Anda di halaman 1dari 10

4

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Jeruk


Tanaman jeruk merupakan tanaman yang awalnya berasal dari negara Asia,
yaitu Cina yang merupakan tempat pertama kali jeruk tumbuh. Tanaman jeruk
banyak ditanam di Indonesia, karena tanaman jeruk mudah beradaptasi hampir di
seluruh kepulauan Indoensia, mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi.
Indonesia memiliki berbagai jenis jeruk yang telah dibudidayakan hampir disetiap
daerah. Menurut (Martasari dan Mulyanto, 2008) terdapat beberapa jeruk yang
menjadi unggulan baik di daerah asalnya maupun nasional yaitu jeruk manis
Pacitan dari daerah Pacitan, Jawa Timur; jeruk manis Waturejo dari Jawa Tengah;
keprok SoE dari Nusa Tenggara Timur; Keprok Batu 55 dari Batu, Jawa Timur;
Siam Madu, Keprok Maga, dan Beras Sitepu dari Medan, Sumut; Siam Pontianak
dari Kalimantan Barat; dan Pamelo Nambangan, Sri Nyonya, serta Magetan dari
Magetan, Jawa Timur.
Jeruk yang digunakan dalam topik penelitian ini adalah jeruk Siam Pontianak
(Citrus nobilis var. Microcarpa). Siam Pontianak merupakan jenis jeruk berasal
dari Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas, dimana bibit jeruk tersebut berasal
dari negara Tiongkok. Klasifikasi ilmiah tanaman jeruk Siam Pontianak yaitu
sebagai berikut: Divisi Spermatophyta, Sub Divisi Angiospermae, Kelas
Dicotyledonae, Sub Kslas Rosidae, Ordo Eutales, Famili Rutaceae, Subfamili
Aurantioidae, Genus Citrus, Spesies Citrus nobilis var. Microcarpa.
Jeruk Siam Pontianak merupakan salah satu jenis jeruk yang disukai oleh
konsumen Indonesia dalam buah segar. Buah jeruk Siam Pontianak menurut
Menteri Pertanian (2003) memiliki rasa yang manis dengan aromanya agak
harum, tekstur daging buah yang halus dengan warna daging buahnya oranye.
Tanaman jeruk Siam Pontianak ini memiliki morfologi dengan bentuk batang
yang silindris, daun yang berwarna hijau tua pada bagian atas dan hijau muda
pada bagian bawahnya. Panjang daun 6,5 cm dan lebarnya 3 cm, bentuk daun
bulat telur, dengan pangkal daun yang tumpul dan ujung daunnya meruncing, tepi
daunnya bergerigi. Tanaman ini memiliki umur mulai berbuah 3-4 tahun dengan
jumlah bunga yang dihasilkan pertandanya sebanyak 4-5 kuntum, buah yang
sudah masak ditandai dengan kulit buah yang berwarna hijau kekuningan, dengan
5

diameter buah 7,6 cm dan panjangnya 7,1 cm. Selain itu, menurut Agisimanto dan
Yulianti (2016) jeruk Siam Pontianak ini memiliki karakter daun yang sessile
artinya daun tanaman jeruk tersebut tidak memiliki petiole serta daun tunggal
yang juga tidak memiliki petiole. Panjang tangkai daun 1–1,3 cm, selain itu jeruk
Siam Pontianak memiliki kondisi kulit buah yang tipis berkisar antara 1-1,5 mm.
Menyebabkan buah sulit untuk dibuka atau dibelah, memiliki kandungan brik
sebesar 12,5 dengan kadar asamnya 5,6%.

2.2 Anatomi Daun dan Sitologi Tanaman Jeruk


Tumbuhan tersusun dari berbagai organ salah satunya adalah daun. Daun
tersusun dari berbagai jaringan penyusun salah satunya yaitu epidermis.
Epidermis berfungsi sebagai pelindung bagian dalam organ tumbuhan yang terdiri
atas dua bagian yaitu epidermis atas dan epidermis bawah. Jaringan epidermis ini
terdapat stomata, stomata merupakan celah yang terletak diantara epidermis yang
diapit oleh dua sel penjaga yang pada umumnya terletak pada bagian permukaan
bawah daun.
Stomata pada tanaman jeruk dapat dilihat pada permukaan bawah daun.
Pengamatan stomata pada tanaman jeruk berdasarkan hasil penelitian oleh Perdani
(2008) dengan pemberian kutek bening pada permukaan bawah daun secara tipis
merata. Kemudian diangkat dengan menggunakan isolasi bening, maka stomata
pada daun jeruk dapat diamati baik dari jumlah maupun ukurannya (Gambar 1).
Selain itu untuk pengamatan kloroplas pada tanaman jeruk dapat dilihat pada sel
penjaga. Caranya dengan menyayat bagian permukaan bawah daun secara tipis
(Gambar 2) dimana dengan metode penghitungan jumlah kloroplas dalam sel
penjaga merupakan salah satu cara yang efektif dan cepat untuk menentukan
tingkat ploidi.

Gambar 1. Stomata tanaman jeruk: (A) Jumlah stomata dan (B) ukuran
panjang dan lebar stomata (sumber: Perdani, 2008)
6

Gambar 2. Kloroplas tanaman jeruk: (a) stomata (b) kloroplas (c) sel penjaga
(sumber: Perdani, 2008)

Sitologi tanaman biasanya membahas tentang kromosom baik dari struktur


kromosom, prilaku kromosom maupun jumlah kromosom. Pengkajian pada
sitologi tanaman dibidang pemuliaan telah meghasilkan berbagai macam varietas
baru yang memiliki daya hasil yang tinggi, adaptif terhadap cekaman baik biotik
maupun abiotik. Seperti halnya dalam variasi jumlah kromosom yang telah
banyak dilakukan untuk merakit varietas unggul baru. Variasi jumlah kromosom
dapat terjadi karena adanya penambahan maupun pengurangan pada set
kromosom. Variasi jumlah kromosom terdiri dari dua jenis yaitu euploid dan
aneuploid. Euploid merupakan kelompok tanaman yang memiliki jumlah
kromosom kelipatan dari seluruh set kromosom, dimana satu set kromosom pada
tanaman biasanya monoploid (1x) dan diploid (2x). Jumlah ploidi yang lebih
tinggi dapat berupa triploid (3x), tetraploid (4x), pentaploid (5x) dan seterusnya.
Sedangkan aneuploid merupakan tanaman yang memiliki jumlah kromosom tidak
dari kelipatannya, hal tersebut dikarenakan pada aneuploid kromosom terjadi
penambahan maupun kehilangan satu atau beberapa kromosom. Pertambahan dan
kehilangan kromosom dapat dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu nulisomik
(kehilangan 2 kromosom homolog: 2n-2), monosomik (kehilangan 1 kromosom:
2n-1), trisomik (bertambah 1 kromosom: 2n+1), tetrasomik (bertambah 2
kromosom homolog: 2n+2) (Syukur, Sastrosumarjo, Wahyu, Aisyah, Sujipriharti
dan Yunianti, 2013).
7

Gambar 3. Kromosom tanaman jeruk

2.3 Pemuliaan Tanaman Jeruk


Teknik pemuliaan tanaman telah banyak dilakukan untuk merakit keragaman
genetik suatu tanaman menjadi lebih baik dari tanaman yang sebelumnya.
Umumnya teknik pemuliaan banyak digunakan untuk mendapatkan tanaman
dengan varietas yang unggul, tahan terhadap cekaman biotik maupun abiotik,
serta memiliki daya hasil yang tinggi. Ruang lingkup dalam pemuliaan tanaman
meliputi pembentukan keragaman genetik dimana biasanya digunakan sebagai
populasi dasar/ bahan dasar untuk seleksi dan bahan persilangan. Selanjutnya
seleksi yang dilakukan dengan menguji individu-individu yang kualitasnya unggul
sebelum dilakukannya pelepasan varietas baru (Lestari, 2014).
Upaya dalam meningkatkan keragaman genetik dapat dilakukan melalui
introduksi, hibridisasi, seleksi, bioteknologi maupun mutasi. Mutasi tanaman
merupakan teknik yang telah dikembangkan secara luas untuk perbaikan genetik
tanaman dalam mendapatkan karakter baru. Negara yang paling banyak
menghasilkan varietas baru adalah Asia, Amerika, Eropa, Rusia, Belanda dan
Jepang. Teknik mutasi yang banyak digunakan adalah mutasi buatan, dimana
menurut Sofia (2007) mutasi buatan merupakan salah satu usaha untuk mengubah
susunan atau jumlah genetik/ DNA dengan menggunakan radiasi sinar radioaktif
atau senyawa kimia. Salah satu senyawa kimia yang dapat digunakan yaitu
kolkhisin, karena dengan menggunakan mutagen kimia tersebut dapat
menghasilkan jumlah mutasi yang lebih tinggi dibanding radiasi, tetapi hasil
memuaskan tergantung pada konsentrasi yang digunakan.
Kolkhisin secara alami dapat mempengaruhi ploidi dan genetik, dimana akan
terjadi perubahan pada morfologi dan anatomi karakter vegetatif maupun
generatif. Seperti yang telah dilakukan oleh Agisimanto dan Yulianti (2016)
8

terhadap tanaman jeruk Siam Pontianak dengan menggunakan kolkhisin, dimana


penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mendapatkan karakter atau sifat yang
baru terhadap buah jeruk. Hasil penelitian tersebut menunjukkan terdapat
beberapa nomor tanaman yang memiliki rasa manis dominan, dengan kandungan
brik berkisar 10-14, serta keasaman 3-5%. Selain itu, didapatkan pula perbedaan
dari segi morfologinya, yaitu memiliki buah yang berukuran lebih besar, dengan
rata-rata kulit buahnya berukuran 5-7 mm sehingga jeruk dapat dengan mudah
dikupas dan dibelah. Daun jeruk yang dihasilkan memiliki bentuk brevipetiolate
dengan daun petiole, dimana memiliki ukuran daun yang lebih besar
dibandingkan daun petiole.

Gambar 4. Ukuran buah jeruk Siam Pontianak: (A) Siam Pontianak dan (B)
Siam Pontianak colchiploid (sumber: Agisimanto dan Yulianti,
2006)

Bedasarkan penelitian Yasin (2016) dilakukan pengamatan tentang karakter


morfologi tanaman jeruk hasil aplikasi kolkhisin untuk mengetahui perubahan
yang terjadi akibat pemberian kolkhisin. Hasil dari penelitian terhadap 18
tanaman jeruk Siam Pontianak hasil perlakuan kolkhisin dan 1 tanaman induk
jeruk Siam Pontianak kontrol, didapatkan perbedaan terhadap karakter morfologi
tanaman jeruk tersebut. Perbedaan tersebut terlihat dari kerapatan cabang,
permukaan batang, adanya duri, bentuk duri, bentuk adun, bentuk ujung daun,
adanya sayap daun, bentuk sayap daun. Hasil morfologi yang membedakan antara
tanaman colchiploid dengan tanaman induk tersebut terlihat dari bentuk daunnya,
dimana pada tanaman colchiploid memiliki bentuk daun yang bersayap,
sedangkan tanaman induk tidak memiliki sayap.
9

Tabel 1. Data karakter diameter batang, tinggi tanaman, lebar daun dan tebal daun
Diameter Tinggi Panjang daun Lebar daun Tebal daun
batang (cm) tanaman (m) (cm) (cm) (cm)
Kontrol 3,734 3,958 10,131 4,639 0,040
C155 #2 4,846 3,540 8,987 3,886 0,056
C155 #3 5,220 3,050 8,340 3,640 0,041
C155 #5 4,894 3,100 10,147 4,886 0,043
C155 #7 5,003 2,760 7,176 2,957 0,039
C155 #8 3,648 2,330 9,363 4,890 0,037
C155 #9 3,962 2,270 7,651 3,578 0,036
C157 #1 5,340 2,760 6,944 3,537 0,029
C157 #2 4,080 2,125 8,539 3,748 0,072
C157 #5 3,962 1,760 7,852 3,684 0,034
C157 #6 3,300 2,675 6,934 3,299 0,030
C157 #9 4,096 2,900 5,554 2,624 0,037
C157 #10 3,958 2,400 7,068 3,267 0,037
C1510 #1 4,264 2,100 6,670 3,727 0,036
C1510 #5 3,744 2,450 7,945 3,479 0,038
C1510 #8 5,500 3,950 7,982 4,194 0,041
C1510 #10 5,384 2,820 7,314 3,474 0,033
C1510 #22 3,376 2,300 6,841 3,206 0,038
C1510 #29 3,846 2,250 7,377 3,660 0,035

Teknik pemuliaan pada tanaman jeruk lainnya juga dilakukan oleh Yulianti,
Purwito, Husni dan Dinarti (2015) dengan pemberian kolkhisin terhadap induksi
tunas pucuk tanaman jeruk Siam madu secara in vitro. Hasil dari penelitian
tersebut didapatkan bahwa pemberian konsentrasi kolkhisin yang semakin tinggi
mengakibatkan persentase kematian tunas pucuk jeruk semakin tinggi. Selain itu
dari segi morfologi daun, tunas pucuk jeruk dengan pemberian konsentrasi
kolkhisin yang semakin tinggi menyebabkan daun lebih tebal bila dibandingkan
dengan daun yang kontrol. Pemberian kolkhisin pada tanaman jeruk Siam tersebut
memiliki pengaruh yang nyata terhadap pertambahan tinggi, jumlah daun, dan
jumlah buku.

2.4 Mutasi
Mutasi merupakan suatu perubahan materi genetik pada makhluk hidup,
dimana perubahan tersebut dapat terjadi secara tiba-tiba, acak dan merupakan
dasar sebagai variasi yang bersifat terwariskan. Mutasi merupakan salah satu
teknik pemuliaan tanaman yang digunakan untuk mendapatkan keragaman
10

genetik dengan membentuk sifat atau karakter baru, sebagai dasar seleksi
tanaman. Secara umum mutasi dapat terjadi secara spontan dan juga secara
induksi (buatan) (Abdurahman, 2006). Menurut Wardiyati, Darmawan, Soertini
dan Dyah (2002), teknik mutasi buatan umumnya ditujukan untuk mengubah
karakter tertentu dengan tetap mempertahankan sebagian besar karakter aslinya.
Mutasi yang biasanya digunakan dibidang pertanian adalah mutasi buatan,
dengan dilakukannya mutasi buatan maka munculnya keragaman genetika pada
tanaman, yang selanjutnya dapat dilakukan penseleksian serta pengujian lebih
lanjut untuk mendapatkan varietas tanaman yang unggul. Mutasi buatan
merupakan mutasi yang disebabkan oleh aktivitas manusia, dimana biasanya
dilakukan dengan pemakaian bahan kimia (mutagen kimia) dan fisika (mutagen
fisika). Mutagen kimia dapat dilakukan dengan menggunakan Ethyl Methan
Sulfonat, Diethyl sulfat, Ethyl Amin dan kolkisin, sedangkan untuk mutagen
fisika dapat menggunakan sinar x, sinar gamma dan sinar ultra violet (Lestari,
2014).
Mutasi secara kimia maupun fisika menurut Abdurahman (2006) dapat
menimbulkan perubahan pada sifat genetik tanaman yang menguntungkan bagi
pemulia, karena dapat menghasilkan suatu tanaman sesuai dengan keinginan.
Mutasi dapat menyebabkan gen mengalami perubahan struktur. Dalam arti luas,
mutasi dihasilkan dari segala macam tipe perubahan bahan genetik, yang
mengakibatkan perubahan penampakan fenotipe, yang diturunkan bukan
dihasilkan dari proses seksual. Salah satu contoh mutasi yang menguntungkan
dalam bidang pemuliaan tanaman adalah poliploidi. Poliploidi merupakan suatu
keadaan sel yang memiliki jumlah kromosom lebih dari dua set. Tanaman
poliploidi memiliki buah yang besar, sepeti pada penelitian Susianti, Aristya,
Sutikno dan Kasimandari (2015) pada tanaman stroberi hasil mutasi kolkhisin
memiliki hasil buah stroberi yang besar dari tanaman kontrolnya.

2.5 Kolkhisin
Kolkhisin merupakan suatu alkaloid dengan kimianya C22H25O6N yang
dihasilkan oleh tanaman krokus (Colchicum autumnale, L.). Tanaman tersebut
banyak ditanam di Eropa, India, dan Afrika Utara (Snustad et al. 1997 dalam
Yulianti, 2015). Kolkhisin merupakan salah satu bahan kimia yang dapat
11

menyebabkan tanaman menjadi poliploid, dimana setiap individu tanaman yang


diberikan kolkhisin dapat memiliki jumlah kromosom tiga kali atau lebih dari
jumlah kromosom dasar tanaman tersebut. Umumnya sifat tanaman poliploid
memiliki morfologi tanaman lebih besar, sehingga dengan pemberian kolkhisin
dapat memperbaiki sifat-sifat tanaman yang kurang baik menjadi lebih baik
(Sulistianingsih, Suryanto dan Noer, 2004).
Suryo (2007) menyatakan bahwa pemberian kolkhisin pada setiap organisme
akan memiliki respon yang berbeda-beda. Apabila larutan kolkhisin diberikan
dengan konsentrasi dan lamanya waktu perendaman kurang mencapai keadaan
yang tepat, maka poliploidi pada tanaman belum dapat diperoleh. Menurut
Suminah, Sutarno dan Setyawan (2002) apabila kolkisin diberikan dengan
konsentrasi yang tepat, maka akan berpengaruh pada jumlah kromosom yang akan
meningkat, sehingga tanaman tersebut akan bersifat poliploidi. Umumnya
kolkhisin akan bekerja secara efektif bila diberikan dengan konsentrasi antara
0,001-1% dengan lama perlakuan antara 6-72 jam.
Sumarji (2006) menjelaskan bahwa kolkhisin dapat diberikan pada bagian
kuncup, bunga dan pada fase bibit. Selain itu menurut Jaksani et al. (2004) dan
Sumarji (2006) perlakuan kolkhisin juga dapat dilakukan secara in vitro yaitu
diaplikasikan pada bagian plumula, radikula dan kotiledon sebagai eksplan.
Sedangkan Agisimanto dan yulianti (2016) menyatakan bahwa secara umum
pengaplikasian kolkhisin dapat dilakukan pada bagian ruas tanaman yang tumbuh
di nursery atau di lapang. Pengaplikasian kolkhisin tersebut dapat memberikan
keuntungan maupun kerugian pada tanaman itu sendiri. Kerugian yaitu tanaman
yang dihasilkan dapat memiliki banyak kimera. Kimera menurut Acquaah (2007)
merupakan fenomena mutasi pada jaringan somatik yang mengakibatkan suatu
individu memiliki dua atau lebih tipe sel yang berbeda. Selain itu kelemahan dari
perlakuan kolkhisin apabila diberikan dengan konsentrasi yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan tanaman mati.
Penelitian yang dilakukan oleh Susianti et al. (2015) pada tanaman stroberi
dengan pemeberian kolkhisin, didapatkan hasil bahwa morfologi tanaman dengan
perlakuan kolkhisin 0,05% memiliki pengaruh yang beda nyata terhadap jumlah
batang per tanaman. Kemudian perlakuan kolkhisin 0,01% menghasilkan batang
12

tanaman stroberi yang lebih besar dibandingkan dengan kontrol, serta lebih efektif
dalam meningkatkan ukuran organ vegetatif pada tanaman stroberi. Sedangkan
pada perlakuan kolkhisin 0,05% lebih efektif dalam meningkatkan ukuran buah
stroberi, karena ukuran buah stroberi yang dihasilkan lebih besar dari pada
perlakuan 0,01% kolkhisin, tetapi jumlah buah yang dihasilkan lebih banyak pada
perlakuan 0,01% dari pada 0,05% kolkhisin.

2.6 Pengaruh Kolkhisin Terhadap Anatomi dan Sitologi Tanaman


Jeruk Siam (Citrus nobilis Lour) termasuk dalam kelompok jeruk dengan
jumlah kromosom 2n=2x=18 (Yulianti et al, 2015). Pengaplikasian kolkhisin
telah banyak digunakan dalam penelitian baik di Indonesia maupun luar negeri.
Seperti yang diketahui, bahwa kolkhisin merupakan senyawa kimia yang biasanya
digunakan untuk menginduksi tanaman sehingga mendapatkan tanaman yang
poliploidi. Terdapat senyawa alkaloid pada kolkhisin yang dapat menghentikan
proses pembelahan sel (antimitosis). Suminah et al. (2002) menjelaskan bahwa
terjadinya perubahan pada kromosom dapat disebabkan karena senyawa kolkhisin
dapat menghalangi terbentuknya benang-benang mikrotubuli. Menyebabkan
proses pembelahan dari metaphase ke anaphase tidak dapat berlangsung, yang
menyebabkan terjadinya penambahan pada kromosom.
Poliploidi merupakan penggandaan jumlah set kromosom yang menghasilkan
organisme baru sehingga memiliki jumlah set kromosom berlipat dari kromosom
semula. Umumnya tanaman memiliki kromosom normal yaitu dua pasang
kromosom atau diploid (2n=2x) pada sel somatik (Syukur et al., 2013). Pada
tanaman Alocasia x amazonica hort. yang diberi perlakuan perendaman kolkhisin
dengan konsentrasi 0.05% selama 72 jam, didapatkan tanaman yang tetraploid
dengan kromosom 2n=4x=56, dengan kromosom awal sebelum pemberian
kolkhisin adalah 2n=2x=28 (Thao, Ozaki dan Okubo, 2004). Proses penggandaan
kromosom dengan menggunakan kolkhisin sendiri sudah lama digunakan dalam
bidang pemuliaan tanaman. Kolkhisin merupakan suatu senyawa yang efektif
dalam menghambat mitosis pada saat anafase, sehingga memiliki dampak dalam
proses induksi poliploidi (Samala dan Te-chato, 2012). Kebanyakan tanaman dari
hasil poliploidi buatan biasanya memiliki ukuran sel yang meningkat,
menyebabkan organ reproduksi dan vegetatif berukuran besar.
13

Penelitian yang dilakukan oleh Sulistianingsih et al. (2004) didapatkan bahwa


perlakuan kolkhisin berpengaruh nyata terhadap jumlah kromosom anggrek,
dimana rerata jumlah kromosom yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan
dengan jumlah kromosom kontrol. Jumlah kloroplas pada tanaman yang diberi
kolkhisin memiliki jumlah yang lebih banyak bila dibandingkan dengan tanaman
kontrolnya (Yulianti et al., 2015). Penelitian tanaman jagung yang dilakukan oleh
Aili, Respatijarti dan Sugiharto (2016) pemberian kolkhisin terhadap penampilan
fenotipe galur inbrida jagung memiliki pengaruh terhadap jumlah stomata,
panjang stomata dan lebar stomatanya. Hasil yang didapatkan dari penelitian
tersebut yaitu semakin tinggi kolkhisin yang diberikan makan akan memberikan
pengaruh terhadap pengurangan jumlah stomata dan penambahan ukuran panjang
dan lebar daun.
Penenelitian Yulianti et al. (2015) pada induksi tunas jeruk dilakukan secara
in vitro menggunakan kolkhisin dengan perlakuan konsentrasi sebesar 0; 0,1; 0,2;
dan 0,3%. Hasil dari penelitian tersebut didapatkan bahwa pada tunas jeruk
dengan perlakuan kolkisin 0.1% memiliki jumlah kloroplas dua kali lebih banyak
yaitu 18.25 bila dibandingkan dengan tanama yang kontrol yaitu 8.67.
Pengaruh penggunaan kolkhisin juga dapat berpengaruh terhadap stomata
tanaman. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rohman et al (2017)
didapatkan hasil pada pengamatan ukuran stomata (panjang dan lebar) daun zaitun
(Olea europaea L.) menunjukkan bahwa rata-rata ukuran stomata akibat
pemberian kolkhisin lebih besar bila dibandingkan dengan tanaman kontrolnya.
Kemudian pada penelitian Rahayu, Sukma, Syukur, Aziz dan Irawati (2015)
mengenai induksi poliploidi bibit Anggrek bulan mengunakan kolkhisin,
didapatkan hasil yang berbeda nyata terhadap panjang dan lebar stomata pada
perlakuan kolkhisin 5000 mg L-1 bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal
tersebut dapat dilihat dari panjang stomatanya lebih besar 47% dari pada bibit
diploid, serta memiliki lebar yang lebih besar 27% dari pada lebar stromata
tanaman diploid.

Anda mungkin juga menyukai