PENDAHULUAN
II.1 Sedimentologi
1. Transpor sedimen dasar (bed load) adalah gerak butir sedimen yang
selalu berada di dekat dasar saluran atau sungai. Butir sedimen bergerak
dengan cara bergeser atau meluncur, mengguling, atau dengan lompatan
pendek. Transpor dengan cara ini umumnya terjadi pada butir sedimen
yang berukuran relatif besar.
2. Transpor sedimen suspensi (suspended solid), adalah gerak butir sedimen
yang sesekali bersinggungan dengan dasar sungai atau saluran. Butir
sedimen bergerak dengan lompatan yang jauh dan tetap di dalam aliran.
Transpor dengan cara ini umumnya terjadi pada butir sedimen yang
berukuran relatif kecil.
3. Transpor sedimen dasar dan suspensi atau transport material dasar total
adalah gerak butir sedimen yang selalu berkaitan atau bersinggungan
dengan dasar sungai atau saluran.
4. Transpor sedimen wash load, adalah gerak butir sedimen yang hampir
tidak pernah bersinggungan dengan dasar sungai atau saluran. Pada wash
load, butir sedimen bergerak bagaikan digelontor oleh aliran dan tidak
pernah menyentuh dasar sungai atau saluran. Transpor dengan cara ini
umumnya terjadi pada butir sedimen yang berukuran sangat halus.
II.3 Aliran Laminar dan Aliran Turbulen
Aliran laminar adalah aliran yang bergerak perlahan pada arah yang hampir
lurus dengan memiliki lebar jarak yang tetap. Aliran ini dapat divisualisasikan
dengan garis-garis sejajar yang disebut garis aliran. Gerakan-gerakan tersebut terjadi
dalam ukuran mlekul yang bergerak secara konstan dan translasi molekul fluida.
Garis aliran dapat melengkung jika menabrak sebuah benda, tetapi garis-garis ini
tidak pernah bergabung menjadi satu. Aliran laminar hanya terdapat pada fluida yang
mengalir dengan kecepatan sangat rendah yang melalui dasar aliran yang halus dan
rata.
Produk utama hasil mekanisme aliran laminar adalah struktur sedimen
gelembur (ripples). Gelembur merupakan struktur sedimen yang umum ditemukan
dalam lingkungan saat ini, baik pada sedimen silisiklastik ataupun karbonat. Struktur
ini dapat terbentuk melalui transpor air dan angin.
II.3.2 Aliran Turbulen
Pada aliran laminar, jika kecepatan aliran berubah-ubah, maka aliran larutan
yang tidak akan bertahan lebih lama sebagai aliran yang sejajar dan akan berubah.
Perubahan aliran ini bersifat konstan dan juga terjadi perubahan ukuran butir material
yang tertranspor oleh fluida yang tegak lurus dengan arah aliran. Garis aliran akan
menyatu menjadi lebih kompleks. Jenis aliran ini disebut aliran turbulen yang
disebabkan oleh gerakan naik-turun dari massa oleh fluida.
Gambar 2.2 Aliran Laminar dan Aliran Turbulen
Perbedaan mendasar antara aliran turbulen dan aliran laminar ditentukan oleh
rasio gaya inersia/kelembaman (inertial force) terhadap gaya kekentalan (viscous
force). Gaya inersia yang berhubungan dengan skala dan kecepatan gerak fluida
cenderung menyebabkan fluida mengalami turbulensi. Gaya kekentalan yang
bertambah seiring dengan peningkatan viskositas fluida, menahan deformasi fluida
sehingga cenderung untuk meredam turbulensi. Hubungan gaya inersia dengan gaya
kekentalan dapat ditunjukkan secara matematis dengan angka/bilangan Reynold atau
Reynold number (Re).
Ketika gaya kekentalan lebih dominan, Reynold number akan bernilai kecil
dan memiliki aliran laminar. Hal ini juga terjadi pada aliran yang sangat lambat dan
pada area dangkal. Ketika gaya inersia lebih dominan dan kecepatan bertambar
besar, Reynold number bernilai besar dan aliran menjadi turbulen. Transisi dari aliran
turbulen menjadi aliran laminar berada di atas nilai kritis dari Reynold number,
umumnya di antara 500 hingga 2.000 yang juga bergantung pada kondisi batas
(boundary conditions) seperti kedalaman channel dan geometri. Jadi pada konsisi
batas yang ditentukan, Reynold number dapat digunakan untuk memprediksi apakah
aliran akan laminar atau turbulen, dan untuk mendapatkan magnitudo turbulen.
Namun, pada praktikum ini hanya membahas mengenai sedimentasi tipe 1 sajaa,
yaitu discrete setting region atau partikel diskret.
V : volume partikel
g : percepatan gravitasi
𝑉𝑠 2
𝐹𝑑 = 𝐶𝑑 𝐴𝑐 𝜌
2
Dimana :
Fd : gaya drag
Cd : Koefisien drag
Ac : luas potongan melintang partikel
Vs : kecepatan pengendapan
Dalam kondisi yang seimbang ini, maka Fd=F1, maka di peroleh persamaan :
𝑉𝑠 2
(𝜌𝑠 − 𝜌)𝑔 𝑉 = 𝐶𝑑 𝐴𝑐 𝜌 ( )
2
Atau
2𝑔 𝜌𝑠 − 𝜌 𝑉
𝑉𝑠 = √ + ( )
𝐶𝑑 𝜌 𝐴𝑐
4𝑔 𝜌𝑠 − 𝜌
𝑉𝑠 = √ +( )𝑑
3𝐶𝑑 𝜌
atau
4𝑔
𝑉𝑠 = √ + (𝑆𝑔 − 1)𝑑
3𝐶𝑑
resistensi gesekan), yakni hubungan antara resistensi gesekan (drag resistensi) dan
diameter dimensionless particle yang bosa dituliskan sebagai :
4𝑑 ∗3
𝐶𝑑 =
3𝑅𝑒 2
Akhirnya, kecepatan pengendapan bisa dihitung menggunakan persamaan 2.14 dan
persamaan 2.14 yang dikombinasikan menjadi (Carmenen, 2007) :
𝑛
2/𝑛 3 1/𝑛 1/𝑛
𝑣 1 𝐴 4𝑑 ∗ 1 𝐴
𝑊𝑠 = [√ ( ) +( ) − ( ) ]
𝑑 4 𝐵 3𝐵 2 𝐵
Beragam nilai untuk A, B dan n telah didapatkan dari berbagai peneliti untuk partikel
Sperical dan sedimen natural yang terangkum dalam tabel dibawah ini.
Author (s) Material A B N
Camenen (2007) mengajukan tiga persamaan, satu untuk koefisien dalam persamaan
2.15 yang memperhitungkan bentuk dan kebundaran partikel. Metode iini
mengizinkan persamaan 2.15 untuk menghasilkan hasil yang lebih baik untuk
partikel yang berbeda bentuk, ukuran dan densitas, tetapi rumus itu sedikit susah
untuk digunakan, terutama ketika n=1,5. Rumus tersebut tidak seakurat dengan
rumus yang diajukan oleh Cheng (2007). Untuk itu, dibutuhkan rumus lain utnuk
memprediksikan kecepatan pengendapan dari sedimen natural yang sederhana dan
akurasi tinggi.
Untuk alasan tersebut, Re pada persamaan 2.12 dibuat ulang dengan menggabungkan
persamaan 2.10 dan persamaan 4.13, yaitu :
4𝑑 ∗3
𝑅𝑒 =
3𝐴
Sehingga persamaan 2.12 bisa ditulis ulang menjadi :
2/𝑛
√3𝐴
𝐶𝑑 = [( ) + 𝐵1/𝑛 ]
2𝑑 ∗3/2
Akhirnya, kita memperoleh solusi untuk kecepatan pengendapan yang mirip dengan
persaman 2.15 dan bisa diaplikasikan pada semua Bilangan Reynold < 2x105 :
−𝑛/2
𝑣 3𝐴 2/𝑛 3𝐵 1/𝑛
𝑊𝑠 = 𝑑 ∗3 [( ) + ( 𝑑 ∗3 ) ]
𝑑 4 4
Nilai A,B dan n dari persamaan di atas dapat dilihat pada table 2.2
Autrhor (s) Material A B N
𝑣 −7/8
𝑊𝑠 = 𝑑 ∗3 [38,1 + 0,93𝑑 ∗12/7 ]
𝑑
Dimana :
Ws : Kecepatan pengendapan
V : Viskositas kinematik
d : Diameter partikel
d* : dimensionless particle I
untuk mengetahui akurasi dari koefisien rumus yang digunakan, maka kita dapat
menentukan rata-rata nilai dari kesalahan relatif, yang didefinisikan sebagao :
𝑁 2
1 𝑊𝑠𝑒
𝐸 = ∑| − 1| 𝑥 100%
𝑁 𝑊𝑠𝑐
𝑖=1
1 𝑊𝑠𝑒 2
𝜎 = √𝑁 ∑𝑁
𝑖=1 |𝑊𝑠𝑐 − 1| x 100 %
Dimana Wsc adalah nilai yang didapatkan dari persamaan, Wse adalah nilai dari
percobaan laboratorium dan N adalah jumlah data (She, dkk. 2005)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Pada saat praktikum dilaksanakan, metode yang digunakan praktikan yaitu
dengan mengolah sampel sedimen yang telah diambil dari lapangan. Adapun tahap -
tahap selama praktikum, yaitu :
Pada tahap ini, dilakukan asistensi acara oleh asisten ke praktikan untuk
dipaparkan bagaimana sistematika pengolahan sampel dimulai dari pengovenan
sampel yang dimaksudkan agar sampel kering, kemudian dilakukan pengayakan
untuk mendeterminasi dan mengelompokkan sampel sedimen berdasarkan
ukurannya. Lalu akhirnya, yaitu menimbang sampel yang telah dikelompokkan
masing - masing.
Tahap ini, laporan yang sudah diasistensikan akan dibuatkan laporan lengkap
Praktikum Sedimentologi.
Tahap Pendahuluan
Tahap Praktikum
Tahap Asistennsi
Laporan
Tahap Penyusunan
Laporan