Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

DENGAN PNEUMONIA PADA ANAK


DI RUANG HCU MELATI 2 RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA

OLEH
VERONICA USWATUN KHASANAH
(17051)

AKADEMI KEPERAWATAN YAPPI SRAGEN


TAHUN 2019
LAPORAN PENDAHULUAN
ANAK DENGAN PNEUMONIA

A. DEFINISI
Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut pada paru yang disebabkan oleh
infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan oleh penyebab non-infeksi yang
akan menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas
setempat (Bradley et.al., 2011)
Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan
bronkus atau bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy
distribution) (Bennete, 2013).
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dan bronkus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius lobus dan alveoli serta menimbulkan
kerusakan jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat (Sarwono, 2013).
Pneumonia adalah radang paru-paru disertai dengan eksudasi dan konsolidasi.
Pada bayi baru lahir pneumonia yang fatal adalah yang disebabkan oleh sifilis congenital
yang disertai dengan generasi lemak pada paru-paru sehingga paru-paru tampak pucat
serta tidak mengandung udara (Dorland, 2015).

B. PENYEBAB
Berdasarkan etiologinya pneumonia dapat disebabkan oleh :
1. Bakteri
2. Virus
3. Jamur
4. Aspirasi makanan
5. Pneumonia hipostatik
6. Sindrom Loefler. (Bradley et.al., 2011)
Berbagai mikroorganisme dapat menyebabkan pneumonia, antara lain virus dan
bakteri seperti Pneumokokus, Staphilococcus Pneumoniae, dan H. influenzae. Beberapa
faktor yang dapat meningkatkan risiko penyakit ini diantaranya adalah defek anatomi
bawaan, defisit imunologi, polusi, GER, aspirasidan lain-lain.

C. PATOFISIOLOGI
Jalan nafas secara normal steril dari benda asing dari area sublaringeal sampai
unit paru paling ujung. Paru dilindungi dari infeksi bakteri dengan beberapa mekanisme:
1. filtrasi partikel dari hidung.
2. pencegahan aspirasi oleh reflek epiglottal.
3. Penyingkiran material yang teraspirasi dengan reflek bersin.
4. Penyergapan dan penyingkiran organisme oleh sekresi mukus dan sel siliaris.
5. Pencernaan dan pembunuhan bakteri oleh makrofag.
6. Netralisasi bakteri oleh substansi imunitas lokal.
7. Pengangkutan partikel dari paru oleh drainage limpatik.
Infeksi pulmonal bisa terjadi karena terganggunya salah satu mekanisme
pertahanan dan organisme dapat mencapai traktus respiratorius terbawah melalui
aspirasi maupun rute hematologi. Ketika patogen mencapai akhir bronkiolus maka
terjadi penumpahan dari cairan edema ke alveoli, diikuti leukosit dalam jumlah besar.
Kemudian makrofag bergerak mematikan sel dan bakterial debris. Sisten limpatik
mampu mencapai bakteri sampai darah atau pleura viseral.
Jaringan paru menjadi terkonsolidasi. Kapasitas vital dan pemenuhan paru
menurun dan aliran darah menjadi terkonsolidasi, area yang tidak terventilasi menjadi
fisiologis right-to-left shunt dengan ventilasi perfusi yang tidak pas dan menghasilkan
hipoksia. Kerja jantung menjadi meningkat karena penurunan saturasi oksigen dan
hiperkapnia. (Bennete, 2013)
Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al., 2011):
1. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan
aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat
pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel
imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan
prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen.
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan
otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini
mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga
terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di
antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen
dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan
sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan
leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada
perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat
minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat
singkat, yaitu selama 48 jam.
3. Stadium III (3-8 hari berikutnya)
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena
berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah
tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium IV (7-11 hari berikutnya)
Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

D. MANIFESTASI KLINIS
Pasien dengan bronkopneumoni dapat mengalami demam tinggi dengan
peningkata suhu secara mendadak sampai 40º. Anak sangat gelisah, sesak nafas dan
sianosis sekunder hidung dan mulut, pernafasan cuping hidung merupakan trias gejala
yang patognomotik. Kadang-kadang disertai muntah dan diare, batuk mula-mula kering
kemudian menjadi produktif.
Manifestasi yang lain yang sering adalah nyeri dada saat batuk ataupun
bernafas, batuk produktif disertai dahak purulen, sesak nafas, dyspnea sampai terjadi
sianosis, penurunan kesadaran pada keadaan yang buruk atau parah, perubahan suara
nafas ralews, ronchi, wezhing, hipotensi apabila disertai dengan bakterimia atau
hipoksia berat, tachipnea serta nadi cepat.
Pneumonia khususnya bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi
saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak
sampai 39-400C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat
gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan
sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal
penyakit,anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa
batuk kering kemudian menjadi produktif (Bennete, 2013).
Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia khususnya
bronkopneumonia ditemukan hal-hal sebagai berikut (Bennete, 2013):
1. Pada inspeksi terlihat setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal,
suprasternal, dan pernapasan cuping hidung.
Tanda objektif yang merefleksikan adanya distres pernapasan adalah retraksi
dinding dada; penggunaan otot tambahan yang terlihat dan cuping hidung;
orthopnea; dan pergerakan pernafasan yang berlawanan. Tekanan intrapleura yang
bertambah negatif selama inspirasi melawan resistensi tinggi jalan nafas
menyebabkan retraksi bagian-bagian yang mudah terpengaruh pada dinding dada,
yaitu jaringan ikat inter dan sub kostal, dan fossae supraklavikula dan suprasternal.
Kebalikannya, ruang interkostal yang melenting dapat terlihat apabila tekanan
intrapleura yang semakin positif. Retraksi lebih mudah terlihat pada bayi baru lahir
dimana jaringan ikat interkostal lebih tipis dan lebih lemah dibandingkan anak yang
lebih tua.
Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan pergerakan fossae
supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda yang paling dapat dipercaya akan
adanya sumbatan jalan nafas. Pada infant, kontraksi otot ini terjadi akibat “head
bobbing”, yang dapat diamati dengan jelas ketika anak beristirahat dengan kepala
disangga tegal lurus dengan area suboksipital. Apabila tidak ada tanda distres
pernapasan yang lain pada “head bobbing”, adanya kerusakan sistem saraf pusat
dapat dicurigai.
Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan adanya distress
pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi memendek secara abnormal
(contohnya pada kondisi nyeri dada). Pengembangan hidung memperbesar pasase
hidung anterior dan menurunkan resistensi jalan napas atas dan keseluruhan. Selain
itu dapat juga menstabilkan jalan napas atas dengan mencegah tekanan negatif faring
selama inspirasi.
2. Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.
Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran
fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi paru
(kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang.
3. Pada perkusi tidak terdapat kelainan
4. Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.
Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan
berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi
ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang mendominasi), keras
atau lemah (tergantung dari amplitudo osilasi) jarang atau banyak (tergantung
jumlah crackles individual) halus atau kasar (tergantung dari mekanisme
terjadinya).
Crackles dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui sekret
jalan napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.
E. PATHWAY

Inhalasi Aspirasi Tirah baring lama

Bakteri/virus

Peradangan alveolus
Nyeri Suhu tubuh meningkat
(parenkim paru)

Ekstrapasasi cairan MK : Risiko tinggi


sirosa ke dalam alveoli kekurangan cairan

Terbentuknya eksudat Produksi sputum


dalam alveoli meningkat

O2 ke vena alveolar Sputum bau dan kental


kapiler terhambat
Anoreksia
Kerusakan Hipoksemia
jaringan paru
MK : Gangguan
pemenuhan
MK : Gangguan
nutrisi
pola nafas

MK : Bersihan
jalan nafas
tidak efektif
F. KLASIFIKASI
Menurut Zul Dahlan (2007), pneumonia dapat terjadi baik sebagai penyakit
primer maupun sebagai komplikasi dari beberapa penyakit lain. Secara morfologis
pneumonia dikenal sebagai berikut:
1. Pneumonia lobaris, melibatkan seluruh atau satu bagian besar dari satu atau lebih
lobus paru. Bila kedua paru terkena, maka dikenal sebagai pneumonia bilateral
atau “ganda”.
2. Bronkopneumonia, terjadi pada ujung akhir bronkiolus, yang tersumbat oleh
eksudat mukopurulen untuk membentuk bercak konsolidasi dalam lobus yang
berada didekatnya, disebut juga pneumonia loburalis.
3. Pneumonia interstisial, proses inflamasi yang terjadi di dalalm dinding alveolar
(interstisium) dan jaringan peribronkial serta interlobular.
Pneumonia lebih sering diklasifikasikan berdasarkan agen penyebabnya, virus,
atipikal (mukoplasma), bakteri, atau aspirasi substansi asing. Pneumonia jarang terjadi
yang mingkin terjadi karena histomikosis, kokidiomikosis, dan jamur lain.
1. Pneumonia virus, lebih sering terjadi dibandingkan pneumonia bakterial.
Terlihat pada anak dari semua kelompok umur, sering dikaitkan dengan ISPA
virus, dan jumlah RSV untuk persentase terbesar. Dapat akut atau berat.
Gejalanya bervariasi, dari ringan seperti demam ringan, batuk sedikit, dan
malaise. Berat dapat berupa demam tinggi, batuk parah, prostasi. Batuk biasanya
bersifat tidak produktif pada awal penyakit. Sedikit mengi atau krekels terdengar
auskultasi.
2. Pneumonia atipikal, agen etiologinya adalah mikoplasma, terjadi terutama di
musim gugur dan musim dingin, lebih menonjol di tempat dengan konsidi hidup
yang padat penduduk. Mungkin tiba-tiba atau berat. Gejala sistemik umum seperti
demam, mengigil (pada anak yang lebih besar), sakit kepala, malaise, anoreksia,
mialgia. Yang diikuti dengan rinitis, sakit tenggorokan, batuk kering, keras. Pada
awalnya batuk bersifat tidak produktif, kemudian bersputum seromukoid, sampai
mukopurulen atau bercak darah. Krekels krepitasi halus di berbagai area paru.
3. Pneumonia bakterial, meliputi pneumokokus, stafilokokus, dan pneumonia
streptokokus, manifestasi klinis berbeda dari tipe pneumonia lain, mikro-
organisme individual menghasilkan gambaran klinis yang berbeda. Awitannya
tiba-tiba, biasanya didahului dengan infeksi virus, toksik, tampilan menderita
sakit yang akut , demam, malaise, pernafasan cepat dan dangkal, batuk, nyeri
dada sering diperberat dengan nafas dalam, nyeri dapat menyebar ke abdomen,
menggigil, meningismus.
Berdasarkan usaha terhadap pemberantasan pneumonia melalui usia, pneumonia
dapat diklasifikasikan:
1. Usia 2 bulan – 5 tahun
a. Pneumonia berat, ditandai secara klinis oleh sesak nafas yang dilihat dengan
adanya tarikan dinding dada bagian bawah.
b. Pneumonia, ditandai secar aklinis oleh adanya nafas cepat yaitu pada usia 2
bulan – 1 tahun frekuensi nafas 50 x/menit atau lebih, dan pada usia 1-5
tahun 40 x/menit atau lebih.
c. Bukan pneumonia, ditandai secara klinis oleh batuk pilek biasa dapat disertai
dengan demam, tetapi tanpa terikan dinding dada bagian bawah dan tanpa
adanya nafas cepat.
2. Usia 0 – 2 bulan
a. Pneumonia berat, bila ada tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau
nafas cepat yaitu frekuensi nafas 60 x/menit atau lebih.
b. Bukan pneumonia, bila tidak ada tarikan kuat dinding dada bagian bawah
dan tidak ada nafas cepat.

G. TANDA DAN GEJALA


Tanda dan gejala dari pneumonia antara lain:
1. Demam, sering tampak sebagai tanda infeksi yang pertama. Paling sering terjadi
pada usia 6 bulan – 3 tahun dengan suhu mencapai 39,5 – 40,5 bahkan dengan
infeksi ringan. Mungkin malas dan peka rangsang atau terkadang eoforia dan
lebih aktif dari normal, beberapa anak bicara dengan kecepatan yang tidak biasa.
2. Meningismus, yaitu tanda-tanda meningeal tanpa infeksi meninges. Terjadi
dengan awitan demam yang tiba-tiba dengan disertai sakit kepala, nyeri dan
kekakuan pada punggung dan leher, adanya tanda kernig dan brudzinski, dan akan
berkurang saat suhu turun.
3. Anoreksia, merupakan hal yang umum yang disertai dengan penyakit masa
kanak-kanak. Seringkali merupakan bukti awal dari penyakit. Menetap sampai
derajat yang lebih besar atau lebih sedikit melalui tahap demam dari penyakit,
seringkali memanjang sampai ke tahap pemulihan.
4. Muntah, anak kecil mudah muntah bersamaan dengan penyakit yang merupakan
petunjuk untuk awitan infeksi. Biasanya berlangssung singkat, tetapi dapat
menetap selama sakit.
5. Diare, biasanya ringan, diare sementara tetapi dapat menjadi berat. Sering
menyertai infeksi pernafasan. Khususnya karena virus.
6. Nyeri abdomen, merupakan keluhan umum. Kadang tidak bisa dibedakan dari
nyeri apendiksitis.
7. Sumbatan nasal, pasase nasal kecil dari bayi mudah tersumbat oleh
pembengkakan mukosa dan eksudasi, dapat mempengaruhi pernafasan dan
menyusu pada bayi.
8. Keluaran nasal, sering menyertai infeksi pernafasan. Mungkin encer dan sedikit
(rinorea) atau kental dan purulen, bergantung pad tipe dan atau tahap infeksi.
9. Batuk, merupakan gambarab umum dari penyakit pernafasan. Dapat menjadi
bukti hanya selama faase akut.
10. Bunyi pernafasan, seperti batuk, mengi, mengorok. Auskultasi terdengar mengi,
krekels.
11. Sakit tenggorokan, merupakan keluhan yang sering terjadi pada anak yang lebih
besar. Ditandai dengan anak akan menolak untuk minum dan makan per oral.

H. FAKTOR RISIKO PNEUMONIA PADA ANAK


Faktor risiko pneumonia yang menyertai pada anak antara lain:
1. Status gizi buruk, menempati urutan pertamam pada risiko pneumonia pada anak
balita, dengan tiga kriteria antopometri yaitu BB/U, TB/U, BB/TB. Status gizi
yang buruk dapat menurunkan pertahanan tubuh baik sistemik maupun lokal juga
dapat mengurangi efektifitas barier dari epitel serta respon imun dan reflek batuk.
2. Status ASI buruk, anak yang tidak mendapat ASI yang cukup sejak lahir ( kurang
4 bulan) mempunyai risiko lebih besar terkena pneumonia. ASI merupakan
makanan paling penting bagi bayi karena ASI mengandung protein, kalori, dan
vitamin untuk pertumbuhan bayi. ASI mengandung kekebalan penyakit infeksi
terutama pneumonia.
3. Status vitamin A, pemberian vitamin A pada anak berpengaruh pada sistem imun
dengan cara meningkatkan imunitas nonspesifik, pertahanan integritas fisik,
biologik, dan jaringan epitel. Vitamin A diperlukan dalam peningkatan daya tahan
tubuh, disamping untuk kesehatan mata, produksi sekresi mukosa, dan
mempertahankan sel-sel epitel.
4. Riwayat imunisasi buruk atau tidak lengkap, khususnya imunisasi campak dan
DPT. Pemberian imunisasi campak menurunkan kasusu pneumonia, karena
sebagian besar penyakit campak menyebabkan komplikasi dengan pneumonia.
Demikian pula imunisasi DPT dapat menurunkan kasus pneumonia karena Difteri
dan Pertusis dapat menimbulkan komplikasi pneumonia.
5. Riwayat wheezing berulang, anak dengan wheezing berulang akan sulit
mengeluarkan nafas. Wheezing terjadi karena penyempitan saluran nafas
(bronkus), dan penyempitan ini disebabkan karena adanya infeksi. Secara biologis
dan kejadian infeksi berulang ini menyebabkan terjadinya destruksi paru, keadaan
ini memudahkan pneumonia pada anak.
6. Riwayat BBLR, anak dengan riwayat BBLR mudah terserang penyakit infeksi
karena daya tahan tubuh rendah, sehingga anak rentan terhadap penyakit infeksi
termasuk pneumonia.
7. Kepadatan penghuni rumah, rumah dengan penghuni yang padat meningkatkan
risiko pneumonia dibanding dengan penghuni sedikit. Rumah dengan penghuni
banyak memudahkan terjadinya penularan penyakit dsaluran pernafasan.
8. Status sosial ekonomi, ada hubungan bermakna antara tingkat penghasilan
keluarg dengan pendidikan orang tua terhadap kejadian pneumonia anak.

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Leukosit, umumnya pneumonia bakteri didapatkan leukositosis dengan
predominan polimorfonuklear. Leukopenia menunjukkan prognosis yang
buruk.
b. Cairan pleura, eksudat dengan sel polimorfonuklear 300-100.000/mm.
Protein di atas 2,5 g/dl dan glukosa relatif lebih rendah dari glukosa darah.
c. Titer antistreptolisin serum, pada infeksi streptokokus meningkat dan dapat
menyokong diagnosa.
d. Kadang ditemukan anemia ringan atau berat.
2. Pemeriksaan mikrobiologik
a. Spesimen: usap tenggorok, sekresi nasofaring, bilasan bronkus atau sputum
darah, aspirasi trachea fungsi pleura, aspirasi paru.
b. Diagnosa definitif jika kuman ditemukan dari darah, cairan pleura atau
aspirasi paru.
3. Pemeriksaan imunologis
a. Sebagai upaya untuk mendiagnosis dengan cepat
b. Mendeteksi baik antigen maupun antigen spesifik terhadap kuman penyebab.
c. Spesimen: darah atau urin.
d. Tekniknya antara lain: Conunter Immunoe Lectrophorosis, ELISA, latex
agglutination, atau latex coagulation.
4. Pemeriksaan radiologis, gambaran radiologis berbeda-beda untuk tiap
mikroorganisme penyebab pneumonia.
a. Pneumonia pneumokokus: gambaran radiologiknya bervariasi dari infiltrasi
ringan sampai bercak-bercak konsolidasi merata (bronkopneumonia) kedua
lapangan paru atau konsolidasi pada satu lobus (pneumonia lobaris). Bayi
dan anak-anak gambaran konsolidasi lobus jarang ditemukan.
b. Pneumonia streptokokus, gambagan radiologik menunjukkan
bronkopneumonia difus atau infiltrate interstisialis. Sering disertai efudi
pleura yang berat, kadang terdapat adenopati hilus.
c. Pneumonia stapilokokus, gambaran radiologiknya tidak khas pada permulaan
penyakit. Infiltrat mula=mula berupa bercak-bercak, kemudian memadat dan
mengenai keseluruhan lobus atau hemithoraks. Perpadatan hemithoraks
umumnya penekanan (65%), < 20% mengenai kedua paru.
J. TERAPI
1. Perhatikan hidrasi.
2. Berikan cairan i.v sekaligus antibiotika bila oral tidak memungkinkan.
3. Perhatikan volume cairan agar tidak ada kelebihan cairan karena seleksi ADH juga
akan berlebihan.
4. Setelah hidrasi cukup, turunkan ccairan i.v 50-60% sesuai kebutuhan.
5. Disstres respirasi diatasi dengan oksidasi, konsentrasi tergantung dengan keadaan
klinis pengukuran pulse oksimetri.
6. Pengobatan antibiotik:
a. Penisillin dan derivatnya. Biasanya penisilin S IV 50.000 unit/kg/hari atau
penisilil prokain i.m 600.000 V/kali/hari atau amphisilin 1000 mg/kgBB/hari .
Lama terapi 7 – 10 hari untuk kasus yang tidak terjadi komplikasi.
b. Amoksisillin atau amoksisillin plus ampisillin. Untuk yang resisten terhadap
ampisillin.
c. Kombinasi flukosasillin dan gentamisin atau sefalospirin generasi ketiga, misal
sefatoksim.
d. Kloramfenikol atau sefalosporin. H. Influensa, Klebsiella, P. Aeruginosa
umumnya resisten terhadap ampisillin dan derivatnya. Dapat diberi
kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari aatu sefalosporin.
e. Golongan makrolit seperti eritromisin atau roksittromisin. Untuk pneumonia
karena M. Pneumoniae. Roksitromisin mempenetrasi jaringan lebih baik
dengan rasio konsentrasi antibiotik di jaringan dibanding plasma lebih tinggi.
Dosis 2 kali sehari meningkatkan compliance dan efficacy.
f. Klaritromisin. Punya aktivitas 10 kali erirtomisin terhadap C. pneumonie in
vitro dan mempenetrasi jaringan lebih baik.
K. Asuhan Keperawatan Teoritis pada Pneumonia
1. Data Dasar Pengkajian

a. Aktivitas/Istirahat

Gejala : Kelemahan, kelelahan

Insomnia

Tanda : Letargi

Penurunan toleransi terhadap aktivitas

b. Sirkulasi

Gejala : Riwayat adanya GJK kronis

Tanda : Takikardia

Penampilan kemerahan atau pucat

c. Integritas Ego

Gejala : Banyaknya stressor, masalah finansial

d. Makanan dan cairan

Gejala : kehilangan nafsu makan, mual/muntah

Tanda : Distensi abdomen

Hiperaktif bunyi usus

Kulit kering dengan turgor buruk

Malnutrisi

e. Neurosensori

Gejala : Sakit kepala daerah frontus (influenza)

Tanda : Perubahan mental (bingung, somnolen)

f. Nyeri / Kenyamanan

Gejala : Sakit kepala


Nyeri dada (pleuritik) meningkat oleh batuk : nyeri dada substernal

(influenza)

Mialgia, artalgia

Tanda : Melindungi area yang sakit (pasien umumnya tidak pada sisi yang sakit

untuk membatasi gerakan)

g. Pernapasan

Gejala : Takipnea, dispnea progresif, pernapasan dangkal, penggunaan otot

aksesori, pelebaran nasal.

Tanda : Sputum, merah muda, berkarat atau purulen

Perkusi : pekak di atas area yang konsolidasi

Fremitus : taktis dan vokal bertahap meningkat dengan konsolidasi

Gesekan fraksi pleural.

Bunyi napas : menurun atau tidak ada diale area yang terlibat, atau nafas

bronchial.

Warna pucat atau siunosis bibir/kaku.

h. Keamanan

Gejala : Riwayat gangguan sistem imun

Demam

Tanda : Berkeringat

Menggigil berulang, gemetaran

i. Pemeriksaan Diagnostik

Sinar X : mengidentifikasi distribusi struktural, dapat juga menyatakan abses

luas/infiltrate, empisema, infiltrasi menyebar atau terlokalisasi, atau

penyebaran/perluasan infiltrate nodul


GDR / nadi oksimetri : tidak normal mungkin terjadi, tergantung pada luas paru

yang terlibat dan penyakit paru yang ada.

Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah : dapat diambil dengan biopsi jarum,

aspirasi transtrakeal, bronkoskopi fiberoptik atau biopsi pembukaan paru untuk

mengatasi organisme penyebab.

JDL : Leukositosis biasanya ada, meskipun sel darah putih rendah terjadi pada

infeksi virus, kondisi tekanan imun memungkinkan perkembangannya pneumonia

bakterial.

Pemeriksaan serologi : membantu dalam membedakan diagnosa organisme

khusus.

LED meningkat

Pemeriksaan fungsi paru

Elektrolit : Na & klorida mungkin rendah.

2. Prioritas Masalah

a. Mempertahankan/memperbaiki fungsi pernapasan

b. Mencegah komplikasi

c. Mendukung proses penyembuhan

d. Memberikan informasi tentang penyakit/prognosis dan pengobatan.

3. Diagnosa yang mungkin muncul

a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan terbentuknya eksudat

dalam alveoli.

b. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolar-

kapiler.

c. Nyeri berhubungan dengan inflamasi parenkim paru.


d. Risiko tinggi terhadap nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

anoreksia yang berhubungan dengan bau dan rasa sputum.

e. Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan

cairan berlebihan (demam, berkeringat banyak, napas mulut/ hiperventilasi,

muntah)

4. Rencana Asuhan Keperawatan

a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan terbentuknya eksudat

dalam alveoli.

Kriteria hasil :

1) Mengidentifikasi/menunjukkan perilaku mencapai bersihan jalan napas.

2) Menunjukkan jalan napas paten dengan napas bersih, tak ada dispnea, sianosis.

Intervensi :

1) Kaji frekuensi/kedalaman pernapasan dan gerak dada.

Rasional : Takipnea, pernapasan dangkal, dan gerak dada tak simetris sering

terjadi karena ketidaknyamanan gerakan dinding dada dan/atau

cairan paru.

2) Auskultasi area paru, catat arena penurunan/tak ada aliran udara dan bunyi

napas adventisus, misal : krekels, mengi.

Rasional : Penurunan aliran udara terjadi pada area konsolidasi dengan cairan.

Bunyi napas bronchial (normal pada bronkus) dapat terjadi juga

pada area konsolidasi. Krekels, ronki dan mengi terdengar pada

inspirasi dan/atau ekspirasi pada respons terhadap pengumpulan

cairan, sekret kental dan spasme jalan napas/obstruksi.


3) Bantu pasien latihan napas sering. Tunjukkan/bantu pasien mempelajari

melakukan batuk, misal : menekan dada dan batuk efektif sementara posisi

batuk tinggi.

Rasional : Napas dalam memudahkan ekspansi maksimum paru-paru/ jalan

napas lebih kecil. Batuk adalah mekanisme pembersihan jalan napas

alami, membantu silia untuk mempertahankan jalan napas paten.

Penekanan menurunkan ketidaknyamanan dada dan posisi duduk

memungkinkan upaya napas lebih dalam dan lebih kuat.

4) Penghisapan sesuai indikasi

Rasional : Merangsang batuk atau pembersihan jalan napas secara mekanik

pada pasien yang tidak mampu melakukan karena batuk tak efektif

atau penurunan tingkat kesadaran.

5) Berikan cairan sedikitnya 2500 ml/hari (kecuali kontraindikasi). Tawarkan air

hangat, daripada dingin.

Rasional : Cairan (khususnya air hangat) memobilisasi dan mengeluarkan

secret.

Kolaborasi :

1) Bantu mengawasi efek pengobatan nebuliser dan fisioterapi lain. Lakukan

tindakan diantara waktu makan dan batasi cairan bila mungkin.

Rasional : Memudahkan pengenceran dan pembuangan sekret. Koordinasi

pengobatan/jadwal dan masukan oral menurunkan muntah karena

batuk, pengeluaran sputum.

2) Berikan obat sesuai indikasi

Rasional : Alat untuk menurunkan spasme bronkus dengan mobilisasi sekret.


3) Berikan cairan tambahan, misal : IV, oksigen humudifikasi, dan ruangan

humudifikasi.

Rasional : Cairan diperlukan untuk menggantikan kehilangan dan

memobilisasi sekret.

4) Awasi seri sinar X dada, GDA, nadi oksimetri.

Rasional : Mengevaluasi kemajuan dan efek proses penyakit dan memudahkan

pilihan terapi yang diperlukan.

5) Bantu bronkoskopi/torasentesis bila diindikasikan

Rasional : Kadang-kadang diperlukan untuk membuang perlengketan mukosa,

pengeluaran sekresi purulen, dan/atau mencegah atelektasis.

b. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolar-

kapiler.

Kriteria hasil :

1) Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan dengan GDA dalam

rentang normal dan tak ada gejala distress pernapasan.

2) Berpartisipasi pada tindakan untuk memaksimalkan oksigenasi.

Intervensi :

1) Kaji frekuensi, kedalaman dan kemudahan bernapas.

Rasional : Manifestasi distress pernapasan tergantung pada indikasi derajat

keterlibatan paru dan status kesehatan umum.

2) Tinggikan kepala dan dorong sering mengubah posisi, napas dalam dan batuk

efektif.

Rasional : Tindakan ini meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan

pengeluaran sekret untuk memperbaiki ventilasi.


3) Pertahankan istirahat tidur. Dorong menggunakan teknik relaksasi dan

aktifitas senggang.

Rasional : Mencegah terlalu lelah dan menurunkan kebutuhan/ konsumsi

oksigen untuk memudahkan perbaikan infeksi.

4) Observasi penyimpangan kondisi, cacat hipotensi banyaknya jumlah sputum

merah mudah/berdarah, pucat, sianosis, perubahan tingkat kesadaran, dispnea

berat, gelisah

Rasional : Syok dan edema paru adalah penyebab umum kematian pada

pneumonia dan membutuhkan intervensi medik segera.


DAFTAR PUSTAKA

Bennete M.J. 2013. Pediatric Pneumonia. http://emedicine.medscape.com/article/ 967822-


overview. (29 September 2014 pukul 15.50 WIB)
Bradley J.S., Byington C.L., Shah S.S, Alverson B., et al. 2011. The Management of
Community-Acquired Pneumonia in Infants and Children Older than 3 Months of
Age: Clinical Practice Guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and
the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis 53 (7): 617-630
Dorlan. 2015. Pneumonia : Buku Ajar Penyakit Dalam Edisi 2 Jilid 4. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Dochterman, Joanne M., Gloria N. Bulecheck. 2014. Nursing Interventions Classifications
(NIC) Fourth Edition. Missouri: Mosby Elsevier
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012. Panduan Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan Anak.
Jakarta : Penerbit IDAI.
Moorhed, Sue, Marion Jhonson, Meridean L. Mass, dan Elizabeth Swanson. 2008. Nursing
Outcomes Classifications (NOC) Fourth Edition. Missouri: Mosby Elsevier.
NANDA International. 2010. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2009-2011.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Sarwono. 2013. Praktek klinik Asuhan Keperawatan Pada Anak . Jakarta: Sagung Seto. Ngastiyah.
1997.

Anda mungkin juga menyukai