan dalam lanjutan pidatonya menekankan
untuk melakukannya sekarang juga. Pernyataan Soekarno membuat hubungannya
dengan Hatta semakin renggang yang akhirnya dwi tunggal menjadi tanggal
ketika Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden.

Pada Demokrasi Liberal di Indonesia yang menggunakan UUDS yang berarti


pemerintahan yang dilakukan oleh kabinet bersifat parlementer (kabinet
bertanggungjawab kepada parlemen). Pada masa ini sering kali terjadinya
pergantian kabinet karena parlemen dengan mudah mengeluarkan mosi tidak
percaya terhadap kabinet sehingga koalisi kabinet mudah jatuh. Sementara
presiden tidak memiliki kekuasaan secara nyata kecuali menunjuk formatur untuk
membentuk kabinet-kabinet baru. Kabinet pada masa ini juga rata-rata hanya
bertahan selama 14 bulan. Akibat kabinet yang hanya bertahan sebentar tersebut
program-program kabinet tidak dapat diselesaikan, sementara parlemen yang
mengajukan mosi hanya untuk menjatuhkan kabinet dan lebih mengutamakan
merebut kedudukan partai daripada menyelamatkan rakyat. Dengan demikian
terjadi ketidakstabilan politik pada masa Demokrasi Liberal ini

A. SistemAPemerintahan
Tahun 1950-1959 merupakan masa memanasnya partai-partai politik pada
pemerintahan Indonesia. Pada masa ini terjadi pergantian kabinet, partai-partai
politik terkuat mengambil alih kekuasaan. PNI dan Masyumi merupakan partai
yang terkuat dalam DPR (Parlemen). Dalam waktu lima tahun (1950-1955) PNI
dan Masyumi secara bergantian memegang hegemoni poltik dalam empat kabinet
yang pernah berlaku. Adapun susunan kabinetnya sebagai berikut;

1. Kabinet Natsir (6 September 1950 - 21 Maret 1951)

Kabiet ini dilantik pada tanggal 7 September 1950 dengan Mohammad Natsir dari
Partai Masyumi sebagai perdana menteri. Kabinet Natsir merupakan koalisi yang
dipimpin oleh partai Masyumi bersama dengan PNI. Kabinet ini memiliki struktur
yang terdiri dari tokoh – tokoh terkenal duduk di dalamnya, seperti Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, Mr.Asaat, Ir. Djuanda, dan Prof Dr. Soemitro
Djojohadikoesoemo.
Program pokok dari Kabinet Natsir adalah :
1. Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.
2. Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan.
3. Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang.
4. Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat.
5. Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.
Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, kabinet Natsir mendapatkan tugas utama
yaitu proses integrasi Irian Barat. Akan tetapi, kabinet Natsir kemudian
mendapatkan kendala yaitu pada masa kabinet ini terjadi pemberontakan seperti:
Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Aziz, Gerakan APRA, Gerakan Republik Maluku
Selatan (RMS).
Dalam bidang ekonomi kabinet ini memperkenalkan sistem ekonomi Gerakan
Benteng yang direncanakan oleh Menteri Ekonomi, Sumitro Djojohadikusumo.
Program ini bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi
struktur ekonomi nasional (pembangunan ekonomi Indonesia). Programnya
adalah:
1. Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia.
2. Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan
untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.
3. Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan
diberikan bantuan kredit.
4. Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang
menjadi maju.
Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir dan Program
Gerakan Benteng dimulai pada April 1950. Hasilnya selama 3 tahun (1950-1953)
lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari
program ini. Tujuan program ini sendiri tidak dapat tercapai dengan baik
meskipun anggaran yang digelontorkan pemerintah cukup besar. Kegagalan
program ini disebabkan karena :
1. Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi
dalam kerangka sistem ekonomi liberal.
2. Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif.
3. Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.
4. Para pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya.
5. Para pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati
cara hidup mewah.
6. Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan
secara cepat dari kredit yang mereka peroleh.
Kabinet Natsir sendiri kemudian berakhir disebabkan oleh adanya mosi tidak
percaya dari PNI di Parlemen Indonesia menyangkut pencabutan Peraturan
Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah
No. 39 th 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut
disampaikan kepada parlemen tanggal 22 Januari 1951 dan memperoleh
kemenangan, sehingga pada tanggal 21 Maret 1951 Natsir harus mengembalikan
mandatnya kepada Presiden.

2. Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952)

Setelah Kabinet Natsir mengembalikan mandatnya pada presiden, presiden


menunjuk Sartono (Ketua PNI) menjadi formatur, namun gagal, sehingga ia
mengembalikan mandatnya kepada presiden setelah bertugas selama 28 hari (28
Maret-18 April 1951). Presiden Soekarno kemudian menunjukan Sidik
Djojosukatro dari PNI dan Soekiman Wijosandjojo dari Masyumi sebagai
formatur dan berhasil membentuk kabinet koalisi Masyumi-PNI. Kabinet ini
terkenal dengan nama Kabinet Soekiman-Soewirjo.
Program pokok dari Kabinet Soekiman adalah :
1. Menjamin keamanan dan ketentraman
2. Mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum agraria agar
sesuai dengan kepentingan petani.
3. Mempercepat persiapan pemilihan umum.
4. Menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian
Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.
5. Menyiapkan undang – undang tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian
kerja sama, penetapan upah minimum, dan penyelesaian pertikaian buruh.
Kabinet ini mengutamakan skala prioritas terhadap peningkatan keamanan dan
ketentraman negara. RMS. dan lainnya. Akan tetapi kabinet ini kemudian
mengalami sandungan setelah parlemen mendengar bahwa kabinet ini menjalin
kerja sama dengan blok barat, yaitu Amerika Serikat.
Kabinet Sukiman ditenggarai melakukan Pertukaran Nota Keuangan antara
Mentri Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat
Merle Cochran. Mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer dari
pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan mutual Security Act
(MSA).
MSA sendiri kemudian dinilai mengkhianati politik luar negeri bebas dan aktif
Indonesia karena menerima MSA sama saja dengan ikut serta dalam kepentingan
Amerika. Tindakan Kabinet Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik
luar negara Indonesia yang bebas aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan
dinilai telah memasukkan Indonesia kedalam blok barat.
Kabinet Sukiman sendiri memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan
militer dan kurang prograsif menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa
Tengah, Sulawesi Selatan. Parlemen pada akhirnya menjatuhkan mosi tidak
percaya kepada Kabinet Sukiman. Sukiman kemudian harus mengembalikan
mandatnyaAkepadaAPresidenASoekarno.

3. Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 3 Juni 1953)


Pada tanggal 1 Maret 1952, Presiden Soekarno Wilopo dari PNI sebagai formatur.
Setelah bekerja selama dua minggu berhasil dibentuk kabinet baru di bawah
pimpinan Perdana Mentari Wilopo, sehingga bernama Kabinet Wilopo. Kabinet
ini mendapat dukungan dari PNI, Masyumi, dan PSI.
Program pokok dari Kabinet Wilopo adalah:
a. Program dalam negeri:
1. Menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih Dewan Konstituante,
DPR, dan DPRD
2. Meningkatkan kemakmuran rakyat,
3. Meningkatkan pendidikan rakyat, dan
4. Pemulihan stabilitas keamanan negara
b. Program luar negeri:
1. Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda,
2. Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia, serta
3. Menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.
Dalam menjalankan tugasnya Kabinet Wilopo menghadapi krisis ekonomi, defisit
kas negara, dan meningkatnya tensi gangguan keamanan yang disebabkan
pergerakan gerakan sparatis yang progresif. Ketimpangan Jawa dan luar Jawa
membuat terjadi gelombang ketidakpuasan di daerah yang memperparah kondisi
politik nasional.
Kabinet Wilopo juga harus menghadapi konflik 17 Oktober 1952 yang
menempatkan TNI sebagai alat sipil dan munculnya masalah intern dalam TNI
sendiri. Konflik semakin diperparah dengan adanya surat yang menjelekkan
kebijakan Kolonel Gatot Subroto dalam usahanya memulihkan keamanan di
Sulawesi Selatan

Munculnya Peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan di


Sumatera Timur (Deli), Peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa
bentrokan antara aparat kepolisian dengan para petani liar yang di dukung PKI
mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli). Akibat peristiwa
Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia
terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya pada
presiden pada tanggal 2 Juni 1953.

4. Kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)

Kabinet Ali Sastroamidjojo yang terbentuk pada 31 Juli 1953 merupakan kabinet
ke-empat yang dibentuk selama Masa Demokrasi Liberal. Kabinet ini
mendapatkan dukungan banyak partai di Parlemen, termasuk Partai Nahdlatul
Ulama (NU). Kabinet ini diketuai oleh PM. Ali Sastroamijoyo dan Wakil PM. Mr.
WongsonegoroGdariGPartaiGIndonesiaGRayaG(PIR).
Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo I:
1. Meningkatkan keamanan dan kemakmuran
2. Menyelenggarakan Pemilu dengan segera
3. Pembebasan Irian Barat secepatnya
4. Pelaksanaan politik bebas-aktif
5. Peninjauan kembali persetujuan KMB.
6. Penyelesaian pertikaian politik.
Dalam menjalankan fungsinya, kabinet ini berhasil melakukan suatu prestasi
yaitu:
1. Merampungkan persiapan pemilu yang akan diselenggarakan 29 September
1955
2. Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada tahun 1955
Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955 memiliki pengaruh dan arti penting bagi
solidaritas dan perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia- Afrika dan juga
membawa akibat yang lain, seperti :
1. Berkurangnya ketegangan dunia
2. Australia dan Amerika mulai berusaha menghapuskan politik diskriminasi ras
di negaranya.
3. Indonesia mendapatkan dukungan diplomasi dari negara Asia-Afrika dalam
usaha penyatuan Irian Barat di PBB
Pada masa pemerintahan kabinet Ali Sastroamidjojo I, Menteri Perekonomian Mr.
Iskaq Cokrohadisuryo memperkenalkan sistem ekonomi yang dikenal dengan
sistem Ali-Baba. Sistem ekonomi Ali-baba diperuntukan menggalang kerjasama
ekonomi antara pengusaha pribumi yang diidentikkan dengan Ali dan penguaha
Tionghoa yang diidentikkan dengan Baba.

Sistem ekonomi ini merupakan penggambaran ekonomi pribumi – China. Sistem


Ali Baba digambarkan dalam dua tokoh, yaitu: Ali sebagai pengusaha pribumi dan
Baba digambarkan sebagai pengusaha non pribumi yang diarahkan pada
pengusaha China.

Dengan pelaksanaan kebijakan Ali-Baba, pengusaha non-pribumi diwajibkan


untuk memberikan latihan-latihan kepada pengusaha Indonesia. Sistem ekonomi
ini kemudian didukung dengan :
1. Pemerintah yang menyediakan lisensi kredit dan lisensi bagi usaha swasta
nasional
2. Pemerintah memberikan perlindungan agar pengusaha nasional mampu
bersaing dengan pengusaha asing
Pelaksanaan sistem ekonomi Ali-Baba tidak berjalan sebagaimana mestinya. Para
pengusaha pribumi akhirnya hanya dijadikan sebagai alat bagi para pengusaha
Tionghoa untuk mendapatkan kredit dari pemerintah.

Kabinet Ali ini juga sama seperti kabinet terdahulu mengalami permasalahan
mengatasi pemberontakan di daerah seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi
Selatan, dan Aceh. Terjadinya Peristiwa 27 Juni 1955, yaitu peristiwa yang
menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNI-AD memperburuk usaha
peningkatan keamanan negara. Pada masa kabinet ini keadaan ekonomi masih
belum teratasi karena maraknya korupsi dan peningkatan inflasi.

Konflik PNI dan NU memperburuk koalisi partai pendukung Kabinet Ali yang
mengakibatkan NU menarik menteri-menterinya pada tanggal 20 Juli 1955 yang
diikuti oleh partai lainnya. Keretakan partai pendukung mendorong Kabinet Ali
Sastro I harus mengembalikan mandatnya pada presiden pada tanggal 24 Juli
1955.

5. Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)

Kabinet Ali selanjutnya digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap.


Burhanuddin Harahap berasal dari Masyumi., sedangkan PNI membentuk oposisi.
Program pokok dari Kabinet Burhanuddin Harahap adalah:
1. Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan
Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah.
2. Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah ditetapkan dan
mempercepat terbentuknya parlemen baru
3. Masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi
4. Perjuangan pengembalian Irian Barat
5. Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.
Kabinet Burhanuddin Harap ini mencatatkan sejumlah keberhasilan dalam
menjalankan fungsinya, seperti:
1. Keberhasilan menyelenggarakan Pemilu pada 29 September 1955 untuk
memilih anggota DPR dan 15 Desember untuk memilih Dewan Konstituante.
2. Membubarkan Uni Indonesia-Belanda
3. Menjalin hubungan yang harmonis dengan Angkatan Darat
4. Bersama dengan Polisi Militer melakukan penangkapan para pejabat tinggi
yang terlibat korupsi
Pemilu yang dilakukan pada tahun 1955 menghasilkan 4 partai besar di Parlemen
yaitu, PNI, NU, Masyumi, dan PKI. Pemilu itu diikuti oleh 27 dari 70 partai yang
loloS seleksi. Kabinet ini mengalami ganggung ketika kebijakan yang diambil
berdampak pada banyaknya mutasi dalam lingkungan pemerintahan yang
dianggap menimbulkan ketidaktenangan. Kabinet ini sendiri mengembalikan
mandatnya kepada Presiden Soekarno ketika anggota Parlemen yang baru kurang
memberikan dukungan kepada kabinet.

6. Kabinet Ali Sastramojoyo II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)


Pada tanggal 20 Maret 1956, didukung oleh tiga partai besar di Parlemen: PNI,
NU, dan Masyumi. Ali Sastroamijoyo mendapatkan mandat untuk kedua kalinya
membentuk kabinet. Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo II adalah
Program kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang memuat
program jangka panjang, sebagai berikut:
1. Perjuangan pengembalian Irian Barat
2. Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-
anggota DPRD.
3. Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai.
4. Menyehatkan perimbangan keuangan negara.
5. Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional
berdasarkan kepentingan rakyat.
6. Pembatalan KMB
7. Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan
politik luar negeri bebas aktif
8. Melaksanakan keputusan KAA.
Kabinet ini mendapatkan dukungan penuh dari Parlemen dan Presiden Soekarno,
sehingga dianggap sebagai titik tolak dari periode planning and investment.
Kabinet ini berhasil melakukan pembatalan seluruh perjanjian KMB.
Pada masa kabinet ini muncul gelombang anti Cina di masyarakat, meningkatnya
pergolakan dan kekacauan di daerah yang semakin menguat, serta mengarah pada
gerakan sparatisme dengan pembentukan dewan militer di Sumater dan Sulawesi.
Lambatnya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan mengakibatkan krisis
kepercayaan daerah luar Jawa dan menganggap pemerintah pilih kasih dalam
melakukan pembangunan. Pembatalan KMB menimbulkan masalah baru
khususnya mengenai nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia. Timbulnya
perpecahan antara Masyumi dan PNI mengakibatkan mundurnya sejumlah
menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu ini jatuh dan menyerahkan
mandatnyaApadaApresiden.

7. Kabinet Djuanda (9 April 1957- 5 Juli 1959)


Kabinet baru kemudian dipimpin oleh Ir. Djuanda yang kemudian membentuk
kabinet yang terdiri dari para menteri yang ahli dalam bidangnya. Kabinet ini
dikenal dengan istilah Zaket Kabinet karena harus berisi unsur ahli dan golongan
intelektual dan tidak adanya unsur partai politik di dalamnya.
Program pokok dari Kabinet Djuanda dikenal sebagai Panca Karya yaitu:
1. Membentuk Dewan Nasional
2. Normalisasi keadaan RI
3. Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB
4. Perjuangan pengembalian Irian Jaya
5. Mempergiat/mempercepat proses Pembangunan
Presiden Soekarno juga pernah mengusulkan dibentuknya Dewan Nasional ini
sebagaiGlangkahGawalGdemokrasiGterpimpin.
Pada masa kabinet Juanda, terjadi pergolakan-pergolakan di daerah-daerah yang
menghambat hubungan antara pusat dan daerah. Untuk mengatasinya diadakanlah
Musyawarah Nasional atau Munas di Gedung Proklamasi Jalan Pegangsaan Timur
No. 56 tanggal 14 September 1957.

Munas tersebut membahas beberapa hal, yaitu masalah pembangunan nasional


dan daerah, pembangunan angkatan perang, dan pembagian wilayah Republik
Indonesia. Munas selanjutnya dilanjutkan dengan musyawarah nasional
pembangunan (munap) pada bulan November 1957.

Tanggal 30 November 1957, terjadi percobaan pembunuhan terhadap Presiden


Soekarno di Cikini. Keadaan negara memburuk pasca percobaan pembunuhan
tersebut, banyak daerah yang menentang kebijakan pemerintah pusat yang
kemudian berakibat pada pemberontakan PRRI/Permesta.

Keberhasilan Kabinet Karya yang paling menguntungkan kedaulatan Indonesia


dengan dikeluarkannya Deklarasi Djuanda yang mengatur batas wilayah
kepulauan Indonesia. Kemudian dikuatkan dengan peraturan Pemerintah
pengganti Undang-Undang No. 4 prp. Tahun 1960 tentang perairan Indonesia.
Pasca Deklarasi Djuanda, perairan Indonesia bertambah luas sampai 13 mil yang
sebelumnya hanya 9 mil.

Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada


Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen
Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini,
pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap
pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti
kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau
tersebut.

AkhirAMasaADemokrasiALiberalAdiAIndonesia.
Kekacauan politik yang timbul karena pertikaian partai politik di Parlemen
menyebabkan sering jatuh bangunnya kabinet sehinggi menghambat
pembangunan. Hal ini diperparah dengan Dewan Konstituante yang mengalami
kebuntuan dalam menyusun konstitusi baru, sehingga Negara Indinesia tidak
memiliki pijakan hukum yang mantap. Kegagalan konstituante disebabkan karena
masing-masing partai hanya mengejar kepentingan partainya saja tanpa
mengutamakan kepentingan negara dan Bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Kegagalan konstituante disebabkan karena masing-masing partai hanya mengejar


kepentingan partainya saja tanpa mengutamakan kepentingan negara dan Bangsa
Indonesia secara keseluruhan. Masalah utama yang dihadapi konstituante adalah
tentang penetapan dasar negara. Terjadi tarik-ulur di antara golongan-golongan
dalam konstituante. Sekelompok partai menghendaki agar Pancasila menjadi dasar
negara, namun sekelompok partai lainnya menghendaki agama Islam sebagai
dasarAnegara.

Dalam situasi dan kondisi seperti itu, beberapa partai politik mengajukan usul
kepada Presiden Soekarno agar mengambil kebijakan untuk mengatasi kemelut
politik. Oleh karena itu pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno
mengeluarkan dekrit yang berisi sebagai berikut;
1. Pembubaran Konstituante.
2. Berlakunya kembali UUD 1945.
3. Tidak berlakunya UUDS 1950.
4. Pembentukan MPRS dan DPAS.
Setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan tidak diberlakukannya lagi
UUDS 1950, maka secara otomatis sistem pemerintahan Demokrasi Liberal tidak
berlaku lagi di Indonesia dan mulainya sistem Presidensil dengan Demokrasi
Terpimpin ala Soekarno.

B. Sistem Kepartaian

Partai politik merupakan suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya


mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan dibentuknya
partai politik adalah untuk memperoleh, merebut, dan mempertahankan kekuasaan
secara konstitusional.

Pasca-proklamasi kemerdekaan, pemerintah RI memerlukan adanya lembaga


parlemen yang berfungsi sebagai wakil rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945.
Keberadaan parlemen, dalam hal ini DPR dan MPR, tidak terlepas dari kebutuhan
adanya perangkat organisasi politik, yaitu partai politik. Berkaitan dengan hal ini,
pada 23 Agustus 1945, Presiden Soekarno mengumumkan pembentukan Partai
Nasional Indonesia sebagai partai tunggal, namun keinginan Soekarno tidak dapat
diwujudkan karna PNI mengancam kestabilan ideologi demokrasi di Indonesia,
bahkan PNI juga tidak disenangi para pemimpin partai politik dari berbagai
belahan dunia.

Gagasan pembentukan partai baru muncul lagi ketika pemerintah mengeluarkan


maklumat pemerintah pada 3 November 1945. Melalui maklumat ini partai-partai politik
baru berhasil dibentuk, diantaranya :

Nama Partai Pimpinan Tanggal Berdiri

Majelis Syuro Muslimin Dr. Sukirman


7 November 1945
Indonesia (Masyumi) Wiryosanjoyo

Partai Nasional Indonesia Sidik Joyosukarto 29 Januari 1945


(PNI)

Partai Sosialis Indonesia


Amir Syarifuddin 20 November 1945
(PSI)

Partai Komunis Indonesia


Mr. Moh. Yusuf 7 November 1945
(PKI)

Partai Buruh Indonesia


Nyono 8 November 1945
(PBI)

Partai Rakyat Jelata (PRJ) Sutan Dewanis 8 November 1945

Partai Kristen Indonesia


Ds. Probowinoto 10 November 1945
(Parkindo)

Partai Rakyat Sosialis


Sutan Syahrir 20 November 1945
(PRS)

Persatuan Marhaen
J.B. Assa 17 Desember 1945
Indonesia (Permai)

Partai Katholik Republik


I.J. Kassimo 8 Desember 1945
Indonesia (PKRI)

Sistem kepartaian yang dianut pada masa demokrasi liberal adalah multipartai.
Pembentukan partai politik ini menurut Mohammad Hatta bertujuan untuk
memudahkan dalam mengontrol perjuangan lebih lanjut, dapat mengukur
kekuatan perjuangan kita dan untuk mempermudah meminta pertanggungjawaban
pemimpin-pemimpin barisan perjuangan. Walaupun pada kenyataannya partai
politik tersebut lebih mementingkan kepentingan golongan daripada kepentingan
nasional.

Partai-partai politik yang ada saling bersaing, saling mencari kesalahan dan saling
menjatuhkan. Partai-partai politik yang tidak memegang jabatan dalam kabinet
dan tidak memegang peranan penting dalam parlemen sering melakukan oposisi
yang kurang sehat dan berusaha menjatuhkan partai politik yang memerintah. Hal
ini menyebabkan sering terjadinya pergantian kabinet sehingga program-
programnya tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Akhirnya terjadi
instabilitas nasional, baik di bidang politik, sosial ekonomi maupun keamanan.
Kondisi inilah yang mendorong Presiden Soekarno untuk mengubah sistem
Demokrasi Liberal menjadi Demokrasi Terpimpin.

C. Pemilu Pada Masa Demokrasi Liberal


Pelaksanaan demokrasi liberal sesuai dengan konstitusi yang berlaku saat itu,
yakni Undang Undang Dasar Sementara 1950. Kondisi ini bahkan sudah dirintis
sejak dikeluarkannya maklumat pemerintah tanggal 16 Oktober 1945 dan
maklumat tanggal 3 November 1945, tetapi kemudian terbukti bahwa demokrasi
liberal atau parlementer yang meniru sistem Eropa Barat kurang sesuai diterapkan
di Indonesia. Tahun 1950 sampai 1959 merupakan masa berkiprahnya parta-partai
politik. Dua partai terkuat pada masa itu (PNI & Masyumi) silih berganti
memimpin kabinet. Sering bergantinya kabinet sering menimbulkan
ketidakstabilan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan keamanan.

Pemilu pada masa demokrasi liberal yang dapat kita simak dan pelajari sebagai
contoh adalah Pemilihan Umum 1955. Pemilu 1955 bertujuan untuk memilih
wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam Parlemen dan Dewan Konstituante.
Pemilihan umum ini diikuti oleh partai-partai politik yang ada serta oleh
kelompok perorangan. Pemilihan umum ini sebenarnya sudah dirancang sejak
kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953-12 Agustus 1955) dengan membentuk
Panitia Pemilihan Umum Pusat dan Daerah pada 31 Mei 1954. Namun pemilihan
umum tidak dilaksanakan pada masa kabinet Ali I karena terlanjur jatuh. Kabinet
pengganti Ali I yang berhasil menjalankan pemilihan umum, yaitu kabinet
Burhanuddin Harahap.

Pemilu ini sering dikatakan sebagai pemilu Indonesia paling demokratis. Pemilu
tahun 1955 ini dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif;
beberapa daerah dirundung kekacauan oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia) khususnya pimpinan Kartosoewirjo. Dalam keadaan seperti ini,
anggota angkatan bersenjata dan polisi juga memilih. Mereka yang bertugas di
daerah rawan digilir datang ke tempat pemilihan. Pemilu akhirnya pun
berlangsung aman. Pemilu ini bertujuan memilih anggota-anggota DPR dan
Konstituante.
Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi
Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil
golongan minoritas yang diangkat pemerintah. Pemilu ini dipersiapkan di bawah
pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo
mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara.

Dalam proses pemilihan umum 1955 terdapat 100 partai besar dan kecil yang
mengajukan calon-calonnya untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan 82
partai besar dan kecil untuk Dewan Konstituante. Selain itu masih ada 86
organisasi dan perseorangan akan ikut dalam pemilihan umum. Dalam
pendaftaran pemilihan tidak kurang dari 60% penduduk Indonesia yang
mendaftarkan namanya (kurang lebih 78 juta), angka yang cukup tinggi yang ikut
dalam pesta demokrasi yang pertama. (Feith, 1999)

Tahapan Pemilu.
Pemilu 1955 dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
1. Tahap Pertama
Tahap pertama adalah pemilu untuk memilih anggota DPR. dilaksanakan pada
tanggal 29 September 1955. Hasilnya diumumkan pada 1 Maret 1956. diikuti oleh
29 partai politik dan individu. Urutan perolehan suara terbanyak adalah PNI,
Masyumi, Nahdatul Ulama dan PKI. Empat perolehan suara terbanyak
memperoleh kursi sebagai berikut :

PNI 57 kursi
Masyumi 57 kursi
Nahdatul Ulama 45 kursi
PKI 39 kursi

2. Tahap Kedua
Tahap kedua adalah pemilu untuk memilih anggota konstituante. Dilaksanakan
pada 15 Desember 1955. Dewan Konstituante bertugas untuk membuat Undang-
undang Dasar yang tetap, untuk menggantikan UUD Sementara 1950. Hal ini
sesuai dengan ketetapan yang tercantum dalam pasal 134 UUD Sementara 1950
yang berbunyi, “Konstituante (Sidang Pembuat Undang-undang Dasar) bersama-
sama pemerintah selekas- lekasnya menetapkan Undang-undang Dasar Republik
Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara ini”.
Berdasarkan hasil pemilihan tanggal 15 Desember 1955 dan diumumkan pada 16
Juli 1956, perolehan suara partai-partai yang mengikuti pemilihan anggota Dewan
Konstituante urutannya tidak jauh berbeda dengan pemilihan anggota legislatif,
empat besar partainya adalah PNI, Masyumi, NU dan PKI.

PNI 119 kursi


Masyumi 112 kursi
Nahdatul Ulama 91 kursi
PKI 80 kursi

Keanggotaaan Dewan Konstituante terdiri dari anggota hasil pemilihan umum dan
yang diangkat oleh pemerintah. Pemeritah mengangkat anggota Konstituate jika
ada golongan penduduk minoritas yang turut dalam pemilihan umum tidak
memperoleh jumlah kursi sejumlah yang ditetapkan dalam UUD S 1950.
Kelompok minoritas yang ditetapkan jumlah kursi minimal adalah golongan Cina
dengan 18 kursi, golongan Eropa dengan 12 kursi dan golongan Arab 6 kursi.
Hasil
Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia mendapatkan 57
kursi DPR dan 119 kursi Konstituante (22,3 persen), Masyumi 57 kursi DPR dan
112 kursi Konstituante (20,9 persen), Nahdlatul Ulama 45 kursi DPR dan 91 kursi
Konstituante (18,4 persen), Partai Komunis Indonesia 39 kursi DPR dan 80 kursi
Konstituante (16,4 persen), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (2,89 persen).
Partai-partai lainnya, mendapat kursi di bawah 10. Seperti PSII (8), Parkindo (8),
Partai Katolik (6), Partai Sosialis Indonesia (5). Dua partai mendapat 4 kursi
(IPKI dan Perti). Enam partai mendapat 2 kursi (PRN, Partai Buruh, GPPS, PRI,
PPPRI, dan Murba). Sisanya, 12 partai, mendapat 1 kursi (Baperki, PIR
Wongsonegoro, PIR Hazairin, Gerina, Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia,
Partai Persatuan Dayak, PPTI, AKUI, Partai Rakyat Indonesia Merdeka,
Persatuan Rakyat Desa (bukan PRD modern), ACOMA dan R. Soedjono
Prawirosoedarso).

Anda mungkin juga menyukai