Anda di halaman 1dari 7

Tugas Pembekalan: Kajian Penelitian Kelas PDIE Universitas Sebelas Maret Surakarta

Disusun Oleh : Mahameru Rosy Rochmatullah


JUDUL Implementing Pro Poor Budgeting in Poverty Reduction: A Case of Local
Government in Bone District, South Sulawesi Province, Indonesia

PENULIS Nursini Nursini, Agussalim Agussalim, Sultan Suhab, Tawakkal Tawakkal

JURNAL International Journal of Economics and Financial Issues, 2018, 8(1), 30-38.
ABSTRAK Jumlah transfer dana yang dikelola oleh pemerintah daerah telah meningkat secara
signifikan namun penurunan penduduk miskin cukup lambat. Pelaksanaan pro
penganggaran miskin tergantung pada sejauh mana pemerintah daerah merumuskan
perencanaan program dan penganggaran yang terkait dengan pengentasan
kemiskinan. Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis deskriptif dan analisis
isi pada dokumen perencanaan dan anggaran daerah untuk mengetahui jumlah
program dan jumlah pengeluaran pemerintah yang terkait dengan pengurangan
kemiskinan di Kabupaten Bone. Studi ini menemukan bahwa jumlah program yang
dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten Bone pada tahun 2015 sebesar 45 program
dengan realisasi anggaran sebesar Rp 126.200.000.000. Angka ini relatif kecil
hanya 6,86% dari Rp 184.180.000.000 total belanja pemerintah daerah di
Kabupaten Bone.
PENDAHULUAN Sampai saat ini, isu kemiskinan tetap merupakan topik yang menarik dari diskusi
oleh para pembuat kebijakan di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah
penduduk miskin masih cukup tinggi hingga 2015. Jumlah orang miskin meningkat
dari 27.720.000 orang di tahun 2014 dan 28.510.000 orang pada tahun 2015, atau
dari 10,96% menjadi 11,13% pada periode yang sama. Angka ini didistribusikan di
seluruh provinsi di Indonesia. Untuk Provinsi Sulawesi Selatan, jumlah orang
miskin adalah 864,51 ribu pada tahun 2015 dan jumlahnya bervariasi antara
kabupaten / kota. Sebagian besar orang miskin di daerah pedesaan. Kondisi ini
semakin menguatkan fakta bahwa untuk mengatasi masalah kemiskinan
membutuhkan multidimensi dan komprehensif kebijakan (Mawardi dan Sumarto,
2003).
Salah satu kebijakan yang memainkan peran utama dalam mengurangi kemiskinan
adalah kebijakan desentralisasi fiskal. Dalam era desentralisasi fiskal, pemerintah
daerah diberi kewenangan mungkin terluas untuk mengatur penggunaan dana
transfer ke meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui penyediaan pelayanan
publik. Sehubungan dengan ini, kebijakan penganggaran miskin pro memainkan
peran penting. Boex et al. (2006) dalam penelitian mereka bahwa desentralisasi
fiskal dapat mengurangi kemiskinan melalui masing-masing pilar desentralisasi,
yaitu otoritas pengeluaran, otoritas penerimaan, hubungan keuangan pusat dan
daerah, dan pinjaman.
Kebijakan penganggaran kemiskinan telah diberikan pemerintah daerah lebih
banyak ruang di era desentralisasi fiskal. Ada dua pilar desentralisasi fiskal yang
berkontribusi untuk mengurangi kemiskinan di daerah, yaitu pengeluaran dan
hubungan fiskal antar pemerintah. Penelitian sebelumnya yang diperkirakan antara
desentralisasi fiskal dan pengurangan kemiskinan yang relatif besar dan hasilnya
bervariasi (Steiner, 2005; Liv, 2009; Sepulveda dan Martinez-Vazquez, 2010;
Banwo, 2012; Valaris, 2012;. Moche et al, 2014; Azila -Gbettor et al, 2014;..
Maharajabdinul et al, 2015; Abdullah dan Mursinto, 2016, dan baru-baru ini oleh
Agegnehu dan Dibu, 2017). Soejoto et al., (2015) dan Maharajabdinul et al. (2015)
menemukan peningkatan dana desentralisasi yang tidak diikuti dengan penurunan
jumlah penduduk miskin secara signifikan di Indonesia. Studi tentang transfer dana
sebagai ukuran desentralisasi fiskal dan pengurangan kemiskinan umumnya
menggunakan analisis kuantitatif dan berfokus pada tingkat nasional, pendekatan
kualitatif dan fokus pada tingkat pemerintah daerah relatif terbatas. studi empiris di
tingkat pemerintah daerah penting karena pemerintah daerah lebih sadar akan
kebutuhan aktual masyarakat dan dapat berkolaborasi dengan masyarakat dalam
merumuskan perencanaan program dan penganggaran terkait dengan pengentasan
kemiskinan (Brautigam, 2004; Manaf et al 2016.).
Dampak desentralisasi fiskal pada pengurangan kemiskinan tergantung pada sejauh
mana pemerintah daerah berkomitmen untuk mengalokasikan anggaran untuk
program dan kegiatan yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat miskin.
Program dan kegiatan yang lebih pro-miskin semakin besar anggaran porsi
proporsional kepada orang miskin yang kemudian dapat menciptakan pendapatan
bagi masyarakat miskin (Bossuyt, 2000). Brautigam (2004) menegaskan bahwa
alokasi pengeluaran lebih untuk orang miskin jika orang miskin secara langsung
terlibat dalam menentukan keputusan anggaran. Manaf dkk. (2016) menemukan
bahwa Kota Pekalongan telah berhasil mendorong partisipasi masyarakat meningkat
dalam perencanaan dan pembangunan dan juga telah berhasil menerapkan program
pengurangan kemiskinan.
Dampak desentralisasi fiskal terhadap penanggulangan kemiskinan tergantung pada
sejauh mana pemerintah daerah untuk berkomitmen mengalokasikan anggaran
untuk program dan aktivitas yang yang berhubungan langsung dengan kebutuhan
orang miskin. Semakin banyak program untuk kemiskinan dan kegiatan yang lebih
besar memproporsionalkan porsi anggaran untuk kemisinan yang dapat membuat
pendapatan untuk warga miskin (Bossuyt, 2000). Brautigam (2004) Menyatakan
bahwa alokasi menghabiskan lebih banyak bagi masyarakat miskin jika masyarakat
miskin yang terlibat langsung dalam menentukan anggaran keputusan. Manaf dkk.
(2016) menemukan bahwa Kota Pekalongan telah berhasil memberi peningkatan
partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pengembangan dan juga telah sukses
dalam mengimplementasikan sebuah program penanggulangan kemiskinan.
Mawardi dan Sumarto (2003) menemukan bahwa pemerintah daerah memiliki
tingkat fleksibilitas yang tinggi dalam menggunakan dana DAU untuk kepentingan
orang miskin, dan transfer dana melengkapi pendanaan pemerintah daerah untuk
mengatasi kemiskinan (Bossuyt, 2000). Hal ini sejalan dengan Rao (1998) yang
menyatakan bahwa keberhasilan strategi anti-kemiskinan di era desentralisasi terdiri
dari tiga kelompok tindakan: (i) Memberikan kesempatan kepada orang miskin, (ii)
memberdayakan orang miskin, dan (iii) memberikan perlindungan kepada orang
miskin. Ketiga langkah tidak dapat dipisahkan dari sejauh mana pemerintah daerah
merumuskan perencanaan dan penganggaran kemiskinan.
Studi ini menganalisis pelaksanaan pro kebijakan penganggaran miskin di era
desentralisasi fiskal di tingkat pemerintah daerah di Kabupaten Bone dengan
berfokus pada tiga pertanyaan kunci: (i) Program apa, dan kegiatan yang
dikembangkan oleh pemerintah daerah yang pro-miskin? (Ii) Berapa banyak
anggaran dialokasikan untuk pro-miskin? (Iii) Apa bentuk inovasi pemerintah
daerah terkait dengan pengentasan kemiskinan di Kabupaten Bone?
Penelitian ini disusun sebagai berikut: (i) Sesi 2 berisi literatur survei pro
penganggaran miskin, (ii) Sesi 3 berisi metode penelitian, (iii) sesi 4 hasil
yang mengandung dan diskusi, dan (iv) Sesi 5 berisi kesimpulan dan
rekomendasi.

LITERATUR Kebijakan anggaran kemiskinan adalah reformasi anggaran kemiskinan. Kebijakan


ini muncul karena kelemahan dari kebijakan sebelumnya yang bukan tentang
kemiskinan. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah orang miskin yang tidak
mendapatkan manfaat dari hasil-hasil pembangunan. Menurut Kakembo (2016)
bahwa anggaran keimiskinan memiliki implikasi penting untuk mendistribusikan
dana untuk mengurangi kemiskinan. Untuk mencapai hal ini, orang-orang miskin
harus dilibatkan dalam proses perencanaan dan penganggaran untuk memastikan
bahwa bantuan pemerintah dan program belanja untuk layanan sosial seperti
pendidikan dan kesehatan sepenuhnya didefinisikan dan dinikmat
Dalam era desentralisasi, Bank Dunia (2008) menegaskan bahwa demokratisasi di
sektor anggaran mencakup partisipasi (dari rakyat), akuntabilitas dan transparansi
(oleh rakyat) dan respon (untuk rakyat). Demokratisasi adalah apa yang telah
menyebabkan konsep-konsep baru di sektor anggaran: penganggaran partisipatif,
gender budgeting, orang penganggaran dan penganggaran kemiskinan. (Santos,
1998; Sintomer dkk, 2008.).
Rono dan Getachew (2016) mendefinisikan anggaran kemiskinan dalam dua aspek:
Pertama, aspek pengeluaran adalah alokasi anggaran untuk sektor sosial dan
ekonomi diterima langsung oleh orang miskin, dan alokasi anggaran untuk sektor
sosial dan ekonomi tidak langsung diterima oleh orang miskin tetapi memiliki
kesempatan akses yang signifikan kepada orang miskin. Kedua, aspek perpajakan,
pengaturan pajak progresif sesuai dengan penghasilan yang diterima oleh orang
miskin. Selanjutnya Bank Dunia (2008) mencatat karakteristik anggaran kemiskinan
yaitu: Pertama, sisi pendapatan Daerah seperti; tidak mengumpulkan pajak, retribusi
dari orang miskin, tidak memaksakan pajak dan retribusi pada pemenuhan
kebutuhan dasar masyarakat miskin sebagai sumber utama pendapatan daerah, tidak
membebani masyarakat miskin dengan jenis berbagai layanan pajak dan retribusi.
Kedua, belanja daerah seperti; alokasi anggaran untuk subsidi pemenuhan
kebutuhan dasar masyarakat miskin, alokasi anggaran untuk penyediaan fasilitas
umum dan infrastruktur publik yang berpihak pada masyarakat miskin, termasuk
pusat pelayanan kesehatan masyarakat (Puskesmas), pembantu pusat layanan
kesehatan masyarakat (Pustu), jalan desa , dan air bersih; Ketiga, adanya alokasi
anggaran untuk pengumpulan data orang miskin dan penilaian kebutuhan orang
miskin, Keempat, keberadaan alokasi anggaran untuk memberikan ruang bagi
partisipasi dan aktualisasi diri orang miskin, dan kelima, adanya alokasi anggaran
untuk perencanaan dan menilai dampak dari program / kegiatan pada orang miskin.
Ada dua pendekatan yang berbeda terkait dengan pengeluaran untuk rakyat miskin:
Pengeluaran yang secara langsung meningkatkan pendapatan masyarakat miskin
dan pengeluaran yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat
miskin melalui peningkatan akses ke layanan dasar (Kakembo, 2016).
Dengan demikian, Negara dikategorikan sebagai negara yang miskin diukur dari
sejauh mana mempromosikan strategi pengurangan kemiskinan, rencana, dan
komitmen. Beberapa studi empiris keberadaan alokasi anggaran untuk perencanaan
dan menilai dampak dari program / kegiatan pada orang miskin.
Dengan demikian, Negara dikategorikan sebagai negara yang miskin diukur dari
sejauh mana mempromosikan strategi pengurangan kemiskinan, rencana, dan
komitmen. Beberapa studi empiris dari anggaran kemiskinan dari Kakembo (2016)
seperti kasus di Negara Urganda, Rono dan Getachew (2016) di Negara Kenya. Dari
kedua hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa jumlah alokasi anggaran
kemiskinan masih rendah. Pada kasus di Sumatera Selatan, Indonesia, rasio dari
alokasi belanja untuk orang miskin mulai dari 0,2 di tahun 2009-2010 adalah
termasuk kategori yang sangat tinggi, sementara di tahun 2012-2013 adalah 0,18
dikategorikan memihak (Padriyansyah, 2015)
METODOLOGI Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bone Sulawesi Selatan. Kelompok sasaran
adalah enam kunci SKPD-Regional Unit: Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah-Bappeda Bappeda, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Departemen
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Kantor Dinas Sosial, dan
Badan Pemberdayaan Masyarakat. Data yang digunakan adalah data primer dan
sekunder yang dianalisis melalui analisis statistik deskriptif dan konten. Data primer
meliputi bentuk inovatif dari pemerintah daerah terkait dengan pengurangan
kemiskinan dan kendala dan hambatan dalam mengalokasikan anggaran untuk
pengurangan kemiskinan. Data sekunder meliputi dokumen perencanaan seperti
Strategis Planning- RENSTRA, Tahunan Perencanaan-RENJA, dan Anggaran
Documents- APBD.
PEMBAHASAN 1. Analisis anggaran pendapatan dan belanja daerah di Kabupaten Bone
Selama periode 2010-2015, realisasi penerimaan di Bone meningkat dari Rp
850.700.000.000 menjadi Rp1.870.100.000.000 atau tumbuh rata-rata
17,29% per tahun. Akuisisi pendapatan daerah selama periode berasal dari
tiga sumber: Pendapatan berasal dari lokal asli pendapatan-PAD,
pendapatan dari dana perimbangan, dan pendapatan daerah yang sah
lainnya. Besarnya kontribusi PAD yang sah lainnya sejak 2014
mempengaruhi kinerja PAD secara keseluruhan sehingga PAD dapat
tumbuh rata-rata 41,58% per tahun selama 5 tahun terakhir. Dana
perimbangan sebagai sumber pendapatan Kabupaten Bone menunjukkan
peningkatan setiap tahun. Selama periode itu, rata-rata pertumbuhan dana
keseimbangan adalah 13,48% per tahun. Komponen dana perimbangan
terdiri dari tiga, yaitu hasil pajak / bagi hasil bukan pajak, dana alokasi
umum-DAU, dan alokasi khusus dana DAK. . Hasil pajak / bukan pajak
cenderung berfluktuasi dari tahun ke tahun sehingga pertumbuhan selama 5
tahun adalah negatif. Sementara DAU meningkat setiap tahun dengan
pertumbuhan rata-rata 12,71% per tahun. DAK, meskipun relatif tinggi,
relatif berfluktuasi dan memiliki lompatan dramatis pada tahun 2015.
Melihat tiga komponen dana perimbangan, tampak bahwa kontributor
utama dari dana perimbangan adalah dana alokasi umum rata-rata 84,3%
dari total saldo dana. Sisanya didistribusikan ke pajak dan non-pajak
berbagi dan dana alokasi khusus.
Pendapatan daerah yang berasal dari pendapatan daerah lainnya juga
meningkat kecuali pada tahun 2012. Pada 2015 itu dua kali lipat
dibandingkan dengan 2014 mencapai Rp 467.800.000.000. Pendapatan
hukum lainnya didominasi oleh dana penyesuaian dan dana otonomi daerah.
Berdasarkan struktur pendapatan Kabupaten Bone, tampak bahwa
pendapatan dari dana perimbangan masih mendominasi pendapatan daerah
keseluruhan. Ini berarti bahwa tingkat ketergantungan pemerintah
Kabupaten Bone pada pemerintah pusat cukup besar. Selama periode itu,
kontribusi dana perimbangan terhadap total pendapatan daerah itu rata-rata
72,35%, PAD dari 6.47%, dan lain-lain pendapatan hukum dengan rata-rata
21,18%.
Pada tahun 2010, realisasi belanja daerah sebesar Rp 777.710.000.000
meningkat setiap tahun Rp 1841,48 miliar. Ini berarti bahwa dalam 6 tahun
terakhir peningkatan belanja daerah hampir dua kali lipat. Hal ini
menunjukkan bahwa kebutuhan masyarakat meningkat. Dari struktur
belanja daerah, alokasi belanja terbesar dari anggaran di Kabupaten Bone
adalah belanja tidak langsung. belanja tidak langsung telah dua kali lipat
dari Rp 540.500.000.000 pada tahun 2011 menjadi Rp 1164 miliar pada
2015. Selama periode itu, belanja tidak langsung tumbuh rata-rata 17% per
tahun.
Berdasarkan struktur belanja langsung, belanja langsung terbesar adalah
pengeluaran untuk barang dan jasa dan pengeluaran sehingga modal. Secara
keseluruhan, komposisi pengeluaran terbesar dari total pengeluaran lokal
belanja pegawai tetapi cenderung menurun di 2015. Sementara proporsi
belanja modal cenderung meningkat pada tahun 2015. Selama periode 2010-
2015, proporsi belanja pegawai terhadap total belanja daerah oleh rata-rata
dari 60% per tahun. Adapun proporsi belanja modal dengan rata-rata 16,1%
dan sisanya diserap ke dalam barang dan jasa dan pengeluaran lainnya.
Berdasarkan hasil pendapatan dan belanja.
2. Analisis Kemiskinan di Kabupaten Bone
Jumlah dan persentase orang miskin di Bone menunjukkan kecenderungan
menurun dalam 6 tahun terakhir. Penurunan signifikan dalam kemiskinan
terjadi pada 2014, di mana jumlah orang miskin berkurang sebesar 7240.
Penurunan kemiskinan tampaknya telah berkontribusi pada tingkat
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi pada saat itu, yaitu 9,53% yang
merupakan angka tertinggi dalam tahun. Ini memberikan pesan kuat bahwa
untuk mengurangi tingkat kemiskinan di Kabupaten Bone, pertumbuhan
ekonomi harus dijaga agar tetap berada dalam kisaran 9,0-10,0% per tahun.
3. Identifikasi program dan aktivitas pengentasan kemiskinan
Upaya pengentasan kemiskinan tercermin dalam perumusan kebijakan,
program, dan kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan oleh
pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Program
dan kegiatan yang terkait dengan pengentasan kemiskinan dapat dibagi
menjadi beberapa kelompok. Salah satunya adalah tim nasional percepatan
penanggulangan kemiskinan yang disebut oleh TNP2K yang terbagi
menjadi tiga kelompok, yaitu: (i) kelompok pengentasan kemiskinan
berbasis keluarga, (ii) kelompok pemberdayaan masyarakat, dan (iii)
kelompok mikro dan kecil skala cluster pemberdayaan ekonomi. Cluster
berbasis keluarga termasuk Asuransi Kesehatan Masyarakat, Program
Keluarga Harapan, Beras untuk Kaum Miskin, Bantuan Siswa Miskin.
Cluster berbasis pemberdayaan masyarakat adalah Program Nasional
misalnya Pemberdayaan Masyarakat-PNPM, dan program berbasis
pemberdayaan pengusaha kecil menengah adalah kredit usaha rakyat-KUR.
Cluster ini dibentuk oleh pemerintah pusat, diikuti oleh pemerintah daerah.
Kemudian sumber pendanaan berasal dari pemerintah pusat melalui APBN
dan juga dapat berasal dari pemerintah daerah melalui anggaran daerah.
4. Ukuran Anggaran Terkait dengan Pengurangan Kemiskinan di Kabupaten
Bone
Anggaran kemiskinan adalah sebuah kebijakan anggaran kemiskinan.
Berpihak didefinisikan seperti anggaran yang berguna untuk orang miskin,
akses untuk kedekatan, participation, and control of the poor over national
and regional planning and budgeting. Program penanggulangan kemiskinan
dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu : Program yang terkait dengan
perlindungan sosial berbasis rumah tangga, program pemberdayaan
masyarakat, dan program pemberdayaan usaha mikro kecil. Pada tahun
fiskal 2015, total anggaran yang dialokasikan terkait dengan pengurangan
kemiskinan di Kabupaten Bone mencapai Rp281.100.000.000
didistribusikan dalam program perlindungan sosial sebesar Rp
116.200.000.000, program pemberdayaan masyarakat sebesar
Rp162.800.000.000, dan program pemberdayaan UKM Rp 2 miliar.
Namun, realisasi anggaran hanya 44% dari total anggaran tahun 2015
sebesar Rp 126.200.000.000. Program perlindungan sosial sebesar Rp 67,5
milyar program pemberdayaan masyarakat sebesar Rp 57,4 miliar dan
program pemberdayaan UKM sebesar Rp 1,3 miliar
5. Bentuk Inovasi Pemerintah Daerah Bone dalam Mengatasi Kemiskinan
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah daerah dari Kabupaten
Bone tercermin dalam sejumlah kebijakan / program / kegiatan yang telah
dituangkan ke dalam dokumen perencanaan baik secara langsung atau tidak
langsung kepada orang miskin. Program-program yang dilakukan oleh
pemerintah daerah Kabupaten Bone dalam rangka mengurangi kemiskinan
dipandu oleh kebijakan dan sasaran yang ditetapkan dalam dokumen
Perencanaan-RPJMD Daerah Jangka Menengah untuk periode 2013-2018.
Salah satu bentuk kreativitas yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah
dari Kabupaten Bone sebagai upaya untuk mengatasi kemiskinan adalah
rilis dari peraturan Bupati Bone Keputusan No. 167/2012 tentang
Pembentukan TKPK Sekretariat, Kelompok Kerja dan Program
Penanggulangan Kemiskinan dari Kabupaten Bone. Sebagai tindak lanjut
dari Pemimpin Kabupaten Peraturan Pemerintah, Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah di Kabupaten Bone telah mengembangkan Strategi
Daerah untuk Penanggulangan Kemiskinan-SPKD dari pemetaan 2013-
2018 dan kemiskinan melalui partisipasi masyarakat yang tinggi. Hal ini
sejalan dengan Manaf et al. (2016); Soviana dan Kuhl (2010); dan Mawardi
dan Sumarto (2003).
KESIMPULAN Dalam era desentralisasi fiskal, pemerintah daerah Kabupaten Bone telah
berupaya untuk mengurangi kemiskinan melalui penerapan kebijakan anggaran
untuk kemiskinan. kebijakan anggaran yang pro-miskin adalah kebijakan
anggaran yang terkait dengan pengentasan kemiskinan melalui program dan
kegiatan baik secara langsung atau tidak langsung diterima oleh orang miskin.
Program dan kegiatan yang direncanakan oleh pemerintah daerah dari Kabupaten
Bone yang terkandung dalam RPJMD dan Rencana Strategis Daerah Satuan
Kerja, serta dalam rencana kerja tahunan SKPD. Terkait dengan itu, program
pengentasan kemiskinan di Kabupaten Bone dibagi menjadi tiga kelompok
program yaitu Pertama, program jaminan sosial dan perlindungan, Kedua,
program pemberdayaan masyarakat, dan Ketiga, Micro dan Program
Pemberdayaan Usaha Kecil.
Alokasi anggaran untuk pengentasan kemiskinan pada tahun 2015 adalah sebesar
Rp 281.100.000.000 yang didistribusikan dalam perlindungan sosial dan
program perlindungan dari Rp 116.200.000.000, program pemberdayaan
masyarakat sebesar Rp 162.800.000.000 dan program UKM sebesar Rp 2 miliar.
Namun, realisasi anggaran hanya Rp126.200.000.000 atau sekitar 45% dari total
rencana anggaran pengentasan kemiskinan. Bila dibandingkan dengan total
belanja Kabupaten Bone tahun 2015, angka tersebut masih relatif kecil.
Bentuk-bentuk inovasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Bone
untuk tetap berkomitmen dalam melaksanakan program dan rencana kegiatan
adalah merilis Keputusan dari Bupati Bone Nomor 167/2012 tentang
Pembentukan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Sekretariat Tim,
Kelompok Kerja dan Program Penanggulangan Kemiskinan Kelompok
Kabupaten Bone.

Anda mungkin juga menyukai