JURNAL International Journal of Economics and Financial Issues, 2018, 8(1), 30-38.
ABSTRAK Jumlah transfer dana yang dikelola oleh pemerintah daerah telah meningkat secara
signifikan namun penurunan penduduk miskin cukup lambat. Pelaksanaan pro
penganggaran miskin tergantung pada sejauh mana pemerintah daerah merumuskan
perencanaan program dan penganggaran yang terkait dengan pengentasan
kemiskinan. Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis deskriptif dan analisis
isi pada dokumen perencanaan dan anggaran daerah untuk mengetahui jumlah
program dan jumlah pengeluaran pemerintah yang terkait dengan pengurangan
kemiskinan di Kabupaten Bone. Studi ini menemukan bahwa jumlah program yang
dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten Bone pada tahun 2015 sebesar 45 program
dengan realisasi anggaran sebesar Rp 126.200.000.000. Angka ini relatif kecil
hanya 6,86% dari Rp 184.180.000.000 total belanja pemerintah daerah di
Kabupaten Bone.
PENDAHULUAN Sampai saat ini, isu kemiskinan tetap merupakan topik yang menarik dari diskusi
oleh para pembuat kebijakan di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah
penduduk miskin masih cukup tinggi hingga 2015. Jumlah orang miskin meningkat
dari 27.720.000 orang di tahun 2014 dan 28.510.000 orang pada tahun 2015, atau
dari 10,96% menjadi 11,13% pada periode yang sama. Angka ini didistribusikan di
seluruh provinsi di Indonesia. Untuk Provinsi Sulawesi Selatan, jumlah orang
miskin adalah 864,51 ribu pada tahun 2015 dan jumlahnya bervariasi antara
kabupaten / kota. Sebagian besar orang miskin di daerah pedesaan. Kondisi ini
semakin menguatkan fakta bahwa untuk mengatasi masalah kemiskinan
membutuhkan multidimensi dan komprehensif kebijakan (Mawardi dan Sumarto,
2003).
Salah satu kebijakan yang memainkan peran utama dalam mengurangi kemiskinan
adalah kebijakan desentralisasi fiskal. Dalam era desentralisasi fiskal, pemerintah
daerah diberi kewenangan mungkin terluas untuk mengatur penggunaan dana
transfer ke meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui penyediaan pelayanan
publik. Sehubungan dengan ini, kebijakan penganggaran miskin pro memainkan
peran penting. Boex et al. (2006) dalam penelitian mereka bahwa desentralisasi
fiskal dapat mengurangi kemiskinan melalui masing-masing pilar desentralisasi,
yaitu otoritas pengeluaran, otoritas penerimaan, hubungan keuangan pusat dan
daerah, dan pinjaman.
Kebijakan penganggaran kemiskinan telah diberikan pemerintah daerah lebih
banyak ruang di era desentralisasi fiskal. Ada dua pilar desentralisasi fiskal yang
berkontribusi untuk mengurangi kemiskinan di daerah, yaitu pengeluaran dan
hubungan fiskal antar pemerintah. Penelitian sebelumnya yang diperkirakan antara
desentralisasi fiskal dan pengurangan kemiskinan yang relatif besar dan hasilnya
bervariasi (Steiner, 2005; Liv, 2009; Sepulveda dan Martinez-Vazquez, 2010;
Banwo, 2012; Valaris, 2012;. Moche et al, 2014; Azila -Gbettor et al, 2014;..
Maharajabdinul et al, 2015; Abdullah dan Mursinto, 2016, dan baru-baru ini oleh
Agegnehu dan Dibu, 2017). Soejoto et al., (2015) dan Maharajabdinul et al. (2015)
menemukan peningkatan dana desentralisasi yang tidak diikuti dengan penurunan
jumlah penduduk miskin secara signifikan di Indonesia. Studi tentang transfer dana
sebagai ukuran desentralisasi fiskal dan pengurangan kemiskinan umumnya
menggunakan analisis kuantitatif dan berfokus pada tingkat nasional, pendekatan
kualitatif dan fokus pada tingkat pemerintah daerah relatif terbatas. studi empiris di
tingkat pemerintah daerah penting karena pemerintah daerah lebih sadar akan
kebutuhan aktual masyarakat dan dapat berkolaborasi dengan masyarakat dalam
merumuskan perencanaan program dan penganggaran terkait dengan pengentasan
kemiskinan (Brautigam, 2004; Manaf et al 2016.).
Dampak desentralisasi fiskal pada pengurangan kemiskinan tergantung pada sejauh
mana pemerintah daerah berkomitmen untuk mengalokasikan anggaran untuk
program dan kegiatan yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat miskin.
Program dan kegiatan yang lebih pro-miskin semakin besar anggaran porsi
proporsional kepada orang miskin yang kemudian dapat menciptakan pendapatan
bagi masyarakat miskin (Bossuyt, 2000). Brautigam (2004) menegaskan bahwa
alokasi pengeluaran lebih untuk orang miskin jika orang miskin secara langsung
terlibat dalam menentukan keputusan anggaran. Manaf dkk. (2016) menemukan
bahwa Kota Pekalongan telah berhasil mendorong partisipasi masyarakat meningkat
dalam perencanaan dan pembangunan dan juga telah berhasil menerapkan program
pengurangan kemiskinan.
Dampak desentralisasi fiskal terhadap penanggulangan kemiskinan tergantung pada
sejauh mana pemerintah daerah untuk berkomitmen mengalokasikan anggaran
untuk program dan aktivitas yang yang berhubungan langsung dengan kebutuhan
orang miskin. Semakin banyak program untuk kemiskinan dan kegiatan yang lebih
besar memproporsionalkan porsi anggaran untuk kemisinan yang dapat membuat
pendapatan untuk warga miskin (Bossuyt, 2000). Brautigam (2004) Menyatakan
bahwa alokasi menghabiskan lebih banyak bagi masyarakat miskin jika masyarakat
miskin yang terlibat langsung dalam menentukan anggaran keputusan. Manaf dkk.
(2016) menemukan bahwa Kota Pekalongan telah berhasil memberi peningkatan
partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pengembangan dan juga telah sukses
dalam mengimplementasikan sebuah program penanggulangan kemiskinan.
Mawardi dan Sumarto (2003) menemukan bahwa pemerintah daerah memiliki
tingkat fleksibilitas yang tinggi dalam menggunakan dana DAU untuk kepentingan
orang miskin, dan transfer dana melengkapi pendanaan pemerintah daerah untuk
mengatasi kemiskinan (Bossuyt, 2000). Hal ini sejalan dengan Rao (1998) yang
menyatakan bahwa keberhasilan strategi anti-kemiskinan di era desentralisasi terdiri
dari tiga kelompok tindakan: (i) Memberikan kesempatan kepada orang miskin, (ii)
memberdayakan orang miskin, dan (iii) memberikan perlindungan kepada orang
miskin. Ketiga langkah tidak dapat dipisahkan dari sejauh mana pemerintah daerah
merumuskan perencanaan dan penganggaran kemiskinan.
Studi ini menganalisis pelaksanaan pro kebijakan penganggaran miskin di era
desentralisasi fiskal di tingkat pemerintah daerah di Kabupaten Bone dengan
berfokus pada tiga pertanyaan kunci: (i) Program apa, dan kegiatan yang
dikembangkan oleh pemerintah daerah yang pro-miskin? (Ii) Berapa banyak
anggaran dialokasikan untuk pro-miskin? (Iii) Apa bentuk inovasi pemerintah
daerah terkait dengan pengentasan kemiskinan di Kabupaten Bone?
Penelitian ini disusun sebagai berikut: (i) Sesi 2 berisi literatur survei pro
penganggaran miskin, (ii) Sesi 3 berisi metode penelitian, (iii) sesi 4 hasil
yang mengandung dan diskusi, dan (iv) Sesi 5 berisi kesimpulan dan
rekomendasi.