Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti


opium, yang berasal dari getah Papaver somniferum. Mengandung sekitar 20 jenis
alkaloid diantaranya yaitu morfin, kodein, tebain dan papverin. Analgesik
terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri, meskipun
juga menimbulkan efek farmakodinamik yang lainnya ( Farmakologi UI, 2007).
Morfin adalah analgesik yang digunakan untuk meredakan nyeri sedang sampai
berat, terutama yang terkait dengan penyakit neoplastik (tumor), infark miokard
(kematian otot jantung) dan bedah. Selain menghilangkan rasa sakit, morfin juga
meredakan kecemasan yang berhubungan dengan nyeri yang parah. Morfin masih
merupakan salah satu obat yang paling penting dalam penatalaksanaan nyeri.
Heroin juga telah digunakan dalam hal pengobatan. Penggunaan heroin untuk
pengobatan diusahakan penggunaan dengan dosis seminimal mungkin, karena
heroin akan menimbulkan euphoria, menghilangkan kecemasan dan perasaan
terbang serta hal ini akan menyebabkan adanya ketergantungan penggunaan
heroin ( Thompson, 1991).
Tingkat kematian pada orang dengan ketergantungan oipioid saat ini
dilaporkan masih sangat tinggi. Kematian disebabkan oleh beberapa hal, yakni
penyebab kematian utama adalah overdosis narkoba, trauma (termasuk bunuh diri
dan pembunuhan), serta somatic (infeksi melalui darah) (Clausen at al, 2009).
Usia mempunyai pengaruh langsung terhadap kematian dan jenis kematian.
Ketergantungan obat juga terkait dengan proses penuaan, namun sampai saat ini
bukti nyata hubungan antara usia dengan risiko kematian akibat ketergantungan
opioid belum ditemukan secara nyata. Rata-rata usia pada saat kematian di
kalangan pengguna opioid adalah usia 30 tahun. Studi dari Inggris telah
melaporkan tingginya tingkat fatal-overdosis di antara pengguna heroin muda, dan
mereka memiliki ilmu pengetahuan yang kurang tentang faktor risiko overdosis
dibandingkan dengan pengguna yang lebih tua. Sebaliknya, usia yang lebih tua
juga telah dilaporkan sebagai factor kematian di antara pengguna heroin ( dengan

1
penelitian kohort). Di Australia umur rata-rata kematian di antara laki-laki
pengguna opioid yang overdosis meningkat dari 24,5 pada 1979 menjadi 30,6
pada tahun 1995.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. JENIS-JENIS OPIUM
Yang termasuk golongan opioid adalah alkaloid opium, derivat semisintetik
alkaloid opium dan senyawa sintetik dengan sifat farmakologik menyerupai
morfin (Farmakologi FKUI, 2007).
1. Morfin dan Alkaloid Opium
Opium atau candu adalah getah papaver somniverum L yang telah
dikeringkan. Alkaloid asal opium secara kimia dibagi dalam 2 golongan,
yaitu:
a) Golongan fenantren : morfin dan kodein
b) Golongan benzilisokinolin : noskapin dan papaverin.
Dari alkaloid derivate fenantren yang alamiah telah dibuat berbagai derivate
semisintetik.
Efek farmakologik masing-masing derivate secara kulaitatif sama tetapi
berbeda secara kuantitatif dengan morfin.
a. Farmakodinamik
Efek morfin pada susunan saraf pusat dan usus terutama ditimbukkan
karena morfin bekerja sebagai agonis pada reseptor μ. Selain itu, morfin juga
mempunyai afinitas yang lebih lemah terhadap reseptor δ dan κ.
1) Susunan Saraf Pusat (SSP)
a) Narcosis
Efek morfin terhadap SSP adalah berupa analgesia dan narcosis.
Morfin dosis kecil (5-10 mg) menimbulkan euphoria pada pasien
yang sedang menderita nyeri, sedih dan gelisah. Sebaliknya, pada
orang normal seringkali menimbulkan disforia dengan gejala
perasaan kuatir atau takut, disertai dengan mual dan muntah.
Dalam lingkungan yang tenang morfin dengan dosis terapi (15-20
mg) akan menyebabkan tidur cepat dan nyenyak disertai mimi,
napas lambat dan miosis.

3
b) Analgesia
Efek analgetik yang ditimbulkan oleh opioid terutama terjadi
sebagai akibat kerja opioid pada reseptor μ. Opioid menimbulkan
analgesia dengan cara berikatan dengan reseptor opioid yang
terutama didapatkan di SSP dan medulla spinalis yang berperan
pada transmisi dan modulasi nyeri. Efek analgetik morfin dan
opioid lain sangat selektif dan tidak disertai hilangnya fungsi
sensorik lain.
c) Eksitasi
Morfin dan opioid lain sering menimbulkan mual dan muntah,
sedangkan delirium dan konvulsi lebih jarang timbul.
d) Miosis
Morfin dan kebanyakan agonis opioid yang bekerja pada reseptor μ
dan κ menyebabkan miosis. Miosis ditimbulkan oleh perangsangan
pada segmen otonom inti saraf okulomotor.
e) Depresi Napas
Morfin menimbulkan depredi napas secara primer dan
bersinambungan berdasrkan efek langsung terhadap pusat napas di
batang otak.
f) Mual dan Muntah
Efek emetic morfin terjadi berdasarkan stimulasi langsung pada
emetic chemoreceptor trigger zone (CTZ) di area posterma medulla
oblongata, bukan oleh stimulasi pusat emetic sendiri.
2) Saluran Cerna
Morfin berefek langsung pada saluran cerna tanpa melalui efeknya
terhadap SSP. Di lambung morfin menghambat sekresi HCl,
menyebabkan pergerakan lambung berkurang, tonus bagian antrum
meninggi dan motilitasnya berkurang, sedangkan sfingter pylorus
berkontraksi. Akibatnya pergerakan isi lambung ke duodenum
diperlambat. Sedangkan di usus halus morfin mengurangi sekresi
empedu dan pancreas, dan memperlambat pencernaan makanan di usus

4
halus. Di usus besar morfin mengurangi atau menghilangkan gerakan
propulsi usus besar, meninggikan tonus dan menyebabkan spasme usus
besar; akibatnya penerusan isi kolon diperlambat dan tinja menjadi
lebih keras.
3) Sistem Kardiovaskular
Pemberian morfin dosis terapi tidak mempengaruhi tekanan darah,
frekuensi, maupun irama denyut jantung. Perubahan yang terjadi
adalah akibat efek depresi pada pusat vagus dan pusat vasomotor yang
baru terjadi pada dosis toksik. Tekanan darah turun akibat hipoksia
pada stadium akhir intoksikasi morfin. Morfin dan opioid lain
melepaskan histamine yang merupakan factor penting dalam timbulnya
hipotensi.
4) Metabolisme
Morfin menyebabkan suhu badan turun akibat aktivitas otot yang
menurun, vasodilatasi perifer dan penghambatan mekanisme neural di
SSP. Setelah pemberian morfin volume urin berkurang, disebabkan
merendahnya laju filtrasi glomerulus, alir darah ginjal dan penglepasan
ADH.
b. Indikasi
1) Terhadap nyeri
Morfin dan opioid lain terutama diindikasinkan untuk meredakan
atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan
analgesic non-opioid. Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang
menyertai: infark miokard, neoplasma, kolik renal atau empedu,
perikarditis akut, pleuritis, pneumothoraks spontan, nyeri akibat
trauma dan oklusio akut pembuluh darah perifer, pulmonal, atau
koroner.
2) Terhadap batuk
Penggunaan analgesic opioid untuk mengatasi batuk telah banyak
ditinggalkan karena, telah banyak obat-obatan lain yang efektif dan
tidak menimbulkan adiktif.

5
3) Edema paru akut
Morfin IV dapat dengan jelas mengurangi / menghilangkan sesak
napas akibat edema pulmonal yang menyertai gagal jantung kiri.
4) Efek antidiare
Alkaloid morfin berguna untuk menghentikan diare berdasarkan efek
langsung terhadap otot polos usus.
c. Efek Samping
1) Idiosinkrasi dan Alergi
Morfin dapat menyebabkan mual dan muntah terutama pada wanita
berdasarkan idiosinkrasinya. Bentuk idiosinkrasi adalah timbulnya
eksitasi dengan termor dan jarang terjadi delirium, lebih jarang lagi
konvulsi dan insomnia. Berdasarkan reaksi alergi dapat timbul gejala
seperti urtikaria, eksantem, dermatitis kontak, pruritus dan bersin.
2) Intoksikasi Akut
Intoksikasi akut morfin atau opioid lain biasanya terjadi akibat
percobaan bunuh diri. Pasien akan tidur, sopor atau koma jika
intoksikasi cukup berat.
d. Sediaan Obat
1) Pulvus opii : mengandung 10% morfin dan kurang dari 0,5% kodein.
2) Pulvus doveri : mengandung 10% pulvus opii
2. Senyawa Sintetik dengan Sifat Farmakologik menyerupai Morfin
a. Meperidin
Meperidin juga dikenal sebagai petidin. Efek farmakodinamik dan derivate
fenilpiperidin lain serupa satu dengan yang lain. Meperidin terutama
bekerja sebagai agonis reseptor μ. Efek farmakodinamik meperidipin
antara lain:
1) Susunan Saraf Pusat (SSP)
Sama halnya dengan morfin, meperidin akan menyebabkan analgesia,
sedasi, euphoria, depresi napas, dan efek sentral lainnya.
a) Analgesia
Efek analagesik meperidin serupa dengan efek analgesic morfin.

6
b) Sedasi, euphoria, dan eksitasi
Berbeda dengan morfin, dosis toksik meperidin kadang-kadang
menimbulkan perangsangan SSP misalnya tremor, kedutan otot
dan konvulsi.
c) Saluran napas
Obat ini menurunkan kepekaan pusat napas terhadap CO2 dan
mempengaruhi pusat yang mengatur irama napas dalam pons.
Meperidin mempengaruhi terhadap penurunan volume tidal,
sedangkan frekuensi napas tidak terlalu dipengaruhi, sehingga efek
depresi napas tidak disadari.
d) Efek neural lain
2) Sistem Kardiovaskular
Pemberian meperidin secara IV dapat terjadi sinkop, karena terjadi
vasodilatasi perifer dan penglepasan histamine. Meperidin dapat
menaikkan kadar CO2 darah akibat depresi napas sehingga
menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak dan menimbulkan
kenaikan tekanan cairan serebrospinal.
b. Fentanil dan Derivatnya
Fentanil dan derivatnya: sulfentanil, alfentanil dan remifentanil merupakan
opioid sintetik dari kelompok fenilpipiredin dan bekerja sebagai agonis
reseptor μ. Seperti agonis reseptor μ lainnya, fentanil dan derivatnya dapat
menimbulkan mual, muntah dan gatal.

3. Metadon dan Opioid Lain


a. Metadon
Farmakodinamik dari metadon akan mempengaruhi:
1) Susunan Saraf Pusat (SSP)
Dalam dosis tunggal, metadon tidak menimbulkan hipnosis sekuat
morfin, tetapi setelah pemberian metadon berulang kali timbul efek
sedasi yang jelas, kemungkinan karena adanya akumulasi. Seperti

7
morfin, metadon berefek antitusif, menimbulkan hiperglikemi,
hipotermia, dan pelepasan ADH.
2) Sistem Kardiovaskular
Metadon menyebabkan vasodilatasi perifer sehingga dapat
menimbulkan hipotensi ortostatik.
Indikasi penggunaan metadon antara lain untuk:
1) Analgesia
Jenis nyeri yang dapat dipengaruhi metadon sama dengan jenis nyeri
yang dapat dipengaruhi oleh morfin. Obat ini dapat menyebabkan
depresi napas pada janin sehingga tidak dianjurkan sebagai analgetik
dalam persalinan.
2) Antitusif
Metadon adalah antitusif yang baik, tetapi kemungkinan untuk
timbulnya adiksi lebih besar daripada kodein.
Efek samping dari metadon sendiri dapat menyebabkan perasaan
ringan, pusing kantuk, fungsi mental terganggu, berkeringat, pruritus,
mual dan muntah.
b. Propoksifen
Propoksifen berefek analgetik karena kerja sentralnya. Propoksifen
terutama terikat pada reseptor μ meskipun kurang selektif disbanding
morfin. Propoksifen menimbulkan perasaan panas dan iritasi pada tempat
suntikan (parenteral).
Propoksifen hanya digunakan untuk mengobati nyeri ringan hingga
sedang, yang tidak cukup baik diredakn oleh asetosal. Efek samping dari
propoksifen adalah mual, aneroksia, sembelit, nyeri perut dan kantuk.
Jenis obat opium menurut Buku Ajar IPD (2009) :
Jenis Obat Dosis Fatal (g) Dosis Pengobatan (mg)
Kodein 0,8 60
Dekstrometorphan 0,5 60-120/hari
Heroin 0,2 4

8
Loperamid (Imodium) 0,5
Meperidin (petidin) 1 100
Morfin 0,2 10
Naloxone
Opium (Papaver 0,3
somniferum)
Pentazocaine (Talwin) 0,3
Tabel 1. Jenis obat, dosis fatal dan dosis pengobatan.
II. FARMAKOLOGI OPIAT
Setelah pemberian dosis tunggal, heroin (putaw) didalam tubuh akan
dihidrolisis oleh hati (6-10 menit) menjadi 6 monoacetyl morphine dan setelah itu
akan diubah menjadi morfin. Morfin selanjutnya diubah menjani Mo 3
monoglucoronide dan Mo 6 monoglucoronide yang larut du dalam air. Bentuk
metabolit ini yang dapat dites di dalam urin. Oleh karena heroin (putaw) larut di
dalam lemak maka bahan tersebut (± 60%) dapat melalui sawar otak dalam waktu
yang cepat.

Gb.1 Metabolisme heroin dalam tubuh


III. MEKANISME TOKSISITAS
Pada umumnya kelompok opiat mempunyai kemampuan untuk menstimulasi
SSP melalui aktivasi reseptornya yang akan menyebabkan efek sedasi dan depresi

9
napas. Kematian umumnya terjadi karena apnea atau aspirasi paru dari cairan
lambung, sedangkan reaksi edema pulmoner yang akut (non kardiogenik)
mekanismenya masih belum jelas.
Reaksi toksisitas sangat beragam dari masing-masing jenis obat opiate
tergantung cara (rute) pemberian, efek toleransi (pemakai kronik), lama kerja dan
masa paruh obat yang akhirnya akan menentukan tingkat toksisitas.
Dengan ditemukannya tipe reseptor opiat di SSP (otak) maka mekanisme
toksisitas dan atidotumnya dapat diterangkan melalui reseptornya. Berikut ini
adalah beberapa jenis reseptornya:
1. Reseptor Mu1 (μ1) : berefek analgesik, euphoria, dan hipotermia
Mu2 (μ2) : bradikardi, depresi napas, miosis, euphoria, penurunan kontraksi
usus dan ketergantungan fisik.
2. Reseptor Kappa (κ) : spinal analgesik, depresi napas dan miosis, hipotermia.
3. Reseptor Delta (δ) : depresi napas, dispori, halusinasi, vasomotor stimulasi.
4. Reseptor Gamma (γ) : inhibisi otot polos, spinal analgesik.

Gb.2 Perbedaan mekanisme kerja Otak pada orang normal dan pengguna
IV. SIMPTOMATOLOGI
Pada kelompok ini dimasukan beberapa obat dengan simptomatologi yang
hampir sama yaitu golongan opiat (morfin, petidin, heroin, kodein) dan sedatif:
1. Narkotika
2. Barbiturat
3. Benzodiasepin
4. Meprebamat
5. Etanol.

10
Tanda dan gejala yang sering ditemukan adalah koma, depresi napas, miosis,
hipotensi, bradikardi, hipotermi, edema paru, bising usus menurun, hiporefleksi,
kejang (pada kasus berat)
V. DIAGNOSIS
Bila ditemukan gejala klinis yang khas (pin point, depresi napas dan membaik
setelak pemberian naloxone) maka penegakan secara klinis dapat ditegakkan
dengan mudah. Kadang-kadang ditemukan bekas suntikan yang khas (needle
track sign).
No. Kriteria Diagnostik untuk Intoksikasi Opioid
1. Pemakaian opioid yang belum lama
2. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologi yang bermakna secara
klinis (misalnya, euphoria awal diikuti oleh apati, disfotia, agitasi
atau retardasi psikomotor, gangguan pertimbangan, atau gangguan
fungsi sosial atau pekerjaan) yang berkembang selama, atau segera
setelah pemakaian opioid
3. Kontriksi pupil (atau dilatasi pupil karena anoksia akibat overdosis
berat) dan satu (atau lebih) tanda berikut, yang berkembang selama,
atau segera setelah pemakaian opioid:
a. Mengantuk atau koma;
b. Bicara cadel;
c. Gangguan atensi atau daya ingat.
4. Gejala tidak karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain
Tabel 2. Kriteria diagnostik intoksikasi opioid menurut DSM IV
(Kaplan, 2010)
Pemeriksaan laboratorium tidak selalu seiring dengan gejala klinis,
pemeriksaan secara kualitatif dari bahan urin cukup efektif untuk memastikan
diagnosis keracunan opiat dan zat akditif lainnya.
Jenis Obat Lamanya waktu dapat dideteksi
Amfetamin 2 hari

11
Barbiturate 1 hari (kerja pendek)
3 minggu (kerja panjang)
Benzodiazepine 3 hari
Kokain 2-4 hari
Kodein 2 hari
Heroin 1-2 hari
Metadon 3 hari
Morfin 2-5 hari
Tabel 3. Perkiraan waktu deteksi dalam urin beberapa jenis obat

VI. PRINSIP PENATALAKSANAAN KASUS KERACUNAN


Mengingat kecepaatan diagnosis sangat bervariasi dan disisi lain bahaya
keracunan dapat mengancam nyawa maka upaya penatalaksanaan kasus
keracunan ditujukan kepada hal berikut:
1. Penatalaksanaan Kegawatan
Penilaian terhadap tanda vital seperti jalan napas/pernapasan, sirkulasi
dan prnurunan kesadaran harus dilakukan secara cepat dan tepat sehingga
tindakan resusitasi tidak terlambat dimulai. Urutan resusutasi:
a. A (airways), bebaskan jalan napas dari sumbatan bahan muntahan,
lender, gigi palsu, bila perlu dengan perubahan posisi dan
oropharyngeal airway dan alat penghisap lender.
b. B (breathing), jaga agar pernapasan sestabil mungkin dan bila
memang diperlukan dapat diberikan alat bantu respiratory.
c. C (circulation), tekanan darah dan volume cairan harus
dipertahankan secukupnya dengan pemberian cairan. Dalam
keadaan tertentu dapat diberikan cairan koloid.
Bila terdapat henti jantung lakukan RJP (resusitasi jantung paru).
2. Penilaian Klinis
Pada kasus keracunan bukan hanya hasil laboratorium toksikologis
yang selalu harus diperhatikan akan tetapi standar pemeriksaan keracunan
yang telah disetujui di masing-masing rumah sakit perlu dibuat untuk

12
memudahkan penangangan. Beberapa keadaan klinis yang perlu mendapat
perhatian karena dapat mengancam jiwa yaitu koma, kejang, henti jantung,
henti napas dan syok. Hal ini bisa didapatkan dari:
a. Anamnesis
Upaya yang penting adalah anamnesis atau aloanamnesis yang rinci.
Beberapa pegangan yang penting dalam upaya mengatasi keracunan
ialah:
1) Kumpulkan informasi selengkapnya tentang seluruh obat yang
digunakan termasuk obat yang sering dipakai
2) Kumpulkan informasi dari anggota keluarga, teman dan petugas
tentang obat yang digunakan
3) Tanyakan dan simpan (untuk pemeriksaan toksikologis) sisa obat,
muntahan yang masih ada
4) Tanyakan riwayat alergi obat atau riwayat syok anafilaksis.
b. Pemeriksaan Fisik
Lakukan pemeriksaan fisik untuk menemukan tanda/kelainan
akibat keracunan yaitu pemeiksaan kesadaran, tekanan darah, nadi,
denyut jantung, ukuran pupil, keringat, air liur dan lainnya.
Pemeriksaan penunjang diperlukan berdasar skala prioritas dan pada
keadaan yang memerlukan observasi pemeriksaan fisik harus
dilakukan berulang.
3. Dekontaminasi
Umumnya zat atau bahan kimia tertentu dapat dengan cepat diserap
melalui kulit sehingga dekontaminasi permukaan sangat diperlukan,
sedang dekontaminasi saluran cerna ditujukan agar bahan yang tertelan
akan sedikit diabsorbsi. Biasanya dapat diberikan arang aktif, pencahar,
pemberian obat perangsang muntah dan kumbah lambung.
Beberapa upaya lain untuk mengeluarkan bahan/obat dpat dilakukan
dengan dialisis, akan tetapi kadang-kadang peralatan tersebut tidak
tersedia di rumah sakit (hanya RS tertentu) sehingga pemberian diuretikum
dapat dicoba sebagai tindakan pengganti.

13
4. Pemberian Antidotum
Tidak semua keracunan ada penawarnya sehingga prinsip utama
adalah mengatasi sesuai dengan besar masalah. Tetapi antidotum untuk
keracunan opiat baik untuk dewasa maupun anak-anak adalah naloxone.
5. Suportif, Konsultasi dan Rehabilitasi
Terapi suportif, konsultasi dan rehabilitasi medik harus dilihat secara
holistik dan cost effectiveness disesuaikan dengan kondisi masing-masing
pelayanan kesehatan.
VII. PENATALAKSANAAN INTOKSIKASI OPIAT
Gb.3 Alur Tatalaksana Intoksikasi Opium

Intoksikasi
golongan obat

-aloanamnesa
-riwayat pemakaian obat
-bekas suntikan (needle track sign)
-pemeriksaan urin

Trias intoksikasi opiat:


-depresi napas
-pupil pinpoint
-kesadaran menurun (koma)

Suport sistem pernapasan dan sirkulasi

Naloxone IV (lihat protokol)

Observasi/pengawasan tanda vital


dan dipuasakan selama 6 jam

14
VIII. PROTOKOL PENANGANAN OVERDOSIS OPIAT DI IGD

Pasien pengguna opiat

EMERGENSI TIDAK EMERGENSI

Overdosis, gejala putus obat/kegawatan masalah psikiatris


Psikiatri, emergensi komplikasi (ARDS,AIDS,dll) masalah komunikasi
(HCV, pneumonia dg drug abuse,HIV,dll)

IGD POLIKLINIK RAWAT JALAN

INDIKASI RAWAT INDIKASI RAWAT

TIDAK YA TIDAK YA

Berobat lanjut (kontrol rutin) Ruang Rawat inap


Observasi 6 jam Rawat

perburukan

Pulang HCU

ICU

Ruang Rawat Inap

POLIKLINIK RAWAT JALAN

Detoksifikasi konvensional di RS/berobat jalan Detoksifikasi cepat dengan anestesi

REHABILITASI 15
IX. PENGOBATAN
1. Naloxone : naloxone adalah antidotum dari intoksikasi opiat baik kasus
dewada maupun anak-anak. Dosis dewasa: 0,4-2,0 mg , dosis dapat
diulang pada kasus berat dengan pemnaduan perbaikan gejala klinis. Dapat
dipertimbangkan naloxone drip bila ada kecurigaan intoksikasi dengan
obat narkotik kerja panjang. Efek naloxone sekitar 2-3 jam.
Bila dalam observasi tidak ada respon setelah pemakaian total 10 mg
(naloxone) diagnosis intoksikasi opiat perlu diulang.
2. Edema paru diobati sesuai dengan antidotumnya yaitu pemberian naloxone
di samoing oksigen dan respirator bila diperlukan
3. Hipotensi diberikan cairan IV yang adekuat, dapat dipertimbangkan
pemberian dopamine dengan dosis 2-5 mcg/KgBB/menit dan dapat
dititrasi bila diperlukan
4. Pasien jangan dicoba untuk muntah (pada intoksikasi oral)
5. Kumbah lambung. Dapat dilakukan segera setelah intoksikasi dengan
opiat oral, awasi jalan napas dengan baik
6. Activated Charcoal dapat diberikan pada intoksikasi peroral dengan
memberikan 240 ml cairan dengan 30 g charcoal. Dapat diberikan sampai:
100 gram
7. Bila terjadi kejang dapat diberikan diazepam IV 5-10 mg dan dapat
diulang bila diperlukan. Monitor tekanan darah dan depresi napas dan bila
ada indikasi dapat dilakukan intubasi.

16

Anda mungkin juga menyukai