LIBERAL
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Sejarah :
Disusun Oleh :
Hanun Zahra
Vita Rahmatika
Yasmin
Kelas :
XII IPA 1
A. SistemAPemerintahan
Tahun 1950-1959 merupakan masa memanasnya partai-partai politik pada
pemerintahan Indonesia. Pada masa ini terjadi pergantian kabinet, partai-partai
politik terkuat mengambil alih kekuasaan. PNI dan Masyumi merupakan partai
yang terkuat dalam DPR (Parlemen). Dalam waktu lima tahun (1950-1955) PNI
dan Masyumi secara bergantian memegang hegemoni poltik dalam empat kabinet
yang pernah berlaku. Adapun susunan kabinetnya sebagai berikut;
Kabiet ini dilantik pada tanggal 7 September 1950 dengan Mohammad Natsir dari
Partai Masyumi sebagai perdana menteri. Kabinet Natsir merupakan koalisi yang
dipimpin oleh partai Masyumi bersama dengan PNI. Kabinet ini memiliki struktur
yang terdiri dari tokoh – tokoh terkenal duduk di dalamnya, seperti Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, Mr.Asaat, Ir. Djuanda, dan Prof Dr. Soemitro
Djojohadikoesoemo.
Program pokok dari Kabinet Natsir adalah :
1. Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.
2. Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan.
3. Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang.
4. Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat.
5. Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.
Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, kabinet Natsir mendapatkan tugas utama
yaitu proses integrasi Irian Barat. Akan tetapi, kabinet Natsir kemudian
mendapatkan kendala yaitu pada masa kabinet ini terjadi pemberontakan seperti:
Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Aziz, Gerakan APRA, Gerakan Republik Maluku
Selatan (RMS).
Dalam bidang ekonomi kabinet ini memperkenalkan sistem ekonomi Gerakan
Benteng yang direncanakan oleh Menteri Ekonomi, Sumitro Djojohadikusumo.
Program ini bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi
struktur ekonomi nasional (pembangunan ekonomi Indonesia). Programnya
adalah:
1. Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia.
2. Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan
untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.
3. Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan
diberikan bantuan kredit.
4. Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang
menjadi maju.
Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir dan Program
Gerakan Benteng dimulai pada April 1950. Hasilnya selama 3 tahun (1950-1953)
lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari
program ini. Tujuan program ini sendiri tidak dapat tercapai dengan baik
meskipun anggaran yang digelontorkan pemerintah cukup besar. Kegagalan
program ini disebabkan karena :
1. Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi
dalam kerangka sistem ekonomi liberal.
2. Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif.
3. Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.
4. Para pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya.
5. Para pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati
cara hidup mewah.
6. Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan
secara cepat dari kredit yang mereka peroleh.
Kabinet Natsir sendiri kemudian berakhir disebabkan oleh adanya mosi tidak
percaya dari PNI di Parlemen Indonesia menyangkut pencabutan Peraturan
Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah
No. 39 th 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut
disampaikan kepada parlemen tanggal 22 Januari 1951 dan memperoleh
kemenangan, sehingga pada tanggal 21 Maret 1951 Natsir harus mengembalikan
mandatnya kepada Presiden.
Kabinet Ali Sastroamidjojo yang terbentuk pada 31 Juli 1953 merupakan kabinet
ke-empat yang dibentuk selama Masa Demokrasi Liberal. Kabinet ini
mendapatkan dukungan banyak partai di Parlemen, termasuk Partai Nahdlatul
Ulama (NU). Kabinet ini diketuai oleh PM. Ali Sastroamijoyo dan Wakil PM. Mr.
WongsonegoroGdariGPartaiGIndonesiaGRayaG(PIR).
Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo I:
1. Meningkatkan keamanan dan kemakmuran
2. Menyelenggarakan Pemilu dengan segera
3. Pembebasan Irian Barat secepatnya
4. Pelaksanaan politik bebas-aktif
5. Peninjauan kembali persetujuan KMB.
6. Penyelesaian pertikaian politik.
Dalam menjalankan fungsinya, kabinet ini berhasil melakukan suatu prestasi
yaitu:
1. Merampungkan persiapan pemilu yang akan diselenggarakan 29 September
1955
2. Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada tahun 1955
Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955 memiliki pengaruh dan arti penting bagi
solidaritas dan perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia- Afrika dan juga
membawa akibat yang lain, seperti :
1. Berkurangnya ketegangan dunia
2. Australia dan Amerika mulai berusaha menghapuskan politik diskriminasi ras
di negaranya.
3. Indonesia mendapatkan dukungan diplomasi dari negara Asia-Afrika dalam
usaha penyatuan Irian Barat di PBB
Pada masa pemerintahan kabinet Ali Sastroamidjojo I, Menteri Perekonomian Mr.
Iskaq Cokrohadisuryo memperkenalkan sistem ekonomi yang dikenal dengan
sistem Ali-Baba. Sistem ekonomi Ali-baba diperuntukan menggalang kerjasama
ekonomi antara pengusaha pribumi yang diidentikkan dengan Ali dan penguaha
Tionghoa yang diidentikkan dengan Baba.
Kabinet Ali ini juga sama seperti kabinet terdahulu mengalami permasalahan
mengatasi pemberontakan di daerah seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi
Selatan, dan Aceh. Terjadinya Peristiwa 27 Juni 1955, yaitu peristiwa yang
menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNI-AD memperburuk usaha
peningkatan keamanan negara. Pada masa kabinet ini keadaan ekonomi masih
belum teratasi karena maraknya korupsi dan peningkatan inflasi.
Konflik PNI dan NU memperburuk koalisi partai pendukung Kabinet Ali yang
mengakibatkan NU menarik menteri-menterinya pada tanggal 20 Juli 1955 yang
diikuti oleh partai lainnya. Keretakan partai pendukung mendorong Kabinet Ali
Sastro I harus mengembalikan mandatnya pada presiden pada tanggal 24 Juli
1955.
AkhirAMasaADemokrasiALiberalAdiAIndonesia.
Kekacauan politik yang timbul karena pertikaian partai politik di Parlemen
menyebabkan sering jatuh bangunnya kabinet sehinggi menghambat
pembangunan. Hal ini diperparah dengan Dewan Konstituante yang mengalami
kebuntuan dalam menyusun konstitusi baru, sehingga Negara Indinesia tidak
memiliki pijakan hukum yang mantap. Kegagalan konstituante disebabkan karena
masing-masing partai hanya mengejar kepentingan partainya saja tanpa
mengutamakan kepentingan negara dan Bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Dalam situasi dan kondisi seperti itu, beberapa partai politik mengajukan usul
kepada Presiden Soekarno agar mengambil kebijakan untuk mengatasi kemelut
politik. Oleh karena itu pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno
mengeluarkan dekrit yang berisi sebagai berikut;
1. Pembubaran Konstituante.
2. Berlakunya kembali UUD 1945.
3. Tidak berlakunya UUDS 1950.
4. Pembentukan MPRS dan DPAS.
Setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan tidak diberlakukannya lagi
UUDS 1950, maka secara otomatis sistem pemerintahan Demokrasi Liberal tidak
berlaku lagi di Indonesia dan mulainya sistem Presidensil dengan Demokrasi
Terpimpin ala Soekarno.
B. Sistem Kepartaian
Persatuan Marhaen
J.B. Assa 17 Desember 1945
Indonesia (Permai)
Sistem kepartaian yang dianut pada masa demokrasi liberal adalah multipartai.
Pembentukan partai politik ini menurut Mohammad Hatta bertujuan untuk
memudahkan dalam mengontrol perjuangan lebih lanjut, dapat mengukur
kekuatan perjuangan kita dan untuk mempermudah meminta pertanggungjawaban
pemimpin-pemimpin barisan perjuangan. Walaupun pada kenyataannya partai
politik tersebut lebih mementingkan kepentingan golongan daripada kepentingan
nasional.
Partai-partai politik yang ada saling bersaing, saling mencari kesalahan dan saling
menjatuhkan. Partai-partai politik yang tidak memegang jabatan dalam kabinet
dan tidak memegang peranan penting dalam parlemen sering melakukan oposisi
yang kurang sehat dan berusaha menjatuhkan partai politik yang memerintah. Hal
ini menyebabkan sering terjadinya pergantian kabinet sehingga program-
programnya tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Akhirnya terjadi
instabilitas nasional, baik di bidang politik, sosial ekonomi maupun keamanan.
Kondisi inilah yang mendorong Presiden Soekarno untuk mengubah sistem
Demokrasi Liberal menjadi Demokrasi Terpimpin.
Pemilu pada masa demokrasi liberal yang dapat kita simak dan pelajari sebagai
contoh adalah Pemilihan Umum 1955. Pemilu 1955 bertujuan untuk memilih
wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam Parlemen dan Dewan Konstituante.
Pemilihan umum ini diikuti oleh partai-partai politik yang ada serta oleh
kelompok perorangan. Pemilihan umum ini sebenarnya sudah dirancang sejak
kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953-12 Agustus 1955) dengan membentuk
Panitia Pemilihan Umum Pusat dan Daerah pada 31 Mei 1954. Namun pemilihan
umum tidak dilaksanakan pada masa kabinet Ali I karena terlanjur jatuh. Kabinet
pengganti Ali I yang berhasil menjalankan pemilihan umum, yaitu kabinet
Burhanuddin Harahap.
Pemilu ini sering dikatakan sebagai pemilu Indonesia paling demokratis. Pemilu
tahun 1955 ini dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif;
beberapa daerah dirundung kekacauan oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia) khususnya pimpinan Kartosoewirjo. Dalam keadaan seperti ini,
anggota angkatan bersenjata dan polisi juga memilih. Mereka yang bertugas di
daerah rawan digilir datang ke tempat pemilihan. Pemilu akhirnya pun
berlangsung aman. Pemilu ini bertujuan memilih anggota-anggota DPR dan
Konstituante.
Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi
Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil
golongan minoritas yang diangkat pemerintah. Pemilu ini dipersiapkan di bawah
pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo
mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara.
Dalam proses pemilihan umum 1955 terdapat 100 partai besar dan kecil yang
mengajukan calon-calonnya untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan 82
partai besar dan kecil untuk Dewan Konstituante. Selain itu masih ada 86
organisasi dan perseorangan akan ikut dalam pemilihan umum. Dalam
pendaftaran pemilihan tidak kurang dari 60% penduduk Indonesia yang
mendaftarkan namanya (kurang lebih 78 juta), angka yang cukup tinggi yang ikut
dalam pesta demokrasi yang pertama. (Feith, 1999)
Tahapan Pemilu.
Pemilu 1955 dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
1. Tahap Pertama
Tahap pertama adalah pemilu untuk memilih anggota DPR. dilaksanakan pada
tanggal 29 September 1955. Hasilnya diumumkan pada 1 Maret 1956. diikuti oleh
29 partai politik dan individu. Urutan perolehan suara terbanyak adalah PNI,
Masyumi, Nahdatul Ulama dan PKI. Empat perolehan suara terbanyak
memperoleh kursi sebagai berikut :
PNI 57 kursi
Masyumi 57 kursi
Nahdatul Ulama 45 kursi
PKI 39 kursi
2. Tahap Kedua
Tahap kedua adalah pemilu untuk memilih anggota konstituante. Dilaksanakan
pada 15 Desember 1955. Dewan Konstituante bertugas untuk membuat Undang-
undang Dasar yang tetap, untuk menggantikan UUD Sementara 1950. Hal ini
sesuai dengan ketetapan yang tercantum dalam pasal 134 UUD Sementara 1950
yang berbunyi, “Konstituante (Sidang Pembuat Undang-undang Dasar) bersama-
sama pemerintah selekas- lekasnya menetapkan Undang-undang Dasar Republik
Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara ini”.
Berdasarkan hasil pemilihan tanggal 15 Desember 1955 dan diumumkan pada 16
Juli 1956, perolehan suara partai-partai yang mengikuti pemilihan anggota Dewan
Konstituante urutannya tidak jauh berbeda dengan pemilihan anggota legislatif,
empat besar partainya adalah PNI, Masyumi, NU dan PKI.
Keanggotaaan Dewan Konstituante terdiri dari anggota hasil pemilihan umum dan
yang diangkat oleh pemerintah. Pemeritah mengangkat anggota Konstituate jika
ada golongan penduduk minoritas yang turut dalam pemilihan umum tidak
memperoleh jumlah kursi sejumlah yang ditetapkan dalam UUD S 1950.
Kelompok minoritas yang ditetapkan jumlah kursi minimal adalah golongan Cina
dengan 18 kursi, golongan Eropa dengan 12 kursi dan golongan Arab 6 kursi.
Hasil
Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia mendapatkan 57
kursi DPR dan 119 kursi Konstituante (22,3 persen), Masyumi 57 kursi DPR dan
112 kursi Konstituante (20,9 persen), Nahdlatul Ulama 45 kursi DPR dan 91 kursi
Konstituante (18,4 persen), Partai Komunis Indonesia 39 kursi DPR dan 80 kursi
Konstituante (16,4 persen), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (2,89 persen).
Partai-partai lainnya, mendapat kursi di bawah 10. Seperti PSII (8), Parkindo (8),
Partai Katolik (6), Partai Sosialis Indonesia (5). Dua partai mendapat 4 kursi
(IPKI dan Perti). Enam partai mendapat 2 kursi (PRN, Partai Buruh, GPPS, PRI,
PPPRI, dan Murba). Sisanya, 12 partai, mendapat 1 kursi (Baperki, PIR
Wongsonegoro, PIR Hazairin, Gerina, Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia,
Partai Persatuan Dayak, PPTI, AKUI, Partai Rakyat Indonesia Merdeka,
Persatuan Rakyat Desa (bukan PRD modern), ACOMA dan R. Soedjono
Prawirosoedarso).