Anda di halaman 1dari 27

Kajian Makroskopi dan Mikroskopi serta Profil Kromatogram Tiga Varietas Jahe

RISKA SUCI PRATIWI


Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara beriklim tropis yang sangat potensial

untuk mendukung tumbuhnya berbagai jenis tumbuhan. Banyaknya jenis tumbuh-

tumbuhan maupun hewan di Indonesia memberikan banyak manfaat untuk

masyarakat. Sampai saat ini telah banyak ditemukan berbagai jenis tumbuhan

yang digunakan masyarakat lokal sebagai bahan pangan maupun obat-obatan

tradisional.

Salah satu tumbuhan yang banyak dimanfaatkan dan dikembangkan menjadi

obat tradisional maupun jamu adalah tumbuhan anggota suku Zingiberaceae. Suku

ini memiliki beberapa marga, diantaranya Alpinia, Amomum, Curcuma,

Kaempferia, Phaeomaria, dan Zingiber (Backer dan Bakhuizen, 1968). Jenis

tumbuhan anggota suku Zingiberaceae yang banyak dimanfaatkan adalah Zingiber

officinale, dikenal dengan nama jahe.

Menurut Bermawie dan Purwiyanti (2011), terdapat tiga varietas jahe di

Indonesia, yaitu: jahe merah, jahe gajah dan jahe emprit. Masyarakat secara awam

dapat membedakan ketiga varietas melalui bentuk fisik dan rasa pedas masing-

masing rimpang setelah panen yaitu umur 9-10 bulan. Jahe merah memiliki

rimpang berwarna merah dan ruas yang kecil, jahe emprit memiliki rimpang

berwarna putih atau kuning dengan ruas yang kecil, sedangkan untuk jahe gajah

1
Kajian Makroskopi dan Mikroskopi serta Profil Kromatogram Tiga Varietas Jahe
RISKA SUCI PRATIWI
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
2

rimpangnya berwarna putih atau kuning dengan ruas yang lebih besar. Jahe merah

dan jahe emprit lebih pedas daripada jahe gajah (Santoso, 1992).

Beragamnya morfologi ketiga varietas jahe menandakan adanya perbedaan

kadar senyawa yang terkandung pada masing-masing rimpang. Perbedaan kadar

senyawa pada rimpang jahe akan berkorelasi dengan aktivitas biologi yang

dihasilkan (Purwakusumah dkk., 2014). Perbedaan ini menyebabkan harga jual

dari tiap varietas jahe menjadi tidak sama. Di pasar tradisional Indonesia, jahe

merah mempunyai harga jual yang lebih tinggi daripada jahe gajah dan jahe

emprit. Keadaan seperti ini akan memicu timbulnya substitusi jahe merah oleh

jahe gajah maupun jahe emprit pada produk-produk yang berbahan baku jahe

merah.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian terkait ciri khas masing-masing jahe

menjadi penting untuk dilakukan. Penelitian dilakukan dengan cara identifikasi

tumbuhan maupun rimpang jahe. Identifikasi suatu tumbuhan bisa dilakukan

dengan analisis makroskopi simplisia, mikroskopi rimpang segar dan serbuk jahe,

maupun melalui profil kromatogram. Analisis makroskopi dilakukan dengan

pengamatan morfologi dan organoleptik. Analisis mikroskopi dengan pengamatan

bentuk fragmen-fragmen pengenal sel. Kromatografi lapis tipis dapat digunakan

untuk identifikasi senyawa kimia penanda yang terkandung dalam tumbuhan

(Sutrisno, 1986).
Kajian Makroskopi dan Mikroskopi serta Profil Kromatogram Tiga Varietas Jahe
RISKA SUCI PRATIWI
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
3

B. Rumusan Masalah

1. Apakah ada perbedaan makroskopi dan mikroskopi dari rimpang jahe merah,

jahe gajah, dan jahe emprit yang berumur 9 bulan?

2. Apakah dapat ditentukan bercak khas dari jahe merah, jahe gajah, dan jahe

emprit yang berumur 9 bulan dengan metode Kromatografi Lapis Tipis?

C. Tujuan Penelitian

1. Menentukan ciri makroskopi dan mikroskopi dari jahe merah, jahe gajah, dan

jahe emprit.

2. Menentukan bercak khas jahe merah, jahe gajah, dan jahe emprit dari profil

Kromatografi Lapis Tipis.

D. Manfaat Penelitian

1. Dari pengamatan makroskopi dan mikroskopi diharapkan dapat ditemukan ciri

khas yang dapat membedakan jahe merah, jahe gajah dan jahe emprit.

2. Dari profil kromatogram diharapkan dapat ditemukan bercak khas sebagai

identitas dari jahe merah, jahe gajah dan jahe emprit.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengumpulan Bahan

Jahe mudah tumbuh di seluruh wilayah Indonesia terutama pada daerah

dengan tanah yang mengandung banyak bahan organik seperti karbon, nitrogen,

lignin, dan selulosa. Bahan-bahan organik ini berasal dari sisa tumbuhan maupun
Kajian Makroskopi dan Mikroskopi serta Profil Kromatogram Tiga Varietas Jahe
RISKA SUCI PRATIWI
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
4

hewan yang telah terdekomposisi. Tempat terbuka maupun sedikit ternaungi

cocok untuk pertumbuhan jahe. Tumbuhan ini mampu bertahan hidup dengan baik

pada wilayah dengan ketinggian 900 m atau lebih di atas permukaan laut

tegantung pada varietas. Rimpang jahe dipanen pada saat batang tumbuhan mulai

layu yaitu umur 9-10 bulan saat akhir musim hujan. Rimpang yang dikumpulkan

kemudian dicuci dengan air untuk menghilangkan tanah-tanah yang melekat dan

ditiriskan sampai dapat dibedakan dari sisa-sisa cucian (Sukarman dan Melati,

2011).

2. Identifikasi Bahan

Identifikasi tumbuhan merupakan suatu kegiatan untuk menetapkan

identitas atau jati diri suatu tumbuhan. Identitas yang dimaksud adalah nama yang

benar dan tempat yang tepat dalam sistem klasifikasi. Istilah identifikasi sering

disebut determinasi yang diambil dari Bahasa Belanda determinatie. Identifikasi

tumbuhan bisa dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya sebagai berikut

(Tjitrosoepomo, 1998):

a. Menanyakan identitas tumbuhan kepada seorang ahli dengan membawa

spesimen tumbuhan yang ingin diidentifikasi.

b. Mencocokkan dengan spesimen herbarium yang telah diidentifikasi.

c. Mencocokkan dengan candra dan gambar-gambar yang ada dalam buku-

buku flora atau monografi.

d. Menggunakan kunci identifikasi.


Kajian Makroskopi dan Mikroskopi serta Profil Kromatogram Tiga Varietas Jahe
RISKA SUCI PRATIWI
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
5

e. Menggunakan lembar identifikasi jenis (Species Identification Sheet).

3. Analisis Makroskopik

Analisis makroskopik dilakukan dengan mengandalkan panca indra. Cara

analisis makroskopi secara garis besar adalah dengan memisah-misahkan

simplisia (apabila berupa campuran) sesuai dengan ciri – ciri morfologinya serta

ciri lainnya (bau, warna, ukuran, dan tekstur) kemudian simplisia tersebut diamati

morfologisnya dan ciri organoleptiknya (Sutrisno, 1986).

Menurut Claus dkk. (1988) ciri organoleptik suatu tanaman obat meliputi

karakter makroskopiknya yang terbagi dalam 4 bagian, yaitu bentuk dan ukuran;

warna dan tanda bagian luar; patahan dan warna bagian dalam; serta bau dan rasa.

Pengamatan makroskopi bagian tanaman yang berada di dalam tanah meliputi:

a. Bentuk simplisia, bisa bulat, silindris, mengerucut, membesar di tengah,

dan lain sebagainya,

b. Ukuran simplisia, panjang, dan diameter simplisia, dapat dinyatakan

dalam ukuran sentimeter (cm) atau milimeter (mm),

c. Warna simplisia bagian luar dan dalam,

d. Tanda khusus simplisia, seperti kerutan dan ruas pada rimpang,

e. Patahan simplisia, berkaitan dengan mudahnya simplisia untuk

dipatahkan.
Kajian Makroskopi dan Mikroskopi serta Profil Kromatogram Tiga Varietas Jahe
RISKA SUCI PRATIWI
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
6

4. Analisis Mikroskopik

Analisis mikroskopik digunakan untuk mengetahui fragmen-fragmen khas

dari simplisia dengan menggunakan mikroskop. Fragmen yang diamati

merupakan bentuk sel, isi sel, maupun jaringan tanaman (Sutrisno, 1986).

Pengujian secara mikroskopik menggunakan pereaksi akuades, fluoroglusin

LP dan kloralhidrat LP (Departemen Kesehatan RI, 2008). Akuades berguna

untuk pengamatan amilum. Fluoroglusin LP merupakan pereaksi untuk lignin.

Sampel direaksikan dengan 1% larutan fluoroglusin dalam etanol 90% dan

didiamkan selama 2 menit. Etanol yang belum menguap dihilangkan dengan

kertas saring, ditambahkan asam klorida. Objek ditutup dengan gelas penutup

kemudian diamati. Kloralhidrat LP dapat melarutkan pati, protein, klorofil, resin,

dan minyak mudah menguap. Sel yang mengerut akan mengembang ketika

direaksikan dengan kloralhidrat LP. Larutan ini digunakan sebagai agen penjernih

supaya fragmen dapat terlihat jelas (Evans, 2002).

Beberapa istilah mikroskopik yang sering digunakan adalah sebagai berikut

(Departemen Kesehatan RI, 2008) :

a. Amilum. Salah satu metabolit yang secara kimia merupakan senyawa

karbohidrat (polimer). Amilum pada sel berbentuk butiran. Butiran

amilum dari jenis tertentu berbentuk khas sehingga dijadikan sebagai

identitas tumbuhan tersebut.

b. Berkas pengangkut. Sekelompok jaringan yang terdiri dari floem dan

xilem dengan atau tanpa kambium.


Kajian Makroskopi dan Mikroskopi serta Profil Kromatogram Tiga Varietas Jahe
RISKA SUCI PRATIWI
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
7

c. Endodermis. Lapisan sel yang membatasi korteks dan silinder pusat.

Secara mikroskopis sangat nyata pada struktur akar. Endodermis

mengandung suberin yang dikenal sebagai pita kaspari.

d. Epidermis. Jaringan yang membentuk lapisan penutup di permukaan

tumbuhan. Secara mikroskopis sebagian besar bentuk selnya beragam.

Pada tumbuhan tertentu berbentuk khas sehingga digunakan sebagai

identitas.

e. Floem. Alat pengangkut zat hara organik hasil fotosintesis ke seluruh

bagian lain dari tumbuhan. Secara mikroskopis floem terdiri atas sel tapis

dan komponen pembuluh tapis disertai sel pengantar. Di samping itu

terdapat parenkim, parenkim jari-jari empulur, serat, dan sklereid floem.

Bentuk sel-sel floem jenis tumbuhan tertentu dijadikan sebagai identitas

tumbuhan tersebut.

f. Idioblas. Sel dengan isi yang berbeda dari sel sekelilingnya, misal

mengandung enzim, minyak, lendir, dan harsa.

g. Jaringan sekresi. Kumpulan sel khas yang tersebar, meliputi sel sekresi,

ruang atau rongga sekresi, saluran sekresi, dan latisifer.

h. Korteks. Jaringan yang terletak antara epidermis dan silinder pusat pada

batang dan antara epidermis dan endodermis pada akar. Sebagian besar

korteks berisi sel-sel parenkim.

i. Parenkim. Jaringan sinambung dalam korteks akar, batang dan mesofil

daun, jari-jari empulur dan jaringan pembuluh. Sel parenkim bentuknya


Kajian Makroskopi dan Mikroskopi serta Profil Kromatogram Tiga Varietas Jahe
RISKA SUCI PRATIWI
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
8

beragam, sering kali bersegi banyak. Fungsi parenkim antara lain dalam

fotosintesis dan penyimpanan bahan. Parenkim dapat membentuk

struktur tambahan seperti jaringan ekskresi.

j. Periderm. Jaringan komplek yang terdiri dari jaringan gabus atau felem,

kambium gabus atau felogen dan feloderm (sel hidup yang dibentuk

felogen ke arah dalam). Felogen terletak di dekat permukaan bawah

epidermis atau pada epidermis itu sendiri. Felogen membentuk felem

(jaringan gabus) ke arah luar.

k. Sel gabus yaitu sel dari jaringan gabus, berbentuk lempeng, tersusun

rapat dan dindingnya mengandung suberin (zat gabus). Jaringan gabus

dapat dijadikan identitas suatu tumbuhan.

l. Serabut yaitu sel berbentuk isodiametrik, berdinding tebal dan umumnya

berlignin.

m. Xilem yaitu jaringan komplek yang berfungsi dalam pengangkutan air,

penyimpanan makanan dan penyokong. Sel-sel pengangkut air dikenal

sebagai trakeid dan trakea.

5. Penyiapan Simplisia

a. Sortasi basah

Sortasi basah dilakukan pada bahan segar dengan tujuan untuk

memisahkan kotoran dan atau bahan asing seperti tanah, kerikil, rumput,

atau bagian tanaman yang tidak dikehendaki. Tanah merupakan tempat

hidup mikroba yang dapat menurunkan kualitas bahan. Sortasi juga


Kajian Makroskopi dan Mikroskopi serta Profil Kromatogram Tiga Varietas Jahe
RISKA SUCI PRATIWI
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
9

dilakukan untuk memilih bahan dengan ukuran sesuai yang diinginkan.

Proses sortasi bisa dilakukan bersama dengan pencucian atau penirisan

(Katno, 2008).

b. Pencucian

Bahan asing atau kotoran yang tidak bisa hilang dengan sortasi basah

harus dibersihkan dengan pencucian. Pencucian bertujuan untuk mengurangi

jumlah mikroba pada bahan yang dapat menyebabkan pembusukan. Selain

itu proses ini juga dilakukan untuk memperbaiki penampilan fisik bahan.

Pencucian dilakukan terutama pada bahan yang tumbuh di dalam atau

menempel tanah, misalnya akar, umbi, rimpang, dan batang atau daun yang

merambat pada permukaan tanah (Katno, 2008).

Pencucian dilakukan dengan air bersih dan sebaiknya mengalir supaya

kotoran yang terlepas dari bahan tidak akan menempel kembali. Bahan

dengan kotoran yang melekat kuat dapat dibersihkan dengan penyemprotan

air bertekanan tinggi maupun dengan sikat. Bahan yang telah dicuci segera

ditiriskan dengan cara dihamparkan di atas alas yang berlubang. Penirisan

bertujuan untuk mengurangi kandungan air pada permukaan bahan.

Penirisan yang baik dilakukan di tempat teduh dan terlindung dari sinar

matahari langsung serta mendapat aliran udara yang cukup (Katno, 2008).

c. Perajangan

Perajangan merupakan salah satu cara mengubah bentuk bahan untuk

mempermudah proses pengeringan, pengemasan, penggilingan,


Kajian Makroskopi dan Mikroskopi serta Profil Kromatogram Tiga Varietas Jahe
RISKA SUCI PRATIWI
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
10

penyimpanan, dan pengolahan selanjutnya. Selain itu, pengubahan bentuk

bahan bertujuan untuk memperbaiki penampilan fisik, memenuhi standar

kualitas terutama keseragaman ukuran, dan memperlama daya tahan bahan

selama proses penyimpanan (Katno, 2008).

Rimpang, akar, umbi, batang, kayu, dan kulit batang merupakan

simplisia yang secara umum mengalami pengubahan bentuk. Perajangan

atau pengirisan dapat menggunakan pisau atau alat perajang khusus agar

ukuran rajangan seragam. Mata pisau sebaiknya terbuat dari bahan

nonlogam sehingga tidak merusak penampilan fisik dan senyawa aktif

simplisia. Semakin tipis ukuran rajangan maka semain cepat proses

penguapan air sehingga waktu pengeringan lebih singkat. Namun, jika

terlalu tipis dapat menyebabkan berkurangnya kadar senyawa aktif terutama

senyawa yang mudah menguap sehingga dapat mempengaruhi komposisi,

bau, dan rasa yang diinginkan (Katno, 2008). Rimpang jahe diiris dengan

ketebalan 7-8 mm (Iswari, 2015).

d. Pengeringan

Bahan tanaman dalam keadaan segar jarang digunakan karena mudah

rusak dan tidak dapat disimpan dalam jangka waktu lama. Bahan segar biasa

digunakan pada penyarian minyak atsiri dan untuk dikonsumsi sendiri

(Katno, 2008). Bahan tanaman pada umumnya dikeringkan untuk

memperlama masa simpan. Pengeringan merupakan proses menurunkan

kadar air hingga aman selama penyimpanan. Pengeringan dapat dilakukan


Kajian Makroskopi dan Mikroskopi serta Profil Kromatogram Tiga Varietas Jahe
RISKA SUCI PRATIWI
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
11

secara alamiah maupun buatan. Secara alamiah, pengeringan dilakukan

dengan bantuan sinar matahari langsung dan tidak langsung (di tempat

teduh). Pengeringan dengan sinar matahari dilakukan di atas alas terpal

plastik, tikar, anyaman bambu, dan lantai dari semen/ubin yang bersih dari

cemaran (Indartiyah dkk., 2011). Pengeringan di tempat teduh dilakukan

dalam suatu ruangan yang terlindung dari sinar matahari dan hujan. Cara ini

biasanya digunakan pada bahan baku simplisia yang kandungan utamanya

berupa minyak atsiri atau senyawa kimia lain yang bersifat termolabil

(Katno, 2008).

Pengeringan buatan dilakukan menggunakan suatu alat yang

memanfaatkan energi panas, listrik, atau api. Alat tersebut dapat digunakan

tanpa bergantung pada keadaan cuaca dan suhu dapat dikontrol sesuai

dengan kebutuhan. Penggunaan alat ini dapat mempercepat pengeringan dan

menekan kerusakan simplisia serta kontaminasi jamur seminimal mungkin.

Salah satu alat yang sering digunakan untuk pengeringan adalah oven.

Bahan simplisa pada umumnya dapat dikeringkan pada sahu kurang dari

atau sama dengan 60oC. Sedangkan bahan yang mengandung minyak atsiri

atau senyawa lain yang bersifat termolabil sebaiknya dikeringkan pada suhu

30-40oC (Katno, 2008).

e. Pengemasan

Pengemasan merupakan kegiatan membungkus produk dengan

menggunakan bahan tertentu untuk melindungi produk dari gangguan faktor


Kajian Makroskopi dan Mikroskopi serta Profil Kromatogram Tiga Varietas Jahe
RISKA SUCI PRATIWI
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
12

luar yang dapat mempengaruhi daya simpan. Bahan kemasan dapat berasal

dari daun, kertas, plastik, kayu, karton, kaleng, aluminum foil, dan bambu.

Pengemasan dapat menggunakan alat dengan jenis dan spesifikasi sesuai

sifat dan karakteristik produk (Indartiyah dkk., 2011).

f. Penyimpanan

Penyimpanan merupakan kegiatan untuk mengamankan dan

memperpanjang masa penggunaan produk. Penyimpanan dilakukan pada

ruang dengan suhu, cahaya, dan kelembaban udara sesuai sifat dan

karakteristik produk (Indartiyah dkk., 2011).

g. Penepungan

Penepungan merupakan kegiatan untuk mendapatkan produk dalam

bentuk serbuk dengan kehalusan tertentu. Penepungan dapat dilakukan

secara manual maupun dengan bantuan mesin (Indartiyah dkk., 2011).

6. Ekstraksi dan fraksinasi

Ekstraksi merupakan proses pemisahan senyawa aktif pada tanaman atau

jaringan hewan dari komponen tidak aktif menggunakan pelarut tertentu yang

mengikuti standar prosedur ekstraksi (Handa dkk., 2008). Prinsip dasar ekstraksi

adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa nonpolar

dalam pelarut nonpolar. Serbuk simplisia diekstraksi berturut-turut dengan pelarut

yang berbeda polaritasnya (Harbone, 1996).


Kajian Makroskopi dan Mikroskopi serta Profil Kromatogram Tiga Varietas Jahe
RISKA SUCI PRATIWI
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
13

Handa dkk (2008) menyebutkan metode ekstraksi tanaman obat yang sering

digunakan adalah maserasi, perkolasi, dan sokletasi. Maserasi merupakan proses

perendaman sampel dengan pelarut tertentu dalam wadah tertutup pada suhu

ruang selama setidaknya 3 hari dengan pengadukan setiap jangka waktu tertentu.

Penelaahan terhadap profil fitokimia lengkap suatu jenis tumbuhan tidak

cukup dengan metode ekstraksi. Salah satu cara yang digunakan untuk

mendapatkan profil fitokimia lengkap adalah dengan melakukan fraksinasi. Cara

ini dilakukan untuk memisahkan golongan utama kandungan yang satu dari

golongan utama lainnya. Fraksinasi merupakan suatu metode pemisahan

berdasarkan perbedaan kepolaran. Jumlah dan jenis senyawa yang dapat

dipisahkan menjadi fraksi yang berbeda bergantung pada jenis tumbuhan

(Harborne, 1996).

Ekstraksi cair-cair (ECC) dengan prinsip partisi sering digunakan sebagai

salah satu cara untuk fraksinasi. Metode ini merupakan salah satu cara klasik

untuk memisahkan komponen-komponen matriks yang tidak digunakan dalam

analisis. Prosedur ECC melibatkan ekstraksi analit dari fase air ke dalam pelarut

organik yang bersifat nonpolar atau agak polar seperti heksana, metil benzene atau

diklorometana. Meskipun demikian, proses sebaliknya (ekstraksi analit dari

pelarut organik nonpolar ke dalam air) juga mungkin terjadi. Analit-analit yang

mudah terekstraksi dalam pelarut organik adalah molekul-molekul netral yang

berikatan secara kovalen dengan substituen yang bersifat nonpolar atau agak
Kajian Makroskopi dan Mikroskopi serta Profil Kromatogram Tiga Varietas Jahe
RISKA SUCI PRATIWI
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
14

polar. Sementara itu, senyawa-senyawa polar dan juga senyawa-senyawa yang

mudah mengalami ionisasi akan tertahan dalam fase air (Rohman, 2014).

7. Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan metode yang cocok digunakan

untuk analisis obat diantara teknik kromatografi lainnya karena beberapa alasan,

yaitu (Wagner dan Bladt, 2001):

a. Waktu yang dibutuhkan untuk analisis sangat singkat

b. KLT dapat digunakan untuk menilai kualitas obat dengan analisis

kualitatif maupun semi kuantitatif

c. KLT dapat memberikan profil kromatogram sebagai sidik jari sampel

sehingga dapat mendeteksi kemurnian sampel dan adanya pemalsuan

terhadap bahan obat

d. KLT dengan bantuan prosedur pemisahan yang tepat dapat digunakan

untuk menganalisis kombinasi obat.

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan bentuk kromatografi planar.

Fase diam berupa lapisan yang seragam pada permukaan bidang datar yang

didukung oleh lempeng kaca, pelat aluminium, atau pelat plastik. Fase gerak yang

dikenal sebagai pelarut pengembang akan bergerak sepanjang fase diam karena

pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik atau menurun karena

pengaruh gravitasi (Gandjar dan Rohman, 2007).

Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penjerap berukuran kecil

dengan diameter partikel antara 10-30 µm. Penjerap paling sering digunakan
Kajian Makroskopi dan Mikroskopi serta Profil Kromatogram Tiga Varietas Jahe
RISKA SUCI PRATIWI
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
15

adalah silika dan serbuk selulosa. Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka,

tetapi lebih sering dengan mencoba-coba karena waktu yang diperlukan hanya

sebentar. Sistem yang sering digunakan ialah campuran 2 pelarut organik karena

daya elusi campuran 2 pelarut ini mudah diatur untuk menghasilkan pemisahan

yang optimal (Gandjar dan Rohman, 2007). Pelarut yang umum digunakan adalah

kloroform, eter, etil asetat, n-heksana, siklo-heksana, metanol, etanol dan alkohol

lainnya (Evans, 2002).

Deteksi paling sederhana yang dapat dilakukan jika senyawa menunjukkan

penyerapan di daerah UV gelombang pendek (radiasi utama 254 nm) atau jika

senyawa tersebut dapat dieksitasi ke fluoresensi radiasi UV gelombang pendek

dan atau gelombang panjang. Pelat KLT diamati dengan sinar tampak, sinar UV

254 nm dan UV 366 nm. Jika tidak bisa dengan cara demikian, maka harus

dideteksi dengan reaksi kimia, misalnya dengan anisaldehida-asam sulfat atau

vanilin-asam sulfat. Reaksi dilakukan dengan atau tanpa pemanasan. Kedua

pereaksi ini memberikan warna yang beraneka ragam (Sutrisno, 1986).

Anisaldehida-asam sulfat merupakan reagen universal untuk produk alam.

Kromatogram diangin-anginkan sampai kering dari fase gerak kemudian

disemprot dengan reagen anisaldehida-asam sulfat dan dipanaskan 90-1250C

selama 1-15 menit (Jork dkk., 1990).

Kromatografi Lapis Tipis dapat digunakan untuk analisis kualitatif maupun

kuantitatif. Pada analisis kualitatif, digunakan parameter harga Rf. Dua senyawa

dikatakan sama jika mempunyai Rf yang sama dengan pembanding serta warna
Kajian Makroskopi dan Mikroskopi serta Profil Kromatogram Tiga Varietas Jahe
RISKA SUCI PRATIWI
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
16

yang sama jika dideteksi dengan sinar UV 366 nm dan pereaksi semprot. Analisis

kuantitatif menggunakan luas area bercak. Pengukuran luas bercak dapat

dilakukan dengan densitometer. Densitometer bekerja berdasarkan serapan atau

fluoresensi yang dimiliki oleh senyawa (Gandjar dan Rohman, 2007). Rf

dikatakan sebagai jarak bercak, yaitu jarak antara penutulan dengan suatu bercak

dibandingkan dengan jarak rambat. Harga Rf biasanya tidak tetap bila percobaan

diulang kembali. Oleh karena itu, biasanya jarak bercak dihitung terhadap zat

tertentu. Istilah yang biasa digunakan dalam hal ini adalah Rx bukan Rf. Rx

dihitung dengan membandingkan antara jarak bercak sampel dengan jarak bercak

pembanding. Harga Rf tertinggi adalah 1. Harga ini dicapai bila bercak berada di

atas batas rambat. Oleh karena harga Rf merupakan bilangan pecahan, maka saat

ini lebih umum digunakan harga Rf yang dikalikan 100. Harga ini biasa disebut

hRf (Sutrisno, 1986a).

jarak bercak sampel


𝑅𝑓 =
jarak rambat

jarak bercak sampel


𝑅𝑥 =
jarak bercak pembanding

8. Analisis dengan Metode TAS

Banyak senyawa organik dan anorganik menguap pada suhu yang dinaikkan

sehingga dapat dipisahkan dari cuplikan. Beberapa obat dimikrisublimasi dan

diidentifikasi berdasarkan parameter kristalografi, titik leleh, dan atau sifat kimia.

Beberapa milligram serbuk obat dipanaskan pada kaca objek dan sublimatnya
Kajian Makroskopi dan Mikroskopi serta Profil Kromatogram Tiga Varietas Jahe
RISKA SUCI PRATIWI
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
17

dikumpulkan pada kaca objek kedua yang terdapat di atas kaca objek pertama

yang berjarak 1 mm. Teknik mikropemisahan termal demikian digabung dengan

teknik pengalihan dan penotolan, diikuti dengan Kromatografi Lapis Tipis,

hasilnya adalah metode TAS (Thermal Extraction, Transfer and Application

method for substances on microscale, according to Stahl). Metode TAS

menggunakan suatu alat berupa tanur TAS (Gambar 1). Komponen alat ini

dirancang agar dapat saling bergabung dengan pelat KLT (Stahl, 1985).

Gambar 1. Tanur TAS

9. Jahe (Zingiber officinale Rosc.)

daun

bunga

batang semu

rimpang
Gambar 2. Tanaman jahe
(Rukmana, 2009)
Kajian Makroskopi dan Mikroskopi serta Profil Kromatogram Tiga Varietas Jahe
RISKA SUCI PRATIWI
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
18

a. Taksonomi

Klasifikasi jahe menurut Backer dan Bakhuizen (1968):

Kerajaan : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Anak divisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Bangsa : Zingiberales

Suku : Zingiberaceae

Marga : Zingiber

Jenis : Zingiber officinale Rosc.

b. Nama Daerah

Jahe dikenal dengan nama umum (Inggris) ginger atau garden ginger.

Di Indonesia jahe memiliki berbagai nama daerah. Di Sumatra disebut halia

(Aceh); beuing (Gayo); bahing (Karo); pege (Toba); sipode (Mandailing);

lahia (Nias); sipodeh (Minangkabau); page (Lubu); dan jahi (Lampung). Di

Jawa, jahe dikenal dengan jahe (Sunda); jae (Jawa); jhai (Madura); dan jae

(Kangean). Di Sulawesi, jahe dikenal dengan nama layu (Mongondow);

moyuman (Poros); melito (Gorontalo); yuyo (Buol); siwei (Baree); laia

(Makassar); dan pace (Bugis). Di Nusa Tenggara, disebut jae (Bali); reja

(Bima); alia (Sumba); dan lea (Flores). Di Kalimantan (Dayak), jahe dikenal

dengan sebutan lai; di Banjarmasin disebut tipakan. Di Maluku, jahe disebut

hairalo (Amahai); pusu, seeia, sehi (Ambon); sehi (Hila); sehil (Nusalaut);
Kajian Makroskopi dan Mikroskopi serta Profil Kromatogram Tiga Varietas Jahe
RISKA SUCI PRATIWI
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
19

siwew (Buns); garaka (Ternate); gora (Tidore); dan laian (Aru). Di Papua,

jahe disebut tali (Kalanapat) dan marman (Kapaur). Adanya nama daerah

jahe di berbagai wilayah di Indonesia menunjukkan penyebaran jahe

meliputi seluruh wilayah Indonesia (Bermawie dan Purwiyanti, 2011).

c. Deskripsi Tanaman

Morfologi jahe secara umum terdiri atas struktur rimpang, batang,

daun, bunga dan buah. Batang jahe merupakan batang semu dengan tinggi

30-100 cm. Rimpang bila dipotong berwarna kuning atau jingga. Daun

sempit, panjang 15 mm sampai 23 mm, lebar 8 mm sampai 15 mm, tangkai

daun berambut, panjang 2 mm sampai 4 mm. Bentuk lidah daun

memanjang, panjang 7,5 mm sampai 1 cm, tidak berambut, seludang agak

berambut. Perbungaan berupa malai tersembul di permukaan tanah,

berbentuk tongkat atau bulat telur yang sempit, berukuran 2,75 sampai 3

kali lebarnya, sangat tajam, panjang mulai 3,5 cm sampai 5 cm, lebar 1,5 cm

sampai 1,75 cm, gagang bunga hampir tidak berambut, panjang 25 cm, sisik

pada gagang terdapat 5 sampai 7 buah, berbentuk lanset, letaknya

berdekatan atau rapat, hampir tidak berambut, panjang sisik 3 cm sampai 5

cm. Daun pelindung berbentuk bundar telur terbalik, bulat pada ujungnya,

tidak berambut, berwarna hijau cerah, panjang 2,5 cm, lebar 1 cm sampai

1,75 cm. Mahkota bunga berbentuk tabung, panjang tabung 2 cm sampai 2,5

cm, helainya agak sempit, bentuk tajam, berwarna kuning kehijauan,

panjang 1,5 mm sampai 2,5 mm, lebar 3 mm sampai 3,5 mm, bibir berwarna
Kajian Makroskopi dan Mikroskopi serta Profil Kromatogram Tiga Varietas Jahe
RISKA SUCI PRATIWI
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
20

violet gelap, berbintik-bintik berwarna putih kekuningan, panjang 12 mm

sampai 15 mm, lebar 13 mm, kepala sari berwarna violet, panjang 9 mm,

tangkai putik 2 (Departemen Kesehatan RI, 1978).

d. Rimpang Jahe

Rimpang jahe adalah rimpang Zingiber officinale Rosc. Kadar minyak

atsiri tidak kurang dari 0,7% v/b. Rimpang jahe berbau aromatik dan

memiliki rasa pedas. Secara makroskopik, rimpang agak pipih, bagian ujung

bercabang, cabang pendek, pipih, bentuk bulat telur dan terbalik, pada setiap

ujung cabang terdapat parut melekuk ke dalam. Panjang potongan rimpang

jahe 5 cm sampai 15 cm dengan tebal 1 cm sampai 6,5 cm. bagian luar

berwarna cokelat kekuningan, beralur memanjang, terkadang ada serat

bebas. Bekas patahan pendek dan berserat menonjol. Pada irisan melintang

terdapat berturut-turut korteks, endodermis, stele, berkas pembuluh yang

tersebar, dan sel kelenjar berupa titik berwarna kekuningan (Departemen

Kesehatan RI, 1978).

Rimpang jahe jika diamati secara mikroskopik tampak di bawah

epidermis terdapat hipodermis. Periderm terdiri dari beberapa lapis sel

gabus. Korteks terdiri dari parenkim isodiametrik, dinding sel tipis, berkas

pembuluh tersebar, banyak idioblas, sel idioblas hampir bulat, dinding

berkutikula, garis tengah 40 µm sampai 80 µm, berisi damar minyak, warna

kuning kehijauan sampai jingga atau berwarna cokelat kekuningan sampai


Kajian Makroskopi dan Mikroskopi serta Profil Kromatogram Tiga Varietas Jahe
RISKA SUCI PRATIWI
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
21

cokelat kemerahan. Endodermis terdiri dari sel dengan radial agak menebal,

tidak berisi pati.

Berkas pembuluh rimpang jahe berbentuk kolateral dan fibrovasal,

berkas pembuluh yang terdapat langsung di sebelah dalam endodermis

tersusun teratur dalam satu deretan, berkas-berkas hampir bersentuhan satu

sama lain, umumnya tanpa serabut. Stele terdiri dari sel parenkim

berdinding tipis, berkas pembuluh kolateral banyak dan tersebar, idioblas

minyak seperti pada korteks. Xilem terdiri dari sedikit pembuluh spiral dan

pembuluh jala, tidak berlignin, garis tengah kurang lebih 70 µm. Floem

berkelompok. Serabut berkelompok, dinding tipis, panjang sampai lebih

kurang 600 µm, lebar sampai lebih kurang 30 µm, bernoktah berbentuk

celah miring. Idioblas berbentuk prisma, panjang sampai lebih kurang 130

µm, lebar 8 µm sampai 20 µm, tunggal atau dalam deretan sejajar dengan

sumbu semua berkas pembuluh, berisi zat berwarna cokelat kemerahan tua.

Butir pati memenuhi parenkim korteks dan parenkim stele, butir tunggal,

bentuk bulat pipih telur sampai hampir segiempat, hilus terdapat pada

tonjolan di ujung butir, panjang 5 µm sampai 60 µm, tebal sampai 7 µm,

lamela melintang. Berikut ini gambar penampang melintang rimpang jahe

(Departemen Kesehatan RI, 1978):


Kajian Makroskopi dan Mikroskopi serta Profil Kromatogram Tiga Varietas Jahe
RISKA SUCI PRATIWI
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
22

Gambar 3. Penampang melintang rimpang jahe


Keterangan gambar: 1. Epidermis, 2. Hipodermis, 3. Periderm, 4. Parenkim korteks, 5. Sel
sekresi, 6. Berkas pembuluh, 7. Butir pati, 8. Endodermis, 9. Serabut sklerenkim, 10.
Berkas pembuluh, 11. Parenkim silinder pusat.

Serbuk rimpang jahe berwarna kuning muda. Fragmen pengenal

terdiri dari sel parenkimatik, serabut, pembuluh kayu, kadang-kadang

didampingi sel zat warna, sel damar minyak, damar minyak berbentuk

gumpalan atau tetesan kecil yang dengan iodium LP memberi warna,

banyak sekali butir pati, dan fragmen periderm. Berikut ini fragmen-

fragmen pengenal pada serbuk rimpang jahe (Departemen Kesehatan RI,

1978):

Gambar 4. Fragmen-fragmen pengenal serbuk rimpang jahe


Keterangan gambar: 1. Parenkim berisi butir pati, 2. Jaringan gabus tangensial, 3. Berkas
pembuluh, 4. Butir pati (diperbesar), 5. Periderm, 6. Pembuluh kayu, 7. Serabut, 8.
Parenkim dengan sel sekresi.
Kajian Makroskopi dan Mikroskopi serta Profil Kromatogram Tiga Varietas Jahe
RISKA SUCI PRATIWI
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
23

e. Kandungan Kimia

Rimpang jahe mengandung 1-2% minyak atsiri, 5-8% resin, tepung,

dan musilago. Minyak atsiri jahe tersusun atas lebih dari 50 senyawa yang

terdiri atas monoterpene (β-felandren, kamfen, sineol, dan borneol),

hidrokarbon seskuiterpen (zingiberene, β-bisabolen, (E,E)-α-farnesen, β-

seskuifelandren, dan ar-curcumene) dan alkohol seskuiterpen yaitu

zingiberol (Evans, 2002). Senyawa yang bertanggung jawab atas rasa pedas

dan efek anti-emetik jahe adalah 1-(3’-metoksi-4’-hidroksifenil)-5-

hidroksialkan-3-on atau lebih dikenal dengan nama [3-6]-,[8]-,[10]-, dan

[12]- gingerol serta senyawa hasil dehidrasinya, yang dikenal dengan nama

[6]-,[8]- dan [10]- shogaol (WHO, 1999). Shogaol dan zingeron merupakan

senyawa turunan gingerol yang dihasilkan dari proses pemanasan atau

penyimpanan jangka panjang (Setyawan, 2002).

Gambar 5. Kandungan kimia jahe


(Dewick, 2002; Evans, 2002; Guenther, 2011)
Kajian Makroskopi dan Mikroskopi serta Profil Kromatogram Tiga Varietas Jahe
RISKA SUCI PRATIWI
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
24

f. Manfaat Jahe

Jahe biasanya aman sebagai obat herbal (Weidner dan Sigwart, 2001).

Secara tradisional, jahe banyak digunakan sebagai obat batuk, masuk angin,

diare, rematik, antimual, radang tenggorokan, menghilangkan rasa sakit, dan

asma (Harmono dan Andoko, 2005). Simplisia jahe biasa digunakan sebagai

karminatif (Departemen Kesehatan RI, 1978). Beberapa senyawa, termasuk

gingerol, shogaol dan zingeron memberikan aktivitas farmakologi dan

fisiologis seperti efek antioksidan, antiinflamasi, analgesik, antikarsinogenik

dan kardiotonik. Hasil penelitian farmakologi menyatakan bahwa senyawa

antioksidan alami dalam jahe cukup tinggi dan sangat efisien dalam

menghambat radikal bebas superoksida dan hidroksil yang dihasilkan oleh

sel-sel kanker, dan bersifat sebagai antikarsinogenik, nontoksik dan

nonmutagenik pada konsentrasi tinggi (Manju dan Nalini, 2005).

g. Varietas Jahe

Bermawie dan Purwiyanti (2011) menyebutkan ada 3 varietas jahe,

yaitu jahe merah, jahe gajah, dan jahe emprit. Varietas merupakan suatu

kategori di bawah tingkat jenis yang banyak digunakan dalam dunia

pertanian. Ahli taksonomi tumbuhan memberikan konotasi untuk istilah

varietas, antara lain (Tjitrosoepomo, 1998) :

a. Setiap varian morfologi suatu jenis tanpa mengaitkan dengan

masalah distribusinya.
Kajian Makroskopi dan Mikroskopi serta Profil Kromatogram Tiga Varietas Jahe
RISKA SUCI PRATIWI
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
25

b. Varian morfologi dalam suatu jenis yang bersama-sama dengan

varietas lain dalam jenis yang sama menempati daerah distribusi

yang sama.

c. Suatu varian jenis yang berbeda warna atau habitat.

Varietas jahe yang dikenal di Indonesia ada 3, yaitu:

a. Jahe merah (Zingiber officinale var rubrum)

Jahe merah atau jahe sunti memiliki rimpang berwarna merah

dan lebih kecil daripada jahe putih kecil. Daging rimpangnya

berwarna jingga muda sampai merah. Diameter rimpang dapat

mencapai 4 cm dengan panjang rimpang hingga 12,5 cm. Sama seperti

jahe kecil, jahe merah selalu dipanen setelah tua. Jahe ini memiliki

kandungan minyak atsiri yang sama dengan jahe kecil (Harmono dan

Andoko, 2005).

b. Jahe gajah (Zingiber officinale var officinarum)

Batang jahe gajah (Zingiber officinale var officinarum)

berbentuk bulat, berwarna hijau muda, diselubungi pelepah daun,

sehingga agak keras. Tinggi tanaman sekitar 55,88 – 88,38 cm. Daun

tersusun secara berselang – seling dan teratur, permukaan daun bagian

atas berwarna hijau muda jika dibandingkan dengan bagian bawah

(Putri, 2014). Jahe putih/kuning besar atau disebut juga jahe gajah

atau jahe badak memiliki rimpang yang lebih besar dan gemuk dengan

ruas rimpangnya lebih menggembung dari kedua varietas lainnya.


Kajian Makroskopi dan Mikroskopi serta Profil Kromatogram Tiga Varietas Jahe
RISKA SUCI PRATIWI
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
26

Bagian dalam rimpang apabila diiris/dipotong/dipatahkan akan terlihat

berwarna kekuningan. Panjang rimpang antara 15 – 35 cm, dan

diameter berkisar 8,47 – 8,50 cm. Jahe ini biasa dikonsumsi baik saat

berumur muda maupun berumur tua, baik sebagai jahe segar maupun

jahe olahan (Harmono dan Andoko, 2005).

c. Jahe emprit (Zingiber officinale var amarum)

Bobot rimpang jahe emprit (Zingiber officinale var amarum)

berkisar antar 0,5 – 0,7 kg/rumpun. Struktur rimpang kecil – kecil dan

berlapis. Daging rimpang berwarna putih kekuningan. Panjang

rimpang antara 6 – 30 cm dan diameter antara 3,27 – 4,05 cm.

Ruasnya kecil, agak rata sampai agak menggembung. Akar yang

keluar dari rimpang berbentuk bulat. Panjangnya dapat mencapai 26

cm dan diameternya berkisar antara 3,91 – 5,90 cm. Akar yang banyak

dikumpulkan dari satu rumpun dapat mencapai 70 gram (Putri, 2014).

Jahe putih/kuning kecil atau disebut juga jahe emprit memiliki

struktur rimpang kecil, agak rata sampai agak sedikit menggembung,

dan berlapis. Daging rimpang berwarna putih kekuningan. Jahe ini

selalu dipanen setelah berumur tua. Kandungan minyak atsirinya lebih

besar daripada jahe gajah sehingga rasanya lebih pedas, disamping

seratnya tinggi (Harmono dan Andoko, 2005).


Kajian Makroskopi dan Mikroskopi serta Profil Kromatogram Tiga Varietas Jahe
RISKA SUCI PRATIWI
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
27

10. Bercak khas

Analisis kimia terhadap serbuk dilakukan dengan uji mikroskopis dan uji

secara KLT. Uji dengan KLT tidak dapat dirumuskan secara umum. Perbedaan

komposisi dapat berakibat diperlukannya bercak khas yang berlainan bagi

simplisia yang sama (Sutrisno, 1986). Bercak khas disebabkan oleh adanya zat

identitas. Bercak khas tidak selalu bisa ditemukan dengan suatu teknik KLT. Oleh

karena itu harus dilakukan cara lain dalam ekstraksi simplisianya, diubah

komposisi cairan eluasi dan dicoba penggunaan larutan deteksi yang lain. Bila

dengan suatu teknik KLT tertentu dapat ditemukan bercak khas, maka langkah

selanjutnya yang dilakukan adalah melakukan kromatografi preparatif dengan

tujuan isolasi zat-zat yang menimbulkan bercak khas tersebut. Zat-zat ini yang

disebut zat identitas (Sutrisno, 1986a).

F. Keterangan Empiris

Keterangan empiris yang dapat diambil berrdasarkan penelitian ini adalah:

1. Dapat ditemukan perbedaan makroskopi dan mikroskopi dari jahe merah, jahe

gajah dan jahe emprit yang dapat digunakan sebagai identitas masing-masing

varietas.

2. Dapat ditemukan bercak khas masing-masing varietas pada profil kromatogram

dengan metode KLT dan metode TAS.

Anda mungkin juga menyukai